Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 405
buku 405
DALAM pada itu, di tepian
sebelah barat Kali Praga, para pengikut Panembahan Cahya Warastra tampak sedang
berjaga jaga di sepanjang tepian. Mereka duduk bergerombol gerombol sambil
menyalakan api untuk mengusir dingin. Di beberapa tempat yang lain ada yang
sekedar duduk-duduk sambil memeluk lutut berselimutkan kain panjang, bahkan ada
yang tidur-tiduran di atas batu-batu besar yang banyak berserakan di tepian.
Seorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis
melintang dan jambang yang lebat tampak sedang duduk di atas sebongkah batu
yang menjorok agak ke tengah Kali Praga sambil mengasah sebilah pedang yang
berukuran besar. Dibiarkan kedua kakinya terendam air Kali Praga yang keruh
kecoklatan sebatas lutut. Sesekali dengan tangan kirinya dia mengambil air Kali
Praga untuk membasahi pedangnya yang tengah diasah. Sementara tangan kanannya
menggenggam erat hulu pedangnya kemudian dengan dibantu tangan kirinya yang
memegang ujung pedang yang besar itu, dia terus mengasah senjatanya berulang
ulang.
“Kepala orang-orang Mataram akan aku tebas satu persatu
dengan pedang ini, sampai orang yang terakhir,” gumamnya sambil tersenyum,
lanjutnya kemudian, “Setelah perang ini selesai, sesuai janji kakang Bango
Lamatan aku akan diangkat menjadi seorang Demang.”
Dia berhenti sejenak sambil mengamat-amati bilah pedang
besarnya untuk melihat dari dekat ketajamannya, malam memang terlalu pekat
tanpa sepotong bulan pun yang muncul.
“Janda kembang sebelah timur Pasar Kliwon itu tidak akan
mungkin berani menolakku lagi kalau aku sudah diangkat menjadi Demang,” kembali
dia tersenyum sambil menimang nimang senjatanya yang telah selesai diasah,
“Justru dia nantinya yang akan merengek rengek di depanku untuk minta dikawin.”
Kali ini orang tinggi besar itu benar-benar tersenyum lebar
membayangkan janda kembang sebelah timur Pasar Kliwon itu meronta ronta manja
dalam pelukannya. Sambil memejamkan matanya, orang yang sudah berangan angan
menjadi Demang itu semakin larut dalam buaian khayalannya.
Ketika kemudian janda kembang yang cantik itu dengan manja
merangkul lehernya, orang tinggi besar itu semakin bernafsu. Nafasnya memburu
bagaikan nafas seekor kuda jantan yang sedang dipacu di tengah padang.
Namun alangkah terkejutnya orang tinggi besar itu ketika
rangkulan janda kembang sebelah timur Pasar Kliwon itu dirasakannya semakin
lama semakin ketat dan mulai menyumbat pernafasannya.
Dengan terengah-engah dia mencoba mengurai rangkulan janda
kembang itu dengan tangan kirinya sambil membuka matanya dan berkata,
“Janga..an.”
Namun kata katanya tidak pernah selesai karena keburu
nafasnya putus ketika sepasang lengan yang kekar dan kuat itu telah memluntir
lehernya sampai patah.
Sejenak kemudian, dengan perlahan tanpa menimbulkan bunyi
sedikitpun, mayat orang yang bermimpi menjadi Demang itu telah diseret masuk ke
dalam Kali Praga yang keruh.
Para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga
di sepanjang tepian itu tidak menyadari kalau maut sedang mengintai mereka.
Dengan gerakan senyap, diantara bunyi riak dan buih air Kali Praga yang keruh
telah tersembul beberapa kepala dibalik bebatuan yang berserakan di tepian.
Dengan teratur mereka bergerak menyelinap diantara bebatuan
dan mulai mendekati para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang lengah.
Ki Rangga Agung Sedayu yang memimpin penyergapan di sisi
selatan telah memerintahkan para prajurit Jalamangkara untuk bergerak semakin
jauh meninggalkan tepian. Walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang paling
dalam telah terjadi pertentangan yang dahsyat. Betapa nyawa manusia sama sekali
tidak ada harganya. Mereka mati sia-sia menjadi korban ketamakan segelintir
orang.
“Mungkin jauh di sebuah padukuhan mereka juga mempunyai
keluarga,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Istri-istri yang setia menunggu suami
suaminya pulang dengan membawa harapan bagi masa depan keluarga. Dan mungkin
juga anak-anak manis yang sedang tumbuh dan memerlukan perhatian.”
Sampai di sini Ki Rangga Agung Sedayu tergugu. Ingatannya
segera melayang ke Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh di mana anak dan
istrinya sedang menanti kepulangannya.
“Aku belum memikirkan sebuah nama,” demikian kembali Ki
Rangga berangan angan, “Semoga saja Sekar Mirah sudah mempersiapkannya.”
Tiba-tiba terdengar suara pekik burung malam di atas tepian
Kali Praga. Ki Rangga Agung Sedayu pun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi.
Dengan sebuah isyarat yang telah di sepakati, pasukan Jalamangkara yang
dipimpinnya itu segera memecah menjadi dua bagian. Sebagian bergerak terus
menghancurkan penjagaan yang ada di tepi barat Kali Praga itu, sebagian lagi
justru berbelok ke kiri dan menyelusuri tepian untuk melumpuhkan para penjaga
rakit-rakit yang sedianya untuk menyeberangkan pengikut Panembahan Cahya
Warastra.
Demikianlah yang terjadi kemudian adalah sebuah pembantaian
yang mengerikan tanpa mengenal belas kasihan. Pasukan Jalamangkara benar-benar
dilatih untuk membunuh. Mereka tidak pernah ragu-ragu dalam melaksanakan tugas,
karena keragu raguan adalah awal dari kegagalan. Maka sejenak kemudian, tepian
Kali Praga sebelah barat pun telah menjadi sebuah padang pembantaian yang
sangat mengerikan.
Ki Rangga yang mencoba menebarkan pandangan matanya di
sekitar tepi barat Kali Praga sebelah selatan diam-diam bergidik ngeri. Dia
sudah terbiasa dengan pemandangan mayat-mayat bergelimpangan yang terjadi dalam
sebuah perang terbuka. Namun kini yang disaksikannya adalah sebuah pembantaian
tanpa ampun. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu benar-benar tidak
diberi kesempatan untuk melawan, bahkan hanya untuk menggerakkan ibu jari
sekalipun.
Ketika kemudian Ki Rangga mencoba mengetrapkan aji sapta
pandulu untuk mengamati keadaan lebih jauh lagi ke depan, alangkah terkejutnya
dia ketika dalam keremangan malam tampak bayangan seseorang yang bergerak
justru berlawanan arah dengan gerakan para prajurit Jalamangkara. Bayangan itu
menyelinap dengan cepat hampir tak tertangkap oleh mata wadag diantara
batu-batu yang bertebaran di tepian mendekati salah seorang prajurit
Jalamangkara yang sedang berlindung di balik sebuah batu sebesar kerbau.
Sejenak Ki Rangga masih mencoba meyakinkan pandangannya.
Mungkin bayangan yang bergerak tadi adalah salah satu dari para prajurit
Jalamangkara. Namun kalau menilik dari gerakannya yang justru berlawanan dan
mendekati salah seorang parajurit yang sedang berlindung di balik batu, Ki
Rangga menduga bayangan itu kemungkinannya adalah salah seorang dari pengikut
Panembahan Cahya Warastra yang mempunyai kelebihan dari kawan kawannya sehingga
menyadari adanya gerakan dari lawan walaupun kesadaran itu sudah cukup
terlambat.
Jarak antara Ki Rangga dengan bayangan itu memang cukup
jauh. Ada keinginan dari Ki Rangga untuk memperingatkan prajurit itu akan
bahaya yang sedang mengintainya. Namun sebelum Ki Rangga meneriakkan sebuah
isyarat yang mirip dengan suara burung hantu, tiba-tiba sekali lagi Ki Rangga
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang menyelinap mengikuti gerakan bayangan yang
pertama, namun bayangan yang terakhir ini bergerak agak lambat dari yang
pertama sehingga dengan jelas Ki Rangga mampu menangkap gerakannya.
“Gila!” desis Ki Rangga dalam hati, “Ternyata ada dua orang
yang lolos dari penyergapan ini. Aku tidak boleh terlambat sebelum jatuh
kurban.”
Berpikir sampai disitu, Ki Rangga dengan tergesa-gesa segera
bergerak mendekat ke arah prajurit yang sedang bersembunyi di balik batu itu.
Dengan kemampuannya menyerap segala bunyi yang timbul di sekitarnya, Ki Rangga
pun bergerak semakin dekat dengan tempat persembunyian prajurit Jalamangkara
itu.
Ketika jarak itu masih terpaut sekitar enam sampai tujuh
tombak, dari balik sebuah batu, Ki Rangga mencoba mengamati kembali keadaan di
sekitar prajurit yang sedang berjongkok di balik batu sebesar kerbau itu. Namun
alangkah terkejutnya Ki Rangga ketika mendapati prajurit itu ternyata telah rebah
terlentang di atas tanah yang berpasir dan lembab.
Bagaikan seekor garuda yang sedang memburu mangsanya, dengan
sekali lompat tubuh Ki Rangga Agung Sedayu melayang tinggi di udara untuk
kemudian dengan dahsyatnya menyambar dua buah bayangan yang telah bergerak
dengan cepat sekali menghindar dari tempat itu.
Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah mengerahkan
kemampuannya untuk meringankan bobot tubuhnya sebagaimana yang telah
dipelajarinya dari kitab Ki Waskita. Tubuh Ki Rangga benar-benar bagaikan tak
berbobot. Sekali menyentuh tanah, tubuhnya kembali melenting ke udara. Namun
kedua bayangan itu ternyata tak kalah gesit dan lincah dengan Ki Rangga. Dengan
mengerahkan segenap kemampuan, mereka berdua mencoba menghindar dari tempat
itu.
Ketika jarak Ki Rangga dengan kedua orang itu semakin dekat,
tahulah Ki Rangga bahwa ternyata kedua orang yang sedang dikejarnya itu
mempunyai kemampuan berlari yang tidak sama. Orang yang bertubuh lebih kecil
dan ramping itu telah digandeng atau bahkan dapat dikatakan telah diseret oleh
orang satunya yang bertubuh tinggi besar. Agaknya kemampuan berlari orang yang
lebih kecil itu masih dibawah kemampuan Ki Rangga sehingga orang yang tinggi
besar itu telah membantunya dengan cara menggandengnya untuk menghindari
kejaran Ki Rangga Agung Sedayu.
Semakin lama tak terasa mereka telah cukup jauh meninggalkan
tepian dan mulai memasuki sebuah padang perdu yang luas. Ki Rangga masih terus
berusaha mengejar kedua orang aneh itu. Jarak mereka semakin dekat ketika
tiba-tiba saja kedua orang yang dikejarnya itu menghentikan langkah dan
berbalik menghadap Ki Rangga.
Belum sempat Ki Rangga memperlambat langkahnya, tiba-tiba
saja orang yang bertubuh kecil dan ramping itu telah berteriak dengan nyaring
sambil meloncat menyongsong Ki Rangga dengan sebuah serangan dahsyat.
Terkejut Ki Rangga mendengar teriakan nyaring orang yang
menyerangnya. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garamnya kehidupan, Ki
Rangga segera menyadari bahwa yang sedang menyerangnya itu adalah seorang
perempuan.
Pada dasarnya Ki Rangga adalah seorang yang lebih senang
menghindari keributan, apalagi sampai bertempur dengan seorang perempuan. Untuk
itulah dia tidak ingin membenturkan kekuatannya dengan kekuatan lawannya.
Sambil sedikit memiringkan tubuhnya, tendangan lawannya itu lewat hanya
sejengkal dari dadanya.
Pada saat itulah Ki Rangga sempat menatap ke arah wajah
lawannya. Ternyata lawannya itu telah menutup sebagian wajahnya dengan sebuah
ikat kepala sehingga Ki Rangga tidak mampu mengenali wajahnya.
Ketika menyadari serangannya dengan mudah dapat dihindari
oleh Ki Rangga, dengan memekik marah, orang yang berperawakan ramping itu
segera mengubah serangannya dengan menekuk lututnya untuk mendera dada Ki
Rangga. Sementara tangan kanannya melindungi dadanya sendiri, tangan kirinya
menyambar wajah Ki Rangga dengan jari-jari yang membentuk cakar harimau.
Ki Rangga terkejut menghadapi dua serangan berbahaya ini.
Tidak ada kesempatan untuk menghindar karena jarak lawan yang sangat dekat.
Dengan mengetrapkan ilmu kebalnya, Ki Rangga pun akhirnya dengan terpaksa
menangkis serangan lutut lawannya yang mengarah ke dada dengan siku kirinya,
sedangkan serangan tangan kiri lawannya yang mengarah ke wajah dengan cepat
dihindarinya dengan cara memalingkan wajahnya ke kiri.
Terasa angin yang deras menerpa pipi kanan Ki Rangga begitu
serangan lawannya itu lewat hanya berjarak setebal daun. Tanpa sesadarnya,
lamat-lamat Ki Rangga mencium bau wangi yang mendebarkan ketika jari-jari
tangan lawannya hampir menyentuh hidungnya.
Sementara itu benturan antara siku kiri Ki Rangga dengan
lutut lawannya ternyata telah melemparkan mereka berdua beberapa langkah ke
belakang.
Sejenak keduanya saling berdiam diri sambil menilai kekuatan
lawannya. Orang yang berperawakan ramping itu tiba-tiba merangkapkan kedua
telapak tangannya di depan dadanya. Sekejab kemudian dia sudah siap untuk
melontarkan serangannya kembali.
“Sudahlah ngger, jangan kau teruskan,” tiba-tiba terdengar
teguran perlahan dari orang tinggi besar yang berdiri beberapa langkah di belakang
lawan Ki Rangga.
“Biarlah, Eyang. Aku ingin memuaskan hatiku. Agar aku tidak
dipandang sebelah mata oleh orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu, agul
agulnya Mataram,” orang yang berperawakan ramping itu menjawab lantang tanpa
berpaling ke belakang.
Diam-diam Ki Rangga menjadi berdebar debar. Rasa rasanya dia
mengenal suara itu, suara seorang perempuan muda yang selama ini telah
menggelisahkan tidurnya, yang telah membuatnya merasa bersalah karena tidak
mampu menepati janjinya.
Sejenak kemudian mereka bertiga telah menyusuri bulak
panjang yang menghubungkan padukuhan itu dengan hutan yang sudah semakin tipis
karena di beberapa bagian telah dibuka untuk memperluas tanah pesawahan.
Setelah melewati hutan yang tidak seberapa lebat itu, mereka akan sampai di
sebuah padang rumput.
Di hutan yang tidak seberapa lebat itu, beberapa pengikut
Panembahan Cahya Warastra juga telah di tempatkan untuk mengamati keadaan.
Sebelum Ki Lurah dan kedua kawannya itu mencapai hutan, beberapa orang telik
sandi yang berada di hutan itu ternyata telah merayap mendekati sumber suara
tangis yang terdengar sangat jelas dari dalam hutan.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Resi Mayangkara menyadari bahwa
tangis Anjani akan dapat memancing perhatian lawan. Pendengaran kedua orang
yang mumpuni itu segera saja mendengar getaran-getaran dari arah hutan di depan
mereka.
“Sudahlah Anjani,” kini Resi yang aneh itu yang berkata
perlahan, “Jangan Kau turuti gejolak perasaanmu. Kita sedang di daerah musuh,
segala sesuatunya bisa terjadi.”
Anjani yang masih bergulat dengan sedu sedannya itu sejenak
berusaha untuk menguasai diri. Betapapun juga dia menyadari keterlanjurannya
sehingga dapat memancing perhatian pihak lawan. Dengan menahan tangisnya sekuat
tenaga, Anjani pun kemudian berdiri sambil sibuk mengusap air matanya dengan
kedua belah telapak tangannya.
Setelah tangisnya agak mereda, dia pun kemudian berkata
sambil berpaling ke arah Resi Mayangkara, “Marilah Eyang kita tinggalkan tempat
ini. Aku tidak ingin terlalu memaksakan diriku untuk berharap lebih. Biarlah
waktu nanti yang membuktikan.”
Selesai berkata demikian, tanpa berpaling ke arah Ki Rangga
Agung Sedayu yang masih berdiri termangu mangu beberapa langkah di depannya,
Anjani pun segera beranjak pergi, justru berjalan ke arah utara tanpa memperdulikan
apapun juga
Melihat Anjani pergi begitu saja, sambil menarik nafas
dalam-dalam, Resi Mayangkara pun kemudian berdesis perlahan, “Kami mohon pamit
Ki Rangga. Jangan terlalu ditanggapi sikap Anjani. justru sekarang ini dia
sedang mengalami goncangan-goncangan dalam hatinya. Semoga dia dapat segera
menemukan jati dirinya kembali.”
Ki Rangga hanya tersenyum masam. Jawabnya kemudian,
“Silahkan Eyang Resi. Aku yakin dibawah bimbingan Eyang, Anjani akan segera
dapat memahami dirinya, terlebih lagi keinginan hatinya yang melonjak lonjak
tanpa mempertimbang-kan keadaan sekelilingnya.”
Resi Mayangkara mengangguk sambil tersenyum. Katanya
kemudian sambil melangkah menyusul Anjani yang sudah cukup jauh, “Semoga saja
Yang Maha Agung selalu berkenan memberi-kan perlindungan dalam setiap langkah
kita.”
Selesai berkata demikian Resi Mayangkara dengan langkah yang
tergesa-gesa segera menyusul Anjani yang berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Ketika kemudian Resi Mayangkara dan Anjani telah menghilang
dalam kegelapan menjelang dini hari di padang perdu itu, Ki Rangga segera
mengerahkan aji sapta pangrungu untuk menangkap getaran-getaran yang masih
cukup jauh dari gerakan-gerakan yang mencurigakan dari arah hutan. Namun
sebelum Ki Rangga bergerak untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang ada di
depannya diantara gerumbul-gerumbul perdu yang cukup lebat, tiba-tiba Ki Rangga
mendengar langkah-langkah beberapa orang yang sedang berlari larian dari arah
tepian Kali Praga menuju ke tempatnya berdiri.
Sejenak kemudian dari dalam keremangan malam muncul beberapa
orang yang sudah sangat dikenal oleh Ki Rangga Agung Sedayu selain beberapa
yang belum dikenalnya sama sekali.
Ternyata kelengahan Ki Rangga yang hanya sekejap itu telah
dimanfaatkan oleh para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang telah semakin
dekat dengan tempat Ki Rangga berdiri. Menyadari bahwa kemungkinan pihak
Mataram telah sampai di tempat itu, para pengikut Panembahan Cahya Warastra pun
segera berusaha mengirimkan isyarat ke padukuhan tempat Panembahan Cahya
Warastra dan perguruan-perguruan yang sehaluan dengannya bertahan.
Salah seorang pengikut panembahan Cahya Warastra ternyata
telah berusaha membuat api dengan batu titikan yang kemudian dihembuskan pada
sejumput gelugut aren. Ketika api itu telah menyala, beberapa kawannya segera
berkumpul untuk menyalakan panah-panah api yang mereka bawa.
Nyala api yang terlihat sekilas diantara gerumbul-gerumbul
perdu yang lebat itu memang terlihat oleh Ki Rangga. Namun ternyata salah
seorang anak Nyi Citra Jati yang telah tiba di tempat Ki Rangga berdiri bersama
sama dengan yang lainnya ternyata telah tanggap. Segera saja sebuah anak panah
meluncur dengan deras dari busur Padmini ke arah titik api itu yang kemudian
disusul dengan sebuah jeritan mengerikan.
Namun ternyata ada seorang pengikut Panembahan Cahya
Warastra yang mampu menyalakan panah berapinya sebelum kawannya yang menyalakan
api itu tertembus dadanya oleh panah Padmini. Dengan cepat dia segera
mengangkat busurnya untuk melontarkan panah berapi itu ke udara.
Pandangan mata Ki Rangga yang tajam segera melihat peristiwa
itu. Tanpa berpikir panjang, diraihnya busur dan panah panah dari genggaman
seorang gadis mungil yang berdiri termangu mangu di sisi Padmini.
Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah pameran ketangkasan
membidik yang tiada duanya. Begitu panah berapi dari pengikut panembahan Cahya
Warastra itu terlontar ke udara mencapai setinggi pucuk-pucuk pepohonan yang
ada di pinggir hutan itu, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, Ki
Rangga telah melontarkan panah panahnya menghantam panah berapi yang sedang
meluncur di udara itu sehingga hancur berantakan dan jatuh terbanting kembali
ke bumi.
Orang-orang yang berada di sekitar Ki Rangga benar-benar
membeku melihat kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu dalam membidik. Glagah Putih
dan Pandan Wangi yang sudah sering melihat kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu
dalam membidik masih juga berdebar debar. Sementara Ki Citra Jati dan Nyi Citra
Jati yang juga mempunyai kemampuan membidik dan telah diajarkan kepada anak-anak
mereka merasa sangat kecil. Betapa kemampuan Ki Rangga itu seolah olah bukan
kemampuan manusia, namun kemampuan yang hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti
yang hanya ada dalam cerita-cerita babat dan dongeng-dongeng.
Namun, ternyata lontaran anak panah berapi dari salah satu
pengikut panembahan Cahya Warastra yang patah di tengah jalan itu sempat
terlihat oleh kawan-kawannya yang lain, sehingga sejenak kemudian langit di
tepian Kali Praga itu pun segera dihiasi oleh puluhan anak panah berapi yang beterbangan
di udara diselingi oleh bunyi panah-panah sendaren yang meraung raung memenuhi
udara malam.
Ki Rangga Agung Sedayu yang melihat peristiwa itu telah
menggeram. Ada sebuah penyesalan mengapa hal itu bisa terjadi. Seandainya
tangis Anjani tidak terdengar sampai ke tempat para pengikut Panembahan Cahya
Warastra yang berjaga jaga di dalam hutan, tentu sekarang ini pasukan Mataram
sudah merayap mendekati Padukuhan.
“Kakang,” tiba-tiba Pandan Wangi yang berdiri beberapa
langkah di belakangnya menyapa, “Sebaiknya kita segera mundur ke tepian untuk
menyusun pasukan sebelum pasukan lawan menyerbu ke tempat ini.”
Ki Rangga berpaling. Sejenak diamat-amatinya beberapa orang
yang belum dikenalnya. Seorang laki-laki dan perempuan yang sudah cukup berumur
itu sepertinya sudah pernah dikenalnya, namun tiga orang perempuan yang
cantik-cantik dan masih muda serta seorang laki-laki yang lebih tua sedikit
dari Glagah Putih dan berdiri di paling belakang, rasa rasanya Ki Rangga belum
pernah bertemu.
Agaknya Glagah Putih menyadari hal itu. Maka katanya
kemudian sambil maju selangkah, “Kakang, mereka adalah saudara-saudara kita.
Yang paling tua itu adalah orang tua angkat kami, Kakang tentu masih
mengingatnya, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Kemudian ketiga gadis-gadis itu
adalah anak-anak mereka, sedangkan yang berdiri di paling belakang adalah paman
gadis-gadis itu, Ki Mlayawerdi.”
Ki Rangga segera membungkukkan badannya ke arah mereka
sambil tersenyum. Kemudian katanya, “Selamat datang dan selamat bergabung di
tepian Kali Praga. Ma’afkan aku yang agak lupa dengan Ki Citra Jati dan Nyi
Citra Jati. Bagi yang belum kenal, aku adalah kakak sepupu Glagah Putih,” Ki
Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya sambil menyerahkan busur yang ada
di tangannya kepada Baruni yang berdiri beberapa langkah di samping kanannya,
“Ini busurmu. Ma’af, aku telah meminjamnya tanpa seijinmu, tapi itu semua
adalah karena keadaan yang sangat memaksa.”
Dengan tangan gemetar dan wajah bersemu kemerahan Baruni
menerima busur dari tangan Ki Rangga Agung Sedayu. Betapa deburan jantungnya
yang memukul mukul rongga dadanya membuat kedua tangannya menjadi lemas
bagaikan tak bertenaga, sehingga busur yang diterima dari Ki Rangga itu pun
hampir saja terjatuh.
Namun Baruni pun ternyata segera menyadari keadaannya.
Dengan cepat diraihnya busur yang hampir jatuh itu, kemudian sambil menundukkan
wajahnya dalam-dalam, dia segera bergeser di belakang mbokayunya.
Pandan Wangi dan Rara Wulan yang berdiri paling dekat dan
menyaksikan peristiwa itu walaupun hanya sekilas telah sama-sama mengerutkan
keningnya. Bagi mereka berdua Baruni adalah gadis yang sama sekali masih hijau
dan belum mengenal ganas dan liarnya kehidupan. Agaknya kesan pertama Baruni
terhadap Ki Rangga telah menyentuh perasaannya yang paling dalam sehingga
membuat gadis itu terlihat gugup.
Sementara Padmini yang merasa telah mempelajari ketangkasan
memanah dari kedua orang tua angkatnya sejenak seperti sedang bermimpi. Betapa
tidak, kemampuan membidik Ki Rangga memang benar-benar luar biasa. Jangankan di
tengah malam yang gelap, di siang hari yang terang benderang pun dirinya belum
tentu mampu untuk membidik anak panah yang sedang melaju di udara. Benar-benar
kemampuan yang luar biasa.
“Mungkin ada sejenis aji yang bisa digunakan untuk
mengungkapkan kemampuan membidik seseorang,” gumam Padmini dalam hati, “Seperti
dalam cerita pewayangan, Resi Drona yang mempunyai aji Danurwenda itu mampu
memanah dan mengenai sasarannya dengan tepat hanya berdasarkan kepada suara
yang diperdengarkan oleh sasaran itu.”
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” tiba-tiba terdengar
suara Ki Rangga yang membuyarkan lamunan Padmini, “Kita harus segera menyusun
gelar sebelum musuh datang ke tepian ini.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam mendengar ucapan Ki
Rangga. Ucapan Ki Rangga itu baginya tak ubahnya sebuah perintah, justru karena
keduanya adalah prajurit.
“Marilah,” katanya kemudian kepada istrinya Rara Wulan yang
segera mengikuti langkah suaminya. Sementara yang lain pun telah bergerak
mengikuti Ki Rangga yang telah meninggalkan tempat itu terlebih dahulu. Sejenak
kemudian Ki Rangga dan kawan kawannya telah jauh meninggalkan padang perdu
kembali ke tepian untuk melaporkan perkembangan keadaan kepada Ki Patih
Mandaraka.
Dalam pada itu di tepian Kali Praga sebelah timur hanya
tinggal sebuah rakit saja yang belum bergerak menyeberang ke tepi barat. Ki
Patih Mandaraka tampak sedang menghadap Sinuhun Panembahan Hanyakrawati.
“Cucunda Panembahan,” demikian Ki Patih berkata sambil
menghaturkan sembah, “Sebaiknya Cucunda Panembahan dan Putranda Raden Mas
Rangsang kembali saja ke Istana. Biarlah aku yang sudah tua ini saja yang
menyelesaikan urusan dengan orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya
Warastra itu.”
“Tidak Eyang Patih,” sabda Sinuhun Panembahan Hanyakrawati,
“Aku sengaja mengajak Mas Rangsang datang ke tempat ini untuk menyaksikan
gemuruhnya sebuah pertempuran, agar kelak kalau sudah waktunya Mas Rangsang
menduduki tahta, dia dapat mempertimbangkan untung dan ruginya sebuah
peperangan.”
“Sendika dawuh Cucunda Panembahan,” jawab Ki Patih, “Namun
apakah memang perlu bagi Putranda Raden Mas Rangsang untuk ikut menyeberang ke
sisi barat? Apakah tidak sebaiknya para prajurit diperintahkan untuk membuat
pesanggrahan di sini sehingga Cucunda Panembahan dan Putranda Raden Mas
Rangsang dapat menyaksikan pertempuran itu dari tempat ini saja?”
“O, Eyang Patih,” seru Sinuhun Panembahan Hanyakrawati
sambil tertawa tertahan, “Apakah Eyang lupa aku ini juga seorang prajurit? Aku
juga ingin Mas Rangsang ini mewarisi jiwa prajurit yang telah turun temurun
dari Ayahanda Panembahan Senapati.”
Sejenak Ki Patih Mandaraka termangu mangu. Ada sebersit
kekhawatiran jika Sinuhun Panembahan Hanyakrawati dan Putranda Raden Mas
Rangsang terlalu dekat dengan pertempuran. Ki Patih belum mempunyai gambaran
kekuatan yang dimiliki oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya
Warastra itu. Jika berita tentang kesaktiannya yang sudah terbebas dari rasa
sakit bahkan kematian sekalipun itu benar, Mataram benar-benar dalam bahaya
yang besar, orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu akan
dapat menggulung Mataram sampai orang yang terakhir.
“Aku tidak percaya kalau Kecruk Putih itu hidup kembali,”
berkata Ki Patih dalam hati, “Seandainya pada waktu itu dia tidak mati terkena
aji pamungkasku, kali ini aku benar-benar akan membunuhnya.”
“Namun bagaimana jika Kecruk Putih telah meningkatkan
ilmunya yang nggegirisi itu?” tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan yang
mendebarkan di hati Ki Patih.
“Juru Martani bukan anak kemarin sore,” pertanyaan dalam
hati itu dijawab sendiri oleh Ki Patih, “Masih ada beberapa simpanan ilmuku
yang akan dapat mengatasi Kecruk Putih, selebihnya aku selalu menyandarkan
diriku kepada Yang Maha Agung dalam setiap persoalan baik yang menyangkut
diriku pribadi maupun persoalan yang menyangkut kehidupan bebrayan agung.”
Sampai di sini Ki Patih tidak mempunyai pilihan lain selain
bersama sama dengan Sinuhun Panembahan Hanyakrawati dan Putranda Raden Mas
Rangsang menumpang rakit yang terakhir menyeberang ke sisi barat Kali Praga.
Dalam pada itu, di padukuhan tempat Panembahan Cahya
Warastra menghimpun para pengikutnya, Bango Lamatan yang sedang berada di
biliknya dikejutkan oleh suara raungan panah-panah sendaren yang memenuhi
udara.
Sejenak Bango Lamatan bangkit dari pembaringannya. Ketika
kemudian dia mencoba melongokkan kepalanya di jendela satu satunya yang ada di
bilik itu, wajahnya menjadi semakin tegang. Ternyata selain bunyi panah
sendaren yang meraung-raung, di langit malam yang kelam itu juga dihiasi oleh
panah-panah berapi yang bertebaran di udara.
“Gila,” umpat Bango Lamatan, “Apa saja kerjanya anak-anak
Jambe Wangi itu di tepian sehingga musuh bisa menyusup. Ki Bagus Lelana harus
bertanggung jawab atas keteledoran anak buahnya.”
Selesai berkata demikian, Bango Lamatan segera membenahi
pakaiannya yang kusut. Kemudian dengan tergesa-gesa dia pun melangkah keluar
bilik menuju ke pendapa.
Ternyata di pendapa telah berkumpul para pemimpin
perguruan-perguruan yang telah bersedia membantu Panembahan Cahya Warastra. Ada
sekitar empat puluh perguruan yang telah tergabung dalam barisan Panembahan
Cahya Warastra, sehingga di pendapa yang cukup luas itu telah berkumpul empat
puluh orang pemimpin masing-masing perguruan.
Ketika kemudian pintu pringgitan yang membatasi antara pendapa
dengan ruang dalam itu berderit, berpuluh puluh pasang mata segera mengarahkan
pandangan mereka kepada Bango Lamatan yang berdiri termangu mangu di
tengah-tengah pintu yang terbuka separo.
“Kakang Bango Lamatan,” tiba-tiba seorang yang berperawakan
gemuk pendek dengan kepala gundul plonthos merangsek ke depan, “Kami menunggu
perintah Kakang. Apakah kita akan menyambut lawan di tepian Kali Praga, ataukah
kita akan menunggu dan bertahan di padukuhan ini?”
“Kita ke tepian,” seorang yang berwajah kasar dan sedikit
liar menyahut dengan suara menggelegar sambil menyibakkan kerumunan orang-orang
itu dan maju ke depan, “Jangan tanggung-tanggung dalam bertindak. Kita menuju
ke tepian dan menghancurkan mereka. Setelah itu kita menyeberang dan sekaligus
menghancurkan Mataram. Aku yakin pasukan Mataram yang dibawa menyeberang ke
Menoreh ini hanya sisa-sisa pasukan yang ada di ibu kota Mataram di tambah para
pengawal Kademangan di sekitarnya. Kalau kita mampu menghancurkan pasukan itu,
berarti memasuki kota Mataram tak ubahnya seperti bertamasya saja.”
“Jangan takabur Adi Siwurbang,” berkata seorang yang sudah
berumur yang berdiri di sebelahnya, “Juru Martani mempunyai seribu akal licik
untuk menjebak musuh musuhnya. Masih ingat bagaimana Adipati Jipang yang
perkasa itu ternyata takluk di tangan Sutawijaya, anak yang masih ingusan?
Bagaimana Panembahan Madiun yang disegani oleh seluruh Adipati Bang Wetan
ternyata tertipu dengan Nyai Adisara, perempuan suruhan Juru Martani? Dan masih
banyak lagi akal licik orang dari Sela itu yang ternyata telah mampu mengubah
sejarah di Tanah ini. Aku yakin, kali ini pun Ki Juru Martani itu pasti
mempunyai siasat yang dapat mengelabuhi pengamatan kita.”
“Aku setuju dengan pendapat Ki Ageng Blarak Sineret,”
akhirnya Bango Lamatan menjawab sambil kemudian melangkah ke pendapa,
“Kekurang-cermatan kita dalam menilai kekuatan musuh adalah awal kegagalan dari
perjuangan ini. Kita tidak usah mengganggu Panembahan Cahya Warastra, aku telah
diberi kuasa penuh untuk memimpin pasukan ini. Panembahan hanya akan turun ke
medan jika Juru Martani yang licik itu sudah terlihat memasuki pertempuran.
Sesungguhnya kekuatan Mataram itu terletak pada Juru Martani. Dengan
membunuhnya, kita akan melapangkan jalan menuju ke istana.”
Sejenak terdengar beberapa orang bergeremang dengan tidak
jelas. Masing-masing memberikan pendapatnya dan bertukar pendapat dengan orang
yang berdiri di sebelahnya. Namun ada juga yang hanya mengangguk anggukkan
kepala sambil mengelus elus janggutnya.
“Bagaimana?” tiba-tiba terdengar suara Bango Lamatan lantang
untuk mengatasi suara gaduh yang mulai timbul di antara kerumunan para pemimpin
perguruan itu.
“Maksud kakang?” bertanya orang yang berwajah kasar dan
sedikit liar yang ternyata bernama Siwurbang, lengkapnya Alap-Alap Siwurbang.
Bango Lamatan sejenak tidak menjawab pertanyaan Alap-Alap
Siwurbang. Diedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut pendapa untuk
mendapatkan kesan dari mereka yang hadir di tempat itu. Namun tidak ada seorang
pun yang membuka mulut untuk memberikan pendapatnya.
“Baiklah,” akhirnya Bango Lamatan memutuskan, “Kita akan
songsong musuh di tepian. Masing-masing perguruan harus terikat dengan satu
kesatuan pasukan yang utuh. Jangan bertindak sendiri-sendiri. Kita akan
berperang dalam gelar Wulan Tumanggal.”
Beberapa orang tampak mengerutkan keningnya mendengar Bango
Lamatan akan menggunakan gelar Wulan Tumanggal untuk menyongsong musuh yang
sudah berada di tepian.
Agaknya Bango Lamatan tanggap dengan kesan yang di dapat
dari beberapa pemimpin perguruan itu. Maka katanya kemudian, “Apakah ada yang
mempunyai pemikiran yang lebih baik dari gelar Wulan Tumanggal?”
“Ma’af Kakang Bango Lamatan,” seorang yang masih cukup muda
dan berwajah cukup tampan maju ke depan, “Apakah kelebihan gelar Wulan
Tumanggal dalam hal ini menghadapi pasukan Mataram yang sudah berada di
tepian?”
“He!” tiba-tiba Bango Lamatan yang menyadari siapa orang
yang sedang berbicara kepadanya itu membentak keras, “Apa kerja anak buahmu di
tepian? Bagaimana mungkin pasukan Mataram bisa menyeberang ke tepi barat
sedangkan anak buahmu telah berjaga jaga siang dan malam di sana?”
Orang yang dibentak itu ternyata Ki Bagus Lelana, pemimpin
perguruan Jambe Wangi yang mendapat tugas menjaga tepian sebelah barat kali
Praga.
Mendapat tegoran keras seperti itu sejenak Ki bagus Lelana
terdiam dengan muka merah padam. Namun kemudian setelah mampu menguasai gejolak
dalam dadanya, dia menjawab, “Ma’afkan aku Kakang, aku juga belum mendapatkan
laporan dari anak buahku bagaimana mereka bisa sedemikian ceroboh membiarkan musuh
menyeberang.”
Mendapat jawaban seperti itu Bango Lamatan sejenak termangu
mangu. Dia baru menyadari bahwa sampai saat ini belum ada laporan dari para
telik sandi yang telah mereka sebar di dalam hutan yang terletak di dekat
padang perdu menuju ke arah tepian Kali Praga.
“Apakah sudah ada telik sandi yang memberikan laporan?”
bertanya Bango Lamatan setelah sejenak terdiam.
“Belum Kakang,” jawab Ki Bagus Lelana, “Justru kami
berkumpul di sini ingin mendengarkan berita dari Kakang yang mungkin telah
menerima laporan dari para telik sandi.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil menggelengkan
kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku belum menerima laporan. Mungkin mereka
sedang dalam perjalanan kemari.”
Baru saja Bango Lamatan menyelesaikan kata katanya, tiba-tiba
dari arah pintu regol terdengar kegaduhan disusul dengan munculnya tiga orang
yang dengan tergesa-gesa segera berlari menuju ke pendapa.
“Kami harus segera menghadap Ki Bango Lamatan,” teriak salah
seorang yang baru datang itu sambil menaiki tlundak pendapa. Sementara kedua
kawannya menyusul di belakangnya.
“Aku di sini,” sahut Bango Lamatan lantang sambil melangkah
mendekat.
Ketiga orang yang baru saja datang itu segera melangkah
mendekati Bango Lamatan yang justru kini telah berdiri di tengah-tengah
pendapa.
Begitu ketiga orang itu telah berada di hadapan Bango
Lamatan, segera saja para pemimpin perguruan yang hadir di situ bergerak
merapat membentuk lingkaran. Mereka agaknya juga ingin mendengarkan berita yang
di bawa oleh ketiga telik sandi itu.
“Katakan dengan jelas supaya Kau tidak usah mengulang ulang
ceritamu,” perintah Bango Lamatan dengan nada dalam.
Sejenak orang yang tertua dari ketiga petugas sandi itu
menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya. Tiba-tiba saja kerongkongannya
menjadi kering begitu dia menyadari betapa gawatnya berita yang dibawanya itu.
“Ki Bango Lamatan,” akhirnya keluar juga kata-kata dari
mulutnya, “Kami bertiga adalah petugas sandi yang ditempatkan di dalam hutan
yang sudah tidak begitu lebat lagi itu. Menjelang dini hari tadi, kami
mendengar suara tangis seorang perempuan dari arah padang perdu.”
Sampai di sini para pemimpin perguruan yang hadir disitu
hampir sebagian besar telah berguman sambil berpaling memandang ke arah Ki
Bagus Lelana yang berdiri di sebelah kanan Bango Lamatan.
Mendapatkan perlakuan seperti itu, Ki Bagus Lelana pun
menggeram, “Mengapa kalian memandangku seperti itu, he?”
“Bukankah sudah bukan rahasia lagi kalau perguruanmu itu
selalu berhubungan dengan perempuan?” terdengar suara berat dan dalam dari
seorang yang berdiri beberapa langkah di samping Ki Bagus Lelana, “Itu pasti
salah seorang korban nafsu anak buahmu yang berjaga jaga di tepian.”
Dengan mata merah membara, Ki Bagus Lelana mencari arah
suara yang berat dan dalam itu. Ketika kemudian pandangan matanya tertumbuk
pada seorang yang berperawakan tinggi gagah dengan kumis melintang tetapi
dengan dagu yang licin, berikat kepala warna wulung dan berbaju hitam dengan
kain panjang hitam bergaris garis putih, Ki Bagus Lelana pun seakan akan telah
membeku di tempatnya. Orang yang menegurnya itu ternyata adalah Ki Wasi
Jaladara dari perguruan Liman Benawi di Madiun.
“Nah,” berkata Ki Wasi Jaladara selanjutnya, “Bukankah sudah
jelas siapa yang telah meninggalkan kewajibannya menjaga tepian sebelah barat
kali Praga? Setiap kesalahan pasti ada hukumannya, dan hukuman apa yang akan
ditimpakan kepada perguruan Jambe Wangi, kita serahkan saja kepada Kakang Bango
Lamatan.”
Kembali mereka yang hadir di tempat itu bergeremang sambil
memandang ke arah Bango Lamatan.
Namun sebelum Bango Lamatan memberikan pendapatnya,
tiba-tiba petugas sandi yang tertua itu menyela, “Ma’af Ki Bango Lamatan, aku
belum selesai dengan ceritaku.”
Kini perhatian orang-orang yang ada di pendapa itu kembali
tercurah kepada petugas sandi yang tertua itu.
“Lanjutkan,” perintah Bango Lamatan singkat.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, petugas sandi yang tertua
itu pun melanjutkan ceritanya, “Kami berusaha mendekati arah suara tangis itu.
Ternyata ada tiga orang yang salah satunya adalah seorang perempuan yang
kelihatannya sedang berselisih paham sehingga perempuan itu telah menangis
sejadi-jadinya.”
“Apakah Kau dan kawan kawanmu dapat mengenali siapakah
mereka itu?” bertanya salah seorang pemimpin perguruan yang hadir disitu.
Petugas sandi itu menggeleng, namun kemudian katanya, “Kami
hanya mengenali salah seorang dari ketiga orang itu sangat aneh. Badannya
tinggi besar dan hampir di sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu yang berwarna
putih.”
“Resi Mayangkara!” hampir bersamaan beberapa orang telah
berseru.
Bango Lamatan yang mendengar seruan beberapa orang itu telah
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku memang pernah
mendengar seorang sakti yang aneh dan tinggal di gunung Kendalisada. Namun aku
tidak yakin kalau benar-benar tokoh itu ada. Mungkin itu hanya sekedar dongeng
ngayawara yang berkembang di lingkungan para kawula Mataram.”
Sejenak petugas sandi itu termangu mangu. Ada sedikit
keraguan tersirat di wajahnya. Waktu itu memang malam masih cukup gelap dan
sosok yang dilihatnya itu pun cukup jauh. Namun sebenarnya dia sangat yakin
dengan penglihatannya pada waktu itu karena memang dia mempunyai kemampuan yang
jarang dimiliki oleh orang lain, pandangan yang sangat tajam walaupun di malam
yang sangat pekat sehingga dia diandalkan oleh perguruannya menjadi salah
seorang petugas sandi.
“Apakah Kau mengenali laki-laki yang satunya?” kembali
sebuah pertanyaan terlontar dari salah satu yang hadir disitu.
Petugas sandi itu menggeleng, “Aku tidak melihat ciri-ciri
yang khusus pada laki-laki yang satunya,” dia berhenti sejenak, kemudian
lanjutnya, “Namun yang sangat mendebarkan adalah kemampuannya membidik. Dia
mampu memotong arah anak panah berapi yang dilepaskan oleh Putut Banjar Panji,
justru di malam yang masih cukup gelap.”
Selesai berkata demikian petugas sandi itu pun kemudian
menceritakan peristiwa yang terjadi di pinggir hutan dekat padang perdu itu.
Sejenak para pemimpin perguruan yang hadir di tempat itu
menjadi gempar. Mereka benar-benar hampir tidak percaya kalau ada orang yang
mempunyai kemampuan bidik yang sempurna seperti itu.
“Mungkin orang itu mempunyai aji Danurwenda, aji yang
dimiliki Resi Drona,” berkata salah seorang.
“Ah, aji Danurwenda itu hanya ada dalam cerita pewayangan,”
sahut yang lain.
“Tapi bukankah ilmu-ilmu yang ada sekarang ini juga
bersumber dari cerita-cerita seperti itu?” sahut yang lain tak kalah serunya.
“Sudahlah..!” tiba-tiba Bango Lamatan berteriak lantang
untuk menenangkan suara riuh rendah para pemimpin perguruan yang berkumpul di
pendapa itu, “Aku sudah tahu siapa orang yang mempunyai kemampuan bidik yang
luar biasa itu.”
Ucapan Bango Lamatan itu ternyata telah mengejutkan.
Beberapa orang hampir bersamaan telah bertanya, “Siapakah yang Kau maksud,
Kakang?”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu
sebelum menjawab pertanyaan itu. Ada sedikit keseganan untuk mengatakan siapa
orang itu, karena sama saja dengan mengungkit masa lalunya yang memalukan.
Namun akhirnya terlontar juga jawaban dari mulutnya, “Orang itu adalah Agul Agulnya
Mataram, adik kandung Senapati yang berkedudukan di Jati Anom, murid utama
orang bercambuk, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Kali ini pendapa itu benar-benar bagaikan meledak. Beberapa
orang telah berteriak teriak untuk mengungkapkan ketidak percayaan mereka terhadap
kata-kata Bango Lamatan.
“Tidak mungkin,” seorang yang rambutnya hampir putih semua
menyela setengah berteriak untuk menarik perhatian, “Bukankah Kiai Naga Geni
telah mencegatnya di hutan tambak baya? Kiai Naga Geni adalah orang yang tiada
duanya di Nusa Kambangan. Tidak ada orang yang mampu lolos dari tangannya.”
“Ya,” sahut yang lain cepat, “Bahkan masih ada Ki Ajar
Andong Puring dan murid muridnya yang membantu.”
“Tetapi kenyataan berbicara lain,” jawab Bango Lamatan yang
membuat mereka yang hadir disitu tertegun, “Memang belum ada laporan mengenai
hal itu, tapi aku yakin, orang yang mampu membidik dengan tepat walaupun di
malam yang gelap sekalipun itu pasti murid orang bercambuk itu.”
Sejenak pendapa itu menjadi sunyi. Beberapa orang yang
mengetahui tingkat kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu menjadi gelisah. Bahkan
Bango Lamatan pun tidak mampu menghapus bayangan masa lalunya ketika harus
berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu yang masih berusia muda.
“Mungkin aku terlalu percaya diri waktu itu sehingga membuat
aku lengah,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Sekarang aku telah
menyempurnakan ilmuku dengan laku yang sangat berat dan rumit. Tidak ada yang
perlu ditakutkan lagi dari seorang Agung Sedayu.”
Namun jauh di dasar hatinya Bango Lamatan tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa dirinya masih merasa segan jika harus berhadapan
dengan Ki Rangga Agung Sedayu lagi.
“Mengapa kita mesti ketakutan dengan orang yang bernama
Agung Sedayu, murid utama orang bercambuk?” tiba-tiba terdengar suara yang
pelan namun getarannya telah menggoncang tiang-tiang pendapa dan setiap dada
yang hadir di tempat itu.
Serentak mereka berpaling ke asal getaran suara itu. Tampak
seseorang yang sudah cukup tua namun masih terlihat sangat sehat dan kokoh,
berdiri di belakang kerumunan sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang
menggapai dada. Sementara di belakangnya berdiri dua orang kakak beradik murid
kepercayaannya.
“Ki Gede Ental Sewu dari Gunung Sindara” beberapa orang yang
telah mengenalnya segera menyerukan nama yang telah menggetarkan setiap jantung
yang hadir di pendapa itu.
Sejenak kemudian orang-orang yang berkerumun itu pun segera
menyibak, memberikan jalan bagi Ki Gede Ental Sewu dari Gunung Sindara dan
kedua muridnya.
“Ma’afkan kami Ki Gede,” berkata Bango Lamatan sambil
merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dada dan membungkuk dalam-dalam,
“Kami merasa sangat tersanjung Ki Gede Ental Sewu bersedia hadir di
tengah-tengah kami.”
Ki Gede Ental Sewu tidak menjawab hanya mengangguk anggukkan
kepalanya sambil mengelus elus janggutnya. Ki Gede Ental Sewu dari Padepokan
Ental Sewu yang terletak di lereng Gunung Sindara berbatasan dengan Gunung
Sumbing yang berpemandangan asri ini memang termasuk tokoh angkatan tua. Hampir
tidak pernah keluar dari Padepokannya kalau tidak ada peristiwa yang khusus.
Agaknya Ki Gede Ental Sewu ini merasa perlu untuk turun gunung dengan membawa
kedua muridnya kakak beradik, Sindangwangi dan Bantarkawung. Selain ingin
membantu sahabatnya Panembahan Cahya Warastra yang semasa mudanya bernama
Kecruk Putih, Ki Gede juga ingin memberikan pengalaman kepada kedua muridnya
yang masih muda.
“Bango Lamatan,” pelan terdengar suara Ki Gede namun
getarannya seakan merontokkan isi dada, “Apakah tidak sebaiknya kita berbicara
sambil duduk? Banyak hal yang harus kita bicarakan sehubungan dengan rencana
penyerbuan ke tepian kali Praga.”
Bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk, Bango Lamatan pun
kemudian dengan tergopoh-gopoh mempersilahkan para pemimpin perguruan yang
hadir di pendapa itu untuk duduk, terutama Ki Gede Ental Sewu dan kedua
muridnya.
Sejenak kemudian mereka yang hadir di pendapa itu pun telah
menempatkan dirinya masing-masing. Beberapa perguruan yang telah saling
mengenal sebelumnya telah duduk bergerombol saling berdekatan, namun ada juga
yang mencoba berbaur dengan perguruan lain walaupun mereka belum saling
mengenal.
“Bango Lamatan,” kembali terdengar suara Ki Gede Ental Sewu
yang berat dan dalam, “Apakah pertimbanganmu untuk menggunakan gelar Wulan
Tumanggal pada saat benturan pertama dengan pasukan Mataram.”
Sambil mengangguk hormat Bango Lamatan menjawab, “Ki Gede,
gelar Wulan Tumanggal akan kita gunakan untuk menggempur musuh karena
pertimbangan akan kekuatan yang kita miliki. Disini telah berkumpul sekitar
empat puluh perguruan, itu berarti kita mempunyai empat puluh pemimpin
perguruan yang kemampuannya setingkat dengan Rangga atau bahkan mungkin dapat
disamakan dengan Tumenggung dalam keprajuritan.”
Ki Gede Ental Sewu mengerutkan keningnya mendengar jawaban
Bango Lamatan. Kemudian sambil menggeleng perlahan, dia berkata, “Perhitunganmu
terlalu berlebihan Bango Lamatan. Kalau pemimpin perguruan kemampuannya Kau
samakan dengan Rangga, apa katamu tentang Ki Rangga Agung Sedayu yang baru
mendengar namanya saja kalian telah ketakutan? Ingat Ki Rangga Agung Sedayu lah
yang telah menghentikan petualangan Ajar Talpitu. Kemudian seorang Tumenggung
Prabandaru dari Pajang pun juga terbunuh di tangannya dan masih banyak lagi.
Namun ada satu hal yang sampai saat ini aku tidak percaya itu bisa terjadi.
Bagaimana mungkin seorang yang bernama Pideksa yang kemudian bergelar Ajar
Kumuda dari Madiun dapat dikalahkan oleh seorang yang bernama Agung Sedayu,
murid orang bercambuk. Padahal dimasa mudanya, Ajar Kumuda itu pernah
berselisih dengan Guru Agung Sedayu, orang bercambuk itu dan kemampuan mereka
pada saat itu dapat dikatakan seimbang. Justru pada saat Ajar Kumuda telah
memasuki usia tua dan ilmunya semakin mapan dan sempurna, dia telah terbunuh
dalam perang tanding melawan Agung Sedayu, murid orang bercambuk yang menjadi
seterunya di masa muda.”
Para pemimpin perguruan yang mendengar penuturan Ki Gede
Ental Sewu itu sejenak termangu mangu. Ki Ajar Kumuda adalah seorang yang
mempunyai kebiasaan yang sama dengan Ki Gede Ental Sewu. Keduanya dapat
dikatakan jarang sekali keluar padepokan untuk mengembara. Kalau Ki Ajar Kumuda
mempunyai kepentingan dengan seseorang, biasanya orang itu akan dipanggilnya
untuk menghadap ke padepokan, dan orang tersebut dengan patuh akan menghadap
walaupun dia tahu bahwa dia akan dihukum atau bahkan dibunuh sekalipun.
Namun ternyata Ki Ajar Kumuda yang dimasa mudanya benama
Pideksa itu telah dikalahkan oleh Agung Sedayu, justru murid orang bercambuk
yang sangat dibencinya dan ingin dibunuhnya.
“Nah,” berkata Ki Gede Ental Sewu kepada Bango Lamatan
kemudian, “Apakah Kau masih akan mempertahankan perhitunganmu tentang
perbandingan kekuatan kita?”
Sejenak Bango Lamatan merenung, kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam dia menjawab, “Ki Gede, Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang
prajurit yang berpangkat Rangga namun mempunyai kemampuan yang khusus. Yang aku
perbandingkan adalah prajurit berpangkat Rangga yang sesungguhnya. Khusus untuk
Ki Rangga Agung Sedayu aku serahkan kepada kebijaksanaan Ki Gede.”
Ki Gede Ental Sewu tertawa tertahan. Sambil menggeleng
gelengkan kepalanya dia menjawab, “Bukankah di sini masih banyak yang lebih
mumpuni? Bagaimana dengan aji Panglimunanmu yang nggegirisi itu? Haruskah aku
yang sudah tua ini masih harus mengadu kerasnya tulang dan tebalnya kulit
dengan orang yang pantas menjadi anakku?”
“Guru,” tiba-tiba Bantarkawung yang ada di belakang Gurunya
menyela setengah berbisik, “Ijinkan aku menghadapinya, kalau perlu berdua
dengan mbokayu Sindangwangi.”
Gurunya yang mendengar bisik muridnya itu tersenyum masam,
jawabnya kemudian sambil sedikit menoleh kebelakang, “Kalian masih pupuk bawang
diantara para raksasa olah kanuragan dalam perang di tepian nanti. Lebih baik
kalian berdua menimba pengalaman dengan bertempur melawan para prajurit biasa
saja.”
Merah padam muka Bantarkawung mendengar teguran Gurunya itu.
Sementara mBokayunya Sindangwangi yang duduk di sebelahnya justru telah tertawa
kecil sambil mencibirkan bibirnya yang mungil menggemaskan itu ke arah adiknya.
“Bango Lamatan,” kembali terdengar Ki Gede Ental Sewu
berkata, “Memang kau dapat menempatkan beberapa pemimpin perguruan yang kau
anggap mumpuni di kedua ujung gelar Wulan Tumanggal. Tapi ingat, kita belum
tahu gelar apa yang akan dipakai oleh orang-orang Mataram.”
“Menurut perhitungan, dengan melihat luasnya tepian kali
Praga sebelah barat, mereka tentu cenderung untuk menggunakan gelar Garuda
Nglayang,” jawab Bango Lamatan dengan mantap.
Sejenak Ki Gede mengangguk angguk, kemudian katanya, “Itu
berarti kau akan membenturkan kedua ujung Wulan Tumanggal dengan kedua sayap
Garuda Nglayang,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah kedua
ujung Wulan Tumanggal itu cukup kuat untuk menusuk dan mematahkan sayap Garuda
Nglayang?”
“Aku kira cukup Ki Gede,” jawab Bango Lamatan cepat, “Dengan
menempatkan para pemimpin perguruan serta beberapa murid-murid utama mereka di
kedua ujung gelar, kesempatan untuk menghancurkan sayap-sayap itu terbuka
lebar. Setelah sayap-sayap itu hancur, kita segera mengubah gelar. Kedua ujung
Wulan Tumanggal akan saling mendekat dan bagian tengah gelar akan maju
membentuk belalai di antara kedua ujung gelar yang telah menjadi sepasang
gading yang akan merobek robek garuda yang sudah kehilangan sayapnya.”
“Maksudmu gelar akan berubah menjadi Dirada Meta?” bertanya
Ki Gede
“Ya Ki Gede,” jawab Bango Lamatan, “Dengan demikian kita
tinggal menunggu waktu, kapan garuda yang sudah lumpuh itu akan hancur
tercabik-cabik oleh sepasang gading dari Dirada Meta.”
Ki Gede menarik nafas sejenak, kemudian sambil memandang
berkeliling dia berkata, “Memang kedengarannya begitu mudah. Namun aku kira
jika memang pasukan mataram mengalami kehancuran pada kedua sayapnya, mereka
akan segera mengubah gelar seperti kita.”
Bango Lamatan mengerutkan keningnya, katanya kemudian,
“Gelar apakah yang memungkinkan untuk garuda yang telah patah sayapnya?”
Ki Gede yang sudah banyak berpengalaman dalam berbagai
pertempuran itu tersenyum sambil menjawab, “Cakra Byuha, ya.. Cakra Byuha,
justru karena mereka ingin melindungi Juru Martani yang menjadi sasaran utama
kita. Dengan menempatkan orang-orang penting mereka di setiap ujung gerigi dari
Cakra Byuha, Dirada Meta akan kesulitan untuk mendekati Cakra yang berputar
terus, apalagi untuk menghancurkannya.”
Sejenak wajah Bango Lamatan menjadi tegang. Namun kemudian
sambil mengangguk anggukkan kepalanya dia berdesis perlahan, “Kalau memang
demikian perubahan yang terjadi di medan pertempuran, kita akan sekali lagi
mengubah gelar, gelar jurang grawah. Gelar yang mampu menampung apa saja yang
masuk kedalamnya.”
Ki Gede Ental Sewu tersenyum mendengar desis Bango Lamatan.
Katanya kemudian, “Sudahlah, kita akan melihat semua itu nanti di medan. Aku
menyediakan diri untuk menahan Ki Rangga Agung Sedayu, namun aku tidak tahu di
tempat mana murid orang bercambuk itu berada di medan pertempuran yang sangat
luas nanti.”
“Bukankah Ki Gede dapat menelusuri keberadaan Ki Rangga dari
suara cambuknya?” bertanya Bango Lamatan.
“Aku memang sudah berpikir demikian,” jawab Ki Gede, “Namun
begitu aku menemukan tempat murid orang bercambuk itu, aku kawatir sudah ada
beberapa kurban yang jatuh.”
Bango Lamatan termenung. Berdasarkan pengalamannya berperang
tanding dengan murid orang bercambuk itu beberapa tahun yang lalu, kekuatan
cambuk Ki Rangga memang sangat nggegirisi, apalagi sekarang tentu sudah semakin
matang dan sempurna.
“Baiklah,” akhirnya Ki Gede berkata sambil bangkit berdiri
dari tempat duduknya diikuti oleh kedua muridnya, “Aku tidak terikat dengan
gelar yang akan kau pasang nanti. Aku dapat berada di segala medan. Tugasku
adalah menahan Ki Rangga Agung Sedayu dan mengikatnya dalam sebuah perang
tanding agar tidak jatuh kurban yang sia-sia di tangan murid orang bercambuk
itu.”
Bango Lamatan dan beberapa orang yang ada di pendapa itu
mengangguk anggukkan kepala mendengar ucapan Ki Gede. Mereka sadar bahwa hanya
Ki Gede Ental Sewu saja yang diharapkan akan mampu menahan Ki Rangga Agung
Sedayu, sedangkan Panembahan Cahya Warastra sudah menentukan sendiri lawannya,
Ki Patih Mandaraka.
Sejenak kemudian Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya telah
meninggalkan tempat itu untuk beristirahat sebelum mereka turun ke medan.
Seorang murid Panembahan Cahya Warastra dengan tergesa-gesa telah
mempersilahkan mereka bertiga untuk memasuki sebuah rumah yang terletak
berdekatan dengan rumah induk.
Sepeninggal Ki Gede Ental Sewu, Bango Lamatan segera
menyusun kekuatan gelar Wulan Tumanggal berdasarkan kemampuan para pemimpin
perguruan yang hadir disitu.
“Aku minta Ki Wasi Jaladara berada di ujung kanan gelar
sedangkan Ki Ageng Blarak Sineret berada di ujung yang lain,” Bango Lamatan
berhenti sejenak, kemudian, “Kemudian Alap-Alap Siwurbang, Ki Bagus Lelana,
Kiai Sasadara dan Ki Sadaksada aku harap mendampingi Ki Wasi Jaladara. Kalian
dapat membawa serta seluruh murid-murid perguruan kalian untuk membantu turun
ke medan.”
“Bagaimana dengan kami berdua?” tiba-tiba terdengar suara
menyela sebelum Bango Lamatan menyelesaikan kalimatnya.
Hampir bersamaan semua kepala menoleh ke arah suara itu berasal.
Tampak dua orang yang duduk agak di pinggir dengan wajah yang tegang sedang
memandang ke arah Bango Lamatan.
Bango Lamatan tersenyum begitu menyadari siapa mereka
berdua. Katanya kemudian, “Kalau aku tidak salah, ketika pertama kali datang ke
tempat ini memenuhi undangan Panembahan Cahya Warastra, kalian memperkenalkan
diri sebagai sepasang iblis bertangan badai dari kali Dadung. Namun
sebenarnyalah aku belum pernah mengenal kalian berdua.”
Kedua orang itu tampak mengerutkan keningnya. Kemudian salah
satu yang terlihat lebih tua menjawab, “Nama bagi kami tidak begitu penting.
Namun yang jelas kami berdua akan membalas dendam kematian guru kami oleh Ki
Rangga Agung Sedayu. Dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini harus
dituntaskan.”
“Itu urusan pribadi kalian berdua Ki Sanak,” berkata Bango
Lamatan, “Dalam gelar perang yang telah kita setujui, kita tidak boleh memilih
lawan kecuali Panembahan Cahya Warastra yang telah memilih Ki Patih Mandaraka
sebagai lawan dan Ki Gede Ental Sewu yang telah berjanji akan menahan Ki Rangga
Agung Sedayu. Selebihnya, siapapun yang ada di depan mata kita itulah lawan
kita.”
Kedua orang yang bergelar sepasang iblis bertangan badai itu
sejenak saling berpandangan, namun yang tertua lah yang kemudian menjawab,
“Kami berdua akan tetap mengikuti arus gelar yang akan dipasang, namun apabila
kami mendengar suara cambuk yang menggelegar, itu pertanda bahwa kami harus
segera bergeser untuk menemukan arah suara cambuk itu.”
“Itu terserah kalian,” jawab Bango Lamatan, “Namun kalian
berdua akan berada di bawah kendali Ki Ageng Blarak Sineret. Kalian harus
mendengarkan perintahnya.”
“Bukan masalah bagi kami,” kini yang muda lah yang menjawab,
“Begitu kami mendapat lawan di medan, akan segera kami tuntaskan tidak lebih
dari sepemakan sirih. Setelah tugas kami selesai, kami akan memburu Ki Rangga
Agung Sedayu di manapun dia berada.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Ada sedikit
kebimbangan dalam hatinya untuk menempatkan kedua orang itu di bawah kendali Ki
Ageng Blarak Sineret. Selain belum mengetahui dengan pasti tingkat ilmu
kanuragan kedua orang itu, kedua ujung gelar Wulan Tumanggal itu memerlukan
kekuatan penuh dari sekumpulan orang-orang linuwih untuk menghancurkan
pertahanan lawan yang berada di sisi sebelah menyebelah. Jika beberapa orang
yang di anggap mumpuni justru telah meninggalkan medan sebelum pertahanan lawan
hancur, akan dapat berakibat sebaliknya, lawan akan dapat menghantam balik dan
mematahkan kedua ujung gelar Wulan Tumanggal.
Ki Ageng Blarak Sineret yang mendengarkan percakapan itu
tiba-tiba terbatuk-batuk kecil sehingga perhatian orang-orang yang ada di
pendapa itu tertumpah kepadanya.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret setelah
semua perhatian tercurah padanya, “Aku keberatan jika kedua Ki Sanak ini berada
di bawah kendaliku. Bukan karena aku meragukan kemampuan mereka berdua, justru
aku lebih senang jika Ki Sanak berdua ini di tempatkan di tengah-tengah gelar.
Pada benturan pertama hanya ujung-ujung gelar kita yang akan bertempur dengan
sayap-sayap lawan, sementara gelar yang ada di tengah masih menunggu
perkembangan yang terjadi di kedua ujung gelar. Ini akan memberi kesempatan
kepada kedua Ki Sanak ini untuk mengamati dengan seksama keberadaan Ki Rangga
Agung Sedayu.”
“Bagaimana jika Ki Rangga juga berada di tengah gelar?”
sahut Bango Lamatan cepat.
“Itu tidak masalah, “ jawab Ki Ageng Blarak Sineret, “Kedua
Ki Sanak ini dapat menunggu sampai benturan yang sesungguhnya terjadi.”
“Bagaimana dengan Ki Gede Ental Sewu yang telah menyanggupi untuk
menahan Ki Rangga?” tiba-tiba sebuah pertanyaan terlontar dari salah seorang
yang hadir di situ.
“Justru itu akan mempercepat kematiannya,” jawab Bango
Lamatan cepat, “Kita tidak sedang dalam sebuah perang tanding yang menjunjung
tinggi kejantanan. Perang yang terjadi nanti adalah perang brubuh, siapa yang
kuat dia yang akan menang. Kita dapat bertempur seorang lawan seorang ataupun
bahkan berkelompok sekalipun.”
Orang-orang yang hadir di tempat itu mengangguk-anggukkan
kepala, kecuali kedua orang yang bergelar sepasang iblis bertangan badai dari
Kali Dadung. Kedua orang itu sejenak masih mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Harapan mereka adalah membalas dendam dengan membunuh Ki Rangga memakai tangan
mereka sendiri. Namun setelah mereka menyadari siapakah Ki Gede Ental Sewu itu,
akhirnya dengan perlahan lahan mereka berdua pun akhirnya mengangguk-anggukkan
kepala juga.
“Tidak masalah,” berkata yang tertua dalam hati, “Siapapun
yang membunuh Ki Rangga tidak jadi soal. Justru kami telah dengan jujur menilai
kemampuan kami dibandingkan dengan kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Baiklah,” berkata Bango Lamatan kemudian, “Seperti apa yang
telah aku katakan tadi, Ki Ageng Blarak Sineret mengendalikan ujung gelar yang
satunya dibantu oleh kedua Ki Sanak dari Kali Dadung, Ki Ajar Wiyat dari
Tumapel, Ki Rudraksa dari Perguruan Jambu Alas, dan Nyi Ayu Rahutri dari
Perguruan Pamulatsih.”
Selesai menyebutkan nama yang terakhir itu, tampak Bango
Lamatan ragu-ragu memandang sekeliling untuk mencari orang yang bernama Nyi Ayu
Rahutri dari perguruan Pamulatsih.
“Nyi Ayu Rahutri berada di pondokannya, Ki Bango Lamatan,”
tiba-tiba terdengar suara seseorang yang duduk agak jauh di samping kiri Bango
Lamatan.
Ketika kemudian Bango Lamatan berpaling ke arahnya, orang itupun
melanjutkan keterangannya, “Ketika berangkat tadi, aku sempat bertemu dengan
Nyi Ayu Rahutri di depan pondokannya. Dia memohon ma’af tidak bisa ikut
berkumpul di sini, namun dia akan melaksanakan tugas apapun yang dibebankan
kepada perguruannya.”
Bango Lamatan mengangguk anggukkan kepalanya. Nyi Ayu
Rahutri adalah pemimpin padepokan Pamulatsih yang semua anak muridnya adalah
perempuan. Ketidak-hadirannya di pertemuan ini dapat dimaklumi justru karena
yang hadir semuanya adalah laki-laki, jika Nyi Ayu Rahutri ikut hadir, tentu
saja itu akan membuatnya sangat ewuh pakewuh.
“Baiklah,” berkata Bango Lamatan kemudian, “Untuk gelar di
bagian tengah akan dipimpin langsung oleh Panembahan Cahya Warastra dengan
pendamping aku sendiri dan Ki Bagaswaras serta Putut Gagat Rahina,” Bango
Lamatan berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Masih ada waktu sebelum Matahari
terbit. Kalian dapat kembali ke pondokan masing masing. Aku kira yang bertugas
di bagian dapur umum sudah bersiap siap menyiapkan makan pagi sebelum kita
berangkat bertempur.”
“Apakah tidak ada kemungkinan Mataram akan menyergap kita
selagi kita menikmati makan pagi?” seseorang yang berbadan agak gemuk
mengajukan pertanyaan.
Bango Lamatan menggeleng sambil tersenyum, “Itulah hebatnya
Ki Patih Mandaraka. Dia benar benar seorang yang pandai memainkan peran.
Setelah gerakannya terpantau oleh para petugas sandi kita, dia segera mengulur
waktu untuk menciptakan kepanikan dalam diri kita, sehingga kita dengan tergesa
gesa akan menyerbu ke tepian tanpa perhitungan gelar yang matang. Itulah yang
dikehendakinya.”
“Tetapi kita tidak melakukannya,” kembali orang yang
bertubuh agak gemuk itu berkata.
“Ya,” jawab Bango Lamatan, “Karena aku mempunyai
perhitungan-perhitungan tertentu. Aku tidak terpancing ketika beberapa dari
kalian mengajak menyerbu tepian saat itu juga ketika isyarat dari para petugas
sandi yang kita terima masih belum jelas.”
“Maksud Ki Bango Lamatan?”
“Panah api dan panah sendaren hanya mengisyaratkan adanya
gerakan musuh yang bisa mendarat di tepian sebelah barat. Selebihnya kita masih
harus menunggu keterangan dari petugas sandi yang melapor.”
“Bagaimana seandainya Mataram pada saat itu langsung
menyerbu ke padukuhan ini?”
“Tentu isyarat yang kita terima berbeda dan sikap yang kita
ambilpun juga berbeda.”
Orang yang berperawakan agak gemuk itu mengangguk anggukkan
kepalanya.
Demikianlah akhirnya, setelah Bango Lamatan membagi tugas,
mereka yang hadir di pendapa itupun segera membubarkan diri kembali ke pondokan
masing masing. Sementara Bango Lamatan sendiri telah beranjak menuju ke ruang
dalam.
Sejenak Bango Lamatan ragu-ragu ketika melewati sebuah bilik
di ruang dalam yang pintunya tertutup rapat rapat. Ada keinginan untuk mengetuk
pintu bilik itu, namun dia ragu, apakah penghuni bilik tersebut berkenan untuk
menerimanya jika dia menghadap.
Namun keragu-raguan Bango Lamatan itu segera terhapus begitu
terdengar suara yang berat dan bernada dalam dari arah bilik, “Bango Lamatan,
masuklah.
Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting.”Bango Lamatan
menarik nafas dalam dalam begitu mendengar suara itu, suara yang sudah sangat
dikenalnya.
“Masuklah,” kembali terdengar suara yang berat dan bernada
dalam dari arah bilik ketika Bango Lamatan dengar ragu-ragu mengetuk pintu.
Ketika kemudian pintu bilik itu telah terbuka sebagian,
Bango Lamatan melihat orang yang selama ini sangat dikenalnya dan juga yang
masih menyimpan seribu rahasia tentang jati dirinya sebagai Panembahan Cahya
Warastra, sedang duduk bersila di atas amben satu satu yang ada di bilik itu
beralaskan tikar pandan yang sudah usang.
“Duduklah,” sekali lagi perintah dari Panembahan Cahya
Warastra itu tidak dapat ditolaknya. Setelah menutup pintu bilik kembali, Bango
Lamatan pun kemudian menggeser sebuah dingklik kayu ke depan pembaringan
Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah persiapan untuk menyerbu ke tepi barat kali praga
sudah siap?” bertanya Panembahan Cahya Warastra kepada Bango Lamatan sesaat
setelah dia duduk.
“Demikianlah, Panembahan,” jawab Bango Lamatan, “Gelar yang
akan kita pakai adalah wulan tumanggal dengan menempatkan di kedua ujung gelar
para pemimpin perguruan yang mempunyai kelebihan dari yang lain, dengan harapan
ke dua ujung gelar itu segera dapat melumpuhkan ujung ujung gelar lawan dalam
waktu yang singkat, kemudian setelah ujung gelar lawan hancur, ujung ujung
gelar kita akan menjepit induk gelar lawan dibantu dengan induk gelar kita.”
“Dirata Meta,” gumam Panembahan Cahya Warastra sambil
mengangguk anggukkan kepalanya, “Apakah sudah kau perhitungkan lawan tidak akan
mengubah gelar ketika mereka menyadari ujung ujung gelarnya tidak dapat
diselamatkan?”
“Sudah Panembahan, dibantu dengan Ki Gede Ental Sewu, kami
telah menghitung dengan cermat setiap langkah yang akan kita ambil.”
Panembahan Cahya Warastra mengangguk anggukkan kepalanya. Sejenak
dia masih berdiam diri, seolah olah sedang memikirkan sesuatu. Katanya
kemudian, “Tugas apakah yang telah kau berikan kepada pemimpin perguruan Ental
Sewu itu?”
“Ki Gede Ental Sewu telah menyediakan dirinya untuk menahan
Ki Rangga Agung Sedayu.”
Panembahan Cahya Warastra mengerutkan keningnya, “Jadi? Dia
akan mengelilingi medan pertempuran hanya untuk mencari seseorang yang bernama
Agung Sedayu?”
Sejenak Bango Lamatan menahan nafasnya dalam dada, kemudian
jawabnya sambil menggeser tempat duduknya lebih mendekat ke arah pembaringan,
“KI Gede Ental Sewu akan dapat mencari Ki Rangga dengan ancar-ancar suara
cambuknya, karena kita tidak tahu dimanakah kedudukan Ki Rangga dalam gelarnya,
di ujung kanan, kiri atau bahkan mungkin di tengah gelar menjadi senapati
pengapit Ki Patih Mandaraka.”
Panembahan Cahya Warastra menggelengkan kepalanya, katanya,
“Itu terlalu banyak membuang waktu. Kita dapat melumpuhkan Ki Rangga dengan
cara yang lain. Biarlah Ki Gede Ental Sewu melaksanakan tugas yang lain yang
lebih penting dan akan menentukan akhir dari pertempuran.”
Bango Lamatan termangu-mangu sejenak mendengar kata-kata
Panembahan Cahya Warastra. Kalau Ki Gede Ental Sewu yang sudah dipersiapkan
untuk membendung Ki Rangga Agung Sedayu diberi tugas yang lain, siapakah yang
akan menghadapi senapati agul agulnya Mataram itu? Sedangkan dirinya sudah
pernah merasakan kehebatannya walaupun sekarang dia sudah menyempurnakan
ilmunya akan tetapi di pihak Ki Rangga pun tentu telah mengalami hal yang sama,
peningkatan ilmu.
Panembahan Cahya Warastra yang melihat keragu-raguan
membayang di wajah Bango Lamatan tersenyum tipis. Panembahan itu telah
menyadari bahwa Bango Lamatan agak segan jika harus berhadapan kembali dengan
Ki Rangga Agung Sedayu. Maka katanya kemudian, “Jangan kawatir, aku tidak akan
menyuruhmu untuk berhadapan dengan murid utama orang bercambuk itu, justru kita
biarkan saja dia berbuat sekehendak hatinya di dalam riuhnya pertempuran nanti.
Sudah menjadi watak dari adik Untara itu untuk selalu bertindak ragu-ragu. Jika
tidak ada lawan yang sepadan dengan dirinya, dia tidak akan semena-mena
melakukan pembunuhan. Percayalah, itu bukan sifat dari hati nuraninya.”
Kembali Bango Lamatan termangu-mangu. Tidak pernah
terpikirkan olehnya untuk membiarkan Ki Rangga Agung Sedayu terlepas dari
pengawasan. Justru dengan menghadapkan Ki Rangga Agung Sedayu bertempur melawan
murid-murid perguruan yang tingkat olah kanuragannya jauh di bawahnya, murid
orang bercambuk itu akan dapat ditahan untuk sementara.
“Baiklah,” berkata Panembahan Cahya Warastra kemudian, “Ada
tugas lain yang lebih penting untuk Ki Gede Ental Sewu. Perintahkan kepada
Putut Gagat Rahina, Ki Ajar Wiyat dari Tumapel dan Kiai Sasadara dari Blitar
untuk mendampingi Ki Gede. Selebihnya buatlah hubungan dengan Putut Luarsa dan
Ki Lurah Sanggabaya yang ada di barak pasukan Khusus di Menoreh untuk membantu
menyerbu padukuhan induk Menoreh. Ingat tugas utama mereka adalah menangkap
hidup-hidup Istri dan anak Ki Rangga Agung Sedayu untuk dijadikan sebagai
sandera.”
Terkejut Bango Lamatan mendapat perintah khusus tersebut,
katanya kemudian, “Mohon ma’af Panembahan. Apakah dengan demikian kekuatan
pasukan kita tidak akan terpecah? Sehingga sebelum Ki Gede dan pasukannya
berhasil menyandera istri dan anak Ki Rangga, justru pasukan kita yang
bertempur di tepian sudah hancur terlebih dahulu.”
Panembahan Cahya Warastra tertawa tertahan mendengar kata
kata orang yang menjadi kepercayaannya itu. Kemudian jawabnya di sela sela
tawanya, “He! Apakah aku ini kau anggap anak kemarin sore?” Panembahan itu
berhenti sejenak, kemudian, “Tentu saja kita akan mengulur waktu beberapa saat
sebelum turun ke tepian. Sedangkan sebelum Matahari terbit, pasukan Ki Gede
sudah harus memasuki padukuhan induk Menoreh.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk
anggukkan kepalanya. Dalam hati dia memuji ketangkasan berfikir Panembahan
Cahya Warastra. Beberapa saat yang lalu dia masih digelisahkan oleh sosok yang
bernama Agung Sedayu itu, namun kini dia yakin Mataram benar-benar akan hancur.
“Pergilah,” perintah Panembahan kemudian, “Segera laksanakan
rencana ini. Ingat, pemberangkatan pasukan ke tepian kali Praga menunggu
perintahku.”
“Ya, Panembahan,” jawab Bango Lamatan, “Akan aku ingat
perintah itu.”
Bango Lamatan segera bangkit dari duduknya. Setelah
mengangguk hormat ke arah Panembahan Cahya Warastra, Bango Lamatan pun kemudian
beranjak meninggalkan bilik.
Sepanjang perjalanannya menuju tempat pondokan Ki Gede Ental
Sewu, Bango Lamatan sempat berangan angan apa kira-kira yang akan terjadi pada
Ki Rangga Agung Sedayu jika dia mengetahui istri dan anaknya menjadi sandera
Panembahan Cahya Warastra.
“Mungkin dia akan menjadi wuru dan mengamuk sejadi-jadinya,”
berkata Bango Lamatan dalam hati, “Dia akan menjadi orang yang sangat
nggegirisi dengan segenap ilmu yang akan ditumpahkan di medan pertempuran.
Namun justru itu penalarannya akan menjadi gelap dan penerapan ilmunya akan
menjadi tumpang suh sehingga Panembahan pasti dengan mudah akan dapat
membunuhnya.”
Tanpa terasa langkah Bango Lamatan telah mencapai rumah yang
disediakan untuk tempat pemondokan bagi Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya.
Dalam pada itu di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh di
dalam salah satu bilik yang terletak di ruang dalam rumah Ki Gede Menoreh,
Sekar Mirah sedang membangunkan Damarpati yang sedang tidur melingkar
beralaskan selembar tikar pandan di lantai bilik Sekar Mirah.
“He, Damarpati, bangunlah!” seru Sekar Mirah sambil
mengguncang guncang tubuhnya, “Sebentar lagi hari sudah pagi. Dengarlah, ayam
jantan telah berkokok untuk yang terakhir kalinya. Apakah kau tidak akan ikut
sembahyang berjamaah?”
Damarpati sejenak masih menggeliat sambil menyingkapkan kain
panjangnya yang digunakan untuk berselimut. Sambil menguap lebar-lebar akhirnya
Damarpati pun kemudian dengan bertelekan pada kedua tangannya telah mencoba
untuk duduk.
“Masih terlalu pagi,” desisnya tanpa sadar, “Apakah mBokayu
sudah mendengar adzan subuh?”
Sekar Mirah menggeleng, “Belum, namun aku yakin sebentar
lagi akan terdengar adzan subuh dari masjid Padukuhan induk.”
Masjid Padukuhan induk hanya terletak beberapa tombak saja
dari kediaman Ki Argapati. Semenjak adanya para pengungsi dari penghuni
padukuhan-padukuhan di dekat tepian kali Praga yang diduduki oleh para pengikut
Panembahan Cahya Warastra, masjid Padukuhan induk itu hampir tidak pernah sepi
dari Jama’ah yang datang untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba Tuhan
Yang Maha Agung.
“Aku akan ke pakiwan dulu,” berkata Damarpati kemudian
sambil bangkit berdiri. Sejenak dipandanginya bayi mungil yang tampak sehat
sedang tidur pulas di sebelah Sekar Mirah yang telah kembali merebahkan diri
setelah membangunkannya. Bayi laki-laki itu adalah harapan masa depan bagi
keluarga Ki Rangga Agung Sedayu.
“Apakah mBokayu belum menemukan nama yang cocok untuknya?”
bertanya Damarpati sambil membungkuk dan membelai belai pipi yang montok itu.
Sekar Mirah tersenyum. Jawabnya kemudian, “Biarlah Kakang
Agung Sedayu nanti yang memberinya nama. Aku memang sudah menyiapkan beberapa
nama, terserah apabila Kakang Agung Sedayu nanti berkenan memilih salah satu
atau bahkan mungkin dia mempunyai pilihan nama yang lain.”
Damarpati mengangguk anggukkan kepalanya. Hatinya ikut
gembira bahwa pasangan yang sudah memasuki usia senja itu ternyata masih
dikaruniai dan dipercaya untuk mengemban amanahNYA.
Dengan langkah perlahan agar tidak mengeluarkan suara
berisik yang dapat mengganggu tidurnya si kecil, Damarpati pun kemudian keluar
bilik. Dengan sangat hati-hati agar pintu bilik tidak sampai berderit nyaring,
Damarpati ternyata hanya membuka sedikit pintu bilik itu barang dua jengkal.
Kemudian dengan mengerutkan tubuhnya dia berusaha lolos keluar dari bilik
melalui celah pintu yang terbuka hanya selebar dua jengkal itu.
Tingkahnya itu ternyata telah membuat Sekar Mirah hampir
tergelak. Untung dia segera menyadarinya dan cepat-cepat menutup mulutnya
dengan kedua telapak tangannya.
Ketika kemudian Damarpati telah keluar bilik, dengan
tergesa-gesa diayunkan langkahnya menuju ke pakiwan yang terletak di halaman
belakang. Namun alangkah terkejutnya Damarpati ketika baru saja dia melangkah,
terdengar suara ribut-ribut di pendapa. Dengan segera langkahnya pun diputar
menuju ke pendapa.
Dalam pada itu di pendapa Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi
sedang menerima laporan dari pengawal yang bertugas sebagai pengawas penjagaan
terdepan. Gardu penjagaan terdepan itu terletak di padukuhan kecil sebelum
padukuhan induk. Setelah padukuhan kecil itu membentang bulak yang panjang
menuju padukuhan yang telah dikuasai oleh pengikut Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah yang kau lihat?” bertanya Ki Jayaraga kepada
pengawas itu.
“Kami bertiga telah melihat dalam keremangan malam sebuah
pasukan yang cukup besar sedang menuju Padukuhan induk,” jawab pengawas itu
sambil berusaha menguasai pernafasannya. Agaknya dia telah mengerahkan segenap
tenaganya untuk berlari menuju ke padukuhan induk sehingga nafasnya hampir
putus.
“Apakah kau dapat mengenali siapakah mereka itu?” kembali Ki
Jayaraga bertanya.
“Tidak, Ki,” jawab pengawas itu yang nafasnya mulai terlihat
teratur, “Pasukan itu kelihatannya masih cukup jauh, namun kami bisa
membedakannya dengan bayangan yang lain karena bayangan itu terlihat seperti
ombak yang memanjang dan mengalir dengan cepat menuju ke tempat kami.”
“Tadi kau katakan kalian bertiga, dimanakah kedua kawanmu?”
bertanya Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi hanya berdiam diri.
“Mereka tetap berada di tempat untuk mengawasi keadaan,”
dengan cepat pengawas yang sudah dapat menguasai diri itu menjawab, “Kalau
keadaan berkembang semakin buruk, mereka akan segera menghindar dari tempat
itu.”
“Bagaimana caranya? Bukankah itu sangat berbahaya ketika
musuh sudah semakin dekat?” kembali Kiai Sabda Dadi bertanya.
“Kami menyembunyikan seekor kuda di tempat yang agak jauh
dari gardu,” pengawas itu berhenti sejenak, lalu, “Karena hanya seekor, maka
aku memilih untuk berlari menuju ke padukuhan induk. Biarlah kuda itu nantinya
dipakai mereka berdua untuk dapat lolos dari tempat itu.”
Baru saja pengawas itu selesai bicara, tiba-tiba mereka yang
ada di pendapa itu telah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda yang terdengar
masih lamat-lamat memecah kesunyian malam yang semakin pudar. Semakin lama
suara derap kaki kuda itu semakin keras. Sejenak kemudian seekor kuda yang
berpacu bagaikan diburu hantu telah menerobos regol depan rumah Ki Gede
Menoreh.
Para pengawal yang berjaga jaga di regol depan segera
berloncatan menghindar ketika kuda dengan dua penunggang itu melompat memasuki
halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Begitu menyadari bahwa di pendapa rumah Ki Gede Menoreh
telah berkumpul beberapa orang yang kelihatannya sedang menunggu mereka berdua,
dengan cepat salah satu pengawas yang duduk di depan segera menarik kendali
kudanya.
Kuda itu meringkik keras-keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya keatas sebelum kemudian berhenti beberapa langkah saja di depan tangga
pendapa.
Dengan sigap kedua pengawas itu meloncat turun. Dibiarkannya
kuda itu terlepas begitu saja sehingga seorang pengawal dengan tergesa-gesa
segera meraih kendali kuda itu dan menuntunnya ke samping pendapa untuk diikat
di patok-patok yang telah disediakan.
“Ki Jayaraga,” hampir berteriak pengawas yang telah menaiki
tlundak pendapa itu berseru, “Pasukan musuh telah memasuki padukuhan kecil di
depan padukuhan induk.”
“Apakah kau sudah memberitahu pengawal yang berjaga jaga di
regol padukuhan induk?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.
“Sudah, Ki,” jawab Pengawas itu, “Mereka telah menempatkan
diri sesuai petunjuk Ki Jayaraga jika sewaktu waktu musuh menyerang padukuhan
induk.”
“Bagaimana dengan para pengawal yang ditempatkan di banjar
padukuhan induk dan tempat-tempat yang lain?”
“Beberapa penghubung telah disebar ke tempat para pengawal
itu berada. Kemungkinan saat ini para pengawal telah berkumpul di gerbang
padukuhan induk untuk menunggu perintah Ki Jayaraga.”
Ki Jayaraga mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya
sambil berpaling kepada Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelahnya, “Sebaiknya
Kiai Sabda Dadi tinggal di tempat saja. Biarlah aku dan beberapa pengawal ikut
membantu pertahanan di regol padukuhan induk.”
“Kami berdua mohon diijinkan untuk ikut,” tiba-tiba dari
arah gandhok kanan terdengar suara seseorang. Tampak Empu Wisanata dan Nyi
Dwani berjalan menaiki tlundak pendapa.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam melihat kedua orang
itu. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Apakah kalian berdua sudah tidak
lelah?”
Empu Wisanata lah yang menjawab sambil tertawa tertahan,
“Justru kami merasa sangat segar setelah beberapa saat bertamasya menikmati
indahnya alam.”
Yang mendengar jawaban Empu Wisanata itu tersenyum. Mereka
semua tahu bahwa kedua ayah dan anak itu baru saja menempuh perjalanan jauh,
namun mereka juga menyadari siapakah Empu Wisanata dan Nyi Dwani itu.
“Bagaimana dengan Ki Gede?” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi bertanya.
Sejenak Ki Jayaraga termenung. Kesehatan Ki Gede memang
telah berangsur angsur pulih setelah dirawat oleh Kiai Sabda Dadi, namun usia
Ki Gede` yang sudah sepuh dan terlebih lagi beban jiwani yang ada dalam hatinya
yang membuat pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu seolah olah sudah meletakkan
semangat hidupnya.
“Aku serahkan kepada Kiai Sabda Dadi untuk memberitahu Ki
Gede apa yang sebenarnya sedang terjadi,” akhirnya Ki Jayaraga memutuskan,
“Biarlah Ki Gede memperkuat pertahanan di rumah ini seandainya pertahanan di
padukuhan induk nanti tidak mampu menahan laju pergerakan lawan.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya. Terbesit di
benaknya seandainya pertahanan padukuhan induk jebol, rumah ki Gede ini akan
menjadi satu-satunya tempat untuk bertahan.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Siapkan kuda. Kita
akan segera ke gerbang padukuhan induk.”
Beberapa pengawal segera menuntun lima ekor kuda yang tegar
yang memang sudah disiapkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sejenak kemudian lima ekor kuda segera berderap meninggalkan
rumah ki Gede Menoreh menuju ke gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Damarpati yang sedang mengintip melalui
celah-celah pintu pringgitan terkejut ketika tiba-tiba saja pintu pringgitan
itu didorong dari luar. Dengan cepat dia mundur selangkah kebelakang ketika
tanpa disadarinya kakeknya telah berdiri di depannya.
“Ada apa Damar?” bertanya Kiai Sabda Dadi dengan sareh
ketika dilihatnya cucunya itu berdiri dengan gugup.
“Tidak ada apa-apa, Kek,” jawab Damarpati cepat untuk
menghilangkan kesan yang ada di wajahnya.
Kiai Sabda Dadi tersenyum, “Tidak baik untuk mencuri dengar
atau bahkan mengintip pembicaraan orang-orang tua,” Kiai Sabda Dadi berhenti
sejenak. Kemudian sambil menggandeng tangan Damarpati melangkah ke ruang dalam
dia melanjutkan, “Akan lebih baik jika kau bergabung dengan kami tadi. Sehingga
akan mendapat gambaran yang jelas apa yang sedang terjadi sekarang ini.”
“Tapi, Kek. Apakah aku diperkenankan untuk ikut dalam
pembicaraan orang-orang tua?”
“Itu akan ditentukan kemudian. Apakah pembicaraan itu
bersifat rahasia atau tidak. Ingat, disaat yang genting bagi keselamatan Tanah
Perdikan Menoreh, semua kekuatan diperlukan, namun semua itu akan diatur sesuai
dengan kebutuhannya dan tingkatannya.”
Tanpa terasa mereka berdua telah sampai di depan pintu bilik
Ki Argapati.
“Kembalilah ke bilik Nyi Sekar Mirah,” berkata Kiai Sabda
Dadi kemudian, “Beritahu Nyi Sekar Mirah agar berhati-hati. Musuh memang akan
menyerang padukuhan induk, namun tidak menutup kemungkinan kalau ada beberapa
orang yang berusaha menyusup ke rumah ini.”
Damarpati mengangguk, kemudian dengan tergesa-gesa dia
melangkah menuju ke bilik Sekar Mirah yang terletak agak di belakang dekat
dengan dapur.
Kiai Sabda Dadi yang mengawasi cucunya hilang dibalik pintu
ruang dalam itu termangu-mangu sejenak. Sejak dilatih Sekar Mirah sebelum
melahirkan, kemajuan Damarpati memang luar biasa. Pada dasarnya cucunya itu
sudah menguasai semua unsur gerak perguruan Glagah Tinutu, namun ada keseganan
pada dirinya untuk berlatih dibawah bimbingan kakeknya. Setelah bertemu dengan
Sekar Mirah dan mengetahui bahwa Sekar Mirah ternyata adalah pewaris dari
perguruan Kedungjati yang terkenal di masa kejayaan Demak lama, hatinya
tergerak untuk melatih ilmu yang telah diwarisinya dari kakeknya dibawah
tuntunan Sekar Mirah.
“Kiai,” tiba-tiba terdengar suara Ki Argapati dari dalam
bilik, “Aku mendengar ribut-ribut di luar dan derap beberapa ekor kuda
meninggalkan rumah ini. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Dengan segera Kiai Sabda Dadi melangkah dan mendorong pintu
bilik sehingga terbuka lebar. Setelah menutup pintu bilik itu kembali, Kiai
Sabda Dadi pun kemudian duduk di pembaringan bersebelahan dengan Ki Gede yang
ternyata juga telah duduk di atas pembaringannya.
“Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah
membetulkan letak duduknya, “Pengawas penjagaan terdepan telah melihat pasukan
Panembahan Cahya Warastra mendekati padukuhan induk. Sekarang ini Ki Jayaraga
sedang menuju ke sana untuk mengatur pertahanan. Sementara aku diberi tugas
untuk menjaga keamanan di lingkungan kediaman Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng
gelengkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesah perlahan seolah olah ditujukan
kepada dirinya sendiri, “Ini semua akibat kesalahanku di masa lalu. Seandainya
aku benar dalam mencarikan jodoh Pandan Wangi, Tanah Perdikan ini tidak perlu
uluran tangan orang lain untuk menjaga keamanannya.”
Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya, “Maksud Ki Gede?”
Ki Gede tersenyum, betapapun hambarnya, “Kenangan masa lalu
yang sudah tidak akan mungkin diulang, namun betapa pahitnya kalau dikenang.
Aku menjodohkan Pandan Wangi dengan angger Swandaru, murid kedua orang
bercambuk walaupun sebenarnya aku dapat membaca perasaan Pandan Wangi yang
lebih condong kepada Agung Sedayu, murid utama Kiai Gringsing,” sejenak Ki Gede
berhenti untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat
kering, “Justru setelah tahu bahwa Agung Sedayu sudah mempunyai ikatan dengan Sekar
Mirah, adik Swandaru, Pandan Wangi menerima begitu saja tanpa banyak
pertimbangan calon yang aku usulkan, Swandaru Geni anak Demang Sangkal Putung
yang kaya raya.”
Sejenak suasana menjadi sunyi, kedua orang itu masing-masing
tenggelam dalam lamunan mereka. Sementara malam beranjak menuju pagi, namun di
luar masih cukup gelap. Angin yang bertiup terasa sangat sejuk dan membelai
belai para pengawal yang berjaga jaga di kediaman Ki Gede Menoreh.
“Aneh,” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi berdesis perlahan.
“Ya,” sahut Ki Gede, “Alangkah sejuknya pagi ini. Rasa
rasanya aku ingin pergi tidur lagi.”
“Dan tidak ada seorang pun yang melantunkan adzan subuh,”
kembali Kiai Sabda Dadi berdesis sambil mengangkat kepalanya, kalau-kalau dia
mendengar suara lantunan adzan subuh dari masjid padukuhan induk.
“Sirep,” berkata Ki Gede tegas, “Ini sirep Kiai. Orang yang
sengaja menebarkan sirep ini benar-benar sangat mumpuni dalam mengusai ilmunya
ini. Dia menebarkan di saat orang-orang malas bangun sehingga dengan cepat
mereka yang tidak kuat batinnya akan tertidur pulas kembali.”
“Ada beberapa kemungkinan,” tambah Kiai Sabda Dadi, “Sirep
ini dilontarkan oleh beberapa orang sehingga kekuatannya menjadi berlipat
lipat.”
“Namun dengan demikian hanya orang-orang tertentu saja yang
mampu bertahan,” sahut Ki Gede, “Dengan demikian kalau ada orang yang bermaksud
jahat ingin memasuki rumah ini, tentu jumlahnya hanya beberapa saja, tidak
lebih dari lima orang.”
“Ya, itulah yang disebut dengan sirep maju pat, sirep yang
dilontarkan dari empat penjuru oleh empat orang yang berbeda.”
“Dengan demikian hanya empat orang itulah yang mampu
bertahan dengan kekuatan sirep gabungan mereka, kecuali orang-orang yang sudah
menyadari sebelumnya dan berusaha bertahan dari serangan ilmu sirep maju pat
ini.”
“Marilah kita lihat,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian
sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Marilah,” sahut Ki Gede.
Kedua orang tua itu pun kemudian dengan tergesa-gesa segera
keluar dari bilik. Tak lupa Ki Gede telah menyambar tombak pendeknya yang disandarkan
di pojok bilik dekat geledek.
Namun alangkah terkejutnya kedua orang yang sudah kenyang
makan asam garamnya kehidupan itu begitu mereka telah berada di luar bilik,
tiba tiba saja terdengar lengkingan tangis bayi yang menggeletar memecah
kesunyian malam menjelang pagi.
“Anak Sekar Mirah,” desis Ki Argapati dengan suara bergetar.
“Ya, anak itu,” sahut Kiai Sabda Dadi, “Segala puji bagi
KeAgunganNya yang telah membebaskan bayi itu dari segala pengaruh jahat.”
“Agaknya kesucian bayi itulah yang telah membebaskan dirinya
dari pengaruh ilmu sirep ini,” berkata Ki Argapati kemudian.
“Aku harap Sekar Mirah dapat bertahan,” Kiai Sabda Dadi
menambahkan, “Hubungan yang suci antara seorang ibu dan anak akan sangat
berpengaruh dalam hubungan sehari hari apalagi dalam menghadapi keadaan yang
gawat dan dapat membahayakan mereka.”
“Mari kita lihat keadaan mereka,” selesai berkata demikian
Ki Argapati segera berlari ke ruang belakang.
Begitu mereka sampai di depan bilik Sekar Mirah, dengan hati
hati agar tidak mengejutkan yang ada di dalam bilik, Ki Argapati mengetuk pintu
bilik perlahan lahan, kemudian semakin lama semakin keras.
“Pintu tidak diselarak,” tiba tiba terdengar suara Sekar
Mirah diantara lengkingan tangis bayinya.
Dengan cepat kedua orang itu membuka pintu bilik. Yang
tampak dalam pandangan pertama mereka adalah Sekar Mirah yang duduk di atas
pembaringan sedang berusaha dengan keras menenangkan bayinya, kemudian
Damarpati yang sedang tidur meringkuk di lantai beralaskan selembar tikar
pandan.
“Mirah,” berkata Ki Argapati, “Apakah kau mampu menenangkan
tangis anakmu?”
“Aku tidak tahu Ki Gede,” jawab Sekar Mirah sambil menimang
nimang bayi yang ada di gendongannya, “Aku baru saja terlelap ketika merasa ada
seseorang sedang membangunkan aku. Ketika aku terjaga, anak ini menangis
seperti baru saja melihat hantu.”
“Mendekatlah,” berkata Kiai Sabda Dadi sambil meraih sebuah
mangkuk dari tanah liat yang berisi air putih di atas geledek bambu. Setelah
membaca doa dan permohonan kepada Yang Maha Agung, dicelupkannya jari telunjuk
dan jari tengah Kiai Sabda Dadi ke dalam mangkuk itu.
Ketika kemudian Sekar Mirah turun dari pembaringan dan
mendekat ke arah Kiai Sabda Dadi, pemimpin perguruan Glagah Tinutu itu pun
kemudian mengusapkan jari jarinya yang sudah dibasahi dengan air dari mangkuk
itu tiga kali berturut turut di ubun ubun sang bayi.
Sejenak kemudian tangis itu pun mereda dan anak Sekar Mirah
yang belum genap sebulan itu pun segera tertidur lelap kembali.
“Alhamdulillah wa Syukurillah,” hampir bersamaan Kiai Sabda
Dadi dan Ki Argapati memuji dan mengucap syukur atas diperkenankannya doa
permohonan mereka.
“Sekarang marilah kita bangunkan Damarpati,” selesai berkata
demikian Kiai Sabda Dadi sekali lagi mencelupkan jari jarinya ke dalam mangkuk.
Namun kali ini seluruh telapak tangan Kiai Sabda Dadi dicelupkan ke dalam
mangkuk, kemudian telapak tangan yang basah itu diusapkan ke wajah Damarpati
sambil memanjatkan doa.
Sejenak kemudian Damarpati yang tertidur lelap itu
menggeliat. Ketika kemudian sekali lagi Kakeknya mengusap wajahnya, Damarpati
pun membuka matanya.
“Ada apa Kek?” tanyanya keheranan begitu menyadari di dalam
bilik itu ada Kiai Sabda Dadi dan Ki Argapati.
“Bangunlah,” perintah Kakeknya, “Kawani Nyi Sekar Mirah.
Malam yang tinggal sepotong ini agaknya telah dimanfaatkan oleh orang orang
yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan rencana jahat mereka.”
“Rencana apakah itu, Kek?” bertanya Damarpati kembali sambil
bangkit berdiri. Kini kesadarannya telah benar benar pulih kembali.
“Aku belum tahu,” jawab Kakeknya, “Tetapi tidak ada salahnya
kalau kita berhati hati karena seseorang atau mungkin lebih telah menebarkan
sirep yang sangat kuat di sekeliling rumah ini.”
“Sirep?” hampir bersamaan Damarpati dan Sekar Mirah
mengulang.
“Ya,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Berhati hatilah. persiapkan
senjata kalian untuk menjaga segala kemungkinan.”
Kedua perempuan itu mengangguk.
“Nah, sekarang marilah kita ke pendapa,” Ki Argapati yang
sedari tadi hanya diam saja menyela.
“Marilah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi.
Demikianlah setelah memberi beberapa pesan, kedua orang tua
itu segera bergeser menuju ke pendapa.
Ki Argapati masih sempat melongok ke pintu dapur sebelum
menuju ke ruang tengah. Apa yang dilihatnya benar benar membuat Kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu menggeleng gelengkan kepalanya. Beberapa perempuan yang
sudah terbangun dan sedang memasak serta menyiapkan keperluan untuk sarapan
pagi telah jatuh tertidur. Ada yang tidur sambil menggenggam pisau, ada yang
justru tertelungkup di amben besar sambil merangkul mangkuk mangkuk kotor yang
belum sempat dibersihkan, dan yang lebih menggelikan adalah perempuan yang
sedang menjerang air. Dia tertidur tertelungkup di depan tungku yang belum
sempat dinyalakan, sementara hampir sekujur tubuhnya basah kuyup tertuang air
dari lodong lodong bambu yang dibawanya.
Namun Ki Argapati tidak sempat merenungi semua itu, dengan
setengah berlari disusulnya Kiai Sabda Dadi yang telah terlebih dahulu mencapai
pendapa.
Dalam pada itu, suara tangis bayi yang terdengar beberapa
saat itu ternyata terdengar pula oleh beberapa orang yang sedang mendekati
rumah Ki Gede Menoreh.
“Persetan dengan tangis bayi itu,” geram seseorang yang
kelihatannya tertua diantara mereka berempat.
“Kakang Bango Lamatan,” berkata orang yang di sebelahnya
kepada orang yang mengumpat tadi yang ternyata adalah Bango Lamatan, “Mengapa
orang orang dewasa lebih mudah terpengaruh sirep dari pada seorang bayi?”
“Karena orang dewasa itu banyak dosanya,” jawab Bango
Lamatan asal saja. Kemudian lanjutnya, “Sudahlah, sekarang kita membagi tugas.
Putut Luarsa yang sudah pernah melihat orang yang bernama Sabda Dadi itu harus
memancingnya untuk bertempur di halaman. Jangan bertempur sendirian, Ki Lurah
Sanggabaya dapat membantumu. Putut Gagat Rahina bertugas memasuki bilik Argapati
dan sekaligus membunuh orang yang sudah sakit sakitan itu. Sedangkan aku
sendiri yang akan memasuki bilik Sekar Mirah dan sekaligus menculik bayinya.”
Keempat orang itu memang para pengikut Panembahan Cahya
Warastra. Putut Luarsa dan Putut Gagat Rahina adalah murid utama Panembahan
Cahya Warastra yang masih tinggal di padepokan. Sedangkan Bango Lamatan adalah
orang luar perguruan Cahya Warastra yang karena kelebihan ilmunya telah
diangkat oleh Panembahan Cahya Warastra sebagai pembantu utamanya. Sementara Ki
Lurah Sanggabaya adalah murid dari perguruan lain yang telah mengabdikan
dirinya pada pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh dan mempunyai
kepentingan yang sama dengan Panembahan Cahya Warastra untuk menghancurkan
Mataram.
“Bagaimana dengan Ki Jayaraga?” bertanya Putut Luarsa.
“Setan tua itu pasti pergi ke gerbang Padukuhan induk untuk
membunuh diri,” jawab Bango Lamatan sambil tertawa, “Dia lah yang paling
bertanggung jawab atas keamanan Tanah Perdikan ini, sehingga aku yakin dia
tidak ada di rumah Ki Gede.”
“Bagaimana jika orang yang bernama Sabda Dadi itu juga ikut
ke gerbang padukuhan induk?” kali ini Ki Lurah Sanggabaya yang bertanya.
Bango Lamatan kembali tertawa. Katanya kemudian, “Itu
berarti tugas kita sangat ringan dan cepat selesai, suwe mijet wohing ranti.”
Ketiga orang yang bersama Bango Lamatan itu mengangguk
angguk. Diam diam dalam hati mereka memuji kecerdikan Panembahan Cahya
Warastra. Dengan memancing kekuatan Menoreh ke Gerbang padukuhan induk,
penjagaan di rumah Ki Gede Menoreh menjadi sangat lemah sehingga dengan mudah
mereka dapat melaksanakan rencana penculikan itu.
Tak terasa keempat pengikut Panembahan Cahya Warastra itu
telah sampai di depan regol kediaman Ki Gede Menoreh. Dengan tenangnya mereka
berempat memasuki regol yang sepi. Para pengawal yang berjaga jaga tampak tidur
silang melintang di sekitar pintu regol.
Dengan senyum penuh kemenangan mereka berempat segera
melintasi halaman yang cukup luas menuju ke pendapa.
Namun dalam keremangan pagi yang masih cukup gelap itu
mereka berempat dikejutkan oleh sebuah sapaan dari arah pendapa.
“Selamat datang para Ki Sanak di rumahku yang buruk ini,”
seseorang yang berperawakan tinggi besar sambil menggenggam tombak pendek di
tangan kanannya menyapa, “Ma’af atas sambutan yang deksura ini. Silahkan naik
ke pendapa, kami sudah menunggu kalian sedari tadi.”
Sejenak, keempat pengikut Panembahan Cahya Warastra itu
tertegun. Dalam keremangan pagi di bawah sinar dlupak yang tergantung di
tengah-tengah pendapa, tampak orang yang selama ini mereka anggap tergolek tak
berdaya di pembaringan ternyata dalam keadaan segar bugar dengan senjata
andalannya sebuah tombak pendek tergenggam erat di tangan kanannya.
Sementara di sebelah kirinya berdiri pemimpin perguruan
Glagah Tinutu dari pegunungan Kendeng yang selama ini namanya telah
menggetarkan sebagian pengikut Panembahan Cahya Warastra, Kiai Sabda Dadi.
“Marilah,” geram Bango Lamatan sambil melangkah menuju
pendapa, “Mereka hanya berdua dan kita berempat. Tidak akan banyak membuang
waktu, suwe mijet wohing ranti.”
Ketiga kawannya segera mengikuti langkah Bango Lamatan
menuju ke pendapa.
Ketika keempat orang itu sudah semakin mendekati pendapa,
Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelah Ki Gede telah berbisik, “Ki Gede, apa
tidak sebaiknya kita sambut mereka di halaman saja yang lebih luas?”
“Tidak, Kiai,” jawab Ki Gede juga dengan berbisik, “Aku
sengaja ingin membuat keributan di atas pendapa ini agar Sekar Mirah
mendengarnya dari ruang tengah dan segera mengambil sikap jika memang
diperlukan.”
“Maksud Ki Gede agar Sekar Mirah dan Damarpati menyingkir?”
“Tentu tidak,” jawab Ki Gede perlahan, “Betapapun juga kita
berdua melawan empat orang adalah suatu pekerjaan yang sangat berat,” Ki Gede
berhenti sejenak, kemudian, “Seandainya Ki Waskita ada diantara kita.”
“Bukankah pengawal yang telah menghubungi Ki Waskita telah
menyampaikan laporannya?” kembali Kiai Sabda Dadi bertanya dengan suara yang
pelan.
“Ya, Ki Waskita sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan
jauh. Ternyata setinggi apapun ilmu seseorang, tidak dapat untuk melawan
waktu.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, “Ya Ki Gede, kita berdua ini juga sedang menunggu waktu.”
Ki Gede tersenyum, namun ada satu hal yang masih memberati
hatinya, Sekar Mirah baru saja melahirkan, tentu kesehatannya belum pulih
seperti sediakala. Jika harus bertempur melawan salah satu dari empat orang
yang memasuki rumahnya, Ki Gede meragukan kesiapan Sekar Mirah.
Dalam pada itu keempat orang itu telah menaiki tlundak
pendapa. Dengan sikap yang deksura keempatnya segera berdiri di depan Ki Gede
dan Kiai Sabda Dadi dengan bertolak pinggang.
“Selamat datang Ki Sanak semua,” berkata Ki Gede begitu
keempat orang itu telah berdiri di depannya, “Agaknya kalian mempunyai
kepentingan yang khusus dengan kami berdua sehingga kalian memandang perlu
untuk menidurkan seluruh pengawal dan penghuni rumah ini.”
“Persetan dengan semua itu,” umpat Bango Lamatan,
“Kedatangan kami memang mempunyai maksud yang khusus, namun sebaiknya kalian
tidak usah mengerti. Yang harus kalian mengerti dan sadari adalah bahwa umur
kalian tidak akan bertahan sampai matahari terbit.”
“Persetan dengan semua itu,” umpat Bango Lamatan,
“Kedatangan kami memang mempunyai maksud yang khusus, namun sebaiknya kalian
tidak usah mengerti. Yang harus kalian mengerti dan sadari adalah bahwa umur
kalian tidak akan bertahan sampai Matahari terbit.”
Ketiga kawan Bango Lamatan tertawa sementara Ki Gede Menoreh
dan Kiai Sabda Dadi mengerutkan kening dalam-dalam. Mereka berdua mencoba mengingat-ingat
siapakah keempat tamu yang tak diundang itu. Namun baik Ki Gede maupun Kiai
Sabda Dadi rasa rasanya belum pernah bertemu dengan keempat orang itu.
Ki Lurah Sanggabaya sempat berdebar-debar ketika Kiai Sabda
Dadi memandangnya dengan tajam. Namun karena Ki Lurah tidak sedang mengenakan
baju keprajuritannya dan dengan sengaja ikat kepalanya diikatkan terlalu rendah
sehingga hampir menutupi seluruh keningnya, serta hari juga masih terlalu pagi
sehingga pengenalan Pemimpin Padepokan Glagah Tinutu itu menjadi sedikit kabur.
“Baiklah Ki Sanak semua,” kini yang berbicara adalah Kiai
Sabda Dadi, “Apakah tidak sebaiknya kita saling memperkenalkan diri terlebih
dahulu?”
“Itu tidak perlu,” sahut Putut Gagat Rahina cepat dengan
setengah membentak, “Maksud kami datang ke sini tentu sudah sangat jelas bagi
kalian, yaitu membunuh kalian berdua, orang orang tua yang sudah tidak berguna
lagi. Selebihnya kami juga tahu bahwa di rumah ini tentu tersimpan harta benda,
emas berlian yang tak terhitung jumlahnya.”
“Aku tidak yakin kalau memang itu tujuan kalian datang
kemari,” kini Kiai Sabda Dadi lah yang memotong, “Kalian tentu bukanlah sejenis
pencuri yang datang dengan mengendap-endap dan menunggu pemilik rumah lengah.
Kalian mempunyai ilmu yang cukup tinggi menilik dari ilmu sirep yang kalian
tebarkan. Aku justru menduga kalian ada hubungannya dengan mereka yang sedang
melakukan penyerbuan ke padukuhan induk.”
Keempat orang itu saling berpandangan beberapa saat sebelum
tawa mereka meledak berkepanjangan. Akhirnya Bango Lamatan lah yang menjawab,
“Terserah kalian berdua menduga-duga siapakah kami ini. Namun yang jelas kalian
akan segera menemui kematian sebelum sinar Matahari yang pertama menggapai
pucuk pucuk pepohonan.”
“Jangan membual Ki Sanak,” sahut Kiai Sabda Dadi tak kalah
lantang, “Marilah kita buktikan siapa dulu yang terkapar sebelum Matahari
terbit.”
Selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi segera bergeser
menjauh dan turun dari pendapa sambil berkata, “Lebih baik kita bertempur di
halaman yang luas. Aku tidak memilih lawan, silahkan dua di antara kalian
menemani aku bermain-main.”
Kata-kata Kiai Sabda Dadi yang mantap itu telah menggetarkan
jantung keempat orang yang mendatangi rumah Ki Gede. Namun mereka tetap
berbesar hati karena mereka merasa menang dalam hal jumlah.
Sementara Ki Gede telah melangkah setapak ke depan sambil
menjulurkan tombak pendeknya ke depan kedua lawannya, Putut Luarsa dan Putut
Gagat Rahina.
“Gila,” geram Putut Luarsa, “Apakah Ki Gede ingin membunuh
diri?”
Ki Gede tertawa, “Ki Sanak berdua. Aku sadar kalian masih
muda dan mungkin mempunyai bekal yang cukup. Namun ingat, pengalaman adalah
guru yang terbaik, dan aku sudah kenyang pengalaman dalam segala medan, bahkan
medan yang terberat sekalipun.”
“Persetan dengan ocehanmu,” geram Putut Gagat Rahina,
“Berdoalah agar kematianmu tidak menyakitkan.”
“Aku selalu berdoa Ki Sanak,” jawab Ki Gede, “Do’a untuk
keselamatanku dan keluargaku.”
“Tutup mulutmu, orang tua! Kematianmu sudah di ubun-ubun
masih banyak berkilah,” teriak Putut Luarsa sambil mencabut senjatanya, sebuah
pedang yang memancarkan warna kebiru-biruan.
Melihat kawannya telah mencabut senjatanya, Putut Gagat
Rahina pun segera mencabut senjatanya pula, sebuah keris yang berukuran besar
berluk sembilan. Keris itu tampak memancarkan warna merah yang redup seperti
bara yang setengah padam.
Melihat kedua lawannya telah mencabut senjatanya, Ki Gede
segera menggerakkan ujung tombaknya berputar setengah lingkaran kemudian
disilangkannya tombak itu di depan dada. Tangan kiri Ki Gede menggenggam
tangkai tombak itu tepat di tengah-tengahnya, sedangkan tangan kanan Ki Gede
menggenggam erat pada pangkalnya.
Sejenak kemudian kedua lawan Ki Gede telah berpencar. Mereka
tahu kelemahan Ki Gede terletak pada usia yang sudah lanjut. Dengan
pertimbangan ini mereka akan memancing Ki Gede untuk bergerak terus sehingga
akan kehabisan nafas dengan sendirinya.
Ki Gede menyadari kalau lawan-lawannya akan memancingnya
untuk bertempur dengan mempertahankan jarak agar dirinya banyak bergerak untuk
mengejar lawan sehingga akan terkuras tenaganya. Namun pengalaman dan sejalan
dengan penyakit timpangnya yang sering kambuh kalau Ki Gede banyak menggerakkan
kakinya, maka Ki Gede telah mengkhususkan ilmunya pada permainan tombaknya.
Ketika kedua lawannya mulai memutar senjata mereka, Ki Gede
segera bergeser setapak mundur agar pandangan matanya tidak kesulitan mengawasi
gerak lawannya yang dengan cerdik telah menempatkan diri di sisi kanan dan kiri
Ki Gede dalam satu garis serangan.
“Apakah Ki Gede akan berubah pikiran?” tiba-tiba Putut
Luarsa bertanya sambil mengangkat pedangnya lurus ke depan, siap untuk
melancarkan sebuah serangan dahsyat.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kembali dia harus
bergeser setapak mundur ketika Putut Gagat Rahina juga bergeser setapak ke
samping.
“Sudahlah,” jawab Ki Gede kemudian, “Hidup dan mati ini
adalah kuasa Yang Maha Agung. Manusia tidak berhak untuk menentukan. Marilah
kita selesaikan urusan kita ini. Sebelum Matahari terbit, aku harap semuanya
sudah selesai.”
“Ya,” Putut Gagat Rahina lah yang menyahut, “Dua mayat akan
segera terbujur di halaman ini.”
Ki Gede tersenyum. Katanya kemudian, “Kau benar Ki Sanak,
dua mayat akan segera terbujur di pendapa ini, selebihnya di halaman juga akan
segera menyusul.”
“Tutup mulutmu!” bentak Putut Luarsa. Agaknya dia sudah
tidak dapat menahan diri lagi. Dengan sebuah loncatan yang panjang
dijulurkannya pedangnya menggapai dada Ki Argapati.
Ki Gede yang sudah waspada segera menyambut pedang Putut
Luarsa dengan tombak pendeknya. Namun ternyata lawannya hanya memancing
perhatian Ki Gede. Ketika senjata mereka hampir berbenturan, ternyata Putut
Luarsa justru telah menarik pedangnya. Dengan merendahkan tubuhnya condong ke
depan, justru kaki Putut Luarsa lah yang sekarang menyapu kaki kiri Ki Gede.
Sementara Putut Gagat Rahina yang melihat saudara
seperguruannya telah mulai menyerang, segera mempersiapkan diri. Ketika Ki Gede
menggeser kakinya untuk menghindari sapuan Putut Luarsa, Putut Gagat Rahina
dengan cepat meloncat menyerang lambung Ki Gede yang terbuka dengan keris luk
sembilannya yang nggegirisi.
Mendapat serangan dari Putut Rahina, Ki Gede tidak menjadi
gugup. Ki Gede tidak sempat menggeser ujung tombaknya untuk menangkis ujung
keris Putut Gagat Rahina yang tinggal beberapa jengkal dari lambungnya. Ki Gede
dengan cepat menggeser tangan kanannya ke tengah-tengah tombak dan menggunakan
pangkal landeyan tombaknya untuk menangkis keris Putut Gagat Rahina.
Benturan itu ternyata telah mengejutkan murid perguruan
Cahya Warastra itu. Kekuatan yang tersimpan di dalam diri Pemimpin Tanah
Perdikan Menoreh itu memang luar biasa. Hampir saja keris di tangan Putut
Rahina itu terlepas.
Dengan tergesa-gesa Putut Rahina meloncat mundur. Betapa
tangan yang menggenggam keris itu bagaikan terbakar sehingga hampir saja
senjatanya terlepas dari genggaman.
Demikianlah sejenak kemudian Ki Gede harus benar-benar
menguras seluruh ilmunya untuk menghadapi kedua Putut dari perguruan Cahya
Warastra itu. Kedua Putut itu dengan lincahnya menyerang dengan mengitari Ki
Gede Menoreh yang tidak banyak bergerak. Hanya sesekali Ki Gede bergeser surut,
kadang melangkah ke samping untuk mengimbangi gerak lawannya. Ketika kemudian
lawan-lawannya itu memancingnya untuk bergerak lebih jauh dengan meloncat
mundur, Ki Gede tidak memburunya dengan sebuah serangan, Ki Gede justru hanya
menggunakan ujung tombak pendeknya untuk menggapai lawan lawannya yang meloncat
mundur.
“Setan tua!” geram Putut Luarsa, “Kau hanya memperlambat
kematianmu saja.”
Ki Gede tidak menanggapi, dipusatkannya segala nalar dan
budinya untuk mengungkapkan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya untuk
menghadapi serangan ke dua Putut itu yang segera datang membadai.
Dalam pada itu di halaman, Kiai Sabda Dadi yang telah
melihat ki Gede bertempur sengit melawan ke dua Putut itu telah menahan nafas
sejenak. Namun ketika Kiai Sabda Dadi menyadari siasat yang digunakan oleh Ki
Gede dalam menghadapi lawan-lawannya, Pemimpin perguruan Glagah Tinutu itu pun
yakin bahwa Ki Gede akan mampu bertahan.
“Ki Sanak berdua,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berkata kepada
kedua lawannya yang masih berdiri termangu-mangu memperhatikan pertempuran yang
sedang berlangsung di pendapa, “Apakah kita cukup menjadi penonton yang baik,
ataukah kita segera ikut dalam permainan yang tidak jelas tujuannya ini?”
“Sudah aku katakan sedari tadi,” jawab Bango Lamatan setelah
pandangan matanya berpindah dari pendapa ke Kiai Sabda Dadi yang berdiri di
depannya, “Apapun alasannya, kami akan membunuh kalian. Melawan ataupun tidak
melawan.”
“Terima kasih,” berkata Kiai Sabda Dadi perlahan, “Ternyata
masih ada orang yang memperhatikan kami dan menganggap kami berdua orang-orang
yang berbahaya sehingga harus dimusnahkan dari muka bumi ini.”
“Omong kosong!” bentak Bango Lamatan, “Justru karena kami
menganggap kalian berdua sudah tidak berguna lagi, kami perlu melenyapkan
kalian dari muka bumi ini.”
“O,” gumam Kiai Sabda Dadi sambil mengangguk anggukkan
kepalanya, “Ternyata kalian masih memerlukan empat orang untuk melenyapkan kami
berdua yang sudah tidak berguna ini.”
“Gila!” bentak Bango Lamatan dan Ki Lurah Sanggabaya hampir
bersamaan.
“Orang tua,” kini ki Lurah Sanggabaya yang berkata, “Jangan
sesali nasibmu. Sebaiknya kau menyerah saja agar jalan kematianmu menuju alam
kelanggengan menjadi lapang.”
“Terima kasih atas nasehat Ki Sanak,” sahut Kiai Sabda Dadi
sambil tersenyum kecil, “Tetapi aku sudah terlanjur memutuskan untuk
mempertahankan diri, bahkan kalau terpaksa aku harus membunuh kalian berdua.”
“Persetan!” geram kedua lawan Kiai Sabda Dadi itu, “Ternyata
kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui. Jangan menyesal
umurmu tidak akan lebih dari sepenginang sirih.”
Selesai berkata demikian, kedua lawan Kiai Sabda Dadi itu
pun tidak mau membuang-buang waktu lagi. Segera saja mereka berpencar dan
mengambil ancang-ancang untuk memulai sebuah serangan.
“Cabut senjatamu,” berkata Bango Lamatan, “Aku tidak
terbiasa menggunakan senjata. Kedua tanganku ini sudah lebih dari cukup untuk
mencabut nyawa tuamu.”
Kiai Sabda Dadi menggeleng, “Aku juga tidak terbiasa
menggunakan senjata. Aku pernah membunuh seseorang hanya dengan tanganku,
bahkan aku pernah membunuh seseorang tanpa menyentuhnya sama sekali.”
“Omong kosong!” bentak Bango Lamatan menggelegar, “Kau boleh
menyombongkan diri di hadapan orang lain, tetapi tidak di hadapan Bango
Lamatan. Kesombonganmu akan berakhir dengan kematian yang mengerikan.”
Kiai Sabda Dadi justru telah tersenyum lebar. Katanya
kemudian, “Nah, bukankah Ki Sanak telah memperkenalkan diri kepadaku, walaupun
aku belum tahu siapakah sebenarnya Bango Lamatan itu? Akan tetapi setidaknya
aku dapat mengabarkan bahwa yang menemui ajal di halaman rumah Ki Gede adalah
Bango Lamatan, sehingga keluarganya bisa mencarinya ke sini.”
“Tutup mulutmu!” justru Ki Lurah Sanggabaya yang tidak dapat
menahan diri lagi. Kebenciannya kepada Kiai Sabda Dadi sejak kematian Ki Harga
Jumena benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun. Dengan teriakan yang menggelegar,
Ki Lurah meloncat menerjang Kiai Sabda Dadi.
Kiai Sabda Dadi sama sekali tidak terkejut mendapat serangan
yang disertai dengan tiupan angin yang menderu itu. Ketika kaki kanan Ki Lurah
Sanggabaya yang terjulur lurus itu hampir menyentuh dadanya, Kiai Sabda Dadi
segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Benturan yang dahsyat pun segera terjadi. Kiai Sabda Dadi
yang mengerahkan tenaga hanya setengahnya ternyata telah terdorong beberapa
langkah kebelakang sebelum akhirnya kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya
yang kokoh.
Sementara Ki Lurah Sanggabaya yang telah mengerahkan segenap
kemampuannya ternyata telah terpelanting ke belakang. Tenaganya seolah-olah
telah membentur dinding baja setebal satu jengkal sehingga tenaganya sendiri
telah berbalik menghantam dirinya.
Sejenak Ki Lurah Sanggabaya yang jatuh terbanting itu telah
menggeliat. Kemudian sambil menggeram dia pun berusaha bangkit berdiri.
Bango Lamatan yang menyaksikan benturan itu menjadi
berdebar-debar. Ki Lurah Sanggabaya yang menurut pengamatannya sudah termasuk
seorang Lurah yang berilmu tinggi ternyata di hadapan Kiai Sabda Dadi sama
sekali tidak mengejutkan. Dengan melihat akibat dari benturan itu Bango Lamatan
dapat mengukur betapa tingkat kemampuan Kiai Sabda Dadi jauh di atas Ki Lurah
Sanggabaya.
“Ki Sanak,” akhirnya Bango Lamatan berkata, “Kita memang
belum pernah saling mengenal dan juga belum pernah saling bersengketa, namun
keadaanlah yang mendorong kita berdiri berseberangan. Aku tidak banyak waktu,
sebelum Matahari terbit semuanya harus sudah selesai.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Kiai Sabda
Dadi, Bango Lamatan segera bersiap. Dia tidak akan memulai dari tingkatan yang
paling bawah kemudian naik selapis demi selapis, namun Bango Lamatan sudah
mendapat gambaran serba sedikit tentang kemampuan Kiai Sabda Dadi, sehingga dia
akan menyerang langsung pada tataran tinggi dari ilmunya.
Kiai Sabda Dadi menyadari sepenuhnya bahwa orang yang
menyebut dirinya Bango Lamatan ini tidak dapat disamakan dengan kawannya yang
baru saja terlempar akibat benturan dengan dirinya. Maka Kiai Sabda Dadi pun
segera meningkatkan kemampuannya untuk melawan ilmu Bango Lamatan.
Sejenak kemudian Bango Lamatan telah meloncat menyerang
dengan telapak tangan terbuka mengarah ke dada. Terasa udara yang panas dan
padat menyertai serangan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra ini.
Kiai Sabda Dadi sadar akan bahaya udara panas dan terasa
padat itu apabila sempat menyentuh dadanya. Dengan sedikit memiringkan
tubuhnya, cucu Panembahan Kalijenar itu telah mengayunkan tangannya memotong
serangan Bango Lamatan dengan kekuatan angin yang sedingin banyu sewindu.
Terkejut Bango Lamatan ketika menyadari angin yang sangat
dingin menembus udara panas yang diciptakannya. Bahkan dinginnya udara itu
terasa menggigit kulitnya.
“Gila!” umpatnya.
Dengan cepat ditariknya tangan kanannya dan sebagai gantinya
kaki kirinya terayun mendatar mengarah ke lambung.
Kiai Sabda Dadi tidak ingin lambungnya menjadi sasaran kaki
lawannya. Dengan bertumpu pada kaki kirinya, dia bergeser kesamping selangkah.
Begitu kaki lawannya lewat sejengkal dari lambungnya, tangan Kiai Sabda Dadi
bergerak mencengkeram pundak.
Demikianlah kedua orang yang mumpuni itu saling serang silih
berganti. Sementara Ki Lurah Sanggabaya yang merasa kemampuannya jauh di bawah
kedua orang yang sedang bertempur itu masih berdiri termangu mangu di luar
lingkaran pertempuran.
“Lebih baik aku tidak usah melibatkan diri,” berkata Ki
Lurah dalam hati, “Aku akan memasuki rumah Ki Gede dan mencari di mana bayi itu
berada.”
Berpikir sampai disitu, Ki Lurah segera bergeser menuju ke
gandhok kiri. Kemudian setelah menyusuri lorong di antara rumah induk dan
gandhok kiri, Ki Lurah telah menemukan sebuah pintu butulan yang langsung
menuju ke ruang dalam.
Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede yang melihat sekilas salah
seorang dari mereka telah menyusup ke dalam rumah induk melalui pintu samping
telah menjadi gelisah. Mereka mengkawatirkan kesiapan sekar Mirah dan
Damarpati.
“Kalau Sekar Mirah belum siap untuk bertempur, Damarpati aku
kira akan dapat mengatasinya, menilik kemampuan orang itu yang tidak terlalu
mengejutkan ketika berbenturan denganku tadi,” demikian Kiai Sabda Dadi
berpikir.
Sementara Ki Gede yang sedang menghadapi kedua Putut itu
justru telah menjadi gelisah karena Ki Gede belum dapat mengikat kedua lawannya
dalam sebuah pertempuran yang dahsyat, sehingga sewaktu waktu salah seorang
lawannya dapat meninggalkan arena pertempuran dan menyusul kawannya yang
terlebih dahulu telah memasuki rumah lewat pintu butulan samping.
Agaknya kedua Putut yang garang itu sempat melihat
pergerakan Ki Lurah Sanggabaya yang menyelinap ke samping kiri bangunan induk,
sehingga tiba-tiba Putut Luarsa telah meloncat mundur sambil berkata, “Adi
Putut Gagat Rahina, tahanlah orang tua ini, aku akan ke dalam agar tugas kita
segera selesai.”
Tanpa menunggu jawaban saudara seperguruannya, dengan
beberapa kali loncatan Putut Luarsa telah berada di depan pintu pringgitan,
pintu yang menghubungkan pendapa dengan ruang pringgitan.
Ki Gede mencoba menghalangi langkah Putut Luarsa namun
serangan yang membadai dari Putut Gagat Rahina telah memaksa Ki Gede untuk
menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapi lawannya yang tinggal seorang
namun kegarangannya sangat ngedab-edabi.
Ki Gede menggeram keras. Baru kali ini pemimpin Tanah
Perdikan Menoreh yang biasanya sabar dan sareh ini tidak dapat menahan
kegelisahannya. Betapapun juga keselamatan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu
menjadi tanggung jawabnya. Sementara Ki Gede merasa tidak dapat mengharapkan
bantuan dari siapapun karena pengaruh sirep yang begitu kuat dan tajam sehingga
seluruh penghuni rumah Ki Gede bahkan rumah-rumah yang berdekatan telah
tertidur lelap tanpa mengetahui kejadian di sekitarnya.
Ternyata kegelisahan dan kemarahan yang tertahan dalam dada
Ki Gede telah terungkap dalam tandangnya yang dilambari dengan ilmu perguruan
Menoreh yang dahsyat. Tombak pendek Ki Gede berputar cepat sehingga dalam
pandangan mata lawannya, ujung tombak itu menjadi berpuluh-puluh dan semua
mengarah ke bagian tubuhnya yang berbahaya. Kabut yang tipis dan berwarna
kemerah-merahan seolah-olah muncul dalam gulungan putaran tombak yang mengurung
Putut Gagat Rahina.
Ketika Putut Gagat Rahina untuk kesekian kalinya mencoba
menekan Ki Gede dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya, ternyata Ki Gede
telah mengungkapkan puncak ilmu tombaknya. Puncak ilmu yang sama dengan yang
dimiliki oleh Pandan Wangi yang ditemukan dari hasil perenungannya akan inti
sari dari ilmu jalur perguruan Menoreh. Di bawah bimbingan Kiai Gringsing waktu
itu, Pandan Wangi telah mampu mengungkapkan puncak ilmunya. Pandan Wangi telah
mampu menyalurkan getaran ilmunya mendahului bentuk wadag dari senjatanya,
sehingga lawan yang tidak menyadari akan tersentuh oleh kekuatan ilmunya itu
sebelum bentuk wadag dari senjata Pandan Wangi menyentuh lawannya.
Sebenarnyalah itu adalah puncak ilmu perguruan Menoreh. Ki
Gede telah mewariskan seluruh ilmu perguruan Menoreh kepada Pandan Wangi.
Dasar-dasar pengetrapan ilmu itu telah diwariskan kepada satu satunya anak
perempuan Ki Gede, namun dalam pengembangannya, Pandan Wangi harus mencari
sendiri, mendalaminya sendiri untuk menemukan jati diri dari ilmunya itu.
Demikianlah ketika Putut yang garang itu meloncat tinggi
sambil menjulurkan keris luk sembilan di tangannya lurus mengarah dada, Ki Gede
telah bertekat untuk segera mengakhiri pertempuran itu. Dengan cepat
diangkatnya tombak pendek itu untuk menangkis keris yang meluncur bagaikan
tatit yang meloncat di udara. Namun Ki Gede tidak memberi kesempatan kepada
lawannya untuk memperbaiki kedudukannya begitu benturan itu terjadi. Dengan
memutar tombaknya untuk melibat keris di tangan lawannya, Ki Gede melanjutkan
serangan ujung tombaknya mengarah ke dada.
Putut Gagat Rahina yang tidak menyadari ungkapan ilmu dari
Ki Gede telah menarik kerisnya agar tidak terlibat oleh putaran tombak itu.
Ketika kemudian ujung tombak Ki Gede meluncur mematuk dadanya, dengan sedikit
memiringkan tubuhnya, Putut Gagat Rahina mencoba menghindarkan dadanya dari
patukan ujung tombak Ki Gede.
Namun alangkah terkejutnya murid perguruan Cahya Warastra
itu. Menurut perhitungannya ujung tombak itu masih sejengkal dari dadanya,
namun ketika dia telah memiringkan tubuhnya, terasa sesuatu telah menggores
dadanya.
Dengan cepat Putut Gagat Rahina meloncat ke belakang untuk
melihat apa yang terjadi dengan dadanya. Namun kini Ki Gede tidak mau
melepaskan lawannya. Berbeda dengan pada saat Ki Gede harus melawan dua orang
sekaligus, Ki Gede benar-benar harus memperhitungkan setiap gerak langkahnya.
Kini setelah lawannya tinggal seorang saja, Ki Gede merasa bebas untuk
mengembangkan serangannya.
Ketika lawannya sedang meloncat ke belakang untuk melihat
apa yang telah terjadi dengan dadanya, Ki Gede tidak membiarkannya. Dengan
sebuah loncatan yang panjang dijulurkannya tombaknya mengarah lambung Putut
Gagat Rahina.
Putut Gagat Rahina terkejut. Dia tidak menyangka Ki Gede
akan meloncat sejauh itu untuk memburunya. Dalam perhitungannya Ki Gede akan
tetap bertahan dengan hanya bergerak selangkah demi selangkah. Semuanya memang
sudah terlambat. Ketika dengan tergesa-gesa diayunkannya keris luk sembilan itu
untuk menangkis ujung tombak Ki Gede yang mengarah ke lambung, Putut perguruan
Cahaya Warastra itu belum menyadari bahwa serangan ujung tombak Ki Gede mampu
mendahului ujud wadagnya satu jengkal.
Keris luk sembilan itu memang berhasil menangkis ujung
tombak Ki Gede sehingga ujung tombak itu berubah arah ke samping kiri, namun
getaran ilmu Ki Gede yang disalurkan melalui ujung tombaknya ternyata telah
berhasil menggores lambungnya cukup dalam.
Terdengar keluhan tertahan disertai dengan umpatan yang
sangat kotor dari mulut Putut Gagat Rahina. Tubuhnya terdorong ke belakang
beberapa langkah sambil terhuyung-huyung. Tangan kirinya mendekap erat
lambungnya yang memancarkan darah segar, sementara dari dadanya pun telah mengalir
darah merah yang tak kalah derasnya.
Ki Gede benar-benar ingin menuntaskan pertempuran itu untuk
segera memberikan pertolongan kepada Sekar Mirah yang mungkin sekarang sedang
berjuang mempertahankan hidupnya. Tanpa menunda nunda waktu lagi, dengan sebuah
loncatan panjang disertai dengan segenap kekuatannya, tombak pendek Ki Gede
dengan deras meluncur ke arah dada Putut Gagat Rahina.
Putut Gagat Rahina yang sudah sedemikian lemah itu masih
mencoba menangkis serangan lawannya, namun tenaganya sudah terlampau lemah
sehingga ujung tombak itu pun dengan deras telah menembus jantungnya tanpa
ampun.
Tubuh Putut yang semasa hidupnya penuh dengan gelimangan
kehidupan yang kelam itu sekali lagi terdorong surut. Ketika Ki Gede kemudian
membuat gerakan menyentak untuk menarik tombak pendeknya, bagaikan sebuah
batang pohon pisang yang ditebang dengan sebuah parang yang tajam, tubuh itu
pun terseret beberapa langkah ke depan sebelum akhirnya jatuh terjerembab di
lantai pendapa.
Bango Lamatan yang sempat melihat peristiwa itu dari sudut
matanya telah mengumpat.
“Matilah kau Putut yang tak berguna!” geramnya, “Kalian
berdua tidak mengikuti perintahku. Mengapa singa tua itu kalian biarkan
bertempur dengan salah seorang dari kalian? Benar-benar tindakan yang bodoh.”
Kiai Sabda Dadi yang mendengar umpatan Bango Lamatan
tersenyum. Sambil tetap bertempur dia berkata, “Bagaimana dengan kawanmu yang
membiarkan Ki Sanak bertempur sendirian? Apakah Ki Sanak tidak takut mengalami
nasib yang sama?”
“Tutup mulutmu!” bentak Bango Lamatan sambil mengayunkan
tangannya mengarah ke pelipis Kiai Sabda Dadi, “Sekali lagi aku peringatkan. Kau
sedang bertempur melawan Bango Lamatan. Jangan samakan aku dengan kedua Putut
yang bodoh itu.”
Kiai Sabda Dadi tidak menjawab. Dimiringkannya kepalanya ke
samping ketika ayunan tangan lawannya hampir menyentuh keningnya. Sebelum Bango
Lamatan sempat menarik tangannya, Kiai Sabda Dadi dengan sekuat tenaga segera
mengayunkan lututnya mengarah ke perut Bango Lamatan yang terbuka.
Demikianlah kemudian kedua orang yang tangguh tanggon itu
kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh yang telah berhasil
menyelesaikan lawannya dengan tergesa-gesa segera berlari-lari ke arah pintu
pringgitan. Ketika kemudian Ki Gede telah mendorong pintu yang menghubungkan
pendapa dengan ruang pringgitan itu, segera saja pendengaran Ki Gede yang tajam
mendengar suara pertempuran yang sengit dari arah ruang dalam.
Ki Gede benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Hanya
dengan beberapa kali loncatan saja dia telah menyeberangi ruang pringgitan
untuk kemudian dengan kerasnya ditendangnya pintu ruang tengah itu sehingga
menimbulkan suara yang berderak-derak.
Orang-orang yang sedang bertempur di ruang tengah yang luas
itu terkejut dan serentak menghentikan pertempuran sejenak dengan meloncat
mundur.
Ki Gede Menoreh yang sudah meloncat masuk ke ruang tengah
dengan tombak merunduk itu beberapa saat tertegun. Tampak Sekar Mirah sedang
duduk bersimpuh di salah satu sudut ruangan dengan mendekap bayinya erat-erat,
sementara Damarpati berdiri tegak membelakanginya dengan tongkat baja putih
tergenggam erat di tangan kanannya. Anak itu tampak sangat tegang, beberapa
luka tampak menggores lengan dan pundak kirinya. Walaupun luka itu tidak
terlampau dalam, namun darah yang terus mengalir dari luka-luka itu telah
membuat Damarpati semakin lemah.
Sementara di depannya berdiri dengan garangnya Putut Luarsa
dengan pedang di tangan kanannya. Ketika kemudian Ki Gede telah meloncat ke
dalam ruangan itu, dengan terkejut dia berpaling sambil berteriak, “He! Apa
kerjamu di sini, orang tua?”
Ki Gede tidak menjawab. Dengan sekali loncat dia telah
berada di depan Damarpati menghadapi Putut Luarsa. Ketika Ki Gede berkesempatan
mengedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut ruangan, tampak kawan Bango
Lamatan yang terlebih dahulu telah memasuki rumah Ki Gede sedang bertempur
dengan sengitnya melawan seorang perempuan muda yang sangat cantik. Mereka
berdua tampaknya tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya termasuk kehadiran
Ki Gede di ruangan itu. Keduanya tampak sedang wuru dan hanya ada satu tekad di
dalam dada mereka, membunuh atau terbunuh.
Perabotan di sekitar mereka yang sedang bertempur itu telah
porak poranda hancur luluh diterjang getaran ilmu kedua orang itu. Agaknya keduanya
telah mencapai puncak ilmu mereka. Sambaran angin yang berputaran dan sesekali
menghempas dan menerjang silih berganti telah membuat dinding-dinding
bergetaran. Perempuan cantik itu kelihatannya sangat bernafsu untuk segera
menyelesaikan pertempuran, namun lawannya adalah Ki Lurah Sanggabaya. Setiap
kali serangan perempuan cantik itu hampir menyentuh bagian tubuh lawannya,
selalu saja serangan itu kandas dan seolah-olah selalu ada jarak yang membatasi
antara serangan perempuan cantik itu dengan tubuh lawannya. Ki Lurah Sanggabaya
ternyata telah mengetrapkan sejenis aji yang dapat melindunginya dari setiap
sentuhan lawannya.
“Lembu sekilan!” geram perempuan muda yang terlihat sangat
cantik dan mempesona itu, “Jangan dikira ilmumu itu tidak akan dapat ditembus,
Ki Sanak. Kalau selama ini seranganku belum menyentuhmu, itu hanya karena belas
kasihanku saja.”
“Persetan!” geram Ki Lurah Sanggabaya tak kalah kerasnya
sambil menerjang ke arah lawannya, “Buktikan sesorahmu atau kau akan menyesal
seumur hidupmu. Kau akan kutangkap hidup-hidup dan aku jadikan permainan yang
mengasyikkan bersama anak buahku.”
“Tutup mulutmu yang kotor itu!” bentak perempuan itu sambil
menghindar.
Perempuan muda yang terlihat lembut dan gemulai itu ternyata
sangat trengginas tandangnya. Dengan cepat dia merendahkan diri menghindari
pukulan lawannya yang mengarah kening, kemudian dengan bertumpu pada tumit kaki
kirinya, kaki kanannya menyapu kedua kaki lawannya yang sedang bergerak ke
depan.
Tentu saja Ki Lurah tidak akan membiarkan kedua kakinya
tersapu oleh serangan lawannya, walaupun dia telah mengetrapkan aji lembu
sekilan. Menilik derasnya angin yang menderu mendahului serangan kaki lawannya,
Ki Lurah sadar bahwa lawannya tentu telah mengerahkan segenap tenaga
cadangannya untuk menembus ilmunya. Maka dengan meloncat selangkah ke samping
untuk menghindari serangan yang mengarah ke kakinya, justru Ki Lurah yang ganti
menyerang, tangan kanannya terjulur mencengkeram ke arah pundak.
Perempuan cantik itu kembali menunjukkan kelincahannya,
dengan sedikit menggeliat dia menarik tubuh mungilnya ke belakang sehingga
dadanya yang membusung indah itu begitu jelas terlihat menantang di mata Ki
Lurah Sanggabaya.
“Gila, gila!” berkali kali Ki Lurah Sanggabaya harus
mengumpat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir
bayangan-bayangan aneh yang menyelinap dalam benaknya sehingga mengganggu
pemusatan nalar budinya.
Sekilas perempuan muda dan terlihat sangat cantik itu
tersenyum. Aji lembu sekilan yang ditrapkan oleh lawannya tidak mampu ditembus
dengan pengerahan tenaga cadangannya, namun perempuan cantik itu ternyata
sangat cerdik. Sekaranglah waktunya bagi perempuan itu untuk semakin mendesak
Ki Lurah yang mulai terpengaruh oleh ujud kewadagan dirinya. Apalagi ketika
kemudian samar-samar namun semakin lama semakin kuat tercium bau harum semerbak
mewangi dari tubuh molek lawannya, penalaran Ki Lurah Sanggabaya pun
benar-benar mulai menjadi buram.
Dengan menggeram keras dan nafas yang memburu Ki Lurah mulai
menyerang dengan buas dan ganas namun jauh dari perhitungan nalarnya.
Gerakannya sangat kasar dan liar. Tidak terlihat lagi unsur-unsur olah
kanuragan dalam serangannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah keinginan untuk
menubruk dan memeluk mangsanya bagaikan seekor singa lapar yang melihat seekor
kijang kecil mungil dan menggemaskan bermain-main di hadapannya.
Kini gerakan-gerakan perempuan cantik dan menggairahkan itu
semakin membuat jantung Ki Lurah hampir meledak. Bahkan sesekali lawannya itu
menyerangnya dengan tidak bersungguh-sungguh dan hanya membuat gerakan-gerakan
melawan seperti seorang gadis yang sedang menari. Kadang-kadang gerakan tarian
itu sungguh sangat dekat dengan Ki Lurah sehingga seakan-akan Ki Lurah hampir
mampu menyentuhnya. Namun ketika dengan ganas Ki Lurah mencoba menubruk
lawannya itu, yang didapatinya hanyalah tempat kosong. Yang tertinggal hanyalah
bau khas yang semerbak mewangi dari tubuh lawannya sehingga membuat jantung Ki
Lurah bagaikan meledak dengan sekujur tubuhnya menggigil menahan gejolak yang
hampir tak tertahankan di dalam rongga dadanya.
Putut Luarsa yang melihat perubahan unsur gerak olah
kanuragan Ki Lurah menjadi heran. Pada awalnya Ki Lurah hampir mampu mendesak
lawannya dengan aji kebanggaannya itu, lembu sekilan. Putut Luarsa maklum
dengan maksud Ki Lurah menggunakan aji itu adalah untuk memaksa lawannya
bekerja keras dan akhirnya kehabisan tenaga dengan sendirinya sehingga Ki Lurah
akan dapat menangkapnya hidup-hidup. Agaknya Ki Lurah yang dalam kesehariannya
senang bermain main dengan perempuan itu telah tertarik oleh kecantikan
lawannya.
Namun keadaan kini berbalik. Ki Lurah terlihat bertempur
seperti orang yang sedang mabuk. Dengan nafas yang terengah-engah dan mata yang
merah menyala dia hanya meloncat loncat dan berusaha menubruk lawannya dengan
kedua tangan terkembang. Betapa lawannya itu sangat menikmati permainannya.
Dibiarkannya Ki Lurah berlari ke sana kemari mengejar kemanapun dirinya
bergerak. Sesekali dikaitnya kaki Ki Lurah sehingga Ki Lurah yang sudah
kehilangan penalarannya itu terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terjerembab.
Namun dengan cepat dia bangkit berdiri dan kembali mengejar kemanapun perempuan
cantik itu berlari.
Tidak tahan melihat tingkah polah Ki Lurah, Putut Luarsa pun
kemudian menggeram keras sambil berteriak, “Ki Lurah sadarlah! Kau dipermainkan
perempuan gila itu. Cepat ambil keputusan sebelum kau terkapar dalam keadaan
yang dihinakan.”
Namun suara murid Panembahan Cahya Warastra itu bagaikan
tenggelam ketika tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar, “Diamlah! Aku lah
lawanmu sekarang.”
Selesai berkata demikian Ki Gede segera memutar tombak
pendeknya siap untuk menyerang lawannya.
Putut Luarsa yang berusaha menyadarkan Ki Lurah ternyata
usahanya sia-sia. Ketika kemudian tombak pendek di tangan Ki Gede telah berputaran
dengan cepat kemudian menyambar dadanya, murid perguruan Cahya Warastra itu pun
segera memusatkan perhatiannya untuk bertempur menghadapi Ki Gede.
Sementara Damarpati yang telah diambil alih lawannya oleh Ki
Gede masih berdiri termangu mangu. Anak itu masih belum bisa menguasai
jantungnya yang berdebaran di dalam rongga dadanya. Dengan mata yang nanar dia
mengawasi jalannya pertempuran antara Ki Gede melawan Putut Luarsa.
“Damar,” tiba-tiba terdengar bisik lembut di belakangnya,
“Beristirahatlah, semuanya akan baik-baik saja.”
Mendengar suara lembut Sekar Mirah, barulah Damarpati
menarik nafas dalam-dalam. Betapa dadanya bagaikan disiram banyu sewindu
setelah mengalami ketegangan yang luar biasa ketika bertempur melawan Putut
Luarsa.
Sekarang baru terasa betapa pedih luka-luka yang terdapat di
beberapa bagian tubuhnya. Sejenak diamat-amatinya beberapa luka yang terdapat
di pundak kiri dan lengan kanannya. Ketika Damarpati kemudian dengan tidak
sengaja telah berpaling ke belakang, agaknya Sekar Mirah telah tanggap, dengan
tetap mendekap bayinya yang tertidur lelap, perlahan Sekar Mirah berdiri
kemudian berjalan mendekat dan meraih tangan Damarpati untuk dibimbing menjauhi
arena pertempuran.
Dalam pada itu, di luar langit mulai dihiasi oleh sinar
merah kekuning kuningan yang membias indah pada mega-mega yang berarak arak di
langit sebelah timur. Pagi mulai datang, alam bagaikan terbangun dari kegelapan
yang penuh dengan misteri. Kekuatan sirep yang ditebarkan oleh Bango Lamatan
dan kawan kawannya mulai memudar seiring dengan datangnya pagi.
Beberapa pengawal yang tidur silang melintang di depan regol
kediaman Ki Gede mulai terusik. Sambil menggeliat dan menguap lebar-lebar
mereka mulai menyadari keadaan masing-masing. Rasa rasanya mereka telah tidur
terlampau nyenyak di penghujung malam itu.
“He!” tiba-tiba seorang pengawal yang tertidur sambil
bersandaran pintu regol telah meloncat bangun. Sejenak diedarkan pandangan
matanya yang masih buram itu ke sekeliling penjagaan di regol kediaman Ki Gede.
Betapa jantungnya bagaikan berhenti berdenyut begitu melihat sesuatu yang tidak
wajar telah terjadi. Beberapa pengawal telah tertidur silang melintang di regol
itu.
Ketika sudut mata pengawal itu menangkap bayangan orang yang
sedang bertempur di halaman, pengawal itu pun segera menyadari bahwa sesuatu
telah terjadi di kediaman Ki Gede justru pada saat semua pengawal yang berjaga
jaga telah tertidur.
“Sirep,” gumam pengawal itu, “Seseorang telah menebarkan
sirep. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?”
Dengan tergesa-gesa diguncang-guncangkannya tubuh kawan
kawannya yang masih terbuai dalam mimpi. Ketika satu persatu pengawal itu mulai
tersadar dari pengaruh sirep yang melemah karena datangnya sinar Matahari,
penjagaan di regol depan itu pun segera menjadi gempar. Dengan tergesa-gesa
mereka segera membenahi pakaian mereka yang tampak kusut serta senjata-senjata
mereka yang dibiarkan tergeletak begitu saja ketika mereka jatuh tertidur.
Dengan sigap tiga orang pengawal segera berlari-larian
menuju ke pendapa, sedangkan beberapa yang lain dengan senjata terhunus mencoba
mendekati pertempuran antara Kiai Sabda Dadi dan Bango Lamatan.
Ketika tiga orang pengawal yang menaiki tlundak pendapa itu
telah mencapai pendapa, alangkah terkejutnya mereka begitu mendapati sesosok
mayat yang tertelungkup di tengah-tengah pendapa dalam genangan darah yang
mulai mengering. Tahulah kini mereka bahwa di atas pendapa telah terjadi
pertempuran yang dahsyat.
Begitu ketiga pengawal itu mencoba mengenali sesosok mayat
yang tertelungkup itu dengan membalikkannya, kembali ketiga pengawal itu
terkejut. Bekas luka yang menganga di dada mayat itu jelas bekas tusukan sebuah
tombak.
“Ki Gede Menoreh,” gumam salah satu pengawal itu tanpa
sadar. Kedua kawannya ikut mengangguk anggukkan kepala begitu mengenali bekas
luka di dada mayat itu.
“Marilah kita lihat di ruang dalam,” berkata pengawal itu
kemudian kepada kawan kawannya.
Sejenak kemudian ketiga pengawal itu telah menerobos pintu
pringgitan yang terbuka. Dengan cepat tanpa membuang-buang waktu lagi ketiganya
pun segera meluncur ke ruang tengah.
Dari pintu ruang tengah yang terbuka itu mereka segera
menyaksikan pertempuran yang dahsyat antara Ki Gede Menoreh dan Putut Luarsa.
Keduanya tampaknya telah sampai pada puncak ilmu mereka yang nggegirisi. Pedang
Putut Luarsa berputaran cepat dan menimbulkan pusaran angin yang melibat apa
saja yang diterjangnya, sementara Ki Gede telah bergerak setapak demi setapak
dengan kemampuan puncak ilmunya yang mampu mendahului gerak wadagnya.
Ketiga pengawal itu masih sempat melihat Putut Luarsa
meloncat tinggi sambil memutar pedangnya. Sebuah pusaran angin segera saja
melibat Ki Gede yang dengan sengaja menyongsong pusaran angin itu. Ketika tubuh
Ki Gede terseret beberapa langkah karena kekuatan pusaran angin yang menerjangnya,
lawannya segera menggunakan kesempatan itu untuk mengayunkan pedangnya menebas
leher.
Kesempatan itu memang telah ditunggu oleh Ki Gede. Putut
Luarsa yang belum menyadari kekuatan ilmu dari perguruan Menoreh itu ternyata
telah salah perhitungan. Dengan segenap kemampuan tenaga cadangannya Ki Gede
dengan sengaja membenturkan tombak pendeknya dengan pedang lawannya yang
terayun deras mengarah ke leher. Benturan yang terjadi kemudian ternyata
menjadi akhir dari pertempuran itu. Pedang Putut Luarsa yang bagaikan membentur
sepotong besi gligen telah terpental kesamping. Selagi Putut Luarsa memperbaiki
genggaman pada pangkal pedangnya agar tidak terlepas, Ki Gede ternyata telah
menghentakkan ilmunya dengan menghunjamkan tombak pendeknya ke arah dada lawannya
yang terbuka.
Menyadari bahaya yang datang ke arah dadanya, murid
Panembahan Cahya Warastra itu dengan tergesa-gesa memiringkan tubuhnya
sejengkal. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungannya. Ujung
tombak itu secara kasat mata memang masih kurang sejengkal dari dadanya
sehingga Putut Luarsa tidak menyangka ketika tiba-tiba saja terasa ujung tombak
itu telah menghunjam dadanya cukup dalam.
Tubuh Putut Luarsa beberapa saat terhuyung-huyung ke
belakang terkena dorongan dari tombak Ki Gede yang telah berhasil melubangi
dadanya cukup dalam. Darah segar segera memancar dari luka itu. Luka yang cukup
parah sehingga sejenak kemudian Putut Luarsa telah menjadi gemetar.
“Gila,” umpatnya, “Ilmu iblis, benar-benar ilmu iblis,” dia
berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang menjadi semakin tersengal-sengal.
Kini pedangnya telah dilepaskan dan dengan kedua tangannya dia mencoba mendekap
luka itu untuk menghentikan darah yang terus mengucur, namun ternyata luka itu
memang cukup parah sehingga Putut Luarsa tidak mampu menghentikannya. Lanjutnya
kemudian, “Kau berhasil Ki Gede. Kami ternyata salah perhitungan, kami
menyangka Ki Gede masih tergolek sakit dan…”
Putut Luarsa tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba tubuhnya condong ke depan dan terjatuh pada lututnya. Sejenak saudara
seperguruan Putut Gagat Rahina itu mengumpat sambil menyeringai menahan sakit
yang mendera dadanya. Ketika Ki Gede maju selangkah untuk mencoba menolongnya,
Putut yang dipercaya oleh Panembahan Cahya Warastra untuk membantu Bango
Lamatan menculik anak Ki Rangga Agung Sedayu itu pun akhirnya terjungkal dan
menemui ajalnya.
Sejenak suasana menjadi sepi. Ki Gede Menoreh masih berdiri
termangu mangu di depan mayat Putut Luarsa. Beberapa langkah di depannya agak
jauh di dekat pintu butulan samping terlihat Ki Lurah Sanggabaya terbujur diam
entah pingsan entah mati. Sementara perempuan muda dan cantik yang menjadi
lawannya itu telah pergi entah kemana.
Ketiga pengawal itu segera berlari menghadap Ki Gede.
Setelah membungkuk hormat, salah satu pengawal itu berkata, “Ma’afkan kami Ki
Gede. Kami tidak mampu berbuat apa-apa justru pada saat kediaman Ki Gede telah
diserbu oleh orang-orang tak dikenal.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya satu
persatu ketiga pengawal yang sedang berdiri di depannya sambil menundukkan
kepala itu. Kata Ki Gede kemudian, “Semua itu bukan salah kalian. Musuh yang
datang mempunyai kemampuan diluar jangkauan ilmu kalian. Untunglah ada
seseorang yang ikut membantu. Sayang dia telah pergi sebelum aku sempat
mengucapkan terima kasih.”
Ketiga pengawal itu saling pandang sejenak. Mereka tidak
sempat melihat pertempuran antara Ki Lurah Sanggabaya dengan perempuan yang
masih muda dan sangat cantik itu. Ketika mereka memasuki ruang tengah, mereka
hanya sempat menyaksikan akhir dari pertempuran Ki Gede dengan lawannya.
“Nah,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Bersihkanlah ruangan
ini. Ajak kawan kawanmu yang lain untuk menyelenggarakan mayat ini dan yang ada
di pendapa. Aku akan melihat keadaan orang yang tergeletak di dekat pintu
samping itu.”
Selesai berkata demikian dengan bergegas Ki Gede segera
menuju tempat Ki Lurah Sanggabaya tergeletak. Dengan bertumpu pada tombak
pendeknya, Ki Gede pun kemudian berjongkok di sisi Ki Lurah sambil meraba
dadanya.
Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya. Setelah yakin akan
pengamatannya, dengan perlahan Ki Gede berdiri dan berkata sambil berpaling ke
arah ketiga pengawal yang masih berdiri menunggu di dekat tubuh Putut Luarsa
yang terbujur diam, “Agaknya orang ini hanya pingsan saja. Carilah tali yang
kuat untuk mengikatnya, kemudian bawalah ke bilik khusus untuk para tawanan.
Aku akan ke halaman melihat keadaan Kiai Sabda Dadi.”
Namun baru saja Ki Gede melangkah beberapa tindak, ternyata
justru Kiai Sabda Dadi yang muncul terlebih dahulu dari pintu butulan samping.
“Kiai?” terkejut Ki Gede segera mendekat, “Bagaimana dengan
lawan Kiai?”
Kiai Sabda Dadi tidak segera menjawab. Pandangan matanya
menyapu ke seluruh ruangan dengan penuh tanda tanya. Agaknya Kiai Sabda Dadi sedang
mencari Damarpati.
Menyadari hal itu Ki Gede pun segera berkata, “Jangan
khawatir Kiai, cucumu selamat. Hanya mendapat sedikit luka sebagai
pengalamannya yang pertama bertempur di medan yang sebenarnya.”
Mendengar penjelasan Ki Gede, pemimpin padepokan Glagah
Tinutu dari pegunungan Kendeng itu pun menarik nafas dalam-dalam sambil
memanjatkan syukur kepada Yang Maha Agung atas perkenan-NYA memberikan
perlindungan kepada hamba-NYA.
“Jadi, dimanakah lawan Kiai?” Ki Gede mengulangi
pertanyaannya.
Sadar belum memberikan jawaban atas pertanyaan Ki Gede, Kiai
Sabda Dadi pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya
kemudian, “Dia telah menghilang. Agaknya dia itu sejenis hantu yang takut
kamanungsan ketika melihat sinar Matahari pagi.”
“Ah,” desah Ki Gede, “Kiai masih suka bercanda.”
“Tidak,” sahut Kiai Sabda Dadi dengan bersungguh sungguh,
“Aku berkata sebenarnya. Lawanku itu memang mempunyai kemampuan untuk
menghilangkan ujud wadagnya. Ketika dia menyadari bahwa kawan-kawannya tidak ada
yang kembali, maka dia memutuskan untuk menghilangkan ujud wadagnya dari
hadapanku dan meninggalkan medan.”
“Halimunan,” desis Ki Gede dengan dada yang berdebar debar,
“Sebuah ilmu yang sudah hampir punah. Ternyata masih ada orang yang mampu
menekuninya,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah Kiai tidak
berusaha untuk mengejarnya?”
Kiai Sabda Dadi menggeleng, “Aku kehilangan waktu sekejap
ketika tiba-tiba saja dia meloncat mundur kemudian menghilang dari pandangan
mataku. Ketika aku sedang memusatkan nalar dan budi untuk mencoba mengenali
keberadaannya, ternyata dia telah jauh meninggalkan tempat ini.”
Beberapa saat Ki Gede masih berdebar-debar mendengar
keterangan dari Kiai Sabda Dadi. Seandainya orang yang mempunyai ilmu Halimunan
itu yang memasuki rumahnya terlebih dahulu, tentu keadaan akan menjadi lain.
Dengan mudahnya dia akan melumpuhkan Sekar Mirah dan Damarpati.
Menyadari hal itu, tak henti-hentinya Ki Gede Menoreh
mengucap syukur atas pertolongan dan perlindungan dari Yang Maha Agung. Betapa
segala sesuatunya seolah olah telah diatur oleh “tangan”-NYa sehingga seluruh
keluarga yang menjadi tanggung jawabnya itu tidak mengalami suatu apapun.
“Marilah, Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi membuyarkan
lamunan Ki Gede, “Kita tengok keadaan Nyi Sekar Mirah dan Damarpati.”
Ki Gede mengangguk. Dengan berjalan beriringan kedua orang
yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu berjalan menuju ke ruang belakang di
dekat dapur.
Dalam pada itu, dengan semakin memudarnya pengaruh sirep
yang melingkupi kediaman Ki Gede Menoreh dan sekitarnya, para perempuan
pembantu di rumah Ki Gede telah terjaga dari tidurnya masing-masing. Dengan
riuhnya mereka saling menanyakan apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga
mereka tidak menyadari keadaan diri masing-masing.
Salah seorang perempuan yang hampir sekujur tubuhnya basah
kuyup karena tertumpah air dari lodong-lodong bambu yang dibawanya telah
bersungut sungut sambil membenahi lodong-lodong bambu yang berserakan di depan
tungku.
“Untung tungku ini tidak membakarku,” desisnya perlahan
sambil memperlihatkan wajah yang cemberut.
Kawannya yang mendengarnya tertawa, katanya, “mBakyu,
bergantilah pakaian. Pakaianmu basah kuyup nanti kau bisa sakit.”
“Nanti saja,” jawabnya kemudian tanpa menoleh, “Aku akan
memenuhi tempayan ini dulu sebelum berganti dengan pakaian yang kering.”
Kawannya tidak berkata kata lagi. Dipandanginya saja
perempuan separo baya yang bajunya basah kuyup itu menjinjing lodong-lodong
bambu keluar dari pintu dapur.
Ketika kemudian perempuan separo baya itu telah sampai di
perigi. Diletakkannya lodong-lodong bambu itu berjajar-jajar di dekat perigi
siap untuk diisi air sampai penuh. Namun baru saja dia menyentuh batang senggot
untuk mengambil air dari perigi, tiba-tiba lamat-lamat didengarnya suara kesibukan
dari arah pendapa.
Sejenak perempuan separo baya itu mengerutkan keningnya.
Sebuah desir tajam telah menyelinap di sudut hatinya.
“Aku akan melihat apa yang sedang terjadi di pendapa,”
katanya dalam hati.
Dengan bergegas perempuan separo baya itu melintas di
samping rumah induk menuju longkangan yang menghubungkan rumah induk dengan
gandhok kanan. Ketika langkahnya hampir mencapai pintu seketeng, hatinya
menjadi berdebar-debar. Dengan perlahan didorongnya pintu seketeng itu untuk
mengintip apa yang sedang terjadi di pendapa.
Namun alangkah terkejutnya perempuan separo baya itu begitu
pintu seketeng itu terbuka sejengkal, pandang matanya segera menangkap dua
sosok mayat yang terbujur kaku di lantai pendapa.
Bagaikan melihat hantu di siang bolong, perempuan separo
baya itu segera berlari terseok-seok kembali ke dapur. Sesampainya di depan
pintu dapur, dengan nafas yang masih berkejaran dia berseru, “Mayat.. mayat ada
mayat!”
Kawan kawannya yang ada di dapur serentak menghentikan
pekerjaannya. Beberapa orang segera bergegas mendapatkan perempuan separo baya
itu dan merubungnya.
“Ada apa, Yu? Mayat siapa? Di mana?” bertubi-tubi pertanyaan
itu menghujani perempuan separo baya itu.
Sambil menekan dadanya untuk mengurangi getaran debur
jantungnya, perempuan separo baya tu menjawab, “Di pendapa ada mayat, dua
mayat. Entah aku tidak tahu siapa mereka.”
Gemparlah dapur itu begitu mengetahui bahwa pagi itu
ternyata telah terjadi raja pati di kediaman Ki Gede Menoreh justru pada saat
mereka mengalami hal yang aneh, tertidur tanpa mengetahui apa yang menjadi
penyebabnya.
“Tenanglah!” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam
mengatasi riuhnya suara para perempuan yang ada di dapur.
Serentak para perempuan pembantu di rumah Ki Gede itu
berpaling ke arah pintu yang menuju ke ruang tengah. Tampak Ki Gede Menoreh
dengan masih menjinjing tombak pendeknya berdiri di depan pintu. Sementara di
sampingnya Kiai Sabda Dadi berdiri termangu mangu.
“Memang telah terjadi raja pati pagi ini,” berkata Ki Gede
selanjutnya, “Aku harap kalian semua tetap tenang dan bekerja seperti biasanya.
Masalah ini telah kami atasi, dan semoga tidak akan terulang lagi di masa-masa
yang akan datang.”
Para perempuan pembantu di rumah Ki Gede itu mengangguk
anggukkan kepala mereka. Ada perasaan aman di dalam hati mereka ketika pemimpin
tertinggi tanah Perdikan Menoreh itu sendiri yang memberikan penjelasan kepada
mereka tentang apa yang telah terjadi.
“Silahkan kembali bekerja,” berkata Ki Gede setelah sejenak
mereka terdiam, “Para pengawal belum mendapatkan ransum pagi ini. Namun mereka
menyadari sepenuhnya karena kalian telah terlambat bangun akibat terkena
pengaruh sirep.”
“Sirep?” perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede itu
saling berpandangan.
“Ya, sirep,” jawab Ki Gede, “Menjelang dini hari tadi
seluruh rumah ini telah terkena pengaruh sirep yang sangat kuat.”
Kembali para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu saling
berpandangan sambil menahan nafas menunggu penjelasan Ki Gede lebih lanjut.
“Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah menyelamatkan
kita, sehingga kita terhindar dari maksud-maksud jahat orang-orang yang dengan
sengaja menebarkan sirep dan memasuki rumah ini.”
“Jadi?” tiba-tiba perempuan separo baya itu mendesak
kedepan, “Mayat siapakah yang ada di pendapa itu, Ki Gede?”
Beberapa saat Ki Gede terdiam, ketika kemudian dia berpaling
ke arah Kiai Sabda Dadi, dilihatnya Kakek Damarpati itu mengangguk.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Gede pun akhirnya
menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berusaha memasuki rumah ini dan
agaknya memang mereka sedang mencari sesuatu.”
Perempuan separo baya itu mengkerutkan lehernya sambil
berdesis, “Syukurlah mereka telah terbunuh, dan aku masih utuh tidak kurang
suatu apapun.”
“He! Apa maksudmu?” kawannya yang berdiri di sebelahnya
berseru sambil menggoncangkan bahu perempuan separo baya itu.
“Siapa tahu yang mereka cari adalah aku,” jawab perempuan
separo baya itu.
“Ah,” beberapa perempuan pembantu rumah Ki Gede berdesah
maklum. Perempuan separo baya itu memang sudah cukup lama menjanda semenjak
ditinggal mati suaminya hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi hampir tidak dapat menahan
senyum mendengar kelakar perempuan separo baya itu. Akhirnya Ki Gede pun
berkata, “Sudahlah, silahkan kembali bekerja. Semuanya sudah kembali seperti
sediakala. Aku dan Kiai Sabda Dadi akan ke depan untuk melihat penyelenggaraan
kedua jenasah itu.”
Demikianlah akhirnya, setelah sejenak menengok keadaan Sekar
Mirah dan Damarpati, kedua orang tua itu pun kemudian ke pendapa untuk melihat
persiapan penyelenggaraan jenasah kedua Putut murid Panembahan Cahya Warastra.
--oo0oo--
TDBM 406
Komentar
Posting Komentar