Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 414 Bag. 3

“Aku memerlukan pertimbangan dari seseorang yang aku percaya untuk memilih jalan hidupku nantinya yang berhubungan dengankawruh kasampurnaning ngaurip,” berkata Anjani sambil menghirup udara pegunungan yang segar. Dipenuhi rongga dadanya dengan udara yang bersih dan murni sebelum akhirnya dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah ingin dibuang semua persoalan yang sedang membelit hatinya.
Tiba-tiba Kanjeng Sunan yang berjalan di depan menghentikan langkahnya. Tak terasa perjalanan mereka telah sampai di ujung lereng yang landai dan kini di hadapan mereka telah terhampar hutan lebat yang membujur di sepanjang lembah Perbukitan Menoreh.
Sejenak Kanjeng Sunan tampak terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap kedua orang dibelakangnya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Semoga Yang Maha Agung mengijinkan kita sampai di kediaman Ki Gede sebelum Matahari benar-benar terbenam.”
“Sendika Kanjeng Sunan,” jawab Cantrik Gatra Bumi sambil membungkukkan badannya. Sementara Anjani yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya hanya diam termangu-mangu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Marilah,” berkata Kanjeng Sunan kemudian sambil berbalik dan melangkah kembali. Dengan perlahan Kanjeng Sunan itu pun mulai menyusup lebatnya hutan rimba diikuti oleh cantrik Gatra Bumi.
Anjani untuk sejenak masih berdiri diam di tempatnya. Ketika tanpa sadar dia berpaling ke arah barat, tampak Matahari sudah sedemikian rendahnya, namun masih ada waktu beberapa saat sebelum Matahari itu benar-benar terbenam.
Untuk beberapa saat Anjani masih ragu-ragu untuk melangkah. Namun ketika bayangan cantrik Gatra Bumi hampir hilang ditelan rimbunnya dedaunan hutan, dengan tergesa-gesa dilangkahkan kakinya menyusul dua orang yang sudah tidak tampak bayangannya itu.
Segera saja bau tanah yang lembab tercium begitu Anjani mulai memasuki hutan. Hutan itu begitu pepatnya sehingga semakin dalam Anjani memasukinya, semakin lembab dan gelap. Hampir tidak ada secercah sinar Matahari pun yang mampu menerobos rimbunnya dedaunan.
“Aneh,” desis Anjani dalam hati sambil menerobos rimbunnya dedaunan hutan serta sulur-sulur yang berjuntai menghadang langkahnya, “Perjalanan dari lereng ini sampai ke kediaman Ki Gede mungkin memerlukan waktu satu malam lebih. Tadi pagi menjelang Matahari sepenggalah aku baru mencapai tepi hutan ini dan bertemu dengan Kakek Tanpa Aran. Padahal aku telah semalaman berjalan tanpa henti dari kediaman Ki Gede menuju ke Bukit Menoreh.”
Dengan sesekali menyibakkan dedaunan yang lebat serta sulur-sulur pepohonan yang silang melintang, tak jarang Anjani harus meloncati batang-batang pohon yang tumbang. Bahkan kadang dia harus merunduk-runduk untuk menyusup lorong-lorong sempit di antara pohon-pohon yang tumbuh rapat berjajar-jajar dan menjulang tinggi.
“Mengapa Kanjeng Sunan memilih jalan seperti ini?” keluh Anjani dalam hati sambil mencoba mengamati keberadaan kedua orang di depannya. Sesekali punggung cantrik Gatra Bumi sempat terlihat di antara lebatnya hutan, “Aku yakin di tempat lain dari hutan ini ada jalan yang tidak begitu pepat seperti ini, yang lebih mudah untuk dilewati.”
Ketika Anjani kemudian merunduk untuk menyusup sebuah lorong yang sangat sempit di antara batang-batang pohon sebesar pelukan orang dewasa, Anjani benar-benar dibuat terkejut. Begitu kepalanya tersembul di antara dedaunan yang lebat, dia melihat sesuatu yang beberapa saat tadi tidak dilihatnya, sinar Matahari. Betapapun lemahnya, sinar Matahari itu masih mampu menerobos dedaunan hutan dan pohon-pohon yang terlihat sudah tidak sepepat sebelumnya.
“He!” seru Anjani keheranan, “Rasanya baru beberapa langkah saja aku menembus hutan ini. Mengapa pohon-pohon sudah menjadi sedemikian jarang dan bayang-bayang sinar Matahari sore sudah terlihat?”
Tanpa sadar Anjani memandang ke sekelilingnya. Terasa debar jantung Anjani menjadi semakin cepat begitu menyadari hutan yang dilewatinya sudah tidak selebat tadi. Pohon-pohon sudah sangat jarang walaupun demikian pandangan matanya masih belum leluasa untuk melihat jalan di depannya. Ketika dia kemudian dengan bergegas maju beberapa langkah lagi, jantungnya benar-benar bagaikan terlepas dari tangkainya. Begitu pohon terakhir telah dilewatinya, di hadapannya kini telah terbentang sebuah jalur jalan yang sangat dikenalnya, jalan membujur yang menuju ke rumah Ki Gede Menoreh.
“Gila!” desis Anjani begitu saja tanpa disadarinya sambil menoleh ke belakang. Hutan di belakangnya yang lebat itu bagaikan hilang ditelan bumi, dan sebagai gantinya adalah rumah-rumah para penghuni padukuhan yang berjajar-jajar di sebelah-menyebelah jalan.
“Apakah aku sedang bermimpi?” desis Anjani sambil kembali memandang ke depan. Tampak Kanjeng Sunan dan cantrik Gatra Bumi telah sampai di kelokan jalan yang langsung terhubung dengan rumah Ki Gede Menoreh.
“Ah, sudahlah,” desah Anjani perlahan sambil menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Semua ini tentu kesengajaan dari Kanjeng Sunan untuk mempercepat perjalanan agar segera sampai di kediaman Ki Gede Menoreh.”
Begitu teringat akan kediaman Ki Gede Menoreh, Anjani segera meloncat dan berlari menyusul kedua orang yang sudah agak jauh di depannya. Dia tidak ingin terlambat memasuki halaman rumah Ki Gede sendirian. Dia harus datang bersama-sama dengan Kanjeng Sunan dan cantrik Gatra Bumi agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan.
Dalam pada itu, Matahari telah semakin rendah dan mulai terbenam di langit sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan dengan lemahnya hinggap di pucuk-pucuk pepohonan. Sementara di langit yang mulai suram tampak burung-burung terbang berkelompok-kelompok untuk kembali ke sarang mereka. Setelah seharian mereka meninggalkan sarang untuk mencari makan, kini saatnya untuk memberi makan anak-anak mereka agar dapat tumbuh besar dan tetap sehat serta diharapkan akan menjadi generasi penerus mereka di masa mendatang.
Dalam pada itu, di dalam sebuah goa yang tersembunyi di puncak Perbukitan Menoreh, Ki Tanpa Aran dan Raden Mas Rangsang tampak sedang khusuk bersembahyang. Beberapa waktu yang lalu sebelum matahari benar-benar terbenam, mereka telah menyempatkan diri untuk turun ke sendang yang terletak tidak seberapa jauh dari goa. Setelah membersihkan diri dan kemudian bersuci, mereka berdua pun kemudian memanjat naik dan memasuki goa kembali.
“Ki Tanpa Aran,” berkata Raden Rangsang kemudian setelah mereka selesai melaksanakan kewajiban sebagai hamba kepada Tuhannya sambil duduk bersila menghadap penuh kepada orang tua itu, “Aku merasa sangat heran dengan kalian berdua, terutama dengan Ki Ajar Mintaraga. Bagaimana mungkin Ki Ajar yang sudah sangat sepuh itu mampu menempuh perjalanan sampai ke tempat ini dalam waktu yang sangat singkat?” Raden Mas Rangsang berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Padahal, aku berjumpa dengan Ki Ajar di tengah hutan di kaki Pegunungan Menoreh menjelang matahari sepenggalah tadi pagi. Namun ketika kita kemudian menuju ke goa ini, ternyata Ki Ajar Mintaraga telah terlebih dahulu sampai di tempat ini.”
Ki Tanpa Aran tersenyum menanggapi kata-kata Raden Mas Rangsang. Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, “Raden, Kanjeng Sunan telah mengajarkan sebuah doa kepada kami berdua, dimana di dalam doa itu dipanjatkan permohonan kepada Yang Maha Agung untuk diperkenankan mempercepat sebuah perjalanan. Sehingga kami yang tua-tua ini tidak terbebani dengan jarak tempuh yang cukup jauh jika kami sedang bepergian.”
Sejenak Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah itu sejenis aji atau sebuah ilmu yang mampu membuat pemiliknya bergerak secepat kilat?”
“O, tidak tidak,” jawab Ki Tanpa Aran dengan cepat, “Kami merasa tidak mempunyai kemampuan untuk bergerak secepat itu. Justru kami hanya berjalan seperti biasa sambil berdoa dan pasrah kepada Yang Maha Agung. Bumi seolah-olah telah dilipat dan didekatkan kepada kami sehingga sebuah perjalanan yang cukup jauh pun hanya memerlukan waktu sebentar.”
Kembali Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya. Kali ini bahkan lebih dalam sehingga tampak keningnya yang berkerut-merut.
Setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Raden Mas Rangsang akhirnya berdesis perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Tentu diperlukan sebuah laku yang cukup berat untuk menguasai ilmu itu.”
“O, itu sama sekali tidak benar, Raden,” sahut Ki Tanpa Aran dengan serta merta, “Doa yang diajarkan Kanjeng Sunan kepada kami berdua itu tidak menuntut sebuah laku apapun. Kami hanya diajari untuk berdoa dengan khusuk dan sepenuh hati.”
“Jadi? Bagaimana mungkin sebuah ilmu dapat kita kuasai tanpa menjalankan sebuah laku?”
“Disitulah letak perbedaan antara ilmu yang selama ini kita pelajari dengan doa-doa yang diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Ilmu menuntut sebuah laku yang kadang sangat berat dan rumit untuk dapat menguasainya. Sedangkan doa tidak menuntut sebuah laku apapun. Hanya kebeningan hati dan kesucian niat kita yang selalu dituntut untuk dijaga agar doa yang kita panjatkan senantiasa mendapat RidhoNYA.”
Sejenak Raden Mas Rangsang termenung. Pandangan matanya lurus menatap keluar goa. Seolah-olah ingin ditembusnya tabir hitam kelam yang mulai menyelimuti bumi.
“Aku tidak mengerti,” desis Raden Mas Rangsang perlahan sambil pandangan matanya tetap memandang ke kegelapan malam, “Menjaga kebeningan hati dan kesucian niat itulah yang terasa masih sangat sulit aku terapkan dalam kehidupan bebrayan ini.”
“Raden benar,” sahut Ki Tanpa Aran, “Laku yang sebenarnya dalam menjaga kebeningan hati dan kesucian niat itulah yang sangat berat. Tidak ada batasannya kecuali sampai akhir hayat dikandung badan.”
Kali ini penerus trah Mataram itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah Kanjeng Sunan memberi nama doa itu?”
Ki Tanpa Aran menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kanjeng Sunan tidak pernah memberi nama sebuah doa dengan nama yang khusus. Kanjeng Sunan hanya menyebutkan bahwa yang diajarkan itu adalah sebuah doa untuk mempercepat sebuah perjalanan,” Ki Tanpa Aran berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Namun kami berdua telah sepakat untuk memberi nama doa itu sebagai Aji Pangrupak Jagad.”

‘Aji Pangrupak Jagad?” tanpa sadar bibir Raden Mas Rangsang berdesis perlahan mengulang nama aji itu sambil mengerutkan keningnya.


bersambung ke  Bag. 4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403