Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 414 Bag. 2
Bagian 2
“Ampun
Kanjeng Sunan,” berkata seseorang yang tampak sudah sangat sepuh, “Ijinkan kami
semua menghadap. Sesuai pesan Kanjeng Sunan kepada kami, kami telah membawa
penerus Mataram itu kemari.”
Orang
yang dipanggil Kanjeng Sunan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, “Terima kasih Ki Ajar, ternyata semua telah berjalan sesuai dengan rencana,”
Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah seorang anak
muda yang duduk tepat di hadapannya, Kanjeng Sunan melanjutkan kata-katanya,
“Selamat datang Raden. Aku mohon maaf jika selama ini telah membuat Raden
bertanya-tanya. Namun percayalah semua ini demi kebaikan Raden di masa
mendatang.”
Raden
Mas Rangsang yang duduk paling depan segera membungkukkan badan sambil
menghaturkan sembah. Jawabnya kemudian dengan suara sedikit bergetar, “Hamba
Kanjeng Sunan.”
Kanjeng
Sunan kembali tersenyum sareh. Sejenak diedarkan pandangan matanya ke seluruh
sudut goa. Ketika pandangan Kanjeng Sunan tertumbuk pada sesosok tubuh tinggi
besar yang tergeletak dekat mulut goa, Kanjeng Sunan pun segera berpaling
kepada orang tua yang duduk di belakang Raden Mas Rangsang, “Ki Tanpa Aran,
sebaiknya Ki Bango Lamatan disadarkan terlebih dahulu. Ada baiknya dia
mendengarkan perbincangan kita ini.”
“Sendika
Kanjeng Sunan,” jawab Ki Tanpa Aran sambil beringsut mundur. Sesampainya dia di
dekat tubuh Bango Lamatan yang terbaring diam, sambil berjongkok segera saja
dipijat-pijatnya leher bagian belakang Bango Lamatan. Sejenak kemudian
terdengar keluhan tertahan dari mulut orang kepercayaan Panembahan Cahya
Warastra itu.
“Duduklah
Ki Bango Lamatan,” bisik Ki Tanpa Aran begitu mengetahui Bango Lamatan mulai
membuka matanya, “Kita sedang menghadap Kanjeng Sunan. Aku harap Ki Bango
Lamatan menjaga sikap.”
Selesai
berkata demikian tanpa menunggu tanggapan dari Bango Lamatan, Ki Tanpa
Aran segera bangkit berdiri dan berjalan kembali ke tempat duduknya.
Untuk
beberapa saat Bango Lamatan masih berusaha menilai keadaannya. Sambil
bertelekan pada kedua tangannya, dia berusaha untuk duduk dengan tegak. Dengan
pandangan yang masih sedikit buram dicobanya untuk mengenali tempat di mana dia
sekarang ini berada.
“Goa
tempat Begawan Cipta Hening,” desis Bango Lamatan dalam hati dengan jantung
yang berdebaran begitu mengenali tempat itu.
“Siapakah
orang-orang itu?” bertanya Bango Lamatan sambil mengamati orang-orang yang
duduk membelakanginya. Ketika pandangan matanya sudah menjadi semakin
jelas, dicobanya untuk mengenali mereka satu persatu dari tempatnya duduk.
“Mungkin
yang duduk di atas batu itu yang disebut Kanjeng Sunan,” gumam Bango Lamatan
dalam hati sambil pandangan matanya bergerak mengamati orang-orang yang duduk
di depan Kanjeng Sunan, “Putra Mataram itu, Ki Tanpa Aran, orang tua yang
sangat aneh,” dia berhenti sejenak. Seolah tak percaya dengan pandangan matanya
begitu melihat sesosok tubuh yang ramping dengan rambut yang disanggul tinggi.
Walaupun orang itu duduk membelakanginya dan seumur hidup Bango Lamatan baru
sekali saja bertemu dengannya, namun dia tak akan pernah melupakannya, Anjani.
“Apakah
sebenarnya yang telah terjadi?” kembali Bango Lamatan bertanya-tanya dalam
hati, “Aku yakin Begawan Cipta Hening sudah tidak ada di sini. Namun apa
hubungannya orang-orang ini dengan Sang Begawan?”
Bango
Lamatan masih mencoba mengamati lebih jauh lagi. Seorang kakek yang sudah
sangat renta serta seorang pemuda tanggung yang duduk di sebelahnya sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Aku
tidak mengenal mereka berdua,” berkata Bango Lamatan kemudian dalam hati,
“Namun menilik sikap orang-orang itu yang begitu hormat kepada orang yang
disebut Kanjeng Sunan, serta keberadaan Putra Mahkota itu di sini, mereka
pastilah orang-orang yang berpihak kepada Mataram.”
Berpikir
sampai disini, tiba-tiba muncul keinginannya untuk mencoba meloloskan diri dari
tempat itu dengan mengetrapkan ilmunya yang dibangga-banggakan, aji Halimunan.
Namun alangkah terkejutnya Bango Lamatan, dia merasakan tiba-tiba saja sekujur
tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga sejalan dengan pengerahan tenaga
cadangannya untuk mengungkapkan ilmu andalannya itu. Rasa-rasanya sekujur
tubuhnya hanya terdiri dari seonggok daging dan tulang, tanpa kekuatan sama
sekali.
“Gila!”
geram Bango Lamatan dalam hati dengan nafas sedikit memburu. Keringat dingin
pun mengucur deras dari sekujur tubuhnya, “Ternyata sekarang ini aku sedang
berada di tengah-tengah sekumpulan orang-orang gila. Tidak menutup kemungkinan
orang yang bernama Tanpa Aran itu yang telah membuatku menjadi begini.”
Bango
Lamatan masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang telah terjadi pada
dirinya. Maka sekali lagi dia mencoba untuk memusatkan nalar dan budinya
mengungkapkan ilmu andalannya itu. Namun ternyata hasilnya sama saja.
Sejenak
Bango Lamatan menghentikan usahanya untuk mengungkapkan ilmunya. Ketika
pandangan matanya kemudian menatap ke depan, tampak Kanjeng Sunan sedang
berbicara dengan Raden Mas Rangsang.
“Atau
mungkin orang yang disebut Kanjeng Sunan itu yang telah menyihirku!” kembali
Bango Lamatan menggeram dalam hati. Namun untuk selanjutnya dia sudah tidak
bernafsu lagi untuk mencoba mengetrapkan ilmunya lagi. Yang dapat dilakukannya
kemudian hanyalah duduk pasrah sambil menanti apa yang akan terjadi kemudian.
“Raden,”
terdengar suara Kanjeng Sunan yang berat dan dalam namun mengandung wibawa yang
sangat luar biasa, “Apakah Raden masih ingat dengan apa yang pernah aku
sampaikan dahulu di tepian kali Praga, tentang tujuh pilar yang akan menjadi
bekal Raden dalam membentuk negara yang gemah ripah loh jinawi?”
“Hamba
Kanjeng Sunan,” jawab Raden Mas Rangsang perlahan sambil membungkuk dan
menghaturkan sembah.
Kanjeng
Sunan itu tersenyum. Lanjutnya kemudian, “Selain itu, Raden. Segala sesuatu, mobah
mosiking jagad yang gumelarserta buwenging bawana gung adalah terletak pada lepasing
wardaya, terletak pada keikhlasan hatimu dalam mengemban amanah.
Kerja kerasmu, jerih payahmu, semangat serta perjuanganmu hendaknya selalu
dilandasi dengan niat yang baik dan hati yang ikhlas.”
Kembali
Raden Mas Rangsang membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun kali ini tidak ada
sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.
Sejenak
suasana menjadi sunyi. Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Semua
menunggu sabda dari Kanjeng Sunan.
“Raden,”
terdengar kembali suara Kanjeng Sunan memecah kesunyian, “Sebelum dirimu
memulai menata negeri ini beserta dengan seluruh kawula yang ada di dalamnya,
mulailah dari dalam dirimu sendiri. Kenalilah dirimu pribadi terlebih dahulu
sebelum engkau mencoba mengenali segala watak dan tingkah laku kawula di
seluruh tlatah Mataram ini.”
Untuk
beberapa saat Putra Mataram itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Dengan memberanikan diri, Raden Mas Rangsang pun kemudian mengajukan sebuah
pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan. Apakah Hamba diperkenankan untuk mengetahui
bagaimanakah caranya mengenali diri pribadi hamba?”
Kembali
Kanjeng Sunan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Kenalilah hubungan pribadimu
dengan Yang Maha Agung yang telah menciptakan seluruh alam semesta beserta
isinya ini sebelum Raden menjalin hubungan dengan bebrayan
agung.”
Sejenak
Pangeran Pati itu termenung. Setelah terdiam beberapa saat, kembali dia
mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, hamba benar-benar belum
mengerti bagaimanakah caranya mengenali hubungan kita dengan Yang Maha Agung
sebagai Dzat yang telah menciptakan alam semesta berserta isinya ini?”
“Raden,”
jawab Kanjeng Sunan sambil menarik nafas dalam-dalam, “Pengenalan diri
pribadimu terhadap Yang Maha Agung tentu saja melalui sesuatu yang disebut
dengan iman. Sedangkan iman itu tidak akan terwujud kecuali jika kita dengan
sepenuh hati dan sepenuh keyakinan mengakui keberadaanNYA yang mutlak. DIA lah
Dzat yang tidak ada Tuhan selain DIA yang patut disembah dengan segala
kerendahan hati untuk mengharap rahmatNYA, serta dengan sepenuh rasa takut akan
kemurkaanNYA. Jangan pernah mengambil sekutu bagiNYA. Tidak ada yang berhak
disembah dan diESAkan kecuali DIA Yang Maha Suci dan Maha Tinggi.”
Orang-orang
yang hadir di dalam goa itu tampak mengangguk-anggukkan kepala kecuali Bango
Lamatan.
“Belajarlah
mengenal Asma-AsmaNYA yang Agung dan sebutlah dalam setiap doamu. Semakin dalam
pengenalan kita terhadap Asma-AsmaNYa yang Agung, akan semakin bertambah
ketaqwaan kita kepadaNYA. Sesungguhnya di antara hamba-hamba yang paling mulia
di sisiNYA adalah dinilai dari ketaqwaannya,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak.
Kemudian lanjutnya, “Belajarlah hidup beserta Asma-AsmaNYA yang Agung, niscaya
engkau tidak akan pernah ragu dalam menjalani kehidupan ini. Jiwamu akan tenang
tanpa ada rasa takut selain kepadaNYA. Hatimu akan bening, sebening air telaga
di tengah hutan belantara yang tak pernah tersentuh sehingga setiap bayangan di
atasnya akan terpantul dengan jelas, sejelas setiap langkah yang akan engkau
perbuat di kehidupan bebrayan ini. Setiap langkahmu adalah cermin beningnya
hatimu sehingga diharapkan akan tumbuh dan berkembang dengan subur perasaan
malu untuk berbuat diluar batas kewajaran yang melanggar aturan-aturanNYA.
Hatimu akan selalu dipenuhi oleh rasa kerinduan, kerinduan untuk selalu
bersujud kepadaNYA dan selalu siap sedia di setiap waktu untuk memenuhi
panggilanNYA. Sehingga ketika telah tiba waktunya engkau kembali keharibaanNYA,
akan dalam keadaan disucikan dari segala noda dan dosa. Oleh karena itu
ambillah yang sedikit dari dunia ini dan perbanyaklah beramal untuk kehidupan
alam kelanggengan. Disitulah engkau akan menjumpai manisnya iman.”
Orang-orang
yang ikut mendengarkan pitutur Kanjeng Sunan kepada Raden Mas Rangsang itu
menjadi tergetar hatinya. Masing-masing mencoba memahami nasehat itu dengan
kemampuan penalaran masing-masing.
Anjani
yang duduk di samping Kakek Tanpa Aran hampir tak kuasa menahan air bening yang
mulai menyembul di kedua sudut matanya. Kepalanya semakin lama semakin tunduk.
Sementara bibirnya bergetar menahan isak tangis yang terasa menyesakkan rongga
dadanya.
“Alangkah
kotornya hidup yang selama ini aku jalani. Setelah terbebas dari kekejaman
kedua Guruku, justru sekarang ini aku telah berusaha merusak rumah tangga Ki
Rangga, orang yang telah menyelamatkan hidupku. Bahkan aku telah berpura-pura
tidak mengenal Ki Rangga di hadapan mBokayu Sekar Mirah yang dengan tulus
menerima aku sebagai bagian dari keluarganya, padahal ada sepercik niat jahat
di hatiku untuk merebut suaminya. Ah, aku benar-benar orang yang tak tahu
membalas budi.” desah Anjani dalam hati sambil berusaha mengusap air mata yang
mulai menganak sungai dengan ujung bajunya.
“Namun
aku tidak mampu untuk menipu kata hatiku,” kali ini suara hati Anjani yang
berbicara, “Aku telah menyangkutkan harapan masa depanku terlalu melambung. Aku
telah salah menilai kebaikan hati Ki Rangga selama ini. Ternyata hati Ki Rangga
ibarat sebuah benteng yang kokoh, tak tergoyahkan oleh panas hujan dan badai
yang menderanya. Hati Ki Rangga ternyata hanya berisi sebuah bilik yang telah
dikhususkan hanya untuk mBokayu Sekar Mirah. Ataukah sebenarnya di dalam hati
Ki Rangga juga terdapat bilik-bilik yang lain? Namun Ki Rangga telah menutup
rapat-rapat pintu bilik-bilik itu dan menyelaraknya dengan selarak ganda.
Seakan Ki Rangga memang sengaja tidak mengijinkan cinta lain untuk bersemayam
di dalamnya.”
Sampai
disini Anjani hampir saja tidak mampu menguasai dirinya. Dadanya bergetar
dengan dahsyatnya menahan tangis yang ingin meledak, sehingga nafasnya menjadi
sedikit tersengal-sengal.
Sedangkan
Bango Lamatan yang duduk di paling belakang dekat pintu goa hanya dapat
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berbagai kenangan dalam hidupnya bermunculan
dan satu-persatu mulai mengalir memenuhi benaknya. Kenangan itu seolah-olah
saling berkejaran bagaikan kuda-kuda yang dipacu di tengah padang. Kemudian
hanyut satu persatu hilang dari dalam benaknya dan akhirnya sampailah dia di
ujung kenangannya.
“Hem..”
desah Bango Lamatan dalam hati sambil menebarkan pandangan matanya ke seluruh
sudut ruangan goa. Sejenak pandangan matanya terhenti pada sebuah gundukan
tanah yang terlihat masih basah di salah satu sudut goa.
“Sepertinya
tanah gundukan itu sebuah kuburan baru,” berkata Bango Lamatan kemudian dalam
hati, “Apakah mungkin itu kuburan Panembahan Cahya Warasta? Kalau memang
demikian berarti janji Begawan Cipta Hening itu ternyata hanyalah sebuah omong
kosong. Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan,” sejenak Bango Lamatan
berhenti berangan-angan. Setelah menarik nafas dalam terlebih dahulu untuk
melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak, barulah dia melanjutkan
angan-angannya, “Mungkin kedatangan Kanjeng Sunan itulah yang membuat Sang
Begawan menghindar. Aku sekarang tinggal menunggu hukuman apa yang akan
dijatuhkan oleh Putra Mahkota itu kepadaku. Hukuman gantung atau picis tentu
sangat pantas dan setimpal dengan perbuatanku yang ingin membunuh penerus Tahta
Mataram itu.”
Kembali
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil mendongakkan wajahnya memandang
ke depan. Ketika tanpa sadar dia memandang ke arah Kanjeng Sunan yang sedang
duduk di atas sebuah batu hitam di tengah-tengah goa, ternyata Kanjeng Sunan
pun sedang memandang ke arahnya.
Berdesir
dada Bango Lamatan. Dengan segera ditundukkan kembali wajahnya.
TADBM 414 halaman 52
“Ki
Bango Lamatan,” tiba-tiba terdengar suara Kanjeng Sunan yang penuh wibawa itu
bagaikan sebongkah batu padas sebesar kerbau mendera dadanya, “Begawan Cipta
Hening yang engkau tunggu-tunggu itu telah pergi begitu aku dan cantrik Gatra
Bumi sampai disini. Aku menemukan jasad Panembahan Cahya Warastra tergeletak di
lantai goa tanpa ada seorang pun yang mengurusnya. Sehingga aku telah menyuruh
cantrik Gatra Bumi untuk menyelenggarakan pemakaman baginya.”
Untuk
beberapa saat Bango Lamatan tidak mampu menjawab, hanya kepalanya saja yang
tertunduk dalam-dalam. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam dadanya.
“Apakah
engkau mendengarkan, Ki Bango Lamatan?” tiba-tiba terdengar kembali suara
Kanjeng Sunan menghentak jantungnya.
Dengan
tetap menundukkan kepalanya, Bango Lamatan pun kemudian dengan sedikit
memaksakan diri segera merangkapkan kedua tangannya di depan dada sambil
sedikit mencondongkan badannya ke depan. Jawabnya kemudian hampir tak
terdengar, “Hamba Kanjeng Sunan.”
Kanjeng
Sunan tersenyum maklum sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ki Bango
Lamatan, sekarang engkau bebas untuk memilih jalanmu. Setelah orang yang menyebut
dirinya Begawan Cipta Hening itu meninggalkanmu dan Panembahan Cahya Warastra
telah bersatu kembali dengan bumi, sepertinya engkau sudah tidak mempunyai
tanggungan apapun,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Ataukah mungkin engkau masih mempunyai keinginan yang lain yang belum
terpenuhi, Ki Bango Lamatan?”
Tergetar
hati Bango Lamatan mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Kanjeng Sunan.
Dia benar-benar seperti sedang bermimpi. Bukankah dia telah melakukan kesalahan
yang sangat besar dan tak mungkin diampuni? Mencoba membunuh Putra Mahkota
Mataram adalah termasuk perbuatan makar, dan tidak ada hukuman yang paling
pantas kecuali mati.
Kanjeng
Sunan yang waskita itu segera tanggap dengan apa yang tersirat di dalam hati
Bango Lamatan. Maka katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan, engkau memang telah
dibebaskan dari segala tuntutan. Akulah yang akan memintakan ampunan itu kepada
Raden Mas Rangsang yang akan bertindak atas nama penguasa tertinggi Mataram,
Panembahan Hanyakrawati. Bukankah memang begitu seharusnya, Raden?”
Selesai
berkata demikian Kanjeng Sunan segera berpaling ke arah Pangeran Pati yang
duduk di hadapannya dengan kepala tunduk.
Raden
Mas Rangsang yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu sejenak
bagaikan membeku. Kesalahan Bango Lamatan memang sangat besar dan tidak dapat
dengan mudahnya dibebaskan begitu saja dari segala tuntutan. Namun jika semua
itu memang atas kehendak Kanjeng Sunan, tentu Wali yang waskita itu telah
mempunyai pertimbangan tersendiri.
Berpikir
sampai disitu Raden Mas Rangsang segera menghaturkan sembah sambil menjawab,
“Hamba Kanjeng Sunan. Hamba memang telah memaafkan kesalahannya. Selebihnya,
tentu saja hamba tidak berani menolak perintah Kanjeng Sunan.”
“Ah,”
Kanjeng Sunan tertawa kecil, “Bukan maksudku untuk mempermainkan paugeran yang
telah berlaku di Mataram. Namun aku melihat kehadiran Ki Bango Lamatan di
masa mendatang akan sangat bermanfaat bagi perkembangan Mataram.”
Berdesir
dada orang-orang yang hadir di tempat itu, tak terkecuali Bango Lamatan
sendiri. Dengan segera dia menghaturkan sembah sambil membungkukkan badannya
sampai keningnya hampir menyentuh tanah. Katanya kemudian dengan suara bergetar
menahan gejolak di rongga dadanya, “Ampun Kanjeng Sunan. Hamba benar-benar merasa
serendah-rendahnya makhluk yang berada di atas bumi ini. Kesalahan hamba yang
setinggi Gunung Mahameru itu benar-benar tidak pantas untuk mendapatkan
ampunan. Hamba pasrah apapun hukuman yang akan dijatuhkan kepada diri hamba,
hamba ikhlas.”
Untuk
beberapa saat suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan
yang tak berujung pangkal. Sementara angin sore pegunungan bertiup lembut
menyusur tebing berbatu-batu di puncak Perbukitan Menoreh sebelum akhirnya
meliuk memasuki lorong goa dan membelai serta menyejukkan hati setiap orang
yang berada di dalamnya.
“Ki
Bango Lamatan,” akhirnya terdengar suara Kanjeng Sunan memecah kesunyian,
“Engkau memang telah dibebaskan dari segala tuntutan dan bebas untuk memilih
jalanmu. Namun aku ingin mengetahui yang sebenar-benarnya tersirat di lubuk
hatimu yang paling dalam. Apakah Ki Bango Lamatan mempunyai keinginan untuk
memperbaiki jalan hidup yang selama ini engkau yakini?”
Dengan
serta merta Bango Lamatan segera menjawab, “Hamba Kanjeng Sunan. Sebenarnyalah
ada sepercik keinginan di lubuk hati hamba untuk memohon ampun dan kembali ke
jalan yang benar, jalan yang diridhoiNYA. Namun apakah permohonan ampun hamba
ini akan diterima, mengingat dosa-dosa hamba yang sudah tak terhitung lagi
jumlahnya.”
Kanjeng
Sunan tersenyum sareh menanggapi keluh-kesah Bango Lamatan. Sambil memandang
tajam ke arah Bango Lamatan, Kanjeng Sunan pun kemudian berkata, “Ketahuilah Ki
Bango Lamatan dan kalian semua yang hadir di sini. Yang Maha Agung tidak pernah
menolak permohonan ampun dari hambaNYA yang datang bersimpuh kepadaNYA dengan
sepenuh jiwa raga, walaupun semisal dosanya itu sudah sampai empat
penjuru langit dan sepenuh bumi. Sebenarnyalah Yang Maha Agung akan sangat
murka kepada orang-orang yang selalu berbuat dosa. Namun jika orang itu telah
datang dengan sepenuh jiwa raga untuk bertobat, maka Yang Maha Agung akan
mendahulukan RahmatNYA dari pada siksaNYA.”
Hampir
bersamaan orang-orang yang hadir di tempat itu menarik nafas dalam-dalam.
Hampir semua orang tahu siapakah Bango Lamatan itu, orang kepercayaan
Panembahan Cahya Warastra yang telah berusaha menggulingkan pemerintahan
Mataram. Namun jika Bango Lamatan telah menyadari semua kesalahannya di masa
lalu, pintu tobat akan selalu terbuka untuknya.
“Terima
kasih Kanjeng Sunan,” berkata Bango Lamatan dengan suara sendat, menahan
keharuan yang merobek-robek dadanya, “Hamba mohon bimbingan dan petunjuk agar
di sisa hidup hamba ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagibebrayan agung.”
“Tentu
Ki Bango Lamatan. Sudah menjadi tugas dan kewajiban kita bersama untuk saling
tolong menolong dalam hal kebajikan,” jawab Kanjeng Sunan dengan serta merta.
Sejenak
suasana kembali menjadi sunyi. Masing-masing mencoba menilai diri sendiri,
sejauh mana mereka telah mengikuti dan menetapi jalan yang telah digariskan
olehNYA.
“Nah,
agaknya kita harus segera membagi tugas,” berkata Kanjeng Sunan kemudian
memecah kesunyian, “Raden Mas Rangsang untuk beberapa hari kedepan akan tinggal
di dalam goa ini ditemani oleh Ki Tanpa Aran. Sedangkan Ki Bango Lamatan akan
mengikuti Ki Ajar meninggalkan tempat ini menuju pertapaan Mintaraga. Sementara
aku dan cantrik Gatra Bumi akan ke Menoreh. Ada sesuatu yang ingin aku
sampaikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu.”
Orang-orang
yang telah disebut namanya oleh Kanjeng Sunan itu tampak mengangguk-angguk.
Hanya Anjani saja yang tampak gelisah. Dicobanya mengangkat wajahnya dan
memandang kearah Kanjeng Sunan agar mendapat tanggapan. Namun agaknya Kanjeng
Sunan tidak sedang memperhatikannya.
“Aku
memang tidak cukup berharga untuk dilibatkan dalam pembicaraan ini,” desah
Anjani dalam hati dengan mata yang kembali berkaca-kaca, “Aku ini memang orang
kleyang kabur kanginan. Kehadiranku disini hanya kebetulan saja dan memang
tidak banyak membawa pengaruh.”
Berpikir
sampai disini Anjani telah membulatkan tekadnya untuk kembali ke Gunung
Kendalisada menghadap tokoh yang selama ini oleh kebanyakan orang hanya
dianggap sebagai dongeng belaka, Resi Mayangkara.
“Aku
akan menghadap Sang Resi untuk memohon maaf. Beberapa saat yang lalu ketika di
Menoreh aku sempat menolak tawarannya untuk tinggal di Gunung Kendalisada.
Sekalian aku akan memohon untuk diterima kembali menjadi muridnya. Akan aku
habiskan sisa umurku di Gunung Kendalisada yang sunyi sampai saatnya nanti Yang
Maha Agung berkenan memanggilku,” berkata Anjani dalam hati. Tak terasa air
yang bening mulai mengalir lagi di kedua belah pipinya yang kemerah-merahan.
“Ni
Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Kanjeng Sunan yang lembut menyadarkan Anjani
dari lamunannya, “Akan kemanakah engkau meneruskan langkah? Ni Anjani bebas
memilih sesuai dengan pembagian tugas yang telah kita sepakati. Namun tentu
saja aku tidak akan menyarankan Ni Anjani untuk ikut menunggui Raden Mas
Rangsang disini atau pun mengikuti Ki Bango Lamatan ke pertapaan Mintaraga,
karena keduanya mempunyai keperluan khusus yang tidak boleh diganggu,” Kanjeng
Sunan berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku dan Cantrik Gatra Bumi akan
pergi ke Menoreh. Jika Ni Anjani ada keinginan untuk kembali ke Menoreh, Ni Anjani
dapat pergi bersama-sama kami. Namun jika Ni Anjani mempunyai keperluan lain
yang lebih penting, aku tidak dapat memaksa.”
Jika
saja orang-orang yang hadir di tempat itu dapat mendengarkan suara hati Anjani,
tentu mereka akan mendengar kidung asmaradana yang ngelangut. Kesedihan yang
membalut hatinya seakan-akan terenggut begitu saja dan berganti dengan segala
suka cita.
“Aku
akan memohon maaf kepada Nyi Sekar Mirah,” berkata Anjani dalam hati, “Dan
sekaligus aku akan berterus terang tentang janji Ki Rangga yang akan membawaku
ke Menoreh. Terserah apa tanggapan suami istri itu nanti terhadapku. Aku tidak
akan menuntut janji Ki Rangga itu secara berlebihan. Cukup senang hatiku jika
aku bisa diterima sebagai bagian dari keluarga itu.”
“Bagaimana,
Ni Anjani?” pertanyaan Kanjeng Sunan telah menyadarkan Anjani dari mimpi
indahnya.
“Ampun
Kanjeng Sunan,” jawab Anjani sambil cepat-cepat menghapus air mata yang
membasahi kedua pipinya. Sambil menghaturkan sembah, terdengar suaranya lirih
hampir tak terdengar, “Hamba pasrah kepada petunjuk Kanjeng Sunan. Hamba
yakin itulah jalan terbaik bagi masa depan hamba.”
Sejenak
Kanjeng Sunan mengerutkan keningnya. Namun hanya sekilas kesan itu segera
menghilang dari wajahnya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian sambil tersenyum penuh
arti, “Ni Anjani. Aku tidak dapat menentukan masa depan seseorang.
Banyak-banyaklah memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di setiap doamu.
Selain itu usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan niat baik dan ikhlas,
akan membawamu ke masa depan yang engkau cita-citakan. Namun semua itu tetap di
dalam kuasaNYA. Jika Yang Maha Agung berkehendak lain, tiada seorang pun yang
mampu menolaknya.”
Rona
merah segera saja mewarnai wajah Anjani. Dia menyesal bukan alang kepalang.
Mengapa dia mengatakan tentang masa depan segala, padahal Kanjeng Sunan hanya
menawari untuk ikut bersama-sama pergi ke Menoreh. Namun semua sudah terlanjur
dan yang dapat dilakukan oleh Anjani hanyalah menundukkan wajahnya
dalam-dalam untuk menyembunyikan perasaan yang bergolak di dalam dadanya.
“Raden,”
berkata Kanjeng Sunan kemudian kepada Raden Mas Rangsang, “Pergunakanlah waktu
beberapa hari ke depan ini dengan sebik-baiknya. Ki Tanpa Aran akan
membimbingmu untuk mengenal lebih dekat Dzat yang menciptakan alam semesta
berserta seluruh isinya ini melalui Asma-AsmaNYA yang Agung. Jika urusanku di
Menoreh sudah selesai dan Yang Maha Agung masih berkenan memberiku umur
panjang, aku akan kembali lagi ke tempat ini untuk melihat perkembangan Raden.”
“Hamba
Kanjeng Sunan,” hampir bersamaan Raden Mas Rangsang dan Ki Tanpa Aran menjawab.
“Ki
Ajar,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya kepada Ki Ajar yang duduk di sebelah
Cantrik Gatra Bumi, “Ki Ajar aku perkenankan berangkat sekarang. Bimbinglah Ki
Bango Lamatan untuk mendapatkan pencerahan sehingga kelak di kemudian hari
dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi kehidupanbebrayan.”
“Sendika
Kanjeng Sunan,” jawab Ki Ajar sambil menghaturkan sembah.
Demikianlah
akhirnya, sejenak kemudian mereka yang berada di dalam goa itu segera berpisah
setelah terlebih dahulu saling mengucapkan salam perpisahan dan memanjatkan doa
untuk keselamatan mereka bersama. Bango Lamatan dengan sangat telaten menuntun
Ki Ajar yang sudah sangat sepuh itu berjalan tertatih-tatih menuruni lereng
yang tidak begitu terjal menuju ke pertapaan Mintaraga. Sedangkan Kanjeng Sunan
diikuti oleh Cantrik Gatra Bumi dan Anjani menuruni lereng sebelah selatan
menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara Raden Mas Rangsang ditemani oleh Ki
Tanpa Aran tetap tinggal di dalam goa untuk beberapa hari ke depan dalam rangka
menjalani lelaku sebagai persiapan mengemban amanah jika kelak waktunya telah
tiba.
Dalam
pada itu, Matahari sudah semakin condong ke barat. Sinarnya tidak lagi segarang
seperti beberapa saat tadi. Angin pegunungan yang sejuk kadang bertiup agak
keras dan menerobos dedaunan sehingga menimbulkan suara berkerosakan seperti
air bah yang sedang menerjang ceruk-ceruk dan tempat-tempat rendah di lembah
pebukitan.
Anjani
tampak sedang berjalan dengan riang beberapa langkah di sebelah Cantrik Gatra
Bumi. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah anak yang masih sangat muda itu.
Namun Cantrik Gatra Bumi tampaknya acuh tak acuh saja dengan keadaan di
sekelilingnya. Dia berjalan sambil menundukkan wajahnya, seolah-olah ingin menghitung
setiap jengkal tanah yang telah dilewatinya.
“Anak
muda yang aneh dan sedikit sombong,” berkata Anjani dalam hati, “Apakah dia
benar-benar salah satu Cantrik Kanjeng Sunan di gunung Muria? Kalau
memang demikian dalam usia yang masih semuda itu tentu dia sudah
menguasai ilmu yang tinggi. Pantas saja dia menjadi sombong.”
Namun
Anjani menjadi sedikit ragu-ragu. Anak muda yang berjalan beberapa langkah di
sampingnya itu sama sekali tidak menggambarkan seorang anak muda yang berilmu
tinggi. Langkah kakinya terdengar seperti langkah orang kebanyakan. Bahkan dari
tempatnya berjalan Anjani dapat mendengarkan desah nafasnya yang memburu
pertanda dia mengalami kelelahan.
“Mungkin
dia berguru di Gunung Muria tidak untuk mempelajari olah kanuragan dan jaya
kawijayan serta guna
kasantikan,” berkata Anjani dalam hati selanjutnya, “Mungkin dia
hanya mempelajari kawruh kasampurnaning ngaurip untuk bekal hidupnya kelak di alam
kelanggengan. Namun dengan demikian seharusnya semua itu tidak
menjadikannya sombong dan tinggi hati.”
Tiba-tiba
Anjani teringat akan keadaan dirinya sendiri. Dia menjadi malu sendiri begitu
menyadari bahwa selama ini dia benar-benar masih jauh pengenalannya dari kawruh
batin itu. Ketika di
Gunung Kendalisada pun dia hampir tidak pernah mendapat wejangan dari Sang Resi
mengenai kawruhkasampurnaning
ngaurip selain
ilmu-ilmu jaya kawijayan dan guna kasantikan.
“Mungkin
Sang Resi memandang belum waktunya bagiku untuk mempelajari kawruh yang rumit
dan njlimet itu,” berkata Anjani dalam hati sambil terus mengayunkan langkahnya
mengikuti Kanjeng Sunan yang berjalan beberapa langkah saja di depannya,
“Tetapi bukankah antara Resi Mayangkara dan Kanjeng Sunan mempunyai pandangan
dan keyakinan hidup yang berbeda walaupun tujuannya sama, yaitu meraih kehidupan
yang mapan di alam kelanggengan nanti?”
Untuk
beberapa saat Anjani menjadi bingung menilai kedua Priyagung itu. Sepertinya
ada dorongan kuat yang mendesak hatinya untuk segera mendalami kawruh
batin itu semenjak dia mendengar pitutur Kanjeng Sunan di dalam goa beberapa
saat tadi. Namun dia belum dapat menentukan, jalan terbaik manakah yang akan
dipilihnya.
bersambung ke Bag. 3
bersambung ke Bag. 3
Komentar
Posting Komentar