Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 2
Dalam pada itu, di kediaman Ki
Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur,
tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar.
Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara
Wulan serta tak ketinggalan Damarpati.
“Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya
Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan
Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau
masih belum sembuh benar dari luka dalammu?”
Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai
penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat
ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara
diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya.
“Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang
terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya
dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru
karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di
pangkuannya.
“Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil
menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi
suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga
Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata
di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak
keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga
sendiri.”
“Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil
mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah,
“Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha
mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit.
Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata
yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai
tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam
meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam
kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa
kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat
bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera
hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada
di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan
cintanya.
“Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di
bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani,
“Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling
ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera
beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.”
Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu
pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu
murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya.
“Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang
bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di
bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar
sebagai teman berbincang.”
“Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu
tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah.
“Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah.
Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam
ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat
wajahnya.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang
terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru
menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi.
“Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku
dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri
saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah
paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan
mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata
selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin
mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan
benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.”
Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri
akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti
sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat
kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun
sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang
ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun
semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku
sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.”
“Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar
Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita
tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk
menjadi pendengar yang baik.”
Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak
mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata,
“Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar
Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.”
Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani
perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya,
Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon
maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi.
Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar
Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.”
“Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau
bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku,
Anjani?”
“Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada
di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya
dengan wajah yang sedikit bersemu merah.
“Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi
kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu
pun ikut berdiri.
“Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah
kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh
Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri,
dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah
Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik.
Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri
untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar
Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi.
Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling
ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang
terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra
Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang
yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan.
“Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga
membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau
pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang
engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?”
“Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki
Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih
dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa
pamit.”
Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban
Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat.
Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi.
Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau
dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng
Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun
olah batin.
“Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu
yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang
tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai
bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan
jantungnya.”
Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah
keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya
hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu.
“Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak
mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan
yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak
berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk
melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki
Jayaraga.”
Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan
menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku
sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat
membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah
mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban
kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi
penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang
kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala
macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam
kelanggengan.”
Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu
untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama
sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang
sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih
tergolong sangat muda.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam
dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu
perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh
telah memukul kentongan dengan nada dara muluk.
“Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar.
Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya
kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah
waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan
yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke
arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan
tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung
Muria?”
“Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta
merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku
diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan
sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki
Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke
Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin
kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu
aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.”
Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih
mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga
mereka berdua.
“Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah
Putih kemudian.
Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan
Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra
menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan.
Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar
Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh.
Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan
antara guru dan murid.”
Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan
kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri
Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah
mendapat gambaran tentang diri orang tua itu.
“Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di
Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.
“Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung
Sedayu untuk suatu keperluan.”
“Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu
terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa
tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang
sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu.
“Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita
segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat
duduknya.
“Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah
Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya.
“Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung
Sedayu.”
Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling
berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung
Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun
jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat
masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas
teritisan depan pintu dapur.”
“Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah.
Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke
bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas
untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong
yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu.
Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat
sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan
membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil
membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat
menggemaskan itu.
“Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil
tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai
besuk saja?”
Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah
Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip
di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga
Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya.
Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya
menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk,
aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan
sangat membosankan.”
“Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar
Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan
membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang
baik.”
Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu.
Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya
semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu.
Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan
keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil,
“He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat
hantu.”
Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar
Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun
tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat.
“Anjani?” Sekar Mirah menjadi semakin heran.
Dipandangi-nya seraut wajah yang masih muda dan segar itu tanpa berkedip. Jauh
di lubuk hatinya, telah terasa getar-getar yang tidak wajar seiring dengan
sikap Anjani yang penuh dengan tanda tanya.
“Mbokayu,” akhirnya keluar juga sepatah kata dari
bibir merah jambu itu dengan sendat.
Dengan sedikit menengadahkan wajahnya, sekuat tenaga
Anjani mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi.
Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas ujung bajunya sekedar untuk
menahan gejolak di dalam dadanya.
“Ada apa Anjani?” dengan sareh Sekar Mirah mencoba
menenangkan hati Anjani. Dengan lembut dibelainya rambut Anjani yang hitam dan
indah berombak. Lanjutnya kemudian, “Katakan lah. Jangan ragu-ragu. Engkau
telah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Persoalanmu adalah persoalanku
juga. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang ada pada diriku, aku akan
selalu siap di sisimu untuk membantumu.”
Kata-kata Sekar Mirah itu justru bagaikan sebuah bindi
terbuat dari besi baja yang menghantam belanga yang penuh berisi air. Akibatnya
adalah sangat dahsyat. Belanga itu pun hancur berkeping-keping disertai dengan
tertumpahnya air yang berada di dalamnya.
“Mbokayu..!” diawali dengan sebuah jeritan kecil,
Anjani ternyata telah menjatuhkan diri di hadapan Sekar Mirah. Diantara
sedu-sedan yang tertahan-tahan, dipeluknya erat-erat kedua kaki Sekar Mirah
sambil melanjutkan kata-katanya, “Silahkan mbokayu membunuhku sekalipun aku
ikhlas, sebagai jalan menebus dosa-dosaku selama ini kepada keluarga mbokayu.”
“Anjani!” seru Sekar Mirah sedikit agak keras sambil
mengguncang-guncang pundak Anjani yang berlutut di hadapannya, “Apakah engkau
sadar dengan kata-katamu itu? Untuk apa aku membunuhmu? Justru engkau telah
menyelamatkan keluargaku sebanyak dua kali dan untuk semua itu aku belum sempat
membalas kebaikan budimu.”
Anjani menggeleng-gelengkan kepalanya sambil semakin
erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk
menahan tangis yang terasa bergumpal-gumpal dan berdesak-desakkan ingin keluar
dari tenggorokannya. Namun semua itu justru telah membuat tubuhnya semakin
terguncang-guncang dan nafasnya tersengal-sengal.
Sejenak Sekar Mirah termenung melihat keadaan Anjani.
Berbagai tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya. Untuk beberapa saat
dibiarkan saja Anjani dalam keadaannya walaupun ada sedikit kekawatiran tangis
Anjani yang tertahan-tahan itu akan dapat membangunkan Bagus Sadewa, atau
bahkan mungkin sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di luar bilik.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” pertanyaan itu
telah menggelitik hati Sekar Mirah, “Mengapa Anjani merasa telah berbuat
kesalahan terhadap keluargaku? Padahal aku baru saja mengenalnya, bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi?”
Masih terbayang dengan jelas di rongga matanya.
Bagaimana Anjani dengan tandang yang sigap dan cekatan serta ilmu yang mumpuni
berhasil melumpuhkan lawannya. Seandainya saat itu Anjani tidak muncul dan
menolong mereka, tentu Bagus Sadewa telah berhasil mereka culik dan dijadikan
sandera untuk melumpuhkan semangat juang Ki Rangga Agung Sedayu dalam berperang
melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sedangkan dia sendiri dan Damarpati
tentu juga akan mengalami nasib yang sangat jelek. Jika tidak dibunuh,
kemungkinan juga akan dijadikan sebagai tawanan.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah telah dikejutkan oleh
angan-angannya sendiri. Jika saja saat itu ada petir yang menyambar di atas
kepalanya, dia tidak akan sekaget itu. Ketika terlintas di dalam benaknya,
seseorang yang selama ini sangat dicintai dan dikaguminya sebagai suami dan
ayah dari anaknya, jantung Sekar Mirah pun bagaikan tersentuh bara api dari
tempurung kelapa. Siapa lagi yang dimaksud oleh Anjani jika bukan suaminya, Ki
Rangga Agung Sedayu.
Menyadari kemungkinan itu lah yang bisa saja terjadi,
darah di sekujur tubuh Sekar Mirah pun bagaikan mendidih.
“Anjani..!” geram Sekar Mirah kemudian dengan suara
gemetar dan nafas yang memburu. Kedua bola matanya yang memerah darah itu
dengan nanar memandang wajah Anjani yang menunduk. Sambil mencengkeram kedua
pundak Anjani, Sekar Mirah pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Apakah yang
engkau maksudkan itu, suamiku? Ki Rangga Agung Sedayu, he?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, justru Anjani semakin
erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Tangisnya pun telah pecah tanpa dapat
dikendalikannya lagi.
Ketika Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai adik
Untara itu ternyata telah menunjukkan kedahsyatannya dalam lomba memanah dan
mampu mengalahkan Sidanti, perhatian gadis Sangkal Putung itu pun kemudian
berbalik kepada anak muda yang luruh dan rendah hati itu. Jiwa Sekar Mirah yang
meledak-ledak dan selalu haus akan tantangan dan pengeram-eram, ternyata telah
tunduk dan kagum akan kesederhanaan dan keluhuran budi putra kedua Ki Sadewa
itu. Agung Sedayu yang mendapat kesempatan untuk melepaskan anak panah
terakhirnya, ternyata lebih memilih memanah burung yang sedang terbang di
angkasa dari pada tubuh Sidanti sendiri.
Namun kekaguman Sekar Mirah itu tetap disertai dengan
angan-angan bahwa suatu saat sifat anak muda yang dikagumi itu akan berubah
menjadi laki-laki sebagaimana yang selalu ada dalam angan-angannya, laki-laki
yang mengejar masa depannya dengan penuh semangat, yang siap mengurbankan apa
saja demi mencapai cita-citanya. Bukan laki-laki yang hanya pasrah akan nasib
dan nrimo ing pandum.
Namun semua itu perlahan mulai berubah sejak dia menuntut
ilmu olah kanuragan dan jaya kasantikan kepada Ki Sumangkar, adik seperguruan
Ki Patih Mantahun. Dengan sangat telaten gurunya mulai membekali kawruh tentang
kehidupan yang berhubungan dengan bebrayan agung. Hubungan timbal balik antara
sesama manusia dan dengan Sang Pencipta. Terlebih lagi adalah kewajiban pokok
yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya sebagai wujud rasa
syukur atas karuniaNYA yang telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh
isinya.
Besambung ke Bag. 3
Komentar
Posting Komentar