Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 1
TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya
sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya.
“Baiklah,” akhirnya Ki Demang
tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi.
Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran
Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.”
“Baik Ki Demang,” jawab
perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk
kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu.
“Marilah kita membagi tugas”
berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang
akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi
para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending
yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani
aku di pendapa.”
“Baik Ki Demang,” hampir
serempak mereka menjawab.
Demikianlah, pertemuan Ki
Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua
orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk
kademangan.
“Kami mohon maaf telah
menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata
Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di
pendapa banjar padukuhan induk kademangan.
“Ampun Pangeran,” jawab Ki
Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni
kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan
ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan
Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh
penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di
seluruh tanah ini.”
Pangeran Pringgalaya tersenyum
sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami
ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk
mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.”
“Hamba, Pangeran,” sahut Ki
Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.
Sejenak kemudian, sebelum
jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir.
Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka
segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu
masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah.
Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan
yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi
tempat itu.
Pangeran Pringgalaya duduk di
tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan.
Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan.
Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan
makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar
padukuhan induk kademangan yang cukup luas.
Sedangkan para prajurit yang
telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di
rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung
di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian
kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja
yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan.
Ketika persiapan dirasa sudah
cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera
memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan
minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para
pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah
prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam
menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang
merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram.
“Begitu kalian menaiki tlundak
pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda
yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala
dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu
sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.”
“Apakah kami harus menyembah
lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis
yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri.
Lurah prajurit itu sejenak
terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir
sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis
itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah
lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah
terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah
selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.”
“Termasuk kami?” tiba-tiba
seorang pemuda memotong.
Lurah prajurit itu berpaling.
Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi
sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum,
“Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian
kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.”
Anak-anak muda yang berada di
sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka.
Dalam pada itu, rombongan
berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang
langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak
memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan
para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja
suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah
menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda
yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu
padukuhan.
Sedangkan para peronda yang
belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan,
sejenak telah menghentikan permainan mereka.
“Suara apakah itu, Kakang?”
bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap.
Kawannya yang ditanya untuk
beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak
semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang
sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu
yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan
tidak wajar.
“Sepertinya bunyi rombongan
orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba
mempertajam pendengarannya.
“Rombongan orang berkuda?”
peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah
tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya
yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat
bangun.
“He?” salah satu peronda yang
baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam
begini?”
“Kalau pendengaranku tidak
salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu.
Segera saja rasa kantuk yang
masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua
peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun.
“Coba kalian dengarkan dengan
seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan
orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.”
“Ya, kakang,” jawab salah satu
dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar,
bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah
golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.”
Kawan-kawannya yang lain tampak
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu.
Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat
kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil
berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka
rampok.
Namun bagaimana pun juga, para
peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu,
tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan.
“Pergilah ke gardu padukuhan
induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda
yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri
tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa
keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk,
tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung
menjadi gelisah.”
“Baik, Kakang,” jawab peronda
berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi
pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri
lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk.
Namun, sebenarnyalah beberapa
penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki
kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa
kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka.
Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap
dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah
mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan
dengan suara derap kaki-kaki kuda itu.
“Kakang akan kemana?” seorang
ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat
dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur.
“Aku akan ke gardu sebentar,”
jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau
mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?”
“Ya, Kakang,” jawab istrinya
dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah
sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?”
Sejenak laki-laki muda itu
menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu
berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya
laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga.
Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol
padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.”
“Tapi Kakang,” istrinya mulai
merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.”
Laki-laki muda itu untuk
beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa.
Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan,
hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun
sekarang ini dia sedang lepas tugas.
“Duduklah,” berkata laki-laki
muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku
tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar
sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal
Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.”
Mendengar kata-kata suaminya,
perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya.
Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang,
mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya
mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti
sedang bertamasya”
Suaminya tersenyum sambil
menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi
telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan
pasukan Mataram.
“Sudahlah,” katanya kemudian
kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah
pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir
kalinya.”
Istrinya tidak menjawab hanya
menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan.
Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia
menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap
tidur dengan pulasnya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung
Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang
mencurigakan beberapa ratus tombak di depan.
“Mungkin hanya seorang petani
yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati.
Beberapa orang dalam rombongan
itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah
kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut
bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya.
“Hanya seorang petani,”
demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil
kesimpulan.
Ketika rombongan berkuda itu
kemudian lewat beberapa tombak di hadapannya, petani yang berjongkok menunggui
air itu tampak hanya mengangkat wajahnya tanpa berdiri. Pemandangan itu memang
cukup aneh dan tidak wajar. Memang bulak panjang itu sering dilewati oleh para
pengawal Kademangan Sangkal Putung yang sedang nganglang dengan berkuda. Namun
jumlah mereka tidak lebih dari lima atau enam orang. Sementara rombongan
berkuda itu berjumlah lebih dari tiga puluh orang.
Ketika lampu dlupak yang
disangkutkan di regol padukuhan pertama yang berbatasan dengan bulak panjang
itu sudah terlihat berkedip-kedip dalam tiupan angin malam yang lembut, Ki
Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan itu pun telah menarik nafas
dalam-dalam.
“Satu kemungkinan buruk telah
terlewati,” desis Ki Tumenggung dalam hati, “Kemungkinannya sangat kecil jika
mereka akan menyergap rombongan ini di dalam Kademangan yang kuat, sekuat
Kademangan Sangkal Putung ini.”
Namun baru saja Ki Tumenggung
menarik nafas lega, tiba-tiba saja seluruh rombongan itu telah dikejutkan oleh
cahaya api yang meluncur dua kali berturut-turut di atas langit yang jernih.
Panah-panah berapi itu telah melaju dengan cepat di atas langit mendahului
derap langkah kaki-kaki kuda mereka.
“Gila!” kata itu telah
terlontar begitu saja dari setiap mulut.
“Bagaimana Ki Tumenggung?”
bertanya salah satu Lurah Prajurit yang mengapit Pangeran Jayaraga sambil
berpaling dan sedikit mengekang laju kudanya.
Ki Tumanggung yang sedang
berpaling ke belakang itu menggelengkan kepalanya sambil kembali memandang ke
depan. Jawabnya kemudian, “Tidak ada gunanya kita mengejar orang itu. Dia sudah
berhasil memberikan isyarat. Lebih baik kita teruskan perjalanan ini sampai ke
Kademangan Sangkal Putung.”
Lurah prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menghentak perut kudanya agar berlari
sedikit lebih cepat, dia kembali bertanya, “Apakah kita akan beristirahat di
Kademangan Sangkal Putung?”
Sejenak Ki Tumenggung berpaling
sekilas ke arah Pangeran Jayaraga. Namun agaknya Pangeran itu tidak memberikan
tanggapan apapun. Maka kata Ki Tumenggung kemudian, “Kita hanya lewat saja.
Kemungkinannya di Kademangan Jati Anom kita beristirahat sejenak.”
Kemudian kepada pengawal Kademangan Sangkal Putung
yang ikut dalam rombongan itu, Ki Tumenggung berkata, “Berkudalah di paling
depan. Apakah setiap pengawal di Kademanganmu dapat mengenalimu dengan baik?”
Pengawal Sangkal Putung itu
sejenak mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tentu saja tidak Ki Tumenggung. Namun
aku dapat membuktikan kalau aku adalah salah satu dari pengawal Sangkal Putung
yang dikirim ke Panaraga.”
“Bagaimana caranya?” begitu
saja pertanyaan itu terlontar dari salah satu prajurit yang berada di
sebelahnya.
Pengawal itu tersenyum.
Jawabnya kemudian, “Selain baju yang aku pakai ini adalah ciri khas baju
pengawal Sangkal Putung, mereka dapat membawaku ke padukuhan induk. Semua
pengawal di padukuhan induk pasti mengenalku dengan baik karena aku memang
berasal dari padukuhan induk.”
Hampir setiap kepala
terangguk-angguk mendengar penjelasan pengawal itu. Sementara langkah-langkah
kuda mereka telah semakin mendekati regol padukuhan.
Dalam pada itu di sebuah hutan
kecil namun cukup pepat di daerah Macanan di dekat Kademangan Jati Anom, tampak
rombongan orang-orang yang berjumlah cukup banyak sedang beristirahat. Mereka
menebar di sela-sela pepohonan dan gerumbul-gerumbul liar.
“Guru,” berkata seseorang yang
berperawakan tinggi besar dan berwajah penuh wibawa, “Telik sandi kita telah
mengirimkan isyarat bahwa sepasukan berkuda telah keluar dari Kademangan Ngadireja
dan sekarang mereka sedang menuju ke Kademangan Sangkal Putung.”
Orang yang dipanggil guru itu
sejenak merenung. Tampak kerut merut di wajahnya yang sudah penuh dengan
keriput. Setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, barulah orang yang sudah
sepuh itu menjawab, “Teja Wulung, perang Panaraga telah berakhir. Apakah engkau
masih ingin meneruskan mimpimu?”
“Ini bukan sekedar sebuah
mimpi, Guru,” sahut orang tinggi besar yang ternyata bernama Teja Wulung itu
cepat, “Tapi sebuah cita-cita untuk menuntut keadilan serta sebuah perjuangan
panjang untuk membawa angin perubahan bagi kawula Mataram.”
Kembali orang tua itu menarik
nafas panjang. Katanya kemudian, “Tetapi Pangeran Jayaraga telah menyerah. Apa
katamu?”Teja Wulung menggeretakkan giginya. Jawabnya kemudian dengan suara
sedikit keras, “Jayaraga memang terlalu lemah hati. Dia begitu cepat menyerah
bahkan sebelum ada setetes darahnya yang tertumpah ke bumi.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Teja Wulung. Sambil tersenyum masam dia bertanya,
“Bagaimana dengan engkau sendiri, Teja Wulung? Apakah engkau berjuang sampai
titik darah penghabisan pada saat Mataram menyerang Panaraga? Bukankah engkau
telah diangkat menjadi Senapati Agung Kadipaten Panaraga oleh Adipati Panaraga,
pangeran Jayaraga? Dimana dirimu pada saat Pangeran Jayaraga membutuhkan
tenagamu? Pada saat Pangeran Pringgalaya dan pasukannya telah mengepung istana
Kadipaten Panaraga?”
Teja Wulung sama sekali tidak
menjawab. Hanya wajahnya yang tampak merah padam. Dia benar-benar merasa malu
dan memendam dendam setinggi gunung sedalam lautan kepada Pangeran Pringgalaya
yang telah berhasil menghancurkan pasukannya di selatan kota Panaraga.
“Persetan Pringgalaya!” geram
Teja Wulung dalam hati. Namun dia tidak dapat mengingkari bahwa kemampuan salah
satu putra Panembahan Senapati yang terlahir dari putri Madiun itu memang
selapis di atas kemampuannya.
“Engkau tidak akan mampu
mengalahkan Pangeran Pringgalaya,” tiba-tiba orang tua itu berkata seolah olah
mengerti apa yang sedang berada di dalam benak Teja Wulung, “Pangeran yang
semasa kecilnya bernama Raden Mas Julik itu adalah putra dari Retna Dumilah,
putri Panembahan Madiun. Panembahan Senapati begitu menyayangi Retna Dumilah
dan putranya. Sehingga sebelum Panembahan Senapati meninggal, seluruh ilmunya
telah diwariskan kepada Raden Mas Julik.”
Kembali Teja Wulung menggeram.
Dia benar-benar merasa menyesal telah melarikan diri dari medan pertempuran.
Namun semua itu terpaksa dilakukannya karena dia masih ingin tetap hidup dan
dapat mewujudkan cita-citanya, menduduki singgasana Mataram.
“Apakah Guru benar-benar tidak
ingin membantuku?” tiba-tiba terdengar pertanyaan dari Teja Wulung.
Untuk beberapa saat orang tua
itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu
ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung
Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat.
“Sebelum pecah perang antara
Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk
tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian
juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami
berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.”
“Tapi sekarang perang Panaraga
telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada
kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.”
“Engkau memang benar bahwa
perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih
ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak
Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan
ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.”
Begitu nama ibundanya disebut,
terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu
segera dibuangnya jauh-jauh.
“Guru, aku tidak akan pulang ke
Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram,
selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.”
“Bagaimana kalau engkau tidak
mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?”
“Aku akan terus berjuang sampai
cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi
terbitnya matahari di ufuk timur.”
Orang tua itu hanya dapat
menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung.
“Nah, jika Guru tidak ingin
terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,”
berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa
Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat
pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau
putihnya.”
Orang tua itu tidak menjawab.
Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca.
Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara
Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih,
satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai
anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang
mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya.
Sejenak kemudian Teja Wulung
segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat.
“Apakah kalian menempatkan
telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian.
“Hamba, Pangeran,” jawab orang
yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah
Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari
Kademangan Sangkal Putung.”
“Kemungkinan mereka melalui Kaliasat
memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu
memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom,
dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus
melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus
menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai
perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini
harus dihindari.”
“Kalian benar,” Teja Wulung
atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati
memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi
di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu.
Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka,
padang rumput Lemah Cengkar.”
“Hamba Pangeran,” hampir
serempak para pemimpin kelompok itu menjawab.
“Nah sekarang atur lah
orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya
cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian
bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?”
Para pemimpin kelompok itu
saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya
Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan
berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa
itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di
bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan
mereka.”
Para pemimpin kelompok itu
sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti
perhitungan pangeran Ranapati.
Sekembalinya para pemimpin
kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas.
Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak
orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Teja Wulung,” berkata orang
tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya
engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang
mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk
apa engkau melakukan semua ini?”
“Guru,” jawab Pangeran Ranapati
sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat
kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran.
Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram.
Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan
landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram,
kami akan menghancurkan Mataram.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten
Surabaya maksudmu?”
Pangeran Ranapati mengangguk.
Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan
Pasuruan dan Gresik.”
Tiba-tiba wajah orang itu
menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya.
Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang
penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing
yang berada di Gresik?”
Sejenak Pangeran Ranapati
terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan
mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar
berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.”
Orang tua itu pun kemudian
tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para
pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar.
Bersambung Bag. 2
Komentar
Posting Komentar