Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 416 Bag. 1
“SELAMAT bertemu kembali Kangmas Pangeran,” sapa Pangeran Jayaraga dengan suara yang berat dan dalam, “Apakah ada keperluan yang sangat mendesak sehingga Kangmas Pangeran memerlukan waktu untuk menjumpai aku di tengah padang rumput Lemah Cengkar ini?”
Pangeran Ranapati diam-diam mengumpat dalam hati. Namun jawabnya
kemudian, “Adimas Adipati. Aku sengaja mencegat rombongan ini untuk membebaskan
Adimas dari tawanan orang-orang Mataram yang tidak tahu diri.”
“Kangmas Pangeran,” jawab Pangeran Jayaraga setelah terdiam
sejenak, “Saat ini aku sudah bukan seorang Adipati yang berkedudukan di
Panaraga lagi. Aku hanyalah seorang tawanan yang akan dibawa menghadap penguasa
tertinggi Mataram untuk menerima hukuman. Jadi aku mohon jangan panggil lagi
aku dengan sebutan Adipati,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Perlu Kangmas ketahui, aku sudah tidak punya niat sebiji sawi pun
untuk meraih kamukten dunia. Apa yang akan aku jalani di hari-hari mendatang
hanyalah pasrah terhadap kekuasaan Yang Maha Agung yang menguasai jagad
se isinya ini.”
“Omong kosong!” geram Pangeran Ranapati, “Aku tidak yakin niat itu
keluar dari lubuk hatimu yang paling dalam. Aku tahu semua itu hanya keinginan
hatimu yang sesaat. Jika pada suatu saat kesempatan itu datang, engkau pasti
akan mengambil kesempatan itu,” Pangeran Ranapati berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi sedikit memburu karena kemarahan yang mulai mengoyak dadanya. Lanjutnya
kemudian, “Nah, Adimas Pangeran, engkau tidak usah menunggu atau mencari
kesempatan itu. Sekarang aku datang untuk menawarkan kesempatan bagimu untuk
meraih kamukten yang sempat terlepas dari tanganmu. Apakah Adimas mau
mempertimbangkan tawaranku ini?”
Sungguh diluar dugaan Pangeran Ranapati, pangeran Jayaraga
ternyata telah menggeleng-gelengkan kepalanya, bukan hanya sekali bahkan sampai
berkali-kali.
‘Tidak Kangmas. Aku ucapkan terima kasih atas tawaran dari Kangmas
Pangeran. Aku sudah membulatkan tekadku untuk mengabdikan sisa umurku ini di
jalan yang diridhoi olehNYA”
Sekali lagi Pangeran yang keras hati itu menggeram, bahkan
terdengar lebih keras. Katanya kemudian sambil menunjuk ke hidung Pangeran
Jayaraga, “Adimas! Jika memang itu sudah menjadi keputusanmu, aku tidak akan
memaksa. Tapi ketahuilah! Aku tidak pernah mengemis belas kasihan pada
seseorang, demikian juga sebaliknya, aku tidak pernah menaruh belas kasihan
kepada siapapun. Jika Adimas telah berkeputusan menolak tawaranku, aku pun
demikian. Tidak akan pernah membiarkan orang yang berani menolak tawaranku, hidup
lebih lama lagi sampai Matahari terbit di keesokan harinya.”
Bersimbah darah Pangeran Jayaraga sampai ke puncak kepalanya. Tampaknya, orang yang pernah menjadi Senapati Kadipaten Panaraga dan mengaku masih menjadi Panembahan Senapati ini terbiasa memaksakan kehendaknya kepada siapa pun tanpa terkecuali.
Namun sebelum Pangeran Jayaraga menjawab, tiba-tiba orang-orang
yang sedang bertempur di padang rumput Lemah Cengkar itu telah dikejutkan oleh
suara derap beberapa ekor kuda. Suara itu memang masih cukup jauh, namun
gemanya telah memantul di lereng-lereng bukit dan batu-batu padas di
tebing-tebing sungai.
Beberapa orang mencoba mempertajam pendengaran mereka tak
terkecuali kedua Pangeran itu. Dan agaknya tanpa membutuhkan waktu yang lama,
keduanya segera dapat mengetahui dari arah mana datangnya suara derap kuda-kuda
itu.
“Bukan dari arah Jati Anom,” berkata Pangeran Ranapati dalam hati,
“Tentu bukan prajurit-prajurit Jati Anom. Arahnya dari selatan. Mungkin hanya
rombongan para pedagang yang akan lewat saja.”
Namun Pangeran Jayaraga justru mempunyai dugaan yang berbeda.
“Kalau dilihat dari arah selatan Jati Anom kemungkinan besar mereka adalah orang-orang dari aliran cambuk. Disebelah selatan Jati Anom kalau tidak salah ada sebuah perguruan kecil, namun sangat terkenal karena salah satu ahli warisnya telah menjadi penguasa Mataram, dan sekarang ada di sini, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Dugaan Pangeran Jayaraga ternyata sangat tepat. Ki Widura yang
telah dibangunkan oleh Cantrik yang sedang bertugas jaga, segera membangunkan
Ki Swandaru yang kebetulan sedang menjalani perawatan di padepokan Jati Anom.
“Aku ikut Paman Widura,” berkata Ki Swandaru kemudian sambil
membenahi pakaiannya. Tak lupa seutas cambuk yang menjadi senjata andalannya
segera dililitkan ke lambung.
“Ngger, kita belum tahu apa yang sedang terjadi dengan kuda-kuda
itu,” Ki Widura berhenti sejenak. Kemudian, “Menilik ciri-ciri peralatan
yang dipakai, kuda-kuda itu memang kemungkinannya berasal dari para prajurit
Mataram, namun masih harus dibuktikan. Sebaiknya angger di padepokan saja.
Bukankah angger Swandaru masih belum pulih benar?”
“Aku sudah sehat Paman,” jawab Ki Swandaru mantap, “Rasa-rasanya
aku sudah tidak betah lagi setiap hari hanya mondar-mandir di halaman padepokan
ini. Marilah paman. Jangan mengkawatirkan keadaanku. Aku sudah dapat menjaga
diriku sendiri.”
Ki Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ada sedikit
penyesalan di dalam hatinya, mengapa dia tadi membangunkan Ki Swandaru?
Walaupun tujuan sebenarnya hanyalah untuk memberitahukan kepergiannya kepada
anak Demang Sangkal Putung itu.
“Baiklah,” akhirnya Ki Widura mengalah, “Kita bawa sekitar sepuluh cantrik yang benar-benar sudah dapat diandalkan.”
Demikianlah, dua belas ekor kuda segera berderap di malam yang dingin menyusuri jalan-jalan padukuhan mengikuti jejak-jejak kuda di sepanjang jalan.
Ketika rombongan itu kemudian telah mencapai jalan simpang, dengan
jelas mereka melihat jejak-jejak kuda itu menjadi semakin banyak.
“Jejak-jejak kuda ini sebagian besar menuju Kademangan Jati Anom,”
berkata Cantrik yang bermata sipit yang telah turun dari kudanya, “Namun yang
pasti, semua jejak ini berasal dari arah timur.”
Ki Swandaru mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja dia menghentak
kudanya sehingga kuda itu terkejut dan melonjak berlari menuju ke timur.
“Kita menuju lemah Cengkar! Sesuatu mungkin sedang terjadi
di lemah Cengkar!” teriak Ki Swandaru sambil memacu kudanya lebih kencang lagi.
Segera saja Ki Widura dan para Cantrik memacu kuda-kuda mereka
menyusul Ki Swandaru yang telah berpacu semakin jauh.
Demikianlah suara derap kaki-kaki kuda di atas jalan berbatu-batu
itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur dengan sengitnya di
padang rumput lemah Cengkar.
Ketika pendengaran Ki Swandaru yang tajam melebihi orang-orang
kebanyakan itu lamat-lamat mendengar dentingan senjata yang beradu dan sorak
sorai yang riuh rendah, sadarlah Ki Swandaru bahwa telah terjadi
pertempuran di lemah Cengkar.
“Mungkin sepasukan prajurit Mataram sedang menghadapi sekelompok
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Atau mungkin sekelompok
orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berkembang dan menjadi besar,”
berkata Ki Swandaru dalam hati sambil memacu kudanya mendekati lemah Cengkar.
Dalam pada itu Pangeran Ranapati yang telah bersiap untuk membuat
perhitungan dengan Pangeran Jayaraga telah dikejutkan oleh suara ledakan cambuk
yang menggelegar memecah udara malam.
“Gila!” geram Pangeran Ranapati.
Pada awalnya Pangeran Ranapati menyangka Ki Rangga Agung Sedayu
lah yang telah meledakkan cambuk itu. Namun ketika dia berpaling ke arah
medan pertempuran antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Gurunya, terlihat
mereka berdua sedang bertempur dengan sengitnya tanpa menggunakan senjata sama
sekali.
Tampak Ki Rangga sedang mengerahkan kemampuan ilmunya yang dapat
menghilangkan bobot tubuhnya. Setiap kali serangan beruntun datang membadai
dari lawannya, dengan ilmu menghilangkan bobot tubuhnya yang hampir sempurna,
Ki Rangga dapat melenting tinggi kemudian ketika masih di udara pun Ki Rangga
mampu melenting lagi ke arah yang tak terduga.
Namun lawan Ki Rangga kali ini adalah Ki Ageng Selagilang yang
lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, guru pangeran Ranapati.
Dengan ilmunya yang dapat mengelabuhi pengamatan lawan atas keberadaan dirinya,
dengan tanpa memberi ruang sedikitpun kepada Ki Rangga, serangan Ki Singawana
Sepuh datang bertubi-tubi bagaikan ombak di pantai yang tak henti-hentinya
menghempas karang.
Untuk sementara memang Ki Rangga hanya dapat menghindar dan
menghindar terus. Lawannya tidak pernah memberi ruang gerak yang cukup untuk
balas menyerang. Setiap kali Ki Rangga dengan sapta panggraitanya mampu
mengenali keberadaan lawannya yang hilang dari pandangan mata, di saat yang
bersamaan itu lah lawannya kembali muncul di tempat yang berbeda sambil
melancarkan serangan yang dahsyat.
“Agul-agulnya Mataram itu lambat laun pasti akan kehabisan nafas,”
berkata Pangeran Ranapati dalam hati sambil tetap mengawasi jalannya
pertempuran mereka berdua, “Guru hanya tinggal menunggu waktu saja, tapi itu
pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Murid utama orang bercambuk itu
pasti memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Seharusnya Guru segera
saja melepaskan ilmunya yang lain yang lebih dahsyat agar pertempuran segera
berakhir. Aku yakin kemampuan ilmu Guru masih berada di atas Ki Rangga.”
Ketika Pangeran Ranapati sedang menilai pertempuran itu dengan
sungguh-sungguh, tiba-tiba saja kembali terdengar ledakan cambuk menggetarkan
udara di atas lemah Cengkar, disusul dengan ledakan-ledakan cambuk yang lain
berturut-turut. Namun ledakan cambuk berikutnya tidaklah sedahsyat ledakan
cambuk sebelumnya.
“Siapakah yang sedang bermain-main dengan cambuk yang memuakkan
ini?” geram Pangeran Ranapati. Sementara Pangeran Jayaraga justru telah menarik
nafas dalam-dalam untuk mengendorkan urat syarafnya yang selama ini terasa
sangat tegang.
“Kalau aku tidak salah, tentu saudara muda seperguruan Ki Rangga
Agung Sedayu yang datang bersama murid-murid padepokan orang bercambuk yang
lain,” desis Pangeran Jayaraga, “Semoga kesulitan yang dialami oleh pasukan
Mataram segera teratasi.”
Demikian lah ketika sekali lagi terdengar ledakan cambuk
menggelegar di udara, Pangeran Ranapati pun sudah tidak dapat menahan hatinya
lagi.
“Adimas Pangeran,” berkata Pangeran yang keras hati itu kemudian,
“Masih ada kesempatan untuk berpikir sekali lagi. Aku akan segera kembali.
Tidak perlu banyak waktu bagiku untuk membungkam suara-suara cambuk yang
memuakkan itu selama-lamanya.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan Pangeran
Jayaraga, putra laki-laki satu-satu Rara Ambarasari itu dengan langkah bergegas
segera menuju ke tempat suara cambuk yang semakin sering terdengar
meledak-ledak.
Dalam pada itu Ki Rangga yang telah mengerahkan ilmu yang dapat
menghilangkan bobot tubuhnya ternyata belum mampu menandingi kecepatan gerak Ki
Singawana Sepuh. Beberapa kali serangan Guru Pangeran Ranapati itu mampu
menyentuh tubuhnya. Seandainya saja tubuh Ki Rangga tidak dilindungi oleh ilmu
kebal yang hampir sempurna, tentu tubuh Ki Rangga sudah lumat diterjang
serangan-serangan lawannya.
“Aku harus mencari cara untuk mengurangi tekanan serangan Ki
Ageng,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting ke samping kiri
menghindari serangan lawannya yang muncul tiba-tiba selangkah di hadapannya.
Namun belum sempat Ki Rangga menjejakkan kakinya di atas tanah, Ki Singawana
Sepuh yang telah lenyap kembali dari pandangan, tiba-tiba telah muncul di
belakangnya dan menghantam punggung.
“Gila!” geram Ki Rangga. Tidak ada kesempatan menghindar
atau berbalik arah. Hanya dengan mengetrapkan ilmu kebal setinggi-tingginya
punggung Ki Rangga terhindar dari kehancuran. Namun benturan itu telah membuat
Ki Rangga terdorong ke depan beberapa langkah.
Pada saat tubuh Ki Rangga terdorong ke depan itu lah, Ki Rangga
sengaja menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali di tanah sebelum akhirnya
Ki Rangga melenting berdiri di atas kedua kakinya yang renggang. Namun yang
berdiri tegak dengan kedua kaki renggang ternyata tidak hanya satu orang,
melainkan ada tiga ujud Ki Rangga yang sangat sulit dibedakan antara satu
dengan lainnya.
Untuk beberapa saat Ki Singawana Sepuh berdiri termangu-mangu.
Serangan susulan yang sedianya akan dilancarkan kepada lawannya segera
ditahannya. Ketiga ujud Ki Rangga yang berdiri beberapa langkah di hadapannya
benar-benar telah mendebarkan jantungnya.
Ilmu kakang pembarep dan adi wuragil yang sedang disaksikan oleh
Ki Singawana Sepuh itu memang sudah sangat jarang dijumpai saat ini, bahkan
dapat dikatakan sudah punah. Baru kali ini Guru Pangeran Ranapati itu menjumpai
seseorang yang mampu menguasai ilmu yang sudah sangat langka itu dengan sangat
sempurna.
“Luar biasa,” gumam Ki Singawana Sepuh tanpa sadar sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang bukan cerita kosong tentang kedahsyatan
agul-agulnya Mataram ini. Sekilas aku hampir-hampir tidak dapat membedakan
ketiga ujudmu Ki Rangga. Namun sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, tidak ada ilmu
yang benar-benar sempurna. Aku masih dapat menemukan celah untuk mengetahui
kelemahan ilmumu itu.”
“Terima kasih Ki Ageng,” jawab salah satu ujud Ki Rangga.
Sementara ujud yang lain menyahut, “Walaupun Ki Ageng pada akhirnya akan mampu
mengurai ilmuku dan menemukan ujud yang asli, namun aku yakin Ki Ageng masih
memerlukan waktu walaupun hanya sekejap sehingga yang hanya sekejap itu cukup
bagiku untuk menemukan persembunyian Ki Ageng.”
Ki Singawana Sepuh mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum
kecil. Dari cara lawannya menanggapi pernyataannya, dia menyadari sepenuhnya
bahwa Ki Rangga ingin menunjukkan kalau dia benar-benar sudah dapat menguasai
ujud-ujud semunya dan akan bertindak sesuai dengan kehendak ujud aslinya.
“Walaupun sebuah ujud semu itu mampu menirukan segala gerak gerik
ujud aslinya, sejauh pengetahuanku, belum ada seseorang yang mampu memancarkan
ilmunya melalui ujud-ujud semu itu sehingga ujud-ujud semu itu akan mempunyai
kemampuan sebagaimana ujud aslinya,” berkata dalam hati Ki Singawana Sepuh
kemudian.
Berbekal keyakinan itu lah, Ki Singawana Sepuh pun kemudian segera
berkata, “Marilah kita teruskan permainan petak umpet ini. Agaknya permainan
ini akan menjadi semakin menarik. Masing-masing dari kita harus menemukan
tempat persembunyian kita dan sekaligus menghancurkannya.”
Berdesir dada Ki Rangga. Lawannya benar-benar mempunyai keyakinan
yang kuat akan dapat dengan mudah menemukan kelemahan ilmunya.
“Mungkin sekarang ini Ki Ageng mengetahui dengan pasti manakah
ujudku yang sebenarnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun dalam sebuah
pertempuran yang sengit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk menyembunyikan
ujudku yang asli.”
Demikian lah akhirnya, dengan tanpa peringatan terlebih dahulu,
tiba-tiba saja tubuh Ki Singawana Sepuh lenyap dari pandangan lawannya. Namun
Ki Rangga sudah mewaspadai sebelumnya, sehingga begitu lawannya menghilang dari
pandangan, ketiga ujud Ki Rangga pun segera meloncat menyatu untuk kemudian
berpencar ke tiga arah yang berbeda.
Ki Singawana Sepuh terkejut bukan alang kepalang. Serangannya yang
sudah hampir meluncur tertahan sejenak. Guru Pangeran Ranapati itu memerlukan
waktu sekejap untuk mengenali ujud asli Ki Rangga. Kesempatan yang hanya
sekejap itu sudah cukup bagi Ki Rangga untuk menemukan persembunyian lawan
dengan mengetrapkan ilmu sapta panggraitanya. Maka yang terjadi kemudian adalah
sangat diluar perhitungan Ki Singawana Sepuh. Serangan ketiga ujud Ki Rangga
telah melanda tubuhnya, satu mengarah dada, satu mengarah lambung dan ujud yang
terakhir menghantam punggung.
Tidak ada waktu untuk menghindari semua serangan itu. Namun di
saat semua serangan itu meluncur dengan bersamaan, Ki Singawana Sepuh segera
mengetahui melalui pengamatan batinnya bahwa ujud Ki Rangga yang menyerang dada
itu lah ujud yang asli.
Segera saja Ki Singawana Sepuh menyilangkan kedua tangannya di
depan dada untuk melindungi dadanya dari terjangan kaki Ki Rangga. Benturan itu
memang dahsyat sehingga membuat Ki Rangga terpental ke belakang beberapa
langkah. Namun yang terjadi pada diri Ki Singawana Sepuh benar-benar di luar
dugaan. Ketika dengan yakinnya Guru Pangeran Ranapati itu menangkis serangan
yang mengarah dada, dua serangan lain yang dianggapnya hanyalah serangan dari
ujud-ujud semu yang sama sekali tidak banyak berarti, telah melanda bagian
tubuhnya yang lain bersamaan dengan benturan di bagian dada.
Terdengar umpatan yang sangat kasar dari mulut Ki Singawana Sepuh.
Tubuhnya bagaikan tergencet kekuatan raksasa sehingga Guru Pangeran Ranapati
itu pun telah jatuh terduduk. Untuk sejenak ujud Ki Singawana Sepuh pun menjadi
terlihat oleh pandangan mata lawannya.
***
“Setan! Gendruwo! Tetekan!” geram Ki Singawana Sepuh dengan muka
yang membara. Baru kali ini dia merasa dipermalukan oleh lawannya. Dengan
perlahan dia bangkit berdiri. Tidak tampak tubuhnya mengalami kesakitan akibat
serangan lawan. Justru dengan wajah yang merah padam dia segera menggosokkan
kedua telapak tangannya sebelum meletakkan telapak tangan kanan yang terbuka di
depan dada, sedangkan tangan kirinya yang terkepal ditarik sejajar lambung.
“Aku mengakui keunggulanmu Ki Rangga,” berkata Ki Singawana Sepuh
kemudian dengan suara mirip auman seekor singa, “Ketahuilah, aku baru melakukan
penjajagan ilmu, belum sampai merambah ke kedalaman ilmuku,” dia berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah, aku akan meningkatkan ilmuku selapis.
Jika Ki Rangga masih dapat bertahan pada tingkatan ini, tidak ada jalan lain
bagiku selain menggunakan ilmu pamungkasku untuk menghentikan
perlawananmu. Dan ketahuilah, selama ini belum pernah ada lawan yang mampu
mengimbangi kedahsyatan ilmu pamungkasku.”
Kembali sebuah desir tajam menggores dada Ki Rangga Agung Sedayu.
Agaknya lawannya kali ini tidak akan bermain-main lagi. Guru Pangeran Ranapati
itu akan merambah ke tingkatan ilmu yang lebih tinggi.
Sejenak kemudian, pandangan batin Ki Rangga melihat sebuah asap
tipis kebiru-biruan tampak muncul dari kedua telapak tangan lawannya yang kini
kedua-duanya terjulur kedepan. Namun hanya sekejap asap tipis itu pun hilang
bagaikan tertiup angin.
“Ilmu apalagi ini,” desis Ki Rangga dalam hati, “Mungkin sejenis
tapak dahana atau tapak geni, aku belum tahu.”
Untuk beberapa saat Ki Singawana Sepuh masih berdiam diri.
Sementara ketiga ujud Ki Rangga tampak berdiri termangu-mangu menunggu apa yang
akan terjadi.
Dalam pada itu Pangeran Ranapati yang sedang berjalan dengan
tergesa-gesa sekali lagi telah dikejutkan oleh suara ledakan cambuk diikuti
jeritan seseorang yang sedang meregang nyawa.
“Hentikan!” Bentak Pangeran Ranapati begitu melihat seorang
laki-laki berumur sekitar setengah abad dengan perawakan gemuk sedang
membantai lawan-lawannya.
Laki-laki berperawakan gemuk yang tak lain adalah Ki Swandaru Geni
itu sejenak menghentikan putaran cambuknya. Sambil memutar tubuhnya menghadap
penuh kearah kedatangan Pangeran Ranapati, dia ganti membentak, “Tutup mulutmu!
Jangan hanya pandai membentak-bentak! Ini medan pertempuran, bukan tempat
main judi atau minum tuak! Kalau Ki Sanak ingin bertempur, bertempurlah!
Aku siap mengantarkan selembar nyawamu yang tak berguna itu ke alam
kelanggengan!”
Bukan main marahnya Pangeran Ranapati mendapatkan dirinya
dibentak-bentak oleh orang yang belum dikenalnya. Seumur hidup baru kali
ini dia mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang yang belum
dikenalnya. Segera saja darah di dalam tubuhnya menggelegak dan mendidih sampai
ke ubun-ubun. Dengan tangan yang gemetar menahan kemarahan yang dahsyat, tangan
kanannya segera meraba hulu keris pusakanya. Sejenak kemudian keris luk
sembilan yang berwarna kehitam-hitaman itu pun telah berada di genggaman dan
segera diangkatnya tinggi-tinggi.
“Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari
terbit esok pagi!” teriak Pangeran Ranapati dengan suara yang menggelegar.
Sekarang giliran Ki Swandaru yang terkejut. Tanpa ancang-ancang
orang yang berperawakan tinggi besar dengan wajah yang berwibawa itu telah
menyerangnya. Keris luk sembilan di tangan lawannya itu mengeluarkan asap hitam
pekat yang bergulung meluncur ke arah wajahnya.
Ki Swandaru sadar sepenuhnya. Sebagai murid Kyai Gringsing yang
selain berilmu tinggi dalam olah kanuragan, Kyai Gringsing juga dikenal sebagai
seorang dukun yang ahli dalam pengobatan. Walaupun semasa berguru dulu,
dia tidak pernah mempelajari ilmu tentang pengobatan, akan tetapi sekali-sekali
dia bersama kakak seperguruannya disuruh membantu meracik obat. Di saat-saat
itulah kadang Gurunya memberi sedikit pengetahuan tentang berbagai jenis racun
dan cara menghindarinya jika memang belum tahu obat penawarnya.
Melihat jenis asap hitam pekat yang bergulung-gulung meluncur ke
arahnya, Ki Swandaru segera menyadari bahwa jangan sampai asap tersebut
terhisap ke dalam jalan pernafasannya dan masuk ke paru-paru. Asap hitam
pekat itu tentu mengandung racun yang sangat kuat dan jahat.
Dengan sebuah loncatan panjang ke arah kiri, murid kedua orang
bercambuk itu segera memutar cambuknya dengan deras di atas kepala. Angin pun
segera menderu dan berputar sehingga membuyarkan asap hitam pekat yang meluncur
ke arahnya.
Namun belum sempat Ki Swandaru bernafas lega, lawannya telah
meluncur kembali ke arahnya secepat tatit yang meloncat di udara. Ujung keris
luk sembilan itu sekarang tampak membara dalam gelapnya malam.
Demikianlah kedua orang yang belum saling mengenal itu telah
terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Cambuk Ki Swandaru tak
henti-hentinya meledak-ledak. Semakin lama suara ledakan itu semakin lemah,
namun sebagai gantinya setiap kali ujung cambuk itu menggeliat, udara malam di
sekitarnya bagaikan diguncang gempa dahsyat dan menghentak setiap dada orang
yang berada di sekitarnya.
Beberapa tombak di sebelah Ki Swandaru, Ki Widura yang sudah tidak
dapat disebut muda lagi sedang bertempur melawan seorang anak muda yang perkasa
bersenjatakan sepasang trisula.
Ki Widura menyadari bahwa lawannya usianya jauh terpaut di
bawahnya. Gerakannya sangat cepat dan lincah bagaikan burung sikatan menyambar
bilalang di tanah padang. Sepasang trisula yang dihubungkan dengan seutas
rantai sepanjang hampir dua depa itu sekali-kali meluncur dan mematuk dada.
Namun Ki Widura berusaha untuk tidak terpancing dengan gerakan
lawannya yang sangat lincah itu. Dengan bertumpu pada kedua kakinya yang
kokoh, sekali-kali Ki Widura hanya menggeser kedudukannya selangkah-selangkah
jika lawannya berloncatan mengitarinya dan menyerangnya dari segala arah.
Cambuk di tangan mantan perwira Pajang itu berputaran dengan
deras. Sesekali ujung cambuk itu menggeliat dan meledak dengan suara yang
bergemuruh ketika Ki Widura melecut cambuknya dengan sendal pancing. Bahkan tak
jarang juntai cambuknya membentuk pagar berjajar-jajar dengan sangat rapat
untuk melindungi serangan lawannya.
Mereka berdua menggunakan jenis senjata yang hampir sama, senjata
yang mempunyai jangkauan cukup panjang. Sepasang trisula di tangan anak muda
itu bagaikan hidup dan mengetahui ke arah mana gerak lawan. Walaupun Ki Widura
sudah berusaha dengan sekuat tenaga memagari dirinya dengan putaran cambuknya,
kadang-kadang trisula itu masih mampu juga menembusnya.
Setiap kali salah satu trisula itu meluncur menembus benteng
pertahanannya, Ki Widura harus dengan bergegas menggeser tubuhnya agar ujung
trisula itu tidak sampai mematuk tubuhnya.
“Anak muda ini sangat lincah dan gesit,” desis Ki Widura dalam
hati, “Kemampuan memainkan senjatanya sangat luar biasa. Aku bisa kehabisan
nafas jika tidak segera mengetahui titik kelemahan permainan sepasang
trisulanya.”
Sejenak kemudian Ki Widura telah meningkatkan permainan cambuknya.
Disalurkan tenaga cadangan melalui juntai cambuknya sehingga putaran cambuk itu
terasa semakin cepat dan rapat serta tenaga yang tersalur melalui ledakan ujung
juntai cambuknya pun menjadi semakin kuat.
Dalam pada itu malam telah merambat meninggalkan pusatnya. Udara
menjadi semakin dingin dan terasa menggigit tulang. Pada peronda yang sedang
berjaga di gardu-gardu semakin merapatkan kain panjangnya untuk menyelimuti
sekujur tubuhnya.
Di bilik Sekar Mirah, mbok Gumbrek berjalan mondar-mandir dengan
gelisah. Sesekali pandang matanya tertuju pada Bagus Sadewa yang tertidur
lelap. Sudah dicobanya untuk berbaring di sisi anak laki-laki satu-satunya
Sekar Mirah itu. Namun angan-angannya tetap saja gelisah tak tentu arah.
“Aku harus menghadap Ki Gede untuk melaporkan masalah ini,”
berkata mbok Gumbrek dalam hati kemudian.
Namun ketika tekadnya sudah bulat, tiba-tiba saja dia menjadi
ragu-ragu sendiri. Membangunkan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh di malam-malam
seperti ini tentu bukan hal yang dapat dilakukan dengan mudah. Apa kata Ki Gede
nanti jika memang apa yang dikatakan Sekar Mirah kepadanya itu benar adanya?
Berpikir sampai disitu mbok Gumbrek menjadi ketakutan sendiri.
“Tidak, tidak mungkin aku mengganggu istirahat Ki Gede di
saat-saat seperti ini,” mbok Gumbrek berhenti berangan-angan sejenak. Tiba-tiba
suatu gagasan baru melintas di benaknya, “Bagaimana dengan Ki Jayaraga? Aku
kira lebih baik jika aku memberitahu orang tua itu saja.”
Merasa telah mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang
sedang terjadi, dengan segera mbok Gumbrek melangkah ke pintu. Namun begitu
tangannya meraih selarak dan akan diangkatnya, dia teringat akan tugasnya untuk
menjaga Bagus Sadewa.
Sejenak mbok Gumbrek menjadi ragu-ragu kembali. Sambil berpaling
ke arah pembaringan dia mencoba berpikir keras. Dia tidak berani meninggalkan
Bagus Sadewa begitu saja sendirian di dalam bilik. Jika terjadi sesuatu pada
bayi itu, tentu dia yang akan dipersalahkan.
“Aku akan minta mbok Pariyem menunggui bayi itu untuk sejenak
saja,” akhirnya sebuah keputusan muncul dalam benaknya. Sambil mengangkat
selarak dan membuka pintu bilik, dia kembali berkata kepada dirinya sendiri,
“Akan aku katakan padanya, aku hanya ingin pergi ke pakiwan barang sejenak,
tentu mbok Pariyem tidak akan keberatan.”
Setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu, dengan bergegas mbok
Gumbrek pun segera melangkah menuju dapur.
Sebenarnyalah Ki Jayaraga memang belum tidur di dalam biliknya.
Ditemani Glagah Putih, mereka berdua baru saja selesai membicarakan rencana
mereka besuk pagi memulai perjalanan menuju ke gunung Tidar.
“Sudahlah Glagah Putih, malam sudah melewati puncaknya, engkau
dapat kembali ke bilikmu. Istrimu tentu sudah menunggu,” berkata Ki Jayaraga
sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.
“Baik Guru,” jawab Glagah Putih sambil ikut bangkit berdiri,
“Semoga di sisa malam yang sedikit ini kita dapat beristirahat.”
“Tubuhmu sudah terlatih untuk tidak tidur selama tiga hari tiga
malam, Glagah Putih,” sahut gurunya sambil tersenyum, “Tentu waktu yang tersisa
malam ini sudah lebih dari cukup untuk sekedar melepaskan penat dan lelah.”
Glagah Putih tertawa pendek mendengar gurauan gurunya. Jawabnya
kemudian, “Jika muridnya saja mampu untuk bertahan selama tiga hari tiga malam berturut-turut,
bagaimana dengan guru sendiri? Tentu guru mampu bertahan hampir sepekan.”
“Tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga dengan muka yang terlihat
bersungguh-sungguh, “Menurut perhitunganku, aku akan mampu bertahan selama
hampir sebulan penuh. Namun setelah itu aku akan tidur untuk selama-lamanya.”
“Ah,”
kembali Glagah Putih tertawa.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Istrimu tentu sudah
lama menunggu.”
Glagah Putih tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat
mengangguk. Namun baru saja kakinya melangkah ke pintu bilik, pendengaran
Glagah Putih yang tajam lamat-lamat mendengar suara yang mencurigakan di luar
sana.
“Apakah engkau mendengar suara yang aneh di malam selarut ini
Glagah Putih?” bertanya Ki Jayaraga begitu melihat Glagah Putih menghentikan
langkahnya.
“Ya Guru,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “Aku mendengar
suara seperti senjata yang sedang beradu.”
“Ya,” berkata Ki Jayaraga, “Suara itu datangnya dari arah sanggar.
Aku tidak yakin jika malam-malam menjelang dini hari seperti ini ada orang yang
sedang berlatih olah kanuragan.”
Glagah Putih menahan nafasnya sejenak sambil mengerahkan kemampuan
untuk mempertajam pendengarannya. Sekarang dengan sangat jelas dia dapat
mendengarkan suara senjata beradu berkali-kali seperti suara beradunya senjata
orang yang sedang bertempur.
“Siapakah malam-malam begini berlatih di dalam sanggar?”
pertanyaan itu muncul dalam benaknya.
Tiba-tiba Glagah Putih teringat bahwa sore tadi selepas jamuan
makan malam, Kanjeng Sunan dan kakak sepupunya telah memasuki sanggar hanya
berdua saja.
“Mungkinkah kakang Agung Sedayu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja
terloncat dari bibirnya.
KI Jayaraga tersenyum menanggapi pertanyaan Glagah Putih. Katanya
kemudian, “Memang kakangmu bersama Kanjeng Sunan sejak sore tadi telah berada
di dalam sanggar. Namun jika memang benar kakangmu masih di sanggar, untuk apa
dia berlatih pedang atau sejenisnya? Kakangmu mempunyai senjata khusus. Jika
memang kakangmu sedang berlatih, tentu yang terdengar adalah suara ledakan
cambuk, bukan dentingan senjata pedang atau sejenisnya yang terbuat dari
logam.”
Untuk beberapa saat Glagah Putih menjadi binggung tidak tahu harus
berbuat apa. Namun agaknya Ki Jayaraga segera mengambil keputusan.
“Marilah, tidak ada salahnya jika kita melihat apa yang
sebenarnya sedang terjadi di dalam sanggar,”
Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sedikit bergegas dia segera mengikuti
langkah gurunya.
Ketika keduanya baru saja keluar dan menutup pintu bilik,
tiba-tiba saja dalam keremangan malam di bawah bayang-bayang teritisan, mereka
melihat bayangan bulat gemuk dengan nafas yang tersengal sengal setengah
berlari menuju ke arah mereka.
“Siapa?” bertanya Glagah Putih kemudian.
“Aku mbok Gumbrek!” jawab bayangan itu dengan setengah berseru dan
nafas memburu.
Kedua orang itu sejenak saling berpandangan. Mbok Gumbrek mereka
kenal sebagai salah satu pembantu rumah Ki Gede.
“Ki Jayaraga,” berkata mbok Gumbrek kemudian setibanya dia di
hadapan mereka berdua dengan nafas yang berkejaran, “Tolonglah Ki, tolonglah
aku..!”
“Ya,ya..mbok Gumbrek,” sahut Ki Jayaraga sareh, “Tenanglah. Atur
nafasmu dulu sebelum bicara, agar aku dapat mendengar dengan jelas
kata-katamu.”
Mbok Gumbrek mengangguk. Dicobanya menarik nafas dalam-dalam
beberapa kali untuk menenangkan gejolak di dalam dadanya. Sejenak kemudian
katanya, “Ki, Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi. Katanya aku
disuruh menjaga Bagus Sadewa oleh Nyi Sekar Mirah di biliknya,” mbok Gumbrek
berhenti sebentar untuk mengatur pernafasannya lagi. Lanjutnya kemudian,
“Ketika aku pergi ke bilik Nyi Sekar Mirah, aku dapati Nyi Sekar Mirah sudah
siap dengan pakaian khususnya dan menjinjing senjata. Katanya dia akan
pergi ke sanggar untuk berlatih dengan Nyi Pandan Wangi.”
Hampir bersamaan kedua orang itu mengerutkan kening. Dengan
keterangan mbok Gumbrek itu, mereka dapat menebak apa yang sedang terjadi di
dalam sanggar saat ini. Namun betapapun juga, berlatih olah kanuragan di saat
seperti ini adalah sangat tidak wajar.
“Baiklah mbok Gumbrek,” berkata Ki Jayaraga akhirnya, “Kembalilah
ke bilik. Aku dan Glagah Putih akan menengok ke sanggar. Semoga saja memang
benar keduanya hanya sedang berlatih.”
Untuk sejenak mbok Gumbrek masih belum beranjak dari tempatnya. Dipandanginya
guru dan murid itu ganti-berganti. Seolah-olah seumur hidupnya belum pernah
bertemu dengan keduanya.
KI Jayaraga tersenyum melihat tingkah mbok Gumbrek. Katanya
kemudian, “Sudahlah mbok, apa masih ada lagi yang akan engkau sampaikan?”
“O, tidak, tidak, Ki,” jawab mbok Gumbrek cepat, “Aku mohon diri
untuk kembali.”
“Silahkan,” hampir bersamaan kedua orang itu menyahut.
Sepeninggal mbok Gumbrek, guru dan murid itu segera bergegas
menuju ke sanggar. Namun ada keanehan yang terjadi selama mereka berjalan
menuju ke sanggar. Suara dentingan senjata beradu itu tiba-tiba saja sudah
tidak terdengar lagi.
“Guru?” tanpa sadar Glagah Putih berpaling ke arah gurunya yang
berjalan di sebelah kanannya, “Suara itu berhenti.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dicobanya untuk
mendengarkan dengan seksama suara dari arah sanggar yang tinggal beberapa
tombak saja di hadapan mereka. Namun suasana benar-benar sepi. Hanya suara
binatang malam saja yang terdengar bersahut sahutan dalam irama yang ajeg.
“Aneh,” desis Ki Jayaraga sambil terus melangkah, “Mungkin benar
mereka memang sedang berlatih, dan agaknya sekarang mereka sedang beristirahat
untuk melepaskan lelah.”
Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tinggal beberapa langkah lagi mereka akan mencapai sanggar yang
pintunya tertutup rapat. Sinar dlupak yang lemah tampak menerobos di
celah-celah daun pintu dan dinding-dinding kayu.
Begitu keduanya telah berdiri di depan pintu, tanpa menunggu waktu
Glagah Putih segera mendorong daun pintu sanggar. Ternyata pintu sanggar itu
tidak diselarak dari dalam, hanya ditutup begitu saja. Namun alangkah
terkejutnya mereka berdua, begitu pintu sanggar itu terbuka lebar, apa yang
tampak di dalam sanggar itu benar-benar di luar dugaan mereka.
“Kosong?!” seru Glagah Putih terheran-heran.
Sedangkan Ki Jayaraga yang berdiri di belakangnya segera melangkah
maju dan melangkahi tlundak pintu memasuki sanggar. Ketika Ki Jayaraga sudah
berada di dalam sanggar, sejenak diedarkan pandangan matanya ke seluruh ruang
sanggar. Dengan jelas Ki Jayaraga melihat keadaan sanggar yang kosong. Tidak
tampak bekas-bekas bahwa sanggar itu baru saja dipakai oleh seseorang.
Glagah Putih yang ikut melangkah masuk pun menjadi semakin heran.
Dia benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dengan jelas
mereka berdua tadi mendengar suara dentingan senjata beradu dari dalam sanggar.
Namun kenyataannya sekarang ini sanggar itu dalam keadaan kosong.
“Bagaimana Guru?” bertanya Glagah Putih kemudian setelah beberapa
saat mereka berdua hanya berdiri diam termangu-mangu.
“Aku merasakan sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi di dalam
sanggar ini,” jawab gurunya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Namun aku tidak
mampu mengungkapkan, apakah sebenarnya ketidak wajaran itu?”
Glagah Putih hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Usia
Glagah Putih masih muda sehingga batinnya belum mampu menangkap getaran-getaran
halus di luar kewajaran yang terjadi di sekelilingnya.
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata Ki Jayaraga
kemudian, “Agaknya kita memang tidak diperkenankan mengetahui apa yang sedang
terjadi di dalam sanggar ini. Semoga semua itu untuk tujuan kebaikan bagi
sesama.”
Selesai berkata demikian Ki Jayaraga segera berbalik dan berjalan
keluar sanggar. Sedangkan Glagah Putih tanpa banyak pertanyaan segera mengikuti
langkah gurunya. Sesampainya mereka berdua di luar sanggar, Glagah Putih pun
segera menutup kembali pintu sanggar.
“Kembalilah ke bilikmu. Masih ada sedikit waktu untuk
beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian kepada muridnya sambil melangkah
menjauhi sanggar.
“Baik Guru,’ jawab Glagah Putih sambil berjalan ke arah berlawanan
dengan gurunya. Mereka pun kemudian berpisah untuk menuju ke bilik
masing-masing.
Dalam pada itu tiga orang prajurit yang berkedudukan di Jati Anom
sedang nganglang di sepanjang bulak panjang yang menghubungkan Kademangan Jati
Anom dengan hutan kecil di sebelah barat lemah cengkar. Tiga orang prajurit itu
tampak sedang bersenda gurau melepaskan kejemuan sambil berderap perlahan
sepanjang bulak.
“Bukankah bulan depan engkau berencana untuk kawin,” bertanya
Prajurit yang berkuda paling kanan kepada kawannya yang berkuda di tengah.
“Rencananya memang demikian, Kakang,” jawab prajurit yang berkuda
di tengah, “Persiapan sudah matang tinggal menunggu kedatangan Ki Tumenggung
Untaradira dari Panaraga.”
“He?” sahut kawannya yang berkuda di kiri, “Mengapa mesti menunggu
kedatangan Ki Tumenggung? Bisa-bisa calon istrimu menjadi perawan tua.
Kemungkinan Ki Tumenggung baru pulang dari Panaraga dua atau tiga bulan lagi.
Itu pun masih ada kemungkinan Ki Tumenggung justru mendapat tugas untuk
mengendalikan keamanan di Panaraga sambil menunggu pengganti Adipati Panaraga
yang baru.”
“Ah, macam kau!” geram prajurit yang akan kawin bulan depan itu,
“Aku sudah mengajukan permohonan kawin ini kepada Ki Tumenggung sebulan sebelum
keberangkatannya ke Panaraga. Apakah aku harus menundanya lagi? Apa kata calon
mertuaku nanti? Disangkanya aku mulai berulah dan mau menggagalkan semua
rencana ini.”
“Bukan begitu,” sahut prajurit yang berkuda di sebelah kanan,
“Engkau dapat mengajukan permohonan kepada perwira tertua yang ada di Jati
Anom. Tidak harus menunggu Ki Tumenggung Untaradira jika kepentingannya untuk
menjadi saksi dalam perkawinanmu itu. Berita terakhir dari prajurit sandi,
pasukan Mataram memang telah meninggalkan Kadipaten Panaraga, namun aku belum
mendengar apakah Ki Tumenggung Untaradira ikut kembali ataukah tinggal
sementara di Panaraga.”
Prajurit yang bulan depan akan melangsungkan perkawinan itu
menjadi berdebar-debar. Keinginannya untuk menghadirkan Ki Tumenggung
Untaradira sebagai saksi perkawinannya menjadi pupus. Memang dia dapat
mengajukan permohonan kepada perwira tertua yang ada pada saat itu jika memang
Ki Tumenggung berhalangan. Namun adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi
dirinya dan keluarganya jika Ki Untara sebagai atasannya berkenan hadir sebagai
saksi dalam acara perkawinannya nanti.
Tiba-tiba pandangan tajam salah satu prajurit itu menangkap
titik-titik di kejauhan. Di kiri kanan bulak yang panjang itu tampak beberapa
ekor kuda sedang merumput dengan tenangnya. Memang rumput yang tumbuh di
tanggul sebelah menyebelah bulak itu cukup lebat walaupun sebagian mengering
kecoklatan karena musim hujan yang belum turun.
“Kuda-kuda siapa?” pertanyaan itu terloncat begitu saja dari
bibirnya.
“Kuda yang mana?” hampir bersamaan kedua kawannya menyahut dengan
serta merta.
“Lihatlah!” berkata prajurit yang pertama kali melihat kuda-kuda
itu sambil menunjuk ke depan, “Tidak mungkin itu kuda-kuda liar. Pasti sesuatu
telah terjadi pada para penunggangnya.”
“Mari kita lihat!” seru prajurit yang bulan depan berencana akan
kawin sambil memacu kudanya.
Kedua kawannya pun segera ikut memacu kuda-kuda mereka.
********
Demikianlah, ketika mereka bertiga telah sampai di tempat
kuda-kuda itu merumput dengan tenangnya di sebelah-menyebelah bulak, dengan
tangkasnya mereka pun segera melompat turun. Ketika mereka kemuidan melangkah
mendekat dan mengamati salah seekor kuda yang berwarna hitam legam, mereka pun
segera menyadari bahwa menilik ciri-ciri yang terdapat pada pelananya,
kuda-kuda itu berasal dari kesatuan pasukan berkuda Mataram.
“Kuda-kuda ini agaknya milik pasukan berkuda Mataram,” berkata
salah satu prajurit itu, “Tentu telah terjadi sesuatu dengan para
penunggangnya. Segera beri isyarat ke kawan-kawan kita yang ada di Jati Anom.”
Segera saja salah seorang mengambil panah sendaren beserta
busurnya yang disangkutkan di pelana kudanya. Memang sudah menjadi aturan bahwa
para prajurit yang sedang bertugas nganglang, baik dalam sebuah kelompok
kecil maupun besar, salah satu harus membawa panah sendaren.
Sejenak kemudian udara malam menjelang dini hari itu pun telah
terkoyak oleh suara raungan panah sendaren yang terlontar ke udara tiga kali
berturut-turut.
Dalam pada itu di padang rumput lemah Cengkar, mereka yang sedang
menyabung nyawa ternyata lamat-lamat telah mendengar suara raungan panah
sendaren yang merobek udara malam.
“Gila!” teriak Pangeran Ranapati mengguntur, “Orang-orang Mataram
memang gila! Kalian memang pantas mati!”
Teriakan Pangeran Ranapati itu ternyata merupakan aba-aba bagi
para pengikutnya untuk semakin meningkatkan tekanan mereka terhadap para
prajurit Mataram.
Maka sejenak kemudian, terdengar sorak-sorai disertai umpatan,
makian dan cacian dari mulut pengikut Pangeran Ranapati. Mereka mencoba
melemahkan perjuangan prajurit Mataram itu dengan cara yang kasar dan liar.
“Jangan terpengaruh!” Lurah prajurit yang menggantikan Ki
Tumenggung Purbarana berteriak tak kalah kerasnya untuk membangkitkan semangat
para prajurit Mataram, “Kita sudah dibantu murid-murid padepokan bercambuk dan
sebentar lagi pasukan dari Jati Anom segera tiba!”
“Omong kosong!” kembali Pangeran Ranapati berteriak menggelegar,
“Suara panah sendaren itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Pasukan di Jati Anom
jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari. Hampir seluruh prajurit di Jati Anom
ikut melawat ke Panaraga dan belum kembali!”
“Kalian salah hitung!” balas Ki Swandaru tak kalah kerasnya,
“Panah sendaren itu pertanda bahwa pasukan Mataram yang berkedudukan di Jati
Anom telah mengetahui pertempuran di lemah Cengkar ini. Jumlah mereka masih
cukup banyak dan sebentar lagi mereka akan datang dalam jumlah segelar sepapan.
Kalian akan digulung seperti badai menggulung rumput-rumput kering.”
“Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Ranapati.
Selesai berkata demikian Pangeran yang keras hati itu segera
meningkatkan serangannya. Keris luk sembilan di tangan kanannya telah
mengeluarkan asap hitam yang semakin pekat dan tebal bergulung-gulung
mengepung lawannya dari segala arah.
Namun lawannya kali ini adalah murid kedua orang bercambuk.
Walaupun pada awalnya Ki Swandaru hanya menekuni kekuatan wadag saja, namun
setelah kekalahannya yang pahit dari kakak seperguruannya ketika mereka berdua
mengadakan penjajagan ilmu, dia mulai sadar akan pentingnya menekuni kekuatan
tenaga cadangan yang dapat menjadi pancadan dalam mempelajari ilmu-ilmu
pada tataran tinggi.
Ketika Ki Swandaru terluka dan di bawa oleh Ki Rangga ke padepokan
Jati Anom, Ki Rangga telah banyak memberikan tuntunan sebagai saudara tua
pengganti guru mereka. Bersama Ki Widura, dengan tekun Ki Swandaru pun mulai
menekuni dan mendalami isi kitab peninggalan Perguruan Windujati.
“Paman dan Adi Swandaru,” demikian kata Ki Rangga pada waktu itu
sebelum meninggalkan padepokan Jati Anom, “Kitab perguruan Windujati ini aku
tinggalkan di padepokan. Aku harap Paman dan Adi Swandaru meluangkan waktu
untuk mempelajarinya dengan sebaik-baiknya. Suatu saat jika tugasku telah
selesai, aku akan menengok padepokan ini dan melihat perkembangan ilmu kalian
berdua.”
Pada saat itu Ki Widura dan Ki Swandaru hanya mengangguk-anggukkan
kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka berdua maklum, kemampuan ilmu Ki
Rangga dapat dikatakan sudah sejajar dengan guru mereka yang telah tiada, Kiai
Gringsing.
Demikianlah serangan demi serangan lawannya dihadapi oleh Ki
Swandaru dengan tenang dan penuh perhitungan. Pengendalian perasaan dan nalar
itu sangat penting dalam sebuah benturan ilmu. Jika seseorang kurang mampu
menguasai perasaan dan nalarnya, setinggi apapun ilmu orang itu, pengetrapan
ilmunya akan menjadi tumpang tindih dan wor suh sehingga dengan mudah dapat terbaca
oleh lawan.
Cambuk di tangan Ki Swandaru berputar dahsyat sehingga menimbulkan
pusaran angin yang memporak-porandakan gulungan asap hitam beracun dari
lawannya. Sesekali sambil menggeser kedudukannya Ki Swandaru masih sempat untuk
balas menyerang lawannya dengan ujung cambuknya.
“Setan! Iblis! Demit!” umpat Pangeran Ranapati sambil meloncat
mundur. Gumpalan asap beracun itu justru berbalik ke arahnya.
Walaupun Pangeran Ranapati juga dibekali sejenis ramuan yang dapat
membuat tubuhnya kebal terhadap segala jenis racun, namun sedapat mungkin
dia berusaha menghindarinya.
Tiba-tiba Pangeran Ranapati yang meloncat mundur itu menghentikan
serangannya. Sekejap Ki Swandaru sempat melihat lawannya yang meloncat mundur
itu mengangkat kerisnya di atas ubun-ubun. Sejenak kemudian dari ujung keris
itu terlontar bola-bola api yang meluncur deras menerjang ke arahnya.
Ki Swandaru yang selalu waspada dengan segala gerak-gerik lawannya
segera melenting ke samping. Ketika bola-bola api yang lain berubah arah dan
mengejarnya, dengan tangkasnya ujung cambuk murid kedua Kiai Gringsing itu pun
meledak dan menghancurkan bola-bola api yang menyerangnya.
Namun ternyata serangan Pangeran Ranapati dengan bola-bola apinya
itu baru permulaan. Dengan teriakan menggelegar, murid Ki Ageng Sela Gilang itu
pun meloncat sambil mengayunkan senjatanya ke arah dada lawan.
Ki Swandaru terkejut. Selain bola-bola api yang berterbangan
mengerumuninya, dari ujung keris itu terpancar sinar menyilaukan menyambar
dada.
“Gila!” sekarang giliran Ki Swandaru yang mengumpat. Dengan cepat
ditundukkan kepalanya sambil membungkuk. Sinar yang menyilaukan itu pun lewat
sejengkal di atas kepalanya dan menghantam tanah beberapa langkah di
belakangnya. Terdengar suara ledakan yang menggelegar. Tanah pun terbongkar dan
rerumputan hangus menjadi abu.
“Luar biasa,” desis Ki Swandaru dalam hati. Namun dia tidak sempat
berlama-lama mengagumi kedahsyatan ilmu lawannya, bola-bola api yang berpijar
itu masih meluncur mengancam tubuhnya.
Kembali Ki Swandaru melenting sambil menghentakkan cambuknya
dengan cepat beberapa kali. Ujung cambuk itu pun seakan akan menjadi berlipat
ganda dan meledak berturut-turut menghantam bola-bola api itu sehingga
pecah berantakan.
Pangeran Ranapati menggeram melihat serangannya hanya mengenai
tanah, sedangkan bola-bola api yang dapat menghanguskan pokok pohon randu
sebesar pelukan orang dewasa itu dengan mudah dihancurkan oleh lawannya. Dengan
segera dia meningkatkan kecepatan serangannya dan semakin banyak bola-bola api
berpijar yang mengurung Ki Swandaru.
Ki Swandaru yang tidak memiliki ilmu kebal itu harus benar-benar
berhati-hati agar jangan sampai bagian tubuhnya tersentuh bola api itu. Dengan
mengerahkan kelincahannya anak laki-laki satu-satunya Demang Sangkal Putung itu
pun semakin sering meledakkan cambuknya.
Demikianlah pertempuran antara dua orang itu semakin sengit.
Untuk sementara Ki Swandaru hanya mampu menghindar tanpa dapat membalas
serangan. Cambuknya meledak-ledak sementara tubuhnya berloncatan menghindari
sinar menyilaukan yang meluncur dari ujung keris lawannya.
“Apa boleh buat!” geram Ki Swandaru dalam hati sambil terus
berloncatan dan meledakkan cambuknya berulang kali, “Jika untuk menghentikan
serangan-serangan ini harus dengan cara membenturkan ilmu pamungkasku, aku
sudah siap.”
Dalam pada itu, Ki Widura yang bertempur beberapa tombak dari
lingkaran pertempuran Ki Swandaru menjadi berdebar-debar. Sekilas mantan
perwira Pajang itu melihat Ki Swandaru terdesak hebat. Lawannya mengurung Ki
Swandaru dari segala arah dengan bola-bola apinya. Sementara sesekali dari
ujung keris lawannya meluncur sinar menyilaukan yang mampu meledakkan dan
menghanguskan sasaran.
Namun Ki Widura sendiri sedang mengalami tekanan yang dahsyat dari
lawannya, seorang anak muda bersenjatakan sepasang trisula. Kedua ujung trisula
itu secara bergantian meluncur dan mematuk bagian-bagian tubuhnya yang
berbahaya. Walaupun Ki Widura sudah berusaha dengan sekuat tenaga memagari
dirinya dengan putaran cambuknya, namun sesekali ujung trisula itu masih mampu
menembus pertahanannya.
“Luar biasa,” desis Ki Widura dalam hati sambil memiringkan
tubuhnya, ujung trisula yang mematuk pundaknya itu pun lewat hanya setebal daun
dari kulitnya.
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh ayah Glagah Putih itu.
Usianya yang telah mendekati senja benar-benar menjadi kendala yang utama.
Walaupun mantan perwira Pajang itu mempunyai pengalaman bertempur dari medan ke
medan, namun di usia yang senja itu, tenaga dan kemampuan penalarannya
telah jauh menyusut.
“Engkau akan segera mati, kakek tua!” teriak anak muda itu sambil
terus berputaran mengelilingi Ki Widura, “Mengapa engkau membunuh diri dengan
cara seperti ini? Bukankah lebih baik tinggal di rumah saja sambil momong
cucu-cucu mu? Aku rasa itu akan lebih baik.”
Komentar
Posting Komentar