ut
Ki Tanpa Aran cepat, “Atas seijin Yang Maha Agung, kami berdua yang sudah renta
ini dengan berbekal Aji Pangrupak Jagad masih mampu melakukan tugas-tugas yang
diberikan Kanjeng Sunan kepada kami.”
Raden Mas Rangsang untuk sejenak terdiam. Pandangan
matanya masih saja terpaku pada kegelapan yang semakin dalam di luar goa.
“Raden,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian memecah
kesunyian, “Sesuai dengan pesan Kanjeng Sunan, sebaiknya kita segera memulai
untuk mengkaji Asma-AsmaNYA Yang Maha Agung untuk kita dalami dan resapi
sehingga nantinya akan bermanfaat dalam kehidupan bebrayan kita.”
Raden Mas Rangsang bagaikan tersadar dari sebuah mimpi
panjang. Sambil menarik nafas panjang terlebih dahulu, dia segera membenahi
letak duduknya. Katanya kemudian sambil memandang Ki Tanpa Aran, “Baiklah Ki,
aku kira memang sudah waktunya untuk dimulai.”
Demikianlah sejenak kemudian kedua orang yang umurnya
terpaut sangat jauh itu segera tenggelam dalam perbincangan yang sarat dengan
ilmu sangkan paraning dumadi.
Dalam pada itu, sebuah rombongan orang-orang berkuda
tampak sedang berderap menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan. Jalan
itu tampak menjelujur dalam keremangan malam. Rombongan berkuda itu sengaja
tidak membawa alat penerangan apapun. Agaknya rombongan orang berkuda itu
memang sudah terbiasa dengan perjalanan malam.
“Ma’af Pangeran. Apakah pangeran memerlukan waktu untuk
sejenak beristirahat?” tiba-tiba seseorang yang berkuda di sebelah laki-laki
yang sudah cukup berumur membuka suara.
Orang yang dipanggil Pangeran itu sejenak menengadahkan
wajahnya ke langit. Dipandanginya langit yang bersih tanpa selembar awan pun.
Sambil menggeleng lemah, barulah dia menjawab, “Tidak perlu Ki Tumenggung.
Rasa-rasanya aku ingin segera sampai di hadapan Kakanda Panembahan, agar aku
segera mendapat hukuman yang setimpal dan dapat memulai takdirku untuk
menyesali segala perbuatanku di masa lalu.”
Ki Tumenggung yang berkuda di sebelah Pangeran itu
tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menghentak perut kudanya agar berlari sedikit kencang untuk menjajari kuda
orang yang dipanggilnya Pangeran itu, dia pun kemudian menyahut, “Perjalanan
memang masih cukup jauh, Pangeran. Namun malam baru saja sampai sirep bocah. Kalau tidak ada aral melintang di jalan,
kemungkinan setelah lewat tengah malam kita baru akan sampai di Kademangan
Sangkal Putung.”
Orang yang dipanggil Pangeran itu tidak menjawab. Hanya
tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun dipacu semakin
cepat. Setelah melewati sebuah padang perdu yang cukup luas, sampailah
rombongan berkuda itu di sebuah bulak panjang yang langsung terhubung
dengan sebuah kademangan yang subur di dataran rendah sebelah selatan
Gunung Merapi, Kademangan Sangkal Putung.
Tumenggung yang memimpin rombongan berkuda itu sejenak
menebarkan pandangan matanya ke sekeliling sebelum meneruskan
perjalanannya menyusuri bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan
Sangkal Putung. Hatinya sedikit tergetar begitu menatap bulak yang panjang dan
lengang di bawah siraman bulan tua yang baru muncul.
“Jika berita prajurit sandi itu memang benar, tentu
penyergapan itu dapat terjadi di mana saja dan kapan saja sesuai dengan
perhitungan Pangeran Ranapati dan pengikutnya,” berkata Tumenggung itu dalam
hati sambil terus berpacu, “Semoga perhitungan Pangeran Pringgalaya tidak
meleset sehingga rombongan ini tidak akan terjebak dan dengan selamat
sampai ke Mataram.”
Sore tadi sebelum Matahari benar-benar terbenam di
langit sebelah barat, pasukan Mataram segelar sepapan yang sedang
dalam perjalanan pulang dari Panaraga telah berencana untuk singgah dan
bermalam di Kademangan Ngadireja. Begitu memasuki tapal batas Kademangan Ngadireja,
Pangeran Pringgalaya segera memerintahkan beberapa prajurit penghubung untuk
mendahului dan memberitahukan rencana tersebut kepada Ki Demang Ngadireja.
Ki Demang Ngadireja dengan tergopoh-gopoh telah
menyambut kedatangan sekelompok prajurit penghubung itu di pendapa Kademangan.
“Selamat datang di Kademangan Ngadireja,” sambut Ki
Demang dengan tersenyum ramah sambil menuruni tlundak pendapa, “Kalau aku yang
sudah pikun ini tidak salah, para Ki Sanak ini adalah prajurit Mataram.”
Para prajurit penghubung itu tidak segera menjawab
pertanyaan Ki Demang. Setelah mereka turun dari kuda masing-masing, barulah
prajurit yang tertua maju ke depan sambil mengangguk hormat, “Benar, kami
adalah prajurit Mataram yang baru pulang dari Panaraga. Maaf, apakah kami
sekarang ini sedang berhadapan dengan Ki Demang Ngadireja?”
“Benar, Ki sanak. Aku adalah Demang Ngadireja,” Ki
Demang berhenti sejenak. Kemudian dengan sebuah isyarat dia memerintahkan para
pembantunya yang berdiri termangu-mangu di sudut pendapa untuk menerima kendali
kuda para prajurit Mataram itu.
Namun prajurit yang tertua segera menyela, “Maaf Ki
Demang, kami tidak lama. Kami harus segera kembali ke perbatasan Kademangan
Ngadireja untuk memberikan laporan.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian,
“Maksud Ki Sanak?”
“Kami hanya sebagai utusan untuk menyampaikan kepada Ki
Demang, bahwa sebentar lagi pasukan segelar sepapan Mataram yang baru pulang
dari Panaraga dan dipimpin oleh Pangeran Pringgalaya, adik penguasa Mataram
Panembahan Adi Prabu Hanyakrawati berkenan untuk singgah dan bermalam di
Kademangan ini.”
“He?” bagaikan tersengat ribuan kalajengking Ki Demang
terlonjak kaget. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa di sore menjelang malam
itu akan kedatangan tamu pasukan segelar sepapan, dan terlebih lagi pasukan itu
dipimpin oleh adik penguasa Mataram, Pangeran Pringgalaya.
“Nah, Ki Demang,” berkata prajurit tertua itu
menyadarkan Ki Demang yang hampir saja menjadi pingsan, “Apakah yang harus aku
laporkan kepada Pangeran Pringgalaya?”
“O, tentu, tentu,” jawab Ki Demang serta merta dengan
suara sedikit bergetar, “Kami akan sambut dengan senang hati dan tangan
terbuka. Akan kami persiapkan yang terbaik untuk Pangeran Pringgalaya dan
seluruh pasukannya.”
“Terima kasih,” berkata prajurit tertua itu kemudian
sambil tersenyum, “Kami akan kembali dan melaporkan kesiapan Ki Demang untuk
menerima Pangeran Pringgalaya beserta pasukannya.”
“Silahkan, silahkan,” dengan tergopoh-gopoh Ki Demang
pun kemudian mengantarkan tamu-tamunya sampai ke regol. Sejenak kemudian kelompok
prajurit penghubung itu pun telah berderap kembali menuju ke induk pasukannya.
Sepeninggal tamu-tamunya, Ki Demang segera
memerintahkan Nyi Demang dan pembantu-pembantunya untuk menyiapkan makan bagi
pasukan Mataram yang akan bermalam di Kademangan Ngadireja.
“Bagaimana kita akan menjamu pasukan segelar sepapan,
Ki Demang?” bertanya Nyi Demang dengan wajah yang tegang. Menjamu pasukan
segelar sepapan merupakan pengalaman baru bagi Nyi Demang.
“Mintalah bantuan kepada para tetangga untuk menyiapkan
jamuan,” Ki Demang berhenti sejenak, “Sebagian pasukan akan aku tempatkan di
banjar-banjar padukuhan sekitar padukuhan induk. Rumah-rumah di sekitar
banjar-banjar itulah yang nanti akan aku tugasi memasak. Selebihnya Pangeran
Pringgalaya sendiri beserta para pemimpin pasukan akan aku tempatkan di banjar
padukuhan induk. Dan itu menjadi tugasmu untuk menghidangkan jamuan yang
terbaik.”
Nyi Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dia
baru menyadari bahwa dia harus melibatkan banyak orang untuk membantunya
menyambut kedatangan pasukan segelar sepapan itu.
Dalam pada itu, pasukan yang berada di perbatasan
Kademangan Ngadireja telah bergerak memasuki Kademangan setelah Pangeran
Pringgalaya menerima laporan prajurit penghubung. Dengan derap langkah yang
tegap, para prajurit itu berbaris dengan penuh kebanggaan menyusuri
lorong-lorong sepanjang jalan Kademangan Ngadireja. Segala macam umbul-umbul,
rontek dan panji-panji berkibar dengan megahnya. Sementara para prajurit yang
berpangkat perwira saja yang berkuda, namun kuda-kuda itu tidak dipacu,
hanya dibiarkan saja berjalan mengikuti irama langkah para prajurit Wira
Tamtama.
Para penghuni padukuhan-padukuhan yang dilewati pasukan
itu segera berhamburan keluar. Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira sambil
melambai-lambaikan tangan mereka. Tak jarang mereka meminta kepada bapak-bapak
mereka untuk didudukkan di dinding pembatas rumah mereka yang tinggi agar dapat
melihat pasukan yang lewat itu dengan lebih jelas. Sementara para lelaki
padukuhan tua maupun muda hanya berdiri di tepi jalan dengan dada yang
bergemuruh penuh kebanggaan melihat kebesaran pasukan Mataram. Sedangkan
perempuan-perempuan dan gadis-gadis hanya berani mengintip dari balik dinding-dinding
pagar pembatas rumah mereka.
“Maaf Pangeran” bisik Tumenggung Purbarana yang
berkuda di sebelah Pangeran Pringgalaya, “Ada berita lagi dari prajurit sandi
tentang orang-orang yang selalu mengikuti perjalanan kita semenjak pasukan ini
keluar dari Kadipaten Panaraga.”
Pangeran Pringgalaya menarik nafas dalam dalam sambil
berpaling ke belakang. Ketika pandangan matanya kemudian tertumbuk pada
seseorang yang duduk di atas seekor kuda dengan wajah yang selalu tertunduk
dalam-dalam, hati kecil Pangeran Mataram itu pun berdesir tajam.
“Mengapa pertikaian ini harus terjadi justru di
antara para kerabat istana sendiri?” berkata pangeran Pringgalaya dalam hati
sambil memalingkan kembali wajahnya ke depan, “Tidak seharusnya Kakangmas
Pangeran Jayaraga memberontak kepada Mataram hanya karena hasutan orang yang
mengaku trah dari Ayahanda Panembahan Senapati. Sayang orang yang mengaku
bernama Pangeran Ranapati itu telah lolos. Tidak menutup kemungkinan
orang-orang yang selama ini selalu mengikuti pergerakan pasukan ini adalah
orang-orangnya Ranapati.”
Ingatan Pangeran Pinggalaya pun tiba-tiba terlempar ke
beberapa waktu yang lalu ketika terjadi peperangan yang dahsyat antara prajurit
Mataram melawan pasukan Kadipaten Panaraga. Pasukan Mataram yang terdiri dari
gabungan prajurit kadipaten-kadipaten bawahan Mataram dan para pengawal dari
Kademangan-Kademangan serta prajurit Mataram itu sendiri telah berhasil
mengancurkan benteng pertahanan kota Panaraga.
Bagaikan air bah yang meluncur turun dari lereng-lereng
bukit, pasukan gabungan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Purbarana dan
Tumenggung Untaradira itu segera memasuki kota dan menerjang apa saja yang
dilewatinya. Pasukan Panaraga yang berada di sisi barat kota segera mundur
begitu benteng kota Panaraga dapat ditembus pasukan Mataram. Pasukan yang
dipimpin oleh Raden Mas Panji Wangsadrana itu hanya dapat bertahan menghadapi
gempuran pasukan Mataram yang bagaikan gelombang pantai yang tak henti-hentinya
menerjang tebing-tebing. Perlahan tapi pasti pasukan Panaraga pun semakin
terdesak mundur dan mundur terus sampai akhirnya tidak dapat mundur lagi karena
telah mendekati pertahanan terakhir, Istana Kadipaten Panaraga.
Sedangkan Pangeran Ranapati yang memimpin pertahanan di
sebelah selatan telah menghadapi kekuatan yang dahsyat tiada taranya, pasukan
yang langsung dipimpin oleh Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati
penguasa Mataram.
Masih segar dalam ingatan Pangeran Pringgalaya,
bagaimana dia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi orang yang
mengaku trah Mataram itu. Kekuatan lawannya benar-benar bagaikan banteng
ketaton, sedangkan kelincahan gerakannya bagaikan burung sikatan yang
menyambar-nyambar di padang ilalang.
Namun Pangeran Pringgalaya bukanlah anak kemarin sore
yang baru belajar olah kanuragan selangkah dua langkah. Berbagai ilmu jaya
kawijayan dan guna kasantikan telah lebur dan menyatu di dalam dirinya.
Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Julik itu telah ditempa dan
digembleng langsung oleh Ayahandanya sendiri, Panembahan Senapati.
Demikianlah pertempuran yang dahsyat telah terjadi di
sisi selatan kota Panaraga. Jumlah pasukan kedua belah pihak memang dapat
dikatakan seimbang. Namun satu hal yang berada diluar perhitungan Pangeran
Ranapati, hampir separoh lebih pasukan di bawah pimpinan Pangeran Pringgalaya
adalah pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh.
Pasukan khusus itu benar-benar telah menunjukkan
kemampuan mereka yang sebenarnya, baik kemampuan pribadi maupun kemampuan
tempur dalam kelompok. Lampat laun pasukan Panaraga di bawah pimpinan Pangeran
Ranapati mulai mengalami tekanan yang tak tertahankan.
“Maaf Pangeran. Pasukan kita mengalami tekanan di
setiap lini,” bisik Senapati pengapit pangeran Ranapati. Seorang prajurit
penghubung baru saja memberikan laporan kepadanya.
“Gila!” geram Pangeran yang keras hati itu sambil tetap
bertempur, “Usahakan pasukan kita bertempur dalam kelompok-kelompok kecil jika
secara orang-perorang mereka mengalami kesulitan.”
“Justru itulah kelebihan pasukan Mataram,” jawab Senapati
pengapitnya sambil menghindari sabetan senjata lawannya, “Mereka dapat
bertempur dalam setiap medan dan keadaan. Mereka kelihatannya berasal dari satu
kesatuan khusus yang telah terlatih.”
“Dugaan kalian memang benar,” tiba-tiba Pangeran
Pringgalaya yang sedari tadi mendengarkan pembicaran itu menyahut sambil
tersenyum. Sambil melenting kesamping menghindari libatan senjata lawannya,
adik Panembahan Hanyakrawati itu pun melanjutkan kata-katanya, “Kalian sedang
menghadapi kekuatan pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh. Tidak
ada gunanya kalian melawan. Kalian akan terlindas bagaikan buah mentimun
melawan buah durian. Menyerahlah! Atas nama kuasa Mataram, aku Pangeran
Pringgalaya akan memperlakukan kalian sebagai tawanan dengan baik sesuai dengan
paugeran yang berlaku.”
“Tutup mulutmu!” bentak pangeran Ranapati menggelegar
sambil menerjang dahsyat ke arah lawannya. Keris di tangannya telah melontarkan
percikan-percikan boal-bola api sebesar kepalan tangan orang dewasa dan
meluncur menghantam lawannya.
Sejenak pangeran Pringgalaya darahnya bagaikan tersirap
sampai ke ubun-ubun. Dia tidak menyangka jika lawannya itu mulai merambah pada
tataran tinggi ilmunya.
Segera saja Pangeran Pringgalaya membentengi dirinya
dengan Aji Lembu Sekilan, salah satu aji kebanggaan Mas Karebet yang kemudian
bergelar Sultan Hadiwijaya ketika berhasil menduduki singgasana Pajang. Aji
Lembu Sekilan itu pun kemudian diajarkan kepada mas Ngabehi Loring Pasar yang
telah diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Pajang. Ketika Loring Pasar
kemudian menjadi penguasa Mataram dan bergelar Panembahan Senapati, Aji Lembu
Sekilan itu pun telah diturunkan pula kepada putra-putranya.
“Bagaimana Pangeran?” tiba-tiba pertanyaan Ki
Tumenggung Purbarana telah menyadarkan Pangeran Pringgalaya dari lamunannya.
Untuk beberapa saat Pangeran Pringgalaya masih terdiam.
Ketika teringat akan keadaan lawannya disaat-saat terakhir justru telah
melarikan diri dari medan pertempuran, tiba-tiba timbul niat Pangeran
Pringgalaya untuk memancing dan sekaligus mengungkap siapa sebenarnya yang
telah mengikuti perjalanan mereka sejauh ini dan untuk kepentingan apa. Tidak
menutup kemungkinan mereka ada hubungannya dengan orang yang mengaku bernama
Pangeran Ranapati itu.
“Siapkan tiga puluh pasukan berkuda yang terbaik,”
tiba-tiba Pangeran Pringgalaya memberi perintah dengan suara sedikit berbisik,
“Kita akan memecah perhatian orang-orang yang selama ini membuntuti kita. Ki
Tumenggung Purbarana sendiri yang aku tunjuk untuk memimpin pasukan berkuda
itu. Bawalah tawanan kita Pangeran Jayaraga secepatnya menghadap Kakanda
Panembahan Hanyakrawati di Mataram sekarang juga.”
Untuk sejenak Ki Tumenggung Purbarana bagaikan membeku
di atas punggung kudanya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapat tugas
yang sangat berbahaya untuk membawa tawanan khusus itu langsung ke Mataram
malam itu juga. Jika dia gagal, taruhannya adalah nyawanya sendiri.
Namun sebagai seorang prajurit, pantang bagi Tumenggung
Purbarana untuk mengelak. Maka dengan menengadahkan dadanya, dia pun menjawab,
“Sendika Pangeran. Titah Pangeran akan aku junjung tinggi, setinggi taruhan
nyawaku sendiri.”
“Bagus,” desis Pangeran Pringgalaya, “Atur agar
kepergian kalian tidak begitu mencolok. Sebaiknya kalian segera memisahkan diri
dari pasukan ini. Sebelum pasukan ini memasuki bulak panjang di depan, kalian
dapat mengambil jalan ke kiri melewati pinggir hutan menuju ke Kademangan
Sangkal Putung. Jika sebelum fajar menyingsing kalian telah mencapai Jati Anom,
kalian dapat meminta bantuan para prajurit yang di tempatkan di sana.”
Begitu Pangeran Pringgalaya menyebut Jati Anom, Ki
Tumenggung Purbarana segera teringat kepada Ki Tumenggung Untaradira yang juga
ikut dalam pasukan segelar sepapan itu.
“Ampun Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Purbarana
kemudian, “Apakah tidak sebaiknya aku sekalian meminta bantuan Ki Tumenggung
Untaradira untuk menemani perjalanan ini?”
“Tidak perlu,” jawab Pangeran Pringgalanya dengan serta
merta, “Biarlah Ki Tumenggung Untaradira tetap di pasukan ini, aku masih
memerlukan tenaga dan pikirannya. Perjalanan ke Mataram masih cukup jauh dan
segala sesuatunya bisa saja terjadi di perjalanan. Namun engkau dapat meminta
bantuan beberapa perwiranya agar tidak terjadi salah paham setibanya kalian di
Jati Anom.”
“Hamba Pangeran,” sahut Ki Tumenggung Purbarana,
“Sekali lagi, hamba mohon jika Pangeran tidak berkeberatan, sebaiknya
satu atau dua orang pengawal Sangkal Putung juga diikut sertakan karena
kemungkinannya menjelang tengah malam nanti rombongan kami akan melewati
Kademangan itu.”
Pangeran Pringgalaya tidak menjawab. Hanya kepalanya
saja yang terangguk-angguk.
“Jika demikian, hamba mohon diri, Pangeran,” berkata Ki
Tumenggung Purbarana kemudian yang dijawab oleh pangeran Pringgalaya
dengan anggukkan.
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Purbarana segera
bergeser dengan menarik kendali kudanya sehingga berhenti. Ketika kuda orang
yang selalu menundukkan wajahnya itu lewat beberapa langkah di sampingnya, Ki
Tumenggung segera menjajari langkah kuda kedua Lurah Wira Tamtama yang
mengawal di sebelah menyebelah orang itu.
Sambil tetap mengikuti irama langkah kuda-kuda itu, Ki
Tumenggung Purbarana kemudian berbisik kepada Lurah Wira Tamtama yang berkuda
tepat di sebelahnya, “Perintah Pangeran Pringgalaya, sekarang juga kita
berangkat mendahului dengan kekuatan tiga puluh pasukan berkuda. Segeralah
berkemas,”
Orang yang selalu menundukkan wajahnya itu agaknya
mendengar bisikan Ki Tumenggung kepada Lurah Wira Tamtama yang mengapitnya. Tanpa
disadarinya dia mengangkat wajahnya sambil pandangan matanya tertuju ke arah
Pangeran Pringgalaya yang berkuda beberapa tombak di hadapannya. Namun ternyata
Pangeran Pringgalaya sama sekali tidak berpaling.
“Maafkan kami Pangeran,” bisik Ki Tumenggung Purbarana
ketika melihat orang itu justru telah berpaling ke arahnya, “Kami hanya
menjalankan tugas.”
Orang itu kembali menundukkan wajahnya. Betapa
penyesalan yang tiada taranya telah menghujam jantungnya. Penyesalan itu baru
disadarinya ketika pasukan Mataram telah berada di halaman istananya beberapa
saat yang lalu ketika pecah perang antara Mataram dan Panaraga.
“Kakangmas Adipati, keluarlah!” teriak Pangeran
Pringgalaya pada saat itu dari halaman istana Kadipaten Panaraga yang telah
dikuasai penuh oleh pasukan Mataram.
Penyesalan benar-benar telah melanda hatinya. Ada
perasaan marah bercampur malu begitu mendapat laporan bahwa Pangeran Ranapati
yang telah diangkat menjadi Senapati Agung Kadipaten Panaraga dan diharapkan
akan menjadi tumpuan kekuatan Panaraga ternyata telah melarikan diri dari medan
pertempuran.
“Licik! Pengecut!” geram Adipati Jayaraga. Namun semua
itu tinggal penyesalan dan sekarang adiknya, Pangeran Pringgalaya telah
menunggunya di halaman istana Kadipaten Panaraga dengan senjata terhunus.
Ketika Adipati Panaraga itu kemudian sekilas berpaling
ke belakang, hatinya bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas tanah
berbatu-batu, hancur berkeping-keping. Tampak istrinya sedang duduk bersimpuh
sambil memeluk anak laki-laki satu-satunya yang masih kanak-kanak. Beberapa
perempuan pelayan istana kadipaten ikut berkumpul mengerumuni bendara mereka.
Tidak ada suara, tidak ada isak tangis yang terdengar. Hanya air mata yang
mengucur deras membasahi wajah-wajah yang diliputi ketakutan dan kesedihan
serta pandangan mata yang kosong tanpa harapan.
“Persetan Pringgalaya!” geram Adipati Jayaraga dalam
hati sambil mengepalkan kedua tangannya, mencoba mengeraskan hatinya, “Walaupun
aku menyadari tidak akan mampu mengimbangi kesaktianmu, harga diriku sebagai
laki-laki di atas segala-galanya. Mukti atau sekalian mati.”
Namun baru saja Pangeran yang kecewa itu akan
melangkahkan kakinya, terasa seseorang telah menggamit bahunya.
Ketika dia kemudian berpaling, seseorang yang berwajah
seteduh lautan dan bermata sebening embun pagi sedang menatapnya dengan tatapan
yang sejuk dan sebuah senyuman yang sareh.
“Kanjeng Sunan,” bergetar bibir Pangeran Jayaraga
menyebut nama orang itu. Sambil memutar tubuhnya dan membungkuk dalam-dalam,
diraihnya tangan kanan Kanjeng Sunan dan kemudian dengan sepenuh hati
diciumnya. Tak terasa butir-butir air mata menetes satu-persatu membasahi
tangan orang yang sangat dihormati itu.
“Maaf Pangeran, kita harus segera berkemas,” tiba-tiba
terdengar suara Ki Tumenggung Purbarana membuyarkan lamunannya.
Orang yang selalu menundukkan wajahnya itu memang
Pangeran Jayaraga yang kini telah menjadi tawanan pasukan Mataram. Sejenak dia
masih mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk sekedar melonggarkan kepepatan
dadanya yang bagaikan tertimbun berbongkah-bongkah batu padas dari lereng bukit
yang runtuh. Dengan tanpa mengangkat wajahnya, akhirnya terdengar
kata-katanya lirih hampir tak terdengar, “Laksanakan tugasmu Ki Tumenggung.”
Ki Tumenggung beserta kedua Lurah yang berkuda di
sebelah menyebelahnya itu hanya dapat saling berpandangan sambil menarik nafas
dalam-dalam.
Demikianlah tanpa menarik perhatian, ketika langit
mulai disentuh oleh kegelapan, sepasukan berkuda dipimpin langsung oleh ki
Tumenggung Purbarana telah memisahkan diri dari pasukan Mataram dan mengambil
jalan ke kiri. Dua orang perwira dari Jati Anom dan seorang pengawal dari
Kademangan Sangkal Putung telah ikut dalam rombongan itu.
Sepeninggal rombongan Ki Tumenggung Purbarana,
kademangan Ngadireja benar-benar sedang mengalami kesibukan yang luar biasa.
Berita kedatangan pasukan Mataram segelar sepapan itu ternyata telah menarik
perhatian hampir seluruh penghuni Kademangan. Para penghuni padukuhan-padukuhan
yang tidak dilewati oleh pasukan itu dengan berbondong-bondong segera mendatangi
banjar padukuhan induk kademangan untuk melihat pasukan Mataram itu dari dekat.
Ki Demang Ngadireja adalah orang yang paling sibuk di
antara mereka. Para Perangkat Kademangan segera dipanggilnya untuk membantu
menyelenggarakan jamuan makan malam yang akan diselenggarakan di banjar
padukuhan induk kademangan.
“Apakah gamelan yang di simpan banjar itu masih bisa
dibunyikan?” bertanya Ki Demang kepada salah seorang perangkat Kademangan,
“Kita akan menghibur pasukan yang tentu saja telah mengalami kelelahan lahir
maupun batin setelah peperangan yang dahsyat di Panaraga.”
“Tidak ada masalah dengan gamelan itu Ki Demang,” jawab
salah satu perangkat Kademangan itu, “Namun diperlukan waktu untuk mengumpulkan
para niyaga, dan yang tidak kalah penting adalah Sindennya, Ki Demang.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Sejenak dia masih
ragu-ragu. Namun akhirnya terlontar juga pertanyaannya, “Bagaimana dengan Nyi
Laras?”
Para perangkat Kademangan itu sejenak saling pandang.
Salah satu segera menjawab, “Nyi Laras sedang sakit. Dua hari yang lalu Ki
Jarot mempunyai hajat dan Nyi Laras tidak dapat hadir karena sakit. Bukankah Ki
Demang juga hadir pada waktu itu? Sebagai gantinya Ki Jarot mengundang Nyi
Sekarwangi.”
“Ya,ya aku tahu kalau Nyi Laras pada saat itu sedang
sakit. Untuk itulah aku bertanya. Mungkin sekarang dia sudah sehat kembali,”
sahut Ki Demang cepat.
“Kelihatannya dia masih sakit Ki Demang,” berkata salah
seorang perangkat kademangan itu, “Tinggal Nyi Sekarwangi saja sinden di
kademangan ini. Jika ingin mengundang sinden dari kademangan lain, tentu
diperlukan waktu dan belum tentu ada.”
Kembali Ki Demang mengerutkan keningnya. Nama Nyi
Sekarwangi memang cukup terkenal di kademangan Ngadireja, terutama di kalangan
para pemudanya. Sedangkan untuk para orang-orang tua dan para pini sepuh kurang
berkenan dengan Sinden yang satu itu. Karena selain Nyi Sekarwangi itu seorang
janda kembang yang masih muda, dia juga dianggap terlalu berani dan sedikit
genit.
“Bagaimana Ki Demang?” desak salah seorang perangkat
Kademangan yang terlihat masih muda.
Komentar
Posting Komentar