Terusan Api Dibukit Menoreh 399
***
Besok dan
berjambang lebat itu hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah
katapun. Sambil mulutnya masih sibuk mengunyah juadah, tangan kanannya menerima
semangkok dawet jabung dari pelayan kedai, seorang perempuan muda yang berwajah
cerah.
Baru
saja pelayan itu memutar tubuhnya, tiba-tiba saja sebuah jerit kecil keluar
dari mulutnya yang mungil ketika sebuah remasan yang sangat kurang ajar terasa
di pantatnya, sementara Besok dan berjambang lebat itu hanya tertawa
terkekeh-kekeh.
Sambil
bersungut-sungut pelayan itu pun setengah berlari segera kembali ke dapur.
Sedangkan orang-orang yang ada di dalam kedai itu hanya dapat saling
berpandangan satu sama lainnya, bahkan ada yang tersenyum-senyum sambil
mengedipkan sebelah matanya ke arah orang yang duduk di sebelahnya.
Sekejap
Ki Rangga Agung Sedayu terperanjat, namun segera saja dikuasainya debar jantung
di rongga dadanya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya
saja Rara Wulan hadir di tempat itu.
Dengan
tenangnya seolah olah tidak ada kejadian apa-apa, Besok dan berjambang lebat
itu menyeruput dawet jabungnya, sambil mengusap kumisnya yang menjadi basah
terkena dawet, dia berkata, “He, Ki Sanak, apakah engkau pernah mengikatkan
dirimu pada seorang perempuan seumur hidupmu? Sungguh engkau akan sangat merugi
kalau memutuskan berbuat demikian. Dunia ini sangat luas dan banyak
perempuan-perempuan cantik yang bisa mengisi kekosongan hati laki-laki, kapan
pun kita mau, jadi untuk apa seorang laki-laki harus terikat seumur hidupnya dengan
perempuan yang sama? Padahal hidup ini menyenangkan dan perlu kita nikmati
sepuas-puasnya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng lemah, “Aku
tidak sejalan dengan pikiran Ki Sanak, segala sesuatu yang telah diciptakan
oleh Yang Maha Agung di atas dunia ini pasti ada tatanannya. Aturan-aturan itu
dibuat agar tidak ada ketersinggungan atas satu sama lainnya yang sama-sama
mempunyai kepentingan. Sesungguhnya pengingkaran atas tatanan yang telah dibuat
itu hanya akan merusak sendi -sendi hidup bebrayan dan melanggar kebebasan
orang lain untuk menentukan pilihannya.”
Besok
dan berjambang lebat itu mengangkat kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Ki
Rangga Agung Sedayu dengan terheran heran, kemudian katanya sambil menggeram,
“Persetan dengan sesorahmu. Bagiku hidup ini adalah kebebasan mutlak. Barang
siapa yang bisa menciptakan kebebasan mutlak itu, dia berhak mendapatkan
imbalan yang setimpal. Hanya orang-orang cengenglah yang berlindung dibalik
tatanan dan aturan-aturan yang bagiku sama sekali tidak berguna. Kalau kita
ingin mendapatkan sesuatu, berjuanglah dengan kekuatan kita, kalau perlu kita
harus membunuh dan merampas. Seandainya ada kekuatan lain yang melebihi
kekuatan kita, itulah batas akhir dari sebuah perjuangan, mukti atau sekalian
mati.”
Sebelum
Ki Rangga Agung Sedayu sempat menjawab, seorang yang berperawakan pendek dan
kekar, dengan wajah yang lebar dan kumis jarang-jarang tampak melangkahi
tlundak pintu kedai sambil tertawa, “He, disini kau rupanya, Kakang Soma, aku kira
sudah berangkat ke puncak Genthong mengawal Junjungan kita.”
“Belum,
Adi Brujul,” jawab Besok dan berjambang lebat yang dipanggil Soma itu sambil
melirik penuh kebanggaan kearah Ki Rangga Agung Sedayu, “Tiga hari lagi aku
berangkat. Kali ini aku akan mempergunakan waktuku sebaik baiknya, tidak
seperti waktu terakhir aku mengawal Junjungan kita. Akan aku gunakan waktuku
untuk meningkatkan ilmu sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh
Junjungan kita.”
Orang
yang dipanggil Brujul itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil meraih sebuah
dingklik di dekatnya kemudian membawanya ke dekat meja Ki Rangga Agung
Sedayu.“Apa yang telah engkau dapatkan waktu di Toyomerta beberapa saat yang
lalu?” bertanya Soma sambil mengambil sepotong rempeyek wader.
Sejenak
Brujul membetulkan letak duduknya sebelum menjawab pertanyaan Soma. Sambil
sekilas memandang Ki Rangga Agung Sedayu, dia menjawab, “Tidak banyak Kakang,
jalan ke pancuran Toyomerta sangat sulit dan terjal. Sesampainya di sana aku
dan Kakang Sumput kelelahan. Jadi selama tiga hari disana, kami berdua hanya
duduk-duduk saja beristirahat sambil menghabiskan waktu.”
“Ah,
macam kau,” umpat Soma, “Seharusnya setiap ada kesempatan mengawal Junjungan
kita, harus kita manfaatkan sebaik baiknya untuk meningkatkan ilmu. Selama ini
Junjungan kita tidak keberatan untuk memberikan petunjuk-petunjuk sehubungan
dengan ilmu yang telah kita kuasai, namun justru kitalah yang malas untuk
maju.”
Brujul
hanya dapat mengangkat alisnya mendapat tegoran dari Soma. Kemudian katanya
sambil memandang Ki Rangga Agung Sedayu, “Siapakah Ki Sanak ini, kakang Soma?
Apakah sahabatmu atau masih ada hubungan keluarga?”
“O.,
tidak Ki Sanak,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menjawab, “Kebetulan saja
kami duduk semeja. Aku sudah cukup lama di sini dan sebaiknya aku melanjutkan
perjalananku.”
Soma
dan Brujul hampir serentak bertanya, “Akan kemanakah Ki Sanak?”
“Ke
Kademangan Jenangan mengunjungi sanak kadang istriku yang akan mempunyai hajad
mengawinkan anaknya.”
“Satu
lagi contoh kebodohan laki-laki yang mau saja menghabiskan hidupnya untuk
menghamba pada seorang perempuan.” Desis Soma perlahan sambil mengambil satu
tusuk rempela dan hati ayam yang dibalut dengan usus dan digoreng.
“Ah,”
Brujul berdesah mendengar desis Soma, “Itu haknya Kakang, kalau aku memang dari
dulu tidak tertarik dengan yang namanya perempuan, aku lebih tertarik dengan
sabuk yang bertimang emas dan bertretes berlian atau sebuah keris yang indah
dengan gagang yang bertabur berlian serta wrangka yang berselut emas.”
“Jangan
sombong,” geram Soma, “Tepatnya bukan engkau yang tidak tertarik dengan
perempuan, tapi perempuan mana yang mau dengan orang macam kau.”
Brujul
hanya tersenyum masam mendengar makian Soma. Dia menyadari bahwa Soma memang
termasuk laki-laki yang suka main perempuan, tidak peduli apakah perempuan itu
sudah bersuami atau masih gadis, perempuan baik-baik atau bahkan perempuan yang
dapat diambilnya dari kedai-kedai yang memang menyediakan perempuan-perempuan
murahan untuk para lelaki hidung belang.
Ki
Rangga Agung Sedayu segera menyadari bahwa pembicaraan itu dapat berkisar ke
mana saja dan mungkin dapat menyulitkan keadaannya, maka dengan perlahan dia
berdiri sambil membetulkan letak kain panjangnya, kemudian katanya, “Aku mohon
pamit Ki Sanak. Mumpung hari masih siang sehingga aku tidak kemalaman sampai di
kademangan Jenangan.”
Soma
dan Brujul saling berpandangan sejenak. Di mata mereka ujud Ki Rangga Agung
Sedayu memang tidak begitu menarik perhatian, selain ujud orang kebanyakan yang
sedang melakukan perjalanan.
“Silahkan,”
Soma lah yang menjawab acuh tak acuh.
Ketika
kemudian Ki Rangga Agung Sedayu bergeser dari tempat duduknya menghampiri meja
tempat pemilik kedai menerima pembayaran dari para pembeli, dia masih sempat
mendengar Brujul bertanya, “Kakang akan menempuh jalan mana? Lewat kademangan
Siman atau kademangan Jetis?”
“Sebenarnya
aku lebih senang lewat Siman, kademangan yang cukup besar dan ramai. Namun
seperti biasanya, Junjungan kita ini senang tempat-tempat yang sepi, lewat
kademangan Jetis yang kecil kemudian menembus hutan lebat di sisi selatan
Kademangan Sambit yang tidak lebih ramai dari kademangan Jetis. Kita akan
mendaki Gunung Bayangkaki dari sisi barat.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum sekilas. Tiga hari lagi Ki Singa Wana Sepuh akan
berangkat ke Gunung Bayangkaki melalui sisi barat dan dia harus tiba di sana
lebih dahulu agar dapat melaksanakan pengamatan dengan seksama.
Malam
harinya, Ki Rangga Agung Sedayu memerlukan untuk menemui Glagah Putih dan Rara
Wulan di rumah yang selama ini di tempati oleh Ki Madyasta. Agar tidak menarik
perhatian dan mengurangi kemungkinan adanya kecurigaan dari para telik sandi
Kadipaten Panaraga yang mungkin tersebar di tempat itu, Ki Rangga Agung Sedayu
justru mendekati rumah itu menjelang tengah malam. Dengan kemampuannya yang
tinggi untuk menyerap segala bunyi dari sekitarnya serta gerakan yang bagaikan
secepat kilat, Ki Rangga Agung Sedayu telah mendekati rumah itu dengan tidak
melalui jalan yang sebenarnya, akan tetapi justru melewati beberapa pekarangan
dan halaman belakang dari rumah-rumah di sekitarnya. Kemudian dengan sebuah
isyarat ketukan di pintu butulan sebagaimana yang telah mereka sepakati, Ki
Rangga pun kemudian telah bergabung dengan mereka di ruang tengah.
“Kakang,”
berkata Glagah Putih setelah mendengarkan keterangan singkat Ki Rangga tentang
kejadian di kedai siang tadi, “Apakah Kakang akan menghadapi Ki Singa Wana
Sepuh sendirian? Sedangkan jumlah mereka mungkin bertiga atau bahkan berempat.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum mendengar pertanyaan Glagah Putih, jawabnya
kemudian, “Aku tidak akan menantangnya untuk berperang tanding. Aku hanya ingin
mendengar dari mulut Ki Singa Wana Sepuh sendiri, alasan apakah yang
mendorongnya untuk membantu muridnya? Kalau memang Pangeran Ranapati itu benar-benar
putera Panembahan Senopati, setidaknya Ki Singa Wana Sepuh sebagai gurunya
mempunyai bukti atau saksi yang dapat meyakinkan kedudukan muridnya di hadapan
ki Patih Mandaraka, itu kalau memang mereka mempunyai maksud yang baik.”
“Ya,”
sahut Rara Wulan, “Mengapa mereka tidak datang saja ke Mataram dengan
menunjukkan bukti atau membawa saksi yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk
menuntut hak sebagai putera Panembahan Senopati?”
“Entahlah,”
Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah. Berbagai macam persoalan tumpang
tindih di dalam benaknya. Sekilas teringat istrinya yang sedang hamil tua di
Menoreh. Di hari-hari menjelang persalinannya itu tentu Sekar Mirah berharap
suaminya dapat mendampinginya melewati saat-saat yang mendebarkan dan juga
membahagiakan karena sudah sekian lama mereka menantikan karunia dari Yang Maha
Agung, namun tugas keprajuritan telah memanggilnya untuk melawat ke Panaraga,
meninggalkan keluarganya, sanak kadang dan istri yang sangat dicintainya.
Sejenak
mereka yang berada di ruangan itu terdiam. Di luar angin yang cukup keras
bertiup mengguncang pepohonan sehingga daun daunnya berguguran. Lampu dlupak
yang ada di ajug-ajug tampak bergoyang goyang tertiup oleh angin yang menerobos
di celah-celah dinding kayu yang renggang.
Tiba-tiba
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya sambil perlahan lahan menoleh ke
arah Glagah Putih dan Rara Wulan, namun agaknya keduanya masih belum menyadari
menilik sikap mereka yang masih menundukkan kepalanya.
Ki
Rangga termangu mangu sejenak. Sekali lagi dia mencoba memusatkan nalar budinya
untuk mengetrapkan aji sapta pangrungu. Suara itu memang masih sangat jauh,
namun secara pasti arah suara itu menuju ke rumah tempat mereka berkumpul.
Ki
Rangga Agung Sedayu menjadi berdebar debar. Agaknya desir langkah itu begitu
lembutnya dan ada usaha untuk mengaburkan dengan suara alam sekitarnya, desah
angin yang bertiup cukup keras menggoyang dedaunan, jerit binatang-binatang
malam serta kepak sayap-sayap kelelawar yang beterbangan mencari mangsa di
kegelapan malam.
Semakin
dekat suara langkah itu mendekati rumah tempat mereka berkumpul, desirnya
bagaikan menyatu dengan angin malam, timbul tenggelam dalam pantauan aji sapta
pangrungu Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya
mulai bimbang. Mereka berdua sedang mencoba mengerahkan kemampuan mereka untuk
memisahkan bunyi yang mencurigakan itu dengan suara-suara malam.
Tiba-tiba
mereka bertiga serentak mendongakkan kepala sambil saling berpandangan. Desir
lembut yang mereka yakini sebagai langkah orang yang sangat mumpuni itu
tiba-tiba saja lenyap dari pendengaran mereka.
Ki
Madyasta yang memang terpaut jauh dalam kemampuan olah kanuragan itu terheran
heran melihat sikap ketiga orang itu. Baru saja mulutnya terbuka untuk
melontarkan sebuah pertanyaan, cepat-cepat Glagah Putih memberi isyarat dengan
melintangkan jari telunjuknya di depan bibir.
Mereka
yang ada di ruangan itu menjadi tegang. Ki Madyasta yang belum mengerti apa
yang sedang terjadi menjadi sangat gelisah. Beberapa kali pandang matanya membentur
mata Glagah Putih, namun dia tidak mendapat jawaban yang pasti.
Ki
Rangga Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa orang yang mendekati rumah itu
sekarang mungkin sedang melekat di salah satu dinding rumah itu untuk menyadap
pembicaraan yang sedang berlangsung. Menilik bunyi nafasnya maupun gerakan
tubuhnya yang tidak mampu ditangkap oleh aji sapta pangrungu, Ki Rangga
mempunyai dugaan kuat bahwa yang sedang dihadapinya adalah orang yang
benar-benar pilih tanding.
Ketika
terpandang oleh Ki Rangga Agung Sedayu wajah Glagah Putih dan Rara Wulan,
tampak mereka menjadi sangat gelisah. Berkali-kali sepasang suami istri itu
mengetrapkan aji yang mereka miliki, namun hasilnya sama saja. Bunyi desir
langkah itu seolah telah hilang ditelan bumi.
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu menimbang-nimbang, aji sapta pangrungu tidak mampu
menangkap gerak dan bunyi orang yang sedang di luar sana, namun Ki Rangga masih
punya satu harapan, aji sapta panggraita.
Perlahan
lahan Ki Rangga Agung Sedayu mulai memusatkan nalar budinya kembali. Suasana
malam terasa semakin senyap. Di luar angin masih bertiup walaupun tidak
sekencang tadi. Bunyi-bunyi binatang malam terdengar semakin jauh dan memudar
di telinga Ki Rangga, sejalan dengan itu, ketajaman panggraitanya pun semakin
kuat.
Sebuah
getaran yang hanya bisa dirasakan oleh Ki Rangga telah menuntun panggraitanya
untuk melihat dengan mata hatinya. Rasa rasanya getaran itu semakin kuat
memukul mukul dinding hatinya sehingga seakan akan Ki Rangga Agung Sedayu dapat
melihat dengan getaran ilmunya itu, seseorang sedang berdiri melekat di dinding
rumah sebelah timur.
Ketika
Ki Rangga sudah yakin dengan apa yang telah ditemukannya, dia pun kemudian
perlahan lahan berdiri dan berjalan menuju ke pintu depan. Namun baru saja
tangannya akan menggapai selarak pintu, ternyata Glagah Putih telah mendahului
membuka selarak pintu itu dan meloncat keluar.
Sejenak
Ki Rangga berdiri termangu mangu di tengah-tengah pintu menghadap keluar. Di
depannya terbentang kegelapan yang pekat. Glagah putih yang telah berdiri
ditengah tengah halaman dengan kaki renggang hanya tampak seperti bayangan
hantu yang sedang menunggu mangsanya.
“Kakang,”
tiba-tiba terdengar bisik Rara Wulan di belakangnya, “Apakah kita biarkan saja
Kakang Glagah Putih menghadapi bahaya sendirian?”
Bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi buruk, Ki Rangga pun segera meloncat ke halaman
diikuti oleh Rara Wulan.
Dengan
mengerahkan aji sapta pandulu, Ki Rangga mencoba melihat ke arah dinding rumah
sebelah timur sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya dari aji sapta
panggraitanya. Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga Agung Sedayu, ternyata aji
sapta pandulunya tidak mampu melihat keberadaan orang yang sedang dicarinya.
Segera
saja Ki Rangga Agung Sedayu teringat semasa Gurunya, Kiai Gringsing masih hidup.
Ketika itu dia dihadapkan pada seorang lawan yang sangat tangguh, lawan yang
dapat menghilangkan ujud wadagnya dari pandangan mata lawannya, Bango Samparan.
Saat
itu dirinya benar-benar harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk memecahkan
ilmu lawannya, ilmu yang sudah jarang-jarang ada pada saat itu. Berbagai usaha
telah dilakukan, aji sapta pandulu, sapta pangrungu dan sapta pangganda telah
ditrapkan untuk menemukan keberadaan lawannya, namun justru dirinya yang
menjadi bulan bulanan Bango Samparan.
Akhirnya
dengan aji sapta panggraita dirinya mampu memecahkan ilmu Bango Samparan. Itu
pundapat dicapainya dengan susah payah, dirinya harus rela menjadi umpan
terlebih dahulu untuk meyakinkan kebenaran ilmunya, aji sapta panggraita.
Kini
Ki Rangga Agung Sedayu dihadapkan pada ilmu yang hampir sama. Agaknya orang ini
sengaja membuat hati para penghuni rumah itu gelisah. Dengan sengaja
diperdengarkan desir langkahnya betapapun lembutnya ketika dia masih agak jauh,
namun justru ketika semakin dekat, tiba-tiba saja keberadaan orang itu bagaikan
hilang ditelan bumi, bahkan kini bayangannya saja tidak tampak ketika para
penghuni rumah itu sebagian telah berada di halaman.
Glagah
Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan telah menggeram. Mereka berdua juga telah
menekuni aji sapta pandulu dan sapta pangrungu, namun yang dapat mereka lihat
disekitar halaman rumah itu hanyalah kegelapan, sedangkan suara binatang malam
masih saja terdengar bersahut-sahutan dengan irama yang sama.
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ketika sekali lagi aji sapta
panggraitanya ditrapkan, getaran itu masih sama, keberadaan orang itu menurut
getaran ilmunya masih belum bergeser, berdiri melekat di dinding rumah sebelah
timur, namun secara wadag tidak seorang pun yang mampu melihatnya, bahkan
dengan aji sapta pandulu sekalipun.
Sambil
tetap mengerahkan aji sapta panggraitanya, setapak demi setapak, Ki Rangga
bergeser mendekati dinding rumah sebelah timur. Ketika jarak Ki Rangga dengan
orang yang sedang menyembunyikan ujud wadagnya itu tinggal dua tombak,
tiba-tiba saja Ki Rangga telah mengurai cambuknya.
Glagah
Putih dan Rara Wulan yang melihat perbuatan kakak sepupunya itu menjadi
berdebar debar. Mereka yakin bahwa kakak sepupunya itu tidak sedang bermain
main. Ki Rangga Agung Sedayu pasti mempunyai landasan yang kuat untuk melakukan
semua itu, mendekat kearah dinding rumah sebelah timur kemudian mengurai
senjata ciri khas perguruannya, perguruan orang bercambuk.
Suasana
benar-benar sangat mencekam. Ki Madyasta yang berada di dalam rumah telah ikut
turun ke halaman walaupun dia hanya berdiri termangu mangu beberapa jengkal di
sebelah pintu. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan bagaikan membeku di
tempatnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Perlahan
tapi pasti Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi di atas
kepala. Bukan maksudnya untuk menyerang seseorang yang belum diketahui jati
dirinya, namun Ki Rangga hanya ingin memberikan peringatan kepada orang
tersebut dengan meledakkan ujung cambuknya tepat sejengkal di depan hidungnya
sebagai pertanda bahwa permainannya telah berakhir.
Ketika
kemudian cambuk itu meluncur dan ujungnya menggeliat, terdengar ledakan yang
hampir-hampir tidak berbunyi, namun getarannya benar-benar mengguncang malam.
Udara malam seolah olah diguncang oleh prahara yang dahsyat sehingga setiap
dada yang ada disekitar halaman itu bagaikan diterjang oleh gelombang laut
setinggi gunung anakan.
Ki
Madyasta yang berdiri di sebelah pintu sekejab bagaikan tak sadarkan diri.
Dirinya masih mendengar sebuah ledakan yang tidak begitu keras dari cambuk Ki
Rangga Agung Sedayu ketika tiba-tiba saja dirasakannya dadanya bagaikan
tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur turun dari lereng bukit
yang sedang longsor.
Glagah
Putih dan Rara Wulan harus mengerahkan segenap daya tahan mereka agar isi dada
mereka tidak rontok. Walaupun keduanya sudah termasuk golongan orang-orang yang
berilmu tinggi, namun kematangan ilmu itu sendiri masih belum mapan dan masih
memerlukan waktu yang panjang sejalan dengan bertambahnya umur mereka.
“Luar
biasa,” tiba-tiba terdengar suara perlahan dan dari dalam keremangan malam
sesosok tubuh yang berperawakan sedang bahkan cenderung kurus seolah olah
muncul begitu saja dari dalam bumi.
“Terima
kasih,” desis Ki Rangga Agung Sedayu, “Selamat datang dan selamat malam, dan
sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas kesediaannya mampir ke pondok kami,
semoga sambutan kami ini berkenan di hati Ki Sanak.”
Terdengar
orang itu tertawa hambar, kemudian katanya, “Perguruan orang bercambuk memang
bukan omong kosong, aku telah merasakan kedahsyatannya walaupun mungkin yang
dipertunjukkan ini baru sekuku ireng, namun harus aku akui, perguruan orang
bercambuk adalah sebuah perguruan yang telah ikut mewarnai perjalanan sejarah
tanah ini.”
“Ah,
Ki sanak terlalu memuji, apa yang kami lakukan hanyalah usaha yang sangat kecil
dan tidak berarti bagi perkembangan negeri ini.”
“Jangan
sombong,” dengus orang itu, “Siapa yang tidak mengenal nama Agung Sedayu dan
kakaknya, Untara yang telah membantu tegaknya Pajang waktu itu dalam membasmi
sisa-sisa laskar Harya Penangsang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, walaupun
Sumangkar, murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu juga hadir disaat itu,
namun orang yang bergelar orang bercambuk itu mampu menjinakkannya. Demikian
juga saat-saat kebangkitan Mataram dari sebuah hutan yang gung lewang lewung,
bisa menjadi sebuah negeri yang ramai, juga atas campur tangan orang bercambuk
dan murid muridnya. Kemudian bagaimana seorang senapati Pajang yang membawahi
pasukan segelar sepapan yang berkedudukan di Jati Anom yang atas saran orang
bercambuk juga, justru telah menghadapkan pasukannya melawan Pajang pada saat
pecah perang antara Pajang dan Mataram? Seandainya senopati itu tetap
menjunjung kesetiaannya terhadap Sultan Pajang, mungkin hasilnya akan lain,
Mataram akan menemui kesulitan untuk mengalahkan Pajang.”
Ki
Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Orang ini tentu bukan dari golongan
seangkatannya, mungkin seangkatan dengan gurunya menilik wawasannya yang cukup
luas tentang pergolakan yang terjadi di tanah ini.
“Bagaimana
Agung Sedayu?” tiba-tiba pertanyaan orang itu menyadarkannya, “Maaf menyebut
namamu tanpa gelar keprajuritan yang engkau sandang. Bagiku sama saja, seorang
Rangga ataupun hanya menantu seorang Demang yang kaya raya di Sangkal Putung,
engkau tetap seorang Agung Sedayu.”
Dada
Ki Rangga Agung Sedayu berdesir tajam. Orang ini selain berwawasan luas juga
mengetahui jati dirinya secara pribadi. Jika bukan orang yang telah mengenal
dirinya, tidak mungkin dia mengetahui keadaan pribadinya sedemikian jauh.
“Apakah
engkau masih akan mengelak keterlibatanmu dan perguruanmu atas sejarah tanah
ini, Agung Sedayu? Setiap jengkal tanah ini seolah tidak pernah luput dari
peran kalian, orang-orang bercambuk.” orang itu berhenti sejenak, kemudian
lanjutnya, “Ataukah aku harus menyebut lagi nama Gupita, seorang gembala yang
pandai meniup seruling sehingga menarik hati seorang gadis dari Menoreh?
Bagaimana harapan gadis itu begitu engkau sia-siakan? Mengapa engkau tidak
berusaha mengambil jarak pada saat itu kalau memang hatimu telah tertambat pada
hati gadis dari Sangkal Putung itu? Engkau buat Gadis menoreh itu bermimpi
indah setiap malam, namun kemudian dengan tanpa perasaan telah engkau hancurkan
hatinya menjadi berkeping-keping, walaupun saudara seperguruanmu yang gendut
itu telah menjadi penawar hatinya. Tidakkah engkau tahu bahwa sepanjang
hidupnya dia telah menangis dan menangis. Dan kini kejadian yang pernah membuat
hatinya terluka itu terulang kembali. Suaminya kini terbaring sakit karena
telah berperang tanding melawan pemimpin perguruan Toya Upas. Apakah engkau
tahu penyebab perkelahian itu? Seorang perempuan, Agung Sedayu, seorang
perempuan telah kembali diperebutkan. Apakah engkau dapat membayangkan betapa
hancurnya hati perempuan yang pernah engkau tolak cintanya itu? Sungguh engkau
telah ikut andil menghancurkan masa depan seseorang.”
Setiap
kata dari orang yang berdiri dihadapannya itu bagaikan palu godam yang
menghantam dinding-dinding jantung Ki Rangga Agung Sedayu. Seakan dirinya
dihadapkan pada sebuah belanga berisi air yang sangat tenang dan jernih
sehingga setiap cacat di wajahnya dapat terlihat dengan jelas. Bagaimana
mungkin dia dapat mengingkari semua itu.
“Masihkah
engkau akan bergelut dengan segala lumpur kehidupan ini, Sedayu? Mengapa engkau
tinggalkan padepokan kecilmu yang asri dan damai di Jati Anom hanya karena
ingin memuaskan hasrat seseorang? Bukan karena panggilan hidupmu sendiri?
Apakah yang telah engkau capai selama ini, Sedayu? Dengan menjadi seorang
Rangga, engkau telah terlibat dalam pertikaian demi pertikaian yang sebenarnya
justru bersumber dari dalam kerabat istana Mataram itu sendiri. Berapa orang
yang telah engkau bunuh dengan dalih menegakkan panji-panji Mataram di seluruh
tanah Jawa ini? Kedamaian tanah ini tidak mungkin akan terwujud, jika sumber
pertikaian itu justru bersumber dari kalangan keluarga istana sendiri,
sedangkan kawula alit lah yang selalu menanggung akibatnya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu masih terpaku di tempatnya. Tubuhnya bergetar keras menahan
gejolak di dalam dadanya. Berbagai perasaan berkecamuk dan tumpah tindih.
Kenangan masa silam silih berganti di dalam benaknya. Ada perasaan asing yang
tiba tiba menyelinap jauh di sudut hatinya, mengapa kini dia berdiri di depan
orang itu sebagi seorang prajurit berpangkat Rangga? Bukankah sejak dulu tidak
pernah terbersit sekalipun keinginannya untuk menjadi seorang prajurit?
Bukankah semua ini dilakukan atas tuntutan orang orang disekelilingnya? Sekar
Mirah, perempuan yang meyongsong masa depannya dengan penuh gairah dan kadang
kadang terlalu banyak menuntut, Kakaknya, Untara yang selalu risau dengan masa
depannya, Panembahan Senopati yang melihat segala kelebihannya untuk
kepentingan menegakkan Mataram diawal perkembangannya, serta beberapa kerabat
lain yang tidak ingin melihat masa depannya hanya berakhir pada sebuah
padepokan kecil di Jati Anom.
Kembali
Ki Rangga Agung Sedayu tergugu. Keringat dingin semakin deras membasahi sekujur
tubuhnya. Kini dia baru menyadari, mengapa Gurunya Kiai Gringsing di masa
tuanya justru telah meninggalkan Padepokan di Jati Anom, Padepokan yang mereka
bangun dengan penuh harapan untuk mencapai ketenangan dan kesempurnaan lahir
batin, namun justru telah ditinggalkannya. Mungkin Gurunya kecewa dengan
pilihan hidupnya sehingga sampai saatnya meninggal, dia tidak ingin diketahui
dimana letak kuburnya.
“Sedayu,”
tiba tiba suara itu berdenging di telinganya dan Ki Rangga Agung Sedayu pun
menyadari bahwa orang itu telah menggunakan aji pameling, “Berhentilah mengejar
Matahari. Tanpa engkau kejar pun, matahari akan tetap beredar dari timur ke
barat setiap hari. Juga jangan engkau tunggu berkokoknya ayam jantan menjelang
fajar, tanpa kokok ayam jantanpun Matahari akan tetap terbit, itulah Sunattullah.
Keharusan yang memang telah digariskan oleh Yang Maha Agung terhadap seluruh
jagad raya ini. Kita sebagai hambaNya adalah bagian yang tak terpisahkan dari
Sunattullah itu. Kembalilah ke jati dirimu. Jangan hiraukan orang orang yang
ada di sekitarmu. Sesungguhnya mereka memberikan saran dan pendapat tentang
masa depanmu hanyalah berlandaskan pada kepentingan mereka. Bukankah kakakmu
Untara menginginkan engkau menjadi Prajurit karena tidak ingin namanya sebagai
Senopati besar tercemar hanya karena mempunyai adik seorang cantrik Padepokan
yang tidak terkenal? Demikian juga dengan Panembahan Senopati yang semasa
hidupnya selalu mendesakmu untuk memasuki lingkungan keprajuritan karena memang
tenagamu sangat diharapkan dan dapat diandalkan. Bagaimana dengan Sekar Mirah
sendiri? Sebagai anak Demang yang kaya raya tentu dia tidak ingin menghabiskan
sisa hidupnya di Padepokan yang sepi dengan segala kesederhanaannya. Demikian
juga dengan adik seperguruanmu itu. Jangan engkau kira adik seperguruanmu itu
juga tidak berkepentingan denganmu, dengan tetap tinggal di sangkal Putung,
tenagamu sangat diperlukan untuk membangun kemajuan Kademangannya.”
Jika
di dunia ini ada tempat untuk menumpahkan segala getir pahit kehidupan, niscaya
ki Rangga Agung Sedayu pasti sudah menumpahkannya dengan segala tetek-bengek
persoalan yang membelitnya. Namun orang yang berdiri di depannya ini terus
berbicara, menguak segala permasalahan yang dialaminya, bahkan yang bersifat
sangat pribadi sekalipun.
“Jangan
heran, Sedayu,” seakan akan orang itu mengerti jalan pikiran Ki Rangga, “Aku
adalah kawan baik Gurumu menjelang hari hari terakhirnya, bahkan pamanmu Ki
Widura saja tidak aku perkenankan melihat jasadnya. Semua itu atas pesan
terakhir dari Gurumu sendiri. Tahukah engkau apa artinya semua itu? Yang jelas,
pada awalnya gurumu hadir dalam kancah kehidupan di negeri ini, dalam
perjalanan sejarah tanah ini, sendirian tanpa kawan, kleyang kabur kanginan,
tidak seorang pun yang tahu jati dirinya, asal usulnya. Dan pada saat
terakhirnya, gurumu pun telah pergi dengan kesendiriannya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menundukkan kepalanya dalam dalam, seolah olah dia ingin
melihat sendiri apa yang ada di dalam rongga dadanya, apa saja yang sudah
diberikan sebagai balas budi kepada gurunya yang telah mengajarkan segala macam
ilmu kanuragan, jaya kawijayan dan tuntunan hidup bebrayan.
Orang
yang berdiri dalam keremangan malam itu tiba tiba melangkah ke depan beberapa
tindak, sehingga ketika Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya dan
memandang ke depan, betapa dia melihat wajah yang begitu damai, putih bersih
bercahaya bagaikan wajah bulan di hari ke lima belas. Tidak tampak beban
kehidupan maupun garis garis keras yang biasanya menghiasi setiap wajah manusia
yang penuh dengan nafsu duniawi.
“Sudah
saatnya engkau kembali, Sedayu,” lirih terdengar suara orang itu di telinga Ki
Rangga namun pengaruhnya bagaikan deburan ombak yang bergulung gulung
menghantam dinding dinding jantungnya, “Selama ini engkau telah terlena dengan
segala macam urusan dunia. Ketahuilah, sudah cukup lama aku mengikutimu kemana
engkau melangkah sesuai dengan pesan terakhir gurumu. Dan aku kira saat ini
adalah waktu yang tepat untuk menemuimu sebelum dendam kembali akan membelit
jalan hidupmu. Bukankah engkau mendapat tugas dari Ki Patih Mandaraka untuk
mengurangi kekuatan Panaraga? Itu berarti engkau akan kembali melibatkan dirimu
dalam urusan dendam yang tidak berkesudahan. Ingat, setiap lawan yang berhasil
engkau binasakan, anak turunnya tentu tidak akan rela sebelum membayar lunas semua
hutang nyawa itu, dan dengan alasan membela diri, engkau pun akan kembali
terseret dalam urusan hutang piutang nyawa yang tidak berkesudahan.”
“Bagaimana
Sedayu?” pertanyaan orang berjubah putih itu menyadarkan Ki Rangga Agung
Sedayu, “Apakah engkau mengenali kitab yang berada di tanganmu itu?”
Dengan
penuh keragu-raguan Ki Rangga memandang wajah orang berjubah putih yang duduk
bersila di depannya. Kemudian katanya, “Dari manakah Ki Sanak mendapatkan kitab
ini?”
Sejenak
orang berjubah putih itu menarik nafas dalam dalam. Sambil tetap tersenyum dia
menjawab, “Aku mendapatkan kitab itu dari seorang anak muda yang bernama
Sukra.”
“Sukra?”
terkejut Ki Rangga Agung Sedayu tanpa sesadarnya mengulang nama itu.
“Ya,
Sukra. Anak muda yang mengaku selama ini menjadi pembantu rumah tanggamu.”
“Sukra,”
kembali Ki Rangga bergumam menyebut nama itu, “Bagaimana mungkin hal ini bisa
terjadi?”
Sejenak
kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Orang berjubah putih itu agaknya
membiarkan Ki Rangga Agung Sedayu untuk hanyut dengan angan angannya beberapa
saat. Ketika kemudian orang berjubah putih itu bergumam perlahan, Ki Rangga
Agung Sedayu pun tersadar dari lamunannya.
“Ki
Sanak, dimanakah Sukra sekarang ini berada?” akhirnya Ki Rangga mengajukan
pertanyaan yang sudah sekian lama tersimpan di dalam dadanya semenjak hilangnya
kitab perguruan Windujati bersamaan dengan menghilangnya Sukra dari rumahnya.
“Sukra
aku ajak ke Gunung Muria untuk sementara agar dapat menenangkan hatinya. Aku
tahu di dalam dadanya sedang bergelora keinginan yang dahsyat untuk menuntut
ilmu olah kanuragan setinggi tingginya. Dengan kitab perguruan Windujati di
tangannya, aku khawatir akan dapat membutakan mata hatinya sehingga dia akan
mempelajarinya tanpa tuntunan seorang Guru, terutama tuntunan batin yang harus
selaras dengan kemampuan ilmu olah kanuragan yang akan dicapainya.”
“Gunung
Muria?” bertanya Ki Rangga terheran heran, “Mengapa harus ke gunung Muria?”
“Karena
di sanalah selama ini aku tinggal.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Tanpa disadarinya matanya menatap tajam
ke arah orang berjubah putih yang duduk bersila di depannya. Kesadarannya
seakan akan memberitahukan kepadanya tentang jati diri orang itu, orang
berjubah putih dari gunung Muria yang kesaktiannya tiada taranya.
“Kanjeng
Sunan…!” tersentak Ki Rangga Agung Sedayu begitu menyadari dengan siapa dia
berhadapan. Dengan gemetar dia menubruk ke depan meraih tangan orang berjubah
putih itu kemudian dengan takdzim diciumnya.
“Sudahlah
Sedayu,” perlahan orang berjubah putih itu menyentuh pundak kanan Ki Rangga
Agung Sedayu dengan tangan kirinya, “Duduklah kembali. Jangan biarkan nalarmu
hanyut mengikuti arus perasaanmu yang tak terkendali. Ingatlah, kegagalan kita
dalam mengarungi hidup bebrayan ini adalah ketidak mampuan kita dalam
mengendalikan diri. Kadangkala seseorang itu begitu sulitnya membatasi
keinginannya sepanjang hidupnya. Padahal Yang Maha Agung hanya memberi kita dua
tangan dan dua kaki, namun apa yang ingin kita raih, yang ingin kita jangkau
begitu banyaknya dan begitu luasnya seolah olah tiada pernah ada kepuasan di
dalam diri kita justru mengalahkan makhluk makhluk lain ciptaan Yang Maha Agung
yang diberi kaki lebih banyak dari yang kita punya, berkaki delapan misalnya,
atau bahkan yang berkaki seribu sekalipun.”
Ki Rangga
Agung Sedayu yang sudah duduk kembali perlahan lahan berusaha untuk menguasai
goncangan perasaannya. Kata demi kata dari orang berjubah putih itu terasa
bagaikan tetes tetes embun yang membasahi relung relung hatinya yang paling
dalam.
“Manusia
memang diciptakan untuk menguasai jagad raya ini, namun bukan berarti bahwa dia
dapat menggunakan kekuasaan itu tanpa pertimbangan pertimbangan. Alam telah
dianugrahkan kepada kita untuk digunakan bagi kelangsungan kehidupan manusia
itu sendiri. Gunung yang setinggi apapun mampu ditaklukkan, laut yang seluas
apapun mampu ditundukkan, dan hutan yang sebuas dan seliar apapun mampu
dijinakkan. Itulah manusia yang diberi nalar dan budi melebihi makhluk lainnya.
Namun justru karunia yang berupa nalar dan budi itulah nantinya yang akan
membawa manusia kembali kehadapan Yang Maha Agung dalam keadaan sehina hinanya
makhluk, seandainya manusia itu tidak mampu mengendalikan nalar dan budinya.”
Angin
malam yang dingin bertiup cukup keras menggoyang pucuk pucuk pepohonan. Kabut
tebal yang melingkupi mereka berdua sejenak berputar putar beberapa saat, namun
kemudian kembali diam menyelimuti halaman rumah yang selama ini digunakan oleh
Ki Madyasta untuk bertempat tinggal.
Di
luar lingkaran kabut tebal itu Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri dengan
gelisah. Mereka berdua tidak mampu menembus kepekatan kabut itu walaupun mereka
telah mengerahkan segala ilmu yang dimiliki. Alangkah kerdilnya manusia itu,
yang kadangkala dengan kemampuan dan kelebihan yang sedikit saja telah dengan
sombongnya membuat kerusakan di muka bumi. Padahal manusia diturunkan di muka
bumi ini justru untuk memelihara dan melestariakan alam yang sedemikian indah
dan sempurnanya dianugrahkan kepada manusia.
Ketika
kokok ayam jantan terdengar bersahut sahutan dari segala penjuru, orang yang di
panggil Kanjeng Sunan oleh Ki Rangga Agung Sedayu itu perlahan lahan berdiri.
Sambil membetulkan letak jubahnya, dia berkata, “Sedayu, waktuku tidak banyak.
Aku harus kembali ke gunung Muria sebelum fajar. Di sana sudah menunggu para
kawula yang membutuhkan tenaga dan pikiranku. Aku tidak berharap engkau akan
mengikuti jejakku atau pun jejak orang lain, namun pesanku, cari dan temukan
jejakmu sendiri. Yakinilah apa yang selama ini telah engkau yakini sejalan
dengan ajaran ajaran yang telah kita terima dari Junjungan kita manusia pilihan
Yang Maha Agung yang telah menyebarkan ajaran ajaran kasampurnaning ngaurip
keseluruh pelosok bumi ini melalui para Guru, para Alim dan para Ulama.”
Ki
Rangga Agung Sedayu masih duduk bersimpuh. Perasaan yang bergejolak di dalam
dadanya kini sudah mulai mengendap. Dengan hati yang jernih dia mulai menilai
dirinya, menilai apa saja yang selama ini telah diperbuat untuk sesamanya dalam
hubungan timbal balik dengan Penciptanya.
“Aku
tidak ingin engkau menjadi pertapa yang mengasingkan diri di puncak gunung yang
tinggi hanya karena ingin menjauhkan diri dari nafsu duniawi. Aku juga tidak
ingin engkau hanya mengejar duniawi dengan mengesampingkan kehidupan langgeng
yang akan kita jalani kelak setelah kita mati. Tapi usahakanlah engkau dapat
menjalani apa yang disebut tapa ngeli, hidup di tengah tengah para kawula namun
tidak tergiur dengan gebyaring dunia, selalu mengikuti arus namun jangan sampai
terbawa arus. Dengarkanlah apa yang menjadi keinginan para kawula alit, namun
jangan sampai engkau diperbudak dengan keinginan mereka itu, karena pada
dasarnya semua keinginan itu harus ada batasnya, dan batasan itu adalah sesuai
dengan tuntunan yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung melalui ajaran ajaran
yang diturunkan kepada para UtusanNya.”
“Hamba,
Kanjeng Sunan,” Ki Rangga Agung Sedayu merangkapkan kedua tangannya di depan
dada sambil menundukkan kepalanya dalam dalam, “Apakah hamba diperkenankan
suatu saat berkunjung ke Gunung Muria?”
“Datanglah
kesana,” jawab orang berjubah putih itu dengan cepat, “Pintu selalu terbuka
untukmu, Sedayu, kapan pun engkau akan datang, namun selesaikanlah terlebih
dahulu segala urusanmu agar tidak ada lagi persoalan yang membebani hatimu.”
“Hamba,
Kanjeng Sunan.”
“Baiklah,
Sedayu. Aku mohon diri. Semoga pertemuan kita ini membawa manfaat. Setidak
tidaknya aku telah menyampaikan pesan Gurumu di hari hari terakhirnya
bersamaku.”
Sebelum
Ki Rangga Agung Sedayu sempat menjawab, tiba tiba angin yang keras bertiup
mengguncang kabut tebal yang menyelimuti mereka bedua. Ketika Ki Rangga Agung
Sedayu mengangkat kepalanya, orang berjubah putih itu sudah hilang dari
pandangan matanya. Sementara kabut yang tebal itu perlahan lahan menipis
kemudian hilang tertiup angin menjelang dini hari.
Perlahan
lahan Ki Rangga Agung Sedayu bangkit dari tempat duduknya sambil
mengibas-ngibaskan kain panjangnya yang terkena debu. Sejenak pandangan matanya
menyapu keseluruh halaman rumah, seakan akan ingin meyakinkan bahwa orang
berjubah putih itu sudah benar benar meninggalkannya, meninggalkan segores
kenangan yang tak mungkin terlupakan.
“Kakang..!”
hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan berteriak memanggil kakak sepupu
mereka. Dengan langkah tergesa gesa keduanya pun kemudian mendekat.
“Marilah,”
berkata Ki Rangga Agung Sedayu begitu keduanya sampai di hadapannya, “Hari
sudah hampir menjelang pagi, mungkin lebih baik kita beristirahat di dalam
rumah saja.”
Selesai
berkata demikian, Ki Rangga melangkah perlahan lahan menuju pintu diikuti oleh
Glagah Putih dan Rara Wulan, sedangkan Ki Madyasta yang masih berdiri temangu
mangu di depan pintu segera bergeser ke samping begitu ki Rangga Agung Sedayu
sampai di depannya. Kemudian dengan bergegas diikutinya mereka masuk ke dalam
rumah.
Hampir
sepanjang pagi, Ki Rangga Agung Sedayu duduk duduk saja di ruang tengah.
Kadangkala bergeser ke belakang rumah atau pakiwan, namun selebihnya waktunya
dihabiskan untuk duduk merenung di ruang tengah.
Mereka
yang ada di rumah itu agaknya membiarkan saja Ki Rangga Agung Sedayu berbuat
sesuka hatinya. Memang mereka tidak tahu pasti apa yang telah terjadi semalam
karena pandangan mereka terhalang oleh kabut tebal yang entah dari mana
datangnya. Tapi mereka setidak tidaknya dapat meraba apa yang telah terjadi. Tentu
orang berjubah putih itu telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan Ki
Rangga Agung Sedayu walaupun kehadirannya hanya sekilas dalam perjalanan
panjang kehidupan Ki Rangga Agung Sedayu.
Sepagi
itu matahari bersinar dengan cerahnya, burung burung berterbangan dengan
riangnya, kadang hinggap di dahan dahan sambil memperdengarkan kicauannya yang
merdu, kadang terbang menjauh dengan mengepakkan sayap sayapnya dengan lincah
kemudian meluncur, menukik dan menyambar bilalang bilalang yang terbang rendah di
atas rerumputan.
—oOo—
Sementara
itu, di pinggir kali Praga, para tukang satang tampak hilir mudik
menyeberangkan para penumpang yang akan menyeberang ke Tanah Perdikan Menoreh
atau sebaliknya. Diantara para penumpang yang akan menyeberang itu tampak Kiai
Sabda Dadi dan Damarpati.
Ketika
rakit yang membawa mereka menyeberang itu telah sampai di tepian, dengan
bergegas Kiai Sabda Dadi dan Damarpati menghela kudanya untuk turun dari rakit
diikuti oleh ketiga pengawal dari tanah Perdikan Menoreh.
Baru
saja mereka berlima menggerakkan kudanya untuk menyusuri jalan berdebu menuju
ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, tiba tiba mereka dikejutkan oleh
derap seekor kuda dengan penunggangnya yang tergesa gesa berpacu mendahului
mereka.
Sejenak
Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya. Rasa rasanya ada yang tidak wajar dari
penunggang kuda yang mendahului mereka itu. Namun kesan itu segera dihapus dari
hatinya. Betapapun juga setiap orang mungkin mempunyai kepentingan yang berbeda
beda dan tidak ada seorangpun yang tahu selain orang itu sendiri.
Dari
tepian kali Praga mereka masih harus menyusuri bulak bulak panjang yang sepi
dan melewati beberapa padukuhan padukuhan kecil sebelum mencapai padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh.
Matahari
telah condong ke barat dan hari telah menjelang sore. Sinar matahari yang merah
redup itu membias di puncak puncak bukit yang bagaikan bersepuh tembaga. Di
langit, berpuluh puluh ekor burung terbang bergerombol kembali ke sarang mereka
setelah seharian mencari makan. Mereka akan kembali ke sarang untuk memberi
makan anak anak mereka agar segera tumbuh besar sehingga dapat mencari makan
sendiri.
Ketika
kemudian perlahan lahan kegelapan mulai menyelimuti langit Tanah Perdikan
Menoreh, kelima orang yang sedang melakukan perjalanan itu masih harus
melintasi sebuah bulak yang panjang sebelum sampai di regol padukuhan induk
tanah Perdikan Menoreh.
Tiba
tiba dada Kiai Sabda Dadi berdesir tajam. Bulak itu terasa sangat panjang dan
sepi. Dalam keremangan malam, bulak itu seolah olah seperti sebuah lorong yang
tak berujung. Panggraitanya sebagai orang yang sudah kenyang makan asam
garamnya kehidupan, serta kemampuannya yang mumpuni dalam olah kanuragan
kadangkala memberikan suatu isyarat kepadanya tentang bahaya yang mungkin
sedang menunggu di depan hidungnya.
Sementara
itu kuda-kuda mereka berlari tidak begitu kencang di atas tanah yang berdebu.
Damarpati yang berkuda di samping Kakeknya tidak banyak mengeluarkan kata kata.
Pandangan matanya lebih sering menunduk memandangi suri kudanya yang berkibar
kibar tertiup angin dari arah depan.
Ketika
perjalanan mereka melintasi bulak panjang itu telah mencapai hampir separonya,
lamat-lamat mereka dikejutkan oleh bayangan yang terlihat di depan sedang
menghalang di tengah jalan. Bayangan itu dari kejauhan tampak seperti batang
batang kayu yang berjajar jajar menutup jalan, namun ketika mereka sudah
semakin dekat, ternyata bayangan itu adalah segerombolan orang yang sedang
berdiri menghalangi jalan.
Segera
saja mereka mengekang kendali kuda masing masing untuk menghentikan laju kuda
mereka. Ketika kuda kuda mereka telah benar benar berhenti dua tombak dari
orang orang yang bergerombol menghalangi jalan itu, Kiai Sabda Dadi yang merasa
bertanggung jawab terhadap keselamatan rombongan itu segera menggerakkan
kudanya maju beberapa langkah.
“Selamat
malam, Ki Sanak semuanya,” sapa Kiai Sabda Dadi seramah mungkin, “Ijinkanlah
kami lewat untuk menjenguk saudara kami yang sedang sakit di padukuhan induk
Menoreh.”
Sejenak
orang orang yang bergerombol menghalangi jalan itu tidak menjawab. Baru sesaat
kemudian seseorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis melintang tetapi
dengan dagu yang licin, maju beberapa langkah ke depan.
“Siapakah
sebenarnya kalian berlima ini? Ada kepentingan apakah kalian berkunjung ke
Tanah Perdikan Menoreh?” dengan suara berat dan dalam orang yang berperawakan
tinggi besar itu bertanya.
Kiai
Sabda Dadi menarik nafas dalam dalam. Sebelum menjawab pertanyaan orang tinggi
besar itu, diedarkan pandangan matanya ke arah orang orang yang sedang
bergerombol di tengah jalan itu.
“Sembilan
orang,” desis Kiai Sabda Dadi di dalam hati.
“He..!”
tiba tiba terdengar bentakan menggelegar. Ternyata orang tinggi besar itu yang
membentak, “Apakah telingamu tuli, he? Jawab pertanyaanku dan segera turun dari
kudamu atau aku akan memaksa kalian turun dari kuda dengan caraku sendiri?”
Sejenak
Kiai Sabda dadi menoleh ke arah Santa dan kawan kawannya yang ada di
belakangnya. Dengan sebuah isyarat, Kiai Sabda Dadi kemudian mengajak mereka
semua turun dari kuda.
Sambil
tetap memegangi kendali kudanya dengan tangan kiri, Kiai Sabda Dadi menjawab,
“Ma’afkan kami Ki Sanak, kami semua berasal dari Prambanan dan masih ada
hubungan keluarga antara satu dengan lainnya. Kami berniat untuk menjenguk
salah satu keluarga kami yang ada di Menoreh yang kebetulan sedang menderita
sakit.”
“Omong
kosong!” bentak orang tinggi besar itu dengan cepat memotong kata kata Kiai
Sabda Dadi, “Bukankah tiga orang yang berada di belakangmu itu adalah para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh? Murid muridku melihat mereka beberapa hari
yang lalu meninggalkan Tanah Perdikan ini, dan sekarang mereka telah kembali
dengan membawa dua orang asing. Aku yakin ini semua pasti ada hubungannya
dengan sakitnya Ki Gede Menoreh.”
Kiai
Sabda Dadi termangu mangu sejenak. Segera saja dia teringat kepada orang
berkuda yang berpacu mendahului mereka ketika mereka masih berada di tepian
kali Praga.
“Kalau
Ki Sanak sudah mengetahui keberadaan kami, mengapa Ki Sanak masih bertanya?”
akhirnya Kiai Sabda Dadi ganti bertanya.
Tiba-tiba
orang tinggi besar itu tertawa tergelak gelak, katanya kemudian disela sela
tawanya, “Ketahuilah, aku hanya ingin meyakinkan bahwa aku tidak salah sasaran.
Dengan pengakuanmu itu, berarti engkau telah melapangkan jalan kematianmu
bersama para pengikutmu. Tidak ada seorang pun yang boleh menolong Argapati,
biarlah dia mati dalam kesepian dan penyesalan.”
Kiai
Sabda Dadi mengerutkan keningnya, orang yang berdiri di depannya ini menyebut
nyebut ki Argapati yang sedang sakit. Tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok
mereka ini adalah kelompok orang orang yang berniat jahat, yang ingin melihat
Menoreh hancur justru dari dalam sendiri.
Melihat
gelagat yang tidak mungkin dapat dihindari lagi, Kiai Sabda Dadi segera
melangkah mundur beberapa langkah sambil menarik kudanya. Sebelum orang orang
yang berdiri menghalang jalan itu menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh ringkik kuda yang bersahut sahutan. Belum sempat mereka
mengambil sikap, bagaikan kerasukan iblis, kuda kuda itu meloncat kedepan
menerjang ke arah mereka. Ternyata dengan cerdik Kiai Sabda Dadi telah mengajak
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Damarpati untuk melecut kuda kuda
mereka sekuat tenaga. Sehingga kuda kuda yang terkejut itu telah meringkik
sekeras kerasnya kemudian meloncat berlari menerjang apa saja yang ada di
depannya.
Namun
orang orang yang sedang bergerombol di tengah jalan itu ternyata bukan orang
kebanyakan. Meskipun ada diantara mereka yang terpaksa menjatuhkan diri sambil
berguling ke tepi jalan, namun ternyata tidak ada seorangpun yang mendapatkan
cidera yang berarti.
“Gila,”
umpat orang yang tinggi besar itu, “Kalian benar benar orang orang gila yang
sudah bosan hidup. Jangan harap kalian akan mendapatkan pertolongan dari para
pengawal di padukuhan induk dengan cara mengirimkan kuda kuda kalian yang tanpa
penunggang. Sebelum para pengawal itu sampai disini, kalian sudah terkapar
menjadi mayat.”
Kiai
Sabda Dadi dan para pengawal itu saling berpandangan sejenak, ternyata usaha
mereka untuk mendapatkan pertolongan dari gardu terdekat telah diketahui oleh
lawan mereka, namun mereka tidak berkecil hati, walaupun setitik, harapan itu
tetap ada.
Yang
justru menjadi acuh tak acuh adalah Damarpati. Ketika suasana menjadi semakin
tegang, dia justru dengan tenangnya telah melangkah menepi kemudian duduk
memeluk lutut di tanggul pinggir jalan.
Kakeknya
hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Sebersit kekhawatiran menyelinap di
sudut hatinya, namun kemudian Kiai Sabda Dadi hanya dapat pasrah. Segala ilmu olah
kanuragan telah diajarkannya, semoga dalam keadaan yang gawat, Damarpati mampu
mengungkapkannya untuk sekedar menjaga diri.
“Guru,”
tiba tiba seorang yang berperawakan tinggi kurus dengan mata juling dan
berhidung bengkok seperti paruh burung rajawali berkata, “Ijinkan aku mengajari
anak muda itu unggah ungguh, agar dia tahu dengan siapa sebenarnya dia
berhadapan.”
“Sekehendakmulah,
Parta Juling,” jawab orang yang dipanggil Guru itu, “Mari kita selesaikan
urusan ini segera sebelum kuda kuda mereka yang berlari ke padukuhan induk
menarik perhatian para peronda.”
Selesai
berkata demikian, dengan langkah tenang orang yang disebut Guru itu melangkah
ke depan Kiai Sabda Dadi diikuti oleh murid muridnya yang kemudian menyebar
mengurung Kiai Sabda Dadi dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan
Parta Juling dengan wajah geram melangkah tergesa gesa mendekati Damarpati yang
sedang duduk termenung di atas tanggul pinggir jalan.
“Nah,
sebelum kita mulai, ada baiknya kita saling memperkenalkan diri. Mungkin dengan
mengenal perguruan kami, kalian akan menyerah dan tidak banyak tingkah untuk
kami bunuh. Kami berjanji untuk menyelesaikan kalian secepatnya sehingga kalian
tidak akan terlalu lama menderita.” Berkata orang yang disebut Guru itu sambil
meloloskan sebilah keris dari wrangkanya, sebilah keris luk sembilan yang
bersinar kehijauan.
Kiai
Sabda dadi menarik nafas dalam dalam, keris itu menilik ujudnya sangat
mendebarkan, namun kemudian jawabnya, “Terima kasih atas kebaikan Ki Sanak,
kami benar benar tidak tahu apa yang harus kami perbuat. Sebenarnyalah kami
adalah keluarga dari Ki Argapati yang tinggal di Prambanan dan para pengawal
ini memang ditugaskan untuk menjemput kami.”
“Persetan
dengan segala omong kosongmu itu,” bentak orang yang disebut Guru itu, “Aku
tidak perduli apakah kalian masih saudara dengan Ki Argapati atau bahkan
saudara Sultan Mataram sekalipun. Siapa saja yang datang ke Menoreh untuk
memberikan bantuan kepada Argapati harus mati. Demikian juga Argapati itu juga
harus mati digerogoti penyakitnya tanpa seorang pun yang mampu menolong.”
“Mengapa
Ki Sanak mempunyai tanggapan demikian terhadap Ki Argapati? Apakah Ki Sanak
mempunyai dendam pribadi atau persoalan yang lain? Bukankah semua itu bisa kita
selesaikan dengan duduk bersama dan membicarakan permasalahan yang ada tanpa
rasa dendam dan permusuhan?”
“Sudahlah,
simpan saja segala nasehatmu itu,” jawab orang yang dipanggil Guru itu, “Kami
adalah orang orang yang sudah memantapkan hati untuk berbuat di jalan yang
telah kami pilih. Apapun akibat dari sikap kami itu, sudah kami pertimbangkan
untung ruginya.”
Kiai
Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Luar
biasa, suatu sikap jantan yang patut diteladani, namun sayang justru dasar yang
digunakan untuk menentukan sikap itu tidak mendasar sama sekali, tidak melihat
kepentingan secara menyeluruh dalam hubungan antar sesama, bahkan sangat jauh
dengan apa yang telah diajarkan oleh Yang Maha Agung melalui beberapa
utusanNya.”
“Tutup
mulutmu!” bentak orang yang dipanggil Guru itu, “Aku berdiri disini tidak untuk
mendengarkan sesorahmu, aku akan membunuhmu, membunuh kalian semua. Dengar itu!
Membunuh kalian semua dengan cara yang akan aku tentukan kemudian karena
tingkah laku kalian ternyata memuakkan terutama ocehan orang tua bangka ini.”
“O..,”
tiba tiba Kiai Sabda Dadi melangkah surut sambil berkata tergagap gagap,
“Ma’afkan kami, sungguh ma’afkan kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kalau
memang ucapanku tadi telah membuat Ki Sanak marah, sekali lagi aku atas nama
rombongan ini minta ma’af dan ijinkanlah kami meneruskan perjalanan.”
Baru
saja orang dipanggil Guru itu membuka mulutnya untuk kesekian kalinya membentak
Kiai Sabda Dadi, tiba tiba mereka yang sedang berada di tengah bulak panjang
itu dikejutkan oleh suara jeritan disusul dengan bayangan seseorang yang
terlempar jatuh terlentang di tanah yang berdebu.
Sekejab
mereka yang menyaksikan peristiwa itu bagaikan membeku. Mereka benar benar
tidak yakin dengan penglihatan mereka, bagaimana mungkin orang yang bernama
Parta Juling itu bisa terlempar jatuh terlentang tak bergerak sama sekali,
sementara Damarpati masih duduk memeluk lutut di atas tanggul pinggir jalan.
Kiai
Sabda Dadi yang menyaksikan peristiwa itu menarik nafas dalam dalam sambil
mengangguk angguk. Sebuah senyum tipis tampak menghias bibirnya. Ternyata jerih
payahnya selama ini tidak sia sia, walaupun Damarpati kadang tidak menampakkan
kesungguhan hatinya dalam mempelajari olah kanuragan, ternyata dalam keadaan
yang terdesak, dia mampu mengungkapkan salah satu ilmu yang diajarkannya, ilmu
yang berlandaskan pada penyerapan kekuatan alam sekitarnya, terutama kekuatan
lawan yang sedang menyerang, semakin kuat lawan dalam mengerahkan tenaganya,
semakin besar tenaga yang akan melontarkannya kembali.
“Minggir..!”
tiba tiba orang yang dipanggil Guru itu berteriak sambil menyibakkan kerumunan
murid muridnya yang berebut ingin mengetahui keadaan Parta Juling. Kemudian
dengan hanya menggunakan ujung jari telunjuknya, orang yang dipanggil Guru itu
telah menyentuh dada Parta Juling. Sekejab kemudian Parta Juling pun menggeliat
sambil mengumpat.
Tetapi
sebelum kesadaran menguasai benak Parta Juling sepenuhnya, tiba tiba sebuah
tamparan dirasakannya mendarat dengan keras di pipi kirinya.
Dan
sebuah umpatan yang sangat kotor kembali meluncur dari mulut Parta Juling.
Dengan pandangan nanar dan tubuh gemetar menahan amarah yang meluap luap, dia
berusaha menguasi kesadarannya sepenuhnya. Sambil bertelekan pada kedua
tangannya, Parta Juling mencoba bangkit berdiri.
Namun
alangkah terkejutnya ketika kesadaran telah menguasai otaknya, ternyata yang
berdiri dihadapannya adalah Gurunya dengan pandangan mata yang bagaikan
membara.
“Ampun
Guru,” desis Parta Juling terbata bata, “Aku tidak tahu kalau yang melemparkan
aku sampai pingsan adalah Guru.”
“Bodoh,”
geram Gurunya, “Kau terlempar sampai pingsan karena kebodohanmu sendiri, dan
karena itulah aku telah menamparmu. Bagaimana mungkin seorang murid perguruan
besar dengan mudah dapat dilumpuhkan hanya oleh seorang anak ingusan.”
Selesai
berkata demikian Gurunya menunjuk ke arah Damarpati yang masih dengan enaknya
duduk memeluk lutut di atas tanggul pinggir jalan.
Parta
Juling tertegun sejenak. Ingatannya kembali ke beberapa saat yang lalu, ketika
dia dengan sekuat tenaga meloncat menendang Damarpati yang masih saja duduk
acuh tak acuh sambil memeluk lutut. Dia ingin memberi pelajaran kepada
Damarpati atas sikapnya yang dianggap meremehkan perguruannya.
Namun
ketika tumitnya hampir menyentuh dagu anak yang masih sangat muda itu, tiba
tiba saja dirasakannya ada sebuah kekuatan yang luar biasa dahsyatnya membalik
menerjang kearahnya dan melemparkannya hingga tak sadarkan diri.
“Guru,”
tiba tiba Parta Juling telah menghunus senjatanya, sebuah pedang pendek yang
berbilah lebar, melebihi lebarnya bilah sebuah pedang pendek yang sewajarnya,
“Akan aku belah dada anak ingusan yang tak tahu diri itu. Dia telah berani
menghina Parta Juling.”
“Engkaulah
yang akan terlebih dahulu terbelah dadamu oleh pedangmu sendiri, Parta Juling,”
bentak Gurunya, “Apakah kamu belum yakin dengan apa yang baru saja menimpa
dirimu? Biarlah aku yang tua ini sedikit mengajarinya sopan santun.”
Namun
baru saja orang yang disebut sebagai Guru itu beringsut setapak ke samping,
seseorang yang sudah sangat tua tapi masih tampak sangat sehat dan kuat telah
berdiri menghadang jalannya, Kiai Sabda Dadi.
“Sebentar
Ki Sanak,” berkata Kiai Sabda Dadi, “Bukankah Ki Sanak sudah berjanji untuk
memperkenalkan diri? Biarlah aku yang lebih tua ini menyatakan diri terlebih
dahulu, orang menyebutku Kiai Sabda Dadi dan anak muda itu adalah cucuku,
Damarpati.”
Tergetar
dada orang yang disebut Guru itu. Nama memang bisa mempunyai seribu makna,
namun dari ungkapan ilmu yang telah dipertunjukkan oleh anak yang masih sangat
muda itu, dapat dijadikan ukuran sampai dimana kira kira kedahsyatan ilmu yang
dimiliki oleh orang yang mengaku sebagai kakeknya ini.
“Baiklah,”
geram orang yang disebut Guru itu setelah getar di dadanya mereda, “Kami
berasal dari perguruan Liman Benawi di Madiun dan namaku adalah Jaladara,
tetapi orang lebih senang menyebutku Ki Wasi jaladara.”
Kiai
Sabda Dadi merenung sejenak. Nama Ki Wasi Jaladara tidak asing ditelinganya,
nama seorang pemimpin perguruan Liman Benawi di Madiun yang terkenal tidak
banyak mencampuri urusan dunia luar. Mereka akan keluar dari sarangnya apabila
ada perburuan benda benda pusaka atau kitab kitab ilmu kanuragan. Namun yang
kini membuatnya heran adalah mengapa perguruan Liman Benawi yang terkenal
sangat tertutup kini berada di Tanah Perdikan Menoreh? Apakah yang mereka cari
di Menoreh?
“Nah,
sekarang semuanya sudah jelas,” berkata Ki Wasi Jaladara sebelum Kiai Sabda
Dadi sempat membuat pertimbangan pertimbangan, “Kami akan segera membunuh
kalian semua atau mungkin akan kami sisakan seorang pengawal untuk membuat
laporan kepada Argapati yang sudah mulai pikun itu, namun sebelumnya akan kami
buat pengawal itu cacat seumur hidupnya.”
Mereka
yang mendengar ucapan Ki Wasi Jaladara itu meremang bulu kuduknya. Benar benar
manusia yang tidak berjantung. Sejenak kemudian, murid murid perguruan Liman
Benawi itu segera bergerak maju dan semakin mempersempit kepungan mereka.
Agaknya mereka tidak akan memberikan banyak kesempatan kepada Kiai Sabda Dadi
dan para pengawal untuk memperluas medan.
Kiai
Sabda Dadi benar benar dilanda kebimbangan yang sangat. Dia hanya berempat
dengan para pengawal, sedangkan lawan yang dihadapi sebanyak delapan orang.
Namun demikian tumpuan harapan Kiai Sabda Dadi justru terletak pada Damarpati
yang berdiri di luar kepungan. Dengan hanya berhadapan seorang lawan,
diharapkan Damarpati segera dapat melumpuhkan lawannya dan membantu memecahkan
kepungan dari luar.
Ketika
lawan lawannya sudah menggenggam senjata ditangan, dengan sebuah isyarat, Kiai
Sabda Dadi segera mencabut senjatanya diikuti oleh ketiga pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh.
Ki
Wasi Jaladara tertegun sejenak melihat ujud dari senjata Kiai Sabda Dadi,
sepotong kayu hitam yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal yang kedua
ujungnya tumpul.
“Apakah
engkau begitu takutnya menghadapi kematianmu sehingga berbuat yang aneh aneh
menjelang ajalmu?” geram Ki Wasi Jaladara.
“Maksud
Ki Wasi?” Kiai Sabda Dadi bertanaya tanpa melepaskan kewaspadaannya terhadap
gerak gerik lawannya.
‘”Senjatamu
itu mencerminkan kekerdilan hatimu,” jawab Ki Wasi Jaladara sambil tertawa,
“Apakah engkau berharap aku akan mengampuni selembar nyawamu begitu melihat
tingkah polahmu yang mendekati keputus asaan itu?”
“Tidak
Ki Wasi, sama sekali tidak,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil berusaha mengulur
waktu selama mungkin dengan harapan mendapat bantuan dari para pengawal di
padukuhan induk yang mungkin melihat kuda kuda mereka kembali tanpa penunggang,
“Aku dan cucuku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Demikian juga para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh ini sudah pasti mengalami pendadaran yang tidak
ringan pada saat mereka menyatakan diri memasuki lingkungan pengawal.”
“Cukup,”
bentak Ki Wasi Jaladara, “Aku tahu engkau mencoba mengulur waktu menunggu
bantuan dari padukuan induk, namun sebelum mereka datang, aku jamin kalian
sudah terbujur kaku menjadi mayat.”
Berdesir
dada Kiai Sabda Dadi mendengar sesumbar Ki Wasi Jaladara. Dia sangat maklum, Ki
Wasi Jaladara berani mengucapkan itu semua pasti ada dasarnya, kepercayaan diri
yang kuat atas penguasaan ilmu kanuragan dari perguruan Liman Benawi.
Menyadari
bahaya yang akan segera datang, Kiai Sabda Dadi segera menggamit Santa untuk
mempersiapkan diri bersama kedua temannya. Serentak mereka berempat segera
bergerak saling beradu punggung untuk menghadapi kepungan dari murid murid
perguruan Liman Benawi.
Kiai
Sabda Dadi yang menyadari kekuatan tertinggi pasti terletak pada pemimpin
perguruan Liman Benawi, telah berusaha bergerak sesuai dengan gerak langkah
putaran lingkaran yang mengepung mereka berempat. Kemana saja Ki Wasi Jaladara
bergerak, Kiai Sabda Dadi selalu berusaha mengikutinya.
Menyadari
hal itu, Ki Wasi Jaladara tak habis habisnya menyumpah serapah. Dengan sebuah
teriakan nyaring, tiba tiba dia menyerbu justru kearah Santa yang berdiri
disamping Kiai Sabda Dadi.
Serangan
itu bagaikan secepat kilat. Santa hanya mendengar sebuah teriakan nyaring,
selebihnya hanya kilatan cahaya kehijauan dibawah sinar bulan yang remang
remang meluncur mengarah ke jantungnya.
Kiai
Sabda Dadi menyadari bahwa serangan pembukaan dari Ki Wasi Jaladara itu
hanyalah sekedar pancingan, namun apabila dibiarkan saja, tidak menutup
kemungkinan Santa dapat mengalami kesulitan justru pada serangan pertama.
Dengan
tangan kiri mendorong tubuh Santa kekiri, Kiai Sabda Dadi berusaha memotong
serangan Ki Wasi Jaladara dengan menangkis keris luk sembilan itu dengan
tongkat pendeknya kearah bawah, sementara kaki kirinya menyusup dibawah lengan
lawannya menendang ulu hati.
Tentu
saja Ki Wasi Jaladara tidak akan membiarkan ulu hatinya menjadi sasaran kaki
Kiai Sabda Dadi. Dengan menarik kerisnya yang hampir berbenturan dengan tongkat
pendek Kiai Sabda Dadi, disilangkannya tangan kirinya didepan dada melindungi
ulu hatinya dari terjangan kaki Kiai Sabda Dadi.
Sebuah
benturan segera terjadi. Ternyata keduanya masih belum mengerahkan segenap
kemampauannya sehinga akibat dari benturan itu hanya membuat keduanya tergetar
dan melangkah selangkah surut.
Sedangkan
Santa yang terdorong beberapa jengkal ke kiri karena dorongan dari Kiai Sabda
Dadi memang telah selamat dari sambaran keris Ki Wasi Jaladara, namun baru saja
dia mengatur keseimbangan tubuhnya, sebuah ayunan pedang salah seorang murid
perguruan Liman Benawi mendatar menebas lambungnya.
Dengan
cepat Santa menggeser kaki kirinya selangkah ke belakang, ujung pedang lawannya
hanya lewat setebal jari dari lambungnya. Sebelum lawannya sempat memperbaiki
kedudukannya, Santa pun dengan cepat menjulurkan pedangnya ke arah leher
lawannya.
Demikanlah
pertempuran itu segera berkobar dengan sengitnya. Setiap kali Ki Wasi Jaladara
bergerak mencari lawan baru, Kiai Sabda Dadi pun dengan cekatan telah
membendung serangannya, sehingga pertempuran itu telah berputar putar saling
desak mendesak, silih ungkih, singa lena.
Sementara
itu Damarpati masih duduk sambil memeluk lutut. Parta juling yang sudah
merasakan kemampuan Damarpati menjadi lebih berhati hati. Dengan perlahan
diacungkannya pedang pendeknya tinggi tinggi seolah olah ingin menggapai
langit, kemudian dengan teriakan yang menggelegar, dia meloncat menebas leher
Damarpati.
Damarpati
yang menyadari betapa berbahayanya serangan dari parta juling itu sekejab telah
bersiap. Dengan tetap mempertahankan kedudukannya yang sedang duduk, tiba tiba
kedua tangannya terangkat keatas dengan kedua telapak tangan terbuka menghadap
keatas.
Ketika
pedang pendek Parta Juling yang sedang menyambar kearahnya tinggal sejengkal,
dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, Damarpati mencondongkan tubuhnya
kebelakang sambil menggerakkan kedua tangannya mendorong kedepan dengan kedua
telapak tangan terbuka menghadap ke depan.
“Lepaskan
pedangmu!” bentakan itu hanya lirih saja dari mulut mungil Damarpati, namun
akibatnya sangat luar biasa. Parta juling yang mendengar bentakan lirih itu
seolah olah bagaikan tersihir sehingga dengan serta merta pedang pendeknya
telah dilepaskan dari genggamannya.
Sebelum
menyadari apa yang sedang terjadi dengan pedang pendeknya, Damarpati telah
bangkit berdiri dan memungut pendang pendek itu.
Parta
juling benar benar terkesiap sampai tidak mampu untuk menggerakkan ujung
jarinya sekalipun. Dia hanya dapat berdiri terbengong bengong sambil memandang
Damarpati yang berjalan perlahan lahan menghampiri dirinya sambil menggenggam
pendang pendek yang telah terlepas dari tangannya.
“Apa
katamu?” lirih suara pemuda itu bahkan terdengar sangat merdu di telinga Parta
Juling, “Apakah engkau masih berniat membunuhku?”
Gemetar
sekujur tubuh Parta Juling. Seumur hidupnya dia belum pernah menemui lawan yang
sedemikian anehnya. Hanya dalam dua gebrakan saja dia dibuat tak berdaya oleh
seorang pemuda tanggung yang masih ingusan.
“Ilmu
iblis,” akhirnya Parta Juling hanya mampu menggeram, “Ternyata kalian adalah
sekumpulan iblis yang sedang mencari mangsa.”
“Ya,
engkau benar, Ki Sanak,” desis Damarpati sambil matanya berbinar menatap Parta
Juling. Sebuah senyum manis tersungging di bibirnya yang lembut merekah
kemerahan sehingga membuat Parta Juling bergidik. Dia tidak bisa mengambil
kesimpulan, apakah wajah itu dapat dikatakan tampan sekali atau justru
cenderung cantik? Sehingga oleh angan angannya sendiri, Parta Juling menganggap
yang berdiri di depannya itu pasti bukan dari sejenis manusia.
Ketika
tiba tiba saja Damarpati mengacukan pedang pendek itu ke muka hidungnya, dengan
tergesa gesa Parto Juling mundur selangkah surut. Hatinya benar benar telah
kuncup oleh angan angannya sendiri tentang anak muda yang berdiri di depannya
itu.
“Ki
Sanak, apa yang kau lihat?” terdengar Damarpati berdesis perlahan sambil
menggerakkan ujung pedang pendek itu di depan hidung Parto Juling.
Parto
juling semakin tidak mengerti. Seakan akan bukan kehendaknya sendiri, diikuti
saja gerakan ujung pedang itu yang bergerak ke kanan dan ke kiri dengan
pandangan mata yang kosong, sekosong isi kepalanya.
Damarpati
yang melihat tingkah Parto Juling menjadi sangat gembira. Seolah olah seperti
kanak kanak yang mendapat mainan baru, dia gerakkan ujung pedang pendek itu
semakin cepat ke kanan dan ke kiri, sedangkan Parto Juling pun seakan akan
sudah kehilangan jati dirinya, diikuti saja kearah mana ujung pedang pendek itu
bergerak dengan pandangan matanya yang kosong.
“Ki
Sanak, bukankah engkau melihat seekor ular? Ular bandotan yang sangat besar di
tanganku ini?” dengan nada lirih tapi sangat dalam Damarpati berkata sambil
menghentikan gerakan tangannya dengan tiba tiba dan mengangsurkan ujung pedang
pendek di tangannya itu ke muka Parto Juling
Parto
Juling yang sudah kehilangan kepribadiannya itu terkejut bagaikan disambar
halilintar di siang bolong. Matanya melotot memandang ke arah tangan Damarpati.
Dalam pandangan matanya, benar benar seekor ular bandotan sebesar lengan orang
dewasa sedang membelit tangan Damarpati. Tampak lidahnya yang bercabang dan
berwarna kemerahan itu terjulur sambil sesekali terdengar desis yang mengerikan
keluar dari mulutnya.
“Toloong,
ada ular..!” teriak Parto Juling ketakutan begitu melihat kepala ular itu
bergerak akan mematuk hidungnya.
Orang
orang yang sedang bertempur itu sejenak terganggu dengan teriakan Parto juling.
Serentak mereka berloncatan mundur mengambil jarak sambil memperhatikan apa
yang sedang terjadi dengan Parto juling.
Dan
apa yang mereka saksikan benar benar telah membuat kawan kawan seperguruannya
tidak habis mengerti. Bagaimana mungkin Parto Juling murid perguruan Liman
Benawi yang telah banyak makan asam garamnya pertempuran dan selalu tampil di
depan dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut nama perguruan,
sekarang ini sedang lari terbirit birit di kejar kejar oleh anak muda yang
masih ingusan sambil mengacung acungkan pedang pendek di tangan kanannya.
“Parto,
berhenti..!” tiba tiba terdengar bentakan yang menggelegar. Ternyata bentakan
itu berasal dari Ki Wasi Jaladara, pemimpin perguruan Liman Benawi. Agaknya Ki
Wasi Jaladara menyadari ada yang tidak wajar dengan kelakuan Parto Juling
sehingga dia dipermainkan oleh Damarpati.
Parto
Juling yang di bentak oleh gurunya seketika menghentikan langkahnya. Sejenak
dia termangu mangu, namun kemudian ketika kesadaran mulai merayapi otaknya
karena pengaruh bentakan gurunya, dengan cepat dia berbalik dan memandang
Damarpati dengan tajam.
Betapa
merah padam wajahnya begitu mengetahui bahwa yang sedang dipegang oleh tangan
kanan Damarpati itu adalah sebuah pedang pendek miliknya sendiri, bukan seekor
ular bandotan yang besar.
Dengan
sebuah geraman yang dahsyat, Parto Juling meloncat ke depan. Sebelum Damarpati
menyadari apa yang akan dilakukan oleh Parto Juling terhadapnya, seleret sinar
tiba tiba meluncur mengarah jantungnya.
Damarpati
terpekik melihat sinar itu yang ternyata adalah sebilah pisau belati yang
dilemparkan dengan sekuat tenaga oleh Parto Juling. Tidak ada kemampuan maupun
kesempatan dari Damarpati untuk menghindar. Nyawa Damarpati benar benar sudah
di ubun ubun.
Namun
bersamaan dengan meluncurnya belati itu, seleret cahaya kehitaman meluncur melebihi
kecepatan belati dan memotong arah datangnya belati.
Benturan
yang cukup keras segera terjadi. Hanya berjarak sejengkal dari ujung ibu jari
kaki Damarpati tergolek sebilah pisau belati yang berkilat kilat tertimpa sinar
bulan yang redup. Sedangkan tidak jauh disampingnya, sebuah tongkat pendek
berwarna hitam legam tergeletak.
Ternyata
dalam keadaan yang sangat gawat itu, Kiai Sabda Dadi telah mengambil keputusan
yang tepat. Dilemparkannya tongkat pendeknya menyilang, memotong arah datangnya
belati Parto Juling, dan ternyata Damarpati pun akhirnya terselamatkan.
Kejadian
itu benar benar telah menggetarkan hati dari setiap yang hadir disitu. Sekejap
saja Kiai Sabda Dadi terlambat, nyawa Damarpati tidak akan tertolong.
“Licik,”
geram Parto Juling sambil menoleh ke arah Kiai Sabda Dadi, “Mengapa tidak
engkau biarkan saja cucumu ini berusaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri?”
“Ki
sanak,” jawab Kiai Sabda Dadi sareh, “Kita tidak sedang berperang tanding. Apa
yang sedang terjadi disini ini bahkan mirip dengan perang brubuh, siapa pun
boleh menyerang lawan yang dikehendaki, dan siapa pun boleh menolong kawannya
yang sedang dalam bahaya.”
“Kalian
memang sekumpulan orang orang licik,” sekali lagi Parto Juling menggeram,
“Cucumu itu telah menggunakan ilmu sesat, ilmu hitam, ilmu yang didapat dari
tempat tempat yang gelap dan berlandaskan pada kegelapan itu sendiri.”
“Engkau
salah Ki Sanak,“ dengan cepat Kiai Sabda Dadi memotong, “Segala ilmu yang ada
di Jagad raya ini bersumber dari Yang Maha Kuasa. Namun karena sifat rakusnya,
manusia telah mencemari ilmu itu dengan berusaha menambah ilmu yang dimilikinya
dengan cara mencari bantuan dari kegelapan, dengan harapan ilmunya akan semakin
meningkat. Padahal sumber kegelapan itu sendiri tidak mempunyai kuasa apapun terhadap
kita, namun kadang kita tergoda dengan bujuk rayunya dan menyerahkan semua
persoalan bahkan hidup mati kita pada sumber kegelapan itu.”
“Apakah
engkau sudah selesai dengan ocehanmu, orang tua?” teriak Ki Wasi Jaladara.
Agaknya dia sudah tidak dapat menahan diri lagi, kemudian perintahnya kepada
murid muridnya, “Kita lanjutkan pertempuran, dan engkau Ranu, temani Parto
meringkus anak ingusan itu. Jangan takut dengan ilmunya yang dapat mempengaruhi
kejiwaan seseorang, ilmu itu masih sangat dangkal, asal kalian mempunyai
kepercayaan diri yang kuat, ilmu itu tidak akan banyak berpengaruh.”
Kiai
Sabda Dadi menjadi berdebar-debar mendengar ucapan pemimpin perguruan Liman
Benawi itu. Memang Damarpati masih sangat baru dalam mempelajari ilmu itu, ilmu
yang dapat menyesatkan penalaran seseorang. Berbeda dengan ilmu bayangan semu
yang dapat membuat ujud-ujud yang aneh-aneh dengan sekehendak hatinya, namun
dalam pengetrapannya tidak akan mempunyai akibat apapun secara kewadagan.
Sedangkan ilmu yang dipelajari Damarpati ini adalah ilmu untuk menyesatkan
pandangan lawan dengan cara mempengaruhi daya nalar lawan, sehingga dia yakin
dengan ujud yang tampak. Apabila ujud yang dikehendaki itu telah muncul di
benak lawan, akibat yang akan diderita oleh lawan sama dengan ujud yang
sebenarnya. Seandainya ujud itu adalah seekor ular, apabila ujud itu seolah
olah menggigitnya, dia akan merasakan benar benar seperti digitit ular
sakitnya, padahal itu hanya timbul karena otaknya telah terpengaruh oleh tipuan
lawan.
Sementara
itu Ranu yang diperintah oleh Gurunya untuk membantu Parto Juling segera
meloncat memisahkan diri. Dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah berdiri
di samping Parto Juling.
Kiai
Sabda Dadi menarik nafas dalam dalam. Secara hitungan, lawan yang mengepung mereka
berempat telah berkurang satu, namun kini bahaya justru berpindah ke Damarpati,
sanggupkah dia menghadapi lawan dua orang sekaligus?
Sementara
ilmu olah kanuragan Damarpati masih sangat rendah, dia hanya tertarik pada ilmu
ilmu peningkatan daya tahan tubuh atau ilmu untuk mempengaruhi lawan baik
dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Sejenak
kemudian mereka yang ada di tengah tengah bulak dowo itu segera terlibat
kembali ke dalam pertempuran yang sengit. Kiai Sabda Dadi yang telah kehilangan
senjatanya kini hanya dengan tangan kosong melayani Ki Wasi Jaladara.
Tandang
pemimpin perguruan Liman Benawi itu benar benar luar biasa. Keris luk sembilan
yang berwarna kehijau hijauan itu telah berubah menjadi beribu ribu
kunang-kunang yang berwarna hijau dan mengurung Kiai Sabda Dadi kemana pun dia
bergerak. Sedangkan murid-murid perguruan Liman Benawi yang lain dengan
dahsyatnya bagaikan ombak di pantai yang tidak ada henti-hentinya menghempas,
menghantam tebing-tebing karang.
Namun
Santa dan kawan-kawannya adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
tangguh. Pengalaman mereka dalam berbagai medan pertempuran telah menolong
mereka dari kehancuran. Dengan kerja sama dan saling mengisi dalam setiap
serangan maupun dalam bertahan dan membantu kawan yang sedang dalam kesulitan,
mereka bagaikan gunung karang yang kokoh menghadapi gelombang laut yang tak
henti-hentinya menerjang.
Namun
lambat laun jumlah lawan yang hampir dua kali lipat telah menyulitkan mereka.
Kiai Sabda Dadi yang berusaha membendung gempuran Ki Wasi Jaladara semakin lama
menjadi semakin terdesak. Kesempatannya untuk membantu Santa dan kawan kawannya
semakin kecil. Agaknya Ki Wasi Jaladara benar benar tidak memberi kesempatan
kepada Kiai Sabda Dadi untuk mengamati apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.
Sekilas
Kiai Sabda Dadi melihat Damarpati berlari larian di sepanjang pematang.
Kadang-kadang dia harus meloncati parit untuk kembali lagi ke jalan. Sementara
ke dua lawannya berusaha mengejarnya dari arah yang berbeda. Mereka mengejar
Damarpati sambil berteriak teriak seperti serombongan pemburu yang mengejar
binatang buruannya.
Damarpati
yang belum menguasai olah kanuragan dengan tuntas benar-benar kesulitan
menghadapi kedua lawannya. Untunglah dia telah menguasai beberapa ilmu yang
telah diajarkan oleh kakeknya, ilmu pemusatan tenaga untuk menyerap kekuatan
alam sekitarnya dan membalikkan kekuatan lawan, serta ilmu mempengaruhi daya
nalar walaupun masih dangkal.
Sesekali
Damarpati membiarkan lawannya menyerang ketika dia sudah tidak mampu lagi
menghindar. Lawannya yang merasa sudah dapat menguasai Damarpati itu tiba-tiba
terkejut ketika seranganya membalik dan membuatnya terhuyung huyung beberapa
langkah ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Damarpati lagi untuk
meloncat menjauh dan berlari lari menghindari kejaran lawan lawannya.
Seandainya
saja Damarpati tertarik pada olah kanuragan, tidak hanya pada aji jaya
kawijayan, menghadapi kedua lawannya itu bukanlah persoalan yang sulit.
Pengenalannya atas jurus jurus dan perkembangan dari jurus itu sendiri sangat
lemah, dia benar benar tidak berminat untuk melatih jurus jurus yang diajarkan
kakeknya, dia akan bersemangat jika kakeknya menurunkan aji jaya kawijayan yang
tidak memerlukan latihan wadag, namun cukup dengan olah batin.
Beberapa
kali Damarpati harus mengerahkan segala kemampuannya untuk membalikkan tenaga
lawan. Betapapun juga kemampuan Damarpati sangatlah terbatas, untuk menghadapi
dua orang sekaligus diperlukan tenaga cadangan yang berlebihan sehingga dapat
membalikkan tenaga lawan. Hal itu tentu saja berpengaruh terhadap daya tahan
tubuh Damarpati. Semakin sering dia mengerahkan tenaga cadangan, semakin lemah
daya tahan tubuhnya sehingga akhirnya dengan tertatih tatih dia berusaha
menghindari setiap benturan dengan lawan lawannya.
Keadaan
Damarpati benar benar sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kiai Sabda Dadi yang
sekilas melihat keadaan Damarpati hanya dapat berdoa, sebagai seorang kakek dia
telah mencoba menyelamatkan keturunan dari Panembahan Kalijenar. Sepeninggal
orang tuanya, Damarpati telah menjadi tanggungan-nya untuk membesarkan dan
mendidik segala ilmu yang telah dikuasainya, namun lebih dari itu, keselamatan
Damarpati lebih dari segala galanya menilik dari beberapa pihak yang masih
mencari keturunan Panembahan Kalijenar karena alasan dendam yang tidak
berkesudahan.
Disaat
yang sangat menegangkan itulah harapan satu satunya dari Kiai Sabda Dadi dan
para pengawal Tanah Perdikan menoreh adalah kuda kuda mereka yang tanpa
penunggang dapat diketemukan oleh para peronda atau penjaga pintu regol
kademangan induk. Namun sejauh ini tidak ada tanda tanda pertolongan itu
datang.
Dada
Kiai Sabda Dadi dan para pengawal itu bagaikan terkoyak ketika sekali lagi
terdengar jerit Damarpati yang membelah malam. Kedua lawannya telah berdiri
tegak dengan pedang yang diangkat tinggi tinggi, sementara Damarpati yang jatuh
terperosok di lumpur tanah pesawahan benar benar sudah tidak berdaya.
Kiai
Sabda Dadi yang melihat cucunya tergolek tak berdaya di atas tanah yang
berlumpur hanya dapat menahan nafas. Jarak yang terlampau jauh tidak
memungkinkan baginya untuk sekali lagi menolong Damarpati.
Pada
saat yang mendebarkan itu, ketika kilatan pedang lawan sudah terayun deras
kearah Damarpati yang tergolek tidak berdaya, tiba tiba saja tanah berlumpur di
depan kedua lawan Damarpati itu bagaikan meledak. Tanah berlumpur yang
bercampur dengan uap air yang panas menyembur kearah kedua lawan Damarpati.
Terdengar
pekik kesakitan bercampur dengan umpatan kotor dari mulut kedua lawan
Damarpati. Lumpur panas itu ternyata telah menyiram hampir sekujur tubuh mereka
dibarengi dengan sebuah kekuatan yang dahsyat telah melemparkan mereka beberapa
langkah kebelakang sebelum akhirnya mereka terbanting jatuh di tanah yang becek
dan berlumpur.
Sejenak
mereka yang sedang bertempur itu pun telah berloncatan kebelakang untuk
mengambil jarak. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.
Damarpati
yang tergolek tidak berdaya itu pun terkejut menyaksikan kejadian di depan
matanya. Bagaimana mungkin tanah berlumpur di depannya bisa meledak dan
menyemburkan uap panas kearah kedua lawannya. Tentu ada seseorang yang telah
berbaik hati menolongnya. Menyadari hal itu, dengan tertatih taih Damarpati pun
segera bangkit berdiri.
Namun
baru saja Damarpati berhasil menegakkan tubuhnya di atas tanah berlumpur itu,
seseorang yang bertelanjang dada, memakai caping butut dan memanggul cangkul
lewat di depannya tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
Ki
Wasi Jaladara dan para pengikutnya menjadi berdebar debar. Penampilan orang yang
baru saja datang ini memang sangat tidak meyakinkan, penampilan seorang petani
yang baru saja menengok sawahnya pada malam hari untuk mendapatkan giliran air,
tapi dengan bukti tergeletaknya dua orang murid perguruan Liman Banawi dengan
sekali serang, benar benar lawan yang perlu diwaspadai.
Ketika
langkah orang bercaping itu hanya tinggal dua langkah di depan para pengawal
Tanah Perdikan menoreh, dengan perlahan di tanggalkannya caping bambunya.
Tampaklah seraut wajah tua namun dengan sepasang mata yang mencorong bagaikan
sepasang mata seekor kucing candra mawa yang bersinar di dalam gelap.
“Ki
Jayaraga..!” seru ketiga pengawal itu hampir berbareng.
“Ya,
ngger,” sapa orang bercaping itu yang ternyata adalah Ki Jayaraga yang sudah
demikian dikenal dikalangan para pengawal tanah Perdikan Menoreh.
“Kalian
terlalu yakin dengan melepas kuda-kuda itu,” berkata Ki Jayaraga sambil
meletakkan cangkulnya, “Aku menjumpai kuda-kuda itu sedang merumput di ujung
bulak ini. Kebetulan aku sedang menengok sawah untuk mendapatkan giliran air.
Begitu aku melihat kuda-kuda itu, segera saja aku telusuri dari arah mana kuda
kuda itu berasal.”
“Terima
kasih Ki Jayaraga,” jawab Santa mewakili teman temannya, “Tapi sebenarnyalah
kami berharap para peronda yang sedang nganglang yang akan menemukan kuda kuda
kami.”
Ki
Jayaraga menggeleng gelengkan kepalanya sambil menarik nafas dalam sekali.
Kemudian dihembuskannya nafas itu sambil berkata, “Tanah Perdikan ini sudah
kehilangan gairah. Dulu sebelum Agung Sedayu terlibat dalam perkembangan
pembentukan pasukan khusus di Menoreh, anak anak mudanya hampir setiap malam
memenuhi gardu gardu perondan. Namun kini karena kesibukan Agung Sedayu yang
telah menjabat sebagai pemimpin pasukan khusus itu, anak anak muda Tanah
Perdikan Menoreh kembali tertidur nyenyak.”
Kiai
Sabda Dadi yang sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan itu, tiba tiba
bergeser maju beberapa tindak, kemudian katanya sambil membungkukkan badannya
dalam dalam, “Aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan
Ki sanak terhadap cucuku Damarpati sehingga dia terhindar dari kemungkinan yang
terburuk.”
Ki
Jayaraga tertegun sambil berpaling memandangi Kiai Sabda Dadi yang berdiri
hanya beberapa langkah di sebelah kirinya, kemudian katanya sambil memutar
tubuhnya sehingga menghadap penuh ke arah Kiai Sabda Dadi, “Lupakan semua itu
ki sanak, sekarang apakah masih ada sesuatu yang dapat aku bantu?”
Namun
sebelum Kiai Sabda Dadi sempat menjawab, Ki Wasi Jaladara yang sedari tadi
hanya diam saja mendengarkan percakapan itu, tiba tiba telah tertawa
berkepanjangan. Sambil berpaling ke arah murid-muridnya dia pun berkata,
“Marilah kita lanjutkan pertempuran ini sekali lagi dengan tambahan lawan baru.
Jangan biarkan mereka lolos. Jangan hiraukan Parta juling dan Ranu yang sedang
tertidur di tanah berlumpur itu. Seandainya mereka mati, sebagai gantinya tidak
ada seorang pun dari mereka yang meninggalkan tempat ini hidup-hidup sebelum
fajar menyingsing.”
Kata
kata itu memang bagaikan aba-aba untuk para murid Liman Benawi. Segera saja
mereka bergerak melingkar mengepung Ki Jayaraga dan kawan kawannya.
Sejenak
kemudian pertempuran telah berkobar kembali dengan sengit. Ki Jayaraga sengaja
memancing beberapa murid dari perguruan Liman Benawi untuk mengeroyoknya agar
beban para pengawal tanah Perdikan Menoreh berkurang. Sedangkan Ki Jaladara
masih saja bertempur dengan ganasnya menyerang Kiai Sabda Dadi dengan keris luk
sembilannya.
Kepungan
yang dibuat oleh murid murid Liman Benawi ternyata telah pecah. Memang Ki
Jayaraga sengaja bertempur dengan lompatan lompatan yang panjang. Kadang dia
menyerang dengan dahsyatnya, cangkulnya terayun mendatar setinggi lambung
kemudian tiba-tiba berbelok menyodok ke depan. Ketika lawannya mencoba
menangkis dengan pedangnya, tanpa disadari oleh lawannya ternyata Ki Jayaraga
telah melenting kesamping menyerang lawan yang lainnya.
Dengan
demikian para murid perguruan Liman Benawi itu tidak mungkin lagi
mempertahankan kepungan mereka. Dengan sadar akhirnya mereka memilih mengeroyok
Ki Jayaraga bertiga, sedangkan tiga orang murid lainnya menghadapi Ketiga
pengawal tanah Perdikan Menoreh.
Tandang
Ki Jayaraga yang sedikit di luar kebiasaan bahkan cenderung aneh dengan
bersenjatakan cangkul melayani tiga orang murid perguruan Liman Benawi
sekaligus itu ternyata mampu memberikan nafas kepada Santa dan kawan kawannya.
Kini mereka bertiga hanya mempunyai lawan masing masing satu orang.
Sementara
itu Damarpati yang hampir kehabisan nafas kini duduk berselonjoran kaki diatas
tanggul. Dilepaskannya segala kepenatan dan kelelahan yang terasa meremukkan
seluruh persendian tubuhnya. Sambil sesekali meraup air dari parit yang bening,
dia berusaha membersihkan wajah dan pakaiannya yang berlepotan lumpur.
Ketika
kemudian wajahnya sudah bersih dari lumpur serta pakaiannya tidak terlalu kotor
lagi, dilemparkan pandangan matanya kearah pertempuran yang sedang berlangsung
dengan sengitnya. Sesekali Damarpati mengernyitkan keningnya mengikuti jalannya
pertempuran yang baginya sangat membingungkan. Dia melihat bagaimana orang yang
menolongnya dari bencana itu hanya dengan bersenjatakan sebuah cangkul mampu
meladeni tiga orang sekaligus yang bersenjatakan pedang yang nggegirisi.
Memang
Ki Jayaraga tidak mau mengambil keputusan yang tanggung tanggung. Didesaknya
lawan lawannya dengan putaran cangkulnya yang kadang mengeluarkan suara dengung
seperti ribuan lebah ketika cangkul itu diputar diatas kepala Ki Jayaraga,
namun kemudian cangkul itu seakan akan berubah menjadi berpuluh puluh dan dapat
menangkis setiap serangan dari ketiga lawannya walaupun serangan itu datangnya
dari arah yang berbeda.
Sebenarnyalah
ketiga lawan Ki Jayaraga benar benar sudah mengalami kesulitan untuk membendung
gempuran Ki Jayaraga. Mereka bertiga dengan pontang panting kadang kadang harus
berloncatan menjauh ketika mata cangkul itu hampir saja menyambar leher mereka.
Kadang kadang dengan sekuat tenaga mereka mencoba menangkis ayunan cangkul itu,
tapi ternyata justru pedang merekalah yang hampir terlontar jatuh, sehingga
dengan tergesa gesa mereka meloncat mundur untuk memperbaiki keadaan.
Ki
Wasi Jaladara yang melihat kesulitan ketiga muridnya menghadapi Ki Jayaraga
berkali kali hanya dapat mengumpat dalam hati. Lambat laun tapi pasti murid
mutridnya itu terdesak dan hanya dapat bertempur sambil mundur dan mundur terus.
Hal ini apabila dibiarkan terus akan sangat merugikan kedudukan mereka.
Mempertimbangkan
keadaan ketiga muridnya itu, Ki Wasi Jaladara segera mengambil keputusan
sebelum keadaan semakin parah. Tiba tiba saja dari mulutnya terdengar suitan
nyaring dua kali berturut turut.
Baik
Kiai Sabda Dadi maupun Ki Jayaraga dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
segera menyadari bahwa lawan lawan mereka sedang merencanakan sesuatu yang
mungkin dapat menyulitkan kedudukan mereka.
Demikianlah
ketika gema suara suitan itu telah lenyap dalam kegelapan malam, Ki Wasi
Jaladara dan murid muridnya telah melakukan gerakan berputar yang aneh.
Serentak mereka berlari larian sambil menyerang lawan siapa saja yang ada di
dekat mereka. Dengan sengaja mereka mencoba mempengaruhi keseimbangan
pertempuran.
Ki
Jayaraga terkejut ketika tiba tiba saja dia telah kehilangan ketiga lawannya,
sebagai gantinya sebuah serangan yang dahsyat telah menerjangnya. Ternyata Ki
Wasi Jaladara telah bertukar lawan dengan meninggalkan Kiai Sabda Dadi dan
menyerang Ki Jayaraga. Sementara murid murid lainnya pun berbuat serupa dengan
gurunya, bergantian menyerang Kiai Sabda Dadi dan para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh.
Untuk
sejenak pertempuran menjadi kacau. Mereka tidak dapat memilih lawan. Siapa saja
yang berada di dekatnya adalah lawan yang harus dihadapi tanpa pandang bulu.
Ketika
pertempuran itu menjadi semakin kisruh, tiba tiba sekali lagi terdengar sebuah
suitan nyaring yang melengking dan panjang. Agaknya Ki Wasi Jaladara akan
membuat kejutan lagi, terbukti bersamaan dengan hilangnya suara suitan itu, Ki
Wasi Jaladara dan murid muridnya berloncatan mudur sejauh jauhnya, dan sebelum
lawan lawannya menyadari apa yang akan terjadi, berlarik larik sinar putih
menyambar kearah mereka.
Alangkah
terkejutnya Kiai Sabda Dadi dan kawan kawannya ketika menyadari bahwa beberapa
pisau belati seakan terbang mengarah ke dada mereka.
Kiai
Sabda Dadi dan Ki Jayaraga dengan cepat segera dapat menyesuaikan diri dengan
serangan jarak jauh itu. Dengan menggeser tubuh mereka miring kesamping, belati
belati itu lewat hanya setebal jari dari dada mereka.
Namun
tidak demikian dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kemampuan dan
kecepatan mereka dalam menghindari serangan jarak jauh itu ternyata terlambat
beberapa kejab saja. Walaupun mereka mampu bergerak menghindar, namun kalah
cepat dengan datangnya pisau belati lawan yang meluncur deras bagaikan anak
panah yang dilepas dari busurnya.
Segera
saja terdengar beberapa keluhan tertahan ketika belati belati itu mampu menggapai
bagaian tubuh mereka dan meninggalkan segores luka yang menganga.
Santa
tampak meringgis sambil mendekap pangkal lengannya yang mengalirkan darah
segar. Untunglah walaupun agak terlambat dia menghindar, namun tak urung pisau
belati yang mengarah ke jantung itu sempat melukai pangkal lengannya.
Sementara
dua orang pengawal lainnya keadaannya ternyata lebih parah. Masing masing di
pundak mereka telah terdapat luka yang menganga. Sambil terhuyung huyung
kebelakang mereka berdua mencoba mempertahankan kedudukan mereka dari
kemungkinan serangan berikutnya.
Ki
Jayaraga yang tanggap dengan keadaan itu segera meloncat kedepan para pengawal
yang sedang terluka itu untuk melindungi dan menahan kemungkinan serangan
berikutnya, namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapatkan lawana lawannya
ternyata telah melarikan diri pada saat dia dan Kiai Sabda Dadi sedang
memperhatikan para pengawal yang sedang terluka. Masih terlihat sekilas Ki Wasi
Jaladara dan murid muridnya berlari larian sepanjang pematang kemudian hilang
dikelokan jalan.
Hampir
saja Kiai Sabda Dadi meloncat dan berlari mengejar mereka, namun niat itu
segera diurungkannya bersamaan dengan terdengarnya keluhan dari para pengawal
yang terluka.
Sebagai
orang yang mengerti tentang ilmu pengobatan, tentu saja Kiai Sabda Dadi tidak
akan membiarkan Santa dan kawan kawannya menderita lebih lama. Segera
diperiksanya luka luka itu. Ketika mendapati bahwa luka itu ternyata tidak
beracun, Kiai Sabda Dadi pun segera menaburkan serbuk obat diatas luka luka
itu. Kemudian untuk memperkuat daya tahan tubuh mereka yang telah mengeluarkan
cukup banyak darah, Kiai Sabda Dadi memberikan beberapa butiran obat untuk
ditelan.
Demikianlah
pertempuran itupun akhirnya berakhir. Damarpati yang sedang duduk diatas
tanggul segera meluncur turun dan berlari mendapatkan kakeknya.
“Kek,”
bertanya Damarpati diantara deru nafasnya yang memburu, “Mengapa mereka
dibiarkan lolos?”
“O..?”
jawab kakeknya sambil membetulkan letak ikat kepalanya, “Jadi engkau berniat
untuk mengejar mereka? silahkan Damarpati kalau memang engkau merasa punya
kemampuan untuk melakukan itu.”
“Ah,
Kakek ini,” rajuk Damarpati, “Bukan aku yang harus mengejar mereka, tapi Kakek
dan orang itu.”
Berkata
demikian Damarpati menunujk ke arah Ki Jayaraga yang sedang membantu para
pengawal bangkit berdiri.
“He..!”
seru Kakeknya pura pura terkejut, “Mengapa engkau membebankan tugas itu kepada
kami berdua? Bagaimana dengan engkau sendiri?”
“Aku
kan belum menguasai olah kanuragan.” Jawab Damarpati dengan cepat
“Jadi..”
sahut kakeknya tak kalah cepat, “Mulai saat ini engkau akan bersungguh sungguh
mempelajari dan menguasai ilmu olah kanuragan?”
“Ah…”
rona merah segera mewarnai wajah Damarpati, kemudian tanpa mengucapkan sepatah
katapun dia berjalan menepi dan duduk diatas sebuah batu.
Kiai
Sabda Dadi hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil menggeleng gelengkan
kepalanya. Dia hanya dapat berdoa dan berharap, semoga apa yang baru saja
terjadi ini dapat memberikan pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi
cucunya itu.
Ketika
kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut sahutan dari arah ujung bulak
dowo itu, mereka yang baru saja mengalami pertempuran yang dahsyat itu segera
berkemas.
“Kek,”
tiba tiba Damarpati bangkit dari duduknya, “Bagaimana dengan dua orang yang
tergeletak di tengah sawah itu?”
“Mereka
telah pergi sedari tadi, ngger,” Ki Jayaragalah yang menyahut, “Ternyata mereka
hanya pingsan saja. Begitu mereka siuman dan mendengar isyarat dari gurunya,
mereka telah melarikan diri sebelum kawan kawan mereka.”
Damarpati
sejenak tertegun merenungi wajah tua Ki Jayaraga, katanya kemudian, “ Siapakah
Kakek ini?”
Ki
Jayaraga tersenyum. Dengan sekali pandang saja timbul rasa sukanya terhadap
pemuda tanggung yang tampan ini, “Orang memanggilku Ki Jayaraga. Aku adalah
orang yang kleyang kabur kanginan, tidak punya tempat menetap di muka bumi ini
sampai Ki Gede Menoreh berbaik hati memberikan tempat berteduh serumah dengan
Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Ki
Rangga Agung Sedayu kakak seperguruan Ki Swandaru yang di Sangkal Putung?” lanjut
Damarpati.
“Ya,
ngger. Agaknya engkau sudah mengenal putra Ki Demang Sangkal Putung yang kaya
raya itu.” Jawab Ki Jayaraga sambil mengenakan caping bambunya kembali dan
meletakkan cangkul dipundak kanannya.
“Ya
Kek, kami baru saja dari Sangkal Putung dan Kakekku telah mengobati Ki Swandaru
yang sedang terluka setelah berperang tanding dengan..”
“Damarpati..!”
cepat cepat Kiai Sabda Dadi memotong ucapan cucunya, kemudian sambil berpaling
dan mengangguk hormat ke arah Ki Jayaraga dia berkata, “Maafkan cucuku ini yang
terlampau banyak bicara, sesungguhnyalah kami akan menghadap Ki Gede Menoreh
untuk menyampaikan berita penting dari Sangkal Putung.”
Segores
kepedihan terasa menusuk jantung Ki Jayaraga. Sebagai orang tua yang sudah
banyak pengalaman, panggraitanya yang tajam telah menangkap sesuatu yang tidak
wajar telah terjadi di Sangkal Putung.
“Marilah,”
akhirnya Ki Jayarag mempersilahkan yang ada di tengah tengah bulak dowo itu
untuk segera meninggalkan tempat, “Mumpung matahari belum terbit sebaiknya kita
segera meninggalkan tempat ini menuju ke kediaman Ki Argapati.”
Demikianlah
akhirnya, rombongan itu segera bergeser meninggalkan bekas pertempuran yang
nggegirisi. Damarpati dengan kepala tunduk dan langkah yang tersaruk saruk
berjalan di depan. Di belakangnya dua orang pengawal yang terluka cukup parah
telah dipapah oleh Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi, sedangkan Santa yang
terluka tidak begitu parah telah berjalan di paling belakang sambil mengamati
keadaan.
Ketika
rombongan itu telah hampir mencapai ujung bulak, dalam keremangan sisa sisa
malam, tampak lima ekor kuda sedang merumput dengan tenangnya di pinggir jalan.
Damarpatilah yang pertama tama berteriak gembira setelah mengenali salah satu
dari kuda kuda itu adalah kudanya, kuda pemberian Pandan Wangi, menantu Ki
Demang Sangkal Putung.
Kiai
Sabda Dadi hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil mengucapkan syukur yang
tak tehingga. Seandainya saja Yang Maha Agung tidak berkenan menolong mereka
melalui kehadiran Ki Jayaraga, harapan satu satunya tentang kuda kuda mereka
yang akan ditemukan oleh para peronda atau penjaga regol, tentu tidak akan
pernah datang.
Dengan
perlahan dua orang pengawal yang terluka itu dinaikkan keatas punggung kuda.
Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga harus berkuda berdua dengan pengawal yang
terluka itu agar dapat menjaga mereka selama di atas punggung kuda. Sementara
Santa dan Damarpati masing masing telah diatas punggung kuda, sedangkan seekor
kuda yang tersisa telah ditambatkan di belakang pelana kuda Santa.
Iring
iringan itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan perlahan lahan. Kuda kuda
mereka sama sekali tidak berlari di atas jalan berbatu batu menuju padukuhan
induk Perdikan Menoreh. Kuda kuda itu seolah olah mengerti bahwa mereka sedang
membawa beban yang terluka parah sehingga setiap goncangannya akan dapat
memperburuk keadaan mereka.
Rombongan
itu ternyata telah menarik perhatian ketika melewati gardu induk. Beberapa
pengawal yang duduk di gardu sambil berselimut kain panjangnya telah terkejut
ketika melihat rombongan itu berjalan dengan perlahan mendekati regol padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan cepat tiga orang segera berloncatan
menghadang jalan, sementara tiga pengawal lainnya turun dari gardu dan bergeser
ke tepi jalan.
Sebelum
para pengawal yang bertugas itu sempat mengajukan pertanyaan, ternyata Ki
Jayaraga telah menggerakkan kudanya ke depan sambil membuka capingnya dengan
tangan kiri, sementara tangan kanannya tetap memegang kedali kuda sambil
menjaga keseimbangan tubuh pengawal yang terluka di depannya.
“Apakah
kalian mengenalku?” bertanya Ki Jayaraga sambil menghentikan langkah kudanya.
Para
pengawal yang sedang bertugas itu sejenak ragu ragu, namun keremangan pagi yang
mulai menerangi Tanah Perdikan Menoreh telah memperjelas siapakah yang duduk
diatas kuda sambil menjaga seseorang yang kelihatannya sedang terluka.
“Ki
Jayaraga,” hampir berbareng para pengawal itu berdesis.
“Terima
kasih, kalian telah mengenalku. Sekarang ijinkanlah kami menuju kediaman Ki
Gede untuk memberikan laporan tentang apa yang telah terjadi.” Jawab Ki
Jayaraga sambil menggerakkan kendali kudanya.
Ketiga
pengawal yang berdiri di tengah jalan itu sebenarnya masih ingin mengajukan
beberapa pertanyaan lagi, namun seolah olah kata kata mereka tertelan kembali
dan akhirnya mereka segera menepi dan membiarkan saja rombongan itu meneruskan
perjalanannya.
Ketika
salah seorang dari pengawal yang sedang bertugas itu sempat memandang Damarpati
yang berkuda di samping Kakeknya. Tampak kening pengawal itu berkerut merut.
“He,
engkau lihat anak muda yang tampan itu?” bisik pengawal itu kepada kawan di
sebelahnya.
“Ya,”
jawab kawannya juga dengan berbisik, “Apakah ada yang aneh?”
”Menurutku
anak muda itu terlalu tampan, bahkan cenderung cantik,”
“Ah,
macam kau,” gerutu kawannya, “Apakah engkau sudah kesulitan membedakan antara
tampan dan cantik? Aku khawatir jangan jangan engkau pun kesulitan membedakan
perempuan dan laki laki.”
“Gila,”
geram pengawal yang memperhatikan Damarpati, “Aku tidak sebodoh itu. Justru
engkaulah yang mungkin kesulitan, karena kalau aku melihat sepintas, istrimu
itu mirip laki laki, tinggi tegap dan berotot.”
“Jangan
gila,” kini pengawal yang di sebelahnya itulah yang menggeram, “Istriku
perempuan tulen, walaupun ujudnya memang demikian, tapi kami sudah dikaruniai
empat orang anak. Sedangkan istrimu yang lemah gemulai itu tak satupun
memberimu anak sampai sekarang. He.. apakah engkau yang mungkin perlu
bantuanku?”
“Tutup
mulutmu yang kotor itu,” bentak pengawal yang memperhatikan Damarpati itu,
“Jangan coba coba mengganggu rumah tanggaku, sak dumuk bathuk sak nyari bumi,
tak belani taker pati.”
Selesai
berkata demikian pengawal itu telah melangkah surut sambil menghunus pedangnya.
Kawan
kawannya yang telah melangkah kembali menuju ke gardu terkejut mendengar ribut
ribut itu. Sambil melangkah kembali mendekati dua orang yang sedang berhadap
hadapan itu, pengawal yang tertua segera berdiri di tengah tengah sambil
berkata, “Sarungkan pedangmu! Segala kesalah pahaman harus dibicarakan dengan
kepala dingin walaupun gejolak hati kalian bagaikan meruntuhkan bukit.”
Pengawal
yang menghunus pedang itu sejenak termanggu mangu, katanya kemudian sambil
menggeram, “Dia mencoba menghinaku. Bagiku kehormatan adalah segala galanya,
kalau perlu taruhannya adalah nyawa.”
“Apakah
yang sudah aku lakukan, he..!” tiba tiba pengawal yang sudah beranak empat itu
berteriak, “Bukankah aku hanya menawarkan sebuah bantuan?”
“Aku
tidak butuh bantuanmu..!” bentak pengawal yang menghunus pedang itu, “Kata
katamu itu telah menghinaku. Menghina sebagai seorang laki laki sekaligus
sebagai seorang suami.”
“Sudahlah,
sudahlah,” pengawal yang tertua itu mencoba melerai, kemudian katanya kepada
pengawal yang telah beranak empat itu, “Apakah yang telah engkau katakan
kepadanya?”
Pengawal
yang beranak empat itu sejenak termangu mangu. Dengan ragu ragu dipandanginya
wajah pengawal yang tersinggung harga dirinya itu, namun akhirnya dia pun
memberanikan diri berkata, “Bukan maksudku untuk menghinanya, aku hanya
menawarkan bantuan seandainya dia masih kesulitan untuk mendapatkan keturunan.”
“Nah,”
sahut pengawal yang tersinggung itu dengan cepat, “Apakah kata kata itu tidak
menyinggung harga diriku sebagai laki laki sekaligus sebagai suami?”
Pengawal
tertua itu mengerutkan keningnya dalam dalam, dengan ragu ragu dia bertanya
sambil memandang tajam ke arah pengawal yang beranak empat itu, “Bantuan apakah
yang engkau maksudkan?”
Pengawal
yang beranak empat itu menjadi berdebar debar, namun akhirnya dia pun
membulatkan tekadnya untuk mengatakan yang sesungguhnya, “Aku mengenal seorang
Tabib di sekitar Kademangan Prambanan. Dia bisa menolong orang orang yang
kesulitan untuk mendapatkan keturunan. Dengan semacam ramuan yang diminum
setiap hari dalam batas waktu yang tertentu, ternyata banyak pasangan suami
istri yang berhasil.”
“O..”
wajah wajah yang tegang pun segera mencair, sementara pengawal yang tersinggung
itu masih menampakkan wajah yang tegang walaupun sepercik keragu raguan mulai
menghiasi wajahnya dan pedang yang digenggamnya sudah menunduk ke tanah.
“Sudahlah,
kita akhiri kesalah pahaman ini, “ akhirnya pengawal tertua itu mencoba
mencairkan suasana, “Dan kau Jinten, sarungkan pedangmu. Pergilah ke banjar
mengambil ransum kita pagi ini, sebelum para pengawal yang bertugas jaga pagi
menggantikan kita.”
Demikianlah
akhirnya dengan bersungut sungut, pengawal yang tersinggung itu yang ternyata
bernama Jinten dengan terpaksa menyarungkan pedangnya. Sambil melangkah
meninggalkan gardu, dia masih mencoba berpaling ke arah pengawal yang telah
beranak empat itu, namun dia tidak mendapatkan kesan apapun karena pengawal
yang di pandanginya itu justru telah menundukkan kepalanya.
—oOo—
Sementara
itu warna warna cerah mulai menghiasi langit sebelah timur. Sinar matahari yang
merah bercampur kuning keemasan menimpa mega mega yang berarak membujur dari
utara ke selatan. Mega mega itu begitu indah tertimpa sinar matahari menjelang
pagi.
Seekor
burung kepodang tampak sedang terbang membumbung tinggi. Dikepakkan sayapnya
berkali kali untuk menambah kecepatan terbangnya. Ketika dirasakannya ketinggian
itu sudah cukup, dibentangkan kedua sayapnya lebar lebar sambil menentang angin
yang bertiup. Burung kepodang itupun seolah olah melayang layang tanpa bobot di
langit yang biru.
Pagi
yang benar benar indah, matahari bersinar dengan cerahnya, menembus batas
sampai ke tempat tempat yang paling gelap sekalipun, jurang jurang yang dalam,
relung relung goa yang pengap, dan lembah lembah yang masih tertutup kabut
serta hutan hutan yang lebat dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan tumbuh
pepat berjajar jajar.
Sinar
matahari yang benderang itu juga berusaha menembus dan menggapai lekuk lekuk
dan ceruk ceruk yang gelap itu untuk berbagi penerangan, berbagi keindahan.
Namun apa daya, terkadang sinar matahari yang kuat sekalipun tak mampu
menembusnya.
Kegelapan
terasa masih melingkupi hutan lebat di sisi selatan Kademangan Sambit. Hutan
yang nyaris tak tersentuh oleh tangan tangan manusia. Kademangan yang berada di
sisi selatan Kadipaten Panaraga itu memang masih sepi. Penduduk yang bermukim
masih mengandalkan penghasilan mereka dari bercocok tanam di lahan lahan yang
sempit. Belum terpikirkan oleh mereka untuk memperluas lahan garapan dengan
menebang hutan di sisi selatan yang masih sangat luas. Pengetahuan mereka yang
masih sangat sempit tentang olah tetanen dan ketidak beranian untuk melanggar wewaler dalam berjuang memperbaiki nasib masih
merupakan sifat turun temurun yang mereka warisi dari nenek moyang.
Setelah
hutan yang lebat di sisi selatan Kademangan Sambit, masih ada lagi hutan yang
tak kalah lebatnya. Hutan yang menyambung dari sisi selatan Kademangan Sambit
menuju dataran yang tinggi dan berakhir pada sebuah gunung yang menjulang
tinggi, Gunung Bayangkaki.
Gunung
Bayangkaki terlihat berdiri megah dengan puncaknya yang terkenal angker, Puncak
Genthong. Dinamakan demikian karena bentuk puncak itu yang menyerupai sebuah
genthong. Hutan yang masih perawan menutup hampir seluruh dataran yang menuju
ke puncak Gunung Bayangkaki. Selain masih dihuni bermacam macam binatang buas
dan berjenis jenis binatang beracun, hutan di sekitar Gunung Bayangkaki juga
terkenal angker karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Prabu Bathoro
Katong pendiri Kadipaten Panaraga yang telah mrayang dan mendirikan kerajaan siluman di
puncak itu.
Ki
Rangga Agung Sedayu sejenak termangu mangu memandangi puncak gunung Bayangkaki
yang menjulang tinggi. Setelah menembus hutan lebat di sisi selatan Kademangan
Sambit, kini dia berhadapan dengan hutan belantara yang tak kalah ganasnya,
hutan yang menutup hampir seluruh dataran gunung Bayangkaki.
Perlahan
Ki Rangga Agung Sedayu merantas tanaman tanaman merambat dan sulur sulur yang
menghalang jalannya. Dengan sesekali meloncati pokok pokok pepohonan yang roboh
karena dimakan usia atau mungkin angin puting beliung pernah singgah di wilayah
itu, Ki Rangga maju beberapa tombak lagi sebelum akhirnya duduk melepaskan
lelah di atas sebuah akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah.
Matahari
masih belum terlalu tinggi. Sinarnya kadang kadang mampu menembus di sela sela
rimbunnya dedaunan sehingga menciptakan lingkaran lingkaran cahaya yang menari
nari di atas tanah yang lembab. Seekor lipan sebesar ibu jari kaki orang dewasa
tampak menyusup diantara daun daun kering dan ranting ranting busuk yang
menutupi hampir seluruh permukaan tanah di hutan itu.
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum. Hutan ini begitu tenang dan damai namun
sesungguhnya menyimpan bahaya yang tak disangka sangka. Beberapa jenis binatang
beracun dari mulai seekor ular bandotan sampai kalajengking, lipan dan
sebagainya masih banyak tersebar di seluruh hutan itu. Sedangkan binatang buas
yang lebih besar lagi seperti harimau, ular sanca dan kadang kadang
segerombolan anjing hutan juga masih banyak di jumpai.
Angin
yang bertiup sepoi-sepoi serta dendang merdu kicau burung burung liar ditingkah
dengan teriakan monyet-monyet di kejauhan, membuat Ki Rangga Agung Sedayu
terlena. Dia sudah semalaman berjalan dari kota Panaraga menuju ke Kademangan
Sambit lewat Kademangan Jetis yang sepi, kemudian menembus hutan di sisi
selatan sampai di kaki Gunung Bayangkaki di pagi hari itu, telah membuat
tubuhnya terasa lelah. Walaupun Ki Rangga adalah seorang yang tangguh tanggon
dan mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa, namun suasana yang tenang dan
damai serta angin yang begitu lembut bertiup telah membuat Ki Rangga duduk
terkantuk-kantuk.
Ketika
kantuk itu sudah hampir tak tertahankan lagi, tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu
tersentak kaget ketika lamat-lamat telinganya yang sangat terlatih itu
mendengar suara tembang. Suara tembang di tengah hutan belantara yang ngelangut
namun sangat jelas terdengar di telinganya.
Perlahan
lahan Ki Rangga berdiri sambil meluruskan tubuhnya. Sejenak suara tembang itu
bagaikan lenyap tertiup angin pagi di tengah hutan yang sunyi itu.
amun
beberapa saat kemudian tembang itu kembali terdengar, tembang dandang gula yang
penuh berisi tentang tuntunan kehidupan dari seorang Wali yang waskita.
“Kidung
rumeksa ing wengi,” desis Ki Rangga Agung Sedayu sambil tersenyum dalam
hati. Kidung ini memang biasanya dilantunkan di malam hari, tapi orang yang di
tengah hutan belantara ini melantunkannya di pagi hari, sehingga kedengarannya
agak aneh.
Suara
tembang itu timbul tenggelam diantara suara gererisik dedaunan yang tertiup
angin. Sesekali suara itu berhenti yang entah karena apa, mungkin orang yang
sedang mendendangkan tembang itu sedang sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin
hanya tidur tiduran saja dibawah sebatang pohon yang rindang.
Ki
Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk melihat dari dekat, siapakah yang
melantunkan tembang di tengah rimba raya ini? Kalaupun itu manusia, pasti bukan
orang kebanyakan yang berani menembus lebatnya hutan yang masih liar dan
angker.
Sambil
sesekali menyibakkan gerumbul gerumbul yang menghalang jalannya, selangkah demi
selangkah Ki Rangga Agung Sedayu mendekati sumber suara tembang itu. Ketika
suara tembang itu semakin jelas terdengar, di antara rimbunnya pepohonan Ki
Rangga melihat seseorang sedang duduk di atas puthuk sambil bertelanjang dada.
Bajunya yang berwarna hitam kusam itu disampirkan saja di atas pundaknya,
sedangkan ikat kepalanya yang juga berwarna hitam diikatkan agak rendah di
kepalanya sehingga hampir menutupi kedua alis matanya yang berwarna seputih
kapas.
Untuk
sejenak, Ki Rangga Agung Sedayu berdiri termangu mangu. Panggraitanya yang
tajam mengisyaratkan bahwa dia berhadapan dengan bukan orang kebanyakan.
Menilik bentuk tubuhnya yang masih tegap walaupun kulitnya sudah keriput dan
rambutnya sudah putih semua seperti kapas. Suaranya masih lantang terdengar
dengan jelas walaupun jarak orang itu dengan Ki Rangga Agung Sedayu ketika
pertama kali mendengar tembang itu dilantunkan cukup jauh. Semua itu dapat
disimpulkan bahwa Ki Rangga sedang berhadapan dengan seseorang yang pilih
tanding.
Dengan
sengaja Ki Rangga Agung Sedayu berjalan mendekat sebagaimana orang kebanyakan,
langkahnya berat dan nafasnya memburu sehingga orang yang sedang duduk di atas
puthuk itu segera menyadari kehadirannya dan berpaling kearahnya.
“O,”
orang tua itu segera meluncur turun dari puthuk yang didudukinya, kemudian
dengan tergesa gesa dikenakan pakaiannya yang berwarna hitam kusam.
“Silahkan
, silahkan,” berkata orang tua itu kemudian sambil mempersilahkan Ki Rangga
Agung Sedayu, “Suatu kehormatan bagiku dapat bertemu dengan Senopati Agul-Agul
Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Tersirap
darah Ki Rangga Agung Sedayu mendengar namanya disebut. Sudah dua kali ini dia
bertemu orang yang mengetahui jati dirinya. Apakah orang ini juga mengetahui
segala yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya?
“Terima
kasih Ki sanak, “ jawab Ki Rangga Agung Sedayu berusaha menguasai debar
jantungnya, “Ki Sanak telah mengetahi namaku, jika tidak keberatan, apakah aku
diperbolehkan mengetahui nama Ki Sanak?”
Orang
tua itu tersenyum sareh, kemudian jawabnya, “Nama bagiku tidaklah terlalu
penting. Aku dapat saja menyebut diriku dengan nama nama yang aneh bahkan
terdengar mengerikan sekalipun. Tapi apakah itu akan berpengaruh terhadap Ki
Rangga Agung Sedayu, Senopati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di
Menoreh?”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam untuk mengurangi getar di
dadanya, katanya kemudian, “Nama bagiku akan sangat berarti. Dengan nama itulah
kita dikenal walaupun mungkin hanya nama samaran yang Ki Sanak berikan, namun
setidaknya aku dapat menyebut sebuah nama untuk memanggil Ki Sanak.”
Orang
tua itu kembali tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian
sambil melangkah menuju tempat yang agak lapang dia berkata, “Marilah Ki
Rangga, sebaiknya kita berbicara sambil duduk duduk di bawah rindangnya
pepohonan, agar hati menjadi tenang dan pikiran menjadi tentram.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tidak bisa menolak. Diikuti saja langkah orang tua itu
menuju ke bawah pohon yang cukup rindang. Setelah sejenak mengamat amati tempat
yang akan diduduki, Ki Rangga pun akhirnya duduk berhadap hadapan dengan orang
tua itu yang hanya berjarak sekitar dua depa.
“Aneh,”
desis orang tua itu, “Mengapa Ki Rangga masih memilih milih tempat untuk duduk?
Apakah Ki Rangga takut dengan binatang beracun, ular, lipan, kalajengking dan
sebagainya? Bukankah Ki Rangga mempunyai ilmu kebal dari segala jenis senjata
tajam dan juga kebal dari segala jenis racun?”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang tua ini mengetahui benar akan
kemampuan ilmunya. Namun demikian dia menjawab juga, “Bagiku selalu bersikap
hati hati dalam keadaan apapun adalah awal dari sebuah kewaspadaan. Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi denganku dan apakah aku akan mampu mengatasi setiap
kesulitan yang mungkin akan menimpa diriku dengan landasan ilmuku. Untuk itulah
aku selalu berhati hati dalam mengambil sikap sebagai bentuk dari usaha yang
nyata, sedangkan hasil akhir tetap aku pasrahkan sebagai perwujudan dari
harapan dan doa kepada Yang Maha Agung yang menguasai dan memiliki hidup kita
ini.”
“Luar
biasa,” kembali orang tua itu berdesis perlahan sambil menggeleng gelengkan
kepalanya, “Seseorang yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin, namun
tetap rendah hati dan pasrah kepada Kuasa Tertinggi di Jagad Raya ini.”
“Ki
Sanak terlalu memuji,” potong Ki Rangga Agung Sedayu cepat, “Apa yang aku
katakan tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang pernah diajarkan oleh
Guruku. Sebagai murid, aku hanya berusaha mewujudkan apa yang telah diarahkan
oleh Guruku. Aku sama sekali tidak membuat suatu hal yang baru, aku hanya
mencoba meniru, itupun sebatas kemampuanku.”
Orang
tua itu sejenak termenung. Seperti ada yang sedang dipikirkannya. Pandangannya
jauh menerawang menembus pepohonan yang tumbuh berjajar jajar saling merapat
bahkan kadang saling membelit. Mata tua itu tampak lelah mencoba melihat titik
titik di kejauhan yang seakan tak mungkin terjangkau.
“Aku
juga mempunyai seorang murid,” orang tua itu bergumam seolah olah kepada
dirinya sendiri, “Namun harapan tinggallah harapan. Muridku itu lebih mengedepankan
gebyaring kamukten dunia dari pada sisi lain dari hidup ini yang justru akan
dapat membawa kita kepada kebahagiaan yang abadi.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tertegun. Agaknya orang tua ini merasa kecewa dengan
muridnya yang entah oleh sebab apa tidak dapat mewujudkan segala tuntunan dan
cita cita Gurunya.
“Sedari
tadi aku belum mengetahui nama Ki Sanak, bolehkah aku mengetahuinya sekarang?”
akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memberanikan diri bertanya untuk mencoba
mengalihkan pembicaraan yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang tua itu.
Orang
tua itu memandang Ki Rangga Agung Sedayu dengan ragu ragu. Setelah melemparkan
pandangan matanya ke pucuk pucuk dedaunan yang beriak riak tertiup angin,
perlahan dia menjawab, “Aku tidak akan memberitahu jati diriku sebelum kita
mengikatkan diri dengan sebuah perjanjian.”
“Perjanjian?”
ulang Ki Rangga Agung Sedayu, “Perjanjian apakah itu?”
Untuk
kesekian kainya orang tua itu masih ragu ragu, namun kemudian katanya, “Marilah
kita berjanji untuk tidak saling melibatkan diri dalam pertikaian yang sedang
terjadi dalam keluarga Istana Mataram. Biarlah mereka menyelesaikan masalah
keluarga itu dengan cara mereka sendiri. Walaupun sebagai prajurit, Ki Rangga
pantang menolak perintah, namun permasalahan mendasar yang terjadi antara
Mataram dan Panaraga adalah kepentingan pribadi dalam lingkup keluarga Istana
Mataram itu sendiri.”
Untuk
sejenak Ki Rangga Agung Sedayu terdiam membeku. Dengan kemampuan panggraitanya
yang tajam, segera saja Ki Rangga Agung Sedayu dapat menyimpulkan dengan siapa
dia berhadapan.
“Ki
Singa Wana Sepuh,” tanpa sesadarnya nama itu terucap dari mulut Ki Rangga.
“Engkau
benar, Ki Rangga,” perlahan orang tua yang ternyata Ki Singga Wana Sepuh itu
mengangguk, “Aku sudah menunggumu seharian disini. Jangan dikira Kadipaten
Panaraga tidak memiliki prajurit sandi yang mumpuni. Memang semua itu disengaja
agar kita bisa bertemu disini dan saling berkenalan. Sudah lama aku mendengar
nama besar Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata jauh dari cerita cerita yang
selama ini berkembang di seluruh bumi Mataram. Yang aku temui adalah seorang
yang benar benar sudah matang lahir batin.”
“Engkau
terlalu memuji, Ki Singa Wana Sepuh,” sahut Ki Rangga, “Justru akulah yang
terkejut melihat kenyataan yang aku hadapi. Ternyata guru orang yang mengaku
Pangeran Ranapati itu adalah orang yang pinunjul
ing apapak. Berbeda dengan muridnya yang..”
“Yang
tamak dan sombong,” Ki Singa Wana Sepuh lah yang meneruskan kata kata Ki Rangga
Agung Sedayu, kemudian lanjutnya, “Sebenarnyalah Ranapati itu memang terlahir
dari trah darah biru. Dia lahir jauh sebelum Raden Sutawijaya menjadi Raja di
Mataram. Perkenalan Raden Ngabehi Loring Pasar dengan ibu Ranapati itu terjadi
pada masa masa pembajaan ketika dia berkelana untuk ngangsu kawruh dari berbagai Guru, Pertapa, orang
sakti yang di dampingi oleh Ki Juru Martani yang sekarang menjadi Patih di
Mataram. Tanyakanlah kepadanya, seharusnya dia jujur walaupun Ranapati tidak
berhak atas tahta, karena kelahirannya memang tidak dikehendaki dan sudah
menjadi perjanjian bahwa keturunan dari hasil perkawinan Loring Pasar dengan
ibu Ranapati tidak akan diakui sebagai keluarga Mataram.”
Tanpa
disadarinya, Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menarik nafas
dalam dalam. Satu lagi kisah pilu yang ditorehkan oleh segelintir orang orang
yang merasa dirinya mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan. Orang orang yang
merasa dirinya sebagai trahing
kusumo rembesing madu, berdarah biru, yang dapat berbuat sekehendaknya
tanpa ada paugeran yang membatasi, karena sebenarnyalah menurut anggapan
mereka, segala paugeran yang berlaku itu hanyalah diperuntukkan bagi kawula
alit.
Matahari
bersinar semakin terik di siang hari itu, namun suasana di dalam hutan di kaki
gunung Bayangkaki itu terasa sejuk dan damai. Angin yang bertiup menerobos di
sela-sela dedaunan dan gerumbul-gerumbul liar menimbulkan bunyi seperti air bah
yang meluncur dari tebing-tebing yang tinggi menuju lembah. Sedangkan suara
kicau burung-burung liar sesekali masih terdengar bersahut-sahutan.
“Dimanakah
Ibunda Pangeran Ranapati sekarang ini?” tiba-tiba pertanyaan itu meluncur
begitu saja dari bibir Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebuah
kerutan yang dalam menghiasi kening Ki Singa Wana Sepuh, namun kemudian
jawabnya, “Ibunda Ranapati masih hidup dan tinggal di sebuah kademangan yang
sepi di lereng gunung Merapi sebelah timur, kademangan Cepaga. Apakah Ki Rangga
bermaksud untuk membuktikannya?”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum penuh arti, kemudian jawabnya, “Tidak perlu, Ki.
Aku tidak perlu membuktikan keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati, karena tugas
itu telah diemban oleh orang lain.”
Tiba-tiba
wajah Ki Singa Wana Sepuh menegang, katanya kemudian dengan suara bergetar,
“Apakah maksudmu dengan semua itu? Apakah Ibunda Ranapati akan dilibatkan
dengan perbuatan anaknya yang telah mencoreng nama baik keluarga Istana
Mataram? Kalau memang itu yang dikehendaki, aku adalah orang pertama yang akan
menjadi talang patinya, langkahi dulu mayatku sebelum menyeret Ibunda Ranapati
dalam permasalahan ini, aku tidak peduli dengan siapa aku akan berhadapan!”
“Bukan
itu maksudku, Ki,” dengan cepat Ki Rangga menjawab dengan nada rendah, “Ki
Mandaraka telah mengutus dua orang telik sandi untuk menyelidiki keberadaan
Ibunda Pangeran Ranapati untuk membuktikan kebenaran cerita Pangeran Ranapati
itu sendiri, sedangkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh Ki Patih setelah
menemukan keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati, aku sendiri tidak tahu.”
Wajah
Ki Singa Wana Sepuh tampak gelisah. Berkali kali dia menarik nafas dalam-dalam
untuk meredakan gejolak di dalam dadanya, namun akhirnya dia tidak kuasa
menahan beban itu sendiri, katanya kemudian, “Ketahuilah Ki Rangga, Ibunda
Ranapati sejak kecilnya sudah hidup menderita. Ketika lahir ayahnya sudah
meninggal beberapa bulan sebelumnya. Masa kecilnya dihabiskan dengan hidup
serba kekurangan. Ibunya hanyalah seorang buruh tani dan menggantungkan diri
dari belas kasihan para tetangganya yang kadang-kadang memberinya pekerjaan
sekedarnya dimasa masa tanaman padi belum dipanen dengan upah yang sangat kecil,
kadang upah itu berupa bahan makanan, jagung, ubi dan sebagainya yang hanya
cukup untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraanku itulah, aku telah singgah di
padukuhan Cepaga yang waktu itu belum menjadi sebuah Kademangan.”
Ki
Rangga Agung Sedayu bagaikan terpesona mendengar kisah kehidupan Ibunda
Pangeran Ranapati. Alangkah menderitanya kehidupannya dimasa itu! Agaknya
penderitaan itu tak kunjung berakhir setelah kepergian Panembahan Senopati dari
kehidupan cintanya. Dan kini, anak laki-laki satu satunya yang menjadi tambatan
hidupnya pun telah pergi.
“Kesan
pertama ketika aku menginjakkan kaki di padukuhan Cepaga adalah kemiskinan yang
dialami oleh hampir seluruh penduduk padukuhan itu. Pengetahuan tentang olah tetanen dan menggarap sawah yang baik
belum mereka miliki. Sebenarnya tanah garapan mereka dapat diperluas dengan
menebang hutan yang masih sangat luas, namun mereka tidak mempunyai keberanian
untuk berbuat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri pengembaraanku dan
tinggal di padukuhan Cepaga.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Seolah olah terbayang dalam
benaknya, sebuah padukuhan yang miskin dengan para penghuninya yang masih bodoh
dan terbelakang sehingga kehadiran Ki Singa Wana Sepuh pada saat itu dapat
memberikan perubahan yang sangat berarti.
“Apakah
Ki Singa Wana Sepuh kemudian hidup dan berumah tangga di padukuhan Cepaga
sebagaimana layaknya para penghuni padukuhan itu?” bertanya Ki Rangga.
Ki
Singa Wana Sepuh tersenyum masam sambil menggelengkan kepalanya, “Seumur
hidupku aku tidak pernah tertarik dengan seorang perempuan. Aku tidak ingin
menjerumuskan diriku dengan permasalahan yang rumit dan pelik sepanjang
hidupku.”
“Ah,”
Ki Rangga berdesah. Tanpa disadarinya dia teringat kepada Gurunya, Kiai
Gringsing yang tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya, keluarganya
maupun kehidupan rumah tangganya.
“Guru
sepanjang hidupnya tidak pernah mengenal perempuan,” berkata Ki Rangga Agung
Sedayu dalam hati, “Atau mungkin Guru pernah disakiti hatinya dan memutuskan
untuk hidup menyendiri? Ah, entahlah..”
“Pada
waktu itu aku telah minta ijin kepada para Tetua Padukuhan untuk membuka hutan
di sebelah utara padukuhan Cepaga yang berbatasan dengan padukuhan Sela,
padukuhan yang telah berkembang lebih dahulu dari padukuhan Cepaga.” Ki Singa
Wana Sepuh melanjutkan ceritanya.
“Apakah
Ki Singa Wana Sepuh mendapat tentangan dari para penghuni padukuhan pada waktu
itu? Menilik cara hidup mereka yang masih sangat sederhana dan percaya dengan
kekuatan-kekuatan yang bersumber dari selain Yang Maha Kuasa yang dipercaya
dapat menimbulkan kesulitan pada kehidupan mereka?”
“Memang
demikian pada awalnya,” jawab Ki Singa Wana Sepuh sambil pandangan matanya
menerawang menembus lebatnya hutan, “Setelah mereka aku beri pengertian dan
petunjuk-petunjuk dalam meningkatkan taraf hidup mereka, akhirnya mereka mulai
menyadari bahwa nasib mereka itu tergantung dari usaha mereka sendiri, bukan
dari makhluk-makhluk halus yang selama ini dipercaya menunggu hutan-hutan yang
lebat.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum. Dia tidak menyalahkan pandangan hidup para
penghuni padukuhan itu yang masih percaya dengan kekuatan-kekuatan yang
bersumber dari selain Yang Maha Agung. Bukankah dirinya dulu semasa mudanya
juga sangat takut dengan Genderuwo bermata satu yang menghuni pohon randu alas
yang tumbuh di tikungan Kali Asat? Atau macan putih yang dipercaya sebagai
macan siluman yang menghuni padang rumput di Lemah Cengkar?
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengamati wajah Ki Singa
Wana Sepuh yang tertunduk di depannya. Wajah itu penuh dengan guratan-guratan
garis kehidupan yang menggambarkan bahwa dalam perjalanan hidupnya, Ki Singa
Wana Sepuh telah banyak mengalami pahit getirnya kehidupan.
“Bagaimanakah
kisah Ibunda Pangeran Ranapati setelah kehadiran Ki Singa Wana Sepuh di
padukuhan Cepaga?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu setelah untuk beberapa saat
mereka terdiam.
Ki
Singa Wana Sepuh mendongakkan wajahnya yang penuh dengan keriput. Setelah
menarik nafas sejenak, kemudian jawabnya, “Ibunya dalam keadaan sakit keras
waktu aku sedang menebang hutan untuk membuat sebuah padepokan yang sederhana.
Tidak ada seorang pun yang berusaha menghubungiku untuk meminta pertolongan,
karena memang mereka belum mengenal aku secara dekat. Para tetangganya telah
berusaha untuk menolong dan mengobati sebisanya namun Yang Maha Agung ternyata
berkehendak lain. Di usianya yang masih kanak-kanak, Ibunda Ranapati kembali
telah kehilangan orang yang sangat dicintainya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Kisah selanjutnya agaknya dia sudah dapat
menebak, dan memang demikianlah yang terjadi, Ibunda Pangeran Ranapati telah
diasuh oleh Ki Singa Wana Sepuh di Padepokannya.
“Karena
Ibunda Ranapati tidak mempunyai seorang kerabat pun di padukuhan itu, akhirnya
aku memutuskan untuk membawanya ke padepokanku, padepokan yang sangat
sederhana. Beberapa penghuni padukuhan itu ada yang mengungkapkan keinginan
mereka untuk menjadi Cantrik, dan dengan senang hati aku telah menerima mereka,
namun aku tidak mengajarkan olah kanuragan di padepokanku, aku hanya
mengajarkan tuntunan kehidupan dan olah tetanen untuk meningkatkan
kesejahteraan kehidupan mereka.”
Ki
Rangga Agung Sedayu dapat membayangkan, betapa seorang gadis kecil tumbuh dalam
lingkungan Padepokan yang sepi, tanpa kawan bermain selain para Cantrik yang
tentu tidak akan telaten untuk diajak bermain jamuran, cublak-cublak suweng
ataupun dakon. Mungkin hanya Ki Singa Wana Sepuh lah yang dapat memberikan
perhatian lebih kepada Ibunda Ranapati yang telah dianggap sebagai cucunya
sendiri.
Ki
Singa Wana Sepuh berdesah perlahan. Ketika kemudian pandang matanya dilempar ke
pucuk pucuk pepohonan yang berdaun lebat sehingga bayang-bayangnya melindungi
tempat itu dari sengatan teriknya sinar Matahari, tanpa diminta oleh Ki Rangga
Agung Sedayu, Ki Singa Wana Sepuh telah bercerita tentang hubungan yang terjadi
antara Ibunda Pangeran Ranapati dengan Panembahan Senopati yang pada waktu itu
masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
“Dengan
bantuan para penghuni padukuhan Cepaga, aku telah berhasil membuat sebuah
padepokan walaupun sangat sederhana. Bahan bahan yang aku perlukan untuk
membuat sebuah padepokan semua tersedia di dalam hutan. Setelah semua kebutuhan
untuk keberadaan sebuah padepokan tercukupi, akhirnya aku dan beberapa anak-anak
muda bahkan ada yang sudah cukup berumur telah menempati sebuah lingkungan
baru, sebuah padepokan dipinggir hutan yang berbatasan dengan padukuhan Sela.
Padepokan itu kami beri nama padepokan Sela Gilang.” Demikianlah Ki Singa Wana
Sepuh telah memulai ceritanya tentang masa lalu Ibunda Pangeran Ranapati.
Padepokan
Sela Gilang terletak di lereng Gunung Merapi sebelah timur berbatasan dengan
padukuhan yang sudah cukup ramai, padukuhan Sela. Sedangkan padukuhan tempat
padepokan Sela Gilang itu sendiri terletak di padukuhan Cepaga yang sepi, di
pinggir hutan yang masih cukup lebat. Hanya ada jalan setapak yang
menghubungkan antara padukuhan Cepaga dengan padukuhan Sela yang menyusur di
tengah hutan yang masih cukup lebat. Di mulut lorong jalan setapak yang menghubungkan
kedua padukuhan itu terdapat sebuah batu sebesar gajah yang berwarna hitam
mengkilat. Orang-orang di sekitar tempat itu menyebutnya Sela Gilang, sehingga
padepokan yang keberadaannya tidak jauh dari batu itu disebut padepokan Sela
Gilang.
Pemimpin
padepokan Sela Gilang dulunya adalah seorang pengembara yang sampai di tempat
itu dan kemudian memutuskan untuk menetap di padukuhan Cepaga. Hubungan antara
para penghuni padepokan dengan para penghuni padukuhan Cepaga terjalin dengan
baik, bahkan ada beberapa anak anak muda dan juga orang orang yang sudah cukup
berumur telah menjadi cantrik padepokan atas kesadaran mereka sendiri. Pada
umumnya mereka berguru untuk mempelajari olah tetanen dan ilmu kasampurnaning
dumadi. Padepokan itu memang tidak pernah mengajarkan olah kanuragan jaya kawijayan guna kasantikan,
namun yang sangat di tekankan oleh pengasuh padepokan sela gilang adalah
bagaiman mencapai kebahagiaan lahir batin yang merupakan hubungan timbal balik
antara sesama dan dengan Sang Pencipta.
Endang
Mintarsih adalah salah satu bagian dari padepokan Sela Gilang. Dia adalah satu
satunya Endang yang ada di padepokan itu. Dia telah menghuni padepokan itu
selama hampir seumur dengan berdirinya padepokan itu sendiri. Sejak kanak kanak
dia telah dibawa ke padepokan yang pada waktu itu baru saja berdiri dan
ditempati oleh seorang perantau yang memutuskan untuk menetap di daerah itu.
Karena padepokannya diberi nama padepokan Sela Gilang, maka para penghuni
padukuhan Cepaga yang berdekatan dengan padepokan itu pun kemudian menyebut
pemimpin padepokan itu dengan sebutan Ki Ageng Sela Gilang.
Pada
awalnya padepokan Sela Gilang merupakan padepokan yang tenang dan tentram. Para
penghuninya mengutamakan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Seandainya ada
permasalahan yang mungkin timbul, mereka selalu mengedepankan hati nurani dan
kesadaran akan pentingnya kebersamaan untuk memecahkan setiap perasoalan.
Namun
seiring dengan berjalannya waktu, persoalan mulai timbul justru diantara para
penghuni padepokan itu sendiri. Rasa iri dan dengki serta persaingan telah
merasuk ke dalam sebagian hati dari para penghuni padepokan, terutama para
cantrik cantrik yang masih muda. Penyebabnya adalah adanya setangkai bunga yang
sedang tumbuh di padepokan itu. Semakin hari bunga itu tumbuh semakin indah dan
telah menarik para kumbang untuk memetiknya. Beberapa kumbang telah mencoba
mendekati bunga yang mulai mekar dan mewangi, namun agaknya bunga yang masih
sangat muda itu masih menutup diri dari segala bentuk bujuk rayu janji palsu
dari kumbang kumbang di sekitarnya.
Demikianlah
bunga yang sedang tumbuh itu telah memberikan warna lain dari padepokan Sela
Gilang. Dia telah menjadi kesayangan seluruh penghuni padepokan namun juga
sekaligus telah menjadi akar permasalahan yang membelit di hati anak anak muda
cantrik padepokan.
“Apakah
persoalan yang terjadi diantara anak anak muda itu pernah diungkapkan oleh
Endang Mintarsih kepada Ki Singa Wana Sepuh?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu
sesaat setelah mereka terdiam.
“Secara
langsung memang dia tidak pernah mengeluhkan hal itu kepadaku,” Ki Singa Wana
Sepuh berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Namun hal itu dapat terbaca dari
sikap kesehariannya. Dia menjadi gadis pemurung, senang menyendiri dan
kadang-kadang di malam malam yang sepi, aku sering mendengar sebuah isak tangis
yang tertahan tahan dari dalam biliknya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Sekilas ingatannya melayang pada diri
seorang gadis dari Tanah Perdikan Menoreh berpuluh tahun yang lalu. Seorang
gadis cantik yang selalu berwajah murung. Berbeda dengan Ibunda Pangeran
Ranapati, gadis dari Menoreh itu telah kehilangan ibunya sejak masih
kanak-kanak, sehingga dalam perkembangan jiwanya, dia lebih mengenal bermain
pedang dari pada menari srimpi atau bedaya. Ayahnya telah membentuknya menjadi
sebuah pribadi yang kuat, namun hatinya tetap lembut dan mudah tersentuh
terhadap perkembangan keadaan yang ada di sekelilingnya.
Ki
Rangga Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya seolah olah ingin mengusir
kenangan masa lalunya. Betapa wajah yang murung dan sinar mata yang redup dari
gadis Menoreh itu seakan sirna setiap kali mereka bertemu. Wajah itu menjadi
cerah, secerah rembulan di hari kelima belas, dan sinar mata yang selalu redup
dan kosong itu menjadi berbinar-binar bagaikan bintang timur yang sedang
terbit.
Pertemuan
demi pertemuan telah menimbulkan kesan tersendiri di hati gadis itu. Kerendahan
dan keluruhan hati dari anak muda yang bernama Gupita itu ternyata telah
mengguratkan sebait kidung Asmarandana di hatinya.
Ki Singa
Wana Sepuh yang duduk di depan Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sambil
mengangguk-angguk kecil. Sebagai orang tua yang telah banyak makan asam
garamnya kehidupan, dia dapat merasakan sentuhan sentuhan kenangan masa lalu
yang sedang dialami oleh Ki Rangga, sehingga dibiarkannya saja Ki Rangga Agung
Sedayu sejenak tenggelam dalam kenangan masa lalunya.
Ketika
kemudian Ki Singa Wana Sepuh terbatuk batuk kecil karena sedannya, Ki Rangga
Agung Sedayu pun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi indah.
“Silahkan,
Ki Rangga,” berkata Ki Singa Wana Sepuh sambil tersenyum lebar, “Kadang kadang
kita memerlukan waktu untuk mengenang masa lalu, entah itu kenangan indah atau
pun yang menyedihkan sekalipun. Bertolak dari kenangan kenangan itulah kita
dapat lebih berhati hati dalam setiap langkah kita di masa masa mendatang.”
Ki
Rangga Agung Sedayu hanya dapat mengangguk anggukkan kepala tanpa menjawab
sepatah katapun. Tidak mungkin baginya untuk menceritakan kenangan masa lalunya
itu kepada Ki Singa Wana Sepuh, karena setiap kali terkenang gadis Menoreh itu,
perasaan bersalah selalu menyelinap di sudut hatinya yang paling dalam.
“Ma’afkan
aku Ki,” desis Ki Rangga Agung Sedayu perlahan memecah kesunyian, “Bagaimanakah
awal mula perkenalan Endang Mintarsih dengan Panembahan Senopati yang pada
waktu itu masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Ki
Singa Wana Sepuh sejenak menarik nafas dalam sekali, kemudian dihembuskannya
dengan keras seolah olah ingin dikosongkannya rongga dadanya dari segala
permasalahan yang pernah membelit hatinya. Katanya kemudian, “Pada awalnya aku
masih menganggap wajar persaingan antara Wiraguna dengan Wiguna, kakak beradik
putra Ki Dukuh Cepaga dalam merebut perhatian Endang Mintarsih, namun ketika
padepokan kami kedatangan dua orang pengembara yang mengaku bernama Ki Martani
dan keponakannya Jaka Suta, suasana padepokan yang pada awalnya tenang dan
tentram, berubah menjadi panas. Kelihatannya Jaka Suta tertarik kepada Endang
Mintarsih sedangkan Endang Mintarsih pun gelagatnya menerima isyarat cinta dari
Jaka Suta.”
“Apakah
kakak beradik putra Ki Dukuh Cepaga menerima kenyataan itu?”
“Tentu
saja tidak, dan perselisihan yang memang dikehendaki oleh dua orang kakak
beradik itu dengan Jaka Suta pun akhirnya terjadi.”
Ki
Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak. Pertikaian yang berawal dari seorang
perempuan memang sering terjadi dan berulang kali di atas bumi ini. Bahkan
sebuah kerajaan yang besar bisa hancur lebur hanya karena memperebutkan seorang
perempuan. Sebagai contoh dalam babad Ramayana dikisahkan bagaimana Kerajaan
Alengka Diraja yang besar itu hancur tak berbekas hanya karena sang Rahwana
Raja telah menculik dewi Sinta istri dari Raden Rama Wijaya.
Demikianlah
yang terjadi pada waktu itu di padepokan Sela Gilang. Kedatangan dua orang
pengembara ternyata telah menarik perhatian seluruh penghuni padepokan itu.
Pengembara yang masih muda bernama Jaka Suta ternyata sangat tampan dan ramah.
Sebentar saja seluruh penghuni padepokan telah dikenalnya, tak ketinggalan
Endang Mintarsih kelihatannya sangat senang dapat bergaul dekat dengan Jaka
Suta.
Sementara
pengembara satunya yang sudah cukup berumur dan mengaku bernama Ki Mertani
adalah paman dari Jaka Suta, dia lebih banyak berdiam diri dan kadang-kadang
meninggalkan padepokan untuk suatu urusan tertentu dan meninggalkan Jaka Suta
tinggal di padepokan untuk beberapa lama.
Pergaulan
yang semakin dekat antara Jaka Suta dengan Endang Mintarsih ternyata telah
menimbulkan persoalan baru di padepokan Sela Gilang. Wiraguna dan Wiguna yang
sedang bersaing untuk mendapatkan perhatian dari Endang Mintarsih merasa
mendapatkan saingan yang baru. Untuk itulah mereka berencana menyingkirkan Jaka
Suta dari padepokan Sela Gilang selamanya, kalau perlu dengan kekerasan.
Di
suatu malam yang pekat. Mendung gelap tampak bergelayut di langit. Hujan
rintik-rintik mulai turun membasahi muka bumi. Sementara itu Jaka Suta sedang
di dalam biliknya sendirian karena pamannya sudah dua hari ini pergi keluar
padepokan untuk sebuah urusan.
Tiba-tiba
sebuah ketukan terdengar di pintu bilik Jaka Suta. Jaka Suta yang memang belum
berangkat tidur mengerutkan keningnya, dia sedang membaca sebuah rontal ketika
ketukan di pintu biliknya itu terdengar. Ketika sekali lagi pintu biliknya itu
diketuk agak keras, dengan cepat dirapikannya rontal-rontal yang sedang
dibacanya kemudian disimpan di bawah tikar yang digunakan sebagai alas
tempatnya tidur.
Dengan
malas Jaka Suta kemudian berdiri dan berjalan ke pintu bilik.
“Siapa?”
sapanya perlahan sebelum membuka pintu bilik.
Sejenak
tidak ada jawaban, baru ketika Jaka Suta mengulang pertanyaannya untuk kali
kedua, terdengar suara berat dan dalam dari balik pintu.
“Aku,
Wiraguna.”
Berdesir
dada Jaka Suta mendengar nama itu disebut. Bukannya dia tidak tahu siapa itu
Wiraguna, namun akhir-akhir ini pandang mata kakak beradik itu apabila sedang
bertemu dengannya bagaikan bara api, terutama yang muda, Wiguna. Dari sinar
mata kedua kakak beradik itu dapat ditebak bahwa kehadirannya di Padepokan Sela
Gilang ini tidak dikehendaki.
“Sebentar,
Ki,” tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu menyela, “Bukankah di padepokan Sela
Gilang itu tidak diajarkan olah kanuragan? Bagaimana mungkin kakak beradik itu
akan mengusir Jaka Suta?”
“Kakak
beradik putra Ki Dukuh Cepaga itu memang tidak mengenal olah kanuragan sama
sekali. Justru karena pengetahuan mereka yang sempit tentang dunia olah
kanuragan itulah, sehingga mereka menganggap Jaka Suta juga tidak lebih baik
dari mereka.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Sejenak
dia teringat pada adik seperguruannya, Swandaru. Betapa Swandaru merasa
memiliki kelebihan dari kakak seperguruannya hanya karena lompatan-lompatan
kecil yang dicapainya setelah menekuni kitab perguruan Windujati. Namun pada
akhirnya dia harus mengakui kekerdilan dirinya setelah mengetahui kemampuan
yang sebenarnya dari kakak seperguruannya.
“Jadi,
sikap apakah yang diambil oleh Jaka Suta menghadapi masalah ini?” bertanya Ki
Rangga Agung Sedayu kemudian.
“Jaka
Suta menyadari bahwa kedua kakak beradik itu bukan tandingannya, maka dia lebih
memilih mengungkapkan jati dirinya sebelum semuanya berlarut larut.”
“Apakah
kedua kakak beradik itu percaya begitu saja?”
“Tentu
saja tidak, bagaimana mungkin seorang putra angkat Sultan Pajang tiba-tiba
begitu saja berada di sebuah padepokan yang terpencil?”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Bukankah Jaka
Suta dapat menunjukkan sebuah pertanda apapun bentuknya, sebagai bukti bahwa
dia adalah Putra angkat Sultan Pajang?”
Ki
Singa Wana Sepuh menggeleng lemah, “Pertanda apapun tidak akan meyakinkan kedua
kakak beradik itu, karena mereka belum pernah sekalipun melihat para bangsawan
dari Istana Pajang, apalagi pertanda kebangsawanan mereka.”
Ki
Rangga Agung Sedayu merenung sejenak, katanya kemudian dalam hati, “Mungkin
kegelapan penalaran mereka berdua lah yang menyebabkan mereka tidak mau tahu
tentang diri Jaka Suta. Hubungan khusus yang terjadi antara Jaka Suta dengan
Endang Mintarsih telah menimbulkan kecemburuan dan membutakan mata hati kedua
kakak beradik itu.”
Ki
Rangga Agung Sedayu kemudian teringat ketika dia pernah mengalami hal yang
serupa. Pada saat itu dia sedang memerankan seorang gembala yang bernama Gupita
dan ditugaskan oleh Gurunya untuk membuat hubungan dengan Ki Argapati yang
sedang sakit dengan membawakan obat. Ternyata kedatangannya telah disambut
dengan api cemburu yang menyala nyala dari hati seorang pemimpin pengawal Tanah
Perdikan Menoreh pada waktu itu, Wrahasta.
Untunglah
Pandan Wangi, puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh pada saat itu telah berbuat
bijaksana dengan mengatas namakan Ayahnya, memanggil dia dan Wrahasta beserta
beberapa Bebahu untuk menghadap Ki Gede Menoreh. Persoalan yang timbul karena
kesalah pahaman itu kemudian langsung ditangani oleh Ki Argapati, sehingga dia
terhindar dari permasalahan yang tidak berujung pangkal dengan Wrahasta.
Matahari
telah sampai ke puncaknya, namun pengaruh panasnya hampir tak terasa di dalam
hutan yang lebat itu. Sesekali masih terdengar teriakan-teriakan monyet dari
kejauhan. Sementara seekor ular hitam tampak meluncur di sisi kanan Ki Rangga
Agung Sedayu kemudian menyelinap hilang dalam rimbunnya semak belukar.
“Apakah
Ki Singa Wana Sepuh membiarkan saja kesalah pahaman itu berlarut larut?”
bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kemudian memecahkan kesunyian.
“Tentu
saja tidak,” jawab Ki Singa Wana sepuh cepat, “Aku sudah mencurigai jati diri
kedua Pengembara itu pada saat pertama kali mereka datang ke padepokan.
Walaupun mereka berdua berpakaian seperti orang-orang kebanyakan, namun gerak
gerik mereka serta ujud kewadagan mereka, telah mengisyaratkan kepadaku bahwa
mereka bukan Pengembara biasa. Terutama sebentuk cincin bermata tiga yang
dikenakan oleh Jaka Suta.”
“Cincin
bermata tiga?” ulang Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ya,
cincin bermata tiga, simbol wahyu kedaton yang akan temurun kepada orang yang
berhasil memilikinya.”
“Dan
ternyata panembahan Senopati yang akhirnya mewarisi kebesaran tanah ini, yang
justru hanya putra angkat, bukan Pangeran Benawa yang putra kandung dari Sultan
Pajang.”
“Demikianlah
cerita yang pernah aku dengar. Sebenarnya cincin bermata tiga itu memang
dihadiahkan oleh Sultan Pajang kepada Pangeran Benawa, namun kemudian dengan
sadar cincin itu telah diserahkan kepada Kakanda angkatnya, Mas Ngabehi Loring
Pasar.”
Kembali
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran Benawa memang
seorang Pangeran yang menyadari atas kemampuan dirinya. Walaupun Pangeran
pewaris tahta Pajang yang sebenarnya ini juga memiliki kemampuan olah kanuragan
yang tidak kalah dahsyatnya dengan Raden Sutawijaya, karena mereka berdua sejak
masih sangat muda telah sama-sama digembleng olah kanuragan, aji-aji jaya kawijayan dan guna
kasantikan langsung dari
Sultan Hadiwijaya sendiri, namun Pangeran yang lembut hati ini sama sekali
tidak tertarik dengan tahta, kedudukan dan gebyar kemewahan dunia. Dia lebih
senang lolos dari istana untuk menyusuri hutan-hutan yang lebat, mendaki
pegunungan yang terjal serta menuruni jurang dan lembah yang curam untuk
semakin mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya.
Sejenak
keduanya terdiam. Masing-masing tenggelam dalam kenangan masa lalu, suatu masa
yang begitu indah untuk dikenang, namun tidak akan mungkin untuk diulang.
“Ki
Singa Wana Sepuh,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Apakah kedua kakak
beradik itu kemudian mempercayai keterangan dari Ki Singa Wana Sepuh tentang
jati diri Jaka Suta?”
“Mereka
berdua memang menaruh kepercayaan yang tinggi kepadaku. Bukan karena mereka
memandang aku sebagai orang yang pilih tanding atau orang yang dapat membuat
pengeram-eram, namun mereka memandangku sebagai seorang panutan dan guru di
padepokan Sela Gilang yang mengajarkan tuntunan kehidupan serta pengetahuan
yang tidak seberapa untuk memberikan pertolongan sekedarnya sejauh dapat kami
jangkau dalam mengobati penduduk sekitar padukuhan Cepaga yang sedang mengalami
musibah karena sakit atau sejenisnya.”
“Jadi,
Ki Singa Wana Sepuh juga mengajarkan ilmu pengobatan?” bertanya Ki Rangga
kemudian.
“Tidak
seberapa, Ki Rangga,” jawab Ki Singa Wana Sepuh sambil tersenyum,
“Pengetahuanku tentang obat obatan masih sangat dangkal, namun sudah cukup
memadai untuk memberikan pertolongan kepada para penduduk di sekitar padepokan
yang membutuhkannya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Gurunya adalah seorang tabib
yang mumpuni. Pengetahuannya tentang ilmu pengobatan sangat luas dan didukung
dengan pengalamannya dalam menangani berbagai macam penyakit telah
menjadikannya seorang dukun yang disegani.
Serba
sedikit Ki Rangga Agung Sedayu sebenarnya sudah mulai menekuni ilmu pengobatan
yang juga terdapat dalam kitab warisan perguruan Windujati, namun agaknya waktu
yang diperlukan untuk menekuni ilmu itu justru lebih panjang dari mempelajari
olah kanuragan itu sendiri. Pengenalan tentang berjenis jenis tanaman yang
mengandung obat serta bermacam macam racun yang berasal dari binatang maupun
tumbuhan, memerlukan ketekunan dan ketelatenan yang luar biasa. Tidak cukup
seseorang yang belajar tentang ilmu pengobatan itu hanya dengan membaca
ciri-ciri yang disebutkan dalam kitab kemudian sudah berani mengambil suatu
kesimpulan, masih dibutuhkan pengalaman yang panjang dan luas untuk meyakinkan
dan mempraktekkan ilmu itu sendiri.
“Agaknya
Ki Rangga juga tertarik dengan ilmu pengobatan?” tiba-tiba Ki Singa Wana Sepuh
berdesis perlahan, “Atau mungkin aku yang sudah tua ini salah dalam menilai.
Setidaknya seorang murid itu akan mewarisi kemampuan gurunya, walaupun tidak
seutuhnya.”
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu menatap tajam kearah Ki Singa Wana Sepuh, namun kemudian
pandangan matanya dilemparkan ke titik-titik di kejauhan, seolah olah ingin
menembus lebatnya pepohonan. Katanya kemudian, “Aku agak terlambat menyadari
betapa pentingnya sebuah ilmu pengobatan itu. Ketika Guru masih hidup, aku dan
adi Swandaru hanya disibukkan untuk menuntut ilmu kanuragan setinggi tingginya.
Memang Guru meninggalkan beberapa catatan tentang seluk beluk ilmu pengobatan
itu, namun yang sangat berharga adalah pengalaman Guru sendiri yang kadang
tidak disebutkan dalam sebuah kitab apapun. Semua pengalaman itu sudah berlalu
tidak akan bisa kita serap, karena guru sudah meninggal, sedangkan aku baru
saja mulai menekuni ilmu pengobatan itu.”
Ki
Singa Wana Sepuh menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian dalam hati,
“Agaknya murid tertua dari perguruan orang bercambuk ini benar-benar mewarisi
ilmu Gurunya dengan seutuhnya. Sebentar lagi dia akan benar-benar tumbuh
menjadi pengganti orang bercambuk, baik dalam ilmu olah kanuragan maupun ilmu
pengobatan.”
Namun
kemudian Ki Singa Wana sepuh pun akhirnya berkata, “Itu tidak akan menjadi
masalah yang berarti bagi seorang murid orang bercambuk. Dengan pengetahuan dan
pengalaman yang akan semakin bertambah, Ki Rangga akan segera dapat mengisi
kekosongan dari hilangnya kesempatan untuk menyadap pengalaman-pengalaman dari
Guru Ki Rangga.”
“Semoga
saja demikian, Ki,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu sambil mengangguk perlahan.
“Nah,
sekarang,” berkata Ki Singa Wana Sepuh kemudian, “Apakah Ki Rangga masih
tertarik dengan kisah Endang Mintarsih dengan Panembahan Senapati?”
“Ah,”
Ki Rangga Agung Sedayu berdesah, “Agaknya kisah itu tidak seindah kisah Arjuna
Wiwaha, namun tidak ada jeleknya aku mengetahui akhir dari kisah asmara di
Padepokan Sela Gilang itu.”
Ki
Singa Wana Sepuh tertawa pendek, betapapun sumbangnya suara tertawa itu,
“Demikianlah akhirnya, paman dari Jaka Suta yang sebenarnya adalah Ki Juru
Martani itu telah melamar Endang Mintarsih untuk keponakannya, Jaka Suta. Aku
masih ingat betul, betapa sinar kebahagiaan terpancar dari sepasang mata Endang
Mintarsih. Apalagi setelah mengetahui bahwa Jaka Suta itu sebenarnya adalah
Raden Sutawijaya putera angkat Sultan Pajang, angan-angannya betul-betul
melambung setinggi awan.”
“Apakah
Endang Mintarsih berpengharapan akan diboyong ke Istana Pajang atau bahkan ke
Mataram yang baru tumbuh pada waktu itu?”
“Setidaknya
demikian,” Ki Singa Wana Sepuh berhenti sejenak, lalu, “Itu adalah wajar karena
setiap manusia pasti berkeinginan untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sebenarnya aku sudah menyadari sejak semula bahwa tidak mungkin Endang
Mintarsih akan ikut menikmati kamukten. Karena dia bukan dari trah bangsawan,
dia hanya berasal dari orang kebanyakan, pidak pedarakan. Paling-paling dia
akan dijadikan Putri triman dan kemudian dilupakan.”
Ki
Rangga mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu akhirnya dia memberanikan diri
bertanya, “Apakah memang demikian nasib Endang Mintarsih? Menjadi Putri triman dan selanjutnya dengan mudah
dilupakan?”
Ki
Singa Wana Sepuh menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki
Rangga. Setelah terlebih dahulu menghembuskan nafasnya sambil menggeleng
gelengkan kepalanya, dia menjawab, “Benar-benar suatu pukulan batin yang tiada
taranya telah dialami oleh Endang Mintarsih. Sebelum mereka berdua aku
nikahkan, Raden Sutawijaya telah memberi gelar kebangsawanan kepada Endang
Mintarsih terlebih dahulu. Nama Endang Mintarsih telah diganti menjadi Rara
Ambarasari.”
“Rara
Ambarasari,” perlahan lahan Ki Rangga Agung Sedayu mengulang nama itu.
“Ya,
sebuah nama yang cukup indah, dan sejak saat itu seluruh penghuni padepokan
diwajibkan memanggil Endang Mintarsih dengan sebutan Rara Ambarasari.” Ki Singa
Wana Sepuh menambahkan.
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu termenung. Betapa manusia dengan mudah terbius oleh
kesenangan duniawi yang semu. Dengan mudah Ki Rangga dapat menebak akhir dari
kisah asmara di padepokan Sela Gilang itu, dan yang akan menjadi korban dan
menderita sepanjang hidupnya pastilah perempuan yang bernama asli Endang
Mintarsih itu.
Demikianlah
memang yang terjadi kemudian. Ketika usia kandungan Endang Mintarsih atau Rara Ambarasari
itu telah mendekati enam bulan, bencana itu pun datang. Seorang Wali yang
waskita telah datang mengunjungi padepokan Sela Gilang untuk menjemput Mas
Ngabehi Loring Pasar.
“Apakah
kepentingan Wali yang waskita itu menjemput Mas Ngabehi Loring Pasar?” bertanya
Ki Rangga Agung Sedayu sambil menggeser duduknya beberapa jengkal, tanpa
sengaja ternyata dia telah menduduki sebuah sarang semut.
Sejenak
Ki Singa Wana Sepuh tersenyum sambil memandangi Ki Rangga Agung Sedayu yang
sibuk mengibas-ngibaskan kain panjangnya yang dikerumuni oleh semut-semut kecil
yang berwarna merah. Namun kemudian jawabnya, “Beliau menjemput Raden
Sutawijaya untuk dijadikan muridnya. Pandangan beliau yang waskita telah
melihat masa depan tanah ini akan berpindah dari Pajang ke Alas Mentaok. Untuk
itulah beliau menyiapkan Raden Sutawijaya lahir dan batin yang nantinya akan
menjadi Raja dan memerintah tanah ini di kemudian hari.”
“Jadi,“
sahut Ki Rangga cepat, “Rara Ambarasari ditinggalkan begitu saja di padepokan
Sela Gilang tanpa masa depan yang pasti?”
“Tentu
saja tidak,” jawab Ki Singa Wana Sepuh, “Sebagai putra angkat Sultan Pajang
pada waktu itu, Raden Sutawijaya berhak memberikan tanah palungguh kepada Rara
Ambarasari. Dukuh Cepaga telah diresmikan menjadi sebuah Kademangan dan
Wiraguna, putra tertua Ki Dukuh Cepaga telah diangkat menjadi Demang yang
pertama mewakili anak dalam kandungan Rara Ambarasari yang belum lahir.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam, wajahnya menampakkan
keheranan.
“Mengapa
Wiraguna yang ditunjuk menjadi Demang yang pertama?” tanya Ki Rangga akhirnya,
“Apakah Wiraguna mempunyai sangkut paut dalam masalah ini?”
“Tentu
saja,” jawab Ki Singa Wana Sepuh cepat, “Ma’af aku lupa menyebutkan. Karena
Raden Sutawijaya akan mengikuti Wali yang waskita tersebut untuk batas waktu
yang tidak ditentukan, sedangkan anak dalam kandungan Rara Ambarasari
memerlukan sosok seorang ayah kelak apabila jabang bayi itu lahir, maka Rara
Ambarasari telah dihadiahkan sebagai Putri triman kepada Wiraguna.”
*********
Komentar
Posting Komentar