Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 416 Bag. 2.2

 

Orang yang dipanggil kakang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak pandangan matanya tertuju ke medan pertempuran yang semakin sengit. Pasukan Mataram perlahan-lahan mulai terdesak hebat. Walaupun para prajurit itu telah bertempur berpasangan bahkan ada yang membuat kelompok-kelompok kecil, namun karena jumlah lawan yang hampir dua kali lipat, tekanan itu semakin lama menjadi semakin tak tertahankan.

Sebenarnyalah kedatangan murid-murid perguruan bercambuk dari Jati Anom itu sedikit banyak telah mengurangi tekanan lawan. Namun pasukan Mataram belum benar-benar keluar dari kesulitan.

“Sebentar lagi pasukan Mataram itu akan hancur,” gumam orang yang dipanggil kakang itu, “Tinggal menunggu waktu saja. Tumenggung Purbarana sudah mati. Apalagi jika Guru orang yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati itu mampu mengakhiri perlawanan Ki Rangga Agung Sedayu, tentu kekuatan Mataram benar-benar akan lumpuh.”

“Bagaimana dengan Ki Swandaru?” bertanya kawannya, “Kelihatannya dia sudah banyak mengalami kemajuan. Terbukti Ki Swandaru telah berani dengan sadar menempatkan diri berhadapan dengan Pangeran Ranapati.”

Orang yang dipanggil kakang itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Ada bedanya antara berani yang berlandaskan pada perhitungan nalar dan berani yang hanya mengikuti luapan perasaan sesaat. Aku tahu sampai di mana tingkat kemampuan orang yang menyebut dirinya trah Mataram itu. Murid kedua orang bercambuk itu bukan lawan yang sebanding baginya.”

Orang yang berdiri di sebelahnya itu menarik nafas dalam dalam. Dia sangat sependapat dengan kawannya tentang kemampuan Pangeran Ranapati. Namun dia tidak sependapat dengan kawannya yang meragukan  kemampuan anak Demang Sangkal Putung itu. Kenyataannya  sejauh ini  Ki Swandaru masih dapat bertahan.

Ketika kedua orang itu sedang asyik mengamati pertempuran yang semakin berat sebelah, tiba-tiba mereka berdua telah dikejutkan oleh sorak-sorai pasukan Mataram yang membahana di antara suara denting senjata yang beradu dan ledakan cambuk yang sambung menyambung.

“He?!” seru orang yang dipanggil Kakang itu, “Apakah orang-orang Mataram sudah sedemikian putus asanya sehingga  menjadi gila?!”

Kawannya tidak menjawab. Ditajamkan pandangan matanya untuk mengamati pertempuran yang terlihat goncang.

“Lihatlah Kakang!” katanya kemudian sambil menunjuk ke arah selatan, “Pengikut Pangeran Ranapati yang bertempur di sebelah selatan terlihat menjadi kacau balau. Mereka berhamburan seperti diterjang puting beliung.”

Orang yang dipanggil kakang itu sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ketika pandangan matanya yang setajam burung elang itu melihat ke arah selatan, betapa terkejutnya orang itu. Tampak dengan jelas para pengikut pangeran Ranapati bagaikan diterjang badai. Mereka berhamburan mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing.

Tiba-tiba orang yang dipanggil kakang itu melihat keanehan sedang terjadi di medan sebelah selatan. Dalam ketajaman pandangan matanya, tampak ada tiga orang yang berperawakan ramping sedang mengamuk menghancurkan para pengikut Pangeran Ranapati yang berani mengadang jalan mereka.

“Dari mana datangnya tiga orang aneh itu?” desisnya perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri.

 “Gila!” tiba-tiba orang itu mengumpat dengan keras begitu dapat mengenali dengan lebih jelas, “Dari mana datangnya tiga orang perempuan gila itu, he?!”

Orang yang berdiri di sebelahnya itu terkejut mendengar umpatan kawannya. Tanpa sadar dia telah bergeser selangkah ke depan. Tanyanya kemudian, “Siapa yang kakang maksud?”

Orang yang dipanggil kakang itu menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Sulit untuk diterima oleh nalar. Tidak salah lagi, perempuan yang berpakaian khusus dengan sepasang pedang di lambung itu adalah putri Menoreh, Pandan Wangi. Sedangkan yang bersenjatakan tongkat baja putih itu adalah istri Ki Rangga Agung Sedayu. Sepengetahuanku mereka berdua berada di Menoreh. Bagaimana mungkin mereka bisa berada di sini?” orang itu berhenti sebentar. Pandang matanya yang tajam mencoba mengamati perempuan yang terakhir. Namun akhirnya dia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya kembali sambil bergumam, “Aku tidak mengenal perempuan itu. Namun  yang jelas dia perempuan muda yang sangat cantik.”

“He?” orang yang di sebelahnya kembali terkejut, “Benarkah ada perempuan cantik di medan pertempuran itu?”

“Ah, sudahlah,”  sahut orang yang dipanggil kakang itu sambil menarik nafas dalam-dalam, “Usaha kita untuk mencegah bantuan dari para prajurit yang berada di Jati Anom ternyata hanya sia-sia. Aku masih belum habis pikir, bagaimana  mungkin ketiga perempuan itu tiba-tiba saja bisa muncul  di medan pertempuran ini?”

Kawannya tidak menjawab. Dia sedang mengerahkan kemampuannya untuk mempertajam pandangan matanya dan mencoba mengamati dengan lebih seksama medan pertempuran di sebelah selatan.

Dalam pada itu di medan pertempuran sebelah selatan, ketiga perempuan yang telah hadir di lemah cengkar atas bantuan Kanjeng Sunan, tandang mereka benar-benar ngedab-edabi. Sekar Mirah yang hatinya sedang gundah telah melampiaskan kejengkelannya kepada lawan-lawannya. Tongkat baja putihnya benar-benar menjadi alat pencabut nyawa. Setiap sentuhan pada bagian tubuh lawan-lawannya dapat berakibat maut.

Seorang yang rambutnya sudah ubanan mencoba menahan tandang istri Ki Rangga Agung Sedayu itu. Senjatanya yang berupa sebuah bindi terbuat dari kayu berlian terayun ayun mengerikan. Dengan kekuatan raksasanya, orang yang sudah ubanan itu mencoba menangkis tongkat baja putih Sekar Mirah.

“Perempuan ini terlampau ganas dan liar,” geram orang ubanan itu dalam hati, “Akan aku membuat senjatanya patah atau bahkan terlepas dari genggamannya.”

Demikianlah ketika kesempatan itu tiba, begitu senjata Sekar Mirah terayun deras mengarah kening, dengan kekuatan penuh orang yang sudah ubanan itu mengayunkan bindinya untuk menangkis.

Akibatnya sungguh diluar dugaan. Bukan tongkat baja putih Sekar Mirah yang terlempar, justru bindi di tangan orang ubanan itulah yang hampir terlepas. Dengan cepat dia segera meloncat mundur untuk memperbaiki genggamannya.

“Perempuan iblis..!” umpat orang ubanan itu sambil memeriksa senjatanya. Ternyata bindi itu tidak mengalami kerusakan yang berarti. Sementara kawan-kawannya yang lain telah melindunginya dari serangan susulan Sekar Mirah.

Sedangkan Pandan Wangi bertempur lebih tenang dari adik iparnya itu. Sepasang pedangnya berputaran dan mematuk-matuk sehingga membuat lawan-lawannya menjadi gentar dan tidak berani mendekat.

“Medan pertempuran bukan tempat pembantaian,” berkata Pandan Wangi dalam hati, “Sejauh mungkin pembunuhan dapat dihindari jika kita mampu membuat lawan-lawan kita bertekuk lutut dan dengan penuh kesadaran menyerahkan diri.”

Untuk itulah Pandan Wangi berusaha mengurangi tekanan para prajurit Mataram dengan menarik perhatian musuh sebanyak-banyaknya. Tandangnya yang bagaikan burung sikatan di tengah padang itu telah menarik perhatian para pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja mereka meninggalkan lawan-lawan mereka dan mencoba mengatasi tandang putri dari Menoreh itu.

“Kita tangkap perempuan ini hidup-hidup,” berkata seorang yang berkumis tebal dan berjambang lebat kepada kawan-kawannya, “Walaupun sudah berumur, namun perempuan ini masih terlihat cantik. Aku akan membawanya pulang dan akan aku jadikan istri kedua.”

“Enak saja!” sergah orang di sebelahnya, “Aku juga mau. Sudah sampai setua ini aku belum pernah merasakan kehangatan seorang perempuan.”

“Ah! Macam kau..!” seorang yang berperawakan kurus memaki, “Jika sampai setua ini engkau benar-benar belum pernah berhubungan dengan seorang perempuan, tentu ada sesuatu yang salah.”

“He? Apa maksudmu?!” geram orang itu.

“Sudah, sudah..! jangan bertengkar. Mari kita tangkap perempuan ini hidup-hidup. Kita akan mendapatkan mainan yang sangat mengasyikkan,” orang yang berjambang lebat itu menengahi.

Demikianlah sejenak kemudian Pandan Wangi pun harus bertempur melawan delapan orang sekaligus.

Dalam pada itu Anjani yang hadir paling akhir hanya berusaha mempertahankan diri dari serangan-serangan yang tiba-tiba saja meluncur ke arahnya. Dia tidak berusaha memancing perhatian para pengikut Pangeran Ranapati sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Langkah perempuan muda itu hanya satu-satu sambil sesekali meloncat menghindar. Perhatiannya memang sedang tertuju pada suara cambuk yang meledak-ledak tak henti-hentinya di medan pertempuran itu.

“Mengapa begitu banyak orang yang bersenjatakan cambuk di medan pertempuran ini?” pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya.

Ketika pandangan matanya sekilas melihat medan pertempuran di bagian tengah, Anjani menjadi terkejut. Tampak seseorang yang sudah menjelang hari-hari tuanya sedang mempertahankan diri dengan susah payah melawan gempuran seorang anak muda yang bersenjatakan sepasang trisula.

“Siapakah kakek tua itu?” bertanya Anjani dalam hati, “Menilik jenis senjata yang digunakannya, tentu kakek tua itu ada hubungannya dengan Ki Rangga Agung Sedayu.”

Berpikir sampai disitu, dengan cepat Anjani segera bergeser dari tempatnya dan berlari menyusup di antara riuhnya pertempuran mendekati tempat kakek tua itu sedang menyabung nyawa.

Sebenarnyalah Ki Widura benar-benar sedang mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ilmu-ilmu yang tertimbun di dalam dirinya menjadi tidak berarti begitu kekuatan wadagnya tidak mendukung. Sementara lawannya adalah seorang anak muda yang mempunyai kelincahan dan kekuatan ngedab-edabi.

Segores demi segores luka telah menghiasi tubuh mantan Perwira Pajang itu. Darah dan keringat rasa-rasanya telah terperas habis dari sekujur tubuhnya. Namun sebagai mantan prajurit Wira tamtama semasa Pajang masih tegak berdiri, pantang bagi dirinya untuk menyerah.

“Mengapa engkau tidak segera menyerah kakek tua?” geram anak muda itu sambil meloncat maju, “Percayalah, aku tidak akan menyakitimu pada saat-saat terakhirmu. Dengan sebuah tusukan di jantungmu, engkau akan mati dengan tenang, dari pada mati dengan luka arang kranjang, tentu akan lebih menyakitkan.”

Ki Widura tidak menjawab. Dicobanya untuk memutar cambuknya sekuat tenaga, namun tenaganya sudah habis sehingga dengan mudah lawannya mampu menyusup di antara putaran cambuknya.

Sebelum Ki Widura sempat menarik cambuknya, tangan kiri lawannya yang menggenggam trisula itu telah menyambar pundak. Sementara tangannya yang lain memutar rantai yang ujungnya juga terdapat sebuah trisula dengan deras di atas kepala.

Ki Widura yang melihat arah serangan lawannya masih sempat bergeser ke samping. Namun ketika ujung trisula yang lain meluncur deras mematuk dada, Ki Widura sedikit terlambat menghindar . Ujung senjata lawannya yang sangat tajam itu pun untuk ke sekian kalinya telah menggoreskan sebuah luka di bagian tubuhnya.

Terdengar Ki Widura berdesis tertahan. Kembali darah memancar dan ketahanan tubuh Ki Widura pun semakin melemah.

Ketika sekali lagi anak muda itu memutar senjatanya di atas kepala, Ki Widura hanya dapat memandang ujung trisula yang berputar deras itu dengan pandangan pasrah. Sejenak kemudian, senjata lawannya pun telah meluncur dengan deras mengarah jantung.

Masih ada usaha terakhir dari Ki Widura untuk bergeser menghindari ujung trisula itu langsung menembus jantung. Namun tenaganya benar-benar telah terperas habis bagaikan air hujan yang lenyap tak berbekas terhisap oleh bumi.

Tepat pada saat ujung trisula itu tinggal sejengkal dari dada Ki Widura, sebuah pedang tipis yang ujungnya selalu bergetar telah memotong serangan itu dari arah samping. Benturan yang terjadi kemudian telah membuat anak muda itu terkejut. Senjatanya bagaikan membentur dinding baja dan terpental membalik justru ke arah pemiliknya sendiri.

“Setaan..!” anak muda itu mengumpat sambil berusaha menguasai senjatanya yang berbalik menyerang kepalanya.

Ketika dia kemudian berhasil menguasai senjatanya kembali dan mencoba memandang ke depan, jantungnya pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Di hadapannya telah berdiri seorang perempuan muda dengan pakaian khusus serta sebilah pedang tipis di tangan kanannya.

Untuk beberapa saat anak muda itu justru telah membeku di tempatnya. Pandangan matanya nanar menelusuri lekuk-lekuk sekujur tubuh perempuan cantik bak Bidadari yang berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. Pakaian khusus yang berwarna putih itu terlihat begitu ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Di bawah siraman sinar bulan tua,  begitu indahnya perempuan muda itu dalam pandangan matanya.

“Siluman macan putih penunggu pohon beringin raksasa…” tiba-tiba dalam benaknya menyelinap pikiran aneh. Memang sore tadi sewaktu mereka sedang menunggu  rombongan pasukan berkuda melintas di padang rumput lemah Cengkar, beberapa kawannya telah membicarakan harimau siluman itu.

Begitu teringat cerita kawan-kawannya sore tadi, jantungnya pun tiba-tiba berdegup  kencang sedangkan bulu-bulu di sekujur tubuhnya ikut meremang.

“Mungkinkah dia menjelma sebagai peri cantik ini dan datang untuk menghukumku..?” kembali  angan-angan anak muda itu menerawang. Jantungnya  berpacu semakin kencang, sedangkan sekujur tubuhnya yang telah basah oleh keringat  tiba-tiba saja telah menjadi dingin bahkan  menggigil.

Anjani yang berdiri beberapa langkah di hadapannya menjadi heran. Anak muda itu .terlihat begitu ketakutan bagaikan sedang melihat hantu.

“Kakek,” berkata Anjani kemudian tanpa menoleh kepada Ki Widura di belakangnya, “Beristirahatlah. Maafkan aku telah mengganggu permainanmu. Aku kira ini bukan sebuah medan perang tanding sehingga aku memutuskan untuk mencampurinya.”

“Terima kasih Ni Sanak,” desis Ki Widura pelan sambil menyimpan senjatanya, “Ni Sanak telah menyelamatkan selembar nyawaku. Semoga Yang Maha Agung berkenan memberikan balasan kebaikan yang setimpal.”

“Terima kasih, kakek. Beristirahatlah..,” jawab Anjani sambil sekilas berpaling ke belakang. Tampak dari jauh seorang cantrik padepokan Jati Anom yang telah ditinggalkan oleh lawannya berlari-lari menuju ke tempat Ki Widura.

“Bawalah kakek ini menepi,” berkata Anjani tanpa berpaling setibanya cantrik itu di belakangnya, “Darah yang mengalir dari luka-lukanya terlalu banyak. Jika tidak cepat diobati, tidak menutup kemungkinan kakek itu akan kehabisan darah.”

“Baik, Ni Sanak,” jawab cantrik itu sambil memandang ke arah Anjani. Namun dia hanya melihat bayangan Anjani dari belakang.

“Siapakah perempuan ini?” bertanya cantrik itu di dalam hati, “Menilik bentuk tubuhnya yang begitu indah, tentu perempuan ini sangat cantik sekali.”

Namun cantrik itu tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Tiba-tiba terdengar Ki Widura mengeluh pendek dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dengan cepat cantrik itu segera menangkap tubuh Ki Widura dan memapah serta membawanya menepi  menuju ke garis belakang.

Sesampainya di garis belakang, dengan cekatan cantrik itu segera membaringkan Ki Widura di atas rerumputan. Diambilnya sebuah bumbung kecil yang tersangkut di ikat pinggang Ki Widura. Sebagai murid padepokan orang bercambuk, tentu saja sedikit banyak dia juga telah mempelajari tentang pengobatan.

Setelah luka itu dibersihkan terlebih dahulu memakai secarik kain yang disobek dari kain panjangnya, cantrik itu pun dengan hati-hati mulai menaburkan bubuk yang berwarna kehitam-hitaman di atas luka-luka  yang tak terhitung banyaknya.

Terlihat Ki Widura berdesis tertahan sambil menggigit bibirnya.

“Bertahanlah Ki Widura,” bisik cantrik itu kemudian, “Ki Widura harus minum obat untuk memperkuat daya tahan. Aku pergi sebentar untuk mencari air.”

Ki Widura tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk kecil, sementara kedua matanya terpejam rapat.

Sepeninggal cantrik itu, tampak seseorang yang sedari tadi mengawasi mereka dari kejauhan berjalan mendekat ke tempat Ki Widura dibaringkan.

Sejenak orang itu ragu-ragu. Namun akhirnya orang itu pun meneruskan langkahnya dan akhirnya berjongkok di sisi tubuh Ki Widura yang terbujur diam.

Beberapa kali orang itu tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya dia berkata dengan suara perlahan namun terdengar sangat berwibawa, “Ki Sanak, bagaimana keadaan Ki Sanak?”

Ki Widura yang keadaannya berada di antara sadar dan tidak itu tampak mengerutkan keningnya. Lamat-lamat dia mendengar seseorang bertanya kepadanya.

“Siapa?” bisiknya lirih dengan kedua mata tetap terpejam.

Sejenak orang itu ragu-ragu, namun akhirnya dia menjawab, “Jangan pedulikan siapa aku. Aku hanya ingin menolong Ki Sanak.”

“Terima kasih,” jawab Ki Widura sambil menarik nafas dalam-dalam, “Cantrik tadi sudah menaburkan obat di atas luka-lukaku. Aku hanya membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat dan memulihkan tenagaku.”

Orang yang berjongkok di sisi Ki Widura itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ada hubungan apakah Ki Sanak dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku lihat Ki Sanak menggunakan senjata yang sejenis dengan senjata yang sering dipakai oleh Ki Rangga. Bahkan di medan pertempuran sekarang ini banyak yang bersenjatakan cambuk,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalau aku tidak salah, kalian adalah murid-murid dari padepokan orang bercambuk di Jati Anom.”

“Engkau benar Ki Sanak,” jawab Ki Widura dengan kedua mata tetap terpejam, “Aku adalah pamannya yang tinggal di Banyuasri. Dulu aku adalah salah seorang Perwira prajurit Pajang semasa pemerintahan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”

Orang itu tampak terkejut mendengar pengakuan Ki Widura. Katanya kemudian, “Jadi Ki Sanak ini adalah Ki Widura yang juga pamannya Ki Tumenggung Untaradira?”

Sekarang Ki Widura lah yang ganti terkejut. Tanpa sadar dia membuka matanya dan mencoba mengenali orang yang berjongkok di sebelahnya.

Ketika Ki Widura kemudian membuka matanya dan menoleh ke arah orang yang sedang berjongkok di sebelah kanannya, adalah kebetulan bahwa orang itu sedang membelakangi sinar bulan tua yang temaram. Hanya tampak bayangan hitam tanpa raut wajah yang dapat dikenali.

Dengan mengerjap-kerjapkan kelopak matanya agar pandangan matanya lebih jelas, Ki Widura pun mengulangi pertanyaannya, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”

“Sudahlah Ki Widura, siapapun aku itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Ki Widura.”

Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja telapak tangan kanan orang itu menyentuh dada Ayah Glagah Putih itu. Sejenak kemudian, terasa aliran hawa yang hangat di dadanya  dan selanjutnya mengalir ke sekujur tubuh  yang bersamaan dengan datangnya perasaan kantuk yang luar biasa. Tanpa kuasa melawan, Ki Widura pun akhirnya jatuh tertidur.

Dalam pada itu  anak muda yang bersenjatakan sepasang trisula itu ternyata berjiwa  kerdil. Betapapun tinggi ilmunya, namun kekerdilan jiwanya yang percaya terhadap segala macam hantu, siluman, gendruwo, tetekan dan segala sesuatu yang bisa mendatangkan kekuatan ghoib, telah memburamkan penalarannya. Dalam pandangannya, Anjani tak ubahnya seorang peri jelmaan siluman macan putih yang datang untuk menghukumnya.

Ketika dengan langkah gemulai Anjani kemudian berjalan mendekat, tercium bau harum semerbak mewangi. Bau wangi itu rasa-rasanya diluar batas kewajaran, sehingga membuat anak muda itu pun menjadi semakin ketakutan.

Ketika rasa takut itu sudah tak tertahankan lagi, tiba-tiba saja anak muda itu telah membalikkan tubuhnya dan kemudian berlari sekencang-kencangnya meninggalkan medan pertempuran Lemah Cengkar.

Sedangkan Anjani yang telah ditinggalkan oleh lawannya begitu saja menjadi geli sendiri. Sejenak dia masih berdiri mematung sambil mengawasi medan pertempuran di sekelilingnya. Ketika pandangan matanya sekilas melihat pertempuran antara Ki Lurah Adiwaswa melawan Kyai Dadap Ireng, tanpa sadar kakinya pun segera terayun untuk melangkah mendekat.

Dalam pada itu pertempuran memang telah mencapai puncaknya. Korban di kedua belah pihak telah berjatuhan. Dengan kedatangan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, di sisi selatan medan pertempuran para pengikut Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang tak tertahankan. Sedangkan para prajurit yang telah terlepas dari lawan-lawan mereka karena bantuan kedua perempuan itu segera membantu prajurit-prajurit yang berada di sisi utara. Dengan demikian keadaan menjadi berbalik. Giliran pasukan Pangeran Ranapati lah yang sekarang  mengalami tekanan yang dahsyat.

Perubahan medan pertempuran itu ternyata tidak luput dari pengamatan  Pangeran Ranapati.

“Siapa perempuan-perempuan gila itu, he?!” teriak Pangeran Ranapati sambil menghentakkan serangannya. Sekilas pandangan matanya melihat tekanan yang dahsyat di sisi selatan.

Ki Swandaru yang sekilas melihat kedatangan Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera mengenali keduanya dari jenis senjata yang mereka pergunakan.

“Tenanglah Ki Sanak,” jawab Ki Swandaru sambil meloncat menghindar, “Kedua perempuan itu adalah istriku dan adikku sendiri. Namun jangan khawatir, mereka datang tidak untuk membantuku. Sudah cukup aku saja untuk membuat Ki Sanak menjenguk alam kelanggengan.”

“Iblis..!” geram Pangeran Ranapati. Serangannya pun semakin gencar dan cepat sehingga memaksa Ki Swandaru yang bertubuh gemuk itu untuk meningkatkan kelincahannya.

Sebenarnyalah Ki Swandaru pun dihinggapi perasaan heran yang sangat. Bagaimana mungkin kedua perempuan yang sangat dikenalnya itu bisa hadir di medan pertempuran begitu saja.

“Mungkin keduanya memang kebetulan sedang melakukan perjalanan sejak pagi tadi dari Menoreh menuju ke Sangkal Putung,” berkata Ki Swandaru dalam hati menduga-duga.

Dalam pada itu lingkaran pertempuran antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki Singawana Sepuh semakin lama semakin bergeser menjauhi medan pertempuran. Udara di sekitar tempat mereka berdua bertempur terasa telah membeku. Ki Rangga pun semakin kesulitan untuk mengimbangi kemampuan lawannya.

“Aku memerlukan senjata yang mempunyai jangkauan jauh untuk menghentikan sumber pancaran ilmu yang dahsyat ini,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus berusaha menghindar dan menjaga jarak dengan lawannya, “Semakin dekat aku dengan sumber pancaran ilmu itu, rasa-rasanya darahku menjadi beku dan seluruh persendian tulang-tulangku kaku sulit untuk digerakkan.”

Pada awalnya terpikir oleh Ki Rangga untuk mengurai cambuknya. Namun ketika dia menyadari bahwa lawannya tidak menggunakan sebuah senjata pun, Ki Rangga pun telah mengurungkan niatnya.

“Aku harus terus bergerak,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekejap saja aku berhenti bergerak, hawa dingin yang tak tertahankan ini akan semakin mencengkeram  sekujur tubuhku.”

Tiba-tiba terlintas dalam benaknya, kemampuan ilmunya yang mampu diungkapkan melalui sorot matanya.

“Namun aku harus berhenti sekejap untuk mengungkapkan ilmu ini,” kembali Ki Rangga menimbang-nimbang, “Namun tidak ada salahnya untuk dicoba. Aku yakin yang sekejap itu masih akan mampu aku tahankan. Sementara tekanan ilmu sorot mataku pun tentu akan berpengaruh terhadap pancaran ilmu Ki Singawana Sepuh.”

Berpikir sampai disitu, Ki Rangga sudah tidak dapat menunda lagi. Dengan cepat dia melenting ke belakang beberapa langkah. Dengan cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Ketika serangan hawa dingin yang membekukan darah itu menyergap ke arah dada, sepasang mata Ki Rangga pun bagaikan menyala dan seleret cahaya kebiru-biruan meluncur menghantam dada lawannya.

Akibatnya adalah dahsyat sekali. Ki Singawana Sepuh yang sudah merasa di atas angin dan tinggal menunggu saat-saat kemenangannya, tiba-tiba saja dadanya bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan. Dengan dahsyatnya tubuh guru Pangeran Ranapati itu terhuyung-huyung ke belakang. Untunglah pada saat yang bersamaan Ki Rangga pun mengalami kesulitan untuk menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Hawa dingin yang menyergapnya telah membekukan paru-paru sehingga jalan nafas Ki Rangga pun bagaikan tersumbat. Tidak ada jalan lain bagi Ki Rangga selain  melepaskan ilmunya dan meloncat menjauh.

bersambung ke bagian 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403