Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 7
Ki Rangga
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sudah tidak ada jalan bagi mereka
selain mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Maka katanya kemudian,
“Baiklah Ki Ageng. Agaknya kita memang sudah ditakdirkan untuk bersilang jalan.
Maafkan aku sebelumnya. Aku hanya menjalankan tugas sebagai seorang prajurit.”
“Engkau
tidak usah minta maaf Ki Rangga,” kembali Ki Singawana Sepuh menggeram, “Aku
juga tidak akan minta maaf atau bahkan menyesal jika berhasil membunuhmu. Dan
aku memang yakin seyakin yakinnya. Aku pasti akan dapat membunuhmu, betapapun
tinggi ilmumu.”
Berdesir
jantung Ki Rangga mendengar kata-kata lawannya. Ki Rangga yakin, jika tidak
mempunyai bekal yang lebih dari cukup, tidak mungkin guru Pangeran Ranapati itu
begitu yakin dengan sikapnya.
Demikianlah
sejenak kemudian keduanya segera mempersiapkan diri. Melihat lawannya sama
sekali tidak menggenggam senjata, ki Rangga pun kemudian segera melilitkan
cambuknya di lambung.
Ketika
terlihat lawannya sama sekali tidak menggeser kedudukannya, tahulah Ki Rangga
bahwa guru Pangeran Ranapati itu akan langsung mulai pada tataran tinggi
ilmunya, walaupun mungkin belum sampai pada puncak, namun jika Ki Rangga tidak
waspada, dapat saja dia dilumpuhkan justru pada saat serangan pertama.
Dengan
memang sebenarnya itulah yang terjadi kemudian. Tanpa melakukan ancang-ancang
sama sekali, tiba-tiba saja tubuh Ki Singawana Sepuh meluncur bagaikan tatit
yang meloncat di udara. Kaki kanannya terjulur lurus mengarah dada.
Melihat
lawannya sengaja memperagakan kemampuan tinggi ilmunya, Ki Rangga pun ternyata
telah terpancing. Dia tidak mau dipandang sebelah mata oleh lawannya. Maka
hampir tak terlihat oleh mata wadag, tubuh Ki Rangga tiba-tiba telah bergeser
beberapa jengkal ke kiri, sehingga terjangan kaki kanan lawannya hanya mengenai
tempat kosong.
Namun
serangan lawannya tenyata tidak hanya berhenti sampai disitu. Begitu kaki yang
terjulur lurus itu mengenai tempat kosong, tiba-tiba lawannya telah menekuk
kaki yang lurus itu sehingga dengan berputar setengah lingkaran, lutut
lawannyalah yang kini menerjang lambung Ki Rangga.
Serangan
itu begitu dekat. Tidak ada kesempatan bagi Ki Rangga untuk menghindar. Maka Ki
Rangga pun telah menurunkan siku tangan kirinya untuk menangkis lutut lawannya.
Benturan
itu cukup keras sehingga membuat keduanya telah terlontar ke belakang beberapa
langkah. Sengaja Ki Rangga belum mengetrapkan ilmu kebalnya, hanya tenaga
cadangannya saja yang dikerahkan ke arah siku untuk menahan gempuran lawan.
Namun akibatnya siku Ki Rangga rasa-rasanya bagaikan dihantam oleh sebuah palu
godam.
Hampir
bersamaan keduanya segera memperbaiki kedudukan mereka. Pada benturan pertama
ini mereka masing-masing telah mulai dapat menilai kekuatan lawannya.
Dalam pada
itu sepeninggal Ki Rangga Agung Sedayu yang telah terikat dengan lawannya Ki
Singawana Sepuh, Pangeran Ranapati segera melangkah mendekati lawannya kembali,
Ki Tumenggung Purbarana.
“Ki
Tumenggung,” berkata Pangeran Ranapati kemudian sesampainya dia di hadapan Ki
Tumenggung Purbarana, “Beruntunglah Ki Tumenggung masih dapat mengulur nyawa Ki
Tumenggung beberapa saat. Namun sekarang aku sudah muak dengan semua ini.
Dengan satu kali serangan saja, aku jamin Ki Tumenggung sudah tidak dapat
melihat terbitnya Matahari esok pagi.”
Berdesir
dada Ki Tumenggung. Nyawanya benar-benar sudah di ujung ubun-ubun. Namun
sebagai seorang prajurit, Ki Tumenggung yang sudah kenyang makan asam garamnya
pertempuran tidak menjadi gentar atau bernyali kecil. Sudah berpuluh
pertempuran yang dialaminya sejak dia mengabdikan dirinya di dunia keprajuritan
dan sudah sering dirinya mengalami hal seperti itu. Kini di hadapannya sedang
berdiri seseorang yang telah membuat Kadipaten Panaraga yang dulunya tenang dan
damai menjadi porak poranda dilanda kekuatan dahsyat prajurit Mataram.
Dengan
memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta, Ki Tumenggung pun segera
mempersiapkan diri untuk menghadapi saat-saat yang menentukan bagi kelangsungan
hidupnya. Ketika sekilas terlihat olehnya sebuah pedang panjang tergolek
beberapa langkah di samping kirinya, dengan sekali loncat, pedang panjang itu
pun sudah tergenggam di tangannya.
Pangeran
Ranapati yang melihat Ki Tumenggung telah menggenggam senjatanya kembali justru
tertawa berkepanjang-an. Katanya kemudian di sela-sela tawanya, “Ki Tumenggung!
Apakah engkau masih akan menunjukkan kehebatan ilmu pedangmu? Baiklah, agaknya
engkau ingin mati sebagai prajurit sejati. Prajurit sejati mati dengan senjata
tetap melekat di tangannya.”
Selesai
berkata demikian, dengan teriakan menggelegar Pangeran Ranapati meloncat ke
depan. Tangannya yang menggenggam keris luk sembilan terjulur lurus mengarah
jantung. Sementara orang-orang yang bertempur di sekitar medan pertempuran itu
sama menahan nafas. Mereka bertempur sambil mengawasi apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Gerakan
Pangeran Ranapati benar-benar secepat tatit yang meloncat di udara. Tidak ada
kesempatan sama sekali bagi Ki Tumenggung untuk menghindar. Dengan sepenuh hati
dan kekuatan yang tersisa, Ki Tumenggung mencoba menangkis senjata
lawannya agar garis serangannya berbelok arah.
Namun
kekuatan Pangeran Ranapati benar-benar diluar kemampuan Ki Tumenggung. Keris
luk sembilan yang berwarna kehitam-hitaman itu sama sekali tidak berbelok arah.
Yang terjadi kemudian benar-benar mengerikan. Terdengar keluhan tertahan dari
bibir Ki Tumenggung ketika keris luk sembilan itu menghujam dadanya dan
menembus jantung. Tubuh ki Tumenggung itu pun terdorong beberapa langkah ke
belakang oleh kekuatan terjangan lawan. Ketika lawannya kemudian dengan sebuah
sentakan menjabut senjatanya, tubuh Ki Tumenggung yang sudah sangat lemah itu
pun kemudian terhuyung huyung dan jatuh terjerembab bersimbah darah.
Medan
pertempuran pun menjadi gempar. Segera saja para pengikut Pangeran Ranapati
berteriak-teriak dan bersorak sorai dengan riuhnya menyambut kemenangan
pemimpin mereka. Seakan akan kemenangan telah tergenggam di tangan mereka.
Sedangkan para prajurit hanya dapat menggeretakkan gigi sambil menahan
gejolak di dalam dada begitu melihat pemimpin mereka jatuh tersungkur.
Namun para prajurit itu tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka sendiri pun sedang
berjuang menyelamatkan selembar nyawa masing-masing.
Sedangkan
di lingkaran pertempuran yang agak jauh, Ki Rangga Agung Sedayu sekilas masih
sempat melihat pada saat Ki Tumenggung jatuh tersungkur. Tidak ada kesempatan
sama sekali bagi Ki Rangga untuk menilai pertempuran keduanya karena lawannya
kali ini benar-benar memiliki ilmu yang ngedap edapi. Bayangan tubuh lawannya
bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga sangat sulit ditangkap
oleh mata wadag. Bayangan tubuh lawannya kadang sesaat hilang dari pandangan
dan sesaat kemudian muncul kembali di tempat yang tak terduga sambil
melancarkan serangan yang dahsyat. Ki Rangga benar-benar harus berjuang
sekuat tenaga mengetrapkan aji sapta pandulu, sapta pangrungu dan sapta
pangganda untuk mengetahui keberadaan lawannya yang selalu berubah tempat
dengan cara yang sangat cepat.
“Hem,”
desah Ki Rangga sambil mulai mengetrapkan Aji Sapta Panggraitanya serta
melindungi tubuh dengan ilmu kebalnya, “Seandainya Ki Ageng ini bisa menghilang
sebagaimana Ki Bango Lamatan, tentu lebih mudah bagiku untuk mengetahui
keberadaannya. Namun yang yang dilakukan oleh Ki Ageng ini lain. Kadang dia
tampak sesaat, kemudian dia menghilang lagi dengan perubahan yang sangat cepat.
Kadang aku terlambat mengetahui keberadaannya sementara serangannya telah
datang membadai.”
“Kita
bertempur terus!” tiba-tiba terdengar teriakan salah satu Lurah Prajurit
membuyarkan angan-angan Ki Rangga. Lurah Prajurit itu bertugas mengendalikan
jalannya pertempuran sepeninggal Ki Tumenggung, “Atas nama Mataram dan
menjunjung tinggi kebenaran, kita bertempur sampai titik darah penghabisan!”
Sekarang
giliran prajurit Mataram yang bersorak sorai untuk membangkitkan semangat
mereka sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana.
Dalam pada
itu, Ki Lurah Adiwaswa yang bertempur di dekat arena pertempuran Ki Tumenggung
benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Kemarahan yang dahsyat
telah membakar jantungnya. Namun dia harus melihat kenyataan, ilmu orang yang
menyebut dirinya Pangeran trah Mataram itu memang diluar jangkauan Ki
Tumenggung Purbarana.
“Nah,
Pemimpinmu sudah terkapar tak bernyawa,” berkata Kyai Dadap Ireng sambil
tertawa, “Sebentar lagi tubuhmu yang akan tergeletak di padang rumput lemah
cengkar ini.”
Ki Lurah
Adiwaswa tidak menjawab. Justru serangannya yang datang membadai. Pedang di
tangan kanannya berputaran menyambar-nyambar tubuh lawannya dari segenap
penjuru.
Kyai Dadap
Ireng harus berloncatan mundur. Orang tua itu tak henti-hentinya
mengumpat-umpat. Ketika putaran pedang lawannya benar-benar membuatnya
terkurung, dengan cepat dia mengambil sesuatu dari balik bajunya.
Terkejut Ki
Lurah Adiwaswa begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan kanan lawannya.
Sejenak serangannya berhenti dengan sendirinya. Dipandangi senjata di tangan
kanan lawannya itu tanpa berkedip. Degup jantung di dalam rongga dadanya pun
semakin kencang.
“Apakah ada
yang aneh dengan senjataku ini, Ki Lurah?” bertanya Kyai Dadap Ireng sambil
tertawa.
Ki Lurah
Adiwaswa tidak menjawab, namun pandangan matanya tidak lepas dari senjata yang
tergenggam di tangan kanan lawannya itu.
“Seekor
ular welang, benar-benar seekor ular hidup,” desis Ki Lurah dalam hati.
Bagaimana pun juga, senjata lawannya yang berupa seekor ular hidup dan tentu
saja sangat berbisa itu telah menggetarkan hati Ki Lurah.
“Semoga
engkau tidak terkena gigitan ular kesayanganku ini, Ki Lurah,” berkata Kyai
Dadap Ireng selanjutnya, “Karena gigitan sekecil gigitan seekor semut pun sudah
cukup untuk mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.”
Selesai
berkata demikian, tiba-tiba saja Kyai Dadap Ireng bagaikan terbang meloncat
menyambar lawannya. Senjata di tangan kanannya yang berupa seekor ular hidup
itu pun menjulur dan mematuk kening.
Tentu saja
Ki Lurah Adiwaswa tidak tinggal diam. Sambil menghindar ke samping,
senjatanya pun terayun deras menebas kepala ular yang memagut kearah kepalanya.
Kyai Dadap
Ireng ternyata tidak akan membiarkan ular kesayangan terputus kepalanya terkena
sabetan pedang lawan. Dengan cepat ditariknya kembali senjata khususnya itu dan
sebagai gantinya tumit kaki kirinya terayun deras ke arah lambung.
Demikian
lah sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat kembali dalam
pertempuran yang sengit.
Dalam pada
itu Pangeran Ranapati yang telah kehilangan lawannya untuk beberapa saat masih
berdiri termangu-mangu di tempatnya. Ketika dilihatnya jasad Ki Tumenggung yang
tertelungkup itu sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
kehidupan, dengan perlahan disarungkan kembali keris luk sembilan itu ke
wrangkanya.
Ketika
Pangeran yang keras hati itu kemudian berpaling ke arah kiri, samar-samar di
balik hiruk pikuknya pertempuran tampak seseorang sedang berdiri terpekur agak
jauh di luar lingkaran pertempuran sambil menyilangkan kedua tangannya di depan
dada.
“Adimas
Pangeran Jayaraga,” desis Pangeran Ranapati dalam hati sambil melangkah
mendekat, berjalan di antara riuhnya pertempuran.
Orang yang
berdiri di luar lingkaran pertempuran itu memang Pangeran Jayaraga. Dengan
jelas Pangeran Jayaraga telah menyaksikan akhir pertempuran antara Ki
Tumenggung Purbarana melawan Pangeran Ranapati.
Ada
sepercik niat untuk membantu Ki Tumenggung yang sudah dalam keadaan sangat
terdesak. Namun tiba-tiba saja di lubuk hatinya yang paling dalam, telah muncul
sepercik keragu-raguan.
“Kedudukanku
sekarang ini hanyalah sebagai seorang tawanan. Tidak ada yang dapat aku perbuat
selain menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Kakanda Adi Prabu
Panembahan Hanyakrawati kepadaku,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil
menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Ketika
pendengaran Pangeran Jayaraga yang tajam melebihi orang kebanyakan itu
mendengar langkah satu-satu mendekat ke arahnya, baru lah Pangeran yang
semasa mudanya bernama Raden Mas Barthotot itu mengangkat wajahnya. Sejenak
raut wajah Pangeran yang pernah dipercaya menjadi Adipati di Panaraga itu
memerah darah. Seseorang yang selama ini sangat dipercaya namun yang telah
meninggalkan dirinya begitu saja di saat pasukan Mataram telah mengepung
istana, telah berdiri di hadapannya hanya beberapa langkah saja, Pangeran
Ranapati.
Komentar
Posting Komentar