Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 414 Bag. 4

ut Ki Tanpa Aran cepat, “Atas seijin Yang Maha Agung, kami berdua yang sudah renta ini dengan berbekal Aji Pangrupak Jagad masih mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan Kanjeng Sunan kepada kami.”
Raden Mas Rangsang untuk sejenak terdiam. Pandangan matanya masih saja terpaku pada kegelapan yang semakin dalam di luar goa.
“Raden,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian memecah kesunyian, “Sesuai dengan pesan Kanjeng Sunan, sebaiknya kita segera memulai untuk mengkaji Asma-AsmaNYA Yang Maha Agung untuk kita dalami dan resapi sehingga nantinya akan bermanfaat dalam kehidupan bebrayan kita.”
Raden Mas Rangsang bagaikan tersadar dari sebuah mimpi panjang. Sambil menarik nafas panjang terlebih dahulu, dia segera membenahi letak duduknya. Katanya kemudian sambil memandang Ki Tanpa Aran, “Baiklah Ki, aku kira memang sudah waktunya untuk dimulai.”
Demikianlah sejenak kemudian kedua orang yang umurnya terpaut sangat jauh itu segera tenggelam dalam perbincangan yang sarat dengan ilmu sangkan paraning dumadi.
Dalam pada itu, sebuah rombongan orang-orang berkuda tampak sedang berderap menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan. Jalan itu tampak menjelujur dalam keremangan malam. Rombongan berkuda itu sengaja tidak membawa alat penerangan apapun. Agaknya rombongan orang berkuda itu memang sudah terbiasa dengan perjalanan malam.
“Ma’af Pangeran. Apakah pangeran memerlukan waktu untuk sejenak beristirahat?” tiba-tiba seseorang yang berkuda di sebelah laki-laki yang sudah cukup berumur membuka suara.
Orang yang dipanggil Pangeran itu sejenak menengadahkan wajahnya ke langit. Dipandanginya langit yang bersih tanpa selembar awan pun. Sambil menggeleng lemah, barulah dia menjawab, “Tidak perlu Ki Tumenggung. Rasa-rasanya aku ingin segera sampai di hadapan Kakanda Panembahan, agar aku segera mendapat hukuman yang setimpal dan dapat memulai takdirku untuk menyesali segala perbuatanku di masa lalu.”
Ki Tumenggung yang berkuda di sebelah Pangeran itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sambil menghentak perut kudanya agar berlari sedikit kencang untuk menjajari kuda orang yang dipanggilnya Pangeran itu, dia pun kemudian menyahut, “Perjalanan memang masih cukup jauh, Pangeran. Namun malam baru saja sampai sirep bocah. Kalau tidak ada aral melintang di jalan, kemungkinan setelah lewat tengah malam kita baru akan sampai di Kademangan Sangkal Putung.”
Orang yang dipanggil Pangeran itu tidak menjawab. Hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun dipacu semakin cepat. Setelah melewati sebuah padang perdu yang cukup luas, sampailah rombongan berkuda itu di sebuah bulak panjang yang langsung terhubung dengan  sebuah kademangan yang subur di dataran rendah sebelah selatan Gunung Merapi, Kademangan Sangkal Putung.
Tumenggung yang memimpin rombongan berkuda itu sejenak menebarkan pandangan matanya  ke sekeliling sebelum meneruskan perjalanannya menyusuri bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Hatinya sedikit tergetar begitu menatap bulak yang panjang dan lengang di bawah siraman bulan tua yang baru muncul.
“Jika berita prajurit sandi itu memang benar, tentu penyergapan itu dapat terjadi di mana saja dan kapan saja sesuai dengan perhitungan Pangeran Ranapati dan pengikutnya,” berkata Tumenggung itu dalam hati sambil terus berpacu, “Semoga perhitungan Pangeran Pringgalaya tidak meleset sehingga rombongan ini tidak  akan terjebak dan dengan selamat sampai ke Mataram.”
Sore tadi sebelum Matahari benar-benar terbenam di langit sebelah barat, pasukan Mataram  segelar sepapan  yang sedang dalam perjalanan pulang dari Panaraga telah berencana untuk singgah dan bermalam di Kademangan Ngadireja. Begitu memasuki tapal batas Kademangan Ngadireja, Pangeran Pringgalaya segera memerintahkan beberapa prajurit penghubung untuk mendahului dan memberitahukan rencana tersebut kepada Ki Demang Ngadireja.
Ki Demang Ngadireja dengan tergopoh-gopoh telah menyambut kedatangan sekelompok prajurit penghubung itu di pendapa Kademangan.
“Selamat datang di Kademangan Ngadireja,” sambut Ki Demang dengan tersenyum ramah sambil menuruni tlundak pendapa, “Kalau aku yang sudah pikun ini tidak salah, para Ki Sanak ini adalah prajurit Mataram.”
Para prajurit penghubung itu tidak segera menjawab pertanyaan Ki Demang. Setelah mereka turun dari kuda masing-masing, barulah prajurit yang tertua maju ke depan sambil mengangguk hormat, “Benar, kami adalah prajurit Mataram yang baru pulang dari Panaraga. Maaf, apakah kami sekarang ini sedang berhadapan dengan Ki Demang Ngadireja?”
“Benar, Ki sanak. Aku adalah Demang Ngadireja,” Ki Demang berhenti sejenak. Kemudian dengan sebuah isyarat dia memerintahkan para pembantunya yang berdiri termangu-mangu di sudut pendapa untuk menerima kendali kuda para prajurit Mataram itu.
Namun prajurit yang tertua segera menyela, “Maaf Ki Demang, kami tidak lama. Kami harus segera kembali ke perbatasan Kademangan Ngadireja untuk memberikan laporan.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Maksud Ki Sanak?”
“Kami hanya sebagai utusan untuk menyampaikan kepada Ki Demang, bahwa sebentar lagi pasukan segelar sepapan Mataram yang baru pulang dari Panaraga dan dipimpin oleh Pangeran Pringgalaya, adik penguasa Mataram Panembahan Adi Prabu Hanyakrawati berkenan untuk singgah dan bermalam di Kademangan ini.”
“He?” bagaikan tersengat ribuan kalajengking Ki Demang terlonjak kaget. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa di sore menjelang malam itu akan kedatangan tamu pasukan segelar sepapan, dan terlebih lagi pasukan itu dipimpin oleh adik penguasa Mataram, Pangeran Pringgalaya.
“Nah, Ki Demang,” berkata prajurit tertua itu menyadarkan Ki Demang yang hampir saja menjadi pingsan, “Apakah yang harus aku laporkan kepada Pangeran Pringgalaya?”
“O, tentu, tentu,” jawab Ki Demang serta merta dengan suara sedikit bergetar, “Kami akan sambut dengan senang hati dan tangan terbuka. Akan kami persiapkan yang terbaik untuk Pangeran Pringgalaya dan seluruh pasukannya.”
“Terima kasih,” berkata prajurit tertua itu kemudian sambil tersenyum, “Kami akan kembali dan melaporkan kesiapan Ki Demang untuk menerima Pangeran Pringgalaya beserta pasukannya.”
“Silahkan, silahkan,” dengan tergopoh-gopoh Ki Demang pun kemudian mengantarkan tamu-tamunya sampai ke regol. Sejenak kemudian kelompok prajurit penghubung itu pun telah berderap kembali menuju ke induk pasukannya.
Sepeninggal tamu-tamunya, Ki Demang segera memerintahkan Nyi Demang dan pembantu-pembantunya untuk menyiapkan makan bagi pasukan Mataram yang akan bermalam di Kademangan Ngadireja.
“Bagaimana kita akan menjamu pasukan segelar sepapan, Ki Demang?” bertanya Nyi Demang dengan wajah yang tegang. Menjamu pasukan segelar sepapan merupakan pengalaman baru bagi Nyi Demang.
“Mintalah bantuan kepada para tetangga untuk menyiapkan jamuan,” Ki Demang berhenti sejenak, “Sebagian pasukan akan aku tempatkan di banjar-banjar padukuhan sekitar padukuhan induk. Rumah-rumah di sekitar banjar-banjar itulah yang nanti akan aku tugasi memasak. Selebihnya Pangeran Pringgalaya sendiri beserta para pemimpin pasukan akan aku tempatkan di banjar padukuhan induk. Dan itu menjadi tugasmu untuk menghidangkan jamuan yang terbaik.”
Nyi Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dia baru menyadari bahwa dia harus melibatkan banyak orang untuk membantunya menyambut kedatangan pasukan segelar sepapan itu.
Dalam pada itu, pasukan yang berada di perbatasan Kademangan Ngadireja telah bergerak memasuki Kademangan setelah Pangeran Pringgalaya menerima laporan prajurit penghubung. Dengan derap langkah yang tegap, para prajurit itu berbaris dengan penuh kebanggaan menyusuri lorong-lorong sepanjang jalan Kademangan Ngadireja. Segala macam umbul-umbul, rontek dan panji-panji berkibar dengan megahnya. Sementara para prajurit yang berpangkat perwira saja yang berkuda,  namun kuda-kuda itu tidak dipacu, hanya dibiarkan saja berjalan mengikuti irama langkah para prajurit Wira Tamtama.
Para penghuni padukuhan-padukuhan yang dilewati pasukan itu segera berhamburan keluar. Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira sambil melambai-lambaikan tangan mereka. Tak jarang mereka meminta kepada bapak-bapak mereka untuk didudukkan di dinding pembatas rumah mereka yang tinggi agar dapat melihat pasukan yang lewat itu dengan lebih jelas. Sementara para lelaki padukuhan tua maupun muda hanya berdiri di tepi jalan dengan dada yang bergemuruh penuh kebanggaan melihat kebesaran pasukan Mataram. Sedangkan  perempuan-perempuan dan gadis-gadis hanya berani mengintip dari balik dinding-dinding pagar pembatas rumah mereka.
 “Maaf Pangeran” bisik Tumenggung Purbarana yang berkuda di sebelah Pangeran Pringgalaya, “Ada berita lagi dari prajurit sandi tentang orang-orang yang selalu mengikuti perjalanan kita semenjak pasukan ini keluar dari Kadipaten Panaraga.”
Pangeran Pringgalaya menarik nafas dalam dalam sambil berpaling ke belakang. Ketika pandangan matanya kemudian tertumbuk pada seseorang yang duduk di atas seekor kuda dengan wajah yang selalu tertunduk dalam-dalam, hati kecil Pangeran Mataram itu pun berdesir tajam.
“Mengapa pertikaian  ini harus terjadi justru di antara para kerabat istana sendiri?” berkata pangeran Pringgalaya dalam hati sambil memalingkan kembali wajahnya ke depan, “Tidak seharusnya Kakangmas Pangeran Jayaraga memberontak kepada Mataram hanya karena hasutan orang yang mengaku trah dari Ayahanda Panembahan Senapati. Sayang orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu telah lolos. Tidak menutup  kemungkinan orang-orang yang selama ini selalu mengikuti pergerakan pasukan ini adalah orang-orangnya Ranapati.”
Ingatan Pangeran Pinggalaya pun tiba-tiba terlempar ke beberapa waktu yang lalu ketika terjadi peperangan yang dahsyat antara prajurit Mataram melawan pasukan Kadipaten Panaraga. Pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan prajurit kadipaten-kadipaten bawahan Mataram dan para pengawal dari Kademangan-Kademangan serta prajurit Mataram itu sendiri telah berhasil mengancurkan benteng pertahanan kota Panaraga.
Bagaikan air bah yang meluncur turun dari lereng-lereng bukit, pasukan gabungan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Purbarana dan Tumenggung Untaradira itu segera memasuki kota dan menerjang apa saja yang dilewatinya. Pasukan Panaraga yang berada di sisi barat kota segera mundur begitu benteng kota Panaraga dapat ditembus pasukan Mataram. Pasukan yang dipimpin oleh Raden Mas Panji Wangsadrana itu hanya dapat bertahan menghadapi gempuran pasukan Mataram yang bagaikan gelombang pantai yang tak henti-hentinya menerjang tebing-tebing. Perlahan tapi pasti pasukan Panaraga pun semakin terdesak mundur dan mundur terus sampai akhirnya tidak dapat mundur lagi karena telah mendekati pertahanan terakhir, Istana Kadipaten Panaraga.
Sedangkan Pangeran Ranapati yang memimpin pertahanan di sebelah selatan telah menghadapi kekuatan yang dahsyat tiada taranya, pasukan yang langsung dipimpin oleh Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.
Masih segar dalam ingatan Pangeran Pringgalaya, bagaimana dia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi orang yang mengaku trah Mataram itu. Kekuatan lawannya benar-benar bagaikan banteng ketaton, sedangkan kelincahan gerakannya bagaikan burung sikatan yang menyambar-nyambar di padang ilalang.
Namun Pangeran Pringgalaya bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan selangkah dua langkah. Berbagai ilmu jaya kawijayan dan guna kasantikan telah lebur dan menyatu di dalam dirinya. Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Julik itu telah ditempa dan digembleng langsung oleh Ayahandanya sendiri, Panembahan Senapati.
Demikianlah pertempuran yang dahsyat telah terjadi di sisi selatan kota Panaraga. Jumlah pasukan kedua belah pihak memang dapat dikatakan seimbang. Namun satu hal yang berada diluar perhitungan Pangeran Ranapati, hampir separoh lebih pasukan di bawah pimpinan Pangeran Pringgalaya adalah pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh.
Pasukan khusus itu benar-benar telah menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya, baik kemampuan pribadi maupun kemampuan tempur dalam kelompok. Lampat laun pasukan Panaraga di bawah pimpinan Pangeran Ranapati mulai mengalami tekanan yang tak tertahankan.
“Maaf Pangeran. Pasukan kita mengalami tekanan di setiap lini,” bisik Senapati pengapit pangeran Ranapati. Seorang prajurit penghubung baru saja memberikan laporan kepadanya.
“Gila!” geram Pangeran yang keras hati itu sambil tetap bertempur, “Usahakan pasukan kita bertempur dalam kelompok-kelompok kecil jika secara orang-perorang mereka  mengalami kesulitan.”
“Justru itulah kelebihan pasukan Mataram,” jawab Senapati pengapitnya sambil menghindari sabetan senjata lawannya, “Mereka dapat bertempur dalam setiap medan dan keadaan. Mereka kelihatannya berasal dari satu kesatuan khusus yang telah terlatih.”
“Dugaan kalian memang benar,” tiba-tiba Pangeran Pringgalaya yang sedari tadi mendengarkan pembicaran itu menyahut sambil tersenyum. Sambil melenting kesamping menghindari libatan senjata lawannya, adik Panembahan Hanyakrawati itu pun melanjutkan kata-katanya, “Kalian sedang menghadapi kekuatan pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh. Tidak ada gunanya kalian melawan. Kalian akan terlindas bagaikan buah mentimun melawan buah durian. Menyerahlah! Atas nama kuasa Mataram, aku Pangeran Pringgalaya akan memperlakukan kalian sebagai tawanan dengan baik sesuai dengan paugeran yang berlaku.”
“Tutup mulutmu!” bentak pangeran Ranapati menggelegar sambil menerjang dahsyat ke arah lawannya. Keris di tangannya telah melontarkan percikan-percikan boal-bola api sebesar kepalan tangan orang dewasa dan meluncur menghantam lawannya.
Sejenak pangeran Pringgalaya darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun. Dia tidak menyangka jika lawannya itu mulai merambah pada tataran tinggi ilmunya.
Segera saja Pangeran Pringgalaya membentengi dirinya dengan Aji Lembu Sekilan, salah satu aji kebanggaan Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya ketika berhasil menduduki singgasana Pajang. Aji Lembu Sekilan itu pun kemudian diajarkan kepada mas Ngabehi Loring Pasar yang telah diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Pajang. Ketika Loring Pasar kemudian menjadi penguasa Mataram dan bergelar Panembahan Senapati, Aji Lembu Sekilan itu pun telah diturunkan pula kepada putra-putranya.
“Bagaimana Pangeran?” tiba-tiba pertanyaan Ki Tumenggung Purbarana telah menyadarkan Pangeran Pringgalaya dari lamunannya.
Untuk beberapa saat Pangeran Pringgalaya masih terdiam. Ketika teringat akan keadaan lawannya disaat-saat terakhir justru telah melarikan diri dari medan pertempuran, tiba-tiba timbul niat Pangeran Pringgalaya untuk memancing dan sekaligus mengungkap siapa sebenarnya yang telah mengikuti perjalanan mereka sejauh ini dan untuk kepentingan apa. Tidak menutup kemungkinan mereka ada hubungannya dengan orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu.
“Siapkan tiga puluh pasukan berkuda yang terbaik,” tiba-tiba Pangeran Pringgalaya memberi perintah dengan suara sedikit berbisik, “Kita akan memecah perhatian orang-orang yang selama ini membuntuti kita. Ki Tumenggung Purbarana sendiri yang aku tunjuk untuk memimpin pasukan berkuda itu. Bawalah tawanan kita Pangeran Jayaraga secepatnya  menghadap Kakanda Panembahan Hanyakrawati di Mataram sekarang juga.”
Untuk sejenak Ki Tumenggung Purbarana bagaikan membeku di atas punggung kudanya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapat tugas yang sangat berbahaya untuk membawa tawanan khusus itu langsung ke Mataram malam itu juga. Jika dia gagal, taruhannya adalah nyawanya sendiri.
Namun sebagai seorang prajurit, pantang bagi Tumenggung Purbarana untuk mengelak. Maka dengan menengadahkan dadanya, dia pun menjawab, “Sendika Pangeran. Titah Pangeran akan aku junjung tinggi, setinggi taruhan nyawaku sendiri.”
“Bagus,” desis Pangeran Pringgalaya, “Atur agar kepergian kalian tidak begitu mencolok. Sebaiknya kalian segera memisahkan diri dari pasukan ini. Sebelum pasukan ini memasuki bulak panjang di depan, kalian dapat mengambil jalan ke kiri melewati pinggir hutan menuju ke Kademangan Sangkal Putung. Jika sebelum fajar menyingsing kalian telah mencapai Jati Anom, kalian dapat meminta bantuan para prajurit yang di tempatkan di sana.”
Begitu Pangeran Pringgalaya menyebut Jati Anom, Ki Tumenggung Purbarana segera teringat kepada Ki Tumenggung Untaradira yang juga ikut dalam pasukan segelar sepapan itu.
“Ampun Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Purbarana kemudian, “Apakah tidak sebaiknya aku sekalian meminta bantuan Ki Tumenggung Untaradira untuk menemani perjalanan ini?”
“Tidak perlu,” jawab Pangeran Pringgalanya dengan serta merta, “Biarlah Ki Tumenggung Untaradira tetap di pasukan ini, aku masih memerlukan tenaga dan pikirannya. Perjalanan ke Mataram masih cukup jauh dan segala sesuatunya bisa saja terjadi di perjalanan. Namun engkau dapat meminta bantuan beberapa perwiranya agar tidak terjadi salah paham setibanya kalian di Jati Anom.”
“Hamba Pangeran,” sahut Ki Tumenggung Purbarana, “Sekali lagi, hamba mohon  jika Pangeran tidak berkeberatan, sebaiknya satu atau dua orang pengawal Sangkal Putung juga diikut sertakan karena kemungkinannya menjelang tengah malam nanti rombongan kami akan melewati Kademangan itu.”
Pangeran Pringgalaya tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk.
“Jika demikian, hamba mohon diri, Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Purbarana kemudian  yang dijawab oleh pangeran Pringgalaya dengan anggukkan.
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Purbarana segera bergeser dengan menarik kendali kudanya sehingga berhenti. Ketika kuda orang yang selalu menundukkan wajahnya itu lewat beberapa langkah di sampingnya, Ki Tumenggung segera menjajari  langkah kuda kedua Lurah Wira Tamtama yang mengawal  di sebelah menyebelah orang itu.
Sambil tetap mengikuti irama langkah kuda-kuda itu, Ki Tumenggung Purbarana kemudian berbisik kepada Lurah Wira Tamtama yang berkuda tepat di sebelahnya, “Perintah Pangeran Pringgalaya, sekarang juga kita berangkat mendahului dengan kekuatan tiga puluh pasukan berkuda. Segeralah berkemas,”
Orang yang selalu menundukkan wajahnya itu agaknya mendengar bisikan Ki Tumenggung kepada Lurah Wira Tamtama yang mengapitnya. Tanpa disadarinya dia mengangkat wajahnya sambil pandangan matanya tertuju ke arah Pangeran Pringgalaya yang berkuda beberapa tombak di hadapannya. Namun ternyata Pangeran Pringgalaya sama sekali tidak berpaling.
 “Maafkan kami Pangeran,” bisik Ki Tumenggung Purbarana ketika melihat orang itu justru telah berpaling ke arahnya, “Kami hanya menjalankan tugas.”
Orang itu kembali menundukkan wajahnya. Betapa penyesalan yang tiada taranya telah menghujam jantungnya. Penyesalan itu baru disadarinya ketika pasukan Mataram telah berada di halaman istananya beberapa saat yang lalu ketika pecah perang antara Mataram dan Panaraga.
“Kakangmas Adipati, keluarlah!” teriak Pangeran Pringgalaya pada saat itu dari halaman istana Kadipaten Panaraga yang telah dikuasai penuh oleh pasukan Mataram.
Penyesalan benar-benar telah melanda hatinya. Ada perasaan marah bercampur malu begitu mendapat laporan bahwa Pangeran Ranapati yang telah diangkat menjadi Senapati Agung Kadipaten Panaraga dan diharapkan akan menjadi tumpuan kekuatan Panaraga ternyata telah melarikan diri dari medan pertempuran.
“Licik! Pengecut!” geram Adipati Jayaraga. Namun semua itu tinggal penyesalan dan sekarang adiknya, Pangeran Pringgalaya telah menunggunya di halaman istana Kadipaten Panaraga dengan senjata terhunus.
Ketika Adipati Panaraga itu kemudian sekilas berpaling ke belakang, hatinya  bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping. Tampak istrinya sedang duduk bersimpuh sambil memeluk anak laki-laki satu-satunya yang masih kanak-kanak. Beberapa perempuan pelayan istana kadipaten ikut berkumpul mengerumuni bendara mereka. Tidak ada suara, tidak ada isak tangis yang terdengar. Hanya air mata yang mengucur deras membasahi wajah-wajah yang diliputi ketakutan dan kesedihan serta pandangan mata yang kosong tanpa harapan.
“Persetan Pringgalaya!” geram Adipati Jayaraga dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya, mencoba mengeraskan hatinya, “Walaupun aku menyadari tidak akan mampu mengimbangi kesaktianmu, harga diriku sebagai laki-laki di atas segala-galanya. Mukti atau sekalian mati.”
Namun baru saja Pangeran yang kecewa itu akan melangkahkan kakinya, terasa seseorang telah menggamit bahunya.
Ketika dia kemudian berpaling, seseorang yang berwajah seteduh lautan dan bermata sebening embun pagi sedang menatapnya dengan tatapan yang sejuk dan sebuah senyuman yang sareh.
“Kanjeng Sunan,” bergetar bibir Pangeran Jayaraga menyebut nama orang itu. Sambil memutar tubuhnya dan membungkuk dalam-dalam, diraihnya tangan kanan Kanjeng Sunan dan kemudian dengan sepenuh hati diciumnya. Tak terasa butir-butir air mata menetes satu-persatu membasahi tangan orang yang sangat dihormati itu.
“Maaf Pangeran, kita harus segera berkemas,” tiba-tiba terdengar suara Ki Tumenggung Purbarana membuyarkan lamunannya.
Orang yang selalu menundukkan wajahnya itu memang Pangeran Jayaraga yang kini telah menjadi tawanan pasukan Mataram. Sejenak dia masih mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk sekedar melonggarkan kepepatan dadanya yang bagaikan tertimbun berbongkah-bongkah batu padas dari lereng bukit yang runtuh. Dengan tanpa mengangkat wajahnya,  akhirnya terdengar kata-katanya lirih hampir tak terdengar, “Laksanakan tugasmu Ki Tumenggung.”
Ki Tumenggung beserta kedua Lurah yang berkuda di sebelah menyebelahnya itu hanya dapat saling berpandangan sambil menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah tanpa menarik perhatian, ketika langit mulai disentuh oleh kegelapan, sepasukan berkuda dipimpin langsung oleh ki Tumenggung Purbarana telah memisahkan diri dari pasukan Mataram dan mengambil jalan ke kiri. Dua orang perwira dari Jati Anom dan seorang pengawal dari Kademangan Sangkal Putung telah ikut dalam rombongan itu.
Sepeninggal rombongan Ki Tumenggung Purbarana, kademangan Ngadireja benar-benar sedang mengalami kesibukan yang luar biasa. Berita kedatangan pasukan Mataram segelar sepapan itu ternyata telah menarik perhatian hampir seluruh penghuni Kademangan. Para penghuni padukuhan-padukuhan yang tidak dilewati oleh pasukan itu dengan berbondong-bondong segera mendatangi banjar padukuhan induk kademangan untuk melihat pasukan Mataram itu dari dekat.
Ki Demang Ngadireja adalah orang yang paling sibuk di antara mereka. Para Perangkat Kademangan segera dipanggilnya untuk membantu menyelenggarakan jamuan makan malam yang akan diselenggarakan di banjar padukuhan induk kademangan.
“Apakah gamelan yang di simpan banjar itu masih bisa dibunyikan?” bertanya Ki Demang kepada salah seorang perangkat Kademangan, “Kita akan menghibur pasukan yang tentu saja telah mengalami kelelahan lahir maupun batin setelah peperangan yang dahsyat di Panaraga.”
“Tidak ada masalah dengan gamelan itu Ki Demang,” jawab salah satu perangkat Kademangan itu, “Namun diperlukan waktu untuk mengumpulkan para niyaga, dan yang tidak kalah penting adalah Sindennya, Ki Demang.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Sejenak dia masih ragu-ragu. Namun akhirnya terlontar juga pertanyaannya, “Bagaimana dengan Nyi Laras?”
Para perangkat Kademangan itu sejenak saling pandang. Salah satu segera menjawab, “Nyi Laras sedang sakit. Dua hari yang lalu Ki Jarot mempunyai hajat dan Nyi Laras tidak dapat hadir karena sakit. Bukankah Ki Demang juga hadir pada waktu itu? Sebagai gantinya Ki Jarot mengundang Nyi Sekarwangi.”
“Ya,ya aku tahu kalau Nyi Laras pada saat itu sedang sakit. Untuk itulah aku bertanya. Mungkin sekarang dia sudah sehat kembali,” sahut Ki Demang cepat.
“Kelihatannya dia masih sakit Ki Demang,” berkata salah seorang perangkat kademangan itu, “Tinggal Nyi Sekarwangi saja sinden di kademangan ini. Jika ingin mengundang sinden dari kademangan lain, tentu diperlukan waktu dan belum tentu ada.”
Kembali Ki Demang mengerutkan keningnya. Nama Nyi Sekarwangi memang cukup terkenal di kademangan Ngadireja, terutama di kalangan para pemudanya. Sedangkan untuk para orang-orang tua dan para pini sepuh kurang berkenan dengan Sinden yang satu itu. Karena selain Nyi Sekarwangi itu seorang janda kembang yang masih muda, dia juga dianggap terlalu berani dan sedikit genit.
“Bagaimana Ki Demang?” desak salah seorang perangkat Kademangan yang terlihat masih muda.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403