Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 409
UNTUK SEJENAK raksasa itu tertegun. Bagaimanapun juga ilmu Ki Rangga yang
dipelajarinya dari kitab Ki Waskita itu nyaris sempurna. Bukan hanya ujud-ujud
semu yang hanya dapat mengelabuhi pandangan mata wadag saja, namun kedua ujud
Ki Rangga itu juga mempunyai kemampuan ilmu yang sama dengan ujud aslinya.
Raksasa itu menggeram dengan dahsyatnya. Suaranya bagaikan
auman berpuluh-puluh singa gurun yang kelaparan.
“Ki Rangga,” katanya kemudian dengan suara yang menggelegar.
Gaungnya sampai jauh memantul ke bukit-bukit dan lembah di sekitarnya, “Kau
mencoba mengelabuhi aku dengan ilmu kakang pembarep adi wuragil. Jangan harap
aku akan tertipu. Dengan sangat mudah aku akan dapat menemukan ujudmu yang
asli.”
“Silahkan, Panembahan,” jawab Ki Rangga dengan mengerahkan
tenaga cadangannya sehingga suaranya terdengar menggelegar, “Aku hanya berusaha
mengimbangi ilmu Panembahan yang tiada taranya. Namun aku yakin, setinggi
apapun ilmu itu kalau digunakan pada jalur yang tidak diperkenankan oleh Yang
Maha Agung, pasti akan hancur juga.”
“Omong kosong!” bentak Panembahan Cahya Warastra. Suaranya
bergulung-gulung bagaikan guntur yang meledak di langit, “Kau tidak usah
merajuk, Ki Rangga. Perlawananmu akan segera berakhir. Walaupun Kau mampu
meningkatkan ilmumu selapis dua lapis lagi, itu semua tidak ada artinya
menghadapi aji Brahala Wuru.”
“Belum tentu Panembahan,” sahut Ki Rangga, “Betapapun tinggi
ilmu seseorang, pasti mempunyai kelemahan, dan kelemahan aji Brahala Wuru
itulah yang sedang aku jajagi sekarang ini.”
Panembahan Cahya Warastra tertawa pendek, namun suaranya
cukup mengguncang medan sekitarnya, “Jangan bermimpi Ki Rangga, hari masih
terlalu siang untuk bermimpi. Hadapi sajalah kenyataan ini. Kau telah dengan
deksura berani menjadi talang patinya Juru Mertani yang licik itu. Kau tidak
usah menyesali diri lagi.”
Selesai berkata demikian dengan disertai suara bentakan yang
mengguntur kaki Panembahan Cahya Warastra itu menginjak ujud Ki Rangga Agung
Sedayu yang berdiri paling dekat.
Ujud Ki Rangga yang terdekat itu memang ujud yang asli.
Panembahan Cahya Warastra memang dengan mudah dapat menemukan ujud asli Ki
Rangga, namun betapapun mudahnya, tetap saja Panembahan Cahya Warastra
memerlukan waktu sekejap untuk menilai ujud ketiga lawannya, dan itu sangat
berarti sekali bagi Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan cepat Ki Rangga melenting menghindari serangan
lawannya justru mendekati ke arah kedua ujudnya yang lain. Dengan bergerak
saling menyilang, ketiga ujud itu saling merapat untuk kemudian berpencar lagi.
Sejenak kemudian perang tanding itu pun berkobar kembali
dengan sengitnya. Ki Rangga yang telah mengetrapkan aji kakang pembarep adi
wuragil benar-benar memanfaatkan keberadaan ketiga ujudnya untuk mempengaruhi
penalaran lawannya. Ketiga ujud Ki Rangga itu berloncatan saling menyilang untuk
bersatu kemudian terpecah lagi menjadi tiga. Ketika Panembahan Cahya Warastra
sedang menilai ketiga ujud Ki Rangga untuk mencari ujud yang asli, sebuah
ledakan yang tidak terdengar tapi dari ketiga ujung cambuk itu telah meluncur
tiga larik cahaya kebiru-biruan dan menghantam bagian tubuh raksasa itu. Satu
di bagian dada, satu di bagian punggung dan yang terakhir di bagian perut.
Raksasa itu terlihat tidak gentar dengan serangan beruntun
dari ketiga ujud lawannya. Dengan tanpa menghiraukan serangan lawannya, raksasa
itu mengejar kemanapun ujud Ki Rangga yang asli berada. Walaupun Panembahan
Cahya Warastra mampu mengenal ujud Ki Rangga yang asli, namun waktu yang
sekejap itu telah digunakan sebaik-baiknya oleh Ki Rangga untuk mencoba
membalas serangan lawannya.
Dalam pada itu pertempuran antara kedua pasukan yang sempat
terhenti sebentar, perlahan telah berkobar kembali. Pasukan Panembahan Cahya
Warastra bagaikan mendapat tambahan tenaga baru. Mereka bertempur sambil
bersorak-sorai seakan-akan kemenangan telah berada di tangan mereka. Sementara
para perwira prajurit Mataram dengan susah-payah harus mengembalikan semangat
pasukannya untuk bertempur kembali dengan tidak terpengaruh oleh perang tanding
antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.
“Jangan terpengaruh!” teriak Ki Tumenggung Surayudha,
“Perang tanding itu tidak menentukan akhir dari perang ini. Kita masih punya
kekuatan berlebih untuk menghancurkan Panembahan Cahya Warastra.”
“Jangan takut!” Ki Tumenggung Singayudha ikut memberi
semangat para prajuritnya, “Masih ada Ki Patih Mandaraka yang belum turun ke
medan. Selebihnya, junjungan kita Panembahan Hanyakrawati tentu tidak akan
membiarkan Mataram hancur karena pokal orang yang menyebut dirinya Panembahan
Cahya Warastra.”
“Apakah kalian yakin?” tiba-tiba terdengar suara tertawa di
antara riuhnya pertempuran.
Ki Tumenggung Singayudha berpaling. Tampak seorang yang
berperawakan tinggi dengan kumis melintang berdiri dengan kaki renggang
beberapa langkah di samping kanannya.
Ki Tumenggung Singayudha tersenyum sambil menghadap penuh ke
arah orang itu. Sedari tadi dia sudah melihat orang itu berada di seputar
tempat itu. Namun agaknya orang itu salah satu dari pemimpin pasukan Panembahan
Cahya Warastra menilik sikapnya yang begitu yakin akan kemampuannya serta
ketenangannya dalam menghadapi pertempuran di sekelilingnya. Dia terlihat
memberi aba-aba dan perintah terlebih dahulu tanpa tergesa-gesa menerjunkan
dirinya dalam kancah pertempuran.
“Selamat sore Ki Sanak,” sapa Ki Tumenggung Singayudha,
“Sedari tadi aku sudah melihat Ki Sanak di seputar arena pertempuran ini. Suatu
kehormatan bagiku untuk menghadapi Ki Sanak dalam sebuah pertempuran besar
seperti ini.”
Orang itu sejenak mengerutkan keningnya, namun dengan sebuah
senyuman dia kemudian menjawab, “Menilik pakaian yang Ki Sanak kenakan, Ki
Sanak pasti seorang prajurit yang berpangkat Tumenggung. Namun masih harus
dibuktikan apakah kemampuan Ki Sanak sesuai dengan pakaian yang Ki Sanak
kenakan?”
Ki Tumenggung Singayudha menarik nafas dalam-dalam. Dadanya
sedikit berdesir mendengar ucapan orang itu. Namun Ki Tumenggung berusaha untuk
mengendapkan perasaannya agar tidak mudah terpancing. Jawabnya kemudian, “Kau
benar Ki Sanak. Aku Tumenggung Singayudha yang membantu Ki Tumenggung Surayudha
untuk memimpin pasukan Mataram menghadapi segerombolan orang-orang yang tidak
jelas tujuannya dan juga tidak jelas perjuangannya dengan mengabaikan
sendi-sendi kehidupan kawula Mataram yang telah tertata dan terbina dengan baik
selama ini.”
“Omong kosong!” bentak orang itu dengan wajah memerah, “Apa
yang Ki Tumenggung ketahui tentang arti sebuah perjuangan? Apakah Ki Tumenggung
bisa merasakan penderitaan kawula alit di seluruh pelosok negeri ini? Mengapa
banyak Adipati-Adipati yang memberontak? Semenjak pemerintahan Panembahan
Senapati berdiri, sudah berapa banyak nyawa yang melayang dengan sia-sia akibat
keserakahan dan ketamakan para pemimpin Mataram? Bagaimana mungkin
Kadipaten-Kadipaten bawahan Mataram mengangkat senjata padahal para pejabat yang
diangkat untuk menduduki jabatan itu masih terbilang kerabat istana? Bahkan
adik Panembahan Hanyakrawati sendiri yang berkedudukan di Panaraga juga
memberontak melawan kakandanya sendiri? Berpikirlah Ki Tumenggung, agar
kehidupan di sekitarmu tidak meracunimu sehingga Kau terlena dan tidak peka
lagi dengan penderitaan para kawula alit.”
Untuk beberapa saat Ki Tumenggung Singayudha tercenung. Apa
yang dikatakan orang yang berdiri di hadapannya itu memang benar dan sesuai
dengan kenyataan. Semenjak pemerintahan Mataram berdiri, silih berganti perang
demi perang terjadi yang berawal pada perebutan kekuasaan sehingga waktu telah
bergulir dengan sia-sia, hampir tidak ada kesempatan untuk memikirkan apalagi
meningkatkan kesejahteraan para kawula. Yang terjadi adalah ketamakan,
keserakahan, ketidak-puasan dan nafsu untuk meraih kekuasan tertinggi di
Mataram walaupun untuk itu harus ditebus dengan darah dan nyawa.
“Bagaimana Ki Tumenggung?” pertanyaan lawannya telah
membuyarkan lamunan Ki Tumenggung Singayudha.
“Perubahan pemerintahan menuju yang lebih baik pada dasarnya
aku setuju,” jawab Ki Tumenggung, “Namun cara Panembahan Cahya Warastra ini
yang aku tidak setuju. Mengapa harus melalui pertumpahan darah? Bukankah
perubahan pemerintahan menuju ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dengan
cara lain?”
Lawannya tertawa pendek. Katanya kemudian, “Tidak ada cara
yang lebih baik dan lebih cepat untuk mengganti pemerintahan Mataram yang sudah
tidak berlandaskan pada keinginan para kawula alit. Panembahan punya kekuatan, apa
salahnya jika mengambil jalan pintas ini agar perubahan segera terwujud.”
Ki Tumenggung menggeleng, “Itu terserah pendapat Ki Sanak.
Sekarang sebut nama dan gelar Ki Sanak sebelum menjadi bebanten dalam perang
brubuh ini.”
Lawannya mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Alangkah
sombongnya Ki Tumenggung. Ketahuilah, aku Wasi Jaladara dari perguruan Liman
Benawi di Madiun siap mengantarmu ke liang lahat untuk menjadi contoh bagi
orang yang berani berdiri berseberangan dengan Panembahan Cahya Warastra.”
Dada Ki Tumenggung berdesir tajam. Dia sudah mendengar nama
itu, nama yang cukup menggetarkan di daerah sekitar Madiun selain nama
Panembahan Cahya Warastra itu sendiri.
Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit untuk mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang.
Dalam pada itu Ki Jayaraga yang telah melintasi regol
padukuhan induk yang sudah hangus terbakar segera mendekati lingkaran perang
tanding antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan saudara kembar Kecruk Putih.
Sebenarnyalah ilmu kebal Panembahan Cahya Warastra telah
mendekati sempurna. Sebagaimana ilmu kebal Panembahan Alit ketika melawan Kiai
Gringsing. Ilmu kebal itu telah tersalur sampai kepada pakaian yang dikenakan
sehingga sehebat apapun benturan ilmu lawannya tidak akan mampu menyobek
pakaian lawannya apalagi sampai melukai kulitnya.
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari kelebihan ilmu kebal
lawannya tak henti-hentinya berpikir untuk mencari kelemahannya. Gurunya, Kiai
Gringsing pernah memberinya pesan bahwa setinggi-tingginya ilmu seseorang,
pasti ada kelemahannya, dan ilmu kebal Panembahan Cahya Warastra ini pasti ada
titik lemahnya.
“Panembahan Alit pada waktu itu telah tewas dalam keadaan
yang utuh, tidak ada luka segores pun pada kulit Panembahan yang ternyata lebih
sakti dari Panembahan Agung, itu menurut pengamatan Ki Waskita,” berkata Ki
Rangga dalam hati sambil berloncatan menghindari serangan lawannya, “Memang
tubuhnya utuh, namun menurut keterangan guru pada waktu itu, tubuh bagian dalam
Panembahan Alit telah hancur terkena serangan ilmu cambuk guru.”
“Aku akan mencoba kekuatan sorot mataku untuk menembus ilmu
kebalnya yang nyaris sempurna,” tiba-tiba terlintas sebuah pemikiran dalam
benak Ki Rangga.
Berpikir sampai disitu, Ki Rangga segera melaksanakan rencananya
untuk menguji sampai dimana kekuatan ilmu kebal lawannya. Ki Rangga akan
menyerang dengan berbagai ilmu yang dikuasainya, baik melalui ujung cambuknya
maupun lewat sorot matanya.
Sekali waktu ujud Ki Rangga yang satu menyerang kepala
lawannya dengan lontaran puncak ilmu cambuknya, sedang ujud yang satunya
menyerang dengan sorot matanya mengarah ke dada, sedangkan ujud yang terakhir
telah menghentakkan ujung cambuknya langsung ke arah lutut dengan kekuatan
penuh untuk mengganggu gerak langkah lawannya.
Ternyata serangan Ki Rangga kali ini ada pengaruhnya. Tampak
raksasa itu menggeram sambil berusaha memburu ujud Ki Rangga yang asli.
Kejadian itu terus berulang. Setiap selesai menyerang,
ketiga ujud Ki Rangga segera bersatu untuk kemudian berpencar menyerang
lawannya lagi. Ki Rangga benar- benar menjaga jarak yang sangat dekat dengan
lawannya agar memudahkan ketiga ujud itu bergerak mengaburkan pengamatan
Panembahan Cahya Warastra.
Lawannya benar-benar kewalahan menghadapi ketiga ujud Ki
Rangga yang bergerak sangat lincah menyusup di sela-sela kaki raksasa itu.
Setiap kali ketiga ujud Ki Rangga itu bersatu, Panembahan Cahya Warastra
berusaha menyerangnya. Namun dengan cerdik Ki Rangga yang asli bersama ujud
yang satunya telah meloncat ke arah yang berbeda dan membiarkan saja salah satu
ujudnya yang lain terkena serangan lawan karena itu hanya ujud semu yang tidak
terpengaruh oleh rasa sakit. Justru ujud Ki Rangga yang sedang diserang itu
telah membalas serangan lewat sorot matanya langsung ke mata Panembahan Cahya
Warastra, sedangkan kedua ujud Ki Rangga yang asli dan yang lainnya telah
menyerang punggung dan kakinya.
Raksasa itu menggeram dengan dahsyatnya. Ilmu kebal
Panembahan Cahya Warastra memang nyaris sempurna, namun menghadapi gempuran
puncak ilmu cambuk perguruan Windujati serta ilmu yang terpancar dari sorot
mata ketiga ujud Ki Rangga itu, ternyata kekuatan ilmu kebal saudara Kecruk
Putih itu mulai goyah. Memang pada ujud wadag Panembahan itu tidak terlihat
luka segores pun, namun di balik kulitnya yang tidak mempan segala jenis
senjata dan sentuhan ilmu itu, daging dan tulangnya terasa remuk dan
berpatahan. Walaupun demikian Panembahan Cahya Warastra masih berbuat
seolah-olah tidak terpengaruh oleh serangan lawannya.
Ketika sekali lagi ujud-ujud Ki Rangga itu berloncatan
saling menyatu untuk kemudian berloncatan ketiga arah yang berbeda, Panembahan
Cahya Warastra kembali menerima serangan dari tiga arah yang berbeda.
Kali ini ketiga ujud Ki Rangga ternyata telah melontarkan
sorot matanya bersama-sama mengarah ke satu titik, ke arah dada lawannya
sehingga kali ini Raksasa itu tidak kuat lagi untuk menahan gempuran lawannya
hanya dengan mengandalkan ilmu kebalnya. Sejenak kemudian untuk pertama kalinya
raksasa itu telah melangkah mundur untuk menghindari serangan lawannya.
“Demit, iblis, gendruwo, tetekan..!” geram Panembahan Cahya
Warastra. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh ketiga ujud Ki Rangga yang
dapat bergerak dengan sangat lincah itu.
Sejenak raksasa itu terdiam. Namun belum sempat Ki Rangga
bernafas lega karena raksasa itu telah melangkah surut, tiba-tiba saja dengan
sekali renggut, di tangan kanan Panembahan Cahya Warastra telah tergenggam
sebatang pohon mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa.
Ki Rangga tertegun beberapa saat begitu mengetahui di tangan
kanan lawannya telah tergenggam sebatang pohon yang besar. Panembahan Cahya
Warastra dalam ujudnya yang meraksasa itu mencabut pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa bagaikan mencabut sebatang rumput saja.
Agaknya Panembahan itu telah memutuskan untuk menghalau
ketiga ujud lawannya menjauhi dirinya dengan menggunakan sebatang pohon sebagai
senjatanya. Dengan bertempur dari jarak jauh, dengan mudah Panembahan dapat
mengenali ujud Ki Rangga yang asli serta akan mengurangi pengaruh tekanan dari
sentuhan ilmu Ki Rangga.
“Ternyata aku harus menyerang bersama-sama pada titik yang
sama sehingga pengaruhnya akan berlipat tiga kali dari pada aku menyerang pada
tiga tempat yang berbeda, karena ilmu kebal panembahan ini nyaris sempurna,”
berkata Ki Rangga dalam hati sambil mengawasi lawannya yang mulai memutar
batang pohon yang ada di tangan kanannya. Suara deru angin yang tercipta dari
putaran itu bagaikan angin puting beliung.
“Gila!” desis Ki Rangga dalam hati, “Alangkah dahsyatnya.
Apakah aku mampu menembus pusaran angin itu dengan lontaran ilmu cambuk
perguruan Windujati?”
Belum sempat Ki Rangga mendapat jawaban dari pertanyaan
dalam hatinya, tiba-tiba dengan teriakan mengguntur raksasa itu mengayunkan
senjatanya menerjang ujud Ki Rangga yang asli.
Dengan cepat Ki Rangga melenting kesamping. Ketika raksasa
itu mengejarnya dengan tendangan kakinya yang sebesar pohon kelapa itu, Ki
Rangga segera meluncur turun. Sementara kedua ujud Ki Rangga yang lain telah
memutar cambuknya untuk mengambil ancang-ancang melepaskan ilmu puncak
perguruan Windujati.
Ki Rangga dalam ujudnya yang asli begitu menjejakkan kedua
kakinya di atas tanah segera mengikuti gerakan kedua ujud semunya, memutar
cambuk untuk bersama-sama melontarkan puncak ilmu perguruan Windujati pada satu
titik sasaran yang sama, kali ini lutut kiri raksasa itu yang menjadi sasaran.
Ketika tiga larik sinar meloncat bagaikan tatit di udara
menerjang lutut kiri Panembahan Cahaya Warastra, raksasa itu menggeram dengan
dahsyatnya. Geramannya bagaikan auman puluhan singa gurun yang sedang menerkam
mangsanya. Ternyata sekali lagi ilmu kebal Panembahan Cahya Warastra yang
hampir sempurna itu telah tertembus oleh hantaman ilmu tertinggi perguruan
Windujati, gabungan dari ketiga ujud Ki Rangga Agung Sedayu.
Demikian raksasa itu tertatih-tatih karena tempurung lutut
kaki kirinya bagaikan remuk, Ki Rangga Agung Sedayu dengan kedua ujud semunya
telah meloncat mendekat untuk mengulangi serangannya kembali. Namun agaknya
kali ini perhitungan Ki Rangga agak tergesa-gesa. Dia menyangka raksasa itu
sudah tidak berdaya, sehingga ketika tiga larik sinar kembali meloncat dari
ujung cambuk ketiga ujud Ki Rangga, Panembahan Cahya Warastra telah mengayunkan
pohon mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa itu membabat ujud Ki Rangga Agung
Sedayu yang asli.
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut bukan buatan begitu batang
pohon mahoni itu menyambar tubuhnya. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi
dirinya untuk menghindar. Yang dapat dilakukan Ki Rangga hanyalah mengetrapkan
ilmu kebalnya setinggi-tingginya serta menghilangkan bobot tubuhnya sehingga
sedikit banyak akan dapat mengurangi akibat dari benturan itu.
Benturan itu telah melemparkan Ki Rangga jauh melayang
keluar arena perang tanding. Tubuh Ki Rangga yang seolah olah tanpa bobot itu
meluncur menghantam dinding padukuhan induk. Dinding itu pun hancur berantakan
bersamaan dengan terbantingnya tubuh Ki Rangga ke atas tanah yang berdebu.
Untuk sesaat, Ki Rangga merasakan tubuhnya bagaikan remuk dan tulangnya
berpatahan serta pandangan matanya gelap berkunang-kunang.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sedang mengawasi jalannya
perang tanding terkejut begitu mengetahui Ki Rangga telah terlempar dan
menabrak dinding padukuhan induk. Namun baru saja Ki Jayaraga akan berlari
mendapatkan Ki Rangga yang tergolek tak berdaya di dekat dinding padukuhan yang
runtuh, dengan teriakan bagaikan guntur yang membelah langit, Panembahan Cahya
Warastra dengan terpincang-pincang telah meloncat mengejar lawannya sambil
mengayunkan pohon di tangan kanannya menghantam ke tempat Ki Rangga tergeletak.
Ki Rangga yang belum menyadari dirinya sepenuhnya masih
sempat mendengar teriakan lawannya. Namun pandangan mata Ki Rangga masih gelap
dan belum dapat melihat arah serangan lawannya sehingga Ki Rangga hanya dapat menunggu
apa pun yang akan terjadi. Sementara ujud kakang pembarep dan adi wuragil dari
Ki Rangga sendiri telah lenyap tak berbekas bagaikan asap tertiup angin sejalan
dengan terganggunya pemusatan penalaran Ki Rangga ketika terlempar dan jatuh
membentur dinding padukuhan.
Dalam keadaan yang sedemikian gawatnya, Ki Jayaraga yang
berdiri di luar arena perang tanding itu memutuskan untuk menolong Ki Rangga,
apapun nanti yang akan dikatakan orang tentang dirinya, dia tidak peduli. Nyawa
Ki Rangga Agung Sedayu harus diselamatkan.
Namun sebelum Ki Jayaraga sempat melontarkan ilmu puncaknya
untuk mengganggu langkah Panembahan Cahya Warastra yang memburu ke tempat Ki
Rangga tergeletak, pandangan mata Ki Jayaraga sempat melihat tubuh Ki Rangga
menggeliat dan melenting ke arah kiri sejauh tiga tombak.
Hanya berjarak sekejap mata begitu Ki Rangga melenting ke
arah kiri, pohon mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa di tangan Panembahan
Cahya Warastra itu menghantam tanah tempat Ki Rangga tergeletak sebelumnya.
Akibatnya sangat dahsyat. Tanah tempat Ki Rangga tergeletak
itu bagaikan terbongkar dan membentuk sebuah parit sedalam “dêdêk pêngawé”. Batu-batu
kerikil bercampur debu dan daun-daun kering berhamburan sehingga sejenak
pandangan menjadi gelap tertutup debu.
Ki Rangga Agung Sedayu yang telah terhindar dari serangan
dahsyat lawannya itu menjadi heran dengan keberadaan dirinya sendiri. Ketika
serangan lawannya itu meluncur ke arahnya, seolah-olah dia dapat merasakan ke
arah mana serangan lawannya itu walaupun pandangan matanya masih gelap. Dengan
mengikuti isyarat yang diterimanya, Ki Rangga telah mampu bergerak menghindar
ke arah yang tepat.
“Agaknya Aji Sapta Panggraitaku telah bekerja dengan
sendirinya pada saat yang gawat. Aji Sapta Panggraita ini telah terlebih dahulu
mengetahui arah gerak lawan sehingga aku mampu membaca arah serangan Panembahan
tanpa melihatnya,” berkata Ki Rangga dalam hati dengan penuh rasa syukur kepada
Yang Maha Agung yang telah berkenan menolongnya dari maut.
Ketika sekali lagi Panembahan Cahya Warastra dengan menyeret
kaki kirinya memutar senjatanya menebas Ki Rangga yang sedang mencoba berdiri
di atas kedua kakinya, Ki Rangga pun tanpa melihat arah serangan lawannya telah
meloncat ke tiga arah yang berbeda. Ternyata Ki Rangga telah mengetrapkan Aji
Kakang Pembarep dan Adi Wuragil kembali.
Raksasa itu menggeram marah begitu serangannya mengenai
tempat kosong. Dengan cepat diputarnya batang pohon mahoni itu untuk melibat
lawannya yang telah meloncat menghindar pada tiga arah yang berbeda.
Ki Rangga menyadari sepenuhnya bahwa dengan senjatanya itu,
Panembahan Cahya Warastra akan sulit untuk didekati. Putaran batang pohon
mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa itu sulit ditembus. Ki Rangga tidak mau
mengulangi kesalahannya lagi terkena sambaran senjata lawannya itu.
Atas dasar perhitungan itulah Ki Rangga telah mulai
memikirkan untuk mengetrapkan ilmunya yang lain, ilmu yang diwarisi dari kitab
gurunya, kitab perguruan Windujati.
“Aku harus bersembunyi lebih rapat lagi dari kejaran raksasa
ini, sehingga aku akan mendapat kesempatan untuk mendekatinya dan melontarkan
serangan,” berkata Ki Rangga dalam hati. Pandangan matanya secara perlahan
telah mulai pulih, sementara rasa sakit yang mendera di sekujur tubuhnya akibat
sabetan lawannya mulai berkurang, walaupun punggungnya rasa-rasanya masih
terasa bagaikan patah.
Demikianlah akhirnya, di saat Matahari mulai condong dan
sinarnya yang kemerah-merahan mulai menyentuh pucuk-pucuk pepohonan, selembar
demi selembar telah turun kabut di sekitar arena perang tanding Ki Rangga
melawan Panembahan Cahya Warastra.
Pada awalnya Panembahan Cahya Warastra tidak
memperdulikannya. Namun ketika kabut itu semakin lama menjadi semakin tebal dan
mulai menghalangi pandangan matanya untuk menemukan tempat di mana lawannya
berada, saudara kembar Kecruk Putih itu mulai menyadari bahwa lawannya telah
mengetrapkan sejenis ilmu yang dapat mengaburkan penglihatan lawan.
“Anak iblis!” geram Panembahan itu, “Dari mana Kau dapatkan
ilmu pengecut ini, he..! Dalam sebuah perang tanding, seorang yang jantan tidak
akan bertempur sambil bersembunyi.”
“Ma’afkan aku Panembahan, aku tidak mempunyai kemampuan
untuk membengkakkan diriku seperti Panembahan, maka tidak ada salahnya jika aku
menggunakan ilmuku ini untuk bersembunyi dari ilmu Panembahan yang tiada
taranya.” Jawab Ki Rangga sambil melangkah mendekat. Ki Rangga harus
mengetrapkan kemampuannya untuk menyerap segala bunyi sehingga lawannya tidak
akan menyadari kalau dia telah melangkah semakin dekat.
Panembahan Cahya Warastra menggeram marah. Kabut itu begitu
tebalnya dan Panembahan Cahaya Warastra belum menemukan rahasia untuk
menembusnya.
Dalam pada itu Ki Rangga Agung Sedayu harus berkejaran
dengan waktu. Sebelum Panembahan mampu mengetahui rahasia ilmu kabutnya, Ki
Rangga sudah harus bisa melumpuhkannya.
Demikianlah, ketiga ujud Ki Rangga segera melangkah semakin
dekat. Kabut yang sangat tebal di seputar arena perang tanding itu telah
menghalangi pandangan Panembahan Cahya Warastra. Sambil memutar cambuknya,
ketiga ujud Ki Rangga itu siap melontarkan kembali puncak ilmu perguruan
Windujati. Setelah lutut kiri, lutut kanan Panembahan Cahya Warastra kini yang
menjadi sasaran. Ki Rangga benar-benar ingin membuat Panembahan itu tidak mampu
lagi untuk mengejarnya, sebelum melumpuhkannya.
Panembahan Cahya Warastra yang masih belum mampu menembus
ilmu kabut dari perguruan Windujati menjadi semakin wuru. Diputarnya pohon
mahoni sebesar pelukan orang dewasa yang tergenggam di tangan kanannya. Pusaran
angin yang ditimbulkannya memang telah memutar kabut itu dengan dahsyat namun
tidak mampu melemparkan atau pun menyibak kabut tebal yang bergulung-gulung di
seputarnya.
“Iblis, demit, gendruwo, tetekan..!” umpat Panembahan Cahya
Warastra. Gema suaranya menggelegar memenuhi udara medan pertempuran.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang mengawasi jalannya perang
tanding menjadi semakin berdebar-debar. Ki Jayaraga tidak mempunyai kemampuan
untuk menembus kabut itu. Dia sadar bahwa ilmu perguruan Windujati memang tiada
taranya dan dia yakin Ki Rangga Agung Sedayu akan mampu mengatasi raksasa yang
mengerikan itu.
Ketika sudut pandang mata Ki Jayaraga kemudian menangkap dua
sosok bayangan orang yang sedang berlari-lari ke arahnya dari arah regol
padukuhan induk, Ki Jayaraga pun segera berpaling. Ternyata Ki Gede Menoreh dan
Kiai Sabda Dadi sedang berlari-larian menuju ke tempatnya berdiri.
“Bagaimana, Ki?” bertanya Ki Gede setibanya di tempat Ki
Jayaraga mengawasi perang tanding itu.
“Ki Rangga Agung Sedayu tadi sempat terjatuh terkena
sambaran pohon mahoni di tangan Panembahan Cahya Warastra,” jawab Ki Jayaraga
sambil menunjuk dinding padukuhan induk yang hancur tertimpa tubuh Ki Rangga,
“Namun agaknya Ki Rangga telah berhasil menguasai dirinya sehingga pertempuran
telah berlangsung kembali.”
Selesai berkata demikian, Ki Jayaraga kemudian menunjuk ke
arah arena perang tanding yang diselimuti oleh kabut yang sangat tebal.
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi sejenak mengerutkan kening
sambil memandang kabut tebal yang melingkupi arena perang tanding. Ternyata kedua
orang tua itu tidak mampu untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kabut
yang tebal itu.
“Bagaimanakah keadaan Ki Rangga sekarang?” kini Kiai Sabda
Dadi yang bertanya.
Ki Jayaraga menggeleng lemah, “Aku tidak tahu. Aku tidak
mempunyai kemampuan untuk menembus kabut itu. Namun menilik dari suara
Panembahan yang terus mengumpat-umpat, agaknya Ki Rangga telah membuat lawannya
kebingungan.”
Kedua orang tua itu menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-angguk. Memang mereka berdua sebelum tiba di tempat itu juga telah
mendengar suara Panembahan Cahya Warastra yang berteriak dan mengumpat-umpat.
Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka yang berdiri di atas
tanggul mengamati jalannya perang tanding antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan
Panembahan Cahya Warastra dari kejauhan telah mengajak para prajurit pengawal
kepatihan untuk turun dari atas tanggul mendekati arena perang tanding.
“Marilah,” berkata Ki Patih kepada para prajurit pengawal
kepatihan, “Sudah waktunya kita untuk mendekat. Agaknya perang tanding itu
sudah mendekati puncaknya.”
Beberapa prajurit pengawal kepatihan itu masih berdiri
termangu-mangu ketika Ki Patih telah meloncat turun dari atas tanggul. Dengan
tergesa-gesa, orang yang di masa mudanya lebih dikenal dengan nama Ki Juru
Martani itu berjalan melintasi tanah-tanah pesawahan yang kering mendekati
arena perang tanding.
Dengan berloncatan para prajurit pengawal kepatihan segera
menyusul langkah Ki Patih. Bagaimanapun juga dada para prajurit pengawal itu
menjadi berdebar-debar ketika mereka semakin dekat dengan arena perang tanding.
Namun mereka percaya sepenuhnya bahwa Ki Patih akan dapat mengatasi setiap
permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat dari perang tanding itu.
“Aku yakin Ki Patih pasti memiliki ilmu simpanan yang dapat
meredam Aji Brahala Wuru,” berkata salah seorang prajurit pengawal kepatihan
dalam hati, “Bahkan tidak menutup kemungkinan justru Ki Rangga Agung Sedayu
yang akan keluar sebagai pemenang dalam perang tanding ini.”
Namun sesungguhnya para prajurit pengawal kepatihan itu
hanya dapat berangan-angan. Mereka tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk
melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam gumpalan kabut yang
bergulung-gulung itu.
Beberapa saat kemudian Ki Patih Mandaraka beserta para
prajurit pengawal kepatihan telah mendekati arena perang tanding. Dengan
tergopoh-gopoh ketiga orang-orang tua itu pun segera menyambut mereka.
“Terima kasih,” berkata Ki Patih kemudian sambil menerima
salam dari ketiga orang-orang tua itu, “Marilah kita agak mendekat. Kelihatannya
Ki Rangga sudah mendapat titik terang untuk melumpuhkan Aji Brahala Wuru.”
Ketiga orang itu hanya saling pandang. Mereka tidak dapat
mengatakan apapun tentang perang tanding yang sedang berlangsung, karena mereka
tidak mempunyai kemampuan untuk menembus ilmu kabut Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Patih agaknya menyadari. Maka katanya kemudian,
“Bersiaplah, Tampaknya sebentar lagi Ki Rangga akan menyelesaikan perang
tanding ini.”
Dada ketiga orang-orang tua itu menjadi semakin
berdebar-debar. Mereka yakin bahwa Ki Patih Mandaraka mempunyai kemampuan untuk
menembus kabut tebal yang menyelimuti arena perang tanding itu.
Sebenarnyalah pandangan tajam Ki Patih Mandaraka telah
melihat ketiga ujud Ki Rangga mengambil sikap yang sama, memutar cambuk mereka
di atas kepala sebelum akhirnya dengan sebuah lecutan sendal pancing, tiga
larik sinar meloncat dari masing-masing ujung cambuk itu dan menyambar lutut
kanan Panembahan Cahya Warastra.
Panembahan Cahya Warastra yang sedang mencoba mengurai ilmu
kabut Ki Rangga itu terkejut ketika sudut matanya tiba-tiba menangkap tiga
berkas cahaya menyilaukan dari arah samping kanannya. Sebelum Panembahan Cahya
Warastra sempat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba saja
dari balik kabut yang bergulung-gulung tiga larik sinar meluncur bagaikan tatit
yang meloncat di udara menyambar lutut kanannya.
“Anak iblis.!” Teriak Panembahan Cahya Warastra menggelegar.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, raksasa itu mengayunkan pohon mahoni
sebesar dua pelukan orang dewasa yang berada di genggaman tangan kanannya,
mendatar ke arah tiga larik sinar itu berasal.
Namun ternyata Ki Rangga Agung Sedayu sudah memperhitungkan
akan serangan balasan dari Panembahan Cahya Warastra. Sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam menghindari sambaran pohon mahoni sebesar dua pelukan
orang dewasa itu, Ki Rangga pun kemudian bersiap kembali mengulangi
serangannya.
Panembahan Cahya Warastra yang kesakitan karena lutut
kanannya terkena lontaran ilmu puncak Perguruan Windujati itu kembali mengumpat
ketika sambaran senjatanya tidak mengenai sasaran. Sementara tempurung lutut
kanannya terasa pecah dan kini kedua kakinya rasa-rasanya sudah hampir tidak
mampu lagi menopang tubuhnya. Ketika sekali lagi cambuk di tangan ketiga ujud
Ki Rangga itu meledak tanpa memperdengarkan suaranya, kembali tiga larik sinar
menyambar lutut kanannya.
“Gila, pengecut..!” teriak Panembahan Cahya Warastra sambil
terhuyung-huyung ke belakang. Sejenak raksasa itu mencoba bertahan berdiri di
atas kedua kakinya yang goyah. Namun akhirnya raksasa itu pun kemudian terjatuh
pada kedua lututnya.
Ki Rangga yang melihat lawannya sudah terjatuh pada kedua
lututnya segera bergerak maju mengambil tempat tepat di depan Panembahan Cahya
Warastra. Ki Rangga sudah mengambil keputusan untuk segera mengakhiri perang
tanding yang dahsyat itu.
Dalam pada itu Panembahan Cahya Warastra yang bertumpu pada
kedua lututnya ternyata tidak menyerah begitu saja. Dengan segenap
kemampuannya, tiba-tiba saja mulutnya yang selebar pintu regol padukuhan itu
dibuka lebar-lebar. Sejenak kemudian dengan cepat dihirupnya kabut tebal
bergulung-gulung yang berada di depannya.
Agaknya Panembahan ini ingin mengurangi kepekatan kabut yang
berada di depannya dengan cara dihisap masuk ke dalam perutnya. Demikian sebagian
kabut yang bergulung-gulung di depannya itu terhisap masuk ke dalam perutnya,
samar-samar tampak tiga buah bayangan yang sedang duduk bersila tepat di
hadapannya hanya berjarak sekitar dua tombak saja.
Menyadari lawannya ternyata berada hanya dua tombak di
hadapannya, dengan menggeram penuh kemarahan Panembahan Cahya Warastra pun
segera menghentakkan seluruh kemampuannya. Dengan sepenuh kekuatan, saudara
kembar Kecruk Putih itu pun kemudian mengayunkan pohon mahoni sebesar dua
pelukan orang dewasa yang tergenggam di tangan kanannya dengan deras membabat
bayangan yang tampak samar-samar di hadapannya.
Tepat pada saat Panembahan Cahaya Warastra mengayunkan
senjatanya, Ki Rangga yang memilih sikap dengan duduk bersila itu telah
melancarkan serangannya melalui sorot matanya. Dengan mengerahkan segenap
kemampuan, tiga pasang mata dari ketiga ujud Ki Rangga telah menyala dan
sinarnya meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara menerjang dada sebelah
kiri Panembahan Cahya Warastra. Tanpa ampun ilmu sorot mata Ki Rangga Agung
Sedayu yang dahsyat tiada taranya itu telah menyusup ke dalam dada dan meremas
jantung Panembahan Cahya Warastra.
Panembahan Cahya Warastra yang melihat tiga pasang mata dari
ketiga bayangan di depannya itu menyala terkejut bukan buatan. Namun Panembahan
Cahya Warastra sudah terlanjur mengayunkan senjatanya. Tidak ada kesempatan
sama sekali baginya untuk menghindarkan diri dari terjangan ilmu sorot mata
lawannya yang langsung menerjang dada dan meremas jantung.
Sedangkan Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari betapa
berbahayanya terjangan pohon mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa yang
menuju ke arahnya itu sudah mengambil keputusan bulat untuk tidak bergeser
menghindar, apapun yang akan terjadi. Dengan mengetrapkan ilmu kebal
setinggi-tingginya serta ilmu yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya agar
dapat mengurangi kemungkinan buruk dari akibat benturan itu, Ki Rangga dan
kedua ujud semunya itu telah menghentakkan serangannya untuk mengakhiri
perlawanan Panembahan Cahya Warastra.
Demikianlah yang terjadi. Pada saat yang hampir bersamaan,
Panembahan Cahya Warastra telah memekik tinggi, tubuhnya yang bertumpu pada
kedua lututnya itu tergetar hebat dan terdorong ke belakang menahan sakit yang tiada
taranya karena jantungnya telah hancur diremas ilmu lawannya.
Sementara ayunan senjatanya tetap meluncur dan menghantam Ki
Rangga Agung Sedayu yang sedang memusatkan seluruh nalar dan budinya untuk
mengakhiri perlawanan Panembahan Cahya Warastra.
Tenyata Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali tidak bergeser
dari tempat duduknya walaupun hanya sejengkal. Ki Rangga tidak ingin melepaskan
kesempatan sekejap pun untuk menghancurkan lawannya sehingga dengan deras pohon
mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa itu menghantam tubuhnya.
Benturan itu benar-benar sangat dahsyat dan telah membuat
jantung Ki Patih Mandaraka yang menyaksikan dari luar arena perang tanding
bagaikan terlepas dari tangkainya. Tubuh Ki Rangga yang terhantam pohon mahoni
sebesar dua pelukan orang dewasa itu telah terlempar jauh melayang melewati
dinding padukuhan induk dan akhirnya jatuh terbanting di atas tanah yang
berdebu di sebuah halaman rumah kosong yang telah ditinggal penghuninya
mengungsi.
“Ki Rangga..!” hampir bersamaan orang-orang yang berada di
sekitar arena perang tanding itu berteriak dengan penuh kekhawatiran.
“Cepatlah susul Ki Rangga, aku akan melihat keadaan
Panembahan Cahya Warastra, apakah dia masih berbahaya ataukah sudah berakhir
cita-citanya hanya sampai disini saja,” berkata Ki Patih Mandaraka kemudian
sambil berbegas memasuki arena perang tanding.
Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede Menoreh segera tanggap dengan
perintah Ki Patih Mandaraka. Sementara Ki Jayaraga telah berlari menyusul Ki
Patih.
“Sebagian dari kalian ikut aku,” berkata Ki Gede Menoreh
kepada para prajurit pengawal kepatihan, “Barangkali Kiai Sabda Dadi nanti
memerlukan sesuatu untuk menolong jiwa Ki Rangga Agung Sedayu.”
Empat prajurit pengawal kepatihan segera berlari-larian di
belakang Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede Menoreh yang telah terlebih dahulu berlari
memasuki padukuhan induk mengejar ke arah Ki Rangga Agung Sedayu terlempar dari
medan perang tanding. Sementara yang lain tetap berjaga-jaga di tempat itu
untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Dalam pada itu, kabut tebal yang menyelimuti medan perang
tanding itu perlahan-lahan menipis sejalan dengan terlepasnya pengendalian ilmu
dari Ki Rangga Agung Sedayu. Beberapa saat kemudian ketika Ki Patih Mandaraka
dan Ki Jayaraga yang menyusul di belakangnya telah memasuki arena perang
tanding, kabut itu pun telah lenyap tak berbekas.
Sejenak kedua orang tua itu tertegun. Dalam keremangan
senja, tampak di hadapan mereka Panembahan Cahya Warastra dalam ujudnya yang
asli terbujur diam di atas tanah yang berdebu.
Untuk beberapa saat kedua orang tua itu masih ragu-ragu
untuk mendekat. Namun akhirnya Ki Patih Mandaraka berdesis perlahan, “Marilah,
kita harus meyakinkan bahwa Panembahan ini sudah tidak berbahaya lagi.”
Ki Jayaraga tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang
terangguk-angguk. Kemudian kedua orang tua itu pun berjongkok di sebelah
menyebelah tubuh saudara kembar Kecruk Putih yang telah membeku itu.
Ketika tanpa disadarinya Ki Jayaraga menjulurkan tangan
kanannya menyentuh dada kiri Panembahan Cahya Warastra, alangkah terkejutnya
guru Glagah Putih itu. Dengan tergesa-gesa ditariknya tangan yang sudah
terjulur itu.
“Ada apakah Ki Jayaraga?” bertanya Ki Patih dengan
terheran-heran melihat Ki Jayaraga terkejut ketika menyentuh dada kiri
Panembahan Cahya Warastra.
KI Jayaraga memandang Ki Patih sekilas. Sambil menarik nafas
dalam-dalam, akhirnya dia menjawab, “Ampun Ki Patih, aku menjadi sangat
terkejut ketika menyentuh dada kiri Panembahan ini. Dada itu seakan akan tidak
bertulang. Seolah olah hanya seonggok daging yang terbungkus kulit.”
Ki Patih tersenyum. Sambil mengamat-amati tubuh Panembahan
yang terbujur diam, Ki Patih berkata, “Itulah kelemahan ilmu kebal yang
dimiliki oleh Panembahan ini. Baju dan kulitnya memang tidak mempan segala
macam senjata dan juga benturan ilmu sekuat apapun, namun tidak demikian dengan
tubuh bagian dalamnya. Kekuatan ilmu Ki Rangga mampu menembus kekebalan
kulitnya dan menghancurkan bagian dalam tubuh Panembahan, sehingga kulit
luarnya saja yang tampak utuh, bahkan pakaiannya pun masih dalam keadaan utuh.
Namun daging dan tulangnya hancur terkena kekuatan ilmu Ki Rangga Agung
Sedayu.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Jayaraga
memang tidak mendalami ilmu kebal karena menurut pendapatnya seseorang yang
mempunyai ilmu kebal itu cenderung untuk mengandalkan ilmu kebalnya dan kurang
memperhatikan peningkatan pada ilmu yang lain. Namun semuanya itu tidak mutlak.
Ada beberapa orang yang tetap memperhatikan peningkatan ilmunya yang lain
sejalan dengan peningkatan ilmu kebalnya, Ki Rangga Agung Sedayu salah satu
contohnya.
“Bagiku mempelajari ilmu kebal hanya membuang-buang waktu
saja,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Lebih baik waktu yang ada digunakan
untuk meningkatkan ilmu pamungkas yang dimiliki sehingga benar-benar matang dan
dapat menembus ilmu kebal setinggi apapun.”
Namun Ki Jayaraga agaknya menyadari bahwa ada beberapa orang
yang lebih senang membentengi dirinya dengan ilmu kebal atau pun sejenisnya.
“Namun itu semua kembali kepada diri masing-masing,” berkata
Ki Jayaraga kembali dalam hati, “Bagiku lebih baik menekuni ilmu pamungkas dari
pada ilmu kebal.”
Demikianlah, setelah merasa cukup meyakinkan keadaan
Panembahan Cahya Warastra, kedua orang tua itu pun kemudian berdiri dan
berjalan beriringan menuju ke padukuhan induk untuk melihat keadaan Ki Rangga
Agung Sedayu.
Dalam pada itu, para prajurit Mataram dibantu oleh para
pengawal Menoreh yang berada di sayap kanan dan lebih dekat dengan arena perang
tanding Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra telah bersorak dengan
riuhnya. Mereka melihat dari kejauhan Ki Patih Mandaraka dan Ki Jayaraga telah
meninggalkan arena perang tanding, sedangkan Panembahan yang sudah kembali
kepada ujud aslinya itu tampak terbujur diam di atas tanah yang berdebu.
“Panembahan Cahya Warastra telah mati..!” teriak para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh ditingkah oleh sorak sorai prajurit Mataram.
“Panembahan Cahaya Warastra telah mati..!” suara itu
terdengar bersahut-sahutan di seluruh penjuru medan.
Segera saja seluruh medan pertempuran menjadi gempar. Para
pengikut panembahan Cahya Warastra terutama para cantrik padepokan Cahya
Warastra benar-benar tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Bagaimana
mungkin Panembahan yang sakti dan mempunyai ilmu bertiwikrama sebagaimana Sri
Kresna dari cerita babat Mahabarata dapat dikalahkan oleh Ki Rangga Agung
Sedayu, seorang prajurit Mataram yang hanya berpangkat Rangga, di bawah pangkat
Tumenggung?
“Pasti ada kecurangan,” geram seorang cantrik padepokan
Cahya Warastra dalam hati, “Selain ilmu Brahala Wuru, Panembahan juga kebal
atas segala jenis pusaka dan senjata tajam. Panembahan sudah kalis dari segala
rasa sakit bahkan kematian sekalipun.”
Sekali lagi cantrik itu menggeram. Namun dia tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa memang Panembahan yang sakti itu kini telah
terbujur diam tak bergerak.
Namun ternyata para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang
lain tidak tinggal diam. Ki Ageng Blarak Sineret yang berada di pusat gelar
dengan jelas melihat bagaimana Ki Rangga terlontar dari arena perang tanding
sampai jauh ke dalam padukuhan induk. Walaupun Ki Ageng Blarak Sineret tidak
mampu menembus ilmu kabut Ki Rangga, namun dari kejauhan pandangan mata Ki
Ageng yang tajam dengan dilandasi oleh aji sapta pandulu telah melihat Ki
Rangga terlempar jauh melewati dinding padukuhan induk.
Atas dasar pengamatannya itulah, Ki Ageng pun segera
berteriak keras di lambari dengan aji sengguruh macan, “Ki Rangga Agung Sedayu
juga tewas! Keduanya sampyuh..!”
“Sampyuuh..!” teriakan Ki Ageng telah diikuti oleh para
pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berada di pusat gelar.
“Sampyuh..!”
“Sampyuuh..!”
Suara teriakan itu pun kemudian membahana ke seluruh medan
pertempuran.
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang di tempatkan
di sayap kiri gelar menjadi sangat terkejut mendengar teriakan para pengikut
Panembahan Cahya Warastra.
“Benarkah Kakang Agung Sedayu telah gugur?” pertanyaan itu
telah melingkar-lingkar di dalam dada Glagah Putih dan telah mempercepat detak
jantungnya.
Lawannya, Kiai Sadaksada justru telah memberinya kesempatan
untuk merenung. Dengan cepat Kiai Sadaksada meloncat ke belakang sambil
berkata, “Silahkan ngger, untuk mengamati keadaan. Berita tentang sampyuhnya
kedua orang yang sedang berperang tanding itu memang sangat mengejutkan. Namun aku
yakin, kalau tidak ada kecurangan, Panembahan Cahya Warastra tidak mungkin
dapat dikalahkan, bahkan oleh orang yang bernama Juru Mertani itu sekalipun.”
“Belum tentu,” potong Glagah Putih cepat., “Kakang Agung
Sedayu juga mempunyai segudang ilmu yang sudah sangat jarang dimiliki orang
pada saat ini. Aku yakin orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra
itu pasti menemui ajalnya dan Kakang Agung Sedayu mungkin hanya pingsan saja
atau bahkan hanya terluka ringan.”
Kiai Sadaksada tertawa pendek, “Silahkan saja
berandai-andai, ngger. Namun kenyataan berbicara lain. Perang tanding itu sudah
selesai dan dinyatakan sampyuh. Lebih baik kita tidak usah mempersoalkan mereka
lagi. Yang perlu diselesaikan adalah persoalan di antara kita sekarang ini. Apakah
dengan kematian Kakangmu itu Kau akan menyerah?”
“Omong kosong!” bentak Glagah Putih, “Kakang Agung Sedayu
tidak mati dan aku juga tidak akan menyerah. Justru Kiai lah yang seharusnya
menyerah karena sudah jelas Panembahanmu itu sekarang sudah terbujur menjadi
mayat.”
Selesai berkata demikian, Glagah Putih menunjuk ke arah
arena perang tanding di dekat dinding padukuhan induk sebelah kiri. Samar-samar
dalam keremangan senja tampak sesosok tubuh terbujur diam membeku.
“Persetan!” geram Kiai Sadaksada, “Kematian Panembahan Cahya
Warastra tidak menyurutkan tekad kami untuk berjuang menegakkan keadilan di
tanah ini. Mataram harus runtuh dan kami akan membangun pemerintahan baru yang
benar-benar mengedepankan kepentingan para kawula alit.”
“Syukurlah,” berkata Glagah Putih menanggapi kata-kata
lawannya, “Kapan Kiai akan mulai membangun cita-cita itu?”
“Tutup mulutmu!” bentak Kiai Sadaksada, “Kau harus menyadari
dengan siapa Kau berhadapan, anak muda!”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya lawannya
sudah mulai terpancing kemarahannya. Maka katanya kemudian, “Baiklah Kiai, kita
akan bertempur dengan sungguh-sungguh agar segera diketahui, siapa di antara
kita yang masih tegak berdiri dengan gagahnya di akhir pertempuran nanti.”
“Alangkah sombongnya!” geram Kiai Sadaksada, “Jadi, sejak
tadi Kau menganggap perkelahian ini hanya sebagai main-main saja? Akan kita
buktikan siapakah yang masih berdiri dengan tegak di atas kedua kakinya setelah
pertempuran ini berakhir.”
Glagah Putih tidak menjawab. Diedarkan pandangan matanya ke
sekeliling medan. Tampak di sebelah kirinya agak jauh sekitar lima tombak,
istrinya sedang bertempur dengan sengitnya melawan seorang yang bertubuh tinggi
besar bersenjatakan sepasang bindi.
Namun Glagah Putih tidak sempat berangan-angan, karena
serangan lawannya telah datang membadai. Dari telapak tangan Kiai Sadaksada itu
meluncur angin lembut yang sangat dingin. Sebelum telapak tangan yang terbuka
merapat itu menyentuh tubuh Glagah Putih, pada jarak dua jengkal terasa angin
yang sangat lembut dan dingin bagaikan ribuan jarum telah menusuk-nusuk
kulitnya dan menembus daging.
“Gila!” geram Glagah Putih sambil meloncat ke samping kanan
menghindari serangan lawannya.
Dengan bertumpu pada kaki kanannya, kaki kiri Glagah Putih
pun menyapu kaki kiri lawannya yang digunakan sebagai tumpuan sewaktu menyerang
ke depan.
Namun lawannya telah memperhitungkan dengan seksama akan
kemungkinan serangan balasan dari Glagah Putih. Dengan menggeser kaki kirinya
selangkah ke depan, sapuan kaki Glagah Putih hanya mengenai tempat kosong.
Demikian lah kedua orang yang mempunyai perbedaan umur cukup
jauh itu telah kembali terlibat dalam pertempuran yang sangat dahsyat.
Masing-masing mulai merambah pada penggunaan tenaga cadangan dan landasan ilmu
yang semakin tinggi.
Dalam pada itu, Rara Wulan yang bertempur beberapa tombak
jauhnya dari suaminya tidak sempat memikirkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu.
Walaupun dia mendengar teriakan dari kedua belah pasukan tentang perang tanding
antara Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra, namun Rara Wulan
benar-benar dibuat sangat sibuk menghadapi lawannya yang bertubuh tinggi besar
dengan bersenjatakan sepasang bindi yang mengerikan.
Kedua bindi itu terayun ayun mengerikan menutup setiap
lobang yang memungkinkan Rara Wulan untuk dapat membalas serangan. Rara Wulan
yang bersenjatakan selendang itu memang mendapat kesulitan untuk melawan
senjata lawannya yang berupa sepasang bindi. Tidak mungkin bagi Rara Wulan
untuk sesekali membenturkan senjatanya. Walaupun terbesit juga keinginan untuk
membelit salah satu bindi itu, namun Rara Wulan masih belum yakin akan kekuatan
tenaga lawannya. Seandainya tenaga lawan lebih kuat, tentu selendangnya yang
akan terampas dan akan dapat memperlemah perlawanannya.
“Menyerahlah anak manis,” berkata lawannya yang telah
memperkenalkan diri sebagai Pemimpin perguruan jambu alas, Ki Rudraksa, sebelum
mereka berdua terlibat dalam pertempuran yang dahsyat itu, “Aku tidak tega
untuk melukai kulitmu yang halus mulus itu. Biarkanlah aku membelainya dengan
kedua belah tanganku, bukan dengan kedua bindiku ini.”
“Tutup mulut kotormu,” bentak Rara Wulan sengit sambil
melecutkan selendangnya mengarah dada.
Dengan tenang Ki Rudraksa memiringkan dadanya sehingga ujung
selendang Rara Wulan tidak mengenai sasaran.
“Ikutlah denganku ke perguruan Jambu alas,” berkata Ki
Rudraksa kembali sambil mengayunkan bindinya, “Kau akan kujadikan Ratu ku. Aku
akan siap melayanimu apa saja yang Kau inginkan dan kapan saja Kau
membutuhkan.”
“Diaaam!” kembali Rara Wulan membentak. Dia benar-benar
merasa risih dengan kata-kata lawannya yang penuh rayuan.
Mendapat bentakan Rara Wulan, Ki Rudraksa hanya tertawa
pendek sambil berkata, “Semakin marah, Kau terlihat semakin cantik dan manis.
Lihatlah, betapa kedua pipimu menjadi kemerah-merahan. Wajahmu yang tertimpa
cahaya senja seolah-olah bersinar menerangi hatiku yang telah lama gelap
merindukan cahaya cinta dari seorang perempuan cantik seperti dirimu.”
“Diam..diam..diam!” Rara Wulan benar-benar sangat terganggu,
nafasnya mulai memburu dan keringat dingin pun telah membasahi sekujur
tubuhnya.
Glagah Putih yang sedari tadi selalu gelisah melihat keadaan
istrinya segera mengetrapkan aji pameling untuk memberikan petunjuk.
“Sebaiknya Kau tidak usah mendengarkan kata-katanya, Rara,”
berkata Glagah Putih dalam aji pameling.
Rara Wulan yang tiba-tiba mendengar suara Glagah Putih
berdenging di telinganya menjadi agak tenang. Jawabnya kemudian, “Aku sudah
mencobanya Kakang. Namun orang ini terlalu kasar dan gila. Dia mulai menyebut
hal-hal yang sangat kotor dan menjijikkan.”
“Sumbatlah kedua telingamu dengan kain selendangmu. Kau
tidak usah bersenjata. Gunakan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce untuk
menghancurkan senjatanya.” Berkata Glagah Putih selanjutnya.
Rara Wulan segera menyadari maksud suaminya. Sejenak
kemudian Rara Wulan pun telah meloncat mundur mengambil jarak.
Lawannya yang melihat Rara Wulan meloncat mundur tidak
memburunya. Kedua tangannya yang memegang bindi itupun dikembangkan
selebar-lebarnya sambil berkata, “Kemarilah manis, lebih baik Kau berkeringat
dalam pelukanku dari pada berdarah darah terkena sambaran bindiku ini. Jangan
khawatir, aku akan memperlakukanmu dengan selembut mungkin dan tidak akan
memaksakan kehendak jika Kau memang belum siap saat ini. Marilah kita berdua
menyingkir dari medan terkutuk ini untuk menikmati kebersamaan kita agar tidak
ada seorang pun yang mengganggu.”
Namun Rara Wulan sudah tidak mendengarkan celoteh orang
tinggi besar itu. Selendangnya telah dibebatkan di lehernya serta kedua
ujungnya telah digunakan sebagai sumpal untuk menyumbat kedua telinganya.
“Teruslah mengoceh, aku tidak akan mempedulikan lagi,”
berkata Rara Wulan kemudian sambil mengetrapkan aji pacar wutah Puspa rinonce,
“Aku peringatkan untuk yang terakhir kalinya. Bersiaplah, aku akan mengetrapkan
ilmuku walaupun belum terhitung ilmu pamungkas, namun jika tidak ingin
menyesal, lebih baik Kau mempersiapkan diri.”
Ki Rudraksa tertawa berkepanjangan demi mendengar peringatan
Rara Wulan. Jawabnya kemudian, “Silahkan Cah Ayu, akan aku sambut ajimu itu
dengan segenap jiwa raga. Semoga Kau mengerti akan kehendak hatiku, yang telah
lama terbuang dalam jeritan dan perasaan rindu.”
Rara Wulan benar-benar sudah tidak menunda lagi. Bagaikan
tatit yang meloncat di udara, tubuhnya melesat kedepan dengan tangan kanan
terjulur lurus siap melancarkan aji pacar wutah Puspa rinonce.
Ki Rudraksa agaknya masih akan berkata-kata lagi jika saja
matanya yang tajam itu tidak melihat sekilas sinar menyilaukan terpancar dari
telapak tangan kanan Rara Wulan yang terbuka dengan jari-jari merapat.
“Gila!’ umpat Ki Rudraksa. Dengan tergesa-gesa disilangkan
kedua senjatanya di atas kepala untuk melindungi terjangan lawannya.
Tangan kanan Rara Wulan yang terjulur lurus itu telah
mengeluarkan butiran-butiran air yang lembut dan berkilauan tertimpa cahaya
temaram senja. Butiran-butiran yang lembut itu telah menyusup ke dalam
pori-pori senjata bindi Ki Rudraksa yang terbuat dari kayu berlian yang sangat
keras. Namun ternyata kekuatan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu telah mampu
menembus dan meremukkan kedua bindi yang bersilang di atas kepala Ki Rudraksa,
sehingga kedua bindi yang terbuat dari kayu yang sangat keras itu telah berubah
menjadi butiran debu.
Itulah kekuatan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce yang
sebenarnya. Aji itu tidak menghentak atau pun memukul sasarannya dengan keras,
namun aji itu bagaikan ribuan jarum yang menyelusup dan menusuk-nusuk
sasarannya serta menghancurkannya menjadi selembut debu.
Kalau saja Ki Rudraksa tidak segera meloncat mundur
sejauh-jauhnya, tentu sebagian dari pengaruh Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu
akan menembus kepalanya.
“Perempuan iblis!” geram Ki Rudraksa sambil membuang senjata
bindinya yang hanya tersisa di kedua genggaman tangannya saja. Kini kedua orang
itu telah kembali berhadap-hadapan hanya dengan tangan kosong, namun kemampuan
mereka telah merambah pada penggunaan aji jaya kawijayan yang nggegirisi.
Glagah Putih yang melihat istrinya telah terbebas dari
pengaruh buruk lawannya kini semakin tenang menghadapi lawannya yang jauh lebih
tua namun masih mempunyai kekuatan dan kelincahan sebagaimana anak muda.
Gerakannya bagaikan burung sriti yang beterbangan menyambar bilalang di tengah
padang.
Dalam pada itu Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga yang tengah
memburu arah jatuhnya Ki Rangga telah mendapati adik Senapati yang berkedudukan
di Jati Anom itu terlentang tak bergerak di halaman sebuah rumah kosong yang
telah ditinggal penghuninya mengungsi.
“Ki Rangga..!” hampir bersamaan kedua orang tua itu
berteriak sambil berlari mendekat.
Sambil berlutut di sisi tubuh Ki Rangga yang terbujur diam,
Kiai Sabda Dadi yang mempunyai kemampuan pengobatan itu segera meraba dadanya.
Sejenak wajah tua itu tampak berkerut-kerut dan sesekali menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Bagaimana, Kiai?” bertanya Ki Jayaraga yang ikut berlutut
di sisi yang lain.
Sambil tetap meletakkan telapak tangan kanannya di dada
sebelah kiri Ki Rangga, Kiai Sabda Dadi menjawab perlahan, “Detak jantungnya
hampir tak terdengar. Pada awalnya aku mengira jantungnya sudah tidak berdetak
lagi. Namun ketika aku mencoba merabanya lagi dengan sentuhan batinku, aku
masih menemukan detak itu walaupun sangat jauh dan lemah di dasar jantungnya.”
Ki Jayaraga menjadi semakin berdebar-debar. Katanya
kemudian, “Jadi bagaimana, Kiai? Apakah harapan itu masih ada?”
Kiai Sabda Dadi untuk beberapa saat masih merenung. Namun
akhirnya kakek Damarpati itu pun segera menentukan sikap.
“Ki Jayaraga dapat membantu aku,” berkata Kiai Sabda Dadi
kemudian sambil mengambil tempat duduk bersila di sebelah kiri Ki Rangga Agung
Sedayu yang terbujur diam, “ Aku akan mengalirkan tenaga cadanganku untuk
membantu jantung Ki Rangga yang sangat lemah ini agar dapat berdetak kembali
secara normal. Ki Jayaraga dapat mengalirkan tenaga cadangan dari kedua telapak
kaki Ki Rangga untuk membantu menghangatkan darahnya agar dapat mengalir
kembali ke jantung. Kita lakukan perlahan-lahan terlebih dahulu agar tidak
justru membuat jantung Ki Rangga meledak.”
Ki Jayaraga tidak menyahut, hanya kepalanya saja yang
terangguk tanda sudah mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Kiai Sabda Dadi.
Dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga pun kemudian duduk bersila di depan kedua telapak
kaki Ki Rangga. Setelah menempelkan kedua telapak tangannya pada kedua telapak
kaki Ki Rangga, Ki Jayaraga pun telah bersiap mengalirkan tenaga cadangannya.
Sejenak kemudian, kedua orang tua itu telah tenggelam dalam
usahanya untuk membantu memperlancar peredaran darah Ki Rangga yang bagaikan
membeku. Perlahan tapi pasti, hawa panas yang tersalurkan melalui tenaga
cadangan kedua orang tua itu telah mengencerkan darah sehingga jantung Ki
Rangga pun perlahan mulai berdenyut kembali.
Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka dan Ki Gede Menoreh yang
tidak ingin mengganggu kedua orang tua itu dalam membantu Ki Rangga Agung
Sedayu mencapai kesadarannya telah menyingkir beberapa langkah dari tempat Ki
Rangga terbaring. Keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu hal yang sangat
penting.
“Ki Gede,” berkata Ki Patih kemudian, “Perang ini tidak akan
selesai dalam waktu dekat dan bahkan bisa berlarut-larut sampai jauh malam. Ini
tidak boleh terjadi. Kematian Panembahan Cahya Warastra hendaknya dijadikan
cermin bagi para pengikutnya bahwa mereka sudah tidak ada harapan lagi untuk
memenangkan pertempuran ini.”
“Ampun, Ki Patih,” sahut Ki Gede Menoreh, “Apakah tidak
sebaiknya Ki Patih turun ke medan dengan membawa para prajurit pengawal
kepatihan serta para pengawal Menoreh yang tersisa? Dengan demikian diharapkan
para pengikut Panembahan Cahya Warastra akan menyadari keadaan yang
sebenarnya.”
Ki Patih tersenyum, jawabnya kemudian, “Aku memang sedang
memikirkan hal itu. Setidaknya kehadiranku di medan akan mempengaruhi ketahanan
jiwani para pengikut Panembahan Cahya Warastra sehingga dengan penuh kesadaran
mereka akan menyerahkan diri.”
“Memang demikian harapan kita semua, Ki Patih,” berkata Ki
Gede Menoreh sambil mengangguk-anggukkan kepala, “Pertumpahan darah ini harus
dicegah semampu kita agar tidak semakin banyak anak-anak yang kehilangan
bapaknya, atau perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya.”
Ki Patih Mandaraka mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
memandang ke arah Ki Rangga Agung Sedayu terbaring dan sedang diobati oleh Kiai
Sabda Dadi dibantu Ki Jayaraga.
“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Patih kemudian, “Sebelum
turun ke medan aku ingin meyakinkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu terlebih
dahulu.”
Selesai berkata, Ki Patih pun kemudian berjalan diikuti oleh
Ki Gede menuju ke tempat Ki Rangga terbaring.
“Bagaimanakah keadaan Ki Rangga, Kiai?” bertanya Ki Gede
Menoreh sesampainya mereka berdua di samping Kiai Sabda Dadi.
“Alhamdulillah, puji syukur atas pertolongan Yang Maha
Agung,” desis Kiai Sabda Dadi sambil memberi isyarat kepada Ki Jayaraga untuk
melepaskan tangannya dari kedua belah kaki Ki Rangga.
Nafas Ki Rangga yang semula tertutup, kini perlahan telah
longgar sejalan dengan derasnya aliran darah dalam tubuhnya. Namun agaknya
sejauh ini Ki Rangga Agung Sedayu masih belum sadarkan diri.
“Apakah Ki Rangga belum bisa diusahakan untuk sadarkan
diri?” bertanya Ki Patih begitu melihat Ki Rangga masih terbujur diam. Dadanya
saja yang terlihat bergerak naik turun.
“Ampun Ki Patih, aku tidak berani memastikan,” jawab Kiai
Sabda Dadi, “Sebaiknya Ki Rangga di bawa kembali ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Aku membutuhkan sebuah pedati, karena tulang-tulang Ki Rangga tampaknya di
beberapa bagian telah berpatahan dan kita harus sangat berhati-hati dalam
membawanya agaR tidak semakin parah.”
Orang-orang tua yang ada di sekitar itu sejenak terkejut.
Dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga pun bertanya, “Benarkah Kiai? Bukankah Ki
Rangga mempunyai ilmu kebal? Bagaimana mungkin Ki Rangga bisa mengalami
cidera?”
Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit
berdiri. Jawabnya kemudian, “Menilik keadaan tubuh Ki Rangga, aku yakin Ki
Rangga memiliki ilmu kebal. Seandainya tidak, mungkin tubuh Ki Rangga sudah
hancur tak berbentuk terkena sambaran senjata Panembahan Cahya Warastra yang berupa
pohon mahoni sebesar dua pelukan orang dewasa itu.”
Sejenak orang-orang tua itu saling berpandangan mendengar
keterangan Kiai Sabda Dadi. Mereka menyadari betapa dahsyatnya kekuatan
Panembahan Cahya Warastra dalam ujudnya yang nggegirisi itu.
“Baiklah, kita memang memerlukan sebuah pedati,” berkata Ki
Gede Menoreh akhirnya, “Sebaiknya anakku Pandan Wangi ikut bersama Ki Rangga
dibawa pulang ke rumah. Dengan demikian Kiai Sabda Dadi dapat merawat keduanya
dengan seksama.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk. Kemudian sambil berpaling ke
arah Ki Patih dia bertanya, “Ampun Ki Patih, bagaimanakah dengan pertempuran
ini? Kelihatannya langit sudah mulai gelap dan belum ada tanda-tanda
pertempuran ini akan selesai.”
Ki Patih tersenyum. Jawabnya kemudian, “Aku sudah membicarakannya
dengan Ki Gede. Aku memutuskan untuk turun ke medan pertempuran bersama dengan
para prajurit pengawal kepatihan dan sisa-sisa pengawal Menoreh yang ada
sekedar untuk memberikan tekanan jiwani terhadap pasukan musuh yang telah
kehilangan pemimpinnya.”
“Jika diperkenankan, aku akan ikut dalam barisan Ki Patih,”
tiba-tiba Ki Jayaraga menyahut.
Ki Patih tertawa pendek. Katanya kemudian,
“Silahkan-silahkan. Tidak ada salahnya kita yang sudah tua-tua ini ikut
meramaikan medan pertempuran. Jangan lupa untuk membawa tongkat dan obor untuk
sekedar membantu langkah kita yang mulai gemetar dan pandangan mata yang mulai
rabun.”
“Ah!” hampir bersamaan ketiga orang tua itu tertawa.
“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “Siapakah yang akan
mencari pedati?”
“Biarlah aku saja yang mencari pedati,” sahut Kiai Sabda
Dadi, “Aku minta seorang pengawal Menoreh menemaniku.”
Ki Gede Menoreh mengangguk tanda setuju. Kemudian
dilambaikan tangannya memanggil salah seorang pengawal Menoreh yang berdiri
termangu-mangu beberapa tombak di belakang Ki Gede.
“Ikuti Kiai Sabda Dadi,” perintah Ki Gede kepada pengawal
itu sesampainya dia di depan Ki Gede, “Kiai Sabda Dadi memerlukan sebuah pedati
untuk mengangkut Ki Rangga yang sedang terluka.”
“Ya Ki Gede,” jawab pengawal itu sambil berjalan mengiringi
Kiai Sabda Dadi meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Kiai Sabda Dadi, Ki Jayaraga telah menyediakan
diri untuk menunggui Ki Rangga yang masih terbaring lemah dan belum sadarkan
diri.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Jayaraga, “Biarlah aku
menunggui Ki Rangga. Jika Ki Patih berkenan turun ke medan, ada Ki Gede Menoreh
yang akan menjadi pendamping. Setelah Ki Rangga nanti dibawa ke kediaman Ki
Gede, aku akan menyusul.”
Ki Patih Mandaraka mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berpaling ke arah Ki Gede, “Marilah Ki Gede, tenaga tua kita ternyata masih
dibutuhkan. Semoga penyakit tulangku tidak kambuh selagi kita di medan
pertempuran.”
“Ah,” Ki Gede tertawa pendek. Katanya kemudian, “Walaupun Ki
Patih sedang terkena penyakit tulang sekalipun, aku yakin Ki Patih masih mampu
membakar hutan dan mengeringkan lautan.”
“Ah,” sekarang Ki Patih lah yang tertawa berkepanjangan.
Namun kemudian kedua orang tua yang sudah putus segala ilmu agal maupun alus
itu segera meninggalkan tempat itu untuk menyusun sebuah pasukan kecil yang
siap turun ke medan.
Dalam pada itu, Kiai Sabda Dadi dibantu oleh seorang
pengawal Menoreh telah menemukan sebuah pedati serta dua ekor lembu penariknya
di sebuah rumah yang agak jauh dari medan pertempuran. Agaknya penghuninya demikian
tergesa-gesa sehingga tidak sempat membawa beberapa lembunya untuk ikut
mengungsi. Namun pemilik ternak-ternak itu telah meninggalkan beberapa gunduk
rumput yang cukup untuk makanan ternak-ternaknya selama ditinggal beberapa
hari.
“Kita akan segera mengembalikan ke pemiliknya begitu perang
ini selesai,” berkata Kiai Sabda Dadi kepada pengawal Menoreh yang
menyertainya.
“Ya, Kiai,” jawab pengawal yang sudah mengenal dengan baik
kakek Damarpati itu sejak mereka menetap di Menoreh.
“Kau orang Menoreh asli, setidaknya Kau mengenal rumah siapa
ini,” berkata Kiai Sabda Dadi selanjutnya sambil melepas ikatan dua ekor lembu
yang gemuk-gemuk.
“Aku mengenalnya sebagai tempat tinggal Ki Parta Lemu,”
jawab pengawal itu.
Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya mendengar penjelasan
pengawal itu. Katanya kemudian, “Mengapa mesti Parta Lemu?”
Pengawal itu tertawa. Jawabnya kemudian, “Ada beberapa orang
yang bernama Parta di Padukuhan induk ini, dan kami membedakannya dengan cara
memberi tambahan nama di belakangnya sesuai dengan ciri-ciri orang itu.”
“O..,” seru Kiai Sabda Dadi sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Aku bisa menduga orang yang kalian beri nama Parta Lemu ini
orangnya pasti gemuk, segemuk lembu-lembunya.”
Sekarang pengawal itulah yang mengerutkan keningnya sambil
menggeleng, “Dugaan Kiai keliru, Ki Parta Lemu ini orangnya kurus kering.”
“He!” kembali Kiai Sabda Dadi berseru. Sebelum meneruskan
kata-katanya, Kiai Sabda Dadi memasang kedua lembu itu pada pasangan pedati
yang telah siap di sebelah kandang.
“Kurus katamu? Apakah pertimbangan kalian sehingga kalian
menyebutnya Parta Lemu? Bukan Parta Kurus?”
Pengawal itu tersenyum sambil memandang penuh arti kepada
Kiai Sabda Dadi. Jawabnya kemudian, “Itulah cara kami memberi julukan. Kami
memberi julukan yang berseberangan dengan keadaan seseorang dengan harapan
orang itu bisa berubah keadaannya sesuai dengan nama julukan yang kami
berikan.”
“Ooo..,” sekarang Kiai Sabda Dadi mengerti akan maksud
orang-orang padukuhan memberi julukan Parta Lemu, “Agaknya orang-orang
padukuhan berharap Ki Parta yang kurus bisa berubah menjadi gemuk.”
“Begitulah kira-kira, Kiai,” berkata Pengawal itu sambil
mulai naik ke atas pedati. Diraihnya cambuk yang tergantung di plagrangan di
bawah atap pedati. Dengan sekali lecut, lembu-lembu itu pun mulai bergerak
perlahan meninggalkan halaman rumah Ki Parta Lemu. Sementara Kiai Sabda Dadi
telah meloncat dan naik dari arah bagian belakang pedati.
Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka dengan didampingi Ki Gede
Menoreh serta sepasukan kecil gabungan prajurit pengawal kepatihan dan pengawal
Menoreh sedang berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke medan pertempuran.
Sementara langit telah semakin buram namun pertempuran semakin lama menjadi
semakin sengit.
Beberapa Prajurit pengawal kepatihan dengan sengaja telah
membawa obor sekedar untuk menerangi jalan. Namun sebenarnyalah Ki Patih telah
memerintahkan membawa beberapa obor untuk menarik perhatian kedua pasukan yang
sedang bertempur dengan sengitnya itu.
Memang perhitungan Ki Patih tidak meleset sama sekali.
Ternyata kedatangan pasukan kecil yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka itu
telah menarik perhatian kedua belah pihak.
“Ki Patih Mandaraka berkenan hadir..!” tiba-tiba terdengar
sebuah teriakan memecah udara diantara suara denting senjata beradu serta
sumpah serapah.
“Ki Patih Mandaraka hadir.!” Segera saja suara itu disahut
oleh yang lainnya.
“Ki Patih hadir..!”
“Ki Patih hadiir..!”
Suara itu pun telah bergema bersahut-sahutan di seluruh
medan pertempuran. Kehadiran Ki Patih Mandaraka ternyata telah mengguncang
medan pertempuran.
Para pengikut Panembahan Cahya Warastra menjadi
berdebar-debar. Kali ini mereka tidak dapat membalas teriakan pasukan Mataram
dan Menoreh. Mereka tidak mungkin membalas dengan teriakan bahwa pemimpin
mereka Panembahan Cahya Warastra hidup kembali dan telah hadir di medan
pertempuran. Mereka hanya dapat berharap kepada para pemimpin perguruan yang
lain untuk segera dapat menyelesaikan lawan-lawannya. Namun sejauh ini, belum
tampak adanya kemajuan yang berarti di pihak para pengikut saudara kembar
Kecruk Putih itu.
Beberapa pemimpin perguruan dan murid-muridnya menjadi
ragu-ragu. Setelah tewasnya Panembahan Cahya Warastra yang mereka yakini tidak
mempan segala jenis senjata bahkan telah kalis dari segala bentuk sakit bahkan
kematian itu, mereka menjadi gelisah dan mulai memikirkan jalan untuk
menyelamatkan diri. Terutama para murid perguruan Cahya Warastra.
“Panembahan yang sakti itu telah gugur,” demikian seorang
cantrik dari perguruan Cahya Warastra berkata dalam hati, “Sedangkan orang
kedua di perguruan kita, Ki Bango Lamatan juga tidak tampak batang hidungnya
sejak penyerbuan pagi tadi.”
Seorang kawannya yang sedang bertempur di sebelahnya melihat
gelagat yang aneh dari kawannya segera memperingatkan, “He! Jangan melamun di
medan pertempuran. Kepalamu bisa hilang selagi Kau bermimpi indah.”
“Aku tidak melamun,” geram Cantrik itu, “Aku sedang membuat
pertimbangan tentang kenyataan yang kita hadapi di medan pertempuran ini.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Dia paham maksud Cantrik
itu. Perguruan Cahya Warastra telah kehilangan pemimpin utamanya dan sekaligus
orang kedua yang sama sekali tidak tampak selama pertempuran telah berlangsung.
“Mungkin Ki Bango Lamatan berada di tempat yang lain dalam
pertempuran ini,” pikirnya. Namun dia ragu-ragu dengan perkiraannya itu.
“Nah,” seorang Lurah prajurit wira tamtama dari Mataram
menengahi, “Apakah kehadiran Ki Patih Mandaraka di medan pertempuran ini
mempunyai arti tersendiri bagi kalian? Sebaiknya kalian mulai menilai diri
kalian sendiri. Tidak ada gunanya melawan atau bertempur sampai titik darah
penghabisan. Menyerahlah, kami atas nama Mataram akan memperlakukan kalian
dengan sebaik-baiknya.”
“Omong kosong!” bentak cantrik itu sambil mengayunkan
senjatanya mematuk dada, “Kalian prajurit Mataram memang licik. Kalian berkata
seolah olah hati kalian putih bersih tidak ada noda setitik pun. Namun jika
kami sudah menyerah, besok pagi kalian dengan gembira dan bersuka ria
menyiapkan tali-tali gantungan di alun-alun Mataram.”
“Tentu tidak,” jawab Lurah prajurit itu, “kami bukan
segerombolan penjahat yang tidak mengenal paugeran. Kami akan memperlakukan
kalian sesuai dengan paugeran yang berlaku.”
Kawan cantrik yang bertempur di sebelahnya tertawa sambil
menyahut, “Kau benar Ki Sanak. Aku yakin jika kalian akan memperlakukan kami
sesuai dengan paugeran yang berlaku. Namun sayang, paugeran itu yang membuat
adalah kalian sendiri sehingga hanya hukuman gantunglah yang paling pantas bagi
para pemberontak seperti kami ini.”
Lurah prajurit itu memiringkan dadanya untuk menghindari
patukan senjata Cantrik dari perguruan Cahya Warastra itu. Lalu katanya
kemudian, “Kalian terlalu berprasangka. Seandainya kalian mau sedikit berpikir,
tentu kalian tidak akan membunuh diri. Apa yang kalian sebut sebagai perjuangan
ini telah selesai dan tidak mungkin akan terwujud sepeninggal Panembahan Cahya
Warastra.”
“Tutup mulutmu!” teriak cantrik itu sambil mengayunkan
senjatanya dengan deras menyilang membabat lambung.
Tentu saja Lurah prajurit itu tidak akan membiarkan
lambungnya robek terkena senjata lawannya. Dengan menghindar selangkah ke
samping, lambungnya telah terhindar dari sabetan senjata lawannya.
Dalam pada itu Glagah Putih yang sedang bertempur dengan
Kiai Sadaksada telah merambah pada salah satu ilmu yang telah diserapnya dengan
tuntas dari salah satu gurunya, Ki Jayaraga.
“Aku akan mengungkapkan kekuatan udara, air dan api untuk
mengimbangi ilmu orang tua ini,” berkata Glagah Putih sambil menghindar dari
serangan lawan yang mengarah ke kepala. Tamparan udara dari serangan lawannya
terasa bagaikan ribuan jarum yang menusuk kulit kepalanya.
Sedangkan Kiai Sadaksada yang telah mendengar akan kehadiran
Ki Patih Mandaraka di medan pertempuran menjadi gelisah. Kehadiran orang yang
semasa mudanya bergelar Ki Juru Mertani itu sedikit banyak telah mempengaruhi
medan, terutama pengaruh jiwani terhadap para pengikut Panembahan Cahya
Warastra. Sementara sejauh ini belum tampak tanda-tanda kemenangan di pihak
pasukan Panembahan Cahya Warastra.
“Siapakah yang mampu membendung Ki Patih Mandaraka?”
bertanya Kiai Sadaksada dalam hati, “Tidak mungkin Ki Ageng Blarak Sineret
maupun Ki Wasi Jaladara. Mereka berdua tentu juga sedang terlibat dalam
pertempuran yang sengit menghadapi lawan-lawannya.”
Kiai Sadaksada benar-benar menjadi semakin gelisah. Ketika
pada suatu kesempatan dia mencoba mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling
medan pertempuran yang menjadi semakin gelap, alangkah terkejutnya kakak
seperguruan Ki Rudraksa itu. Dalam keremangan malam, tampak beberapa pemimpin
perguruan telah berusaha bergeser menjauhi medan pertempuran.
Beberapa perguruan tampak mulai bertempur sambil bergeser
mundur. Setapak demi setapak mereka mulai menjauhi bulak dan naik ke atas
tanggul. Beberapa murid-murid perguruan beserta guru-guru mereka bahkan ada
yang telah menjauhi petak-petak sawah yang kering menuju ke padang rumput di
sebelah hutan yang masih cukup lebat.
“Gila!” geram Kiai Sadaksada sambil terus melayani serangan-
serangan Glagah Putih, “Mereka telah berkhianat dan ingin menyelamatkan diri
mereka sendiri. Agaknya mereka sudah tidak dapat berharap banyak setelah
kematian Panembahan Cahya Warastra.”
Menyadari hal itu, Kiai Sadaksada segera memberi isyarat
kepada adik seperguruanya serta para murid-murid padepokan jambu alas.
Sejenak kemudian udara malam di atas medan pertempuran itu
telah dikoyak oleh suara suitan panjang dua kali berturut turut. Suara suitan
itu ternyata mampu mengatasi riuhnya pertempuran diantara suara denting senjata
beradu, teriakan marah dan umpatan serta caci maki.
Ki Rudraksa begitu mendengar isyarat dari kakak
seperguruannya sejenak masih ragu-ragu. Hatinya benar-benar telah terpikat oleh
kecantikan dan kemolekan tubuh lawannya. Walaupun Rara Wulan sudah tidak
terpengaruh lagi dengan segala bualannya, namun pemimpin perguruan jambu alas
yang masih membujang dalam usia yang hampir menjelang setengah abad itu masih
berharap Rara Wulan memberikan sedikit perhatian kepadanya.
Ketika suitan panjang itu berulang lagi, Ki Rudraksa dengan
setengah hati mulai bergeser mundur. Beberapa muridnya segera menyesuaikan
diri. Mereka bersama sama akan menghentakkan kemampuan mereka untuk yang
terakhir kalinya sebelum meloloskan diri dari arena pertempuran.
Demikianlah akhirnya, ketika untuk yang ketiga kalinya
suitan itu membelah udara malam di atas arena pertempuran, murid-murid
padepokan jambu alas pun bagaikan wuru. Mereka menyerang lawan-lawan mereka
bagaikan banteng ketaton sehingga lawan-lawannya itu telah terdesak beberapa
langkah mundur. Kesempatan itu ternyata tidak disia-siakan, murid-murid
perguruan jambu alas itu pun kemudian telah berlari-larian tak tentu arah
meninggalkan lawan-lawan mereka yang belum menyadari sepenuhnya apa yang
sebenarnya telah terjadi.
Glagah Putih yang terkejut mendapat serangan yang membadai
dari Ki Sadaksada segera mengambil jarak dengan meloncat mundur beberapa
langkah. Dalam sekejap Glagah Putih telah siap dengan ilmu yang berlandaskan
pada kekuatan udara, air dan api.
Namun alangkah terkejutnya Glagah Putih begitu menyadari
lawannya ternyata telah menghilang dari hadapannya. Belum sempat Glagah Putih
memutuskan untuk mengejar lawannya yang terlihat menyusup di antara murid-murid
perguruan jambu alas yang berlari-larian tak tentu arah, terdengar sebuah
jeritan yang berasal dari istrinya, Rara Wulan.
Lawan Rara Wulan yang telah kehilangan sepasang bindi nya
ternyata telah mencabut sebilah keris luk sembilan yang terselip di balik
bajunya. Karena lawannya telah menggenggam senjata lagi, tidak ada jalan lain
bagi Rara Wulan untuk menggunakan selendangnya kembali.
Dan yang terjadi kemudian adalah sama sekali diluar dugaan
Rara Wulan. Ketika lawannya telah menghentakkan serangannya dengan menjulurkan
keris luk sembilan itu lurus mengarah dada, dengan tangkasnya Rara Wulan
meloncat ke samping sambil menggerakkan ujung selendangnya menggeliat melibat
keris yang tergenggam di tangan lawannya. Dalam perhitungan Rara Wulan, tentu
lawannya akan menarik kembali serangannya. Namun yang terjadi kemudian adalah
diluar dugaan dan hampir tidak masuk akal. Ternyata Ki Rudraksa telah
melepaskan keris luk sembilannya yang telah terlibat oleh ujung selendang Rara
Wulan.
Sambil meloncat sejauh-jauhnya dan kemudian berlari menyusup
di antara murid-murid jambu alas yang bergerak berseliweran tak beraturan, Ki
Rudraksa telah meninggalkan sebuah pesan yang cukup menggetarkan hati Rara
Wulan.
“Sengaja aku tinggalkan kerisku untukmu sebagai pertanda.
Suatu saat aku akan kembali untuk mengambilnya bersama dengan sebongkah
hatimu,” berkata Ki Rudraksa sambil menghilang di antara riuhnya pertempuran.
Glagah Putih yang melihat istrinya terpekik sambil meloncat
mundur segera berlari mendapatkannya. Hanya dengan dua kali lompatan, Glagah
Putih telah sampai di samping istrinya.
“Ada apa Rara?” bertanya Glagah Putih sesampainya di sisi
istrinya.
Rara Wulan masih tampak terkejut dengan kejadian yang
dialaminya. Selendangnya dengan tergesa-gesa telah ditarik dan didekap di
dadanya, sementara keris luk sembilan Ki Rudraksa telah terjatuh dan tergeletak
di atas tanah selangkah di depannya.
“Rara,” kembali Glagah Putih bertanya dengan lembut sambil
menyentuh pundaknya, “Apa yang terjadi?”
Mata Rara Wulan masih nanar menatap keris luk sembilan yang
tergolek di depannya. Ketika terasa tangan suaminya dengan lembut menyentuh
pundaknya, bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk, Rara Wulan pun kemudian
segera menghambur ke dalam pelukan suaminya.
“Kakang, keris itu kakang, keris itu” terbata-bata Rara
Wulan berkata diantara isak tangisnya.
“Ada apa dengan keris itu?” bertanya Glagah Putih sambil
berusaha menenangkan tangis Rara Wulan. Dibelainya dengan lembut rambut Rara
Wulan sambil matanya memandang ke arah keris luk sembilan yang tergeletak di
antara debu.
“Buanglah keris itu Kakang, buanglah jauh-jauh,” pinta Rara Wulan
sambil berusaha menahan tangisnya.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dia memang tidak begitu
menaruh perhatian terhadap peristiwa yang terjadi antara Ki Rudraksa dan
istrinya di saat-saat terakhir, karena dia juga sedang menghadapi Kiai
Sadaksada yang sedang menghentakkan segenap kemampuannya sebelum menyingkir
dari medan.
“Biarlah keris itu aku yang menyimpannya,” akhirnya dengan
suara yang sareh Glagah Putih menjawab permintaan istrinya.
“Jangan Kakang, jangan!” sedikit terpekik Rara Wulan sambil melepaskan
pelukannya, “Dia berjanji akan mengambilnya kembali bersama..”
Sampai disini kata-kata Rara Wulan terputus. Sejenak dia
ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
Glagah Putih tersenyum sambil menggenggam erat kedua tangan
istrinya. Katanya kemudian, “Kalau dia berjanji mengambil kerisnya kembali, aku
sudah siap. Justru itulah aku akan menyimpannya. Suatu saat jika dia datang,
aku akan menyelesaikannya dengan tuntas.”
Sejenak Rara Wulan termangu-mangu. Kata-kata suaminya itu
sedikit banyak telah menenangkan hatinya. Memang dia percaya sepenuhnya dengan
suaminya yang mempunyai ilmu lebih tinggi dari dirinya. Namun sebagai seorang
perempuan, hatinya tetap saja gelisah sebelum orang yang bernama Ki Rudraksa
itu hilang dari permukaan bumi.
“Sudahlah, Rara,” berkata Glagah Putih kemudian sambil
membungkuk memungut keris luk sembilan itu, “Pertempuran di sayap kiri ini
kelihatannya hampir selesai. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra sebagian
telah melarikan diri. Agaknya mereka berpikir tidak ada lagi kesempatan untuk
memenangkan pertempuran sepeninggal Panembahan Cahya Warastra.”
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk
menenangkan gejolak di dalam dadanya. Ketika dilihatnya suaminya membungkus
keris luk sembilan itu dengan secarik kain yang tercecer di antara tanah yang
berdebu, dia hanya dapat pasrah kepada keputusan suaminya.
“Marilah, Rara. Aku ingin segera mengetahui keadaan Kakang
Agung Sedayu,” berkata Glagah Putih kemudian sambil melangkah meninggalkan
medan pertempuran di sayap kiri.
Rara Wulan tidak menjawab. Dengan langkah-langkah kecil
disusulnya suaminya yang telah terlebih dahulu melangkah. Sementara pertempuran
di sayap kiri itu benar-benar telah selesai. Beberapa pengikut Panembahan Cahya
Warastra yang telah kehilangan kesempatan untuk melarikan diri telah menyerah.
Sepeninggal Kiai Sadaksada dan Ki Rudraksa, pasukan Panembahan Cahya Warastra
yang terdiri dari beberapa perguruan itu telah lumpuh. Mereka memilih menyerah
dengan harapan masih ada kemungkinan untuk mendapatkan pengampunan.
Ki Tumenggung Tirtayudha yang memimpin pasukan di sayap kiri
juga telah kehilangan lawannya, seorang yang tidak mau menyebut nama dan
gelarnya, namun mempunyai kemampuan ilmu yang sangat ngedab-edabi. Ketika
beberapa pemimpin perguruan beserta murid-muridnya mulai bergerak mundur untuk
meninggalkan medan pertempuran, ternyata lawannya itu telah ikut arus pasukan
panembahan Cahya Warastra untuk meninggalkan medan.
“Ma’afkan aku Ki Tumenggung,” berkata lawannya yang tidak
mau menyebut nama maupun gelarnya, “Aku harus ikut arus pasukan yang
meninggalkan medan. Namun aku berharap, di suatu waktu dan di suatu tempat kita
dapat bertemu kembali.”
Selesai berkata demikian, sebelum Ki Tumenggung Tirtayudha
menyadari apa yang akan diperbuat oleh lawannya, tiba-tiba saja dari kedua
telapak tangan lawannya yang teracu ke depan, meluncur asap hitam pekat
bergulung-gulung menerjang ke arah tempatnya berdiri.
Sekejap Ki Tumenggung segera menyadari, asap itu pasti asap
beracun menilik dari baunya yang menyengat sebelum asap itu sampai ke tempatnya
berdiri. Tidak ada jalan lain bagi Ki Tumenggung selain meloncat mundur
sejauh-jauhnya.
Demikian Ki Tumenggung telah tegak kembali di atas kedua
kakinya yang renggang, lawannya itu ternyata telah hilang dari pandangan
matanya.
Sejenak Ki Tumenggung Tirtayudha berdiri termangu-mangu.
Ketika pandangan matanya kemudian beredar ke sekeliling medan pertempuran,
tampak beberapa prajuritnya sedang menawan beberapa orang yang telah menyerah.
“Perlakukan mereka dengan baik,” perintah Ki Tumenggung
Tirtayudha kepada kedua orang Lurah prajurit yang mengurusi para tawanan, “Aku
akan membuat hubungan dengan induk pasukan untuk menentukan langkah kita
selanjutnya.”
Kedua Lurah prajurit itu hanya mengangguk-anggukkan kepala
saja tanpa menjawab sepatah katapun.
Dalam pada itu di pusat gelar, kedatangan rombongan Ki Patih
Mandaraka juga telah mengguncang keseimbangan medan. Ki Ageng Blarak Sineret
dan Ki Wasi Jaladara benar-benar menemui kesulitan untuk mengendalikan pasukan
yang berada di pusat gelar. Mereka telah bergerak menurut perhitungan mereka
sendiri-sendiri. Hal ini memang sudah sewajarnya terjadi karena mereka bukan
berasal dari sebuah kesatuan yang utuh, namun mereka terdiri dari
bermacam-macam aliran perguruan yang mempunyai panutan dan kepentingan yang
berbeda-beda.
“Jangan terpengaruh..!” teriak Ki Ageng Blarak Sineret
sambil terus bertempur melawan Ki Tumenggung Surayudha, “Sepeninggal
Panembahan, masih ada Ki Bango Lamatan yang akan menuntaskan pertempuran ini!”
Namun teriakannya tenggelam dalam riuhnya gerak mundur
pasukannya. Mereka tidak memperdulikan lagi keutuhan dan kesatuan pasukan. Yang
ada dalam benak mereka adalah bagaimana dengan secepat-cepatnya meninggalkan
medan, sebab sudah tidak ada lagi yang dapat diharapkan untuk menandingi Ki
Patih Mandaraka sepeninggal Panembahan Cahya Warastra.
“Pengecut..!” teriak Ki Ageng Blarak Sineret sambil memutar
tombak pendek di tangannya untuk menangkis serangan lawan yang mematuk dada,
“Kalian benar-benar memalukan. Belum ada darah yang menetes seujung kuku,
ternyata kalian telah melarikan diri dari medan.”
“Kami tidak ingin menjadi banten yang sia-sia,” tiba-tiba
terdengar jawaban yang berat dan dalam dari sebelah kiri Ki Ageng Blarak
Sineret, “Silahkan membunuh diri. Kami masih mempunyai harapan untuk
melanjutkan perjuangan di lain kesempatan.”
Ketika Ki Ageng Blarak Sineret berpaling, sekejab dadanya
berdesir tajam. Tampak Ki Bagaswara sedang bergerak mundur bersama dengan
murid-muridnya. Beberapa saat kemudian Ki Bagaswara beserta murid-muridnya itu
pun telah hilang dalam kegelapan malam meninggalkan medan pertempuran.
“Gila! Gila! Gila..!” umpat Ki Ageng Blarak Sineret sambil
mencoba menekan lawannya. Namun Ki Tumenggung Surayudha telah tanggap dengan
keadaan medan yang semakin kisruh. Dia tidak akan memberikan kesempatan sekejap
pun kepada Ki Ageng untuk meloloskan diri.
Dalam pada itu beberapa tombak dari arena pertempuran Ki
Ageng melawan Ki Tumenggung Singayudha, Ki Wasi Jaladara yang merasa
bertanggung jawab untuk mengendalikan seluruh pasukan Panembahan Cahya Warastra
sedang terikat dalam sebuah perang tanding yang dahsyat melawan Ki Tumenggung
Singayudha.
“Menyerahlah,” berkata Ki Tumenggung Singayudha sambil
menghindari sambaran telapak tangan lawannya, “Tidak ada gunanya lagi kalian
melawan. Sebaiknya kalian segera menyerah. Kami bukan sekumpulan orang-orang
liar yang akan berbuat semena-mena terhadap para tawanan. Kami adalah parajurit
yang sangat memegang teguh paugeran.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Wasi Jaladara. Kedua telapak
tangannya yang terbuka merapat itu susul- menyusul menyerang ke arah
bagian-bagian yang berbahaya dari tubuh lawannya.
Ki Tumenggung Singayudha yang menyadari betapa berbahayanya
kedua telapak tangan lawannya itu dengan sekuat tenaga berusaha untuk
menghindar. Kelihatannya pemimpin perguruan Liman Benawi dari Madiun itu telah
merambah pada puncak ilmunya, Aji Tapak Liman.
Demikianlah, ketika Ki Wasi Jaladara mendapat kesempatan
sekejap, segera disilangkan kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian,
pemimpin Perguruan Liman Benawi dari Madiun itu telah siap melepaskan ilmu
puncaknya, aji tapak Liman.
Ki Tumenggung Singayudha yang melihat lawannya telah siap
melepaskan aji pamungkasnya segera mempersiapkan diri. Hanya dalam waktu
sekejap, Ki Tumenggung Singayudha telah melambari dirinya dengan sebuah aji
yang pernah menggegerkan kekuasaan Demak lama ketika Sultan Trenggana masih
bertahta, Aji Tameng Waja.
Aji Tameng Waja memang menjadi salah satu aji yang dimiliki
oleh Sultan Trenggana. Setelah Mas Karebet yang mampu mencuri hati Putri Sekar
Kedaton kemudian diambil menantu oleh Sultan, aji tameng waja ini pun kemudian
diwariskan kepada menantunya itu. Ketika kekuasaan Demak kemudian berakhir dan
pemerintahan dipindahkan ke Pajang oleh Mas Karebet yang kemudian bergelar
Sultan Hadiwijaya, Aji Tameng Waja ini pun diwariskan juga kepada anak angkat
terkasih Sultan Pajang, Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabei Loring Pasar.
Demikianlah, setelah Raden Sutawijaya menjadi penguasa
Mataram dan bergelar Panembahan Senapati, Aji Tameng Waja ini menjadi
kebanggaan dan merupakan piandel yang dimiliki oleh kerabat Istana dan juga
para sentana dalem yang masih mempunyai kekerabatan dengan Istana.
Dalam pada itu, Ki Wasi Jaladara ternyata telah memutuskan
untuk segera mengakhiri pertempuran. Disertai dengan bentakan menggelegar
serangan Ki Wasi Jaladara yang dilambari kekuatan Aji Tapak Liman telah
meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara menyambar Ki Tumenggung
Singayudha.
Sejenak kemudian sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi.
Sebuah ledakan yang mengguntur dan memekakkan telinga telah membuat orang-orang
di seputar arena pertempuran terkejut dan meloncat ke belakang untuk melihat
apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Kesempatan ini ternyata tidak disia-siakan oleh Ki Ageng
Blarak Sineret untuk meloloskan diri dari arena pertempuran. Begitu menyadari
lawannya meloncat mengambil jarak, hanya dengan beberapa kali loncatan saja Ki
Ageng Blarak Sineret telah lenyap dalam kegelapan malam serta tenggelam dalam
hiruk pikuk pertempuran yang semakin kisruh dan tak terkendali.
Ki Tumenggung Surayudha tertegun sejenak begitu menyadari
lawannya telah meninggalkan medan, namun perhatian Ki Tumenggung segera
tercurah kepada sahabatnya Ki Tumenggung Singayudha yang baru saja menyabung
nyawa dengan lawannya.
Ternyata benturan itu telah melemparkan keduanya. Aji Tapak
Liman yang mempunyai kekuatan berpuluh-puluh telapak kaki gajah itu bagaikan
telah membentur benteng baja setebal satu jengkal. Kekuatan yang tersalur pada
telapak tangan pemimpin Perguruan Tapak Liman itu telak membalik dan menghantam
dadanya sendiri. Akibatnya adalah sangat mengerikan, dada Ki Wasi Jaladara
bagaikan tertimpa sebuah bukit anakan. Tubuhnya telah terlempar ke belakang
beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh terlentang tak bergerak.
Sementara Ki Tumenggung Singayudha yang telah mengetrapkan
Aji Tameng Waja setinggi-tingginya telah tergetar surut. Sejenak Ki Tumenggung
masih terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh
terduduk sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Adi Tumenggung..!”
teriak Ki Tumenggung Surayudha sambil berlari mendapatkan sahabatnya.
Sejenak Ki Tumenggung Singayudha masih mencoba bertahan pada
kedudukannya. Namun ternyata ketahanan tubuhnya sudah jauh menyusut sehingga
perlahan-lahan Ki Tumenggung pun jatuh terguling.
Dengan sigap Ki Tumenggung Surayudha yang telah berada di
sisi sahabatnya itu segera menangkap tubuh yang hampir terjatuh itu. Kemudian
dengan perlahan tubuh Ki Tumenggung Singayudha yang lemah itu pun dibaringkan
di atas tanah yang berdebu.
“Kelihatannya Ki Tumenggung Singayudha telah terluka dalam
yang cukup parah,” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam dari arah
belakang.
Ki Tumenggung Surayudha yang sedang berjongkok di sisi Ki
Tumenggung Singayudha itu segera berpaling ke belakang. Tampak Ki Patih
Mandaraka dan beberapa prajurit pengawal kepatihan berdiri beberapa langkah di
belakangnya. Sedangkan Ki Gede Menoreh beserta beberapa pengawal Tanah Perdikan
tampak berdiri agak jauh di belakang.
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung Surayudha sambil
bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangannya di depan dada, “Pertempuran di
induk pasukan ini kelihatannya sudah hampir berakhir. Jika diijinkan, kami
membawa Adi Tumenggung ke garis belakang pertempuran untuk mendapatkan
perawatan.”
“Pergilah,” jawab Ki Patih, “Bawalah beberapa prajurit untuk
menemanimu serta membantu membawa Ki Tumenggung Singayudha ke balai pengobatan
di padukuhan induk. Ki Gede Menoreh dibantu para prajurit pengawal kepatihan
dan para pengawal Menoreh akan mengambil alih medan pertempuran yang sudah
semakin sepi ini.”
Ki Tumenggung Surayudha kembali menyembah sambil menjawab,
“Terima kasih Ki Patih, hamba mohon diri.”
Selesai berkata Ki Tumenggung Surayudha pun segera
mengundurkan diri bersama beberapa prajurit untuk membawa Ki Tumenggung
Singayudha ke padukuhan induk.
Sepeninggal Ki Tumenggung Surayudha, Ki Patih segera
memerintahkan para prajurit Mataram yang masih ada di medan segera mengamankan
para tawanan. Sedangkan Ki Gede Menoreh mengawasi para pengawal Tanah Perdikan
untuk mulai mengumpulkan mereka yang gugur dan menolong mereka yang terluka,
baik kawan maupun lawan.
Demikianlah ketika para prajurit dibantu pengawal Menoreh
sedang sibuk mengamankan bekas medan pertempuran, tampak dua orang dengan
langkah ragu-ragu mendekati Ki Patih Mandaraka.
“Ampun Ki Patih, jika diperkenankan kami mohon menghadap,”
tiba-tiba dengan suara gemetar salah satu dari kedua orang itu berkata beberapa
langkah di belakang Ki Patih.
Ketika Ki Patih Mandaraka kemudian membalikkan badan, tampak
dua orang yang bediri termangu-mangu sambil menundukkan kepala dan merangkapkan
kedua tangan mereka di depan dada.
“Siapakah kalian?” bertanya Ki Patih kemudian.
“Ampun Ki Patih, kami adalah murid-murid Perguruan Liman
Benawi dari Madiun,” salah seorang yang bertubuh kekar menjawab. Kemudian
lanjutnya, “Beberapa saudara seperguruan kami telah tewas dalam pertempuran,
demikian juga dengan guru kami Ki Wasi Jaladara.”
Sejenak Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian, “Jadi kalian dari Perguruan Liman Benawi? Apakah kalian bermaksud
menyerahkan diri?”
Beberapa saat kedua murid perguruan Liman Benawi itu
tergugu. Namun dengan segera salah seorang menjawab sambil menghaturkan sembah,
“Ampun Ki Patih, kami mohon pengampunan. Ijinkanlah kami berdua kembali ke
padepokan kami sambil membawa jasad guru kami.”
Sekarang giliran Ki Patih yang terdiam sejenak. Sambil
memandang tajam ke arah kedua murid Liman Benawi itu bergantian, Ki Patih pun
akhirnya mengambil keputusan, “Pergilah! Jadikanlah peristiwa ini sebagai
cermin bagi perguruan kalian untuk menentukan langkah di masa mendatang. Aku
mengijinkan kalian untuk meninggalkan medan ini bukan berarti kalian bebas dari
segala tanggung jawab atas perbuatan kalian. Namun lebih dari itu, Mataram akan
tetap mengawasi perguruan Liman Benawi. Atas ijin Panembahan Hanyakrawati
penguasa tertinggi Mataram, aku akan memerintahkan Adipati Madiun untuk meminta
pertanggung jawaban atas peristiwa ini kepada Perguruan Liman Benawi.”
Kedua murid Liman Benawi itu hanya dapat menundukkan kepala
mereka dalam-dalam. Berbagai perasaan bergejolak dalam dada mereka.
Sesungguhnya lah kepergian mereka jauh-jauh dari Madiun menuju Tanah Perdikan
Menoreh itu hanya atas perintah guru mereka, yang ternyata telah tewas dalam
pertempuran. Dan kini mereka tinggal berdua saja setelah kawan-kawan
seperguruan mereka juga telah menjadi korban dalam pertempuran yang dahsyat di
padukuhan induk Menoreh.
“Terima kasih Ki Patih,” hampir tak terdengar salah satu
dari kedua orang itu menjawab, “Kami sudah pasrah dengan nasib yang akan
menimpa kami. Namun lebih dari itu, ijinkan kami untuk menyelenggarakan jasad
guru kami di padepokan Liman Benawi dengan layak.”
Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-angguk. Kemudian sambil berpaling ke arah salah satu prajurit
pengawal kepatihan yang berdiri paling dekat, Ki Patih pun berkata, “Kawal
kedua orang dari perguruan Liman Benawi ini sampai keluar dari daerah
pertempuran. Yakinkan bahwa mereka berdua tidak mendapat kesulitan untuk
membawa jasad Ki Wasi Jaladara kembali ke Madiun.”
“Sendika dawuh, Ki Patih,” jawab prajurit itu sambil
menyembah. Kemudian dengan sebuah isyarat, dia mengajak kedua murid perguruan
Liman Benawi itu untuk mendekat ke tempat Ki Wasi Jaladara terbujur diam.
Dalam pada itu, pertempuran di sayap kanan ternyata masih
berlangsung dengan dahsyatnya. Beberapa perguruan memang telah menarik diri
dari medan pertempuran. Namun masih cukup banyak yang bertahan untuk tetap
bertempur dengan dendam yang setinggi gunung.
Ketika beberapa pemimpin perguruan dan murid-muridnya
memutuskan untuk menarik diri dari medan pertempuran sehubungan dengan tewasnya
Panembahan Cahya Warastra, ternyata Alap-Alap Siwurbang memilih untuk tetap
tinggal. Alap Alap Siwurbang sama sekali tidak berusaha untuk lolos dari arena
pertempuran. Kemarahan yang mencapai ubun-ubun telah membuat dirinya
membulatkan tekad untuk menuntaskan lawannya, walaupun mereka berdua tidak pernah
berjanji sebelumnya untuk melakukan perang tanding. Namun pertempuran itu tidak
ubahnya dengan sebuah perang tanding yang mempertaruhkan antara hidup dan mati.
“Mengapa Ki Sanak tidak ikut lari bersama para pengikut
Panembahan Cahya Warastra?” bertanya Mlayawerdi disela-sela kesibukannya
menghindari serangan lawannya.
“Aku bukan pengecut..!” teriak Alap Alap Siwurbang sambil
memutar trisulanya mencoba untuk mengait senjata Mlayawerdi.
Mlayawerdi tersenyum sambil menarik pedangnya untuk
menghindari jepitan trisula lawannya. Katanya kemudian, “Persoalannya bukan
masalah pengecut atau pemberani. Namun keselamatan diri itu yang lebih
penting.”
“Gila..!” bentak lawannya, “Aku akan merobek mulutmu dengan
ujung trisulaku ini. Teruslah mengoceh, aku tidak perduli.”
“He! Sudah berapa kali Ki Sanak ingin merobek mulutku?”
bertanya Mlayawerdi sambil merunduk dalam-dalam menghindari sambaran trisula
yang mengarah kepala, “Aku khawatir justru ujung pedangku inilah yang terlebih
dahulu akan menyayat dadamu.”
“Omong kosong..!” kembali Alap Alap Siwurbang membentak.
Dihentakkannya segenap kemampuannya untuk membenturkan trisulanya dengan pedang
lawannya.
Namun Mlayawerdi bukan anak kemarin sore yang baru belajar
olah kanuragan selangkah demi selangkah. Kemampuannya bermain pedang sangat
mengagumkan walaupun harus diakui bahwa tenaga lawannya sangat besar. Namun
dengan kecerdikannya Mlayawerdi selalu berusaha menghindari benturan dengan
senjata lawannya.
Beberapa tombak dari tempat Mlayawerdi menyabung nyawa, Ki Citra
Jati dengan sangat tenang melayani pemimpin perguruan Jambe Wangi, Ki Bagus
Lelana. Agaknya lawan Ki Citra jati ini tidak bertempur dengan sungguh-sungguh
menilik dari sikapnya yang tidak tenang. Berkali-kali Ki Bagus Lelana ini
berpaling ke arah pertempuran antara anak-anak Nyi Citra jati melawan
murid-murid perguruan Pamulatsih.
“Ki Bagus Lelana,” berkata Ki Citra Jati kemudian, “Aku sama
sekali tidak mengerti. Mengapa Ki Bagus kelihatannya tidak tertarik bertempur
melawan orang tua seperti aku ini?”
Ki Bagus Lelana tertawa pendek sambil melompat mundur.
Jawabnya kemudian, “Aku memang tidak tertarik sama sekali untuk bertempur
melawan orang tua sepertimu Ki,” dia berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aku
lebih tertarik untuk bertempur melawan gadis-gadis itu. Mereka tampak sangat
cantik dan menarik.”
Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Dugaannya memang tidak
meleset. Melihat sinar mata yang liar dan wajah yang bersih serta terkesan
sedikit pesolek, ayah angkat Glagah Putih dan Rara Wulan ini dapat menebak
bahwa lawannya adalah seorang laki-laki yang senang bermain perempuan.
“Nah,” berkata Ki Bagus Lelana kemudian, “Apakah kita masih
perlu meneruskan pertempuran ini?”
“Ya,” jawab Ki Citra Jati mantap, “Aku tidak akan membiarkan
Ki Bagus Lelana menyentuh anak-anakku.”
“He..!” Ki Bagus Lelana terkejut, “Apa katamu? Gadis-gadis
itu anak-anakmu? Bagaimana mungkin, Kau sudah tua bangka dan mereka masih
sangat muda dan cantik. Tidak pantas menjadi anakmu bahkan cucumu sekalipun.”
Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Lawan di depannya
ini sesungguhnya sangat berbahaya, bukan karena ketinggian ilmu kanuragannya,
namun sifatnya yang senang bermain-main dengan perempuan muda dan cantik akan
sangat membahayakan kehidupan bebrayan.
“Ki Bagus Lelana,” akhirnya Ki Citra Jati segera mengambil
keputusan, “Aku tidak akan membiarkan Kau menyentuh anak-anakku walaupun hanya
seujung rambut. Aku masih memberimu kesempatan untuk kembali ke jalan yang
benar dengan satu syarat, buang jauh-jauh sifat jahat yang telah terpendam
sekian lama dalam relung hatimu. Bertobatlah dengan sepenuh kesungguhan hati,
semoga Yang Maha Agung memberimu ampunan dan menunjukkan jalan-Nya yang terang
benderang.”
Ki Bagus Lelana mengerutkan keningnya sejenak mendengar
sesorah lawannya. Tiba-tiba saja sebuah senyuman mengembang di bibirnya.
Beberapa saat kemudian tawanya pun meledak.
“Ki Citra Jati,” katanya kemudian di sela-sela tawanya yang
berderai-derai, “Sudah berpuluh kali aku mendengar sesorah seperti ini dan aku
tahu apa yang harus aku perbuat untuk selanjutnya.”
Kembali orang tua angkat Glagah Putih itu mengerutkan
kening. Katanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Apakah yang akan Kau
perbuat, Ki bagus Lelana?”
Ki Bagus Lelana sudah tidak tertawa lagi. Pandangan matanya
tajam menatap lawannya yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Tiba-tiba
dengan sebuah teriakan menggelegar dia menerjang ke depan.
“Aku akan membunuhmu..!” teriak pemimpin perguruan Jambe
Wangi itu sambil mengayunkan tangannya yang terkepal menghantam kening.
Ki Citra Jati sama sekali tidak terkejut mendapat serangan
mendadak dari lawannya. Dengan sedikit memiringkan kepala, serangan itu lewat
sejengkal dari sasarannya. Sebagai gantinya, dengan cepat siku kanan Ki Citra
Jati menusuk lambung ki bagus Lelana yang terbuka.
Tentu saja Ki bagus Lelana tidak akan membiarkan lambungnya
terkena serangan lawannya. Sambil berkelit ke samping kanan, lutut kaki kirinya
terayun ke atas menghantam lambung.
Demikianlah kedua orang yang mempunyai perbedaan umur yang
cukup jauh itu kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu, Nyi Citra Jati dibantu oleh Putut Darpa dan
Putut Darpita melawan sepuluh orang Putut yang terpilih dari
perguruan-perguruan yang bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra
telah mengalami kegoncangan yang dahsyat. Kesepuluh Putut itu agaknya telah
mendapat bekal yang cukup untuk bertempur dalam kelompok. Mereka berputar,
bergeser dan menghindar dalam gerakan yang sangat teratur dan rapi. Nyi Citra
Jati dan kedua Putut itu memang telah terkepung dalam lingkaran lawan. Mereka
bertiga hanya dapat bertahan dan saling membantu satu sama lain jika
lawan-lawan mereka bergerak bersama menyerang dalam susunan yang aneh namun
rapi dan sangat membingungkan.
Senjata-senjata lawan yang berputaran, menebas, menusuk dan
sesekali secara bersamaan kesepuluh senjata itu susul menyusul bergerak tegak
berjajar-jajar bagaikan sebuah pagar yang mengurung ketiga lawannya.
Cambuk di tangan Putut-Putut itu tak henti-hentinya
meledak-ledak memekakkan telinga. Sementara Nyi Citra jati melayani
lawan-lawannya hanya dengan tangan kosong.
“Aku harus membuka kepungan ini,” berkata Nyi Citra Jati
dalam hati, “Aku yakin dengan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce, lingkaran yang
membingungkan ini akan pecah berantakan.”
Berpikir sampai di sini, Nyi Citra Jati segera mengetrapkan
Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Namun Ibu angkat Rara Wulan ini tidak
mengetrapkan kekuatan ajinya sampai puncak. Dia hanya mengerahkan kekuatan aji
pacar wutah Puspa rinonce hanya setengahnya saja.
Sejenak kemudian ketika seorang lawannya mendekat dengan
sebuah serangan mendatar pada lambungnya, dengan tangkasnya Nyi Citra Jati
berkelit ke kiri. Seorang lawannya yang lain segera menyusul dengan sebuah
tusukan ke arah leher. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Nyi Citra Jati.
Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, tusukan itu lewat hanya setebal jadi dari
lehernya. Pada saat yang bersamaan, telapak tangan kanan Nyi Citra Jati
meluncur menghantam dada.
Kejadian itu sangat cepat. Belum sempat Putut itu menarik
kembali pedangnya, sebuah hantaman yang dahsyat telah mendera dadanya.
Terdengar sebuah keluhan tertahan sebelum akhirnya tubuh Putut itu terhuyung
beberapa langkah ke belakang dan jatuh terlentang dengan dada bersimbah darah
bagaikan ditusuk ribuan jarum sampai tembus ke jantung.
Segera saja lingkaran pertempuran itu menjadi gempar.
Kawan-kawannya yang melihat kedahsyatan dari akibat Aji Pacar Wutah Puspa
Rinonce itu menjadi gentar. Salah seorang putut yang dituakan untuk memimpin
kawan-kawannya segera memberi isyarat dengan sebuah suitan yang pendek dan
melengking tinggi menyakitkan telinga.
Beberapa saat kemudian sebelum Nyi Citra jati dan kedua
putut itu menyadari apa yang akan diperbuat lawan-lawan mereka, tiba-tiba saja
lawan-lawan mereka telah bergerak bersama-sama dalam irama aneh. Mereka telah
membenturkan pedang-pedang mereka satu sama lain sambil berteriak-teriak dan
bergerak meloncat kesana-kemari tidak karuan. Ketika Nyi Citra Jati masih
dibingungkan oleh tingkah polah lawan-lawannya, tiba-tiba terdengar sebuah
keluhan tertahan dari mulut Putut Darpita yang berdiri beberapa langkah di
samping kirinya.
Ternyata tingkah yang aneh itu hanyalah sebuah cara untuk
mengalihkan perhatian lawan. Ketika Putut Darpa dan Darpita masih terpesona
dengan tingkah polah lawan-lawan mereka, tanpa sebuah ancang-ancang, senjata
salah seorang lawannya telah menggores pundak Putut Darpita. Sementara Putut
Darpa yang lebih tua dan berpengalaman masih sempat bergeser setapak ke samping
ketika sebuah ujung pedang hampir saja melubangi dadanya.
Putut Darpa menggeram marah begitu melihat adiknya terluka.
Dengan cepat diputar cambuknya untuk menekan lawan-lawannya agar bergeser
mundur mengambil jarak. Kemudian dengan sebuah hentakan sendal pancing, ujung
cambuknya menggeliat mematuk dada lawannya yang berdiri paling dekat.
Ternyata lawannya telah waspada sebelumnya. Dengan
tangkasnya dia melompat ke kanan dan justru mengarahkan senjatanya kepada Putut
Darpita yang telah terluka.
Nyi Citra Jati terkejut. Tentu saja dia tidak akan
membiarkan Putut Darpita mengalami kesulitan sementara dia sedang berusaha
mengobati lukanya. Dengan sebuah loncatan panjang, Nyi Citra Jati memotong arah
serangan lawan yang meluncur mengarah ke Putut Darpita.
Benturan yang keras telah melontarkan pengikut Panembahan
Cahya Warastra yang ingin mencederai Putut Darpita itu. Sekali lagi Aji Pacar
Wutah Puspa Rinonce telah memakan korban. Aji yang dahsyat itu telah menghantam
tubuhnya dan melemparkannya jatuh terjengkang dengan nyawa yang telah lepas dari
tubuhnya.
Kembali jumlah para Putut perguruan-perguruan yang tergabung
dalam pasukan Panembahan Cahya Warastra itu berkurang. Melihat gelagat yang
kurang menguntungkan, Putut yang dituakan diantara mereka segera bersuit
nyaring. Sekali ini nadanya panjang melengking membelah udara malam.
Sebelum Nyi Citra Jati bersama kedua Putut dari padepokan
Jati Anom itu mengambil sikap, dengan sangat cepatnya lawan-lawan mereka telah
menyelinap di antara gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di medan
dan menghilang dalam gelapnya malam.
“Adi Darpita, Kau tidak apa-apa?” bertanya Putut Darpa
setelah lawan-lawan mereka sudah tidak tampak lagi.
“Tidak kakang,” jawab Putut Darpita, “Namun aku kesulitan
menaburkan obat untuk memampatkan aliran darah ini karena tempat lukanya diluar
jangkauanku.”
“Biarlah aku yang mengobatimu,” berkata Putut Darpa kemudian
sambil menerima bumbung kecil dari tangan adiknya. Dengan perlahan dan sangat
hati-hati, salah satu murid orang bercambuk dari padepokan Jati Anom itu
menaburkan serbuk yang berwarna kehijau-hijauan ke tempat luka.
Sejenak Putut Darpita berdesis perlahan sambil
menggeretakkan giginya menahan pedih yang terasa menyengat. Namun beberapa saat
kemudian dengan perlahan terasa perasaan pedih itu menghilang dan sebagai
gantinya perasaan sejuk terasa di sekitar luka yang cukup lebar dan dalam itu.
“Marilah,” berkata Nyi Citra Jati yang ternyata telah
melangkah mendekat, “Pertempuran ini kelihatannya sudah hampir selesai, hanya
tinggal dua lingkaran pertempuran yang masih berlangsung dengan sengit.”
Kedua Putut dari Jati Anom itu sekilas berpaling. Ketika
mereka kemudian mengedarkan pandangan mata ke seluruh medan pertempuran di
sayap kanan, tampak Mlayawerdi sedang bertempur dengan sengitnya melawan
seorang yang tandangnya sangat cekatan bagaikan seekor burung alap-alap.
Sedangkan lingkaran pertempuran yang lain tampak anak-anak Nyi Citra jati
sedang bertempur berkelompok melawan murid-murid perguruan Pamulatsih.
Sementara beberapa tombak dari tempat Mlayawerdi bertempur, Ki Citra Jati
tampak sedang berjongkok merenungi sesosok tubuh yang terbujur diam.
Ketika Nyi Citra Jati dan kedua Putut dari Jati Anom itu
mendekat, dengan perlahan Ki Citra Jati bangkit berdiri sambil menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku terpaksa membunuhnya. Orang ini mempunyai
watak yang kurang baik. Aku sudah memberinya kesempatan untuk bertobat dan
memperbaiki tingkah lakunya yang sangat berbahaya bagi kehidupan bebrayan,
terutama bagi para perempuan muda dan gadis-gadis. Namun agaknya dia bersikeras
untuk mempertahankan sikapnya sehingga aku telah memutuskan untuk mengakhiri
perlawanannya.”
Nyi Citra Jati dan kedua Putut itu diam-diam bergidik.
Mereka membayangkan betapa berbahayanya orang itu seandainya dia masih
dibiarkan hidup dan berkeliaran dalam kehidupan bebrayan? Akan sangat banyak
perempuan yang akan menderita seumur hidup dan tercampakkan bagaikan sampah di
mata para kawula walaupun apa yang sebenarnya telah terjadi itu bukan kesalahan
mereka dan bahkan bukan kehendak mereka.
“Marilah kita melihat anak-anak kita dan Mlayawerdi,”
berkata Ki Citra Jati setelah beberapa saat mereka terdiam, “Agaknya mereka
membutuhkan perhatian kita.”
Demikianlah dengan beriringan keempat orang itu berjalan
mendekati dua lingkaran pertempuran yang belum ada tanda-tandanya akan
berakhir.
Dalam pada itu, sebuah pedati sedang berjalan dengan
malasnya menyusuri jalan padukuhan induk yang gelap dan sepi menuju ke kediaman
Ki Gede Menoreh. Kiai Sabda Dadi yang duduk di belakang bersandaran dinding
pedati tampak menjulurkan kedua kakinya sambil memejamkan kedua matanya.
Sementara Pandan Wangi yang duduk di dalam tampak memeluk lutut sambil matanya
menerawang, entah apa yang sedang dipikirkan oleh putri satu-satunya kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu.
Ki Rangga Agung Sedayu yang masih belum sadarkan diri
terbaring diam di atas tumpukan jerami kering yang empuk tepat di depan Pandan
Wangi yang duduk sambil memeluk lutut. Goncangan roda pedati yang sesekali
mengguncang tubuhnya ternyata tidak membuatnya segera tersadar dari pingsan.
Sesekali pandangan mata Pandan Wangi menyambar seraut wajah
orang yang tergolek di depannya. Entah sudah berapa kali Pandan Wangi tak
bosan-bosannya memandangi wajah yang baginya sama sekali tidak banyak mengalami
perubahan sejak pertama kali mereka bertemu. Wajah yang luruh dan rendah hati.
Pandan Wangi menarik nafas dalam sekali. Entah mengapa
perasaan yang telah dipendamnya bertahun tahun itu seolah-olah menggeliat dan
muncul ke permukaan hatinya. Hati yang untuk ke sekian kalinya telah
dikecewakan oleh suaminya, sehingga terkadang terbesit sebuah dendam untuk
membalas perlakuan suaminya terhadap dirinya selama ini.
“Ah,” Pandan Wangi berdesah dalam hati, “Tidak sepantasnya
aku membalas perlakuan Kakang Swandaru kepadaku selama ini. Apalagi jika
pembalasan dendam itu ternyata justru akan menyakiti hati orang lain, hati
Sekar Mirah.”
Kembali Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dihembuskannya kuat-kuat seolah-olah ingin ditumpahkan seluruh permasalahan
yang telah membelit hatinya selama ini.
“Nyi Pandan Wangi,” tiba-tiba terdengar suara Kiai Sabda
Dadi membuyarkan lamunan Pandan Wangi, “Sebaiknya Nyi Pandan Wangi berbaring
saja di sebelah Ki Rangga. Nyi Pandan Wangi masih membutuhkan istirahat yang
cukup untuk memulihkan tenaga. Nyi Pandan Wangi telah kehilangan banyak darah
sehingga memerlukan istirahat yang cukup.”
“Terima kasih,” jawab Pandan Wangi, “Aku sudah beristirahat
cukup lama di padukuhan induk tadi. Aku lebih senang duduk saja dari pada
berbaring di sisi Ki Rangga agar tidak mengganggunya.”
Kiai Sabda Dadi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Sebagai orang yang telah menekuni ilmu pengobatan bertahun-tahun, dia
mengetahui dengan pasti bahwa Pandan Wangi memerlukan istirahat, namun agaknya
putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu merasa segan untuk
berbaring bersebelahan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
Kembali suasana dicekam oleh sepi. Hanya suara derit roda
pedati yang bergerak melindas jalur sepanjang jalan ditingkah dengan suara
bergemerontangnya klinting lembu penarik pedati.
“Kiai Sabda Dadi,” tiba-tiba Pengawal Menoreh yang menjadi
sais pedati berkata dengan suara sedikit keras, “Di depan ada dua orang yang
berdiri menghalangi jalan kita.”
Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya sambil bangkit merenggangkan
punggungnya dari dinding pedati. Katanya kemudian, “Mungkin mereka hanya para
Petani yang sedang mengairi sawahnya di malam hari.”
“Mungkin,” desis pengawal itu, “Namun aku tidak yakin kalau
mereka itu para Petani yang sedang mengairi sawah. Tidak seharusnya mereka
berdiri di tengah-tengah jalan dan seolah olah ingin menghentikan jalannya
pedati ini.”
“Kau jangan terlampau berprasangka,” potong Kiai Sabda Dadi,
“Mungkin mereka merasa aneh saja dan ingin mengetahui siapa yang mengendarai
pedati malam-malam begini. Setelah mereka mengetahui bahwa yang ada di dalam
pedati ini adalah Nyi Pandan Wangi putri satu-satunya Ki Gede Menoreh dan Ki
Rangga Agung Sedayu yang sedang terluka, mereka pasti akan segera menyingkir
dan meminta maaf atas kelancangan mereka menghentikan jalannya pedati ini.”
Sejenak pengawal itu terdiam. Namun ketika pedati itu
semakin dekat dengan dua orang yang berdiri menghadang di tengah jalan, jantung
pengawal itu pun berdegup menjadi semakin kencang.
Ketika pedati yang membawa Ki Rangga Agung sedayu dan Pandan
Wangi itu semakin dekat, tampak kedua orang yang berdiri di tengah-tengah jalan
itu mengangkat tangannya.
“Berhentilah Ki sanak, aku ingin berbicara,” berkata salah
seorang dari keduanya.
Pengawal itu sejenak berpaling ke belakang, namun agaknya
Kiai Sabda Dadi sedang sibuk memeriksa Ki Rangga yang masih terbaring diam.
Akhirnya dengan perlahan pengawal Menoreh itu menarik tali
kekang lembu-lembu itu untuk menghentikan jalannya pedati.
“Adakah sesuatu yang penting Ki Sanak?” bertanya Pengawal
Menoreh itu sambil meloncat turun.
Kedua orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu segera
melangkah mendekat. Salah seorang yang berperawakan lebih tinggi berkata sambil
membentak, “Jangan banyak cakap! Kami masih mempunyai rasa belas kasihan kepada
selembar nyawamu. Sekarang pergilah jauh-jauh dan jangan pernah kembali. Kami
ingin memiliki pedati ini beserta seluruh isinya.”
Pengawal Menoreh itu mengerutkan keningnya. Ditebarkan
pandangan matanya ke sekeliling untuk melihat barangkali mereka itu tidak hanya
berdua. Keadaan akan berkembang semakin buruk jika ternyata orang-orang itu
adalah para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang telah melarikan diri dan
mengetahui bahwa Ki Rangga Agung Sedayu berada di dalam pedati dalam keadaan terluka.
“Ki Sanak,” berkata Pengawal Menoreh itu setelah sejenak
terdiam, “Pedati ini bukan milik kami. Kami meminjamnya dari seseorang di
padukuhan induk untuk mengangkut beras dan beberapa peralatan dapur untuk para
prajurit Mataram dan pengawal Menoreh yang baru saja selesai bertempur. Mereka
harus segera mendapatkan ransum makan malam karena seharian mereka belum makan
sama sekali.”
“Bohong!” bentak yang bertubuh tinggi, “Aku akan mencekikmu
sampai mati jika Kau berbohong!”
“Aku tidak berbohong, ki Sanak,” jawab pengawal itu, “Aku
bersama kawanku akan pergi ke kediaman Ki Gede Menoreh untuk mengambil beras
dan beberapa peralatan yang diperlukan.”
“He!” tiba-tiba yang bertubuh agak pendek ikut membentak,
“Berapa orang yang berada di dalam pedati itu!”
“Kami hanya berdua,” jawab pengawal Menoreh itu sambil
berpaling ke belakang. Namun ternyata Kiai Sabda Dadi belum menampakkan diri.
Dalam pada itu Kiai Sabda Dadi ternyata telah berpikir
dengan cepat. Katanya kemudian kepada Pandan Wangi yang masih duduk memeluk
lutut, “Maafkan aku sebelumnya Nyi. Keadaan mungkin akan berkembang menjadi
semakin gawat. Aku mohon sudilah kiranya Nyi Pandan Wangi untuk berbaring di
sebelah Ki Rangga. Aku akan menimbuni kalian berdua dengan sisa-sisa jerami
yang ada agar tidak tampak dari luar pedati akan keberadaan kalian.”
Sejenak rona merah mewarnai wajah cantik itu. Jawabnya
kemudian dengan sedikit kesal, “Aku masih sanggup bertempur, Kiai. Jangan paksa
aku untuk menjadi seorang pengecut.”
“Bukan maksudku Nyi,” cepat-cepat Kiai Sabda Dadi memotong,
“Kita belum tahu siapa mereka dan berapa kekuatannya. Silahkan untuk membela
diri jika itu memang terpaksa. Namun aku sarankan Nyi Pandan wangi untuk tetap
berbaring di sebelah Ki Rangga dengan tujuan mengaburkan pengamatan mereka. Jika
keadaan memaksa, Nyi Pandan wangi dapat menyerang dengan tiba-tiba dari tempat
berbaring siapapun yang mencoba memasuki pedati ini.”
Pandan Wangi termenung. Berbagai perasaan bergejolak dalam
dadanya. Ada perasaan malu dan risih. Namun entah mengapa, tidak dapat
dipungkiri jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam telah terdengar lagu
cinta yang mendayu-dayu untuk menyambut permintaan Kiai Sabda Dadi itu.
“Marilah, Nyi. Agak cepat sedikit,” berkata Kiai Sabda Dadi
membuyarkan mimpi indah Pandan Wangi, “Aku harus segera keluar dari pedati ini
agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang menghadang di tengah jalan
itu.”
Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Namun ketika didengarnya
sekali lagi suara bentakan menggelegar, Pandan Wangi sudah tidak mempunyai
pilihan lagi. Dengan tergesa-gesa dibaringkan tubuhnya di sisi kiri Ki Rangga
yang masih belum sadarkan diri. Luka di lengan kirinya yang sudah dibebat oleh
Kiai Sabda Dadi kadang masih terasa menyengat sehingga Pandan Wangi harus
berbaring agak miring ke arah kanan agar lengan kirinya tidak bersentuhan
langsung dengan lantai pedati.
Dengan cepat Kiai Sabda Dadi segera menimbuni kedua orang
itu dengan sisa-sisa jerami yang ada. Sehingga sejenak kemudian ketika kedua
orang itu sudah tidak tampak lagi, Kiai Sabda Dadi pun segera meloncat keluar
dari pedati.
Sepeninggal Kiai Sabda Dadi, Pandan wangi benar-benar harus
berjuang melawan dirinya sendiri. Gemuruh di dalam dadanya telah menyesakkan
dada dan menghentak-hentak jantung sehingga nafas Pandan Wangi menjadi
terengah-engah bagaikan nafas seekor kuda betina yang sedang dipacu di tengah
padang yang gersang.
Sesekali Pandan Wangi mencoba mengubah kedudukan tubuhnya
yang miring ke kanan dengan sedikit menggeser tubuhnya ke kiri agak menjauh
dari tubuh Ki Rangga Agung Sedayu yang terbujur diam. Namun ketika dia mencoba
menggeser tubuhnya dengan bertumpu pada tangan kanannya yang berhimpitan dengan
bahu Ki Rangga, ternyata tanpa disengaja bagian dadanya telah bersentuhan
dengan bahu Ki Rangga.
Tiba-tiba sebuah desir tajam telah menghunjam jantungnya.
Darah yang mengalir dalam tubuhnya terasa menjadi semakin cepat dan hangat
sehingga beberapa saat kemudian tubuh Pandan Wangi pun bagaikan menggigil
kedinginan karena menahan hasrat yang dahsyat menghentak-hentak dadanya.
“Tidaak..!” teriak Pandan Wangi dalam hati mencoba menahan
getaran aneh yang mulai merayapi sekujur tubuhnya, “Ini tidak boleh terjadi.
Semoga aku diberi kekuatan untuk melewati hal yang tersulit dalam hidupku ini.”
Dengan mengerahkan segenap kekuatan batinnya, Pandan Wangi
mulai memusatkan segenap nalar budinya untuk meredam getaran-getaran aneh yang
telah membuat jantungnya berpacu melonjak-lonjak tak terkendali.
Dalam pada itu Kiai Sabda Dadi dan Pengawal Menoreh terlihat
sedang menghadapi dua orang yang tak dikenal yang berusaha untuk merampas
pedati mereka.
“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Kiai Sabda Dadi yang sudah
berdiri di sebelah Pengawal Menoreh, “Kalian tidak usah berbelit-belit. Katakan
saja maksud dan tujuan Ki Sanak menghentikan pedati kami. Kami tidak punya
waktu lagi untuk melayani kalian. Kami harus kembali ke padukuhan induk dengan
membawa beras dan perbekalan lainnya untuk pasukan Mataram dan Menoreh besok
pagi.”
“Kami tidak peduli,” geram yang berperawakan lebih tinggi,
“Serahkan pedati kalian dan kami akan mengampuni nyawa kalian yang tidak
berarti.”
“Kalian salah,” jawab Kiai Sabda Dadi kemudian, “Justru
nyawa kami sangat berharga saat ini untuk mengemban tugas menolong pasukan yang
kekurangan bekal. Sebaiknya kalian segera menyingkir dari jalan sebelum kami
memutuskan untuk menangkap kalian dan menyerahkan kepada para peronda yang
mungkin akan segera lewat di daerah ini.”
Kedua orang itu sejenak mengerutkan kening dalam-dalam
sambil memandang satu dengan yang lainnya. Tiba-tiba yang bertubuh agak pendek
maju ke depan selangkah sambil membentak, “He! Tahukah kalian dengan siapa
kalian sekarang ini berhadapan? Kami adalah sepasang iblis bertangan badai dari
tepian kali dadung. Sebaiknya kalian segera menyadari kekerdilan kalian di hadapan
kami. Segeralah menyingkir, mumpung tingkah laku kalian belum memancing
kemarahan kami untuk membunuh kalian berdua.”
Sejenak Kiai Sabda Dadi dan Pengawal Menoreh itu saling
pandang. Keduanya merasa belum pernah mendengar gelar yang terdengar sangat aneh
di telinga mereka. Namun demikian Kiai Sabda Dadi pada dasarnya tidak pernah
menganggap remeh lawannya. Oleh karena itu katanya kemudian, “Maafkan kami
sebelumnya Ki Sanak. Rasa-rasanya kami berdua belum pernah berurusan dengan
sepasang iblis bertangan badai dari tepian kali dadung. Aku mohon kita
masing-masing dapat menahan diri karena sebenarnya lah kita memang belum pernah
bertemu dan tidak mempunyai sangkut-paut dalam masalah apapun.”
“Tutup mulutmu!” bentak yang bertubuh tinggi memotong ucapan
Kiai Sabda Dadi, “Kami memang sengaja membuat masalah dengan kalian. Kami tidak
akan berbelit-belit lagi. Persetan dengan segala alasan yang kalian buat.
Serahkan Ki Rangga Agung Sedayu dan kalian boleh melanjutkan perjalanan
kalian.”
Terkesiap Kiai Sabda Dadi dan Pengawal Menoreh itu demi
mendengar kata-kata salah seorang yang bertubuh lebih tinggi. Kini mereka
berdua sadar bahwa tidak menutup kemungkinan perjalanan mereka membawa Ki
Rangga Agung Sedayu menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh telah tercium oleh para
pengikut Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah kalian pengikut Panembahan Cahya Warastra?” bertanya
Kiai Sabda Dadi mencoba meyakinkan dugaannya.
“Itu bukan urusan kalian. Yang jelas kami berdua datang
jauh-jauh ke bukit Menoreh ini dengan membawa dendam sedalam lautan untuk
membalas perbuatan Ki Rangga Agung Sedayu yang telah membunuh Guru kami.”
Sejenak Kiai Sabda Dadi termenung. Tanpa disadarinya sebuah
pertanyaan terlontar begitu saja dari bibirnya, “Siapakah Guru Ki Sanak?”
Kedua orang yang bergelar sepasang iblis bertangan badai
dari tepian kali dadung itu untuk beberapa saat membeku. Hanya dua pasang mata
yang bergerak liar itu menatap Kiai Sabda Dadi dengan garangnya.
“Aku pernah mendengar seorang pemimpin perguruan yang sangat
sakti di ujung kali dadung,” tiba-tiba saja Kiai Sabda Dadi berkata memecah
kebekuan, “Pideksa, ya..orang itu bernama Pideksa yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Ki Ajar Kumuda.”
Sepasang iblis itu masih berdiam diri. Agaknya mereka
berusaha menyamarkan jati diri mereka menilik tanggapan yang mereka berikan
terhadap kata-kata Kiai Sabda Dadi.
Ketika Kiai Sabda Dadi akan meneruskan kata-katanya,
tiba-tiba sepasang iblis yang bertubuh agak pendek telah membentak sambil
meloncat menyerang, “Tutup mulutmu atau aku yang akan menyumbat mulut kotormu
itu dengan tumitku.”
Mendapat serangan mendadak itu tenyata tidak membuat Kiai
Sabda Dadi gugup. Dengan tenang kakek Damarpati itu menggeser tubuhnya miring
ke samping sehingga tendangan lawannya mengenai tempat kosong.
Begitu melihat kawannya yang bertubuh pendek telah memulai
menyerang Kiai Sabda Dadi. Iblis dari tepian kali dadung yang satunya segera
melangkah mendekati Pengawal Menoreh.
“Menyerahlah,” berkata iblis itu, “Aku akan membunuhmu
dengan cara yang tidak menyakitkan. Dengan sekali tusuk, jantungmu akan pecah
dan hanya sekejap saja Kau akan mengalami kesakitan.”
Pengawal itu tertawa pendek sambil berpaling sekilas ke arah
Kiai Sabda Dadi yang sudah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Jawabnya
kemudian, “Aku akan sangat berterima kasih Ki Sanak jika memang benar Kau akan
memperlakukan aku sedemikian baiknya di saat-saat terakhir. Namun yang sekarang
menjadi beban pertanyaan di hatiku adalah, apakah tidak sebaiknya Ki Sanak saja
yang menyerah? Kami tidak akan membunuh kalian, karena itu memang bukan
wewenang kami. Kalian akan kami serahkan kepada Pemerintahan Mataram yang
mempunyai hak untuk mengadili kalian.”
“Omong kosong!” bentak iblis yang bertubuh tinggi itu, “Kau
jangan mimpi dapat mengalahkan kami. Sebelum ayam berkokok untuk yang pertama
kali, aku jamin kalian berdua sudah terbujur kaku menjadi mayat.”
Pengawal Menoreh itu tersenyum sambil memandang wajah
lawannya dalam keremangan malam. Katanya kemudian, “Tidak usah terlalu banyak
sesorah Ki Sanak. siapapun kalian dan apapun julukan kalian, iblis , setan atau
pun gendruwo tetekan, kami orang-orang Menoreh sudah terbiasa menghadapi sebuah
pertempuran. Tidak usah membual. Sebentar lagi para peronda akan melewati
tempat ini dan kalian sudah tidak mendapat kesempatan untuk menghindar.”
“Omong kosong!” kembali iblis yang bertubuh tinggi itu
membentak, “Orang-orang Menoreh memang sombong dan licik. Namun satu hal yang
kalian akan segera menyadari, Ki Rangga Agung Sedayu yang kalian agung-agungkan
itu akan segera mati di tangan kami tanpa perlawanan yang berarti.”
“Bukankah itu curang namanya?” bertanya Pengawal Menoreh
itu, “Kalau memang kalian berdua jantan, tunggulah Ki Rangga sampai sembuh.
Dengan senang hati Ki Rangga tentu akan menerima tantangan kalian.”
“Kami tidak bodoh,” geram orang itu, “Begitu kami menunggu
Ki Rangga sampai sembuh, kalian seisi Tanah Perdikan Menoreh ini tentu akan
beramai-ramai menangkap kami seperti laku menangkap para pencuri.”
“Tentu tidak,” jawab Pengawal itu dengan serta merta, “Kami
bukan segolongan orang-orang yang pengecut. Kalian tentu sudah mendengar berapa
kali Ki Rangga menerima tantangan orang-orang berilmu tinggi dan Ki Gede
Menoreh serta para pengawal selama ini tidak pernah ikut campur.”
“Kakang!” tiba-tiba iblis bertangan badai yang sedang
bertempur melawan Kiai Sabda Dadi berteriak, “Jangan layani ocehannya. Dia
mencoba mengulur waktu sambil menunggu para peronda yang barangkali akan
melewati tempat ini. Cepat selesaikan orang tidak berguna itu dan kita segera
membawa Ki Rangga meninggalkan tempat ini.”
“Gila!” geram iblis bertangan badai yang dipanggil Kakang
itu, “Ternyata aku terpancing dengan akal licikmu. Terimalah kematianmu
sekarang juga.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu jawaban lawannya,
iblis bertangan badai yang bertubuh tinggi itu segera meluncur menerjang
lawannya.
Segera saja dua buah lingkaran pertempuran yang dahsyat
terjadi. Ternyata kedua orang yang menyebut dirinya sepasang iblis bertangan
badai dari Kali Dadung itu telah meninggalkan medan pertempuran begitu
Panembahan Cahya Warastra jatuh tersungkur di medan perang tanding melawan Ki
Rangga Agung Sedayu. Mereka berdua yang sempat melihat Ki Rangga terlempar jauh
melewati dinding padukuhan induk segera berusaha lolos dari medan dan mengejar
ke tempat jatuhnya Ki Rangga.
Namun ternyata gerak mereka terlambat karena kedua orang itu
tidak mungkin langsung menyeberangi medan pertempuran yang riuh menuju
padukuhan induk. Kedua orang itu harus menempuh jalan melingkar untuk sampai ke
tempat Ki Rangga terjatuh. Dengan berlindung di antara lorong-lorong dan
dinding-dinding rumah di padukuhan induk, kedua orang itu akhirnya berhasil
mendekati tempat terjatuhnya Ki Rangga.
Namun alangkah kecewanya mereka. Sesampainya mereka berdua
di tempat itu, Ki Rangga ternyata telah dibawa ke sebuah rumah yang digunakan
sebagai tempat balai pengobatan sementara.
Demikianlah sambil terus melihat dan mengawasi perkembangan
keadaan dari tempat persembunyian mereka, kedua orang itupun akhirnya berencana
untuk mencegat Ki Rangga di tengah bulak yang menuju kediaman Ki Gede Menoreh
begitu mereka melihat sebuah pedati telah digunakan untuk mengangkut Ki Rangga
yang terluka parah.
“Hanya dua orang yang ikut di pedati itu,” desis salah satu
iblis bertangan badai kepada kawannya.
“Bagaimana dengan perempuan itu?” bertanya kawannya begitu
melihat Pandan Wangi ikut naik ke atas pedati.
“Tidak ada gunanya. Perempuan itu sudah hampir mati.
Lihatlah wajahnya yang pucat pasi. Kelihatannya dia telah kehabisan banyak
darah karena lukanya di lengan kiri itu.”
“Alangkah sombongnya,” sahut kawannya kembali, “Mereka
seharusnya membawa pengawal segelar sepapan untuk mengawal Ki Rangga yang
terluka parah.”
“Mungkin mereka beranggapan keadaan sangat aman karena
mereka berada di daerah mereka sendiri.”
Kawannya sejenak termenung. Namun kemudian sebuah senyum
kecil menghias bibirnya. Katanya kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepala,
“Ternyata kelengahan mereka akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi kita.
Dendam setinggi gunung dan sedalam lautan ini akan segera terbalaskan.”
Kawannya tidak menyahut. Namun kedua orang itu dengan
tergesa-gesa segera bergeser dari tempat persembunyian mereka untuk mengikuti
pedati yang tampak mulai bergerak meninggalkan balai pengobatan.
Demikianlah akhirnya sepasang iblis bertangan badai dari
kali dadung itu telah berhasil menghentikan pedati yang membawa Ki Rangga di
tengah-tengah bulak.
Dalam pada itu pertempuran telah meningkat dengan cepat.
Kedua iblis itu telah membuktikan bahwa julukan mereka bukanlah tanpa arti.
Dari kedua tangan iblis itu telah berputaran dengan dahsyat angin yang
mengandung hawa panas dan melibat lawan-lawan mereka kemanapun lawan-lawan
mereka itu mencoba menghindar.
Yang kemudian menjadi sangat terdesak adalah Pengawal dari
Menoreh itu. Dia hanya dapat meloncat mundur dan mundur terus. Kemampuannya
dalam olah kanuragan masih belum dapat disejajarkan dengan kemampuan lawannya,
Iblis Bertangan Badai dari Kali Dadung.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari betapa gawatnya keadaan
pengawal Menoreh itu belum dapat berbuat banyak. Lawannya telah membatasi gerak
Kakek Damarpati itu dengan mengurungnya dari segala penjuru. Pusaran angin yang
keluar dari kedua belah telapak tangan lawannya benar-benar nggegirisi. Ketika
pada suatu saat serangan lawannya dapat dihindari dan mengenai sebuah dahan
pohon di pinggir jalan yang menjorok rendah ke jalan, dahan itu pun bagaikan
terpeluntir dan hancur berpatahan. Memang terbesit keinginan dari Kiai Sabda
Dadi untuk membenturkan ilmunya, namun Kiai Sabda Dadi sendiri masih harus
menjajagi kekuatan lawan jika ingin membenturkan ilmunya langsung dengan ilmu
lawannya.
Sebenarnyalah, keadaan pengawal Menoreh itu sudah sedemikian
gawatnya. Lawannya benar-benar tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
mengambil nafas. Serangannya datang beruntun bagaikan ombak yang menerjang
tebing di pantai terjal, susul menyusul tak henti-hentinya.
“Nah,” tiba-tiba iblis bertangan badai itu menghentikan
serangannya begitu melihat lawannya telah berdiri dengan lutut gemetar dan
nafas tersengal-sengal, “Kau akan segera mati. Bukan kebiasanku untuk membunuh
lawan dengan senjata. Aku akan memluntir lehermu sampai putus dan melemparkan
kepalamu ke tengah sawah agar besok pagi menjadi santapan burung-burung liar.”
Pengawal Menoreh itu tidak menjawab hanya matanya saja yang
menatap kosong ke arah lawannya yang hanya berdiri beberapa langkah di
depannya. Semangatnya benar-benar sudah hilang dan terbang bersama dengan
sekelompok kelelawar yang tampak bersliweran di langit yang buram mencari
mangsa.
Dalam pada itu Pandan Wangi yang masih terbaring diam di
sisi Ki Rangga Agung Sedayu ternyata sedikit demi sedikit telah berhasil
menguasai perasaannya. Ketika debar jantungnya telah menjadi tenang kembali,
dia berusaha untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya, terutama keadaan di
luar pedati. Dengan perlahan Pandan Wangi pun kemudian merayap ke depan.
Sesampainya Pandan Wangi di bagian depan pedati, sejenak jantung Pandan Wangi
menjadi berdebar-debar kembali, namun kali ini yang membuatnya menjadi
berdebar-debar bukan Ki Rangga Agung Sedayu, akan tetapi keadaan pengawal
Menoreh yang sudah berada di ujung maut.
Ternyata iblis bertangan badai yang menjadi lawan pengawal
Menoreh itu telah memutuskan untuk mengakhiri perlawanan lawannya. Sambil
tertawa sekeras-kerasnya iblis bertangan badai itu pun berteriak, “Tataplah
langit dan peluklah bumi untuk yang terakhir kali. Jangan rindukan lagi
terbitnya matahari esok pagi.”
Menyadari bahwa pengawal Menoreh itu benar-benar dalam
keadaan yang gawat, tidak ada pilihan lain bagi Pandan Wangi kecuali dengan
sekuat tenaga untuk menolongnya.
Tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang masih lemah, dengan
cepat Pandan Wangi segera bangkit berdiri. Kemudian dengan tergesa gesa dia
segera meloncat turun sambil berteriak sekuat tenaganya, “Tunggu! Pengawal itu
bukan lawanmu. Akulah lawanmu!”
Ternyata usaha Pandan Wangi untuk menunda kematian Pengawal
itu berhasil. Lawannya yang sudah mengangkat tangan untuk meluncurkan serangan
pamungkasnya, sejenak tertahan begitu mendengar teriakan Pandan Wangi.
Ketika iblis itu kemudian berpaling ke belakang, sejenak
keningnya menjadi berkerut-merut begitu melihat dalam keremangan malam
seseorang dengan terhuyung-huyung sedang berlari menuju ke arahnya.
“He!” iblis itu terkejut begitu menyadari bahwa yang sedang
berlari ke arahnya itu ternyata seorang perempuan dalam pakaian khusus.
Segera saja diputar tubuhnya sambil membentak, “He,
perempuan gila! Apakah Kau mencari mati? Untuk berjalan tegak saja Kau masih
belum mampu. Pergilah! Aku tidak mempunyai urusan denganmu.”
Pandan Wangi yang telah sampai di depan iblis bertangan
badai itu tidak segera menjawab. Dengan segera diatur nafasnya yang
tersengal-sengal. Untuk beberapa saat kepalanya masih terasa pening, namun
dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya itu di
hadapan lawannya.
“Nyi Pandan Wangi!” tiba-tiba terdengar Pengawal Menoreh itu
berseru, “Jangan hiraukan aku. Kembalilah ke pedati. Keselamatan Nyi Pandan
Wangi itu yang lebih penting.”
“He!” tiba-tiba iblis itu memotong, “Jadi inikah puteri
satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang terkenal itu?” sejenak iblis
itu berhenti. Kemudian lanjutnya, “Agaknya aku harus mengubah rencanaku. Selain
membawa Ki Rangga ke Padepokan di ujung Kali Dadung untuk menerima hukuman atas
segala dosa yang telah diperbuatnya, aku juga akan membawa puteri Kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang cantik ini sebagai hadiah para cantrik yang ada di
padepokan.”
Sebuah desir tajam menggores jantung Pandan Wangi. Baginya
lebih baik mati terbunuh dalam sebuah pertempuran dari pada hidup menjadi
seorang tawanan.
“Nah, Nyi Pandan Wangi,” berkata iblis bertangan badai yang
bertubuh tinggi itu kemudian, “Lebih baik Nyi Pandan Wangi menyerah. Aku
bukanlah segolongan laki-laki kasar yang senang memperlakukan perempuan diluar
kewajaran, apalagi Nyi Pandan Wangi sedang terluka. Dengan senang hati aku akan
mengajak Nyi Pandan Wangi bertamasya menyusuri lembah dan ngarai, bukit dan
gunung menuju padepokan kami di ujung kali dadung.”
Pandan Wangi tidak menjawab, kedua telapak tangannya telah
melekat erat menggenggam ke dua gagang sepasang pedangnya. Dalam keadaan
terpaksa, secepat kilat sepasang pedang itu akan keluar dari sarungnya.
Sambil tetap waspada terhadap gerak-gerik lawannya,
dipusatkan seluruh nalar budinya untuk mengetrapkan puncak ilmunya walaupun
keadaan tubuhnya masih lemah, namun Pandan Wangi tidak mempunyai pilihan lain.
Jika lawannya itu mendekat, serangan pertamanya harus berhasil menembus jantung
atau dia tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk membela diri karena keadaan
tubuhnya yang tentu akan menjadi semakin memburuk sejalan dengan pengerahan
ilmunya yang diluar batas.
Beberapa langkah dari tempat Pandan Wangi berdiri, Kiai
Sabda Dadi bertempur dengan gelisah. Bukan karena memikirkan keselamatan
dirinya, namun justru keselamatan putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itulah yang menjadi beban pikirannya. Tidak ada pertimbangan lain bagi
Kiai Sabda Dadi selain segera menyelesaikan lawannya itu dengan ilmu
pamungkasnya kalau tidak ingin semuanya menjadi terlambat.
Namun sebelum Kiai Sabda Dadi memusatkan segenap nalar dan
budinya untuk mengungkapkan ilmu puncaknya yang nggegirisi, sebuah aji yang tak
bernama dan tidak pernah dikenal dalam dunia olah kanuragan, tiba-tiba
pendengaran Kiai Sabda Dadi yang tajam melebihi orang-orang kebanyakan telah
menangkap desir langkah mendekati tempat mereka, tidak hanya satu orang.
Sepasang iblis itupun ternyata juga mendengar desir langkah
yang mendekati tempat itu. Sejenak kemudian dalam keremangan malam tampak dua
orang meloncat dari balik tanggul di pinggir jalan dan dengan tergesa-gesa
melangkah mendekati arena perkelahian.
“Wareng, Punjul, hentikan pertempuran!” tiba-tiba salah
seorang dari kedua orang yang muncul dari balik tanggul itu berseru.
Dengan segera lawan Kiai Sabda Dadi meloncat surut sambil
memandang tajam ke arah bayangan kedua orang yang datang mendekat. Rasa-rasanya
dia mengenal suara itu. Demikian juga iblis yang berdiri di hadapan Pandan
wangi, sejenak wajahnya menjadi berkerut merut.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari lawannya telah meloncat
mundur mengambil jarak menjadi berdebar-debar. Menilik kedua orang yang datang
kemudian itu telah menyebut nama yang sebenarnya dari sepasang iblis itu, tidak
menutup kemungkinan yang datang itu adalah kawan-kawan mereka.
“Kakang Secaprana dan Kakang Secabawa!” tiba-tiba iblis
bertangan badai yang menjadi lawan Pandan Wangi itu berseru sambil mundur
beberapa langkah begitu pandangan matanya membentur pada dua raut wajah yang
sudah sangat dikenalnya.
Ternyata dua orang yang datang kemudian itu adalah murid
utama perguruan Kumuda yang terletak di ujung kali Dadung.
Kiai Sabda Dadi yang mendengar seruan lawan Pandan Wangi itu
jantungnya berdegup menjadi semakin kencang. Kakek Damarpati itu tidak menyangka
bahwa usahanya untuk membawa Ki Rangga Agung Sedayu dari padukuhan induk menuju
kediaman Ki Gede Menoreh akan mengalami rintangan yang sedemikian berat.
“Kemarilah,” berkata salah seorang yang lebih tua, Secaprana
kemudian, “Kami berdua memang sengaja mengikuti perjalanan kalian menuju ke
Menoreh begitu kami mendengar bahwa kalian berdua yang menjadi tamu di
perguruan kami justru telah meninggalkan padepokan di ujung kali dadung tanpa
sepengetahuan kami.”
Sejenak kedua iblis yang ternyata bernama Punjul dan Wareng
itu saling pandang sambil melangkah mendekat. Sesampainya di depan kedua orang
itu, Punjul lah yang mendahului menjawab, “Kakang, kami sengaja meninggalkan
padepokan Kumuda untuk memenuhi undangan Panembahan Cahya Warastra.”
“Kalian telah membuat sebuah kesalahan,” berkata Secaprana,
“Undangan untuk bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya warastra itu berlaku
untuk perguruan kami, perguruan Kumuda, tidak untuk kalian dan guru kalian yang
sedang menjadi tamu-tamu kami.”
“Kakang benar,” sahut Punjul, “Namun menurut hemat kami,
kami juga mempunyai sangkut paut dengan perguruan Kumuda karena guru kami
adalah saudara seperguruan Ki Pideksa. Kami merasa terpanggil untuk mewakili
perguruan Kumuda. Sedangkan Kakang berdua yang menjadi pimpinan perguruan
sepeninggal Ki Ajar Kumuda ternyata justru tidak menanggapi undangan itu.”
“Itu tidak benar,” Secabawa lah yang sekarang berkata, “Kami
bersedia bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra namun tidak untuk
saat ini. Kami masih harus membenahi perguruan kami terlebih dahulu sepeninggal
Ki Ajar Kumuda,” Secabawa berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Selain itu
kalian tidak mempunyai hak untuk menempatkan diri kalian menjadi perwakilan
kami walaupun guru kami dan guru kalian telah berguru kepada orang yang sama
ketika mereka masih muda. Namun dalam perkembangannya ternyata mereka telah
menemukan guru mereka masing-masing dan landasan ilmu mereka telah berkembang
ke arah yang berbeda. Walaupun demikian semasa hidupnya, Ki Ajar Kumuda tetap
menganggap guru kalian Kiai Damar Sasongko sebagai saudara seperguruan.”
Kedua iblis bertangan badai itu sejenak termangu-mangu.
Kesempatan itu ternyata telah dipergunakan oleh Kiai Sabda Dadi dengan
sebaik-baiknya. Dengan perlahan dan tidak menimbulkan kecurigaan, dia bergeser
mendekat ke tempat Pandan Wangi berdiri sambil berusaha mengetrapkan aji sapta
pangrungu untuk mengetahui keadaan sekelilingnya. Sejauh itu Kiai Sabda Dadi
tidak mendengar kehadiran orang lain selain kedua murid perguruan Kumuda yang
sekarang berdiri di hadapan kedua iblis dari kali dadung itu.
“Semoga tidak ada lagi kawan-kawan mereka yang hadir di
tempat ini,” berkata Kiai Sabda Dadi dalam hati sambil berdiri merapat di
sebelah pandan Wangi.
“Berhati-hatilah, Nyi,” bisik Kiai Sabda Dadi kemudian
kepada Pandan Wangi tanpa berpaling, “Keadaan dapat berkembang semakin buruk.”
Pandan Wangi hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah
katapun. Sementara pengawal Menoreh yang berdiri tidak jauh dari Pandan Wangi
ternyata juga telah tanggap dengan keadaan yang semakin tidak menentu. Dengan
hati-hati dia juga berusaha untuk bergabung dengan Kiai Sabda Dadi dan Pandan
Wangi.
“Nah,” berkata Secaprana kemudian setelah beberapa saat
terdiam, “Ternyata di Menoreh kalian akan melakukan perbuatan yang dapat
mencoreng nama baik perguruan Kumuda yang selama ini selalu menjunjung
kejantanan,” Secaprana berhenti sebentar, kemudian lanjutnya, “Membunuh Ki
Rangga Agung Sedayu selagi dalam keadaan terluka parah adalah sebuah perbuatan
pengecut.”
“Tapi kakang,” kini Wareng yang menyela, “Bukankah dendam
perguruan Kumuda harus terbalaskan? Sebagai perguruan yang mempunyai ikatan
dengan perguruan Kumuda, kami hanya membantu untuk membalaskan dendam itu.”
“Silahkan kalau kalian memang mampu berperang tanding secara
jantan melawan Ki Rangga Agung Sedayu,” geram Secaprana, “Bukan dengan cara
seorang pengecut yang hanya berani membunuh orang yang sedang tidak berdaya.
Itu jauh dari apa yang dipesankan oleh guru kami Ki Ajar Kumuda sebelum beliau
menghembuskan nafasnya yang terakhir.”
“Kakang Secaprana benar,” sahut Secabawa, “Aku menjadi saksi
pada waktu itu, bagaimana guru berpesan untuk tidak membalas dendam karena
kemampuan kami yang masih jauh di bawah Ki Rangga. Namun itu tidak berarti
bahwa kami akan berpangku tangan saja mengalami penghinaan itu. Kami akan
membalas dendam jika saatnya sudah tiba, saat kami sudah mampu menguasai ilmu
Tapak Prahara dengan sempurna.”
“Omong kosong!” tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar
dari atas tanggul di seberang jalan, “Hentikan semua omong kosong itu. Sampai
mati pun kalian murid-murid perguruan Kumuda tidak akan mampu menguasai ilmu
Tapak Prahara sampai sempurna.”
Serentak orang-orang yang berada di tengah bulak itu
berpaling. Alangkah terkejutnya mereka begitu menyadari ternyata dalam
keremangan malam seseorang yang bertubuh tinggi besar telah berdiri di atas
tanggul sambil bertolak pinggang.
Sebuah desir tajam telah menggores jantung Kiai Sabda Dadi.
Kehadiran orang yang terakhir itu ternyata telah luput dari pengamatan Kiai Sabda
Dadi. Kalau sebelumnya Kiai Sabda Dadi mampu mendengar desir langkah
murid-murid perguruan Kumuda, namun kehadiran orang tinggi besar itu sama
sekali tidak terpantau oleh pendengaran Kiai Sabda Dadi yang berlandaskan aji
sapta pangrungu.
Komentar
Posting Komentar