Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 412
DALAM pada itu, Ki Patih yang telah menghentakkan seluruh kekuatannya untuk
menghentikan perlawanan Ki Ajar ternyata mengalami kelelahan yang sangat luar
biasa sehingga tumpuan kedua lututnya menjadi goyah. Sejenak kemudian Ki Patih
pun telah terdorong ke belakang dan rebah di atas tanah. Sejalan dengan
mengendornya pemusatan nalar dan budi Ki Patih, bayangan-bayangan semu yang
semula bertebaran di seluruh medan perang tanding itu pun perlahan-lahan telah
menghilang bagaikan asap tertiup angin.
“Ki Patih!” hampir bersamaan Ki Gede
dan Ki Jayaraga berseru sambil meloncat memasuki medan perang tanding.
Sedangkan Raden Mas Rangsang dan kedua cucu Ki Patih dengan tergesa-gesa telah
berlari mendekat.
“Ampun Ki Patih, bagaimana kah keadaan
Ki Patih?” desis Ki Gede perlahan sambil berlutut di sisi tubuh Ki Patih yang
terbujur diam diikuti oleh Ki Jayaraga.
Ki Patih tidak menjawab. Hanya dada Ki
Patih saja yang terlihat bergelombang tak beraturan. Sementara wajah Ki Patih
terlihat sangat pucat.
“Eyang Patih?” hampir bersamaan Ki
Lurah Mandurareja dan Ki Lurah Upasanta berdesis perlahan sambil berlutut
begitu keduanya sampai di samping tubuh Ki Patih Mandaraka. Sementara Raden Mas
Rangsang tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya berlutut sambil mengerutkan
keningnya dalam-dalam dengan wajah yang sangat tegang.
Ki Patih yang tampak wajahnya sangat
pucat itu perlahan-lahan membuka matanya. Sebuah senyum kecil segera saja
tersungging di bibirnya begitu pandangan Ki Patih menangkap bayangan
orang-orang yang mengerumuninya. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa
kali, nafas Ki Patih menjadi sedikit longgar dan mulai teratur walaupun belum
sepenuhnya.
“Bantu aku duduk,” tiba-tiba terdengar
Ki Patih bergumam perlahan.
Beberapa orang yang sedang
mengerumuninya itu dengan segera membantu Ki Patih untuk duduk. Sejenak
kemudian Ki Patih pun telah duduk bersila dengan kedua tangan bersilang di
depan dada.
Dalam pada itu Matahari telah memanjat
semakin tinggi. Panasnya terasa mulai menggatalkan kulit. Ki Tumenggung
Surayudha yang tidak ikut menunggui Ki Patih telah memerintahkan beberapa
prajurit untuk mengangkat jasad Ki Ajar yang tertelungkup di antara semak
belukar. Sementara beberapa prajurit yang lain telah diperintahkan untuk
mencari keris Kanjeng Kiai Sarpasri yang terlepas dari genggaman Ki Ajar.
Beberapa prajurit segera mengangkat
tubuh Ki Ajar dan membawanya ke tempat yang agak lapang. Para prajurit yang
menyentuh tubuh Ki Ajar itu pun telah dibuat menjadi berdebar debar.
“Tubuh ini nyaris tak bertulang,” bisik
seorang prajurit yang berkumis tipis dan tampan sambil membantu kawan-kawannya
mengangkat tubuh Ki Ajar dari semak-semak.
“Mengerikan,” desis kawan di sebelahnya
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kekuatan aji Ki Patih telah meremukkan
tubuh bagian dalam Ki Ajar. Seandainya Ki Ajar tidak memiliki ketahanan tubuh
yang kuat, tentu tubuhnya telah hancur menjadi sayatan daging dan pecahan
tulang.”
“Nggegirisi,” gumam prajurit yang lain,
“Mungkin Ki Ajar memiliki semacam ilmu kebal sehingga tubuhnya tidak hancur.”
“Menurut perhitunganku Ki Ajar tidak
mempunyai ilmu kebal,” sahut prajurit di sebelahnya, “Buktinya tangan Ki Ajar
ini terluka oleh serangan ilmu Ki Patih.”
“Mungkin Ki Ajar belum mengetrapkan
ilmu kebalnya sampai ke puncak pada saat Ki Patih berhasil melukai pergelangan
tangan kanannya,” seorang prajurit yang agak gemuk menyahut.
“Dengan keris pusaka di tangannya, Ki
Ajar memang terlalu menganggap remeh Ki Patih,” yang lain ikut menimpali.
Demikianlah sambil tetap berjalan
mengangkat jasad Ki Ajar yang telah membeku, para prajurit itu pun tak
henti-hentinya membicarakan perang tanding yang baru saja usai.
“Siapakah yang lebih tinggi ilmunya? Ki
Patih atau kah Ki Rangga Agung Sedayu?” tiba-tiba saja seorang prajurit yang
bertubuh kurus yang sedari tadi diam saja telah mengajukan sebuah pertanyaan.
Sejenak kawan-kawannya bagaikan membeku
mendengar pertanyaan itu. Tidak ada seorang pun yang berani menjawab. Akhirnya
dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati mereka pun kemudian meletakkan jasad
Ki Ajar di atas tanah yang agak lapang.
“Bagaimana pendapat kalian?” kembali
prajurit yang bertubuh kurus itu bertanya sambil menegakkan tubuhnya.
“Pendapat yang mana?” bertanya kawannya
yang lain hampir bersamaan sambil berpaling ke arahnya.
“Perbandingan ilmu itu,” jawab prajurit
kurus itu sambi mengerutkan keningnya, “Ilmu siapakah yang lebih tinggi, Ki
Patih atau kah Ki Rangga Agung Sedayu?”
Kawan-kawannya tidak segera menjawab,
mereka hanya saling pandang sambil mengerutkan kening.
Akhirnya seorang prajurit yang rambutnya
sedikit beruban mencoba menjawab, “Mereka berdua tidak dapat di perbandingkan.
Ki Rangga masih termasuk muda dibanding dengan Ki Patih sehingga masih banyak
kemungkinan untuk mencapai tataran yang lebih tinggi. Sedangkan Ki Patih semasa
mudanya dahulu adalah seorang yang tanpa tanding kecuali dengan Sultan Pajang
yang pada masa mudanya bergelar Mas Karebet atau Jaka Tingkir.”
Para prajurit yang sedang mengerumuni
jasad Ki Ajar itu tampak mengangguk-angguk. Demikian juga dengan prajurit yang
bertubuh kurus itu. Agaknya dia dapat memahami apa yang disampaikan oleh
kawannya itu.
“Namun seumur hidupku, aku baru
menyaksikan sebuah aji yang nggegirisi,” gumam prajurit yang bertubuh kurus itu
kemudian, “Ilmu Panembahan Cahya Warastra memang ngedab-edabi yang mampu
mengubah bentuk wadagnya menjadi raksasa. Akan tetapi ternyata Ki Rangga mampu
mengatasinya. Ki Rangga dapat berubah wujud menjadi tiga, itu juga sebuah ilmu
nggegirisi yang belum pernah aku saksikan seumur hidupku.”
“Bagaimana dengan Ki Patih yang dapat
memecah dirinya menjadi berpuluh-puluh bahkan mungkin sampai ribuan?” kawan
yang di sebelahnya ganti bertanya.
“Itu mungkin sejenis Aji Bala Srewu,”
jawab prajurit yang bertubuh kurus itu, “Sepanjang pengetahuanku Aji Bala Srewu
itu hanya sebuah tipuan saja, sebuah ilmu yang mampu mengungkapkan
bentuk-bentuk semu namun tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap lawannya.”
“Dari mana Kau tahu?” kembali seorang
prajurit bertanya.
“Aku pernah mempelajarinya walaupun
tidak tuntas,” jawab Prajurit yang bertubuh kurus itu dengan enteng.
“Ah, macam kau!” sergah kawannya
Kawan-kawannya yang telah melangkah
pergi dari tempat itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala mereka tanpa
menanggapi angan-angan dari prajurit yang bertubuh kurus itu.
Dalam pada itu Ki Patih yang telah
selesai dalam mengatur tata letak urat syaraf serta pernafasannya terlihat
semakin segar. Sambil tersenyum Ki Patih pun kemudian mengurai kedua tangannya
yang bersilang di dada dan bangkit berdiri.
“Agaknya kita memerlukan beberapa
lubang kubur lagi,” berkata Ki Patih kemudian sambil memandang ke arah kedua
cucunya yang juga telah ikut berdiri.
“Hamba Eyang Patih,” jawab Ki Lurah
Upasanta, “Kami akan perintahkan beberapa prajurit untuk menggali lagi.
Sementara itu, apakah pemakaman sudah dapat dimulai?”
“O, tentu-tentu,” jawab Ki Patih cepat,
” Perintahkan orang-orang yang sedang menunggu di gerbang padukuhan induk itu
untuk segera menuju ke sini.”
Tanpa menunggu perintah untuk kedua
kalinya, kedua Lurah Wira Tamtama yang merupakan cucu dari Ki Patih itu segera
mundur dan meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan perintah Ki Patih.
Sepeninggal kedua cucunya, sejenak Ki
Patih masih berdiri termangu-mangu. Ketika pandangan matanya kemudian tertumbuk
pada sesosok anak muda yang berkulit sedikit gelap dengan wajah yang
menyiratkan sebuah wibawa yang agung, tiba-tiba saja Ki Patih tertawa pendek.
“Cucunda Buyut, masalah yang kita
hadapi telah berlalu. Mengapa wajahmu masih terlihat gelisah dan tegang?” sapa
Ki Patih kepada seorang anak muda yang berdiri di sebelahnya.
Anak muda yang tak lain adalah Raden
Mas Rangsang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Aku gelisah
memikirkan masa depan Mataram. Kanjeng Eyang Buyut sudah sedemikian sepuh namun
masih mampu menunjukkan kemampuan yang diluar jangkauan kami yang muda-muda
ini. Kami tidak dapat mengingkari garis dari Yang Maha Agung, bahwa suatu saat
Kanjeng Eyang Buyut pasti akan meninggalkan kami semua, dan belum ada seorang
pun dari kami yang muda-muda ini yang dapat dikatakan mempunyai kemampuan
mendekati atau pun bahkan sejajar dengan Kanjeng Eyang Buyut.”
“Ah,” kembali Ki Patih tertawa pendek,
sementara Ki Jayaraga dan Ki Gede hanya tersenyum saja mendengar ucapan calon
penerus trah Mataram itu.
“Raden,” berkata Ki Patih kemudian
sambil menepuk bahu Raden Mas Rangsang, “Pemimpin yang sejati itu pasti akan
muncul dengan sendirinya jika memang Yang Maha Agung telah menetapkan waktunya.
Ingat lah leluhur Wangsa Rajasa, Ken Arok. Kalau Yang Maha Agung sudah
menghendaki dia menjadi Raja, tidak ada seorang pun manusia yang dapat
menghalanginya pada waktu itu,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya,
“Bagaimana dengan Bekel Gajah Mada? Dia telah berhasil mempersatukan Nusantara
dari ujung timur sampai ke ujung barat di bawah panji-panji kebesaran kerajaan
Majapahit. Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa dari seorang prajurit
yang berpangkat Bekel kemudian dapat mencapai kedudukan menjadi seorang Maha
Patih Hamangkubumi. Gajah Mada adalah sebuah contoh keteladanan tentang seorang
abdi yang setia kepada Rajanya. Seandainya Gajah Mada mempunyai nafsu pribadi
untuk menjadi Raja, alangkah mudahnya melenyapkan Hayam Wuruk yang pada saat
dia naik tahta masih berusia sangat muda. Namun jiwa pengabdian Maha Patih
Gajah Mada memang luar biasa. Dia bekerja tanpa pamrih, hanya mengabdi demi
kejayaan Majapahit.”
Orang-orang yang berada di sekitar Ki
Patih itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka semua sudah paham tentang
kisah Maha Patih Gajah Mada dari babat-babat yang mereka baca. Seseorang yang
dianugrahi oleh Yang Maha Agung kecerdasan dan kemampuan ilmu olah kanuragan
yang dahsyat tiada taranya. Dengan aji lembu sekilan yang dimilikinya, Maha
Patih Gajah Mada telah mampu menggulung jagad dan mempersatukan negeri-negeri
kecil yang tersebar luas di seluruh Nusantara di bawah panji-panji kebesaran
Majapahit.
“Mengapa Maha Patih Gajah Mada sendiri
tidak berniat untuk menjadi Raja?” tiba-tiba saja pertanyaan itu telah
menggelitik hati Raden Mas Rangsang.
Agaknya Ki Patih dapat membaca pikiran
Raden Mas Rangsang. Maka katanya kemudian, “Seseorang yang sudah mampu
mengendapkan hatinya dari gejolak keinginan pribadi, dan sudah membulatkan
tekadnya bahwa seluruh hidupnya akan dipersembahkan hanya untuk mengabdi, tidak
akan tergoda oleh gebyarnya dunia. Maha Patih Gajah Mada telah menempatkan
dirinya sebagai pendamping Raja Hayam Wuruk dan tidak ada terbesit niat sebiji
sawi pun di dalam hatinya untuk meraih kamukten melebihi dari apa yang telah
diterimanya walaupun dia mampu untuk melakukan itu. Karena dia sadar, bahwa
seorang Raja adalah pilihan langsung dari Yang Maha Agung melalui Wahyu
Keprabon. Tanpa Wahyu Keprabon, walaupun dia trah seorang raja sekali pun, dia
tidak akan dapat menduduki singgasana, demikian juga sebaliknya.”
Raden Mas Rangsang dan kedua orang
tua-tua itu hampir bersamaan telah menarik nafas dalam-dalam. Sudah banyak
kejadian, dimana seseorang yang mengaku trah dari Majapahit telah berusaha
menggalang kekuatan untuk membangun kembali kejayaan kerajaan terbesar yang
pernah ada di Nusantara ini, namun mereka tidak pernah berhasil.
“Berhati-hati lah dengan orang-orang
yang masih mempunyai mimpi seperti itu,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Kau
telah mendengar sendiri dari mulut Ki Ajar sebelum perang tanding tadi, bahwa
menurut Ki Ajar dan kelompoknya yang berhak atas tahta di negeri ini adalah
trah dari Pangeran Sekar Seda Lepen. Di kemudian hari, mereka akan dapat
menjadi duri dalam daging bagi pemerintahan Mataram.”
Raden Mas Rangsang dan kedua orang tua
itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka tanpa menjawab sepatah kata
pun. Ketika rombongan iring-iringan jenasah dari arah pintu gerbang padukuhan
induk itu telah mendekati tanah pekuburan, perhatian mereka pun segera tertuju
kepada iring-iringan jenasah itu.
“Marilah,” berkata Ki Patih kemudian
sambil melangkah, “Sebaiknya kita segera menyelenggarakan pemakaman yang sempat
tertunda beberapa saat tadi.”
“Hamba Ki Patih,” hampir berbareng
kedua orang tua itu menjawab. Sementara Raden Mas Rangsang mengikuti saja
langkah Ki Patih mendekati orang-orang yang mulai berkerumun di tanah
pekuburan.
Demikianlah akhirnya jenasah jenasah
itu pun segera dipersiapkan untuk dikebumikan sebagaimana mestinya. Para
prajurit telah menggali beberapa liang kubur lagi untuk jasad Ki Ajar Serat
Gading dan Kiai Sambiwaja serta beberapa murid perguruan Serat Gading yang
telah menjadi korban.
Setelah seorang yang dituakan dari
Padukuhan Induk memanjatkan doa, dengan segera para prajurit dibantu oleh
beberapa laki-laki penghuni padukuhan induk yang ikut hadir untuk menutup
lubang-lubang kubur itu dengan tanah-tanah gundukan bekas galian yang banyak
tersebar di tanah pekuburan itu.
Ketika Ki Tumenggung Surayudha mendapat
kesempatan mendekati Ki Patih yang sedang memperhatikan pelaksanaan pemakaman
itu, dengan segera dia berbisik perlahan, “Ampun Ki Patih, kami tidak dapat
menemukan keris pusaka Ki Ajar.”
Sejenak Ki Patih mengerutkan keningnya.
Namun sejurus kemudian dia tersenyum sambil berdesis, “Biarlah Ki Tumenggung.
Kemungkinannya keris itu telah dipanggil kembali oleh pemiliknya yang disebut
Eyang Guru oleh Ki Ajar. Sebagaimana yang pernah terjadi di masa pemerintahan
Panembahan Senapati.”
Ki Tumenggung Surayudha menarik nafas
dalam-dalam. Hatinya sedikit tergetar. Kekuatan keris Kanjeng Kiai Sarpasri itu
benar-benar sangat nggegirisi.
Dalam pada itu, ketika orang-orang yang
berada di tanah pekuburan itu baru saja selesai menyelenggarakan pemakaman dan
akan berkemas-kemas untuk kembali ke padukuhan induk, tiba-tiba saja mereka
telah dikejutkan oleh suara derap kaki seekor kuda yang dipacu dengan sangat
kencang. Segera saja semua pandangan mata tertuju ke arah gerbang padukuhan
induk.
Sejenak kemudian mereka yang berada di
tanah pekuburan itu pun telah melihat seorang penunggang kuda muncul dari balik
gerbang padukuhan induk yang telah roboh dan langsung saja memacu kudanya
dengan kencang menuju ke arah tanah pekuburan.
“Siapakah penunggang kuda itu?”
pertanyaan itu berputar-putar hampir di setiap kepala orang-orang yang berada
di tanah pekuburan itu.
Namun pertanyaan itu segera terjawab
ketika tiba-tiba saja Ki Gede Menoreh berseru dengan nada yang penuh
kegembiraan, “Ah, kiranya Ki Waskita yang telah hadir!”
Penunggang kuda yang memang adalah Ki
Waskita itu segera mengurangi laju kudanya begitu mendekati kerumunan
orang-orang yang ada di tanah pekuburan. Dengan tangkasnya dia meloncat turun
begitu kuda itu telah berhenti. Sambil menuntun kudanya, Ki Waskita pun dengan
bergegas segera menuju ke tempat Ki Patih dan orang-orang tua itu berdiri.
Sesampainya Ki Waskita di depan Ki
Patih, dengan sedikit membungkukkan badannya, Ki Waskita pun kemudian berkata
sambil tersenyum, “Ampun Ki Patih. Agaknya hamba telah terlambat. Namun
sokorlah semuanya dalam keadaan selamat.”
Ki Patih tertawa tertahan sambil
menunjukkan luka di lengan kirinya. Katanya kemudian, “Ternyata aku telah
menjadi semakin lamban dan sedikit pikun. Lawanku telah berhasil memberikan
sebuah kenang-kenangan untuk aku ingat seumur hidupku.”
“Ah,” orang-orang yang mendengar
kelakar Ki Patih itu telah tertawa.
Demikian juga Ki Waskita. Namun katanya kemudian, “Ampun Ki Patih, luka itu sepertinya mengandung racun walaupun aku percaya racun itu tidak akan mampu menjalar lebih jauh lagi. Namun alangkah baiknya kalau sekalian saja racun itu dikeluarkan dari luka agar kelak di kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Demikian juga Ki Waskita. Namun katanya kemudian, “Ampun Ki Patih, luka itu sepertinya mengandung racun walaupun aku percaya racun itu tidak akan mampu menjalar lebih jauh lagi. Namun alangkah baiknya kalau sekalian saja racun itu dikeluarkan dari luka agar kelak di kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan.”
“Kau benar Ki Waskita,” jawab Ki Patih
sambil meraba lukanya, “Racun yang mengeram di sekitar luka ini harus
dikeluarkan. Jika dibiarkan, suatu saat dapat menyerang kembali jika ketahanan
tubuhku melemah.”
Orang-orang yang berada di sekitar Ki
Patih telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka juga mempunyai pendapat
yang sama. Sebaiknya racun itu memang dibersihkan sama sekali dari luka yang
berada di lengan kiri Ki Patih.
“Biarlah Tabib keprajuritan di
padukuhan induk nanti yang akan mengobati luka ini,” berkata Ki Patih kemudian,
“Sebaiknya kita segera kembali ke padukuhan induk.”
Kemudian katanya kepada Ki Tumenggung
Surayudha, “Persiapkan pasukan Mataram untuk kembali ke kota Raja. Untuk
membantu pengamanan Tanah Perdikan Menoreh dan menjaga kemungkinan keadaan yang
dapat berkembang diluar pengamatan kita, Kau dapat menempatkan sepasukan
prajurit untuk membantu para pengawal menjaga padukuhan induk dan sekitarnya.”
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung
Surayudha, “Apakah Ki Patih berkenan kembali ke Kota Raja bersama pasukan
Mataram?”
Ki Patih tersenyum sambil menggeleng.
Sambil berpaling sekilas ke arah Ki Gede Menoreh, ki Patih pun menjawab, “Aku
akan menjenguk keadaan Ki Rangga Agung Sedayu terlebih dahulu. Nanti menjelang
senja, bersama dengan Raden Mas Rangsang aku akan kembali ke Kota Raja dengan
pengawalan dari prajurit pengawal kepatihan saja.”
Orang-orang yang berdiri di sekitar Ki
Patih itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, sekarang marilah kita berbincang
bincang sambil berjalan kembali ke padukuhan induk,” berkata Ki Patih kemudian
sambil mengayunkan langkahnya.
Demikian lah akhirnya mereka yang telah
selesai melaksanakan pemakaman itu telah berbondong-bondong meninggalkan tanah
pekuburan. Sementara Ki Patih dan orang-orang tua beserta Raden Mas Rangsang
yang berjalan di urutan paling belakang itu telah terlibat dalam pembicaraan
yang riuh.
“Aku dengar Ki Waskita baru saja
sakit,” berkata ki Gede Menoreh.
“Benar Ki Gede,” jawab Ki Waskita
sambil menuntun kudanya, “Kita tidak bisa mengelabui umur. Dengan semakin
bertambahnya umur, semakin lemah pula wadag seseorang.”
“Tidak semuanya benar,” potong Ki Gede
dengan serta merta, “Siapapun tahu kalau Ki Patih Mandaraka adalah priyagung
yang sudah melewati batas umur rata-rata manusia, bahkan paling sepuh di antara
kita. Namun dengan seijin Yang Maha Agung, Ki Patih masih diberi kekuatan untuk
berperang tanding melawan Ki Ajar Serat Gading, orang yang mengaku keturunan
perguruan Nagaraga.”
“Ah,” Ki Patih yang mendengar gurauan
Ki Gede tertawa masam, “Jujur saja aku akui, jika Ki Ajar tidak terlalu
meremehkan lawannya, aku tidak tahu apakah aku sekarang ini masih bisa berjalan
bersama-sama dengan kalian?”
“Ampun Ki Patih,” Ki Waskita menyahut,
“Untuk ukuran Ki Patih, tentu saja kami tidak berani dengan deksura
membandingkan diri kami yang sudah tua bangka ini, karena menurut pengamatan
kami, tentu Ki Patih mempunyai suatu rahasia untuk dapat memiliki umur yang
panjang dan tetap awet muda.”
Orang-orang di sekitar Ki Patih saling
pandang. Namun Ki Jayaraga lah yang menyahut, “Ampun Ki Patih. Mohon Ki Patih
berkenan memberi petunjuk kepada kami yang sudah tua bangka ini, kira-kira
sejenis obat atau reramuan apakah yang telah dipergunakan oleh Ki Patih
sehingga Ki Patih tetap kuat dan awet muda?”
Orang-orang yang mendengar pertanyaan
Ki Jayaraga itu hampir tidak dapat menahan tawa. Demikian juga Ki Patih, sebuah
senyum telah tersungging di bibirnya. Namun ketika Ki Patih baru saja akan
menjawab pertanyaan Ki Jayaraga, tiba-tiba saja Ki Gede Menoreh yang berjalan
di sebelah kirinya bergumam perlahan namun cukup mengejutkan orang-orang yang
mendengarnya, “Ampun Ki Patih, untuk urusan awet muda, aku kira jawabannya ada
pada diri Ki Waskita. Bukankah baru beberapa bulan yang lalu Ki Waskita telah
menikah lagi?”
Kali ini orang-orang yang mendengar
pertanyaan Ki Gede itu benar-benar tidak dapat menahan tawa. Sejenak kemudian
meledaklah tawa yang berkepanjangan di sepanjang jalan menuju padukuhan induk.
Namun ketika mereka menyadari bahwa suasana masih dalam keadaan berkabung,
dengan serta merta mereka segera menyesuaikan diri walaupun di sana sini
beberapa orang masih belum dapat menghapus senyum dari wajah mereka.
Ki Patih yang mendengar kata-kata Ki
Gede itu sejenak tersenyum sambil mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “O,
aku baru mendengar sekarang ini kalau Ki Waskita telah menikah lagi. Selamat Ki
Waskita, semoga Ki Waskita dapat memulai kehidupan baru dalam keadaan bahagia
dan sejahtera. Itulah agaknya mengapa sekarang ini Ki Waskita terlihat lebih
muda dari usia yang sebenarnya.”
“Ah,” Ki Waskita yang menyadari dirinya
sedang menjadi pusat perhatian segera menjawab, “Ampun Ki Patih, perempuan yang
aku nikahi itu umurnya sudah setua aku. Pertimbangan yang aku ambil ketika
menikahinya adalah agar ada seseorang yang dapat membantuku dalam menyiapkan
kebutuhanku sehari-hari.”
“Mengapa Ki Waskita tidak menikah
dengan perempuan yang masih muda?” bertanya Ki Patih kemudian, “Dengan demikian
kebutuhan Ki Waskita yang lain pun akan tercukupi.”
“Ah,” kembali terdengar tawa yang
tertahan-tahan. Memang kebanyakan orang akan memilih perempuan yang masih muda
jika mereka harus menikah lagi. Tentu saja semua itu dengan berbagai macam
alasan dan pertimbangan.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Waskita
kemudian dengan raut muka yang terlihat bersungguh-sungguh, “Pertimbanganku
pada waktu itu adalah, bagaimana aku mendapatkan ketenangan dalam menjalani
sisa hidupku yang hanya tinggal beberapa saat lagi.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata Ki
Waskita ini menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Mereka
menyadari, betapa sulitnya menjalani kehidupan di hari tua tanpa seorang pun
pendamping. Memang untuk urusan segala macam tetek bengek rumah tangga mereka
dapat mengambil beberapa pelayan. Namun keberadaan seorang pelayan tentu saja
sangat berbeda perannya dengan seorang istri.
Tanpa terasa langkah-langkah mereka
telah mendekati regol padukuhan induk. Beberapa orang penghuni padukuhan induk
dibantu oleh para prajurit tampak sedang memperbaiki regol yang telah roboh dan
terbakar.
“Kayu mahoni cukup kuat untuk sebuah
gerbang,” desis Ki Patih ketika mereka melewati regol yang sedang diperbaiki
itu.
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede, “Kami
belum sempat mencari bahan yang terbaik untuk regol ini. Namun kekuatan kayu
Mahoni kami rasa sudah cukup memadai.”
Ki Patih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika tanpa disadarinya dia telah berpaling ke arah orang-orang
yang sedang bekerja itu, ternyata mereka telah menghentikan pekerjaan mereka
sejenak dan hanya berdiri mematung sambil menundukkan kepala.
“Apakah kami mengganggu?” bertanya Ki
Patih, “Teruslah bekerja! Kami hanya lewat saja.”
“Sendika Ki Patih,” jawab seorang
prajurit tertua yang mewakili rombongan pekerja itu sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam.
Demikianlah ketika orang terakhir telah
melewati regol yang sedang diperbaiki itu, para pekerja dibantu oleh beberapa
prajurit pun segera meneruskan pekerjaan mereka.
Dalam pada itu, di langit Matahari
telah memanjat semakin tinggi. Ketika bola api raksasa itu telah berada tepat
di atas ubun-ubun, panasnya pun bagaikan membakar seluruh permukaan bumi.
Di tegal kepanasan pebukitan Menoreh,
seseorang tampak sedang berdiri dengan gagahnya. Matanya yang setajam burung
elang sesekali terlihat memandang kekejauhan seperti sedang menunggu kedatangan
seseorang.
“Menurut Begawan Cipta Hening, orang
yang harus aku bunuh itu baru akan datang besok siang di tempat ini,” orang
yang bertubuh tegap dan kekar itu berdesis perlahan, “Jika memang Begawan Cipta
Hening memiliki sebuah ilmu yang disebutnya dengan nama Sulih Nyawa itu, tentu
Mataram akan gempar begitu menyadari Panembahan Cahya Warastra telah bangkit
kembali dari kematiannya.”
Orang yang berbadan tegap dan kekar itu
sejenak tersenyum. Seolah-olah sudah terbayang kemenangan di depan matanya.
“Dan dengan sangat mudahnya aku akan
membunuh Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tergolek tak berdaya di atas
pembaringannya,” kembali orang itu berangan-angan, “Semoga saja dia tidak mati
terlebih dahulu agar dengan tanganku sendiri aku dapat mengakhiri
kesombongannya.”
Untuk sejenak orang itu termenung.
Terbayang kembali apa yang telah terjadi di dalam sebuah goa yang tersembunyi
di puncak Suralaya dekat Tegal Kepanasan beberapa saat tadi.
“Kau sudah sangat terlambat Bango
Lamatan,” berkata orang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening itu,
“Seharusnya Kau bawa jasad Panembahan Cahya Warastra ke tempat ini sebelum
cahaya pertama dari sinar Matahari menyentuh bukit Suralaya.”
“Ampun Begawan,” jawab Bango Lamatan
sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, “Aku baru berhasil mengambil jasad
Panembahan dari bekas medan pertempuran menjelang tengah malam. Dalam
perjalanan membawa jasad panembahan ini pun aku harus sangat berhati-hati
jangan sampai ada yang mengikuti perjalananku. Aku benar-benar mohon maaf atas
keterlambatan ini.”
Terdengar orang yang menyebut dirinya
Begawan Cipta Hening itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan goa yang
cukup gelap, sebenarnya bukanlah halangan yang berarti bagi Bango Lamatan untuk
mengenali wajah Sang Begawan. Namun entah sudah berapa kali Bango Lamatan
selalu gagal untuk mengenali wajah orang yang sedang duduk di atas sebuah batu
besar hanya beberapa langkah di hadapannya.
“Bukankah Kau adalah orang kedua dalam
perguruan Cahya Warastra?” bertanya Begawan Cipta Hening dengan suara yang
berat dan dalam setelah sejenak mereka berdiam diri. Terdengar suaranya yang
bergaung itu memantul dinding-dinding goa dan menciptakan suara-suara aneh yang
menyeramkan.
“Benar Begawan,” jawab Bango Lamatan
dengan perlahan, “Namun sesungguhnya aku bukanlah murid asli dari perguruan
Cahya Warastra, jalur ilmu kami sangat berbeda.”
“Walaupun jalur ilmu yang Kau tekuni
berbeda dengan jalur perguruan Cahya Warastra. Namun kenyataannya bahwa
Panembahan Cahya Warastra telah mengangkatmu menjadi orang kedua dalam susunan
kepemimpinan perguruannya itu merupakan bukti bahwa tingkat ilmumu memang patut
diperhitungkan. Jadi urusan membawa jasad Panembahan itu ke sini sebelum
Matahari terbit bukanlah soal yang rumit bagimu,” kembali suara berat dan dalam
itu bergaung ke seluruh sudut-sudut goa dan memantulkan suara mirip geraman
berpuluh-puluh ekor serigala.
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam
mendengar ucapan Sang Begawan. Sejenak pandangan matanya tertuju ke arah jasad
Panembahan Cahya Warastra yang tergeletak di lantai goa yang lembab dan basah.
Sepercik keragu-raguan mulai muncul dalam hatinya. Benarkah orang yang menyebut
dirinya Begawan Cipta Hening ini mempunyai sejenis ilmu yang ngedab-edabi itu?
ilmu yang mampu membangkitkan jasad yang sudah membeku untuk bisa bangkit
kembali?
Kalau seandainya saja Panembahan Cahaya
Warastra dapat memenangkan perang tanding itu, tentu dia tidak perlu menghadap
seseorang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening di bukit Suralaya dekat
Tegal Kepanasan.
Akhirnya setelah menarik nafas
dalam-dalam terlebih dahulu, dengan sangat hati-hati Bango Lamatan pun
menjawab, “Maaf Begawan, pada saat aku akan mengambil jasad Panembahan, ada
seseorang yang sedang berada di dekat bekas medan perang tanding itu. Malam
memang sangat gelap pada saat itu. Namun tampaknya dengan sengaja orang itu
telah menampakkan dirinya dan hanya berdiri diam di bawah sebatang pohon. Tidak
ada suatu usaha pun untuk menyamarkan dirinya terhadap lingkungan di
sekitarnya. Dari sikapnya yang sombong itu aku dapat menarik sebuah kesimpulan,
orang itu pasti memiliki keyakinan yang tinggi atas kemampuan ilmunya.”
“Atau justru sebaliknya, dia hanyalah
seorang dungu yang tersesat sampai ke bekas medan pertempuran. Mengapa tidak Kau
bunuh saja orang gila itu, he!” terdengar Begawan Cipta Hening itu menggeram.
Getaran suaranya seakan-akan meruntuhkan dinding-dinding goa.
Untuk sejenak dahi Bango Lamatan
berkerut-merut. Dia memang hanya melihat orang di bekas medan perang tanding
itu berdiri termangu-mangu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sikapnya yang terlalu tenang itu lah yang telah menggelisahkan Bango Lamatan.
“Maaf Begawan,” jawab Bango Lamatan
kemudian, “Sebelum aku memutuskan apa yang akan aku perbuat terhadap orang itu,
tiba-tiba saja dalam keremangan malam ada dua bayangan yang terlihat mendekati
bekas arena perang tanding itu.”
“Bodoh! Mereka tentu para prajurit yang
bertugas mengumpulkan korban di medan pertempuran,” kali ini terdengar Begawan
Cipta Hening membentak, “Seharusnya Kau bunuh sekalian kedua orang itu!”
Untuk sejenak Bango Lamatan harus
menekan dadanya yang terasa sesak bagaikan tertimbun berbongkah-bongkah longsoran
batu padas di lereng pegunungan. Suara bentakan orang yang menyebut dirinya
Begawan Cipta Hening itu bagaikan suara halilintar yang meledak tepat di depan
hidungnya.
“Aku tidak sempat berpikir terlampau
jauh, Begawan” sahut Bango Lamatan kemudian setelah dadanya terasa lapang,
“Dalam keadaan yang serba tidak pasti itu, aku segera mengambil keputusan untuk
mengambil jasad Panembahan, sebelum kedua orang yang datang kemudian itu
semakin dekat. Dan anehnya orang pertama yang hadir di bekas medan pertempuran
itu ternyata tidak berbuat apa-apa. Dia hanya diam saja ketika aku membawa
jasad Panembahan Cahya Warastra itu pergi.”
“Berarti dugaanku benar, dia hanyalah
orang dungu yang tersesat ke tempat itu!” kembali terdengar orang yang menyebut
dirinya Begawan Cipta Hening itu menggeram sambil menghentakkan salah satu
kakinya ke lantai goa. Akibatnya adalah sangat dahsyat, goa itu bagaikan
diguncang gempa sehingga di beberapa bagian dari dinding-dinding goa itu telah
runtuh berguguran.
“Itulah bodohnya Kau, Bango Lamatan!”
kembali Begawan Cipta Hening membentak. Suaranya bagaikan auman berpuluh singa
di padang gurun, “Kau belum dapat membedakan orang yang berilmu tinggi dan
orang yang dungu. Akibatnya kedatangan jasad Penembahan ini sudah sangat
terlambat, dan aku sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi!”
Jantung Bango Lamatan bagaikan terlepas
dari tangkainya. Musnah sudah harapannya untuk membalas dendam terhadap
orang-orang Mataram dan Menoreh. Ada sebuah penyesalan di dalam hatinya,
mengapa dia sampai terlambat membawa jasad panembahan Cahya Warastra.
“Kecuali..” tiba-tiba terdengar nada
suara Begawan menurun, “Nyawa Panembahan ini harus ditukar dengan nyawa dari
seseorang yang sangat berharga. Nyawa dari seseorang yang telah diramalkan akan
merajai tanah Jawa.”
Bango Lamatan tertegun sejenak.
Berbagai dugaan muncul dalam benaknya. Siapakah orang yang dimaksud oleh
Begawan Cipta Hening itu?
“Pergilah!” tiba-tiba terdengar suara
Begawan Cipta Hening seperti salak seekor anjing hutan, melengking tinggi
menyakitkan telinga, “Carilah calon Raja Jawa itu. Besok setelah Matahari
tergelincir sejengkal, Kau akan menjumpai orang itu di tegal kepanasan.
Bunuhlah dia sebagai pengganti dari nyawa Panembahan Cahya Warastra. Ilmu Sulih
nyawa yang aku kuasai mengisyaratkan pengganti nyawa Panembahan adalah nyawa
dari orang itu.”
Bergemuruh dada bango Lamatan begitu
mendengar perintah begawan Cipta Hening. Walaupun secara pribadi bango lamatan
belum mengenal Sang Begawan, terutama tingkat ilmunya. Namun menilik salah satu
kemampuannya yang mampu menghindarkan diri dari pengamatan bango Lamatan, itu
sudah menunjukkan akan ketinggian ilmunya. Apalagi Panembahan Cahya Warastra
semasa hidupnya juga mengakui akan ketinggian ilmunya, terutama ilmu Sulih
Nyawa yang dipercaya dapat membangkitkan orang dari kematian.
Namun tiba-tiba saja terbesit niat dari
bango Lamatan untuk mencoba kedahsyatan ilmu orang yang menyebut dirinya
Begawan Cipta Hening itu.
Maka katanya kemudian, “Baiklah
Begawan, aku mohon diri. Aku akan menghadang orang yang Begawan maksud besok
siang di Tegal Kepanasan. Aku yakin kali ini aku tidak akan gagal lagi.”
Selesai berkata demikian, Bango Lamatan
dalam sekejap telah memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetrapkan aji
Halimunan sambil bergeser keluar goa.
Namun alangkah terkejutnya Bango
lamatan, tanpa menyadari dari arah mana datangnya, tiba-tiba saja ada sebuah
kekuatan yang luar biasa dahsyat mendorongnya sehingga dia telah terlempar dan
jatuh terguling-guling keluar dari goa.
Bersamaan dengan itu terdengar sebuah
tawa yang mirip suara hantu yang bangkit dari liang kuburnya, “Apa yang ingin
kau tunjukkan kepadaku Bango Lamatan? Sekali lagi Kau berani bersikap deksura
di hadapanku, aku tidak akan mengampuni selembar nyawamu.”
Bango lamatan yang masih tertatih-tatih
bangkit berdiri segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah pintu goa
sambil berkata, “Ampun Begawan, maafkan sikap hamba yang deksura. Hamba
berjanji tidak akan mengulangi lagi.”
Tidak terdengar jawaban dari dalam goa.
Hanya suara angin lembut yang berdesir menyibak dedaunan dan membelai
rumput-rumput ilalang yang banyak tumbuh rapat berjajar-jajar di lereng bukit
Suralaya.
*****
Dalam pada itu, di padukuhan induk Ki
Patih dan rombongannya telah selesai mendapat jamuan makan siang. Ki Tumenggung
Surayudha dan Ki Tumenggug Singayudha yang mendapat sedikit cedera ternyata
telah mempersiapkan pasukan Mataram segelar sepapan untuk kembali ke kota Raja.
Sementara sepasukan khusus prajurit Mataram telah ditinggalkan di padukuhan
induk menoreh untuk membantu menjaga keamanan Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak kemudian, di halaman banjar
padukuhan induk telah berkumpul para prajurit Mataram yang akan kembali ke kota
Raja. Mereka berbaris dengan rapi dan teratur menurut tataran pangkat dalam
keprajuritan. Halaman banjar padukuhan induk yang cukup luas itu ternyata tidak
mampu menampung seluruh pasukan sehingga sebagian yang lain telah menempatkan
diri di jalan-jalan di depan banjar dan halaman rumah-rumah yang berada di
sebelah menyebelah banjar. Sementara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
hanya hadir sebagian karena harus menjaga keamanan di seluruh sudut-sudut
padukuhan induk dan sekitarnya, telah di tempatkan di barisan paling kiri di
halaman banjar.
Sedangkan para penghuni padukuhan induk
yang telah kembali dari tempat pengungsian mereka dan ingin menyaksikan acara
pelepasan para prajurit mataram kembali ke kota Raja telah hadir sejak tengah
hari tadi. Mereka tidak memperdulikan panas Matahari yang menyengat.
Perempuan-perempuan sambil menggendong anaknya yang masih bayi mencoba berteduh
di bawah rindangnya pepohonan yang ada di seputar banjar. Para laki-laki lebih
senang berdiri berjajar-jajar merapat ke dinding pembatas halaman banjar yang
rendah. Sementara gadis-gadis dengan agak malu-malu berdiri berlidung di balik
punggung biyung mereka, namun mata mereka tak pernah lepas mengamati para
prajurit-prajurit muda yang tampak gagah perkasa dan berwibawa.
Demikianlah setelah semuanya tertata
rapi, Ki Patih dan beberapa orang-orang tua telah keluar dari ruang dalam
melalui pintu pringgitan menuju ke pendapa.
Ki Tumenggung Surayudha yang telah
selesai melihat persiapan pasukan Mataram segera menghadap Ki Patih.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Tumenggung
kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Patih, “Persiapan pasukan telah selesai,
kami menunggu perintah dari Ki Patih.”
Ki Patih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh dia bertanya,
“Apakah Ki Gede ingin menyampaikan sesuatu sebelum pasukan Mataram berangkat
kembali ke kota Raja?”
“Demikianlah Ki Patih,” jawab Ki Gede
dengan serta merta, “Jika hamba memang diijinkan untuk menyampaikan rasa terima
kasih kami atas bantuan pasukan Mataram yang tak terhingga kepada Tanah Pedikan
ini.”
“Silahkan, Ki Gede,” berkata Ki Patih
kemudian sambil mempersilahkan Ki Gede untuk maju ke depan.
“Terima kasih, Ki Patih,” berkata Ki
Gede sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam dan bergeser beberapa langkah
ke depan.
Selama Ki Gede menyampaikan sesorahnya,
suasana tampak cukup tenang kecuali anak-anak yang tampak berdesak-desakan di
pinggir pendapa. Mereka sama sekali tidak takut atau pun peduli atas peringatan
orang-orang tua mereka untuk berdiri sedikit agak mundur. Anak-anak itu ingin
melihat dari dekat dan sekaligus mengagumi para prajurit Mataram yang terlihat
gagah dan mengagumkan.
“Besok kalau sudah besar aku juga mau
jadi prajurit,” bisik seorang anak laki-laki berambut keriting kepada teman di
sebelahnya.
“Ah, macam kau mau jadi prajurit,”
sergah temannya sambil mencibir, “Pergi ke pakiwan malam hari saja Kau masih
minta diantar biyungmu.”
“Itu kan sekarang, aku masih kecil,”
jawab anak yang berambut keriting tak mau kalah, “Besok kalau sudah besar, aku
tentu jadi anak yang pemberani.”
“Belum tentu,” sahut teman lainnya yang
berbadan gemuk, “Aku lihat kemarin Kau menangis meraung-raung di belakang dapur
karena kakimu dipatuk ayam.”
Anak-anak yang bergerombol itu tertawa
mendengar ucapan anak yang gemuk sehingga seorang Lurah prajurit yang berdiri
tidak jauh dari anak-anak itu harus memberi isyarat kepada mereka untuk lebih
tenang.
Namun anak-anak itu hanya dapat tenang
sejenak. Anak yang berbadan gemuk itu ternyata melanjutkan kata-katanya namun
dengan setengah berbisik, “Bagaimana mau jadi prajurit, kalau sama ayam saja
kalah. Padahal untuk jadi prajurit harus berani berkelahi melawan harimau?”
“Melawan harimau?” hampir berbareng
anak-anak itu berseru keras sehingga Lurah prajurit yang berdiri tidak jauh
dari mereka itu telah berpaling dan membelalakkan matanya ke arah mereka, sebagai
isyarat agar mereka diam.
Agaknya kali ini anak-anak itu menjadi
agak takut kepada Lurah prajurit yang berdiri tidak jauh dari mereka sehingga
mereka menjadi sedikit lebih tenang.
“Demikianlah,” terdengar Ki Gede
mengakhiri sesorahnya, “Atas nama seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh, kami
mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan dari Mataram dalam menjaga
keamanan dan keutuhan wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Kami, seluruh penghuni
Tanah Perdikan Menoreh selalu siap sedia berjuang di bawah panji-panji
kebesaran Mataram.”
Segera saja tepuk tangan yang riuh
menggema memenuhi udara di sekitar banjar Padukuhan induk menyambut kalimat
terakhir dari pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Terima kasih Ki Gede,” sambut Ki Patih
sambil menyalami Ki Gede diikuti oleh para orang-orang tua begitu ayah Pandan
Wangi itu selesai memberikan sesorahnya dan kembali ke tempatnya semula.
“Hamba Ki Patih,” Ki Gede menyambut
salam ki Patih dan para orang-orang tua, “Sekali lagi kami mengucapkan terima
kasih.”
Ki Patih tidak menjawab hanya tersenyum
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian kepada Ki Tumenggung
Surayudha, “Nah, sekarang aku akan mengucapkan terima kasih kepada para
penghuni Tanah Perdikan Menoreh terutama para pengawal serta memberi sedikit
bekal kepada para prajurit agar mereka semakin mantap dalam menatap masa
depan.”
“Hamba, Ki Patih,” berkata Ki
Tumenggung sambil mempersilahkan Ki Patih Mandaraka.
Demikianlah, setelah Ki Patih dalam
sesorahnya mengucapkan terima kasih atas bantuan para penghuni Tanah Perdikan
Menoreh terutama para pengawal serta memberikan sedikit bekal mental untuk para
prajurit dalam mengemban tugas-tugas di masa mendatang, acara pelepasan para
prajurit Mataram itu pun selesai. Para Lurah Wira Tamtama segera membawa
pasukannya secara berangsur-angsur meninggalkan halaman banjar padukuhan dan
sekitarnya untuk bersama-sama kembali ke kota Raja.
“Bukankah rakit-rakit itu masih berada
di tepian kali Praga?” bertanya Ki Tumenggung Surayudha kepada Ki Tumenggung Tirtayudha
yang berjalan di sebelahnya.
“Aku rasa tidak akan ada orang yang
berani memindahkannya,” jawab Ki Tumenggung Tirtayudha, “Biarlah Pasukan
Jalamangkara nanti yang menyeberang paling akhir. Mereka harus mengatur
kuda-kuda mereka terlebih dahulu.
Ki Tumenggung Surayudha
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika tanpa sadar dia memandang ke depan,
tampak Ki Tumenggung Singayudha sudah meninggalkan mereka jauh di depan.
“Agaknya lukanya tidak terlalu parah,”
desis Ki Tumenggung Surayudha perlahan tanpa sadar.
Ki Tumenggung Tirtayudha yang berjalan
di sebelahnya berpaling.
“Siapa?” tanyanya kemudian dengan
kening yang berkerut-merut.
Sejenak ki Tumenggung Surayudha menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian sambil tersenyum dan berpaling ke arah
sahabatnya itu, “O, Ki Tumenggung Singayudha maksudku.”
Ki Tumenggung Tirtayudha tidak berkata
sepatah kata pun. Hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk serta pandangan
matanya yang terlempar jauh ke arah ki Tumenggung Singayudha yang sudah berada
di depan.
Sepeninggal pasukan Mataram yang
kembali ke kota Raja, banjar padukuhan induk pun menjadi sepi kembali. Para
penghuni padukuhan induk yang menyaksikan pelepasan pasukan Mataram itu telah
kembali ke rumah masing-masing. Hanya tinggal beberapa pengawal yang menjaga
banjar terlihat sedang berbincang-bincang di depan regol. Sementara para
prajurit pengawal kepatihan terlihat sedang beristirahat di gandhok sebelah
menyebelah.
Dalam pada itu di ruang tengah banjar
padukuhan induk, Ki Patih beserta para orang-orang tua itu masih terlihat
bercakap-cakap.
“Ampun Ki Patih. Dimanakah Raden Mas
Rangsang?” tiba-tiba Ki Gede mengajukan sebuah pertanyaan.
Ki Patih tersenyum sambil berpaling ke
arah Ki Gede Menoreh. Jawabnya kemudian, “O, aku benar-benar sudah mulai pikun.
Aku lupa menyampaikan permohonan maaf dari Raden Mas Rangsang. Selepas makan
siang tadi, sebelum kita mengantar para prajurit kembali ke kota Raja, dia
secara khusus telah menghadapku untuk memohon arahan sehubungan dengan wangsit
yang diterima melalui mimpinya dan mohon pamit untuk kembali ke Kota Gede.
Agaknya Raden Mas Rangsang harus mempersiapkan diri lahir dan batin untuk
melakukan perjalanan besok pagi sebelum Matahari terbit dari Kota Gede menuju
ke pebukitan Menoreh.”
Mereka yang mendengar keterangan Ki
Patih itu menarik nafas dalam-dalam. Memang putra Mataram itu telah diramalkan
akan menjadi Raja Besar yang menguasai tanah Jawa.
“Ampun Ki Patih. Apakah tidak ada
prajurit yang mengawalnya?” bertanya Ki Waskita kemudian.
Ki Patih menggeleng, “Raden Mas Rangsang
lebih senang berjalan sendiri. Aku sudah menawarkan beberapa prajurit untuk
mengawalnya sebagaimana berlaku atas seorang Putra Mahkota, namun dengan tegas
Raden Mas Rangsang telah menolaknya.”
Kembali kepala orang-orang yang ada di
ruang dalam itu terangguk-angguk. Agaknya jiwa petualangan dari Kakeknya,
Panembahan Senapati telah mengalir dalam diri Putra Makota itu.
“Nah,” berkata Ki Patih kemudian untuk
mengalihkan pembicaraan, “Sekarang kita mempunyai waktu yang cukup untuk
menjenguk keadaan Ki Rangga Agung Sedayu di kediaman Ki Gede.”
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede dengan
serta merta, “Sudilah kiranya Ki Patih berkenan untuk berkuda agar perjalanan
ini semakin cepat.”
Ki Patih tertawa pendek. Katanya
kemudian, “Apakah Ki Gede khawatir jika kita hanya berjalan kaki, baru minggu
depan kita akan sampai di tujuan?”
“Ah,” orang-orang yang mendengar canda
Ki Patih itu tertawa. Namun sebenarnya mereka setuju dengan usul ki Gede agar
perjalanan semakin cepat sementara Matahari telah semakin condong ke barat.
Demikianlah, akhirnya beberapa ekor
kuda telah dipersiapkan walaupun kuda-kuda itu tidak setegar dan sekuat
kuda-kuda pasukan Jalamangkara. Namun untuk menemani perjalanan orang-orang tua
menuju ke kediaman ki Gede Menoreh agaknya cukup memadai.
Ketika orang-orang tua itu telah
selesai berbenah dan keluar ke halaman banjar, ternyata di halaman telah siap
empat ekor kuda lengkap dengan peralatannya.
“He!” tiba-iba saja Ki Patih berseru
heran ketika tiba-tiba saja seorang Pekatik dengan terbungkuk-bungkuk menuntun
seekor kuda yang paling tinggi dan besar menghadap Ki Patih.
“Mengapa aku diberi kuda yang paling
besar?” bertanya Ki Patih terheran-heran, “Bukankah aku ini sudah cukup tua?
Aku sudah tidak berani lagi menaiki kuda yang sebesar dan setegar ini.”
Orang-orang tua itu menahan senyum,
namun Ki Gede segera menjawab, “Ampun Ki Patih. Sudah sepantasnya jika Ki Patih
mengendarai kuda yang terbaik di antara kami.”
“Kuda ini terlalu besar untukku,” sahut
Ki Patih, “Aku takut jika nanti bukan aku yang membawa kuda ini, tapi justru
kuda inilah yang membawaku lari tanpa terkendali.”
“Ah,” kali ini orang-orang tua di
sekitar Ki Patih benar-benar tidak dapat menahan senyum.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Gede
kemudian, “Bagaimana dengan para prajurit pengawal Kepatihan? Apakah mereka
diperkenankan untuk ikut.”
Sejenak ki Patih berpaling ke arah
seorang Lurah prajurit pengawal Kepatihan yang berdiri termangu-mangu di
samping pendapa menunggu titah Ki Patih.
“Tidak perlu,” jawab Ki Patih sambil
memberikan isyarat kepada Lurah prajurit pengawal Kepatihan itu untuk
meninggalkan tempat, “Aku sudah dikawal oleh orang-orang pilih tanding. Ada Ki
Gede Menoreh dengan tombak pusakanya yang mampu meruntuhkan bukit, ada Ki
Waskita yang mampu membakar hutan hanya dengan tatapan matanya, dan Ki Jayaraga
yang mampu mengungkapkan kekuatan air, api dan angin sehingga mampu membuat
angin prahara bercampur api sekaligus.”
Orang-orang tua yang mendengar kelakar
Ki Patih itu hanya saling pandang sambil tersenyum kecut. Namun Ki Waskita lah
yang kemudian menjawab, “Demikian juga priyagung Mataram yang kami kawal tak
kalah dahsyatnya. Selain ilmu bala srewu yang mampu membuat ujud seribu kali,
ada ilmu yang tak kalah dahsyatnya. Ilmu untuk melawan waktu sehingga tetap
awet muda dan bersemangat.”
“Ah,” Ki Patih tertawa. Sambil menunjuk
Ki waskita dia menjawab, “Bukankah aku belajar ilmu awet muda itu dari Ki
Waskita?”
Kali ini orang-orang yang ada di
halaman banjar padukuhan induk itu pun tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu di kediaman ki Gede
Menoreh, kiai Sabda dadi yang sedang berusaha menolong Anjani benar-benar
menemui kesulitan. Berkali-akli dicobanya untuk memeriksa denyut nadi di
beberapa bagian tubuh Anjani, namun tidak ada hasilnya. Bahkan Kiai Sabda Dadi
telah berusaha mengerahkan tenaga cadangannya melalui telapak kaki Anjani untuk
membuat tubuh perempuan muda itu hangat juga tidak berhasil.
Sekar Mirah yang melihat kesulitan Kiai
Sabda dadi segera berkata, “Kiai, jika diijinkan aku akan membantu. Aku dapat
menyalurkan tenaga cadanganku langsung ke jantung Anjani lewat dada sebelah
kirirnya. Aku tahu Kiai Sabda Dadi pasti tidak mungkin melakukan itu.”
Kiai Sabda dadi menarik nafas dalam
dalam sambil bangkit dan melangkah mundur. Katanya kemudian, “Benar Nyi, aku
tidak mungkin melakukan itu. Aku akan keluar bilik dan selanjutnya Anjani aku
serahkan kepada Nyi Sekar Mirah. Namun ingat pesanku. Lakukanlah dengan
perlahan-lahan agar tidak terjadi gonjangan yang mendadak sehingga dapat
berakibat kurang baik terhadap jantung Anjani.”
“Ya, Kiai,” jawab Sekar Mirah sambil
mengambil tempat duduk bersila di sisi pembaringan. Sementara Kiai Sabda Dadi
telah melangkah menuju pintu untuk keluar dari bilik.
Namun baru saja Kiai Sabda Dadi sampai
di depan pintu, ternyata Pandan Wangi sedang melangkah untuk memasuki bilik.
“O, silahkan ngger,” berkata Kiai Sabda
Dadi kemudian sambil menepi memberi jalan Pandan Wangi, “Agaknya Nyi Sekar
Mirah memerlukan kawan untuk menyadarkan Anjani.”
“Terima kasih, Kiai,” jawab Pandan
Wangi sambil melangkah masuk.
Sekar Mirah yang sedang bersiap-siap
untuk mengerahkan tenaga cadangannya telah berpaling ke arah pintu. Begitu
melihat Pandan Wangi memasuki bilik, seketika wajahnya menjadi berseri-seri.
“Marilah mbokayu, kita bantu Anjani
agar segera sadar kembali,” berkata Sekar Mirah kemudian.
Sejenak Pandan Wangi masih berdiri diam
termangu-mangu. Namun ketika dia kemudian menoleh ke arah pintu, ternyata Kiai
Sabda Dadi sudah keluar serta pintu bilik telah ditutup dari luar.
“Baiklah,” jawab Pandan Wangi kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam dan melangkah mendekati tempat Anjani
terbaring.
Demikianlah akhirnya, kedua perempuan
yang mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi itu telah duduk bersila di sebelah
menyebelah tubuh Anjani yang terbujur diam. Dengan memusatkan segenap nalar dan
budi, kedua perempuan yang berilmu pinunjul ing apapak itu telah menyalurkan
tenaga cadangan mereka untuk menghangatkan darah Anjani dan menggetarkan
jantungnya agar dapat berdegup kembali.
Waktu merambat terasa sangat lamban. Matahari
yang berada di langit telah bergeser semakin jauh ke barat. Kiai Sabda dadi
yang duduk di ruang tengah menunggu kedua perempuan itu membantu Anjani
menemukan kesadarannya kembali menjadi sedikit gelisah. Waktu yang diperlukan
kedua perempuan itu bagi Kiai Sabda Dadi telah lebih dari cukup namun belum ada
tanda-tandanya bahwa mereka berdua telah selesai.
Ketika kegelisahan Kiai Sabda Dadi itu
semakin memuncak, tiba-tiba saja pendengaran kakek Damarpati yang terlatih itu
mendengar derap beberapa ekor kuda yang sedang dipacu menuju ke kediaman ki
Gede Menoreh.
“Siapakah yang berkuda di sore hari
seperti ini?” bertanya Kiai Sabda Dadi sambil bangkit berdiri dan menuju ke
ruang pringgitan. Sementara suara derap kuda-kuda itu semakin keras dan semakin
dekat.
Ketika Kiai Sabda Dadi kemudian membuka
pintu pringgitan dan melangkah ke pendapa, bersamaan dengan itu para pengawal
yang menjaga regol kediaman Ki Gede telah berdiri berjajar di sebelah
menyebelah regol sambil membungkuk memberikan penghormatan.
“Ki Patih Mandaraka berkenan berkunjung
di kediaman Ki Gede!” seorang pengawal dengan lantang telah memberi sebuah
peringatan.
Rombongan orang berkuda itu memang ki
Patih Mandaraka beserta orang-orang tua dan Ki Gede Menoreh sendiri.
Tanpa turun dari kudanya Ki Patih
membalas penghormatan para pengawal penjaga regol. Demikian berturut-turut di
belakang Ki Patih adalah Ki Gede Menoreh sendiri, kemudian diikuti oleh Ki
Waskita dan Ki Jayaraga di urutan yang paling belakang.
Kiai Sabda Dadi yang melihat orang berkuda
di paling depan adalah Ki Patih Mandaraka dengan tergopoh-gopoh segera berlari
menyeberangi pendapa dan turun ke halaman. Seorang pengawal dengan segera
menyambut tali kendali kuda Ki Patih begitu Ki Patih meloncat turun dari
kudanya.
“Terima kasih,” berkata Ki Patih sambil
tersenyum dan mengulurkan tali kendali kudanya. Dengan cepat pengawal itu pun
segera menerima tali kendali kuda itu sambil membungkuk dalam-dalam.
“Selamat datang, Ki Patih,” berkata
Kiai Sabda Dadi sambil melangkah menyambut dan kemudian menyalami Ki Patih,
“Mungkin Ki Patih masih ingat hamba, ketika bersama-sama menyaksikan perang
tanding antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.”
“O,” berkata Ki Patih dengan wajah
berseri menerima uluran tangan Kiai Sabda Dadi, “Aku memang belum begitu
mengenal Kiai pada waktu kita di medan perang kemarin. Namun Ki Gede Menoreh
telah memberitahuku tentang Kiai Sabda Dadi yang masih keturunan Waliyullah
dari Juwana Pati, Ki Ageng Ngerang.”
“Ah,” desah Kiai Sabda Dadi, “Ampun Ki
Patih, beliau memang Pepunden kami. Tapi mohon jangan samakan aku yang lemah
dan bodoh ini dengan para Leluhur yang sudah putus segala kawruh lahir maupun
batin itu.”
Ki Patih hanya tertawa pendek mendengar
jawaban Kiai Sabda Dadi. Sementara Ki Gede Menoreh yang telah turun dari
kudanya segera mempersilahkan Ki Patih dan orang-orang tua itu untuk menaiki
pendapa.
“Ampun Ki Patih. Apakah tidak sebaiknya
kita langsung saja menuju ke bilik Ki Rangga?” tiba-tiba saja Ki Jayaraga
mengajukan sebuah usul.
“Terserah saja. Aku disini seorang
tamu. Ki Gede lah yang mempunyai kewenangan untuk mengarahkan kita,” jawab Ki
Patih sambil tersenyum dan berpaling ke arah Ki Gede.
Dengan segera Ki Gede mempersilahkan
tamu agung dari Mataram itu untuk memasuki pringgitan. Sementara Kiai Sabda
Dadi yang bertanggung jawab atas perawatan Ki Rangga segera mendahului untuk
memberitahu Ki Rangga bahwa priyagung dari Mataram, Ki Patih Mandaraka berkenan
untuk menjenguk Ki Rangga.
Demikian Ki Patih dan rombongan
orang-orang tua itu memasuki bilik, ternyata Kiai Sabda Dadi telah membantu Ki
Rangga untuk duduk di atas pembaringannya sambil bersandaran pada dinding
dengan beberapa bantal yang ditumpuk-tumpuk untuk menopang tubuh Ki Rangga yang
masih lemah.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Rangga
begitu Ki Patih menghampiri pembaringannya, “Hamba tidak bisa menyambut
kunjungan Ki Patih sebagaimana mestinya.”
“Jangan pikirkan segala suba sita, Ki
Rangga,” jawab Ki Patih sambil mengambil tempat duduk yang diangsurkan oleh
Kiai Sabda Dadi, “Semua memaklumi bahwa Ki Rangga masih dalam keadaan sakit.”
Orang-orang yang ada di bilik itu
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka dapat mengerti keadan Ki Rangga yang masih
sangat lemah. Sejenak kemudian orang-orang yang ada di dalam bilik itu segera
mengambil tempat duduk masing-masing di sebelah menyebelah Ki Patih.
“Kiai,” berkata Ki Patih kemudian
sambil berpaling ke arah Kiai Sabda Dadi yang duduk di ujung pembaringan,
“Berapa lama waktu yang diperlukan oleh Ki Rangga untuk mendapatkan
kesehatannya kembali? Permasalahannya adalah kesiapan Mataram dalam menelusuri
pelarian orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati. Kami sangat membutuhkan
tenaga dan pikiran Ki Rangga. Sebelum pecah perang di Menoreh kemarin, Sinuhun
Panembahan Hanyakrawati secara khusus telah memberi tugas Ki Rangga untuk
memburu Pangeran Ranapati.”
Kiai Sabda Dadi menarik nafas
dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Patih. Terlihat ada sesuatu yang
ingin disampaikan namun terlihat Kiai Sabda Dadi agak ragu-ragu.
“Ampun Ki Patih,” akhirnya Kiai Sabda
Dadi menjawab, “Sebelumnya hamba memperkirakan lebih dari sebulan waktu yang di
perlukan oleh Ki Rangga untuk memulihkan kesehatannya kembali. Tetapi ternyata
Ki Rangga mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa, dengan seijin Yang Maha
Agung, Ki Rangga mungkin hanya memerlukan waktu tidak lebih dari dua pekan
untuk memulihkan kesehatannya kembali. Namun..”
Ki Patih dan orang-orang tua itu
menjadi berdebar-debar begitu Kiai Sabda Dadi tidak melanjutkan kata-katanya.
Demikian juga dengan ki Rangga sendiri. Dia belum mengetahui apa yang dimaksud
oleh Kiai Sabda Dadi.
“Apa maksud Kiai?” bertanya Ki Gede
dengan serta merta.
Sejenak Kiai Sabda Dadi masih
ragu-ragu. Namun akhirnya dia pun menjawab, “Seseorang telah memberi tenggang
waktu satu bulan kepada Ki Rangga untuk memulihkan kesehatannya. Setelah satu
bulan lewat, dia akan datang ke Tanah Perdikan ini untuk menantang perang
tanding melawan Ki Rangga.”
Semua yang ada di dalam bilik itu
terkejut kecuali Ki Waskita. Dia telah mendengar ancaman orang yang menyebut
dirinya Kiai Damar Sasongko dari perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar
itu kepada Ki Rangga Agung Sedayu dari Kiai Sabda Dadi sendiri.
“Siapakah yang Kiai maksud?” bertanya
Ki Rangga dengan jantung yang berdentangan. Sudah berapa kali Ki Rangga
mengalami hal yang sama, urusan balas dendam yang tidak berkesudahan.
“Kiai Damar Sasongko dari perguruan
Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil mengamati
perubahan wajah orang-orang yang ada di dalam bilik itu, “Aku dan Nyi Pandan
Wangi telah bertemu dengan orang itu ketika kedua muridnya mencegat pedati yang
kami bawa untuk mengangkut Ki Rangga yang masih belum sadarkan diri.”
“Aku tidak mengenal orang itu,” Ki
Rangga Agung Sedayu lah yang pertama-tama menanggapi, “Dan sepanjang ingatanku,
aku tidak mempunyai urusan dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Damar
Sasongko itu.”
Orang-orang yang ada di dalm bilik itu
sejenak saling pandang. Namun Kiai Sabda Dadi tidak mau berteka-teki lebih lama
lagi. Maka katanya kemudian, “Ki Rangga, memang Kiai Damar Sasongko itu tidak
mempunyai hubungan langsung dengan Ki Rangga. Namun dari pengakuannya sendiri
pada waktu itu, dia adalah saudara muda seperguruan dari Ki Ajar Kumuda,
walaupun pada perkembangan berikutnya Kiai Damar Sasongko telah berguru kepada
orang lain. Namun ikatan yang pernah terjadi antara saudara seperguruan itulah
yang telah mendorongnya untuk menuntut balas.”
Untuk beberapa saat suasana di dalam
bilik itu menjadi hening. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angannya.
Sementara Ki Rangga Agung Sedayu sendiri segera teringat kepada Ki Ajar Kumuda,
musuh bebuyutan dari Gurunya semenjak mereka berdua masih sama-sama muda.
“Aku pernah mendengar nama Damar
Sasongko,” tiba-tiba saja suara Ki Patih telah memecah kesunyian di dalam bilik
itu, “Damar Sasongko memang pada saat masih muda pernah seperguruan dengan
Pideksa, namun Damar Sasongko yang pada saat mudanya bernama Pinunjul itu tidak
tuntas menyerap ilmu perguruan Kumuda dan telah pergi mengembara yang pada
akhirnya berguru di lereng Tidar, perguruan Sapta Dhahana.”
“Ampun Ki Patih, apakah Ki Patih
mengenal ciri-ciri perguruan Sapta Dhahana itu?” bertanya Ki Gede Menoreh kemudian.
Sejenak Ki Patih terdiam. Kelihatannya
orang yang semasa mudanya bernama Ki Juru Martani itu mencoba mengumpulkan
ingatannya. Memang waktu sudah cukup lama berlalu dan agaknya Ki Patih tidak
pernah terlibat hubungan khusus dengan perguruan Sapta Dhahana.
“Aku kurang begitu jelas dengan
ciri-ciri yang dimiliki oleh perguruan Sapta Dhahana,” jawab Ki Patih kemudian,
“Namun ada sebuah berita yang pernah aku dengar, perguruan Sapta Dhahana itu
mempunyai sebuah ritual untuk memuja api. Mungkin kekuatan ilmu mereka juga
berlandaskan pada kekuatan api.”
“Hamba Ki Patih,” sahut Ki Waskita,
“Sewaktu hamba masih muda dulu, hamba pernah lewat sekitar lereng gunung Tidar.
Pada waktu itu para penghuni padukuhan sekitar padepokan Sapta Dhahana sedang
ramai mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk di serahkan ke dalam
padepokan. Agaknya perguruan Sapta Dhahana dalam melaksanakan ritual telah
meminta bantuan penduduk sekitarnya.”
“Apakah Ki Waskita pada saat itu
mendapat kesempatan melihat secara langsung ritual mereka?” kali ini Kiai
Jayaraga yang bertanya.
“O, tidak tidak,” jawab Ki Waskita
cepat, “Penduduk sekitar padepokan itu saja belum pernah ada yang tahu ritual
apa yang mereka lakukan setiap bulan sekali pada saat bulan menghilang dari
langit. Apalagi aku sebagai orang asing yang kebetulan sedang lewat di daerah
itu.”
Orang-orang yang berada di dalm bilik
itu menjadi semakin berdebar-debar mendengar keterangan Ki Patih dan Ki
Waskita. Dengan demikian mereka dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa perguruan
Sapta Dhahana adalah sebuah perguruan yang beraliran hitam yang menggunakan
kekuatan api sebagai landasan ilmu mereka.
“Yang perlu diwaspadai adalah, sejauh
mana kekuatan api itu mendukung kemampuan ilmu mereka,” berkata Ki Patih
kemudian, “Sebagaimana perguruan-perguruan lain yang menggunakan kekuatan yang
bersumber dari selain Yang Maha Agung, kekuatan itu akan hancur jika berhadapan
dengan ilmu yang beraliran putih, yang selalu memasrahkan semua permasalahan
kepada sumber hidupnya,” Ki Patih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Ada
perguruan yang bertumpu pada kekuatan seekor ular, ada juga yang menyerap
kekuatan sinar Matahari atau pun sinar Bulan pada saat purnama dan sebagainya.
Kita harus berusaha mengetahui kekuatan yang tersembunyi di balik perguruan
Sapta Dhahana yang mempunyai ritual memuja api itu agar dalam perang tanding
nanti Ki Rangga sudah mempunyai bekal yang memadai untuk menghadapinya.”
Orang-orang tua itu saling pandang.
Mereka dapat mengerti arah pembicaraan Ki Patih. Namun siapakah yang dalam
waktu dekat ini sanggup menyelidiki kekuatan perguruan Sapta Dhahana di lereng
gunung Tidar?
“Ampun Ki Patih,” kali ini Kiai Sabda
Dadi yang mengajukan pendapat, “Gunung Tidar tidak terlalu jauh dari Menoreh.
Jika ditempuh dengan berkuda hamba rasa hanya memerlukan waktu tidak lebih dari
dua hari, itu pun sudah cukup waktu bagi kuda maupun penunggangnya untuk
beristirahat. Namun mohon arahan, siapakah sebaiknya yang berangkat ke lereng
gunung Tidar? Mumpung dua pekan lagi waktunya bulan gelap. Pada saat itulah
sesuai keterangan ki Waskita mereka akan mengadakan pemujaan api sehingga pada
saat itu dapat dijajagi kekuatan apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam
perguruan Sapta Dhahana.”
Untuk beberapa saat suasana di dalam
bilik itu sepi. Mereka menunggu titah Ki Patih, siapakah sebaiknya yang
ditunjuk untuk menyelidiki perguruan Sapta Dhahana di lereng Tidar.
Namun sebelum Ki Patih mengeluarkan
titahnya, tiba-tiba saja terdengar ketukan lembut di pintu bilik yang terbuka.
Ketika semua orang yang berada di dalam bilik itu berpaling, tampak Pandan
Wangi sedang berdiri di tengah-tengah pintu sambil membawa sebuah nampan yang
berisi beberapa mangkuk minuman hangat. Sedang di belakangnya seorang pembantu
perempuan Ki Gede membawa nampan berisi beberapa potong makanan.
“Wangi!” sedikit terkejut Ki Gede
Menoreh begitu melihat putri satu-satunya itu berdiri di tengah-tengah pintu
bilik, “Kau sudah sehat?”
“Sudah Ayah,” jawab Pandan Wangi dengan
kepala tunduk. Kemudian sambil mengangguk dalam-dalam ke arah Ki Patih, Pandan
Wangi pun berkata, “Ampun Ki Patih, perkenankan hamba menghaturkan minuman
hangat dan beberapa potong makanan.”
“O, silahkan silahkan,” jawab Ki Patih
sambil mengangguk-angguk. Kemudian sambil mengamati lengan kiri Pandan Wangi
yang dibebat, Ki Patih pun bertanya, “Agaknya Kau sempat terluka dalam
pertempuran kemarin. Apakah lukamu cukup parah, Wangi?”
“Ampun Ki Patih, sebenarnya luka ini
cukup dalam,” jawab Pandan Wangi sambil meletakkan mangkuk-mangkuk minuman
hangat itu di meja kayu yang terletak di sudut bilik, “Kiai Sabda Dadi telah
memberikan obat untuk memampatkan luka ini. Semoga dalam sepekan luka ini sudah
berangsur sembuh.”
Ki Patih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika pembantu perempuan Ki Gede itu kemudian juga meletakkan
nampan yang berisi beberapa potong makanan di sebelah minuman-minuman hangat
itu, tiba-tiba saja Ki Patih memandang ke arah Ki Gede dan bertanya, “Di
manakah Glagah Putih dan istrinya?”
Sejenak Ki Gede dan orang-orang di
dalam bilik itu mengerutkan kening. Namun ternyata Pandan wangilah yang
menjawab, “Ampun Ki Patih, Glagah Putih sedang berada di gandhok kiri untuk
mengurusi jasad tawanan yang telah terbunuh siang tadi.”
Semua orang di dalam bilik itu
terkejut, kecuali Kiai Sabda Dadi. Dengan segera Kiai Sabda Dadi memberikan
penjelasan, “Ampun Ki Patih, siang tadi ada seorang tawanan yang kabur dari
bilik penyimpanannya dengan melukai beberapa pengawal yang menjaganya. Pada
saat dia berusaha kabur melalui pintu butulan yang menuju ke ruang tengah,
ternyata Anjani telah memergokinya sehingga terjadilah pertarungan antara
keduanya. Ketika keduanya kemudian memutuskan untuk membenturkan puncak ilmu
mereka, ternyata kemampuan Anjani masih selapis tipis di atas lawannya,
sehingga tawanan itu telah terbunuh. Sedangkan Anjani sendiri tidak sadarkan
diri.”
Selesai berkata demikian pandangan mata
Kiai Sabda Dadi segera tertuju ke arah Pandan Wangi. Agaknya Kiai Sabda Dadi
ingin mengetahui perkembangan Anjani.
Pandan Wangi yang merasa Kakek
Damarpati itu sedang bertanya melalui sorot matanya segera menjawab dengan
tersenyum dan mengangguk.
Sedangkan Ki Patih yang mendengarkan
keterangan Kiai Sabda Ddi dengan seksama tampak mengerutkan keningnya
dalam-dalam.
“Anjani?” desis Ki Patih kemudian
perlahan seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Siapakah Anjani?
Rasa-rasanya nama itu masih asing di telingaku?”
Sejenak suasana menjadi hening. Ki
Rangga merasakan dadanya berdesir tajam setiap kali ada orang yang menyebut
nama Anjani. Ketika tanpa disadarinya pandangan matanya bertemu dengan
pandangan mata Pandan Wangi, tiba-tiba saja puteri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh yang sudah cukup berumur tapi masih terlihat cantik itu telah tersenyum
kecil sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Gila!” geram Ki Rangga dalam hati
sambil cepat-cepat memalingkan wajahnya.
“Ampun Ki Patih. Anjani adalah murid
Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada,” Ki Gede lah yang akhirnya menjawab
setelah beberapa saat tidak ada seorang pun yang memberikan keterangan tentang
Anjani.
“Resi Mayangkara?” bertanya Ki Patih
dengan raut wajah yang sedikit terkejut, “Seingatku nama Resi Mayangkara itu
hanya ada dalam dongeng.”
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede
kemudian, “Namun kami sudah melihat sendiri bahwa Resi itu memang ada dan
Anjani adalah murid satu-satunya.”
Ki Patih tampak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun pertanyaan berikutnya dari Ki Patih ternyata telah membuat
dada Ki Rangga bagaikan meledak.
“Untuk apa Anjani dan gurunya itu
sampai di tanah Perdikan ini? Apakah ada sesuatu yang sedang mereka cari?”
Tidak ada seorang pun yang berusaha
menjawab. Sebenarnya Ki Rangga ingin memberikan keterangan, namun sepercik
keragu-raguan telah menjalar di hatinya, sedangkan Pandan Wangi yang sedikit
banyak telah mengetahui Anjani dari cerita Ki Rangga sendiri, telah memilih
untuk berdiam diri.
“Memang kadang-kadang para tokoh aneh
di dunia ini mempunyai kebiasaan dan keinginan yang aneh-aneh,” berkata Ki
Patih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lanjutnya kemudian, “Kita tidak
tahu apa yang dicari oleh tokoh aneh itu bersama muridnya. Semoga saja ini
pertanda baik bagi tanah Perdikan Menoreh.”
Kembali orang-orang yang ada di dalam
bilik itu mengangguk-angguk, kecuali Ki Rangga yang terlihat sedikit tegang dan
Pandan Wangi yang justru menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menyembunyikan
sebuah senyum kecil yang tersungging di bibirnya.
“Ah, sudahlah,” berkata ki Patih
kemudian, “Aku yakin Resi Mayangkara sudah pergi dan hanya tinggal muridnya
saja, Anjani yang tinggal di Menoreh. Bukankah dugaanku ini benar?”
“Hamba Ki Patih,” Kiai Sabda Dadi lah
yang menjawab, “Resi Mayangkara telah kembali ke Gunung Kendalisada sedangkan
Anjani masih terluka akibat benturan ilmu dengan tawanan yang melarikan diri
siang tadi.”
“Siapakah tawanan itu?” bertanya Ki
Patih begitu Kiai Sabda Dadi selesai memberikan penjelasan.
“Ampun Ki Patih. Kami belum tahu jati
diri tawanan itu. Dia kami tangkap ketika dia berempat menyerbu ke rumah ini
dengan terlebih dahulu menebarkan sirep dini hari sebelum pecah pertempuran di
padukuhan induk,” kali Ki Gede Menoreh yang menjawab pertanyaan ki Patih sambil
memberi isyarat kepada Pandan Wangi dan pembantu rumah tangganya yang masih
berdiri termangu-mangu untuk meninggalkan bilik. Setelah kedua perempuan itu
melangkah keluar bilik, barulah Ki Gede melanjutkan kata-katanya, “Dua orang
terbunuh, yang satu tertangkap dan yang satunya berhasil meloloskan diri.”
“Apakah Ki Gede dapat menduga siapa di
balik peristiwa penyerbuan dini hari itu?” bertanya Ki Patih kemudian.
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Gede, “Mereka
kemungkinannya adalah para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Salah satu yang
berhasil lolos itu menurut Kiai Sabda Dadi mengaku bernama Bango Lamatan.”
“Bango Lamatan?” seru Ki Rangga
terkejut sehingga hampir saja dia bangkit dari pembaringan. Untung dengan cepat
Kiai Sabda Dadi yang duduk di ujung pembaringan segera mencegahnya.
Ki Patih mengerutkan keningnya
dalam-dalam sambil memandang ke arah Ki Rangga Agung Sedayu. Tanyanya kemudian,
“Apakah Kau mengenalnya Ki Rangga?”
Sejenak Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Ampun Ki Patih, Bango Lamatan pernah menjadi
utusan Panembahan Cahya Warastra pada masa Guru masih hidup. Kami bertemu di
tepian kali opak. Tujuan Bango Lamatan menemui guru atas perintah Panembahan
Cahya Warastra adalah untuk membujuk Guru agar bergabung dengan Madiun atau
setidaknya Guru tidak ikut campur dalam pertikaian Mataram dengan Madiun pada
waktu itu.”
Ki Patih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang tidak dapat dipungkiri peran Kiai Gringsing terhadap perkembangan
kerajaan-kerajaan di tanah Jawa ini walaupun Kiai Gringsing yang lebih dikenal
dengan nama orang bercambuk itu lebih senang memilih hidup di antara orang
kebanyakan.
“Kiai Gringsing mempunyai jalur trah
Majapahit,” berkata Ki Patih dalam hati, “Itulah agaknya yang mendorong orang
bercambuk itu selalu berpihak ketika terjadi perselisihan perebutan kekuasaan
di tanah ini. Namun semua itu dilakukan tanpa pamrih, sehingga pada akhirnya
guru Ki Rangga itu lebih senang memilih hidup di antara orang kebanyakan.”
“Ampun Ki Patih,” suara Ki Jayaraga
membuyarkan angan-angan Ki Patih, “Jika diperkenankan, hamba akan melihat jasad
tawanan itu. Barangkali hamba sedikit banyak dapat mengenalinya ataupun paling
tidak ada ciri-ciri tertentu yang hamba kenal.”
Semua orang yang ada di dalam bilik itu
mengangguk-annguk. Mereka menyadari bahwa Ki Jayaraga adalah orang yang pernah
hidup di dunia hitam sehingga pengenalannya terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan dunia itu lebih luas.
“Silahkan, Ki Jayaraga,” jawab Ki Patih
kemudian, “Jangan lupa setelah selesai, bawa Glagah Putih ke bilik ini. Ada
tugas khusus untuknya.”
“Hamba Ki Patih,” berkata Ki Jayaraga
sambil bangkit dari tempat duduknya. Setelah membungkuk hormat terlebih dahulu
kepada Ki Patih, guru Glagah Putih itu pun kemudian melangkah ke luar bilik.
Sepeninggal Ki Jayaraga, pembicaraan
pun telah bergeser ke masalah yang lain.
“Sinuhun Panembahan Hanyakrawati pernah
mengutarakan maksudnya kepadaku untuk melanjutkan cita-cita pendahulunya,
Panembahan Senapati untuk menundukkan Surabaya di bawah panji-panji kebesaran
Mataram,” berkata Ki Patih memulai sebuah permasalahan yang sedang dihadapi
Mataram setelah Panaraga.
“Ampun Ki Patih, kadipaten Surabaya
letaknya cukup jauh dari Mataram,” Ki Gede memberikan pendapatnya, “Apakah
tidak sebaiknya Mataram terlebih dahulu menundukkan Kadipaten-kadipaten kecil
yang terletak sepanjang jalur menuju Surabaya sehingga dapat dijadikan sebagai
pancadan untuk menyerang Surabaya?”
“Ki Gede benar,” jawab Ki Patih sambil
menarik nafas dalam-dalam, “Setidaknya Mataram sudah mendapat dukungan dari
kadipaten Panaraga dan Madiun. Yang belum dapat kita pastikan adalah jalur dari
Madiun ke Surabaya. Menurut laporan prajurit sandi yang telah aku terima, di
lereng gunung Pawitra sebelah utara di dekat petirtaan Jalatunda, terdapat
sebuah perguruan besar yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan Kadipaten
Surabaya. Banyak para prajurit terutama para perwira di Kadipaten Surabaya yang
berasal dari perguruan tersebut. Kalau aku tidak salah, nama perguruan itu
mengambil nama candi yang terdapat di sekitar daerah itu yaitu perguruan
Jalatunda dengan dipimpin oleh seorang yang bergelar Ki Ageng Jalatunda.
Keberadaan perguruan itu dapat menjadi batu sandungan bagi Mataram jika
nantinya Mataram bermaksud menyerbu Surabaya.”
Orang-orang yang hadir di dalam bilik
itu tampak mengangguk-angguk. Penyerbuan ke Surabaya memang harus benar-benar
dihitung dengan njlimet dan tidak grusa-grusu. Selain jarak yang cukup jauh,
jalur yang akan dilalui oleh para prajurit Mataram pun harus diyakinkan
benar-benar aman.
“Mataram akan membentuk sebuah pasukan
sandi yang bertugas menyelidiki keberadaan perguruan Jalatunda,” berkata Ki
Patih kemudian, “Pasukan sandi ini akan bergerak sendiri-sendiri atau dalam
kelompok-kelompok kecil pada saat berangkat ke timur. Namun di suatu tempat
yang telah disepakati sebelumnya, pasukan sandi itu akan berkumpul dan kemudian
merencanakan untuk menghancurkan perguruan Jalatunda.”
Orang-orang di dalam bilik itu hampir
bersamaan telah menarik nafas dalam-dalam. Perang selalu menjadi pilihan
terakhir untuk menyelesaikan segenap masalah yang timbul, dan para kawula
alitlah yang pada akhirnya akan menjadi semakin menderita.
“Ampun Ki Patih, apakah untuk
menghancurkan perguruan Jalatunda diperlukan pasukan segelar sepapan?” bertanya
Ki Waskita yang sedari tadi hanya berdiam diri saja.
“Itu tergantung Ki Waskita,” jawab Ki
Patih, “Jika yang berangkat ke timur itu nantinya adalah Ki Waskita, Ki
Jayaraga, Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi serta Ki Rangga Agung Sedayu
sendiri, tentu tidak diperlukan seorang prajurit pun untuk mendampingi para
sesepuh yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin itu.”
“Ah,” orang-orang di dalam bilik itu
sejenak tertawa pendek.
Namun Ki Waskita lah yang ternyata
menanggapi kelakar Ki Patih, “Ampun Ki Patih, hamba kira dengan aji bala srewu,
cukup Ki Patih seorang diri sudah dapat menjadikan perguruan Jalatunda rata
dengan tanah.”
“Ah,” kali ini Ki Patih yang tertawa
tergelak. Jawabnya kemudian dengan sedikit bersungguh-sungguh, “Alangkah
senangnya bisa mengulangi masa lalu. Berpetualang menyelusuri lembah dan
ngarai, mendaki pebukitan serta menyusup ke hutan rimba yang masih jarang
disentuh manusia. Namun semua itu bagiku hanya tinggal kenangan,” Ki Patih
berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Perguruan Jalatunda bukanlah perguruan
biasa. Aku yakin tentu banyak orang-orang linuwih di dalamnya selain Ki Ageng
Jalatunda sendiri. Untuk itu aku akan meminta kesediaan para pini sepuh untuk
mendampingi para prajurit dan Senapati yang masih muda muda dalam menghadapi
perguruan Jalatunda nantinya.”
Orang-orang yang ada di dalam bilik itu
sejenak termangu-mangu. Di usia mereka yang hampir senja itu, ternyata tenaga
dan pikiran mereka masih diperlukan.
“Kecuali Ki Waskita,” tiba-tiba Ki
Patih bergumam perlahan.
Hampir bersamaan oang-orang tua itu
mengangkat kepala sambil memandang ke arah Ki Patih dengan kening yang
berkerut-merut.
Ki Patih yang menyadari orang-orang di
dalam bilik itu kebingungan, segera menjawab sambil tersenyum, “Bukankah Ki
Waskita sedang berbulan madu? Jadi kita tidak akan mengganggunya untuk
sementara.”
“Ah,” kali ini yang terdengar adalah
gelak tawa yang berkepanjangan. Sementara Ki Waskita hanya tersenyum masam
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dalam pada itu matahari telah merambat
turun mendekati cakrawala. Cahaya merah lembayung bercampur kuning telah
menerobos sela-sela dinding bilik Ki Rangga Agung Sedayu. Seorang pelayan
laki-laki telah memasuki bilik dan menyalakan dlupak yang terletak di
ajug-ajug.
Para perempuan pembantu di rumah Ki
Gede segera menyiapkan makan malam. Di ruang tengah telah digelar tikar pandan
yang putih bersih. Beberapa peralatan makan telah diletakkan di atas tikar
pandan itu. Beberapa perempuan pembantu ki Gede tampak sibuk berlalu-lalang
dari dapur ke ruang tengah dan sebaliknya.
Sekar Mirah yang masih menunggui Anjani
telah beranjak dari duduknya. Anjani sudah siuman dari pingsannya walaupun
tubuhnya masih sedikit menggigil kedinginan akibat benturan ilmu dengan Ki
Lurah Sanggabaya.
“Aku akan ke dapur sebentar,” berkata
Sekar Mirah sambil bangkit dari tempat duduknya, “Berselimutlah untuk
mengurangi pengaruh dingin di dalam tubuhmu. Aku akan meminta seorang pelayan
membuatkan minuman hangat dan bubur hangat untukmu.”
“Terima kasih, Nyi,” berkata Anjani
dengan mata yang tampak berkaca-kaca, “Keberadaanku di Menoreh ini ternyata
hanya menjadi beban bagi keluarga Ki Gede.”
“Sudahlah,” sahut Sekar Mirah sambil
melangkah ke pintu bilik, “Banyak-banyaklah beristirahat. Nanti akan aku
beritahukan keadaanmu kepada Kiai Sabda Dadi.”
Anjani tidak menjawab. Hanya tampak
kepalanya saja yang terangguk kecil.
Sepeninggal Sekar Mirah, beberapa kali
Anjani menarik nafas dalam-dalam. Kain panjang yang digunakannya sebagai selimut
telah ditarik menutupi sekujur tubuhnya kecuali bagian kepala. Beberapa saat
dia masih termenung sambil memandang ke langit-langit bilik.
Ketika seorang pelayan perempuan
kemudian menghidangkan semangkuk minuman panas, segera saja dia bangkit dan
duduk di pembaringan.
“Terima kasih, Bibi,” berkata Anjani
sambil menerima semangkuk air hangat.
Diminumnya beberapa teguk sebelum
mangkuk itu kemudian dikembalikan kepada pelayan rumah Ki Gede yang menaruhnya
di atas meja di sebelah pembaringan. Terasa cairan yang hangat itu menelusuri
sekujur tubuh Anjani sehingga dia merasakan tubuhnya menjadi sedikit segar.
“Bubur hangatnya masih dibuatkan,
Nini,” berkata pelayan itu, “Mungkin memerlukan waktu beberapa saat.”
“Terima kasih Bibi,” jawab Anjani
sambil meluncur turun dari pembaringannya, “Apakah aku dapat pergi ke pakiwan
sebentar?”
“O, tentu tentu,” jawab pelayan itu,
“Pakiwan ada di halaman belakang.”
“Apakah aku dapat pergi ke pakiwan
lewat selain pintu yang menuju dapur?” bertanya Anjani kemudian, “Aku takut
jika lewat dapur nanti mengganggu Bibi-Bibi yang terdengar sedang sibuk
menyiapkan makan malam di ruang tengah.”
Pelayan itu tersenyum sambil
mengangguk. Jawabnya kemudian setengah berbisik, “Kami memang mempunyai tamu
istimewa, Ki Patih Mandaraka dari Mataram. Itulah yang membuat kami sibuk. Kami
berusaha menyiapkan makan malam dengan sebaik mungkin,” pelayan itu berhenti
sejenak. Kemudian lanjutnya, “Marilah aku tunjukkan pintu butulan samping itu.”
Anjani mengangguk. Sebenarnya Ajani
hanya berusaha menghindari bertemu dengan Sekar Mirah atau Pandan Wangi.
Kemungkinan besar kedua perempuan yang berilmu tinggi itu sedang berada di
dapur untuk memberikan pengarahan kepada para pelayan dalam menyiapkan jamuan
bagi tamu agung dari Mataram.
Sejenak kemudian, kedua perempuan itu
telah melangkah keluar bilik. Begitu mereka berada di luar bilik, di ruang
tengah tampak kesibukan para pelayan yang sedang menyiapkan jamuan makan malam
bagi tamu agung dari Mataram itu.
“Itulah pintu samping itu,” berkata
pelayan itu sambil menunjuk pintu butulan yang berada di ujung lorong yang
menghubungkan ruang tengah dengan longkangan.
Untuk beberapa saat Anjani termangu.
Dari pintu butulan itulah siang tadi tawanan yang berusaha melarikan diri itu
muncul. Namun cepat-cepat Anjani berusaha menghilangkan kesan apapun di
wajahnya. Katanya kemudian, “Terima kasih Bibi.”
“Jangan lupa setelah keluar dari pintu
butulan Kau harus belok kanan. Setelah melalui lorong yang tidak terlalu
panjang, di ujung lorong itu ada pintu lagi, pintu seketeng yang menghubungkan
dengan halaman belakang,” pesan pelayan itu. Kemudian sambil melangkah kembali
ke dapur dia melanjutkan pesannya, “Jangan keliru belok kiri, Kau akan sampai
ke gandhok kanan.”
Anjani tidak menjawab. Dengan sedikit
tergesa Anjani pun kemudian mengayunkan langkahnya menuju pintu butulan
samping.
Dalam pada itu Ki Jayaraga yang sedang
berada di gandhok kiri tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil
berjongkok di sisi tubuh yang membeku, Ki Jayaraga telah berusaha mengenali
wajahnya dengan cara melepas ikat kepalanya dan meraba wajah yang pucat itu.
“Ambilkan aku air,” kata Ki Jayaraga
kepada Glagah Putih yang berjongkok di sebelahnya.
Dengan segera Glagah Putih berdiri.
Ketika dia kembali, di tangannya ada sebuah kendi yang berisi air yang
diambilnya dari geledek bambu di salah satu bilik yang berada di gandhok kiri.
“Terima kasih,” berkata Ki Jayaraga
sambil menerima kendi dari muridnya.
Dengan perlahan, Ki Jayaraga pun
kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke atas wajah yang telah membeku.
Beberapa tetes air telah membasahi wajah mayat itu. Setelah dirasa cukup, Ki
Jayaraga pun kemudian meletakkan kendi itu di lantai. Dengan penuh ketelitian,
telapak tangan kanan Guru Glagah Putih itu pun berusaha mengusap noda-noda yang
kelihatannya memang dengan sengaja telah dibuat untuk menyamarkan wajah itu
dengan cara meratakan air keseluruh wajah mayat itu.
Alangkah terkejutnya Ki Jayaraga begitu
dia menggunakan ujung kain panjangnya untuk mengusap wajah mayat yang tak
dikenal itu. Warna hitam dan noda-noda coreng-moreng yang sengaja dilumurkan di
wajah mayat itu telah luntur dan seraut wajah yang sangat dikenal oleh Ki
Jayaraga telah muncul.
“Ki Lurah Sanggabaya?” seru Ki Jayaraga
hampir tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Glagah Putih yang berjongkok di
sebelahnya ikut terkejut. Dia segera teringat dengan seorang Lurah prajurit di
kesatuan pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh yang pernah berselisih
dengannya pada saat awal-awal dia dan istrinya memasuki lingkungan keprajuritan.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian
sambil bangkit berdiri, “Kita segera melaporkan hal ini kepada Ki Patih,” Ki
Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian sambil memandang muridnya, “Kau
ikut menghadap. Agaknya Ki Patih akan memberimu sebuah tugas khusus.”
Dada Glagah Putih menjadi
berdebar-debar. Walaupun sudah berulang kali dia dan istrinya mendapat tugas
khusus langsung dari Ki Patih Mandaraka, namun jantungnya tetap saja
berdebar-debar.
Ketika Guru dan murid itu kemudian
melangkah keluar gandhok, tampak dua orang pengawal berdiri termangu-mangu di
depan pintu gandhok.
“Kami sudah selesai,” berkata Ki
Jayaraga kepada kedua pengawal itu, “Kalian dapat menyelenggarakan mayat itu
sebagaimana mestinya. aku akan melaporkan pengamatanku kepada Ki Patih.”
“Ya, Ki,” jawab kedua pengawal itu
hampir bersamaan.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah
melanjutkan langkahnya meninggalkan gandhok kiri menuju ke ruang dalam.
“Guru,” berkata Glagah Putih kemudian
sambil menjajari langkah Ki Jayaraga menuju ke ruang dalam, “Kelihatannya dalam
melaksanakan tugas khusus ini aku akan sendirian. Biaralah Rara Wulan
beristirahat di Menoreh. Sudah waktunya dia meluangkan waktu untuk mengurus
dirinya sendiri.”
Ki Jayaraga berpaling sambil
mengerutkan keningnya dalam-dalm. Katanya kemudian sambil tersenyum dan menepuk
bahu muridnya, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung. Agaknya doa kalian berdua
telah dikabulkan. Semoga kehadirannya akan semakin menambah keceriaan dan
perekat cinta kasih dalam keluarga.”
Glagah Putih yang berjalan disebelahnya
hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab sepatah katapun. Namun di dalam hatinya,
telah terungkap rasa syukur yang tiada terkira atas karunia yang telah
diberikan oleh Yang Maha Agung.
Ketika mereka berdua kemudian telah
memasuki bilik Ki Rangga melalui pintu butulan yang berada di samping kiri
bangunan induk, ternyata Ki Patih dan para sesepuh sedang membersihkan diri
secara bergantian ke pakiwan yang berada di halaman belakang.
“Apakah kita akan ke pakiwan terlebih
dahulu, Guru?” bertanya Glagah Putih kepada Gurunya sesampainya mereka di bilik
Ki Rangga.
“Baiklah,” jawab Gurunya. Kemudian
sambil berpaling ke arah Ki Rangga yang telah berbaring kembali, Ki Jayaraga
pun berkata, “Kami ke pakiwan dulu Ki Rangga. Apakah Ki Rangga memerlukan kawan
berbincang?”
“O, tidak perlu, Ki,” sahut Ki Rangga
cepat, “Tinggalkan saja aku sendiri. Nanti akan ada pelayan yang mengambilkan
aku makan malam sambil menemaniku beberapa saat.”
Ki Jayaraga dan Glagah Putih hampir
bersamaan mengangguk-anggukkan kepala. Sejenak kemudian keduanya pun telah
melangkah keluar bilik menuju ke pakiwan yang terletak di halaman belakang.
Dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar
Mirah yang sedang sibuk di dapur segera memerintahkan beberapa perempuan
pembantu rumah Ki Gede untuk mulai membawa makanan dan minuman yang telah siap
ke ruang tengah untuk ditata dan disajikan.
Ketika Sekar Mirah yang sedikit tidak
telaten melihat perempuan-perempuan itu bekerja telah ikut membawa makanan ke
ruang tengah, sejenak pandang mata Sekar Mirah pun telah tersangkut pada pintu
bilik Anjani yang sedikit terbuka.
“Bagaimanakah keadaan Anjani?” bertanya
Sekar Mirah dalam hati sambil mengayunkan langkahnya melewati pintu bilik itu.
Setelah meletakkan makanan itu di atas
tikar pandan yang telah dibentangkan di ruang tengah, dengan bergegas Sekar
Mirah segera menuju ke bilik Anjani.
Alangkah terkejutnya istri Ki Rangga
itu begitu dia mendorong pintu bilik, ternyata bilik itu kosong. Tidak ada
seorang pun yang berada di dalamnya. Hanya tampak kain panjang yang digunakan
oleh Anjani untuk berselinut tadi, tergeletak di atas lantai di sebelah
pembaringan.
“Kemanakah Anjani?” pertanyaan itu
berputar-putar dalam benak Sekar Mirah.
Selagi Sekar Mirah termangu-mangu di
dalam bilik itu sendirian, tiba-tiba terdengar pintu bilik berderit perlahan.
Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi sedang berdiri
termangu-mangu di tengah-tengah pintu.
“Ada apa Mirah?” bertanya Pandan Wangi
kemudian sambil melangkah masuk.
“Aku tidak menemukan Anjani,” jawab
Sekar Mirah, “Apakah mbokayu melihatnya?”
Pandan Wangi menggeleng. Sejenak putri
satu-satunya Kepala Tanah Perdikan itu memandang ke sekeliling bilik.
Diamat-amatinya setiap barang yang ada di dalam bilik itu. Semuanya tidak ada
yang berubah. Semua masih tetap seperti biasanya, tidak ada sesuatu yang tampak
aneh dan mencurigakan.
“Apakah Anjani tidak menulis pesan atau
apapun yang dapat dijadikan petunujk kemana perginya Anjani?” bertanya Pandan
Wangi kemudian sambil berjalan berkeliling bilik untuk mengamati barangkali ada
sebuah petunjuk.
“Aku belum melihatnya mbokayu,” jawab
Sekar Mirah dengan nada yang mulai sedikit gelisah, “Mengapa dia pergi begitu
saja tanpa pamit kepadaku terlebih dahulu?”
Pandan Wangi berpaling sejenak ke arah
Sekar Mirah. Tampak kegelisahan mulai membayang di wajahnya.
“Siapakah yang terakhir melihat
Anjani?” tiba-tiba saja Pandan Wangi melontarkan sebuah pertanyaan yang tak
terduga.
Bagaikan tersengat lebah, Sekar Mirah
pun segera teringat kepada perempuan pembantu rumah Ki Gede yang telah
disuruhnya untuk membuatkan bubur hangat dan minuman panas untuk Anjani.
“Mbok Sukinem!” seru Sekar Mirah sambil
bergegas menuju ke dapur. Sedangkan Pandan Wangi hanya mengikutinya saja dari
belakang.
Sesampainya di dapur, segera saja Sekar
Mirah menemui mbok Sukinem yang tampak sedang menjerang air.
“Ada apa Nyi?” bertanya mbok Sukinem
sambil mencari pegangan untuk bangkit dari duduknya.
“Duduk sajalah mbok,” berkata Sekar
Mirah sambil menahan pundak mbok Sukinem, “Aku hanya ingin bertanya tentang
Anjani.”
“O. Nini Anjani?” desis mbok Sukinem
sambil kembali duduk, “Buburnya sudah siap diantar. Biarlah aku yang
mengantarkannya selagi yang lain sibuk menyiapkan jamuan bagi para tamu.”
“Jangan diantar dulu mbok,” sahut Sekar
Mirah, “Anjani tidak ada di kamarnya.”
“O, aku lupa memberitahu Nyi Sekar
Mirah,” berkata mbok Sukinem sambil menepuk jidadnya, “Anjani tadi pamit ke
belakang sebentar. Apakah dia belum kembali?”
Sejenak Sekar Mirah dan Pandan Wangi
saling pandang. Jawab Sekar Mirah kemudian dengan ganti bertanya, “Maksud mbok
Sukinem Anjani pergi ke pakiwan?”
“Ya, Nyi. Dia pamit ke pakiwan
sebentar.”
“Tapi mengapa kami tidak melihatnya
melewati dapur? Bukankah jika Anjani akan ke pakiwan dia akan melewati dapur
sehingga kami akan melihatnya?”
Sekejap perempuan paro baya itu
tertegun. Namun jawabnya kemudian, “Nini Anjani tidak ingin mengganggu kita
yang sedang bekerja di dapur sehingga dia ke pakiwan lewat pintu butulan
samping.”
Berdesir dada kedua perempuan yang
berilmu tinggi itu. Tampaknya ada kesengajaan dari Anjani untuk menghindar dari
pengamatan mereka berdua.
“Sudahlah mbok,” berkata Sekar Mirah
kemudian, “Kembalilah bekerja. Anjani urusan kami. Mungkin dia masih di
belakang sekedar jalan-jalan untuk menyegarkan tubuhnya.”
Selesai berkata demikian, Sekar Mirah
segera menggamit Pandan Wangi untuk keluar menuju pakiwan yang terletak di
halaman belakang lewat pintu dapur. Sedangkan mbok Sukinem yang masih belum
jelas tentang keberadaan Anjani hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil meneruskan pekerjaannya.
Dalam pada itu, perlahan tapi pasti
langit di atas padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin buram.
Burung-burung telah terbang secara berkelompok-kelompok untuk kembali ke sarang
masing-masing. Sedangkan beberapa kelelawar dan burung-burung malam tampak
mulai muncul menghiasi langit yang mulai gelap.
“Kita mulai dari mana mbokayu?”
bertanya Sekar Mirah begitu keduanya sampai di halaman belakang yang mulai
gelap.
“Aku mempunyai panggraita kalau Anjani
tidak benar-benar pergi ke pakiwan,” jawab Pandan Wangi sambil berjalan ke arah
kebun belakang yang rimbun, “Kita lihat pintu butulan belakang. Biasanya
diselarak oleh para penjaga regol sebelum hari mulai gelap.”
Dengan langkah yang tergesa-gesa
keduanya pun segera berjalan sambil merunduk-runduk di antara semak dan
pohon-pohon perdu yang tumbuh agak liar di halaman belakang. Agaknya tukang
kebun kediaman ki Gede belum sempat menjamah dan merapikan tempat itu.
Dengan jantung yang berdebaran keduanya
pun kemudian mendekati pintu butulan itu. Ketika Pandan Wangi kemudian meraih
pintu butulan itu, ternyata dugaan Pandan Wangi benar, pintu itu tidak
diselarak dari dalam.
“Menurut dugaanku, Anjani telah pergi
melalui pintu ini,” berkata Pandan Wangi sambil mendongak mengamati dinding
belakang kediaman Ki Gede yang tampak tinggi menjulang dalam keremangan malam.
Tidak mungkin bagi orang kebanyakan untuk melompati dinding itu.
Sekar Mirah yang juga ikut membuka
pintu butulan itu menjadi semakin berdebar-debar ketika dia mencoba melongok
keluar. Tidak tampak sesuatupun kecuali kehitaman yang pekat. Ketika dia
mencoba mengerahkan ilmunya untuk mempertajam penglihatannya, yang terhampar di
hadapannya hanyalah gerumbul dan semak serta pepohonan tinggi yang semuanya
terlihat hitam.
“Bagaimana mbokayu? Apakah kita akan
melanjutkan pencarian kita di luar dinding?” bertanya Sekar Mirah kemudian
dengan nada sedikit ragu.
Sejenak Pandan Wangi termenung.
Pandangan matanya kosong menatap kegelapan di hadapannya. Berbagai pertimbangan
sedang bergolak di dalam dadanya.
Sekar Mirah yang berdiri di sebelahnya
terlihat sangat gelisah menunggu jawaban Pandan Wangi. Berkali-kali dia mencoba
menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi debar jantungnya, namun tetap saja
kegelisahan itu melanda dadanya.
Ketika Sekar Mirah hampir saja
mengulangi pertanyaannya, tiba-tiba saja sudut matanya menangkap sesosok
bayangan hitam yang bergerak tanpa menimbulkan suara sedikit pun dari arah
samping kirinya. Seolah-olah bayangan itu adalah bagian dari angin malam yang
sedang bertiup lembut. Begitu saja bergerak dan melayang dalam kegelapan malam.
“Mbokayu..” desis Sekar Mirah dengan
suara gemetar sambil menggamit istri Kakak kandungnya itu.
Ternyata Pandan Wangi pun telah
melihatnya. Katanya kemudian dengan setengah berbisik, “Tenanglah Mirah, aku
juga melihatnya. Kita jangan berbuat apapun. Kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya. Kita tidak tahu dengan siapa kita sedang berhadapan.”
Sekar Mirah terdiam. Namun pandangan
matanya tidak lepas dari bayangan hitam yang seolah-olah melayang dalam tiupan
angin malam.
Namun ketika jarak bayangan itu dengan
dua orang perempuan yang berilmu tinggi itu tinggal kira-kira dua tombak, Sekar
Mirah hampir saja terpekik kecil ketika dia lamat-lamat dapat mengenali siapakah
bayangan itu walaupun hanya dari bentuk tubuhnya.
Hampir saja Sekar Mirah meneriakkan
sebuah nama. Namun sebersit keragu-raguan telah menyelinap ke dalam hatinya.
Sekar Mirah tidak begitu yakin dengan pengamatannya yang hanya berdasarkan
bentuk tubuh. Banyak orang yang mempunyai perawakan yang hampir sama. Sehingga
untuk beberapa saat Sekar Mirah justru hanya berdiri membeku di tempatnya
dengan jantung yang berdebaran.
Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya
ternyata mempunyai tanggapan yang sama. Orang yang berdiri diam dua tombak di
depannya itu memang rasa-rasanya seperti sudah sangat dikenalnya. Namun
sebagaimana Sekar Mirah, Pandan Wangi pun juga dihinggapi keragu-raguan karena
hanya mengenali bentuk tubuhnya tanpa melihat wajah yang sebenarnya.
Sejenak mereka berdua hanya berdiam
diri sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara angin malam
yang lembut bertiup menerobos dedaunan dan menimbulkan suara gemerisik. Bulan
tua yang belum muncul telah menambah kegelapan di halaman belakang itu.
Sedangkan sinar bintang gemintang yang lemah tidak mampu menerobos rimbunnya
pepohonan di halaman belakang rumah Ki Gede Menoreh.
Ketika Sekar Mirah kemudian dengan
memberanikan diri mencoba maju dua langkah untuk meyakinkan penglihatan
matanya, bayangan itu pun ternyata telah ikut bergerak mundur dua langkah.
“Siapa?” begitu saja sebuah pertanyaan
meluncur dari bibir Sekar Mirah dengan nada sedikit bergetar.
Bayangan itu tetap diam. Namun terlihat
bayangan itu beberapa kali menggelengkan kepalanya.
Pandan Wangi yang sedari tadi hanya
diam saja menjadi tidak sabar. Dengan pertimbangan bahwa tidak menutup
kemungkinan orang yang hanya terlihat hitam sekujur tubuhnya itu adalah salah
satu dari sekian orang yang selama ini menaruh dendam kepada Ki Rangga Agung
sedayu, ataupun orang yang mempunyai maksud buruk kepada Ki Patih Mandaraka
yang sedang berada di rumahnya, Pandan Wangi pun segera mengambil sikap.
Demikianlah akhirnya dengan
menghentakkan kemampuannya, Pandan Wangi pun dengan penuh kewaspadaan telah
meloncat jauh ke depan mendekati bayangan hitam itu.
Namun alangkah terkejutnya Pandan
Wangi. Belum sempat kedua kakinya menyentuh tanah, bayangan hitam itu tanpa
memerlukan ancang-ancang telah mendahului melenting tinggi dan kemudian hinggap
di atas dinding. Sejenak bayangan itu masih sempat berpaling ke arah kedua
perempuan yang berdiri termangu-mangu di bawah dinding sebelum akhirnya
meluncur turun hilang di balik dinding.
Bagaikan berjanji sebelumnya Sekar
Mirah dan Pandan Wangi pun telah berpacu mengejar bayangan hitam itu menuju ke
pintu butulan. Hanya dengan beberapa kali lompatan, kedua perempuan berilmu
tinggi itu telah mencapai pintu butulan. Ketika keduanya kemudian meloncat
keluar untuk menilai keadaan, yang tampak di hadapan mereka hanyalah hamparan
kegelapan malam.
Dalam pada itu Ki Patih dan orang-orang
tua telah duduk melingkar di atas sehelai tikar pandan yang lebar dan putih
bersih. Beberapa macam hidangan dan minuman telah disediakan di tengah-tengah
bentangan tikar itu. Tak ketinggalan Glagah Putih yang memang khusus di panggil
oleh Ki Patih telah ikut duduk di sebelah Gurunya.
Dalam kesempatan itu Ki Jayaraga juga
telah melaporkan hasil pengamatannya atas tawanan yang melarikan diri siang
tadi.
“Jadi, tawanan itu sebenarnya Ki Lurah
Sanggabaya dari barak pasukan khusus?” bertanya Ki Patih begitu Ki Jayaraga
selesai memberikan keterangan.
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Jayaraga,
“Itulah agaknya mengapa sewaktu hamba menghadap ke barak pasukan khusus untuk
meminta bantuan keamanan telah ditolaknya,” Ki Jayaraga berhenti sebentar.
Kemudian lanjutnya, “Ki Lurah Sanggabaya bersikukuh bahwa keamanan Tanah
Perdikan sepenuhnya berada di tangan para pengawal. Sedangkan pasukan khusus
yang hanya tinggal sebagian kecil itu hanya bertugas menjaga keamanan barak dan
sekitarnya.”
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, “Sekembalinya aku ke kota Raja nanti, akan aku sampaikan
kepada Tumenggung Singayudha untuk membenahi prajurit khusus yang berkedudukan
di Menoreh. Tentu saja Ki Tumenggung Singayudha tetap harus memberitahu Ki
Rangga Agung Sedayu terlebih dahulu sebagai Senapati pasukan khusus. Namun
karena Ki Rangga sedang sakit, untuk sementara tugas itu akan diambil alih oleh
Ki Tumenggung Singayudha. Akan segera ditunjuk pengganti Lurah Sanggabaya dan
kemungkinannya akan diadakan pembersihan bagi para prajurit yang terlibat
langsung dengan Ki Lurah Sanggabaya.”
“Ampun Ki Patih, bagaimanakah tata cara
pendadaran calon prajurit di Mataram sehingga masih saja terjadi penyusupan
pihak-pihak yang mempunyai pamrih pribadi maupun kepentingan golongannya?”
bertanya Ki Jayaraga kemudian.
Sambil menguyah makanan yang berada di
mulutnya, sejenak Ki Patih menggelengkan kepalanya. Sejurus kemudian Ki Patih
baru menjawab, “Itulah persoalan yang selalu terjadi berulang. Jika Mataram
ingin mencari calon prajurit yang benar-benar bersih dari pengaruh apapun,
Mataram harus mengambil para pemuda yang benar-benar belum tercemar oleh
pengaruh apapun. Dengan demikian diperlukan waktu yang panjang untuk menempa mereka
menjadi prajurit yang tangguh dan tanggon,” Ki Patih berhenti sejenak.
Diteguknya wedang sere yang hangat itu beberapa tegukan sebelum melanjutkan
kata-katanya, “Namun jika Mataram ingin mendapatkan prajurit yang telah
mempunyai bekal yang cukup, bahkan kadang-kadang lebih dari cukup, Mataram
harus berani menerima calon prajurit yang bersumber dari berbagai perguruan
yang banyak tersebar di bumi Mataram. Namun kita tidak tahu, apa sebenarnya
maksud yang tersembunyi di dalam hati orang-orang yang ingin mengikatkan
dirinya dalam dunia keprajuritan itu.”
Orang-orang yang hadir dalam jamuan
makan malam di ruang tengah itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka
dapat mengerti persoalan yang dihadapi Mataram dalam setiap pendadaran calon
prajurit.
“Ampun Ki Patih,” kali ini Ki Argapati
yang berkata, “Apakah tidak sebaiknya Mataram meniru langkah Kadipaten Surabaya
yang telah mempercayakan pendadaran prajuritnya melalui perguruan-perguruan
yang dapat dipercaya? Sebagaimana yang telah Ki Patih sampaikan beberapa saat
yang lalu, bahwa Kadipaten Surabaya mempunyai ikatan yang kuat dengan sebuah
perguruan di lereng gunung Pawitra sebelah utara, perguruan Patirtan
Jalatunda.”
“Benar, Ki Gede,” jawab Ki Patih sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang dalam membentuk jati diri seorang
prajurit, kita dapat bekerja sama dengan perguruan-perguruan yang dapat
dipercaya kesetiannya terhadap Mataram. Dengan demikian Mataram tinggal
menentukan jenjang keprajuritan apa yang sedang dibutuhkan. Apakah itu prajurit
wira tamtama, ataukah setingkat lurah prajurit, Rangga atau bahkan Tumenggung
sekalipun. Sehingga kita tinggal membandingkan tingkat ilmu mereka di padepokan
dengan susunan kepangkatan di kalangan prajurit. Cantrik setara ilmunya dengan
prajurit wira tamtama, Putut setara dengan lurah prajurit dan seterusnya. Namun
semua itu tetap melalui pendadaran serta tidak serta merta menyandang pangkat
sesuai dengan tingkat ilmunya, namun lebih dari itu tetap dituntut adanya
sebuah bukti pengabdian dan kesetiaan terhadap pemerintahan Mataram.”
Kembali kepala orang-orang yang hadir
dalam jamuan makan malam itu tampak terangguk-angguk.
“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba Ki Waskita
memberikan pendapatnya, “Salah satu kelemahannya adalah jika kelak di kemudian
hari ternyata ada usaha makar yang justru datangnya dari perguruan-perguruan
yang dipercaya itu, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Namun jika
kemungkinan yang sangat kecil itu benar-benar terjadi, untuk menghancurkan
sebuah Kerajaan hanya suwe mijet wohing ranti.”
“Ah,” tanpa sadar orang-orang yang
berada di ruang tengah itu berdesah, demikian juga Ki Patih.
“Itulah agaknya jarang sekali sebuah
pemerintahan hanya menggantungkan kekuatan pasukannya dari satu sumber,” sahut
kiai Sabda Dadi yang sedari tadi hanya diam saja.
“Memang benar,” jawab Ki Patih,
“Mataram pun tidak gegabah menerima setiap calon prajurit walaupun sudah
memiliki bekal olah kanuragan yang cukup. Kita akan menelisik terlebih dahulu
asal usul calon prajurit itu sebelum memutuskan untuk menerimanya dalam
lingkungan keprajuritan,” Ki Patih berhenti sebentar sambil merapikan peralatan
makan yang telah selesai digunakan. Agaknya Ki Patih telah menyelesaikan santap
malamnya. Lanjutnya kemudian sambil sedikit menggeser duduknya ke belakang,
“Kecuali Glagah Putih dan Rara Wulan. Kami sudah tahu latar belakang kehidupan
maupun tingkat ilmu mereka. Namun demikian mereka berdua juga tetap mengikuti
tahapan pendadaran sebagaimana para calon prajurit yang lain.”
Glagah putih yang duduk di antara para
sesepuh itu hanya dapat menundukkan wajahnya.
Pembicaraan itu terhenti sebentar
ketika tiba-tiba saja mereka melihat Sekar Mirah dan Pandan Wangi muncul dari
lorong yang menghubungkan ruang tengah dengan pintu butulan samping kiri.
Dengan tergesa-gesa tanpa memperdulikan keadaan di sekelilingnya, kedua
perempuan itu pun kemudian segera memasuki bilik Ki Rangga Agung Sedayu yang
sedang sakit.
“Wangi!” Ki Argapati yang tidak mampu
menahan hatinya itu ternyata telah berseru memanggil putri satu-satunya.
Namun agaknya hati kedua perempuan itu
begitu tegangnya sehingga mereka tidak mendengar panggilan Ki Gede.
Beberapa orang tua yang duduk menemani
Ki Patih Mandaraka bersantap malam itu ikut menjadi heran. Apa sebenarnya yang
telah terjadi sehingga kedua perempuan yang berilmu tinggi itu terlihat begitu
gugup dan tergesa-gesa.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Gede
kemudian, “Agaknya telah terjadi sesuatu. Ijinkan hamba berbicara dengan
mereka.”
“Silahkan Ki Gede,” jawab Ki Patih,
“Semoga saja tidak terjadi suatu apapun. Mungkin mereka berdua hanya lupa
menyiapkan makan malam bagi Ki Rangga.”
Beberapa orang tersenyum mendengar
kata-kata Ki Patih itu. Namun sebenarnyalah hati beberapa orang-orang tua itu
menjadi berdebar debar.
Ternyata Ki Waskita yang ikut gelisah
melihat Sekar Mirah dan Pandan Wangi tergesa-gesa memasuki bilik Ki Rangga
segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih. Jika diperkenankan,
hamba akan ikut melihat keadaan Ki Rangga.”
“Silahkan-silahkan. Tetapi aku harap ki
Jayaraga dan Glagah Putih tetap tinggal di tempat. Aku akan memberikan beberapa
gambaran tentang tugas yang akan diemban oleh Glagah Putih.”
Demikianlah akhirnya jamuan makan malam
itu telah selesai. Ki Gede dan Ki Waskita serta Kiai Sabda Dadi segera menuju
ke bilik Ki Rangga. Sedangkan Ki Patih telah memilih tempat di pringgitan untuk
membicarakan tugas yang akan diemban Glagah Putih karena ruang tengah yang
dipakai untuk bersantap malam belum sempat dibersihkan. Sementara Ki Jayaraga
sebagai guru Glagah Putih telah diperkenankan oleh Ki Patih untuk ikut dalam
pembicaraan itu.
Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan
Wangi yang telah memasuki bilik Ki Rangga sejenak menjadi termangu-mangu. Di
hadapan mereka tampak Ki Rangga yang terlihat sedang tidur nyenyak di
pembaringan dengan kedua tangan bersilang di dada.
“Mbokayu,” bisik Sekar Mirah kemudian
sambil pandangan matanya tidak lepas dari wajah suaminya, “Tidak mungkin kalau
orang yang kita temui di halaman belakang tadi itu Kakang Agung Sedayu.
Kenyataannya dia sedang tidur nyenyak di dalam bilik ini.”
Sejenak Pandan Wangi mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Sahutnya kemudian juga dengan berbisik, “Tapi kalau
menurut bentuk tubuhnya, aku yakin orang itu tadi Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah terdiam. Sebagi seorang
istri, hatinya tidak dapat dikelabui bahwa orang yang mereka jumpai di halaman
belakang rumah ki Gede beberapa saat yang lalu itu adalah suaminya, Ki Rangga
Agung Sedayu. Namun jika melihat kenyataan bahwa suaminya sekarang ini sedang
terbaring sakit, Sekar Mirah menjadi ragu-ragu.
Ketika kedua perempuan yang berilmu
tinggi itu masih kebingungan dengan apa yang baru saja mereka alami, tiba-tiba
saja terdengar langkah beberapa orang yang sedang berjalan menuju ke bilik Ki
Rangga.
Ketika kedua perempuan itu kemudian
berpaling, tampak Ki Gede dan Ki Waskita sedang melangkah memasuki bilik.
Sedangkan Kiai Sabda Dadi baru menyusul kemudian.
“Ayah,” desis Pandan Wangi begitu
melihat Ki Gede melangkah masuk.
Dengan segera kedua perempuan itu
menepi memberi jalan kepada ketiga orang tua yang baru datang. Sejenak kemudian
ketiga orang-orang tua itu pun telah berdiri selangkah mengelilingi pembaringan
Ki Rangga.
“Wangi, apa sebenarnya yang telah
terjadi sehingga kalian berdua terlihat sangat tergesa-gesa memasuki bilik
ini?” bertanya Ki Gede kemudian sambil memandang tajam ke arah putri
satu-satunya itu.
Pandan Wangi yang merasa ditegur oleh
ayahnya menjadi sedikit gugup sehingga dia telah memberikan jawaban diluar
dugaan, “Anjani telah hilang, Ayah.”
“He?” hampir bersamaan ketiga orang tua
itu berseru terkejut.
Kiai Sabda Dadi yang berdiri paling
dekat dengan pintu bilik tanpa sadar telah meloncat keluar dan bergegas menuju
ke bilik Anjani. Sejenak kemudian kakek Damarpati itu telah kembali sambil
menggelengkan kepalanya.
“Nyi Pandan Wangi benar, Anjani tidak
ada di biliknya,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian dengan wajah yang
berkerut-merut.
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Pandan Wangi.
Pandan Wangi yang sudah menjadi tenang
segera memberi penjelasan, “Ayah, sewaktu kami mempersiapkan jamuan makan malam
untuk Ki Patih, kebetulan kami berdua tidak menjumpai Anjani di biliknya.
Ketika kami tanyakan kepada mbok Sukinem yang terakhir melihatnya, Anjani
sedang pergi ke pakiwan.”
“Apakah angger kemudian menjumpai
Anjani benar-benar di pakiwan?” potong Ki Waskita.
Pandan Wangi menggeleng, “Kami tidak
mencarinya ke pakiwan, Ki Waskita. Kami justru mempunyai panggraita kalau
Anjani memang sengaja pergi meninggalkan rumah ini.”
Untuk beberapa saat mereka yang ada di
dalam bilik itu saling berdiam diri. Masing-masing sibuk berangan-angan
membayangkan Anjani yang sedang terluka itu berjalan seorang diri
tertatih-tatih menyusuri bulak panjang dalam kegelapan malam yang pekat.
“Mengapa kau mempunyai dugaan seperti
itu, Wangi?” tiba-tiba pertanyaan Ki Gede memecah kesunyian.
Pandan Wangi sejenak menarik nafas
panjang. Jawabnya kemudian, “Ayah, kami berdua menjumpai pintu butulan di
halaman belakang tidak diselarak. Biasanya para penjaga regol depan
menyelaraknya sebelum gelap. Sehingga aku mengambil kesimpulan Anjani telah
meninggalkan rumah ini dengan sengaja lewat pintu butulan belakang.”
Sejenak Ki Gede termenung. Katanya
kemudian perlahan seolah ditujukan dirinya sendiri, “Mengapa Anjani melakukan
semua ini? Apakah Anjani merasa tidak nyaman tinggal di Menoreh?”
Tiba-tiba saja Ki Gede teringat pada
sesuatu sehingga dia pun kemudian bertanya kepada Pandan Wangi, “Mengapa kalian
terlihat tergesa-gesa memasuki bilik Ki Rangga? Ada hubungan apakah Ki Rangga
dengan hilangnya Anjani?”
Pandan Wangi dan Sekar Mirah untuk
sejenak saling pandang. Akhirnya Sekar Mirahlah yang menjawab, “Ma’afkan kami
Ki Gede, jika pada saat kami memasuki ruang tengah tadi telah meninggalkan suba
sita. Kami tergesa-gesa memasuki bilik ini untuk meyakinkan bahwa Ki Rangga
masih berada di pembaringannya.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Dengan
nada sedikit keheranan dia pun bertanya, “Apa maksudmu, Mirah?”
Sekar Mirah memandang Pandan Wangi
sejenak, namun agaknya suami kakak kandungnya itu telah menyerahkan persoalan
itu kepadanya. Maka jawabnya kemudian, “Pada saat kami sedang berada di halaman
belakang mencari Anjani, tiba-tiba saja kami melihat sesosok bayangan hitam yang
bergerak bagaikan tanpa bobot mendekati kami.”
“Bayangan hitam?” hampir bersamaan
ketiga orang tua itu mengulang kata-kata Sekar Mirah.
Untuk beberapa saat orang-orang tua itu
menjadi berdebar-debar. Dua orang perempuan itu adalah bukan perempuan kebanyakan.
Mereka berdua mempunyai ilmu yang tinggi. Namun jika keduanya menilai sesosok
bayangan hitam itu bergerak bagaikan tanpa bobot, itu menunjukkan bahwa orang
itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
“Apakah kalian dapat mengenalinya?”
bertanya Ki Waskita kemudian. Sebagai orang yang diberi kelebihan melihat
sesuatu diluar jangkauan nalar, Ki waskita mulai dapat meraba apa yang
sebenarnya sedang terjadi.
“Tidak Ki Waskita,” jawab Sekar Mirah.
Lanjutnya kemudian, “Tapi kami berdua mempunyai anggapan yang sama berdasarkan
bentuk tubuh bayangan hitam itu. Rasa-rasanya kami berdua sudah sangat mengenal
orang yang mempunyai bentuk tubuh seperti itu.”
Ketiga orang tua itu mengerutkan
keningnya. Sedangkan Ki waskita yang mempunyai panggraita yang sangat tajam melebihi
yang lain justru telah berpaling ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang
terbaring diam dengan kedua tangan bersilang di depan dada.
Sebelum Sekar Mirah meneruskan
penjelasannya, tiba-tiba saja Ki Waskita telah berdesis perlahan namun telah
membuat semua orang di dalam bilik itu terkejut bukan alang kepalang.
“Ki Rangga Agung Sedayu. Bukankah ujud
yang kalian lihat itu mirip ujud Ki Rangga Agung Sedayu?”
“Dari mana Ki Waskita tahu?” hampir
bersamaan pertanyaan itu meluncur dari bibir Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
“Sudahlah, ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian sambil memandang Sekar Mirah dan Pandan Wangi bergantian, “Urusan ini
biarlah kami orang-orang tua yang menangani. Aku jamin Ki Rangga tidak apa-apa.
Sedangkan Anjani kalau memang itu sudah menjadi keputusannya untuk pergi, kita
tidak dapat berbuat apa-apa selain mendoakan semoga dia mendapatkan apa yang
selama ini ingin diraihnya.”
Semua orang yang hadir di dalam bilik
itu tampak mengangguk angguk. Hanya Sekar Mirah yang terlihat masih gelisah
memikirkan kepergian Anjani.
“Apakah ada ucapan atau perbuatanku
yang menyakiti hatinya?’ bertanya Sekar Mirah dalam hati, “Bukankah setiap
permasalahan dapat dibicarakan kemudian? Jika Anjani mempunyai permasalahan,
mengapa dia tidak berbagi dengan aku. Anjani sudah kuanggap sebagai keluargaku
sendiri. Jasanya dalam menyelamatkan keluargaku tidak mungkin terbalaskan
sepanjang hidupku.”
Sedangkan Pandan Wangi justru merasa
sedikit lega walaupun dia juga menyayangkan kepergian Anjani yang masih dalam keadaan
terluka. Jika Anjani mau agak bersabar, mungkin masih ada jalan untuk
memecahkan persoalan yang membelit antara Anjani dan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Banyak prajurit bawahan Kakang Agung
Sedayu di pasukan khusus yang masih belum berumah tangga. Mungkin seorang
prajurit wira tamtama ataupun bahkan seorang Lurah prajurit jika memang Anjani
berkenan membuka hati,” berkata Pandan Wangi dalam hati.
“Wangi,” tiba-tiba Ki Gede berkata
membuyarkan lamunan Pandan Wangi, “Kau aku ijinkan untuk meninggalkan bilik
ini. Ajaklah beberapa pelayan untuk membersihkan ruang tengah.”
Pandan wangi yang menyadari bahwa
pembicaraan selanjutnya menyangkut urusan orang-orang tua itu segera mengangguk
sambil menjawab, “Ya, Ayah. Aku mohon diri,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Kemudian
sambil berpaling ke arah Sekar Mirah dia melanjutkan, “Marilah Mirah, bukankah kau
belum menengok Bagus Sadewa?”
Sekar Mirah tersenyum begitu nama
anaknya disebut. Sambil mengangguk ke arah orang-orang tua itu dia pun berkata,
“Aku juga mohon diri. Agaknya Bagus Sadewa tetap memerlukan perhatianku
walaupun Damarpati dan Rara Wulan selalu siap mengasuhnya.”
“Silahkan, silahkan,” jawab orang-orang
tua itu hampir berbareng.
Demikianlah sejenak kemudian Pandan
Wangi dan Sekar Mirah telah meninggalkan bilik Ki Rangga Agung Sedayu.
Sepeninggal kedua perempuan berilmu itu, Ki Gede segera mempersilahkan ki
Waskita dan Kiai Sabda Dadi untuk mengambil tempat duduk.
Untuk beberapa saat ketiga orang tua
itu terhanyut oleh angan masing-masing. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu yang
sedang tidur dengan menyilangkan kedua tangannya di dada masih terlihat tenang
tidak bergerak.
Dalam pada itu di tepi hutan sebelah
utara padukuhan induk, seorang perempuan muda tampak sedang menyusuri sebuah
jalan setapak di antara lebatnya gerumbul perdu serta ilalang yang tumbuh rapat
berjajar-jajar. Dia berjalan cepat tanpa menghiraukan dadanya yang masih terasa
sakit. Sesekali dihirupnya udara malam dalam-dalam agar dadanya yang terasa
sakit itu menjadi sedikit longgar.
“Agaknya jalan setapak ini sering
dilalui oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan hutan ini,” berkata
perempuan itu dalam hati. Sepasang matanya yang indah bagaikan bintang timur
itu menatap hutan lebat yang membujur di sebelah kanannya, “Mungkin para pemburu
atau pun orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan ini yang
sering lewat di jalan setapak ini. Aku yakin bahwa hutan ini sudah sering
dijamah manusia dan sudah tidak berbahaya lagi.”
Namun ketika terdengar lolongan
serigala yang bersahut-sahutan walaupun terdengar jauh di dalam hutan, wajah
yang memiliki kecantikan luar biasa itu terlihat sejenak mengerutkan keningnya.
“Mungkin masih ada beberapa jenis
binatang buas di hutan ini,” berkata perempuan itu dalam hati sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Setidaknya para penghuni padukuhan terdekat
tidak memasuki hutan di malam hari. Atau pun jika ada yang ingin berburu di
malam hari, mereka pasti melakukannya dengan berkelompok dan membawa
persenjataan yang lengkap.”
Ketika kembali terdengar lolongan
Serigala yang terdengar semakin dekat, ternyata perempuan cantik itu sama
sekali tidak terpengaruh. Dia sama sekali tidak menjadi gentar ataupun
ketakutan. Langkahnya tetap terayun menyusuri jalan setapak menuju ke pebukitan
Menoreh.
“Semoga Ki Gede Menoreh tidak
tersinggung karena aku pergi tanpa pamit,” kembali perempuan muda itu
berangan-angan sambil terus melangkah, “Seandainya aku berpamitan kepada Nyi
Sekar Mirah, aku yakin dia pasti akan menahanku. Selain karena keadaan luka
dalam dadaku yang belum sembuh, Nyi Sekar Mirah merasa sangat berhutang budi
kepadaku, sehingga aku telah dianggapnya sebagai pahlawan bagi keluarganya,”
perempuan muda yang tak lain adalah Anjani itu menarik nafas dalam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak sampai hati merusak kebahagiaan
keluarga Nyi Sekar Mirah. Apa yang harus aku katakan kepadanya seandainya suatu
saat nanti dia ingin mengetahui tujuanku yang sebenarnya.”
Angin malam bertiup lembut membelai
anak rambut di kening Anjani. Bulan tua yang belum terbit telah membuat malam
terlihat gelap. Sementara bintang gemintang yang mulai muncul dan
memperlihatkan kerlap-kerlip sinarnya tidak mampu membuat malam yang gelap itu
menjadi sedikit terang.
“Aku tidak ingin membuat Kakang Agung
Sedayu bersedih,” kembali Anjani berkata dalam hati. Setiap kali teringat Ki
Rangga Agung Sedayu, hati Anjani pun bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas
tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping.
Masih jelas terngiang kata-kata Ki
Rangga Agung Sedayu ketika dia memberanikan diri untuk memasuki bilik Ki Rangga
tanpa seijin Sekar Mirah.
“Anjani.., cobalah berpikir tentang
masa depanmu. Itulah yang lebih penting sekarang ini. Aku telah berjanji
membawamu ke Menoreh. Bukankah kau sekarang ini sudah di Menoreh? Hidup di
antara keluargaku? Sesungguhnya di antara kita memang tidak ada suatu ikatan
apapun. Aku minta maaf jika tidak dapat memenuhi harapan yang mungkin sempat
melambung di hatimu. Tapi percayalah, jika memang kau ingin menjadi bagian dari
keluargaku, dengan senang hati aku akan menerimanya.”
Anjani berdesah perlahan sambil menekan
dadanya yang terasa perih dengan telapak tangan kanannya. Luka dalam dadanya
terasa semakin menyengat jika teringat olehnya kata-kata Ki Rangga. Namun dia
tidak merasa sakit hati atau pun dendam atas sikap Ki Rangga itu. Justru Anjani
menjadi semakin kagum akan keteguhan dan kebijaksanaan ki Rangga dalam
menghadapi setiap permasalahan.
“Setidaknya aku telah membalas budi
kebaikan Ki Rangga yang telah membebaskan aku dari cenkeraman kekejaman kedua
guruku,” kembali Anjani berangan-angan saat dia untuk pertama kalinya bertemu
dengan Ki Rangga, “Untunglah Ki Rangga berhasil memenangkan perang tanding itu.
Seandainya kedua guruku yang keluar sebagai pemenang, aku tidak tahu bagaimana
nasibku selanjutnya.”
Anjani terus melangkah. Sesekali tampak
keningnya berkerut-merut. Sebenarnyalah sejak keluar dari padukuhan induk tadi,
panggraitanya yang tajam telah menangkap sebuah isyarat yang cukup mendebarkan.
Beberapa kali Anjani mencoba meyakinkan
bahwa seseorang telah mencoba mengikutinya, namun setiap kali Anjani selalu
gagal. Bahkan ketika sesekali Anjani mencoba melihat ke belakang dengan
berpaling cepat, namun pemandangan yang terhampar di belakangnya hanyalah
kegelapan yang pekat.
“Gila!” desis Anjani, “Apakah orang ini
sengaja mempermainkan aku ataukah dia memang menunggu saat yang tepat ketika
aku sedang lengah?”
Dengan dada yang bedebaran Anjani terus
melangkah. Sesekali di berjalan agak cepat. Ketika pada suatu kesempatan dia
melewati gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun, dengan kecepatan yang tidak dapat
diikuti oleh pandangan mata wadag, tiba-tiba saja tubuhnya telah lenyap
bagaikan ditelan bumi.
Sejenak suasana menjadi sangat sunyi.
Dengan mengerahkan kemampuannya untuk menyerap segala bunyi yang dapat
ditimbulkan oleh pergerakan tubuhnya, perlahan-lahan Anjani pun mencoba
mengintip di antara rimbunnya dedaunan perdu. Namun jalan setapak itu tetap
lengang. Hanya suara binatang malam yang terdengar bersahut-sahutan dalam irama
ajeg dan kadang ditingkah lolongan serigala yang terdengar sayup-sayup jauh di
tengah hutan.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Anjani
pun kemudian keluar dari dalam gerumbul perdu. Sesekali ditekannya dadanya yang
masih terasa sakit. Beberapa saat kemudian, Anjani telah berada di jalan
setapak itu kembali.
Namun Anjani tidak segera meneruskan
langkahnya. Dia justru berdiri dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak
pinggang menghadap kearah padukuhan induk. Katanya kemudian dengan suara
lantang, “Ki Sanak! Kalau memang Ki Sanak mempunyai urusan denganku, silahkan
menampakkan diri. Jangan bermain petak umpet!”
Suara Anjani terdengar bergaung dan
memantul-mantul di dalam hutan yang membujur ke utara. Suara gaung itu
terdengar jauh sampai ke ujung hutan.
Untuk beberapa saat Anjani menunggu,
namun tidak terdengar jawaban. Hanya semilir angin yang berhembus menerobos
dedaunan di pinggir hutan itu sehingga terdengar suara gemerisik yang
berkepanjangan.
Anjani menggeretakkan giginya. Dia
benar-benar sudah kehabisan kesabaran menghadapi orang yang sedang menguntitnya
itu dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya dengan wajah yang merah padam
menahan kemarahan, Anjani pun segera berbalik dan meneruskan perjalanannya.
Ketika jalan setapak itu mulai terlihat
samar-samar dan kemudian hilang di antara rumput ilalang yang tumbuh rapat
berjajar-jajar, tanah pun mulai terasa semakin mendaki. Bebatuan mulai tampak
bermunculan di antara tanah yang bergelombang serta hutan di sisi utara
padukuhan induk itu terlihat mulai menipis. Tanpa terasa Anjani telah sampai di
kaki pebukitan Menoreh.
Sejenak Anjani menghentikan langkah
sambil mengangkat wajahnya memandangi pebukitan Menoreh dalam kegelapan malam
yang terlihat hitam membujur ke utara bagaikan raksasa yang sedang tidur.
Sebersit keragu-raguan tiba-tiba saja telah menyelinap ke dalam hatinya.
“Aneh,” berkata Anjani kemudian dalam
hati, “Rasa-rasanya orang ini telah mengikuti aku sejak aku keluar dari
padukuhan induk. Akan tetapi mengapa sejauh ini dia tidak berbuat apa-apa?
Tempat ini sudah cukup jauh dari padukuhan induk, dan sebentar lagi akan
mendaki pebukitan Menoreh. Jika memang dia ingin berbuat jahat atau pun sekedar
menemui aku karena suatu kepentingan, saat inilah sebenarnya yang tepat untuk
melaksanakan rencananya itu.”
Berpikir sampai disitu, Anjani
memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya. Dengan perlahan Anjani
kemudian justru telah berjalan mendekati sebuah pohon dan duduk di atas sebuah
batu besar yang teronggok di bawahnya.
Sambil meluruskan kakinya, Anjani
berusaha mengetrapkan kemampuannya untuk mendengarkan getar alam sekitarnya.
Dicobanya untuk mempertajam pendengarannya dengan mengetrapkan Aji Sapta
pangrungu. Demikian juga untuk mempertajam penglihatannya, dia telah
mengetrapkan aji sapta pandulu. Walaupun masih dalam tingkat permulaan, namun
Resi Mayangkara memang telah mengajarkan Anjani untuk meningkatkan kemampuan
panca indranya.
Namun alangkah terkejutnya Anjani
ketika baru saja dia berusaha memusatkan segenap nalar dan budinya, tiba-tiba
saja sebuah bayangan hitam telah muncul beberapa langkah di hadapannya.
Bagaikan disengat ribuan kalajengking,
Anjani pun segera meloncat berdiri dari tempat duduknya. Dengan kaki renggang
dan kedua tangan teracu ke depan, perempuan muda murid Resi Mayangkara itu
telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun bayangan itu sepertinya telah
kehilangan bentuk. Perlahan-lahan ujud yang belum sempat dikenali oleh Anjani
itu memudar seiring dengan bertiupnya angin malam yang cukup kencang di pinggir
hutan itu.
“Gila!” geram Anjani sambil maju
selangkah, “Permainan apa pula ini?”
Namun tidak terdengar sebuah jawaban
pun. Bayangan hitam itu benar-benar telah lenyap sebelum Anjani mengenali dan
membuat perhitungan dengannya.
Sejenak Anjani masih berdiri
termangu-mangu di tempatnya. Berbagai dugaan silih berganti dalam benaknya.
Sekilas teringat olehnya Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tergolek di
pembaringannya.
“Ki Rangga mampu menggandakan ujud
dirinya menjadi tiga,” berkata Anjani teringat perang tanding Ki Rangga dengan
kedua gurunya beberapa waktu yang lalu.
Namun angan-angannya itu dibantahnya
sendiri, “Tidak mungkin jika yang melakukan semua ini Ki Rangga. Ki Rangga
sedang sakit,” angan-angannya berhenti sejenak. Kemudian sambil menggelengkan
kepalanya dia berkata dalam hati, “Ah, sudahlah. Mungkin juga Eyang Resi yang
ingin mendampingi perjalananku.”
Berpikir sampai disitu, tanpa
menghiraukan lagi keadaan di sekitarnya, Anjani segera mengayunkan langkahnya.
Tujuannya pasti, menyeberangi pebukitan Menoreh menuju gunung Kendalisada.
Dalam pada itu ketiga orang tua yang
sedang menunggu Ki Rangga tampak menjadi sedikit gelisah. Beberapa kali Ki
Rangga terlihat berdesah bahkan tidak jarang tubuh yang terbujur diam itu
seolah-olah tergetar dan menggigil keras.
“Ki Waskita,” desis Ki Gede begitu
melihat keadaan Ki Rangga, “Aku tidak yakin kalau Ki Rangga sekarang ini sedang
dalam keadaan tidur yang sebenarnya. Aku merasakan ada sebuah getaran aneh yang
menyelimuti sekujur tubuh Ki Rangga.”
Ki Waskita yang dapat dikatakan
termasuk salah satu guru Ki Rangga walaupun hanya sekedar meminjamkan kitabnya
untuk dibaca segera menjawab, “Ki Gede benar, Ki Rangga memang sedang tidak
tidur. Ki Rangga sedang memusatkan seluruh nalar dan budinya untuk mengetrapkan
sebuah aji yang disebut aji pengangen-angen.”
“Aji pengangen-angen?” ulang Ki Gede.
Sementara Kiai Sabda Dadi hanya mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Waskita
kemudian, “Seperti telah kita ketahui, Ki Rangga sudah menguasai Aji Kakang
Pembarep Adi Wuragil dengan hampir sempurna. Ki Rangga mampu memancarkan
kekuatan ilmunya lewat kedua ujudnya itu sehingga dalam pengetrapannya,
kemampuan Ki Rangga menjadi berlipat tiga kali, sebagaimana yang telah kita
saksikan pada pertempuran kemarin.”
Ki Gede termenung sejenak. Sedangkan
Kiai Sabda Dadi yang juga ikut menyaksikan pertempuran antara Ki Rangga melawan
Panembahan Cahya Warastra kemarin masih saja berdebar-debar jika mengenang
benturan ilmu yang sangat langka itu.
“Kedua-duanya menguasai ilmu yang sudah
sangat jarang dimiliki orang saat ini,” berkata Kiai Sabda Dadi dalam hati,
“Aji Brahala wuru adalah sebuah ilmu yang bersumber dari kegelapan. Sedang apa
yang ditunjukkan oleh Ki Rangga waktu itu adalah ilmu dari perguruan aliran
putih yang sudah punah. Menurut ciri-ciri yang aku lihat, aku yakin ilmu cambuk
itu bersumber dari perguruan Windujati. Sedangkan ilmu kakang pembarep dan adi
wuragil itu dari perguruan mana aku tidak tahu.”
“Namun apa yang sedang dilakukan Ki
Rangga saat ini adalah mengetrapkan sebuah ilmu yang sedang dipelajarinya,”
berkata Ki Waskita kemudian membuyarkan lamunan kedua orang tua itu, “Aku
yakin, Ki Rangga mencoba mempelajari sebuah ilmu baru. Namun kekuatan wadag Ki
Rangga belum mendukung karena masih lemah akibat benturan yang dahsyat dengan Panembahan
Cahya Warastra,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Itulah
sebabnya Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjumpai ujud Ki Rangga hanya berupa
sesosok bayangan hitam, belum berupa ujud Ki Rangga yang sebenarnya.”
Kedua orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bagi mereka Ki Rangga
Agung Sedayu itu masih termasuk golongan angkatan muda namun sangat cemerlang
dalam menguasai ilmu kanuragan.
“Dulu masih ada Raden Sutawijaya dan
Pangeran Benawa yang mengusai ilmu mereka hampir tuntas,” berkata Ki Gede dalam
hati, “Namun semenjak kedua Priyagung itu wafat, sepertinya tidak ada lagi
penggantinya. Semoga Raden Mas Rangsang yang digadang-gadang merajai Tanah Jawa
ini dapat memenuhi harapan kita semua.”
Untuk beberapa saat suasana menjadi
sepi. Ketiga orang tua itu tampak sedang merenungi Ki Rangga yang terlihat
terbujur diam namun tidak sedang dalam keadaan tidur. Berbagai tanggapan telah
muncul di masing-masing benak dari ketiga orang tua itu.
“Swandaru akan semakin jauh tertinggal
dari Ki Rangga Agung Sedayu,” Ki Gede Menoreh berkata dalam hati, “Walaupun
keduanya mewarisi ilmu dari guru yang sama, Kiai Gringsing. Aku yakin orang
bercambuk itu tidak mungkin mempunyai niat walau hanya sebiji sawi pun untuk memperlakukan
murid-muridnya emban cinde emban silatan. Semua ilmu telah diturunkan secara
tuntas. Namun agaknya dalam perkembangan selanjutnya Ki Rangga memiliki
beberapa kelebihan dari adik seperguruannya itu.”
Sementara Ki Waskita yang dapat
dikatakan sebagai guru kedua Ki Rangga menjadi semakin bangga dan terharu
dengan semangat Ki Rangga dalam mengembangkan ilmunya.
“Aji pengangen-angen ini sangat luas
dalam pengetrapannya,” berkata Ki Waskita dalam hati sambil memperhatikan
setiap perubahan yang terjadi pada diri Ki Rangga yang terlihat sedang
tertidur, “Aku dan Panembahan Agung hanya mampu menguasai pada penciptaan
bentuk-bentuk semu yang tidak banyak berarti. Namun Ki Rangga telah mampu
merambah pada Aji Kakang Pembarep dan Adi Wuragil, dan sekarang agaknya Ki
Rangga akan semakin mengembangkan Aji pengangen-angen itu dalam bentuk semu
yang tidak mengenal batas dan jarak. Berbeda dengan aji kakang pembarep dan adi
wuragil yang masih terikat pada jarak dengan sumbernya.”
Sedangkan Kiai Sabda Dadi yang terlihat
banyak berdiam diri, sesungguhnya telah terjadi pergolakan di dalam hatinya.
“Dengan susah payah aku dan Damarpati
telah menempuh perjalanan panjang hanya untuk memenuhi pesan Guru,” kakek
Damarpati itu berangan-angan dalam hati, “Walaupun aku sudah tidak dapat
bertemu dengan Kiai Gringsing atau orang lebih mengenalnya dengan sebutan orang
bercambuk, namun ternyata murid utamanya ini menurut pengamatan para sesepuh
angkatan tua, kemampuan ilmunya bahkan telah melampaui kemampuan orang
bercambuk itu sendiri. Namun aku tidak sampai hati untuk menyampaikan maksudku
yang sebenarnya untuk meminta bantuan. Ki Rangga telah banyak disibukkan oleh
tugas-tugas keprajuritannya.”
Ketika mereka yang berada di dalam
bilik itu sedang disibukkan oleh angan masing-masing, pendengaran mereka yang
tajam melebihi pendengaran orang kebanyakan telah menangkap langkah-langkah
yang menuju ke bilik Ki Rangga.
Begitu ketiga orang tua itu berpaling
ke arah pintu bilik yang terbuka lebar, tampak Ki Patih Mandaraka sedang
melangkah memasuki bilik diikuti oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih di
belakangnya.
Dengan serta merta ketiga orang itu pun
segera berdiri untuk menyambut Priyagung dari Mataram itu.
“Silahkan Ki Patih,” berkata Ki Gede
kemudian sambil menyiapkan sebuah tempat duduk untuk Ki Patih.
“Terima kasih Ki Gede,” jawab Ki Patih
sambil tersenyum, “Agaknya waktu sudah sirep bocah. Aku harus kembali ke Kota
Gede sebelum wayah sire uwong.”
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Gede
sambil membungkukkan badan dalam-dalam, “Kami akan sangat bersyukur jika Ki
Patih berkenan bermalam di gubuk kami.”
Ki Patih tersenyum menanggapi tawaran
Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Terima kasih atas tawaran Ki Gede. Akan tetapi aku
tidak boleh terlalu lama di luar Istana. Sewaktu-waktu Sinuhun Panembahan Hanyakrawati
memerlukan kehadiranku.”
Semua orang yang hadir di dalam bilik
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Semua menyadari bahwa peran Ki Patih
dalam pemerintahan Mataram sangat penting, bahkan jauh sebelum Kerajaan Mataram
itu berdiri.
Sejenak Ki Patih masih berdiri
termangu-mangu. Dingklik kayu yang diangsurkan oleh Ki Gede dibiarkannya saja.
Agaknya Ki Patih sedang memikirkan sesuatu. Pandangan matanya tidak lepas dari
tubuh Ki Rangga yang terbujur diam dengan kedua tangan bersilang di dada.
Ketika mereka yang berada di dalam
bilik itu sedang menunggu titah Ki Patih. Tiba-tiba saja terdengar Ki Rangga
berdesah dalam tidurnya.
“Ki Waskita,” tiba-tiba Ki Patih
berkata sambil memandang ke arah Ki Waskita, “Aku tidak ingin mengganggu
istirahat Ki Rangga. Namun jika dia sudah terjaga nanti, sampaikan pesanku agar
Ki Rangga tidak terlalu memaksakan diri. Keadaan wadagnya masih lemah.”
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Waskita
sambil membungkuk. Sementara orang-orang tua yang ada di dalam bilik itu tampak
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, Ki Patih yang mempunyai
panggraita melebihi orang-orang kebanyakan itu pasti mengetahui apa yang sedang
terjadi pada diri Ki Rangga Agung Sedayu.
“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian,
“Sudah waktunya aku harus kembali. Malam telah semakin larut. Namun sebaiknya
ada yang menemani Ki Rangga.”
“Hamba Ki Patih,” dengan cepat Ki
Waskita segera menyahut, “Biarlah hamba yang tinggal untuk memantau keadaan Ki
Rangga.”
Ki Patih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Maka katanya kemudian, “Marilah, mungkin ada beberapa orang yang
akan menemani perjalananku ke padukuhan induk. Selebihnya dapat melakukan
kegiatannya masing-masing.”
“Hamba Ki Patih,” hampir serentak
orang-orang yang hadir di bilik itu menjawab sambil menganggukkan kepala
dalam-dalam.
Demikianlah akhirnya Ki Patih dan
beberapa orang-orang tua telah meninggalkan bilik Ki Rangga untuk bersiap-siap
kembali ke padukuhan induk, kecuali Ki Waskita. Sedangkan Kiai Sabda Dadi
sengaja ikut rombongan Ki Patih kembali ke padukuhan induk dengan pertimbangan
masih banyak yang memerlukan pertolongannya disana. Sementara Glagah Putih yang
tidak ikut rombongan orang-orang tua itu segera bergegas mencari istrinya untuk
menyampaikan perintah Ki Patih sehubungan dengan tugas baru yang telah
diterimanya.
Sepeninggal Ki Patih dan orang-orang
yang hadir di bilik itu, Ki Waskita segera menutup pintu bilik rapat-rapat dan
diselarak dari dalam. Kemudian dia segera duduk di atas sebuah dingklik kayu
sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam serta kedua tangan bersilang di depan
dada.
Sejenak kemudian bilik itu pun menjadi
sepi. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas perlahan dan teratur dari Ki
Waskita serta Ki Rangga Agung Sedayu.
Ketika Ki Waskita kemudian telah
mengangkat kepalanya dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di depan dada,
Ki Rangga pun tampak berdesah sambil membuka kedua matanya.
“Kau sudah terbangun Ngger?” berkata ki
Waskita sareh sambil mendekat dan duduk di tepi pembaringan Ki Rangga.
Untuk beberapa saat Ki Rangga tidak
menjawab. Pandangan matanya masih terasa kabur dan tubuhnya telah basah kuyup
oleh keringatnya sendiri. Sementara tulang belulangnya terasa bagaikan terlepas
dari setiap persendian yang ada di sekujur tubuhnya. Ki Rangga benar benar
telah mengalami kelelahan yang sangat luar biasa.
Setelah mengejap-kejapkan kedua kelopak
matanya beberapa saat, pandangan mata Ki Rangga pun mulai menjadi semakin
jelas. Barulah Ki Rangga menyadari bahwa yang duduk di tepi pembaringannya itu
adalah Ki Waskita.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga
kemudian sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Di manakah
aku sekarang ini?”
Ki Waskita tersenyum. Orang tua yang
secara tidak langsung telah menjadi guru kedua dari Ki Rangga itu maklum bahwa
Ki Rangga baru saja mengalami gonjangan kejiwaan dalam mengetrapkan Aji
Pengangen-angen.
“Angger berada di dalam sebuah bilik di
rumah Ki Gede Menoreh,” jawab Ki Waskita kemudian, “Aku tahu angger telah
mengalami kejutan jiwa pada saat aku menuntun angan-angan Ki Rangga agar dapat
pulang kembali.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya sambil
berdesah. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali agar rongga dadanya
menjadi longgar, Ki Rangga pun kemudian berkata, “Ki Waskita, apakah aku bisa
minta tolong untuk mengambilkan air minum?”
“O, tentu, tentu,” jawab Ki Waskita
sambil bangkit berdiri. Diraihnya sebuah kendi yang terletak di atas meja di
samping pembaringan Ki Rangga.
“Minumlah ngger, agar tubuhmu menjadi
segar,” berkata Ki Waskita kemudian sambil membantu Ki Rangga mengangkat
kepalanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya yang membawa kendi
dengan perlahan-lahan menuangkan air minum itu ke mulut Ki Rangga.
“Jangan terlalu banyak dulu ngger,”
berkata Ki Waskita sambil perlahan-lahan merebahkan Ki Rangga kembali ke pembaringan-nya.
Sementara kendi itu telah dikembalikan ke tempatnya.
Ki Rangga yang telah berbaring kembali
itu merasa tubuhnya menjadi sedikit segar. Perlahan-lahan Ki Rangga pun mulai
mengingat kembali apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga
kemudian, “Aku merasakan suatu hal yang aneh telah terjadi pada diriku sewaktu
aku sedang tidur tadi,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk membasahi
kerongkongannya yang kering. Lanjutnya kemudian, “Sewaktu aku berada di alam
bawah sadar, tiba-tiba aku teringat akan isi kitab yang telah dipinjamkan oleh
Ki Waskita kepadaku dahulu. Aku mencoba mengingat-ingat sebuah ilmu yang
menurutku sangat menarik.”
“Apakah angger kemudian mencoba
mengetrapkan ilmu itu walaupun angger sadar bahwa angger belum memenuhi
persyaratan baik laku lahir maupun laku batinnya?” bertanya Ki Waskita.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam
sebelum menjawab. Akhirnya dengan nada sedikit ragu-ragu Ki Rangga pun
menjawab, “Aku hanya tertarik untuk mengikuti petunjuk yang ada di dalam kitab
itu yang telah aku hafal tanpa memikirkan akibat yang dapat timbul kemudian.
Karena ilmu itu mirip dengan ilmu yang telah aku kuasai sebelumnya, aji kakang
pembarep dan adi wuragil.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kening ayah Rudita itu tampak semakin berkerut merut. Katanya
kemudian, “Ya ngger, aku bisa menebak bagian mana dari isi kitab itu yang telah
menarik perhatian angger dan agaknya angger ingin mempelajarinya lebih jauh.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya
sejenak. Dia menjadi sedikit berdebar-debar bahwa Ki Waskita bisa menebak isi
hatinya. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, bagaimana Ki Waskita dapat menebak
ilmu yang sedang ingin aku pelajari? Padahal aku belum mengatakannya?”
Kembali orang tua itu tersenyum sareh.
Jawabnya kemudian, “Pada awalnya para sesepuh yang sedang duduk-duduk bersama
Ki Patih di ruang tengah telah melihat Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang
memasuki bilik ini dengan tergesa-gesa. Atas ijin Ki Patih, aku dan Ki Gede
serta Kiai Sabda Dadi segera menyusul kedua perempuan itu ke dalam bilik ini,”
Ki Waskita berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Di dalam bilik ini aku
melihat angger yang sedang tidur dengan kedua tangan bersilang di dada. Aku
sudah pernah mempelajari ilmu ini ngger walaupun tidak sampai tuntas sehingga
panggraitaku telah mengatakan bahwa angger tidak sedang tidur dalam arti yang
sebenarnya.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan
kepalanya. Beberapa saat Ki Rangga masih merenungi kata-kata Ki Waskita. Namun
tiba-tiba Ki Rangga teringat sesuatu, maka katanya kemudian, “Ki Waskita,
ketika aku mengikuti petunjuk yang ada di dalam kitab itu, sebagaimana aji
kakang pembarep dan adi wuragil, ujudku dapat memecah, namun kali ini hanya
menjadi dua. Aku bisa melihat ujud asliku yang tetap terbujur diam di atas pembaringan.
Sedangkan ujud yang satunya, yang aku rasakan sebagai ujudku sendiri,
seolah-olah melayang dan dapat menembus batasan apapun yang ada di sekitarku,”
Ki Rangga berhenti sejenak sambil mencoba menggali ingatannya tentang kejadian
aneh yang baru dialaminya. Maka lanjutnya kemudian, “Ketika aku memutuskan
untuk keluar dari bilik ini, aku tidak harus melalui pintu bilik. Dinding bilik
ini dapat aku tembus dengan mudahnya. Namun yang membuat aku kebingungan adalah
ketika di halaman belakang aku menjumpai Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Aku
mencoba menyapa mereka, namun aku tidak dapat mengeluarkan suara sepatah kata
pun, bahkan kedua perempuan itu terlihat ragu-ragu mengenali ujudku.”
Ki Waskita terenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Ki Rangga. Sambil menghirup
udara malam untuk memenuhi rongga dadanya, Ki Waskita pun kemudian berkata
dengan sareh, “Angger agung Sedayu, menurut cerita dari Sekar Mirah dan Pandan
Wangi, mereka telah bertemu dengan seseorang yang mempunyai perawakan sangat
mirip dengan angger di halaman belakang. Namun ujud itu tidak dapat dikatakan
sebagaimana ujud manusia biasa, hanya sebuah bayangan hitam yang sulit dikenali
wajahnya,” Ki Waskita berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Berdasarkan
keterangan mereka berdua itu lah aku dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
angger sedang mencoba mengetrapkan sebuah ilmu yang dapat menjadi perantara
untuk mewujudkan angan-angan kita.”
“Angan-angan kita?” tanpa sadar Ki
Rangga mengulang dengan kening yang berkerut-merut.
“Ya ngger, untuk mewujudkan setiap
angan-angan kita,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil mengamati kesan di wajah
Ki Rangga. Kemudian lanjutnya, “Itulah ngger, mengapa di lingkungan perguruan
kami, aji itu diberi nama Aji pengangen-angen, karena dengan berbekal ilmu itu,
seseorang dapat mewujudkan apa yang ada dalam angan-angannya walaupun itu juga
ada batasannya. Setiap cabang ilmu yang bersumber dari kekuatan Aji
pengangen-angen mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.”
“Aji Pengangen-Angen,” perlahan ki
Rangga mengulang.
Tiba-tiba Ki Rangga seperti teringat
sesuatu, maka tanyanya kemudian, “Mengapa di dalam kitab Ki Waskita tidak
pernah disebut nama Aji pengangen-angen itu?”
“Memang di dalam kitab itu tidak pernah
menyebut nama Aji pengangen-angen,” jawab Ki Waskita, “Itu adalah sebutan yang
diberikan oleh para murid di perguruan kami. Sebutan yang disesuaikan dengan
sifat dan watak dari ilmu itu sendiri.”
“Jadi maksud para murid di perguruan Ki
Waskita, jika mereka telah menguasai ilmu itu mereka akan mampu mewujudkan
apapun sesuai dengan angan-angannya?”
“Itu adalah harapan mereka, ngger,”
sahut Ki Waskita, “Mereka tidak sepenuhnya benar. Aji pengangen-angen untuk
menguasai-nya memerlukan tahapan demi tahapan. Memang tidak dijelaskan secara
rinci di dalam kitab itu. Guru kami lah yang akan memberikan penjelasan hanya
kepada murid-muridnya yang telah dianggap mumpuni.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Hatinya semakin tertarik untuk mendalami aji pengangen-angen itu.
“Sudahlah ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian setelah sejenak mereka berdua terdiam, “Beristirahatlah. Apakah angger
tadi sore sudah sempat makan?”
“Sudah Ki,” jawab Ki Rangga sambil
tersenyum, “Walaupun hanya beberapa suap namun aku sudah makan,” Ki Rangga
berhenti sejenak. Agaknya masih ada sesuatu yang akan disampaikan kepada Ki
Waskita. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, jika memang aku masih
diperkenankan untuk mempelajari aji pengangen-angen ini, apakah ki Waskita
berkenan membimbing aku?”
Ki Waskita yang sudah hampir bangkit
dari tepi pembaringan Ki Rangga menjadi urung. Jawabnya kemudian, “Aku memang
pernah mempelajari ilmu itu, ngger, namun masih terbatas sekali. Apa yang dapat
aku lakukan adalah sekedar menampilkan ujud semu sesuai dengan keinginan
angan-anganku, namun tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap lingkungan
sekitarnya. Sedangkan angger sudah merambah pada aji kakang pembarep adi
wuragil yang merupakan pancaran dari kekuatan ilmu angger sendiri. Aji
pengangen-angen ini mempunyai kemiripan dengan aji kakang pembarep dan adi
wuragil, sehingga apa yang akan angger tekuni nanti seolah-olah
berkesinambungan dengan apa yang telah angger pelajari sebelumnya,” Ki Waskita
berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Lanjutnya
kemudian, “Namun angger tetap harus menjalani laku baik lahir maupun batin
dalam mendalami ilmu ini. Karena setiap ilmu mempunyai sebuah laku yang khusus.
Namun semua itu terserah angger, keadaan wadag angger masih lemah, lebih baik
tidak usah memaksakan diri. Ki Patih Mandaraka juga berpesan demikian ketika
menyempatkan diri menengok angger sebelum kembali ke padukuhan induk.”
“Ki Patih Mandaraka?” bertanya Ki
Rangga kemudian, “Apakah Ki Patih sudah kembali ke kota Raja?”
Ki Waskita menggeleng, “Mungkin Ki
Patih baru sampai di padukuhan induk sekarang ini. Namun agaknya Ki Patih akan
kembali ke kota Raja malam ini juga.”
Ki Rangga kembali menarik nafas
dalam-dalam. Berbagai pertimbangan sedang menyelimuti benaknya. Ada keinginan
yang kuat untuk segera mendalami aji pengengen-angen itu, namun dia harus
mempertimbangkan kekuatan wadagnya yang masih lemah.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Waskita pada
akhirnya, “Ki Rangga perlu istirahat. Apakah angger perlu seorang kawan? Aku
akan memanggil Sekar Mirah jika memang angger menghendaki.”
Sejenak Ki Rangga berpikir. Akhirnya Ki
Rangga pun mengambil keputusan. Katanya kemudian, “Baiklah Ki, aku perlu baju
yang kering dan mungkin semangkuk minuman hangat. Jika Ki Waskita tidak
berkeberatan, sampaikan kepada istriku.”
“O, tentu saja tidak ngger,” jawab Ki
Waskita sambil bangkit dari tepi pembaringan Ki Rangga, “Beristirahatlah yang
cukup. Kita akan membicarakan aji pengangen-angen ini dilain waktu. Sementara
aku akan memanggil Sekar Mirah untuk menemani angger.”
Selesai berkata demikian Ki Waskita
segera melangkah keluar bilik dan menutup pintu bilik itu dari luar sebelum
akhirnya menuju ke bilik yang terletak di belakang untuk menyampaikan pesan Ki
Rangga.
Dalam pada itu rombongan Ki Patih telah
mendekati banjar padukuhan induk. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda mereka
agar tidak memberikan kesan yang mendebarkan kepada para penghuni padukuhan
induk yang telah kembali dari tempat pengungsian mereka. Kuda-kuda itu berderap
dengan irama yang sedang menuju ke banjar padukuhan induk dimana para prajurit
pengawal kepatihan sedang menunggu.
Beberapa pengawal serta prajurit yang
berjaga di regol segera berloncatan dan membentuk barisan kawal kehormatan di
sebelah menyebelah regol ketika rombongan Ki Patih muncul dari kelokan jalan di
depan banjar. Prajurit tertua yang sedang berjaga saat itu segera memberi
aba-aba penghormatan begitu rombongan itu lewat di depan mereka.
“Terima kasih,” berkta Ki Patih sambil
membalas penghormatan barisan kawal kehormatan itu.
Begitu kuda-kuda itu berderap memasuki
halaman banjar yang luas, Ki Patih dan rombongan yang masih berada di atas
punggung kuda itu telah dikejutkan oleh beberapa orang yang tampak sedang
berdiri di tangga pendapa menyambut kedatangan Ki Patih.
Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki
Patih dan Ki Gede Menoreh itu sejenak mengerutkan keningnya begitu mengenal
salah seorang yang berdiri di tangga pendapa tersebut.
“Ki Gede Ental Sewu,” desis Ki Jayaraga
dengan dada yang berdebaran.
Demikian kuda-kuda itu hampir mencapai
tonggak-tonggak tempat untuk menambatkan kuda yang berada di samping kanan
pendapa, beberapa prajurit pengawal kepatihan yang berada di halaman itu segera
berlarian menyambut tali kendali kuda Ki Patih dan orang-orang tua yang ikut
dalam rombongan itu. Setelah menyerahkan tali kendali kudanya, Ki Patih diikuti
oleh para sesepuh segera melangkah menuju ke pendapa.
“Selamat malam Ki Patih,” sapa Ki Gede
Ental Sewu yang segera turun dari tangga pendapa diikuti oleh kedua muridnya
yang masih sangat muda, Sindang Wangi dan Bantar Kawung.
“Terima kasih,” jawab Ki Patih sambil
menerima salam dari Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya itu. Namun kening Ki
Patih sejenak menjadi berkerut-merut ketika tampak seseorang yang sudah
menjelang senja menghampirinya.
“Kami juga menyampaikan selamat malam dan
selamat datang kembali ke padukuhan induk, Ki Patih,” berkata seorang laki-laki
yang sudah ubanan mewakili kawan-kawannya, “Semoga dalam perjalanan tadi tidak
ada satu aral pun yang melintang.”
“Terima kasih,” jawab Ki Patih sambil
menerima salam laki-laki yang rambutnya sudah beruban semua itu.
Sejenak Ki Patih mengedarkan pandangan
matanya. Di belakang laki-laki ubanan itu ada seorang perempuan yang tak kalah
tuanya dengan laki-laki beruban itu. Kemudian di sebelah menyebelah perempuan
tua itu berturut-turut seorang laki-laki yang sudah cukup berumur dan tiga
orang gadis yang masih remaja. Sedangkan di belakang perempuan tua itu tampak
berjajar-jajar enam orang gadis yang juga terlihat masih remaja.
Serentak mereka yang berdiri di
belakang laki laki yang sudah ubanan itu segera membungkukkan badan mereka
dalam-dalam begitu Ki Patih memandang ke arah mereka.
“Terima kasih,” berkata Ki Patih
kemudian sambil menganggukkan kepala membalas penghormatan mereka. Kemudian
sambil berjalan menaiki tlundak pendapa, Ki Patih pun melanjutkan kata-katanya,
“Marilah. Menjelang sepi uwong ini agaknya masih ada juga urusan yang harus
mendapatkan perhatian.”
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Gede Ental
Sewu kemudian sambil mengikuti langkah Ki Patih, “Kami memang sengaja menunggu
kehadiran Ki Patih di pendapa banjar padukuhan induk ini untuk memohon petunjuk
Ki Patih.”
Ki Patih mengerutkan keningnya.
Rasa-rasanya Ki Patih memang belum mengenal Ki Gede Ental Sewu. Ketika Ki Patih
kemudian berpaling ke arah Ki Gede yang berjalan di samping kirinya, Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian tersenyum sambil mengangguk. Semetara
Ki Jayaraga yang berjalan di belakang Ki Patih hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam sambil mengayunkan langkahnya mengikuti Ki Patih.
—ooOoo—
Bersambung
TDBM 413
Komentar
Posting Komentar