Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 6

Ki Tumenggung Purbarana yang merasa semakin terdesak ternyata telah mengambil sebuah keputusan untuk sekedar mengulur waktu. Ketika sebuah serangan datang membadai dari lawannya, dengan cepat dia segera meloncat mundur tiga kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, di tangan kanan Tumenggung Purbarana telah tergenggam sebilah pedang panjang.

Pangeran Ranapati tertawa melihat Ki Tumenggung menggenggam senjatanya. Katanya kemudian, “O, agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepadaku sebuah ilmu pedang yang nggegirisi. Baiklah, aku juga akan menggunakan kerisku ini. Hati-hatilah Ki Tumenggung. Goresan sekecil apapun dari kerisku, sudah cukup mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.”

Selesai berkata demikian, Pangeran Ranapati segera menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Sebuah keris yang berwarna kehitam-hitam dan berluk sembilan.

Berdesir jantung Ki Tumenggung begitu melihat ujud keris lawannya. Keris itu pasti mengandung warangan yang sangat kuat. Dengan sebuah goresan kecil sekali saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi.

Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ilmu pedang Ki Tumenggung ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Bilah pedang itu bagaikan menjadi berpuluh-puluh dan mengurung lawannya dari segala penjuru.

Namun lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Untuk beberapa saat memang dia terlihat terdesak beberapa langkah mundur. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Ketika Pangeran Ranapati telah menemukan titik kelemahan permainan pedang lawannya, keris di tangannya segera berputaran dan mengeluarkan asap tipis berwarna kehitam-hitaman.

Ki Tumenggung benar-benar telah kehilangan akal. Ilmu pedangnya tidak mampu menembus pertahanan lawan, bahkan kini kembali dirinya yang terdesak mundur. Tidak ada jalan lain baginya selain mengetrapkan puncak ilmunya, apapun yang terjadi.

“Jika ilmu pamungkasku kali ini membentur kekuatan yang tak tertahankan, setidak-tidaknya aku telah melakukan sebuah usaha,” berkata Ki Tumenggung dalam hati.

Demikianlah akhirnya. Setelah melihat tidak ada jalan lain, selain membenturkan puncak ilmunya, Ki Tumenggung pun segera bersiap.

Ketika kesempatan itu akhirnya datang, dengan cepat Ki Tumenggung segera meloncat beberapa langkah ke belakang. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, disilangkan pedang panjang itu di depan dadanya. Kemudian dengan perlahan ujung pedang itu terjulur ke depan mengarah dada lawan. Sementara tangan kirinya terkepal sejajar lambung.

Pangeran Ranapati yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha mengejar. Dengan tenang ditunggunya serangan pamungkas lawannya.

Yang terjadi kemudian adalah benar-benar dahsyat. Dengan sebuah teriakan menggelegar ki Tumenggung Purbarana meloncat tinggi. Pedang panjangnya terayun deras mengarah kepala lawannya.

Sebuah senyum tipis terlihat di bibir pangeran yang keras hati itu. Setelah sekejap merangkapkan tangan kiri beserta tangan kanan yang menggenggam keris di depan dada, dengan tenang Pangeran Ranapati segera mengangkat senjatanya ke atas kepalanya untuk menangkis serangan lawan.

Benturan yang terjadi kemudian benar-benar tidak seimbang. Pangeran Ranapati yang bersenjatakan lebih kecil tampak hanya tergetar sedikit dan mundur selangkah. Sedangkan ki Tumenggung yang telah mengerahkan seluruh tenaga cadangannya telah terlempar ke belakang. Serangannya bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Tubuh Tumenggung itu terputar sekali di udara sebelum akhirnya jatuh bergulingan di rumput yang mulai basah tersiram embun malam.

Terdengar keluhan tertahan dari mulut Ki Tumenggung. Betapapun seluruh tubuhnya rasa-rasanya bagaikan berpatahan, namun sebagai seorang prajurit yang pantang menyerah, dengan terhuyung-huyung Ki Tumenggung Purbarana segera mencoba untuk bangkit berdiri.

Sejenak dengan pandangan yang nanar Ki Tumenggung mencoba mencari senjatanya yang terlempar entah kemana. Ketika pandangan matanya yang masih berkunang-kunang itu melihat bayangan lawannya tegak berdiri dengan kaki renggang hanya beberapa langkah di depannya, Ki Tumenggung Purbarana pun segera berusaha untuk berdiri tegak.

“Nah, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Ranapati kemudian sambil tersenyum mengejek, “Apakah engkau masih belum mau melihat kenyataan? Hanya dengan sebuah sentuhan kecil saja, aku akan dapat mengakhiri perlawanmu dengan mudah.”

Ki Tumenggung tidak segera menjawab. Dengan menarik nafas dalam-dalam, dicobanya untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari lereng bukit. Jawabnya kemudian, “Aku mengakui ilmu Ki Sanak memang ngedab-edabi, tapi aku tidak akan mundur setapak pun. Sekali lagi atas nama penguasa Mataram, menyerahlah mumpung masih ada kesempatan. Segala perbuatan yang melawan paugeran, pasti akan hancur. Hanya tinggal menunggu waktu saja.”

Terdengar Pangeran Ranapati tertawa pendek. Katanya kemudian dengar suara menggelegar, “Ki Tumenggung Purbarana! Nyawamu sudah di ujung rambut masih mencoba bercerita ngayawara! Tundukkan kepalamu dalam-dalam, agar di saat-saat terakhirmu, senjataku ini tidak terlalu menyakitimu!”

Selesai berkata demikian, dengan sebuah teriakan menggelegar Pangeran Ranapati segera bersiap melancarkan serangan terakhirnya. Namun sebelum anak laki-laki satu-satunya Rara Ambarasari itu meloncat, tiba-tiba saja padang rumput Lemah Cengkar itu telah digoncang oleh getaran suara cambuk yang menggelegar memenuhi udara malam.

“Gila!” geram Pangeran Ranapati menahan serangan pamungkasnya sambil melangkah mundur. Sejenak pertempuran di padang rumput itu pun telah terhenti dengan sendirinya.

“Orang bercambuk?” hampir setiap orang yang berada di padang rumput itu berseru tertahan. Namun mereka belum dapat memastikan, siapakah orang bercambuk itu? Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang berada di Menoreh kah? Atau adik seperguruannya, Ki Swandaru yang mereka kenal sebagai putera Ki Demang Sangkal Putung?

Sejenak kemudian, mereka yang berada di padang rumput itu segera mengedarkan pandangan mata mereka ke segala penjuru untuk mencari bayangan orang yang telah menggetarkan udara malam dengan suara ledakan cambuknya.

Tak lama kemudian, setiap dada orang yang berada di padang rumput itu telah berdesir tajam ketika dalam keremangan dini hari sebuah bayangan perlahan telah muncul dari balik pohon beringin raksasa yang berdiri kokoh di tengah padang rumput Lemah Cengkar. Tampak tangan kanan bayangan itu memegang pangkal cambuknya, sedangkan ujung juntai cambuknya berada di genggaman tangan kirinya.

“Ki Rangga Agung Sedayu?” beberapa prajurit yang sudah mengenal Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh itu berseru tertahan. Demikian juga Ki Tumenggung Purbarana.

Orang yang berdiri di bawah bayangan pohon beringin raksasa itu memang Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan langkah perlahan tapi pasti, dia melangkah mendekati arena perang tanding Ki Tumenggung Purbarana melawan Pangeran Ranapati.

Pangeran Ranapati yang mendengar beberapa orang telah menyebut nama Ki Rangga Agung Sedayu, jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Bagaimana pun juga nama besar ki Rangga Agung Sedayu telah menggetarkan jantungnya.

“Maaf Ki Tumenggung,” berkata Ki Rangga kemudian sesampainya di lingkaran pertempuran, “Aku mendapat titah khusus langsung dari Panembahan Adi Prabu Hanyakrawati untuk menangkap orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati ini, hidup atau mati.”

Tergetar dada Ki Tumenggung Purbarana. Ada sedikit rasa ketersinggungan di sudut hatinya. Namun dia segera menyadari, jika Ki Rangga memang benar mendapat titah langsung dari penguasa tertinggi Mataram, dia harus mematuhinya.

“Omong kosong!” tiba-tiba Pangeran Ranapati membentak lantang, “Alangkah sombongnya orang yang bernama Agung Sedayu ini! Aku memang sudah mendengar nama besarnya yang bergaung dari ujung ke ujung tanah ini. Namun aku tidak gentar. Bagiku tidak ada seorang pun di tlatah Mataram ini yang bisa menggetarkan hatiku. Marilah, aku sebaiknya segera menyelesaikan pekerjaan ini sebelum Matahari terbit.”

Berdesir dada Ki Rangga mendengar kesombongan Pangeran Ranapati. Namun sebelum dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara tertawa perlahan. Tertawa seorang kakek-kakek yang melihat cucu-cucunya sedang bertengkar berebut mainan.

Beberapa orang terkejut melihat kemunculan seorang kakek-kakek di tempat itu. Akan tetapi ki Rangga sama sekali tidak terkejut. Sedari tadi dia sudah melihat kakek itu bersembunyi, namun sengaja Ki Rangga tidak mengusiknya.

“Selamat datang Ki Ageng Selagilang,” sapa Ki Rangga ramah begitu kakek tua itu melangkah mendekat.

“Terima kasih Ki Rangga,” jawab kakek tua itu yang ternyata Ki Ageng Selagilang atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, guru Pangeran Ranapati.

“Ki Rangga,” berkata Ki Singawana sepuh kemudian sesampainya di hadapan Ki Rangga, “Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak saling melibatkan diri dalam perang antara Mataram dan Panaraga?”

Ki Rangga tidak menjawab, justru sambil tersenyum dia balik bertanya, “Apakah Ki Ageng atau pun seseorang pernah melihat aku ikut menyerang Panaraga?”

“Bukan itu maksudku Ki Rangga,” potong Ki Singawana Sepuh cepat, “Kita memang tidak terlibat secara langsung dalam perang itu. Akan tetapi apa yang sedang terjadi di padang rumput ini masih ada hubungannya dengan perjanjian kita dahulu.”

“O, tentu saja tidak Ki Ageng,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Tugas yang aku emban sekarang ini berbeda dengan saat itu. Dulu aku memang ditugaskan secara khusus oleh Ki Patih Mandaraka untuk mengimbangi kekuatan Panaraga dengan hadirnya Ki Singawana Sepuh, guru orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sekarang tugasku adalah menangkap hidup atau mati orang yang telah berani menyebut dirinya trah Mataram itu.”

“Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Ranapati yang berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Rangga, “Jangan membual di hadapan Pangeran Ranapati. Aku tantang agul-agulnya Mataram ini untuk berperang tanding sampai salah satu di antara kita terkapar mati.”

“Sebentar Teja Wulung,” sergah Ki Singawana Sepuh yang melihat muridnya sudah melangkah maju, “Bukan maksudku meragukan kemampuanmu. Namun aku sudah terikat janji, jika Ki Rangga turun ke gelanggang, aku pun akan turun. Dan itu sudah menjadi keputusanku.”

Untuk beberapa saat pangeran Ranapati justru telah membeku di tempatnya. Dia menyadari sepenuhnya jika gurunya sudah menjatuhkan keputusan, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengubahnya.“Baiklah guru,” berkata Pangeran Ranapati kemudian, “Terserah kepada Guru. Kedatangan orang ini di luar perhitunganku dan juga di luar tanggung jawabku. Aku akan membunuh Tumenggung yang sombong ini dan selanjutnya membebaskan Adimas Jayaraga untuk aku bawa ke Bang wetan.”

Selesai berkata demikian, tanpa memperdulikan Ki Rangga lagi, Pangeran Ranapati segera melangkah mendekat ke tempat Ki Tumenggung Purbarana berdiri.

Sejenak Ki Rangga masih sempat berpaling sekilas ke arah Tumenggung Purbarana. Kelihatannya Ki Tumenggung Purbarana telah memanfaatkan kesempatan itu untuk memulihkan tenaganya yang bagaikan telah terkuras habis.

“Ki Rangga,” terdengar Ki Ageng berkata dengan nada yang dalam. Hilang sudah sifat ramah dan jenakanya seperti yang dulu, “Aku telah menyanggupi ibunda Teja Wulung untuk membawa anak laki-laki satu-satunya itu kembali ke Kademangan Cepaga, apapun yang akan terjadi. Jadi jangan salahkan aku jika kita harus berseberangan jalan.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sebuah keragu-raguan tiba-tiba saja menyelinap di sudut hatinya.

“Seandainya Pangeran Ranapati atau Teja Wulung ini kemudian menyadari kesalahannya dan mau kembali ke Kademangan Cepaga, apakah aku masih dibebani kewajiban untuk menangkapnya?” pertanyaan itu ternyata telah menggelitik hatinya.

“Nah, bersiaplah Ki Rangga. Aku tidak pernah menaruh belas kasihan kepada musuh-musuhku!” kata-kata Ki Singawana Sepuh itu telah membuyarkan lamunan Ki Rangga.

Namun Ki Rangga masih mencoba melunakkan hati Ki Singawana Sepuh ini yang dikenalnya beberapa saat yang lalu sebagai orang tua yang sangat ramah dan jenaka. Maka katanya kemudian, “Maaf Ki Ageng. Apakah Ki Ageng telah menganggapku benar-benar sebagai seorang musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini?”

“Jangan merajuk Ki Rangga!” geram Ki Singawana Sepuh, “Kecuali jika engkau memutuskan untuk menarik diri dari semua urusan ini. Kembalilah ke Mataram dan aku juga akan kembali ke Kademangan Cepaga.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sudah tidak ada jalan bagi mereka  selain mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Maka katanya kemudian, “Baiklah Ki Ageng. Agaknya kita memang sudah ditakdirkan untuk bersilang jalan. Maafkan aku sebelumnya. Aku hanya menjalankan tugas sebagai seorang prajurit.”


                                         Bersambung ke - 415 Bag. 7

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403