“Aku memerlukan
pertimbangan dari seseorang yang aku percaya untuk memilih jalan hidupku
nantinya yang berhubungan dengankawruh
kasampurnaning ngaurip,” berkata Anjani sambil menghirup udara
pegunungan yang segar. Dipenuhi rongga dadanya dengan udara yang bersih dan
murni sebelum akhirnya dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah ingin dibuang
semua persoalan yang sedang membelit hatinya.
Tiba-tiba Kanjeng Sunan
yang berjalan di depan menghentikan langkahnya. Tak terasa perjalanan mereka
telah sampai di ujung lereng yang landai dan kini di hadapan mereka telah
terhampar hutan lebat yang membujur di sepanjang lembah Perbukitan Menoreh.
Sejenak Kanjeng Sunan
tampak terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap kedua
orang dibelakangnya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Semoga Yang Maha Agung
mengijinkan kita sampai di kediaman Ki Gede sebelum Matahari benar-benar
terbenam.”
“Sendika Kanjeng Sunan,”
jawab Cantrik Gatra Bumi sambil membungkukkan badannya. Sementara Anjani yang
berdiri beberapa langkah di sebelahnya hanya diam termangu-mangu sambil
mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Marilah,” berkata Kanjeng
Sunan kemudian sambil berbalik dan melangkah kembali. Dengan perlahan Kanjeng
Sunan itu pun mulai menyusup lebatnya hutan rimba diikuti oleh cantrik Gatra
Bumi.
Anjani untuk sejenak masih
berdiri diam di tempatnya. Ketika tanpa sadar dia berpaling ke arah barat,
tampak Matahari sudah sedemikian rendahnya, namun masih ada waktu beberapa saat
sebelum Matahari itu benar-benar terbenam.
Untuk beberapa saat Anjani
masih ragu-ragu untuk melangkah. Namun ketika bayangan cantrik Gatra Bumi
hampir hilang ditelan rimbunnya dedaunan hutan, dengan tergesa-gesa
dilangkahkan kakinya menyusul dua orang yang sudah tidak tampak bayangannya
itu.
Segera saja bau tanah yang
lembab tercium begitu Anjani mulai memasuki hutan. Hutan itu begitu pepatnya
sehingga semakin dalam Anjani memasukinya, semakin lembab dan gelap. Hampir
tidak ada secercah sinar Matahari pun yang mampu menerobos rimbunnya dedaunan.
“Aneh,” desis Anjani dalam
hati sambil menerobos rimbunnya dedaunan hutan serta sulur-sulur yang berjuntai
menghadang langkahnya, “Perjalanan dari lereng ini sampai ke kediaman Ki Gede
mungkin memerlukan waktu satu malam lebih. Tadi pagi menjelang Matahari
sepenggalah aku baru mencapai tepi hutan ini dan bertemu dengan Kakek Tanpa
Aran. Padahal aku telah semalaman berjalan tanpa henti dari kediaman Ki Gede
menuju ke Bukit Menoreh.”
Dengan sesekali
menyibakkan dedaunan yang lebat serta sulur-sulur pepohonan yang silang
melintang, tak jarang Anjani harus meloncati batang-batang pohon yang tumbang.
Bahkan kadang dia harus merunduk-runduk untuk menyusup lorong-lorong sempit di
antara pohon-pohon yang tumbuh rapat berjajar-jajar dan menjulang tinggi.
“Mengapa Kanjeng Sunan
memilih jalan seperti ini?” keluh Anjani dalam hati sambil mencoba mengamati
keberadaan kedua orang di depannya. Sesekali punggung cantrik Gatra Bumi sempat
terlihat di antara lebatnya hutan, “Aku yakin di tempat lain dari hutan ini ada
jalan yang tidak begitu pepat seperti ini, yang lebih mudah untuk dilewati.”
Ketika Anjani kemudian
merunduk untuk menyusup sebuah lorong yang sangat sempit di antara
batang-batang pohon sebesar pelukan orang dewasa, Anjani benar-benar dibuat
terkejut. Begitu kepalanya tersembul di antara dedaunan yang lebat, dia melihat
sesuatu yang beberapa saat tadi tidak dilihatnya, sinar Matahari. Betapapun
lemahnya, sinar Matahari itu masih mampu menerobos dedaunan hutan dan
pohon-pohon yang terlihat sudah tidak sepepat sebelumnya.
“He!” seru Anjani
keheranan, “Rasanya baru beberapa langkah saja aku menembus hutan ini. Mengapa
pohon-pohon sudah menjadi sedemikian jarang dan bayang-bayang sinar Matahari
sore sudah terlihat?”
Tanpa sadar Anjani
memandang ke sekelilingnya. Terasa debar jantung Anjani menjadi semakin cepat
begitu menyadari hutan yang dilewatinya sudah tidak selebat tadi. Pohon-pohon
sudah sangat jarang walaupun demikian pandangan matanya masih belum leluasa
untuk melihat jalan di depannya. Ketika dia kemudian dengan bergegas maju
beberapa langkah lagi, jantungnya benar-benar bagaikan terlepas dari
tangkainya. Begitu pohon terakhir telah dilewatinya, di hadapannya kini telah
terbentang sebuah jalur jalan yang sangat dikenalnya, jalan membujur yang
menuju ke rumah Ki Gede Menoreh.
“Gila!” desis Anjani
begitu saja tanpa disadarinya sambil menoleh ke belakang. Hutan di belakangnya
yang lebat itu bagaikan hilang ditelan bumi, dan sebagai gantinya adalah
rumah-rumah para penghuni padukuhan yang berjajar-jajar di sebelah-menyebelah
jalan.
“Apakah aku sedang
bermimpi?” desis Anjani sambil kembali memandang ke depan. Tampak Kanjeng Sunan
dan cantrik Gatra Bumi telah sampai di kelokan jalan yang langsung terhubung
dengan rumah Ki Gede Menoreh.
“Ah, sudahlah,” desah
Anjani perlahan sambil menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepalanya, “Semua ini tentu kesengajaan dari Kanjeng Sunan untuk mempercepat
perjalanan agar segera sampai di kediaman Ki Gede Menoreh.”
Begitu teringat akan
kediaman Ki Gede Menoreh, Anjani segera meloncat dan berlari menyusul kedua
orang yang sudah agak jauh di depannya. Dia tidak ingin terlambat memasuki
halaman rumah Ki Gede sendirian. Dia harus datang bersama-sama dengan Kanjeng
Sunan dan cantrik Gatra Bumi agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan.
Dalam pada itu, Matahari
telah semakin rendah dan mulai terbenam di langit sebelah barat. Sinarnya yang
kemerah-merahan dengan lemahnya hinggap di pucuk-pucuk pepohonan. Sementara di
langit yang mulai suram tampak burung-burung terbang berkelompok-kelompok untuk
kembali ke sarang mereka. Setelah seharian mereka meninggalkan sarang untuk
mencari makan, kini saatnya untuk memberi makan anak-anak mereka agar dapat
tumbuh besar dan tetap sehat serta diharapkan akan menjadi generasi penerus
mereka di masa mendatang.
Dalam
pada itu, di dalam sebuah goa yang tersembunyi di puncak Perbukitan Menoreh, Ki
Tanpa Aran dan Raden Mas Rangsang tampak sedang khusuk bersembahyang. Beberapa
waktu yang lalu sebelum matahari benar-benar terbenam, mereka telah
menyempatkan diri untuk turun ke sendang yang terletak tidak seberapa jauh dari
goa. Setelah membersihkan diri dan kemudian bersuci, mereka berdua pun kemudian
memanjat naik dan memasuki goa kembali.
“Ki
Tanpa Aran,” berkata Raden Rangsang kemudian setelah mereka selesai
melaksanakan kewajiban sebagai hamba kepada Tuhannya sambil duduk bersila
menghadap penuh kepada orang tua itu, “Aku merasa sangat heran dengan kalian
berdua, terutama dengan Ki Ajar Mintaraga. Bagaimana mungkin Ki Ajar yang sudah
sangat sepuh itu mampu menempuh perjalanan sampai ke tempat ini dalam waktu
yang sangat singkat?” Raden Mas Rangsang berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Padahal, aku berjumpa dengan Ki Ajar di tengah hutan di kaki Pegunungan
Menoreh menjelang matahari sepenggalah tadi pagi. Namun ketika kita kemudian
menuju ke goa ini, ternyata Ki Ajar Mintaraga telah terlebih dahulu sampai di
tempat ini.”
Ki
Tanpa Aran tersenyum menanggapi kata-kata Raden Mas Rangsang. Jawabnya kemudian
sambil tetap tersenyum, “Raden, Kanjeng Sunan telah mengajarkan sebuah doa
kepada kami berdua, dimana di dalam doa itu dipanjatkan permohonan kepada Yang
Maha Agung untuk diperkenankan mempercepat sebuah perjalanan. Sehingga kami
yang tua-tua ini tidak terbebani dengan jarak tempuh yang cukup jauh jika kami
sedang bepergian.”
Sejenak
Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah itu sejenis
aji atau sebuah ilmu yang mampu membuat pemiliknya bergerak secepat kilat?”
“O,
tidak tidak,” jawab Ki Tanpa Aran dengan cepat, “Kami merasa tidak mempunyai
kemampuan untuk bergerak secepat itu. Justru kami hanya berjalan seperti biasa
sambil berdoa dan pasrah kepada Yang Maha Agung. Bumi seolah-olah telah dilipat
dan didekatkan kepada kami sehingga sebuah perjalanan yang cukup jauh pun hanya
memerlukan waktu sebentar.”
Kembali
Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya. Kali ini bahkan lebih dalam sehingga
tampak keningnya yang berkerut-merut.
Setelah
menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Raden Mas Rangsang akhirnya berdesis perlahan seolah-olah ditujukan
kepada dirinya sendiri, “Tentu diperlukan sebuah laku yang cukup berat untuk
menguasai ilmu itu.”
“O,
itu sama sekali tidak benar, Raden,” sahut Ki Tanpa Aran dengan serta merta,
“Doa yang diajarkan Kanjeng Sunan kepada kami berdua itu tidak menuntut sebuah
laku apapun. Kami hanya diajari untuk berdoa dengan khusuk dan sepenuh hati.”
“Jadi?
Bagaimana mungkin sebuah ilmu dapat kita kuasai tanpa menjalankan sebuah laku?”
“Disitulah
letak perbedaan antara ilmu yang selama ini kita pelajari dengan doa-doa yang
diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Ilmu menuntut sebuah laku yang kadang sangat
berat dan rumit untuk dapat menguasainya. Sedangkan doa tidak menuntut sebuah
laku apapun. Hanya kebeningan hati dan kesucian niat kita yang selalu dituntut
untuk dijaga agar doa yang kita panjatkan senantiasa mendapat RidhoNYA.”
Sejenak
Raden Mas Rangsang termenung. Pandangan matanya lurus menatap keluar goa.
Seolah-olah ingin ditembusnya tabir hitam kelam yang mulai menyelimuti bumi.
“Aku
tidak mengerti,” desis Raden Mas Rangsang perlahan sambil pandangan matanya
tetap memandang ke kegelapan malam, “Menjaga kebeningan hati dan kesucian niat
itulah yang terasa masih sangat sulit aku terapkan dalam kehidupan bebrayan ini.”
“Raden
benar,” sahut Ki Tanpa Aran, “Laku yang sebenarnya dalam menjaga kebeningan
hati dan kesucian niat itulah yang sangat berat. Tidak ada batasannya kecuali
sampai akhir hayat dikandung badan.”
Kali
ini penerus trah Mataram itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, “Apakah Kanjeng Sunan memberi nama doa itu?”
Ki
Tanpa Aran menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kanjeng Sunan tidak pernah memberi
nama sebuah doa dengan nama yang khusus. Kanjeng Sunan hanya menyebutkan bahwa
yang diajarkan itu adalah sebuah doa untuk mempercepat sebuah perjalanan,” Ki
Tanpa Aran berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Namun kami berdua telah
sepakat untuk memberi nama doa itu sebagai Aji Pangrupak Jagad.”
‘Aji
Pangrupak Jagad?” tanpa sadar bibir Raden Mas Rangsang berdesis perlahan
mengulang nama aji itu sambil mengerutkan keningnya.
bersambung ke Bag. 4
Komentar
Posting Komentar