Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menundukkan
wajahnya. Berbagai pertimbangan telah tumpang tindih dan wor suh menjadi
satu dalam benaknya.
Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika terdengar
lamat-lamat para peronda di gardu-gardu telah menabuh kentongan dengan nada
dara muluk, Kanjeng Sunan dengan perlahan berdesis, “Sudahlah Ki Rangga. Engkau
dapat mengesampingkan dahulu pertanyaanku tadi. Sekarang sudah ada tugas yang
menunggu.”
Terkejut Ki Rangga mendengar kata-kata Kanjeng Sunan
sehingga tanpa sadar dia mengangkat wajahnya. Namun begitu menyadari Kanjeng
Sunan sedang memandang ke arahnya, dengan cepat Ki Rangga segera menundukkan
wajahnya.
“Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian
sambil menyembah, “Tugas apakah yang harus hamba laksanakan?”
Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan tidak menjawab.
Hanya terdengar helaan nafasnya yang panjang. Seolah-olah Wali yang waskita itu
sedang gundah dengan segala polah tingkah manusia di atas bumi ini.
“Ki Rangga,” akhirnya Kanjeng Sunan berkata perlahan,
“Segala sesuatu yang terjadi di atas bumi ini sudah menjadi ketentuan Yang Maha
Kuasa. Namun sebagai hambaNYA kita diijinkan untuk berdoa dan berusaha,”
Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pergilah ke Lemah Cengkar.
Engkau pasti sudah tahu dimana tempat itu. Bantulah pasukan Mataram yang sedang
mengalami kesulitan.”
Bergetar dada Ki Rangga mendengar perintah Kanjeng
Sunan. Dengan memberanikan diri, Ki Rangga pun segera mengajukan sebuah
pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, Lemah Cengkar terletak di dekat Kademangan
Jati Anom. Jarak Jati Anom dengan Tanah Perdikan Menoreh ini tidak lah dekat.
Hamba mohon petunjuk Kanjeng Sunan.”
Kanjeng Sunan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki
Rangga. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi sudah mengajarkan sebuah doa dari
Kanjeng Nabi junjungan kita agar dalam menempuh sebuah perjalanan, kita diberi
kemudahan oleh Yang Maha Agung?”
“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta
merta, “Namun Kanjeng Sunan belum menjelaskan laku apakah yang harus hamba
tempuh sebagai asok tukon dalam menguasai ilmu itu?”
Senyum Kanjeng Sunan pun semakin lebar mendengar
pertanyaan Ki Rangga. Jawab Kanjeng Sunan kemudian, “Apa yang diajarkan oleh
Junjungan kita, sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini Ki Rangga
pelajari. Dalam mengamalkan sebuah doa, tidak dituntut untuk mengerjakan sebuah
laku khusus. Justru laku yang harus kita tempuh adalah sepanjang hayat
masih dikandung badan. Tingkah laku sepanjang hidup kita lah yang akan
menentukan terkabul tidaknya sebuah permohonan.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Sambil tetap menundukkan wajahnya, Ki Rangga kembali menyembah
sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah syarat terkabulnya sebuah
doa tergantung dari baik buruknya tingkah laku kita?”
Kali ini Kanjeng Sunan tertawa kecil. Jawabnya
kemudian, “Yang Maha Agung telah memberikan pilihan kepada hambaNYA. Dari arah
manakah kita akan memohon pertolonganNYA? Jika kita menghendaki dapat merengkuh
kebaikan di dunia ini maupun di alam kelanggengan nanti, tentu
saja kita akan selalu berusaha menempuh jalan yang diridhoiNYA.”
Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Nasehat Kanjeng
Sunan sedikit banyak telah menambah wawasan dalam kawruh olah kebatinan di
dalam dirinya.
“Nah, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan
kemudian, “Berangkatlah. Panjatkan lah doa dengan sepenuh niat hanya berpasrah
diri kepadaNYa. Semoga Yang Maha Agung senantiasa memberi kita petunjuk dan
bimbinganNYA.”
“Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil
menyembah.
Dengan perlahan Ki Rangga segera memutar tubuhnya
menghadap Kiblat. Diangkatnya kedua tangan untuk memohon pertolongan dari
penguasa jagad raya dan seisinya ini. Ketika Ki Rangga telah selesai
memanjatkan doa, dengan perlahan dia menggeser duduknya menjauhi tempat duduk
Kanjeng Sunan sebelum akhirnya Ki Rangga bangkit berdiri.
Perlahan Ki Rangga menghadap ke arah pintu sanggar
yang tertutup rapat. Ketika Ki Rangga kemudian melangkah mendekati pintu
sanggar dengan langkah yang tampak sedikit ragu-ragu, terdengar Kanjeng Sunan
berkata perlahan namun cukup menggetarkan jantung suami Sekar Mirah itu.
“Jangan pernah ragu-ragu dalam mengerjakan suatu
pekerjaan atas dasar niat yang ikhlas dan semata-mata mencari ridhloNYA.
Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan menolong hambaNYA yang hatinya selalu diliputi
oleh keraguan.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang mendengar
nasehat Kanjeng Sunan. Hatinya yang sedikit ragu-ragu kembali menjadi tenang.
Betapapun, Ki Rangga sudah terbiasa menjalani sebuah laku terlebih dahulu
sebelum meraih keberhasilan dalam mempelajari sebuah ilmu. Namun yang terjadi
sekarang ini adalah bagaikan dalam sebuah mimpi. Dirinya akan mengetrapkan
sebuah doa yang aka dapat dijadikan sebagai sarana memohon pertolongan kepada
Yang Maha Agung tanpa menjalani sebuah laku pun sebelumnya.
“Aku harus yakin,” berkata Ki Rangga dalam hati,
“Sekuat keyakinanku bahwa Yang Maha Agung itu benar adaNYA dan hanya melalui
pertolonganNYa lah, seorang hamba mampu melaksanakan kewajiban yang dibebankan
kepadanya.”
Dengan tangan sedikit gemetar, Ki Rangga membuka
selarak pintu sanggar. Begitu pintu sanggar itu mulai terbuka, angin malam yang
dingin segera menampar wajahnya. Sementara pandang mata Ki Rangga hanya
menangkap kegelapan yang pekat di luar sanggar.
Sejenak hati Ki Rangga Agung Sedayu kembali diliputi
sepercik keragu-raguan. Namun ketika tanpa sadar dia berpaling ke belakang,
alangkah terkejutnya suami Sekar Mirah itu ketika pandangan matanya tidak
melihat lagi Wali yang waskita itu duduk di tempatnya.
“Hem,” desah Ki Rangga perlahan sambil kembali
memandang ke luar sanggar. Kegelapan yang pekat benar-benar membuat Ki Rangga
sedikit bimbang. Sudah dicobanya untuk menembus kegelapan itu dengan Aji Sapta
Pandulu, namun seolah-olah sebuah tabir yang hitam pekat telah dibentangkan di
depan matanya.
Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang dan
membekukan darah. Namun Ki Rangga tidak akan mundur setapak pun. Dengan hati
yang pasrah dan sepenuh keyakinan akan kekuasaan Yang Maha Agung, dia kembali
membaca doa yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan.
Selangkah Ki Rangga maju. Ketika kegelapan ternyata
masih saja menghadang di hadapannya, dia segera membulatkan tekadnya dan
memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua keragu-raguan itu. Dengan menyebut
Asma Yang Maha Agung, Ki Rangga pun kemudian segera mempercepat langkahnya.
Untuk beberapa saat Ki Rangga berjalan dalam
kepekatan. Bagaikan di alam mimpi, Ki Rangga merasa seolah-olah berada di
sebuah ruang tanpa batas. Hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya.
Namun semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja
pendengaran Ki Rangga yang tajam lamat-lamat telah menangkap suara teriakan dan
bentakan ditingkah oleh suara denting beradunya senjata.
Semakin lama suara itu terdengar semakin riuh, dan
akhirnya seiring dengan berkurangnya kegelapan yang mengurungnya, samar-samar
dalam pandangan matanya tampak bayangan sebuah pohon raksasa yang menjulang di
tengah padang.
“Pohon beringin lemah cengkar,” tanpa sadar Ki Rangga
Agung Sedayu berdesis.
Tiba-tiba saja sebuah senyum kecil tersungging di
bibirnya. Betapa tidak, pada masa mudanya Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali
tidak pernah berani melewati daerah itu. Bahkan ketika kakaknya Untara terluka
dan dirawat oleh dukun tua di dukuh Pakuwon, dan dia harus menggantikan tugas
kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung menemui Pamannya, Widura, dia lebih
memilih lewat Kaliasat walaupun untuk mencapai Kaliasat dia harus melewai Hutan
Macanan serta Bulak Dowo yang terkenal dengan genderuwo mata satunya.
“Sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan seumur
hidupku,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus melangkah. Dengan
mengetrapkan kemampuannya dalam menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan
akibat sentuhan kehadirannya dengan alam sekitarnya, perlahan Ki Rangga Agung
Sedayu melangkah semakin mendekati pohon beringin raksasa itu.
*****
Dalam pada itu malam telah melewati puncaknya. Sekar
Mirah yang telah selesai berbenah terkejut ketika pendengarannya yang tajam
mendengar langkah-langkah mendekat. Sesaat kemudian terdengar sebuah ketukan
perlahan di pintu bilik.
“Siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan suara perlahan
namun cukup terdengar oleh orang yang berdiri di balik pintu bilik.
“Aku mbok Gumbrek, Nyi,” terdengar sahutan perlahan
dari balik pintu.
“O, masuklah mbok,” jawab Sekar Mirah kemudian, “Ada
apa malam-malam begini?”
Mbok Gumbrek salah satu pembantu perempuan Ki Gede
segera mendorong pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya dia begitu pintu
terbuka lebar, tampak Sekar Mirah telah berdiri tegak di dekat pembaringan
Bagus Sadewa dengan pakaian khusus serta senjata yang mengerikan tergenggam di
tangan kanannya.
“Nyi..?” terdengar suara sendat dari mbok Gumbrek.
Dengan langkah tertegun-tegun dia berjalan memasuki bilik.
Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera mencoba
mencairkan suasana dengan tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Tidak ada masalah
yang penting, mbok. Aku hanya sekedar ingin berlatih selangkah dua langkah
dengan mbokayu Pandan Wangi di sanggar.”
Mbok Gumbrek mengerutkan kening. Dengan nada sedikit
ragu-ragu dia memberanikan diri bertanya, “Malam-malam begini?”
Masih tetap dengan menyunggingkan sebuah senyuman,
Sekar Mirah menjawab, “Ya mbok, apa salahnya? Aku mempunyai sedikit waktu luang
hanya di saat tengah malam seperti ini. Di siang hari, aku tidak sempat
meluangkan waktu sedikit pun untuk berlatih.”
Sejenak mbok Gumbrek merenung. Pandangan matanya
tiba-tiba saja tertuju pada Bagus Sadewa yang sedang tidur terlelap.
“Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi,” berkata
mbok Gumbrek kemudian, “Aku dimintai tolong untuk menjaga putra Nyi Sekar
Mirah.”
“Nah, bukankah benar kataku,” sahut Sekar Mirah,
“Tolong jagalah Bagus Sadewa. Tentu mbokayu Pandan Wangi sudah menungguku di
sanggar.”
“Baik, Nyi,” jawab mbok Gumbrek kemudian sambil
mengangguk dalam-dalam.
Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah tergesa-gesa
Sekar Mirah pun kemudian segera meninggalkan bilik.
Ketika bayangan anak perempuan Ki Demang Sangkal
Putung itu sudah hilang menuju ke pintu butulan, barulah dengan langkah
satu-satu mbok Gumbrek mendekati pembaringan Bagus Sadewa. Untuk beberapa saat,
perempuan tua itu merenungi anak Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur
lelap berselimutkan kain panjang.
“Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam mbok
Gumbrek ditujukan dirinya sendiri.
Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh.
“Tadi sore menjelang Matahari terbenam Ki Gede
mendapat kunjungan beberapa tamu,” berkata mbok Gumbrek dalam hati, “Kata
orang-orang, salah satu tamu Ki Gede adalah priyagung yang sangat dihormati.
Kawan-kawan di dapur mengatakan yang datang berkunjung adalah Kanjeng Sunan,”
mbok Gumbrek berhenti sejenak. Sambil mencoba mengingat-ingat, dia meneruskan
lamunannya, “Perempuan yang sangat cantik yang datang bersama Kanjeng Sunan itu
seingatku pernah tinggal di sini beberapa saat yang lalu. Namun sekarang
dia telah kembali lagi. Sedangkan anak muda yang satunya aku tidak begitu
mengenalnya.”
Untuk beberapa saat mbok Gumbrek hanya diam membeku
sambil merenungi wajah Bagus Sadewa yang terlihat begitu tenang, setenang air
belumbang di tengah hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia.
Dalam pada itu Sekar Mirah yang telah keluar lewat
pintu butulan segera menyusuri longkangan menuju ke halaman samping. Di
belakang gandhok kiri itu lah terletak sebuah sanggar yang cukup luas untuk
berlatih olah kanuragan.
Ketika Sekar Mirah telah keluar dari pintu seketeng
samping, beberapa puluh tombak di hadapannya berdiri sebuah bangunan yang sudah
tidak asing lagi baginya, sanggar olah kanuragan.
“Mengapa mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja pintu
sanggar itu terbuka lebar-lebar?” gumam Sekar Mirah sambil berjalan mendekati
Sanggar, “Ataukah dengan sengaja mbokayu Pandan Wangi membiarkan pintu itu
terbuka lebar agar aku tidak bercuriga jika ada sesuatu yang bersembunyi di
balik pintu itu?”
“Ah!” angan-angan itu ditepisnya sendiri, “Mbokayu
Pandan Wangi bukan seorang yang curang dan berhati culas. Tidak mungkin jika
dia bermaksud jahat kepadaku. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa semua
yang telah terjadi itu baginya hanyalah sebuah kejadian masa lalu? Sungguh
tidak sepantasnya aku berprasangka buruk kepadanya.”
Tak terasa langkah Sekar Mirah hampir mencapai
pintu sanggar. Sinar lampu dlupak yang kemerah-merahan segera saja menyambar
seraut wajah paro baya namun terlihat masih cukup cantik itu. Pandangan mata
Sekar Mirah pun dengan jelas segera melihat dua orang perempuan dalam pakaian
khusus sedang berdiri berdampingan di tengah-tengah ruang sanggar.
Sebuah desir tajam segera saja menggores jantungnya.
Ayunan langkahnya pun menjadi terhenti dengan sendirinya. Berbagai dugaan dan
kemungkinan telah bergejolak di dalam dadanya.
“Mengapa mereka berdua justru telah berdiri
berdampingan? Tidak berhadap-hadapan?” bertanya Sekar Mirah dalam hati disertai
detak jantung yang berdentangan, “Apakah mereka berdua justru sedang
menungguku? Menuntaskan dendam yang selama ini telah terpendam?”
“Gila!” tiba-tiba saja tanpa sadar sebuah umpatan
meluncur dari bibirnya dan membuat dirinya sendiri justru menjadi terkejut,
“Permainan apakah sebenarnya yang sedang mereka berdua rencanakan?”
Namun pada dasarnya puteri Demang Sangkal Putung itu
adalah seorang perempuan yang keras hati dan sedikit tinggi hati. Dengan
menghentakkan senjata yang tergenggam di tangan kanannya pada sebuah batu yang
tergeletak selangkah di samping kanannya, dia pun melanjutkan langkahnya.
“Persetan dengan semua itu!” geramnya. Dengan sebuah
hentakan kecil saja, batu hitam sebesar induk ayam itu ternyata telah
hancur berhamburan menjadi debu.
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sak dumuk
bathuk sak nyari bumi, dak belani taker pati!” dengan langkah pasti Sekar Mirah pun
kemudian segera menaiki tlundak Sanggar.
Bersambung Ke - 415 Bag 5
Sangat menarik, terasa benar benar senafas dg pengarang awalnya yakni sh Mintardja
BalasHapusSangat menarik, terasa benar benar senafas dg pengarang awalnya yakni sh Mintardja
BalasHapusngestiono.mp@gmail.com
Tidak beregeserdari ututan awal cerita sangat menyatu dengan pengarang awalnya Bp sh Mintardja . HEBAT
BalasHapusMantap serasa beliau masih ada
BalasHapusMantap
BalasHapusSaya sangat menyukai
BalasHapuscerita ini
Sudah Rilis lanjutanya https://gantrabumi2.blogspot.com/2023/05/blog-post.html
BalasHapus