Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3
Ketika gadis Sangkal Putung itu pada akhirnya
dipersunting oleh Agung Sedayu, adik Senapati Untara yang berkedudukan di Jati
Anom, Ki Sumangkar yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta setelah
peristiwa di lembah antara Merapi dan Merbabu, masih belum mampu menekan
sifat-sifat itu sampai ke dasarnya. Perbedaan pandangan hidup yang lebih
mengedepan-kan gelimang harta dan kemewahan bagi Sekar Mirah selalu menjadi
perdebatan yang tak berujung pangkal dalam keluarga baru itu. Namun seiring
dengan berlalunya waktu, kesabaran, ketekunan dan tentu saja keteladanan dalam
kebersahajaan hidup yang dicontohkan oleh suaminya lambat laun telah
mempengaruhi pandangan hidupnya.
Namun kini apa yang sedang terjadi ternyata telah
menyinggung harga dirinya sebagai seorang istri dan mengungkap kembali
sifat-sifat aslinya yang telah terpendam sekian lama. Justru disaat keluarganya
sedang menyambut kebahagiaan atas hadirnya buah hati yang telah mereka dambakan
selama bertahun-tahun, seorang perempuan lain telah hadir dalam kehidupan
suaminya. Penalaran Sekar Mirah pun menjadi goncang dan buram. Wataknya yang
keras dan tidak mau tersaingi oleh orang lain telah muncul kembali.
Demikianlah akhirnya, dengan mengerahkan tenaga
cadangannya, Sekar Mirah ternyata telah berusaha untuk melepaskan kedua kakinya
dari pelukan Anjani.
Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Anjani.
Tubuhnya terlempar dan menabrak dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati
yang tebal. Papan kayu jati itu memang tidak sampai pecah berantakan. Hanya
suaranya saja yang terdengar berderak-derak memecah keheningan malam.
“Mbokayu..?!” jerit Anjani terkejut bukan alang
kepalang sambil mencoba merangkak bangun.
Namun alangkah terkejutnya Anjani, begitu dia
mendongakkan wajahnya, Sekar Mirah telah berdiri hanya selangkah di hadapannya.
Di tangan kanan perempuan itu telah tergenggam sebuah senjata yang mengerikan,
senjata ciri khas sebuah perguruan di jaman Demak lama. Perguruan yang namanya
sangat dikenal di negeri ini dari ujung sampai ke ujung, perguruan Kedung Jati.
“Mbokayu..?” kali ini terdengar lirih ucapan Anjani
sambil perlahan bangkit berdiri. Tangisnya telah berhenti dengan sendirinya,
berganti dengan keheranan yang luar biasa melihat perubahan sikap Sekar Mirah.
“Anjani..!” terdengar berat dan dalam nada suara Sekar
Mirah, “Kita adalah perempuan-perempuan yang memiliki kelebihan dibanding
dengan perempuan kebanyakan. Aku tahu engkau adalah murid Resi Mayangkara yang
keberadaannya dipercaya hanya sebagai dongeng belaka, tapi aku tidak takut.
Pergilah ke sanggar. Tunggu aku di sana. Sebelum ayam berkokok untuk terakhir
kalinya malam ini, persoalan diantara kita berdua harus sudah tuntas.”
Berdesir dada Anjani. Tidak ada gunanya lagi baginya
untuk memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya
dengan suami Sekar Mirah itu. Menilik dari wajah dan sorot mata Sekar Mirah,
perempuan itu agaknya sudah benar-benar waringuten dibakar api cemburu yang
telah menghanguskan jantungnya dan tidak dapat diajak bicara lagi, kecuali
dengan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang.
Namun Anjani bukanlah anak kemarin sore yang menjadi
silau dan gemetar melihat senjata mengerikan di tangan Sekar Mirah. Anjani
pernah mengalami kehidupan yang kelam dalam asuhan kedua gurunya. Anjani
dipaksa untuk tumbuh menjadi perempuan yang kasar dan liar serta
mengesampingkan segala paugeran yang berlaku dalam kehidupan bebrayan agung,
walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya masih terpancar sinar pelita hati
betapa pun lemahnya.
Perkenalannya dengan Ki Ageng Sela Gilang atau Ki
Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati telah banyak membantunya mengenal
kehidupan bebrayan yang ternyata tidak hanya hitam dan kelam sebagaimana ajaran
kedua gurunya. Di sela-sela kesibukan kedua gurunya menghadap pangeran Ranapati
di Kadipaten Panaraga, Anjani selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama
dengan Ki Singa Wana Sepuh.
Demikianlah ketika dia kemudian bertemu dengan Ki
Rangga Agung Sedayu, seakan-akan dia telah mendapatkan sebuah isyarat bahwa Ki
Rangga lah yang akan menjadi lantaran baginya untuk dapat terbebas dari
kekejaman kedua gurunya.
“Anjani..!” bentakan Sekar Mirah telah membuyarkan
lamunan Anjani, “Sekarang juga, keluarlah dari bilik ini! Jika memang engkau
terlalu pengecut untuk menerima tantanganku, sebaiknya engkau segera
meninggalkan Menoreh dan jangan pernah menampakkan diri lagi!”
Kembali sebuah desir tajam menggores jantung Anjani.
Betapa pun Anjani telah merasa bersalah, namun dia bukanlah seekor cacing yang
dengan sedemikian mudahnya untuk direndahkan. Harga dirinya pun terusik.
“Mbokayu,” jawab Anjani kemudian dengan suara yang
tenang dan mantap, “Terima kasih atas segala kebaikan hati mbokayu selama ini.
Aku merasa terhormat menerima tantangan mbokayu untuk berperang tanding. Dengan
senang hati aku terima tantangan ini, apapun alasannya aku sudah tidak peduli
lagi. Betapapun hinanya diriku ini di hadapan mbokayu, akan tetapi harga diriku
harus aku junjung tinggi. Aku tunggu mbokayu di sanggar.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Sekar
Mirah, Anjani dengan langkah tergesa-gesa segera berlalu dari tempat itu.
Sepeninggal Anjani, untuk beberapa saat Sekar Mirah
masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bilik. Berbagai perasaan sedang
bergejolak di dalam dadanya. Ada sedikit perasaan bimbang yang bergelayut di
hatinya. Bukankah dia belum menanyakan permasalahan yang sebenarnya ini kepada
suaminya? Sejauh manakah hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua
selama ini? Ki Rangga Agung Sedayu selama ini dikenalnya sebagai seorang suami
yang lurus dan jujur. Adakah telah terjadi perubahan di dalam diri suaminya
itu?
“Kemungkinan itu tetap ada, selama kita masih berujud
manusia,” berkata Sekar Mirah dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk
mengendorkan gemuruh di dalam dadanya, “Manusia tidak pernah luput dari salah
dan lupa.”
Betapa kekecewaan dan kesedihan merajam jiwa dan raga
Sekar Mirah, namun dia harus tetap tegar. Sebentar lagi dia akan menghadapi
pertarungan antara hidup dan mati, dan dia masih ingin tetap hidup untuk
melanjutkan cita-citanya.
“Aku tidak boleh terbawa oleh penalaranku yang buram,”
kembali Sekar Mirah berkata dalam hati sambil berjalan menuju ke pembaringan,
“Jika aku terlalu menuruti perasaanku, dalam pertempuran nanti segala
perhitungan dan pengetrapan ilmu-ilmu yang telah aku pelajari akan menjadi
tumpang tindih dan dengan mudah akan terbaca oleh lawan.”
Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di tepi pembaringan
sambil merenungi Bagus Sadewa yang tidur lelap.
“Anak ini memang aneh,” desis Sekar Mirah dalam hati,
“Seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya, jika memang
itu tidak akan membahayakan dirinya. Namun jika keadaan berkembang lain, dia
akan terbangun dan menangis keras-keras. Biasanya begitu mendengar suara gaduh,
bayi-bayi akan terbangun dan menangis karena merasa terganggu. Agaknya
panggraita anak ini sangat tajam melampaui anak-anak sebayanya..”
Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil
duduk di tepi pembaringan, diletakkannya tongkat baja putih itu di samping
Bagus Sadewa. Ketika dia kemudian membungkukkan badan untuk mencium pipi
anaknya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap
langkah-langkah seseorang mendekati pintu bilik.
Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan
Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik.
Hampir saja Sekar Mirah berlari dan menubruk Pandan
Wangi untuk meluapkan segenap kegelisahannya. Namun ternyata Sekar Mirah telah
mampu menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Maka katanya kemudian sambil
tersenyum ke arah Pandan Wangi, senyum yang setengah dipaksakan, “Marilah
mbokayu. Mungkin ada sesuatu yang penting sehingga mbokayu memutuskan untuk
kembali ke bilik ini.”
Pandan Wangi tidak segera menjawab pertanyaan Sekar
Mirah. Dipandangnya wajah adik suaminya itu dengan pandangan yang tajam,
setajam ujung pedang bermata rangkap yang tergantung di sebelah menyebelah
lambungnya.
Betapa pun Sekar Mirah mencoba untuk menyembunyikan
perasaan yang sedang bergejolak di dalam dadanya, namun Pandan Wangi yang telah
kenyang makan asam garamnya kehidupan gonjang-ganjing di rumah tangganya
sendiri itu tetap mampu menangkap kegalauan yang tersirat dalam seraut wajah
adik iparnya itu.
Dengan langkah perlahan Pandan Wangi berjalan memasuki
bilik. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Sekar Mirah yang menunduk dan
berpura-pura sibuk membenahi selimut Bagus Sadewa.
“Mirah,” desis Pandan Wangi perlahan sambil duduk di
sebelah Sekar Mirah, “Aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari dalam bilik
ini,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk melihat kesan di wajah adik iparnya
itu. Lanjutnya kemudian, “Aku juga mendengar dinding bilik ini berderak derak
seakan mau runtuh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Untuk sejenak Sekar Mirah hanya berdiam diri.
Dicobanya untuk menahan isak tangis yang tiba-tiba saja berdesak-desakan ingin
keluar dari tenggorokannya. Sementara dari kedua sudut matanya perlahan menitik
satu-satu air mata yang bening.
“Mirah,” kembali Pandan wangi berkata lembut sambil
menyentuh pundak adik iparnya, “Sedikit banyak aku telah mengetahui hubungan
Anjani dengan Kakang Aging Sedayu.”
Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah pun
terkejut bukan alang kepalang. Sambil menegakkan punggungnya dan kening yang
berkerut-merut, dia menantap tajam kearah wajah mbokayunya. Terdengar suaranya
bergetar dan sedikit tersendat, “Mbokayu sudah mengetahui persoalan suamiku
dengan Anjani? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberapa saat
Pandan Wangi justru terdiam. Namun Pandan Wangi segera dapat menguasai dirinya,
maka jawabnya kemudian, “Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang
hubungannya dengan Anjani pada saat kami berada di tepian kali praga sebelum
pecah perang antara pengikut Panembahan Cahya Warastra dengan pasukan Mataram
yang dibantu oleh pasukan pengawal Tanah Peridkan Menoreh.”
Kedua mata Sekar Mirah menunjukkan keheranan yang
sangat. Dengan mengerutkan keningnya dalam-dalam dia kembali mengajukan
pertanyaan, “Mengapa mbokayu selama ini tidak pernah bercerita kepadaku?
Mengapa mbokayu? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di antara kita selama
ini? Bukankah kita ini sebuah keluarga besar yang saling membantu jika salah satu
dari kita mendapatkan masalah? Mengapa justru mbokayu diam saja? Aku
benar-benar tidak habis mengerti.”
Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera
menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menahan perasaan yang kembali
bergejolak di dalam hatinya. Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba untuk
tidak menangis.
“Aku bukan perempuan cengeng,” geram Sekar Mirah
mengeraskan hatinya, “Aku perempuan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan
perempuan kebanyakan. Perempuan kebanyakan hanya mampu merengek dan meratapi
nasib yang jelek jika suami mereka berpaling kepada perempuan lain, namun aku
tidak. Akan aku selesaikan permasalahan ini dengan caraku sendiri.”
Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar kata-kata
Sekar Mirah. Walaupun ucapan itu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri,
namun di sudut hati Pandan Wangi yang paling dalam, terasa sesuatu telah
tergetar.
“Aku memang perempuan cengeng,” keluh Pandan Wangi
dalam hati, “Aku hanya dapat meratapi nasibku yang jelek ketika kakang Swandaru
berpaling kepada perempuan lain,”
Pandan Wangi menarik nafas panjang untuk melonggarkan
dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Katanya kemudian, “Maafkan aku,
Mirah. Sejujurnya aku memang menunggu waktu yang tepat. Namun bukan berarti aku
mengulur waktu dengan suatu pamrih pribadi. Tidak, Mirah. Justru aku menunggu
saat yang tepat sampai Kakang Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dari
sakitnya. Aku akan mengingatkan kakang Agung Sedayu tentang masalah ini dan
biarlah dia sendiri yang akan menjelaskan kepadamu duduk permasalahan yang sebenarnya
telah terjadi antara Kakang Agung Sedayu dengan Anjani, agar tidak terjadi
salah paham.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya mendengar penjelasan
Pandan Wangi. Sebuah desir tajam tiba-tiba menggores jantungnya.
“Apa maksud mbokayu ini sebenarnya?” berkata Sekar
Mirah dalam hati, “Mengapa mesti menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh?
Seharusnya dengan mendengar langsung permasalahan ini dari kakang Agung Sedayu,
mbokayu Pandan Wangi berkewajiban menyampaikannya kepadaku. Bukan malah
sebaliknya, seolah-olah mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja masalah ini
bergulir semakin besar.”
Sejenak Sekar Mirah berhenti berangan-angan. Ketika
tanpa sengaja sudut matanya tertumbuk pada sepasang pedang yang tergantung di
lambung mbokayunya, tanpa sadar tangan Sekar Mirah tiba-tiba saja terjulur
untuk meraih tongkat baja putihnya yang tergeletak di sisi Bagus Sadewa.
“Mirah?” terkejut Pandan Wangi yang menyadari di
tangan kanan Sekar Mirah telah tergenggam senjata kebanggaan perguruan
Kedungjati. Dengan cepat putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang akan engkau perbuat dengan
tongkat baja putihmu itu, Mirah?”
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangi kakak
iparnya itu dengan pandangan tajam dan wajah yang tegang. Ingatannya segera
melayang ke masa berpuluh tahun yang silam.
“Pertama kali aku berjumpa dengan mbokayu ini, aku
sudah dapat menangkap perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya terhadap
kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah dalam hati mengenang masa lalu.
“Kehadiranku di Menoreh dan kenyataan yang telah terjadi antara aku dan kakang
Agung Sedayu agaknya tidak meredupkan cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu.
Itu terbukti ketika keluarga mbokayu sedang mendapat cobaan. Ketika kakang
Swandaru tergoda dengan perempuan lain, seharusnya orang pertama yang dijadikan
tempat berkeluh kesah adalah ayahnya, Ki Argapati. Akan tetapi mengapa mbokayu
justru telah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu, bukan ke rumahnya
sendiri? Menyampaikan segala keluh kesahnya kepada kakang Agung Sedayu, bukan
kepada ayahnya Ki Argapati?”
“Bukankah kakang Agung Sedayu adalah saudara tua
seperguruan kakang Swandaru dan sekaligus sebagai pengganti gurunya yang telah
tiada?” jawab suara hatinya yang lain, “Sudah sewajarnya jika kejadian yang
menyangkut kakang Swandaru harus dilaporkan kepada kakak seperguruannya.”
“Tetapi bukankah kejadian itu tidak ada sangkut
pautnya dengan paugeran atau pun wewaler sebuah perguruan? Mengapa mesti kepada
kakang Agung Sedayu?” kembali suara hatinya yang lain menjawab.
“Mungkin ada juga sangkut pautnya dengan paugeran atau
wewaler dari perguruan orang bercambuk itu. Setiap perguruan tentu mempunyai
paugeran atau wewaler yang khusus.” terdengar jawaban dari sudut hatinya yang
dalam walaupun ada sedikit keraguan.
Angan-angan Sekar Mirah tiba-tiba terputus ketika
terdengar Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya, “Untuk apa tongkat baja putih
itu, Mirah?”
Namun jawaban yang diterima Pandan Wangi justru sebuah
pertanyaan yang membuat sekujur tubuhnya bagaikan disiram banyu sewindu
sehingga membekukan seluruh aliran darahnya.
“Mbokayu,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Untuk
apakah mbokayu malam-malam begini memakai pakaian khusus lengkap dengan
sepasang pedang di lambung?”
Tersirap darah Pandan Wangi sampai ke ubun-ubun. Untuk
beberapa saat kakak ipar Sekar Mirah itu bagaikan membeku. Ternyata pertanyaan
Sekar Mirah itu telah membuat jantungnya bedegup semakin kencang.
Namun akhirnya Pandan Wangi segera mampu menguasai
diri. Jawabnya kemudian, “Mirah, aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari arah
bilikmu, dan juga suara dinding yang berderak-derak telah membuat aku harus
waspada dengan apa yang sedang terjadi. Sungguh, Mirah. Aku tidak ada maksud
apa-apa dengan pakaian khusus dan sepasang pedang ini. Aku hanya berjaga-jaga
jika sesuatu berkembang semakin buruk, aku sudah siap.”
“Apakah mbokayu sudah mengetahui atau setidaknya
menduga apa yang akan terjadi antara aku dan Anjani?” kejar Sekar Mirah
kemudian.
“O, tidak tidak,” jawab Pandan Wangi dengan serta
merta dengan raut wajah sedikit memerah, “Aku memang sempat menangkap kata-kata
Anjani sebelum meninggalkan bilik ini yang ..”
“Dan di pihak manakah mbokayu akan berdiri ..?” potong
Sekar Mirah dengan cepat sambil memandang tajam ke arah mbokayunya. Seakan-akan
ingin dijenguknya isi dada Pandan Wangi.
Kali ini jantung Pandan Wangi benar-benar bagaikan
tersulut bara api dari tempurung kelapa. Dia tidak menduga bahwa adik iparnya
itu akan berpikir sampai sejauh itu dalam menanggapi dirinya yang telah siap
dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung.
“Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah gemuruh
di dalam dadanya sedikit mereda, “Mengapa engkau begitu mudahnya berburuk
sangka kepadaku? Apa salahnya jika memang aku mengenakan pakaian khusus ini?
Seperti telah aku katakan sebelumnya, aku tidak tahu keadaan sebenarnya yang
telah terjadi dalam bilik ini. Tidak ada salahnya jika aku berjaga-jaga dan
selalu siap dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu,” Pandan Wangi berhenti
sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja bagaikan tercekik.
Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Anjani, aku tidak berhak mencampuri urusan
keluargamu. Berbicaralah dengan kakang Agung Sedayu. Aku tahu suamimu adalah
seorang laki-laki sejati yang selalu memegang janji.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kedua
sorot matanya memandang tajam ke arah Pandan Wangi seolah-olah ingin
ditembusnya dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu untuk melihat apa warna
jantungnya.
“Mbokayu,” terdengar lirih suara Sekar Mirah namun
penuh dengan getaran perasaan, “Aku ingin mbokayu berkata jujur. Sebenarnya
masih adakah rasa cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu?”
Jika ada petir yang menyambar sejengkal di atas
kepalanya, Pandan Wangi tentu tidak akan sekaget mendengar pertanyaan dari adik
iparnya itu. Untuk beberapa saat pandangan Pandan Wangi menjadi
berkunang-kunang dan nafasnya pun bagaikan tersumbat.
“Mbokayu..?” desis Sekar Mirah perlahan begitu melihat
Pandan Wangi tiba-tiba saja mengeluh pendek sambil menunduk dan memegangi
kepalanya dengan kedua belah tangannya.
Namun Pandan Wangi adalah perempuan yang sudah
terbiasa dengan kehidupan yang sarat dengan duka lara, walaupun dia pada
kenyataannya adalah putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh. Hatinya
telah ditempa untuk menderita sejak kanak-kanak. Sejak ibu yang mengandung dan
melahirkannya pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Kemudian ketika dia
menginjak remaja, Sidanti saudara laki-laki satu-satunya kemudian juga telah
pergi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh bersama gururnya.
Kebahagian sebagai keluarga yang berkumpul kembali
hampir saja diraihnya ketika kakaknya Sidanti dan gurunya datang ke Menoreh,
walaupun kesan pertama atas pertemuan mereka itu dirasakannya agak janggal. Dan
ternyata kedatangan Sidanti memang tidak untuk membawakan setangkai bunga mawar
yang indah untuk adik satu-satunya itu. Yang dibawa adalah seonggok bara yang
kemudian membara dan membakar seluruh tanah Perdikan Menoreh menjadi abu.
“Mirah,” pelan Pandan Wangi berkata sambil mengangkat
wajahnya. Wajah yang terlihat sangat letih dan kosong. Perempuan kelahiran
Menoreh ini memang luar biasa. Segala perasaan dan tekanan yang sedahsyat
apapun telah mampu diendapkan didasar hatinya, walaupun untuk semua itu dia
harus mengabaikan perasaannya. Lanjutnya kemudian, “Itu semua adalah masa lalu.
Mengapa mesti diungkap kembali? Biarlah menjadi kenangan manis atau pun pahit
dalam kehidupan kita masing-masing. Yang ada di dalam kehidupanku sekarang
adalah kakang Swandaru, betapapun dia telah berkali-kali menyakiti hatiku.
Namun bagiku, kakang Swandaru adalah tetap sebagai suamiku dan ayah dari
anakku.”
Kalimat terakhir dari mbokayunya itu bagaikan seribu
jarum yang menghujam ke jantung Sekar Mirah. Betapa dia tahu kakak iparnya itu
di masa gadisnya pernah menaruh harapan kepada Gupita, seorang anak gembala
yang ternyata bernama Agung Sedayu. Namun biduk cinta yang baru berlayar untuk
pertama kalinya itu pun akhirnya harus pecah berkeping keping dan kemudian
karam di kedalaman laut kehidupan yang tak terukur, setelah Pandan Wangi
mengetahui hubungan yang telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
“Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya
begitu melihat Sekar Mirah hanya diam membeku, “Aku tidak ingin memperkeruh
suasana. Tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam hatiku untuk membiarkan rumah
tanggamu menjadi goyah. Lebih baik engkau tanyakan sendiri persoalan keluargamu
ini nantinya langsung kepada suamimu, sehingga apa yang akan engkau dengar
nanti benar-benar sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.”
Sekar Mirah masih diam membisu, namun wajahnya sudah
tidak setegang tadi. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya
tampak terkulai lemah di atas pembaringan.
“Aku akan ke sanggar, menengok keadaan Anjani,”
berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil bangkit dari duduknya, “Aku tidak ingin
kalian mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit hanya karena persoalan seorang
laki-laki. Betapa pun hebat dan sempurnanya laki-laki yang kalian perebutkan itu,
semua itu tidak sepadan dengan harkat dan martabat kita sebagai perempuan.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan
Sekar Mirah, Pandan wangi pun segera melangkah menuju ke pintu bilik.
“Mbokayu..,” tiba-tiba terdengar suara sendat Sekar
Mirah ketika langkah Pandan Wangi hampir mencapai pintu bilik.
Ketika Pandan Wangi kemudian memutar tubuhnya, tampak
Sekar Mirah telah bangkit dari duduknya dan berdiri termangu-mangu di tepi
pembaringan. Senjata andalannya yang nggegirisi itu tampak tergolek di tepi
pembaringan.
“Ada apa Mirah?” terdengar sareh suara Pandan Wangi.
Sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang mbokayunya dengan sepasang mata yang basah, terdengar suaranya lirih
dan sendat, “Terima kasih mbokayu dan maafkan atas keterlanjuranku.”
Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian sambil melangkah kembali menuju pintu bilik,
“Renungkanlah terlebih dahulu apa yang akan engkau perbuat. Dengan nalar yang
dingin dan hati yang pasrah, berdoalah kepada Yang Maha Agung agar engkau
diberi petunjuk.”
Sekar Mirah hanya dapat menganggukkan kepalanya ketika
bayangan mbokayunya itu telah hilang di balik pintu.
Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tampak menjadi
sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang olehnya tongkat baja putih berkepala
tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu, semangatnya seakan tumbuh lagi.
“Apa boleh buat. Seperti mbokayu Pandan Wangi, aku pun
harus siap menghadapi segala kemungkinan,” desis Sekar Mirah sambil berjalan menuju
geledek dari kayu jati yang terletak di pojok bilik tempat pakaian khususnya
tersimpan.
Dalam pada itu, sebelum para peronda di gardu-gardu
menabuh kentongan dengan nada dara muluk, rombongan Ki Tumenggung Purbarana
telah mendekati tikungan Kaliasat.
Beberapa saat yang lalu, dengan bantuan pengawal
Sangkal Putung yang ikut di dalam rombongan itu, dengan mudah mereka telah
melewati Kademangan yang subur itu tanpa hambatan sama sekali. Dengan seijin Ki
Tumenggung Purbarana, pengawal yang berasal dari Sangkal Putung itu pun
kemudian diperbolehkan untuk tinggal dan tidak ikut meneruskan perjalanan.
“Mohon ijin Ki Tumenggung,” berkata salah satu Lurah
prajurit yang menyertainya, “Apakah rombongan ini akan belok ke kiri menuju
Hutan Macanan atau kah mengambil jalan lurus yang menuju padang rumput Lemah
Cengkar sebelum memasuki Jati Anom?”
Sejenak Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Jawabnya
kemudian, “Menilik isyarat panah berapi yang kita lihat sebelum memasuki
kademangan Sangkal Putung tadi, rombongan ini tentu sedang dalam pengamatan
orang-orang yang sengaja akan membuat permasalahan dengan kita,” Ki Tumenggung
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pasukan berkuda ini cukup banyak dan
memerlukan medan yang luas jika memang akan terjadi pertempuran. Aku lebih
cenderung memilih lewat padang rumput Lemah Cengkar. Di padang rumput yang luas
itu, nanti kita akan melintas dalam gelar yang luas dan bergerak dengan
kecepatan yang tinggi agar sulit untuk disergap.”
Lurah prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan
sebuah hentakan kecil pada perut kudanya, dia melaju ke depan untuk memberi
aba-aba agar pasukan berkuda itu mengambil jalan lurus menuju Lemah Cengkar.
Ketika pasukan berkuda itu kemudian berderap dengan
kecepatan sedang meninggalkan tikungan Kaliasat dan menyusuri sebuah bulak
kecil yang langsung menuju lemah Cengkar, mereka pun kembali dikejutkan oleh
lontaran panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut.
Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri.
Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri.
“Begitu kita memasuki padang rumput lemah Cengkar,
atur jarak kalian,” perintah Ki Tumenggung kepada Lurah prajurit pengapitnya,
“Usahakan kalian jangan berjajar dalam satu garis lurus agar memudahkan untuk
saling membantu jika sewaktu-waktu terjadi penyergapan. Kita akan bergerak
dalam Gelar Glathik Neba.”
Para prajurit yang berkuda di sekitar Ki Tumenggung
menjadi berdebar-debar mendengar rencana Ki Tumenggung untuk menggunakan Gelar
Glathik Neba selama melintasi padang rumput lemah Cengkar.
“Sebuah gelar yang berbahaya,” hampir semua prajurit
yang mendengar kata-kata Ki Tumenggung itu berkata dalam hati.
Tak terkecuali Lurah pengapitnya tampak mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon maaf Ki Tumenggung. Kita sedang
membawa tawanan yang sangat penting dan perlu mendapat perlindungan. Apakah
tidak sebaiknya kita menggunakan gelar Cakrabyuha?”
Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Engkau
benar. Gelar Cakrabyuha memang bertujuan untuk melindungi seseorang atau
sesuatu yang sangat penting di pusat gelar, sedangkan gelar Glathik Neba justru
akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusup sampai ke pusat gelar.”
Lurah pengapit itu kembali mengerutkan keningnya.
Dengan agak ragu-ragu dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan keselamatan
Pangeran Jayaraga, Ki Tumenggung?”
Kembali Ki Tumenggung tersenyum, bahkan kali ini agak
lebar. Jawabnya kemudian, “Bukankah Pangeran Jayaraga juga berpakaian seperti
prajurit kebanyakan? Mungkin hanya orang yang menyebut dirinya Pangeran
Ranapati itu yang masih dapat mengenalinya dalam pakaian prajurit kebanyakan
serta dalam keremangan malam.”
“Apakah Ki Tumenggung memang dengan sengaja memancing
orang yang mengaku trah Mataram itu untuk memasuki pusat gelar?” bertanya Lurah
itu selanjutnya.
“Ya,” jawab Ki Tumenggung cepat, “Aku memang sengaja
ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu,” Ki
Tumenggung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Setelah orang yang menyebut dirinya
Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, kita segera mengubah gelar menjadi
Cakrabyuha.”
“Mengapa tidak sekalian saja kita memakai gelar
gedhong minep atau jurang grawah pada awal pertempuran sehingga kita tidak
perlu mengubah gelar?” bertanya Lurah itu kemudian.
Kembali Ki tumenggung tersenyum sambil berpaling ke
arah Lurah pengapit yang berkuda di sampingnya, jawabnya kemudian, “Penggunaan
gelar gedhong minep atau jurang grawah akan sangat mudah ditebak tujuannya oleh
lawan. Mereka tidak akan dengan sukarela memasuki gelar dan terjebak di dalam
pusat gelar. Mereka tentu akan menggunakan gelar yang lebar, garuda nglayang
atau capit urang misalnya. Sehingga mereka tidak akan langsung menyerbu ke
dalam pusat gelar. Sebagai gantinya mereka akan menggunakan kedua sayap atau
capit gelar itu untuk menusuk dan menghancurkan dinding gelar gedhong minep
atau jurang grawah dari kanan dan kiri. Setelah dinding gelar jebol, barulah
mereka akan memasuki gelar dan sekaligus menghancurkannya.”
Lurah pengapit itu tampak masih ragu-ragu. Tanyanya
kemudian, “Perubahan gelar dalam sebuah pertempuran yang kisruh akan sangat
sulit dan tidak jarang membawa korban. Apakah kita mampu melakukannya, Ki
Tumenggung?”
Senyum Ki Tumenggung semakin lebar menanggapi
pertanyaan Lurah prajurit yang masih cukup muda itu. Jawabnya kemudian, “Kita
tidak menunggu sampai pertempuran benar-benar pecah. Begitu orang yang menyebut
dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, aku akan menyambutnya dan kalian
segera bergerak membentuk gelar Cakrabyuha.”
“Apakah para prajurit tidak akan mengalami kesulitan,
Ki Tumenggung?”
Ki Tumenggung tertawa pendek. Jawabnya kemudian,
“Tentu saja tidak. Bukankah kita sudah sering melakukannya pada saat gladhen?
Untuk itulah aku menyuruh kalian jangan sampai berjajar dalam satu garis lurus,
sehingga pada saat perubahan gelar terjadi, kalian tinggal menyesuaikan dengan
cara bergeser beberapa langkah untuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis.”
Lurah pengapit itu tampak mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Maaf Ki
Tumenggung. Aku memang sering mengikuti gladhen itu, tapi itu sudah lama sekali
terjadi sebelum aku dipindah tugaskan ke Pajang. Dua pekan sebelum
keberangkatan pasukan Mataram ke Panaraga, aku diperbantukan ke Mataram dan
bergabung dengan pasukan yang melawat ke Panaraga ini.”
“O..,” desis Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk.
Bertanya Ki Tumenggung kemudian, “Di manakah tempat tugasmu di Pajang?”
“Di bagian Pelayan Dalam, Ki Tumenggung.”
“O..,” kembali Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti.
Tugasmu dalam pasukan ini sebagai senapati pengapit. Engkau tinggal
menyesuaikan diri karena engkau akan selalu berada di sampingku.”
“Siapakah yang akan memberi aba-aba untuk pergantian
gelar?” bertanya Lurah itu kemudian.
“Lurah prajurit yang berada di depan dan belakang
gelar yang akan menyampaikan setiap perintahku ke seluruh pasukan melalui
prajurit penghubung.”
Lurah prajurit pengapit itu mengangguk-anggukan
kepalanya. Memang sudah sekian lama dia tidak ditugaskan di pasukan yang
langsung berhubungan dengan medan perang. Namun pendidikan dasar yang pernah
diperolehnya ketika dia mulai menapakkan kakinya di dunia keprajuritan tidak
akan pernah hilang dari ingatannya.
Tak terasa perjalanan mereka telah mencapai ujung
bulak yang pendek itu. Sekarang di hadapan mereka telah terhampar sebuah padang
rumput yang luas, padang rumput lemah cengkar.
Hampir setiap dada bergetar melihat padang rumput yang
luas itu di dalam keremangan malam. Pohon beringin raksasa yang tumbuh di
tengah-tengah padang itu terlihat bagaikan seorang raksasa yang sedang berdiri
menunggu setiap mangsa yang akan lewat.
“Bagaimana kalau cerita tentang siluman harimau putih
itu benar-benar ada?” tiba-tiba seorang prajurit yang bertubuh kurus berbisik
ke prajurit yang berkuda di sampingnya.
“Siluman harimau putih itu memang ada,” sahut kawannya
juga dengan berbisik.
“Omong kosong!” seru prajurit kurus itu tanpa sadar
sehingga beberapa orang telah berpaling ke arah mereka.
“Engkau tidak usah berteriak,” desis kawannya, “Ada
atau pun tidak ada itu bukan urusan kita. Dengar! Ki Lurah sudah memberi
aba-aba untuk membuka gelar.”
Dalam pada itu, Lurah prajurit yang berada di depan
pasukan telah memberi isyarat untuk membuka gelar, sebuah gelar yang menurut
perhitungan nalar memang sangat berbahaya jika diperuntukkan mengawal seseorang
yang sangat penting. Namun bukan berarti gelar Glathik neba bukan sebuah
pilihan yang tepat dalam sebuah pertempuran. Gelar Glathik neba akan digunakan
dengan sadar oleh seorang Panglima perang jika kemampuan setiap prajurit
orang-perorang di atas rata-rata.
Demikianlah, sejenak kemudian ketika gelar itu telah
terbentuk secara utuh, kembali terengar isyarat untuk segera memacu kuda-kuda
itu dalam kecepatan tinggi melintasi padang rumput.
Namun baru saja pasukan itu mulai memacu kuda-kuda
mereka beberapa langkah, terdengar teriakan yang menggelegar memecah kesunyian
malam di lemah cengkar.
“Berhenti..!” teriakan yang disertai dengan tenaga
cadangan yang mumpuni itu ternyata telah menggoncang setiap dada. Kuda-kuda
yang sudah mulai melaju itu pun kemudian dikekang dengan tiba-tiba.
Beberapa ekor kuda tampak mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras-keras. Untunglah para prajurit
itu sudah terlatih menggendalikan kuda, sehingga dengan segera mereka mampu
menguasai kuda-kuda itu tanpa kesulitan yang berarti.
Ki Tumenggung yang belum sempat memacu kudanya
kencang-kencang itu untuk sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Walaupun
malam cukup gelap, namun pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan
segera tahu siapakah yang telah berteriak untuk menghentikan laju kuda-kuda
itu.
“Maaf Pangeran,” desis Ki Tumenggung kemudian sambil
merapatkan kudanya di sisi kuda Pangeran Jayaraga, “Apakah ada suatu
kepentingan yang mendesak sehingga Pangeran telah menghentikan laju kuda-kuda
kami?”
Pangeran Jayaraga tidak segera menjawab. Diedarkan
pandangan matanya ke segenap sudut-sudut padang rumput Lemah Cengkar yang
tampak sunyi namun mendebarkan. Jawabnya sejenak kemudian, “Engkau terlalu
ceroboh dengan memerintahkan pasukanmu berpacu dengan kecepatan tinggi untuk
melintasi padang rumput ini. Apakah engkau sudah yakin dengan siasatmu itu, Ki
Tumenggung?”
Kembali Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Betapapun
hatinya sedikit kesal dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan Pangeran Jayaraga
itu pun kemudian dijawabnya juga, “Kita adalah sepasukan berkuda yang terlatih.
Dengan menggunakan gelar Glathik Neba dan berpacu dalam kecepatan tinggi, lawan
yang hanya berdiri di atas kedua kaki mereka, tidak akan mampu menahan gerak
pasukan ini.”
Pangeran Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, “Engkau melupakan sesuatu, Ki Tumenggung. Orang-orang itu akan
menggunakan akal yang licik untuk menjebak pasukan ini. Mereka tidak akan
merasa bersalah atau pun malu untuk menggunakan cara-cara licik dalam
menghancurkan lawan,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Apakah pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka mungkin saja telah menaruh
jebakan di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh hampir setinggi pinggang itu?
Aku tadi sempat melihat gerakan yang mencurigakan di antara rumput-rumput
ilalang jauh di depan sana. Agaknya mereka sedang menunggu kita dengan senjata
terhunus. Begitu kuda-kuda kita terjatuh karena melanggar jebakan yang telah
mereka buat, dengan mudahnya ujung-ujung pedang mereka akan menembus dada para
prajurit Mataram yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.”
Berdesir dada Ki Tumenggung Purbarana mendengar
penjelasan Pangeran Mataram itu. Dengan cepat dia menghentak kudanya maju ke
depan. Ketika kuda Ki Tumenggung kemudian maju beberapa tombak ke depan,
jantung Ki Tumenggung pun bagaikan meledak. Pandangannya yang tajam segera
melihat apa yang dimaksud oleh Pangeran Jayaraga. Di antara rumput ilalang yang
tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang, tampak tali-tali yang
terjulur silang melintang yang diikatkan pada pathok-pathok kayu setinggi
setengah lutut orang dewasa.
“Gila! Licik! Pengecut!” geram Ki Tumenggung sambil
membungkuk dan mengayunkan pedang dari atas punggung kudanya. Tali-tali yang
melintang di hadapannya pun terbabat putus.
Ketika dia kemudian mencoba menghela kudanya dengan
perlahan maju beberapa langkah lagi, tali-tali yang terikat silang melintang
pada pathok-pathok kayu itu pun tampak semakin tak terhitung jumlahnya dan
tersebar hampir di seluruh medan yang akan mereka lewati.
“Maju..!” teriak Ki Tumenggung tiba-tiba sambil
mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan kemudian diputar dua kali di udara
sebelum akhirnya senjata itu menunjuk lurus ke depan.
Serentak pasukan berkuda itu pun bergerak maju dengan
tertib dan teratur dalam gelar sapit urang.
Dengan perlahan pasukan itu bergerak. Dengan tetap dari
atas punggung kuda masing-masing, senjata para prajurit itu pun terayun-ayun
menebas tali-tali yang silang menyilang di hadapan mereka.
Dalam pada itu, di tengah-tengah padang rumput lemah
cengkar, para pengikut Pangeran Ranapati tampak menunggu dengan gelisah. Mereka
bersembunyi di antara lebatnya rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar
hampir setinggi pinggang. Sudah sekian lama mereka menunggu sambil berjongkok
bahkan ada yang bertiarap. Kegelisahan mereka semakin memuncak ketika mereka
melihat dalam keremangan malam pasukan berkuda Mataram itu mulai bergerak
memasuki padang rumput.
Namun alangkah kecewanya para pengikut Pangeran
Ranapati itu. Begitu pasukan berkuda itu mulai berpacu memasuki padang rumput,
terdengar teriakan menggelegar memekakkan telinga yang menyuruh pasukan berkuda
itu untuk berhenti.
“Gila!” geram salah satu pengikut Pangeran Ranapati
yang berkumis tebal, “Mengapa mereka berhenti justru pada saat kuda-kuda itu
baru saja dipacu? Apakah mereka melihat tali-tali yang telah kita pasang?”
“Tentu tidak,” jawab kawan di sebelahnya, “Kita telah
memasang pathok-pathok kayu itu agak ke tengah agar tidak mudah untuk dilihat.
Namun agaknya salah seorang dari mereka mempunyai panggraita yang sangat tajam
sehingga telah mencegah kuda-kuda itu memasuki padang.”
Orang berkumis tebal itu hanya dapat mengumpat
berkali-kali. Dalam perhitungannya, alangkah mudahnya menghancurkan pasukan
berkuda Mataram itu. Begitu kuda-kuda itu berjatuhan dan melemparkan
penunggangnya jatuh bergulingan di atas rumput, dengan mudahnya senjata mereka
akan menghabisi para prajurit yang sedang tidak berdaya itu. Namun pada
kenyataannya seseorang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang
rumput Lemah Cengkar.
Dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang berdiri di
bawah naungan rimbunnya pohon beringin tua dan terpisah agak jauh dari para
pengikutnya, ternyata mempunyai perhitungan yang sama.
“Tentu Adimas Pangeran Jayaraga yang telah mencegah
pasukan berkuda itu memasuki padang rumput,” geram Pangeran yang mengaku telah
terbuang dari lingkungan istana semenjak kanak-kanak, “Seharusnya Adimas
Jayaraga menyadari bahwa aku dan para pengikutku justru sedang berupaya untuk
membebaskannya dari hukuman.”
Namun ternyata Pangeran Jayaraga telah menyadari
dosa-dosanya dan berupaya untuk meluruskan kembali jalan hidupnya dengan
mengikuti paugeran yang berlaku. Baik paugeran dalam tata pemerintahan Mataram,
maupun paugeran dalam kehidupan kesehariannya yang berhubungan dengan bebrayan
agung.
Untuk sejenak suasana sangat mencekam. Pasukan berkuda
itu bergerak dengan derap perlahan namun pasti. Ketika pasukan itu sudah hampir
mencapai tengah-tengah padang, agaknya Pangeran Ranapati sudah tidak dapat
menunggu lagi.
Sejenak kemudian terdengar suara burung kedasih yang
ngelangut dan menggetarkan jantung tiga kali berturut-turut. Agaknya suara
burung kedasih itu sebagai isyarat bagi para pengikutnya untuk bergerak.
Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata juga mendengar
suara burung kedasih itu. Sebagai seorang prajurit yang telah kenyang makan
asam garamnya pertempuran, isyarat itu telah memberinya peringatan bahwa
sebentar lagi lawan akan menyerang.
Demikianlah akhirnya, para pengikut Pangeran Ranapati
pun telah bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Bagaikan hantu-hantu
yang bangkit dari kuburnya, mereka segera meloncat keluar dan berlari
berhamburan sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Senjata-senjata mereka
tampak teracu-acu mendebarkan dan berkilat-kilat tertimpa siraman sinar bulan
tua. Jumlah mereka ternyata cukup banyak bahkan sepintas melebihi jumlah
pasukan berkuda Mataram.
“Maaf Ki Tumenggung,” berkata Lurah prajurit pengapit
kepada Ki Tumenggung Purbarana yang tampak membeku di atas punggung kudanya,
“Apakah kita akan bertempur dari atas punggung kuda?”
“Ya,” jawab Ki Tumenggung dengan serta merta, “Namun
kita jangan terpancing untuk maju ke depan lagi. Kita bertahan di sini saja.
Masih banyak jebakan yang mereka pasang di depan. Kuda-kuda kita akan mengalami
kesulitan.”
“Baik Ki Tumenggung,” jawab Lurah pengapit itu sambil
menggeser kudanya agak ke samping. Sementara Ki Tumenggung segera memberi
isyarat kepada seorang Lurah prajurit yang berada beberapa langkah di depannya
untuk memberi aba-aba.
Sejenak kemudian terdengar aba-aba dari Lurah prajurit
itu. Pasukan berkuda itu pun dengan cepat segera bergerak mundur beberapa
langkah. Senjata-senjata pun mulai merunduk siap menyambut serangan
lawan.
Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar
perhitungan Ki Tumenggung Purbarana. Ketika para pengikut Pangeran Ranapati
yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat dengan tempat pasukan
berkuda Mataram bertahan, tiba-tiba beberapa orang yang berada di barisan
paling depan justru telah berhenti dan mengambil sikap. Dengan cekatan dan
terampil mereka segera mempersiapkan busur dan anak panah.
Pada awalnya pasukan berkuda Mataram mengira bahwa
lawan akan menyerang dengan mempergunakan senjata jarak jauh. Namun pandangan
tajam Ki Tumenggung Purbarana segera mengenali jenis anak panah yang digunakan
oleh lawan. Anak panah itu bukan seperti anak panah biasanya yang tajam
ujungnya. Ujung anak panah itu tampak tumpul dan dibebat dengan secarik
kain.
Sebelum pasukan Mataram menyadari apa yang akan
dilakukan oleh para pengikut Pangeran Ranapati itu, tampak beberapa orang yang
membawa busur dan anak panah itu telah mencelupkan ujung-ujung anak panah
itu pada bumbung-bumbung kecil yang berada di ikat pinggang mereka. Ternyata
bumbung-bumbung itu berisi minyak jarak. Sejenak kemudian batu-batu titikan
telah dinyalakan pada sejumput gelugut aren. Segera saja ujung-ujung panah itu
pun dinyalakan dan api pun berkobar di setiap ujung anak panah.
“Gila!” teriak Lurah prajurit yang berada di paling
depan, “Mereka akan menakut-nakuti kuda-kuda kita dengan panah berapi!”
Namun ternyata dugaan Lurah prajurit itu meleset.
Panah-panah berapi itu justru telah terlontar ke atas melewati pasukan berkuda
itu dan jatuh di atas rumput-rumput ilalang di belakang mereka.
Yang terjadi kemudian adalah sangat mendebarkan.
Rumput-rumput ilalang itu pun dengan mudah segera terbakar dan menjalar
dengan cepat. Kobaran api yang semakin membesar dan meluas itu ternyata
telah membuat kuda-kuda pasukan Mataram menjadi gelisah dan ketakutan.
Sebenarnya lah para prajurit Mataram itu sudah
terbiasa dalam berlatih mengendalikan kuda. Namun api yang berkobar-kobar
dengan dahsyatnya itu telah membuat kuda-kuda menjadi sangat liar dan sulit
dikendalikan.
Di saat keadaan pasukan Mataram sedang dilanda
kesulitan itu lah, Ki Tumenggung Purbarana segera mengambil sebuah keputusan
yang berani.
“Turun dari kuda-kuda kalian!” teriak Ki Tumenggung
kemudian, “Kita akan bertempur di atas tanah. Sekalian lecut kuda-kuda
kalian!”
Perintah itu tidak perlu diulangi sekali lagi karena
para prajurit sudah tanggap akan maksud pemimpin mereka. Dengan tangkas para
prajurit segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Begitu kaki mereka
menjejak tanah, dengan sebuah sentuhan yang cukup keras pada bagian
belakangnya, kuda-kuda itu pun menjadi semakin liar dan meloncat berlari sekencang-kencangnya
ke arah depan dan menerjang apa saja yang menghalanginya.
Sekarang giliran para pengikut Pangeran Ranapati yang
dibuat terkejut bukan alang kepalang. Mereka tidak mengira kuda-kuda itu justru
telah berlari kencang ke arah mereka. Namun agaknya tali-tali jebakan yang
mereka buat di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar
setinggi pinggang telah membuat beberapa ekor kuda jatuh terjerembab sebelum
sempat melanggar para pengikut pangeran Ranapati. Walaupun dengan cepat kuda-kuda
yang terjerembap itu kemudian bangkit berdiri dan kembali berlari.
Sejenak medan di padang rumput lemah cengkar itu pun
menjadi semakin kisruh. Beberapa pengikut Pangeran Ranapati sebagian telah
berloncatan menghindari terjangan kuda-kuda yang luput dari tali jebakan. Namun
tidak urung ada juga satu dua orang yang tidak sempat mengindar dan terjatuh
terkena terjangan kuda-kuda yang menjadi liar itu.
Dalam pada itu, api yang membakar rumput ilalang di
belakang pasukan Mataram menjadi semakin membesar dan meluas. Ki Tumenggung
yang melihat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh api itu segera
memerintahkan prajurit yang berada di barisan paling belakang untuk
memadamkan api.
Dengan cepat beberapa prajurit segera berpencar dan
mencari apa saja yang dapat dijadikan alat untuk memadamkan api. Namun padang
rumput lemah cengkar itu sangat luas dan diperlukan waktu untuk mencapai
pepeohonan dan semak belukar yang tumbur di pinggir padang. Sementara para
prajurit tidak berani meninggalkan pasukannya terlalu jauh. Lawan setiap saat
dapat menyerbu.
Betapapun para prajurit itu telah berusaha dengan alat
seadanya, tombak-tombak panjang, perisai-perisai maupun pedang untuk mencegah
agar api tidak menjalar semakin luas, namun kebakaran yang sudah terlanjur
membesar dan meluas itu ternyata sangat sulit untuk dipadamkan.
Di saat para prajurit itu hampir putus asa, tiba-tiba
terdengar lamat-lamat sebuah tembang dandanggula yang ngelangut memecah udara
malam di sela-sela hiruk pikuk yang terjadi di padang rumput lemah
cengkar.
Ketika mereka yang berada di padang rumput lemah
cengkar itu sedang terpesona oleh tembang dandanggula yang ngelangut itu,
tiba-tiba saja udara di atas lemah cengkar dengan cepat berubah menjadi dingin,
sedingin banyu sewindu bahkan lebih dingin lagi.
Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di lemah
cengkar itu pun harus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan jantung
mereka agar tetap berdenyut sehingga darah tetap mengalir di sepanjang urat
nadi. Hawa dingin yang mencengkam itu benar-benar telah membekukan aliran darah
mereka.
Namun ternyata kejadian itu hanya berlangsung sekejap.
Beberapa saat kemudian udara di atas lemah cengkar itu pun kembali seperti
biasa.
“Seorang yang sakti telah membantu memadamkan
kebakaran itu,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menarik nafas
dalam-dalam untuk menghangatkan dadanya yang hampir saja membeku.
Sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat api
yang telah padam, Pangeran Jayaraga kembali berkata dalam hati, “Berdiri di
pihak manakah orang sakti ini? Semoga saja dia hanya menjadi penonton yang
baik.”
Sementara Pangeran Ranapati yang masih berlindung di
bawah bayangan pohon beringin raksasa di tengah-tengah lemah cengkar itu telah
mengumpat beberapa kali.
“Gila!” geram Pangeran yang lebih di kenal di padukuhan
Cepaga dengan nama Teja Wulung, “Aku tahu ini pasti permainan Guru. Apa
sebenarnya yang diinginkan oleh Guru?”
Namun sebenarnyalah putra laki-laki satu-satunya Rara
Ambarasari itu dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh gurunya.
“Sejak muda Guru memang telah bergaul erat dengan
alam,” kembali Pangeran Ranapati berangan-angan, “Sudah sewajarnya jika guru
tidak rela pada setiap perbuatan yang dapat merusak keseimbangan alam.”
Demikianlah akhirnya, padang rumput lemah cengkar itu
telah kembali menjadi seperti sediakala. Kedua pasukan itu pun segera menyusun
gelar masing-masing dan bersiap untuk saling berbenturan.
*****
Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum para
peronda memukul kentongan dengan nada dara muluk, Ki Rangga Agung Sedayu tampak
sedang duduk terpekur di hadapan Kanjeng Sunan. Berdua mereka sedang berada di
dalam sanggar selepas mendapat jamuan makan malam oleh Ki Gede Menoreh tadi
sore.
“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku tahu
Ki Rangga sebenarnya sudah tidak mempunyai masalah dengan kesehatan Ki Rangga.
Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberikan anugrah berupa kekuatan
wadag yang luar biasa kepada Ki Rangga.”
“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil
menyembah, “Namun hamba masih memerlukan banyak petunjuk dari Kanjeng Sunan
untuk menyempurnakan bekal hamba dalam mengemban tugas sebagai prajurit dan
sekaligus sebagai kawula Mataram dalam hubungannya dengan bebrayan
agung.”
Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Katanya kemudian, “Ki
Rangga, sebenarnya apakah tujuanmu dengan menempa diri mempelajari semua ilmu jaya
kawijayan guna kasantikan itu? Apakah engkau belum merasa cukup dan
puas dengan keadaanmu sekarang ini? Apakah engkau ingin menjadi orang
yang tak terkalahkan di atas bumi ini? Atau sebenarnya jauh di dalam lubuk
hatimu telah terbesit sebuah keinginan untuk meraih mukti wibawa dengan
berlandaskan ilmu yang telah engkau kuasai? Engkau ingin menjadi penguasa, Raja
misalnya?”
Tertegun
Ki Rangga mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Kanjeng Sunan. Seolah olah
kini dirinya dihadapkan pada sebuah belanga yang berisi air yang jernih dan
tenang. Betapa seluruh noda-noda di wajahnya kini nampak sangat jelas. Apakah
yang selama ini dicarinya dengan segala macam ilmu jaya
kawijayan guna kasantikan itu? Apakah dengan mempelajari segala
macam ilmu itu dirinya dijamin akan selamat jika musuh-musuhnya ingin
membalas dendam?
Bersambung Jilid 415 Bag. 4
Matur sembah nuwun kagem panjenengan rama. Karya karyanipun tansah kulo tenggo...
BalasHapusKami selalu menunggu untuk kisah selanjutnya.
BalasHapussemoga Pak Miswanto sekeluarga selalu diberi berkah Keselamatan dari Yang Maha Agung..
Terimakasih, cerita nya mengasyikkan.
BalasHapusTerusan ADBM sudah menyimpang dr tulisan SH Mintareja, yg skrg sarat dengan dakwah dan syiar agama.
BalasHapusPokoknya udh gak asik lah. Cerita silat kok buat dakwah?
Udh gitu berkali2 tertulis MENGANGGUKAN SEBUAH KEPALANYA. Maksudnya apa, bahasanya aneh spt anak SD. Selanjutnya, pake bag 1, 2 dst. Gak usah macem2 deh, terusin aja spt seblomnya. Yg melanjutkan cerita ini, sah apa gak sih, seijin ahliwaris apa nggak ? Atau cuma suka2nya sendiri. Kecewa laah pokoknya
Sy tggu lanjutannya,agung Sedayu beristri 3 gmana ceritanya itu..,mksh
BalasHapus