Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 416 Bag. 2.1

 

Ki Widura tidak menjawab. Rasa-rasanya nafasnya memang sudah berkejaran keluar masuk lewat  kedua lubang hidungnya. Sementara lawannya semakin lama rasa-rasanya dapat bergerak semakin cepat dan tangkas.

Dalam pada itu, lingkaran pertempuran antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan guru Pangeran Ranapati yang lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, semakin lama telah bergeser semakin menjauhi medan pertempuran. Memang mereka sengaja menjauh dari medan pertempuran agar benturan ilmu kedua  orang yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin itu tidak mengganggu orang-orang di sekelilingnya.

Lawan Ki Rangga kali ini benar-benar seorang yang mampu menguasai ilmunya dengan sempurna. Pada awalnya Ki Rangga menyangka bahwa hawa dingin yang perlahan-lahan mencekam di sekeliling lingkaran pertempuran itu karena pengaruh udara dini hari yang memang semakin dingin. Namun ketika Ki Rangga merasakan hawa dingin itu semakin mencekam dan rasa-rasanya telah membekukan darahnya, sadarlah Ki Rangga bahwa lawannya telah mengetrapkan sejenis ilmu yang mampu membuat udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin.

 Untunglah ilmu kebal Ki Rangga yang sudah mencapai tingkat hampir sempurna itu dapat memancarkan hawa panas, sehingga dengan hawa panas yang memancar dari dalam tubuhnya itu, Ki Rangga masih dapat bertahan dari gempuran hawa dingin yang semakin lama terasa semakin mencekam.

“Hawa dingin ini rasa-rasanya lambat laun akan dapat menembus ilmu kebalku,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus bertempur, “Jika udara ini menjadi semakin dingin dan mampu menembus pertahananku, tentu darahku akan menjadi beku dan urat-urat nadiku di sekujur tubuh akan pecah.”

Demikianlah kedua orang itu akhirnya bertempur dalam ujud mereka yang sebenarnya. Ki Singawana Sepuh sudah tidak bermain petak umpet lagi, sedangkan Ki Rangga pun telah melepaskan kedua ujud semunya.

“Tidak ada gunanya aku bersembunyi dengan aji kakang pembarep adi wuragil,” kembali Ki Rangga berkata dalam hati, “Rasa dingin yang membekukan darahku ini tetap akan mampu menjangkau tubuhku walaupun aku bersembunyi di antara kedua ujud semuku.”

Sebenarnyalah hawa dingin di seputar lingkaran pertempuran Ki Rangga menjadi sangat dingin di luar batas kewajaran. Ki Singawana Sepuh telah mengungkapkan sejenis ilmu yang didapatkannya semasa dia masih muda. Semasa dia masih senang menjelajahi negeri ini dari ujung ke ujung bahkan sampai ke manca negara.

“Nah, apa kataku Ki Rangga,” berkata Ki Singawana Sepuh sambil melancarkan serangan. Dari telapak tangannya menyembur percikan-percikan air yang membeku dan menjadi sangat tajam setajam ujung pedang di setiap sisinya, “Jarang ada orang yang mampu bertahan menghadapi ilmuku  pada tingkat ini. Engkau akan mati membeku sebelum engkau mampu memecahkan rahasia ilmuku ini.”

Ki Rangga tidak menjawab kata-kata lawannya. Dengan cepat dia melenting tinggi menghindari sambaran ilmu lawannya. Ki Rangga hanya mampu bergerak menghindar tanpa balas menyerang. Hawa dingin yang diciptakan lawan membuat Ki Rangga kesulitan untuk bergerak mendekati lawannya dan balas menyerang.

“Semakin mendekati sumbernya, hawa dingin ini semakin mencekam dan tak tertahankan,” kali ini Ki Rangga benar-benar mengeluh dalam hati.

Demikianlah Ki Rangga Agung Sedayu harus berjuang dengan sekuat tenaga mengatasi hawa dingin yang semakin lama semakin mencekam. Sementara serangan-serangan lawannya yang berupa percikan-percikan air yang membeku dan setajam ujung pedang pada setiap sisinya tidak  dapat diabaikan begitu saja.

Dalam pada itu di dalam sanggar yang terletak di halaman belakang kediaman Ki Gede Menoreh, dalam temaram sinar lampu dlupak yang diletakkan di ajug-ajug, tampak tiga orang perempuan cantik sedang duduk bersimpuh dengan kepala tunduk. Di hadapan mereka beberapa langkah, tampak Kanjeng Sunan sedang duduk di atas sebuah batu hitam.

“Nyi Sekar Mirah dan Ni Anjani,” berkata Kanjeng Sunan lembut namun terasa menusuk jantung, “Apakah sebenarnya yang telah membuat  kalian berdua bersilang sengketa sehingga telah melupakan segala suba sita dan lebih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan sebuah masalah?”

Kedua perempuan itu sama sekali tidak berani mengangkat wajah mereka. Kepala mereka tertunduk dalam-dalam sementara bibir mereka pun terkunci rapat.

Kanjeng Sunan menarik nafas dalam, dalam sekali. Ketika pandangannya jatuh di wajah Pandan Wangi yang juga menundukkan wajahnya, Kanjeng Sunan pun kemudian berkata, “Mungkin Nyi Pandan Wangi dapat menjelaskan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi pada kedua perempuan ini sehingga mereka menjadi waringuten dan berniat untuk saling menghancurkan?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, sejenak Pandan Wangi menahan nafas. Tanpa sadar dia mencuri pandang kearah kedua perempuan yang bersimpuh di sebelahnya. Namun agaknya kedua perempuan itu tetap pada sikap mereka semula, menundukkan kepala mereka dalam-dalam dengan mulut yang terbungkam.

Beberapa saat tadi memang Sekar Mirah telah bertempur dengan sengitnya melawan Anjani. Kedua perempuan itu masing-masing sudah tidak mampu menahan diri lagi. Sementara Pandan Wangi yang telah menyanggupi sebagai saksi tidak mampu mencegah perkembangan keadaan  yang telah terjadi.

“Mirah..! Anjani..!” teriak Pandan Wangi diantara suara denting senjata yang beradu, “Sudahlah..! Kendalikan diri kalian masing-masing. Tidak sepatutnya kalian mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu hal yang sebenarnya masih dapat dibicarakan lagi!”

“Tidak mbokayu!” teriak Sekar Mirah sambil memutar tongkat baja putihnya. Sambil mengayunkan tongkatnya menyambar kening Anjani, dia melanjutkan, “Harga diri ini harus dibayar tuntas. Perempuan mana yang tidak tersentuh harga dirinya jika ada seorang perempuan jalang telah menggoda suaminya!”

“Aku bukan perempuan jalaaang…!” jerit Anjani sambil menangkis senjata lawannya. Pedang tipis di tangan kanannya  kini yang ganti berputar cepat untuk melibat tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah.

“Kalau engkau bukan perempuan jalang, mengapa engkau menggoda suamiku.?!” tak kalah kerasnya Sekar Mirah membentak sambil menarik senjatanya. Sebagai gantinya kaki kanannya lurus menendang perut Anjani.

Anjani yang mendapat serangan di bagian perut telah menggeser kaki kirinya selangkah ke belakang Serangan itu pun lewat sejengkal dari tubuhnya.

Sambil membalas serangan dengan tusukan pedang ke arah ulu hati, Anjani pun balas membentak, “Suamimulah yang telah menjadikan aku sebagai taruhan dan dia telah memenangkan taruhan itu. Apakah aku salah jika aku menagih janji dari Ki Rangga untuk membawaku ke Menoreh..?!”

“Bohong..! Bohoong…! Bohooong..!” kembali Sekar Mirah membentak-bentak sambil mengayunkan tongkatnya menangkis serangan Anjani. Namun kali ini suara Sekar Mirah terdengar sendat dan sedikit terisak.

Demikianlah kedua perempuan itu sudah benar-benar waringuten. Pandan wangi yang berdiri di luar lingkaran pertempuran menjadi semakin berdebar-debar. Bagaimana pun juga, jauh di lubuk hatinya anak perempuan satu-satunya Ki Gede Menoreh itu tidak rela jika salah satu dari kedua perempuan itu akan menjadi bebanten hanya karena permasalahan yang belum jelas.

“Bagaimana Nyi Pandan Wangi?” Kanjeng Sunan mengulangi pertanyaannya sehingga membuat Pandan Wangi tersadar dari lamunannya.

Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar Kanjeng Sunan mengulangi pertanyaannya. Dengan gemetar, putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu pun segera menghaturkan sembah sambil menjawab, “Mohon ampun Kanjeng Sunan. Sebenarnyalah apa yang sedang mereka perselisihkan itu adalah masalah yang sangat pribadi. Hamba tidak berani mengungkapkannya karena kedudukan hamba disini hanya sebagai saksi. Hamba mohon, sebaiknya mereka berdua sajalah yang menjawab.”

Kembali Kanjeng Sunan menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menatap lurus ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Beberapa saat tadi Ki Jayaraga dan muridnya berusaha mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sanggar. Namun atas seijin Yang Maha Agung, doa Kanjeng Sunan telah dikabulkan sehingga  Guru dan murid itu tidak mampu melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sanggar.

“Nyi Pandan Wangi,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Seseorang yang sudah berani dengan penuh kesadarannya untuk menyediakan diri sebagai saksi, harus berani mengungkapkan apa yang telah disaksikannya dan diyakininya dengan apa adanya, tanpa terpengaruh  oleh berbagai hal di sekelilingnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang disaksikannya,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekali lagi aku ingin mengetahui, apakah yang telah Nyi Pandan Wangi saksikan sehubungan dengan pertikaian antara Nyi Sekar Mirah dan Ni Anjani?”

Untuk beberapa saat  Pandan Wangi termenung. Ingatannya melayang ke beberapa saat yang lalu ketika Sekar Mirah melangkah memasuki pintu sanggar.

“Nah, aku sudah menepati janjiku untuk datang ke sanggar,” berkata Sekar Mirah begitu dia berdiri di hadapan kedua perempuan itu, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan mengeroyokku ataukah kalian akan maju satu-persatu? Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Mirah!” tegur Pandan Wangi dengan sedikit keras, “Jagalah ucapanmu. Aku berdiri di sini bermaksud untuk mendamaikan kalian berdua, bukan justru sebaliknya. Permasalahan yang terjadi di antara kalian  masih bisa diselesaikan tanpa melibatkan tajamnya ujung senjata. Marilah, kita duduk bersama dengan kepala dingin dan hati yang ikhlas.”

“Tidak mbokayu,” jawab Sekar Mirah dengan serta merta, “Permasalahan ini sudah menyinggung harga diri sebuah keluarga. Keutuhan keluargaku sekarang ini sedang dipertaruhkan.”

“Aku juga berkeberatan, mbokayu Pandan Wangi,” sergah Anjani cepat, “Aku sangat berkeberatan jika aku dituduh telah mengganggu keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Justru sekarang ini kedudukanku adalah sebagai seorang tawanan, tawanan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Omong kosong!” bentak Sekar Mirah. Wajahnya yang merah padam bertambah kelam, “Untuk apa suamiku menawanmu, he?!  Apakah engkau merasa terlalu cantik sehingga suamiku telah merebutmu dari seseorang atau dari tangan calon suamimu barangkali?!”

“Mirah..!” kembali Pandan Wangi bersuara agak keras, “Dengarlah! Seperti yang sudah pernah aku sampaikan kepadamu. Kakang Agung Sedayu memang sedikit banyak telah bercerita kepadaku tentang Anjani sewaktu kami sedang bersiap menghadapi pasukan Panembahan Cahya Warastra beberapa saat lalu di tepian kali Praga,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Kakang Agung Sedayu memang pernah berperang tanding melawan murid-murid Tal Pitu yang membalas dendam menuntut kematian guru mereka. Mereka menuntut  nyawa Ki Rangga sebagai taruhannya. Sedangkan di pihak Ki Rangga,  Anjani dijadikan sebagai taruhan jika Ki Rangga dapat keluar sebagai pemenang. Tujuan sebenarnya dari Ki Rangga hanyalah untuk membuat kedua murid Tal Pitu itu marah dan kehilangan penalaran, bukan dengan tujuan yang sebenarnya. Namun karena ternyata Ki Rangga yang keluar sebagai pemenang, maka apapun yang terjadi Ki Rangga harus menepati janjinya untuk membawa Anjani ke Menoreh.”

“Sebentar mbokayu,” potong Anjani sebelum Sekar Mirah sempat menanggapi kata-kata Pandan Wangi, “Aku bukan menuntut janji Ki Rangga untuk membawaku ke Menoreh. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah, maksud yang sebenarnya di balik janji Ki Rangga untuk membawaku ke Menoreh. Aku bukan sebuah barang yang sedemikian mudahnya dibawa kesana-kemari kemudian untuk diletakkan di sembarang tempat. Aku adalah manusia yang mempunyai harga diri dan nilai, walaupun mungkin orang-orang menilai diriku tidak terlalu tinggi, namun aku tidak peduli. Yang aku tuntut adalah ketegasan Ki Rangga, untuk tujuan apa  sebenarnya aku ini dibawa ke Menoreh?”

Bagaikan bongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari puncak bukit, kata-kata Anjani itu pun satu-persatu telah menghentak-hentak dada Sekar Mirah. Anak perempuan satu-satunya Ki Demang Sangkal Putung itu pun sejenak bagaikan tersumbat jalan nafasnya. Dadanya bergelombang naik turun namun alangkah sulitnya bagi Sekar Mirah hanya untuk sekedar menarik nafas. Pandang matanya memerah darah, sementara tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya telah bergetar dahsyat menahan kemarahan yang telah mencapai ubun-ubun.

“Apakah yang sedang engkau pikirkan, Nyi Pandan Wangi?” tiba-tiba pertanyaan Kanjeng Sunan telah menyadarkan Pandan Wangi dari lamunannya, “Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Aku sengaja tidak ingin bertanya kepada kedua perempuan ini yang nalar mereka untuk sementara masih buram dan diliputi oleh kemarahan. Aku bertanya kepadamu karena aku ingin mengetahui  sisi yang sebenarnya dari permasalahan ini.”

“Ampun Kanjeng Sunan,” akhirnya Pandan Wangi sudah tidak dapat mengelak lagi, “Permasalahan yang sebenarnya bersumber pada diri Ki Rangga Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Anjani telah membuat penilaian terhadap Ki Rangga menurut pandangan dan kepentingan masing-masing. Menurut hemat hamba, untuk menyelesaikan permasalahan  ini sebaiknya  Ki Rangga harus dilibatkan, agar jelas permasalahannya.”

Kanjeng Sunan menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Pandan Wangi. Sejenak dipandanginya ketiga perempuan yang sedang bersimpuh di hadapannya itu ganti-berganti. Berbagai pertimbangan telah muncul dalam benak Kanjeng Sunan.

“Anak-anakku,” berkata Kanjeng Sunan kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Ketahuilah, Ki Rangga Agung Sedayu pada saat ini sedang melaksanakan tugas yang dibebankan langsung oleh Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati untuk menangkap hidup atau mati orang  yang mengaku sebagai trah Mataram,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Untuk itu hendaknya kalian jangan memberikan beban yang berlebihan kepadanya. Masih banyak tugas yang menunggu Ki Rangga untuk diselesaikan. Semua itu dilakukan oleh Ki Rangga bukan karena mengejar pamrih pribadi, namun karena jabatan  dan tugas yang disandangnya sebagai Senapati Agul-Agulnya Mataram.”

Ketiga perempuan itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam terutama Sekar Mirah. Dengan memberanikan diri, akhirnya Sekar Mirah pun mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, bukankah suamiku sedang sakit? Bagaimana mungkin suamiku dapat melaksanakan tugasnya saat ini?”

Kanjeng Sunan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Itulah karunia tiada terkira yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung kepada suamimu. Sekarang ini dia sedang membantu pasukan berkuda Mataram melawan para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati  di padang rumput Lemah Cengkar,.”

“Lemah Cengkar?” hampir bersamaan Sekar Mirah dan Pandan Wangi mengulang sambil mengangkat kepala mereka. Sedangkan Anjani tetap bersimpuh dengan kepala tunduk.

“Apakah ada yang aneh dengan Lemah Cengkar?” bertanya Kanjeng Sunan kemudian.

Mendapat pertanyaan dari Kanjeng Sunan, barulah keduanya tersadar atas sikap deksura mereka. Dengan serta merta keduanya pun segera menundukkan wajah mereka kembali.

“Mohon ampun Kanjeng Sunan,” Pandan Wangi lah yang menjawab sambil menyembah, “Mohon dimaafkan atas keterlanjuran kami. Kami berdua sangat heran. Lemah Cengkar dengan Menoreh jaraknya hampir setengah hari jika berkuda terus-menerus tanpa berhenti. Biasanya jika kami melakukan perjalanan dari Menoreh ke Sangkal Putung, kami memerlukan waktu untuk  beristirahat sejenak di Kali Opak, sekedar memberikan kesempatan kepada kuda-kuda kami agar beristirahat dan minum.  Sehingga menjelang senja, biasanya kami baru sampai di Sangkal Putung.”

Kanjeng Sunan kembali tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejenak, barulah Kanjeng Sunan berkata, “Sekali lagi sebuah karunia yang tiada taranya telah diberikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Atas seijin Yang Maha Agung, jarak bukan lagi menjadi kendala baginya.”

Ketiga orang perempuan itu serempak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai tanggapan yang berbeda-beda telah muncul dalam benak masing-masing. Ada rasa bangga yang tiada taranya dalam dada Sekar Mirah. Rasa bangga itu berkembang menjadi sebuah angan-angan dan harapan, kelak di kemudian hari suaminya pasti  akan mendapat anugrah dan jabatan yang lebih tinggi lagi yang  berarti kebahagiaan dan kesejahteraan juga bagi keluarganya.

Sedangkan Pandan Wangi semakin tunduk saja wajahnya. Memang ada rasa kagum dan bangga yang menyelinap di dalam dadanya atas kemajuan yang dicapai oleh Ki Rangga, namun selebihnya Pandan Wangi lebih banyak meratapi nasibnya.

“Pilihan pertamaku memang tidak salah,” desah Pandan Wangi dalam hati, “Namun saatnya lah yang tidak tepat. Aku menjatuhkan pilihan pertamaku kepada Kakang Agung Sedayu justru pada saat dia telah mempunyai tambatan hati.”

Sementara Anjani hanya menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya terlihat datar-datar saja. Kini dia mulai menyadari bahwa harapannya terlampau melambung. Ki Rangga adalah laki-laki yang hampir tanpa cacat dengan ilmu yang sulit untuk dijajagi. Sedangkan dirinya hanyalah perempuan tanpa sanak kadang, tanpa masa depan dan harapan serta  terlebih lagi tanpa  cinta.

“Anak-anakku,” terdengar suara Kanjeng Sunan memecah keheningan sehingga membuat ketiga perempuan itu terbangun dari mimpi masing-masing, “Pertempuran di Lemah Cengkar sangat berat sebelah. Jumlah lawan hampir dua kali lipat. Untunglah pasukan berkuda Mataram adalah prajurit pilihan sehingga sampai saat ini mereka masih dapat bertahan. Namun lambat laun pertahanan itu pun pasti akan pecah dan korban pun akan berjatuhan jika tidak segera datang bantuan. Pergilah ke Lemah Cengkar. Bantulah pasukan Mataram. Tenaga kalian sangat dibutuhkan di sana.”

Pandan Wangi dan Sekar Mirah terkejut bukan alang kepalang mendengar perintah Kanjeng Sunan. Tanpa sadar keduanya kembali mengangkat kepala mereka  sambil memandang ke arah Kanjeng Sunan dengan wajah penuh tanda tanya. Sedangkan Anjani tetap diam membisu. Dia sudah pernah mengalami perjalanan bersama Kanjeng Sunan, sehingga perintah Kanjeng Sunan untuk menyusul Ki Rangga ke Lemah Cengkar itu sudah tidak asing lagi baginya.

Namun agaknya Kanjeng Sunan dapat memahami perasaan kedua perempuan itu. Maka katanya kemudian, “Dengan seijin Yang Maha Agung, aku akan mengantar kalian sampai ke Lemah Cengkar. Setelah itu aku akan melanjutkan perjalanan kembali ke gunung Muria. Aku harus sudah sampai disana sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya.”

Bagaikan tersiram banyu sewindu hati kedua perempuan itu begitu mendengar kesanggupan Kanjeng Sunan untuk mengantar mereka ke Lemah Cengkar.

“Nah,” berkata Kanjeng Sunan Kemudian, “Apakah kalian sudah siap?”

Hampir bersamaan ketiga perempuan itu pun mengangguk.

Sejenak kemudian Kanjeng Sunan pun segera berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menuju ke pintu sanggar.  Sementara ketiga perempuan itu hanya mengikuti saja dari belakang dengan jantung yang berdebaran.

Dalam pada itu di rumah keluarga Ki Sadewa yang telah dijadikan barak prajurit Mataram yang berkedudukan di Jati Anom, tampak sedang terjadi sebuah kesibukan yang luar biasa.

“Berapa prajurit yang sudah siap?” bertanya seorang lurah prajurit yang bertahi lalat di pipi kiri.

“Baru sepuluh orang Ki Lurah,” jawab salah seorang prajurit yang sedang berkumpul di halaman itu.

“Sudah cukup,” berkata Ki lurah itu kemudian, “Selebihnya nanti akan berangkat kemudian. Barak prajurit ini tidak boleh dikosongkan. Paling tidak, kita hanya mampu mengirimkan bala bantuan sebesar sepertiga dari kekuatan kita,” Lurah itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku akan melaporkan kesiapan ini kepada Ki Rangga Dipayana.”

Namun baru saja lurah prajurit itu berjalan selangkah, terdengar pintu pringgitan berderit dan terbuka. Tampak seseorang yang bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang muncul dari balik pintu.

“Ki Rangga Dipayana,” hampir bersamaan para prajurit itu berdesis.

Orang yang keluar dari pintu pringgitan itu memang Ki Rangga Dipayana, perwira tertua yang diserahi tugas oleh Ki Tumenggung Untaradira selama ditinggal melawat ke Panaraga.

“Ada apa Ki Lurah Tunjungtirta?” bertanya Ki Rangga Dipayana kemudian sambil melangkah keluar pringgitan.

“Maaf Ki Rangga. Aku tidak berani mengganggu istirahat Ki Rangga sebelum semuanya siap,”  jawab Ki Lurah Tunjungtirta kemudian, “Para prajurit yang sedang nganglang telah mengirimkan isyarat untuk meminta bantuan. Untuk sementara kami telah menyiapkan sepuluh prajurit untuk diberangkatkan. Selebihnya akan  menyusul kemudian.”

Sejenak wajah Ki Rangga memerah. Sambil menggeretakkan gigi dia berkata setengah membentak, “Semua prajurit di Jati Anom sekarang ini di bawah perintahku. Jangan memutuskan sendiri setiap persoalan yang timbul. Selama Ki Tumenggung Untaradira bertugas di Panaraga, aku lah yang mempunyai wewenang untuk memimpin kalian. Tidak ada kegiatan prajurit tanpa ada perintahku!”

Seleret warna merah menghiasi wajah Ki Lurah Tunjungtirta. Betapapun juga dia merasa tidak bersalah. Maka katanya kemudian, “Maafkan aku Ki Rangga. Aku mendapat laporan tentang isyarat itu dari prajurit yang sedang bertugas jaga. Sudah menjadi kewajibanku untuk menyiapkan pasukan sebelum melaporkan kepada Ki Rangga.”

“Itu salah.!” Sahut Ki Rangga Dipayana cepat. “Seharusnya Ki Lurah lapor  dulu, baru akulah yang akan menentukan, mengirimkan bala bantuan atau tidak,” Ki Rangga berhenti sejenak. Perintahnya kemudian, “Beri isyarat kepada para prajurit yang sedang nganglang supaya mereka segera kembali ke barak!”

Terkejut Ki Lurah Tunjungtirta mendengar perintah atasannya. Tanpa sadar sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari mulutnya, “Tapi..Ki Rangga..?”

“Ki Lurah Tunjungtirta!” keras terdengar suara Ki Rangga Dipayana, “Laksanakan perintahku!”

“Siap Ki Rangga..!” jawab Ki Lurah Tunjungtirta dengan sikap sempurna dan dada tengadah.

Sepeninggal Ki Rangga yang kembali memasuki pringgitan, Ki Lurah Tunjungtirta pun kemudian segera memerintahkan seorang prajurit untuk melontarkan isyarat.

“Perintahkan para prajurit yang sedang nganglang untuk kembali ke barak!”  perintah Ki Lurah.

Demikianlah akhirnya, sejenak kemudian udara malam menjelang dini hari itu pun telah kembali digetarkan oleh suara panah sendaren dua kali berturut-turut.

Dalam pada itu, ketiga prajurit yang sedang berada di bulak panjang menunggu bala bantuan dari Jati Anom menjadi terkejut bukan alang-kepalang. Mereka mengharap mendengar derap kaki-kaki kuda yang datang, namun yang mereka dengar kemudian justru suara panah sendaren yang dilempar ke udara dua kali berturut-turut.

“He?” seru prajurit muda yang rencananya akan segera kawin bulan depan itu, “Apa maksud panah sendaren itu?”

“Bukankah kita semua sudah tahu arti dari panah sendaren dua kali berturut-turut?” kawan di sebelahnya justru ganti bertanya.

“Bukan begitu maksudku,” prajurit muda itu membela diri, “Mengapa kita justru diperintahkan kembali? Bagaimana dengan kuda-kuda itu?”

Prajurit yang tertua di antara mereka itu sejenak merenung. Akhirnya jawabnya kemudian, “Kita kembali ke barak. Bawa salah satu dari kuda-kuda itu sebagai bukti kepada pimpinan kita.”

“Baik kakang,”  jawab prajurit muda itu kemudian.

Beberapa saat kemudian ketiga prajurit itu pun telah berderap kembali di atas punggung kuda masing-masing menuju ke Jati Anom sambil  membawa salah seekor kuda yang mereka temukan  di bulak panjang itu.

Dalam pada itu, di pinggir hutan kecil yang memisahkan antara bulak panjang yang menuju ke Jati Anom dengan padang rumput Lemah Cengkar, tampak dua orang sedang bercakap-cakap sambil mengamati jalannya pertempuran.

“Apakah engkau sudah bertemu dengan Ki Rangga Dipayana sendiri?” bertanya seorang yang berbaju wulung, dengan ikat kepala berwarna wulung pula.

“Sudah Kakang,” jawab orang yang berdiri di sebelahnya, “Ki Rangga Dipayana setuju dengan saran dari Raden Wirasena untuk membiarkan saja trah Mataram itu saling bertengkar. Setelah keduanya hancur atau paling tidak kekuatan mereka menjadi lemah, barulah trah Sekar Seda Lepen yang nanti akan tampil dan merajai  tanah ini.”

Orang yang dipanggil kakang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak pandangan matanya tertuju ke medan pertempuran yang semakin sengit. Pasukan Mataram perlahan-lahan mulai terdesak hebat. Walaupun para prajurit itu telah bertempur berpasangan bahkan ada yang membuat kelompok-kelompok kecil, namun karena jumlah lawan yang hampir dua kali lipat, tekanan itu semakin lama menjadi semakin tak tertahankan.


Besambung ke bagian 2.2

Komentar

  1. Ini postingan tahun 2024, tetapi sudah pernah posting sebelumnya ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403