Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 405

buku 405
DALAM pada itu, di tepian sebelah barat Kali Praga, para pengikut Panembahan Cahya Warastra tampak sedang berjaga jaga di sepanjang tepian. Mereka duduk bergerombol gerombol sambil menyalakan api untuk mengusir dingin. Di beberapa tempat yang lain ada yang sekedar duduk-duduk sambil memeluk lutut berselimutkan kain panjang, bahkan ada yang tidur-tiduran di atas batu-batu besar yang banyak berserakan di tepian.
Seorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis melintang dan jambang yang lebat tampak sedang duduk di atas sebongkah batu yang menjorok agak ke tengah Kali Praga sambil mengasah sebilah pedang yang berukuran besar. Dibiarkan kedua kakinya terendam air Kali Praga yang keruh kecoklatan sebatas lutut. Sesekali dengan tangan kirinya dia mengambil air Kali Praga untuk membasahi pedangnya yang tengah diasah. Sementara tangan kanannya menggenggam erat hulu pedangnya kemudian dengan dibantu tangan kirinya yang memegang ujung pedang yang besar itu, dia terus mengasah senjatanya berulang ulang.
“Kepala orang-orang Mataram akan aku tebas satu persatu dengan pedang ini, sampai orang yang terakhir,” gumamnya sambil tersenyum, lanjutnya kemudian, “Setelah perang ini selesai, sesuai janji kakang Bango Lamatan aku akan diangkat menjadi seorang Demang.”
Dia berhenti sejenak sambil mengamat-amati bilah pedang besarnya untuk melihat dari dekat ketajamannya, malam memang terlalu pekat tanpa sepotong bulan pun yang muncul.
“Janda kembang sebelah timur Pasar Kliwon itu tidak akan mungkin berani menolakku lagi kalau aku sudah diangkat menjadi Demang,” kembali dia tersenyum sambil menimang nimang senjatanya yang telah selesai diasah, “Justru dia nantinya yang akan merengek rengek di depanku untuk minta dikawin.”
Kali ini orang tinggi besar itu benar-benar tersenyum lebar membayangkan janda kembang sebelah timur Pasar Kliwon itu meronta ronta manja dalam pelukannya. Sambil memejamkan matanya, orang yang sudah berangan angan menjadi Demang itu semakin larut dalam buaian khayalannya.
Ketika kemudian janda kembang yang cantik itu dengan manja merangkul lehernya, orang tinggi besar itu semakin bernafsu. Nafasnya memburu bagaikan nafas seekor kuda jantan yang sedang dipacu di tengah padang.
Namun alangkah terkejutnya orang tinggi besar itu ketika rangkulan janda kembang sebelah timur Pasar Kliwon itu dirasakannya semakin lama semakin ketat dan mulai menyumbat pernafasannya.
Dengan terengah-engah dia mencoba mengurai rangkulan janda kembang itu dengan tangan kirinya sambil membuka matanya dan berkata, “Janga..an.”
Namun kata katanya tidak pernah selesai karena keburu nafasnya putus ketika sepasang lengan yang kekar dan kuat itu telah memluntir lehernya sampai patah.
Sejenak kemudian, dengan perlahan tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun, mayat orang yang bermimpi menjadi Demang itu telah diseret masuk ke dalam Kali Praga yang keruh.
Para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga di sepanjang tepian itu tidak menyadari kalau maut sedang mengintai mereka. Dengan gerakan senyap, diantara bunyi riak dan buih air Kali Praga yang keruh telah tersembul beberapa kepala dibalik bebatuan yang berserakan di tepian.
Dengan teratur mereka bergerak menyelinap diantara bebatuan dan mulai mendekati para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang lengah.
Ki Rangga Agung Sedayu yang memimpin penyergapan di sisi selatan telah memerintahkan para prajurit Jalamangkara untuk bergerak semakin jauh meninggalkan tepian. Walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam telah terjadi pertentangan yang dahsyat. Betapa nyawa manusia sama sekali tidak ada harganya. Mereka mati sia-sia menjadi korban ketamakan segelintir orang.
“Mungkin jauh di sebuah padukuhan mereka juga mempunyai keluarga,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Istri-istri yang setia menunggu suami suaminya pulang dengan membawa harapan bagi masa depan keluarga. Dan mungkin juga anak-anak manis yang sedang tumbuh dan memerlukan perhatian.”
Sampai di sini Ki Rangga Agung Sedayu tergugu. Ingatannya segera melayang ke Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh di mana anak dan istrinya sedang menanti kepulangannya.
“Aku belum memikirkan sebuah nama,” demikian kembali Ki Rangga berangan angan, “Semoga saja Sekar Mirah sudah mempersiapkannya.”
Tiba-tiba terdengar suara pekik burung malam di atas tepian Kali Praga. Ki Rangga Agung Sedayu pun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi. Dengan sebuah isyarat yang telah di sepakati, pasukan Jalamangkara yang dipimpinnya itu segera memecah menjadi dua bagian. Sebagian bergerak terus menghancurkan penjagaan yang ada di tepi barat Kali Praga itu, sebagian lagi justru berbelok ke kiri dan menyelusuri tepian untuk melumpuhkan para penjaga rakit-rakit yang sedianya untuk menyeberangkan pengikut Panembahan Cahya Warastra.
Demikianlah yang terjadi kemudian adalah sebuah pembantaian yang mengerikan tanpa mengenal belas kasihan. Pasukan Jalamangkara benar-benar dilatih untuk membunuh. Mereka tidak pernah ragu-ragu dalam melaksanakan tugas, karena keragu raguan adalah awal dari kegagalan. Maka sejenak kemudian, tepian Kali Praga sebelah barat pun telah menjadi sebuah padang pembantaian yang sangat mengerikan.
Ki Rangga yang mencoba menebarkan pandangan matanya di sekitar tepi barat Kali Praga sebelah selatan diam-diam bergidik ngeri. Dia sudah terbiasa dengan pemandangan mayat-mayat bergelimpangan yang terjadi dalam sebuah perang terbuka. Namun kini yang disaksikannya adalah sebuah pembantaian tanpa ampun. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu benar-benar tidak diberi kesempatan untuk melawan, bahkan hanya untuk menggerakkan ibu jari sekalipun.
Ketika kemudian Ki Rangga mencoba mengetrapkan aji sapta pandulu untuk mengamati keadaan lebih jauh lagi ke depan, alangkah terkejutnya dia ketika dalam keremangan malam tampak bayangan seseorang yang bergerak justru berlawanan arah dengan gerakan para prajurit Jalamangkara. Bayangan itu menyelinap dengan cepat hampir tak tertangkap oleh mata wadag diantara batu-batu yang bertebaran di tepian mendekati salah seorang prajurit Jalamangkara yang sedang berlindung di balik sebuah batu sebesar kerbau.
Sejenak Ki Rangga masih mencoba meyakinkan pandangannya. Mungkin bayangan yang bergerak tadi adalah salah satu dari para prajurit Jalamangkara. Namun kalau menilik dari gerakannya yang justru berlawanan dan mendekati salah seorang parajurit yang sedang berlindung di balik batu, Ki Rangga menduga bayangan itu kemungkinannya adalah salah seorang dari pengikut Panembahan Cahya Warastra yang mempunyai kelebihan dari kawan kawannya sehingga menyadari adanya gerakan dari lawan walaupun kesadaran itu sudah cukup terlambat.
Jarak antara Ki Rangga dengan bayangan itu memang cukup jauh. Ada keinginan dari Ki Rangga untuk memperingatkan prajurit itu akan bahaya yang sedang mengintainya. Namun sebelum Ki Rangga meneriakkan sebuah isyarat yang mirip dengan suara burung hantu, tiba-tiba sekali lagi Ki Rangga dikejutkan oleh sebuah bayangan yang menyelinap mengikuti gerakan bayangan yang pertama, namun bayangan yang terakhir ini bergerak agak lambat dari yang pertama sehingga dengan jelas Ki Rangga mampu menangkap gerakannya.
“Gila!” desis Ki Rangga dalam hati, “Ternyata ada dua orang yang lolos dari penyergapan ini. Aku tidak boleh terlambat sebelum jatuh kurban.”
Berpikir sampai disitu, Ki Rangga dengan tergesa-gesa segera bergerak mendekat ke arah prajurit yang sedang bersembunyi di balik batu itu. Dengan kemampuannya menyerap segala bunyi yang timbul di sekitarnya, Ki Rangga pun bergerak semakin dekat dengan tempat persembunyian prajurit Jalamangkara itu.
Ketika jarak itu masih terpaut sekitar enam sampai tujuh tombak, dari balik sebuah batu, Ki Rangga mencoba mengamati kembali keadaan di sekitar prajurit yang sedang berjongkok di balik batu sebesar kerbau itu. Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga ketika mendapati prajurit itu ternyata telah rebah terlentang di atas tanah yang berpasir dan lembab.
Bagaikan seekor garuda yang sedang memburu mangsanya, dengan sekali lompat tubuh Ki Rangga Agung Sedayu melayang tinggi di udara untuk kemudian dengan dahsyatnya menyambar dua buah bayangan yang telah bergerak dengan cepat sekali menghindar dari tempat itu.
Ternyata Ki Rangga Agung Sedayu telah mengerahkan kemampuannya untuk meringankan bobot tubuhnya sebagaimana yang telah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita. Tubuh Ki Rangga benar-benar bagaikan tak berbobot. Sekali menyentuh tanah, tubuhnya kembali melenting ke udara. Namun kedua bayangan itu ternyata tak kalah gesit dan lincah dengan Ki Rangga. Dengan mengerahkan segenap kemampuan, mereka berdua mencoba menghindar dari tempat itu.
Ketika jarak Ki Rangga dengan kedua orang itu semakin dekat, tahulah Ki Rangga bahwa ternyata kedua orang yang sedang dikejarnya itu mempunyai kemampuan berlari yang tidak sama. Orang yang bertubuh lebih kecil dan ramping itu telah digandeng atau bahkan dapat dikatakan telah diseret oleh orang satunya yang bertubuh tinggi besar. Agaknya kemampuan berlari orang yang lebih kecil itu masih dibawah kemampuan Ki Rangga sehingga orang yang tinggi besar itu telah membantunya dengan cara menggandengnya untuk menghindari kejaran Ki Rangga Agung Sedayu.
Semakin lama tak terasa mereka telah cukup jauh meninggalkan tepian dan mulai memasuki sebuah padang perdu yang luas. Ki Rangga masih terus berusaha mengejar kedua orang aneh itu. Jarak mereka semakin dekat ketika tiba-tiba saja kedua orang yang dikejarnya itu menghentikan langkah dan berbalik menghadap Ki Rangga.
Belum sempat Ki Rangga memperlambat langkahnya, tiba-tiba saja orang yang bertubuh kecil dan ramping itu telah berteriak dengan nyaring sambil meloncat menyongsong Ki Rangga dengan sebuah serangan dahsyat.
Terkejut Ki Rangga mendengar teriakan nyaring orang yang menyerangnya. Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garamnya kehidupan, Ki Rangga segera menyadari bahwa yang sedang menyerangnya itu adalah seorang perempuan.
Pada dasarnya Ki Rangga adalah seorang yang lebih senang menghindari keributan, apalagi sampai bertempur dengan seorang perempuan. Untuk itulah dia tidak ingin membenturkan kekuatannya dengan kekuatan lawannya. Sambil sedikit memiringkan tubuhnya, tendangan lawannya itu lewat hanya sejengkal dari dadanya.
Pada saat itulah Ki Rangga sempat menatap ke arah wajah lawannya. Ternyata lawannya itu telah menutup sebagian wajahnya dengan sebuah ikat kepala sehingga Ki Rangga tidak mampu mengenali wajahnya.
Ketika menyadari serangannya dengan mudah dapat dihindari oleh Ki Rangga, dengan memekik marah, orang yang berperawakan ramping itu segera mengubah serangannya dengan menekuk lututnya untuk mendera dada Ki Rangga. Sementara tangan kanannya melindungi dadanya sendiri, tangan kirinya menyambar wajah Ki Rangga dengan jari-jari yang membentuk cakar harimau.
Ki Rangga terkejut menghadapi dua serangan berbahaya ini. Tidak ada kesempatan untuk menghindar karena jarak lawan yang sangat dekat. Dengan mengetrapkan ilmu kebalnya, Ki Rangga pun akhirnya dengan terpaksa menangkis serangan lutut lawannya yang mengarah ke dada dengan siku kirinya, sedangkan serangan tangan kiri lawannya yang mengarah ke wajah dengan cepat dihindarinya dengan cara memalingkan wajahnya ke kiri.
Terasa angin yang deras menerpa pipi kanan Ki Rangga begitu serangan lawannya itu lewat hanya berjarak setebal daun. Tanpa sesadarnya, lamat-lamat Ki Rangga mencium bau wangi yang mendebarkan ketika jari-jari tangan lawannya hampir menyentuh hidungnya.
Sementara itu benturan antara siku kiri Ki Rangga dengan lutut lawannya ternyata telah melemparkan mereka berdua beberapa langkah ke belakang.
Sejenak keduanya saling berdiam diri sambil menilai kekuatan lawannya. Orang yang berperawakan ramping itu tiba-tiba merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dadanya. Sekejab kemudian dia sudah siap untuk melontarkan serangannya kembali.
“Sudahlah ngger, jangan kau teruskan,” tiba-tiba terdengar teguran perlahan dari orang tinggi besar yang berdiri beberapa langkah di belakang lawan Ki Rangga.
“Biarlah, Eyang. Aku ingin memuaskan hatiku. Agar aku tidak dipandang sebelah mata oleh orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu, agul agulnya Mataram,” orang yang berperawakan ramping itu menjawab lantang tanpa berpaling ke belakang.
Diam-diam Ki Rangga menjadi berdebar debar. Rasa rasanya dia mengenal suara itu, suara seorang perempuan muda yang selama ini telah menggelisahkan tidurnya, yang telah membuatnya merasa bersalah karena tidak mampu menepati janjinya.
Sejenak kemudian mereka bertiga telah menyusuri bulak panjang yang menghubungkan padukuhan itu dengan hutan yang sudah semakin tipis karena di beberapa bagian telah dibuka untuk memperluas tanah pesawahan. Setelah melewati hutan yang tidak seberapa lebat itu, mereka akan sampai di sebuah padang rumput.
Di hutan yang tidak seberapa lebat itu, beberapa pengikut Panembahan Cahya Warastra juga telah di tempatkan untuk mengamati keadaan. Sebelum Ki Lurah dan kedua kawannya itu mencapai hutan, beberapa orang telik sandi yang berada di hutan itu ternyata telah merayap mendekati sumber suara tangis yang terdengar sangat jelas dari dalam hutan.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Resi Mayangkara menyadari bahwa tangis Anjani akan dapat memancing perhatian lawan. Pendengaran kedua orang yang mumpuni itu segera saja mendengar getaran-getaran dari arah hutan di depan mereka.
“Sudahlah Anjani,” kini Resi yang aneh itu yang berkata perlahan, “Jangan Kau turuti gejolak perasaanmu. Kita sedang di daerah musuh, segala sesuatunya bisa terjadi.”
Anjani yang masih bergulat dengan sedu sedannya itu sejenak berusaha untuk menguasai diri. Betapapun juga dia menyadari keterlanjurannya sehingga dapat memancing perhatian pihak lawan. Dengan menahan tangisnya sekuat tenaga, Anjani pun kemudian berdiri sambil sibuk mengusap air matanya dengan kedua belah telapak tangannya.
Setelah tangisnya agak mereda, dia pun kemudian berkata sambil berpaling ke arah Resi Mayangkara, “Marilah Eyang kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak ingin terlalu memaksakan diriku untuk berharap lebih. Biarlah waktu nanti yang membuktikan.”
Selesai berkata demikian, tanpa berpaling ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri termangu mangu beberapa langkah di depannya, Anjani pun segera beranjak pergi, justru berjalan ke arah utara tanpa memperdulikan apapun juga
Melihat Anjani pergi begitu saja, sambil menarik nafas dalam-dalam, Resi Mayangkara pun kemudian berdesis perlahan, “Kami mohon pamit Ki Rangga. Jangan terlalu ditanggapi sikap Anjani. justru sekarang ini dia sedang mengalami goncangan-goncangan dalam hatinya. Semoga dia dapat segera menemukan jati dirinya kembali.”
Ki Rangga hanya tersenyum masam. Jawabnya kemudian, “Silahkan Eyang Resi. Aku yakin dibawah bimbingan Eyang, Anjani akan segera dapat memahami dirinya, terlebih lagi keinginan hatinya yang melonjak lonjak tanpa mempertimbang-kan keadaan sekelilingnya.”
Resi Mayangkara mengangguk sambil tersenyum. Katanya kemudian sambil melangkah menyusul Anjani yang sudah cukup jauh, “Semoga saja Yang Maha Agung selalu berkenan memberi-kan perlindungan dalam setiap langkah kita.”
Selesai berkata demikian Resi Mayangkara dengan langkah yang tergesa-gesa segera menyusul Anjani yang berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Ketika kemudian Resi Mayangkara dan Anjani telah menghilang dalam kegelapan menjelang dini hari di padang perdu itu, Ki Rangga segera mengerahkan aji sapta pangrungu untuk menangkap getaran-getaran yang masih cukup jauh dari gerakan-gerakan yang mencurigakan dari arah hutan. Namun sebelum Ki Rangga bergerak untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang ada di depannya diantara gerumbul-gerumbul perdu yang cukup lebat, tiba-tiba Ki Rangga mendengar langkah-langkah beberapa orang yang sedang berlari larian dari arah tepian Kali Praga menuju ke tempatnya berdiri.
Sejenak kemudian dari dalam keremangan malam muncul beberapa orang yang sudah sangat dikenal oleh Ki Rangga Agung Sedayu selain beberapa yang belum dikenalnya sama sekali.
Ternyata kelengahan Ki Rangga yang hanya sekejap itu telah dimanfaatkan oleh para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang telah semakin dekat dengan tempat Ki Rangga berdiri. Menyadari bahwa kemungkinan pihak Mataram telah sampai di tempat itu, para pengikut Panembahan Cahya Warastra pun segera berusaha mengirimkan isyarat ke padukuhan tempat Panembahan Cahya Warastra dan perguruan-perguruan yang sehaluan dengannya bertahan.
Salah seorang pengikut panembahan Cahya Warastra ternyata telah berusaha membuat api dengan batu titikan yang kemudian dihembuskan pada sejumput gelugut aren. Ketika api itu telah menyala, beberapa kawannya segera berkumpul untuk menyalakan panah-panah api yang mereka bawa.
Nyala api yang terlihat sekilas diantara gerumbul-gerumbul perdu yang lebat itu memang terlihat oleh Ki Rangga. Namun ternyata salah seorang anak Nyi Citra Jati yang telah tiba di tempat Ki Rangga berdiri bersama sama dengan yang lainnya ternyata telah tanggap. Segera saja sebuah anak panah meluncur dengan deras dari busur Padmini ke arah titik api itu yang kemudian disusul dengan sebuah jeritan mengerikan.
Namun ternyata ada seorang pengikut Panembahan Cahya Warastra yang mampu menyalakan panah berapinya sebelum kawannya yang menyalakan api itu tertembus dadanya oleh panah Padmini. Dengan cepat dia segera mengangkat busurnya untuk melontarkan panah berapi itu ke udara.
Pandangan mata Ki Rangga yang tajam segera melihat peristiwa itu. Tanpa berpikir panjang, diraihnya busur dan panah panah dari genggaman seorang gadis mungil yang berdiri termangu mangu di sisi Padmini.
Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah pameran ketangkasan membidik yang tiada duanya. Begitu panah berapi dari pengikut panembahan Cahya Warastra itu terlontar ke udara mencapai setinggi pucuk-pucuk pepohonan yang ada di pinggir hutan itu, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, Ki Rangga telah melontarkan panah panahnya menghantam panah berapi yang sedang meluncur di udara itu sehingga hancur berantakan dan jatuh terbanting kembali ke bumi.
Orang-orang yang berada di sekitar Ki Rangga benar-benar membeku melihat kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu dalam membidik. Glagah Putih dan Pandan Wangi yang sudah sering melihat kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu dalam membidik masih juga berdebar debar. Sementara Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang juga mempunyai kemampuan membidik dan telah diajarkan kepada anak-anak mereka merasa sangat kecil. Betapa kemampuan Ki Rangga itu seolah olah bukan kemampuan manusia, namun kemampuan yang hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti yang hanya ada dalam cerita-cerita babat dan dongeng-dongeng.
Namun, ternyata lontaran anak panah berapi dari salah satu pengikut panembahan Cahya Warastra yang patah di tengah jalan itu sempat terlihat oleh kawan-kawannya yang lain, sehingga sejenak kemudian langit di tepian Kali Praga itu pun segera dihiasi oleh puluhan anak panah berapi yang beterbangan di udara diselingi oleh bunyi panah-panah sendaren yang meraung raung memenuhi udara malam.
Ki Rangga Agung Sedayu yang melihat peristiwa itu telah menggeram. Ada sebuah penyesalan mengapa hal itu bisa terjadi. Seandainya tangis Anjani tidak terdengar sampai ke tempat para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berjaga jaga di dalam hutan, tentu sekarang ini pasukan Mataram sudah merayap mendekati Padukuhan.
“Kakang,” tiba-tiba Pandan Wangi yang berdiri beberapa langkah di belakangnya menyapa, “Sebaiknya kita segera mundur ke tepian untuk menyusun pasukan sebelum pasukan lawan menyerbu ke tempat ini.”
Ki Rangga berpaling. Sejenak diamat-amatinya beberapa orang yang belum dikenalnya. Seorang laki-laki dan perempuan yang sudah cukup berumur itu sepertinya sudah pernah dikenalnya, namun tiga orang perempuan yang cantik-cantik dan masih muda serta seorang laki-laki yang lebih tua sedikit dari Glagah Putih dan berdiri di paling belakang, rasa rasanya Ki Rangga belum pernah bertemu.
Agaknya Glagah Putih menyadari hal itu. Maka katanya kemudian sambil maju selangkah, “Kakang, mereka adalah saudara-saudara kita. Yang paling tua itu adalah orang tua angkat kami, Kakang tentu masih mengingatnya, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Kemudian ketiga gadis-gadis itu adalah anak-anak mereka, sedangkan yang berdiri di paling belakang adalah paman gadis-gadis itu, Ki Mlayawerdi.”
Ki Rangga segera membungkukkan badannya ke arah mereka sambil tersenyum. Kemudian katanya, “Selamat datang dan selamat bergabung di tepian Kali Praga. Ma’afkan aku yang agak lupa dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Bagi yang belum kenal, aku adalah kakak sepupu Glagah Putih,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya sambil menyerahkan busur yang ada di tangannya kepada Baruni yang berdiri beberapa langkah di samping kanannya, “Ini busurmu. Ma’af, aku telah meminjamnya tanpa seijinmu, tapi itu semua adalah karena keadaan yang sangat memaksa.”
Dengan tangan gemetar dan wajah bersemu kemerahan Baruni menerima busur dari tangan Ki Rangga Agung Sedayu. Betapa deburan jantungnya yang memukul mukul rongga dadanya membuat kedua tangannya menjadi lemas bagaikan tak bertenaga, sehingga busur yang diterima dari Ki Rangga itu pun hampir saja terjatuh.
Namun Baruni pun ternyata segera menyadari keadaannya. Dengan cepat diraihnya busur yang hampir jatuh itu, kemudian sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam, dia segera bergeser di belakang mbokayunya.
Pandan Wangi dan Rara Wulan yang berdiri paling dekat dan menyaksikan peristiwa itu walaupun hanya sekilas telah sama-sama mengerutkan keningnya. Bagi mereka berdua Baruni adalah gadis yang sama sekali masih hijau dan belum mengenal ganas dan liarnya kehidupan. Agaknya kesan pertama Baruni terhadap Ki Rangga telah menyentuh perasaannya yang paling dalam sehingga membuat gadis itu terlihat gugup.
Sementara Padmini yang merasa telah mempelajari ketangkasan memanah dari kedua orang tua angkatnya sejenak seperti sedang bermimpi. Betapa tidak, kemampuan membidik Ki Rangga memang benar-benar luar biasa. Jangankan di tengah malam yang gelap, di siang hari yang terang benderang pun dirinya belum tentu mampu untuk membidik anak panah yang sedang melaju di udara. Benar-benar kemampuan yang luar biasa.
“Mungkin ada sejenis aji yang bisa digunakan untuk mengungkapkan kemampuan membidik seseorang,” gumam Padmini dalam hati, “Seperti dalam cerita pewayangan, Resi Drona yang mempunyai aji Danurwenda itu mampu memanah dan mengenai sasarannya dengan tepat hanya berdasarkan kepada suara yang diperdengarkan oleh sasaran itu.”
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” tiba-tiba terdengar suara Ki Rangga yang membuyarkan lamunan Padmini, “Kita harus segera menyusun gelar sebelum musuh datang ke tepian ini.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam mendengar ucapan Ki Rangga. Ucapan Ki Rangga itu baginya tak ubahnya sebuah perintah, justru karena keduanya adalah prajurit.
“Marilah,” katanya kemudian kepada istrinya Rara Wulan yang segera mengikuti langkah suaminya. Sementara yang lain pun telah bergerak mengikuti Ki Rangga yang telah meninggalkan tempat itu terlebih dahulu. Sejenak kemudian Ki Rangga dan kawan kawannya telah jauh meninggalkan padang perdu kembali ke tepian untuk melaporkan perkembangan keadaan kepada Ki Patih Mandaraka.
Dalam pada itu di tepian Kali Praga sebelah timur hanya tinggal sebuah rakit saja yang belum bergerak menyeberang ke tepi barat. Ki Patih Mandaraka tampak sedang menghadap Sinuhun Panembahan Hanyakrawati.
“Cucunda Panembahan,” demikian Ki Patih berkata sambil menghaturkan sembah, “Sebaiknya Cucunda Panembahan dan Putranda Raden Mas Rangsang kembali saja ke Istana. Biarlah aku yang sudah tua ini saja yang menyelesaikan urusan dengan orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu.”
“Tidak Eyang Patih,” sabda Sinuhun Panembahan Hanyakrawati, “Aku sengaja mengajak Mas Rangsang datang ke tempat ini untuk menyaksikan gemuruhnya sebuah pertempuran, agar kelak kalau sudah waktunya Mas Rangsang menduduki tahta, dia dapat mempertimbangkan untung dan ruginya sebuah peperangan.”
“Sendika dawuh Cucunda Panembahan,” jawab Ki Patih, “Namun apakah memang perlu bagi Putranda Raden Mas Rangsang untuk ikut menyeberang ke sisi barat? Apakah tidak sebaiknya para prajurit diperintahkan untuk membuat pesanggrahan di sini sehingga Cucunda Panembahan dan Putranda Raden Mas Rangsang dapat menyaksikan pertempuran itu dari tempat ini saja?”
“O, Eyang Patih,” seru Sinuhun Panembahan Hanyakrawati sambil tertawa tertahan, “Apakah Eyang lupa aku ini juga seorang prajurit? Aku juga ingin Mas Rangsang ini mewarisi jiwa prajurit yang telah turun temurun dari Ayahanda Panembahan Senapati.”
Sejenak Ki Patih Mandaraka termangu mangu. Ada sebersit kekhawatiran jika Sinuhun Panembahan Hanyakrawati dan Putranda Raden Mas Rangsang terlalu dekat dengan pertempuran. Ki Patih belum mempunyai gambaran kekuatan yang dimiliki oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu. Jika berita tentang kesaktiannya yang sudah terbebas dari rasa sakit bahkan kematian sekalipun itu benar, Mataram benar-benar dalam bahaya yang besar, orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu akan dapat menggulung Mataram sampai orang yang terakhir.
“Aku tidak percaya kalau Kecruk Putih itu hidup kembali,” berkata Ki Patih dalam hati, “Seandainya pada waktu itu dia tidak mati terkena aji pamungkasku, kali ini aku benar-benar akan membunuhnya.”
“Namun bagaimana jika Kecruk Putih telah meningkatkan ilmunya yang nggegirisi itu?” tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan yang mendebarkan di hati Ki Patih.
“Juru Martani bukan anak kemarin sore,” pertanyaan dalam hati itu dijawab sendiri oleh Ki Patih, “Masih ada beberapa simpanan ilmuku yang akan dapat mengatasi Kecruk Putih, selebihnya aku selalu menyandarkan diriku kepada Yang Maha Agung dalam setiap persoalan baik yang menyangkut diriku pribadi maupun persoalan yang menyangkut kehidupan bebrayan agung.”
Sampai di sini Ki Patih tidak mempunyai pilihan lain selain bersama sama dengan Sinuhun Panembahan Hanyakrawati dan Putranda Raden Mas Rangsang menumpang rakit yang terakhir menyeberang ke sisi barat Kali Praga.
Dalam pada itu, di padukuhan tempat Panembahan Cahya Warastra menghimpun para pengikutnya, Bango Lamatan yang sedang berada di biliknya dikejutkan oleh suara raungan panah-panah sendaren yang memenuhi udara.
Sejenak Bango Lamatan bangkit dari pembaringannya. Ketika kemudian dia mencoba melongokkan kepalanya di jendela satu satunya yang ada di bilik itu, wajahnya menjadi semakin tegang. Ternyata selain bunyi panah sendaren yang meraung-raung, di langit malam yang kelam itu juga dihiasi oleh panah-panah berapi yang bertebaran di udara.
“Gila,” umpat Bango Lamatan, “Apa saja kerjanya anak-anak Jambe Wangi itu di tepian sehingga musuh bisa menyusup. Ki Bagus Lelana harus bertanggung jawab atas keteledoran anak buahnya.”
Selesai berkata demikian, Bango Lamatan segera membenahi pakaiannya yang kusut. Kemudian dengan tergesa-gesa dia pun melangkah keluar bilik menuju ke pendapa.
Ternyata di pendapa telah berkumpul para pemimpin perguruan-perguruan yang telah bersedia membantu Panembahan Cahya Warastra. Ada sekitar empat puluh perguruan yang telah tergabung dalam barisan Panembahan Cahya Warastra, sehingga di pendapa yang cukup luas itu telah berkumpul empat puluh orang pemimpin masing-masing perguruan.
Ketika kemudian pintu pringgitan yang membatasi antara pendapa dengan ruang dalam itu berderit, berpuluh puluh pasang mata segera mengarahkan pandangan mereka kepada Bango Lamatan yang berdiri termangu mangu di tengah-tengah pintu yang terbuka separo.
“Kakang Bango Lamatan,” tiba-tiba seorang yang berperawakan gemuk pendek dengan kepala gundul plonthos merangsek ke depan, “Kami menunggu perintah Kakang. Apakah kita akan menyambut lawan di tepian Kali Praga, ataukah kita akan menunggu dan bertahan di padukuhan ini?”
“Kita ke tepian,” seorang yang berwajah kasar dan sedikit liar menyahut dengan suara menggelegar sambil menyibakkan kerumunan orang-orang itu dan maju ke depan, “Jangan tanggung-tanggung dalam bertindak. Kita menuju ke tepian dan menghancurkan mereka. Setelah itu kita menyeberang dan sekaligus menghancurkan Mataram. Aku yakin pasukan Mataram yang dibawa menyeberang ke Menoreh ini hanya sisa-sisa pasukan yang ada di ibu kota Mataram di tambah para pengawal Kademangan di sekitarnya. Kalau kita mampu menghancurkan pasukan itu, berarti memasuki kota Mataram tak ubahnya seperti bertamasya saja.”
“Jangan takabur Adi Siwurbang,” berkata seorang yang sudah berumur yang berdiri di sebelahnya, “Juru Martani mempunyai seribu akal licik untuk menjebak musuh musuhnya. Masih ingat bagaimana Adipati Jipang yang perkasa itu ternyata takluk di tangan Sutawijaya, anak yang masih ingusan? Bagaimana Panembahan Madiun yang disegani oleh seluruh Adipati Bang Wetan ternyata tertipu dengan Nyai Adisara, perempuan suruhan Juru Martani? Dan masih banyak lagi akal licik orang dari Sela itu yang ternyata telah mampu mengubah sejarah di Tanah ini. Aku yakin, kali ini pun Ki Juru Martani itu pasti mempunyai siasat yang dapat mengelabuhi pengamatan kita.”
“Aku setuju dengan pendapat Ki Ageng Blarak Sineret,” akhirnya Bango Lamatan menjawab sambil kemudian melangkah ke pendapa, “Kekurang-cermatan kita dalam menilai kekuatan musuh adalah awal kegagalan dari perjuangan ini. Kita tidak usah mengganggu Panembahan Cahya Warastra, aku telah diberi kuasa penuh untuk memimpin pasukan ini. Panembahan hanya akan turun ke medan jika Juru Martani yang licik itu sudah terlihat memasuki pertempuran. Sesungguhnya kekuatan Mataram itu terletak pada Juru Martani. Dengan membunuhnya, kita akan melapangkan jalan menuju ke istana.”
Sejenak terdengar beberapa orang bergeremang dengan tidak jelas. Masing-masing memberikan pendapatnya dan bertukar pendapat dengan orang yang berdiri di sebelahnya. Namun ada juga yang hanya mengangguk anggukkan kepala sambil mengelus elus janggutnya.
“Bagaimana?” tiba-tiba terdengar suara Bango Lamatan lantang untuk mengatasi suara gaduh yang mulai timbul di antara kerumunan para pemimpin perguruan itu.
“Maksud kakang?” bertanya orang yang berwajah kasar dan sedikit liar yang ternyata bernama Siwurbang, lengkapnya Alap-Alap Siwurbang.
Bango Lamatan sejenak tidak menjawab pertanyaan Alap-Alap Siwurbang. Diedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut pendapa untuk mendapatkan kesan dari mereka yang hadir di tempat itu. Namun tidak ada seorang pun yang membuka mulut untuk memberikan pendapatnya.
“Baiklah,” akhirnya Bango Lamatan memutuskan, “Kita akan songsong musuh di tepian. Masing-masing perguruan harus terikat dengan satu kesatuan pasukan yang utuh. Jangan bertindak sendiri-sendiri. Kita akan berperang dalam gelar Wulan Tumanggal.”
Beberapa orang tampak mengerutkan keningnya mendengar Bango Lamatan akan menggunakan gelar Wulan Tumanggal untuk menyongsong musuh yang sudah berada di tepian.
Agaknya Bango Lamatan tanggap dengan kesan yang di dapat dari beberapa pemimpin perguruan itu. Maka katanya kemudian, “Apakah ada yang mempunyai pemikiran yang lebih baik dari gelar Wulan Tumanggal?”
“Ma’af Kakang Bango Lamatan,” seorang yang masih cukup muda dan berwajah cukup tampan maju ke depan, “Apakah kelebihan gelar Wulan Tumanggal dalam hal ini menghadapi pasukan Mataram yang sudah berada di tepian?”
“He!” tiba-tiba Bango Lamatan yang menyadari siapa orang yang sedang berbicara kepadanya itu membentak keras, “Apa kerja anak buahmu di tepian? Bagaimana mungkin pasukan Mataram bisa menyeberang ke tepi barat sedangkan anak buahmu telah berjaga jaga siang dan malam di sana?”
Orang yang dibentak itu ternyata Ki Bagus Lelana, pemimpin perguruan Jambe Wangi yang mendapat tugas menjaga tepian sebelah barat kali Praga.
Mendapat tegoran keras seperti itu sejenak Ki bagus Lelana terdiam dengan muka merah padam. Namun kemudian setelah mampu menguasai gejolak dalam dadanya, dia menjawab, “Ma’afkan aku Kakang, aku juga belum mendapatkan laporan dari anak buahku bagaimana mereka bisa sedemikian ceroboh membiarkan musuh menyeberang.”
Mendapat jawaban seperti itu Bango Lamatan sejenak termangu mangu. Dia baru menyadari bahwa sampai saat ini belum ada laporan dari para telik sandi yang telah mereka sebar di dalam hutan yang terletak di dekat padang perdu menuju ke arah tepian Kali Praga.
“Apakah sudah ada telik sandi yang memberikan laporan?” bertanya Bango Lamatan setelah sejenak terdiam.
“Belum Kakang,” jawab Ki Bagus Lelana, “Justru kami berkumpul di sini ingin mendengarkan berita dari Kakang yang mungkin telah menerima laporan dari para telik sandi.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku belum menerima laporan. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan kemari.”
Baru saja Bango Lamatan menyelesaikan kata katanya, tiba-tiba dari arah pintu regol terdengar kegaduhan disusul dengan munculnya tiga orang yang dengan tergesa-gesa segera berlari menuju ke pendapa.
“Kami harus segera menghadap Ki Bango Lamatan,” teriak salah seorang yang baru datang itu sambil menaiki tlundak pendapa. Sementara kedua kawannya menyusul di belakangnya.
“Aku di sini,” sahut Bango Lamatan lantang sambil melangkah mendekat.
Ketiga orang yang baru saja datang itu segera melangkah mendekati Bango Lamatan yang justru kini telah berdiri di tengah-tengah pendapa.
Begitu ketiga orang itu telah berada di hadapan Bango Lamatan, segera saja para pemimpin perguruan yang hadir di situ bergerak merapat membentuk lingkaran. Mereka agaknya juga ingin mendengarkan berita yang di bawa oleh ketiga telik sandi itu.
“Katakan dengan jelas supaya Kau tidak usah mengulang ulang ceritamu,” perintah Bango Lamatan dengan nada dalam.
Sejenak orang yang tertua dari ketiga petugas sandi itu menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya. Tiba-tiba saja kerongkongannya menjadi kering begitu dia menyadari betapa gawatnya berita yang dibawanya itu.
“Ki Bango Lamatan,” akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutnya, “Kami bertiga adalah petugas sandi yang ditempatkan di dalam hutan yang sudah tidak begitu lebat lagi itu. Menjelang dini hari tadi, kami mendengar suara tangis seorang perempuan dari arah padang perdu.”
Sampai di sini para pemimpin perguruan yang hadir disitu hampir sebagian besar telah berguman sambil berpaling memandang ke arah Ki Bagus Lelana yang berdiri di sebelah kanan Bango Lamatan.
Mendapatkan perlakuan seperti itu, Ki Bagus Lelana pun menggeram, “Mengapa kalian memandangku seperti itu, he?”
“Bukankah sudah bukan rahasia lagi kalau perguruanmu itu selalu berhubungan dengan perempuan?” terdengar suara berat dan dalam dari seorang yang berdiri beberapa langkah di samping Ki Bagus Lelana, “Itu pasti salah seorang korban nafsu anak buahmu yang berjaga jaga di tepian.”
Dengan mata merah membara, Ki Bagus Lelana mencari arah suara yang berat dan dalam itu. Ketika kemudian pandangan matanya tertumbuk pada seorang yang berperawakan tinggi gagah dengan kumis melintang tetapi dengan dagu yang licin, berikat kepala warna wulung dan berbaju hitam dengan kain panjang hitam bergaris garis putih, Ki Bagus Lelana pun seakan akan telah membeku di tempatnya. Orang yang menegurnya itu ternyata adalah Ki Wasi Jaladara dari perguruan Liman Benawi di Madiun.
“Nah,” berkata Ki Wasi Jaladara selanjutnya, “Bukankah sudah jelas siapa yang telah meninggalkan kewajibannya menjaga tepian sebelah barat kali Praga? Setiap kesalahan pasti ada hukumannya, dan hukuman apa yang akan ditimpakan kepada perguruan Jambe Wangi, kita serahkan saja kepada Kakang Bango Lamatan.”
Kembali mereka yang hadir di tempat itu bergeremang sambil memandang ke arah Bango Lamatan.
Namun sebelum Bango Lamatan memberikan pendapatnya, tiba-tiba petugas sandi yang tertua itu menyela, “Ma’af Ki Bango Lamatan, aku belum selesai dengan ceritaku.”
Kini perhatian orang-orang yang ada di pendapa itu kembali tercurah kepada petugas sandi yang tertua itu.
“Lanjutkan,” perintah Bango Lamatan singkat.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, petugas sandi yang tertua itu pun melanjutkan ceritanya, “Kami berusaha mendekati arah suara tangis itu. Ternyata ada tiga orang yang salah satunya adalah seorang perempuan yang kelihatannya sedang berselisih paham sehingga perempuan itu telah menangis sejadi-jadinya.”
“Apakah Kau dan kawan kawanmu dapat mengenali siapakah mereka itu?” bertanya salah seorang pemimpin perguruan yang hadir disitu.
Petugas sandi itu menggeleng, namun kemudian katanya, “Kami hanya mengenali salah seorang dari ketiga orang itu sangat aneh. Badannya tinggi besar dan hampir di sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu yang berwarna putih.”
“Resi Mayangkara!” hampir bersamaan beberapa orang telah berseru.
Bango Lamatan yang mendengar seruan beberapa orang itu telah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku memang pernah mendengar seorang sakti yang aneh dan tinggal di gunung Kendalisada. Namun aku tidak yakin kalau benar-benar tokoh itu ada. Mungkin itu hanya sekedar dongeng ngayawara yang berkembang di lingkungan para kawula Mataram.”
Sejenak petugas sandi itu termangu mangu. Ada sedikit keraguan tersirat di wajahnya. Waktu itu memang malam masih cukup gelap dan sosok yang dilihatnya itu pun cukup jauh. Namun sebenarnya dia sangat yakin dengan penglihatannya pada waktu itu karena memang dia mempunyai kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang lain, pandangan yang sangat tajam walaupun di malam yang sangat pekat sehingga dia diandalkan oleh perguruannya menjadi salah seorang petugas sandi.
“Apakah Kau mengenali laki-laki yang satunya?” kembali sebuah pertanyaan terlontar dari salah satu yang hadir disitu.
Petugas sandi itu menggeleng, “Aku tidak melihat ciri-ciri yang khusus pada laki-laki yang satunya,” dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Namun yang sangat mendebarkan adalah kemampuannya membidik. Dia mampu memotong arah anak panah berapi yang dilepaskan oleh Putut Banjar Panji, justru di malam yang masih cukup gelap.”
Selesai berkata demikian petugas sandi itu pun kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi di pinggir hutan dekat padang perdu itu.
Sejenak para pemimpin perguruan yang hadir di tempat itu menjadi gempar. Mereka benar-benar hampir tidak percaya kalau ada orang yang mempunyai kemampuan bidik yang sempurna seperti itu.
“Mungkin orang itu mempunyai aji Danurwenda, aji yang dimiliki Resi Drona,” berkata salah seorang.
“Ah, aji Danurwenda itu hanya ada dalam cerita pewayangan,” sahut yang lain.
“Tapi bukankah ilmu-ilmu yang ada sekarang ini juga bersumber dari cerita-cerita seperti itu?” sahut yang lain tak kalah serunya.
“Sudahlah..!” tiba-tiba Bango Lamatan berteriak lantang untuk menenangkan suara riuh rendah para pemimpin perguruan yang berkumpul di pendapa itu, “Aku sudah tahu siapa orang yang mempunyai kemampuan bidik yang luar biasa itu.”
Ucapan Bango Lamatan itu ternyata telah mengejutkan. Beberapa orang hampir bersamaan telah bertanya, “Siapakah yang Kau maksud, Kakang?”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan itu. Ada sedikit keseganan untuk mengatakan siapa orang itu, karena sama saja dengan mengungkit masa lalunya yang memalukan. Namun akhirnya terlontar juga jawaban dari mulutnya, “Orang itu adalah Agul Agulnya Mataram, adik kandung Senapati yang berkedudukan di Jati Anom, murid utama orang bercambuk, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Kali ini pendapa itu benar-benar bagaikan meledak. Beberapa orang telah berteriak teriak untuk mengungkapkan ketidak percayaan mereka terhadap kata-kata Bango Lamatan.
“Tidak mungkin,” seorang yang rambutnya hampir putih semua menyela setengah berteriak untuk menarik perhatian, “Bukankah Kiai Naga Geni telah mencegatnya di hutan tambak baya? Kiai Naga Geni adalah orang yang tiada duanya di Nusa Kambangan. Tidak ada orang yang mampu lolos dari tangannya.”
“Ya,” sahut yang lain cepat, “Bahkan masih ada Ki Ajar Andong Puring dan murid muridnya yang membantu.”
“Tetapi kenyataan berbicara lain,” jawab Bango Lamatan yang membuat mereka yang hadir disitu tertegun, “Memang belum ada laporan mengenai hal itu, tapi aku yakin, orang yang mampu membidik dengan tepat walaupun di malam yang gelap sekalipun itu pasti murid orang bercambuk itu.”
Sejenak pendapa itu menjadi sunyi. Beberapa orang yang mengetahui tingkat kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu menjadi gelisah. Bahkan Bango Lamatan pun tidak mampu menghapus bayangan masa lalunya ketika harus berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu yang masih berusia muda.
“Mungkin aku terlalu percaya diri waktu itu sehingga membuat aku lengah,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Sekarang aku telah menyempurnakan ilmuku dengan laku yang sangat berat dan rumit. Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi dari seorang Agung Sedayu.”
Namun jauh di dasar hatinya Bango Lamatan tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa dirinya masih merasa segan jika harus berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu lagi.
“Mengapa kita mesti ketakutan dengan orang yang bernama Agung Sedayu, murid utama orang bercambuk?” tiba-tiba terdengar suara yang pelan namun getarannya telah menggoncang tiang-tiang pendapa dan setiap dada yang hadir di tempat itu.
Serentak mereka berpaling ke asal getaran suara itu. Tampak seseorang yang sudah cukup tua namun masih terlihat sangat sehat dan kokoh, berdiri di belakang kerumunan sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang menggapai dada. Sementara di belakangnya berdiri dua orang kakak beradik murid kepercayaannya.
“Ki Gede Ental Sewu dari Gunung Sindara” beberapa orang yang telah mengenalnya segera menyerukan nama yang telah menggetarkan setiap jantung yang hadir di pendapa itu.
Sejenak kemudian orang-orang yang berkerumun itu pun segera menyibak, memberikan jalan bagi Ki Gede Ental Sewu dari Gunung Sindara dan kedua muridnya.
“Ma’afkan kami Ki Gede,” berkata Bango Lamatan sambil merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dada dan membungkuk dalam-dalam, “Kami merasa sangat tersanjung Ki Gede Ental Sewu bersedia hadir di tengah-tengah kami.”
Ki Gede Ental Sewu tidak menjawab hanya mengangguk anggukkan kepalanya sambil mengelus elus janggutnya. Ki Gede Ental Sewu dari Padepokan Ental Sewu yang terletak di lereng Gunung Sindara berbatasan dengan Gunung Sumbing yang berpemandangan asri ini memang termasuk tokoh angkatan tua. Hampir tidak pernah keluar dari Padepokannya kalau tidak ada peristiwa yang khusus. Agaknya Ki Gede Ental Sewu ini merasa perlu untuk turun gunung dengan membawa kedua muridnya kakak beradik, Sindangwangi dan Bantarkawung. Selain ingin membantu sahabatnya Panembahan Cahya Warastra yang semasa mudanya bernama Kecruk Putih, Ki Gede juga ingin memberikan pengalaman kepada kedua muridnya yang masih muda.
“Bango Lamatan,” pelan terdengar suara Ki Gede namun getarannya seakan merontokkan isi dada, “Apakah tidak sebaiknya kita berbicara sambil duduk? Banyak hal yang harus kita bicarakan sehubungan dengan rencana penyerbuan ke tepian kali Praga.”
Bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk, Bango Lamatan pun kemudian dengan tergopoh-gopoh mempersilahkan para pemimpin perguruan yang hadir di pendapa itu untuk duduk, terutama Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya.
Sejenak kemudian mereka yang hadir di pendapa itu pun telah menempatkan dirinya masing-masing. Beberapa perguruan yang telah saling mengenal sebelumnya telah duduk bergerombol saling berdekatan, namun ada juga yang mencoba berbaur dengan perguruan lain walaupun mereka belum saling mengenal.
“Bango Lamatan,” kembali terdengar suara Ki Gede Ental Sewu yang berat dan dalam, “Apakah pertimbanganmu untuk menggunakan gelar Wulan Tumanggal pada saat benturan pertama dengan pasukan Mataram.”
Sambil mengangguk hormat Bango Lamatan menjawab, “Ki Gede, gelar Wulan Tumanggal akan kita gunakan untuk menggempur musuh karena pertimbangan akan kekuatan yang kita miliki. Disini telah berkumpul sekitar empat puluh perguruan, itu berarti kita mempunyai empat puluh pemimpin perguruan yang kemampuannya setingkat dengan Rangga atau bahkan mungkin dapat disamakan dengan Tumenggung dalam keprajuritan.”
Ki Gede Ental Sewu mengerutkan keningnya mendengar jawaban Bango Lamatan. Kemudian sambil menggeleng perlahan, dia berkata, “Perhitunganmu terlalu berlebihan Bango Lamatan. Kalau pemimpin perguruan kemampuannya Kau samakan dengan Rangga, apa katamu tentang Ki Rangga Agung Sedayu yang baru mendengar namanya saja kalian telah ketakutan? Ingat Ki Rangga Agung Sedayu lah yang telah menghentikan petualangan Ajar Talpitu. Kemudian seorang Tumenggung Prabandaru dari Pajang pun juga terbunuh di tangannya dan masih banyak lagi. Namun ada satu hal yang sampai saat ini aku tidak percaya itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin seorang yang bernama Pideksa yang kemudian bergelar Ajar Kumuda dari Madiun dapat dikalahkan oleh seorang yang bernama Agung Sedayu, murid orang bercambuk. Padahal dimasa mudanya, Ajar Kumuda itu pernah berselisih dengan Guru Agung Sedayu, orang bercambuk itu dan kemampuan mereka pada saat itu dapat dikatakan seimbang. Justru pada saat Ajar Kumuda telah memasuki usia tua dan ilmunya semakin mapan dan sempurna, dia telah terbunuh dalam perang tanding melawan Agung Sedayu, murid orang bercambuk yang menjadi seterunya di masa muda.”
Para pemimpin perguruan yang mendengar penuturan Ki Gede Ental Sewu itu sejenak termangu mangu. Ki Ajar Kumuda adalah seorang yang mempunyai kebiasaan yang sama dengan Ki Gede Ental Sewu. Keduanya dapat dikatakan jarang sekali keluar padepokan untuk mengembara. Kalau Ki Ajar Kumuda mempunyai kepentingan dengan seseorang, biasanya orang itu akan dipanggilnya untuk menghadap ke padepokan, dan orang tersebut dengan patuh akan menghadap walaupun dia tahu bahwa dia akan dihukum atau bahkan dibunuh sekalipun.
Namun ternyata Ki Ajar Kumuda yang dimasa mudanya benama Pideksa itu telah dikalahkan oleh Agung Sedayu, justru murid orang bercambuk yang sangat dibencinya dan ingin dibunuhnya.
“Nah,” berkata Ki Gede Ental Sewu kepada Bango Lamatan kemudian, “Apakah Kau masih akan mempertahankan perhitunganmu tentang perbandingan kekuatan kita?”
Sejenak Bango Lamatan merenung, kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam dia menjawab, “Ki Gede, Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang prajurit yang berpangkat Rangga namun mempunyai kemampuan yang khusus. Yang aku perbandingkan adalah prajurit berpangkat Rangga yang sesungguhnya. Khusus untuk Ki Rangga Agung Sedayu aku serahkan kepada kebijaksanaan Ki Gede.”
Ki Gede Ental Sewu tertawa tertahan. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya dia menjawab, “Bukankah di sini masih banyak yang lebih mumpuni? Bagaimana dengan aji Panglimunanmu yang nggegirisi itu? Haruskah aku yang sudah tua ini masih harus mengadu kerasnya tulang dan tebalnya kulit dengan orang yang pantas menjadi anakku?”
“Guru,” tiba-tiba Bantarkawung yang ada di belakang Gurunya menyela setengah berbisik, “Ijinkan aku menghadapinya, kalau perlu berdua dengan mbokayu Sindangwangi.”
Gurunya yang mendengar bisik muridnya itu tersenyum masam, jawabnya kemudian sambil sedikit menoleh kebelakang, “Kalian masih pupuk bawang diantara para raksasa olah kanuragan dalam perang di tepian nanti. Lebih baik kalian berdua menimba pengalaman dengan bertempur melawan para prajurit biasa saja.”
Merah padam muka Bantarkawung mendengar teguran Gurunya itu. Sementara mBokayunya Sindangwangi yang duduk di sebelahnya justru telah tertawa kecil sambil mencibirkan bibirnya yang mungil menggemaskan itu ke arah adiknya.
“Bango Lamatan,” kembali terdengar Ki Gede Ental Sewu berkata, “Memang kau dapat menempatkan beberapa pemimpin perguruan yang kau anggap mumpuni di kedua ujung gelar Wulan Tumanggal. Tapi ingat, kita belum tahu gelar apa yang akan dipakai oleh orang-orang Mataram.”
“Menurut perhitungan, dengan melihat luasnya tepian kali Praga sebelah barat, mereka tentu cenderung untuk menggunakan gelar Garuda Nglayang,” jawab Bango Lamatan dengan mantap.
Sejenak Ki Gede mengangguk angguk, kemudian katanya, “Itu berarti kau akan membenturkan kedua ujung Wulan Tumanggal dengan kedua sayap Garuda Nglayang,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah kedua ujung Wulan Tumanggal itu cukup kuat untuk menusuk dan mematahkan sayap Garuda Nglayang?”
“Aku kira cukup Ki Gede,” jawab Bango Lamatan cepat, “Dengan menempatkan para pemimpin perguruan serta beberapa murid-murid utama mereka di kedua ujung gelar, kesempatan untuk menghancurkan sayap-sayap itu terbuka lebar. Setelah sayap-sayap itu hancur, kita segera mengubah gelar. Kedua ujung Wulan Tumanggal akan saling mendekat dan bagian tengah gelar akan maju membentuk belalai di antara kedua ujung gelar yang telah menjadi sepasang gading yang akan merobek robek garuda yang sudah kehilangan sayapnya.”
“Maksudmu gelar akan berubah menjadi Dirada Meta?” bertanya Ki Gede
“Ya Ki Gede,” jawab Bango Lamatan, “Dengan demikian kita tinggal menunggu waktu, kapan garuda yang sudah lumpuh itu akan hancur tercabik-cabik oleh sepasang gading dari Dirada Meta.”
Ki Gede menarik nafas sejenak, kemudian sambil memandang berkeliling dia berkata, “Memang kedengarannya begitu mudah. Namun aku kira jika memang pasukan mataram mengalami kehancuran pada kedua sayapnya, mereka akan segera mengubah gelar seperti kita.”
Bango Lamatan mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Gelar apakah yang memungkinkan untuk garuda yang telah patah sayapnya?”
Ki Gede yang sudah banyak berpengalaman dalam berbagai pertempuran itu tersenyum sambil menjawab, “Cakra Byuha, ya.. Cakra Byuha, justru karena mereka ingin melindungi Juru Martani yang menjadi sasaran utama kita. Dengan menempatkan orang-orang penting mereka di setiap ujung gerigi dari Cakra Byuha, Dirada Meta akan kesulitan untuk mendekati Cakra yang berputar terus, apalagi untuk menghancurkannya.”
Sejenak wajah Bango Lamatan menjadi tegang. Namun kemudian sambil mengangguk anggukkan kepalanya dia berdesis perlahan, “Kalau memang demikian perubahan yang terjadi di medan pertempuran, kita akan sekali lagi mengubah gelar, gelar jurang grawah. Gelar yang mampu menampung apa saja yang masuk kedalamnya.”
Ki Gede Ental Sewu tersenyum mendengar desis Bango Lamatan. Katanya kemudian, “Sudahlah, kita akan melihat semua itu nanti di medan. Aku menyediakan diri untuk menahan Ki Rangga Agung Sedayu, namun aku tidak tahu di tempat mana murid orang bercambuk itu berada di medan pertempuran yang sangat luas nanti.”
“Bukankah Ki Gede dapat menelusuri keberadaan Ki Rangga dari suara cambuknya?” bertanya Bango Lamatan.
“Aku memang sudah berpikir demikian,” jawab Ki Gede, “Namun begitu aku menemukan tempat murid orang bercambuk itu, aku kawatir sudah ada beberapa kurban yang jatuh.”
Bango Lamatan termenung. Berdasarkan pengalamannya berperang tanding dengan murid orang bercambuk itu beberapa tahun yang lalu, kekuatan cambuk Ki Rangga memang sangat nggegirisi, apalagi sekarang tentu sudah semakin matang dan sempurna.
“Baiklah,” akhirnya Ki Gede berkata sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya diikuti oleh kedua muridnya, “Aku tidak terikat dengan gelar yang akan kau pasang nanti. Aku dapat berada di segala medan. Tugasku adalah menahan Ki Rangga Agung Sedayu dan mengikatnya dalam sebuah perang tanding agar tidak jatuh kurban yang sia-sia di tangan murid orang bercambuk itu.”
Bango Lamatan dan beberapa orang yang ada di pendapa itu mengangguk anggukkan kepala mendengar ucapan Ki Gede. Mereka sadar bahwa hanya Ki Gede Ental Sewu saja yang diharapkan akan mampu menahan Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan Panembahan Cahya Warastra sudah menentukan sendiri lawannya, Ki Patih Mandaraka.
Sejenak kemudian Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya telah meninggalkan tempat itu untuk beristirahat sebelum mereka turun ke medan. Seorang murid Panembahan Cahya Warastra dengan tergesa-gesa telah mempersilahkan mereka bertiga untuk memasuki sebuah rumah yang terletak berdekatan dengan rumah induk.
Sepeninggal Ki Gede Ental Sewu, Bango Lamatan segera menyusun kekuatan gelar Wulan Tumanggal berdasarkan kemampuan para pemimpin perguruan yang hadir disitu.
“Aku minta Ki Wasi Jaladara berada di ujung kanan gelar sedangkan Ki Ageng Blarak Sineret berada di ujung yang lain,” Bango Lamatan berhenti sejenak, kemudian, “Kemudian Alap-Alap Siwurbang, Ki Bagus Lelana, Kiai Sasadara dan Ki Sadaksada aku harap mendampingi Ki Wasi Jaladara. Kalian dapat membawa serta seluruh murid-murid perguruan kalian untuk membantu turun ke medan.”
“Bagaimana dengan kami berdua?” tiba-tiba terdengar suara menyela sebelum Bango Lamatan menyelesaikan kalimatnya.
Hampir bersamaan semua kepala menoleh ke arah suara itu berasal. Tampak dua orang yang duduk agak di pinggir dengan wajah yang tegang sedang memandang ke arah Bango Lamatan.
Bango Lamatan tersenyum begitu menyadari siapa mereka berdua. Katanya kemudian, “Kalau aku tidak salah, ketika pertama kali datang ke tempat ini memenuhi undangan Panembahan Cahya Warastra, kalian memperkenalkan diri sebagai sepasang iblis bertangan badai dari kali Dadung. Namun sebenarnyalah aku belum pernah mengenal kalian berdua.”
Kedua orang itu tampak mengerutkan keningnya. Kemudian salah satu yang terlihat lebih tua menjawab, “Nama bagi kami tidak begitu penting. Namun yang jelas kami berdua akan membalas dendam kematian guru kami oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini harus dituntaskan.”
“Itu urusan pribadi kalian berdua Ki Sanak,” berkata Bango Lamatan, “Dalam gelar perang yang telah kita setujui, kita tidak boleh memilih lawan kecuali Panembahan Cahya Warastra yang telah memilih Ki Patih Mandaraka sebagai lawan dan Ki Gede Ental Sewu yang telah berjanji akan menahan Ki Rangga Agung Sedayu. Selebihnya, siapapun yang ada di depan mata kita itulah lawan kita.”
Kedua orang yang bergelar sepasang iblis bertangan badai itu sejenak saling berpandangan, namun yang tertua lah yang kemudian menjawab, “Kami berdua akan tetap mengikuti arus gelar yang akan dipasang, namun apabila kami mendengar suara cambuk yang menggelegar, itu pertanda bahwa kami harus segera bergeser untuk menemukan arah suara cambuk itu.”
“Itu terserah kalian,” jawab Bango Lamatan, “Namun kalian berdua akan berada di bawah kendali Ki Ageng Blarak Sineret. Kalian harus mendengarkan perintahnya.”
“Bukan masalah bagi kami,” kini yang muda lah yang menjawab, “Begitu kami mendapat lawan di medan, akan segera kami tuntaskan tidak lebih dari sepemakan sirih. Setelah tugas kami selesai, kami akan memburu Ki Rangga Agung Sedayu di manapun dia berada.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Ada sedikit kebimbangan dalam hatinya untuk menempatkan kedua orang itu di bawah kendali Ki Ageng Blarak Sineret. Selain belum mengetahui dengan pasti tingkat ilmu kanuragan kedua orang itu, kedua ujung gelar Wulan Tumanggal itu memerlukan kekuatan penuh dari sekumpulan orang-orang linuwih untuk menghancurkan pertahanan lawan yang berada di sisi sebelah menyebelah. Jika beberapa orang yang di anggap mumpuni justru telah meninggalkan medan sebelum pertahanan lawan hancur, akan dapat berakibat sebaliknya, lawan akan dapat menghantam balik dan mematahkan kedua ujung gelar Wulan Tumanggal.
Ki Ageng Blarak Sineret yang mendengarkan percakapan itu tiba-tiba terbatuk-batuk kecil sehingga perhatian orang-orang yang ada di pendapa itu tertumpah kepadanya.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret setelah semua perhatian tercurah padanya, “Aku keberatan jika kedua Ki Sanak ini berada di bawah kendaliku. Bukan karena aku meragukan kemampuan mereka berdua, justru aku lebih senang jika Ki Sanak berdua ini di tempatkan di tengah-tengah gelar. Pada benturan pertama hanya ujung-ujung gelar kita yang akan bertempur dengan sayap-sayap lawan, sementara gelar yang ada di tengah masih menunggu perkembangan yang terjadi di kedua ujung gelar. Ini akan memberi kesempatan kepada kedua Ki Sanak ini untuk mengamati dengan seksama keberadaan Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Bagaimana jika Ki Rangga juga berada di tengah gelar?” sahut Bango Lamatan cepat.
“Itu tidak masalah, “ jawab Ki Ageng Blarak Sineret, “Kedua Ki Sanak ini dapat menunggu sampai benturan yang sesungguhnya terjadi.”
“Bagaimana dengan Ki Gede Ental Sewu yang telah menyanggupi untuk menahan Ki Rangga?” tiba-tiba sebuah pertanyaan terlontar dari salah seorang yang hadir di situ.
“Justru itu akan mempercepat kematiannya,” jawab Bango Lamatan cepat, “Kita tidak sedang dalam sebuah perang tanding yang menjunjung tinggi kejantanan. Perang yang terjadi nanti adalah perang brubuh, siapa yang kuat dia yang akan menang. Kita dapat bertempur seorang lawan seorang ataupun bahkan berkelompok sekalipun.”
Orang-orang yang hadir di tempat itu mengangguk-anggukkan kepala, kecuali kedua orang yang bergelar sepasang iblis bertangan badai dari Kali Dadung. Kedua orang itu sejenak masih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Harapan mereka adalah membalas dendam dengan membunuh Ki Rangga memakai tangan mereka sendiri. Namun setelah mereka menyadari siapakah Ki Gede Ental Sewu itu, akhirnya dengan perlahan lahan mereka berdua pun akhirnya mengangguk-anggukkan kepala juga.
“Tidak masalah,” berkata yang tertua dalam hati, “Siapapun yang membunuh Ki Rangga tidak jadi soal. Justru kami telah dengan jujur menilai kemampuan kami dibandingkan dengan kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Baiklah,” berkata Bango Lamatan kemudian, “Seperti apa yang telah aku katakan tadi, Ki Ageng Blarak Sineret mengendalikan ujung gelar yang satunya dibantu oleh kedua Ki Sanak dari Kali Dadung, Ki Ajar Wiyat dari Tumapel, Ki Rudraksa dari Perguruan Jambu Alas, dan Nyi Ayu Rahutri dari Perguruan Pamulatsih.”
Selesai menyebutkan nama yang terakhir itu, tampak Bango Lamatan ragu-ragu memandang sekeliling untuk mencari orang yang bernama Nyi Ayu Rahutri dari perguruan Pamulatsih.
“Nyi Ayu Rahutri berada di pondokannya, Ki Bango Lamatan,” tiba-tiba terdengar suara seseorang yang duduk agak jauh di samping kiri Bango Lamatan.
Ketika kemudian Bango Lamatan berpaling ke arahnya, orang itupun melanjutkan keterangannya, “Ketika berangkat tadi, aku sempat bertemu dengan Nyi Ayu Rahutri di depan pondokannya. Dia memohon ma’af tidak bisa ikut berkumpul di sini, namun dia akan melaksanakan tugas apapun yang dibebankan kepada perguruannya.”
Bango Lamatan mengangguk anggukkan kepalanya. Nyi Ayu Rahutri adalah pemimpin padepokan Pamulatsih yang semua anak muridnya adalah perempuan. Ketidak-hadirannya di pertemuan ini dapat dimaklumi justru karena yang hadir semuanya adalah laki-laki, jika Nyi Ayu Rahutri ikut hadir, tentu saja itu akan membuatnya sangat ewuh pakewuh.
“Baiklah,” berkata Bango Lamatan kemudian, “Untuk gelar di bagian tengah akan dipimpin langsung oleh Panembahan Cahya Warastra dengan pendamping aku sendiri dan Ki Bagaswaras serta Putut Gagat Rahina,” Bango Lamatan berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Masih ada waktu sebelum Matahari terbit. Kalian dapat kembali ke pondokan masing masing. Aku kira yang bertugas di bagian dapur umum sudah bersiap siap menyiapkan makan pagi sebelum kita berangkat bertempur.”
“Apakah tidak ada kemungkinan Mataram akan menyergap kita selagi kita menikmati makan pagi?” seseorang yang berbadan agak gemuk mengajukan pertanyaan.
Bango Lamatan menggeleng sambil tersenyum, “Itulah hebatnya Ki Patih Mandaraka. Dia benar benar seorang yang pandai memainkan peran. Setelah gerakannya terpantau oleh para petugas sandi kita, dia segera mengulur waktu untuk menciptakan kepanikan dalam diri kita, sehingga kita dengan tergesa gesa akan menyerbu ke tepian tanpa perhitungan gelar yang matang. Itulah yang dikehendakinya.”
“Tetapi kita tidak melakukannya,” kembali orang yang bertubuh agak gemuk itu berkata.
“Ya,” jawab Bango Lamatan, “Karena aku mempunyai perhitungan-perhitungan tertentu. Aku tidak terpancing ketika beberapa dari kalian mengajak menyerbu tepian saat itu juga ketika isyarat dari para petugas sandi yang kita terima masih belum jelas.”
“Maksud Ki Bango Lamatan?”
“Panah api dan panah sendaren hanya mengisyaratkan adanya gerakan musuh yang bisa mendarat di tepian sebelah barat. Selebihnya kita masih harus menunggu keterangan dari petugas sandi yang melapor.”
“Bagaimana seandainya Mataram pada saat itu langsung menyerbu ke padukuhan ini?”
“Tentu isyarat yang kita terima berbeda dan sikap yang kita ambilpun juga berbeda.”
Orang yang berperawakan agak gemuk itu mengangguk anggukkan kepalanya.
Demikianlah akhirnya, setelah Bango Lamatan membagi tugas, mereka yang hadir di pendapa itupun segera membubarkan diri kembali ke pondokan masing masing. Sementara Bango Lamatan sendiri telah beranjak menuju ke ruang dalam.
Sejenak Bango Lamatan ragu-ragu ketika melewati sebuah bilik di ruang dalam yang pintunya tertutup rapat rapat. Ada keinginan untuk mengetuk pintu bilik itu, namun dia ragu, apakah penghuni bilik tersebut berkenan untuk menerimanya jika dia menghadap.
Namun keragu-raguan Bango Lamatan itu segera terhapus begitu terdengar suara yang berat dan bernada dalam dari arah bilik, “Bango Lamatan, masuklah.
Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting.”Bango Lamatan menarik nafas dalam dalam begitu mendengar suara itu, suara yang sudah sangat dikenalnya.
“Masuklah,” kembali terdengar suara yang berat dan bernada dalam dari arah bilik ketika Bango Lamatan dengar ragu-ragu mengetuk pintu.
Ketika kemudian pintu bilik itu telah terbuka sebagian, Bango Lamatan melihat orang yang selama ini sangat dikenalnya dan juga yang masih menyimpan seribu rahasia tentang jati dirinya sebagai Panembahan Cahya Warastra, sedang duduk bersila di atas amben satu satu yang ada di bilik itu beralaskan tikar pandan yang sudah usang.
“Duduklah,” sekali lagi perintah dari Panembahan Cahya Warastra itu tidak dapat ditolaknya. Setelah menutup pintu bilik kembali, Bango Lamatan pun kemudian menggeser sebuah dingklik kayu ke depan pembaringan Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah persiapan untuk menyerbu ke tepi barat kali praga sudah siap?” bertanya Panembahan Cahya Warastra kepada Bango Lamatan sesaat setelah dia duduk.
“Demikianlah, Panembahan,” jawab Bango Lamatan, “Gelar yang akan kita pakai adalah wulan tumanggal dengan menempatkan di kedua ujung gelar para pemimpin perguruan yang mempunyai kelebihan dari yang lain, dengan harapan ke dua ujung gelar itu segera dapat melumpuhkan ujung ujung gelar lawan dalam waktu yang singkat, kemudian setelah ujung gelar lawan hancur, ujung ujung gelar kita akan menjepit induk gelar lawan dibantu dengan induk gelar kita.”
“Dirata Meta,” gumam Panembahan Cahya Warastra sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Apakah sudah kau perhitungkan lawan tidak akan mengubah gelar ketika mereka menyadari ujung ujung gelarnya tidak dapat diselamatkan?”
“Sudah Panembahan, dibantu dengan Ki Gede Ental Sewu, kami telah menghitung dengan cermat setiap langkah yang akan kita ambil.”
Panembahan Cahya Warastra mengangguk anggukkan kepalanya. Sejenak dia masih berdiam diri, seolah olah sedang memikirkan sesuatu. Katanya kemudian, “Tugas apakah yang telah kau berikan kepada pemimpin perguruan Ental Sewu itu?”
“Ki Gede Ental Sewu telah menyediakan dirinya untuk menahan Ki Rangga Agung Sedayu.”
Panembahan Cahya Warastra mengerutkan keningnya, “Jadi? Dia akan mengelilingi medan pertempuran hanya untuk mencari seseorang yang bernama Agung Sedayu?”
Sejenak Bango Lamatan menahan nafasnya dalam dada, kemudian jawabnya sambil menggeser tempat duduknya lebih mendekat ke arah pembaringan, “KI Gede Ental Sewu akan dapat mencari Ki Rangga dengan ancar-ancar suara cambuknya, karena kita tidak tahu dimanakah kedudukan Ki Rangga dalam gelarnya, di ujung kanan, kiri atau bahkan mungkin di tengah gelar menjadi senapati pengapit Ki Patih Mandaraka.”
Panembahan Cahya Warastra menggelengkan kepalanya, katanya, “Itu terlalu banyak membuang waktu. Kita dapat melumpuhkan Ki Rangga dengan cara yang lain. Biarlah Ki Gede Ental Sewu melaksanakan tugas yang lain yang lebih penting dan akan menentukan akhir dari pertempuran.”
Bango Lamatan termangu-mangu sejenak mendengar kata-kata Panembahan Cahya Warastra. Kalau Ki Gede Ental Sewu yang sudah dipersiapkan untuk membendung Ki Rangga Agung Sedayu diberi tugas yang lain, siapakah yang akan menghadapi senapati agul agulnya Mataram itu? Sedangkan dirinya sudah pernah merasakan kehebatannya walaupun sekarang dia sudah menyempurnakan ilmunya akan tetapi di pihak Ki Rangga pun tentu telah mengalami hal yang sama, peningkatan ilmu.
Panembahan Cahya Warastra yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Bango Lamatan tersenyum tipis. Panembahan itu telah menyadari bahwa Bango Lamatan agak segan jika harus berhadapan kembali dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Maka katanya kemudian, “Jangan kawatir, aku tidak akan menyuruhmu untuk berhadapan dengan murid utama orang bercambuk itu, justru kita biarkan saja dia berbuat sekehendak hatinya di dalam riuhnya pertempuran nanti. Sudah menjadi watak dari adik Untara itu untuk selalu bertindak ragu-ragu. Jika tidak ada lawan yang sepadan dengan dirinya, dia tidak akan semena-mena melakukan pembunuhan. Percayalah, itu bukan sifat dari hati nuraninya.”
Kembali Bango Lamatan termangu-mangu. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk membiarkan Ki Rangga Agung Sedayu terlepas dari pengawasan. Justru dengan menghadapkan Ki Rangga Agung Sedayu bertempur melawan murid-murid perguruan yang tingkat olah kanuragannya jauh di bawahnya, murid orang bercambuk itu akan dapat ditahan untuk sementara.
“Baiklah,” berkata Panembahan Cahya Warastra kemudian, “Ada tugas lain yang lebih penting untuk Ki Gede Ental Sewu. Perintahkan kepada Putut Gagat Rahina, Ki Ajar Wiyat dari Tumapel dan Kiai Sasadara dari Blitar untuk mendampingi Ki Gede. Selebihnya buatlah hubungan dengan Putut Luarsa dan Ki Lurah Sanggabaya yang ada di barak pasukan Khusus di Menoreh untuk membantu menyerbu padukuhan induk Menoreh. Ingat tugas utama mereka adalah menangkap hidup-hidup Istri dan anak Ki Rangga Agung Sedayu untuk dijadikan sebagai sandera.”
Terkejut Bango Lamatan mendapat perintah khusus tersebut, katanya kemudian, “Mohon ma’af Panembahan. Apakah dengan demikian kekuatan pasukan kita tidak akan terpecah? Sehingga sebelum Ki Gede dan pasukannya berhasil menyandera istri dan anak Ki Rangga, justru pasukan kita yang bertempur di tepian sudah hancur terlebih dahulu.”
Panembahan Cahya Warastra tertawa tertahan mendengar kata kata orang yang menjadi kepercayaannya itu. Kemudian jawabnya di sela sela tawanya, “He! Apakah aku ini kau anggap anak kemarin sore?” Panembahan itu berhenti sejenak, kemudian, “Tentu saja kita akan mengulur waktu beberapa saat sebelum turun ke tepian. Sedangkan sebelum Matahari terbit, pasukan Ki Gede sudah harus memasuki padukuhan induk Menoreh.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Dalam hati dia memuji ketangkasan berfikir Panembahan Cahya Warastra. Beberapa saat yang lalu dia masih digelisahkan oleh sosok yang bernama Agung Sedayu itu, namun kini dia yakin Mataram benar-benar akan hancur.
“Pergilah,” perintah Panembahan kemudian, “Segera laksanakan rencana ini. Ingat, pemberangkatan pasukan ke tepian kali Praga menunggu perintahku.”
“Ya, Panembahan,” jawab Bango Lamatan, “Akan aku ingat perintah itu.”
Bango Lamatan segera bangkit dari duduknya. Setelah mengangguk hormat ke arah Panembahan Cahya Warastra, Bango Lamatan pun kemudian beranjak meninggalkan bilik.
Sepanjang perjalanannya menuju tempat pondokan Ki Gede Ental Sewu, Bango Lamatan sempat berangan angan apa kira-kira yang akan terjadi pada Ki Rangga Agung Sedayu jika dia mengetahui istri dan anaknya menjadi sandera Panembahan Cahya Warastra.
“Mungkin dia akan menjadi wuru dan mengamuk sejadi-jadinya,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Dia akan menjadi orang yang sangat nggegirisi dengan segenap ilmu yang akan ditumpahkan di medan pertempuran. Namun justru itu penalarannya akan menjadi gelap dan penerapan ilmunya akan menjadi tumpang suh sehingga Panembahan pasti dengan mudah akan dapat membunuhnya.”
Tanpa terasa langkah Bango Lamatan telah mencapai rumah yang disediakan untuk tempat pemondokan bagi Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya.
Dalam pada itu di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh di dalam salah satu bilik yang terletak di ruang dalam rumah Ki Gede Menoreh, Sekar Mirah sedang membangunkan Damarpati yang sedang tidur melingkar beralaskan selembar tikar pandan di lantai bilik Sekar Mirah.
“He, Damarpati, bangunlah!” seru Sekar Mirah sambil mengguncang guncang tubuhnya, “Sebentar lagi hari sudah pagi. Dengarlah, ayam jantan telah berkokok untuk yang terakhir kalinya. Apakah kau tidak akan ikut sembahyang berjamaah?”
Damarpati sejenak masih menggeliat sambil menyingkapkan kain panjangnya yang digunakan untuk berselimut. Sambil menguap lebar-lebar akhirnya Damarpati pun kemudian dengan bertelekan pada kedua tangannya telah mencoba untuk duduk.
“Masih terlalu pagi,” desisnya tanpa sadar, “Apakah mBokayu sudah mendengar adzan subuh?”
Sekar Mirah menggeleng, “Belum, namun aku yakin sebentar lagi akan terdengar adzan subuh dari masjid Padukuhan induk.”
Masjid Padukuhan induk hanya terletak beberapa tombak saja dari kediaman Ki Argapati. Semenjak adanya para pengungsi dari penghuni padukuhan-padukuhan di dekat tepian kali Praga yang diduduki oleh para pengikut Panembahan Cahya Warastra, masjid Padukuhan induk itu hampir tidak pernah sepi dari Jama’ah yang datang untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba Tuhan Yang Maha Agung.
“Aku akan ke pakiwan dulu,” berkata Damarpati kemudian sambil bangkit berdiri. Sejenak dipandanginya bayi mungil yang tampak sehat sedang tidur pulas di sebelah Sekar Mirah yang telah kembali merebahkan diri setelah membangunkannya. Bayi laki-laki itu adalah harapan masa depan bagi keluarga Ki Rangga Agung Sedayu.
“Apakah mBokayu belum menemukan nama yang cocok untuknya?” bertanya Damarpati sambil membungkuk dan membelai belai pipi yang montok itu.
Sekar Mirah tersenyum. Jawabnya kemudian, “Biarlah Kakang Agung Sedayu nanti yang memberinya nama. Aku memang sudah menyiapkan beberapa nama, terserah apabila Kakang Agung Sedayu nanti berkenan memilih salah satu atau bahkan mungkin dia mempunyai pilihan nama yang lain.”
Damarpati mengangguk anggukkan kepalanya. Hatinya ikut gembira bahwa pasangan yang sudah memasuki usia senja itu ternyata masih dikaruniai dan dipercaya untuk mengemban amanahNYA.
Dengan langkah perlahan agar tidak mengeluarkan suara berisik yang dapat mengganggu tidurnya si kecil, Damarpati pun kemudian keluar bilik. Dengan sangat hati-hati agar pintu bilik tidak sampai berderit nyaring, Damarpati ternyata hanya membuka sedikit pintu bilik itu barang dua jengkal. Kemudian dengan mengerutkan tubuhnya dia berusaha lolos keluar dari bilik melalui celah pintu yang terbuka hanya selebar dua jengkal itu.
Tingkahnya itu ternyata telah membuat Sekar Mirah hampir tergelak. Untung dia segera menyadarinya dan cepat-cepat menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Ketika kemudian Damarpati telah keluar bilik, dengan tergesa-gesa diayunkan langkahnya menuju ke pakiwan yang terletak di halaman belakang. Namun alangkah terkejutnya Damarpati ketika baru saja dia melangkah, terdengar suara ribut-ribut di pendapa. Dengan segera langkahnya pun diputar menuju ke pendapa.
Dalam pada itu di pendapa Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi sedang menerima laporan dari pengawal yang bertugas sebagai pengawas penjagaan terdepan. Gardu penjagaan terdepan itu terletak di padukuhan kecil sebelum padukuhan induk. Setelah padukuhan kecil itu membentang bulak yang panjang menuju padukuhan yang telah dikuasai oleh pengikut Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah yang kau lihat?” bertanya Ki Jayaraga kepada pengawas itu.
“Kami bertiga telah melihat dalam keremangan malam sebuah pasukan yang cukup besar sedang menuju Padukuhan induk,” jawab pengawas itu sambil berusaha menguasai pernafasannya. Agaknya dia telah mengerahkan segenap tenaganya untuk berlari menuju ke padukuhan induk sehingga nafasnya hampir putus.
“Apakah kau dapat mengenali siapakah mereka itu?” kembali Ki Jayaraga bertanya.
“Tidak, Ki,” jawab pengawas itu yang nafasnya mulai terlihat teratur, “Pasukan itu kelihatannya masih cukup jauh, namun kami bisa membedakannya dengan bayangan yang lain karena bayangan itu terlihat seperti ombak yang memanjang dan mengalir dengan cepat menuju ke tempat kami.”
“Tadi kau katakan kalian bertiga, dimanakah kedua kawanmu?” bertanya Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi hanya berdiam diri.
“Mereka tetap berada di tempat untuk mengawasi keadaan,” dengan cepat pengawas yang sudah dapat menguasai diri itu menjawab, “Kalau keadaan berkembang semakin buruk, mereka akan segera menghindar dari tempat itu.”
“Bagaimana caranya? Bukankah itu sangat berbahaya ketika musuh sudah semakin dekat?” kembali Kiai Sabda Dadi bertanya.
“Kami menyembunyikan seekor kuda di tempat yang agak jauh dari gardu,” pengawas itu berhenti sejenak, lalu, “Karena hanya seekor, maka aku memilih untuk berlari menuju ke padukuhan induk. Biarlah kuda itu nantinya dipakai mereka berdua untuk dapat lolos dari tempat itu.”
Baru saja pengawas itu selesai bicara, tiba-tiba mereka yang ada di pendapa itu telah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda yang terdengar masih lamat-lamat memecah kesunyian malam yang semakin pudar. Semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin keras. Sejenak kemudian seekor kuda yang berpacu bagaikan diburu hantu telah menerobos regol depan rumah Ki Gede Menoreh.
Para pengawal yang berjaga jaga di regol depan segera berloncatan menghindar ketika kuda dengan dua penunggang itu melompat memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Begitu menyadari bahwa di pendapa rumah Ki Gede Menoreh telah berkumpul beberapa orang yang kelihatannya sedang menunggu mereka berdua, dengan cepat salah satu pengawas yang duduk di depan segera menarik kendali kudanya.
Kuda itu meringkik keras-keras sambil mengangkat kedua kaki depannya keatas sebelum kemudian berhenti beberapa langkah saja di depan tangga pendapa.
Dengan sigap kedua pengawas itu meloncat turun. Dibiarkannya kuda itu terlepas begitu saja sehingga seorang pengawal dengan tergesa-gesa segera meraih kendali kuda itu dan menuntunnya ke samping pendapa untuk diikat di patok-patok yang telah disediakan.
“Ki Jayaraga,” hampir berteriak pengawas yang telah menaiki tlundak pendapa itu berseru, “Pasukan musuh telah memasuki padukuhan kecil di depan padukuhan induk.”
“Apakah kau sudah memberitahu pengawal yang berjaga jaga di regol padukuhan induk?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.
“Sudah, Ki,” jawab Pengawas itu, “Mereka telah menempatkan diri sesuai petunjuk Ki Jayaraga jika sewaktu waktu musuh menyerang padukuhan induk.”
“Bagaimana dengan para pengawal yang ditempatkan di banjar padukuhan induk dan tempat-tempat yang lain?”
“Beberapa penghubung telah disebar ke tempat para pengawal itu berada. Kemungkinan saat ini para pengawal telah berkumpul di gerbang padukuhan induk untuk menunggu perintah Ki Jayaraga.”
Ki Jayaraga mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil berpaling kepada Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelahnya, “Sebaiknya Kiai Sabda Dadi tinggal di tempat saja. Biarlah aku dan beberapa pengawal ikut membantu pertahanan di regol padukuhan induk.”
“Kami berdua mohon diijinkan untuk ikut,” tiba-tiba dari arah gandhok kanan terdengar suara seseorang. Tampak Empu Wisanata dan Nyi Dwani berjalan menaiki tlundak pendapa.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam melihat kedua orang itu. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Apakah kalian berdua sudah tidak lelah?”
Empu Wisanata lah yang menjawab sambil tertawa tertahan, “Justru kami merasa sangat segar setelah beberapa saat bertamasya menikmati indahnya alam.”
Yang mendengar jawaban Empu Wisanata itu tersenyum. Mereka semua tahu bahwa kedua ayah dan anak itu baru saja menempuh perjalanan jauh, namun mereka juga menyadari siapakah Empu Wisanata dan Nyi Dwani itu.
“Bagaimana dengan Ki Gede?” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi bertanya.
Sejenak Ki Jayaraga termenung. Kesehatan Ki Gede memang telah berangsur angsur pulih setelah dirawat oleh Kiai Sabda Dadi, namun usia Ki Gede` yang sudah sepuh dan terlebih lagi beban jiwani yang ada dalam hatinya yang membuat pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu seolah olah sudah meletakkan semangat hidupnya.
“Aku serahkan kepada Kiai Sabda Dadi untuk memberitahu Ki Gede apa yang sebenarnya sedang terjadi,” akhirnya Ki Jayaraga memutuskan, “Biarlah Ki Gede memperkuat pertahanan di rumah ini seandainya pertahanan di padukuhan induk nanti tidak mampu menahan laju pergerakan lawan.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya. Terbesit di benaknya seandainya pertahanan padukuhan induk jebol, rumah ki Gede ini akan menjadi satu-satunya tempat untuk bertahan.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Siapkan kuda. Kita akan segera ke gerbang padukuhan induk.”
Beberapa pengawal segera menuntun lima ekor kuda yang tegar yang memang sudah disiapkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sejenak kemudian lima ekor kuda segera berderap meninggalkan rumah ki Gede Menoreh menuju ke gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Damarpati yang sedang mengintip melalui celah-celah pintu pringgitan terkejut ketika tiba-tiba saja pintu pringgitan itu didorong dari luar. Dengan cepat dia mundur selangkah kebelakang ketika tanpa disadarinya kakeknya telah berdiri di depannya.
“Ada apa Damar?” bertanya Kiai Sabda Dadi dengan sareh ketika dilihatnya cucunya itu berdiri dengan gugup.
“Tidak ada apa-apa, Kek,” jawab Damarpati cepat untuk menghilangkan kesan yang ada di wajahnya.
Kiai Sabda Dadi tersenyum, “Tidak baik untuk mencuri dengar atau bahkan mengintip pembicaraan orang-orang tua,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Kemudian sambil menggandeng tangan Damarpati melangkah ke ruang dalam dia melanjutkan, “Akan lebih baik jika kau bergabung dengan kami tadi. Sehingga akan mendapat gambaran yang jelas apa yang sedang terjadi sekarang ini.”
“Tapi, Kek. Apakah aku diperkenankan untuk ikut dalam pembicaraan orang-orang tua?”
“Itu akan ditentukan kemudian. Apakah pembicaraan itu bersifat rahasia atau tidak. Ingat, disaat yang genting bagi keselamatan Tanah Perdikan Menoreh, semua kekuatan diperlukan, namun semua itu akan diatur sesuai dengan kebutuhannya dan tingkatannya.”
Tanpa terasa mereka berdua telah sampai di depan pintu bilik Ki Argapati.
“Kembalilah ke bilik Nyi Sekar Mirah,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Beritahu Nyi Sekar Mirah agar berhati-hati. Musuh memang akan menyerang padukuhan induk, namun tidak menutup kemungkinan kalau ada beberapa orang yang berusaha menyusup ke rumah ini.”
Damarpati mengangguk, kemudian dengan tergesa-gesa dia melangkah menuju ke bilik Sekar Mirah yang terletak agak di belakang dekat dengan dapur.
Kiai Sabda Dadi yang mengawasi cucunya hilang dibalik pintu ruang dalam itu termangu-mangu sejenak. Sejak dilatih Sekar Mirah sebelum melahirkan, kemajuan Damarpati memang luar biasa. Pada dasarnya cucunya itu sudah menguasai semua unsur gerak perguruan Glagah Tinutu, namun ada keseganan pada dirinya untuk berlatih dibawah bimbingan kakeknya. Setelah bertemu dengan Sekar Mirah dan mengetahui bahwa Sekar Mirah ternyata adalah pewaris dari perguruan Kedungjati yang terkenal di masa kejayaan Demak lama, hatinya tergerak untuk melatih ilmu yang telah diwarisinya dari kakeknya dibawah tuntunan Sekar Mirah.
“Kiai,” tiba-tiba terdengar suara Ki Argapati dari dalam bilik, “Aku mendengar ribut-ribut di luar dan derap beberapa ekor kuda meninggalkan rumah ini. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Dengan segera Kiai Sabda Dadi melangkah dan mendorong pintu bilik sehingga terbuka lebar. Setelah menutup pintu bilik itu kembali, Kiai Sabda Dadi pun kemudian duduk di pembaringan bersebelahan dengan Ki Gede yang ternyata juga telah duduk di atas pembaringannya.
“Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah membetulkan letak duduknya, “Pengawas penjagaan terdepan telah melihat pasukan Panembahan Cahya Warastra mendekati padukuhan induk. Sekarang ini Ki Jayaraga sedang menuju ke sana untuk mengatur pertahanan. Sementara aku diberi tugas untuk menjaga keamanan di lingkungan kediaman Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesah perlahan seolah olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Ini semua akibat kesalahanku di masa lalu. Seandainya aku benar dalam mencarikan jodoh Pandan Wangi, Tanah Perdikan ini tidak perlu uluran tangan orang lain untuk menjaga keamanannya.”
Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya, “Maksud Ki Gede?”
Ki Gede tersenyum, betapapun hambarnya, “Kenangan masa lalu yang sudah tidak akan mungkin diulang, namun betapa pahitnya kalau dikenang. Aku menjodohkan Pandan Wangi dengan angger Swandaru, murid kedua orang bercambuk walaupun sebenarnya aku dapat membaca perasaan Pandan Wangi yang lebih condong kepada Agung Sedayu, murid utama Kiai Gringsing,” sejenak Ki Gede berhenti untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Justru setelah tahu bahwa Agung Sedayu sudah mempunyai ikatan dengan Sekar Mirah, adik Swandaru, Pandan Wangi menerima begitu saja tanpa banyak pertimbangan calon yang aku usulkan, Swandaru Geni anak Demang Sangkal Putung yang kaya raya.”
Sejenak suasana menjadi sunyi, kedua orang itu masing-masing tenggelam dalam lamunan mereka. Sementara malam beranjak menuju pagi, namun di luar masih cukup gelap. Angin yang bertiup terasa sangat sejuk dan membelai belai para pengawal yang berjaga jaga di kediaman Ki Gede Menoreh.
“Aneh,” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi berdesis perlahan.
“Ya,” sahut Ki Gede, “Alangkah sejuknya pagi ini. Rasa rasanya aku ingin pergi tidur lagi.”
“Dan tidak ada seorang pun yang melantunkan adzan subuh,” kembali Kiai Sabda Dadi berdesis sambil mengangkat kepalanya, kalau-kalau dia mendengar suara lantunan adzan subuh dari masjid padukuhan induk.
“Sirep,” berkata Ki Gede tegas, “Ini sirep Kiai. Orang yang sengaja menebarkan sirep ini benar-benar sangat mumpuni dalam mengusai ilmunya ini. Dia menebarkan di saat orang-orang malas bangun sehingga dengan cepat mereka yang tidak kuat batinnya akan tertidur pulas kembali.”
“Ada beberapa kemungkinan,” tambah Kiai Sabda Dadi, “Sirep ini dilontarkan oleh beberapa orang sehingga kekuatannya menjadi berlipat lipat.”
“Namun dengan demikian hanya orang-orang tertentu saja yang mampu bertahan,” sahut Ki Gede, “Dengan demikian kalau ada orang yang bermaksud jahat ingin memasuki rumah ini, tentu jumlahnya hanya beberapa saja, tidak lebih dari lima orang.”
“Ya, itulah yang disebut dengan sirep maju pat, sirep yang dilontarkan dari empat penjuru oleh empat orang yang berbeda.”
“Dengan demikian hanya empat orang itulah yang mampu bertahan dengan kekuatan sirep gabungan mereka, kecuali orang-orang yang sudah menyadari sebelumnya dan berusaha bertahan dari serangan ilmu sirep maju pat ini.”
“Marilah kita lihat,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Marilah,” sahut Ki Gede.
Kedua orang tua itu pun kemudian dengan tergesa-gesa segera keluar dari bilik. Tak lupa Ki Gede telah menyambar tombak pendeknya yang disandarkan di pojok bilik dekat geledek.
Namun alangkah terkejutnya kedua orang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu begitu mereka telah berada di luar bilik, tiba tiba saja terdengar lengkingan tangis bayi yang menggeletar memecah kesunyian malam menjelang pagi.
“Anak Sekar Mirah,” desis Ki Argapati dengan suara bergetar.
“Ya, anak itu,” sahut Kiai Sabda Dadi, “Segala puji bagi KeAgunganNya yang telah membebaskan bayi itu dari segala pengaruh jahat.”
“Agaknya kesucian bayi itulah yang telah membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu sirep ini,” berkata Ki Argapati kemudian.
“Aku harap Sekar Mirah dapat bertahan,” Kiai Sabda Dadi menambahkan, “Hubungan yang suci antara seorang ibu dan anak akan sangat berpengaruh dalam hubungan sehari hari apalagi dalam menghadapi keadaan yang gawat dan dapat membahayakan mereka.”
“Mari kita lihat keadaan mereka,” selesai berkata demikian Ki Argapati segera berlari ke ruang belakang.
Begitu mereka sampai di depan bilik Sekar Mirah, dengan hati hati agar tidak mengejutkan yang ada di dalam bilik, Ki Argapati mengetuk pintu bilik perlahan lahan, kemudian semakin lama semakin keras.
“Pintu tidak diselarak,” tiba tiba terdengar suara Sekar Mirah diantara lengkingan tangis bayinya.
Dengan cepat kedua orang itu membuka pintu bilik. Yang tampak dalam pandangan pertama mereka adalah Sekar Mirah yang duduk di atas pembaringan sedang berusaha dengan keras menenangkan bayinya, kemudian Damarpati yang sedang tidur meringkuk di lantai beralaskan selembar tikar pandan.
“Mirah,” berkata Ki Argapati, “Apakah kau mampu menenangkan tangis anakmu?”
“Aku tidak tahu Ki Gede,” jawab Sekar Mirah sambil menimang nimang bayi yang ada di gendongannya, “Aku baru saja terlelap ketika merasa ada seseorang sedang membangunkan aku. Ketika aku terjaga, anak ini menangis seperti baru saja melihat hantu.”
“Mendekatlah,” berkata Kiai Sabda Dadi sambil meraih sebuah mangkuk dari tanah liat yang berisi air putih di atas geledek bambu. Setelah membaca doa dan permohonan kepada Yang Maha Agung, dicelupkannya jari telunjuk dan jari tengah Kiai Sabda Dadi ke dalam mangkuk itu.
Ketika kemudian Sekar Mirah turun dari pembaringan dan mendekat ke arah Kiai Sabda Dadi, pemimpin perguruan Glagah Tinutu itu pun kemudian mengusapkan jari jarinya yang sudah dibasahi dengan air dari mangkuk itu tiga kali berturut turut di ubun ubun sang bayi.
Sejenak kemudian tangis itu pun mereda dan anak Sekar Mirah yang belum genap sebulan itu pun segera tertidur lelap kembali.
“Alhamdulillah wa Syukurillah,” hampir bersamaan Kiai Sabda Dadi dan Ki Argapati memuji dan mengucap syukur atas diperkenankannya doa permohonan mereka.
“Sekarang marilah kita bangunkan Damarpati,” selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi sekali lagi mencelupkan jari jarinya ke dalam mangkuk. Namun kali ini seluruh telapak tangan Kiai Sabda Dadi dicelupkan ke dalam mangkuk, kemudian telapak tangan yang basah itu diusapkan ke wajah Damarpati sambil memanjatkan doa.
Sejenak kemudian Damarpati yang tertidur lelap itu menggeliat. Ketika kemudian sekali lagi Kakeknya mengusap wajahnya, Damarpati pun membuka matanya.
“Ada apa Kek?” tanyanya keheranan begitu menyadari di dalam bilik itu ada Kiai Sabda Dadi dan Ki Argapati.
“Bangunlah,” perintah Kakeknya, “Kawani Nyi Sekar Mirah. Malam yang tinggal sepotong ini agaknya telah dimanfaatkan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan rencana jahat mereka.”
“Rencana apakah itu, Kek?” bertanya Damarpati kembali sambil bangkit berdiri. Kini kesadarannya telah benar benar pulih kembali.
“Aku belum tahu,” jawab Kakeknya, “Tetapi tidak ada salahnya kalau kita berhati hati karena seseorang atau mungkin lebih telah menebarkan sirep yang sangat kuat di sekeliling rumah ini.”
“Sirep?” hampir bersamaan Damarpati dan Sekar Mirah mengulang.
“Ya,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Berhati hatilah. persiapkan senjata kalian untuk menjaga segala kemungkinan.”
Kedua perempuan itu mengangguk.
“Nah, sekarang marilah kita ke pendapa,” Ki Argapati yang sedari tadi hanya diam saja menyela.
“Marilah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi.
Demikianlah setelah memberi beberapa pesan, kedua orang tua itu segera bergeser menuju ke pendapa.
Ki Argapati masih sempat melongok ke pintu dapur sebelum menuju ke ruang tengah. Apa yang dilihatnya benar benar membuat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu menggeleng gelengkan kepalanya. Beberapa perempuan yang sudah terbangun dan sedang memasak serta menyiapkan keperluan untuk sarapan pagi telah jatuh tertidur. Ada yang tidur sambil menggenggam pisau, ada yang justru tertelungkup di amben besar sambil merangkul mangkuk mangkuk kotor yang belum sempat dibersihkan, dan yang lebih menggelikan adalah perempuan yang sedang menjerang air. Dia tertidur tertelungkup di depan tungku yang belum sempat dinyalakan, sementara hampir sekujur tubuhnya basah kuyup tertuang air dari lodong lodong bambu yang dibawanya.
Namun Ki Argapati tidak sempat merenungi semua itu, dengan setengah berlari disusulnya Kiai Sabda Dadi yang telah terlebih dahulu mencapai pendapa.
Dalam pada itu, suara tangis bayi yang terdengar beberapa saat itu ternyata terdengar pula oleh beberapa orang yang sedang mendekati rumah Ki Gede Menoreh.
“Persetan dengan tangis bayi itu,” geram seseorang yang kelihatannya tertua diantara mereka berempat.
“Kakang Bango Lamatan,” berkata orang yang di sebelahnya kepada orang yang mengumpat tadi yang ternyata adalah Bango Lamatan, “Mengapa orang orang dewasa lebih mudah terpengaruh sirep dari pada seorang bayi?”
“Karena orang dewasa itu banyak dosanya,” jawab Bango Lamatan asal saja. Kemudian lanjutnya, “Sudahlah, sekarang kita membagi tugas. Putut Luarsa yang sudah pernah melihat orang yang bernama Sabda Dadi itu harus memancingnya untuk bertempur di halaman. Jangan bertempur sendirian, Ki Lurah Sanggabaya dapat membantumu. Putut Gagat Rahina bertugas memasuki bilik Argapati dan sekaligus membunuh orang yang sudah sakit sakitan itu. Sedangkan aku sendiri yang akan memasuki bilik Sekar Mirah dan sekaligus menculik bayinya.”
Keempat orang itu memang para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Putut Luarsa dan Putut Gagat Rahina adalah murid utama Panembahan Cahya Warastra yang masih tinggal di padepokan. Sedangkan Bango Lamatan adalah orang luar perguruan Cahya Warastra yang karena kelebihan ilmunya telah diangkat oleh Panembahan Cahya Warastra sebagai pembantu utamanya. Sementara Ki Lurah Sanggabaya adalah murid dari perguruan lain yang telah mengabdikan dirinya pada pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh dan mempunyai kepentingan yang sama dengan Panembahan Cahya Warastra untuk menghancurkan Mataram.
“Bagaimana dengan Ki Jayaraga?” bertanya Putut Luarsa.
“Setan tua itu pasti pergi ke gerbang Padukuhan induk untuk membunuh diri,” jawab Bango Lamatan sambil tertawa, “Dia lah yang paling bertanggung jawab atas keamanan Tanah Perdikan ini, sehingga aku yakin dia tidak ada di rumah Ki Gede.”
“Bagaimana jika orang yang bernama Sabda Dadi itu juga ikut ke gerbang padukuhan induk?” kali ini Ki Lurah Sanggabaya yang bertanya.
Bango Lamatan kembali tertawa. Katanya kemudian, “Itu berarti tugas kita sangat ringan dan cepat selesai, suwe mijet wohing ranti.”
Ketiga orang yang bersama Bango Lamatan itu mengangguk angguk. Diam diam dalam hati mereka memuji kecerdikan Panembahan Cahya Warastra. Dengan memancing kekuatan Menoreh ke Gerbang padukuhan induk, penjagaan di rumah Ki Gede Menoreh menjadi sangat lemah sehingga dengan mudah mereka dapat melaksanakan rencana penculikan itu.
Tak terasa keempat pengikut Panembahan Cahya Warastra itu telah sampai di depan regol kediaman Ki Gede Menoreh. Dengan tenangnya mereka berempat memasuki regol yang sepi. Para pengawal yang berjaga jaga tampak tidur silang melintang di sekitar pintu regol.
Dengan senyum penuh kemenangan mereka berempat segera melintasi halaman yang cukup luas menuju ke pendapa.
Namun dalam keremangan pagi yang masih cukup gelap itu mereka berempat dikejutkan oleh sebuah sapaan dari arah pendapa.
“Selamat datang para Ki Sanak di rumahku yang buruk ini,” seseorang yang berperawakan tinggi besar sambil menggenggam tombak pendek di tangan kanannya menyapa, “Ma’af atas sambutan yang deksura ini. Silahkan naik ke pendapa, kami sudah menunggu kalian sedari tadi.”
Sejenak, keempat pengikut Panembahan Cahya Warastra itu tertegun. Dalam keremangan pagi di bawah sinar dlupak yang tergantung di tengah-tengah pendapa, tampak orang yang selama ini mereka anggap tergolek tak berdaya di pembaringan ternyata dalam keadaan segar bugar dengan senjata andalannya sebuah tombak pendek tergenggam erat di tangan kanannya.
Sementara di sebelah kirinya berdiri pemimpin perguruan Glagah Tinutu dari pegunungan Kendeng yang selama ini namanya telah menggetarkan sebagian pengikut Panembahan Cahya Warastra, Kiai Sabda Dadi.
“Marilah,” geram Bango Lamatan sambil melangkah menuju pendapa, “Mereka hanya berdua dan kita berempat. Tidak akan banyak membuang waktu, suwe mijet wohing ranti.”
Ketiga kawannya segera mengikuti langkah Bango Lamatan menuju ke pendapa.
Ketika keempat orang itu sudah semakin mendekati pendapa, Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelah Ki Gede telah berbisik, “Ki Gede, apa tidak sebaiknya kita sambut mereka di halaman saja yang lebih luas?”
“Tidak, Kiai,” jawab Ki Gede juga dengan berbisik, “Aku sengaja ingin membuat keributan di atas pendapa ini agar Sekar Mirah mendengarnya dari ruang tengah dan segera mengambil sikap jika memang diperlukan.”
“Maksud Ki Gede agar Sekar Mirah dan Damarpati menyingkir?”
“Tentu tidak,” jawab Ki Gede perlahan, “Betapapun juga kita berdua melawan empat orang adalah suatu pekerjaan yang sangat berat,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian, “Seandainya Ki Waskita ada diantara kita.”
“Bukankah pengawal yang telah menghubungi Ki Waskita telah menyampaikan laporannya?” kembali Kiai Sabda Dadi bertanya dengan suara yang pelan.
“Ya, Ki Waskita sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh. Ternyata setinggi apapun ilmu seseorang, tidak dapat untuk melawan waktu.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya Ki Gede, kita berdua ini juga sedang menunggu waktu.”
Ki Gede tersenyum, namun ada satu hal yang masih memberati hatinya, Sekar Mirah baru saja melahirkan, tentu kesehatannya belum pulih seperti sediakala. Jika harus bertempur melawan salah satu dari empat orang yang memasuki rumahnya, Ki Gede meragukan kesiapan Sekar Mirah.
Dalam pada itu keempat orang itu telah menaiki tlundak pendapa. Dengan sikap yang deksura keempatnya segera berdiri di depan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi dengan bertolak pinggang.
“Selamat datang Ki Sanak semua,” berkata Ki Gede begitu keempat orang itu telah berdiri di depannya, “Agaknya kalian mempunyai kepentingan yang khusus dengan kami berdua sehingga kalian memandang perlu untuk menidurkan seluruh pengawal dan penghuni rumah ini.”
“Persetan dengan semua itu,” umpat Bango Lamatan, “Kedatangan kami memang mempunyai maksud yang khusus, namun sebaiknya kalian tidak usah mengerti. Yang harus kalian mengerti dan sadari adalah bahwa umur kalian tidak akan bertahan sampai matahari terbit.”
“Persetan dengan semua itu,” umpat Bango Lamatan, “Kedatangan kami memang mempunyai maksud yang khusus, namun sebaiknya kalian tidak usah mengerti. Yang harus kalian mengerti dan sadari adalah bahwa umur kalian tidak akan bertahan sampai Matahari terbit.”
Ketiga kawan Bango Lamatan tertawa sementara Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi mengerutkan kening dalam-dalam. Mereka berdua mencoba mengingat-ingat siapakah keempat tamu yang tak diundang itu. Namun baik Ki Gede maupun Kiai Sabda Dadi rasa rasanya belum pernah bertemu dengan keempat orang itu.
Ki Lurah Sanggabaya sempat berdebar-debar ketika Kiai Sabda Dadi memandangnya dengan tajam. Namun karena Ki Lurah tidak sedang mengenakan baju keprajuritannya dan dengan sengaja ikat kepalanya diikatkan terlalu rendah sehingga hampir menutupi seluruh keningnya, serta hari juga masih terlalu pagi sehingga pengenalan Pemimpin Padepokan Glagah Tinutu itu menjadi sedikit kabur.
“Baiklah Ki Sanak semua,” kini yang berbicara adalah Kiai Sabda Dadi, “Apakah tidak sebaiknya kita saling memperkenalkan diri terlebih dahulu?”
“Itu tidak perlu,” sahut Putut Gagat Rahina cepat dengan setengah membentak, “Maksud kami datang ke sini tentu sudah sangat jelas bagi kalian, yaitu membunuh kalian berdua, orang orang tua yang sudah tidak berguna lagi. Selebihnya kami juga tahu bahwa di rumah ini tentu tersimpan harta benda, emas berlian yang tak terhitung jumlahnya.”
“Aku tidak yakin kalau memang itu tujuan kalian datang kemari,” kini Kiai Sabda Dadi lah yang memotong, “Kalian tentu bukanlah sejenis pencuri yang datang dengan mengendap-endap dan menunggu pemilik rumah lengah. Kalian mempunyai ilmu yang cukup tinggi menilik dari ilmu sirep yang kalian tebarkan. Aku justru menduga kalian ada hubungannya dengan mereka yang sedang melakukan penyerbuan ke padukuhan induk.”
Keempat orang itu saling berpandangan beberapa saat sebelum tawa mereka meledak berkepanjangan. Akhirnya Bango Lamatan lah yang menjawab, “Terserah kalian berdua menduga-duga siapakah kami ini. Namun yang jelas kalian akan segera menemui kematian sebelum sinar Matahari yang pertama menggapai pucuk pucuk pepohonan.”
“Jangan membual Ki Sanak,” sahut Kiai Sabda Dadi tak kalah lantang, “Marilah kita buktikan siapa dulu yang terkapar sebelum Matahari terbit.”
Selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi segera bergeser menjauh dan turun dari pendapa sambil berkata, “Lebih baik kita bertempur di halaman yang luas. Aku tidak memilih lawan, silahkan dua di antara kalian menemani aku bermain-main.”
Kata-kata Kiai Sabda Dadi yang mantap itu telah menggetarkan jantung keempat orang yang mendatangi rumah Ki Gede. Namun mereka tetap berbesar hati karena mereka merasa menang dalam hal jumlah.
Sementara Ki Gede telah melangkah setapak ke depan sambil menjulurkan tombak pendeknya ke depan kedua lawannya, Putut Luarsa dan Putut Gagat Rahina.
“Gila,” geram Putut Luarsa, “Apakah Ki Gede ingin membunuh diri?”
Ki Gede tertawa, “Ki Sanak berdua. Aku sadar kalian masih muda dan mungkin mempunyai bekal yang cukup. Namun ingat, pengalaman adalah guru yang terbaik, dan aku sudah kenyang pengalaman dalam segala medan, bahkan medan yang terberat sekalipun.”
“Persetan dengan ocehanmu,” geram Putut Gagat Rahina, “Berdoalah agar kematianmu tidak menyakitkan.”
“Aku selalu berdoa Ki Sanak,” jawab Ki Gede, “Do’a untuk keselamatanku dan keluargaku.”
“Tutup mulutmu, orang tua! Kematianmu sudah di ubun-ubun masih banyak berkilah,” teriak Putut Luarsa sambil mencabut senjatanya, sebuah pedang yang memancarkan warna kebiru-biruan.
Melihat kawannya telah mencabut senjatanya, Putut Gagat Rahina pun segera mencabut senjatanya pula, sebuah keris yang berukuran besar berluk sembilan. Keris itu tampak memancarkan warna merah yang redup seperti bara yang setengah padam.
Melihat kedua lawannya telah mencabut senjatanya, Ki Gede segera menggerakkan ujung tombaknya berputar setengah lingkaran kemudian disilangkannya tombak itu di depan dada. Tangan kiri Ki Gede menggenggam tangkai tombak itu tepat di tengah-tengahnya, sedangkan tangan kanan Ki Gede menggenggam erat pada pangkalnya.
Sejenak kemudian kedua lawan Ki Gede telah berpencar. Mereka tahu kelemahan Ki Gede terletak pada usia yang sudah lanjut. Dengan pertimbangan ini mereka akan memancing Ki Gede untuk bergerak terus sehingga akan kehabisan nafas dengan sendirinya.
Ki Gede menyadari kalau lawan-lawannya akan memancingnya untuk bertempur dengan mempertahankan jarak agar dirinya banyak bergerak untuk mengejar lawan sehingga akan terkuras tenaganya. Namun pengalaman dan sejalan dengan penyakit timpangnya yang sering kambuh kalau Ki Gede banyak menggerakkan kakinya, maka Ki Gede telah mengkhususkan ilmunya pada permainan tombaknya.
Ketika kedua lawannya mulai memutar senjata mereka, Ki Gede segera bergeser setapak mundur agar pandangan matanya tidak kesulitan mengawasi gerak lawannya yang dengan cerdik telah menempatkan diri di sisi kanan dan kiri Ki Gede dalam satu garis serangan.
“Apakah Ki Gede akan berubah pikiran?” tiba-tiba Putut Luarsa bertanya sambil mengangkat pedangnya lurus ke depan, siap untuk melancarkan sebuah serangan dahsyat.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kembali dia harus bergeser setapak mundur ketika Putut Gagat Rahina juga bergeser setapak ke samping.
“Sudahlah,” jawab Ki Gede kemudian, “Hidup dan mati ini adalah kuasa Yang Maha Agung. Manusia tidak berhak untuk menentukan. Marilah kita selesaikan urusan kita ini. Sebelum Matahari terbit, aku harap semuanya sudah selesai.”
“Ya,” Putut Gagat Rahina lah yang menyahut, “Dua mayat akan segera terbujur di halaman ini.”
Ki Gede tersenyum. Katanya kemudian, “Kau benar Ki Sanak, dua mayat akan segera terbujur di pendapa ini, selebihnya di halaman juga akan segera menyusul.”
“Tutup mulutmu!” bentak Putut Luarsa. Agaknya dia sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan sebuah loncatan yang panjang dijulurkannya pedangnya menggapai dada Ki Argapati.
Ki Gede yang sudah waspada segera menyambut pedang Putut Luarsa dengan tombak pendeknya. Namun ternyata lawannya hanya memancing perhatian Ki Gede. Ketika senjata mereka hampir berbenturan, ternyata Putut Luarsa justru telah menarik pedangnya. Dengan merendahkan tubuhnya condong ke depan, justru kaki Putut Luarsa lah yang sekarang menyapu kaki kiri Ki Gede.
Sementara Putut Gagat Rahina yang melihat saudara seperguruannya telah mulai menyerang, segera mempersiapkan diri. Ketika Ki Gede menggeser kakinya untuk menghindari sapuan Putut Luarsa, Putut Gagat Rahina dengan cepat meloncat menyerang lambung Ki Gede yang terbuka dengan keris luk sembilannya yang nggegirisi.
Mendapat serangan dari Putut Rahina, Ki Gede tidak menjadi gugup. Ki Gede tidak sempat menggeser ujung tombaknya untuk menangkis ujung keris Putut Gagat Rahina yang tinggal beberapa jengkal dari lambungnya. Ki Gede dengan cepat menggeser tangan kanannya ke tengah-tengah tombak dan menggunakan pangkal landeyan tombaknya untuk menangkis keris Putut Gagat Rahina.
Benturan itu ternyata telah mengejutkan murid perguruan Cahya Warastra itu. Kekuatan yang tersimpan di dalam diri Pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu memang luar biasa. Hampir saja keris di tangan Putut Rahina itu terlepas.
Dengan tergesa-gesa Putut Rahina meloncat mundur. Betapa tangan yang menggenggam keris itu bagaikan terbakar sehingga hampir saja senjatanya terlepas dari genggaman.
Demikianlah sejenak kemudian Ki Gede harus benar-benar menguras seluruh ilmunya untuk menghadapi kedua Putut dari perguruan Cahya Warastra itu. Kedua Putut itu dengan lincahnya menyerang dengan mengitari Ki Gede Menoreh yang tidak banyak bergerak. Hanya sesekali Ki Gede bergeser surut, kadang melangkah ke samping untuk mengimbangi gerak lawannya. Ketika kemudian lawan-lawannya itu memancingnya untuk bergerak lebih jauh dengan meloncat mundur, Ki Gede tidak memburunya dengan sebuah serangan, Ki Gede justru hanya menggunakan ujung tombak pendeknya untuk menggapai lawan lawannya yang meloncat mundur.
“Setan tua!” geram Putut Luarsa, “Kau hanya memperlambat kematianmu saja.”
Ki Gede tidak menanggapi, dipusatkannya segala nalar dan budinya untuk mengungkapkan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya untuk menghadapi serangan ke dua Putut itu yang segera datang membadai.
Dalam pada itu di halaman, Kiai Sabda Dadi yang telah melihat ki Gede bertempur sengit melawan ke dua Putut itu telah menahan nafas sejenak. Namun ketika Kiai Sabda Dadi menyadari siasat yang digunakan oleh Ki Gede dalam menghadapi lawan-lawannya, Pemimpin perguruan Glagah Tinutu itu pun yakin bahwa Ki Gede akan mampu bertahan.
“Ki Sanak berdua,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berkata kepada kedua lawannya yang masih berdiri termangu-mangu memperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung di pendapa, “Apakah kita cukup menjadi penonton yang baik, ataukah kita segera ikut dalam permainan yang tidak jelas tujuannya ini?”
“Sudah aku katakan sedari tadi,” jawab Bango Lamatan setelah pandangan matanya berpindah dari pendapa ke Kiai Sabda Dadi yang berdiri di depannya, “Apapun alasannya, kami akan membunuh kalian. Melawan ataupun tidak melawan.”
“Terima kasih,” berkata Kiai Sabda Dadi perlahan, “Ternyata masih ada orang yang memperhatikan kami dan menganggap kami berdua orang-orang yang berbahaya sehingga harus dimusnahkan dari muka bumi ini.”
“Omong kosong!” bentak Bango Lamatan, “Justru karena kami menganggap kalian berdua sudah tidak berguna lagi, kami perlu melenyapkan kalian dari muka bumi ini.”
“O,” gumam Kiai Sabda Dadi sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Ternyata kalian masih memerlukan empat orang untuk melenyapkan kami berdua yang sudah tidak berguna ini.”
“Gila!” bentak Bango Lamatan dan Ki Lurah Sanggabaya hampir bersamaan.
“Orang tua,” kini ki Lurah Sanggabaya yang berkata, “Jangan sesali nasibmu. Sebaiknya kau menyerah saja agar jalan kematianmu menuju alam kelanggengan menjadi lapang.”
“Terima kasih atas nasehat Ki Sanak,” sahut Kiai Sabda Dadi sambil tersenyum kecil, “Tetapi aku sudah terlanjur memutuskan untuk mempertahankan diri, bahkan kalau terpaksa aku harus membunuh kalian berdua.”
“Persetan!” geram kedua lawan Kiai Sabda Dadi itu, “Ternyata kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui. Jangan menyesal umurmu tidak akan lebih dari sepenginang sirih.”
Selesai berkata demikian, kedua lawan Kiai Sabda Dadi itu pun tidak mau membuang-buang waktu lagi. Segera saja mereka berpencar dan mengambil ancang-ancang untuk memulai sebuah serangan.
“Cabut senjatamu,” berkata Bango Lamatan, “Aku tidak terbiasa menggunakan senjata. Kedua tanganku ini sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawa tuamu.”
Kiai Sabda Dadi menggeleng, “Aku juga tidak terbiasa menggunakan senjata. Aku pernah membunuh seseorang hanya dengan tanganku, bahkan aku pernah membunuh seseorang tanpa menyentuhnya sama sekali.”
“Omong kosong!” bentak Bango Lamatan menggelegar, “Kau boleh menyombongkan diri di hadapan orang lain, tetapi tidak di hadapan Bango Lamatan. Kesombonganmu akan berakhir dengan kematian yang mengerikan.”
Kiai Sabda Dadi justru telah tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Nah, bukankah Ki Sanak telah memperkenalkan diri kepadaku, walaupun aku belum tahu siapakah sebenarnya Bango Lamatan itu? Akan tetapi setidaknya aku dapat mengabarkan bahwa yang menemui ajal di halaman rumah Ki Gede adalah Bango Lamatan, sehingga keluarganya bisa mencarinya ke sini.”
“Tutup mulutmu!” justru Ki Lurah Sanggabaya yang tidak dapat menahan diri lagi. Kebenciannya kepada Kiai Sabda Dadi sejak kematian Ki Harga Jumena benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun. Dengan teriakan yang menggelegar, Ki Lurah meloncat menerjang Kiai Sabda Dadi.
Kiai Sabda Dadi sama sekali tidak terkejut mendapat serangan yang disertai dengan tiupan angin yang menderu itu. Ketika kaki kanan Ki Lurah Sanggabaya yang terjulur lurus itu hampir menyentuh dadanya, Kiai Sabda Dadi segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Benturan yang dahsyat pun segera terjadi. Kiai Sabda Dadi yang mengerahkan tenaga hanya setengahnya ternyata telah terdorong beberapa langkah kebelakang sebelum akhirnya kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh.
Sementara Ki Lurah Sanggabaya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya ternyata telah terpelanting ke belakang. Tenaganya seolah-olah telah membentur dinding baja setebal satu jengkal sehingga tenaganya sendiri telah berbalik menghantam dirinya.
Sejenak Ki Lurah Sanggabaya yang jatuh terbanting itu telah menggeliat. Kemudian sambil menggeram dia pun berusaha bangkit berdiri.
Bango Lamatan yang menyaksikan benturan itu menjadi berdebar-debar. Ki Lurah Sanggabaya yang menurut pengamatannya sudah termasuk seorang Lurah yang berilmu tinggi ternyata di hadapan Kiai Sabda Dadi sama sekali tidak mengejutkan. Dengan melihat akibat dari benturan itu Bango Lamatan dapat mengukur betapa tingkat kemampuan Kiai Sabda Dadi jauh di atas Ki Lurah Sanggabaya.
“Ki Sanak,” akhirnya Bango Lamatan berkata, “Kita memang belum pernah saling mengenal dan juga belum pernah saling bersengketa, namun keadaanlah yang mendorong kita berdiri berseberangan. Aku tidak banyak waktu, sebelum Matahari terbit semuanya harus sudah selesai.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Kiai Sabda Dadi, Bango Lamatan segera bersiap. Dia tidak akan memulai dari tingkatan yang paling bawah kemudian naik selapis demi selapis, namun Bango Lamatan sudah mendapat gambaran serba sedikit tentang kemampuan Kiai Sabda Dadi, sehingga dia akan menyerang langsung pada tataran tinggi dari ilmunya.
Kiai Sabda Dadi menyadari sepenuhnya bahwa orang yang menyebut dirinya Bango Lamatan ini tidak dapat disamakan dengan kawannya yang baru saja terlempar akibat benturan dengan dirinya. Maka Kiai Sabda Dadi pun segera meningkatkan kemampuannya untuk melawan ilmu Bango Lamatan.
Sejenak kemudian Bango Lamatan telah meloncat menyerang dengan telapak tangan terbuka mengarah ke dada. Terasa udara yang panas dan padat menyertai serangan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra ini.
Kiai Sabda Dadi sadar akan bahaya udara panas dan terasa padat itu apabila sempat menyentuh dadanya. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, cucu Panembahan Kalijenar itu telah mengayunkan tangannya memotong serangan Bango Lamatan dengan kekuatan angin yang sedingin banyu sewindu.
Terkejut Bango Lamatan ketika menyadari angin yang sangat dingin menembus udara panas yang diciptakannya. Bahkan dinginnya udara itu terasa menggigit kulitnya.
“Gila!” umpatnya.
Dengan cepat ditariknya tangan kanannya dan sebagai gantinya kaki kirinya terayun mendatar mengarah ke lambung.
Kiai Sabda Dadi tidak ingin lambungnya menjadi sasaran kaki lawannya. Dengan bertumpu pada kaki kirinya, dia bergeser kesamping selangkah. Begitu kaki lawannya lewat sejengkal dari lambungnya, tangan Kiai Sabda Dadi bergerak mencengkeram pundak.
Demikianlah kedua orang yang mumpuni itu saling serang silih berganti. Sementara Ki Lurah Sanggabaya yang merasa kemampuannya jauh di bawah kedua orang yang sedang bertempur itu masih berdiri termangu mangu di luar lingkaran pertempuran.
“Lebih baik aku tidak usah melibatkan diri,” berkata Ki Lurah dalam hati, “Aku akan memasuki rumah Ki Gede dan mencari di mana bayi itu berada.”
Berpikir sampai disitu, Ki Lurah segera bergeser menuju ke gandhok kiri. Kemudian setelah menyusuri lorong di antara rumah induk dan gandhok kiri, Ki Lurah telah menemukan sebuah pintu butulan yang langsung menuju ke ruang dalam.
Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede yang melihat sekilas salah seorang dari mereka telah menyusup ke dalam rumah induk melalui pintu samping telah menjadi gelisah. Mereka mengkawatirkan kesiapan sekar Mirah dan Damarpati.
“Kalau Sekar Mirah belum siap untuk bertempur, Damarpati aku kira akan dapat mengatasinya, menilik kemampuan orang itu yang tidak terlalu mengejutkan ketika berbenturan denganku tadi,” demikian Kiai Sabda Dadi berpikir.
Sementara Ki Gede yang sedang menghadapi kedua Putut itu justru telah menjadi gelisah karena Ki Gede belum dapat mengikat kedua lawannya dalam sebuah pertempuran yang dahsyat, sehingga sewaktu waktu salah seorang lawannya dapat meninggalkan arena pertempuran dan menyusul kawannya yang terlebih dahulu telah memasuki rumah lewat pintu butulan samping.
Agaknya kedua Putut yang garang itu sempat melihat pergerakan Ki Lurah Sanggabaya yang menyelinap ke samping kiri bangunan induk, sehingga tiba-tiba Putut Luarsa telah meloncat mundur sambil berkata, “Adi Putut Gagat Rahina, tahanlah orang tua ini, aku akan ke dalam agar tugas kita segera selesai.”
Tanpa menunggu jawaban saudara seperguruannya, dengan beberapa kali loncatan Putut Luarsa telah berada di depan pintu pringgitan, pintu yang menghubungkan pendapa dengan ruang pringgitan.
Ki Gede mencoba menghalangi langkah Putut Luarsa namun serangan yang membadai dari Putut Gagat Rahina telah memaksa Ki Gede untuk menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapi lawannya yang tinggal seorang namun kegarangannya sangat ngedab-edabi.
Ki Gede menggeram keras. Baru kali ini pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang biasanya sabar dan sareh ini tidak dapat menahan kegelisahannya. Betapapun juga keselamatan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu menjadi tanggung jawabnya. Sementara Ki Gede merasa tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapapun karena pengaruh sirep yang begitu kuat dan tajam sehingga seluruh penghuni rumah Ki Gede bahkan rumah-rumah yang berdekatan telah tertidur lelap tanpa mengetahui kejadian di sekitarnya.
Ternyata kegelisahan dan kemarahan yang tertahan dalam dada Ki Gede telah terungkap dalam tandangnya yang dilambari dengan ilmu perguruan Menoreh yang dahsyat. Tombak pendek Ki Gede berputar cepat sehingga dalam pandangan mata lawannya, ujung tombak itu menjadi berpuluh-puluh dan semua mengarah ke bagian tubuhnya yang berbahaya. Kabut yang tipis dan berwarna kemerah-merahan seolah-olah muncul dalam gulungan putaran tombak yang mengurung Putut Gagat Rahina.
Ketika Putut Gagat Rahina untuk kesekian kalinya mencoba menekan Ki Gede dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya, ternyata Ki Gede telah mengungkapkan puncak ilmu tombaknya. Puncak ilmu yang sama dengan yang dimiliki oleh Pandan Wangi yang ditemukan dari hasil perenungannya akan inti sari dari ilmu jalur perguruan Menoreh. Di bawah bimbingan Kiai Gringsing waktu itu, Pandan Wangi telah mampu mengungkapkan puncak ilmunya. Pandan Wangi telah mampu menyalurkan getaran ilmunya mendahului bentuk wadag dari senjatanya, sehingga lawan yang tidak menyadari akan tersentuh oleh kekuatan ilmunya itu sebelum bentuk wadag dari senjata Pandan Wangi menyentuh lawannya.
Sebenarnyalah itu adalah puncak ilmu perguruan Menoreh. Ki Gede telah mewariskan seluruh ilmu perguruan Menoreh kepada Pandan Wangi. Dasar-dasar pengetrapan ilmu itu telah diwariskan kepada satu satunya anak perempuan Ki Gede, namun dalam pengembangannya, Pandan Wangi harus mencari sendiri, mendalaminya sendiri untuk menemukan jati diri dari ilmunya itu.
Demikianlah ketika Putut yang garang itu meloncat tinggi sambil menjulurkan keris luk sembilan di tangannya lurus mengarah dada, Ki Gede telah bertekat untuk segera mengakhiri pertempuran itu. Dengan cepat diangkatnya tombak pendek itu untuk menangkis keris yang meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara. Namun Ki Gede tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperbaiki kedudukannya begitu benturan itu terjadi. Dengan memutar tombaknya untuk melibat keris di tangan lawannya, Ki Gede melanjutkan serangan ujung tombaknya mengarah ke dada.
Putut Gagat Rahina yang tidak menyadari ungkapan ilmu dari Ki Gede telah menarik kerisnya agar tidak terlibat oleh putaran tombak itu. Ketika kemudian ujung tombak Ki Gede meluncur mematuk dadanya, dengan sedikit memiringkan tubuhnya, Putut Gagat Rahina mencoba menghindarkan dadanya dari patukan ujung tombak Ki Gede.
Namun alangkah terkejutnya murid perguruan Cahya Warastra itu. Menurut perhitungannya ujung tombak itu masih sejengkal dari dadanya, namun ketika dia telah memiringkan tubuhnya, terasa sesuatu telah menggores dadanya.
Dengan cepat Putut Gagat Rahina meloncat ke belakang untuk melihat apa yang terjadi dengan dadanya. Namun kini Ki Gede tidak mau melepaskan lawannya. Berbeda dengan pada saat Ki Gede harus melawan dua orang sekaligus, Ki Gede benar-benar harus memperhitungkan setiap gerak langkahnya. Kini setelah lawannya tinggal seorang saja, Ki Gede merasa bebas untuk mengembangkan serangannya.
Ketika lawannya sedang meloncat ke belakang untuk melihat apa yang telah terjadi dengan dadanya, Ki Gede tidak membiarkannya. Dengan sebuah loncatan yang panjang dijulurkannya tombaknya mengarah lambung Putut Gagat Rahina.
Putut Gagat Rahina terkejut. Dia tidak menyangka Ki Gede akan meloncat sejauh itu untuk memburunya. Dalam perhitungannya Ki Gede akan tetap bertahan dengan hanya bergerak selangkah demi selangkah. Semuanya memang sudah terlambat. Ketika dengan tergesa-gesa diayunkannya keris luk sembilan itu untuk menangkis ujung tombak Ki Gede yang mengarah ke lambung, Putut perguruan Cahaya Warastra itu belum menyadari bahwa serangan ujung tombak Ki Gede mampu mendahului ujud wadagnya satu jengkal.
Keris luk sembilan itu memang berhasil menangkis ujung tombak Ki Gede sehingga ujung tombak itu berubah arah ke samping kiri, namun getaran ilmu Ki Gede yang disalurkan melalui ujung tombaknya ternyata telah berhasil menggores lambungnya cukup dalam.
Terdengar keluhan tertahan disertai dengan umpatan yang sangat kotor dari mulut Putut Gagat Rahina. Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah sambil terhuyung-huyung. Tangan kirinya mendekap erat lambungnya yang memancarkan darah segar, sementara dari dadanya pun telah mengalir darah merah yang tak kalah derasnya.
Ki Gede benar-benar ingin menuntaskan pertempuran itu untuk segera memberikan pertolongan kepada Sekar Mirah yang mungkin sekarang sedang berjuang mempertahankan hidupnya. Tanpa menunda nunda waktu lagi, dengan sebuah loncatan panjang disertai dengan segenap kekuatannya, tombak pendek Ki Gede dengan deras meluncur ke arah dada Putut Gagat Rahina.
Putut Gagat Rahina yang sudah sedemikian lemah itu masih mencoba menangkis serangan lawannya, namun tenaganya sudah terlampau lemah sehingga ujung tombak itu pun dengan deras telah menembus jantungnya tanpa ampun.
Tubuh Putut yang semasa hidupnya penuh dengan gelimangan kehidupan yang kelam itu sekali lagi terdorong surut. Ketika Ki Gede kemudian membuat gerakan menyentak untuk menarik tombak pendeknya, bagaikan sebuah batang pohon pisang yang ditebang dengan sebuah parang yang tajam, tubuh itu pun terseret beberapa langkah ke depan sebelum akhirnya jatuh terjerembab di lantai pendapa.
Bango Lamatan yang sempat melihat peristiwa itu dari sudut matanya telah mengumpat.
“Matilah kau Putut yang tak berguna!” geramnya, “Kalian berdua tidak mengikuti perintahku. Mengapa singa tua itu kalian biarkan bertempur dengan salah seorang dari kalian? Benar-benar tindakan yang bodoh.”
Kiai Sabda Dadi yang mendengar umpatan Bango Lamatan tersenyum. Sambil tetap bertempur dia berkata, “Bagaimana dengan kawanmu yang membiarkan Ki Sanak bertempur sendirian? Apakah Ki Sanak tidak takut mengalami nasib yang sama?”
“Tutup mulutmu!” bentak Bango Lamatan sambil mengayunkan tangannya mengarah ke pelipis Kiai Sabda Dadi, “Sekali lagi aku peringatkan. Kau sedang bertempur melawan Bango Lamatan. Jangan samakan aku dengan kedua Putut yang bodoh itu.”
Kiai Sabda Dadi tidak menjawab. Dimiringkannya kepalanya ke samping ketika ayunan tangan lawannya hampir menyentuh keningnya. Sebelum Bango Lamatan sempat menarik tangannya, Kiai Sabda Dadi dengan sekuat tenaga segera mengayunkan lututnya mengarah ke perut Bango Lamatan yang terbuka.
Demikianlah kemudian kedua orang yang tangguh tanggon itu kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh yang telah berhasil menyelesaikan lawannya dengan tergesa-gesa segera berlari-lari ke arah pintu pringgitan. Ketika kemudian Ki Gede telah mendorong pintu yang menghubungkan pendapa dengan ruang pringgitan itu, segera saja pendengaran Ki Gede yang tajam mendengar suara pertempuran yang sengit dari arah ruang dalam.
Ki Gede benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Hanya dengan beberapa kali loncatan saja dia telah menyeberangi ruang pringgitan untuk kemudian dengan kerasnya ditendangnya pintu ruang tengah itu sehingga menimbulkan suara yang berderak-derak.
Orang-orang yang sedang bertempur di ruang tengah yang luas itu terkejut dan serentak menghentikan pertempuran sejenak dengan meloncat mundur.
Ki Gede Menoreh yang sudah meloncat masuk ke ruang tengah dengan tombak merunduk itu beberapa saat tertegun. Tampak Sekar Mirah sedang duduk bersimpuh di salah satu sudut ruangan dengan mendekap bayinya erat-erat, sementara Damarpati berdiri tegak membelakanginya dengan tongkat baja putih tergenggam erat di tangan kanannya. Anak itu tampak sangat tegang, beberapa luka tampak menggores lengan dan pundak kirinya. Walaupun luka itu tidak terlampau dalam, namun darah yang terus mengalir dari luka-luka itu telah membuat Damarpati semakin lemah.
Sementara di depannya berdiri dengan garangnya Putut Luarsa dengan pedang di tangan kanannya. Ketika kemudian Ki Gede telah meloncat ke dalam ruangan itu, dengan terkejut dia berpaling sambil berteriak, “He! Apa kerjamu di sini, orang tua?”
Ki Gede tidak menjawab. Dengan sekali loncat dia telah berada di depan Damarpati menghadapi Putut Luarsa. Ketika Ki Gede berkesempatan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut ruangan, tampak kawan Bango Lamatan yang terlebih dahulu telah memasuki rumah Ki Gede sedang bertempur dengan sengitnya melawan seorang perempuan muda yang sangat cantik. Mereka berdua tampaknya tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya termasuk kehadiran Ki Gede di ruangan itu. Keduanya tampak sedang wuru dan hanya ada satu tekad di dalam dada mereka, membunuh atau terbunuh.
Perabotan di sekitar mereka yang sedang bertempur itu telah porak poranda hancur luluh diterjang getaran ilmu kedua orang itu. Agaknya keduanya telah mencapai puncak ilmu mereka. Sambaran angin yang berputaran dan sesekali menghempas dan menerjang silih berganti telah membuat dinding-dinding bergetaran. Perempuan cantik itu kelihatannya sangat bernafsu untuk segera menyelesaikan pertempuran, namun lawannya adalah Ki Lurah Sanggabaya. Setiap kali serangan perempuan cantik itu hampir menyentuh bagian tubuh lawannya, selalu saja serangan itu kandas dan seolah-olah selalu ada jarak yang membatasi antara serangan perempuan cantik itu dengan tubuh lawannya. Ki Lurah Sanggabaya ternyata telah mengetrapkan sejenis aji yang dapat melindunginya dari setiap sentuhan lawannya.
“Lembu sekilan!” geram perempuan muda yang terlihat sangat cantik dan mempesona itu, “Jangan dikira ilmumu itu tidak akan dapat ditembus, Ki Sanak. Kalau selama ini seranganku belum menyentuhmu, itu hanya karena belas kasihanku saja.”
“Persetan!” geram Ki Lurah Sanggabaya tak kalah kerasnya sambil menerjang ke arah lawannya, “Buktikan sesorahmu atau kau akan menyesal seumur hidupmu. Kau akan kutangkap hidup-hidup dan aku jadikan permainan yang mengasyikkan bersama anak buahku.”
“Tutup mulutmu yang kotor itu!” bentak perempuan itu sambil menghindar.
Perempuan muda yang terlihat lembut dan gemulai itu ternyata sangat trengginas tandangnya. Dengan cepat dia merendahkan diri menghindari pukulan lawannya yang mengarah kening, kemudian dengan bertumpu pada tumit kaki kirinya, kaki kanannya menyapu kedua kaki lawannya yang sedang bergerak ke depan.
Tentu saja Ki Lurah tidak akan membiarkan kedua kakinya tersapu oleh serangan lawannya, walaupun dia telah mengetrapkan aji lembu sekilan. Menilik derasnya angin yang menderu mendahului serangan kaki lawannya, Ki Lurah sadar bahwa lawannya tentu telah mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk menembus ilmunya. Maka dengan meloncat selangkah ke samping untuk menghindari serangan yang mengarah ke kakinya, justru Ki Lurah yang ganti menyerang, tangan kanannya terjulur mencengkeram ke arah pundak.
Perempuan cantik itu kembali menunjukkan kelincahannya, dengan sedikit menggeliat dia menarik tubuh mungilnya ke belakang sehingga dadanya yang membusung indah itu begitu jelas terlihat menantang di mata Ki Lurah Sanggabaya.
“Gila, gila!” berkali kali Ki Lurah Sanggabaya harus mengumpat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir bayangan-bayangan aneh yang menyelinap dalam benaknya sehingga mengganggu pemusatan nalar budinya.
Sekilas perempuan muda dan terlihat sangat cantik itu tersenyum. Aji lembu sekilan yang ditrapkan oleh lawannya tidak mampu ditembus dengan pengerahan tenaga cadangannya, namun perempuan cantik itu ternyata sangat cerdik. Sekaranglah waktunya bagi perempuan itu untuk semakin mendesak Ki Lurah yang mulai terpengaruh oleh ujud kewadagan dirinya. Apalagi ketika kemudian samar-samar namun semakin lama semakin kuat tercium bau harum semerbak mewangi dari tubuh molek lawannya, penalaran Ki Lurah Sanggabaya pun benar-benar mulai menjadi buram.
Dengan menggeram keras dan nafas yang memburu Ki Lurah mulai menyerang dengan buas dan ganas namun jauh dari perhitungan nalarnya. Gerakannya sangat kasar dan liar. Tidak terlihat lagi unsur-unsur olah kanuragan dalam serangannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah keinginan untuk menubruk dan memeluk mangsanya bagaikan seekor singa lapar yang melihat seekor kijang kecil mungil dan menggemaskan bermain-main di hadapannya.
Kini gerakan-gerakan perempuan cantik dan menggairahkan itu semakin membuat jantung Ki Lurah hampir meledak. Bahkan sesekali lawannya itu menyerangnya dengan tidak bersungguh-sungguh dan hanya membuat gerakan-gerakan melawan seperti seorang gadis yang sedang menari. Kadang-kadang gerakan tarian itu sungguh sangat dekat dengan Ki Lurah sehingga seakan-akan Ki Lurah hampir mampu menyentuhnya. Namun ketika dengan ganas Ki Lurah mencoba menubruk lawannya itu, yang didapatinya hanyalah tempat kosong. Yang tertinggal hanyalah bau khas yang semerbak mewangi dari tubuh lawannya sehingga membuat jantung Ki Lurah bagaikan meledak dengan sekujur tubuhnya menggigil menahan gejolak yang hampir tak tertahankan di dalam rongga dadanya.
Putut Luarsa yang melihat perubahan unsur gerak olah kanuragan Ki Lurah menjadi heran. Pada awalnya Ki Lurah hampir mampu mendesak lawannya dengan aji kebanggaannya itu, lembu sekilan. Putut Luarsa maklum dengan maksud Ki Lurah menggunakan aji itu adalah untuk memaksa lawannya bekerja keras dan akhirnya kehabisan tenaga dengan sendirinya sehingga Ki Lurah akan dapat menangkapnya hidup-hidup. Agaknya Ki Lurah yang dalam kesehariannya senang bermain main dengan perempuan itu telah tertarik oleh kecantikan lawannya.
Namun keadaan kini berbalik. Ki Lurah terlihat bertempur seperti orang yang sedang mabuk. Dengan nafas yang terengah-engah dan mata yang merah menyala dia hanya meloncat loncat dan berusaha menubruk lawannya dengan kedua tangan terkembang. Betapa lawannya itu sangat menikmati permainannya. Dibiarkannya Ki Lurah berlari ke sana kemari mengejar kemanapun dirinya bergerak. Sesekali dikaitnya kaki Ki Lurah sehingga Ki Lurah yang sudah kehilangan penalarannya itu terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terjerembab. Namun dengan cepat dia bangkit berdiri dan kembali mengejar kemanapun perempuan cantik itu berlari.
Tidak tahan melihat tingkah polah Ki Lurah, Putut Luarsa pun kemudian menggeram keras sambil berteriak, “Ki Lurah sadarlah! Kau dipermainkan perempuan gila itu. Cepat ambil keputusan sebelum kau terkapar dalam keadaan yang dihinakan.”
Namun suara murid Panembahan Cahya Warastra itu bagaikan tenggelam ketika tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar, “Diamlah! Aku lah lawanmu sekarang.”
Selesai berkata demikian Ki Gede segera memutar tombak pendeknya siap untuk menyerang lawannya.
Putut Luarsa yang berusaha menyadarkan Ki Lurah ternyata usahanya sia-sia. Ketika kemudian tombak pendek di tangan Ki Gede telah berputaran dengan cepat kemudian menyambar dadanya, murid perguruan Cahya Warastra itu pun segera memusatkan perhatiannya untuk bertempur menghadapi Ki Gede.
Sementara Damarpati yang telah diambil alih lawannya oleh Ki Gede masih berdiri termangu mangu. Anak itu masih belum bisa menguasai jantungnya yang berdebaran di dalam rongga dadanya. Dengan mata yang nanar dia mengawasi jalannya pertempuran antara Ki Gede melawan Putut Luarsa.
“Damar,” tiba-tiba terdengar bisik lembut di belakangnya, “Beristirahatlah, semuanya akan baik-baik saja.”
Mendengar suara lembut Sekar Mirah, barulah Damarpati menarik nafas dalam-dalam. Betapa dadanya bagaikan disiram banyu sewindu setelah mengalami ketegangan yang luar biasa ketika bertempur melawan Putut Luarsa.
Sekarang baru terasa betapa pedih luka-luka yang terdapat di beberapa bagian tubuhnya. Sejenak diamat-amatinya beberapa luka yang terdapat di pundak kiri dan lengan kanannya. Ketika Damarpati kemudian dengan tidak sengaja telah berpaling ke belakang, agaknya Sekar Mirah telah tanggap, dengan tetap mendekap bayinya yang tertidur lelap, perlahan Sekar Mirah berdiri kemudian berjalan mendekat dan meraih tangan Damarpati untuk dibimbing menjauhi arena pertempuran.
Dalam pada itu, di luar langit mulai dihiasi oleh sinar merah kekuning kuningan yang membias indah pada mega-mega yang berarak arak di langit sebelah timur. Pagi mulai datang, alam bagaikan terbangun dari kegelapan yang penuh dengan misteri. Kekuatan sirep yang ditebarkan oleh Bango Lamatan dan kawan kawannya mulai memudar seiring dengan datangnya pagi.
Beberapa pengawal yang tidur silang melintang di depan regol kediaman Ki Gede mulai terusik. Sambil menggeliat dan menguap lebar-lebar mereka mulai menyadari keadaan masing-masing. Rasa rasanya mereka telah tidur terlampau nyenyak di penghujung malam itu.
“He!” tiba-tiba seorang pengawal yang tertidur sambil bersandaran pintu regol telah meloncat bangun. Sejenak diedarkan pandangan matanya yang masih buram itu ke sekeliling penjagaan di regol kediaman Ki Gede. Betapa jantungnya bagaikan berhenti berdenyut begitu melihat sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Beberapa pengawal telah tertidur silang melintang di regol itu.
Ketika sudut mata pengawal itu menangkap bayangan orang yang sedang bertempur di halaman, pengawal itu pun segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di kediaman Ki Gede justru pada saat semua pengawal yang berjaga jaga telah tertidur.
“Sirep,” gumam pengawal itu, “Seseorang telah menebarkan sirep. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?”
Dengan tergesa-gesa diguncang-guncangkannya tubuh kawan kawannya yang masih terbuai dalam mimpi. Ketika satu persatu pengawal itu mulai tersadar dari pengaruh sirep yang melemah karena datangnya sinar Matahari, penjagaan di regol depan itu pun segera menjadi gempar. Dengan tergesa-gesa mereka segera membenahi pakaian mereka yang tampak kusut serta senjata-senjata mereka yang dibiarkan tergeletak begitu saja ketika mereka jatuh tertidur.
Dengan sigap tiga orang pengawal segera berlari-larian menuju ke pendapa, sedangkan beberapa yang lain dengan senjata terhunus mencoba mendekati pertempuran antara Kiai Sabda Dadi dan Bango Lamatan.
Ketika tiga orang pengawal yang menaiki tlundak pendapa itu telah mencapai pendapa, alangkah terkejutnya mereka begitu mendapati sesosok mayat yang tertelungkup di tengah-tengah pendapa dalam genangan darah yang mulai mengering. Tahulah kini mereka bahwa di atas pendapa telah terjadi pertempuran yang dahsyat.
Begitu ketiga pengawal itu mencoba mengenali sesosok mayat yang tertelungkup itu dengan membalikkannya, kembali ketiga pengawal itu terkejut. Bekas luka yang menganga di dada mayat itu jelas bekas tusukan sebuah tombak.
“Ki Gede Menoreh,” gumam salah satu pengawal itu tanpa sadar. Kedua kawannya ikut mengangguk anggukkan kepala begitu mengenali bekas luka di dada mayat itu.
“Marilah kita lihat di ruang dalam,” berkata pengawal itu kemudian kepada kawan kawannya.
Sejenak kemudian ketiga pengawal itu telah menerobos pintu pringgitan yang terbuka. Dengan cepat tanpa membuang-buang waktu lagi ketiganya pun segera meluncur ke ruang tengah.
Dari pintu ruang tengah yang terbuka itu mereka segera menyaksikan pertempuran yang dahsyat antara Ki Gede Menoreh dan Putut Luarsa. Keduanya tampaknya telah sampai pada puncak ilmu mereka yang nggegirisi. Pedang Putut Luarsa berputaran cepat dan menimbulkan pusaran angin yang melibat apa saja yang diterjangnya, sementara Ki Gede telah bergerak setapak demi setapak dengan kemampuan puncak ilmunya yang mampu mendahului gerak wadagnya.
Ketiga pengawal itu masih sempat melihat Putut Luarsa meloncat tinggi sambil memutar pedangnya. Sebuah pusaran angin segera saja melibat Ki Gede yang dengan sengaja menyongsong pusaran angin itu. Ketika tubuh Ki Gede terseret beberapa langkah karena kekuatan pusaran angin yang menerjangnya, lawannya segera menggunakan kesempatan itu untuk mengayunkan pedangnya menebas leher.
Kesempatan itu memang telah ditunggu oleh Ki Gede. Putut Luarsa yang belum menyadari kekuatan ilmu dari perguruan Menoreh itu ternyata telah salah perhitungan. Dengan segenap kemampuan tenaga cadangannya Ki Gede dengan sengaja membenturkan tombak pendeknya dengan pedang lawannya yang terayun deras mengarah ke leher. Benturan yang terjadi kemudian ternyata menjadi akhir dari pertempuran itu. Pedang Putut Luarsa yang bagaikan membentur sepotong besi gligen telah terpental kesamping. Selagi Putut Luarsa memperbaiki genggaman pada pangkal pedangnya agar tidak terlepas, Ki Gede ternyata telah menghentakkan ilmunya dengan menghunjamkan tombak pendeknya ke arah dada lawannya yang terbuka.
Menyadari bahaya yang datang ke arah dadanya, murid Panembahan Cahya Warastra itu dengan tergesa-gesa memiringkan tubuhnya sejengkal. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungannya. Ujung tombak itu secara kasat mata memang masih kurang sejengkal dari dadanya sehingga Putut Luarsa tidak menyangka ketika tiba-tiba saja terasa ujung tombak itu telah menghunjam dadanya cukup dalam.
Tubuh Putut Luarsa beberapa saat terhuyung-huyung ke belakang terkena dorongan dari tombak Ki Gede yang telah berhasil melubangi dadanya cukup dalam. Darah segar segera memancar dari luka itu. Luka yang cukup parah sehingga sejenak kemudian Putut Luarsa telah menjadi gemetar.
“Gila,” umpatnya, “Ilmu iblis, benar-benar ilmu iblis,” dia berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang menjadi semakin tersengal-sengal. Kini pedangnya telah dilepaskan dan dengan kedua tangannya dia mencoba mendekap luka itu untuk menghentikan darah yang terus mengucur, namun ternyata luka itu memang cukup parah sehingga Putut Luarsa tidak mampu menghentikannya. Lanjutnya kemudian, “Kau berhasil Ki Gede. Kami ternyata salah perhitungan, kami menyangka Ki Gede masih tergolek sakit dan…”
Putut Luarsa tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba tubuhnya condong ke depan dan terjatuh pada lututnya. Sejenak saudara seperguruan Putut Gagat Rahina itu mengumpat sambil menyeringai menahan sakit yang mendera dadanya. Ketika Ki Gede maju selangkah untuk mencoba menolongnya, Putut yang dipercaya oleh Panembahan Cahya Warastra untuk membantu Bango Lamatan menculik anak Ki Rangga Agung Sedayu itu pun akhirnya terjungkal dan menemui ajalnya.
Sejenak suasana menjadi sepi. Ki Gede Menoreh masih berdiri termangu mangu di depan mayat Putut Luarsa. Beberapa langkah di depannya agak jauh di dekat pintu butulan samping terlihat Ki Lurah Sanggabaya terbujur diam entah pingsan entah mati. Sementara perempuan muda dan cantik yang menjadi lawannya itu telah pergi entah kemana.
Ketiga pengawal itu segera berlari menghadap Ki Gede. Setelah membungkuk hormat, salah satu pengawal itu berkata, “Ma’afkan kami Ki Gede. Kami tidak mampu berbuat apa-apa justru pada saat kediaman Ki Gede telah diserbu oleh orang-orang tak dikenal.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya satu persatu ketiga pengawal yang sedang berdiri di depannya sambil menundukkan kepala itu. Kata Ki Gede kemudian, “Semua itu bukan salah kalian. Musuh yang datang mempunyai kemampuan diluar jangkauan ilmu kalian. Untunglah ada seseorang yang ikut membantu. Sayang dia telah pergi sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.”
Ketiga pengawal itu saling pandang sejenak. Mereka tidak sempat melihat pertempuran antara Ki Lurah Sanggabaya dengan perempuan yang masih muda dan sangat cantik itu. Ketika mereka memasuki ruang tengah, mereka hanya sempat menyaksikan akhir dari pertempuran Ki Gede dengan lawannya.
“Nah,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Bersihkanlah ruangan ini. Ajak kawan kawanmu yang lain untuk menyelenggarakan mayat ini dan yang ada di pendapa. Aku akan melihat keadaan orang yang tergeletak di dekat pintu samping itu.”
Selesai berkata demikian dengan bergegas Ki Gede segera menuju tempat Ki Lurah Sanggabaya tergeletak. Dengan bertumpu pada tombak pendeknya, Ki Gede pun kemudian berjongkok di sisi Ki Lurah sambil meraba dadanya.
Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya. Setelah yakin akan pengamatannya, dengan perlahan Ki Gede berdiri dan berkata sambil berpaling ke arah ketiga pengawal yang masih berdiri menunggu di dekat tubuh Putut Luarsa yang terbujur diam, “Agaknya orang ini hanya pingsan saja. Carilah tali yang kuat untuk mengikatnya, kemudian bawalah ke bilik khusus untuk para tawanan. Aku akan ke halaman melihat keadaan Kiai Sabda Dadi.”
Namun baru saja Ki Gede melangkah beberapa tindak, ternyata justru Kiai Sabda Dadi yang muncul terlebih dahulu dari pintu butulan samping.
“Kiai?” terkejut Ki Gede segera mendekat, “Bagaimana dengan lawan Kiai?”
Kiai Sabda Dadi tidak segera menjawab. Pandangan matanya menyapu ke seluruh ruangan dengan penuh tanda tanya. Agaknya Kiai Sabda Dadi sedang mencari Damarpati.
Menyadari hal itu Ki Gede pun segera berkata, “Jangan khawatir Kiai, cucumu selamat. Hanya mendapat sedikit luka sebagai pengalamannya yang pertama bertempur di medan yang sebenarnya.”
Mendengar penjelasan Ki Gede, pemimpin padepokan Glagah Tinutu dari pegunungan Kendeng itu pun menarik nafas dalam-dalam sambil memanjatkan syukur kepada Yang Maha Agung atas perkenan-NYA memberikan perlindungan kepada hamba-NYA.
“Jadi, dimanakah lawan Kiai?” Ki Gede mengulangi pertanyaannya.
Sadar belum memberikan jawaban atas pertanyaan Ki Gede, Kiai Sabda Dadi pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Dia telah menghilang. Agaknya dia itu sejenis hantu yang takut kamanungsan ketika melihat sinar Matahari pagi.”
“Ah,” desah Ki Gede, “Kiai masih suka bercanda.”
“Tidak,” sahut Kiai Sabda Dadi dengan bersungguh sungguh, “Aku berkata sebenarnya. Lawanku itu memang mempunyai kemampuan untuk menghilangkan ujud wadagnya. Ketika dia menyadari bahwa kawan-kawannya tidak ada yang kembali, maka dia memutuskan untuk menghilangkan ujud wadagnya dari hadapanku dan meninggalkan medan.”
“Halimunan,” desis Ki Gede dengan dada yang berdebar debar, “Sebuah ilmu yang sudah hampir punah. Ternyata masih ada orang yang mampu menekuninya,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah Kiai tidak berusaha untuk mengejarnya?”
Kiai Sabda Dadi menggeleng, “Aku kehilangan waktu sekejap ketika tiba-tiba saja dia meloncat mundur kemudian menghilang dari pandangan mataku. Ketika aku sedang memusatkan nalar dan budi untuk mencoba mengenali keberadaannya, ternyata dia telah jauh meninggalkan tempat ini.”
Beberapa saat Ki Gede masih berdebar-debar mendengar keterangan dari Kiai Sabda Dadi. Seandainya orang yang mempunyai ilmu Halimunan itu yang memasuki rumahnya terlebih dahulu, tentu keadaan akan menjadi lain. Dengan mudahnya dia akan melumpuhkan Sekar Mirah dan Damarpati.
Menyadari hal itu, tak henti-hentinya Ki Gede Menoreh mengucap syukur atas pertolongan dan perlindungan dari Yang Maha Agung. Betapa segala sesuatunya seolah olah telah diatur oleh “tangan”-NYa sehingga seluruh keluarga yang menjadi tanggung jawabnya itu tidak mengalami suatu apapun.
“Marilah, Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi membuyarkan lamunan Ki Gede, “Kita tengok keadaan Nyi Sekar Mirah dan Damarpati.”
Ki Gede mengangguk. Dengan berjalan beriringan kedua orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya itu berjalan menuju ke ruang belakang di dekat dapur.
Dalam pada itu, dengan semakin memudarnya pengaruh sirep yang melingkupi kediaman Ki Gede Menoreh dan sekitarnya, para perempuan pembantu di rumah Ki Gede telah terjaga dari tidurnya masing-masing. Dengan riuhnya mereka saling menanyakan apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga mereka tidak menyadari keadaan diri masing-masing.
Salah seorang perempuan yang hampir sekujur tubuhnya basah kuyup karena tertumpah air dari lodong-lodong bambu yang dibawanya telah bersungut sungut sambil membenahi lodong-lodong bambu yang berserakan di depan tungku.
“Untung tungku ini tidak membakarku,” desisnya perlahan sambil memperlihatkan wajah yang cemberut.
Kawannya yang mendengarnya tertawa, katanya, “mBakyu, bergantilah pakaian. Pakaianmu basah kuyup nanti kau bisa sakit.”
“Nanti saja,” jawabnya kemudian tanpa menoleh, “Aku akan memenuhi tempayan ini dulu sebelum berganti dengan pakaian yang kering.”
Kawannya tidak berkata kata lagi. Dipandanginya saja perempuan separo baya yang bajunya basah kuyup itu menjinjing lodong-lodong bambu keluar dari pintu dapur.
Ketika kemudian perempuan separo baya itu telah sampai di perigi. Diletakkannya lodong-lodong bambu itu berjajar-jajar di dekat perigi siap untuk diisi air sampai penuh. Namun baru saja dia menyentuh batang senggot untuk mengambil air dari perigi, tiba-tiba lamat-lamat didengarnya suara kesibukan dari arah pendapa.
Sejenak perempuan separo baya itu mengerutkan keningnya. Sebuah desir tajam telah menyelinap di sudut hatinya.
“Aku akan melihat apa yang sedang terjadi di pendapa,” katanya dalam hati.
Dengan bergegas perempuan separo baya itu melintas di samping rumah induk menuju longkangan yang menghubungkan rumah induk dengan gandhok kanan. Ketika langkahnya hampir mencapai pintu seketeng, hatinya menjadi berdebar-debar. Dengan perlahan didorongnya pintu seketeng itu untuk mengintip apa yang sedang terjadi di pendapa.
Namun alangkah terkejutnya perempuan separo baya itu begitu pintu seketeng itu terbuka sejengkal, pandang matanya segera menangkap dua sosok mayat yang terbujur kaku di lantai pendapa.
Bagaikan melihat hantu di siang bolong, perempuan separo baya itu segera berlari terseok-seok kembali ke dapur. Sesampainya di depan pintu dapur, dengan nafas yang masih berkejaran dia berseru, “Mayat.. mayat ada mayat!”
Kawan kawannya yang ada di dapur serentak menghentikan pekerjaannya. Beberapa orang segera bergegas mendapatkan perempuan separo baya itu dan merubungnya.
“Ada apa, Yu? Mayat siapa? Di mana?” bertubi-tubi pertanyaan itu menghujani perempuan separo baya itu.
Sambil menekan dadanya untuk mengurangi getaran debur jantungnya, perempuan separo baya tu menjawab, “Di pendapa ada mayat, dua mayat. Entah aku tidak tahu siapa mereka.”
Gemparlah dapur itu begitu mengetahui bahwa pagi itu ternyata telah terjadi raja pati di kediaman Ki Gede Menoreh justru pada saat mereka mengalami hal yang aneh, tertidur tanpa mengetahui apa yang menjadi penyebabnya.
“Tenanglah!” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam mengatasi riuhnya suara para perempuan yang ada di dapur.
Serentak para perempuan pembantu di rumah Ki Gede itu berpaling ke arah pintu yang menuju ke ruang tengah. Tampak Ki Gede Menoreh dengan masih menjinjing tombak pendeknya berdiri di depan pintu. Sementara di sampingnya Kiai Sabda Dadi berdiri termangu mangu.
“Memang telah terjadi raja pati pagi ini,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Aku harap kalian semua tetap tenang dan bekerja seperti biasanya. Masalah ini telah kami atasi, dan semoga tidak akan terulang lagi di masa-masa yang akan datang.”
Para perempuan pembantu di rumah Ki Gede itu mengangguk anggukkan kepala mereka. Ada perasaan aman di dalam hati mereka ketika pemimpin tertinggi tanah Perdikan Menoreh itu sendiri yang memberikan penjelasan kepada mereka tentang apa yang telah terjadi.
“Silahkan kembali bekerja,” berkata Ki Gede setelah sejenak mereka terdiam, “Para pengawal belum mendapatkan ransum pagi ini. Namun mereka menyadari sepenuhnya karena kalian telah terlambat bangun akibat terkena pengaruh sirep.”
“Sirep?” perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede itu saling berpandangan.
“Ya, sirep,” jawab Ki Gede, “Menjelang dini hari tadi seluruh rumah ini telah terkena pengaruh sirep yang sangat kuat.”
Kembali para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu saling berpandangan sambil menahan nafas menunggu penjelasan Ki Gede lebih lanjut.
“Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah menyelamatkan kita, sehingga kita terhindar dari maksud-maksud jahat orang-orang yang dengan sengaja menebarkan sirep dan memasuki rumah ini.”
“Jadi?” tiba-tiba perempuan separo baya itu mendesak kedepan, “Mayat siapakah yang ada di pendapa itu, Ki Gede?”
Beberapa saat Ki Gede terdiam, ketika kemudian dia berpaling ke arah Kiai Sabda Dadi, dilihatnya Kakek Damarpati itu mengangguk.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Gede pun akhirnya menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berusaha memasuki rumah ini dan agaknya memang mereka sedang mencari sesuatu.”
Perempuan separo baya itu mengkerutkan lehernya sambil berdesis, “Syukurlah mereka telah terbunuh, dan aku masih utuh tidak kurang suatu apapun.”
“He! Apa maksudmu?” kawannya yang berdiri di sebelahnya berseru sambil menggoncangkan bahu perempuan separo baya itu.
“Siapa tahu yang mereka cari adalah aku,” jawab perempuan separo baya itu.
“Ah,” beberapa perempuan pembantu rumah Ki Gede berdesah maklum. Perempuan separo baya itu memang sudah cukup lama menjanda semenjak ditinggal mati suaminya hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi hampir tidak dapat menahan senyum mendengar kelakar perempuan separo baya itu. Akhirnya Ki Gede pun berkata, “Sudahlah, silahkan kembali bekerja. Semuanya sudah kembali seperti sediakala. Aku dan Kiai Sabda Dadi akan ke depan untuk melihat penyelenggaraan kedua jenasah itu.”
Demikianlah akhirnya, setelah sejenak menengok keadaan Sekar Mirah dan Damarpati, kedua orang tua itu pun kemudian ke pendapa untuk melihat persiapan penyelenggaraan jenasah kedua Putut murid Panembahan Cahya Warastra.
--oo0oo--
TDBM 406

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403