Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 414 Bag. 1
Buku 414
bag. 1
RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang terhanyut oleh suara alunan
ayat-ayat suci itu, sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Barulah
ketika suara alunan ayat-ayat suci itu telah berhenti, bagai tersadar dari
buaian mimpi yang indah, Mas Rangsang baru menyadari bahwa seorang anak muda
telah berdiri di hadapannya.
Dengan segera Raden Mas Rangsang berdiri dari tempat duduknya. Namun
sebelum cucu Panembahan Senapati itu membuka suaranya, justru anak muda itulah
yang berkata terlebih dahulu, “Ampun Raden. Jika Raden berkenan, Kiai Ajar
Mintaraga mengundang Raden untuk singgah sejenak di gubuk kami.”
Raden Mas Rangsang tidak segera menjawab. Dengan kening yang
berkerut-merut, sejenak dipandanginya anak muda yang berdiri sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam beberapa langkah di hadapannya itu. Menurut perkiraan
putra Panembahan Hanyakrawati itu, usia anak muda itu tentu tidak terpaut
banyak dengannya, mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua.
“Mengapa kau memanggilku Raden? Apakah kau sudah mengenalku?” bertanya Mas
Rangsang kemudian sambil menatap wajah yang selalu menunduk itu.
Anak muda itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ampun Raden. Aku tidak tahu
siapakah Raden. Guruku Kiai Ajar Mintaraga hanya memberitahuku bahwa di depan
gubuk kami telah datang seorang tamu bangsawan dari Mataram dan aku diminta
untuk menjemput Raden.”
Kembali kening Raden Mas Rangsang berkerut-merut. Sepagi ini sudah dua
orang yang mengetahui dengan jelas akan jati dirinya, walaupun dia sudah
berusaha untuk menyamar sebagaimana orang kebanyakan.
“Siapakah Kiai Ajar Mitaraga itu?” bertanya Mas Rangsang kemudian.
“Guruku Raden,” jawab anak muda itu tetap dengan kepala tunduk.
“Maksudku, siapakah sebenarnya Kiai Ajar Mintaraga itu?”
Sejenak anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya anak muda itu pun
menjawab, “Ampun Raden. Kiai Ajar Mintaraga adalah seorang Pertapa yang tinggal
di pertapaan Mintaraga di puncak pebukitan Menoreh. Selebihnya aku tidak tahu.”
Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Betapa pun juga dia tidak
akan dapat memaksa anak muda di hadapannya itu untuk memberi keterangan lebih
jauh tentang Kiai Ajar Mintaraga.
“Baiklah, aku menerima tawaran Gurumu untuk singgah di pondok kalian,” Mas
Rangsang berhenti sebentar. Kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju ke
gubuk reyot itu dia melanjutkan, “Siapakah namamu? Menurut perkiraanku umurmu
lebih tua sedikit dariku. Apakah kau keberatan jika aku memanggimu kakang?”
Anak muda itu membungkuk dalam-dalam sambil menjawab, “Ampun Raden. Namaku
Putut Gatra Bumi. Hamba tidak berani deksura untuk menerima panggilan itu dari
Raden.”
“Ah,” Mas Rangsang tertawa pendek sambil menarik lengan Putut Gatra Bumi,
“Marilah Kakang Putut Gatra Bumi. Aku lebih senang memanggilmu Kakang, dan
jangan risaukan segala macam suba sita itu. Itu hanya berlaku kalau kita sedang
mengikuti sebuah pasewakan agung atau acara-acara lain yang memang mengharuskan
kita untuk mentaati paugeran-paugeran yang telah ditentukan.”
Putut Gatra Bumi tidak menjawab. Dia hanya menurut saja ketika Pangeran
Mataram itu menarik lengannya untuk mengikuti langkah calon penerus Trah
Mataram itu menuju ke gubuk.
Sebenarnyalah gubuk itu dibuat seperti sebuah panggungan dengan sebuah
tangga kecil untuk naik ke atasnya. Dengan sekali pandang, tahulah Raden Mas
Rangsang bahwa sebenarnya gubuk itu telah dibuat dengan tergesa-gesa. Gubuk itu
sebelumnya pasti tidak ada di tengah hutan itu. Gubuk itu sengaja di buat oleh
seseorang hanya beberapa hari yang lalu atau bahkan mungkin baru semalam gubuk
itu berdiri. Seseorang tentu dengan sengaja telah membangun gubuk di tengah
hutan itu dengan tujuan yang belum diketahuinya.
Ketika Raden Mas Rangsang kemudian mulai memanjat anak tangga, terdengar
suara sareh dari dalam gubuk menyambutnya, “Silahkan Raden. Mohon maaf aku
tidak dapat menyambut kedatangan Raden sebagaimana mestinya karena
keterbatasanku. Semoga Raden berkenan dengan keadaan gubuk yang serba sederhana
ini.”
Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Ketika kakinya telah menginjak anak
tangga yang terakhir dan kepalanya kemudian melongok ke dalam melalui pintu
gubuk yang tidak berdaun, pandangan matanya telah menangkap sesosok tubuh tua
renta dengan lemahnya duduk di atas sehelai tikar usang di lantai gubuk yang terbuat
dari papan-papan kayu yang kasar.
Dengan berpegangan pada kusen pintu yang terbuat dari bambu, Raden Mas
Rangsang pun kemudian dengan berjalan jongkok memasuki gubuk yang beratap
rendah itu. Sambil beringsut setapak demi setapak dia mendekat ke depan Kiai
Ajar Mintaraga. Sedangkan Putut Gatra Bumi ternyata tidak ikut masuk ke gubuk.
Ketika Raden Mas Rangsang menaiki tangga, dia hanya berdiri menunggu saja di
bawah tangga.
*****
Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah
timur. Para pekerja yang sedang memperbaiki atap rumah Ki Gede tampak mulai
berkeringat. Dibawah petunjuk Ki Jayaraga, mereka bekerja dengan cepat
memperbaiki atap yang jebol itu.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bisik seorang pekerja yang masih muda
kepada kawan di sebelahnya, “Atap itu tidak hanya jebol tapi juga terbakar.”
“Aku tidak tahu,” jawab kawannya juga dengan berbisik, “Menurut para
tetangga Ki Gede, menjelang dini hari tadi telah terjadi pertempuran di rumah
ini.”
“Siapa yang bertempur?” kembali pekerja yang masih muda itu bertanya.
Kawannya tidak segera menjawab. Kedua tangannya sibuk merangkai
lonjoran-lonjoran kayu yang telah dipotong sesuai dengan ukuran yang
dibutuhkan.
“Tentu seorang yang sangat sakti telah menyerang rumah Ki Gede,” pekerja
yang masih muda itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Pintu pringgitan rumah ini
pun juga hancur lebur dan terbakar menjadi abu.”
“Naikkan kayu-kayunya ke atas!” tiba-tiba terdengar seseorang dari atas
atap berteriak memotong pembicaraan kedua pekerja itu.
Dengan tergesa-gesa kedua anak muda itu pun segera mengikat kayu-kayu yang
telah disusun dengan seutas tali yang panjang. Setelah kayu-kayu itu terikat
dengan kuat. Salah seorang segera melemparkan ujung tali yang lain ke atas
untuk di tangkap oleh orang yang menunggu di atas atap. Dengan dibantu beberapa
orang, kayu-kayu itu pun dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati ditarik ke
atas atap.
“Semoga sebelum Matahari tergelincir pekerjaan ini sudah selesai,” berkata
Ki Gede Menoreh yang ikut mengawasi.
Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Ya, Ki Gede. Semakin cepat semakin baik. Memang bekerja di
bawah terik Matahari akan cukup banyak menguras tenaga.”
“Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Untuk orang-orang yang sudah terbiasa
bekerja di alam terbuka dan dibawah terik panas Matahari memang bukan suatu hal
yang berat. Akan tetapi alangkah baiknya jika pekerjaan ini segera selesai,
sebab pintu pringgitan itu juga belum tersentuh.”
“Tadi pagi aku sudah menyuruh salah seorang pembantu laki-laki Ki Gede
untuk memesan pintu pringgitan,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Mungkin
diperlukan waktu sekitar satu pekan untuk membuat pintu pringgitan yang bagus
dengan ukiran yang cukup rumit dan njlimet.”
“Ah,” desah Ki Gede sambil tersenyum, “Tidak perlu ukiran yang rumit dan
jlimet seperti pintu-pintu di istana Mataram. Yang penting pintu itu cukup kuat
dan kokoh.”
“Agar tidak dapat dihancurkan lagi oleh orang yang mengaku pengikut
keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu,” sahut Ki Jayaraga yang disambut
dengan tawa oleh Ki Gede.
“Apakah dinding pringgitan itu akan ditutup untuk sementara?” bertanya Ki
Gede kemudian.
“Ya Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sedang dibuatkan ayaman dari bambu untuk
menutup lobang pintu pringgitan sebelum pesanan pintu itu selesai.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang ke arah pintu regol
depan. Tampak beberapa pengawal sedang menyelusuri dan mengamati jalur dari
regol sampai di kelokan jalan.
“Mayat kedua orang yang semalam kita jumpai dekat kelokan itu menghilang,”
desis Ki Gede tanpa sadar.
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Memang aneh. Sewaktu
kita berkuda dengan kencang melewati kelokan jalan itu semalam, dengan jelas
terlihat dua orang terbujur dengan jarak yang tidak berjauhan di tepi jalan.”
Ki Gede sejenak merenung. Katanya kemudian, “Mungkin kawan-kawan mereka
sempat membawa pergi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Hampir
semua orang sibuk memadamkan api sehingga tidak ada yang memperhatikan kedua
mayat itu.”
“Apakah Ki Gede yakin bahwa kedua orang yang tertelungkup di tepi jalan itu
sudha menjadi mayat?” tiba-tiba Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan yang
tak terduga.
Untuk beberapa saat Ki Gede tidak menjawab. Namun akhir kepala Tanah
Perdikan itu berkata, “Menurut pandanganku yang hanya sekilas dini hari tadi,
keduanya mengalami luka yang cukup parah. Kemungkinan untuk selamat sangat
kecil.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesis,
“Kemampuan Ki Rangga telah merambah pada satu tataran ilmu yang lebih tinggi
lagi.”
Ki Gede berpaling sekilas. Sambil menarik nafas dalam, Ki Gede pun kemudian
ikut bergumam, “Menurut Ki Waskita Ki Rangga sedang mendalami sebuah ilmu yang
disebut aji pengangen-angen.”
“Ya, aji pengangen-angen,” ulang Ki Jayaraga dengan dada yang berdebaran.
Untuk beberapa saat kedua orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Mereka benar-benar merasa bangga dan sekaligus takjub melihat perkembangan ilmu
Ki Rangga yang semakin matang dan dahsyat.
“Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah beberapa saat keduanya
terdiam, “Sesuai dengan perintah Ki Patih Mandaraka, Glagah Putih mendapat
tugas untuk melawat ke lereng gunung Tidar. Atas perkenan Ki Patih aku akan
menyertai perjalanannya.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sekilas ingatannya
segera tertuju kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasangka dari
perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar.
“Aku kira semakin cepat Ki Jayaraga berdua berangkat akan semakin baik.
Dengan demikian Ki Jayaraga berdua akan mempunyai cukup waktu untuk menyelidiki
kekuatan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Ki Gede kemudian.
“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sebenarnya Ki Patih memerintahkan
sepasang suami istri itu untuk melaksanakan tugas ini. Namun keberadaan
kesehatan Rara Wulan tidak memungkinkan sehingga aku telah menyediakan diriku
untuk mendampingi Glagah Putih.”
Ki Gede mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian, “Apakah Rara
Wulan sakit?”
“O, tidak Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Agaknya pasangan
suami istri itu akan segera dikaruniai momongan, jika Yang Maha Agung memang
berkenan menitipkan amanahNya.”
“O, syukurlah kalau memang demikian,” sahut Ki Gede sambil menarik nafas
dalam-dalam, “Semoga karunia itu akan semakin mempererat kasih sayang di antara
mereka.”
“Ya, Ki Gede. Kita yang tua-tua ini hanya bisa mendoakan.”
Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam sambil mengawasi orang-orang
itu bekerja. Matahari telah memanjat semakin tinggi dan panasnya semakin terasa
mnyengat sehingga beberapa orang yang berada di atas atap itu telah melepaskan
baju mereka.
“Di manakah Ki Rangga dipindahkan?” tiba-tiba Ki Gede bertanya.
“Di gandhok sebelah kanan Ki Gede,” jawab ki Jayaraga, “Selama atap itu
diperbaiki, ruang tengah itu untuk sementara dikosongkan.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga,
kapan rencana Ki Jayaraga berdua berangkat?”
Ki Jayaraga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Hari ini aku kira sudah
terlalu siang. Kemungkinan besok
pagi-pagi sekali kami berdua akan berangkat.”
“Baiklah, aku mohon Ki Jayaraga berdua menyempatkan diri untuk menghadap Ki
Patih Mandaraka di Mataram sehubungan dengan peristiwa yang terjadi semalam.”
“Benar Ki Gede. Ki Patih harus mendapat laporan secepatnya. Agaknya
kebangkitan orang-orang yang mengaku keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu
harus segera diwaspadai dan ditindak-lanjuti. Kejadian di tanah pekuburan
kemarin pagi yang telah melibatkan Ki Patih sendiri dan kejadian semalam
menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mungkin
beberapa perguruan lain telah melibatkan diri selain sisa-sisa murid perguruan
Nagaraga itu sendiri. Yang perlu diwaspadai adalah orang yang memiliki keris
Kiai Sarpasri itu. Menurut keterangan Ki Waskita, kali ini kekuatan ilmunya
memang masih selapis tipis di bawah Ki Rangga, namun aku yakin dalam waktu
dekat dia akan segera menempuh laku untuk meningkatkan dan menyempurnakan
ilmunya.”
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Berbagai kenangan silih berganti di dalam benaknya. Sejak kejayaan
Demak lama dibawah kepemimpinan Sultan Trenggana, kemudian sepeninggal Sultan
Trenggana pemerintahan bergeser ke Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya
yang semasa mudanya bergelar Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Terakhir wahyu
keprabon itu kini telah bergeser ke Mataram dibawah kepemimpinan keturunan Ki
Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram.
“Perebutan kekuasan di atas tanah ini selalu saja datang silih berganti,”
berkata Ki Gede dalam hati, “Jika setiap orang merasa berhak atas tahta,
kedamaian di atas tanah ini tidak akan mungkin dapat tercapai.”
“Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan pemimpin
tertinggi Perdikan Menoreh itu, “Aku kira para pekerja itu sudah tidak perlu
ditunggui lagi. Jika Ki Gede berkenan, sebaiknya kita ke gandhok kanan sebentar
untuk menengok Ki Rangga.”
Ki Gede sejenak mengerutkan kening. Katanya kemudian, “Marilah Ki, aku
memang ingin bertanya serba sedikit tentang orang yang memiliki keris Kiai
Sarpasri itu kepada Ki Rangga.”
Demikianlah, kedua orang tua itu pun kemudian segera meninggalkan tempat
itu untuk menjenguk Ki Rangga yang untuk sementara waktu berada di gandhok
sebelah kanan.
***
Dalam pada itu di Tegal Kepanasan, Bango Lamatan sedang duduk berlindung
dari teriknya Matahari dibawah bayangan sebuah pohon yang rindang. Wajahnya
terlihat gelisah. Sesekali dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dibawah pohon
di tepi tegal kepanasan itu. Entah sudah berapa kali kepalanya mendongak untuk
melihat letak Matahari yang masih belum sampai ke puncak.
Ketika dia sudah merasa bosan berjalan mondar-mandir, dihempaskan tubuhnya
dibawah pohon sambil mengumpat, “Gila! Aku bisa mati kekeringan di sini.
Begawan Cipta Hening itu benar-benar gila. Bagaimana jika orang yang akan aku
bunuh itu ternyata tidak lewat di Tegal Kepanasan ini? Atau mungkin Begawan itu
hanya ngaya-wara saja?”
Ketika Bango Lamatan benar-benar sudah hampir putus asa, tiba-tiba indera
penciumannya yang tajam lamat-lamat mencium bau harum mewangi yang timbul
tenggelam dibawa semilirnya angin pegunungan.
“Hem,” desah Bango Lamatan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bau
semerbak mewangi itu memang diluar kewajaran.
Untuk beberapa saat Bango Lamatan belum dapat mengambil sebuah kesimpulan
apapun tentang bau semerbak mewangi yang semakin lama menjadi semakin tajam.
“Aku pernah mendengar dongeng tentang peri gunung,” berkata Bango Lamatan
dalam hati sambil mencoba mempertajam indera penciumannya, “Tapi aku yakin itu
hanyalah cerita ngaya wara sekedar untuk pengantar tidur kanak-kanak.”
Ketika untuk beberapa saat angin kemudian berhenti bertiup, bau semerbak
mewangi itu pun tiba-tiba telah menghilang.
“Jangan-jangan Begawan gila itu yang membuat ulah!” geram bango Lamatan
sambil bangkit berdiri, “Dikiranya aku anak ingusan yang ketakutan begitu
mencium bau wangi yang aneh di puncak bukit yang sunyi ini.”
Namun ketika angin pegunungan kembali bertiup dan kali ini agak kencang,
bau semerbak mewangi itu pun kembali memenuhi udara di tempat Bango lamatan
berdiri, bahkan lebih tajam lagi.
“Setan, demit, gendruwo, tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil mendengus
kesal. Tanpa disadarinya bulu-bulu di sekujur tubuhnya telah merinding.
“Mengapa aku menjadi seperti seorang pengecut!” kembali Bango Lamatan
mengumpat. Kali ini dengan suara agak keras untuk mengatasi gejolak yang sedang
melanda dalam dadanya.
“Aku harus mencari sumber bau ini,” berkata Bango lamatan dalam hati sambil
melangkahkan kakinya melawan arah angin, “Dari arah lereng sebelah selatan itu
mungkin bau semerbak mewangi ini berasal.”
Dengan langkah lebar Bango lamatan pun kemudian berjalan meninggalkan tegal
kepananasan menuju ke lereng pebukitan Menoreh sebelah selatan.
Ketika Bango Lamatan baru saja akan menuruni lereng yang cukup landai itu,
tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah melihat sesuatu yang bergerak
di bawah sana. Memang jaraknya masih cukup jauh. Di antara batang-batang pohon
yang tumbuh menjulang serta gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak
bayangan seseorang dengan langkah yang gemulai berjalan menaiki lereng.
Semakin lama bayangan itu semakin tampak jelas. Dalam siraman cahaya
Matahari yang terang benderang, tampak seorang perempuan muda sedang
berjalan perlahan menaiki lereng sebelah selatan.
“Siapakah perempuan itu?” tanpa sadar bibir bango Lamatan bergumam.
Dengan mengerahkan aji sapta pandulu, Bango Lamatan pun kemudian mencoba
melihat lebih jelas perempuan muda yang berjalan dengan gemulai menuju ke
arahnya.
“He?” seru bango Lamatan dengan nada sedikit tertahan. Darahnya bagaikan
tersirap sampai ke ubun-ubun begitu dapat melihat dengan jelas wajah perempuan
muda itu, “Siapakah perempuan itu? Alangkah cantiknya! Seumur hidupku aku belum
pernah berjumpa dengan perempuan secantik itu!”
Tiba-tiba saja dada Bango Lamatan berdesir tajam. Sungguh tidak dapat
dinalar, jika di puncak pebukitan Menoreh yang sunyi ini terdapat seorang
perempuan cantik dengan bau semerbak mewangi.
“Persetan dengan segala dongeng ngaya wara!” geram Bango Lamatan sambil
mencoba mengeraskan hatinya. Dengan dada yang berdebaran dia menunggu perempuan
cantik itu sampai di hadapannya.
Dalam pada itu, perempuan muda yang sangat cantik mempesona itu agaknya
sudah mengetahui bahwa kehadirannya telah ditunggu oleh seseorang di atas
lereng. Dengan sebuah senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya yang mungil
kemerahan, perempuan muda itu pun melangkah semakin dekat ke tempat Bango
lamatan berdiri menunggu.
Selangkah demi selangkah perempuan yang bagaikan golek kencana itu menjadi
semakin dekat. Bango Lamatan yang menunggu di atas lereng hanya dapat
berdiri membeku bagaikan terkena sihir. Sepasang matanya tidak berkedip
memandangi sekujur tubuh perempuan muda yang penuh dengan lekuk-lekuk indah.
Rambutnya disanggul tinggi sehingga dengan sangat
jelas memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus mulus. Beberapa helai anak
rambutnya yang berjuntai dengan indahnya tampak beriak-riak tertiup angin
pegunungan yang lembut. Sementara sepasang matanya yang bagaikan bintang timur
itu menatap bening ke arah Bango Lamatan tanpa ada rasa ragu sedikitpun.
Ketika perempuan muda dengan paras cantik bak
putri-putri Raja dalam dongeng-dongeng itu tinggal beberapa langkah saja dari
tempat Bango Lamatan berdiri, dia segera menghentikan langkahnya dan menghadap
penuh ke arah Bango lamatan. Sementara bau semerbak mewangi yang memang berasal
dari tubuh perempuan cantik itu semakin lama menjadi semakin menyengat dan
memabokkan. Perlahan tapi pasti, bau semerbak mewangi itu telah merasuki
otak Bango Lamatan sehingga dia tidak mampu lagi untuk mempergunakan
penalarannya secara jernih.
Untuk beberapa saat Bango Lamatan bagaikan membeku di
tempatnya. Hanya beberapa langkah di hadapannya sedang berdiri dengan anggunnya
seorang perempuan muda yang sangat cantik. Kecantikan yang nyaris
sempurna dengan bau semerbak mewangi yang selalu terpancar dari lekuk-lekuk
tubuhnya.
Bango Lamatan yang sepanjang hidupnya tidak pernah
mengikatkan dirinya dengan seorang perempuan pun, kini sekujur tubuhnya
bagaikan tersiram banyu sewindu, menggigil seperti orang kedinginan. Namun
darah di dalam jantungnya justru telah menggelegak dahsyat bagaikan air
mendidih yang secara perlahan tapi pasti mengalir ke seluruh urat-urat nadinya
dan memanasi setiap jengkal tubuhnya.
“Siapakah Ni Sanak ini?” akhirnya dengan suara parau
dan sedikit bergetar Bango Lamatan pun bertanya.
Perempuan muda yang kecantikannya bagaikan
puteri-puteri dalam dongeng itu tidak segera menjawab, hanya tersenyum manis,
bahkan terlalu manis sehingga dengan sekuat tenaga Bango Lamatan harus menahan
hasratnya untuk tidak meloncat dan menubruk perempuan muda di hadapannya itu.
“Namaku Anjani,” akhirnya perempuan muda itu menjawab
dengan suara lembut sambil mengangkat kedua tangannya yang lemah gemulai
itu untuk membenahi sanggulnya. Gerakan yang wajar bagi seorang perempuan
namun yang hampir saja membuat Bango Lamatan jatuh pingsan.
“Anjani?” ulang Bango Lamatan sambil sekuat tenaga
menahan gemuruh di dalam rongga dadanya, “Seumur hidupku, belum pernah aku
menjumpai perempuan secantik Nimas Anjani ini.”
“Ah,” desah Anjani sambil kembali tersenyum manis dan
menggelengkan kepalanya yang indah itu, “Aku sudah terbiasa menerima pujian
setiap laki-laki yang aku jumpai,” Anjani berhenti sejenak sambil sepasang
matanya yang bening itu menatap ke arah Bango Lamatan. Kemudian lanjutnya,
“Namun aku merasa selama ini tidak ada seorang pun yang secara tulus memujiku.”
“O, tidak tidak! Itu tidak benar,” sahut Bango Lamatan
cepat dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari seraut wajah cantik itu,
“Ketahuilah. Aku Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra
tidak pernah bicara lelamisan. Jika memang hitam, akan aku katakan
hitam. Dan jika memang putih, aku pun akan mengatakan putih.”
Berdesir dada Anjani begitu menyadari orang yang
berdiri di hadapannya ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan
Cahya Warastra. Anjani memang belum mengenal bango Lamatan, namun nama
Panembahan Cahya Warastra telah sering didengarnya sejak dia bersama Resi
Mayangkara berada di Menoreh.
“Bukankah Panembahan Cahya Warastra sudah terbunuh
dalam perang tanding melawan Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Anjani dalam
hati dengan jantung yang berdebaran, “Kalau yang berdiri di hadapanku sekarang
ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra, tentu
bukan orang ini yang dimaksud oleh kakek Tanpa Aran yang aku jumpai tadi pagi.”
Sejenak ingatan Anjani kembali ke beberapa saat yang
lalu ketika dia sedang menyusuri hutan di kaki bukit menoreh. Matahari baru
saja memancarkan sinarnya menerangi pucuk-pucuk pepohonan ketika Anjani
menjumpai seorang Kakek sedang duduk bersimpuh di bawah sebatang pohon.
Pada awalnya Anjani tidak banyak menaruh perhatian
kepada Kakek itu. Namun justru kakek itulah yang telah memanggilnya ketika dia
berjalan melewati pohon tempat Kakek itu duduk bersimpuh.
“Berhentilah sebentar ngger, apakah aku bisa memohon
pertolongan dari angger?” berkata Kakek itu tiba-tiba sambil melambaikan tangan
kanannya. Sementara tangan kiri Kakek itu erat memegang sebuah lodong dari
bambu yang biasanya untuk menyimpan air.
Anjani segera menghampiri kakek yang bersimpuh di
bawah pohon itu. Sesampainya di hadapannya, Anjani segera berlutut sambil
menyapa, “Siapakah Kakek ini dan ada apakah Kakek memanggil aku?”
Sejenak Kakek itu menatap Anjani dengan mata yang
buram berlinang air mata. Katanya kemudian, “Ngger, orang menyebutku kakek
Tanpa Aran. Sudah sejak semalam aku duduk di sini menunggu seseorang yang dapat
aku mintai pertolongan. Syukurlah angger telah lewat dan agaknya Yang Maha
Agung memang telah mengirim angger untuk menolongku.”
Anjani mengerutkan keningnya. Dia belum mengenal kakek
itu dan mungkin sebaliknya kakek itu pun juga belum mengenalnya. Namun mengapa
kakek itu begitu yakin dirinya dapat menolongnya?
Berpikir sampai disitu, Anjani pun akhirnya bertanya,
“Kakek, kita belum pernah saling bertemu apalagi mengenal satu sama lainnya.
Apakah kakek yakin aku dapat menolong mengatasi persoalan yang sedang menimpa
Kakek saat ini?”
Kakek itu tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Ngger,
aku mempunyai panggraita bahwa anggerlah orang yang akan menolong aku. Bukankah
angger akan mendaki pebukitan Menoreh?”
Anjani tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang
terangguk.
Kembali orang tua itu tersenyum sareh. Lanjutnya
kemudian, “Aku mohon angger berkenan menolongku. Carilah cucuku yang sekarang
ini mungkin juga sedang berada di sekitar pebukitan Menoreh. Bujuklah dia agar
mau mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumah.”
Sekali lagi Anjani mengerutkan keningnya. Tanyanya
kemudian, “Kek, pebukitan Menoreh ini sangat luas. Dimana kah aku harus mencari
cucu Kakek? Dan apakah sebenarnya yang sedang dilakukannya di sana?”
Untuk beberapa saat kakek itu tidak menjawab, hanya
kepalanya saja yang tertunduk sambil menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah
ingin dilonggarkan rongga dadanya dari segala persoalan yang sedang
menghimpitnya.
Setelah sekali lagi menarik nafas dalam, akhirnya
kakek itu pun menjawab, “Ngger, carilah cucuku itu di sekitar tempat yang
bernama tegal kepanasan. Dia sedang lelaku untuk mencari kayu gung
susuhing angin yang menurut wangsit yang diterimanya melalui sebuah mimpi,
berada di sekitar Tegal Kepanasan.”
Untuk ke sekian kali kening Anjani menjadi semakin
berkerut-merut. Dia menjadi sedikit ragu-ragu dengan kakek yang duduk bersimpuh
di hadapannya itu. Dia belum pernah mendengar sejenis kayu seperti yang
dikatakan oleh Kakek itu. Selebihnya, hanya orang yang tidak dapat menggunakan
nalar dengan jernih yang mau melakukan sesuatu hal hanya berdasarkan pada
sebuah mimpi.
“Bagaimana Nimas Anjani?” tiba-tiba pertanyaan Bango
Lamatan telah membuyarkan lamunan Anjani.
“Apa maksudmu, Ki Bango Lamatan?” Anjani justru balik
bertanya sambil mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung indah bak bulan
sabit..
Sejenak, Bango Lamatan
menahan nafasnya sambil memejamkan matanya untuk mengumpulkan keberaniannya. Pengaruh Aji Seribu Bunga dari
Anjani ternyata telah memburamkan penalarannya. Katanya kemudian dengan suara
bergetar dan penuh tekanan, “Ketahuilah Nimas Anjani. Hanya engkau lah yang
telah menjawab mimpi-mimpi di setiap gelisah tidurku selama ini. Yang telah
menerangi kegelapan jiwaku akan cinta kasih yang selama ini aku abaikan. Yang
menyirami taman hatiku yang selama ini aku biarkan tandus dan gersang. Yang
telah…..”
“Cukup!” potong Anjani
dengan serta merta. Kedua pipinya yang ranum itu kini tampak semakin memerah
sehingga menambah kecantikannya saja.
“Ki Bango Lamatan!”
lantang terdengar suara Anjani sambil membusungkan dada dan bertolak pinggang.
Sebuah pemandangan yang membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu
harus menelan ludah berkali-kali untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba
saja terasa sangat kering kerontang. Berkata Anjani selanjutnya “Dengar! Aku
adalah salah seorang sahabat Ki Rangga Agung Sedayu. Musuh Ki Rangga berarti
musuhku juga. Nah, jangan banyak bertingkah. Menyerah sajalah untuk aku bawa ke
Tanah Perdikan Menoreh. Engkau harus mempertanggung-jawabkan segala polah
tingkahmu selama menjadi pengikut Panembahan Cahya Warastra!”
Bango Lamatan sama sekali
tidak menjawab. Seolah-olah tidak didengarnya semua perkataan Anjani. Hanya
wajahnya saja yang tampak sebentar merah sebentar pucat dengan sepasang mata
yang membelalak serta peluh yang bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Anjani
yang berdiri di hadapannya itu kini benar-benar bagaikan seekor domba muda yang
gemuk di hadapan seekor serigala tua yang kelaparan.
Namun, sebelum Bango
Lamatan memutuskan berbuat sesuatu untuk memuaskan hasratnya yang hampir
meledakkan dada, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, terdengar suara
tembang yang ngelangut dibawa oleh semilirnya angin pegunungan.
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Bagaikan tesadar dari
sebuah mimpi buruk, perlahan tapi pasti penalaran Bango Lamatan mulai jernih
kembali. Pengaruh bau semerbak mewangi yang memabokkan itu bagaikan asap yang
tertiup angin, perlahan tapi pasti secara berangsur-angsur menyusut dari dalam
otaknya.
Untuk beberapa saat Bango
Lamatan masih termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Namun penalarannya
yang mulai jernih segera menyadari tugas apa yang sedang dibebankan di atas
pundaknya.
“Terima kasih Begawan,”
desah Bango lamatan lirih begitu mengenali suara itu sambil menarik nafas
dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan angin pegunungan yang segar, yang
telah terbebas dari pengaruh bau harum mewangi Aji Seribu Bunga.
Sedangkan Anjani yang juga
mendengar kidung itu bagaikan tersirap darahnya sampai ke ubun-ubun.
Rasa-rasanya ada hawa dingin yang tajam menusuk ulu hatinya sehingga untuk
beberapa saat Anjani telah menggigil kedinginan, walaupun pada saat itu
Matahari hampir mencapai puncaknya.
“Gila!” geram Anjani dalam
hati sambil menekan dadanya yang terasa sakit dengan telapak tangan kanannya,
“Luka dalam dadaku sudah tidak terasa sakit lagi ketika Ki Tanpa Aran tadi pagi
memberiku minum dari lodong bambunya, namun kini terasa sakit lagi.”
Menyadari Bango Lamatan
sudah terbebas dari pengaruh Aji Seribu Bunganya, Anjani segera bergeser surut
untuk mempersiapkan diri jika terjadi perubahan sikap Bango Lamatan terhadap
dirinya.
“Ki Tanpa Aran tadi sudah
memperingatkan aku bahwa di Tegal Kepanasan banyak berkeliaran para penjahat
dan orang-orang yang bermaksud jahat terhadap cucunya,” berkata Anjani dalam
hati sambil bergeser setapak lagi ke belakang, “Mungkin yang dimaksud Ki Tanpa
Aran salah satunya adalah orang ini.”
“Ngger,” berkata Ki Tanpa
Aran kepadanya pagi tadi, “Angger harus waspada pada saat nanti menginjakkan
kaki di Tegal Kepanasan. Banyak orang-orang jahat yang menginginkan kayu
gung susuhing angin itu
dari tangan cucuku. Maka berhati-hatilah ngger.”
Demikianlah, pada saat
Anjani mulai mendaki lereng pebukitan Menoreh pagi tadi, secara perlahan tapi
pasti Anjani telah mengetrapkan Aji Seribu Bunga untuk menjaga segala
kemungkinan yang bisa terjadi.
“Tidak menutup kemungkinan
aku akan menghadapi rintangan lebih dari seorang,” berkata Anjani dalam hati
sambil mendaki Perbukitan Menoreh pagi tadi.
Dalam pada itu, Bango
Lamatan yang sudah benar-benar menyadari jati dirinya segera bersiap. Katanya
kemudian, “Luar biasa. Agaknya engkau memiliki sejenis ilmu sihir yang dapat
mempengaruhi daya penalaran seseorang. Untunglah Sang Begawan telah menolong
aku. Sekarang engkau harus ikut aku menghadap Sang Begawan untuk menjadi tumbal
menemani Pangeran Pati Mataram yang juga akan aku bunuh siang ini.”
Selesai berkata demikian,
tanpa sadar Bango Lamatan mendongakkan kepalanya untuk melihat ke langit.
Ternyata Matahari sedang bersinar dengan garangnya tepat di atas ubun-ubun.
“Pangeran Pati itu!” seru
Bango Lamatan begitu menyadari Matahari telah mencapai puncaknya. Dengan segera
dia berbalik dan berlari menuju ke Tegal Kepanasan kembali. Tidak dihiraukan
lagi Anjani yang sedang berdiri terheran-heran melihat segala tingkah polahnya.
Sejenak kemudian Bango
lamatan yang sudah sampai di Tegal Kepanasan itu dengan pandangan mata yang
nanar segera mencari bayangan seseorang. Begawan Cipta Hening telah memberitahu
dirinya bahwa Pangeran Pati itu akan lewat di tempat itu tepat saat Matahari di
atas ubun-ubun.
“Itu dia!” seru Bango
Lamatan dengan geram ketika melihat seorang anak muda berjalan dengan tegap dan
gagah melintasi gerumbul dan semak belukar menuju ke Tegal Kepanasan.
Dengan beberapa kali
loncatan saja Bango Lamatan telah berdiri dengan kedua kaki renggang di
tengah-tengah Tegal Kepanasan. Dengan bertolak pinggang, Bango Lamatan pun
kemudian berseru keras, “Kemarilah Raden! Aku sudah menunggu Raden sedari
Matahari terbit pagi tadi.”
Pemuda yang sedang
berjalan menuju Tegal Kepanasan itu memang Raden Mas Rangsang, Pangeran Pati
Mataram. Tanpa ada rasa kecurigaan sama sekali, Putra Mahkota itu tetap
mengayunkan langkahnya mendekati tempat Bango Lamatan berdiri menunggu.
Berdesir dada Bango
lamatan begitu melihat tatapan mata Raden Mas Rangsang yang seolah berkilat
menyala walaupun dalam terik sinar Matahari. Degup jantung orang kepercayaan
Panembahan Cahya warastra itu semakin lama semakin kencang seiring dengan
langkan Raden Mas Rangsang yang semakin dekat.
Ketika langkah Raden Mas
Rangsang tinggal enam langkah dari tempat Bango Lamatan berdiri, Pangeran Pati
Mataram itu pun menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke arah orang
yang berdiri di hadapannya, Raden Mas Rangsang itu pun kemudian berkata, “Ki
Sanak, aku secara pribadi belum mengenal Ki Sanak. Kalau bukan karena suatu hal
yang sangat penting, tentu Ki Sanak tidak akan bersusah payah menungguku untuk
sekian lama di tengah Tegal Kepanasan ini.”
Bango Lamatan tertawa
pendek. Jawabnya kemudian, “Raden benar. Sudah sejak dini hari tadi aku
menunggu Raden di tempat ini. Bersiaplah Raden, aku tidak boleh terlambat lagi.
Aku tidak ingin Sang Begawan menunggu terlalu lama. Nasib Panembahan Cahya
Warastra menjadi taruhannya.”
Raden Mas Rangsang
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak mengerti arah
pembicaraan orang yang berdiri di hadapannya itu. Bahkan namanya pun di belum
tahu.
“Sebentar Ki Sanak,”
berkata Raden Mas Rangsang kemudian, “Aku tidak mengerti apa yang sedang Ki
Sanak bicarakan. Bahkan Ki Sanak pun belum memperkenalkan diri.”
Beberapa saat Bango
Lamatan tertegun. Memang karena ketergesa-gesaannya, dia belum sempat
memberitahukan namanya. Namun sebenarnya semua basa-basi itu bagi Bango Lamatan
tidak penting. Tujuannya hanya satu, membunuh Putra Mahkota Mataram itu dan
menyerahkan jasadnya kepada Begawan Cipta Hening.
“Raden,” berkata
Bango Lamatan pada akhirnya, “Memang sebaiknya Raden mengetahui keadaan yang
sebenarnya sebelum maut menjemput Raden. Ketahuilah Raden, aku Bango Lamatan
orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra akan membunuh Raden sekarang juga
di tengah Tegal Kepanasan ini sebagai persyaratan yang diminta oleh Sang Begawan
untuk menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra.”
Tampak kerut merut semakin
dalam di kening Pangeran Pati Mataram itu. Namun lambat laun kerut merut itu
memudar seiring dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya.
“Ki Bango Lamatan,” berkata
Raden Mas Rangsang kemudian sambil tetap tersenyum, “Apakah sambil menunggu
kedatanganku tadi Ki Bango Lamatan sempat menghabiskan berlodong-lodong tuak?
Agaknya Ki Bango Lamatan kurang menyadari dengan apa yang telah Ki Bango
ucapkan sendiri. Sebaiknya Ki Bango Lamatan beristirahat saja untuk menenangkan
pikiran dan memulihkan kesadaran. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku akan
meneruskan perjalananku.”
“Persetan dengan celotehmu
Raden!” bentak Bango Lamatan menggelegar bagaikan guruh di langit, “Raden
sangka aku sedang mabok tuak? Tidak Raden, aku sedang bersungguh-sungguh. Lebih
baik Raden segera mempersiapkan diri. Bukan salahku jika pada benturan yang
pertama Raden dengan sangat mudahnya akan aku lumpuhkan.”
Memerah darah wajah
Pangeran Pati itu. Dengan suara sedikit keras dia berkata, “Ki Bango Lamatan,
aku merasa di antara kita tidak pernah terjadi silang sengketa. Jadi, apakah
sebenarnya niat dibalik semua sandiwara Ki Bango Lamatan ini?”
Bango Lamatan tertawa
pendek. Jawabnya kemudian, “Seperti yang sudah aku katakan. Nyawa Raden akan
menjadi tumbal sebagai pengganti nyawa Panembahan Cahya Warastra. Melawan atau
tidak melawan, aku akan tetap membunuh Raden.”
Kini raden Mas Rangsang
menyadari sepenuhnya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itu tidak sedang
mabok tuak, tetapi benar-benar akan membunuhnya. Tanpa menarik perhatian, Raden
Mas Rangsang pun segera mempersiapkan diri.
“Ki Bango Lamatan,”
berkata Raden Mas Rangsang kemudian masih mencoba mencari jalan keluar, “Apakah
mungkin seseorang yang sudah mati itu dapat dihidupkan lagi dengan cara
membunuh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya? Dan selebihnya, aku
belum pernah mendengar ada sebuah ilmu yang dapat menghidupkan orang yang sudah
mati.”
Kembali Bango Lamatan
tertawa. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Raden. Di sebuah goa yang terletak di
puncak tertinggi bukit Menoreh ini, tinggal seorang Begawan Sakti yang
menguasai ilmu sulih nyawa. Sang Begawan telah berjanji untuk menukar nyawa
Raden dengan kehidupan Panembahan Cahya Warastra.”
Berdesir jantung Raden Mas
Rangsang mendengar keterangan Bango Lamatan. Betapapun juga kata-kata orang
kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sedikit banyak telah menggetarkan
dadanya.
“Nah, Raden! Jangan merajuk.
Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari esok pagi!”
Selesai berkata demikian,
Bango Lamatan pun segera melancarkan serangannya. Dengan sebuah loncatan
panjang, kaki kirinya lurus meluncur deras mengarah ke dada Raden Mas Rangsang
yang berdiri beberapa tombak di hadapannya.
Raden Mas Rangsang yang
telah mempersiapkan diri sebelumnya segera menggeser kedudukannya selangkah ke
kiri. Ketika kaki kiri lawannya yang terjulur lurus itu lewat sejengkal dari
dadanya, kedua tangan Raden Mas Rangsang itu pun telah berusaha menangkap
pergelangan kaki lawannya.
Bango Lamatan yang sudah
kenyang makan asam garamnya pertempuran itu segera menggeliat di udara sambil
menarik kakinya yang terjulur lurus. Demikian kaki kirinya itu berhasil
ditarik, sebagai gantinya tangan kanan Bango Lamatan terayun deras memukul
tenguk.
Tentu saja perawis tahta
Mataram itu tidak akan membiarkan tenguknya patah terkena sambaran serangan
lawan. Dengan sedikit merundukkan kepalanya, tangan kanan Raden Mas Rangsang
yang justru telah mengancam ulu hati Bango Lamatan.
Demikianlah sejenak
kemudian pertempuran di Tegal Kepanasan itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Walaupun Raden Mas Rangsang masih terhitung sangat muda, namun
kemampuan olah kanuragan serta kekuatannya benar-benar ngedab-edabi. Ketika
sesekali terjadi benturan yang tak terelakkan antara keduanya, Bango Lamatan
benar-benar dibuat terkejut bukan alang-kepalang. Kekuatan Pangeran Pati
Mataram itu benar-benar setara dengan kekuatan seekor banteng
ketaton.
Dalam pada itu Matahari
telah sejengkal tergelincir dari puncaknya. Sinarnya yang masih garang telah
membakar Tegal Kepanasan, namun kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu
benar-benar sudah tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan dua
ekor singa yang sedang berlaga mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati.
Namun Bango Lamatan adalah
tokoh angkatan tua yang jauh lebih berpengalaman dari pada Raden Mas Rangsang.
Penggunaan nalar serta perhitungannya lebih matang dari lawannya yang masih
muda, sehingga lambat laun keadaan pewaris tahta Mataram itu sedikit demi
sedikit terlihat mulai terdesak.
“Raden,” berkata Bango
Lamatan kemudian sambil terus melancarkan serangan mendesak lawannya, “Lebih
baik Raden menyerah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Raden di saat-saat
terakhir Raden.”
“Diam!” bentak Raden Mas
Rangsang sambil menloncat mundur beberapa tombak.
Melihat lawannya mengambil
jarak, Bango Lamatan tidak mengejar. Dia justru berdiri tegak di atas kedua
kakinya yang renggang sambil tertawa berkepanjangan.
“Sudahlah Raden. Tidak ada
gunanya. Menyerahlah!” berkata Bango Lamatan kemudian masih sambil tertawa.
Namun suara tertawa Bango
Lamatan itu tiba-tiba saja terputus begitu dia menyadari ada sesuatu yang tidak
wajar sedang terjadi pada diri lawannya. Tampak sebuah asap tipis
kemerah-merahan mengepul dari ubun-ubun Putra Mahkota itu. Sementara dari kedua
bola matanya yang sedang memandang tajam kearahnya, muncul selarik sinar
kebiru-biruan bagaikan mata seekor kucing yang bersinar dalam gelap.
“Sebuah pertanda telah
menyatunya wahyu keprabon dalam diri anak muda ini,” berkata Bango Lamatan
dalam hati dengan jantung yang berdegup semakin kencang.
“Ki Bango Lamatan!”
terdengar Pangeran Pati itu menggeram membuyarkan lamunan lawannya, “Atas nama
pemerintah Mataram, menyerahlah! Aku akan mengusahakan keringanan hukuman di
hadapan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati jika engkau menyerah dengan baik-baik.
Namun kalau engkau tetap bersikukuh ingin membunuhku, jangan salahkan aku kalau
petualangan seorang Bango Lamatan akan berakhir di Tegal Kepanasan ini.”
“Ah,”
Bango Lamatan tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jangan bermimpi Raden, hari
masih terlalu siang untuk bermimpi. Sebaiknya Raden menyerah saja secara
baik-baik agar urusan ini segera selesai.”
Raden
Mas Rangsang tidak menjawab. Dengan sebuah bentakan yang menggelegar, Pangeran
Pati Mataram itu pun tiba-tiba telah meloncat dengan kecepatan yang sukar
diikuti oleh pandangan mata wadag menerjang ke arah lawannya.
Sekali
ini bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan buatan. Kecepatan gerak
lawannya bagaikan tatit yang meloncat di udara. Disertai dengan suara angin
yang menderu kencang, serangan Raden Mas Rangsang pun melanda Bango Lamatan.
Tidak
ada kesempatan bagi Bango Lamatan untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya
kemudian adalah menyilangkan kedua lengannya di depan dada disertai dengan
pengerahan tenaga cadangan setinggi-tingginya untuk menahan gempuran ilmu
lawannya.
Sejenak
kemudian terdengar benturan yang dahsyat. Bumi seolah-olah ikut terguncang.
Kedua orang yang menyabung nyawa itu sama-sama telah terlempar ke belakangan
beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.
“Setan,
Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil meloncat berdiri. Rongga dadanya
terasa sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat.
Sedangkan
Raden Mas Rangsang ternyata telah mengalami goncangan yang membuat dadanya
bagaikan retak. Ketika Putra Mahkota itu kemudian mencoba bangkit berdiri,
sejenak dia terhuyung-huyung namun dengan cepat segera dapat menguasai diri dan
kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
“Aji
Bajrageni,” geram Bango Lamatan dalam hati. Aji Bajrageni adalah salah satu
dari sekian aji jaya kawijayan yang
dimiliki oleh Sultan Trenggana penguasa Demak lama. Agaknya aji itu telah
diwariskan kepada Mas Karebet, anak menantunya yang kemudian menjadi Sultan
Pajang. Tidak menutup kemungkinan bahwa Sultan Hadiwijaya pun kemudian juga
mewariskan ilmu itu kepada anak angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang
kemudian berkuasa di Mataram.
“Anak
ini masih sangat muda namun sudah mampu menguasai Aji Bajrageni sedemikian
dahsyatnya,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Jika di kelak kemudian hari dia
berhasil mematangkan ilmunya ini, dia benar-benar akan mampu menggulung jagad.”
Dalam
pada itu, Raden Mas Rangsang yang telah mampu memperbaiki kedudukannya segera
menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa
berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari tebing yang curam. Setelah
sejenak memulihkan kekuatannya, Raden Mas Rangsang pun telah siap melancarkan
serangannya kembali.
Bango
Lamatan yang melihat lawannya telah siap melancarkan serangannya kembali segera
mengambil sikap. Dia tidak ingin terlambat lagi dan gagal memenuhi permintaan
Begawan Cipta Hening.
Demikianlah
ketika Raden Mas Rangsang telah siap dengan serangannya kembali, tiba-tiba saja
dia telah dikejutkan oleh keberadaan lawannya yang tiba-tiba saja telah lenyap
dari pandangan matanya.
“He!
Pengecut!” teriak Raden Mas Rangsang dengan jantung yang berdebaran, “Jangan
seperti kanak-kanak yang senang bermain petak umpet!”
Bango
Lamatan tertawa berkepanjangan mendengar teriakan lawannya. Suara tawanya
terdengar bergema memenuhi Tegal Kepanasan sehingga menyulitkan Raden Mas
Rangsang untuk melacak keberadaannya.
“Silahkan
Raden menemukan persembunyianku,” terdengar suara Bango Lamatan
bergulung-gulung memenuhi tempat itu, “Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh
Raden sekarang ini. Dengan sebuah serangan yang sederhana pun Raden tidak akan
mampu menghindarinya.”
Raden
Mas Rangsang menggeram marah. Dicobanya mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, Sapta
Pandulu bahkan Sapta Pangganda untuk mencari keberadaan lawannya. Namun usaha
Pangeran Mataram ini tampaknya sia-sia.
Kembali
terdengar suara tertawa Bango Lamatan yang menggelegar dan bergulung-gulung
memenuhi udara Tegal Kepanasan. Terdengar suaranya di antara tawa yang
berkepanjangan, “Raden, menyerahlah! Aku akan menangkapmu hidup-hidup dan tentu
Begawan Cipta Hening akan lebih senang jika dapat mengetrapkan ilmu sulih
nyawanya ketika Raden masih dalam keadaan hidup. Dengan demikian Panembahan
Cahya Warastra akan kembali hidup dengan sempurna.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Pangeran Pati Mataram itu dengan suara tak kalah dahsyatnya.
Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dengan kekuatan penuh Aji Bajrageni. Namun
alangkah kecewanya Raden Mas Rangsang begitu menyadari serangannya hanya
mengenai tempat kosong. Justru tanah serta rerumputan liar yang segaris dengan
serangan Aji Bajrageni itu bagaikan meledak dan berhamburan ke udara.
Butiran-butiran tanah serta rumput-rumput liar itu pun hancur menjadi abu
terkena kedahsyatan puncak Aji Bajrageni.
“Gila!”
geram Bango Lamatan tanpa sadar begitu melihat akibat dari kekuatan
puncak Aji Bajrageni, “Ternyata pada kekuatan puncaknya Aji Bajrageni itu mampu
membakar sasarannya menjadi abu. Aku tidak menyangka kalau Putra Mahkota yang
masih muda itu ternyata telah tuntas mempelajarinya.”
Diam-diam
Bango Lamatan tergetar hatinya. Pada benturan pertama tadi ternyata Raden Mas
Rangsang masih belum sampai ke puncak ilmunya.
Dalam
pada itu Raden mas Rangsang yang merasa dipermainkan oleh lawannya menjadi
semakin marah. Sudah dicobanya untuk mendengar setiap desir langkah lawannya
melalui Aji Sapta Pangrungu, atau bayangan sekilas yang mungkin dapat
tertangkap oleh Aji Sapta Pandulu, bahkan telah dicobanya pula untuk
mengetrapkan Aji Sapta Pangganda barangkali indra penciumannya dapat mengendus
bau keringat yang keluar dari tubuh lawannya. Namun semua usahanya itu
tampaknya sia-sia. Bango Lamatan benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi.
Tidak
ada jalan lain bagi Raden Mas Rangsang selain meningkatkan ilmu yang khusus
untuk memperkuat pertahanan diri. Serangan lawan dapat terjadi sewaktu-waktu
dan dari arah yang mungkin sangat tidak terduga.
“Nah,
Raden,” terdengar suara Bango Lamatan kembali bergaung, “Sekarang giliranku
untuk mencoba sampai di mana kekuatan pertahanan Raden.”
Berdesir
dada Pangeran Pati Mataram itu. Namun sebelum dia sempat memikirkan kemungkinan
dari arah mana datangnya serangan lawan, tiba-tiba saja sebuah serangan yang
dahsyat telah melanda punggungnya.
Untunglah
Raden Mas Rangsang telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membentengi
diri dengan Aji Tameng Waja, sebuah aji yang pernah menggegerkan Kerajaan Demak
lama, dimana pada waktu itu Sultan Trenggana masih bertahta.
Yang
terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Punggung Raden Mas
Rangsang bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan yang runtuh. Untunglah
pangeran Pati Mataram itu sebelumnya telah membentengi dirinya denga Aji Tameng
Waja, jika tidak mungkin punggungnya telah hancur terkena serangan Bango
Lamatan.
Namun
kekuatan serangan Bango Lamtan memang dahsyat tiada taranya. Tubuh Raden Mas
Rangsang pun terlempar beberapa langkah ke depan sebelum akhirnya jatuh
tersungkur di atas tanah tak sadarkan diri.
Sementara
Bango Lamatan yang sudah pernah merasakan kekuatan Pangeran Pati Mataram itu
masih saja terkejut. Rasa-rasanya ilmunya telah membentur sebuah dinding yang
terbuat dari baja setebal satu jengkal. Sebuah kekuatan yang dahsyat pun
telah berbalik menghantam dirinya.
“Anak
iblis!” umpat Bango Lamatan sambil bergulingan di atas tanah. Kekuatan aji
Tameng Waja itu ternyata telah melemparkannya beberapa langkah ke belakang dan
membuatnya jatuh bergulingan. Pandangan matanya sejenak menjadi gelap dan dunia
terasa berputar. Namun ketahanan tubuh Bango Lamatan yang luar biasa telah
membuatnya tetap sadarkan diri.
Untuk
sejenak Bango Lamatan masih terbujur diam di atas tanah dengan kedua mata
terpejam untuk mengembalikan keseimbangan nalar dan budinya. Dengan demikian
pengetrapan Aji Halimunan Bango Lamatan menjadi terganggu seiring dengan
benturan dahsyat yang baru saja dialaminya. Perlahan-lahan ujud Bango Lamatan
pun kemudian menjadi kasat mata dan dapat dikenali kembali oleh pandangan mata
wadag.
Ketika
terasa dunia sudah tidak berputar lagi, dengan perlahan perlahan Bango Lamatan
membuka kedua matanya dan mencoba untuk bangkit berdiri. Namun alangkah
terkejutnya Bango Lamatan, ketika dia baru saja tegak di atas kedua kakinya
yang renggang, seseorang tampak telah berdiri beberapa langkah di hadapannya
membelakangi Raden Mas Rangsang yang tergeletak tak sadarkan diri.
“Anjani,”
desah Bango Lamatan dengan dada yang berdebaran sambil cepat-cepat melemparkan
pandangan matanya ke titik-titik di kejauhan. Ada sebuah keseganan yang
membuatnya takut untuk menatap langsung sepasang mata yang indah bak bintang
timur itu.
“Terima
kasih engkau masih mengingatku, Ki Bango Lamatan,” berkata Anjani sambil
menebarkan senyum, “Ternyata Kakek Tanpa Aran yang meminta pertolonganku tadi
pagi benar. Banyak orang jahat yang ingin mencederai cucunya. Aku yakin salah
satunya adalah engkau Ki Bango Lamatan.”
Bango
Lamatan mengerutkan keningnya. Sekilas pandangan matanya menyambar sesosok
tubuh indah semampai yang berdiri menantang hanya beberapa langkah saja di
hadapannya. Dan untuk ke sekian kalinya, Bango Lamatan harus dengan susah
payah mengendalikan jantungnya yang melonjak-lonjak.
“Anjani,”
berkata Bango Lamatan kemudian tanpa berani menentang pandang seraut wajah yang
dapat menjerumuskannya ke dalam pusaran hasrat yang tak terkendali, “Aku tidak
kenal orang yang engkau sebut kakek atau Ki Tanpa Aran itu. Aku juga tidak
mengenal cucunya. Aku harap engkau tidak mencampuri urusanku. Aku akan membawa
Pangeran Pati Mataram itu ke hadapan Begawan Cipta Hening sekarang juga.”
Beberapa
saat tadi dari pinggir Tegal Kepanasan diam-diam Anjani sudah menyaksikan
kedahsyatan ilmu Bango Lamatan itu. Namun kali ini Anjani sudah tidak terkejut
lagi. Justru dengan menghilangnya Bango Lamatan dari pandangan matanya, Anjani
segera mengetrapkan Aji Seribu Bunga sampai ke puncak.
Sejenak
kemudian udara di Tegal Kepanasan itu pun segera dipenuhi oleh bau harum
semerbak mewangi yang memabokkan. Burung-burung yang sedang terbang melintas
serta binatang-binatang lain yang sempat mencium bau memabokkan itu telah
menggelepar-gelepar dan berusaha keluar dari arena Tegal Kepanasan yang berubah
menjadi medan yang menggerikan. Sementara Bango Lamatan yang bersembunyi dengan
Ilmu Halimunannya sedang berjuang dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan
pemusatan nalar dan budinya agar pengetrapan Ilmu Halimunanya tidak
terpengaruh.
Namun
serangan pada indra penciumannya itu memang sangat dahsyat. Bau semerbak
mewangi itu dengan sangat tajamnya telah merasuk ke dalam syaraf indra
penciumannya dan perlahan tetapi pasti mulai mempengaruhi syaraf-syaraf yang
berada di dalam otaknya.
“Gila!”
teriak Bango lamatan sambil meloncat mundur mengambil jarak. Namun bau semerbak
mewangi yang memabokkan itu semakin menyengat syaraf indra penciumannya dan
perlahan tapi pasti merajam otaknya sehingga mempengaruhi daya penalarannya.
“Setan,
Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan tak habis-habisnya. Tubuhnya menggigil
seperti orang kedinginan. Dengan segera disilangkan kedua tangannya di depan
dada sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Dengan sekuat tenaga Bango lamatan
mencoba melawan pengaruh Aji Seribu Bunga itu dengan kekuatan batinnya.
Namun batin Bango
Lamatan tidaklah sebening air di dalam sebuah belanga yang tenang. Batin Bango
Lamtan penuh dengan noda-noda seiring dengan perjalanan hidupnya yang kelam.
Sehingga perlawanan batin Bango Lamatan pun menjadi sia-sia. Sejalan dengan
daya penalarannya yang semakin buram, pengaruh Aji Halimunannya pun semakin
melemah, sehingga sejenak kemudian tubuh Bango lamatan yang semula tidak kasat
mata, perlahan-lahan mulai muncul beberapa langkah di samping kanan Anjani.
Anjani tersenyum puas.
Ternyata pengaruh aji seribu bunga itu sedemikian dahsyatnya sehingga orang
setangguh Bango Lamatan pun dibuat tak berdaya.
“Ki Bango Lamatan,” desah
Anjani perlahan sekali namun cukup membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya
Warastra itu mengangkat kepalanya, “Apakah Ki Bango Lamatan akan tetap
bersikukuh membawa anak muda ini? ataukah Ki Bango Lamatan mempunyai keinginan
yang lain?”
Selesai berkata demikian,
dengan langkah yang lemah gemulai Anjani berjalan mendekat sambil melemparkan
sebuah senyuman yang manis, bahkan teramat manis sehingga membuat Bango Lamatan lali
ing purwa duk sina.
“Hem,” geram Bango Lamatan
sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada. Sementara matanya yang
membelalak kemerahan dengan nanar menatap sesosok tubuh yang meliuk-liuk indah
gemulai berjalan setapak demi setapak mendekat ke arahnya.
“Anjani.. oh..Anjani!”
geram Bango Lamatan dengan dada yang hampir meledak. Dia benar-benar sudah
tidak mampu mengendalikan gejolak di dalam dadanya. Dengan gerakan seperti
seekor monyet yang sedang marah, dia meloncat dan menubruk Anjani yang tinggal
berjarak dua langkah saja di depannya.
Anjani yang menyadari
Bango lamatan telah tenggelam dalam pengaruh Aji Seribu Bunga segera bergeser
setapak ke samping. Dengan sedikit menggeliatkan pinggangnya yang ramping, tubrukan
Bango Lamatan hanya lewat sejengkal dari tubuhnya.
“Anjani..oh Anjani..!”
kembali Bango Lamatan menggeram seperti seekor beruang, “Jangan lari …ikutlah
denganku. Anjani. Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu.. sayangku..!”
Dengan gerakan yang simpang
siur bagaikan orang yang sedang mabok tuak, kembali Bango Lamatan berusaha
merangkul Anjani yang tersenyum manis hanya selangkah di hadapannya. Namun
sekali lagi Bango Lamatan harus berseru kecewa karena dengan gerakan yang indah
dan gemulai, Anjani mengangkat kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi sambil
meliukkan tubuhnya ke samping. Gerakan yang indah ini membuat jantung Bango
Lamatan bagaikan terlepas dari tangkainya.
Anjani benar-benar
menikmati permainannya. Lawan setangguh Bango Lamatan itu dibuatnya tak
berdaya. Apa yang dilakukan Bango Lamatan tak ubahnya seperti kanak-kanak yang
sedang berlari-larian kesana kemari berebut mainan.
Ketika Anjani sedang sibuk
mempermainkan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu, tanpa
disadarinya seseorang sedang memperhatikan semua peristiwa yang sedang terjadi
itu dari tepi Tegal Kepanasan. Seseorang yang sudah sangat tua dengan sebuah
lodong bambu yang tersangkut di pundaknya.
“Aji seribu bunga memang
mempunyai pengaruh yang dahsyat bagi mereka yang tidak mempunyai pribadi yang
kuat,” berkata orang itu perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya
sendiri, “Beberapa orang memang menganggap aji itu berasal dari sisi gelap
kehidupan manusia. Namun sesungguhnya semua ilmu itu tergantung pada pengetrapnya
dan niat baik yang melambarinya.”
Untuk beberapa saat orang
itu masih memperhatikan kejadian yang berlangsung di tengah Tegal Kepanasan
dengan kening yang berkerut-merut. Namun akhirnya sambil menarik nafas
dalam-dalam orang itu pun kemudian melangkah mendekat memasuki Tegal Kepanasan.
“Harus segera dihentikan,”
berkata orang itu dalam hati sambil terus mengayunkan langkahnya, “Betapapun
jahatnya seseorang, namun sebaiknya perlakuan kesewenang-wenangan terhadap
dirinya pun tidak boleh dibiarkan.”
Ketika jarak orang tua itu
tinggal beberapa langkah lagi, dengan suara yang sareh dia segera berseru,
“Angger Anjani, hentikanlah permainan ini. Sudah cukup angger membuat Ki Bango
Lamatan dalam kesulitan.”
Anjani yang sedang
asyik menikmati permainannya itu terkejut. Seruan itu tidak begitu keras namun
cukup menghentak isi dadanya. Dengan cepat dia segera meloncat surut sambil
mencoba memperhatikan dari arah mana datangnya seruan itu.
Namun agaknya Bango
Lamatan merasa terganggu dengan kedatangan orang tua itu. Dengan menggeram
marah dia segera berbalik sambil membentak, “He! Siapakah yang berani menggangu
kesenangan Bango Lamatan?”
Orang tua itu tersenyum
sareh. Jawabnya kemudian, “Ki Bango Lamatan, tidak ada niat sebiji sawi pun di
dalam dadaku untuk mengganggu kesenanganmu, namun aku justru ingin menghentikan
permainan yang sudah tidak pada tempatnya ini. Marilah kita selesaikan setiap
persoalan yang terjadi di antara kita dengan duduk bersama serta dilambari
dengan niat yang tulus.”
“Omong kosong!” kembali
Bango Lamatan membentak sambil meloncat menerjang ke arah orang tua itu,
“Enyahlah engkau orang tua!”
Orang tua itu ternyata
tidak menjadi gugup atau ketakutan mendapat serangan dari orang kepercayaan
Panembahan Cahya Warastra itu. Bahkan dengan tenangnya dia mengangkat tangan
kanannya ke depan dengan telapak tangan terbuka, mengarah dada Bango Lamatan
yang sedang menerjang ke arahnya.
Yang terjadi kemudian
adalah sebuah benturan yang dahsyat. Segumpal asap tipis tampak meluncur dari
telapak tangan orang tua itu dan menerjang dada Bango Lamatan.
Tidak ada sebuah teriakan
atau pun keluhan tertahan yang keluar dari mulut Bango Lamatan. Tubuhnya
terlempar beberapa langkah ke belakang kemudian jatuh terhempas dengan derasnya
di atas tanah yang berdebu tak sadarkan diri.
“Kakek?” seru Anjani
dengan terheran-heran. Dia sama sekali tidak menyangka jika orang tua yang
dikenalnya sebagai Kakek Tanpa Aran itu ternyata mempunyai kemampuan yang
nggegirisi.
“Sudahlah ngger,” berkata
Kakek Tanpa Aran kemudian sambil melangkah mendekati tempat Raden Mas Rangsang
tergeletak, “Biarlah aku membantu menyadarkan Putra Mahkota Mataram ini
terlebih dahulu. Sementara engkau dapat mengurai Ilmu Sasra Kembangmu karena
sudah tidak diperlukan lagi.”
Sejenak Anjani bagaikan
membeku di tempatnya. Berbagai perasaan bergejolak di dalam dadanya. Ada
perasaan marah, heran juga bercampur kagum terhadap orang tua itu. Namun yang
pasti Anjani segera mengikuti saran Kakek Tanpa Aran untuk mengurai pemusatan
nalar dan budinya dalam mengetrapkan Aji Seribu Bunga. Sejenak kemudian udara
di Tegal Kepanasan pun kembali mengalir segar dan jernih.
“Kakek,” berkata Anjani
pada akhirnya begitu melihat Kakek itu berjongkok di sisi tubuh Raden Mas
Rangsang, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang Kakek lakukan? Dan
sepertinya aku telah menjadi salah satu korban permainan Kakek.”
Kakek itu tidak menjawab.
Dengan perlahan dia memijat bagian belakang leher Raden Mas Rangsang sambil
bibirnya bergetar memanjatkan doa.
Anjani yang merasa tidak
diperhatikan oleh Kakek itu menjadi marah. Katanya kemudian dengan sedikit
keras, “Aku tidak mengira, kakek Tanpa Aran yang aku jumpai pagi tadi ternyata
hanyalah seorang pembohong besar, seorang penipu. Aku menyesal telah berjanji
untuk menolong mencarikan cucunya di Tegal Kepanasan ini. Ternyata semua ini
adalah sebuah permainan yang memuakkan!”
Selesai berkata demikian
Anjani tanpa menoleh lagi dengan tergesa-gesa segera melangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu.
“Angger Anjani,” tiba-tiba
terdengar suara sareh di belakangnya, “Berhentilah sebentar. Putra Mahkota
Mataram ingin menyampaikan rasa terima kasih atas pertolongan angger
melindunginya dari niat jahat Ki Bango Lamatan.”
Sejenak langkah kaki
Anjani tertahan. Ketika dia kemudian membalikkan tubuhnya, tampak Raden Mas Rangsang
telah berdiri tegak di sebelah kakek Tanpa Aran.
Ketika tanpa sadar Anjani
memandang ke arah Pangeran Pati Mataram itu yang juga sedang memandang ke
arahnya. Dada Anjani pun telah berdesir tajam. Sepasang mata Putra Mahkota itu
begitu berwibawanya, begitu tenang bagaikan sebuah telaga yang jernih dan
dalam.
“Mbokayu,” terdengar suara
berat dan dalam meluncur dari bibir Raden Mas Rangsang, “Aku atas nama pribadi
dan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati sebagai penguasa Mataram, mengucapkan
beribu terima kasih atas kebaikan hatimu melindungi aku dari niat jahat Ki
Bango Lamatan. Jasa mBokayu Anjani sangat besar terhadap Mataram,” Pangeran
Pati itu sejenak berhenti. Lanjutnya kemudian, “Sebutlah sebuah permintaan,
atas nama Mataram aku akan memohonkan permintaan itu kepada Ayahanda Prabu.”
Anjani mengerutkan
keningnya. Disudut hatinya yang paling dalam ada sedikit ketersinggungan dengan
kata-kata Pangeran Pati itu. Namun dengan cepat dihapusnya kesan itu dari
wajahnya. Jawabnya kemudian, “Raden, bukan maksudku untuk mencari pamrih
pribadi. Aku tidak tahu bahwa yang aku lindungi dari maksud jahat Ki Bango
Lamatan adalah Putra Mahkota Mataram. Apa yang aku lakukan hanyalah menuruti
permintaan Kakek Tanpa Aran untuk menolong cucunya.”
Sekarang giliran Raden Mas
Rangsang yang mengerutkan kening. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Kakek Tanpa
Aran yang berdiri di sebelahnya.
Menyadari dirinya sedang
menjadi pusat pertanyaan, kakek Tanpa Aran pun kemudian tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Raden, semua yang aku
lakukan hanyalah menuruti sebuah perintah. Perintah dari seseorang yang tidak
mungkin aku tolak, karena orang itu sangat aku hormati dan sekaligus telah aku
anggap sebagai guruku.”
“Guru?” hampir bersamaan
Raden Mas Rangsang dan Anjani berseru keheranan.
“Siapakah guru kakek itu?”
tanpa sadar pertanyaan itu terloncat begitu saja dari bibir Anjani yang mungil.
Sejenak Kakek Tanpa Aran
itu termenung. Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah kakek itu menjawab,
“Aku tidak diperkenankan menyebut namanya. Lebih baik kita segera menghadap di
puncak tertinggi perbukitan Menoreh ini. Disanalah aku diperintahkan untuk
membawa kalian berdua menghadap.”
Sebuah desir tajam segera
saja menggores dada mereka berdua. Jantung keduanya pun menjadi berdebar debar.
Siapakah guru Kakek Tanpa Aran itu? Tentu seseorang yang telah mendapat karunia
dari Yang Maha Agung sehingga diijinkan untuk melihatjantraning jagad di masa mendatang.
“Marilah,” berkata Kakek
Tanpa Aran kemudian, “Matahari sudah tergelincir semakin jauh. Sebaiknya kita
segera menghadap.”
“Bagaimana dengan Ki Bango
Lamatan?” bertanya Raden Mas Rangsang dengan serta merta sambil menunjuk Bango
Lamatan yang masih tergeletak tak bergerak di atas tanah yang berdebu.
“Biarlah aku yang mendukungnya,”
jawab kakek Tanpa Aran sambil berjalan menghampiri ke tempat Bango Lamatan yang
terbaring diam, “Lebih baik kita membawa orang ini dalam keadaan tak sadarkan
diri agar tidak banyak membuat ulah.”
Raden Mas Rangsang yang
melihat Kakek itu membungkuk untuk mengangkat tubuh Bango Lamatan segera
berkata sambil berjalan mendekat, “Kakek, biarlah aku saja yang mendukung Ki
Bango Lamatan. Silahkan kakek berjalan di depan bersama mBokayu Anjani. Aku
akan menyusul kemudian.”
“Sudahlah Raden. Aku sudah
terbiasa dengan pekerjaan ini,” jawab Kakek Tanpa Aran sambil mengangkat tubuh
Bango Lamatan yang tinggi besar, “Silahkan Raden berjalan di depan dengan Ni
Anjani.”
Raden Mas Rangsang
mengurungkan langkahnya. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Anjani yang berdiri
beberapa langkah saja di sampingnya. Untuk sejenak Putra Mahkota Mataram itu
bagaikan terkesima. Sejak pandangan pertama tadi, terasa ada sesuatu yang
bergetar di rongga dadanya setiap kali pandangan matanya menatap seraut wajah
yang kecantikannya tidak kalah dengan putri-putri keraton.
Anjani yang menyadari
Putra Mataram itu sedikit canggung terhadap dirinya segera berusaha membuat
suasana menjadi sedikit cair. Maka katanya kemudian sambil mengangguk hormat
dan tersenyum kecil, “Marilah Raden. Jika Raden menghendaki, Raden dapat
berjalan di depan. Biarlah aku dan Kakek Tanpa Aran saja yang mengikuti Raden
dari belakang.”
“Ah, mengapa mesti
begitu?” bertanya Raden Mas Rangsang dengan wajah sedikit semburat memerah,
“Apakah mBokayu Anjani berkeberatan jika aku berjalan di samping mBokayu?”
“O, bukan begitu maksudku,
Raden,” jawab Anjani dengan serta merta sambil membungkukkan badan dalam-dalam,
“Adalah sangat deksura jika aku yang trah pidak
pedarakan ini berani
berjalan bersama Raden yang mempunyai trah kusuma rembesing madu.”
“Ah!” Raden Mas Rangsang
tertawa pendek, “Mengapa orang-orang masih merisaukan tentang trah dan
kedudukan? Jika aku terlahir tidak dari lingkungan istana dan hanya menjadi
anak seorang petani miskin, namun karena Yang Maha Agung menggariskan nasibku
untuk menduduki tahta, bagaimanakah pandangan orang tentang garis keturunanku?
Apakah aku tetap termasuk trah pidak pedarakan ataukah kemudian menjadi trahkusuma rembesing madu?”
Sejenak suasana menjadi
sunyi. Anjani tidak mampu menjawab pertanyaan Raden Mas Rangsang dan hanya
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara Kakek Tanpa Aran yang sudah
memanggul tubuh Bango Lamatan di pundak kanannya itu hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Sejarah memang telah membuktikan. Ken Arok, anak angkat seorang
penjudi yang kemudian setelah dewasa juga menjadi penyamun di Padang Karautan,
telah berhasil menaklukkan Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Singasari
yang kemudian bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Tidak ada yang tahu
asal usul Ken Arok yang sebenarnya, sehingga para Pujangga menulis dalam serat
dan kidung bahwa Ken Arok adalah keturunan Dewa.
“Raden benar,” akhirnya
kakek Tanpa Aran memberikan pendapatnya sambil berjalan mendekat,
“Semulia-mulianya seseorang di hadapan Yang Maha Agung adalah dinilai dari
ketaqwaannya, bukan kedudukan, keturunan ataupun kekayaan.”
Hampir bersamaan Raden Mas
Rangsang dan Anjani mengangguk-angguk.
“Sudahlah, marilah kita
segera berangkat,” berkata Kakek Tanpa Aran kemudian, “Kita sudah banyak kehilangan
waktu.”
Demikinlah, akhirnya
mereka bertiga pun berjalan beriringan. Namun Anjani masih merasa segan untuk
berjalan di samping Putra Mahkota itu sehingga dia memilih berjalan di samping
kiri kakek Tanpa Aran. Sementara Raden Mas Rangsang berjalan di samping kanan
kakek Tanpa Aran yang terlihat sama sekali tidak merasa berat memanggul tubuh
Bango Lamatan yang sedang tak sadarkan diri itu.
Dalam pada itu Matahari
semakin jauh tergelincir dari puncaknya. Namun sinarnya yang garang terasa
masih membakar Tegal Kepanasan. Beberapa binatang melata tampak berusaha
berlindung dari terik Matahari dibawah naungan tanaman perdu yang hampir
mengering. Seekor lipan tampak menyusup di antara ilalang yang tumbuh rapat
berjajar-jajar di sekitar tegal kepanasan.
Sepeninggal tiga orang itu
dari tegal kepanasan, tampak di bawah rimbunan sebatang pohon yang tumbuh cukup
jauh dari Tegal Kepanasan, seseorang sedang berdiri sambil menyilangkan kedua
tangannya di depan dada.
“Hem,” desah orang itu
kemudian, “Kali ini nyawa penerus Mataram itu masih selamat. Tapi tunggulah
saatnya nanti, trah Sekar Seda Lepen akan kembali merajai tanah jawa. Ternyata
batin Bango Lamatan terlalu ringkih menghadapi seorang perempuan cantik. Aku
masih menghindari benturan langsung dengan orang dari Gunung Muria itu. Namun
jika waktunya telah tiba nanti, aku tidak akan segan-segan lagi untuk beradu
dada langsung dengan orang dari Gunung Muria itu.”
Selesai berkata demikian,
orang itu pun kemudian segera bergeser menjauh dan berjalan menuruni lereng
sebelah utara Pegunungan Menoreh. Dengan merunduk-runduk dia menyusup diantara
rimbunnya pepohonan dan akhirnya menghilang di dalam lebatnya hutan di lembah
perbukitan Menoreh.
Dalam pada itu, di gandhok
kanan kediaman Ki Gede Menoreh, di salah satu bilik yang digunakan untuk
merawat Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang sakit, tampak Ki Gede, Ki Jayaraga
dan Ki Waskita sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan yang
bersungguh-sungguh.
“Ki Waskita,” berkata Ki
Gede sambil membetulkan letak duduknya di sebuah dingklik kayu di samping
pembaringan Ki Rangga, “Apakah Ki Waskita mempunyai sedikit gambaran tentang
orang yang disebut Eyang Guru itu?”
Untuk sejenak Ki Waskita
berpaling ke arah Ki Rangga yang terbaring. Namun agaknya Ki Rangga pun tidak
dapat membantu Ki Waskita menjawab pertanyaan Ki Gede. Maka jawab Ki Waskita
kemudian, “Ki Gede, banyak orang sakti di tanah ini yang tersebar dari satu
ujung sampai ke ujung yang lain. Dalam petualanganku semasa masih muda dahulu,
memang banyak aku jumpai perguruan-perguruan yang memiliki ciri yang mirip
dengan kemampuan orang yang menyebut dirinya Eyang Guru itu. Namun biasanya,
perguruan-perguruan itu hanya menekuni salah satu kekuatan saja, misalnya
kekuatan angin, atau api. Sedangkan yang kita saksikan semalam adalah kekuatan
gabungan antara api dan angin. Kekuatan itu bersatu dalam ujud pusaran badai
yang dahsyat. Selama dalam petualanganku, aku belum pernah menjumpai ilmu
sejenis itu.”
“Barangkali Ki Jayaraga
pernah mengalaminya,” tiba-tiba Ki Rangga yang terbaring menyahut, “Bukankah
perguruan Ki Jayaraga juga berlandaskan pada kekuatan api, air dan udara?”
Untuk beberapa saat Ki
Jayaraga termenung. Berbagai kejadian di masa lalu bagaikan berlarian di dalam
benaknya. Kejadian di masa-masa muda memang penuh dengan gejolak dan gairah
dalam meraih masa depan. Kenangan di masa muda itu lah yang telah mengingatkan
Ki Jayaraga kepada seseorang.
“Tetapi itu tidak
mungkin,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Ilmu yang aku serap tidak mampu
menciptakan badai api sebagaimana cerita Ki Waskita tentang orang yang menyebut
dirinya Eyang Guru itu. Seandainya Guru sekalipun jika beliau masih hidup,
tidak akan mampu membuat pengeram-eram seperti itu.”
“Tetapi Guru mempunyai dua
orang saudara seperguruan,” kembali angan-angan Ki Jayaraga menelusuri masa
lalu, “Paman Sapu Angin dan Paman Sapu Geni mempunyai tataran kemampuan yang
tidak jauh dari kemampuan Guru. Tidak menutup kemungkinan dari kedua orang
itulah lahir sebuah ilmu yang nggegirisi.”
“Bagaimana Ki Jayaraga?”
pertanyaan Ki Waskita telah membangunkan Ki Jayaraga dari lamunan masa lalunya.
“Ah,” desah Ki Jayaraga
sambil menarik nafas dalam-dalam, “Perguruan kami adalah sebuah perguruan
kecil. Ilmu yang kami pelajari pun sangat terbatas. Kami tidak diajari untuk
membuat badai api sebagaimana cerita Ki Waskita tadi. Ilmu yang kami pelajari
hanyalah mengungkapkan kekuatan api, air dan udara untuk menjadi sebuah
kekuatan yang pada kenyataan tidak terlalu ngedab-edabi bagi segolongan orang
yang ilmunya telah mencapai tataran tinggi.”
“Ki Jayaraga terlalu
merendah,” sahut Ki Gede cepat sambil tersenyum, “Sekarang ini kita tidak
sedang menilai ilmu dari perguruan masing-masing. Namun yang sedang kita
bicarakan di sini adalah sumber ilmu dari orang yang menyebut dirinya Eyang
Guru itu, sehingga kita akan mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang orang
itu serta kekuatan yang mungkin berdiri di belakangnya.”
Mereka yang ada di dalam
bilik itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan mengetahui dari perguruan mana
orang itu berasal, sedikit banyak mereka akan mendapat gambaran tentang
kekuatan yang tersembunyi di belakangnya.
“Bukankah orang itu
datang bersama-sama dengan sisa-sisa murid Perguruan Nagaraga?” bertanya Ki
Rangga kemudian.
“Benar ngger,” jawab Ki
Waskita, “Selebihnya keris Kiai Sarpasri itu memang milik perguruan Nagaraga.
Beberapa orang murid terpercaya telah dikirim dengan berbekal keris Kiai
Sarpasri untuk membunuh Panembahan Senapati pada waktu itu.”
“Dan setiap kali keris itu
selalu dapat kembali kepada pemiliknya,” sahut Ki Jayaraga, “Aku tidak yakin
kalau keris itu benar-benar pusaka piyandel Perguruan Nagaraga. Aku lebih
cenderung menganggap keris pusaka itu hanya sebagai pinjaman atau sarana dari
pemilik keris itu untuk memutus trah Mataram. Seorang Wali yang waskita memang
telah meramalkan bahwa keturunan Ki Gede Pemanahan lah yang akan merajai Tanah
Jawa, bukan keturunan dari Demak atau pun Majapahit.”
Untuk beberapa saat
orang-orang yang berada di dalam bilik itu terdiam. Masing-masing hanyut dalam
kenangan masa lalu, masa-masa Demak masih berdiri tegak yang kemudian wahyu
keprabon itu justru telah bergeser ke Pajang, kepada seorang anak gembala dari
Tingkir.
“Sebenarnyalah Jaka
Tingkir itu bukan seorang gembala biasa,” berkata Ki Gede dalam hati, “Jaka
Tingkir yang bernama asli Mas Karebet itu adalah putra Ki Kebo Kenanga
yang merupakan trah Majapahit dari jalur Pangeran Handayaningrat. Namun agaknya
kedua trah itu kini telah tenggelam dalam arus jaman seiring dengan bersinarnya
trah Mataram.”
“Apakah tidak sebaiknya
kita memohon arahan kepada Ki Patih Mandaraka?” tiba-tiba Ki Waskita mengajukan
sebuah pertanyaan yang membangunkan semua orang yang ada di dalam bilik itu
dari lamunan masing-masing.
“Sebaiknya memang begitu,”
jawab Ki Gede, “Bukankah Ki Jayaraga dan Glagah Putih akan berangkat ke gunung
Tidar besuk pagi-pagi? Dengan demikian Ki Jayaraga dan Glagah Putih mempunyai
kesempatan untuk singgah di Mataram dan menghadap Ki Patih.”
“Kami memang sudah
merencanakan demikian Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Ki Patih Mandaraka
mempunyai pengalaman dan pandangan yang sangat luas. Semoga segera dapat
diketahui siapakah sebenarnya yang berdiri di belakang orang yang menyebut
dirinya Eyang Guru itu.”
“Demikian juga orang yang
mengaku mempunyai garis keturunan dengan Pangeran Sekar Seda Lepen,” sahut Ki
Gede, “Seingatku Pangeran Sekar Seda Lepen hanya mempunyai dua orang putra,
Arya Penangsang dan Arya Mataram.”
“Benar Ki Gede,” berkata
Ki Waskita, “Namun tidak menutup kemungkinan seseorang yang mempunyai garis
keturunan yang jauh ataupun bahkan tidak ada hubungan sama sekali telah mengaku
sebagai keturunan Sekar Seda Lepen.”
“Kemungkinan itu memang
ada,” sahut Ki Gede, “Aku masih ingat ketika terjadi pertempuran antara Mataram
dan Pajang. Pertempuran yang sebenarnya dari kedua belah pihak memang tidak
terjadi, namun para pengikut Kakang Panji yang mengaku masih keturunan
Majapahit telah menyerang pasukan Mataram pada waktu itu. Tidak ada seorang pun
yang dapat membuktikan bahwa Kakang Panji itu benar-benar keturunan Majapahit.”
Orang-orang yang berada di
dalam bilik itu mengangguk-anggukkan kepala. Segera saja Ki Rangga Agung Sedayu
teringat kepada Pangeran Ranapati, orang yang mengaku keturunan langsung dari
Panembahan Senapati.
“Menurut cerita Glagah
Putih dan Rara Wulan yang sempat bertemu dengan ibu kandung orang yang mengaku
Pangeran Ranapati itu, Panembahan Senapati yang pada saat itu masih muda juga
tidak pernah meninggalkan sebuah pertanda bahwa anak yang sedang dikandung Rara
Ambarasari pada waktu itu adalah keturunan Panembahan Senapati,” berkata Ki
Rangga dalam hati, “Walaupun Raden Sutawijaya pada saat itu telah memberikan
sebuah kenang-kenangan kepada Rara Ambarasari berupa sebuah lencana. Namun
lencana itu pun tidak akan dapat membuktikan sesuatu yang berhubungan dengan kisah
cinta mereka berdua.”
Sejenak suasana menjadi
sunyi. Masing-masing sedang tenggelam dalam kenangan masa lalu yang terasa
sangat indah untuk dikenang, namun tak jarang kenangan masa lalu itu pun terasa
sangat pahit dan menyesakkan dada.
“Ki Rangga,” berkata Ki
Gede kemudian memecah kesunyian, “Bagaimanakah sebenarnya perkembangan
kesehatan Ki Rangga akhir-akhir ini? Kami orang-orang tua ini kadang dihinggapi
rasa cemas yang berlebihan. Sedikit banyak kami memang sudah mengetahui tentang
usaha Ki Rangga untuk menekuni sebuah ilmu. Namun sejalan dengan laku yang
sedang Ki Rangga tempuh dalam mendalami ilmu itu, apakah tidak akan memperburuk
kesehatan Ki Rangga sendiri?”
Ki Rangga yang mendapat
pertanyaan dari Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu tidak segera
menjawab. Justru pandangan matanya mengarah kepada Ki Waskita yang duduk di
atas sebuah dingklik di ujung pembaringan.
Ki Waskita agaknya tanggap
atas maksud pandangan mata Ki Rangga. Maka katanya kemudian, “Ki Gede, menurut
pengamatan Kiai Sabda Dadi yang mengerti tentang pengobatan, sebenarnya lah
keadaan wadag Ki Rangga sudah tidak bermasalah. Adapun Ki Rangga keadaannya
masih tetap seperti ini adalah sebuah bentuk lelaku yang harus dijalaninya
dalam rangka menyempurnakan ilmu yang sedang ditekuninya. Bahkan nanti Ki
Rangga memerlukan waktu sepuluh hari sepuluh malam untuk tapa
ngebleng dan
sekaligus pati geni. Dalam sepuluh
hari sepuluh malam itu Ki Rangga tidak diperkenankan untuk makan dan minum
sebagaimana biasa, namun ada sejenis empon-empon dan reramuan khusus dalam
jumlah yang berbeda untuk setiap harinya.”
“Dari manakah kita akan
mendapatkan empon-empon dan reramuan khusus itu?” bertanya Ki Gede kemudian.
“Aku lah yang akan
menyiapkan segala uba rampe Ki Rangga selama menjalani lelaku nanti,”
jawab Ki Waskita.
Mereka yang hadir dalam
bilik itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sekarang menyadari,
mengapa Ki Rangga Agung Sedayu yang terlihat sudah cukup sehat itu masih senang
berbaring dan terlihat tidak berusaha untuk melakukan suatu kegiatan apa pun.
Ternyata semua itu adalah salah satu syarat dalam menjalani laku untuk
menyempurnakan sebuah ilmu yang nggegirisi, sebuah ilmu yang sudah sangat
jarang bahkan hampir tidak ada yang mampu menguasainya, Aji Pengangen-angen.
“Baiklah,” berkata Ki Gede
Menoreh kemudian sambil bangkit berdiri, “Sebaiknya kita memberi kesempatan Ki
Rangga untuk beristirahat.”
Hampir bersamaan
orang-orang tua itu pun segera mengikuti Ki Gede bangkit dari tempat duduknya.
“Beristirahatlah ngger,”
bisik Ki Waskita perlahan sambil menepuk pundak Ki Rangga sebelum meninggalkan
bilik, “Nanti menjelang sirep bocah, aku akan kembali ke bilik ini untuk
membicarakan sesuatu yang mungkin perlu angger ketahui.”
Sesuatu terasa berdesir di
dada Ki Rangga. Namun Ki Rangga tidak menjawab hanya kepalanya saja yang
terlihat terangguk kecil.
Sedangkan Ki Jayaraga dan
Ki Gede yang samar-samar mendengar bisikan Ki Waskita hanya dapat saling
memandang sambil menarik nafas dalam-dalam. Mereka berdua maklum, tentu Ki
Waskita akan membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu yang sedang
didalami Ki Rangga.
Sejenak kemudian, setelah
terlebih dahulu satu persatu menyalami Ki Rangga, orang-orang tua itu pun
segera keluar bilik dan meninggalkan Ki Rangga di dalam biliknya sendirian.
Dalam
pada itu di puncak tertinggi perbukitan Menoreh, di dalam sebuah goa yang
letaknya cukup tersembunyi, beberapa orang tampak sedang berkumpul menghadap
seseorang yang duduk di atas sebuah batu hitam yang terletak tepat di
tengah-tengah goa.Bersambung Ke Bagian 2
Komentar
Posting Komentar