Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403



PANDAN WANGI terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja kesadarannya sebagai seorang perempuan, terlebih seorang perempuan yang sudah bersuami, telah mencegahnya.
“Kakang Agung Sedayu,” bibir Pandan Wangi hanya berdesah pelan menyebut penunggang kuda yang telah turun dari kudanya dan sedang berbicara dengan para penjaga regol yang agaknya masih mengingat dengan baik siapa Agung Sedayu.
Agung Sedayu bagi para penghuni Kademangan Sangkal Putung bagaikan keluarga sendiri. Selain memang pada akhirnya adik Untara itu menikah dengan Sekar Mirah, bunga Kademangan Sangkal Putung, namun lebih dari itu, Agung Sedayu bagi mereka adalah seorang pahlawan penyelamat Kademangan Sangkal Putung dari kehancuran ketika sisa sisa laskar Jipang yang dipimpin oleh Raden Tohpati pada waktu itu akan menyerbu dan menduduki Sangkal Putung.
Sejenak Pandan Wangi justru tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kedatangan Agung Sedayu benar-benar telah menggoncangkan jantungnya. Rasa kesepian dan sakit hati karena telah berkali-kali dikhianati oleh suaminya, Swandaru, telah memunculkan kenangan kenangan indah semasa dirinya masih seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung dalam hubungannya dengan seorang penggembala yang aneh yang bernama Gupita.
Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu menuntun kudanya menyeberangi halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung yang luas itu, sudut matanya menangkap sesosok bayangan seorang perempuan yang berdiri termangu-mangu di samping kanan pendapa.
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak tertegun. Dengan perlahan dihelanya kuda tunggangannya ke samping pendapa. Setelah mengikatkan kudanya pada patok-patok yang memang disediakan untuk menambatkan kuda yang terdapat di samping pendapa, dengan perlahan Ki Rangga Agung Sedayu pun menghampiri Pandan Wangi yang masih saja berdiri termangu mangu.
“Wangi,” pelahan Ki Rangga Agung Sedayu menyapa ketika dia sudah berdiri di hadapan Pandan Wangi, “Kau terlihat sangat kurus, Wangi.”
Bagaikan bendungan yang pecah diterjang banjir di musim hujan, Pandan Wangi tak mampu menahan air matanya yang sedari tadi memang sudah mengambang di pelupuk matanya.
“Wangi,” terkejut Ki Rangga segera mendekati Pandan Wangi, “Apakah kata kataku menyinggung perasaanmu?”
Pandan Wangi menggeleng perlahan sambil menahan sedu sedannya yang terasa menyumbat tenggorokannya. Sedangkan kedua tangannya masih saja sibuk mengusap air matanya yang terus jatuh berderai-derai membasahi wajahnya yang cantik.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi yang sedang terisak-isak di depannya. Akhirnya dengan memantapkan hatinya, Ki Rangga melangkah semakin dekat, kemudian diraihnya salah satu tangan Pandan Wangi dan dibimbingnya perempuan istri adik seperguruannya itu duduk di tlundak pendapa.
Ternyata Pandan Wangi tidak menolak. Dibiarkannya saja Ki Rangga Agung Sedayu membimbingnya duduk di tlundak pendapa. Keduanya pun akhirnya duduk bersebelahan sambil berdiam diri. Hanya isak tangis Pandan Wangi yang masih terdengar di sela-sela helaan nafas panjang Ki Rangga Agung Sedayu.
“Wangi,” terdengar suara Ki Rangga merendah memecah kebisuan, “Mengapa Kau menangis? Adakah sesuatu yang telah membuatmu bersedih sehingga Kau telah menangis?”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dengan mata yang masih berlinangan air mata ditatapnya mata Ki Rangga Agung Sedayu yang juga sedang memandanginya.
Sejenak kedua pasang mata itu kini beradu. Menyimpan segala hasrat yang ditutup rapat-rapat dan tersimpan jauh di lubuk hati yang paling dalam. Tidak ada keinginan untuk mengungkit kembali hasrat yang telah jauh terpendam itu. Hanya ada satu keinginan yang sampai sekarang masih dipelihara ibarat sebuah tanaman bunga yang dijaga namun tidak pernah disiangi apalagi dipupuk. Biarlah bunga itu hidup namun jangan sampai berkembang menjadi besar, akibatnya akan sangat berbahaya, dan mereka berdua menyadari itu walaupun hanya lewat pandangan mata. Biarlah bunga itu hanya menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.
“Katakanlah Wangi,” terdengar sareh suara Ki Rangga menyadarkan Pandan Wangi yang segera menundukkan wajahnya, “Aku sekarang di sini, di sisimu untuk mendengarkanmu. Aku sudah banyak mendengar tentang Adi Swandaru. Untuk itulah aku datang ke Sangkal Putung ini, ingin berbagi cerita denganmu.”
Tangis yang sudah hampir mereda itu kini pecah kembali, bahkan lebih deras. Tubuh mungil anak perempuan satu satunya Ki Gede Menoreh itu sampai terguncang-guncang menahan gelora di dalam dadanya yang rasa-rasanya ingin segera ditumpahkan di hadapan Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan sabar Ki Rangga Agung Sedayu menunggu tangis Pandan Wangi mereda. Hatinya ikut pedih bagaikan teriris iris sembilu jika mengenang perjalanan gadis Menoreh ini. Seorang gadis yang terlalu berbakti kepada orang tuanya sehingga rela mengorbankan masa depannya.
“Kakang,” desis Pandan Wangi disela-sela isak tangisnya yang mulai mereda, “Alangkah sulitnya menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami. Aku telah mencobanya bertahun-tahun mendampingi Kakang Swandaru, namun tetap saja aku belum bisa menyelami hati suamiku. Aku telah mencoba untuk selalu mengalah, namun ternyata memang akulah yang akhirnya menjadi pihak yang kalah. Kalah dalam segala-galanya, kalah dalam merebut hatinya, maupun kalah dalam menarik perhatiannya. Ternyata ada perempuan lain yang telah mengisi hari-hari Kakang Swandaru.”
“Itu tidak benar, Wangi,” perlahan-lahan Ki Rangga mencoba menyadarkan Pandan Wangi, “Kau tidak kalah dan memang dalam peristiwa yang melibatkan pihak ketiga ini tidak ada yang kalah dan yang menang, akan tetapi, siapakah yang tetap berdiri di atas paugeran? Siapakah yang selalu bepegang teguh pada petunjuk Yang Maha Agung dalam menata kehidupan bebrayan ini? Ingatlah, Yang Maha Agung tidak akan melupakan doa hambaNya yang teraniaya. Berdo’alah untuk kebaikan masa depan keluargamu. Jangan gunakan kesempatan yang baik ini justru untuk memohon kepadaNya suatu permohonan yang berlatar belakang pada niat balas dendam.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangisnya benar-benar sudah mereda walaupun kedua matanya masih terlihat merah dan sembab. Sambil membetulkan letak sanggulnya, dia kembali berkata, “Kakang, sebenarnya bagaimanakah seorang istri yang baik itu di mata seorang suami?”
Ki Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak, namun kemudian katanya, “Wangi, banyak sekali nasehat dan pitutur dari orang-orang tua maupun para pini sepuh dan sesepuh yang mengajarkan kepada para istri untuk bagaimana bersikap terhadap suami mereka. Namun apabila kita mau kembali pada ajaran yang telah disampaikan oleh Junjungan kita, seorang istri yang baik adalah istri yang selalu terlihat indah dan menyenangkan hati suaminya manakala suaminya memandangnya.”
“Maksud Kakang?” sela Pandan Wangi, “Seorang istri harus selalu bersolek setiap saat di hadapan suaminya?”
“O, tidak harus begitu,” jawab Ki Rangga cepat, “Seorang istri tidak harus bersolek di hadapan suaminya, tapi berilah suasana tenang dan damai serta rasa cinta yang tulus pada saat seorang istri berada di sisi suaminya. Berilah perhatian penuh kepada suamimu sebelum dia memperhatikanmu. Setiap saat ketika seorang suami berada di dekat istrinya, ataupun pada saat dia jauh dari istrinya, maka yang ada dalam pandangan dan ingatannya adalah seorang istri yang selalu penuh perhatian kepadanya. Dengan demikian tidak akan ada ruang-ruang kosong di dalam bilik hatinya sehingga memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menempatinya.” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah Kau selalu menyambut suamimu manakala dia pulang ke rumah setelah selesai nganglang atau meninjau sebuah Padukuhan di lingkungan Kademangan Sangkal Putung yang memerlukan perhatiannya?”
Sejenak Pandan Wangi termangu-mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng lemah dia menjawab, “Sejak kelahiran anak kami memang segala sesuatunya cepat berubah. Aku terlalu sibuk dengan urusan anak dan jarang-jarang memperhatikan Kakang Swandaru. Aku pikir dengan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga kami, semua perhatian tertuju pada buah hati kami. Ternyata aku telah berbuat kesalahan, aku kurang memperhatikan lagi kebutuhan-kebutuhan Kakang Swandaru.”
“Tidak semua beban kesalahan itu terletak padamu, Wangi. Sebuah rumah tangga dibangun atas dasar kesadaran masing-masing pihak, baik suami maupun istri untuk tidak mengedepankan kepentingannya sendiri, namun lebih dari itu, menjaga tetap adanya pembicaraan-pembicaraan dan kesepakatan-kesepakatan antara suami istri dalam mengatasi suatu masalah, itu menjadi syarat utama agar hubungan baik antara suami istri tetap terjalin.”
Pandan Wangi termenung. Angin di sore hari yang bertiup lembut telah menyapanya dan mempermainkan anak-anak rambut di keningnya. Pandangan matanya menatap kosong ke mega- mega yang berarak arak di langit. Musim kemarau memang akan segera berlalu dan bagi Pandan Wangi, harapan untuk melihat hujan turun itu ternyata masih tetap ada.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah mereka berdua terdiam sejenak, “Setelah seorang istri harus bisa menjadi perhatian suaminya, kemudian kewajiban apalagi yang harus ditepati oleh seorang istri?”
Belum sempat Ki Rangga menjawab pertanyaan Pandan Wangi, tiba-tiba terdengar pintu pringgitan berderit dan Ki Demang Sangkal Putung yang terlihat sudah sangat tua melangkah keluar perlahan lahan.
“O,” Ki Demang yang sudah sangat tua itu terlihat memicingkan matanya sambil mengamat-amati orang yang berdiri di sebelah Pandan Wangi.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi yang sudah berdiri dari duduknya ketika mendengar pintu pringgitan berderit segera tanggap. Dengan tergesa-gesa mereka berdua segera menaiki tlundak pendapa untuk menyongsong Ki Demang Sangkal Putung.
“Ayah,” bisik Pandan Wangi ketika dia sudah berada di dekat Ki Demang, “Kakang Agung Sedayu yang berkunjung kesini.”
“O, Anakmas Agung Sedayu kiranya,” seru Ki Demang dengan gembira sambil menjulurkan tangan kanannya yang segera disambut oleh Ki Rangga Agung Sedayu kemudian diciumnya tangan Ki Demang yang sudah berkeriput itu.
“Marilah, marilah,” berkata Ki Demang kemudian mempersilahkan Ki Rangga untuk masuk ke dalam.
Dengan sigap Pandan Wangi segera meraih tangan mertuanya itu dan menuntunnya masuk ke ruang dalam. Karena ketuaannya, pandangan mata Ki Demang sudah semakin berkurang. Hanya orang-orang terdekat yang setiap hari bertemu saja yang masih bisa dikenali dengan baik oleh Ki Demang, selebihnya hanya bayangan kabur yang tidak jelas.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu masih tegak berdiri sambil mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Halaman depan rumah Ki Demang itu memang sudah banyak mengalami perubahan terutama taman yang asri di sebelah menyebelah pendapa. Setelah puas memandangi tempat-tempat yang dapat membangkitkan kenangan masa lalu itu, Ki Rangga pun kemudian melangkah mengikuti Pandan Wangi dan Ki Demang masuk ke ruang dalam.
-oo0oo--

Dalam pada itu, Matahari sudah semakin rendah di langit sebelah barat. Sepasang suami istri tampak sedang berjalan mendekati regol istana Kepatihan.
Seorang penjaga regol segera menghentikan mereka berdua. Namun hanya sejenak kemudian, penjaga regol itu telah mempersilahkan sepasang suami istri itu untuk masuk ke halaman Kepatihan.
Seorang Perwira yang kebetulan sedang berjalan melintasi halaman tersenyum begitu mengenali sepasang suami istri itu.
“Selamat datang Adi Glagah Putih dan Rara Wulan,” sapanya sambil berjalan mendekat.
Sepasang suami istri yang ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan itu menghentikan langkah sambil tersenyum lebar.
“Ah, kiranya Ki Lurah Ranu Atmaja,” berkata Glagah Putih sambil menjulurkan tangan kanannya yang segera disambut dengan hangat oleh Ki Lurah Ranu Atmaja.
“Sudah lama aku tidak berjumpa kalian berdua,” berkata Ki Lurah, “Bukankah kalian mendapat tugas melawat ke timur?”
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak, namun Glagah Putih yang akhirnya menjawab, “Kau benar Ki Lurah. Namun selain tugas melawat ke timur, kami juga mendapatkan tugas tambahan yang tak kalah beratnya. Untuk itulah kami akan menghadap Ki Patih untuk melaporkan hasil perjalanan kami.”
Ki Lurah mengangguk angguk. Ada keinginan untuk menanyakan apakah tugas tambahan itu, namun Ki Lurah segera menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan prajurit sandi sehingga keinginannya itupun segera dibuangnya jauh-jauh.
“Silahkan, silahkan,” akhirnya Ki Lurah mempersilahkan sepasang suami istri itu untuk menghadap Ki Patih, sedangkan dia sendiri segera melangkah menuju ke regol depan.
Glagah Putih sejenak masih memandangi langkah Ki Lurah Ranu Atmaja, namun ketika Rara Wulan kemudian menggamit lengannya, sambil berpaling Glagah Putih pun berdesis, “Marilah Rara, mumpung Matahari belum terbenam. Semoga Ki Patih tidak sedang dipanggil Sinuwun Panembahan Hanyakrawati.”
Sambil berjalan beriringan, keduanya pun segera berjalan ke samping bangunan induk istana Kepatihan untuk mengajukan permohonan kepada Pelayan dalam Kepatihan agar diijinkan menghadap Ki Patih Mandaraka.
Kebetulan sore itu Ki Patih Mandaraka sedang tidak ada kegiatan sehingga bersedia menerima Glagah Putih dan Rara Wulan di ruang khusus nanti setelah selesai santap malam.
Karena Glagah Putih dan Rara Wulan masih harus menunggu untuk waktu yang cukup lama, maka Pelayan Dalam Kepatihan yang bertugas hari itu telah mempersilahkan sepasang suami istri itu untuk beristirahat sejenak di bilik yang telah disediakan di lingkungan tempat para Pelayan Dalam bertugas. Justru karena mereka menyadari bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu sepasang suami istri, maka mereka berdua cukup disediakan satu bilik saja.
Baru saja Glagah Putih merebahkan tubuhnya di atas amben besar yang terletak di tengah-tengah bilik yang cukup luas itu, tiba-tiba terdengar suara panggilan untuk menunaikan kewajiban menyembah kepada Yang Maha Agung yang berkumandang dari arah bangunan khusus yang terletak di samping kanan dari bangunan induk istana Kepatihan.
“Rara,” berkata Glagah Putih sambil bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu bilik, “Aku akan menunaikan kewajiban dulu. Sambil menunggu waktu, Kau dapat beristirahat sejenak.”
“Ya, Kakang,” jawab Rara sambil mengikuti langkah Glagah Putih menuju ke pintu bilik, “Aku akan menyelarak pintu ini dari dalam. Kalau nanti Kakang kembali, jangan lupa untuk mengetuk pintu dengan irama dua kali ganda, ingat Kakang, dua kali ganda.”
“Ya, aku akan mengingatnya,” sahut Glagah Putih, “Sebaiknya Kau pergi ke pakiwan dulu sebelum beristirahat.”
“Ya, Kakang. Nanti saja, biar mereka yang akan menunaikan kewajiban itu yang terlebih dahulu menggunakan pakiwan.”
Glagah Putih mengangguk anggukkan kepalanya sambil membuka pintu bilik kemudian melangkah keluar.
“Berhati hatilah Rara,” pesan Glagah Putih.
“Ya, Kakang,”
Sejenak kemudian Glagah Putih telah melangkah menyusuri halaman samping istana Kepatihan menuju ke tempat untuk membersihkan diri dan bersuci sebelum memasuki bangunan khusus yang terletak di samping kanan dari istana Kepatihan.
Demikianlah setelah Glagah Putih selesai menunaikan kewajibannya sebagai hamba yang bersyukur kepada Penciptanya, ternyata sesampainya di bilik, seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas sore itu telah memberitahukan kepada mereka berdua untuk menghadap Ki Patih Mandaraka saat itu juga.
“Apakah Ki Patih ada keperluan mendadak sehingga kami dipanggil menghadap sebelum waktunya?” bertanya Glagah Putih kepada Pelayan Dalam yang datang ke bilik suami istri itu.
“O, tidak, tidak,” jawab Pelayan Dalam itu cepat, “Justru kalian berdua mendapat kehormatan untuk menemani Ki Patih bersantap malam.”
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling pandang, namun akhirnya Glagah Putih berkata, “Baiklah, kami akan bersiap-siap terlebih dahulu sebelum menghadap.”
“Tetapi jangan terlalu lama,” berkata Pelayan Dalam itu, “Sebaiknya kalian mengenakan pakaian yang besar dan longgar, agar perut kalian tidak tersiksa nanti.”
“Ah,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa pendek. Kemudian kata Glagah Putih sambil menepuk bahu Pelayan Dalam itu, “Justru rasa-rasanya makanan yang kami telan itu sulit melewati tenggorokan. Kami harus memperhatikan segala suba sita di hadapan Ki Patih Mandaraka.”
Pelayan Dalam itu ikut tertawa. Sambil melangkah pergi dia masih sempat berpesan, “Kalau kalian setelah menghadap masih merasa lapar, beritahu kami. Dapur istana Kepatihan masih banyak makanan, kami akan mengambilkan untuk kalian.”
Kembali Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.
Demikianlah ketika Glagah Putih dan Rara Wulan diterima menghadap di ruang dalam Kepatihan, Ki Patih Mandaraka telah berkenan mengajak mereka berdua untuk menemaninya makan malam.
“Selama dalam menjalankan tugas, mungkin kalian berdua jarang menemukan makanan yang lengkap seperti ini,” berkata Ki Patih, “Silahkan menikmati sepuas-puasnya. Anggap saja ini adalah sebuah selamatan sederhana menyambut kedatangan kalian setelah selesai melaksanakan tugas.”
“Terima Kasih Ki Patih,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab.
Sejenak kemudian mereka telah sibuk dengan makanan mereka. Hanya sesekali saja Ki Patih mengajak berbicara, terutama menanyakan tentang keselamatan suami istri itu selama menjalankan tugas.
Setelah acara santap malam itu selesai dan para pelayan telah membersihkan tempat itu dari sisa-sisa makanan, mulailah Ki Patih menanyakan hasil dari perjalanan mereka.
“Ampun Ki Patih,” berkata Glagah Putih sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain yang warnanya sudah memudar, “Kami akan menunjukkan sesuatu yang barangkali Ki Patih masih mengenalinya.”
Selesai berkata demikian Glagah Putih segera membuka bungkusan kain itu dan mengangsurkan isinya kepada Ki Patih Mandaraka.
Ki Patih yang menerima isi bungkusan dari tangan Glagah Putih itu sejenak tertegun. Diamat-amatinya benda pipih yang berwarna kuning keemasan itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka itu bergumam pelan, “Bagaimana mungkin kalian mendapatkan ini dari Mintarsih? Benda ini tidak mungkin terpisah dengannya, atau barangkali dia memberikan ini kepada kalian untuk suatu tujuan tertentu?”
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya Glagah Putih menjawab, “Ampun Ki Patih, Nyi Rara Ambarasari menyerahkan lencana itu disertai dengan niat tulus ikhlas demi tetap tegaknya Mataram. Nyi Rara Ambarasari menyerahkan lencana ini disaksikan oleh seluruh bebahu Kademangan Cepaga dengan tujuan agar tidak ada lagi pihak-pihak yang ingin memiliki lencana itu untuk kepentingan pribadi.”
Ki Patih Mandaraka sejenak terdiam. Lencana yang ada di tangannya itu sejenak ditimang-timang. Sepertinya Ki Patih terhanyut dengan kenangan masa lalu ketika mendampingi Mas Ngabehi Loring Pasar berkelana mencari kawruh sejatining urip sampai bertemu dengan seorang endang di Padepokan Sela Gilang.
“Bagaimanakah lencana ini bisa jatuh ke tangan kalian berdua?” bertanya Ki Patih memecah kebisuan setelah mereka terdiam beberapa saat.
“Ampun Ki Patih,” sambil membenahi letak kain panjangnya dan beringsut setapak maju Glagah Putih mencoba memberikan keterangan, “Pada awalnya Nyi Rara Ambarasari memang bersikukuh untuk mempertahankan kenang-kenangan satu satunya dari Mas Ngabehi Loring Pasar itu. Namun setelah terjadi peristiwa yang melibatkan keberadaan lencana itu, akhirnya Nyi Rara Ambarasari berubah pikiran. Demi ketentraman dan keselamatan dirinya dan Kademangan Cepaga, lencana itu akhirnya diserahkan kepada kami disaksikan oleh seluruh bebahu kademangan untuk di bawa ke Mataram.”
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sebelum memberikan tanggapan atas cerita Glagah Putih. Katanya kemudian, “Sebenarnya lencana ini adalah lencana ciri khas yang dimiliki oleh para bangsawan Kasultanan Pajang pada waktu itu. Jadi apabila seseorang yang menginginkan kedudukan di Mataram dengan menggunakan lencana ini dan mengaku masih ada trah dari Panembahan Senopati, adalah sangat keliru. Mataram telah menggunakan lencana yang berbeda.”
Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak saling berpandangan. Ternyata Rara Wulan lah yang tidak dapat menahan diri, “Ampun Ki Patih, Nyi Rara Ambarasari menitipkan lencana itu untuk diserahkan ke Mataram bukan berarti Nyi Rara ingin menuntut hak atas Mataram, sama sekali bukan. Justru Nyi Rara menyerahkannya kembali ke Mataram dengan niat tulus agar lencana itu tidak digunakan oleh pihak-pihak lain untuk kepentingan mereka sendiri.”
“Siapakah yang kalian maksud dengan pihak-pihak yang lain itu?” bertanya Ki Patih sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Ada beberapa orang yang bersarang di Padepokan Sela Gilang sepeninggal Ki Ageng Sela Gilang guru orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu.” Glagah Putih berhenti sejenak, kemudian, “Gerombolan itu dipimpin oleh orang yang disebut Ki Lurah dan telah mengadakan perjanjian dengan Ki Wiguna adik Ki Wiraguna yang menerima Nyi Rara Ambarasari sebagai Putri Triman.”
“Perjanjian?” bertanya Ki Patih heran.
“Benar Ki Patih,” jawab Glagah Putih, “Ki Lurah dan kawan kawannya itu berjanji akan membantu Ki Wiguna meraih kedudukan sebagai Demang Cepaga. Sebagai imbalan, Ki Lurah minta Ki Wiguna mendapatkan lencana yang dimiliki oleh Nyi Rara Ambarasari.”
Sejenak Ki Patih merenung. Katanya kemudian, “Untuk keperluan apakah orang-orang itu ingin memiliki lencana ini?”
“Mereka mencari harta karun yang konon katanya pada lencana itu terdapat petunjuk menuju tempat harta itu disimpan.” Jawab Glagah Putih.
“He?” seru Ki Patih diikuti dengan tawanya yang berkepanjangan, “Dari mana mereka mengetahui semua itu?”
Glagah Putih menjawab, “Menurut pengakuan mereka ketika kekuatan mereka kita hancurkan di padepokan Sela Gilang, mereka mendapat petunjuk dari seseorang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra.”
“Orang itu lagi,” gumam Ki Patih. Kemudian katanya, “Kecruk Putih sudah mati terbunuh waktu penyerbuan ke Menoreh sebelum Panembahan Senapati menyerang Madiun. Namun akhir-akhir ini berhembus kabar bahwa Kecruk Putih itu masih hidup karena dia telah berhasil menguasai suatu ilmu yang mampu menghindarkan dirinya dari sakit bahkan kematian sekalipun.”
Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarkan menjadi berdebar debar. Kalau memang ilmu sejenis itu ada, alangkah dahsyatnya.
“Kalian percaya?” tiba-tiba Ki Patih sambil tersenyum melontarkan pertanyaan yang tak disangka sangka kepada sepasang suami istri itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab, namun tampak keragu raguan membayang di wajah mereka.
“Ilmu seperti itu tidak ada,” desis Ki Patih sambil menarik nafas dalam-dalam, “Seandainya seseorang bisa menguasai ilmu seperti itu, dia akan menganggap dirinya seperti Yang Maha Kuasa dan akan memaksakan kehendaknya kepada orang lain agar mengakuinya sebagai Yang Maha Kuasa. Sudah sering kita dengar cerita seperti ini, dan akhir cerita pun sudah bisa kita tebak. Orang itu akan hancur dalam kehinaan.”
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk anggukkan kepalanya.
“Nah,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Agaknya orang yang mengaku-ngaku Panembahan Cahya Warastra ini ingin mengumpulkan harta benda untuk membangun kekuatan di Menoreh. Beberapa perguruan yang diundangnya telah berkumpul di Menoreh, sebaiknya kalian segera bergabung dengan Ki Jayaraga di Menoreh. Atas ijin Cucunda Panembahan Hanyakrawati, aku telah memerintahkan pasukan sandi bergerak mendahului pasukan yang sebenarnya untuk diperbantukan ke Menoreh. Namun perlu dipertimbangkan keamanan dan keselamatan kota Mataram, karena sebagian besar pasukan telah dikirim ke Panaraga.”
Glagah Putih tertegun. Ternyata orang yang mengaku bernama Panembahan Cahya Warastra itu sangat cerdik. Menggunakan kesempatan pada saat pasukan Mataram sebagian besar melawat ke Panaraga dengan cara menghimpun perguruan-perguruan yang ada di tanah Jawa ini untuk menyusun kekuatan di Menoreh.
“Ampun Ki Patih,” berkata Rara Wulan, “Apakah memang benar pada lencana itu terdapat petunjuk untuk menemukan tempat persembunyian harta?”
Ki Patih tersenyum lebar sambil memandangi wajah sepasang suami istri itu. Dengan tanpa ragu-ragu Ki Patih menganggukkan kepalanya.
Sekejap Glagah Putih dan Rara Wulan terkesiap. Mereka tidak menduga sama sekali kalau ternyata lencana itu mengandung sebuah rahasia yang akan menuntun ke tempat penyimpanan harta.
“Tetapi jangan kawatir,” berkata Ki Patih selanjutnya masih sambil tersenyum, “Harta itu sudah diketemukan oleh Jebeng Loring Pasar sendiri. Memang itu semua adalah cara Kanjeng Sultan Pajang untuk membantu Loring Pasar membangun Mataram. Jadi harta itu memang dari Kanjeng Sultan untuk putera angkatnya yang sangat dikasihinya.”
Sampai di sini Ki Patih tampak termenung. Memang kasih sayang Kanjeng Sultan Pajang sangat luar biasa kepada Raden Sutawijaya. Bahkan nama Sutawijaya itu adalah hadiah dari Kanjeng Sultan. Bukankah arti nama dari Sutawijaya itu adalah anaknya Wijaya, nama belakang dari gelar Sultan Pajang waktu itu, Sultan Hadi Wijaya. Namun yang terjadi kemudian adalah justru Raden Sutawijaya telah memberontak melawan Pajang.
“Ah, sudahlah, jangan pikirkan tentang harta itu,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Bagaimana dengan permasalahan yang timbul di Kademangan Cepaga sendiri? Apakah Wiguna tetap berkeinginan menjadi Demang setelah kepergian Ranapati?”
“Demikianlah Ki Patih,” jawab Glagah Putih, “Setelah kami berdua dibantu dengan para pengawal Kademangan Cepaga menghancurkan gerombolan yang bersarang di Padepokan Sela Gilang, Ki Wiguna akhirnya menyadari kesalahannya telah bersekutu dengan gerombolan yang ternyata kaki tangan dari Panembahan Cahya Warastra yang menginginkan lencana yang dimiliki oleh Nyi Rara Ambarasari.”
Ki Patih mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Syukurlah. Semoga Endang Mintarsih menemui kebahagiaan menjelang hari-hari tuanya.”
Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak saling berpandangan mendengar kata-kata Ki Patih. Tanda sadar Rara Wulan menyela, “Itulah permasalahan yang sekarang ini ingin kami sampaikan kepada Ki Patih. Nyi Rara Ambarasari mempunyai satu permohonan kepada Mataram, khususnya mengenai diri putra satu-satunya, Teja Wulung.”
Wajah Ki Patih menegang sekilas, namun segera tampak sebuah senyum kecil di bibirnya, “Aku rasa permohonan itu tidak ada hubungannya dengan penyerahan lencana ini.”
“Benar Ki Patih,” Glagah Putih lah yang menjawab, “Permohonan itu murni dari hati seorang ibu yang ingin anaknya kembali ke Kademangan Cepaga dalam keadaan utuh. Untuk itulah ibunda Teja Wulung melalui kami telah memohon ampunan kepada Mataram agar tingkah laku anaknya yang mempengaruhi Adipati Panaraga untuk memberontak diampuni dan biarlah Teja Wulung kembali sebagai Demang Cepaga, karena memang hanya itulah hak yang dapat diwarisinya.”
Ki Patih merenung sejenak sambil memandangi lencana yang ada di tangannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Patih pun kemudian bergumam perlahan, nyaris tak terdengar, “Semua itu tergantung perilaku Ranapati sendiri. Kalau perang telah pecah antara Mataram dan Panaraga, aku tidak dapat menjamin kalau anak laki-laki satu-satunya Endang Mintarsih itu dapat selamat dari medan perang yang buas. Pasukan segelar sepapan yang dibawa Cucunda Pangeran Pringgalaya sangatlah kuat. Aku yakin Panaraga tidak akan dapat bertahan.”
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menundukkan kepalanya. Perang memang dapat mengubah segalanya.
“Baiklah, kita hanya dapat berdo’a,” berkata Ki Patih kemudian, “Selebihnya kehendak Yang Maha Kuasa juga yang nantinya akan berlaku. Kita tinggal pasrah dan mengambil hikmahnya.”
Ketika kemudian lamat-lamat terdengar panggilan untuk menunaikan kewajiban dari arah Masjid Kepatihan, Ki Patih pun segera mengeluarkan perintahnya, “Sekarang kalian berdua dapat beristirahat. besok pagi-pagi kalian segera ke Menoreh untuk membantu Ki Jayaraga menghadapi perguruan-perguruan yang telah dihimpun oleh Panembahan Cahya Warastra.”
“Ya Ki Patih,” jawab sepasang suami istri itu hampir bersamaan.
Demikianlah akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan segera mengundurkan diri kembali ke tempat para Pelayan Dalam bertugas.
Dalam pada itu, di Kademangan Sangkal Putung Ki Rangga Agung Sedayu sedang duduk di atas dingklik kayu di dalam bilik Swandaru. Wajahnya tampak menegang ketika perlahan lahan Ki Rangga mengamati bekas luka yang ditimbulkan oleh senjata Pemimpin perguruan Toya Upas itu. Menilik bekas-bekas yang ditimbulkan, Ki Rangga dapat menarik kesimpulan bahwa jenis racun yang digunakan adalah semacam racun yang dapat mempengaruhi kerja jaringan syaraf di tubuh manusia. Dan agaknya racun yang mengeram di pinggang anak laki-laki Demang Sangkal Putung itu telah membuat syaraf yang ada di pinggangnya terganggu sehingga tubuh bagian bawah Swandaru telah menjadi lumpuh.
“Adi Swandaru,” berkata Ki Rangga setelah selesai mengamati bekas luka adik seperguruannya itu, “Aku akan meramu sejenis obat untuk mengurangi pengaruh racun yang mengeram di pinggang Adi,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Pengaruh obat ini tidak akan serta merta karena justru akan dapat membahayakan dan merusak jaringan syaraf itu sendiri. Paling tidak dibutuhkan waktu tiga hari untuk menghilangkan pengaruh racun itu.”
“Terserah Kakang,” desis Swandaru hampir tak terdengar, “Aku telah membuat semua orang kecewa karena tingkah lakuku. Aku tidak tahu lagi apa yang akan aku katakan pada Pandan Wangi.”
Mata Swandaru tampak berkaca kaca. Ditengadahkan wajahnya memandangi atap biliknya yang suram terkena bayangan cahaya dari lampu dlupak yang terdapat di ajug-ajug. Pikirannya menerawang ke masa lalu yang penuh dengan liku-liku.
“Sudahlah,” hibur Ki Rangga, “Tidak perlu disesali segala sesuatu yang telah terjadi, namun yang perlu dipikirkan adalah langkah apa yang akan kita laksanakan untuk menghadapi hari esok yang bertumpu pada kejadian-kejadian di masa lalu.”
Tiba-tiba pintu bilik berderit dan terbuka sejengkal. Tampak seraut wajah cantik menyembul dari sela-sela pintu bilik itu.
Hampir bersamaan Swandaru dan Ki Rangga menoleh. Tampak Pandan Wangi yang termangu mangu berdiri di tengah-tengah pintu bilik yang kini telah terbuka lebar.
“Wangi,” berkata Ki Rangga kemudian ketika melihat yang berdiri di tengah-tengah pintu bilik itu ternyata Pandan Wangi, “Aku memerlukan air panas untuk menyeduh ramuan obat ini.”
“Ya Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil melangkah surut, “Aku akan mengambilnya di dapur.”
“Trima kasih,” jawab Ki Rangga tanpa menoleh. Kedua tangannya sibuk membuka beberapa bungkusan obat kemudian meramunya menjadi satu dalam sebuah mangkok dari tanah liat.
Selama Ki Rangga Agung Sedayu sibuk menyiapkan obat, Swandaru hampir tak berkedip memandanginya. Dalam pandangannya, seolah olah yang duduk di dekat pembaringannya itu bukan Kakak seperguruannya, melainkan gurunya sendiri Kiai Gringsing yang menjelma di hadapannya untuk mengobati penyakitnya dan sekaligus menghukumnya atas segala polah tingkahnya yang telah menerjang wewaler perguruan.
Ketika kemudian Pandan Wangi telah datang dengan semangkuk air panas, Ki Rangga segera menuangkan air panas tersebut sedikit demi sedikit ke dalam mangkuk yang berisi ramuan obat. Sambil mengaduk ramuan obat yang berwarna merah kehijauan itu agar menjadi encer, Ki Rangga masih menaburkan lagi beberapa ramuan yang lainnya. Lambat laun tapi pasti ramuan obat itupun akhirnya telah bercampur dengan air panas dan siap untuk diminum.
“Apakah Adi Swandaru bisa duduk?” bertanya Ki Rangga sambil mendekat ke arah Swandaru.
“Bisa Kakang, aku masih bisa bangkit untuk duduk,” selesai berkata demikian, dengan bertelekan pada kedua tangannya Swandaru pun kemudian berusaha bangkit dan duduk di atas pembaringan.
Pandan Wangi yang ada di sisinya segera membantu suaminya dengan menahan pundak Swandaru, kemudian meletakkan beberapa bantal di belakang punggungnya untuk mengganjal agar Swandaru tetap pada kedudukannya.
“Minumlah,” berkata Ki Rangga sambil mengangsurkan mangkuk berisi cairan obat.
Dengan tanpa ragu-ragu, diterimanya mangkuk berisi cairan obat itu dan langsung ditenggaknya beberapa kali sampai tuntas.
Ketika mangkuk kosong itu diangsurkan kembali kepada kakak seperguruannya, tiba-tiba Swandaru merasakan perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya. Ada hawa panas yang perlahan lahan mengalir dari dalam perutnya menuju ke seluruh tubuhnya. Panas itu pada awalnya tidak terasa mengganggu, namun lambat laun rasa panas itu semakin memuncak dan hampir-hampir tak tertahankan.
“Berbaringlah kembali,” pinta Ki Rangga, “Usahakan Kau tetap sadar walaupun rasa panas itu hampir membuatmu pingsan, namun aku jamin rasa panas yang tak tertahankan itu hanya bertahan beberapa saat saja. Selanjutnya akan berangsur angsur seperti sedia kala.”
Swandaru hanya mengangguk pelan sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dengan dibantu Pandan Wangi, perlahan lahan Swandaru pun akhirnya berbaring kembali.
Tampak sekujur tubuh Swandaru menjadi basah kuyup oleh keringat akibat panas tubuhnya yang meningkat dengan cepat. Namun sejenak kemudian perlahan lahan rasa panas itu mulai menurun dan akhirnya suhu tubuh Swandaru pun menjadi biasa seperti sedia kala.
“Bantu suamimu berganti baju,” berkata Ki Rangga kepada Pandan Wangi, “Aku akan ke pakiwan sebentar.”
“Baik Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil berjalan ke geledeg tempat menyimpan pakaian yang terletak di sudut bilik. Sedangkan Ki Rangga telah melangkah keluar bilik menuju ke pakiwan.
Ketika Ki Rangga Agung Sedayu telah selesai dari pakiwan, ternyata dia tidak kembali ke bilik Swandaru. Dilangkahkan kakinya menuju ke ruang dalam. Dari celah pintu ruang dalam yang terbuka sejengkal, tampak Ki Demang sedang duduk terkantuk-kantuk sendirian.
Derit pintu ruang dalam ternyata telah menyadarkan Ki Demang dari kantuknya.
“Siapa?” bertanya Ki Demang sambil mengangkat kepalanya.
“Aku, Ki Demang. Sedayu,”
“O, silahkan-silahkan,” sambut Ki Demang sambil menggeser duduknya setapak ke samping.
Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian duduk di hadapan Ki Demang yang terlihat sudah sangat tua. Garis-garis kehidupan tampak tergurat pada wajah yang sudah keriput itu. Betapapun juga, tingkah polah anak laki-laki kebanggaannya yang diharapkan dapat menjadi penerusnya ternyata telah mengecewakannya.
“Ki Demang,” Ki Rangga mencoba mencairkan suasana yang kaku, “Mungkin beberapa hari ke depan Adi Swandaru akan aku bawa ke Padepokan di Jati Anom. Selain untuk memulihkan kesehatannya, aku sebagai pengganti Guru juga berkewajiban memberikan tuntunan lahir dan batin. Selain untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang olah kanuragan, tidak kalah pentingnya olah batin Adi Swandaru juga perlu ditingkatkan agar di hari-hari mendatang Adi Swandaru tidak kembali terjebak pada kesalahan yang tidak perlu terjadi.”
Ki Demang hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak setitik air mengambang di sudut mata yang sudah berkeriput dan kabur dimakan usia.
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengendapkan gelora di dalam dadanya, dia melanjutkan, “Kemungkinan jika Ki Demang dan Adi Pandan Wangi setuju, besok pagi-pagi sekali aku akan membawa Adi Swandaru ke Padepokan Jati Anom.”
Wajah tua itu tampak sekilas terkejut.
“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Demang kemudian.
Sebelum Ki Rangga sempat menjawab, tiba-tiba pintu ruang dalam terbuka dan Pandan Wangi muncul dengan membawa nampan berisi minuman hangat dan jenang alot.
Sekilas Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan melihat kembali peristiwa berpuluh tahun yang lalu. Seorang gadis dari Tanah Perdikan Menoreh dengan pakaian khusus dan sepasang pedang di lambung sedang membawa nampan berisi minuman dan makanan untuk para tamunya, orang bercambuk dan kedua muridnya.
Namun kini yang dilihatnya adalah seorang perempuan yang sudah berumur namun masih tetap terlihat cantik dengan bentuk tubuh yang masih sempurna. Dan yang tidak pernah berubah dari perempuan itu adalah wajahnya yang masih saja memendam rahasia seperti dulu, murung dan penuh kediaman.
Sambil berjongkok dan meletakkan kedua lututnya di lantai, dengan cekatan Pandan Wangi menghidangkan minuman dan makanan yang dibawanya di atas nampan. Ketika jari jemari yang lentik itu menyodorkan semangkuk minuman hangat ke hadapan Ki Rangga Agung Sedayu, betapa jari jemari itu menjadi gemetar sehingga air yang ada dalam mangkuk itu hampir saja tumpah.
Ki Rangga Agung Sedayu hanya termangu mangu melihat kejadian yang hanya sekilas itu. Berbagai tanggapan muncul di dalam hatinya. Perasaan apakah sebenarnya yang sedang berkecamuk di dalam hati perempuan separo baya yang masih terlihat cantik dan menarik ini.
“Wangi,” tiba-tiba Ki Demang berkata perlahan ketika Pandan Wangi akan bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, “Tinggallah sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu malam ini.”
Pandan Wangi yang sudah hampir berdiri itu mengurungkan niatnya. Diletakkannya nampan itu di atas pangkuannya sambil duduk bersimpuh di sebelah mertuanya.
“Wangi,” kembali Ki Demang berkata, “Anakmas Agung Sedayu bermaksud membawa Swandaru ke Padepokan Jati Anom besok pagi untuk melanjutkan pengobatan terhadap penyakitnya. Bagaimana pendapatmu, Wangi?”
Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Jari-jari lentiknya memainkan lembar-lembar pandan yang saling berkait di tikar yang didudukinya. Pandangan matanya kosong menatap jalur-jalur warna warni yang saling silang menyilang membentuk pola-pola yang indah dan menawan.
“Wangi?” agak keras suara Ki Demang menyadarkan Pandan Wangi dari lamunannya.
“Ya, Ayah,” tergagap Pandan Wangi menjawab.
“Bagaimana tanggapanmu?”
Sejenak Pandan Wangi masih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya nafas itu kuat-kuat seolah olah ingin ditumpahkannya segala isi hatinya bersama dengan hembusan nafasnya itu.
“Ayah,” akhirnya terlontar juga kata-kata dari Pandan Wangi, “Aku hanya bisa pasrah terhadap apa yang akan Kakang Agung Sedayu lakukan sehubungan dengan sakitnya Kakang Swandaru. Namun jika diijinkan, aku ingin ikut menemani Kakang Swandaru di Padepokan Jati Anom.”
Ki Demang mengerutkan keningnya sementara Ki Rangga Agung Sedayu menjadi berdebar debar. Persoalannya akan semakin rumit jika Pandan Wangi bersikeras untuk ikut ke Jati Anom. Sebenarnyalah Ki Rangga sudah mempunyai rencana tersendiri terhadap adik seperguruannya ini, namun dengan kehadiran Pandan Wangi di padepokan Jati Anom, Ki Rangga merasa ewuh pakewuh justru karena Pandan Wangi adalah istri adik seperguruannya itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Hanya angin malam saja yang terdengar bertiup cukup keras memukul mukul atap sehingga suaranya terdengar berderak derak. Sinar lampu dlupak yang ada di ajug-ajug tampak bergoyang goyang terkena hembusan angin yang menerobos di sela-sela dinding kayu.
“Wangi,” akhirnya Ki Demang membuka suara kembali, “Apakah pertimbanganmu sehingga Kau perlu mengikuti suamimu ke Padepokan Jati Anom?”
“Ayah,” jawab Pandan Wangi, “Aku ingin mendampingi Kakang Swandaru sampai sembuh. Kemudian jika memungkinkan kesehatan kakang Swandaru untuk melakukan perjalanan jauh, aku akan memohon kepadanya untuk mengantarkan aku ke Menoreh, menjenguk Ayah Argapati yang sedang sakit.”
“Kemungkinan itu sangat kecil, Wangi,” Ki Rangga Agung Sedayu ternyata yang memberikan tanggapan, “Selain waktu yang diperlukan untuk memulihkan kesehatan Adi Swandaru cukup lama, aku sebagai saudara tua seperguruannya juga mempunyai tanggung jawab baik secara lahir maupun batin terhadap perkembangan Adi Swandaru.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, “Maksud Kakang?”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, jawabnya kemudian, “Sebagai pengganti Guru, aku mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk meminta pertanggung jawaban atas apa yang selama ini telah terjadi sehubungan dengan aturan-aturan yang harus ditaati dalam sebuah perguruan.”
Pandan Wangi sadar, agaknya Ki Rangga Agung Sedayu akan menggunakan haknya dan sekaligus kewajiban sebagai saudara tua untuk menghukum suaminya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Swandaru. Maka katanya kemudian, “Itu adalah hak Kakang Agung Sedayu selaku pengganti Kiai Gringsing untuk menegakkan wewaler perguruan. Namun aku juga berbicara tentang kewajiban seorang istri untuk berbakti kepada suami apapun ujud kesalahan suami itu terhadap istrinya.”
Kata-kata terakhir Pandan Wangi itu bagaikan kidung pepujian yang indah terdengar di telinga kedua laki-laki yang duduk di ruang dalam itu. Alangkah indahnya hidup ini seandainya setiap istri menyadari kewajibannya tanpa memandang derajat, pangkat dan semat dari suaminya. Demikian pula sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk selalu memberikan bimbingan dan menjadi contoh yang baik kepada keluarganya dalam hubungannya dengan kehidupan bebrayan dan terlebih lagi kesadaran akan jati diri seorang hamba terhadap Sumber Hidupnya.
“Kau memang benar, Wangi,” kali ini Ki Rangga Agung Sedayu yang memecah keheningan, “Sebenarnyalah antara suami dan istri itu terdapat hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalani hidup bebrayan bersama. Seorang suami dalam memenuhi kewajibannya kepada istri tidak harus menunggu haknya atas istri terpenuhi, demikian juga sebaliknya. Masing-masing merasa mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa menunggu apakah dia sudah mendapatkan haknya atau belum.”
Pandan Wangi hanya menundukkan wajahnya. Sesekali dia menarik nafas dalam sekali, seolah olah ingin dihirupnya seluruh udara yang ada di ruang dalam itu.
“Nah,” berkata Ki Demang akhirnya, “Bagaimanakah pertimbangan Anakmas Agung Sedayu? Apakah Anakmas keberatan dengan permohonan Pandan Wangi untuk mendampingi suaminya?”
“Tentu saja tidak,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menyahut, “Adalah haknya untuk mendampingi suaminya, namun aku hanya memperingatkan bahwa Adi Swandaru aku bawa ke Padepokan Jati Anom bukan untuk bersenang-senang, di sana telah menunggu tugas-tugas yang harus diselesaikannya sejalan dengan pengobatan terhadap sakitnya.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Pandan Wangi, “Nah, Pandan Wangi Kau dapat berkemas mulai sekarang. besok pagi-pagi sekali kalian akan menempuh perjalanan yang pendek saja, namun keadaan suamimu lah yang akan menjadi pertimbangan dalam perjalanan nanti,” Ki Demang berhenti sejenak kemudian berpaling ke arah Ki Rangga, “Bukankah demikian Anakmas Agung Sedayu?”
Ki Rangga mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Memang demikianlah, Ki Demang. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali agar tidak menarik perhatian, dan aku mohon tiga atau empat orang pengawal Sangkal Putung untuk ikut mengantar kami ke Jati Anom. Sebenarnya tidak ada yang perlu di kawatirkan. Jalan-jalan semakin ramai dan aman, namun alangkah baiknya kalau kita selalu waspada agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.”
Hampir bersamaan Ki Demang dan Pandan Wangi mengangguk angguk.
“Bagaimana dengan Bayu Swandana?” tiba-tiba Ki Demang berkata sambil berpaling ke arah Pandan Wangi yang duduk di sebelahnya, “Kalau Kau tinggal pergi, apakah dia tidak akan mencarimu nanti?”
Pandan Wangi mengangguk, “Ya, ayah. Lebih baik aku membawanya serta. Anak itu sudah cukup besar, sudah bisa diajak berkuda.”
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menahan nafas mendengar Pandan Wangi menyebut anaknya. Ingatannya segera melayang kepada istrinya yang sedang hamil tua di Menoreh.
Tiba-tiba Ki Demang tersenyum lebar sambil memandang ke arah Ki Rangga. Katanya kemudian masih dengan tersenyum, “Semoga Sekar Mirah diberi kelancaran menjelang hari-hari persalinannya. Sebenarnya aku ingin punya cucu perempuan, karena Pandan Wangi telah memberiku cucu laki-laki.”
“Ah,” desah Pandan Wangi, “Semua itu terserah Yang Maha Agung dalam memberi kita karuniaNya. Kita hanya dapat memohon dan bersyukur atas semua limpahan kasih sayangNya.”
“Kau benar, Wangi,” sahut Ki Demang sambil tertawa pendek, “Namun hati orang tua ini kadang banyak permintaan. Namun apapun juga nanti yang terjadi, kita wajib mengucap syukur justru karunia itu datang pada saat Anakmas Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah mendekati usia tua.”
“Ya Ki Demang,” berkata Ki Rangga, “Karunia itu memang datang kapan saja atas kehendak Yang Maha Agung. Kita hanya dapat berdo’a dan berusaha.”
“Baiklah,” berkata Ki Demang kemudian, “Sebaiknya kalian beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan besok,” Ki Demang berhenti sejenak kemudian katanya kepada Ki Rangga Agung Sedayu, “Sebaiknya Anakmas Agung Sedayu memberitahu pemimpin pengawal Sangkal Putung untuk menunjuk empat orang pengawal yang akan menyertai perjalanan kalian besok pagi.”
“Ya, Ki Demang,” jawab Ki Rangga sambil bangkit berdiri.
Sejenak kemudian ruang dalam itu telah menjadi sepi. Pandan Wangi segera kembali ke biliknya setelah sebelumnya disempatkan untuk menengok suaminya yang sedang tertidur pulas di bilik sebelah karena pengaruh obat yang diberikan oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Sedangkan Ki Demang pun juga telah masuk ke dalam biliknya.
Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu sendiri telah turun ke halaman mendekati regol penjagaan depan. Segera saja dua orang yang sedang bertugas jaga malam itu dengan tergopoh-gopoh telah menyambut Ki Rangga.
“Silahkan, silahkan,” berkata pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya, “Kami baru saja mendapat kiriman singkong rebus dengan parutan kelapa muda. Masih hangat. Silahkan kalau Ki Rangga berkenan.”
“Pesan?” tanpa sadar kedua pengawal itu mengulang, “Pesan untuk siapakah Ki Rangga?”
“Untuk pemimpin pengawal Kademangan Sangkal Putung,” jawab ki Rangga.
Kedua pengawal itu sejenak saling berpandangan. Akhirnya pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya itulah yang berkata selanjutnya, “Apakah isi pesan itu Ki Rangga? Kalau memang sangat mendesak, biarlah salah satu dari kawan kami yang sedang lepas jaga menghubungi pemimpin pengawal Kademangan.”
Selesai berkata demikian pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya itu menunjuk seorang pengawal yang sedang tidur melingkar bersama tiga orang pengawal lainnya di atas sebuah amben besar di dalam gardu penjagaan.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu merenung, namun kemudian katanya, “Baiklah, bangunkan dia. Aku memerlukan bantuannya.”
Dengan tergesa-gesa, pengawal itupun segera membangunkan kawannya yang sedang tidur pulas. Beberapa saat pengawal yang dibangunkan itu masih menggeliat sambil berdesis, “He, rasa rasanya aku belum puas tidur. Apakah sekarang sudah tengah malam?”
“Belum,” jawab pengawal yang membangunkannya.
“Gila,” umpat pengawal yang dibangunkan itu sambil menarik kain panjangnya dan kembali tidur melingkar.
“He! Bangunlah,” seru kawannya sambil mengguncang guncang tubuhnya, “Ki Rangga Agung Sedayu memerlukanmu.”
“Ki Rangga?” kepala yang sudah hilang terbenam dalam kain panjang itu tersembul kembali. Katanya kemudian sambil menggeram, “Jangan main-main. Waktu istirahatku masih panjang. Selain itu untuk apa Ki Rangga memerlukanku?”
“Ya, Ki Sanak. Aku memerlukan bantuanmu,” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam hanya beberapa langkah saja dari tempatnya berbaring.
Bagaikan disengat kalajengking pengawal yang sedang tidur itu segera meloncat berdiri. Dengan pandangan yang masih kabur ditatapnya bayangan seseorang yang berdiri di depannya.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” desis pengawal itu perlahan hampir tak terdengar.
“Ya,” jawab Ki Rangga, “Aku memerlukan bantuanmu untuk menghubungi pemimpin pengawal Kademangan ini.”
“O,” berkata pengawal yang baru terbangun itu sambil mengangguk angguk. Kemudian lanjutnya, “Apakah yang harus aku sampaikan kepadanya, Ki Rangga?”
“Sampaikan pesanku kepadanya, bahwa aku memerlukan empat orang pengawal untuk menemani Ki Swandaru dan istrinya ke Padepokan Jati Anom. Pagi-pagi sekali sebelum Matahari terbit mereka harus sudah siap di sini, di rumah Ki Demang.”
Pengawal itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah Ki Rangga. Sebaiknya aku segera berangkat.”
“Terima kasih,” berkata Ki Rangga sambil melangkah menuju ke gandhok kanan tempatnya beristirahat.
Sementara itu sambil bersungut-sungut, pengawal yang dibangunkan itu membenahi kain panjangnya sambil meraih pedang yang disandarkan di dinding.
“Mengapa mesti aku yang disuruh?” gerutunya sambil melangkah meninggalkan gardu penjagaan menyusuri gelapnya malam.
Pengawal yang membangunkannya mengerutkan keningnya, katanya kemudian setengah berseru, “He, bukankah rumahmu dekat dengan rumah pemimpin pengawal Kademangan itu? Bilang saja Kau gembira mendapat tugas tambahan ini karena sekaligus Kau dapat menengok binimu.”
Pengawal itu masih sempat berpaling sambil berkata, “Nah, jangan salahkan aku nanti kalau aku menggantikanmu tidak tepat waktu. Masalahnya, jika aku sempat mampir ke rumah, aku harus membangunkan istriku. Dan kalian pasti maklum, aku harus membuatnya tidur lagi sebelum meninggalkannya.”
“Gila,” umpat kedua kawannya yang sedang bertugas jaga itu.
“Ternyata Kau mulai menikmati tugas tambahan ini,” geram pengawal yang bertahi lalat di pipi kirinya.
Pengawal yang mendapat tugas menyampaikan pesan Ki Rangga Agung Sedayu itu tidak menjawab hanya tawanya saja yang terdengar berderai derai memecah sepinya malam.
Demikianlah pagi-pagi sekali, setelah menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Agung, Ki Rangga Agung Sedayu segera berkemas-kemas untuk berangkat ke Jati Anom. Empat orang pengawal yang akan mengikuti ke Padepokan Jati Anom pun telah bersiap pula dengan empat ekor kuda yang cukup tegar ditambatkan pada patok-patok yang ada di sebelah kiri pendapa. Sedangkan Pandan Wangi yang pada awalnya ingin mengajak anak laki-lakinya ternyata menemui kesulitan untuk membangunkan anaknya yang masih tidur pulas di bilik pemomongnya.
“Sudahlah Nyi,” berkata pemomongnya sambil membelai kepala cucu Ki Demang Sangkal Putung itu, “Biarlah ia tinggal di sini saja. Anak ini sudah besar dan tidak akan mencari biyungnya. Sehari hari ia bermain denganku. Kalau memang ada sesuatu yang penting, biarlah salah seorang pengawal menghubungi Nyi Pandan Wangi di Jati Anom.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil membelai kepala anak laki-laki satu satunya itu. Sejenak Pandan Wangi merenungi wajah anaknya yang sedang tidur pulas itu. Wajah itu benar-benar sangat mirip dengan ayahnya. Namun bukan hal itu yang merisaukan hati Pandan Wangi. Anak ini adalah pewaris tunggal dua buah wilayah yang sangat luas dan subur, Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung. Jika sifat sombong dan cenderung meremehkan orang lain dari ayahnya itu juga menurun kepadanya, Pandan Wangi tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan masa depan kedua daerah itu.
“Baiklah,” akhirnya Pandan Wangi mengalah, “Jagalah ia baik-baik. Aku sering melihat dia mulai senang memanjat apa saja. Pohon jambu air di belakang dapur itu hampir setiap hari dipanjatnya. Aku kawatir kalau ia sampai terjatuh dan mendapatkan cedera.”
Pemomongnya itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “Jangan kawatir Nyi. Aku akan menjaganya seperti menjaga anakku sendiri. Ia memang senang memanjat pohon jambu air itu, namun aku selalu mencegahnya apabila ia mulai memanjat agak tinggi.”
Pandan Wangi pun tersenyum. Kemudian dengan penuh kasih sayang diciumnya pipi anaknya yang gembil dan lucu itu. Setelah sekali lagi membelai kepala anaknya, Pandan Wangi pun kemudian melangkah keluar bilik untuk berkemas-kemas mengantar suaminya ke Jati Anom.
Sejenak kemudian beberapa ekor kuda yang tegar telah siap di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan perlahan lahan dua orang pengawal memapah Swandaru keluar dari biliknya.
Ketika kemudian mereka menuruni tangga pendapa dengan hati-hati, ternyata Ki Rangga Agung Sedayu sudah menunggu di samping kuda Swandaru yang berbulu hitam legam dan terlihat sangat tegar.
“Adi Swandaru,” bertanya Ki Rangga, “Apakah Adi mampu berkuda sendiri?”
Swandaru yang masih di papah oleh dua orang pengawal itu menggeleng lemah, “Aku sudah mampu duduk, namun untuk menjaga keseimbangan tubuhku sangat sulit karena kedua kakiku masih sangat lemah, walaupun pengaruh obat yang Kakang berikan semalam sudah menampakkan kemajuan. Aku sudah dapat menggerakkan jari-jari kakiku walaupun masih sangat lemah.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Sementara itu dengan telaten Pandan Wangi membantu kedua pengawal itu menaikkan tubuh Swandaru ke atas punggung kuda.
“Kakang Sunu,” berkata Pandan Wangi kepada salah satu pengawal yang memapah Swandaru, “Kau dapat berkuda bersama Kakang Swandaru untuk menjaganya agar tidak terjadi apa-apa nanti di sepanjang perjalanan.”
“Baik, Nyi,” jawab pengawal yang bernama Sunu itu sambil memegangi kendali kuda Swandaru.
Sejenak kemudian mereka telah meloncat ke atas punggung kuda masing-masing. Sunu yang berkuda dengan Swandaru pun telah berada di belakang Swandaru sambil menjaga keseimbangan Swandaru agar tidak terganggu pada saat kuda itu nanti berpacu di jalan-jalan menuju Jati Anom.
“Kau tidak harus memegang kendali kudamu, Adi,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu ketika menyadari bahwa justru Swandaru sendiri yang memegang kendali kudanya, sedang Sunu yang duduk di belakangnya hanya menjaga keseimbangan tubuhnya dengan memegangi pinggangnya.
Swandaru hanya tersenyum, sahutnya, “Aku masih penunggang kuda yang baik, Kakang. Jangan kawatir kakang Sunu cukup menjaga keseimbangan tubuhku.”
Ki Rangga Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ki Demang yang berdiri di tangga pendapa, “Kami mohon diri Ki Demang. Setiap saat nanti ada pengawal yang akan memberitahukan perkembangan Adi Swandaru.”
Ki Demang hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Sepasang mata tua itu tampak berkaca kaca. Bagaimanapun juga setelah kematian Nyi Demang beberapa tahun yang lalu, hidupnya seakan akan menjadi hampa. Namun dengan hadirnya seorang cucu laki-laki, hidupnya yang bagaikan lampu kehabisan minyak itu seakan akan kembali bergairah.
Tapi justru Swandaru anak laki-laki kebanggaannya yang digadang-gadang dapat menggantikan kedudukannya sebagai Demang Sangkal Putung itu ternyata telah melakukan beberapa kali kesalahan. Kesalahan itu tidak hanya mengecewakan hatinya, namun yang lebih memprihatinkan, kelakuan Swandaru itu telah menghancurkan hati istrinya.
“Ayah,” akhirnya Pandan Wangi yang berkata, “Kami berangkat. Bayu Swandana tidak jadi aku bawa. Biarlah dia bersama pemomongnya. Kalau ada hal yang penting, suruhlah seorang pengawal untuk menyusul ke Jati Anom.”
Kembali Ki Demang hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Tenggorokannya terasa tercekat dan tidak ada satupun kata-kata yang mampu diucapkannya.
Sejenak kemudian setelah mengucapkan salam, rombongan itupun mulai bergerak meninggalkan halaman rumah diikuti oleh pandangan mata Ki Demang Sangkal Putung yang berkaca kaca.
Dalam pada itu, di regol penjagaan depan istana Kepatihan telah terjadi sedikit keributan. Suasana yang masih pagi dan dingin tenyata tidak mengendurkan kewaspadaan para prajurit yang bertugas jaga di istana Kepatihan, terutama di regol depan. Seorang kakek-kakek sambil menjinjing sebuah pikulan ditemani nenek-nenek yang menggendong bakul tampak keluar dari regol depan Kepatihan.
Tentu saja sepasang kakek nenek itu segera dihentikan oleh para prajurit yang bertugas jaga. Prajurit-prajurit jaga itu merasa heran, bagaimana mungkin sepasang kakek nenek itu justru keluar lewat pintu regol depan, tidak lewat pintu butulan di belakang.
“Kek,” sapa seorang prajurit yang terlihat masih sangat muda, “Kakek ini dari mana dan mau ke mana? Mengapa tidak lewat pintu butulan saja? Tidak semua orang diperbolehkan keluar masuk istana Kepatihan melalui regol depan.”
Kakek dan nenek itu tampak kebingungan. Sambil terbatuk batuk, kakek tua itu mencoba menjawab, “Ma’afkan kami, anak muda. Kami kemarin sore memasuki istana Kepatihan ini juga lewat regol depan, maka kami pulang pun juga lewat regol ini.”
Sejenak para prajurit penjaga regol depan itu saling berpandangan. Seorang prajurit yang memiliki jambang yang cukup lebat mendesak maju. Katanya kemudian, “Kek, kapan kalian memasuki regol ini kemarin? Karena kami yang bertugas pada waktu dini hari ini adalah para prajurit yang sama yang bertugas pada sore hari kemarin?”
Kakek nenek itu saling pandang sejenak sebelum akhirnya kakek yang rambutnya sudah putih semua itu menjawab, “Kami datang ke istana Kepatihan ini menjelang Matahari terbenam.”
“He?” beberapa prajurit berseru heran.
Namun sebelum kesalah pahaman itu berlarut larut, seorang perwira yang berpangkat Lurah melangkah mendekat, “Sudahlah, jangan dipersoalkan lagi. Biarlah kakek dan nenek ini meneruskan perjalanan mereka. Aku jamin mereka berdua tidak akan menimbulkan permasalahan.”
Para prajurit yang sedang berkerumun itu segera menyibak dan memberikan penghormatan.
“Ki Lurah Ranu Atmaja,” desis prajurit yang berjambang itu.
Kakek dan nenek itu sejenak hampir membeku di tempatnya. Mereka tidak mengira kalau persoalan mereka itu menjadi sedemikian mudahnya begitu Ki Lurah Ranu Atmaja hadir di tempat itu.
Ki Lurah Ranu Atmaja agaknya menyadari apa yang sedang bergejolak di dada kedua orang itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah, penyamaran kalian sudah baik sekali dan kalian telah mengujinya di hadapan para prajurit jaga ini. Aku pun memerlukan waktu beberapa saat untuk mengenali kalian, itu bukan karena penyamaran kalian yang kurang sempurna, namun karena pengenalanku selama ini terhadap kalian berdua yang cukup dekat sehingga bentuk tubuh kalian dan gerak gerik kalian tidak dapat mengelabuhiku.”
“Apakah itu berarti setiap orang akan dengan mudah mengenali kami?” bertanya nenek yang ternyata suaranya masih terdengar jernih dan merdu.
“Tentu saja tidak,” sahut Ki Lurah, “Salah satu hal yang mungkin perlu kalian perhatikan adalah nada suara kalian. Kalian berdua adalah kakek nenek yang sudah cukup tua, jadi adalah aneh kalau suara kalian terdengar seperti suara orang yang masih muda.”
Dua orang yang ujudnya seperti kakek dan nenek itu menarik nafas dalam-dalam. Memang selama menjadi prajurit sandi mereka tidak pernah mengubah tampilan mereka. Mereka tampil dengan ujud mereka apa adanya.
“Sudahlah Adi Glagah Putih,” berkata Ki Lurah Ranu Atmaja kemudian kepada kakek itu yang ternyata adalah Glagah Putih yang sedang menyamar, “Penyamaran kalian sudah cukup sempurna. Hati-hatilah pada saat memasuki Tanah Perdikan Menoreh nanti. Jangan sampai ada yang mengenali kalian berdua.”
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang menyamar itu mengangguk anggukkan kepalanya, sementara para prajurit yang sedang bertugas menjaga regol depan istana Kepatihan itu hanya dapat saling memandang sambil menarik nafas dalam-dalam setelah mengetahui dengan siapa mereka berhadapan.
Demikianlah, akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Menoreh. Di sepanjang perjalanan hampir tidak ada yang menghiraukan sepasang kakek nenek yang berjalan tersaruk-saruk. Hanya sesekali saja jika mereka berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar, mereka mendapat beberapa pertanyaan sehubungan dengan arah yang mereka tuju.
“He, Ki Sanak,” sapa seorang laki-laki yang sudah cukup umur sambil menghentikan gerobaknya, “Bukankah sekarang ini pasaran Kliwon? Mengapa kalian justru pergi ke arah Pasar Pahing?”
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun. Satu hal lagi yang luput dari perhitungan mereka.
“Kami tidak akan pergi ke pasar Pahing Ki Sanak,” jawab Glagah Putih akhirnya, “Kami akan menengok keluarga yang ada di Menoreh. Sekembalinya dari Menoreh, barulah kami akan membeli sesuatu di Menoreh yang barangkali dapat kami jual kembali di sini.”
Orang yang punya gerobak itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum, kemudian katanya sambil mendorong gerobaknya kembali, “Baiklah Ki Sanak, selamat jalan. Semoga kalian berdua selamat sampai tujuan.”
“Terima kasih,” hampir berbareng Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab dengan suara yang mirip orang yang sudah lanjut usia.
Dengan penuh semangat orang itu kembali mendorong gerobaknya di atas jalan yang berbatu batu diikuti oleh pandangan sepasang suami istri yang sedang dalam penyamaran itu.
“Alangkah bahagia istrinya, jika orang itu nanti pulang membawa setumpuk uang hasil jerih payahnya menjual barang dagangannya itu,” desis Glagah Putih tanpa sadar.
“Asal saja tidak dihabiskan di meja judi atau justru untuk bersenang senang sendiri dengan perempuan-perempuan murahan yang menjajakan tubuhnya untuk sekedar memberikan kepuasan sesaat,” geram Rara Wulan.
“He,” setengah berseru Glagah Putih menoleh ke arah istrinya, “Mengapa Kau berpikiran seperti itu? Laki-laki itu kelihatannya dapat dipercaya?”
“Ah, siapa tahu dalam hati seseorang,” sergah Rara Wulan, “Apalagi kalau istrinya sudah keriput dan jelek seperti aku sekarang ini.”
Selesai berkata demikian Rara Wulan memandang tajam ke arah suaminya seolah olah ingin menjenguk apa yang ada di dalam dada Glagah Putih.
“Tentu saja aku akan tetap mencintaimu, Rara,” dengan cepat Glagah Putih menjawab sambil berusaha merengkuh istrinya.
“Ah, memalukan,” sahut Rara Wulan dengan suara ketus sambil menghindar dan berjalan cepat-cepat meninggalkan Glagah Putih.
Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Kemudian dengan langkah lebar disusulnya Rara Wulan yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya.
Dalam pada itu, di puncak Gunung Kendalisada sinar Matahari mulai mengintip dari balik punggung bukit. Sinarnya yang kuning keemasan menyentuh wajah seorang perempuan muda yang sedang duduk di atas sebongkah batu padas menghadap Matahari terbit. Wajah itu begitu berbinar tersentuh sinar Matahari yang masih lemah. Rambutnya yang panjang dibiarkan saja tergerai menyentuh pundak. Sepasang matanya yang bagaikan bintang timur itu sedikit terpejam. Dibiarkan saja sinar Matahari yang lembut itu membelai sekujur tubuhnya yang nyaris sempurna, leher yang jenjang dan dada yang membusung penuh serta pinggang yang begitu ramping dengan pinggul yang melengkung indah. Sementara kedua kakinya yang panjang bagaikan sepasang kaki belalang itu diselonjorkan begitu saja menambah pesona siapa saja yang memandangnya.
“Anjani,” tiba-tiba terdengar suara parau dari arah pondok di sebelah kiri perempuan muda yang sedang duduk itu, “Sedari tadi kulihat Kau duduk diam menghadap ke arah Matahari terbit. Apakah yang Kau tunggu, Anjani?”
Perempuan muda yang ternyata Anjani itu hanya berpaling sekilas sambil menjawab, “Eyang Resi, aku sedang menunggu Matahari terbit. Sinarnya yang hangat rasa rasanya seperti melancarkan seluruh peredaran darahku di puncak gunung yang dingin ini. Selebihnya, aku memang sedang menunggu kedatangan seseorang yang telah berjanji akan berkunjung ke gunung Kendalisada ini.”
Sejenak suasana sepi. Tidak ada suara dari arah pondok. Hanya suara kicau burung yang ramai bersahutan menyambut datangnya Matahari yang kembali menyinari bumi.
“Apakah yang Kau maksud itu Ki Rangga Agung Sedayu?” tiba-tiba terdengar kembali suara dari arah pondok memecah sepi.
“Ya, Eyang Resi,” jawab Anjani tanpa berpaling, “Dia berjanji akan mengunjungi Eyang Resi untuk memohon obat penawar racun Gundala Wereng yang telah melukainya.”
“Ki Rangga tidak memerlukan obat itu,” suara dari arah pondok itu membuat Anjani terkejut sehingga dia berpaling.
“Apa maksud Eyang Resi?” bertanya Anjani sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Sejenak bau harum seribu bunga semerbak mewangi memancar dari tubuh indah Anjani ketika perempuan muda itu menggerakkan tubuhnya bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah gemulai Anjani pun kemudian berjalan menuju ke arah pondok.
Ketika langkahnya telah mencapai pintu pondok yang terbuka lebar, tampak seseorang yang sudah sangat tua sedang duduk bersila di atas amben bambu yang besar yang ada di tengah-tengah ruangan itu. Seseorang yang hampir di sekujur tubuhnya ditumbuhi rambut yang sudah memutih seperti kapas. Bajunya yang berwarna putih tapi sudah kusam membalut tubuhnya yang tinggi besar. Sepintas orang tersebut mirip dengar seekor kera besar yang berbulu putih. Keadaannya yang seperti itulah yang telah membuat para penghuni padukuhan di sekitar gunung Kendalisada itu menyebutnya Resi Mayangkara, mengingatkan orang pada cerita babat tentang Hanoman, tokoh yang berujud seekor kera putih yang sangat sakti dan menjadi Panglima Prabu Rama Wijaya semasa mudanya dan kemudian menyepi di gunung Kendalisada dan berjuluk Resi Mayangkara semasa tuanya.
Dengan perlahan Anjani mengambil tempat duduk di depan Resi Mayangkara. Amben bambu itu berderit perlahan dibarengi dengan semerbak bau wangi seribu bunga ketika Anjani naik ke atas amben itu.
Resi Mayangkara tersenyum tipis begitu bau wangi seribu bunga itu menyentuh indra penciumannya. Sambil sedikit membuka mata, Resi itupun berkata lirih, “Anjani, hati-hati dengan Aji Seribu Bunga yang telah aku ajarkan kepadamu. Aji itu hanya digunakan untuk membahagiakan suamimu kelak. Jangan Kau gunakan sembarangan sehingga akan membuat banyak laki-laki tergoda.”
“Ampun Eyang Resi,” terbata-bata Anjani menjawab sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Aku tadi memang sengaja berlatih Aji Seribu Bunga sambil berjemur di sinar Matahari pagi. Namun agaknya aku lupa masih menggunakan aji ini sampai menghadap Eyang Resi.”
“Ah, sudahlah. Aku mengerti,” jawab Resi Mayangkara sambil memejamkan matanya kembali, “Sebaiknya Kau segera melepaskan aji itu dan marilah kita bicarakan tentang masa depanmu.”
Sejenak kemudian, bau semerbak mewangi seribu bunga itu perlahan lahan memudar. Hanya sekali kali masih tercium bau wangi tubuh Anjani jika angin bertiup cukup keras menerobos pintu pondok yang terbuka lebar itu, namun bau wangi itu tidak sampai memabokkan seperti wangi aji seribu bunga.
“Anjani,” kembali Resi Mayangkara berkata sareh, “Seperti aku katakan sebelumnya. Ki Rangga Agung Sedayu tidak akan terpengaruh dengan racun Gundala Wereng karena di dalam darahnya sudah mengalir penawar racun yang didapatkannya dengan cara aneh. Memang racun itu akan meninggalkan bekas menghitam pada lukanya. Semakin lama noda hitam itu akan meluas, namun pada saat tertentu warna hitam itu akan berhenti dengan sendirinya karena pengaruh penawar racun yang ada di dalam darahnya.”
Sejenak kekecewaan tampak tersirat di raut wajah cantik Anjani. Betapa air mata itu hampir saja tumpah kalau saja wajah itu tidak cepat-cepat menengadah agar air mata itu tidak jatuh berderai derai.
“Mengapa Kau justru bersedih, Anjani?” Resi yang waskita itu berkata masih dengan memejamkan matanya, “Seharusnya Kau bergembira mendengar berita ini.”
“Ma’afkan aku Eyang Resi,” suara itu terdengar lirih menahan sedu sedan yang tak kuasa lagi dipertahankan oleh Anjani. Air matanya pun tumpah ruah membasahi kedua pipinya yang putih kemerah-merahan bagaikan buah yang sedang ranum-ranumnya.
Sambil menahan isaknya, katanya kemudian, “Apakah ini berarti harapanku akan sia-sia saja untuk menunggu Ki Rangga Agung Sedayu mengunjungi Kendalisada?”
Wajah sepuh Resi Mayangkara itu tampak sedang menahan gejolak kesedihan yang tiada taranya. Katanya kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam, “Tidak selayaknya Kau mencintai seseorang yang sudah beristri, Anjani. Cobalah mempertimbang-kan kembali angan anganmu itu. Semoga Kau dapat mengendalikan gelora hatimu yang terombang-ambing tak menentu.”
“Eyang Resi,” berkata Anjani diantara kesibukannya menyeka air mata dengan kedua tangannya, “Aku tidak mengharapkan Ki Rangga Agung Sedayu membalas cintaku. Aku sadar sesadar sadarnya, Ki Rangga adalah laki-laki sejati yang hanya mempunyai satu hati. Namun yang ingin kulakukan adalah pengabdianku kepada keluarga Ki Rangga. Entah mereka akan menganggapku sebagai apa. Yang terpenting bagiku adalah pelabuhan terakhir bagi biduk hatiku yang selama ini terombang-ambing oleh ganasnya ombak samudra kehidupan ini.”
Suasana sejenak menjadi sepi. Matahari mulai menampakkan sinarnya di puncak bukit Kendalisada. Burung-burung mulai berloncatan di dahan-dahan. Beberapa lainnya berterbangan berputar putar sambil mengintai bilalang-bilalang yang masih bersembunyi di bawah batang batang-rumput dan bunga-bunga hutan.
“Anjani,” akhirnya Resi yang lebih senang menyepi di gunung Kendalisada itu berkata perlahan lahan, “Kau mempunyai banyak pilihan untuk masa depanmu dan yang menentukan itu adalah dirimu sendiri. Orang lain hanyalah sebatas memberikan pandangan dan gambaran. Namun yang akan menjalani kehidupanmu adalah dirimu sendiri, bukan orang lain.”
Anjani masih terisak isak. Dicobanya untuk menghentikan tangisnya dengan menarik nafas dalam-dalam berulang kali agar rongga dadanya menjadi longgar. Setelah agak tenang dan nafasnya tidak tersengal-sengal lagi, dengan suara yang sangat lirih hampir tak terdengar Anjani berkata, “Eyang Resi, ijinkanlah aku untuk meninggalkan gunung Kendalisada.”
Wajah yang sangat sepuh itu terkejut. Sambil membuka kedua matanya, terdengar suaranya yang berat dan dalam bergulung gulung memenuhi ruangan itu, “Anjani, tahukah Kau? Mengapa aku membawamu ke Gunung Kendalisada ini? Aku tidak ingin melihat dirimu terlibat semakin jauh dengan urusan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Aku ingin Kau menggunakan waktumu sebaik baiknya selama tinggal di sini untuk merenung dan menemukan jati dirimu kembali.”
Anjani menggigit bibirnya agar air matanya tidak jatuh lagi. Sambil menguatkan hatinya, akhirnya kata katanya pun meluncur bagaikan air bah yang turun dari arah puncak dan menerjang lereng perbukitan menuju ke lembah dan ngarai, “Eyang Resi, aku sudah membulatkan tekatku untuk menentukan sendiri masa depanku. Aku tahu, Ki Rangga Agung Sedayu sangat berat hatinya untuk menepati janjinya membawaku ke Menoreh. Aku tidak akan menuntut lagi kepada Ki Rangga. Aku akan ikhlas menjalani hidupku sendiri apa adanya. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku bebas menentukan jalan hidupku sebagaimana kebebasan seekor burung yang terbang di udara. Terima kasih atas segala pertolongan Eyang Resi kepadaku selama ini. Aku belum mampu membalasnya sekarang ini. Tapi aku berjanji, akan selalu kuingat budi baik Eyang Resi.”
Sampai disini Anjani sudah tidak kuat lagi menahan gelora di dalam dadanya. Tangisnya pun segera pecah dan air matanya pun tumpah ruah membasahi wajahnya. Dia tidak lagi menahan tangisnya. Anjani benar-benar menangis sejadi-jadinya, seolah olah ingin ditumpahkan segala macam keluh kesahnya selama ini melalui tangisnya itu.
Resi Mayangkara hanya diam termangu. Dibiarkannya Anjani menangis sampai puas, karena hanya itulah sementara ini yang dapat mengurangi beban di hati Anjani.
Ketika kemudian tangis Anjani mulai mereda, Resi Mayangkara pun berkata sareh, “Anjani, aku ijinkan Kau meninggalkan gunung Kendalisada. Namun ada dua syarat yang harus Kau penuhi sebelum meninggalkan tempat ini.”
Anjani yang sudah mulai mampu menguasai perasaannya itu sejenak menatap wajah sepuh di hadapannya dengan mata yang sembab. Sambil mengusap sisa-sisa air mata yang masih ada di pipinya, dia pun berkata, “Syarat apakah itu, Eyang Resi? Semoga aku mampu melaksanakannya.”
Resi Mayangkara menarik nafas dalam-dalam sambil memandang titik-titik di kejauhan. Kemudian katanya sambil memandang Anjani lekat-lekat, “Syarat yang pertama yaitu, Kau harus jujur kepadaku, kemana Kau akan pergi?”
Anjani mengerutkan keningnya. Hatinya agak sedikit tersinggung mendengar syarat pertama yang diajukan oleh Resi Mayangkara. Bukankah dirinya bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri? Mengapa dia harus memberi tahukan tujuan perjalanannya kepada Resi yang aneh ini?
Namun setelah menimbang nimbang beberapa saat, akhirnya Anjani memutuskan untuk berterus terang, “Eyang Resi, aku akan ke Menoreh. Tapi percayalah, aku tidak akan mengganggu keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Justru aku akan memberitahukan kepadanya bahwa aku telah mencabut tuntutanku. Ki Rangga tidak punya lagi kewajiban untuk memenuhi janjinya.”
Resi Mayangkara mengangguk anggukkan kepalanya, katanya kemudian, “Syukurlah, Anjani. Kalau memang Kau sudah memutuskan seperti itu. Semoga tidak ada lagi beban di hati kalian berdua.”
“Ya, Eyang,” jawab Anjani sambil membetulkan letak duduknya.
“Syarat yang kedua,” Resi Mayangkara berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Aku tidak mengijinkan Kau berangkat hari ini, Kau baru boleh meninggalkan gunung Kendalisada empat atau lima hari lagi.”
Wajah cantik yang tampak semakin mempesona sehabis menangis itu menengadah, sepasang mata yang berbinar namun terlihat sembab itu menatap Resi Mayangkara dengan penuh tanda tanya. Akhirnya bibir mungil yang memerah muda itu bergetar mengajukan sebuah pertanyaan, “Mengapa Eyang? Mengapa aku tidak diperkenankan meninggalkan gunung Kendalisada hari ini juga?”
Resi Mayangkara menggeleng lemah sambil berkata, “Ketahuilah Anjani. Di Menoreh sekarang ini sedang berkumpul perguruan-perguruan dari seluruh penjuru tanah ini. Akan sangat berbahaya bagimu untuk memasuki Menoreh tanpa bekal yang cukup. Selama empat sampai lima hari ini aku akan menurunkan sebuah Aji kepadamu. Namun untuk menguasai Aji ini diperlukan kesungguhan hati dan tekad yang luar biasa selain kesiapan lahir yang memang menjadi syarat utama karena Kau harus melakukan tapa kungkum selama tiga hari tiga malam sekaligus pati geni.”
Anjani tertegun sejenak. Ada rona kegembiraan yang terpancar dari wajahnya namun sekaligus juga keragu-raguan yang tersirat dari sorot matanya.
“Eyang Resi,” katanya kemudian, “Aku sangat bersyukur akan mendapatkan tuntunan sebuah Aji dari Eyang Resi. Namun demikian syarat itu ternyata sangat berat. Apakah aku akan mampu melaksanakannya?”
Resi Mayangkara tersenyum, katanya kemudian dengan sareh, “Anjani, berhasil atau tidaknya Kau melaksanakan laku untuk menguasai Aji itu tergantung besarnya tekadmu yang membara dalam dadamu. Kalau sebelum melangkah Kau sudah ketakutan dan merasa lemah, disitulah letak kegagalanmu.”
Anjani menarik nafas dalam-dalam. Sambil membetulkan kain panjangnya dia bertanya, “Eyang Resi, kalau aku boleh tahu, apakah nama Aji itu.”
Resi Mayangkara menatap dalam-dalam mata Anjani. Seolah olah ingin dijenguknya isi hatinya. Namun akhirnya dia berkata, “Sebenarnya nama itu tidak penting, namun agar nama itu dapat menimbulkan kebanggaan dan memberikan pengaruh kepercayaan diri yang tinggi, Aji itu kuberi nama Aji Mundri.”
“Aji Mundri,” hampir berteriak Anjani mengulang nama itu dengan suka cita. “Terima kasih Eyang Resi,” dengan cepat ditubruknya tangan kanan Resi Mayangkara itu dan dengan takdzimnya berkali kali diciumnya.
“Sudahlah Anjani,” dengan sareh Resi Mayangkara melepaskan tangannya dari genggaman Anjani, “Sebelum tengah hari, Kau harus bersiap siap untuk menjalani laku tapa kungkum dan sekaligus pati geni selama tiga hari tiga malam. Di belakang pondok ini ada sebuah goa kecil yang lorongnya cukup panjang dan berliku. Di dalamnya terdapat sebuah sendang kecil yang tidak terlalu dalam, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kau dapat melakukan tapa dengan duduk berendam dalam sendang itu. Namun satu hal lagi yang harus Kau ketahui, Kau melakukan tapa kungkum ini dengan cara berendam harus dalam keadaan telanjang, tidak boleh ada selembar kain pun yang akan jadi penghalang antara dirimu dengan air sendang.”
Diam-diam Anjani merasa merinding. Bagaimana pun juga, berendam dalam keadaan telanjang bulat membuat bulu kuduknya berdiri.
Agaknya Resi Mayangkara mengetahui apa yang sedang dalam pikiran Anjani, maka katanya kemudian, “Jangan kuatir, yang ada dalam sendang itu nantinya hanya dirimu dan nafsumu. Kau harus bisa mengendalikan nafsumu agar dapat memohon dengan hati bersih kepada Yang Maha Agung. Selama tiga hari tiga malam itu Kau tidak diperbolehkan makan makanan kecuali minum air sendang. Setelah lewat tiga hari tiga malam aku akan menjemputmu.”
Anjani mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Eyang Resi, apakah yang harus aku persiapkan menjelang laku itu?”
“Mulai tengah hari nanti, Kau tidak boleh makan makanan seperti biasanya. Aku akan menyiapkan sejenis empon-empon dan umbi-umbian untuk makan siang dan sore. Menjelang tengah malam, Kau harus mandi keramas dengan landa merang dan memakai sinjang pethak sebelum memasuki goa. Aku akan mengantarkanmu sampai ke sendang. Setelah itu aku akan meninggalkanmu dan baru akan menjemputmu setelah tiga hari tiga malam kemudian.”
“Apakah yang harus aku kerjakan dalam sendang selama tiga hari tiga malam itu, Eyang?”
“Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Kau harus bisa mengendapkan nafsumu dan memohon dengan hati yang bersih kepada Yang Maha Agung.”
Anjani menundukkan wajahnya, seolah olah sedang menghitung anyaman tikar pandan yang didudukinya. Sejenak kemudian dia mengangkat wajahnya sambil berdesis perlahan, “Petunjuk dan bimbingan Eyang Resi sangat aku harapkan dalam menjalani laku ini.”
Resi Mayangkara tersenyum sambil mengangguk, “Percayalah Anjani, tapa kungkum dan sekaligus pati geni selama tiga hari tiga malam ini hanya sebagai upaya untuk mendapatkan anugrah dari Yang Maha Agung. Selanjutnya masih ada satu hari lagi yang akan aku gunakan untuk menuntunmu bagaimana cara mengungkapkan tenaga cadangan dalam dirimu dalam ujud sebuah Aji, yaitu Aji Mundri.”
Anjani hanya menundukkan wajahnya saja.
“Nah,” berkata Resi Mayangkara selanjutnya, “Masih ada waktu beberapa saat sebelum menjelang tengah hari. Kau dapat beristirahat di bilikmu, sementara aku akan mempersiapkan segala macam uba rampe untuk keperluanmu menjalani laku.”
Demikianlah Anjani segera mengundurkan diri menuju ke sebuah pondok kecil yang terletak agak jauh dari pondok Resi Mayangkara. Selama dalam perjalanan menuju ke pondoknya, bermacam angan-angan silih berganti menghiasi benaknya.
Dalam pada itu perjalanan rombongan dari Sangkal Putung telah mencapai regol padepokan Jati Anom dengan selamat. Seorang Cantrik yang kebetulan sedang melintas di halaman padepokan melihat rombongan itu memasuki regol padepokan tanpa turun dari kuda-kuda mereka.
Sejenak Cantrik itu ragu-ragu, namun begitu terpandang olehnya wajah yang sangat dikenalnya, cantrik itu segera berlari menyongsong rombongan yang telah sampai dan berhenti di depan pendapa.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” hampir berteriak Cantrik itu menyongsong Ki Rangga yang telah meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh anggota rombongan yang lain kecuali Swandaru.
Cantrik yang sudah berada di depan Ki Rangga Agung Sedayu itu sejenak mengerutkan keningnya begitu melihat Swandaru harus dibantu oleh dua orang pengawal untuk turun dari kudanya.
“Dimanakah Paman Widura?” pertanyaan Ki Rangga Agung Sedayu telah menyadarkan Cantrik itu.
“O, Ki Widura sedang ada di belakang padepokan memimpin para Cantrik pembersihan,” jawab Cantrik itu cepat, kemudian, “Silahkan, silahkan naik ke pendapa, aku akan memberi tahu Ki Widura.”
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu adalah juga penghuni padepokan itu semasa gurunya Kiai Gringsing masih hidup. Namun kini yang dipercaya untuk memimpin padepokan itu adalah pamannya, Ki Widura. Sehingga apapun sebenarnya yang telah terjadi, Ki Rangga Agung Sedayu merasa seolah olah telah menjadi tamu di rumahnya sendiri.
“Salahku sendiri,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati, “Kesibukanku telah menyita waktuku untuk mengunjungi padepokan ini, sehingga rasa rasanya aku menjadi asing dengan padepokanku sendiri.”
Ketika kemudian rombongan itu telah duduk melingkar di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa, pintu pringgitan terdengar berderit cukup keras karena didorong dengan tergesa-gesa.
“Selamat datang, selamat datang,” berkata seseorang yang sudah tua dimakan umur dengan rambut yang sudah memutih semua sambil melangkah keluar dari dalam pringgitan.
“Ki Widura,” hampir setiap bibir menyebut nama itu.
Ki Widura tersenyum. Disalaminya terlebih dahulu para tamunya itu satu persatu sebelum mengambil tempat duduk di depan para tamunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berkata, “Aku tidak mengira kalau hari ini akan kedatangan tamu sebanyak ini di padepokan. Kalau aku tahu, tentu pagi tadi aku sudah menyuruh para cantrik untuk menyembelih beberapa ekor ayam.”
“Sekarang pun belum terlambat,” tiba-tiba Swandaru menyeletuk, “Bukankah masih ada makan sore?”
“Ah,” yang mendengar kata-kata Swandaru itu pun tertawa, bahkan Pandan Wangi yang sedang prihatin terhadap keadaan suaminya itu tidak mampu menahan senyumnya.
“Baiklah,” berkata Ki Widura kemudian, “Namun persediaan ayam kami sangat terbatas. Aku takut kalau dalam beberapa hari ke depan tidak bisa menyuguhkan ayam panggang khusus kegemaran Ki Swandaru.”
“Aku dengar di padepokan ini juga memelihara kambing,” sela Swandaru yang disambut tawa yang mendengarnya.
“Kambing itu dipelihara tidak untuk disembelih,” Ki Rangga Agung Sedayu lah yang menjawab, “Kambing-kambing itu dipelihara untuk diternakkan agar suatu saat dapat dijual dan hasil penjualannya untuk membeli beberapa keperluan padepokan.”
“Dan salah satunya adalah untuk membeli ayam,” sahut Swandaru yang kembali disambut gelak tawa orang-orang yang ada di sekitarnya.
Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat menggeleng gelengkan kepalanya menghadapi kelakar adik seperguruannya itu. Sementara Pandan Wangi yang duduk di sebelah suaminya mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ingatannya kembali ke masa-masa mudanya, ketika berkenalan dengan dua orang anak muda yang mengaku kakak beradik bernama Gupita dan Gupala.
“Sudahlah,” akhirnya Ki Widura menengahi dan mencoba mengalihkan pokok pembicaraan, “Bukankah kalian dalam keadaan sehat semua?”
“Ya, Ki Widura,” Pandan Wangi lah yang menyahut, “Sebaliknya bagaimana dengan keadaan keluarga di Padepokan dan yang di Banyu Asri?”
“Alhamdulillah, semua dalam keadaan sehat,” jawab Ki Widura sambil tersenyum cerah.
“Nah, Paman,” berkata Ki Rangga kemudian, “Ijinkanlah kami beristirahat, terutama Adi Swandaru memerlukan waktu yang cukup untuk memulihkan kesehatannya.”
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Dia sudah mendengar tentang keadaan Swandaru. Untuk itulah dia tidak banyak bertanya agar tidak semakin membuat Pandan Wangi bersedih.
“Sedayu,” berkata Ki Widura kemudian, “Bilikmu sampai sekarang masih dirawat oleh para cantrik. Tidak ada seorang cantrik pun yang berani menempati. Mereka masih mempunyai pengharapan bahwa suatu saat Kau pasti menempati bilik itu kembali.”
“Ah,” Ki Rangga Agung Sedayu berdesah. Ada semacam kegelisahan yang melingkupi hatinya sejalan dengan nasehat seorang Wali yang waskita yang telah bertemu dengannya ketika di Panaraga.
“Sementara anakmas Swandaru dan Pandan Wangi dapat menempati bilik Kiai Gringsing,” Ki Widura berhenti sejenak, lalu, ”Bilik itu pun selalu dalam keadaan bersih. Semoga kalian betah tinggal di padepokan yang sepi ini.”
“Terima kasih, Paman,” Swandaru menyahut, “Keadaan yang sepi ini akan aku gunakan sebaik-baiknya untuk merenung dan mengembalikan jati diriku sebagai murid orang bercambuk.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Widura saling berpandangan. Mereka merasakan kesungguhan dalam kata-kata yang diucapkan oleh Swandaru.
“Baiklah,” berkata Ki Widura sambil mengedarkan pandangan matanya, “Selepas tengah hari nanti kita makan siang bersama di ruang dalam. Sebelumnya aku mewakili tuan rumah harus mohon ma’af kepada Anakmas Swandaru jikalau apa yang kami hidangkan nanti kurang memenuhi selera.”
“Ah,” desis Swandaru, “Bukan suatu masalah yang penting. Aku sudah terbiasa makan seadanya. Sewaktu guru masih hidup, guru sering mengajak aku dan kakang Agung Sedayu berpetualang, bahkan sampai jauh ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Selesai berkata demikian tanpa sadar Swandaru berpaling ke arah Pandan Wangi. Segera saja anak perempuan satu-satu Ki Gede Menoreh itu tertunduk dengan wajah kemerah-merahan.
Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata Swandaru. Baginya kenangan berpetualang ke perbukitan Menoreh dan perkenalannya dengan gadis Menoreh itu telah menggoreskan sebuah kenangan tersendiri di dalam hatinya.
“Marilah,” berkata Ki Widura kemudian, “Silahkan beristirahat sejenak. Aku akan menengok kerja para cantrik yang sedang membersihkan halaman belakang. Mungkin masih perlu pembenahan sedikit.”
Selesai berkata demikian Ki Widura pun segera bangkit berdiri diikuti oleh yang lainnya. Sedangkan Swandaru dengan dibantu oleh dua orang pengawal yang memapahnya dengan hati-hati setapak demi setapak berjalan menuju ke ruang dalam.
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang dalam penyamaran berusaha memasuki Tanah Perdikan Menoreh tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka berdua sudah mendekati Kali Praga. Tinggal dua atau tiga padukuhan kecil lagi yang akan mereka lalui sebelum mencapai bulak panjang yang menghubungkan padukuhan kecil itu dengan tepian Kali Praga.
Namun ketika menjelang tengah hari mereka telah mencapai tepian Kali Praga, alangkah terkejutnya sepasang suami istri itu. Di tepian itu ternyata telah menunggu orang-orang yang akan menyeberang. Mereka bergerombol sambil duduk-duduk di pasir yang lembab. Sebagian lagi bediri sambil bercakap-cakap di sebelah tebing-tebing yang menjorok. Sementara itu empat buah rakit yang digunakan oleh para tukang satang tampak sudah penuh dengan penumpang dan perlahan-lahan bergerak meninggalkan tepian menuju ke tengah Kali Praga yang airnya tidak begitu dalam karena musim kemarau.
Kedatangan sepasang suami istri itu ternyata telah menarik perhatian. Beberapa pasang mata telah memandangi mereka tanpa berkedip. Seorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis dan jambang yang lebat melangkah mendekati tempat Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri.
“Kakek tua,” geram orang yang tinggi besar itu, “Menyingkirlah dari tepian ini. Tidak ada tempat bagi kalian untuk menyeberang. Kami saja yang sudah menunggu sejak pagi tadi belum mendapat giliran menyeberang.”
“Kami akan menunggu,” berkata Glagah Putih dengan suara menggigil.
“He!” bentak orang tinggi besar itu, “Apakah telingamu tuli. Aku menyuruhmu pergi, bukan menunggu.”
“Tapi..tapi bagaimana kami menyeberang?”
“Apa peduliku.!” Kembali terdengar bentakan kasar, “Kalian mau berenang, apa mau menyelam itu bukan urusanku. Yang jelas penyeberangan ini memang sudah dipersiapkan untuk kami, bukan untuk kalian.” Orang tinggi besar itu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Nah, sekarang pergilah. Jangan membuat aku marah. Kalau aku sudah marah, aku tidak peduli lagi, walaupun kalian berdua pantas menjadi kakek dan nenekku, aku akan tetap memluntir kepala kalian sampai putus.”
Glagah putih harus menekan ibu jari Rara Wulan dan setengah menyeretnya untuk menjauhi tempat itu. Kelihatannya Rara Wulan telah terpancing kemarahannya melihat kesombongan orang tinggi besar itu. Namun Glagah Putih segera menyadari, kalau dibiarkan saja, mereka berdua akan mendapat kesulitan.
Ketika mereka berdua telah jauh meninggalkan tepian, tiba-tiba Glagah Putih berbelok ke kiri.
“Kakang,” berkata Rara Wulan, “Akan kemanakah kita?”
“Rara,” jawab Glagah Putih, “Kita naik ke tebing sebelah utara yang ditumbuhi pohon dan gerumbul-gerumbul perdu. Aku curiga dengan keberadaan orang-orang itu. Mereka tentu ada hubungannya dengan perguruan-perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra.”
Rara Wulan tidak menyahut. Dengan berlari-lari kecil disusulnya Glagah Putih yang sudah mulai memanjat tebing.
Ketika kemudian mereka berdua telah menyusup diantara gerumbul-gerumbul liar dan pohon-pohon perdu yang bertebaran di atas tebing, keduanya segera mencari tempat yang cukup terlindung namun masih bisa mengawasi gerak-gerik orang-orang yang berada di bawah tebing di tepian Kali Praga.
Beberapa saat kemudian, empat buah rakit itu sudah kembali meluncur ke tepian sebelah timur. Beberapa orang yang sedang menunggu menyeberang itupun kemudian setengah berebut naik ke atas rakit.
Orang tinggi besar yang berjambang dan berkumis lebat itu tampak mendorong kesamping seseorang yang ada di depannya yang sudah menginjakkan salah satu kakinya di rakit. Sejenak orang itu terhuyung-huyung kesamping sebelum akhirnya tercebur ke dalam air Kali Praga yang berwarna keruh kecoklatan.
“He..!” seseorang yang memakai gelang akar bahar di tangan kanannya dan berdiri di dekat rakit membentak orang tinggi besar itu, “Apa maksudmu Ki sanak?”
Orang tinggi besar itu justru tertawa tergelak, “Panembahan Cahya Warastra tidak butuh orang-orang yang lemah, baru mendapat dorongan sedikit saja sudah terpelanting jatuh, apalagi menghadapi para prajurit Mataram yang tangguh tanggon.”
Selesai berkata demikian, orang tinggi besar itu menunjuk orang yang telah didorongnya sehingga jatuh ke sungai itu yang tampak sedang berusaha naik ke tepian dibantu oleh para tukang satang.
“Tutup mulutmu,” bentak orang yang jatuh ke sungai itu begitu dia berdiri di tepian. Sambil berjalan tertatih tatih dengan tubuh yang basah kuyup, dia berteriak sekeras kerasnya, “Pengecut! Aku tantang kau berperang tanding sampai mati.”
Orang tinggi besar itu membelalakkan matanya. Sambil menggeram keras dia maju menyambut tantangan orang yang didorongnya itu, “Marilah. Kau sudah bosan hidup rupanya. Sudah beberapa hari ini aku tidak membunuh orang. Aku paling senang membunuh orang dengan cara memluntir kepalanya sampai putus.”
“Persetan,” umpat orang yang jatuh ke sungai itu, “Jangan hanya bermulut besar. Aku pun terbiasa membunuh orang dengan caraku sendiri. Aku biarkan lawan lawanku kehabisan nafas dulu, baru kemudian dengan mudah akan kucukil kedua matanya, kemudian aku potong-potong tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil untuk makanan anjing-anjing liar.”
“Omong kosong..!” kembali orang tinggi besar itu membentak, “Mari kita buktikan segala omong kosong ini! Aku sudah muak melihatmu masih berdiri di depanku.”
“Aku juga muak melihat tubuh tambunmu itu!” teriak orang yang jatuh ke sungai itu tak kalah kerasnya, “Semua orang yang ada di tepian ini menjadi saksi, siapa yang akan tetap berdiri di atas kedua kakinya.”
“Aku tidak mau menjadi saksi!” tiba-tiba terdengar teriakan dari arah sungai.
Segera saja semua mata tertuju ke arah orang yang berteriak itu. Seorang yang bertubuh kekar dengan gelang akar bahar di tangan kanannya tampak sedang berdiri di sebelah rakit. Dengan langkah yang tenang orang itu pun kemudian melangkah mendekati kedua orang yang sudah siap mengadu nyawa itu.
Setelah berdiri di antara ke dua orang yang sedang berseteru itu, orang yang memakai gelang akar bahar di tangan kanannya itupun kemudian berkata, “Atas nama Panembahan Cahya Warastra, aku minta kalian berdua menghentikan segala kebodohan ini. Kalian diundang oleh Panembahan Cahya Warastra bukan untuk saling berselisih, tapi untuk bekerja sama membangun masa depan negeri ini yang lebih baik.”
“Aku tidak peduli!” teriak orang yang jatuh ke sungai itu, “Bagiku ini adalah sebuah penghinaan yang harus di tebus dengan nyawa, kecuali dia mau bersujud di hadapanku dan meminta ma’af.”
“Persetan!” bentak orang tinggi besar itu. Kemudian katanya kepada orang yang memakai gelang akar bahar itu, “Minggirlah! Biar aku pluntir kepala orang yang sombong itu.”
“Tidak..!” tiba-tiba orang yang memakai gelang akar bahar itu membentak menggelegar, “Aku adalah utusan Panembahan Cahya Warastra. Barang siapa yang menentang keputusanku, sama artinya dengan menentang Panembahan Cahya Warastra sendiri, dan hukumannya sudah pasti, hukuman mati!”
“Aku tidak peduli!” teriak orang tinggi besar itu sambil bertolak pinggang, “Suruh Panembahan Cahya Warastra itu datang kesini. Aku akan mengajarinya sopan santun sedikit agar tidak seenaknya sendiri membuat peraturan.”
Belum sempat orang tinggi besar itu menutup mulutnya, entah dari mana datangnya, sebuah anak panah berbedor putih melesat menghunjam dadanya menembus jantung.
Sejenak orang-orang yang ada di tepian itu bagaikan membeku. Orang tinggi besar itu tidak sempat berteriak. Nyawanya putus bersamaan dengan jantungnya yang pecah tertembus anak panah berbedor putih. Tubuh yang tinggi besar itu pun akhirnya jatuh terlentang tak bergerak di pasir tepian yang basah.
Beberapa orang mencoba memandang berkeliling untuk mencari arah dari mana anak panah itu berasal, namun sampai sejauh itu, mereka tidak dapat mengira ngira dari arah mana anak panah berbedor putih itu meluncur. Seakan akan anak panah itu muncul begitu saja dan langsung menghunjam dada orang tinggi besar itu.
“Nah,” orang bergelang akar bahar yang ternyata adalah kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu berkata lantang memecah kebisuan, “Siapa lagi yang mencoba menentang Panembahan Cahya Warastra?” dia berhenti sejenak sambil memandang orang yang tercebur ke sungai itu. Tampak orang itu berdiri membeku dengan wajah pucat pasi bagaikan tak berdarah. Katanya kemudian, “Jadikanlah ini sebagai pelajaran. Panembahan Cahya Warastra tidak pernah main-main dengan peraturannya.”
Selesai berkata demikian, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu mendekati orang tinggi besar yang sudah terbujur menjadi mayat. Dengan sekali sentak, tubuh yang tinggi besar itu pun sudah dipanggulnya untuk kemudian dibawa ke tepian dan dilemparkan begitu saja ke sungai yang airnya berwarna keruh kecoklatan.
Orang-orang yang ada di sekitarnya hampir tidak percaya bagaimana orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu memperlakukan jasad orang tinggi besar itu. Benar-benar diluar peri kemanusiaan. Seakan akan yang diperlakukan itu tak lebih dari bangkai binatang yang tak berharga.
Setelah selesai melemparkan jasad orang tinggi besar itu, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu pun segera berteriak lantang, “Nah, Ki Sanak semuanya. Silahkan naik ke rakit dan menuju ke Menoreh. Di sana telah menunggu saudara-saudara kita yang telah tiba terlebih dahulu untuk bersama-sama memperjuangkan nasib tanah ini di masa depan. Terima kasih.”
Orang-orang yang berkerumun itu pun segera bergegas menaiki rakit masing-masing dengan tertib. Sejenak kemudian rakit-rakit itu pun telah meninggalkan tepian meluncur diantara keruhnya air Kali Praga.
Setelah rombongan rakit-rakit itu telah semakin jauh meninggalkan tepian, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu perlahan lahan melangkah meninggalkan tepian. Sejenak dia berdiri termangu mangu di dekat tebing sungai yang menjorok. Sepertinya ada yang sedang ditunggunya.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi memperhatikan kejadian di bawah tebing itu menjadi tegang. Panggraita mereka menangkap sesuatu yang tidak wajar. Orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu menurut tanggapan mereka memang sepertinya sedang menunggu seseorang.
Untuk beberapa saat tidak ada kejadian apa-apa. Namun Rara Wulan hampir menjerit ngeri ketika tiba-tiba saja bagaikan muncul dari dalam tanah, seseorang telah berdiri di depan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu hanya beberapa langkah saja. Di punggungnya tampak sebuah endong yang berisi puluhan anak panah berbedor putih, sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah busur yang juga berwarna putih.
“Paman Bango Lamatan,” desis orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sambil melangkah mendekat.
Orang yang dipanggil Bango Lamatan itu tersenyum. Katanya kemudian, “Tambak Ganggeng, Kau terlalu ceroboh. Mengapa Kau biarkan saja ada orang-orang yang tidak berkepentingan ikut mengintip kegiatan kita?”
Sejenak orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra yang bernama Tambak Ganggeng itu diam membeku. Diedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut tepian Kali Praga, namun dia tidak menemukan hal yang mencurigakan.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang bersembunyi di atas tebing menjadi berdebar debar. Mereka pernah mengalami hal yang sama ketika berada di Panaraga. Seorang Wali yang waskita telah datang menemui Ki Rangga Agung Sedayu dengan cara yang khusus, mampu menghindarkan dirinya dari penglihatan mereka.
Kini mereka berdua sadar, bagaimana mungkin anak panah berbedor putih itu seolah olah muncul begitu saja dan menembus jantung orang tinggi besar itu. Agaknya orang yang bernama Bango Lamatan itulah yang telah melepaskan anak panah dengan menggunakan Aji Panglimunan sehingga keberadaannya tidak dapat ditangkap oleh mata wadag.
Sejenak Bango Lamatan masih berdiam diri. Ketika kemudian Tambak Ganggeng hanya menggeleng lemah sebagai isyarat dirinya tidak mampu mengetahui keberadaan orang-orang yang dimaksud oleh Bango Lamatan, orang kedua setelah Panembahan Cahya Warastra itu tiba-tiba menghadap ke arah tebing di mana Glagah Putih dan Rara Wulan bersembunyi. Seleret cahaya menyilaukan tiba-tiba meluncur dari tangan kanan Bango Lamatan yang diangkat tinggi-tinggi menghantam tebing tempat Glagah Putih dan Rara Wulan bersembunyi.
Bagaikan disambar petir, tebing itu pun meledak dan tempat di mana sepasang suami istri itu bersembunyi telah runtuh dan menimbulkan suara yang bergemuruh ketika bebatuan dan tanah yang berhamburan bercampur dengan semak belukar meluncur turun dari lereng tebing.
Bango Lamatan tertegun sejenak. dia hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Yang meluncur turun dari tebing hanyalah bebatuan bercampur tanah dan semak belukar yang tercerabut dari akarnya, tidak ada seorang pun yang menjadi korban akibat dari lontaran ilmunya.
“Gila,” geram Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata ada juga orang yang mampu menghindar dari lontaran ilmuku.”
Tambak Ganggeng yang berdiri beberapa langkah saja di belakangnya menjadi berdebar debar. Sebuah pameran ilmu yang nggegirisi. Dia semakin yakin mengapa Panembahan Cahya Warastra mengangkat Bango Lamatan sebagai orang kedua dalam jajaran perguruan Cahya Warastra walaupun Bango Lamatan bukan murid yang sebenarnya dari perguruan itu. Selain Aji Panglimunan yang dimilikinya, ternyata Bango Lamatan masih menyimpan ilmu-ilmu lain yang sangat dahsyat.
“Marilah,” berkata Bango Lamatan akhirnya sambil melangkah menuju ke tempat rakit-rakit yang telah kembali menepi di sisi timur Kali Praga, “Mungkin pengamatanku salah, tidak ada seorang pun yang mengawasi kegiatan kita.”
Tambak Ganggeng yang berjalan mengikuti di belakangnya hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Terlintas di kepalanya, kalau orang kedua di perguruan Cahya Warastra saja sudah demikian sakti, bagaimana dengan Panembahan Cahya Warastra itu sendiri.
“Selama aku menjadi pengikut perguruan Cahya Warastra, aku belum pernah bertemu sendiri dengan Panembahan yang aneh itu. Hanya paman Bango Lamatan ini yang selalu menjadi perantara. Mungkin benar cerita yang berkembang di antara murid-murid perguruan Cahya Warastra bahwa Panembahan itu sudah mampu menghindarkan dirinya dari sakit dan kematian,” berkata Tambak Ganggeng dalam hati.
Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tanpa sepengetahuan Bango Lamatan telah mampu menghindar dari terjangan ilmunya dengan cara meluncur turun dari sisi tebing yang lain. Dengan kemampuan ilmu yang mereka miliki, mereka berhasil menghindarkan diri dari terjangan ilmu yang nggegirisi itu.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan memutuskan untuk sekali lagi melihat keadaan di tepian Kali Praga. Dengan sangat hati-hati mereka berusaha menyerap segala bunyi yang ditimbulkan oleh gerakan mereka. Ketika keduanya telah sampai di atas tebing, ternyata tepian itu sudah sepi. Hanya ada tiga rakit yang tertambat di tepian menunggu penumpang, sedangkan rakit yang satunya telah digunakan oleh Bango Lamatan dan Tambak Ganggeng untuk menyeberang ke Menoreh.
“Bagaimana pendapatmu Rara?” berkata Glagah Putih akhirnya sambil duduk bersandar pada sebatang pohon yang tumbuh di atas tebing.
Rara Wulan pun kemudian duduk berselonjoran sambil matanya tetap mengawasi di bawah tebing. Jawabnya kemudian, “Sebaiknya kita menyeberang setelah gelap Kakang. Aku yakin orang yang bernama Tambak Ganggeng itu akan kembali ke tepian untuk menjemput perguruan-perguruan yang lain yang akan menyeberang.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya air Kali Praga yang keruh kecoklat coklatan. Tampak rakit yang membawa Bango Lamatan dan Tambak Ganggeng itu sudah bergerak kembali menuju ke sisi timur Kali Praga. Sementara tukang-tukang satang yang rakit rakitnya ditambatkan di tepian sebelah timur Kali Praga duduk-duduk saja di atas rakit sambil terkantuk kantuk.
“Aku tidak yakin kalau tukang-tukang satang itu adalah tukang-tukang satang yang sebenarnya. Bisa saja mereka adalah orang-orang Panembahan Cahya Warastra,” desis Glagah Putih tiba-tiba tanpa sadar.
Rara Wulan yang mendengar desis Glagah Putih itu berpaling. Tampak kerut merut di keningnya. Kemudian sahutnya, “Mungkin saja kakang. Tapi di mana tukang-tukang satang yang sebenarnya?”
Glagah Putih menggeleng lemah, “Aku tidak tahu,” dia berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Ternyata memasuki Tanah Perdikan Menoreh sangat sulit. Aku yakin Panembahan Cahya Warastra telah menyebar telik sandinya di mana-mana.”
“Tetapi menurut Ki Patih Mandaraka, Mataram juga telah mengirim prajurit-prajurit sandinya ke Menoreh,” berkata Rara Wulan.
“Kau benar Wulan,” sahut Glagah Putih, “Memang Mataram telah menyebarkan para prajurit sandinya untuk memantau gerakan Panembahan Cahya Warastra ini. Namun aku yakin, sasaran utama Panembahan Cahya Warastra ini bukan Menoreh, tapi Mataram.”
“Tapi mengapa perguruan-perguruan yang diundang itu berkumpul di Menoreh?”
“Karena tempat yang terdekat dan terlemah menurut Panembahan itu adalah Menoreh. Ini menurut penalaranku,” Glagah Putih berhenti sejenak, lalu, “Menoreh hanya dijadikan tempat menyusun kekuatan untuk menggempur Mataram yang sedang kosong karena sebagian besar prajuritnya melawat ke Panaraga.”
“Apakah Panembahan Cahya Warastra akan menyerang Menoreh, Kakang?”
“Menurut perhitunganku tidak.”
“Mengapa?”
“Seperti yang sudah aku sampaikan tadi, Menoreh bukan sasaran utama. Menyerang Menoreh hanya membuang buang waktu saja dan juga korban pasti berjatuhan. Itu akan mengurangi kekuatan Panembahan Cahya Warastra pada saat menggempur Mataram.”
“Jadi Menoreh dapat dikatakan aman, Kakang?”
“Belum tentu.”
“He,” Rara Wulan terperanjat, “Kakang jangan bercanda. Keadaan sudah sangat gawat begini Kakang masih sempat bercanda.”
Glagah Putih tersenyum, katanya kemudian, “Wulan, aku tidak sedang bercanda. Memang Menoreh dapat dikatakan cukup aman dari Panembahan Cahya Warastra. Tapi bagaimana dengan para pengikutnya? Apakah tidak ada yang akan mengambil kesempatan pada saat Menoreh lemah? Panembahan Cahya Warastra mungkin tidak tertarik dengan Menoreh, tapi perguruan-perguruan yang tergabung dalam pasukan Panembahan Cahya Warastra?”
Rara Wulan tertegun. Hatinya benar-benar risau memikirkan keselamatan keluarga di Menoreh. Menurut keterangan yang diterima dari para prajurit sandi ketika mereka berdua berada di Mataram, Ki Jayaraga memang telah memusatkan kekuatan Menoreh di padukuhan induk. Bahkan padukuhan-padukuhan kecil yang berdekatan dengan Kali Praga telah dikosongkan dan para penghuninya telah mengungsi ke padukuhan induk.
“Mereka harus menghadapi seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh,” desis Rara Wulan tanpa sadar.
“Siapa Rara?” tanya Glagah Putih yang mendengar desis Rara Wulan.
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam sambil memandang suaminya, “Siapa saja yang ingin menduduki Menoreh. Apakah itu Panembahan Cahya Warastra atau perguruan-perguruan yang ingin mengambil kesempatan disaat Menoreh lemah.”
Glagah Putih mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil bangkit berdiri, “Marilah Rara, kita mencari tempat yang terlindung untuk beristirahat sambil menunggu Matahari terbenam.”
Rara Wulan hanya mengangguk, kemudian mengikuti Glagah Putih bangkit dari tempat duduknya dan berjalan perlahan menuruni tebing.
Dalam pada itu, Matahari sudah bergeser semakin jauh ke barat. Ki Jayaraga sedang berdiri di tangga pendapa kediaman Ki Gede Menoreh. Sesekali dilemparkan pandangan matanya ke arah kerumunan para pengawal yang ada di depan regol. Ki Jayaraga agak berbesar hati karena rencananya untuk menghimpun kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan ternyata berhasil. Namun sekarang permasalahan yang timbul adalah, dukungan untuk seluruh pengawal yang tersebar di seluruh padukuhan induk, baik dukungan makan maupun tempat untuk istirahat, belum lagi para pengungsi dari padukuhan-padukuhan kecil yang berada di dekat Kali Praga.
Ketika Ki Jayaraga berpaling ke arah gandok kanan, tampak Kiai Sabda Dadi sedang berjalan menuju ke arahnya.
“Silahkan Kiai, silahkan,” berkata Ki Jayaraga menyambut Kiai Sabda Dadi yang menaiki tlundak pendapa kemudian bersama sama duduk di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa.
“Dimanakah Damarpati?” bertanya Ki Jayaraga begitu mereka duduk.
“Seperti biasa,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil tersenyum, “Akhir-akhir ini dia sering di sanggar bersama dengan Nyi Agung Sedayu.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, namun sejenak kemudian wajah tua itu justru tersenyum lebar, “Agaknya Damarpati memerlukan sentuhan seorang perempuan untuk mengungkapkan ilmu yang selama ini dipelajarinya.”
“Ya, Ki Jayaraga,” sahut Kiai Sabda Dadi sambil mengangguk angguk, “Selama aku mengajarinya olah kanuragan, Damarpati terlihat kurang tertarik dan hanya melakukannya sekedar untuk menyenangkan hatiku. Akan tetapi pertemuannya dengan Nyi Agung Sedayu telah menggugah kesadarannya akan pentingnya membentengi dirinya dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat menimpa dirinya, justru karena dia seorang perempuan.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil memandang awan yang berarak-arak di angkasa, “Nyi Agung Sedayu mempunyai masa lalu yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.”
“Ya,” sahut Kiai Sabda Dadi, “Damarpati telah bercerita kepadaku tentang masa masa muda Nyi Agung Sedayu ketika belum mengenal olah kanuragan.”
“Peristiwa kelam yang menimpa dirinya itulah yang telah mendorong Nyi Agung Sedayu untuk berguru kepada Ki Sumangkar,” berkata Ki Jayaraga. Kemudian lanjutnya, “Nyi Agung Sedayu adalah pewaris perguruan yang pernah besar di jaman kejayaan Demak, perguruan Kedung Jati.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam diam dirinya sangat bersyukur bahwa Damarpati akhirnya terbuka hatinya setelah mendapat nasehat dari Sekar Mirah yang justru telah mengalami sendiri perlakuan buruk dari seorang yang bernama Sidanti.
Demikianlah memang yang sedang terjadi, di sanggar yang cukup luas itu Damarpati sedang menekuni olah kanuragan yang telah dipelajarinya dari kakeknya sendiri. Sedangkan Sekar Mirah hanya menunggui dan sesekali memberikan arahan agar jurus jurus yang sedang dilatihnya benar benar berbobot dan berisi.
“Pernafasan itu sangat penting,” demikian arahan Sekar Mirah pada suatu waktu, “Jurus yang Kau lakukan tanpa dilambari dengan olah pernafasan yang benar tidak akan mengungkap kekuatan yang sebenarnya. Dan itu juga akan dapat mengganggu ketahanan tubuhmu.”
Damarpati hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian dengan kesungguhan hati diulanginya lagi jurus-jurus yang cukup rumit itu. Sebenarnyalah Damarpati sudah mempelajari banyak ilmu olah kanuragan dari Kiai Sabda Dadi, namun kesungguhan hatinya dalam menekuni ilmu itu yang menyebabkan perkembangan ilmu Damarpati seolah olah terhambat.
Matahari semakin condong ke barat. Sinarnya yang kemerah merahan menimpa wajah wajah tegang para penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Setiap malam menjelang, mereka selalu dihantui ketakutan yang tiada taranya. Ketakutan akan serangan dari orang orang Panembahan Cahya Warastra yang telah menduduki padukuhan padukuhan di pinggir Kali Praga. Tidak jarang mereka merampok padukuhan-padukuhan di sebelahnya yang belum mengungsi ke padukuhan induk sehingga tak jarang menimbulkan kerugian harta maupun nyawa.
Dalam pada itu, di bilik Ki Argapati, tampak orang tua yang telah menjalani pahit getirnya kehidupan itu semakin sehat di bawah perawatan Kiai Sabda Dadi. Dari hari ke hari kesehatannya semakin membaik walaupun kadang masih tampak wajahnya yang murung. Namun ketika berita kedatangan perguruan-perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra itu sampai ke telinganya, semangat perjuangannya pun bagaikan membara kembali, sak dumuk bathuk sak nyari bumi, tanah leluhur Menoreh akan diperjuangkan sampai titik darah yang penghabisan.
Ki Jayaraga lah yang terpaksa menyampaikan berita itu dengan pertimbangan dari pada orang lain yang pada akhirnya menyampaikan berita itu kepada Ki Argapati. Bisa saja terjadi kesalahan pengertian dan akan semakin memperparah sakitnya. Untuk itulah Ki Jayaraga dengan sangat berhati hati telah menyampaikan keadaan keamanan Menoreh akhir-akhir ini dan langkah-langkah apa saja yang telah diambil oleh Ki Jayaraga bersama Kiai Sabda Dadi untuk mengatasi permasalahan itu.
Ternyata yang terjadi kemudian adalah di luar perhitungan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi. Ki Argapati pada dasarnya adalah seorang pejuang sejati yang selalu mengedepankan kepentingan Tanah Perdikan yang dipimpinnya. Begitu mendengar ancaman yang akan menjamah Tanah Perdikan Menoreh, hati orang tua itu bagaikan menggelegak. Semangat perjuangannya pun membara kembali. Keinginannya yang kuat untuk sembuh telah membantu Kiai Sabda Dadi dalam merawat sakitnya, sehingga berangsur-angsur perkembangan kesehatan Ki Gede Menoreh pun sangat menggembirakan.
Sore itu Ki Argapati tampak sedang mondar mandir di dalam biliknya. Sesekali diraihnya tombak pendek yang disandarkan di pojok bilik. Sambil menimang-nimang tombak itu, perlahan Ki Argapati membuka selongsong tombak yang terbuat dari kain sutera berwarna hijau. Seakan akan dia ingin meyakinkan bahwa ujung tombaknya itu masih setajam dulu ketika menghunjam ke dada musuh bebuyutannya, Ki Tambak Wedi.
Tiba-tiba pintu bilik berderit dan tampak Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi muncul dari balik pintu.
“Silahkan, silahkan,” berkata Ki Argapati kemudian sambil kembali menyandarkan tombak pendeknya yang telah dibungkus kembali dengan selongsongnya ke pojok bilik.
Hampir bersamaan kedua orang tua itu tersenyum. Kiai Sabda Dadi lah yang menyahut, “Agaknya Ki Gede sudah semakin sehat dan tidak sabar untuk bermain tombak lagi.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil duduk di amben. Katanya kemudian, “Rasa rasanya bilik ini semakin sempit. Aku harus melemaskan otot-ototku untuk menghadapi pertempuran yang sebenarnya nanti.”
Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi saling berpandangan. Mereka menyadari sepenuhnya dengan kesehatan Ki Gede yang semakin pulih, dia memerlukan ruang yang lebih luas untuk melatih tubuhnya mengungkapkan ilmu yang selama ini rasa rasanya telah membeku dalam tubuh yang sakit.
Setelah menutup pintu bilik dan mengambil dingklik yang ada di dekat dinding, kedua orang tua itu pun kemudian duduk di depan Ki Argapati.
“Ki Gede,” akhirnya Ki Jayaraga memberikan saran, “Ki Gede dapat menggunakan sanggar namun selepas tengah malam, agar tidak ada kecurigaan dari para penghuni rumah ini. Kita harus tetap memberikan kesan bahwa Ki Gede masih terbaring sakit.”
“Apakah itu masih diperlukan?” bertanya Ki Gede, “Kehadiranku di tengah-tengah para penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini akan sangat berarti dalam menggelorakan semangat perjuangan mereka.”
“Benar, Ki Gede. Namun dengan demikian musuh akan membuat perhitungan-perhitungan ulang terhadap kekuatan kita, dan itu sangat berbahaya.”
Sejenak Ki Gede termenung, namun kemudian katanya, “Apakah sudah ada berita tentang Ki Rangga Agung Sedayu?”
“Menurut seorang prajurit sandi dari Mataram yang telah menghubungi kami, Ki Rangga telah meninggalkan Sangkal Putung bersama Ki Swandaru dan Nyi Pandan Wangi.”
“He!” wajah tua itu tampak berbinar, “Jadi Ki Rangga sudah sampai di Sangkal Putung? Sokorlah..!,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Bukankah menantuku itu masih sakit? Mengapa dia ikut Ki Rangga meninggalkan Sangkal Putung bersama istrinya?”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam kemudian jawabnya, “Ki Rangga mengajak Ki Swandaru pergi ke padepokan orang bercambuk di Jati Anom. Sedang Nyi Pandan Wangi kelihatannya tidak tega dan ingin mendampingi suaminya yang sedang sakit.”
Ki Gede mengangguk anggukkan kepalanya sambil bergumam perlahan, “Agaknya Ki Rangga sedang ada urusan penting dengan menantuku yang menyangkut nama baik perguruan orang bercambuk. Semoga saja perkiraanku ini benar dan Ki Rangga sebagai saudara tua sekaligus pengganti Kiai Gringsing dapat memberikan tuntunan kepada adik seperguruannya.”
“Demikianlah harapan kita semua, Ki Gede,” sahut kedua orang tua itu hampir bersamaan.
Sejenak kemudian ruangan bilik Ki Argapati itu menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan mereka. Sementara di luar Matahari semakin rendah. Burung-burung tampak berterbangan berarak-arak kembali ke sarang mereka. Perlahan lahan gelap pun mulai menyelimuti bumi Menoreh.
Ketika bilik Ki Gede pun mulai gelap, Ki Jayaraga segera berdiri dan melangkah menuju ke ajug-ajug tempat dlupak diletakkan. Dengan batu titikan dan sejumput gelugut yang ada di dalam geledeg, Ki Jayaraga pun berusaha menyalakan dlupak itu.
Sejenak ruangan bilik itu menjadi terang oleh sinar dlupak yang kemerah-merahan. Setelah mengembalikan batu titikan dan sisa gelugut ke geledeg, Ki Jayaraga pun kembali ke tempat duduknya.
Baru saja Ki Jayaraga menempati tempat duduknya, tiba-tiba saja mereka yang sedang di dalam bilik itu dikejutkan oleh suara langkah yang tergesa-gesa setengah berlari menuju ke arah bilik. Sejenak kemudian terdengar pintu bilik Ki Argapati diketuk keras-keras.
Ketiga orang tua yang ada di dalam bilik itu terkejut. Tidak biasanya para pelayan di rumah Ki Gede mengetuk pintu bilik dengan keras. Pasti ada sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi.
“Siapa?” bertanya Ki Jayaraga masih dengan duduk di atas dingklik sambil berpaling ke arah pintu.
“Saya Ki, Nyi Saminten,” terdengar suara itu bergetar.
Nyi Saminten adalah pembantu di rumah Ki Gede. Dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke pintu. Sementara Ki Gede yang sedang duduk di bibir amben segera merebahkan dirinya dan menarik kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya dibantu Kiai Sabda Dadi.
Ketika pintu bilik itu telah dibuka oleh Ki Jayaraga, tampak pembantu Ki Gede itu dengan wajah gelisah berdiri di muka pintu.
“Ada apa, Nyi?” bertanya Ki Jayaraga dengan sareh.
Sejenak Nyi Saminten menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan kekuatannya kembali, kemudian katanya dengan nada yang masih bergetar, “Nyi Sekar Mirah, Ki. Nyi Sekar Mirah tanda tandanya akan melahirkan.”
“He?” hampir bersamaan ketiga orang tua yang ada di bilik Ki Gede itu berseru. Bahkan Ki Gede hampir saja bangkit dari pembaringannya. Untunglah dia segera menyadari keadaannya dan segera merebahkan diri kembali.
“Nyi Sekar Mirah katamu?” Ki Jayaraga bertanya untuk meyakinkan pendengarannya.
“Ya, ya..Ki, tadi Damarpati telah membantu memapah Nyi Sekar Mirah dari sanggar menuju ke biliknya.”
“Panggil dukun bayi yang terdekat sementara aku akan membantu Nyi Sekar Mirah untuk mempersiapkan persalinan ini,” sahut Kiai Sabda Dadi yang telah berdiri dan melangkah ke pintu.
“Baik..baik Ki,” jawab Nyi Saminten sambil setengah berlari keluar untuk pergi ke rumah perempuan yang biasa menolong persalinan.
Sementara itu Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi segera minta diri kepada Ki Gede untuk menengok keadaan Sekar Mirah.
“Semoga Yang Maha Agung memberikan kelancaran dan keselamatan,” berkata Ki Gede.
“Kita turut berdoa Ki Gede,” sahut kedua orang tua itu sambil menutup pintu bilik dan melangkah menuju bilik Sekar Mirah yang terletak di ruang belakang.
Ketika kemudian kedua orang tua itu telah sampai di ruang belakang yang bersebelahan dengan dapur, terdengar kesibukan beberapa perempuan pembantu di rumah Ki Gede yang sedang menjerang air dan mempersiapkan segala keperluan untuk persalinan Sekar Mirah. Seorang perempuan yang sudah lanjut tampak bergegas memasuki bilik Sekar Mirah sambil membawa sebuah buntalan kain dan segenggam dupa ratus yang sudah dibakar ujungnya sehingga menyebarkan bau wangi ke seluruh ruangan, sedangkan seorang lagi membawa sebuah belanga yang berisi air hangat.
Kiai Sabda Dadi segera melangkah memasuki bilik Sekar Mirah, sementara Ki Jayaraga menunggu di luar bilik, duduk di atas sebuah tikar pandan yang telah dibentangkan di depan bilik Sekar Mirah.
Sejenak Kiai Sabda Dadi tertegun begitu melangkah memasuki bilik. Tampak Sekar Mirah yang tergolek berselimutkan kain panjang dengan wajah yang tegang. Kiai Sabda Dadi pun menyadari, ini adalah persalinan pertama bagi Sekar Mirah justru di usianya yang telah merambat semakin tua.
“Nyi Sekar Mirah,” perlahan Kiai Sabda Dadi berbisik ketika sudah berdiri di samping pembaringan Sekar Mirah, “Usahakanlah untuk tetap tenang. Nanti akan ada yang menuntunmu untuk menjalani persalinan ini yang bagimu mungkin masih asing.”
Sekar Mirah hanya mengangguk perlahan. Raut mukanya masih terlihat tegang.
Tiba-tiba pintu bilik terbuka dan seorang perempuan yang rambutnya sudah berwarna putih semua masuk diikuti oleh Nyi Saminten.
“Aku minta Ki Sanak meninggalkan bilik ini,” kata perempuan tua itu sambil menatap tajam ke arah Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelah pembaringan Sekar Mirah, “Percayakan semua ini padaku, aku sudah menolong persalinan sampai puluhan kali dan semuanya dapat aku selesaikan tanpa ada masalah yang berarti.”
Kiai Sabda Dadi hanya mengangguk angguk sambil melangkah keluar bilik. Ketika dilihatnya Ki Jayaraga yang sedang duduk-duduk di depan bilik Sekar Mirah, Kiai Sabda Dadi pun kemudian segera bergabung.
Waktu terasa berjalan begitu lambatnya. Dari dalam bilik terdengar suara dukun tua itu yang memberi arahan kepada Sekar Mirah, sementara Sekar Mirah terdengar merintih sambil sesekali mengucapkan kalimat-kalimat doa dan ampunan kepada Yang Maha Agung agar diberi kekuatan dan kelancaran dalam persalinannya.
Ketika kegelisahan kedua orang tua yang menunggu di luar bilik itu hampir tak tertahankan lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tangis bayi yang keras melengking menggetarkan jantung semua orang yang ada di rumah Ki Gede Menoreh.
 “Puji syukur wajib kita panjatkan kepada Yang Maha Agung,” hampir bersamaan kedua orang tua itu menengadahkan wajah mereka sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Berbagai puji dan doa mereka panjatkan sebagai tanda syukur atas karuniaNya.
Sejenak kemudian tangis bayi itu pun mulai agak mereda. Ketika kemudian pintu bilik itu berderit, dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi bangkit berdiri. Tampak di depan pintu Nyi Saminten menggendong bayi yang masih merah dan dibungkus dengan kain panjang yang masih baru.
Ketika Nyi Saminten melihat kedua orang tua itu berdiri termangu mangu dihadapannya, Nyi Saminten pun tersenyum sambil berkata, “Alhamdulillah semuanya selamat dan lancar, Ki,” dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Bayinya laki-laki. Kedua-duanya, ibu dan anak dalam keadaan sehat.”
“Syukurlah,” hampir bersamaan Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga menyahut.
“Apakah sudah dipanjatkan doa bagi bayi ini?” bertanya Kiai Sabda Dadi selanjutnya.
“Silahkan Kiai,” berkata Nyi Saminten sambil mengulurkan bayi dalam gendongannya itu kepada Kiai Sabda Dadi, “Panjatkanlah doa sebagaimana mestinya agar anak ini nanti setelah dewasa menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.”
Dengan mantap diterimanya bayi yang masih merah dalam bungkusan kain panjang itu. Setelah terpekur sejenak untuk memusatkan segenap nalar budinya disertai niat hanya kepada Penguasa Tunggal Jagad Raya ini permohonan itu dipanjatkan, Kiai Sabda Dadi pun kemudian membisikkan sesuatu di telinga kanan dan kiri si jabang bayi.
“Alhamdulillah wa Syukurillah,” hampir bersamaan mereka yang hadir di situ memuji keagungan Penguasa Tunggal Jagad Raya ini begitu Kiai Sabda Dadi selesai memanjatkan doa bagi sang bayi.
“Baiklah, Nyi,” berkata Kiai Sabda Dadi selanjutnya, “Kami akan mohon diri sejenak untuk mengabarkan berita gembira ini kepada Ki Gede Menoreh. Barangkali berita gembira ini akan membuat Ki Gede merasa senang dan semakin membaik kesehatannya.”
Selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi mengulurkan kembali bayi yang ada dalam gendongannya kepada Nyi Saminten.
Dengan penuh kasih sayang Nyi Saminten menerima kembali bayi itu dan kemudian membawanya masuk ke dalam bilik.
Sejenak kedua orang tua itu masih menunggu pintu bilik itu ditutup. Setelah yakin tidak ada suatu hal yang mengkhawatirkan, Ki Jayaraga pun melangkah meninggalkan ruang belakang menuju ke bilik Ki Argapati diikuti oleh Kiai Sabda Dadi.
Dalam pada itu, di Padepokan Jati Anom, Ki Widura ditemani oleh Ki Rangga Agung Sedayu sedang duduk-duduk di pendapa. Malam baru saja turun melingkupi Jati Anom. Lampu-lampu dlupak yang ada di regol maupun di pendapa sudah dinyalakan sejak Matahari terbenam tadi.
“Dimanakah Swandaru dan istrinya?” bertanya Ki Widura sambil mengambil sepotong jenang alot dan mengunyahnya perlahan lahan.
“Mereka sedang berada di dalam bilik,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Agaknya Adi Swandaru kelelahan setelah menempuh perjalanan pagi tadi. Maklumlah, keadaan kesehatan Adi Swandaru memang masih belum pulih. Malam ini aku akan memberikan ramuan lagi untuk menghilangkan pengaruh sisa-sisa racun yang masih mengeram di dalam tubuhnya.”
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Berapa hari rencanamu untuk tinggal di padepokan ini?”
Ketika Ki Widura melihat kerut merut di wajah Ki Rangga, cepat-cepat Ki Widura menyambung, “Bukan maksudku untuk mengusirmu dari rumahmu sendiri, tapi tugasmu sebagai prajurit tentu tidak boleh diabaikan. Aku dengar Mataram telah mengirim pasukan segelar sepapan menuju Panaraga. Kedudukanmu di pasukan khusus sangat diperlukan, tapi mengapa Kau tidak ikut ke Panaraga?”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan pamannya itu. Setelah meneguk wedang sereh yang hangat, Ki Rangga pun kemudian menceritakan tugas yang diembannya dari Ki Patih Mandaraka untuk membuat perimbangan kekuatan Panaraga dengan cara mencegah Guru Pangeran Ranapati itu untuk ikut campur dalam pertikaian antara Mataram dan Panaraga.
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya sambil menghela nafas panjang. Dari cerita Ki Rangga Agung Sedayu, dia dapat membayangkan kekuatan yang tersimpan di dalam diri guru Pangeran Ranapati sehingga Ki Patih Mandaraka merasa perlu menugaskan secara khusus Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengimbangi kekuatannya.
Sejenak kemudian kedua orang itu pun terlibat dalam pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya, mulai dari musim kemarau yang sebentar lagi berganti dengan musim hujan, sawah-sawah padepokan yang harus segera mendapat perhatian sebelum hujan turun dan peningkatan ilmu bagi para cantrik perguruan orang bercambuk agar selalu siap dalam menghadapi keadaan yang semakin tidak menentu yang salah satunya adalah pertanda adanya gerakan dari Kadipaten-Kadipaten bawahan Mataram yang cenderung ingin memisahkan diri.
Ketika kedua orang itu sedang asyik berbicara tentang segala macam urusan, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang memasuki regol padepokan.
Tanpa ragu-ragu orang tersebut segera menyeberangi halaman padepokan yang cukup luas dan kemudian naik ke pendapa.
Ki Widura dan Ki Rangga segera tanggap. Dengan cepat mereka bangkit berdiri untuk menyambut tamu yang belum jelas asal-asulnya dan keperluannya itu.
“Selamat malam,” justru orang itulah yang mendahului menyapa begitu dia mulai menaiki tlundak pendapa.
“Selamat malam Ki sanak,” jawab Ki Widura cepat, “Silahkan, silahkan. Kelihatannya aku belum begitu mengenal Ki Sanak atau mungkin pengenalanku yang mulai kabur sejalan dengan umurku yang mulai merambat senja.”
Orang itu hanya tersenyum saja menanggapi kata-kata Ki Widura. Sambil berdiri di hadapan Ki Widura dan Ki Rangga, orang itu berkata perlahan ke arah Ki Rangga Agung Sedayu, “Garuda yang terbang ke Timur agaknya sedang dalam perjalanannya kembali ke sarang. Semut-semut merah telah meninggalkan sarang mereka juga dan menuju ke bukit harapan. Garuda ditunggu untuk menghimpun burung-burung pipit sepanjang tepian sungai agar semut-semut merah tidak sampai mencapai Banjar Padukuhan.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu berdiri membeku mendengar kata-kata orang asing itu. Sedangkan Ki Widura yang berdiri di sebelahnya mengerutkan keningnya dalam-dalam, dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan orang yang baru datang ke padepokan itu.
“Apakah yang membawamu kemari?” tiba-tiba Ki Rangga mengajukan sebuah pertanyaan.
“Angin barat,” jawab orang itu.
“Siapakah yang menguasai angin barat?” kembali Ki Rangga bertanya yang semakin membuat Ki Widura kebingungan.
“Lintang Panjer Rina,” jawab orang itu tegas.
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya sedangkan pamannya yang masih berdiri di sebelahnya akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Ki Widura telah lama meninggalkan dunia keprajuritan sehingga dia lupa bahwa yang diucapkan oleh orang itu adalah kata-kata sandi yang telah disepakati dan hanya dimengerti oleh orang-orang khusus dalam lingkungan keprajuritan.
“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kau dapat kembali. Makanan yang Kau bawa sudah membuat aku kenyang.”
Orang itu mengangguk hormat kemudian melangkah surut dan membalikkan badan berjalan menuruni tangga pendapa serta menyeberangi halaman padepokan untuk kemudian menghilang dalam gelap.
Ketika bayangan orang itu sudah tidak tampak lagi, Ki Rangga segera duduk kembali diikuti oleh ki Widura. Sejenak keduanya masih berdiam diri, namun agaknya Ki Rangga sedang memikirkan sesuatu yang penting sehingga raut wajahnya tampak sedikit gelisah, sehingga katanya kemudian, “Paman, keadaan Kota Mataram semakin gawat sepeninggal pasukan yang melawat ke Panaraga. Di ibu kota Mataram sekarang hanya tinggal pasukan keamanan kota saja sehingga jika sewaktu waktu terjadi serangan ke ibu kota Mataram akan sangat berbahaya.”
Ki Widura mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Bagaimana dengan pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh? Apakah mereka juga diberangkatkan semua ke Panaraga?”
“Tidak paman. Aku telah menempatkan sepasukan kecil prajurit di bawah pimpinan Ki Lurah Sanggabaya. Tapi pasukan itu hanya untuk menjaga lingkungan barak pasukan khusus itu sendiri, sehingga tidak mungkin untuk ditarik ke Mataram.”
Ki Widura terpekur. Sebagai bekas Senopati prajurit Pajang yang berkedudukan di Sangkal Putung pada waktu itu dia juga menghadapi permasalahan yang hampir sama. Tohpati telah menghimpun laskar-laskar Jipang yang tercerai berai dan disatukan di bawah pimpinannya untuk menggilas Sangkal Putung. Sedangkan pasukan yang berada di bawah pimpinannya tidak mungkin dapat mengimbangi jumlah pasukan Tohpati yang lebih besar. Akhirnya dengan bantuan Ki Demang Sangkal Putung dia bisa mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di Sangkal Putung baik anak-anak mudanya maupun orang-orang tua atau siapapun yang pernah dan tahu bagaimana caranya menggenggam senjata untuk maju ke medan laga.
“Besok sebelum fajar aku harus ke Mataram menghadap Ki Patih untuk mendapatkan petunjuknya,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sehingga membuyarkan lamunannya.
Ki Widura menarik nafas panjang. Dipandanginya pintu regol padepokan yang pintunya terbuka sebelah. Dlupak yang dipasang sebelah menyebelah regol tampak bergoyang goyang tertiup angin malam. Suara binatang malam mulai terdengar bersahut-sahutan ditingkah oleh suara teriakan burung kedasih yang hinggap di atap pendapa.
“Jadi,” akhirnya Ki Widura menanggapi kata-kata Ki Rangga, “Bagaimana dengan Swandaru? Siapakah yang akan meneruskan perawatan atas lukanya sampai sembuh?” Ki Widura berhenti sejenak, kemudian, “Aku adalah murid termuda dalam perguruan orang bercambuk ini, oleh karena itu pengetahuanku tentang obat obatan masih sangat sedikit sehingga tumpuan harapan itu hanya kepadamu, Sedayu.”
Ki Rangga Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sejenak dia berpikir, kemudian katanya, “Paman, aku akan meninggalkan beberapa ramuan obat yang sudah aku pisah-pisahkan terlebih dahulu, serta catatan tentang kapan dan bagaimana cara penggunaannya. Pada dasarnya Adi Swandaru hanya terkena racun yang sangat kuat dan menyebabkan tubuh bagian bawahnya lumpuh. Aku yakin dengan pengobatan yang rutin serta tambahan obat khusus yang dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuhnya, dalam waktu kurang dari sebulan Adi Swandaru sudah terbebas dari pengaruh racun itu.”
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum, katanya, “Jadi aku yang akan Kau pasrahi untuk merawat Swandaru? Baiklah, sebagai saudara seperguruan yang paling muda aku hanya dapat menerima tugas ini tanpa banyak alasan.”
“Ah,” Ki Rangga berdesah tertahan, “Bukan begitu maksudku paman. Keadaan sangat mendesak dan aku tidak mungkin berada di dua tempat sekaligus.”
Ki Widura tertawa pendek, “Jangan kawatir Sedayu, aku hanya bergurau. Berangkatlah besok pagi-pagi. Serahkan perawatan Swandaru kepadaku.”
“Terima kasih paman,” berkata Ki Rangga, “Namun masih ada satu hal lagi yang belum dapat dilaksanakan,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Adi Swandaru telah melanggar salah satu dari sembilan wewaler perguruan Windujati. Aku sebagai saudara tua dan sekaligus sebagai pengganti guru, harus bisa menegakkan peraturan perguruan agar tidak dicontoh oleh para murid yang lain.”
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil memandangi dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa berayun ayun tertiup angin malam, katanya kemudian, “Hukuman itu wajib dilaksanakan, namun kita harus melihat keadaan Swandaru yang belum pulih dari luka lukanya. Namun setelah dia sehat kembali, kita harus menegakkan peraturan perguruan tanpa pandang bulu agar dijadikan sebagai contoh oleh para cantrik padepokan ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menarik nafas dalam sekali. Jauh di dalam hatinya sebenarnya ada sepercik keraguan untuk melaksanakan hukuman bagi Swandaru mengingat hukuman itu sangat berat, namun ada suatu tekat di dalam hati murid tertua orang bercambuk itu untuk tidak hanya menghukum adik seperguruannya, namun juga membantu Swandaru meningkatkan ilmunya.
“Nah,” berkata Ki Widura kemudian, “Apakah Kau akan berangkat sendirian ataukah memerlukan teman seperjalanan yang dapat diajak untuk sekedar berbincang bincang sepanjang perjalanan?”
Ki Rangga mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya ragu-ragu, “Apakah sudah ada seorang Putut atau Cantrik yang bisa diandalkan untuk tugas yang penting ini? Karena mau tidak mau dia harus siap untuk terlibat dalam sebuah pertempuran.”
Ki Widura tertawa pendek, jawabnya kemudian, “Memang sudah ada beberapa Putut yang cukup mumpuni dalam olah kanuragan menurut penilaianku, namun secara kejiwaan mereka masih sangat rapuh. Masih diperlukan gemblengan batin untuk membuat mereka semakin mengendap sejalan dengan tingginya ilmu yang mereka kuasai.”
Ki Rangga Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Dia segera teringat kepada adik seperguruannya, Swandaru. Bagaimana Guru mereka dahulu telah berusaha untuk mendekatkan sifat-sifat keduanya melalui tuntunan batin yang tak henti hentinya, namun pada akhirnya sifat dasar dari masing-masing yang muncul ke permukaan.
“Tetapi jangan kawatir,” tiba-tiba Ki Widura berkata mengejutkan Ki Rangga yang sedang terbuai oleh lamunannya, “Ada sepasang kakak beradik yang sudah dapat diandalkan untuk menghadapi tantangan yang keras di luar padepokan, Putut Darpa dan Putut Darpita. Secara ilmu olah kanuragan mereka tidak akan mengecewakan, sedangkan jiwa mereka sudah mulai terbentuk karena memang mereka berdua berasal dari keluarga baik-baik dan sederhana. Mereka berdua dapat menemani perjalananmu dan sekaligus dapat sedikit membantu kalau memang tenaga mereka diperlukan.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya sepasang anak muda yang berpetualang meninggalkan kampung halaman entah untuk berapa lama mengikuti guru mereka menyelusuri jalan setapak, merambah hutan dan menuruni lembah serta ngarai sampai jauh ke Tanah Perdikan Menoreh dan bertemu dengan seorang gadis cantik putri kepala Tanah Perdikan Menoreh yang selalu mengenakan sepasang pedang di lambung.
“Ah,” tanpa disadarinya Ki Rangga berdesah.
Ki Widura yang mendengar desah Ki Rangga Agung Sedayu itu mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Adakah sesuatu yang memberatkan hatimu jika kedua kakak beradik itu ikut denganmu ke Menoreh?”
“O, tidak, tidak, Paman,” dengan cepat Ki Rangga menyahut, namun tiba-tiba sesuatu telah menggetarkan hatinya. Dalam tangkapan pendengarannya, seolah olah dia mendengar suara tangisan bayi lamat-lamat di kejauhan.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya untuk mencoba mendengarkan suara itu lebih jelas. Adalah hal yang biasa di saat-saat seperti itu terdengar tangisan seorang bayi dari Padukuhan sebelah. Namun rasa-rasanya suara tangis bayi itu seperti memukul mukul dinding jantungnya.
“Aneh,” desis Ki Rangga Agung Sedayu ketika menyadari suara tangis itu justru menghilang ketika dia mencoba untuk mendengarkan dengan seksama.
“Apanya yang aneh Sedayu?” Pamannya yang duduk di depannya menjadi terheran heran melihat perubahan tingkah laku kemenakannya itu.
Ki Rangga tidak menjawab, dicobanya untuk mengetrapkan aji Sapta Pangrungunya sampai ke puncak, namun justru suara tangisan bayi itu benar-benar telah menghilang.
“Mengapa?” tanpa sadar kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga.
Ki Widura menjadi gelisah melihat tingkah laku keponakannya yang tidak sewajarnya. Akhirnya dengan nada yang dalam, dia kembali bertanya, “Sedayu, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Katakanlah! Mungkin Pamanmu yang tua ini dapat sedikit membantu.”
Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan tersadar dari mimpi buruk. Dengan menarik nafas dalam-dalam, dilepaskannya pengetrapan aji Sapta Pangrungu itu sehingga kini dia benar-benar mendengarkan alam sekitarnya dengan pendengaran wajar, walaupun ilmu yang sudah menyatu dengan jiwa raganya itu kadang-kadang tanpa pengetrapan pun akan bekerja dengan sendirinya terutama pada saat bahaya mengancam jiwanya.
Namun baru saja Ki Rangga Agung Sedayu bernafas lega, kembali suara tangis itu terdengar justru sangat dekat seperti di sekitar halaman Padepokan.
“Paman?” tanpa sadar Ki Rangga bangkit dari tempat duduknya, “Apakah Paman mendengar suara tangis bayi?”
Ki Widura yang masih diam di tempat duduknya itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil menggeleng dia menjawab, “Aku tidak mendengar suara apa-apa, Sedayu, selain suara binatang-binatang malam.”
Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Dicobanya sekali lagi untuk mengetrapkan aji sapta pangrungu, sapta pandulu dan bahkan sapta panggraita, namun justru sekali lagi suara tangisan bayi itu malah menghilang.
“Paman,” akhirnya Ki Rangga duduk kembali, “Aku merasa ada seseorang sedang mempermainkan aku. Dalam keadaan wajar aku mendengar seolah olah ada suara tangisan bayi di kejauhan, bahkan baru saja aku dengar suara itu seolah olah ada di halaman ini. Namun ketika aku mencoba untuk mengetahui lebih jauh, justru suara itu menghilang demikian saja.”
“Apakah Kau mencoba mengetrapkan ilmumu untuk mencari arah suara tangisan itu?” bertanya Ki Widura kemudian.
“Ya, Paman,” jawab Ki Rangga, “Bahkan aku telah mengetrapkan segala kemampuanku untuk menemukan sumber bunyi itu, akan tetapi aku telah gagal.”
Untuk beberapa saat wajah yang sudah sangat tua itu merenung. Kemudian katanya perlahan lahan sambil menarik nafas dalam-dalam, “Sedayu, dengan kemampuan ilmu apapun yang telah Kau miliki, Kau tidak akan menemukan sumber suara itu.”
“Mengapa Paman?”
“Karena suara itu berasal dari dalam dadamu, dari dalam hatimu sendiri.”
Sejenak Ki Rangga termangu mangu. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pamannya.
“Sedayu,” akhirnya Ki Widura berkata dengan sareh, “Di alam jagad raya ini banyak hal yang tidak mampu diuraikan oleh ilmu yang dimiliki manusia. Banyak hal yang tetap menjadi rahasiaNya, walaupun manusia telah berupaya dengan segala akalnya untuk memecahkan rahasia itu. Demikian juga dengan suara tangis bayi yang Kau dengar itu. Itu adalah salah satu rahasia Sang Pencipta untuk memberi isyarat kepada para hambaNya, melalui suara hati mereka sendiri. Kebanyakan kegagalan manusia dalam menentukan jalan hidupnya adalah karena tidak mampu mendengarkan suara hatinya.”
Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu mendengarkan nasehat Ki Widura. Sepeninggal Kiai Gringsing, memang tidak ada lagi yang memberikan tuntunan secara batiniah kepada dirinya dan adik seperguruannya itu.
Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu berusaha memusatkan nalar dan budinya disertai dengan doa permohonan untuk menguraikan isyarat yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung kepada dirinya, tiba-tiba bagaikan di sambar seribu halilintar Ki Rangga Agung Sedayu pun terlonjak dari tempat duduknya sambil mulutnya mengucapkan sebuah nama, “Mirah..!”
Ki Widura yang duduk di hadapannya pun ikut terlonjak. Dengan ragu-ragu dia bertanya, “Apakah benar demikian? Semoga Sekar Mirah diberi kelancaran dan kesehatan.”
Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar sudah yakin dengan isyarat yang diterimanya. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung dia pun segera bersujud disertai ucapan puji syukur atas segala karunia yang telah diterimanya dalam lingkup Kebesaran dan KeagunganNya.
Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi yang memang masih belum tidur di bilik Kiai Gringsing lamat-lamat mendengar kegaduhan yang sedang terjadi di pendapa.
“Lihatlah,” berkata Swandaru kepada istrinya, “Mungkin ada sesuatu yang memerlukan bantuanmu walaupun aku percaya Kakang Agung Sedayu adalah orang yang pilih tanding, namun tidak ada jeleknya kalau kita mengetahui persoalan sebenarnya yang sedang terjadi.”
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya dia memandang sepasang pedangnya yang terletak di geledek bambu di dekat ajug-ajug. Namun niat untuk mengambil sepasang pedangnya itupun diurungkan ketika suaminya berkata, “Kau tidak sedang memakai pakaian khususmu. Lebih baik Kau tinggalkan saja senjatamu itu di sini.”
“Baiklah Kakang,” akhirnya Pandan Wangi menyahut sambil bangkit dari pembaringan. Setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu, Pandan Wangi pun melangkah menuju ke pendapa.
Suara derit pintu pringgitan ternyata telah membuat kedua orang yang sedang berada di pendapa itu berpaling.
Ki Widura tersenyum begitu melihat Pandan Wangi yang berdiri termangu mangu di tengah-tengah pintu pringgitan yang terbuka separo. Kemudian katanya, “Kemarilah, kami mempunyai berita untukmu.”
Dengan langkah tertegun tegun, Pandan Wangi mendekati kedua orang yang sedang duduk-duduk di pendapa itu. Setelah mengambil tempat duduk di sebelah Ki Widura, Pandan Wangi pun kemudian menunggu kedua orang itu berbicara sambil menundukkan wajahnya. Sejenak suasana pun menjadi hening.
“Pandan Wangi,” akhirnya Ki Widura berkata memecah keheningan, “Besok pagi-pagi sekali Agung Sedayu akan berangkat ke Mataram ditemani oleh dua orang cantrik Padepokan. Menurut berita yang baru saja kita terima dari seorang prajurit sandi sore tadi, keamanan di ibu kota Mataram sangat mengkawatirkan sepeninggal pasukan yang telah dikirim ke Panaraga. Aku tidak tahu apa penyebabnya, mungkin Sedayu dapat menjelaskan semua itu kalau memang tidak melanggar kerahasiaan seorang prajurit.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam- dalam. Dia sadar, ancaman terhadap Mataram juga berlaku bagi Tanah Perdikan Menoreh, justru karena perguruan-perguruan yang diundang oleh Panembahan Cahya Warastra itu menjadikan Menoreh sebagai tempat berkumpul dan landasan pergerakan mereka memukul Mataram. Dan semua itu pasti akan berpengaruh terhadap Pandan Wangi sebagai putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Wangi,” perlahan Ki Rangga merangkai kata agar tidak mengguncangkan jantung istri adik seperguruannya itu, “Ibu kota Mataram sekarang ini sedang mendapat ancaman dari seorang yang menamakan dirinya Panembahan Cahya Warastra. Dibantu dengan perguruan-perguruan yang ada di tanah ini yang sehaluan dengan Panembahan itu. Aku telah mendapat perintah dari Ki Patih Mandaraka lewat prajurit sandi untuk menghimpun pasukan Mataram yang tersisa serta para pengawal dari Kademangan-Kademangan di sekitar Mataram untuk menggempur kekuatan yang membayangi Mataram itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Raut wajahnya menunjukkan ketegangan hatinya, kemudian katanya, “Bukankah Panembahan Cahya Warastra itu sudah terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka sendiri? Bagaimana mungkin ada orang yang menyebut dirinya dengan sebutan yang sama?”
Ki Widura yang sedari tadi mendengarkan keterangan Ki Rangga dengan seksama ikut bertanya, “Ya, aku juga mendengar berita kematian Panembahan yang tamak itu. Apakah mungkin dia memiliki Aji Pancasona yang mampu membuat dirinya hidup kembali setiap kali jasadnya menyentuh bumi?”
Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah, “Aji seperti itu hanya ada dalam cerita-cerita babat dan dongeng-dongeng. Namun selebihnya kita harus mewaspadai kekuatan perguruan-perguruan yang telah dihimpun oleh Panembahan itu.”
“Dimanakah Panembahan itu menghimpun kekuatannya?” tanpa sadar Pandan Wangi bertanya.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Keragu raguan tampak membayang di wajahnya. Tidak mungkin baginya untuk menyembunyikan kenyataan yang ada. Namun semua itu akan membawa akibat yang jelas, Pandan Wangi pasti akan berkeras untuk ikut dengan dirinya ke Mataram.

--oo0oo--
bersambung ke TADBM jilid 404


Komentar

  1. https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.co.id/2017/12/3-ide-praktis-dan-terjangkau-membuat.html
    https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.co.id/2017/12/gara-gara-main-gim-6-pria-ganteng-ini.html
    https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.co.id/2017/12/kopi-jadi-barang-penting-saat-kiamat.html

    Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus
  2. Tutur kata yg manis.enak dibaca pengalaman seperti yg dialami sendiri.cerita yg tidak pernah bosan dibaca walaupun telah berulang ulang dibaca.alahamdulillah mudah mudahan semakin diberi barokah yg menulis dan menyiarkan nya.amin.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4