Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 5
Dalam
pada itu di tengah padang rumput Lemah Cengkar, pertempuran antara pasukan
Mataram dengan para pengikut Pangeran Ranapati semakin lama menjadi
semakin sengit.
Ki
Tumenggung Purbarana yang telah berhasil berhadap-hadapan langsung dengan
orang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan
yang diluar perhitungannya.
“Gila!”
geram Ki Tumenggung dalam hati, “Ternyata kesaktian orang yang mengaku trah
Panembahan Senapati ini bukan sekedar omong kosong. Kemampuan orang ini diluar
jangkauan ilmuku.”
Namun
sebagai seorang prajurit, tidak ada kata menyerah bagi Ki Tumenggung.
Dihentakkan segenap kemampuannya dan dipasrahkan seluruh hidup matinya kepada
Sang Maha Pencipta.
Selangkah
demi selangkah Ki Tumenggung mulai mundur dan hanya dapat mundur terus.
Kekuatan pangeran Ranapati itu benar-benar tidak mampu dibendungnya. Beberapa
kali sentuhan dari putra satu-satunya Rara Ambarasari itu telah membuat
beberapa bagian tubuhnya memar dan lebam.
Mereka
berdua memang bertempur dengan tangan kosong. Namun kedua belah tangan mereka
tak ubahnya senjata-senjata yang akan dapat membahayakan bagi lawannya.
Sekilas
pandangan mata Ki Tumenggung sempat melihat Pangeran Jayaraga yang hanya diam
membeku di pinggir medan pertempuran. Pangeran adik Prabu Hanyakrawati itu
tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam tanpa menghiraukan hiruk pikuknya
pertempuran.
Beberapa
saat tadi sebelum kedua pasukan itu berbenturan, Ki Tumenggung telah menugaskan
dua orang prajurit untuk mengawalnya. Namun ternyata Pangeran Jayaraga justru
telah menolaknya.
“Lawan
jumlahnya lebih banyak dari jumlah pasukanmu, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran
Jayaraga beberapa saat tadi, “Percayalah, aku tidak akan kemana-mana. Biarlah
dua prajurit ini ikut bertempur. Engkau harus benar-benar memperhitungkan
kekuatan lawanmu.”
“Sendika
Pangeran,” jawab Ki Tumenggung, “Kami mohon maaf tidak dapat melakukan
pengawalan sebagaimana mestinya.”
Pangeran
Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Aku bukan lagi seorang Pangeran
yang berhak mendapat pengawalan. Namun sekarang justru sebaliknya, aku adalah
Pangeran pesakitan yang harus dikawal agar tidak melarikan diri atau pun
membuat keonaran.”
“Ah!”
desah Ki Tumenggung sambil tersenyum masam. Katanya kemudian, “Kami mohon diri
Pangeran. Agaknya lawan akan segera mulai melakukan penyerangan.”
“Silahkan,
Ki Tumenggung,” jawab pangeran Jayaraga kemudian singkat.
Demikian
lah, pertempuran di padang rumput lemah Cengkar itu pun kemudian berkobar
semakin lama semakin dahsyat. Jumlah pengikut Pangeran Ranapati yang lebih
banyak ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Beberapa prajurit
bahkan harus berhadapan dengan dua atau tiga lawan sekaligus. Semakin lama
tekanan yang dialami para prajurit Mataram semakin berat. Namun dengan cerdik
beberapa Lurah prajurit telah memimpin anak buahnya bertempur dalam
kelompok-kelompok sehingga untuk sementara tekanan yang dialami prajurit
Mataram agak berkurang.
Di garis
depan, Ki Lurah Adiwaswa harus bertempur menghadapi tiga orang lawan
sekaligus. Pedang di tangan kanannya berputaran bagaikan sayap anai-anai yang
bertebangan di udara. Sementara sebuah tameng kecil di tangan kirinya tak
henti-hentinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang beruntun bagaikan
air hujan yang tercurah dari langit.
Seorang
laki-laki yang rambutnya sudah putih semua tampak sedang memperhatikan
pertempuran itu. Dengan langkah perlahan dia mendekati arena pertempuran Ki
Lurah Adiwaswa.
“Tikus-tikus
clurut, minggirlah!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dari laki-laki yang
rambutnya sudah putih semua itu, “Biar aku yang meladeni tingkah polah orang
yang sombong ini!”
Mendengar
bentakan itu, tiga orang pengikut Pangeran Ranapati yang sedang bertempur
dengan Ki Lurah Adiwaswa segera berloncatan mundur.
“Bantulah
kawan-kawanmu agar pertempuran ini segera berakhir,” berkata laki-laki itu
sambil berjalan mendekati tempat Ki Adiwaswa berdiri.
“Baik
Kyai,” hampir serempak mereka menjawab sambil mengangguk.
Sejenak
kemudian ketiganya segera menyusup dan hilang ditelan riuhnya pertempuran.
Berdesir
jantung Ki Lurah Adiwaswa sambil pandangan matanya mengawasi ketiga orang itu
bergeser surut. Dengan bergabungnya ketiga pengikut Pangeran Ranapati itu
dengan kawan-kawannya yang lain, tekanan yang dialami pasukan Mataram akan
semakin berat.
Namun Ki
Lurah Adiwaswa tidak sempat meneruskan angan-angannya karena lawan barunya kini
sedang berjalan kearahnya.
“Nah,”
berkata laki-laki itu kemudian setelah dia berhadap-hadapan dengan Ki Lurah
Adiwaswa, “Sebelum aku memenggal kepalamu, tidak ada jeleknya aku
memperkenalkan diri terlebih dahulu. Orang menyebutku Kyai Dadap Ireng, karena
memang aku adalah pemimpin perguruan Dadap Ireng.”
Ki Lurah
Adiwaswa mengerutkan keningnya. Nama perguruan Dadap Ireng terdengar masih
asing di telinganya. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak ingin mengecewakan lawannya.
Maka katanya kemudian, “Terima kasih Kyai Dadap Ireng. Aku Lurah
Adiwaswa, salah satu Lurah prajurit yang bertugas di kesatuan pasukan berkuda
Mataram.”
“Persetan
dengan pasukan berkuda Mataram!” geram Kyai Dadap Ireng, “Aku tidak menyuruhmu
untuk menyebut namamu. Siapa yang peduli dengan namamu, he!”
Ki Lurah
Adiwaswa manarik nafas dalam-dalam. Kesan pertama yang didapatkan dari lawannya
cukup mendebarkan. Agaknya orang yang menyebut dirinya Kyai Dadap Ireng ini
tidak perduli dengan segala unggah-ungguh dan suba sita.
“Baiklah
Kyai Dadap Ireng,” akhirnya Ki Lurah Adiwaswa berkata, “Aku juga tidak peduli
apakah aku berhadapan dengan Dadap Ireng atau Dadap Merah atau bahkan mungkin
yang sekarang aku hadapi ini adalah Dadap Ayam, sejenis pohon Dadap yang
dapat tumbuh menjulang tinggi namun batangnya bengkok dan kayunya sangat
lunak.”
“Tutup
mulutmu!” teriak Kyai Dadap Ireng sambil meloncat menyambar mulut lawannya.
Namun Ki
Lurah Adiwaswa sudah waspada terhadap segala gerak gerik lawannya. Dengan mudah
dihindari serangan lawan yang mengarah ke wajahnya itu. Sejenak kemudian
keduanya pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Silih
ungkih singa lena. Terlena sedikit saja nyawa yang menjadi taruhannya.
Dalam
pada itu, kuda-kuda pasukan Mataram yang lepas dari jebakan di lemah Cengkar
telah berlari-larian tanpa arah. Beberapa ekor kuda justru tidak berpacu lurus
mengikuti kuda-kuda yang lain menuju Kademangan Jati Anom. Dua ekor kuda justru
telah mengambil jalan ke arah kiri menuju Padepokan orang bercambuk.
Dua orang
cantrik yang sedang berjaga terkejut ketika pendengaran mereka lamat-lamat
mendengar derap beberapa ekor kuda menuju ke arah gerbang Padepokan.
“Kuda?”
desis salah seorang cantrik sambil mengangkat kepalanya, “Malam-malam begini?”
“Marilah,”
desis kawannya sambil beringsut turun dari pendapa, “Mungkin ada tamu penting
yang sengaja berkunjung di waktu yang tidak sewajarnya ini.”
Cantrik
itu tidak menyahut. Diraihnya pedang pendek yang tergeletak di lantai pendapa.
Setelah menyelipkan pendang pendek itu di ikat pinggangnya, dengan tergesa-gesa
dia segera berlari mengejar kawannya yang telah terlebih dahulu mencapai pintu
gerbang..
Ketika
cantrik itu telah sampai di depan gerbang padepokan, kawannya tampak sedang
mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu yang sedikit renggang.
“Dua ekor
kuda,” bisik kawannya pada cantrik yang baru datang.
“He?”
seru cantrik itu terkejut, “Dua orang berkuda, katamu?”
“Bukan,
bukan dua orang berkuda,” jawab kawannya sambil tetap mengintip, “Dua ekor kuda
lengkap dengan pelana namun tanpa seorang penunggang pun.”
“He?”
kembali cantrik itu berseru heran. Dengan tergesa-gesa dia segera ikut
mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu gerbang padepokan.
Tampak
dalam keremangan malam dua ekor kuda lengkap dengan pelana serta perkakas
lainnya sedang berderap perlahan di jalan yang menuju ke padepokan dan akhirnya
berhenti beberapa tombak di depan gerbang padepokan. Setelah termangu-mangu
beberapa saat. Dua ekor kuda itu pun kemudian berjalan menepi dan kemudian
merumput dengan tenang di pinggir jalan.
“Aneh,”
desis cantrik itu, “Dua ekor kuda tanpa penunggang. Pasti sesuatu telah terjadi
pada kedua penunggangnya. Aku akan melaporkan ini kepada Ki Widura.”
Kawannya
mengerutkan keningnya sambil menjauhkan kepalanya dari pintu gerbang. Katanya
kemudian, “Apakah cukup beralasan jika kita membangunkan Ki Widura di saat
seperti ini?”
Sejenak
cantrik itu merenung. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu. Namun keberadaan dua ekor kuda tanpa penunggang ini dapat
menimbulkan berbagai dugaan. Mungkin saja ada orang-orang yang sedang
memerlukan pertolongan.”
“Atau
bisa jadi hanya dua ekor kuda yang lepas dari kandangnya karena pemiliknya lupa
menutup pintu kandang,” sahut temannya dengan serta merta.
“Tapi
pemiliknya tentu tidak akan memasangkan pelana jika memang kedua ekor kuda itu
hanya terlepas dari kandang,” bantah cantrik itu kemudian.
Kawannya
tidak menjawab lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.
“Ah,
sudahlah,” berkata cantrik itu kemudian, “Tunggulah di sini. Awasi kuda-kuda
itu. Aku akan melaporkan kepada Ki Widura.”
“Apakah
aku harus membuka pintu gerbang?” bertanya kawannya kemudian.
“Tidak
perlu,” jawab cantrik itu sambil melangkah pergi, “Awasi saja dari celah-celah
pintu gerbang. Jika keadaan berkembang diluar kewajaran, engkau dapat memukul
kentongan untuk memberikan isyarat.”
“Baik,”
jawab kawannya. Tanpa sadar matanya memandang kearah sebuah kentongan kecil
yang tersangkut di pojok pintu gerbang sebelah atas.
Dalam pada itu, pertempuran di lemah Cengkar
semakin lama menjadi semakin sulit bagi pasukan Mataram. Walaupun demikian,
sebagai prajurit mereka tetap bertahan sampai titik darah penghabisan.
Bersambung ke - 415 Bag. 6
Komentar
Posting Komentar