Api Di Bukit Menoreh 398
HATI Sekar Mirah benar-benar
tinggal semenir melihat keadaan Ki Gede. Dicobanya untuk menolong pernafasan Ki
Gede dengan membantunya duduk bersandar, namun akibatnya justru membuat Sekar
Mirah semakin terisak, Ki Gede ternyata telah terbatuk batuk dan memuntahkan
gumpalan darah yang berwarna kehitam-hitaman, walaupun tidak seberapa banyak.
“Ki
Gede,” bisik Sekar Mirah diantara isaknya, “Bertahanlah, aku akan mengganti
baju Ki Gede yang kotor ini, sementara biarlah para pelayan menyiapkan minuman
hangat. Semoga Ki Jayaraga setelah selesai membersihkan diri, segera ke bilik
ini pula untuk menjenguk Ki Gede.”
Ki
Gede sama sekali tidak menjawab. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan kedua
mata yang terpejam rapat, sedangkan nafasnya masih saja memburu.
Baru
saja Sekar Mirah beranjak dari duduknya, sudut matanya menangkap sesosok
bayangan yang termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik Ki Gede.
“Prastawa,”
geram Sekar Mirah dalam hati, “Untuk apa sepagi ini dia sudah datang ke rumah
ini?” namun pertanyaan dalam hatinya itu segera dijawabnya sendiri, bukankah
Prastawa itu kemenakan Ki Gede, sudah sewajarnyalah bila dia mengkhawatirkan
kesehatan Pamannya. Namun Sekar Mirah menyadari bahwa kadang niat Prastawa itu
tidak tulus.
Sebelum
Sekar Mirah memutuskan apa yang akan diperbuatnya, terdengar suara orang tua
yang sareh di belakang Prastawa, “Anakmas Prastawa, apakah aku diijinkan untuk
memasuki bilik Ki Gede?”
“Oh,
“ Prastawa terkejut, dengan cepat digeser tubuhnya kesamping, “Maafkan aku Ki
Jayaraga, perhatianku sedang tertuju ke dalam bilik Ki Gede sehingga kedatangan
Ki Jayaraga tidak aku dengar.”
Ki
Jayaraga hanya tersenyum tipis saja, sambil melangkah masuk dia berbisik ke
arah Prastawa yang berdiri beberapa jengkal saja di sebelah pintu, “Cepat
panggil Tabib itu, kelihatannya keadaan Ki Gede semakin memburuk.”
Prastawa
tanggap dengan apa yang dikatakan Ki Jayaraga, maka katanya kemudian juga
dengan setengah berbisik, “Bagaimana dengan keluarga yang ada di Sangkal
Putung?”
Ki
Jayaraga menghentikan langkahnya sejenak, sambil berpaling ke arah Prastawa Ki
Jayaraga pun menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Engkau dapat menyuruh
dua atau tiga orang pengawal yang sudah mengenal Sangkal Putung untuk
mengabarkan keadaan Ki Gede ini. Jangan lupa, keluarga Ki Waskita pun perlu
diberi tahu.”
Prastawa
mengangguk anggukan kepalanya. Setelah sekilas memandang ke arah Sekar Mirah
yang sedang sibuk mengganti baju Ki Gede yang terkena ceceran muntahan darah ,
dengan langkah gontai dia meninggalkan bilik Ki Gede.
Pada
hari itu, sebelum matahari naik sepenggalah, tiga orang pengawal sedang berpacu
di atas punggung kuda menelusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh menuju
ke Kademangan Sangkal Putung. Sedangkan untuk keluarga Ki Waskita, Prastawa
telah menyuruh seorang pengawal saja karena tempat tinggal Ki Waskita tidak
terlampau jauh bila dibandingkan dengan Kademangan Sangkal Putung.
Dalam
pada itu, di sebuah hutan di lereng pegunungan Menoreh yang jarang disentuh
oleh tangan manusia, sekelompok orang tampak berkumpul di sebuah tanah yang
cukup datar dan lapang yang kelihatannya memang sengaja dibuat demikian itu
untuk kepentingan mereka.
“Guru,”
berkata seorang yang berperawakan pendek kekar dengan kumis yang jarang-jarang,
“Menurut cerita orang-orang yang ada di pasar-pasar, Ki Argapati telah jatuh
sakit dengan tiba-tiba, belum diketahui penyebab sakitnya. Bahkan Tabib yang
terbaik yang ada di Tanah Perdikan ini belum bisa menyimpulkan apa penyakit
yang diderita oleh Ki Argapati.”
Orang
yang dipanggil Guru itu tertawa pendek, “Biar saja Argapati mati, apa peduliku.
Tanah Perdikan ini akan kosong, tidak akan ada yang mampu memimpin Tanah ini
sepeninggal Argapati. Menantunya yang sombong itu lebih memilih mengurusi
Kademangannya sendiri, dia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan
Tanah Perdikan Menoreh. Sepeninggal Argapati, Menoreh benar-benar akan rapuh
dan kita akan segera mengambil alih Tanah Perdikan ini.”\
Orang-orang
yang ada di sekelilingnya mengangguk anggukkan kepalanya, namun seorang yang
berperawakan tinggi kurus dengan mata juling dan hidung bengkok seperti paruh
burung rajawali mengangkat tangannya sambil bertanya, “Maafkan aku Guru,
sepengetahuanku di Menoreh ini ada Agung Sedayu dengan pasukan khususnya.
Bagaimanakah tanggapan Guru sehubungan dengan rencana pengambil alihan Tanah
Perdikan ini sepeninggal Ki Argapati?”
“Engkau
memang bodoh,” geram Gurunya, “Agung Sedayu sekarang sedang berada di Panaraga,
sedangkan pasukan khususnya itu pun akan segera berangkat menyusul ke Panaraga
untuk membungkam Pangeran Jayaraga yang berusaha memberontak kepada Mataram.
Untuk menyerang Panaraga, Mataram tentu membutuhkan bantuan pasukan yang salah
satunya dari Perdikan Menoreh. Nah, apakah engkau sudah dapat membayangkan apa
yang akan terjadi sepeninggal Argapati di Menoreh ini? Pengawal-pengawal yang
terpilih akan berangkat ke Panaraga, tinggallah cucurut-cucurut yang tak
berarti, dengan mudah kita dapat menghancurkan mereka tidak lebih lama dari
mijet wohing ranti.”
Orang
yang berhidung bengkok seperti paruh burung rajawali itu termangu-mangu
sejenak, kemudian katanya, “Tetapi apakah Mataram akan diam saja sekembalinya
mereka dari Panaraga ketika mengetahui bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah kita
kuasai?”
“O,
alangkah tumpulnya otakmu, Parta Juling, “ sekali lagi Gurunya menggeram,
“Tentu saja kita tidak secara langsung mengambil alih Perdikan ini sepeninggal
Argapati. Ada orang yang juga mempunyai hak atas tanah ini yang akan menjadi
pemangku sementara, dan kita akan berdiri dibelakangnya untuk mengatur segala
galanya yang berhubungan dengan tata pemerintahan Tanah Perdikan ini.”
Parta
Juling kelihatannya masih kebingungan dengan penjelasan dari gurunya. Sementara
bagi murid-murid yang lain lebih baik mereka diam saja. Biarlah urusan tetek
bengek itu dipikir oleh Guru mereka, sedangkan mereka sebagai murid hanya siap
menunggu perintah.
“Sudahlah,”
berkata Gurunya kemudian, “Kita tunggu kedatangan Ki Harga Jumena dari
Blambangan, ada hal-hal penting yang perlu kita bicarakan untuk mengatur
langkah-langkah dimasa mendatang.”
Sejenak
kemudian suasana hutan itu menjadi sunyi. Masing-masing sibuk dengan
angan-angannya sendiri. Sementara suara kicau burung semakin ramai, diselingi
dengan suara monyet yang berteriak teriak tidak menentu sambil berayun-ayun
dari satu dahan ke dahan yang lain tidak jauh dari tempat mereka berkumpul.
Agaknya binatang-binatang itu merasa terganggu dengan kehadiran manusia
disekitar mereka.
Hampir
sepeminum teh mereka yang ada di hutan itu menunggu, barulah orang yang mereka
tunggu hadir. Seorang yang berperawakan kecil ramping, berumur kira-kira hampir
setengah abad. Wajahnya cukup bersih dan dapat dikatakan tampan. Berpakaian
serba hijau dengan ikat kepala kuning gading, beberapa rambutnya yang mulai
berwarna putih tampak terjulur diantara ikat kepalanya.
“Selamat
datang Ki Harga Jumena,” sapa orang yang disebut Guru itu, “Silahkan, untuk
sementara kami belum bisa menyediakan tempat yang layak.”
“Ah,
itu tidak menjadi soal, Ki Wasi Jaladara,” jawab Ki Harga Jumena, “Kami adalah
orang-orang yang terbiasa hidup di alam bebas.”
Orang
yang selama ini disebut Guru itu ternyata adalah Ki Wasi Jaladara dari perguruan
Liman Benawi di Madiun. Orang yang berperawakan tinggi gagah dengan kumis
melintang tetapi dengan dagu yang licin. Berikat kepala warna wulung dan
berbaju hitam dengan kain panjang hitam bergaris garis putih.
Ki
Harga Jumena dan murid muridnya yang berjumlah empat orang itu segera mencari
tempat yang masih kosong. Setelah menanyakan keselamatan mereka dalam
perjalanan, mulailah Ki Wasi Jaladara mengungkapkan maksudnya mengadakan
pertemuan ditempat itu.
“Ki
Harga Jumena,” berkata Ki Wasi Jaladara kemudian, “Dalam waktu dekat ini, dapat
dipastikan kalau Argapati akan mati. Perdikan Menoreh akan kosong, karena
pewaris utamanya, Swandaru suami Pandan Wangi itu pasti masih berat untuk
meninggalkan Kademangannya. Perdikan Menoreh ini tentu akan menunjuk seorang
pemangku sementara atas persetujuan keluarga Menoreh. Nah, saat itulah Ki Harga
Jumena mempunyai peran yang sangat penting untuk merebut masa depan tanah ini.”
Ki
Harga Jumena tertegun sejenak, sambil berpaling kearah murid muridnya, dia
menjawab, “Kami dari perguruan Harga Belah sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan Perdikan Menoreh. Kedatangan kami ke tanah ini adalah karena ada
berita munculnya sebuah kitab pusaka warisan Empu Windujati yang dimiliki oleh
pewaris perguruan orang bercambuk yaitu Ki Rangga Agung Sedayu dan Swandaru.
Selebihnya kami tidak tahu menahu.”
Ki
Wasi Jaladara tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian sambil
menatap tajam kearah Ki Harga Jumena, dia berdesis perlahan, “Bukankah semasa
muda Ki Harga Jumena yang bernama Janu Ardi itu bersahabat karib dengan Ki
Argajaya adik Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh?”
“Ah,
kejadian itu sudah sangat lama berlalu dan aku tidak yakin kalau Ki Argajaya
masih mengingatku.” Jawab Ki Harga Jumena ragu-ragu.
“Justru
pada saat inilah, Ki Harga Jumena dapat mengingatkan Ki Argajaya tentang
persahabatan masa lalu itu, tetapi Ki Harga Jumena harus datang pada saat yang
tepat, saat Ki Argajaya membutuhkan sebuah pertolongan.”
“Aku
tidak mengerti.”
“Baiklah,”
Ki Wasi Jaladara beringsut setapak maju, sambil mengedarkan matanya ke seluruh
yang hadir ditempat itu, dengan perlahan lahan dia menjelaskan rencananya,
“Sepeninggal Argapati, tidak ada lagi yang akan memimpin tanah Perdikan ini,
semua orang yang mempunyai sangkut paut dengan Perdikan Menoreh sibuk dengan
urusannya sendiri. Swandaru yang seharusnya mempunyai peran yang sangat
penting, ternyata tidak bisa berpisah dengan kademangannya, Agung Sedayu yang
bukan sanak bukan kadang dengan keluarga Menoreh akan disibukkan dengan urusan
keprajuritan sehubungan dengan jenjang kepangkatan yang disandangnya, Prastawa
adalah anak kemarin sore yang sama sekali diluar perhitungan. Nah, tinggal Ki
Argajaya sebagai adik Ki Gede Menoreh yang pantas menjadi pemangku tanah
Perdikan Menoreh ini.”
“Sejauh
ini, adik Ki Gede Menoreh itu tidak mau berhubungan dengan urusan pemerintahan
Perdikan Menoreh karena dosa yang telah dilakukannya dimasa lalu.” Sergah Ki
Harga Jumena.
Sebuah
senyuman tersungging di bibir Ki Wasi Jaladara, “Tentu saja Ki Argajaya tidak
akan mencalonkan dirinya untuk menjadi pemangku tanah Perdikan ini, tetapi
rakyat Perdikan Menoreh lah yang menghendaki.”
“Rakyat
Perdikan Menoreh? Bagaimana mungkin?” hampir bersamaan orang-orang yang hadir
disitu bergeremang termasuk Ki Harga Jumena.
Senyum
Ki Wasi Jaladara semakin lebar. Ditegakkannya kepalanya sambil memandang
sekelilingnya, seolah-olah kemenangan itu sudah ada ditangannya.
“Sekaranglah
saatnya kita berbagi tugas,” berkata Ki Wasi Jaladara dengan
bersungguh-sungguh. Senyumnya sudah hilang dari wajahnya, “Mulai saat ini kita
akan menyebar ke seluruh padukuhan-padukuhan yang ada di perdikan Menoreh.
Berilah kesan seolah-olah kalian adalah orang dari tempat lain yang singgah di
tanah ini hanya sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Kalian dapat singgah di
kedai-kedai yang ada di pasar-pasar atau tempat-tempat lain yang banyak
dikunjungi orang. Sambil lalu tanyalah keadaan tanah ini, sekiranya mereka
memberikan tanggapan, mulailah dengan pertanyaan siapakah yang pantas menggantikan
Ki Argapati? Kalian pasti akan mendapatkan jawaban yang beragam. Nah, katakan
pada mereka, mereka tidak usah mengharapkan Swandaru atau orang lain, tapi trah
Menoreh yang sesungguhnya berhak atas tanah Perdikan ini adalah anak Swandaru
dan Pandan Wangi itu.”
Sampai
disini Ki Wasi Jaladara berhenti sejenak. Ditunggunya tanggapan dari mereka
yang hadir disitu, namun kebanyakan dari mereka hanya menundukkan kepalanya.
“Sebentar,
Ki Wasi,” ternyata Ki Harga Jumena tidak dapat menahan dirinya, “Tadi engkau
mengatakan bahwa hanya Ki Argajaya yang berhak atas tanah Perdikan ini,
bagaimana mungkin engkau menyebut anak Swandaru itu pula?”
Ki
Wasi Jaladara tertawa pendek, kemudian lanjutnya, “Anak Swandaru itu aku
sebutkan hanya sebagai pancingan saja. Orang-orang tentu akan bertanya,
bagaimana mungkin anak yang masih belum cukup umur itu akan memimpin sebuah
tanah Perdikan yang besar? Nah, kita dapat memberikan sumbangan pendapat bahwa
anak itu perlu seorang pendamping yang masih punya trah Menoreh dan akan menjadi
pemangku sementara tanah Perdikan Menoreh ini sambil menunggu dia cukup dewasa
untuk menjalankan tugasnya, dan orang itu tidak lain adalah adik kandung Ki
Gede Menoreh sendiri, Ki Argajaya.”
“Apakah
Ki Argajaya akan bersedia menerima tugas itu?”
“Permasalahannya
bukan mau atau tidak mau, tapi adalah kehendak rakyat tanah Perdikan Menoreh
yang besar ini, apabila hampir seluruh rakyat tanah Perdikan ini menghendaki
hal itu, tidak ada alasan bagi Ki Argajaya untuk menolaknya.”
Sejenak
semua diam merenungi keterangan dari Ki Wasi Jaladara. Matahari telah naik
semakin tinggi, namun karena hutan itu ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat,
sinar matahari tidak begitu kuat menerobos sela-sela dedaunan yang rimbun.
Ki
Wasi Jaladara memandang wajah-wajah yang ada di sekelilingnya, dicobanya untuk
menyelami tanggapan yang mungkin timbul diantara mereka, namun agaknya mereka
masih menunggu keterangan dari rencananya selanjutnya.
“Pada
saat Ki Argajaya dikukuhkan menjadi pemangku tanah Perdikan ini, peran dari Ki
Harga Jumena sangat aku harapkan. Dengan mengingat persahabatan dimasa lalu,
aku harapkan Ki Harga Jumena mendapat tempat yang penting dalam membantu Ki
Argajaya memimpin tanah ini.”
“Apakah
itu mungkin?” bertanya Ki Harga Jumena ragu-ragu. Pertanyaan yang sama ternyata
telah tumbuh pula di setiap dada dari mereka yang hadir disitu.
“Itu
perkara mudah, Ki Harga Jumena,“ jawab Ki Wasi Jaladara tenang, “Kami akan
membuat sebuah ontran-ontran yang meresahkan hampir sebagian besar kawula tanah
Perdikan Menoreh. Pada saat itulah Ki Harga Jumena hadir sebagai penyelamat dan
pahlawan bagi rakyat Perdikan Menoreh. Hal ini tentu akan menjadi sebuah hutang
budi bagi seorang sahabat lama. Dan selanjutnya, Ki Harga Jumena akan mendapat
tempat di hati Ki Argajaya maupun rakyat Menoreh.”
Ki
Harga Jumena termenung sejenak, kemudian katanya dengan sedikit ragu-ragu,
“Selanjutnya, apakah yang dapat aku lakukan untuk Ki Wasi Jaladara?”
“Selanjutnya
adalah peran Ki Harga Jumena untuk menerima kami sebagai saudara, sahabat atau apapun
yang dapat dijadikan sebagai alasan sehingga kami dapat menyusup dan menjadi
bagian dari tanah Perdikan Menoreh.”
Ki
Harga Jumena termangu-mangu. Benar-benar sebuah rencana yang rumit dan memakan
waktu yang cukup lama, namun semua itu mungkin saja dilakukan asalkan setiap
pihak memegang rahasia serapat-rapatnya dan sabar dalam melaksanakan tugasnya
masing-masing.
Kembali
mereka yang hadir disitu terdiam. Masing-masing mulai membayangkan perannya dan
hasil yang mungkin dapat mereka capai sesuai dengan gegayuhannya.
“Maafkan
aku sebelumnya, Ki Wasi Jaladara,” suara Ki Harga Jumena memecah keheningan,
“Seperti yang pernah aku utarakan sebelumnya, bahwa tujuanku jauh-jauh dari
Blambangan ke tanah Perdikan ini adalah karena kitab perguruan Empu Windujati, adapun
permasalahan yang menyangkut masa depan tanah ini adalah bukan urusanku.
Seandainya benar bahwa engkau mempunyai kemampuan untuk mengetahui letak sebuah
pusaka, baik itu berupa sebuah keris, tombak atau bahkan sebuah kitab pusaka
sekalipun, aku akan sangat berterima kasih dan akan siap membantu tujuanmu
menguasai tanah Perdikan ini jika engkau mau menunjukkan kepadaku, dimana kitab
warisan Empu Windujati itu disembunyikan.”
Ki
Wasi Jaladara menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya,
kemudian katanya sambil memandang kearah murid muridnya, “Jumali, Santa dan
Ranu, kalian dapat memberikan keterangan tentang usaha kalian untuk menjemput
kitab itu di rumah Ki Rangga Agung Sedayu sesuai dengan petunjuk dari getaran
yang berhasil aku terima tentang keberadaan kitab itu melalui sebuah laku yang
cukup rumit.”
“Baik,
Guru,” murid tertua dari padepokan Liman Benawi yang disebut Jumali itu
bergeser setapak maju, sambil menganggukkan kepalanya kearah Ki Harga Jumena,
dia pun mulai bercerita, “Pada malam itu, disaat Ki Rangga Agung Sedayu pergi
ke Mataram, salah seorang saudara seperguruan kami, adi Ranu telah mengikuti
perjalanannya ke Mataram, bahkan adi Ranu telah berhasil bertemu dengan Ki
Rangga Agung Sedayu sendiri di istana kepatihan. Dari keterangan adi Ranu
itulah, kami yakin bahwa Ki Rangga Agung Sedayu tidak akan segera kembali ke
Menoreh malam itu juga, maka Aku dan adi Santa pun merencanakan untuk memasuki
rumahnya keesokan harinya dengan perhitungan penghuni rumah itu sudah keluar semua.
Orang yang bernama Ki Jayaraga itu dapat dipastikan pagi-pagi sekali telah
berangkat ke sawah, sedangkan Nyi Agung Sedayu sudah terbiasa pergi ke pasar
setiap pagi.”
Sampai
disini Jumali berhenti sejenak. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dia pun meneruskan
ceritanya, “Setelah yakin bahwa rumah itu dalam keadaan kosong, kami pun
memasukinya dari dua arah, aku dan adi Santa dari arah depan, sedangkan adi
Ranu lewat pintu butulan dari halaman belakang. Sesuai dengan petunjuk Guru,
memang kami dapat menemukan bilik Ki Rangga Agung Sedayu dengan dinding kamar
yang bersekat rangkap, akan tetapi yang membuat kami tidak habis mengerti
adalah, Kitab itu sudah tidak ada di tempatnya, yang tertinggal hanyalah sebuah
kotak kayu tempat menyimpan kitab pusaka itu yang disembunyikan diantara sekat
bilik yang rangkap.”
Ki
Harga Jumena mengerutkan keningnya dalam-dalam, lalu katanya, “Jadi kalian
benar-benar sudah berhasil memasuki bilik Ki Rangga Agung Sedayu?”
“Benar,
Ki,” jawab Jumali, “Bahkan kami telah mencoba mengungkit papan penyekat
biliknya dan hanya menemukan sebuah kotak kayu yang telah kosong isinya. Kuat
dugaan kami bahwa sebelumnya kitab itu disimpan didalam kotak itu.”
Semua
yang hadir disitu terdiam. Masing-masing mencoba menilai apakah sebenarnya yang
telah terjadi. Ki Wasi Jaladara adalah seorang yang mumpuni lahir maupun batin.
Ketajaman panggraitanya dalam melakukan tayuh terhadap benda-benda pusaka
maupun mencari letak benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab peninggalan dari
para Empu dan Resi tidak diragukan lagi, namun kali ini ketajaman panggraitanya
telah diuji. Kitab pusaka itu telah jengkar dari tempatnya tanpa diketahui apa
penyebabnya.
“Guru,”
tiba-tiba keheningan itu telah dipecahkan oleh suara Ranu yang bergetar menahan
gejolak di dadanya, “Ada peristiwa yang mungkin ada sangkut pautnya dengan
keberadaan kitab itu sebelum aku memasuki rumah Ki Rangga Agung Sedayu dari
pintu butulan.”
Semua
orang menjadi berdebar debar, demikian juga dengan Ki Wasi Jaladara. Sambil
memandang tajam ke arah muridnya yang termuda diantara ketiga murid utamanya
itu, dia berdesis perlahan, “Katakan Ranu, lebih baik engkau mengatakan yang
sebenarnya, jangan sampai engkau membuat sebuah kesalahan di hadapan Gurumu.”
Keringat
dingin tiba-tiba saja membasahi punggung Ranu, namun apaboleh buat, dia sudah
terlanjur mengatakan sesuatu.
“Maafkan
aku sebelumnya, Guru. Peristiwa itu kemungkinan ada sangkut pautnya dengan
tugas kami, karena dalam perjalanan ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu, aku telah
berpapasan dengan anak muda yang biasa membantu di rumah Ki Rangga Agung
Sedayu. Saat itu aku sedang menuruni tebing sungai yang terletak di sebelah
barat Padukuhan induk Perdikan Menoreh. Anak itu aku jumpai justru sedang naik
ke tebing yang sama hanya berjarak beberapa puluh langkah saja dariku sambil
membawa sebuah buntalan di punggungnya.”
Ki
Wasi Jaladara menggeram keras, setengah berteriak dia bertanya, “He, siapakah
sebenarnya anak muda itu?”
“Dia
adalah pembantu di rumah Ki Rangga Agung Sedayu,“ Jumali yang menyahut, “Menurut
pengamatan kami selama ini, dia hanyalah anak muda yang sedang tumbuh seperti
anak-anak muda yang lainnya. Tugasnya di rumah Ki Rangga Agung Sedayu hanya
berkisar dari menyapu halaman, mengisi jambangan dan membelah kayu bakar.”
“Selain
itu dia mempunyai kegemaran memasang rumpon di sungai, hampir tiap malam dia
turun ke sungai padahal anak-anak muda seusianya sudah banyak yang beralih ke
kegiatan yang lebih menantang.” Kali ini Santa yang sedari tadi diam saja telah
menambah keterangan Jumali.
“Persetan
dengan rumpon itu, “ geram Ki Wasi Jaladara, “Aku tidak peduli dengan semua
itu, tapi kapan terakhir kalinya kalian melihat anak itu masih di rumah Ki
Rangga Agung Sedayu?”
Ketiga
muridnya saling berpandangan. Mereka memang tidak begitu menaruh perhatian terhadap
Sukra, pembantu yang ada di rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Bagi mereka Sukra
tidak lebih dari anak muda yang mempunyai kegemaran turun ke sungai hampir
setiap malam.
Melihat
ketiga muridnya hanya saling pandang tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kemarahan
Ki Wasi Jaladara sudah tak terbendung lagi. Disertai dengan teriakan yang
menggelegar, diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dari telapak tangan
yang mengembang itu, seberkas sinar meluncur menyambar seonggok batu padas
sebesar kerbau yang terletak beberapa depa di belakang murid muridnya.
Sebuah
ledakan dahsyat segera terjadi disertai debu yang berhamburan ke segala
penjuru. Sejenak pemandangan menjadi kabur oleh debu yang berhamburan. Agaknya
kemarahan Ki Wasi Jaladara benar-benar sudah sampai ke puncaknya sehingga dia
telah mengeluarkan ilmu andalannya. Aji Tapak Liman.
“O,
alangkah bodohnya kalian,” geram Ki Wasi Jaladara memaki murid-muridnya,
“Percuma saja aku menjalani laku yang cukup rumit untuk mencari petunjuk
tentang keberadaan kitab peninggalan Empu Windujati. Kalian telah teledor dan
gegabah dalam menyikapi keadaan di sekeliling kalian. Ingat, aku telah berpesan
untuk mengamat amati semua orang yang ada di rumah Ki Rangga Agung Sedayu dan
ternyata kalian telah melewatkan seorang anak muda pembantu rumah tangga Ki
Rangga Agung Sedayu. Kalian benar-benar bodoh!”
Ketiga
murid utama padepokan Liman Benawi itu hanya dapat menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Baru sekarang mereka menyadari, betapa bodohnya mereka yang
menganggap Sukra hanyalah anak muda kebanyakan. Namun satu hal yang mereka
tidak habis mengerti, seandainya benar Sukra yang mengambil kitab itu, dari
mana dia mengetahui keberadaan kitab yang tersembunyi di dalam dinding rangkap
bilik Ki Rangga Agung Sedayu?
Sementara
itu, hari telah semakin siang. Seberkas sinar matahari yang mampu menerobos
disela-sela lebatnya dedaunan telah menyentuh dan menyengat kulit mereka yang
sedang berkumpul di tengah hutan itu. Binatang-binatang hutan masih saling
bersahutan memperdengarkan suaranya. Seekor monyet yang cukup besar dengan
memekik-mekik telah bergelantungan diantara cabang-cabang pepohonan mendekati
manusia-manusia yang baginya telah mengganggu kebebasannya.
“Baiklah,”
akhirnya Ki Wasi Jaladara berkata, “Aku akan berusaha lagi menemukan letak
kitab perguruan Windujati itu. Namun aku minta waktu barang sepekan. Aku
sendiri yang akan menelusuri keberadaan kitab itu.”
“Terima
kasih, Ki Wasi,” sahut Ki Harga Jumena sambil tersenyum, “kami tidak terikat
dengan perjanjian ini, siapapun yang berhasil mendapatkan kitab itu, kami akan
bersedia menukarnya dengan apapun asalkan bukan nyawa kami yang diminta.”
“Gila,”
geram Ki Wasi Jaladara, “Memang sulit mengikat seorang Harga Jumena dengan
segala macam perjanjian, namun baiklah, dalam waktu sepekan engkau sudah akan
mendapatkan beritanya.”\
“Berhasil
maupun tidak berhasil?”
“Ya,
berhasil maupun tidak berhasil.”
Demikianlah,
akhirnya mereka yang sedang berkumpul di tengah hutan itu kemudian membubarkan
diri. Masing-masing akan menempuh jalan sesuai dengan rencana mereka.
Sementara
itu tiga orang pengawal yang telah diutus untuk memberi khabar kepada Pandan
Wangi di Sangkal Putung sedang berderap dengan kencang di bulak-bulak panjang.
Ketika kaki-kaki kuda mereka mulai menyentuh tanah yang berpasir, mereka pun
segera mengurangi laju kuda-kuda mereka. Tepian kali Praga sudah terlihat dan
mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat terlebih
dahulu.
Ketika
seorang tukang satang telah menyeberangkan mereka bertiga ke sisi lain dari
kali Praga, dengan segera mereka meloncat ke punggung kuda masing-masing. Untuk
menghindari berbagai pertanyaan dan permasalahan yang mungkin saja timbul dari
akibat kesalah pahaman dengan para prajurit Mataram, mereka sengaja tidak
melintasi kota Mataram. Dengan sedikit memutar serta melalui
padukuhan-padukuhan yang sepi, ketiganya telah memasuki Kademangan Jati Anom
ketika langit sudah mulai gelap. Jalan-jalan mulai diterangi oncor-oncor dari
biji jarak atau minyak kelapa yang disangkutkan di regol-regol rumah sepanjang
jalan utama Kademangan Jati Anom.
Dengan
hati yang berdebar debar mereka mencoba bersikap sewajarnya ketiga beberapa
prajurit yang sedang meronda berpapasan diujung jalan justru ketika mereka
sudah keluar dari Kademangan Jati Anom menuju daerah yang disebut Macanan yang
terkenal angker karena diyakini oleh penduduk sekitar itu terdapat harimau
jadi-jadian.
Ternyata
para prajurit yang sedang meronda itu hanya memandang sekilas kepada mereka,
sedangkan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu dengan memperlambat
langkah kuda-kuda mereka telah menganggukkan kepala sambil mencoba tersenyum
untuk menghindari kesalah pahaman yang mungkin bisa terjadi.
Demikianlah,
akhirnya ketika hari sudah menjelang wayah sepi bocah, ketiga pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu dengan dada yang berdebar debar memasuki regol padukuhan
induk Kademangan Sangkal Putung.
Ternyata
gardu di regol padukuhan induk itu sudah terisi beberapa anak muda walaupun
hari masih belum begitu malam. Seorang anak muda yang berperawakan tinggi kurus
dengan wajah yang lonjong dan berkumis tipis telah meloncat turun dari gardu
yang terletak disisi kiri regol dari arah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
itu datang.
Dengan
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, anak muda yang kekurus-kurusan itu
berkata setengah berteriak, “Sebentar Ki sanak bertiga, berhentilah. Kami ingin
mengajukan beberapa pertanyaan kepada kalian sebelum kalian melanjutkan
perjalanan.”
Ketiga
pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu saling pandang sambil menarik nafas dalam-dalam.
Seolah-olah sudah berjanji, ketiganya pun segera mengekang kuda-kuda mereka
untuk kemudian dengan tergesa-gesa meloncat turun.
“Apakah
kami berhadapan dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung?” bertanya salah
seorang dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh setelah mereka berdiri tegak
disisi kuda masing-masing.
“Benar,“
jawab anak muda yang kekurus-kurusan itu, “Siapakah kalian ini, dan kemanakah
tujuan kalian?”
Pengawal
Tanah Perdikan Menoreh yang bertanya itu tersenyum sambil mengangguk anggukkan
kepalanya, kemudian sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling regol, dia
melanjutkan, “Kami adalah para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, kami
diutus untuk menghadap Ki Swandaru dan Nyi Pandan Wangi.”
Anak
muda yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan keningnya. Sekilas dia dapat
menangkap kesungguhan dibalik kata-kata orang yang mengaku sebagai pengawal
Tanah Perdikan Menoreh itu, namun sebagai pengawal Kademangan Sangkal Putung
yang malam itu sedang bertugas menjaga keamanan lingkungan padukuhan induk,
tidak ada salahnya untuk berlaku hati-hati dalam menghadapi setiap persoalan.
“Apakah
Ki sanak dapat menunjukkan kepada kami suatu pertanda atau apapun yang dapat
dijadikan bukti bahwa Ki sanak bertiga adalah pengawal-pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh?” akhirnya anak muda yang bertubuh tinggi kurus itu kembali
bertanya.
Ketiga
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu saling pandang. Mereka memang tidak
diberi pertanda atau serat kekancingan yang dapat membuktikan bahwa mereka
adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, justru mereka berpikir bahwa yang
mereka kunjungi itu masih terhitung kerabat dekat dari Menoreh.
“Ki
sanak,” akhirnya pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berdiri di tengah
menyahut, “kami memang tidak dibekali pertanda ataupun serat kekancingan
sebagai bukti jati diri kami, namun sesungguhnya lah kami bertiga ini adalah
para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, itu dapat kami buktikan di hadapan
Nyi Pandan Wangi, dia pasti mengenali kami sebagaimana dia mengenali Menoreh,
tanah kelahirannya.”
Ternyata
percakapan itu telah menarik perhatian anak-anak muda yang sedang duduk-duduk
di gardu sambil bermain mul-mulan. Satu persatu dari mereka telah turun dari
gardu dan berjalan menuju ke tempat ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu
berdiri.
Melihat
perkembangan keadaan yang dapat saja menimbulkan ketegangan diantara mereka,
dengan tergesa-gesa salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu
berkata, “Bawalah kami menghadap Nyi Pandan Wangi, kami membawa berita yang
sangat penting dari Menoreh.”
Seorang
anak muda yang bertubuh agak gemuk dan berwajah bulat yang telah tiba lebih
dahulu di tempat itu dari kawan kawannya tiba-tiba saja menyahut dengan suara
agak keras, “kami tidak akan menghadapkan seseorang yang tidak jelas jati
dirinya kepada para pemimpin kami, kecuali apabila kalian tidak berkeberatan
menitipkan senjata-senjata kalian itu kepada kami.”
Hampir
berbareng ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu mengumpat dalam hati.
Senjata bagi mereka adalah tak ubahnya dengan nyawa mereka sendiri. Menyerahkan
senjata berarti menyerahkan nyawa.
Namun
mereka bertiga tidak mempunyai pilihan lain. Sebelum anak-anak muda Sangkal
Putung itu semakin banyak mengerumuni mereka, dengan tersenyum seolah-olah
tidak ada beban yang berarti, ketiganya pun kemudian meloloskan senjata-senjata
mereka berikut sarungnya.
“Terima
kasih,” berkata anak muda yang bertubuh kurus itu sambil menerima
senjata-senjata itu, “untuk tidak merepotkan perjalanan kita menuju rumah Ki
Demang, biarlah kami yang menuntun kuda-kuda kalian.”
Sebuah
desir tajam terasa menggores jantung ketiga pengawal dari Tanah Perdikan
Menoreh itu, namun mereka berusaha untuk mengendapkan perasaan mereka dan
membuang jauh-jauh kesan itu agar tidak semakin memperuncing keadaan.
Ketika
kemudian mereka dengan berjalan beriringan menuju ke rumah Ki Demang Sangkal
Putung, diam-diam ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu memuji
kecerdikan dan sikap waspada yang ditunjukkan oleh mereka selama perjalanan
menuju rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Ternyata
secara tidak langsung ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah
dikepung. Dengan menempatkan dua orang pengawal di depan serta masing-masing
seorang pengawal di kedua sisi mereka bertiga, rasa rasanya gerak mereka sangat
dibatasi. Apalagi di belakang mereka ada tiga orang pengawal Sangkal Putung
yang berjalan sambil menuntun kuda-kuda mereka.
Demikianlah
akhirnya iring-iringan itu bergerak menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke
rumah Ki Demang. Sepanjang jalan iring-iringan itu telah menarik perhatian
beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, bahkan anak-anak muda yang sedang
berkumpul di gardu simpang jalan yang menuju rumah Ki Demang Sangkal Putung pun
telah berloncatan dari gardu dan dengan tergesa-gesa mengikuti iring-iringan
yang semakin panjang itu.
Tidak
ada seorang pun yang berusaha menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi,
dan kelihatannya memang itu tidak perlu. Mereka beranggapan bahwa persoalan itu
pasti akan dibawa ke hadapan Ki Demang dan ternyata mereka lebih senang
mendengar sendiri nanti apa yang akan terjadi di rumah Ki Demang Sangkal
Putung.
Ketika
seorang pengawal yang sedang bertugas menjaga regol halaman rumah Ki Demang
Sangkal Putung melihat iring-iringan yang sangat panjang itu menuju ke arahnya,
sejenak dia berusaha untuk meyakinkan penglihatannya. Dengan berdebar debar
diamat-amatinya iring-iringan itu, namun dia tidak bisa menduga apa yang
sebenarnya akan dilakukan oleh orang-orang yang ada dalam iring-iringan itu,
sehingga dengan tergesa-gesa dia segera berlari menyeberangi halaman untuk
kemudian naik ke pendapa.
Ketika
penjaga itu tinggal selangkah lagi di depan pintu serambi yang menyekat antara
pendapa dan ruang dalam, sejenak dia termangu-mangu sambil sesekali berpaling
ke belakang untuk meyakinkan bahwa iring-iringan itu benar-benar menuju ke
rumah Ki Demang. Akhirnya dengan tangan yang sedikit gemetar, pengawal itu pun
kemudian mengetuk pintu serambi dengan ketukan tiga kali ganda.
Swandaru
dan Ki Demang yang memang belum tidur dan masih berbincang bincang seputar
keadaan Kademangan Sangkal Putung terkejut mendengar ketukan di pintu. Ketukan
tiga kali dengan irama ganda adalah sebuah isyarat yang telah disepakati bahwa
keadaan diluar memerlukan perhatian yang seksama. Sambil membenahi kain
panjangnya, sejenak kemudian Swandaru pun segera berdiri dan berjalan menuju ke
pintu.
Bersamaan
dengan terbukanya pintu serambi, ternyata iring-iringan itu telah mencapai
regol rumah Ki Demang. Dengan suara yang hiruk pikuk mereka pun menerobos
regol. Segera saja mereka bergerak mendekati pendapa.
Swandaru
yang masih berdiri termangu-mangu di pintu serambi benar-benar terkejut, tanpa
disadarinya pengawal yang berdiri di depannya didorongnya kesamping sehingga
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Menyadari
kejadian yang tidak disengajanya itu, Swandaru sempat tertegun sejenak, namun
kemudian perhatiannya segera saja tertuju kepada beberapa orang yang mulai naik
ke pendapa.
“He,”
setengah berteriak Swandaru berkata sambil melangkah maju, “Apa yang sebenarnya
sedang terjadi?”
Para
pengawal yang membawa ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu sejenak
bagaikan membeku di tempatnya. Segera mereka menyadari bahwa kesan pertama kali
yang mereka bawa ke rumah Ki Demang adalah kesan yang mendebarkan, sedangkan
persoalannya yang sebenarnya belum begitu jelas.
“Maafkan
kami, Ki Swandaru,” anak muda yang bertubuh kurus itulah yang akhirnya
menjawab, “kami membawa tiga orang yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh
yang ingin bertemu dengan Nyi Pandan Wangi.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Diedarkan pandangan matanya ke arah kerumunan
orang-orang yang berdiri dihadapannya. Segera saja dia mengetahui siapakah yang
mereka maksud, karena sebagai pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung, Swandaru
hampir mengenal semua anak-anak muda yang berada di bawah pimpinannya.
Merasa
Swandaru sedang memandangi mereka, ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh
itu pun segera bergeser kedepan. Sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam,
salah satu dari mereka berkata, “Selamat malam Ki Swandaru, mohon dimaafkan
telah mengganggu istirahat Ki Swandaru. Sesungguhnyalah kami para pengawal dari
Tanah Perdikan Menoreh mohon diijinkan untuk menghadap.”
“Mohon
dimaafkan, Ki Swandaru,“ anak muda yang bertubuh kurus itu menyela, “Mereka
memang mengaku pengawal dari tanah Perdikan Menoreh, namun mereka tidak mampu
menunjukkan siapa sebenarnya mereka, tidak ada satu pun ciri atau pertanda yang
dapat dijadikan bukti bahwa mereka benar-benar pengawal dari Tanah Perdikan
Menoreh.”
Sejenak
Swandaru termangu-mangu mendengar ucapan anak muda yang bertubuh kurus itu.
Swandaru memang tidak mengenal banyak tentang seluk-beluk Tanah Perdikan
Menoreh, apalagi para pengawalnya, karena hampir seluruh waktunya dihabiskan
untuk membina tanah kelahirannya, Sangkal Putung.
Para
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu saling berpandangan sejenak ketika
melihat Swandaru hanya berdiam diri saja, namun kemudian dengan memberanikan
diri salah satu dari mereka berkata, “Kami dapat membuktikan bahwa kami adalah
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh di hadapan Nyi Pandan Wangi, karena Nyi
Pandan Wangi pasti mengenal kami sebagaimana dia mengenal tanah kelahirannya
dengan sebaik-baiknya, tanah Perdikan Menoreh.”
Dada
Swandaru terasa berdesir mendengar ucapan salah seorang pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh itu. Secara tidak langsung seakan akan pengawal itu telah
menyindirnya. Dia yang selama ini menjadi suami Pandan Wangi dan sekaligus
pewaris trah Menoreh ternyata tidak dapat mengenali pengawal-pengawal dari
Menoreh, suatu hal yang sangat disayangkan dan dipertanyakan akan kepeduliannya
terhadap tanah kelahiran istrinya itu.
Keributan
di pendapa itu ternyata telah menarik perhatian Ki Demang Sangkal Putung. Ki
Demang yang sebelumnya duduk-duduk di serambi dan telah menyerahkan persoalan
yang mungkin akan timbul kepada Swandaru sepenuhnya, terpaksa berdiri dan
melangkah keluar ke pendapa.
Sementara
itu di pendapa Swandaru sedang berunding dengan para pengawalnya tentang apa
yang sebaiknya mereka lakukan. Tidak ada seorang pun yang mengenal ketiga orang
yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Satu satunya jalan adalah
memanggil Pandan Wangi untuk mengenali mereka, namun persoalannya adalah
keseganan Swandaru untuk berbicara dengan Pandan Wangi. Sudah beberapa bulan
ini mereka tidak lagi tidur dalam satu bilik. Swandaru memilih tidur di amben
besar yang ada di ruang tengah, sedangkan Pandan Wangi tidur di biliknya dengan
anaknya. Hubungan mereka akhir-akhir ini memang menjadi dingin, sedingin
malam-malam di musim kemarau yang panjang.
Baru
saja Ki Demang membuka pintu yang membatasi pringgitan dengan pendapa,
tiba-tiba saja sesosok tubuh yang ramping menyelinap diantara celah pintu yang
baru terbuka sebagian dengan disertai sebuah jerit seorang perempuan.
“Kakang
Santa, engkaukah itu, Kakang?”
Serentak
semua mata yang ada di pendapa itu terbelalak memandang kearah suara jeritan
itu berasal. Seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat cantik
dengan rambut dibiarkan jatuh terurai tampak berdiri termangu-mangu
membelakangi Ki Demang yang berdiri di tengah-tengah pintu pringgitan. Wajahnya
yang cantik itu terlihat pucat dan bersimbah air mata.
“Nyi
Pandan Wangi,” bagaikan dengung ribuan lebah, orang-orang yang ada di pendapa
itu bergumam.
Perempuan
paruh baya yang memang Pandan Wangi itu hampir tak kuasa menahan gejolak di
dadanya. Sebagai seorang anak yang sangat mencintai ayahnya dan tanah
kelahirannya, hatinya benar-benar tergoncang melihat kedatangan para pengawal
dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai tanggapan telah muncul di hatinya,
namun hanya satu yang sangat membebani hatinya, keadaan dan kesehatan ayah
tercinta, Ki Argapati.
“Wangi,
apakah tidak sebaiknya engkau persilahkan tamu-tamu kita ini untuk duduk di
pringgitan?” tiba-tiba suara lembut dibelakangnya telah menyadarkan Pandan
Wangi dari lamunannya.
Sejenak
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi debar di jantungnya,
kemudian katanya sambil melangkah kedepan, “Maafkan kami atas sambutan yang
kurang menyenangkan ini, Kakang. Adalah wajar apabila para pengawal Sangkal
Putung tidak mengenal kakang bertiga, karena jarak yang sangat jauhlah yang
membuat kita tidak dapat saling berkunjung dan mempererat tali persaudaraan
antara Menoreh dan Sangkal Putung.”
Kata-kata
Pandan Wangi itu bagaikan palu godam yang menghantam dinding-dinding hati
Swandaru. Betapapun jauhnya jarak yang harus ditempuh, adalah sudah menjadi
kuwajibannya sebagai menantu satu satunya dari Ki Gede Menoreh untuk membina
Tanah kelahiran istrinya itu.
Pengawal
Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Santa itu sejenak termangu-mangu, namun
dengan cepat segera saja dibungkukkan badannya sambil berkata, “Kami bertigalah
yang seharusnya meminta maaf. Kami datang di waktu yang kurang tepat serta
tidak ada pertanda apapun yang kami bawa yang dapat menunjukkan jati diri kami
sebagai pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
“Sudahlah,”
Ki Demang lah yang menyahut sambil membuka pintu pringgitan lebar-lebar,
“Marilah kita duduk di pringgitan, sambil membicarakan segala sesuatu yang
berkenaan dengan kunjungan Ki Sanak bertiga.”
Kemudian
katanya kepada Swandaru, “Semuanya sudah jelas, Swandaru. Engkau dapat
membubarkan kerumunan ini agar tidak menimbulkan kesalah pahaman bagi mereka
yang belum mengetahui duduk permasalahannya.”
Swandaru
hanya dapat mengangguk anggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ketika kemudian ketiga pengawal dari tanah Perdikan Menoreh itu berjalan
mengikuti Pandan Wangi dan Ki Demang Sangkal Putung memasuki pringgitan, terasa
dada Swandaru menjadi sesak. Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam dadanya.
Sementara
itu, di dalam pringgitan Ki Demang telah mempersilahkan tamu tamunya duduk
diatas tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah ruangan, sedangkan
Pandan Wangi telah menyempatkan diri ke dapur untuk memberitahu para pelayan
agar menyiapkan minuman hangat dan makan sekedarnya walaupun malam sudah
semakin dalam.
Setelah
membenahi pakaiannya dan menyanggul rambutnya, Pandan Wangi pun kemudian
bergabung dengan ketiga tamunya di pringgitan.
Setelah
menanyakan keselamatan para tamunya selama dalam perjalanan, akhirnya dengan
sedikit berdebar debar Pandan Wangi pun menanyakan keperluan ketiga pengawal
itu mengunjungi Sangkal Putung.
“Nyi
Pandan Wangi,” sambil beringsut setapak maju Santa mencoba menjelaskan maksud
kedatangan mereka ke Sangkal Putung, “Kami bertiga diutus oleh Anakmas Prastawa
untuk menyampaikan berita kepada Nyi Pandan Wangi di Sangkal Putung tentang
kesehatan dari Ki Gede Menoreh akhir-akhir ini.”
Walaupun
sudah dapat menduga sebelumnya tentang masalah apa yang akan disampaikan Santa
kepadanya, namun tak urung kata-kata Santa itu telah membuat jantung Pandan Wangi
berdegub semakin kencang. Bayangan tentang Ayahnya yang sudah tua dan kesepian
sedang tergeletak tak berdaya di atas pembaringan, benar-benar telah
menggoncangkan hatinya. Dengan menahan tangis sedapat mungkin, akhirnya Pandan
Wangi pun berkata pelan, “Baiklah Kakang, kalau Kakang tidak merasa lelah, aku
akan ikut Kakang bertiga besok pagi untuk pergi ke Menoreh menjenguk Ayah
Argapati.”
Justru
Ki Demang lah yang menjadi terkejut, “Begitu tergesa-gesa, Wangi? Apakah tidak
sebaiknya kita beri kesempatan kepada tamu-tamu kita untuk beristirahat barang
sehari dua hari?”
Pandan
Wangi menggelengkan kepalanya, “Itu terserah kepada mereka Ayah, bagiku semakin
cepat aku berangkat ke Menoreh, semakin cepat aku mengetahui keadaan Ayah
Argapati.”
Ki
Demang Sangkal Putung hanya dapat saling berpandangan dengan ketiga tamunya.
Sebagai orang tua, dia sudah dapat meraba hubungan yang terjadi akhir-akhir ini
antara anaknya dengan menantunya. Tidak sewajarnyalah jika Pandan Wangi
memutuskan sendiri untuk berangkat ke Menoreh tanpa persetujuan suaminya, namun
itulah yang terjadi, Pandan Wangi sudah terlalu banyak bersabar dan mengalah.
Perbincangan
itu sejenak terhenti ketika seorang pelayan menghidangkan minuman hangat dan
beberapa penganan.
“Apakah
makan malam untuk ketiga tamu kita ini sudah siap?” bertanya Pandan Wangi
kepada pelayan rumah Ki Demang setelah dia selesai menyajikan minuman dan
beberapa potong penganan.
“Sudah
Nyi,” jawab pelayan itu sambil membungkuk hormat,
“Apakah makan malam itu harus kami siapkan di pringgitan ini juga?”
“Apakah makan malam itu harus kami siapkan di pringgitan ini juga?”
“Tidak
usah repot-repot,” justru Santa lah yang menyahut dengan cepat, “Biarlah kami
bertiga nanti makan di dapur saja.”
Pandan
Wangi tersenyum. Sudah menjadi kebiasaan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
apabila mereka mendapat giliran jaga di rumah Ki Gede, mereka lebih senang
makan di dapur secara bergiliran, dengan demikian mereka dapat makan
sekenyangnya.
“Baiklah,”
berkata Pandan Wangi kemudian, “kembalilah ke dapur, nanti apabila tamu kita
sudah merasa lapar, mereka akan mencari sendiri ke dapur.”
“Ah,”
Ki Demang berdesah, “Bukan maksud kami untuk tidak melayani tamu dengan baik,
namun anggaplah rumah ini sama dengan rumah di Menoreh, karena betapa pun juga
Pandan Wangi adalah salah satu tuan rumah disini.”
Ketiga
pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil
menghirup wedang sere hangat dan mengunyah ketela yang direbus dengan santan
dan gula aren. Alangkah nikmatnya setelah perjalanan yang cukup jauh. Rasa
rasanya mereka ingin segera membersihkan diri untuk kemudian merebahkan diri
diatas amben yang luas dan mendengkur sepuas puasnya sampai pagi.
Sementara
itu, Ki Demang yang sedang menemani ketiga tamunya di pringgitan merasa aneh.
Sudah sedemikian lama namun Swandaru belum juga masuk ke dalam. Lamat-lamat Ki
Demang masih mendengar percakapan yang terjadi di luar walaupun tidak jelas,
namun yang membuat Ki Demang menjadi berdebar debar adalah nada percakapan itu
terasa semakin meninggi, bahkan sesekali terdengar Swandaru membentak bentak.
Untuk
sejenak Ki Demang ragu-ragu atas pendengarannya sendiri, dicobanya untuk
melihat kesan di wajah Pandan Wangi yang duduk disebelahnya, namun kesan yang
di tangkap oleh Ki Demang tidak lebih dari seraut wajah yang murung dengan
kepala tunduk.
“Kakang
Santa,” tiba-tiba suara Pandan Wangi memecah kebisuan, “Siapakah yang mengurusi
Ayah Argapati selama sakit?”
“Nyi
Sekar Mirah yang biasanya mengawani Ki Gede dan mengurusi kebutuhan Ki Gede
sehari hari, sedangkan Ki Jayaraga biasanya menemani Ki Gede di malam hari.
“Sekar
Mirah?” Pandan Wangi mengulang, “Apakah dia tidak disibukkan dengan urusan
rumah tangganya sendiri?”
Santa
dan kawan kawannya saling berpandangan sejenak. Agaknya berita dari keluarga
Menoreh benar-benar belum sampai di Sangkal Putung. Akhirnya Santa memutuskan
untuk memberikan penjelasan sejauh yang dia ketahui.
“Maafkan
kami, Nyi,” berkata Santa berusaha untuk menjelaskan keadaan keluarga di
Menoreh, “Nyi Sekar Mirah telah agak lama tinggal di rumah Ki Gede, jauh
sebelum Ki Gede jatuh sakit karena Ki Rangga Agung Sedayu mendapat tugas untuk
melawat ke Panaraga.”
“Ke
Panaraga?”
“Benar,
Nyi. Hubungan Mataram dengan Panaraga akhir-akhir ini semakin panas.”
“Tapi
bukankah di rumah Ki Rangga Agung Sedayu ada beberapa orang yang dapat menemani
Sekar Mirah selama ditinggal suaminya ke Panaraga?”
Santa
dan kawan kawannya saling berpandangan sejenak. Kemudian sambil menarik nafas
dalam-dalam Santa pun melanjutkan kata katanya, “Maksud Nyi Pandan Wangi Glagah
Putih dan Rara Wulan?”
Perlahan
Pandan Wangi menggeleng, “Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mendahului
berangkat ke Panaraga beberapa bulan yang lalu dan mereka sempat mampir ke sini
untuk berpamitan. Yang aku maksud adalah Ki Jayaraga dan pembantu rumah tangga
Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Memang
masih ada Ki Jayaraga,” jawab Santa, kemudian lanjutnya, “Sedangkan pembantu
rumah Ki Rangga Agung Sedayu itu sudah beberapa bulan ini tidak kelihatan,
mungkin karena Nyi Sekar Mirah tinggal di rumah Ki Gede sehingga dia kembali ke
rumah orang tuanya, barangkali.”
Pandan
Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Masih ada satu pertanyaan baginya yang
belum terjawab, mengapa sepeninggal Ki Rangga Agung Sedayu yang melawat ke
Panaraga Sekar Mirah memilih tinggal di rumah ayahnya, Ki Gede Menoreh.
Agaknya
Santa dapat mengerti jalan pikiran Pandan Wangi, maka kemudian katanya, “Ki
Rangga Agung Sedayu sendirilah yang menghendaki Nyi Sekar Mirah tinggal di
rumah Ki Gede selama ditinggal ke Panaraga?”
“Mengapa?”
terkejut Pandan Wangi sambil memandang ke arah Santa.
Sejenak
Santa menjadi heran, ternyata keluarga di Sangkal Putung ini belum mengetahui
juga kabar tentang kehamilan istri Ki Rangga Agung Sedayu.
Akhirnya
dengan perlahan lahan agar tidak mengejutkan, Santa pun mencoba menjelaskan
keadaan rumah tangga Ki Rangga Agung Sedayu beberapa bulan terakhir ini, “Ki
Rangga Agung Sedayu menghendaki istrinya tinggal di rumah Ki Gede agar ada
perempuan yang mengawasi dan membimbing Nyi Sekar Mirah dalam melewati
hari-hari menjelang persalinannya sekitar dua atau tiga bulan kedepan.”
“He,”
hampir berbareng Ki Demang dan Pandan Wangi terlonjak kaget.
Tiba-tiba
Ki Demang bergeser kedepan sambil mengguncang-guncang bahu Santa, “Apa katamu?
Benarkah anakku Sekar Mirah telah mengandung?”
“Demikianlah
Ki Demang, seluruh keluarga yang ada di Menoreh telah menunggu hari-hari
bahagia keluarga Ki Rangga Agung Sedayu itu menjelang, semoga tidak ada satu
pun aral yang melintang.”
“Ayah.!”
Tiba-tiba terdengar isak Pandan Wangi sambil memeluk Ki Demang.
“Puji
syukur kita panjatkan kepada Yang Maha Agung yang telah berkenan mengabulkan
doa kita semua,” desis Ki Demang sambil membelai kepala Pandan Wangi.
Berita
itu benar-benar telah mengguncang hati keluarga Sangkal Putung. Untuk sejenak
mereka tenggelam dalam angan-angan masing-masing.
“Sudahlah
Wangi,” akhirnya Ki Demang mencoba melepaskan pelukan Pandan Wangi, “Marilah
kita semua mendoakan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu agar selalu di beri
keselamatan dan kesehatan.”
Pandan
Wangi mengangguk perlahan sambil berusaha mengusap air matanya. Hatinya benar-benar
trenyuh. Betapapun Pandan Wangi tidak pernah bisa melupakan sosok seorang Agung
Sedayu yang pertama kali dikenalnya sebagai seorang gembala bernama Gupita
dengan permainan serulingnya yang menawan hati. Alangkah indahnya hari-hari
waktu itu baginya. Mereka sempat bertempur berpasangan melawan Ki Peda Sura,
kemudian melarikan diri dari kejaran anak buahnya yang berjumlah cukup banyak.
Berlari larian diantara pematang dan gerumbul-gerumbul liar sambil bergandengan
tangan. Entah perasaan apa yang timbul di hatinya waktu itu, demikian saja hal
itu terjadi, dengan tanpa ragu-ragu Gupita meraih tangannya dan menariknya
sambil berlari menghindari kejaran anak buah Ki Peda Sura. Dalam keadaan wajar
hal itu tentu akan sangat memalukan bagi seorang gadis seperti dirinya yang
belum pernah bersentuhan dengan laki-laki, namun justru itulah kenangan
terindah dalam hidupnya.
Namun
lamunan Pandan Wangi tiba-tiba terputus ketika sekali lagi terdengar bentakan
Swandaru yang cukup keras disertai dengan suara tawa seseorang yang
berkepanjangan dan menyakitkan telinga.
Hampir
berbareng mereka yang ada di pringgitan itu mengangkat kepala sambil mencoba
mempertajam pendengaran mereka. Namun agaknya Ki Demang sudah tidak dapat
menahan hati lagi, dengan tergesa-gesa dia segera berdiri kemudian dengan
langkah yang setengah berlari menuju pintu pringgitan.
Ketika
pintu pringgitan itu baru terbuka sejengkal, terasa angin malam yang dingin
berhembus dan menerpa seraut wajah tua Ki Demang. Rambutnya yang sudah putih
semua yang terjulur diantara ikat kepalanya tampak melambai tertiup angin
malam.
Begitu
Ki Demang melangkah turun ke pendapa, tampak di halaman rumahnya yang cukup
luas itu orang-orang bergerombol mengerumuni tiga orang yang sedang berdiri
berhadap-hadapan di tengah-tengah lingkaran dan salah satu dari orang itu
adalah Swandaru.
Dengan
tanpa menarik perhatian, perlahan lahan dengan langkah satu-satu Ki Demang
mendekati kerumunan itu. Setelah menyeberangi pendapa dan menuruni tlundak,
akhirnya Ki Demang berhenti hanya satu langkah dari orang yang paling belakang.
“Tuntutan
muridku sudah jelas Ki Swandaru,” terdengar suara parau mirip suara burung
gagak.
Ternyata
orang yang berkata itu seorang yang sudah cukup umur, berkumis dan berjanggut
jarang-jarang yang dibiarkan saja tumbuh liar di wajahnya. Sorot matanya tenang
menandakan keyakinan yang tinggi atas kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan
orang yang disebut muridnya itu berdiri di sebelahnya dengan wajah yang tegang
dan sorot mata penuh dengan dendam dan kebencian.
“Aku
tidak ikut campur atas tuntutan muridku, namun penghinaanmu atas perguruan Toya
Upas harus engkau pertanggung jawabkan. Engkau telah dengan sombong berani
menantang pemimpin perguruan Toya Upas, perbuatan itu adalah sebuah kesombongan
yang tiada taranya, dan aku sudah berjanji untuk menyelesaikannya dengan
tuntas,” kembali terdengar orang itu berkata dengan suara keras dan tegas.
“Aku
terima tantanganmu,” geram Swandaru, “Aku ingin membuktikan apakah pemimpin
perguruan Toya Upas yang bergelar Kyai Sarpa Kenaka itu benar-benar mumpuni dan
bertangan racun sekeras racun ular bandotan ataukah hanya mampu meracuni
ikan-ikan di sungai atau di rawa-rawa saja.”
“Tutup
mulutmu!” bentak orang yang berdiri di sebelah orang yang di sebut Kyai Sarpa
Kenaka, kemudian sambil menoleh kepada Kyai Sarpa Kenaka dia melanjutkan,
“Guru, ijinkanlah aku menghadapi orang yang sudah berani menghina perguruan
kita ini, aku merasa mempunyai bekal yang lebih dari cukup.”
Kyai
Sarpa Kenaka sejenak mengerutkan keningnya, kemudian katanya tanpa menoleh
kearah muridnya, “Engkau jangan gegabah Wanengpati, yang berdiri dihadapan kita
ini adalah murid dari orang bercambuk yang merupakan jalur langsung dari
perguruan Windujati.”
“Aku
tidak takut, Guru.”
“Persoalannya
bukan takut atau tidak takut, namun lebih dari itu dia telah berani dengan
sengaja menantangku secara tidak langsung di arena langen tayub beberapa bulan
yang lalu. Itu adalah kesalahan yang tidak dapat diampuni, dan aku memang tidak
pernah mengampuni lawan-lawanku.”
“Diam!”
kini giliran Swandaru yang membentak, “Kalian tidak usah berebut lawan, majulah
bersama sama, aku kira aku masih mempunyai tenaga yang cukup untuk melayani
kalian berdua.”
“Omong
kosong!” bentak Kyai Sarpa Kanaka tak kalah kerasnya, “Marilah kita hentikan
segala macam omong kosong ini, kita akan segera bertempur sampai mati. Tidak
ada seorang pun yang boleh mengganggu perang tanding ini.”
“Guru,”
tiba-tiba Wanengpati menyela, “bagaimana dengan tuntutanku?”
Sejenak
Kyai Sarpa Kenaka mengedarkan pandangan matanya. Yang tampak berdiri di
sekeliling mereka adalah para pengawal Sangkal Putung. Kyai Sarpa Kenaka tidak
mempunyai gambaran yang pasti tentang kekuatan sebenarnya dari para pengawal
Sangkal Putung, maka katanya kemudian, “Terserah kepadamu Wanengpati, engkau
dapat bermain main sejenak dengan para pengawal ini sebelum melaksanakan
tuntutanmu.”
“Apakah
tuntutannya?” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam. Seseorang telah
menyibakkan kerumunan itu dan melangkah memasuki lingkaran.
“Ki
Demang Sangkal Putung,” hampir setiap orang yang berdiri di halaman itu
berdesis.
“Ayah,”
Swandaru berdesis perlahan, “Ayah tidak usah mencampuri persoalan ini. Ini
adalah urusanku pribadi yang menyangkut harga diri dengan pemimpin perguruan
Toya Upas.”
“Sudah
pasti aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu, Swandaru.” Jawab Ki Demang
dengan cepat, “Bukankah yang aku tanyakan adalah tuntutan dari orang yang
bernama Wanengpati ini, murid dari perguruan Toya Upas? Mengapa dia mengajukan
tuntutan dan apa haknya terhadap kademangan ini sehingga dia berani mengajukan
sebuah tuntutan? Itulah yang aku ingin mengetahuinya.”
Swandaru
berdiri membeku di tempatnya. Pertanyaan ayahnya itu bagaikan menguliti
wajahnya dan sekali lagi membuka aibnya di hadapan para pengawal Sangkal Putung
yang sudah mendengar sebelumnya dari Wanengpati ketika Ki Demang belum hadir di
tempat itu.
“O,”
tiba-tiba terdengar suara Wanengpati tertawa terbahak bahak, “Jadi engkau
adalah Ki Demang Sangkal Putung ayah dari orang yang sombong ini, “ dia
berhenti sejenak lalu, “Ketahuilah Ki Demang, anakmu ini telah merebut calon
istri orang.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Swandaru sebelum Wanengpati menyelesaikan kata katanya.
“Swandaru!”
tiba-tiba Ki Demang yang sudah tidak dapat menahan hati lagi telah membentak
Swandaru. Sejak Swandaru berumah tangga, baru sekali inilah dia dibentak oleh
ayahnya sehingga sekejap dia bagaikan kehilangan keseimbangan. Swandaru
benar-benar tidak percaya bahwa ayahnya telah membentaknya dihadapan sekian
banyak orang.
“Swandaru,”
suara Ki Demang melunak, “Marilah kita selesaikan segala macam persoalan yang
membelit dan tidak berujung pangkal ini, lebih baik kita saling membuka dada
dan menyelesaikan permasalahan ini dengan kekeluargaan.”
“Tidak
bisa Ki Demang,” sahut Wanengpati dengan cepat, “Peristiwa di rumah Ki Jinawi
tiga bulan yang lalu telah mencemarkan nama baikku dan menjatuhkan harga diriku
sebagai laki-laki di hadapan calon istriku Nyi Saimah. Pamanku Ki Jinawi telah
lama mengenalkan Nyi Saimah kepadaku. Kebetulan saja dia adalah seorang penari
yang baik dan bersedia menari mengiringi para tamu pada saat Ki Jinawi
mempunyai hajat. Tapi ketamakan anakmu lah yang menyebabkan dia tidak bisa
melayani tamu yang lain menari. Bahkan setelah peristiwa itu berlalu, anakmu
telah menjalin hubungan secara diam-diam dengan Nyi Saimah, itu diakui Nyi
Saimah setelah Paman Jinawi mencoba menolongku untuk menjalin kembali
hubunganku dengannya dan dia dengan tegas telah menolaknya karena menunggu
lamaran dari anakmu.”
Bagaikan
disambar halilintar Ki Demang terkejut bukan alang kepalang. Sejenak pandang
mata orang tua itu berkunang-kunang, keringat dingin mengalir di sekujur
tubuhnya. Mulutnya bagaikan membeku dan kelu, tidak ada satu kata pun yang
terucapkan, hanya pandangan mata yang kosong dan dada yang bergejolak disertai
nafas yang memburu. Ki Demang benar-benar tidak menyangka kalau Swandaru telah
berbuat sejauh itu.
Akhirnya
dengan susah payah Ki Demang berhasil menguasai dirinya. Sambil berpaling
kearah Swandaru, Ki Demang berdesis perlahan sekali, nyaris tak terdengar,
“Swandaru, benarkah semua tuduhan itu?”
Swandaru
benar-benar dihadapkan kepada sebuah pilihan yang sulit. Tidak mungkin bagi
dirinya mengingkari semua kata-kata Wanengpati, karena ada seorang saksi yang
tidak akan dapat dikesampingkan begitu saja, Nyi Saimah. Namun seandainya dia
mengakui semua perbuatannya itu, entah bagaimana lagi dia harus menghadapi
istrinya, Pandan Wangi.
Ketika
sekali lagi Ki Demang mengulangi pertanyaannya, tidak ada pilihan lain bagi
Swandaru. Dengan lantangnya dia pun segera berteriak sambil mengurai cambuknya,
“Persetan dengan semua itu, marilah kita selesaikan semua persoalan ini secara
laki-laki, aku bukan seorang pengecut yang berlindung di balik punggung
perempuan.”
Selesai
mengucapkan kata katanya, dihentakkannya cambuk yang tergenggam ditangannya
dengan sendal pancing. Bagaikan suara guruh cambuk Swandaru pun meledak dengan
dahsyatnya.
Orang-orang
yang ada di halaman Ki Demang itu pun terkejut mendengar suara ledakan cambuk
Swandaru. Kyai Sarpa Kenaka pun sempat tertegun sejenak mendengar suara ledakan
cambuk Swandaru. Betapa besarnya tenaga wadag Swandaru itu dapat diukur dari
dahsyatnya suara ledakan cambuknya. Namun semua itu bagi Kyai Sarpa Kenaka
hanyalah pertunjukan pengeram-eram bagi orang-orang kebanyakan.
“Alangkah
dahsyatnya suara ledakan cambukmu, Ki Swandaru,” berkata Kyai Sarpa Kenaka
sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Mungkin engkau dapat menakut-nakuti
burung-burung di sawah agar tidak mencuri padi para petani, namun bagiku itu
tidak lebih dari permainan para gembala di padang-padang rumput.”
Dengan
menggeram keras, sekali lagi Swandaru memutar cambuknya diatas kepala, kemudian
dengan gerakan sendal pancing, sekali lagi cambuk itu meledak di udara. Namun
kali ini suaranya hampir tidak terdengar akan tetapi getarannya ternyata telah
mengguncangkan setiap dada dari mereka yang hadir di halaman rumah Ki Demang
Sangkal Putung.
Kali
ini Kyai Sarpa Kenaka benar-benar terkejut. Getaran suara cambuk Swandaru
bagaikan merontokkan isi dadanya. Ternyata Swandaru telah menekuni kitab
peninggalan gurunya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Pengalamannya
dikalahkan dengan mudah oleh kakak seperguruannya serta beberapa kali benturan
ilmu yang dialaminya dengan beberapa lawannya ternyata telah memacu dirinya
untuk menekuni ilmu warisan perguruan Windujati itu dengan lebih mendalam, dan
hasilnya ternyata tidak mengecewakan.
Para
pengawal Sangkal Putung dan Ki Demang sendiri merasakan betapa dahsyatnya
getaran yang menusuk dada mereka. Sejenak dada mereka bagaikan tertimpa gunung
anakan. Dengan terhuyung-huyung sambil memegangi dada, sebagian dari mereka
mencoba bergeser menjauhi tempat itu.
Kyai
Sarpa Kenaka menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan rongga dadanya.
Walaupun akibat yang dirasakan tidak sedahsyat orang lain, namun tak urung
pernafasannya menjadi bagaikan tersumbat.
Ketika
dia berpaling kearah muridnya, tampak Wanengpati memegangi dadanya dengan kedua
tangannya sambil terbungkuk-bungkuk. Dengan demikian Kyai Sarpa Kenaka dapat
mengukur bahwa sebenarnyalah kemampuan Wanengpati belum dapat disejajarkan
dengan murid kedua dari orang bercambuk itu.
Sementara
itu, Ki Demang Sangkal Putung yang berdiri paling dekat dengan Swandaru
ternyata telah mengalami akibat yang paling parah. Orang tua itu sekejap
bagaikan tak sadarkan diri sehingga jatuh terduduk. Ketika kesadarannya
perlahan mulai pulih kembali, didapatinya dirinya sedang dipapah oleh dua orang
pengawal menjauhi tempat itu menuju ke pendapa.
“Luar
biasa,” kata-kata pujian pun akhirnya keluar dari mulut Kyai Sarpa Kenaka, “Aku
sekarang yakin bahwa Ki Swandaru benar-benar adalah murid dari jalur perguruan
Windujati, namun apakah kemampuan itu seutuhnya dapat dibanggakan dan
dibandingkan dengan perguruan Toya Upas, itu masih perlu dibuktikan.”
“Baiklah,
kita akan segera berperang tanding dengan taruhan nyawa kita masing-masing,”
geram Swandaru sambil melangkah selangkah kedepan. Segala pertimbangan nalarnya
telah gelap. Yang ada di benaknya hanyalah keinginan untuk segera menyelesaikan
lawannya.
“Aku
setuju,” hampir berteriak Kyai Sarpa Kenaka menjawab, “Namun taruhan itu bukan
hanya nyawa kita masing-masing, tuntutan muridku juga menjadi bagian dari
taruhan perang tanding ini.”
“Ya,”
tiba-tiba Wanengpati yang sudah dapat menguasai dirinya menyahut, “Sekali lagi
aku katakan tuntutanku. Sebagai ganti Nyi Saimah yang telah engkau rebut dengan
licik dari tanganku, istrimu harus ikut dengan kami.”
“Persetan!”
teriak Swandaru, “Engkau akan dicincang oleh para pengawal Sangkal Putung jika
berani menyentuh kulit istriku.”
“Aku
bersedia!” tiba-tiba terdengar lengking seorang perempuan.
Semua
orang yang ada di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung itu terkejut bukan
buatan. Serentak mereka berpaling kearah suara itu berasal. Seorang perempuan
paruh baya yang masih sangat cantik dengan mengenakan pakaian khusus yang
menyerupai pakaian laki-laki dan sepasang pedang di lambung tampak sedang
berjalan menuruni anak tangga pendapa menuju kearah mereka.
“Nyi
Pandan Wangi,” hampir setiap mulut menyebut nama itu.
Dengan
langkah perlahan namun penuh percaya diri, Pandan Wangi pun melangkah menuju
kearah kerumunan itu diiringi oleh ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Orang-orang
yang berkerumun itu segera menyibak untuk memberi jalan kepada Pandan Wangi, sedangkan
langkah ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu tertahan sejenak ketika
tiba-tiba saja seorang pengawal dari Sangkal Putung yang bertubuh
kekurus-kurusan telah menghentikan langkah mereka.
“Inilah
senjata-senjata kalian,“ bisik pengawal itu, “Maafkan perlakuan kami waktu itu,
bukan maksud kami untuk mempersulit Ki Sanak bertiga, tindakan kami hanyalah
ujud dari kehati-hatian terhadap setiap perubahan yang tidak menentu.”
“Terima
kasih,” hampir berbareng ketiga pengawal dari Menoreh itu menjawab singkat.
Sementara
itu Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah dari Swandaru. Wajahnya sedikit
terangkat dan tidak menunjukkan kegelisahan sedikit pun. Berbeda dengan
Swandaru yang berdiri dengan gelisah. Sesekali matanya mencuri pandang ke wajah
istrinya, namun Pandan Wangi sama sekali tidak menoleh kearahnya.
“Siapakah
diantara kalian disini yang berkepentingan dengan aku?” tanya Pandan Wangi
sambil memandang kearah kedua orang yang berdiri beberapa langkah di depannya,
Kyai Sarpa Kenaka dan Wanengpati.
Sambil
tersenyum dan mengembangkan kedua tangannya, Wanengpati menjawab, “Akulah yang
berkepentingan denganmu, Nyimas Ayu Pandan Wangi, bukankah namamu Pandan
Wangi?”
Pandan
Wangi mengerutkan keningnya sejenak sambil memandang tajam kearah Wanengpati,
kemudian katanya, “Apakah engkau yakin mampu membawaku ke padepokanmu?”
“Mengapa
tidak?” Wanengpati balik bertanya dengan heran, “Guru adalah orang yang tanpa
tanding di seluruh tlatah Mataram, suamimu tidak akan bisa bertahan lebih dari
sepenginang.”
“O,”
Pandan Wangi mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum penuh arti, “Jadi
engkau akan melaksanakan tuntutanmu itu dengan mengandalkan bantuan gurumu?”
Seleret
warna merah menghiasi wajah Wanengpati, sementara gurunya Kyai Sarpa Kenaka
yang mendengar kata-kata Pandan Wangi itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian
katanya disela-sela tertawanya, “Hati hatilah Wanengpati jika engkau ingin
memelihara singa betina ini di padepokan kita, bisa-bisa kepalamu dulu yang
lepas dari lehermu.”
“Baiklah,”
justru Pandan Wangi yang menyela, “ Engkau tidak usah mengharapkan bantuan
gurumu, aku bersedia ikut denganmu kemana saja engkau pergi tetapi dengan satu
syarat.”
Berkerut
merut kening Wanengpati, sambil menegakkan dadanya, dia bertanya, “Apakah
syarat itu?”
Dengan
langkah gemulai Pandan Wangi melangkah ke depan mendekati Wanengpati. Ketika
jarak keduanya tinggal dua langkah, Pandan Wangi pun berhenti. Sambil meraba
tangkai pedangnya, dia berkata tegas, “Tunjukkan padaku bahwa engkau seorang
laki-laki sejati yang mampu melindungi seorang perempuan dalam ujud yang
sebenarnya, bukan dengan kata-kata yang tidak berguna.”
Bagaikan
tersentuh bara, wajah Wanengpati pun merah membara. Sambil melangkah ke
belakang beberapa tindak, Wanengpati segera merenggangkan kedua kakinya
kesamping, sementara tangan kanannya diletakkannya didepan dada dengan
pergelangan tangan ditekuk keatas dan jari-jari terbuka. Sedangkan tangan
kirinya ditekuk sebatas siku dengan lengan bagian bawah lurus dan telapak
tangan menghadap keatas dengan jari-jari merapat menopang telapak tangan
kanannya.
“Baiklah,
kalau memang itu yang engkau kehendaki, aku tidak berkeberatan menunjukkan
kemampuanku kepadamu, Pandan Wangi,” berkata Wanengpati sambil mengatur
pernafasannya untuk menghimpun tenaga cadangannya. Kelihatannya dia ingin
menguasai Pandan Wangi dengan cepat untuk mempengaruhi keseimbangan nalar
Swandaru.
Pandan
Wangi yang melihat sikap Wanengpati segera tanggap dengan apa yang sedang
dipersiapkan lawannya itu. Tanpa membuang waktu, Pandan Wangi pun segera
menggeser kaki kirinya selangkah kesamping, kemudian dengan agak merunduk,
kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.
Orang-orang
yang berkerumun di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung segera menebar,
membentuk lingkaran yang lebih luas. Beberapa pengawal telah memasang obor di
sudut-sudut halaman sehingga halaman rumah Ki Demang menjadi semakin terang.
Pengawal
Kademangan Sangkal Putung yang bertubuh tinggi dan kekurus-kurusan itu ternyata
justru telah bergeser menjauh. Dengan sebuah isyarat dia berusaha mengumpulkan
beberapa pengawal yang hadir. Dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan serta
gerakan yang dapat menimbulkan kecurigaan bagi kedua orang dari perguruan Toya
Upas itu, mereka telah berkumpul di sudut yang gelap di sebelah kanan pendapa.
“Aku
minta dua orang untuk menghubungi para pengawal yang bertugas malam ini, baik
yang ada di gardu-gardu maupun regol-regol padukuhan. Usahakan untuk tidak
menarik perhatian. Jangan semua pengawal yang bertugas malam ini meninggalkan
tempat penjagaan mereka. cukup satu atau dua orang yang bergeser ke rumah Ki
Demang ini, yang lainnya tetap di tempatnya masing-masing.”
“Bagaimana
dengan anak-anak muda yang biasanya ikut berkumpul di gardu-gardu?”
Sejenak
pengawal yang kekurus-kurusan itu merenung, kemudian katanya, “Biarkan saja
mereka tetap di tempatnya dan jangan beri kesan kepada mereka seolah-olah
Kademangan ini akan berperang agar ketenteraman dan ketenangan tetap terjaga.”
Para
pengawal yang sedang berunding itu pun mengangguk anggukkan kepalanya. Namun
sebelum mereka sempat memberikan tanggapan, tiba-tiba saja mereka telah
dikejutkan oleh suara ledakan cambuk yang menggelegar. Ternyata perang tanding
itu sudah dimulai.
“Baiklah,”
berkata pengawal yang bertubuh kekurus-kurusan itu kemudian, “Kita tidak punya
waktu lagi, laksanakan tugas kalian dan jangan lupa tetap mengawasi halaman ini
serta dinding-dinding diseputar rumah Ki Demang, siapa tahu mereka membawa
pengikut yang sengaja disembunyikan dahulu untuk membuat suatu kejutan justru
disaat kita lengah.”
Sejenak
kemudian, mereka pun segera berpencar untuk melaksanakan tugas mereka
masing-masing.
Sementara
itu, perang tanding antara Swandaru dan Kyai Sarpa Kenaka telah dimulai. Dengan
mengerahkan segala kemampuannya, Swandaru mencoba membatasi gerak Kyai Sarpa
Kenaka. Gerakan cambuknya yang kadang mendatar, kadang tegak lurus dengan
kecepatan yang sulit diikuti oleh pandang mata biasa benar-benar menyulitkan
lawannya untuk mendekat. Swandaru sadar bahwa pimpinan padepokan Toya Upas ini
pasti senang bermain main dengan racun. Kuku-kuku jarinya yang panjang-panjang
dan berwarna hitam menunjukkan betapa berbahayanya apabila kulitnya sampai
tersentuh walaupun hanya segores tipis.
Kyai
Sarpa Kenaka mengumpat tidak habis habisnya. Dia benar-benar mengalami kesulitan
untuk mencoba bertempur dengan jarak dekat. Ujung cambuk Swandaru seolah-olah
berubah menjadi berpuluh puluh jumlahnya dan mengejar kemanapun dia bergerak.
Ketika
Kyai Sarpa Kenaka merasa semakin kesulitan menembus pertahanan Swandaru,
tiba-tiba saja dia meloncat mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Sebelum Swandaru sempat memburunya, di tangan kiri guru Wanengpati itu telah
tergenggam seutas rantai yang berwarna kehitam-hitaman. Sebuah bandul bergerigi
sebesar kepalan tangan orang dewasa tersangkut diujung rantai itu.
Langkah
Swandaru tertegun sejenak. Senjata lawannya itu mempunyai sifat yang mirip
dengan senjatanya, lentur dan panjang. Namun yang membedakannya adalah warangan
racun yang pasti melumuri sepanjang rantai itu. Demikian juga bandul bergerigi
itu pasti mengandung racun yang sangat kuat dan jahat.
Sejenak
mereka masih saling berdiam diri. Ada satu keanehan yang dapat dijadikan
sebagai pancadan bagi Swandaru. Kebanyakan orang menggenggam senjatanya di
tangan kanan, kecuali kidal. Namun dari gerak geriknya Swandaru yakin bahwa
Kyai Sarpa Kenaka tidaklah kidal. Akan tetapi mengapa dia lebih mempercayakan
senjatanya di tangan kiri?
Ketika
sekali lagi Swandaru mencoba mengamati lawannya, sadarlah dia bahwa lawannya
lebih mempercayakan pada kuku-kuku jarinya yang panjang-panjang dan berwarna
hitam itu. Senjata di tangan kiri hanyalah sebagai penyeimbang senjata cambuk
Swandaru agar dirinya tidak selalu terdesak karena ujud senjata lawannya yang
panjang, sedangkan senjata sebenarnya yang lebih berbahaya dari pemimpin
padepokan Toya Upas itu adalah kuku-kuku jarinya, segores tipis saja bagi
mereka yang tidak mempunyai pertahanan tubuh yang kuat, akan dapat mengantarkan
nyawa mereka dalam pelukan dewi maut.
“Nah,
Ki Swandaru, apa katamu sekarang?” bertanya Kyai Sarpa Kenaka sambil mulai
menggerakkan senjata di tangan kirinya. Rantai itu berputar dengan kencang di
atas kepalanya sehingga menimbul suara yang mendengung bagaikan suara ribuan
lebah.
Swandaru
sama sekali tidak menjawab, perlahan kaki kanannya bergeser beberapa jengkal ke
kanan, kemudian dengan gerakan tiba-tiba yang bertumpu pada kaki kanannya yang
setengah ditekuk, dia melontar kedepan secepat tatit yang menyambar di udara
dengan suara cambuk yang menggelegar menyambar kearah dada Kyai Sarpa Kenaka
yang terbuka.
Kyai
Sarpa Kenaka sama sekali tidak terkejut, dengan menarik kaki kanannya selangkah
ke belakang sambil memiringkan tubuhnya, cambuk itu meledak hanya sejengkal
dari dadanya. Sebelum Swandaru sempat menarik cambuknya, rantai di tangan kiri
lawannya meluncur deras menghantam kepalanya.
Kini
giliran Swandaru yang berusaha menghindari sambaran senjata lawannya. Selagi
tubuhnya melayang di udara karena dorongan daya lontarnya yang belum habis,
dengan cepat ditariknya cambuknya dengan memutarnya sambil menundukkan
kepalanya menghindari sambaran senjata lawan. Dalam keadaan setengah
berjongkok, sekali lagi cambuk Swandaru pun menyambar pergelangan kaki Kyai
Sarpa Kenaka dan berusaha untuk membelitnya.
Demikianlah
perkelahian antara kedua orang yang berilmu tinggi itu semakin lama semakin
dahsyat. Debu-debu berhamburan dan tanah di halaman rumah Ki Demang Sangkal
Putung itu bagaikan dibajak. Beberapa orang yang berdiri terlalu dekat dengan
arena perkelahian itu segera menyingkir agak jauh agar tidak terkena akibat
dari ungkapan ilmu dari kedua orang yang sedang mengadu liatnya kulit dan
kerasnya tulang.
Sementara
itu, Pandan Wangi dan lawannya pun ternyata telah terlibat dalam perkelahian
yang tak kalah dahsyatnya. Seperti berjanji, keduanya berkelahi dengan
menggunakan tangan kosong. Wanengpati yang ingin memboyong Pandan Wangi ke
padepokannya telah berusaha agar dapat melumpuhkan Pandan Wangi tanpa segores
luka pun.
Namun
Pandan Wangi bukanlah anak kemarin sore dalam olah kanuragan. Pengalamannya
dalam mengikuti beberapa kali pertempuran telah menempanya menjadi seorang
perempuan yang mumpuni. Ketekunannya dalam mendalami ilmu warisan keluarga
Menoreh serta beberapa petunjuk yang pernah diterimanya dari para sesepuh ilmu
kanuragan seperti, Kyai Gringsing dan Ki Jayaraga telah menempatkannya sejajar
dengan orang-orang yang berilmu tinggi.
Salah
satu ilmu yang mungkin tidak disadari oleh lawannya adalah kemampuannya untuk
mendahului ujud wadagnya. Serangan yang masih berjarak satu jengkal dari tubuh
lawannya ternyata sudah mampu menyentuh sasaran. Apalagi kalau Pandan Wangi
sudah menggunakan sepasang pedangnya, keterlambatan lawannya dalam menyadari
kemampuan serangan Pandan Wangi yang mampu mendahului ujung pedangnya akan
dapat berakibat maut.
Namun
sejauh ini Pandan Wangi ternyata masih belum merasa perlu untuk mengungkapkan
ilmunya yang nggegirisi itu. Dibiarkan saja lawannya mempunyai perhitungan yang
salah tentang kemampuannya. Dengan demikian Pandan Wangi akan lebih mudah
mencari celah-celah kelemahan dari lawannya.
Sementara
itu, suara ledakan cambuk Swandaru ternyata telah terdengar sampai ujung
padukuhan induk. Beberapa pengawal dan anak-anak muda yang sedang berjaga-jaga
di gardu regol padukuhan induk menjadi berdebar debar. Suara itu lamat-lamat
terdengar berulang ulang dari arah rumah Ki Demang Sangkal Putung, bahkan
semakin lama suara ledakan cambuk itu semakin sering.
Ketika
mereka yang ada di gardu regol padukuhan induk itu sudah tidak dapat menahan
hati lagi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di halaman rumah Ki Demang
Sangkal Putung, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh dua sosok bayangan yang
berlari larian dari arah padukuhan induk menuju kearah mereka.
Dengan
sigap beberapa pengawal segera berloncatan ke tengah jalan dengan pedang
terhunus, sementara sisanya tetap tinggal ditempat untuk mengawasi keadaan.
Sebelum
para pengawal yang berdiri menghalangi jalan itu bertindak, salah satu dari
kedua orang yang berlari larian itu ternyata telah mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi sambil berteriak, “He, ini aku, pengawal kademangan yang bertugas
di rumah Ki Demang.”
Senjata-senjata
yang sudah teracu itupun kemudian menunduk, namun mereka tetap tidak
meninggalkan kewaspadaan. Barulah ketika dua orang itu semakin dekat dan hanya
berjarak beberapa langkah, mereka dapat mengenali wajah-wajah dari kawan-kawan
mereka sesama pengawal Kademangan Sangkal Putung.
“Kau,”
sapa para pengawal penjaga regol padukuhan induk.
“Ya,”
jawab kedua orang itu hampir berbareng.
“He,
apa kerjamu malam-malam begini berlari larian sepanjang jalan padukuhan?”
Kedua
orang itu tidak langsung menjawab. Keduanya masih berusaha mengatur pernafasan
mereka setelah berlari larian sepanjang jalan padukuhan induk. Setelah nafas
mereka agak tenang, barulah salah satu dari mereka berkata, “Apakah kalian
tidak mendengar suara ledakan cambuk itu?”
“Ya,
kami sudah mendengarnya beberapa saat yang lalu. Tetapi apa hubungannya dengan
kalian berdua?”
“Justru
untuk itulah kami berdua datang kesini, telah terjadi perang tanding di halaman
rumah Ki Demang Sangkal Putung.”
“He?”
hampir berbareng mereka yang ada di regol padukuhan induk itu berteriak kaget.
“Siapakah
yang berperang tanding?” beberapa pengawal bertanya saling bersahutan.
Kedua
pengawal yang sedang bertugas di rumah Ki Demang itu pun akhirnya secara
singkat menceritakan apa yang sedang terjadi di halaman rumah Ki Demang serta
pesan yang harus disampaikan dari pengawal yang bertubuh kekurus-kurusan.
Para
pengawal regol padukuhan induk itu pun mengangguk anggukkan kepala, mereka
menyadari bahwa keadaan dapat saja berkembang kearah yang tidak terduga. Maka
setelah mencapai kesepakatan, akhirnya mereka mengirimkan tiga orang yang
bertugas di regol padukuhan induk itu untuk bergeser ke rumah Ki Demang.
“Bagaimana
dengan anak-anak muda itu?” bertanya salah seorang pengawal yang bertugas di
regol padukuhan induk sambil menunjuk kearah anak-anak muda yang berdiri
termangu-mangu di depan gardu.
“Biarkan
mereka tetap disini. Usahakan mereka juga bersenjata agar siap untuk menghadapi
segala kemungkinan.”
Demikianlah
akhirnya kedua orang pengawal yang bertugas di rumah Ki Demang itupun kemudian
melanjutkan perjalanan mereka untuk menghubungi gardu-gardu penjagaan yang
lain.
Sementara
itu suara ledakan cambuk Swandaru juga terdengar sampai ke telinga dua orang
perantau yang sedang duduk melepaskan lelah di bawah sebatang pohon preh di
pinggir sungai yang mengalir membelah padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung
sebelah selatan.
****
Sejenak salah satu dari perantau yang usianya sudah
sangat tua tapi masih terlihat sehat dan kuat itu mendongakkan kepalanya. Suara
ledakan cambuk yang lamat-lamat terdengar di kejauhan itu agaknya sangat
menarik perhatiannya. Sambil berpaling kearah orang yang duduk disebelahnya,
dia berdesis perlahan lahan, “Apakah engkau juga mendengar suara cambuk itu,
Damar?”
Orang
yang dipanggil Damar itu ternyata adalah seorang yang masih sangat muda.
Wajahnya bersih dan lembut seperti seorang perempuan. Hanya karena dia
mengenakan pakaian laki-laki yang membuat orang yang berpapasan dengannya akan
menyangka dia seorang pemuda tanggung yang sangat tampan.
Damarpati,
pemuda tampan itu mengangkat kepalanya. Tampak lehernya yang jenjang dan putih
bersih. Untuk sejenak dia ragu-ragu, ketajaman pendengarannya tidak sebaik
orang tua yang duduk disebelahnya. Namun akhirnya dia pun menggelengkan
kepalanya sambil kembali menunduk memandangi rerumputan dibawah kakinya.
“Apakah
engkau tidak ingin mencoba mengetrapkan aji sapta pangrungu yang telah aku
ajarkan kepadamu yang dapat digunakan untuk mendengarkan bunyi dari jarak yang
jauh sekalipun?” kembali orang tua itu ingin meyakinkan pendengaran anak muda
yang bernama Damarpati itu.
Kembali
Damarpati mengangkat kepalanya. Sambil memicingkan matanya dia mencoba
mempertajam pendengarannya. Namun ternyata dia tetap tidak menampakkan kesan
apapun selain menggeleng lemah, kemudian tanpa sepatah kata pun dia kembali
tertunduk lesu sambil menekuri rerumputan diujung jari kakinya.
Orang
tua itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sudah beberapa kali cucunya itu menyatakan ketidak tertarikannya
pada semua yang berhubungan dengan olah kanuragan. Sudah ke sekian kalinya
dirinya sebagai kakek dari Damarpati ini ingin melihat cucunya mempunyai kemampuan
untuk menjaga diri. Dirinya sudah cukup tua, seandainya Yang Maha Agung
sewaktu-waktu memanggilnya, dia ingin Damarpati dapat berdiri sendiri di atas
kemampuannya sendiri.
“Kek,”
tiba-tiba dengan suara yang lunak selunak suara perempuan, Damarpati berkata
tanpa berpaling ke arah kakeknya, “Untuk apakah sebenarnya kita mengembara yang
tak ada ujung pangkalnya ini? Bukankah kakek mempunyai kewajiban untuk
meneruskan padepokan peninggalan Buyut Panembahan Kalijenar di lereng Gunung
Kendeng? Dan aku sendiri sepeninggal Ayah dan Ibuku dapat tinggal di rumah
warisan di padukuhan Ngerang. Jadi mengapa kita mesti menyengsarakan diri
terlunta-lunta tanpa tujuan yang pasti?”
Orang
tua itu sejenak merenung. Ingatannya kembali beberapa puluh tahun yang lalu
ketika dia masih tinggal di padepokan ayahandanya, padepokan yang lebih sering
disebut Pesantren Glagah Tinutu serta para cantrik yang berguru disitu lebih
dikenal dengan sebutan santri. Padepokan itu terletak di lereng pegunungan
Kendeng dan dipimpin oleh seorang panembahan yang waskita, keturunan seorang
Waliyullah, Panembahan Kalijenar.
Panembahan
Kalijenar adalah cucu dari Nyi Ageng Ngerang yang dipercaya oleh para kawula
Kadipaten Pati dan sekitarnya sebagai seorang Waliyullah, penyebar agama Islam
disekitar daerah Juwana Pati, Muria dan pegunungan Kendeng yang merupakan
pegunungan kapur yang membujur di sebelah utara pulau Jawa.
Nyi
Ageng Ngerang adalah keturunan bangsawan Majapahit yaitu Raden Bondan Kejawan
yang berputra tiga orang; Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas Pendawa dan Dewi
Rara Kasihan yang lebih dikenal dengan nama Nyi Ageng Ngerang setelah
bersuamikan Ki Ageng Ngerang salah satu putra dari Sunan Maulana Malik Ibrahim
atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gresik.
Orang
tua itu tiba-tiba mengerutkan keningnya dalam-dalam, suara cambuk itu hampir
tidak terdengar lagi, namun sayup-sayup dia bisa merasakan udara malam seolah
bergetar yang entah oleh kekuatan apa. Memang tidak begitu kuat getaran itu,
namun rasa rasanya dada orang tua itu seperti terketuk-ketuk dengan sebuah
ujung jari.
“Orang
bercambuk,” desisnya perlahan namun justru membuat Damarpati mengangkat
kepalanya dan berpaling.
“Siapakah
yang kakek maksud dengan orang bercambuk?” tanya Damarpati
Kakeknya
menarik nafas sejenak sambil bangkit berdiri, kemudian katanya, “Marilah kita
mendekat, aku ingin secara pribadi mengenal perguruan orang bercambuk yang
sejak dulu telah banyak menjadi buah bibir mulai jaman Demak, Pajang dan
sekarang Mataram.”
Dengan
tergesa-gesa Damarpati berdiri sambil mengibas-ngibaskan kain panjangnya.
Kemudian dengan langkah-langkah kecil dia mengikuti Kakeknya berjalan menuju
arah suara cambuk itu berasal.
Sementara
itu perang tanding antara Swandaru dengan Kyai Sarpa Kenaka telah mencapai
puncaknya. Cambuk Swandaru tidak lagi meledak-ledak memekakkan telinga, namun
justru getarannya seolah mampu menembus jantung lawan dan sekaligus meremasnya.
Kyai
Sarpa Kenaka pun ternyata telah mengungkapkan ilmu pamungkasnya yang
nggegirisi. Pada ikat pinggang guru Wanengpati itu terikat sebuah bumbung kecil
yang di dalamnya tersimpan berpuluh puluh butiran racun yang sangat mematikan.
Dengan cermat dia memasukkan beberapa butir racun itu ke dalam mulut kemudian
dengan cepat dikunyahnya. Dengan bercampur ludah dan disertai dengan pengerahan
tenaga cadangan, semburan yang meluncur dari mulut Kyai Sarpa Kenaka itu
bagaikan awan panas yang berwarna kehitam-hitaman dan mengandung racun yang
sangat ganas.
Swandaru
terkejut melihat perkembangan ilmu lawannya. Hanya orang-orang yang sudah
benar-benar kebal dari segala macam jenis racun lah yang berani bermain main
dengan racun di dalam mulutnya. Karena kesalahan sedikit saja sehingga racun
itu tertelan, justru nyawa sendirilah yang melayang.
Ternyata
nama perguruan Toya Upas bukanlah tanpa arti sama sekali. Semburan dari mulut
Kyai Sarpa Kenaka benar-benar berkekuatan sepuluh kali lipat dari upas seekor
ular bandotan macan yang mampu membuat kulit dan daging lawannya hancur
meleleh.
Swandaru
menyadari sepenuhnya ketika tandang lawannya berubah dengan cepat. Lawannya
berusaha bertempur dengan jarak dekat walaupun Swandaru sudah mencoba memagari
garis serang lawannya dengan panjang juntai cambuknya. Namun setiap kali, Kyai
Sarpa Kenaka selalu berusaha membelitkan rantai bajanya dengan cambuk Swandaru,
sehingga Swandaru setiap kali harus menarik cambuknya dan melangkah mundur.
Pandan
Wangi yang sekilas melihat cara bertempur suaminya itu menjadi berdebar debar.
Bagaimanapun juga Swandaru adalah suaminya dan sekaligus ayah dari anaknya.
Kesalahan yang telah sering diperbuat oleh Swandaru memang tidak bisa dimaafkan
oleh seorang istri manapun di dunia ini, namun melihat suaminya terdesak dan
sedang mengalami kesulitan dengan lawannya di depan mata kepalanya sendiri
membuat hatinya bagaikan teriris sembilu.
Tandang
pemimpin padepokan Toya Upas itu semakin wuru. Seolah olah tidak dihiraukan
lagi kemungkinan tubuhnya terkena sengatan dari ujung cambuk Swandaru. Dengan
gerak yang cepat dia berusaha memperpendek jarak dengan lawannya. Rantai baja
di tangan kirinya berputar dengan cepat bagaikan payung hitam yang melindungi
tubuh bagian atasnya. Dengan teriakan yang menggelegar dia meloncat menubruk
dada Swandaru dengan kuku-kuku beracun tangan kanannya, sedangkan dari mulutnya
menyembur uap panas kehitam-hitaman yang sangat beracun menyambar ke arah muka.
Menghadapi
serangan beruntun itu Swandaru telah mengambil suatu keputusan akhir. Tidak
mungkin baginya untuk terus menerus meloncat mundur. Dia menyadari bahwa
dirinya tidak kebal racun, namun sudah menjadi keputusan yang bulat dalam
hatinya untuk menghentikan serangan lawannya langsung pada pusatnya, yaitu
menghancurkan lawannya sebelum dirinya sendiri hangus ditelan racun yang ganas.
Dalam
sekejap Swandaru pun bersikap. Tangan kanan yang menggenggam tangkai cambuknya
telah diangkat tinggi-tinggi, diikuti dengan tangan kiri yang bersilang di
depan dada. Dengan bertumpu pada kaki kanannya yang setengah ditekuk dan kaki
kiri terangkat, Swandaru siap melontarkan puncak ilmunya yang dipelajari dari
kitab peninggalan gurunya, kitab perguruan Windujati.
Dada
dari setiap orang yang hadir di halaman rumah Ki Demang berdegup kencang.
Mereka menyadari bahwa Swandaru telah mengambil keputusan akhir untuk
membenturkan ilmunya dengan ilmu lawannya.
Pandan
Wangi dan Wanengpati yang sedang bertempur itu pun sejenak meloncat mundur.
Agaknya keduanya pun ingin menyaksikan akhir dari perang tanding itu.
Sementara
itu Swandaru ternyata masih mampu menggunakan nalarnya walaupun kemarahan
menghentak hentak dadanya, ketika melihat semburan uap panas itu meluncur ke
arah mukanya, dia tidak ingin membiarkan mukanya hancur diterjang semburan
beracun lawannya. Oleh sebab itu, sebelum semburan itu menggapai wajahnya,
Swandaru telah bergeser selangkah kesamping kiri, kemudian dengan sekuat tenaga
dia meloncat tinggi-tinggi sambil menghentakkan cambuknya kearah punggung
lawannya.
Adalah
diluar dugaan, ternyata lawannya sama sekali tidak ada usaha untuk menghindari
serangan cambuknya, bahkan dengan menggeram keras karena semburannya gagal menyentuh
wajah Swandaru, Kyai Sarpa Kenaka justru telah melontarkan rantai bajanya yang
berbandul bergerigi itu mengarah ke perut Swandaru, sedangkan kedua tangannya
yang berkuku panjang-panjang itu berusaha menggapai kaki Swandaru yang sedang
melayang di udara.
Rantai
baja yang berbandul bergerigi itu meluncur dengan deras mengarah ke perut
Swandaru. Tidak ada waktu lagi bagi Swandaru untuk mengurungkan serangannya.
Dengan semampunya dia berusaha menghindari sambaran rantai baja itu dengan
menggeliat. Namun tak urung rantai baja dengan bandul bergerigi itu berhasil
menghantam pinggangnya.
Terdengar
keluhan tertahan hampir berbareng. Ujung cambuk Swandaru ternyata telah
menghantam punggung lawannya dengan ledakan yang sama sekali tak bersuara,
namun getaran dari ujung cambuk itu mampu menembus daya tahan tubuh Kyai Sarpa
Kenaka dan sekaligus meremukkan tulang punggungnya.
Tampak
Kyai Sarpa Kenaka guru Wanengpati yang sangat gemar bermain main dengan racun
itu terhuyung-huyung beberapa saat, sebelum kemudian dengan sebuah umpatan yang
sangat kotor dia jatuh terjerembab.
Sedangkan
Swandaru yang terkena sambaran rantai baja pada pinggangnya telah terdorong
kesamping kiri beberapa langkah. Sambil mendekap pinggangnya yang terluka,
Swandaru pun akhirnya jatuh terduduk.
“Kakang..!”
jerit Pandan Wangi sambil berlari kearah suaminya. Berbagai perasaan telah
bergejolak dalam dadanya, namun jauh di sudut hatinya, tetap ada rasa bakti
terhadap suami dan sekaligus ayah dari anaknya.
Wanengpati
yang melihat gurunya jatuh terjerembab segera meloncat berlari untuk segera
mengetahui keadaannya. Namun sebelum langkahnya sampai di tempat gurunya
tergeletak, berpuluh puluh ujung pedang telah menghadangnya.
“Bunuh..!”
teriak beberapa pengawal Sangkal Putung yang mengepungnya.
“Ya,
bunuh orang yang telah berani mengacau Kademangan kita ini!” sahut yang lain.
“Bunuh.!”
“Bunuh.!”
“Cincang
sampai lumat..!”
Tersirap
darah Wanengpati menghadapi perubahan keadaan yang sama sekali diluar
perhitungannya. Dengan sigap dia segera meloncat mundur sambil menghunus
senjatanya.
Begitu
melihat Wanengpati menghunus senjatanya, para pengawal Sangkal Putung yang
sedang mengepungnya itu pun bagaikan wuru. Dengan teriakan yang membahana,
beramai ramai mereka menyerang Wanengpati dari segala penjuru.
Wanengpati
sebenarnyalah bukan orang kebanyakan. Dia adalah murid dari perguruan Toya Upas
yang terkenal bengis dan kejam dalam memperlakukan lawan lawannya. Namun
menghadapi sekian banyak orang, Wanengpati benar-benar mengalami kesulitan.
Ketika
senjatanya berhasil melukai lambung orang yang menyerang dari depan, sebuah
hantaman bindi dari belakang ke arah kepalanya telah membuatnya terhuyung
beberapa langkah kedepan. Belum sempat dia memperbaiki kedudukannya, sebuah
tombak pendek telah menyongsongnya dan menghujam perutnya.
Demikianlah
akhirnya, murid perguruan Toya Upas itu telah menjadi bulan bulanan dan
pangewan-ewan oleh para pengawal Sangkal Putung yang marah demi melihat
Swandaru, pemimpin mereka terluka oleh Kyai Sarpa Kenaka. Tidak ada rasa belas kasihan
sama sekali. Apalagi ketika mereka masih melihat dalam keadaan yang payah
Wanengpati masih sempat melukai beberapa pengawal lagi, kemarahan para pengawal
itu pun telah sampai ke puncaknya. Dengan teriakan buas dan liar mereka telah
mencincang Wanengpati di halaman rumah Ki Demang itu tanpa ampun.
Sementara
itu Ki Demang Sangkal Putung yang sedang duduk bersandaran tiang pendapa
menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di halaman rumahnya dengan hati yang
terguncang guncang. Swandaru yang terluka, pemimpin perguruan Toya Upas yang
terbujur diam, entah mati atau pingsan, dan Wanengpati yang hancur lumat
menjadi sayatan daging dan pecahan tulang. Hati tua Ki Demang itu benar-benar
terguncang, perlahan lahan kesadarannya pun mulai melemah. Samar-samar masih
terdengar umpatan dan cacian kemarahan para pengawal Sangkal Putung, namun yang
terasa sangat memilukan hati adalah jeritan Pandan Wangi yang berusaha menolong
suaminya yang perlahan lahan jatuh terlentang tak sadarkan diri karena pengaruh
racun dari senjata Kyai Sarpa Kenaka.
Bersamaan
dengan hilangnya kesadaran Ki Demang, dua sosok bayangan menyelinap memasuki
halaman rumah Ki Demang justru melalui regol depan yang tak terjaga, karena
seluruh perhatian pengawal tercurah kepada Wanengpati.
Sejenak
kedua orang yang menyelinap masuk ke halaman itu ragu-ragu. Sambil menggamit
seseorang yang berdiri di sebelahnya, orang yang kelihatannya sudah sangat tua
tapi masih sehat dan kuat itu memberi isyarat untuk mendekat kearah kerumunan
para pengawal Sangkal Putung.
Ketika
seorang pengawal yang berdiri di paling belakang dari kerumunan itu mendengar
desir langkah di belakangnya itu berpaling, tanpa menggunakan nalar yang bening
segera saja dia berteriak untuk menarik perhatian kawan kawannya.
Segera
saja kedua orang yang baru memasuki halaman rumah Ki Demang itu terkepung
dengan senjata yang teracu, bahkan beberapa orang sudah mulai mendesak ke depan
sambil mengayun-ayunkan senjata mereka.
“Selamat
malam Ki sanak semua,” dengan tenang orang tua itu menyapa sambil menggandeng
tangan cucunya, seorang pemuda tanggung yang berwajah sangat tampan.
Untuk
beberapa saat para pengawal itu tertegun. Ketenangan dan kewibawaan orang tua
itu justru telah menggetarkan hati. Tidak tampak kegelisahan sama sekali dari
kedua pendatang itu, bahkan pemuda tanggung yang sangat tampan itu dengan manja
telah menyandarkan kepalanya di bahu orang tua yang menggandengnya.
Namun
kejadian itu tidak berlangsung lama, seorang pengawal yang bertubuh kurus
segera saja melangkah ke depan sambil berkata, “Ki Sanak, kami tidak mengenal
kalian berdua. Di halaman ini baru saja terjadi peristiwa yang menggemparkan
dan tiba-tiba saja kalian muncul. Jangan salahkan kami kalau kami terpaksa
bertindak tegas jika kalian berdua tidak dapat menjelaskan jati diri dan
keperluan kalian memasuki halaman ini.”
Orang
tua itu tersenyum sambil mengangguk, kemudian katanya, “Kami adalah perantau
yang berasal dari Padepokan Glagah Tinutu di lereng gunung Kendeng. Pemuda ini
bernama Damarpati dan aku adalah Kakeknya.”
Pengawal
yang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Nama perguruan itu masih asing
di telinganya, sambil berpaling ke arah kawan kawannya, dia berseru, “Apakah
diantara kalian ada yang pernah mendengar nama padepokan Glagah Tinutu dari
lereng gunung Kendeng?”
Beberapa
pengawal saling berpandangan, namun akhirnya beberapa orang menggelengkan
kepala sambil berkata, “Kami belum pernah mendengarnya.”
“Nah,
apa katamu Kakek tua?” pengawal bertubuh kurus itu kembali bertanya sambil
memandang tajam kearah kedua orang yang berdiri di hadapannya.
“O..,
itu memang mungkin sekali karena letak perguruan kami sangat jauh dan baru kali
inilah kami mengembara sampai di tempat ini.” Jawab Kakek tua itu dengan
tenang.
“Jadi,
apakah aku harus mengirimkan satu dua pengawal ke lereng gunung Kendeng untuk
membuktikan kebenaran ucapanmu itu?” kembali pengawal bertubuh kurus itu
bertanya dengan nada setengah jengkel.
“O..,
tidak Ki sanak, itu tidak perlu. Tapi sebenarnyalah kami memang berasal dari
padepokan Glagah Tinutu, dan yang menuntun kami sampai ketempat ini adalah
suara cambuk itu. Suara cambuk yang dapat mengingatkan kami pada seseorang yang
bergelar orang bercambuk.”
Ketika
kakek tua itu menyebut nama orang bercambuk, bagaikan tersadar dari mimpi
buruk, para pengawal itupun serentak berpaling kearah dimana Swandaru telah
jatuh terduduk.
Alangkah
terkejutnya mereka ketika melihat Swandaru ternyata telah terbujur diam dan di
sampingnya, Pandan Wangi sambil menahan tangis berusaha dengan sekuat tenaga
untuk menyadarkannya.
Hampir
berbarengan para pengawal itu pun segera berlomba lomba berlari dahulu
mendahului untuk sampai ketempat Swandaru terbaring, sehingga keberadaan
Damarpati dan Kakeknya telah mereka lupakan.
Kakek
Damarpati hanya dapat tersenyum melihat tingkah polah para pengawal Sangkal
Putung itu. Sambil tetap menggandeng tangan cucunya, dia segera melangkah
dengan tergesa-gesa menyusul ke arah para pengawal itu berlari menuju tempat
Swandaru terbaring.
Para
pengawal yang telah sampai di tempat Swandaru terbaring segera mengerumuninya.
Beberapa orang mencoba membantu Pandan wangi untuk menyadarkan Swandaru. Ada
yang memijit mijit kakinya, menekan nekan pundaknya, bahkan ada yang telah
mencari air ke perigi di belakang rumah untuk dibasuhkan di wajah Swandaru.
Sedangkan
Pandan Wangi yang sedang meraba dada suaminya menjadi sangat terkejut. Tubuh
itu terasa sangat dingin dan hampir tidak terasa detak jantungnya. Ketika
dengan tergesa-gesa ditempelkan telinganya di dada suaminya, detak jantung itu
begitu jauh dan lembut, kadang muncul kadang tenggelam.
“Apakah
ada diantara kalian yang dapat memanggil Tabib di Kademangan ini?” akhirnya
dengan suara yang sendat menahan tangis Pandan Wangi berkata.
Para
pengawal itu saling pandang sejenak, namun baru saja beberapa orang berdiri untuk
menjemput Tabib yang ada di Kademangan itu, terdengar suara lembut tepat
dibelakang Pandan Wangi.
“Ijinkanlah
aku melihat lukanya,” ternyata Kakek Damarpati telah sampai ditempat itu.
Sambil berjongkok di sebelah Pandan Wangi, dia berusaha mengamat amati luka di
pinggang Swandaru yang tidak mengalirkan darah sama sekali, namun kulit
disekitar luka itu telah menghitam dan membengkak.
Pandan
Wangi terkejut begitu mendapati seseorang berjongkok disebelahnya, namun
sebelum dia sempat bertanya, orang tua itu telah berbisik dengan sareh,
“Maafkan aku, Nyi. Lukanya harus segera ditangani. Untunglah ketahanan tubuhnya
luar biasa. Walaupun dia tidak mempunyai ilmu kebal, namun aliran racun di
jalan darahnya belum sampai ke jantung.”
Para
pengawal yang berkerumun itu terkejut dan baru menyadari bahwa mereka masih
mempunyai urusan dengan kedua orang asing itu, namun ketika dilihatnya Pandan
wangi hanya diam saja, mereka menjadi ragu-ragu untuk bertindak.
Kakek
Damarpati benar-benar bekerja dengan cepat dan cermat. Dikeluarkannya dari
kantong ikat pinggangnya sebuah batu yang berwarna putih bersih. Segera saja
batu itu ditempelkan ke luka Swandaru yang berwarna hitam legam, perlahan batu
itu pun berubah warna menjadi hitam, sedangkan warna kehitam-hitaman dari luka di
pinggang Swandaru perlahan lahan telah memudar, sejalan dengan itu setetes demi
setetes darah yang berwarna merah mulai mengalir dari luka itu.
“Apakah
aku bisa mendapatkan semangkuk air bersih?” berkata Kakek Damarpati sambil
melepas batu yang menempel di luka Swandaru. Kemudian diambilnya lagi sekantung
obat serbuk yang ditaburkan keatas permukaan luka yang mulai mengalirkan darah.
Perlahan lahan darah yang mengalir dari luka yang cukup dalam itupun akhirnya
mampat.
Ketika
seorang pengawal mengulurkan semangkuk air bersih, dengan cepat Kakek Damarpati
menyambutnya. Kemudian dari kantung ikat pinggangnya yang lain dikeluarkan
sebuah bumbung kecil yang berisi beberapa butir obat berwarna kehijau-hijauan.
Setelah memasukkan tiga butir obat kedalam mangkuk yang berisi air itu, orang
tua itu pun telah mengaduknya dengan menggunakan sebuah silatan bambu yang juga
diambil dari kantung ikat pinggangnya.
Pandan
Wangi benar-benar terkesima melihat gerak gerik yang cekatan dari orang tua
itu. Dalam pandangannya seolah olah dia kembali melihat seorang-orang tua yang
berkain gringsing dan berwajah sareh sedang mengobati ayahnya yang terluka oleh
senjata lawannya, Ki Tambak Wedi.
Pandan
Wangi tersadar ketika orang tua itu berkata kepadanya, “Tolong bantu aku Nyi,
untuk meminumkan cairan obat ini agar racun yang terlanjur mengalir dalam
darahnya menjadi tawar dan membantu memulihkan kekuatannya.”
Dengan
cepat Pandan Wangi memangku kepala suaminya. Dengan perlahan lahan dan sangat
hati-hati, kakek Damarpati itu berusaha memasukkan setetes demi setetes cairan
obat itu ke mulut Swandaru. Memang sangat sulit karena Swandaru belum tersadar
dari pingsannya, namun dengan keahlian seorang tabib yang mumpuni, akhirnya
tetes-tetes obat itupun mampu melewati tenggorokan Swandaru.
Demikianlah
akhirnya, dengan memijat dan menekan pada beberapa bagian penting yang ada di
tubuh Swandaru, Kakek Damarpati telah mencoba untuk menyadarkannya.
Ketika
sebuah tarikan nafas yang berat disertai dengan sebuah desis perlahan keluar
dari mulut Swandaru, Kakek Damarpati pun telah menghentikan sentuhannya di
tubuh Swandaru.
Pandan
Wangi yang mengikuti semua gerak gerik kakek Damarpati dalam usahanya membantu
mengendalikan racun yang sudah terlanjur memasuki jalur darah Swandaru melalui
luka di pinggangnya menjadi sangat trenyuh. Orang tua yang berjongkok
disebelahnya ini bukan sanak bukan kadang, bahkan mengenal pun dia tidak, namun
kesungguhannya dalam usaha membantu kesulitan sesamanya, benar-benar telah
menyentuh hatinya dan menimbulkan kesan tersendiri.
Ketika
sekali lagi Swandaru berdesis perlahan sekali sambil menggeliat, Kakek
Damarpati pun segera memberikan isyarat kepada Pandan Wangi agar memindahkan
Swandaru ketempat yang lebih baik.
Pandan
Wangi segera menengadahkan wajahnya dan mengedarkan pandangan matanya untuk
meminta bantuan para pengawal mengangkat Swandaru ke serambi. Namun pandangan
Pandan Wangi sempat tertegun sejenak pada seraut wajah tampan dari seorang anak
muda yang berdiri termangu-mangu selangkah dibelakang orang tua yang telah menyelamatkan
nyawa suaminya itu.
Pandan
Wangi bagaikan terpesona memandang wajah tampan itu. Kulitnya begitu putih dan
halus dengan sepasang mata bagaikan bintang timur sedang bercahaya. Bulu-bulu
lentik matanya serta alis yang bagaikan semut beriring menjadikan wajah itu
begitu sempurna. Hidung yang kecil dan mancung serta bibir bak delima merekah
akan membuat seseorang akan menjadi bertanya tanya, perempuan atau laki-lakikah
pemuda ini?
Namun
naluri kewanitaan Pandan Wangi tidak bisa dipungkiri, pemuda tanggung yang
berdiri beberapa langkah di sampingnya ini adalah seorang perempuan muda yang
sangat cantik jelita dan entah oleh sebuah alasan apa, telah menyamarkan
dirinya menjadi seorang laki-laki.
Agaknya
Kakek Damarpati dapat membaca perasaan Pandang Wangi, untuk itulah dengan
tergesa-gesa dia berkata, “Maafkan kami Nyi, ini adalah cucuku Damarpati. Kami
berdua tidak sengaja telah mengembara sampai ke Kademangan Sangkal Putung ini,
dan sesungguhnya suara cambuk itu yang telah menuntun kami sampai ke halaman
ini.”
Pandan
Wangi tidak menjawab, akan tetapi pandangan matanya tidak lepas dari wajah
Damarpati yang menunduk dalam-dalam. Wajah yang sangat tampan tetapi terlalu
lembut untuk ukuran seorang laki-laki. Wajah yang tampak selalu murung,
semurung dirinya dahulu ketika usianya mulai beranjak remaja.
“Perkenankan
kami memindahkan Ki Swandaru ke serambi, Nyi,” tiba-tiba seorang pengawal
berdesis perlahan disampingnya sambil berjongkok.
“O..,
silahkan, silahkan,” jawab Pandan Wangi sambil perlahan menurunkan kepala
Swandaru dari pangkuannya untuk kemudian bergeser ke kanan dan perlahan lahan
bangkit berdiri.
Tiga
orang pengawal dengan cekatan telah mengangkat tubuh Swandaru yang masih belum
sadarkan diri. Dengan cepat namun sangat hati-hati, ketiganya pun kemudian
membawa Swandaru masuk ke serambi.
Sementara
itu Pandan Wangi yang telah berdiri tegak telah berada tepat di depan
Damarpati. Pandangan tajam dan naluri kewanitaan Pandan Wangi benar-benar tidak
dapat dikelabuhi dengan hanya mengenakan pakaian laki-laki kebanyakan serta
ikat kepala. Tanpa mengucapkan sepatah kata sebelumnya, tiba-tiba Pandan Wangi
telah menyentuh pundak Damarpati dan perlahan mengguncangnya.
“Engkau
yang bernama Damarpati?” tanya Pandan Wangi dengan tangan kanan masih melekat
di bahu Damarpati.
Damarpati
mengangkat wajahnya sekilas, namun dengan cepat menunduk kembali begitu pandang
matanya berbenturan dengan pandang mata Pandan Wangi. Hanya sebuah anggukan
kecil yang hampir tak terlihat yang menjawab pertanyaan Pandan Wangi.
Pandan
Wangi menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan penuh rasa keibuan ditariknya
Damarpati kedalam pelukannya. Hampir saja sebuah tangis meledak ketika kepala
Damarpati menyusup dalam dekapan Pandan Wangi. Namun dengan sekuat tenaga,
Damarpati mencoba menahan tangisnya dan ternyata dia telah berhasil menguasai
dirinya. Hanya sebuah terisak kecil yang terdengar di telinga Pandan Wangi.
“Sudahlah
Damarpati,” berkata Pandan Wangi sambil melepaskan pelukannya, kemudian katanya
perlahan sambil berbisik di telinga Damarpati, “Kita punya banyak waktu untuk
berbicara tentang diri kita masing-masing setelah semua urusan ini selesai.”
Damarpati
hanya mengangguk kecil sambil berusaha menyembunyikan air matanya yang mulai
menitik. Semua peristiwa itu tidak luput dari pengamatan Kakeknya. Orang tua
itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kegelisahannya tentang masa depan
cucunya itu menjadi semakin dalam. Semenjak kematian kedua orang tua Damarpati
yang masih menyisakan teka-teki sampai sekarang, memang telah diputuskannya untuk
menyingkir dari padukuhan Ngerang, menempuh jalan yang panjang tanpa tujuan
hanya untuk menyelamatkan Damarpati dari sebuah ancaman pembunuhan yang mungkin
saja terjadi setelah kematian kedua orang tuanya.
Damarpati
adalah nama yang dipilihnya untuk cucunya selama dalam pengembaraan. Demi untuk
menjaga segala kemungkinan buruk yang dapat timbul selama dalam perantauan, dia
menyarankan cucunya untuk menyamar menjadi anak muda yang bernama Damarpati
karena sebenarnyalah cucunya itu adalah seorang gadis remaja yang baru tumbuh
menjadi sebuah bunga yang indah tiada taranya sehingga akan dapat menimbulkan
banyak permasalahan.
Kakek
Damarpati itu tersadar dari lamunannya ketika Pandan Wangi berpaling kearahnya
sambil bertanya, “Kakek, sebutan apakah yang sebaiknya aku gunakan untuk
menyebut nama Kakek?”
Kakek
Damarpati itu tertegun sejenak. Nama baginya sudah tidak ada artinya lagi,
tidak ada seorang pun yang akan mengenalnya dari padepokan Glagah Tinutu di
lereng Gunung Kendeng, karena sesungguhnya padepokan itu sudah lama hilang dari
permukaan bumi, hanya sisa-sisa bangunan yang tidak utuh lagi yang menjadi
saksi atas kejadian berpuluh puluh tahun yang lalu.
“Bagaimana,
Kek?” kembali Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya.
“Baiklah,
Nyi,” akhirnya dia mengalah, “Engkau dapat memanggilku Kyai Sabda Dadi.”
“Terima
kasih,” jawab Pandan Wangi, “Aku adalah Pandan Wangi dari Tanah Perdikan
Menoreh. Keberadaanku disini mengikuti suamiku Ki Swandaru putra Ki Demang
Sangkal Putung yang terluka tadi dan telah mendapat pertolongan dari Kyai.”
“Ah..,”
desah Kyai Sabda Dadi, “Aku hanyalah lantaran dari Yang Maha Agung, hanya
dengan perkenan Nya Ki Swandaru dapat tertolong.”
Pandan
Wangi mengangguk anggukan kepalanya, kemudian lanjutnya, “Kyai, bagaimanakah
dengan Kyai Sarpa Kenaka yang menjadi lawan suamiku? Apakah Kyai berkenan untuk
melihat keadaannya?”
Kyai
Sabda Dadi terkejut, tanpa menjawab pertanyaan Pandan Wangi dengan tergesa-gesa
dia melangkah mendekati tubuh Kyai Sarpa Kenaka yang terbujur diam menelungkup.
Sesampainya
di samping tubuh pemimpin perguruan Toya Upas itu, dengan sangat hati-hati
dibalikkannya tubuh yang menelungkup itu. Alangkah terkejutnya Kyai Sabda Dadi
ketika dia menarik bahu Kyai Sarpa Kenaka, tubuh itu bagaikan tak bertulang.
Ternyata tulang belakangnya telah hancur lumat oleh ilmu cambuk Swandaru yang
nggegirisi.
“Sasra
Birawa,” desis Kyai Sabda Dadi dalam hati, “Ternyata Ki Swandaru mewarisi ilmu
dari Perguruan Pengging yang terkenal semasa pemerintahan Demak itu melalui
jalur perguruan orang bercambuk. Agaknya memang benar menurut cerita orang
tuaku dulu bahwa semasa mudanya, orang bercambuk itu bersahabat dengan salah
satu murid perguruan Pengging, sehingga tidak menutup kemungkinan telah terjadi
pertukaran ilmu diantara mereka, walaupun ujud dari ilmu itu sendiri akhirnya
melebur dengan ilmu orang bercambuk, namun akibat yang dialami oleh lawannya
benar-benar akibat dari benturan ilmu yang disebut Sasra Birawa itu.”
Sejenak
Kyai Sabda Dadi masih merenungi jasad Kyai Sarpa Kenaka yang terbujur diam.
Perlahan Kyai Sabda Dadi bangkit berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam,
kemudian katanya sambil berpaling kearah Pandan Wangi yang berdiri
termangu-mangu disisi Damarpati beberapa langkah di belakangnya, “Nyai,
kelihatannya tidak ada yang dapat aku perbuat terhadap orang ini. Lebih baik
engkau dapat memerintahkan para pengawal untuk segera menyelenggarakan
jasadnya.”
“Benar,
Kyai, ” jawab Pandan Wangi, “Demikian juga nasib muridnya, ternyata telah
mendapatkan perlakuan yang sangat buruk dari para pengawal Sangkal Putung.”
“Suatu
kejadian yang sebenarnya tidak perlu terjadi,” desis Kyai sabda Dadi perlahan
seolah olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Suatu pengingkaran dari
sifat-sifat manusia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang
dikaruniakan oleh Yang Maha Agung, namun dorongan nafsulah yang telah
menjerumuskan manusia dalam tindakan dan perbuatan yang justru bisa lebih buruk
dari sifat-sifat seekor binatang.”
Semua
orang yang mendengarkan perkataan Kyai Sabda Dadi tertunduk diam. Terlebih
lebih adalah para pengawal Sangkal Putung yang telah ikut andil mencincang
Wanengpati. Ada suatu penyesalan jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam.
Mengapa semua itu telah mereka lakukan, justru di kalangan suatu kehidupan
bebrayan yang disebut beradab, suatu kehidupan yang penuh dengan tatanan yang
mengatur hubungan timbal balik antara sesama dan hubungan mereka dengan
Tuhannya.
“Marilah
Kyai,” akhirnya Pandan Wangi memecah kebisuan, “Biarlah para pengawal
menyelenggarakan jenasah mereka berdua sebagaimana mestinya, kita dapat
beristirahat sejenak di serambi sambil melihat perkembangan Kakang Swandaru.”
Demikianlah
akhirnya, perang tanding antara Swandaru dan Pemimpin padepokan Toya Upas itu
telah berakhir dengan meninggalkan kesan tersendiri dihati masing-masing orang
yang hadir di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung malam itu. Berbagai
tanggapan telah muncul di setiap dada, terutama para pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh telah mendapat kesan yang buram tentang tingkah laku Swandaru
selama ini.
Keesokan
harinya, ternyata Pandan Wangi telah bertindak cepat. Sambil menunggu
perkembangan Suaminya, dia telah berunding dengan Ki Demang Sangkal Putung
untuk segera mengirim kembali para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dengan
membawa berita tentang keadaan Swandaru.
“Apakah
itu perlu, Wangi,” bertanya Ki Demang dengan sareh, “Ki Argapati sedang
menderita sakit, berita sekecil apapun yang dapat membebani pikirannya akan
dapat menambah sakitnya.”
“Akan
tetapi Ayah Argapati harus mendapat berita yang sebenarnya mengapa aku tidak
segera datang ke Menoreh untuk menjenguknya.”
“Tunggulah
barang sehari dua hari, jika kesehatan suamimu menunjukkan perkembangan kearah
yang menggembirakan, engkau dapat berangkat ke Menoreh bersama sama dengan para
pengawal.”
Pandan
Wangi tertunduk diam, dia benar-benar dihadapkan pada permasalahan yang pelik.
Untuk meninggalkan Swandaru rasa rasanya sebagai seorang istri tidaklah pantas,
walaupun setiap hidung di Kademangan Sangkal Putung itu telah mengetahui apa
yang telah diperbuat boleh suaminya, sedangkan disisi lain, Ayahnya di Menoreh
sangat memerlukan kehadirannya.
Kyai
Sabda Dadi yang ikut duduk berbincang bincang pagi itu di serambi rumah Ki
Demang ternyata tidak dapat menahan hati lagi, sambil beringsut setapak dari
tempat duduknya dia perlahan lahan berkata, “Ki Demang dan Nyi Pandan Wangi,
ijinkanlah saya menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sangat berpengaruh
terhadap keputusan-keputusan yang akan diambil nantinya.”
Hampir
bersamaan Ki Demang dan Pandan Wangi berpaling kearah Kyai Sabda Dadi. Sambil
mengerutkan keningnya ternyata Pandan Wangi lah yang lebih dahulu menyahut,
“Apakah yang Kyai maksud?”
“Tentang
perkembangan kesehatan Ki Swandaru, Nyi.” Jawab Kyai Sabda Dadi pelan. Berdesir
dada Pandan wangi dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Apakah
ada sesuatu yang mengkawatirkan?” tanya Ki Demang.
“Tidak
seluruhnya Ki Demang, kesehatannya memang menunjukkan tanda-tanda kearah yang
menggembirakan, namun ada suatu keanehan yang aku temukan pagi-pagi tadi ketika
aku menyeduhkan obat untuknya.”
“Apakah
itu?” serentak Pandan Wangi dan Ki Demang bertanya.
Kyai
Sabda Dadi tidak segera menjawab. Dilemparkan pandangan matanya ke halaman
rumah Ki Demang Sangkal Putung melalui pintu pringgitan yang terbuka lebar.
Tampak Damarpati sedang berjalan-jalan mengelilingi halaman yang luas itu
sambil sesekali melihat lihat berjenis jenis bunga yang ditanam sedemikian rupa
sehingga benar-benar menyerupai sebuah taman yang indah dan mempesona.
“Kyai,
apakah sebenarnya yang terjadi pada suamiku?” bertanya Pandan Wangi menyadarkan
Kyai Sabda Dadi.
Setelah
menarik nafas dalam-dalam, Kyai Sabda Dadi pun akhirnya memutuskan untuk
menyampaikan apa yang sebenarnya sedang dialami oleh Swandaru.
“Nyi,”
perlahan Kyai Sabda Dadi berkata, “Racun yang mengalir dalam darah Ki Swandaru
memang sudah bersih, namun akibat luka yang diderita di pinggangnya itulah yang
ternyata telah membawa akibat buruk pada tubuh bagian bawahnya.”
“Maksud
Kyai?” dengan tak sabar Pandan Wangi menyela.
“Senjata
Kyai Sarpa Kenaka itu ternyata telah mengenai simpul-simpul syaraf yang ada di
pinggang Ki Swandaru, sehingga Ki Swandaru mengalami gangguan untuk
menggerakkan kedua kakinya.”
“Maksud
Kyai, anakku menjadi lumpuh?” Ki Demang lah kini yang menyela dengan suara yang
bergetar menahan gejolak di dadanya.
“Demikianlah
untuk sementara yang dapat aku simpulkan dari kejadian ini, namun aku masih
berusaha untuk memperbaiki simpul-simpul syaraf itu walaupun kenyataannya
sangat rumit.”
Pandan
Wangi yang mendengar penjelasan dari Kyai Sabda Dadi hanya termangu-mangu diam.
Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dalam dadanya. Sejak Suaminya
melakukan hubungan dengan beberapa wanita lain walaupun dia sendiri tidak
mengetahui dengan mata kepala sendiri, namun perasaan hatinya telah hampa.
Seolah olah dia menjadi perempuan asing di rumah ini. Dia kembali menjadi
pendiam dan pemurung. Hari harinya hanya dihabiskan dengan bermain main dengan
anak laki-laki satu satunya yang mulai beranjak remaja.
“Wangi,
“ suara Ki Demang tiba-tiba telah menyadarkan lamunannya, “Apakah engkau
mempunyai pertimbangan tersendiri sehubungan dengan perkembangan kesehatan
suamimu?”
Pandan
Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling sekilas kearah Kyai Sabda
Dadi dia menjawab, “Aku tidak begitu banyak mengetahui tentang pengobatan,
Ayah. Mungkin Kyai Sabda Dadi dapat memberikan pertimbangan yang terbaik untuk
kita dan keluarga yang berada di Menoreh.”
Kyai
Sabda Dadi yang merasa menjadi tumpuan harapan dari Pandan Wangi justru telah
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil menghela nafas yang panjang, dia
berdesis perlahan lahan, “Aku hanyalah manusia biasa, tidak menutup kemungkinan
dugaanku itu salah, namun untuk beberapa pekan mendatang, aku harap Ki Swandaru
segera pulih kesehatannya, kecuali pengaruh luka di pinggangnya yang dapat
mempengaruhi kemampuan gerak kedua kakinya.”
Ki
Demang menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya anak menantunya yang
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah apa yang sedang dipikirkan dalam benak
Pandan Wangi, Ki Demang tidak berani berandai-andai.
“Baiklah,”
akhirnya Ki Demang memberanikan diri menawarkan sebuah kemungkinan, “Aku rasa
sebaiknya Pandan Wangi tidak berangkat ke Menoreh, betapapun juga suaminya
disini memerlukan perhatiannya. Untuk itu, sekali lagi kami mohon bantuan dari
Kyai Sabda Dadi untuk menolong mengobati Ki Argapati yang sedang sakit di
Menoreh.”
Kyai
Sabda Dadi terkejut mendengar permintaan Ki Demang itu. Dengan tergesa-gesa dia
beringsut kedepan beberapa jengkal dari tempat duduknya, kemudian katanya,
“Maafkan aku sebelumnya, Ki Demang. Sebenarnyalah aku bukan seorang ahli
pengobatan. Kemampuanku yang tidak seberapa ini aku dapatkan dari orang tuaku
sendiri, sehingga aku tidak berani menjamin bahwa aku dapat mengobati penyakit Ki
Gede Menoreh, justru pada saat semua orang menaruh harapan kepadaku.”
Ki
Demang tersenyum tipis, “Sekecil apapun bantuan itu, kami sangat mengharapkan.
Jikalau Kyai Sabda Dadi berkenan, Kyai dapat berangkat bersama sama para
pengawal Menoreh yang akan kembali untuk mengabarkan keadaan Swandaru dan
Pandan Wangi yang sementara waktu ini belum bisa menjenguk keluarga yang ada di
Menoreh.”
Kyai
Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kapankah
kira-kira para pengawal dari Menoreh itu akan kembali?”
“Secepatnya,”
Pandan Wangi lah yang menyahut, “Sebaiknya Kyai bersama mereka berangkat besok
pagi, agar menjelang sore sudah bisa sampai di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya,
pagi-pagi sekali agar tidak terlalu malam sampai Tanah Perdikan Menoreh.” Ki
Demang menambahkan.
Demikianlah
akhirnya telah disepakati bahwa besok pagi, sebelum sinar matahari memancarkan
sinarnya ke atas bumi Sangkal Putung, mereka para pengawal dari Menoreh beserta
Kyai Sabda Dadi dan cucunya akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika
di malam harinya Kyai Sabda Dadi menyampaikan hal itu kepada Damarpati, tampak
kedua matanya berbinar-binar penuh dengan keceriaan, katanya kemudian, “Aku
senang sekali Kek, bisa ikut ke tanah kelahiran Nyi Pandan Wangi. Bukankah dia
juga akan bersama kita ke Menoreh?”
Kyai
Sabda Dadi tersenyum simpul melihat kegembiraan cucunya itu, kemudian jawabnya,
“Tidak Damar, Nyi Pandan Wangi tidak akan ikut.”
“Mengapa?
Bukankah ayahnya juga sedang sakit dan memerlukan perhatiannya?”
Kyai
Sabda Dadi menggeleng lemah sambil berkata, “Suaminya juga memerlukan
perhatiannya disini, Damar.”
“Bukankah
disini ada Ki Demang, ayah Ki Swandaru? Selain itu disini juga banyak pembantu
rumah tangga Ki Demang yang dapat mengurusi keperluan sehari hari Ki Swandaru.”
“Tidak,
Damar,” sekali lagi Kyai Sabda Dadi menggeleng, “Jika seorang laki-laki jatuh
sakit, istrinyalah yang lebih berhak untuk merawatnya sebagai tanda bakti
seorang istri kepada suami.”
Damarpati
termangu-mangu, penjelasan kakeknya terasa janggal dan tidak masuk akal.
Baginya keberadaan seorang ayah itu lebih penting dari pada seorang suami. Hal
ini memang masih sulit dipahami oleh Damarpati yang masih berusia sangat muda
dan belum mengerti arti seorang suami bagi seorang istri dalam hubungan hidup
bebrayan dan hubungan timbal balik dengan Yang Maha Agung yang telah berkenan
menciptakan seluruh makhluk hidup yang ada di permukaan bumi ini
berpasang-pasangan dan menciptakan rasa kasih sayang diantara mereka agar
mereka mensyukurinya.
Demikianlah
akhirnya, keesokan harinya ketika matahari masih belum menampakkan sinarnya dan
burung-burung masih enggan meninggalkan sarangnya, mereka yang akan melakukan
perjalanan jauh telah bangun dan pergi ke pakiwan bergantian untuk mensucikan
diri. Setelah melaksanakan kewajiban mereka sebagai hamba terhadap Tuhannya,
mereka pun mulai berbenah untuk menyiapkan keperluan mereka yang dibutuhkan
untuk sebuah perjalanan.
Ternyata
para pembantu Ki Demang masih sempat menghidangkan sarapan pagi bagi para tamu
yang akan berangkat ke Menoreh pagi itu, walaupun hidangan yang disajikan hanya
sekedarnya karena memang hari masih terlalu pagi untuk belanja ke pasar, namun
hal itu tidak mengurangi selera makan mereka yang sedang menyantap hidangan
itu.
Ki
Demang dan Pandan Wangi menyempatkan diri menemani para tamunya untuk makan
pagi. Kesempatan itu dipergunakan Pandan Wangi untuk memberikan beberapa pesan
sehubungan dengan keadaan Swandaru yang terluka parah setelah berperang tanding
melawan pemimpin perguruan Toya Upas.
“Kalian
tidak perlu memberikan keterangan kepada Ayah Argapati hal-hal yang dapat
menambah beban pikirannya. Sebaiknya kalian cukup memberikan penjelasan bahwa
sakitnya Kakang Swandaru itu didapatkan setelah berperang tanding melawan
pemimpin perguruan Toya Upas, namun keadaan Kakang Swandaru sekarang ini sudah
semakin baik atas pertolongan Kyai Sabda Dadi. Jadi tidak ada lagi yang perlu
dirisaukan.”
“Ah..”
justru Kyai Sabda Dadi lah yang berdesah, “Apa yang telah aku lakukan itu
hanyalah sekedar sebuah usaha, hasilnya kita pasrahkan kepada Yang Maha Agung.
Kita patut bersyukur bahwa sesungguhnya hanya atas perkenanNya semua itu dapat
terjadi.”
Semua
yang hadir di pringgitan itu mengangguk anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah
Santa dan kawan kawannya tidak mengetahui penyebab sakitnya Ki Argapati. Yang
mereka ketahui hanyalah Ki Argapati telah jatuh sakit dengan tiba-tiba dan
mereka diberi tugas untuk menyampaikan kabar itu kepada keluarga di Sangkal
Putung. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa berita itu nantinya justru akan
menambah parahnya sakit Ki Gede Menoreh. Bagaimanapun juga, Ki Gede yang telah
banyak makan asam garamnya kehidupan ini pasti dapat menghubungkan peristiwa
yang terjadi atas Ki Jayaraga di Menoreh dengan perang tanding Swandaru melawan
Kyai Sarpa Kenaka di Sangkal Putung.
Ketika
sinar matahari yang pertama telah menyentuh pucuk-pucuk pepohonan yang masih
basah oleh embun pagi, serta burung-burung telah memperdengarkan kicau merdu
mereka di dahan-dahan yang tinggi sambil berloncatan dari cabang satu ke cabang
lainnya dengan riangnya, lima ekor kuda telah berderap meninggalkan padukuhan
induk Kademangan Sangkal Putung. Mereka berderap di jalan-jalan padukuhan yang
semakin ramai dengan kecepatan yang wajar agar tidak banyak menarik perhatian.
Sesekali mereka berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke sawah atau ke
pasar. Ketika sebuah pedati yang penuh dengan muatan hasil bumi berjalan
perlahan bagaikan seekor siput di atas jalan berbatu batu menuju ke padukuhan
induk kademangan Sangkal Putung, mereka berlima telah keluar dari regol
Kademangan Sangkal Putung kemudian melintasi sebuah bulak panjang.
Di
ujung bulak panjang itu terdapat sebuah hutan yang membujur dari utara ke
selatan. Namun hutan itu sekarang sudah tidak begitu lebat lagi, bahkan
beberapa bagiannya telah dibuka untuk memperluas tanah pesawahan sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan hidup para penghuninya. Setelah melewati hutan yang
sudah semakin tipis itu, mereka masih harus melewati padang perdu yang disebut
lemah cengkar yang dipercaya oleh penduduk sekitar menjadi tempat bersarangnya
seekor macan siluman, macan putih.
Dulu
sebelum jalan-jalan menjadi ramai dan hutan itu sebagian belum dibuka untuk
tanah pesawahan, orang-orang yang bepergian lebih senang menempuh jalan selatan
melewati Kali Asat. Walaupun perjalanan menjadi agak jauh, namun hampir
dikatakan tidak pernah berjumpa dengan penyamun di tengah perjalanan.
Setelah
melewati pohon randu alas yang besar dikelokan jalan, mereka dapat melanjutkan
perjalanan menuju dukuh pakuwon lewat bulak dowo, kemudian menyisir lewat
pinggir hutan yang terkenal dengan nama macanan, karena masih terdapat harimau
loreng yang kadang muncul di sisi hutan sebelah timur. Setelah itu barulah
mencapai Kademangan Jati Anom.
Sinar
matahari pagi masih belum terasa menyengat kulit. Angin yang semilir dan sejuk
bertiup perlahan membelai daun-daun pohon randu yang banyak ditanam di kiri
kanan jalan. Pohon-pohon randu itu belum musimnya untuk berbuah sehingga
daunnya masih hijau dan lebat. Apabila musim berbuah telah tiba, daun daunnya
yang lebat dan hijau itu akan menguning dan kering, kemudian jatuh berguguran
ke bumi. Sebagai gantinya, berpuluh puluh buah pohon randu akan bergelantungan
menghiasi sepanjang jalan.
Di
sebelah menyebelah bulak yang panjang itu terbentang sawah yang luas yang baru
saja dipanen. Tampak beberapa gundukan jerami yang menggunung di sana sini.
Berpuluh puluh ekor itik yang sedang digembalakan, tampak sedang menyusuri
pematang untuk kemudian saling berebut turun ke sawah mencari siput dan sejenisnya
yang biasanya banyak terdapat di sawah-sawah yang baru saja dipanen dan
merupakan makanan kesukaan bagi sang itik. Tak ketinggalan pula burung-burung
yang berbulu putih bergerombol di sepanjang pematang sambil menjulurkan
paruh-paruh mereka yang panjang dan runcing ujungnya itu di sela-sela pokok
batang-batang tanaman padi yang telah dipangkas. Biasanya katak dan sejenis
kumbang air banyak yang bersembunyi di tempat itu. Sebagian lagi telah turun ke
sawah dengan kaki kakinya yang panjang berjingkat-jingkat sambil mematuk-matuk
di tanah berlumpur yang becek untuk mencari makanan.
Damarpati
yang berkuda di sisi kakeknya benar-benar menikmati perjalanan itu. Tak henti
hentinya dia menoleh ke kanan dan ke kiri memperhatikan keindahan alam ciptaan
Tuhan. Sejauh jauh mata memandang hanyalah hamparan sawah yang terbentang
sampai ujung cakrawala. Sementara suara gemericik air dari parit yang cukup
lebar di kiri kanan jalan itu menambah suasana yang tentram dan damai.
Jauh
di hadapan mereka tampak gunung Merapi berdiri dengan kokohnya. Puncaknya yang
meruncing itu tampak selalu diselimuti awan putih. Berhelai-helai kabut tipis
tampak berarak arak turun dari arah puncak bagaikan selendang bidadari yang
turun dari kahyangan mencari telaga manca warna untuk mandi dan bercengkerama.
Sementara
itu mendung yang tebal telah menyelimuti langit Mataram dan Panaraga. Adipati
Panaraga Pangeran Jayaraga ternyata telah memilih tidak mau mengakui kekuasaan
Kakandanya Panembahan Hanyakrawati di Mataram. Atas bujukan Pangeran Ranapati
dan dukungan penuh dari guru Pangeran Ranapati, Ki Singa Wana Sepuh, Pangeran
Jayaraga benar-benar telah madeg suraning driya, mengibarkan bendera perang
terhadap Mataram.
Ki
Patih Mandaraka yang secara teratur mendapat laporan dari para telik sandi yang
bertugas di Panaraga, telah menyempatkan diri menghadap Panembahan Hanyakrawati
untuk melaporkan hubungan Mataram dan Panaraga yang semakin memanas.
“Ampun
cucunda Panembahan,” demikian Ki Patih Mandaraka menghaturkan sembah di suatu
sore ketika menghadap Panembahan Hanyakrawati di ruangan khusus, “Berdasarkan
laporan para telik sandi dan pengamatan Ki Rangga Agung Sedayu yang berada di
Panaraga, sudah saatnya cucunda Panembahan memberikan peringatan keras kepada
Panaraga agar tingkah lakunya itu tidak ditiru oleh kadipaten-kadipaten yang
lain.”
Panembahan
Hanyakrawati sejenak merenung. Sekali lagi pertumpahan darah harus terjadi.
Pertikaian yang justru dipicu oleh kalangan keluarga istana sendiri yang
menuntut lebih banyak dari apa yang sudah semestinya diterima. Namun
kadang-kadang banyak pihak ketiga yang mengail di air keruh, dengan
membenturkan para keluarga istana itu sendiri, mereka berharap kekuatan Mataram
menjadi lemah sehingga mereka yang bercita-cita untuk menegakkan kembali
kejayaan masa lalu itu mempunyai kesempatan untuk kembali tampil kedepan.
“Eyang
Patih,” sabda Panembahan Hanyakrawati setelah menimbang nimbang beberapa saat,
“Aku menunjuk Adimas Pangeran Pringgalaya untuk memimpin pasukan segelar
sepapan. Namun pesanku, seandainya Adimas Pangeran Jayaraga berubah pikiran,
jangan sampai pertumpahan darah ini terjadi. Sudah sering kali terjadi
peperangan di tanah ini dan kawula alit jugalah yang akan menanggung
penderitaan itu.”
Ki
Patih Mandaraka mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian katanya, “Berdasarkan
laporan para telik sandi, Cucunda Pangeran Jayaraga telah mengangkat seorang
Panglima Perang Kadipaten Panaraga yaitu orang yang bernama Ranapati dan
mengaku masih trah Panembahan Senopati.”
Panembahan
Hanyakrawati kembali termenung. Seandainya benar orang yang bernama Ranapati itu
masih trah Panembahan Senopati, berarti dia masih saudara tua dan berhak atas
tahta Mataram. Namun semua itu masih perlu dibuktikan dan yang terjadi sekarang
ini, Panaraga telah memukul bende pertanda perang dengan Mataram setelah orang
yang bernama Ranapati itu menjadi agul-agul Kadipaten Panaraga.
Panembahan
Hanyakrawati menarik nafas dalam sekali, kemudian sabdanya, “Usahakan untuk
mengurangi kekuatan Panaraga sebelum pecah perang. Aku berharap Adimas Jayaraga
akan berpikir ulang setelah kekuatannya satu demi satu kita lumpuhkan.”
“Ampun
Cucunda Panembahan, hal itu sejalan dengan pemikiran Eyang. Ki Rangga Agung
Sedayu memang telah kami tugaskan ke Panaraga untuk membayangi kekuatan Ki
Singa Wana Sepuh, guru Ranapati.”
“Baiklah,
aku restui Ki Rangga Agung Sedayu untuk melumpuhkan salah satu kekuatan
Panaraga. Tentu saja dengan cara yang tidak menyolok. Aturlah agar orang yang
menyebut dirinya Ki Singa Wana Sepuh itu bisa bertemu dengan Ki Rangga Agung
Sedayu beradu dada.”
Demikianlah,
setelah Panembahan Hanyakrawati memberikan pesan mawanti-wanti agar pengerahan
pasukan ke Panaraga itu jangan sampai menggoncangkan sendi-sendi kehidupan
kawula Mataram dan sekitarnya, Ki Patih Mandaraka pun diperkenankan
mengundurkan diri kembali ke Kepatihan.
Ternyata
Ki Patih Mandaraka tidak menunda nunda waktu lagi. Malam itu juga Pangeran
Pringgalaya telah dipanggil ke kepatihan. Banyak persoalan yang dibicarakan
mereka berdua sebelum mengadakan pertemuan dengan para pimpinan pasukan yang
ada di Mataram. Selain itu Mataram juga memerlukan dukungan pasukan dari
kadipaten-kadipaten yang tersebar di daerah pesisir selatan dan Tanah-tanah
perdikan serta kademangan-kademangan besar yang bersatu di bawah Panji-Panji
kebesaran Mataram.
Tak
ketinggalan pasukan yang berkedudukan di Jati Anom juga dilibatkan. Ki Patih
Mandaraka sengaja menggelar kekuatan yang segelar sepapan agar dapat
mempengaruhi jalan pikiran Adipati Panaraga. Dengan melihat besarnya pasukan
Mataram yang mengepung Panaraga, diharapkan Adipati Panaraga menyadari kesalahannya
dan pertumpahan darah pun dapat dihindarkan.
Di
hari berikutnya, beberapa utusan telah disebar dengan membawa surat kekancingan
dari Panembahan Hanyakrawati. Kadipaten-kadipaten yang diwajibkan membantu
Mataram antara lain, Kadipaten Pajang, Demak, Pati dan beberapa kadipaten
pesisir. Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh
juga tidak luput dari kewajiban ini, sedangkan Kademangan Sangkal Putung,
Prambanan, Mangir, dan lain lain juga diwajibkan mengirimkan para pengawalnya
yang terlatih.
Selain
mengatur pasukan yang akan berangkat ke Panaraga, Ki Patih juga telah
mengirimkan utusan khusus untuk menghubungi Ki Rangga Agung Sedayu di Panaraga.
Perintah Panembahan Hanyakrawati sudah jelas, kekuatan Panaraga harus dilumpuhkan
dulu satu persatu sebelum perang pecah, dan Ki Singa Wana Sepuh guru pangeran
Ranapati adalah sasaran yang pertama.
Sementara
itu Ki Rangga Agung Sedayu yang berada di Panaraga telah menerima pesan itu
lewat Ki Madyasta.
Malam
itu, di tempat yang telah disepakati untuk dijadikan pertemuan, Ki Madyasta, Ki
Rangga Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk melingkar di atas
bebatuan yang banyak berserakan di pinggir sungai yang membelah sisi sebelah
utara kota Panaraga.
“Ki
Rangga,” Ki Madyasta membuka pembicaraan, “Pesan yang aku terima dari petugas
sandi tadi pagi, Ki Patih menugaskan Ki Rangga untuk mengurangi kekuatan
Panaraga, dalam hal ini adalah guru Pangeran Ranapati, Ki Singa Wana Sepuh.”
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu termenung. Kembali dirinya terlibat dalam kekerasan yang
tak berujung pangkal. Mengurangi kekuatan Panaraga berarti melenyapkan sumber
kekuatan itu sendiri, namun yang dapat berakibat semakin tenggelamnya dirinya
dalam pusaran dendam dan permusuhan.
“Apakah
Kakang sudah mendapatkan gambaran kekuatan dari orang yang menjadi guru
Pangeran Ranapati itu?” pertanyaan Glagah putih menyadarkan Ki Rangga Agung
Sedayu dari lamunannya.
Sambil
menarik nafas dalam dalam, Ki Rangga menjawab sambil menggelengkan kepalanya,
“Belum Glagah Putih, Ki Patih Mandaraka tidak menyebutkan secara terperinci,
namun menilik ceritamu ketika terjadi adon-adon jago di alun-alun Panaraga,
setidaknya kalian dapat memberikan ancar ancar kepadaku, seberapa tinggi ilmu
Pangeran Ranapati, dengan demikian dapat diperhitungkan kekuatan yang tersimpan
dalam diri guru Pangeran Ranapati, Ki Singa Wana Sepuh, dan kalau aku merasa
tidak dapat menandingi Ki Singa Wana Sepuh, aku dapat meminta bantuan kalian
berdua.”
“Ah,”
justru Ki Madyasta lah yang berdesah. Dia menganggap Ki Rangga suka
berolok-olok, namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah paham dengan sifat
sifat kakak sepupunya itu hanya tersenyum masam.
“Selanjutnya,
Glagah Putih dan Rara Wulan mendapatkan tugas baru dari Ki Patih Mandaraka,” Ki
Madyasta melanjutkan keterangannya.
“Apakah
tugas baru itu?” hampir berbareng Glagah Putih dan Rara Wulan bertanya.
“Kalian
berdua diperkenankan untuk kembali ke barat.” Jawab Ki Madyasta sambil
tersenyum penuh arti.
“Ki
Madyasta jangan bergurau,” sergah Rara Wulan, “Perang sudah di ujung hidung,
setiap kekuatan harus diperhitungkan.”
“Ya..,ya,”
jawab Ki Madyasta sambil mengangguk anggukkan kepalanya sambil masih tetap
tersenyum, “Memang benar setiap kekuatan harus diperhitungkan, namun ada
perhitungan tersendiri dari Ki Patih untuk menugaskan kalian berdua kembali ke
barat, menyusuri lereng Merapi sebelah utara. Disana ada sebuah kademangan
kecil, Kademangan Cepogo yang tidak banyak dikenal namun dari sanalah kalian
harus menelusuri kebenaran cerita itu.”
Glagah
Putih dan Rara Wulan mengerutkan keningnya. Jantung mereka berdua rasa rasanya
menjadi cepat berdenyut.
“Cerita
apakah itu?” desak Rara Wulan.
“Cerita
tentang asal-usul orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Dari
pengamatan para telik sandi, ada orang yang menyebutkan bahwa ibunda Pangeran
Ranapati itu masih hidup dan tinggal di Kademangan Cepogo, kademangan kecil di
sebelah utara lereng Merapi,” Ki Madyasta berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
“Tugas kalianlah adalah untuk membuktikan kebenaran cerita itu dan sekaligus
mematahkan anggapan yang telah beredar luas di seluruh tlatah Mataram tentang
kisah kayu cendana pelet putih.”
Mereka
yang mendengarkan cerita Ki Madyasta itu hampir bersamaan menarik nafas dalam
dalam. Berbagai tanggapan bergolak di dalam hati mereka masing masing.
Sejenak
mereka berdiam diri, masing masing tenggelam dalam angan angan yang tak
berujung pangkal. Suara gemericik air yang mengalir di sela-sela batu terdengar
begitu jelas berpadu dengan suara cengkerik dan belalang yang saling bersahutan.
Sesekali terdengar bunyi teriakan burung bence memecah keheningan malam,
sedangkan nun jauh di sana lamat-lamat suara burung kedasih terdengar ngelangut
bersahut sahutan bagaikan sepasang kekasih yang saling merindu.
“Baiklah,”
akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memecahkan kebisuan, “Kita segera membagi
tugas, dimanakah kira kira aku dapat bertemu dan berkenalan dengan Ki Singa
Wana Sepuh?”
“Menurut
berita yang aku terima dari para telik sandi, para pengikut Pangeran Ranapati
sering bercerita dengan penuh kebanggaan tentang guru junjungan mereka yang
sakti mandraguna. Mereka menyebut beberapa tempat di sekitar Panaraga ini yang
sering dikunjungi Ki Singa Wana Sepuh untuk olah batin dan memperdalam
ilmunya.”
“Bagaimana
dengan Pangeran Ranapati itu sendiri?”
“Pangeran
itu hampir tidak pernah keluar dari lingkungan istana kadipaten Panaraga.
Setiap saat Kanjeng Adipati Jayaraga memerlukannya.”
Mereka
yang mendengar keterangan Ki Madyasta itu menjadi berdebar debar. Ternyata guru
Pangeran Ranapati itu tidak dapat begitu saja meninggalkan kebiasaannya sebagai
seorang pertapa. Hidup dilingkungan kemewahan istana tentu sangat bertentangan
dengan apa yang selama ini telah diyakini dan dihayati, sehingga walaupun telah
tinggal di istana Kadipaten Panaraga, Ki Singa Wana Sepuh tidak dapat
meninggalkan kebiasaannya untuk menyepi dan berolah batin.
“Ada
beberapa tempat yang sering digunakan oleh Ki Singa Wana Sepuh untuk mesu raga.
Gunung Bayangkaki yang terletak di sebelah selatan Panaraga dengan empat
puncaknya yang terkenal angker, yaitu Puncak Ijo, Puncak Tumpak, Puncak Tuo dan
Puncak Genthong. Khusus untuk puncak yang terakhir ini, Puncak Genthong,
diyakini oleh penduduk sekitar sebagai istana kerajaan siluman Prabu Bathara
Katong pendiri Kadipaten Panaraga yang telah mrayang dan dianggap menjadi
pelindung kawula Panaraga, khususnya para petani. Di musim kemarau yang panjang
dan hujan belum turun turun, mereka akan melihat tanda tanda adanya api yang
menyala di puncak Genthong terutama di malam hari. Api itu sebagai pertanda
bagi para petani bahwa musim tanam padi telah tiba karena dapat dipastikan
hujan akan segera turun.” Ki Madyasta berhenti sejenak. Dipandanginya satu
persatu mereka yang duduk di depannya, namun ketiganya hanya berdiam diri saja
menunggu Ki Madyasta meneruskan ceritanya.
Setelah
mengambil nafas sejenak, Ki Madyasta pun meneruskan ceritanya, “Tempat kedua
yang tak kalah menariknya adalah sebuah air tejun yang bertingkat dua dan
diyakini dapat menyembuhkan segala penyakit dan menambah umur dengan cara mandi
di bawah curahan airnya, yaitu air terjun Toyomerta. Jalan menuju kesana
sangatlah sulit bagi orang kebanyakan. Jalannya menanjak dan berliku melewati
tebing tebing curam dan hutan lebat yang masih banyak menyimpan binatang buas.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Benar benar sebuah perburuan
yang sulit. Tidak mungkin baginya untuk menelusuri setiap tempat itu untuk
menemukan Ki Singa Wana Sepuh, waktunya akan habis terbuang sementara itu
perang antara Mataram dan Panaraga sudah tidak bisa ditunda tunda lagi.
Agaknya
Ki Madyasta bisa membaca jalan pikiran Ki Rangga Agung Sedayu. Sambil tersenyum
dia berkata, “sebenarnya masih ada dua tempat lagi, yaitu sebuah telaga yang
luas di arah utara Kadipaten Panaraga di lereng Gunung Wilis dan yang
berikutnya adalah Gua Lawa, disebut demikian karena banyak dihuni ribuan
kelelawar, namun tempat itu sangat jarang dikunjungi guru Pangeran Ranapati
itu, sejauh ini baru sekali dan selebihnya dia lebih senang mengunjungi ke dua
tempat yang telah aku sebutkan terdahulu.”
“Apakah
tidak ada gambaran yang pasti kapan dan dimana guru Pangeran Ranapati itu mesu
raga, sehingga dengan demikian Ki Rangga Agung Sedayu dapat menentukan sikap?”
bertanya Rara Wulan yang dapat membayangkan kesulitan Ki Rangga dalam mengemban
tugasnya.
“Secara
bergiliran Pangeran Ranapati selalu menyertakan anak buahnya dua atau tiga
orang untuk mengikuti gurunya sekedar melayani kebutuhan sehari hari atau
kadang hanya berjaga jaga agar ketenangan Ki Singa Wana Sepuh dalam mesu raga
tidak terganggu. Biasanya mereka yang akan bertugas maupun selesai bertugas
saling menyombongkan diri satu sama lainnya, dan itu sering mereka lakukan pada
saat mereka berada ditempat umum, di pasar pasar atau kedai kedai, sehingga
dari situlah para telik sandi dapat menyadap berita yang sangat penting itu
untuk disampaikan kepadaku.”
“Mengapa
mereka bertindak sebodoh itu?” bertanya Glagah Putih. Sebagai prajurit sandi,
dia sangat heran dengan tingkah laku para pengikut Pangeran Ranapati itu.
Ki
Madyasta tersenyum maklum, kemudian jawabnya, “Mereka memang orang orang bodoh
yang hanya mengandalkan otot saja. Ingatlah, pengikut Pangeran Ranapati itu
bukan prajurit, mereka berasal dari cantrik padepokan yang dipimpin oleh
Pangeran itu sendiri, namun yang dalam perkembangannya sangat jauh dengan apa
yang telah dikuasai oleh pangeran Ranapati itu sendiri. Engkau sendiri sudah
membuktikan bahwa orang kedua yang ada di padepokan itu ilmunya terpaut sangat
jauh dengan Pangeran Ranapati, itu menunjukkan bahwa Pangeran yang tamak itu
hanya membutuhkan tenaga mereka namun tidak ada pembinaan yang berjenjang dan
bertingkat sehingga mereka tidak lebih dari segerombolan orang orang kasar yang
terlalu bangga menjadi pengikut seorang Pangeran.”
Mereka
yang mendengar penjelasan Ki Madyasta itu mengangguk anggukkan kepala. Benar
benar seorang Pangeran yang tamak dan sangat mementingkan diri sendiri. Sekilas
Rara Wulan teringat dengan Nyi Kanthil, perempuan simpanan Pangeran Ranapati
yang bermimpi menjadi istri yang sebenarnya dari seorang Pangeran, namun
kenyataannya hanya menjadi seorang pelayan di istana Pangeran yang tidak
berjantung itu. Itupun diterima dengan sangat terpaksa.
“Nah,
berita terakhir apakah yang engkau terima Ki Madyasta?” bertanya Ki Rangga
Agung Sedayu.
Sejenak
Ki Madyasta membetulkan letak duduknya, kemudian jawabnya, “Dalam dua tiga hari
kedepan, Ki Singa Wana Sepuh akan mesu raga di puncak Genthong gunung
Bayangkaki. Aku sarankan Ki Rangga dapat melengkapi berita ini dengan cara
menyadap keterangan itu sendiri dari anak buah Pangeran Ranapati. Biasanya
mereka suka bergerombol di kedai dawet jabung Nyai Kawis di pojok utara pasar
Panaraga.”
“Dan
mereka dapat makan minum sepuasnya tanpa harus membayar,” geram Rara Wulan.
“Itulah
yang membuat Nyai Kawis sangat keberatan. Untunglah pengikut Pangeran Ranapati
itu kadang juga masuk ke kedai yang lain, sehingga Nyai Kawis masih bisa
bertahan sampai sekarang ini.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepala, namun Rara Wulan justru
menggeram, katanya kemudian, “Apapun alasannya, semua itu harus dihentikan.
Mereka tidak punya hak untuk berbuat seperti itu.”
“Engkau
benar, Rara,” jawab Glagah Putih, “Tapi untuk sementara biarlah itu terjadi.
Kita tidak ingin kehadiran kita di Panaraga ini diketahui oleh para petugas
sandi Panaraga.”
“Jadi,
kita biarkan saja kesewenang wenangan ini terjadi?” sergah Rara Wulan.
“Bukan
begitu maksudku,” Glagah Putih berusaha mendinginkan hati Rara Wulan, “Kita
tidak akan membiarkan semua itu terjadi, namun waktunya belum tepat. Biarlah
kakang Agung Sedayu membuat pertimbangan pertimbangan yang matang dulu sebelum
mengambil langkah selanjutnya.”
Rara
Wulan tidak menjawab, namun hatinya tetap tidak rela melihat kesewenang
wenangan yang menimpa kawula alit, walaupun untuk kepentingan yang lebih besar,
sesuatu harus dikorbankan kalau perlu, akan tetapi mengapa kawula alit yang
harus banyak menanggung semua itu?
Ketika
bintang gubuk penceng sudah mulai bergeser dari tempatnya, angin malampun
terasa semakin dingin. Mereka yang sedang mengadakan pertemuan itu kemudian
memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu dan kembali ke tempat masing masing.
Keesokan
harinya, di siang hari yang terik, ketika Ki Rangga Agung Sedayu sedang
mengobati rasa hausnya di sebuah kedai dawet jabung di pojok utara pasar
Panaraga, tiba tiba saja seseorang masuk kekedai itu sambil berteriak, “Nyai,
apakah dawetmu masih ada? Berilah aku barang semangkok. Hari ini panasnya bukan
main.”
Semua
yang berada di kedai itu serentak berpaling, seorang yang berperawakan tinggi
besar dengan kumis melintang dan jambang yang lebat masuk kedai dengan langkah
yang tegap. Ikat kepalanya hanya disangkutkan begitu saja diatas kepalanya,
sementara bajunya yang berwarna hijau gelap disampirkan di atas pundak
kanannya.
Dengan
acuh orang tersebut mengambil tempat duduk yang kosong di depan meja Ki Rangga
Agung Sedayu, sambil meraih jadah dengan tangan kirinya, disuapi mulutnya
sambil mengangkat kaki kanannya keatas lincak.
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Menurut keterangan yang diterima
dari para telik sandi Mataram melalui Ki Madyasta semalam, para pengikut
Pangeran Ranapati sering berkeliaran di pasar pasar setiap harinya dan mereka
dengan bebasnya tanpa harus membayar memasuki kedai mana saja dan makan makanan
apa saja yang mereka kehendaki. Dan agaknya Ki Rangga Agung Sedayu telah
bertemu dengan salah satu dari mereka.
“Mengapa
Ki sanak memandangku sedari tadi?” tiba tiba dengan suara berat Besok dan
berjambang itu menegur Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang duduk dihadapannya.
“Oh,
maafkan Ki Sanak,” tergagap Ki Rangga Agung Sedayu menjawab, “Aku mengagumi
kumis dan jambang Ki Sanak, sejak muda aku bermimipi mempunyai kumis dan
jambang seperti Ki Sanak namun agaknya aku kurang beruntung.”
Sebuah
senyum kebanggaan tampak menghiasi wajah Besok dan berjambang itu, kemudian
katanya sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Apakah engkau sudah mencoba
beberapa ramuan yang dipercaya dapat menumbuhkan kumis dan jambangmu?”
“Sudah
sering kali Ki Sanak, seperti minyak cacap dari tungkai kambing, atau minyak
dari seekor kalajengking hijau yang dibakar, bahkan aku pernah mencoba yang
lebih gila lagi, rambut dari tiga orang janda kembang yang dibakar dan abunya
dicampur dengan minyak klentik.”
Tiba
tiba Besok dan berjambang itu tertawa tergelak gelak sampai terbatuk batuk
karena mulutnya masih penuh dengan jadah. Ketika batuknya telah reda diapun
mengumpati Ki Rangga Agung Sedayu, “Bodoh, kalau setiap kata orang engkau
ikuti, bukan rambut yang akan tumbuh di wajahmu tapi kurap dan kadas yang akan
merusak wajahmu.”
“Ah,”
desah Ki Rangga Agung Sedayu, “Akupun akhirnya berpikir demikian juga, Ki
sanak, sehingga aku hentikan angan anganku untuk mempunyai kumis dan jambang
seperti Ki Sanak.”
********
Bersambung ke jilid 399
,
Komentar
Posting Komentar