Jilid 400
Keragu-Raguan masih
membayang di wajah Ki Rangga Agung Sedayu, maka kemudian katanya, “Wiraguna
adalah salah satu dari sekian anak-anak muda yang berusaha mengambil hati
Endang Mintarsih. Apakah Panembahan Senapati mempunyai pertimbangan khusus
untuk memilih Wiraguna?”
Ki
Singa Wana Sepuh tersenyum sekilas. Agaknya dia memaklumi mengapa Ki Rangga
Agung Sedayu tidak habis pikir bahwa Raden Sutawijaya justru telah memilih
salah satu dari kakak beradik yang nyata-nyata mengambil sikap berseberangan
dengannya sebelum mereka menyadari dengan siapa mereka berhadapan.
“Raden
Sutawijaya memilih Wiraguna dengan pertimbangan Wiraguna adalah putra tertua
dari Ki Dukuh Cepaga. Secara langsung Wiraguna akan menggantikan kedudukan
Ayahnya kelak apabila masanya telah tiba. Dan ternyata Raden Sutawijaya telah
mempercepat datangnya masa itu, masa pergantian pemimpin di padukuhan Cepaga
dengan memberikan serat kekancingan atas nama Putra Sultan Hadiwijaya penguasa
tertinggi di Pajang untuk menaikkan kedudukan dari sebuah Padukuhan menjadi
sebuah Kademangan.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam dia memuji
keluhuran budi Mas Ngabehi Loring Pasar yang tidak menaruh dendam sedikit pun
kepada kedua kakak beradik itu yang jelas-jelas telah memusuhinya dan berusaha
menyingkirkannya dari lingkungan Padepokan.
“Apakah
Rara Ambarasari menerima kehadiran Wiraguna dalam kehidupannya?” tanpa
disadarinya pertanyaan itu meluncur begitu saja dari Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki
Singa Wana Sepuh tertawa pendek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah
Rara Ambarasari mempunyai hak untuk menolak? Begitulah memang perempuan
diperlakukan oleh kebanyakan laki-laki, mereka tidak mempunyai hak untuk
mempertanyakan segala sesuatu, bahkan yang menyangkut nasib mereka sendiri.”
Ki
Rangga Agung Sedayu termenung sejenak. Sekilas angannya kembali ke masa
berpuluh tahun yang silam. Samar-samar dalam ingatannya terbayang seorang gadis
dengan sepasang pedang di lambung sedang berjuang membebaskan tanah
kelahirannya dari kehancuran akibat pertikaian keluarga. Hari-hari dilaluinya
dengan penuh ketegangan, hampir tidak ada waktu sama sekali baginya untuk
berhias ataupun mengurus dirinya sebagaimana gadis-gadis seusianya. Namun
justru keadaanlah yang telah membentuk kecantikannya bagaikan sekuntum mawar
hutan, kecantikan alami diantara tajamnya duri-duri di sekelilingnya, setajam
ujung-ujung pedang yang saling berebut menumpahkan darah, justru di atas tanah
kelahiran sendiri.
“Ah,”
Ki Rangga Agung Sedayu berdesah dalam hati, “Dia dengan ikhlas telah menjalani
hidup bersama Adi Swandaru. Apapun yang terjadi sebelumnya, namun kenyataannya
Adi Swandaru telah menerima gadis itu dalam keadaan utuh.”
Namun
di sudut hatinya yang lain terdengar suara lirih namun terdengar sangat jelas
memukul-mukul dinding hatinya, “Bukankah hati gadis itu telah cacat? Hati gadis
itu telah patah dan hancur berkeping keping justru ketika sentuhan pertama dari
seorang gembala yang bernama Gupita ternyata telah menghempaskan angan angannya
ke jurang yang paling dalam. Gadis itu tidak utuh lagi. Gadis itu telah cacat
hatinya, dengan demikian saudara seperguruanmu telah menerima gadis itu tidak
seutuhnya. Bukankah itu sama artinya dengan menerima seorang putri triman?”
“Tidak,
tidak..!” sudut hatinya yang lain mencoba membantah, namun gaungnya terasa
sangat sumbang, “Tidak ada seorang pun yang mampu mengetahui isi hati
seseorang. Aku pun tidak. Gadis itu kini telah hidup bahagia di sisi Adi
Swandaru dan telah dikaruniai seorang momongan.”
“Apakah
ukuran sebuah kebahagiaan itu?” kembali sudut hatinya yang lain menyahut,
“Apakah seseorang dapat dikatakan bahagia apabila dalam perjalanan hidupnya
penuh dengan linangan air mata? Lihatlah Sedayu, lihatlah..! Berapa kali gadis itu
dalam perjalanan hidupnya harus memeras air mata? Apakah engkau dapat merasakan
pedihnya hati seorang perempuan yang diduakan oleh suaminya? Dan kini peristiwa
itu terulang kembali. Dia masih berusaha dengan ikhlas merawat suaminya yang
terluka walaupun hatinya terasa tersayat sayat sembilu karena menyadari
permasalahan yang sebenarnya terjadi juga tidak berkisar jauh dari seorang
perempuan. Sudah saatnya engkau mengambil sebuah keputusan untuk menyelamatkan
sisa hidupnya.”
“Gila,
gila..!” tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu berdesah sambil memukul-mukul
kepalanya.
Ki
Singa Wana Sepuh yang duduk di depannya tersentak mendengar desah Ki Rangga
Agung Sedayu. Sejenak wajah tua itu menegang, namun kemudian dengan perlahan
wajah itu mencair kembali, dan sebuah senyum kecil pun tersungging di bibirnya.
“Apakah
Ki Rangga sudah selesai?” tiba-tiba sebuah pertanyaan dari Ki Singa Wana Sepuh
telah mengejutkan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Maksud
Ki Singa Wana Sepuh?” justru Ki Rangga yang balik bertanya.
“Aku
lihat sedari tadi Ki Rangga terbuai dengan kenangan masa lalu. Barangkali kisah
cinta Rara Ambarasari ini telah mengungkit kenangan pribadi Ki Rangga.”
“Ah,”
desah Ki Rangga perlahan sambil melemparkan pandangan matanya ke titik-titik di
kejauhan, “Peristiwa itu sudah lama sekali terjadi, Ki. Ketika kami masih
sama-sama muda, masa yang penuh gairah untuk meraih masa depan dan cita-cita.”
Ki
Singa Wana Sepuh mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam lirih, seakan
akan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Masa muda bagiku seolah tak berarti
sama sekali. Hari demi hari kulewati bagaikan sebuah aliran sungai yang memang
seharusnya begitu, berkelok, menurun, menyusur tebing-tebing dan menggeser
bebatuan di tepian. Alangkah membosankannya! Tanpa sentuhan warna dan tanpa
belaian cinta.”
Ki
Rangga Agung mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil menatap lekat-lekat
seraut wajah tua itu, dia berdesis perlahan seolah-olah tidak ingin
menggoncangkan hatinya, “Agaknya masa muda Ki Singa Wana Sepuh dilalui jauh
dari sentuhan seorang perempuan. Ataukah ada kesengajaan dari Ki Singa Wana
Sepuh sendiri untuk menghindari sentuhan -sentuhan itu betapapun lembutnya.”
“Memang
demikianlah yang terjadi waktu itu,” Ki Singa Wana Sepuh yang sudah terlanjur
mengungkap sepenggal dari kisah hidupnya itupun akhirnya membuka diri, “Sejak
masa kanak-kanak aku sudah mendapati diriku diasuh oleh seorang Pertapa yang
tinggal di lereng gunung Merbabu. Sejak kecil hidupku sudah terbiasa dengan
semak belukar dan hutan belantara sehingga Sang Pertapa itu memberiku julukan
Singa Wana.”
“Yang
berarti seekor singa yang tinggal di hutan,” Ki Rangga berhenti sejenak lalu,
“He, bukankah sudah sewajarnya kalau seekor singa itu tinggal di hutan?”
Ki
Singa Wana Sepuh tertawa tertahan tahan, jawabnya kemudian, “Banyak orang yang
beranggapan kalau seekor singa itu tinggal di hutan. Sebenarnyalah seekor singa
itu lebih senang hidup di sebuah padang perburuan sehingga dia akan lebih
leluasa untuk berburu dan mengejar mangsanya.”
“Jadi,
apakah maksud Pertapa itu memberi nama Singa Wana?”
“Entahlah,
mungkin seekor Singa akan banyak menemui kesulitan jika harus berburu di hutan
yang lebat dan pepat. Dia tidak akan leluasa bergerak mengejar mangsanya.
Demikian juga mungkin harapan Pertapa itu kepadaku, agar aku menjadi sekuat
seekor singa namun dalam perjalanan hidupku, aku tidak perlu berburu ataupun
berusaha untuk menciptakan sebuah padang perburuan.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum lebar mendengar keterangan Ki Singa Wana Sepuh
yang terdengar agak janggal. Namun apapun arti sebuah nama, semua itu kembali
kepada pribadi yang menyandang nama tersebut dalam menjalankan peran dirinya
dalam kehidupan bebrayan.
“Ki
Singa Wana Sepuh atau Ki Ageng Sela Gilang, panggilan yang manakah yang
sebaiknya aku gunakan, Ki? “ tiba-tiba tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu
bergumam.
Ki
Singa Wana Sepuh tertawa tertahan mendengar gumam Ki Rangga, katanya kemudian,
“Terserah sajalah Ki Rangga, engkau dapat memanggilku dengan sebutan apa saja,
aku tidak akan keberatan.”
“Jika
tidak keberatan, sejak saat ini aku akan memanggil Ki Singa Wana Sepuh dengan
sebutan Ki Ageng Sela Gilang.” Berkata Ki Rangga selanjutnya.
Ki
Singa Wana Sepuh atau yang biasa dipanggil Ki Ageng Sela Gilang di Kademangan
Cepaga itu tersenyum sekilas kemudian katanya, “Itu kelihatannya akan lebih
baik, Ki Rangga. Nama Singa Wana Sepuh selalu dikaitkan dengan keberadaan
Pangeran Ranapati. Sejak dia aku latih untuk menekuni olah kanuragan dari bekal
pengetahuanku yang sangat terbatas, ternyata dia senang mengikuti jejakku untuk
bertapa dan mengunjungi tempat-tempat yang sepi sebagai landasan batinnya untuk
menerima dan menyelaraskan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Terbayang dalam
angan-angannya bagaimana Pangeran yang keras hati itu di masa mudanya sangat
tekun menuntut ilmu serta memperdalam olah batin dengan bertapa dan menyepi di
goa-goa atau hutan-hutan lebat yang belum terjamah oleh manusia.
“Baiklah,”
berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Sejak saat ini tidak ada lagi nama
Singa Wana Sepuh, nama yang telah menggetarkan istana Mataram sehingga Ki Patih
Mandaraka memerlukan untuk mengirim seorang Rangga pemimpin pasukan khusus yang
berkedudukan di Menoreh untuk menjadi perimbangan kekuatan seandainya benar
akan pecah perang antara Mataram dan Panaraga. Namun sebenarnyalah aku tidak
yakin dan merasa belum cukup bekal untuk menandingi Guru Pangeran Ranapati
itu.”
“Ah,”
Ki Singa Wana Sepuh yang kini lebih senang dipanggil dengan sebutan Ki Ageng
Sela Gilang itu berdesah, “Justru akulah yang sudah hampir pingsan ketika
mendapat laporan dari para petugas sandi Kadipaten Panaraga bahwa Senapati
Agul-Agul Mataram yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu telah memasuki tlatah
Kadipaten Panaraga.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tertawa pendek mendengar seloroh Ki Ageng Sela Gilang,
kemudian katanya sambil bersungguh-sungguh “Ternyata berita yang aku dengar
tentang kesaktian Guru Pangeran Ranapati yang ngedab-ngedabi itu ternyata benar
adanya. Dalam keadaan yang hampir pingsan saja dia masih dapat menjelajahi
hutan-hutan lebat sehingga sampai di kaki Gunung Bayangkaki ini, benar-benar
luar biasa.”
“Ah,”
Ki Ageng Sela Gilang lah yang kini justru tertawa berkepanjangan mendengar
gurauan Ki Rangga, kemudian jawabnya disela-sela derai tawanya, “Jangankan
hanya dalam keadaan hampir pingsan, dalam keadaan yang sebenar benarnya pingsan
pun aku mampu menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, karena Soma dan
kawannya itulah yang akan mendukungku kemana pun aku pergi.”
Kini keduanya
tertawa tergelak gelak. Tidak ada rasa permusuhan sama sekali diantara
keduanya. Seolah olah mereka adalah sahabat lama yang bertemu kembali setelah
tidak pernah saling berjumpa.
“Ki
Ageng,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian setelah keduanya berhenti
tertawa, “Apakah rencana Ki Ageng selanjutnya jika Ki Ageng telah memutuskan
untuk tidak ikut campur dengan urusan pertikaian keluarga Istana Mataram?”
Sejenak
Ki Ageng Sela Gilang termenung, kemudian katanya sambil menghela nafas panjang,
“Kalau memang benar Ki Patih Mandaraka telah mengirim petugas sandi ke
Kademangan Cepaga untuk menyelidiki kebenaran tentang keberadaan ibu Pangeran
Ranapati, aku harus segera kembali ke Padepokan. Aku tidak rela jika Rara
Ambarasari yang telah menderita sepanjang umurnya itu masih harus sekali lagi
menderita di tangan para petugas sandi Mataram.”
“Tentu
tidak akan terjadi, Ki Ageng,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu cepat sambil
menggelengkan kepalanya, “Petugas sandi Mataram yang dikirim ke lereng Merapi
itu masih saudara sepupuku sendiri, aku jamin dia tidak akan berbuat diluar
tugasnya.”
Guru
Pangeran Ranapati itu mengangguk anggukkan kepalanya, “Terima kasih Ki Rangga.
Sebaiknya sekarang aku segera minta diri. Rasa-rasanya aku sudah terlalu lama
meninggalkan Padepokan Sela Gilang.”
“Bukankah
Ki Ageng di masa mudanya adalah seorang petualang sejati?”
“Itu
terjadi ketika aku masih muda. Sekarang setelah tua ini, rasa rasanya aku hanya
ingin sebuah ketenangan dan kedamaian untuk menyongsong hari-hari terakhirku
menjelang.”
“Ah,”
potong Ki Rangga, “Mengapa Ki Ageng berpikiran seperti itu? Kita tidak tahu dan
memang tidak akan diberitahu kapan saat-saat kita diperkenankan Nya untuk
menghadap dengan membawa segala pertanggung jawaban kita selama menjalani
kehidupan ini. Semua itu adalah rahasia yang Maha Kuasa. Selama kita masih
diberi kesempatan, kita masih diperkenankan untuk berusaha.”
“Engkau
benar Ki Rangga,” jawab Ki Ageng, “Namun rasa-rasanya perjalananku ini sudah
hampir sampai ke batas. Namun aku tidak akan ingkar akan kuwajibanku sebagai
hamba. Selama hayat masih dikandung badan, sejauh-jauhnya aku akan tetap
melaksanakan darma baktiku kepada sesama.”
Matahari
telah jauh tergelincir ke barat. Angin sore yang kadang bertiup kencang
menerobos sela-sela dedaunan dan menggoyang ranting-ranting di pucuk-pucuk
pepohonan. Beberapa daun yang sudah kering berjatuhan tertiup angin. Helai demi
helai meluncur dan meliuk-liuk di udara sebelum akhirnya jatuh tergeletak di
atas tanah yang lembab.
“Marilah
Ki Rangga,” akhirmya Ki Ageng Sela Gilang itupun bangkit dari tempat duduknya,
“Aku akan segera kembali ke Padepokanku. Aku tidak akan kembali ke Kadipaten
Panaraga, biarlah Ranapati kebingungan mencariku. Tapi apabila dia mendapat
laporan dari prajurit sandi bahwa yang ditakutkan selama ini, yaitu Senapati
Agul-Agul Mataram Ki Rangga Agung Sedayu sudah tidak berada di Panaraga lagi,
tentu dia juga tidak akan membutuhkan bantuanku lagi.”
“Bukan
begitu Ki Ageng,” sela Ki Rangga Agung Sedayu, “Jika Ki Ageng mempunyai rencana
untuk meninggalkan Panaraga dan kembali ke lereng Merapi, aku justru mempunyai
rencana sebaliknya.”
Sejenak
wajah Ki Ageng Sela Gilang menegang, dengan bersungguh sungguh dia bertanya,
“Rencana apakah itu, Ki Rangga?”
“Aku
akan langsung pergi ke Istana Kadipaten Panaraga.”
“He..!”
seru Ki Ageng Sela Gilang terheran heran, “Untuk apakah engkau ke sana?”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas sejenak, lalu katanya perlahan lahan sehingga
setiap kata terdengar jelas di telinga Ki Ageng Sela Gilang, “Aku akan
menghadap Adipati Jayaraga atau setidaknya dapat bertemu dengan Pangeran
Ranapati sendiri.”
Ki
Ageng Sela Gilang menggeram keras, “Apakah maksudmu sebenarnya Ki Rangga?
Mempermainkan Guru Ranapati sama dengan membunuh diri.”
“O..,
tidak, tidak,” sahut Ki Rangga cepat, “Bukan maksudku untuk mempermainkan Ki
Ageng, aku hanya ingin menyampaikan pesan kepada pangeran Ranapati bahwa
Gurunya telah meninggalkan Panaraga dan kembali ke barat, kembali ke Padepokan
Sela Gilang. Mungkin Pangeran Ranapati akan berubah pikiran dan mengikuti
Gurunya untuk kembali ke tanah kelahirannya.”
“Ah,”
Ki Ageng Sela Gilang tertawa hambar, “Ki Rangga masih juga bergurau. Sebaiknya
kita segera meninggalkan hutan ini. Rasa rasanya ada yang memanggilku untuk
segera kembali ke Padepokan Sela Gilang.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Diikutinya saja langkah Ki Ageng yang
menyusur lebatnya pepohonan dan menyusup gerumbul-gerumbul liar menjauhi kaki
Gunung Bayangkaki.
Dalam
pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah mendapat pesan dari Ki Patih
Mandaraka melalui para petugas sandi untuk menelusuri kebenaran tentang
keberadaan Ibunda Pangeran Ranapati telah berjalan semakin jauh dari tlatah
Panaraga.
Mereka
sengaja menghindari jalan-jalan yang ramai dan Padukuhan-Padukuhan yang besar
agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan. Mereka berdua pada dasarnya adalah
sepasang suami istri yang sudah terbiasa dengan alam sekitarnya. Menjelajahi
gunung, hutan dan lembah bagi mereka adalah sebuah tamasya yang mengasyikkan.
Tidak ada yang membandingi kuasa Yang Maha Agung dalam menciptakan maha karya
yang agung dan indah tiada taranya, alam semesta yang begitu sempurna.
Perjalanan
mereka kadang terhenti sejenak untuk beristirahat. Mereka sengaja memilih
beristirahat di hutan atau di gubuk tengah sawah yang sepi dari jangkauan
manusia. Dengan demikian perjalanan mereka hampir tidak ada halangan satu pun
juga.
Di
hari ketiga, ketika Matahari hampir mencapai puncak langit, mereka berdua
sedang menyusuri hutan lebat di sisi selatan Gunung Merapi. Hutan itu masih
belum terjamah tangan manusia. Beberapa bagiannya bahkan nyaris tidak dapat
ditembus. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan adalah bukan orang kebanyakan.
Dengan kemampuan ilmu mereka, akhirnya sepasang suami istri itu berhasil
mendekati Kademangan Cepaga dari arah sisi selatan.
Ketika
kemudian hutan yang mereka rambah mulai menipis, sebuah padang perdu yang cukup
luas terbentang di hadapan mereka. Di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu yang
menebar di seluruh padang itu, lamat-lamat sebuah jalur jalan setapak tampak
menjelujur menuju sebuah Padukuhan yang masih tampak samar-samar dari tempat
mereka berdiri.
Glagah
Putih menarik nafas dalam-dalam. Seolah olah ingin dihisapnya seluruh udara
yang ada di padang perdu itu. Sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh
sudut padang perdu itu, dia berdesis perlahan lahan, “Kelihatannya ada beberapa
penghuni Padukuhan yang melewati padang ini entah untuk suatu keperluan apa.
Mungkin berhubungan dengan hutan ini. Aku tadi sempat menjumpai bekas-bekas
pokok batang pohon yang roboh karena ditebang menilik dari bekas bekasnya.”
“Ya,
Kakang,” sahut Rara Wulan yang berdiri di sebelahnya, “Para penghuni Padukuhan
itu mungkin memanfaatkan hutan ini untuk suatu keperluan. Pohon-pohon yang
besar dan cukup tua dapat dimanfaatkan untuk bahan membangun tempat tinggal
atau bahkan mungkin untuk membuat perabotan yang mereka perlukan sehari hari.”
Glagah
Putih mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil meraih tangan Rara Wulan
dan menggandengnya, mereka berdua pun kemudian berjalan perlahan lahan
menyusuri jalur jalan setapak yang ada di padang perdu itu.
Tiba-tiba
pandangan mata Glagah Putih yang tajam menangkap titik-titik yang bergerak
gerak di kejauhan menyeberangi padang perdu itu dari arah timur. Jaraknya
memang masih cukup jauh, namun Glagah Putih yakin bahwa yang sedang bergerak
menyeberangi padang perdu itu adalah sekelompok orang, mungkin tiga orang atau
bahkan lebih.
Segera
saja Glagah Putih menarik tangan Rara Wulan untuk berjongkok di belakang sebuah
gerumbul yang cukup rimbun. Dari arah itu Glagah Putih masih bisa mengawasi
sekelompok orang yang kelihatannya justru bergerak menuju kearah mereka berdua
bersembunyi.
Rara
Wulan yang belum menyadari apa yang sedang terjadi sempat menggerutu. Katanya
kemudian sambil merenggutkan tangannya dari genggaman Glagah Putih, “Ah, Kakang
ini. Bukan waktunya main petak umpet. Kita harus segera menyampaikan laporan
dari hasil pengamatan kita ini sebelum benar-benar terjadi perang antara
Mataram dan Panaraga.”
Glagah
Putih tersenyum sambil berpaling ke arah Rara Wulan dan mengedipkan sebelah
matanya, jawabnya kemudian, “Kadang memang ada kerinduan untuk kembali ke masa
kanak-kanak. Alangkah indahnya, bermain petak umpet di bawah sinar bulan
purnama tanpa ada rasa takut akan kegelapan. Bahkan kita dapat bermain sampai
jauh malam sebelum orang tua kita memaksa kita untuk berangkat tidur.”
“Sudahlah
Kakang, simpan saja kenangan masa lalu itu. Marilah segera kita tuntaskan tugas
ini. Kademangan Cepaga telah berada di depan mata.” Berkata demikian Rara Wulan
segera bangkit berdiri, namun tiba-tiba Glagah Putih dengan cepat meraih
tangannya dan menariknya kembali untuk berjongkok di tempat semula.
Baru
saja Rara Wulan akan membuka mulutnya, Glagah Putih telah meletakkan jari
telunjuknya di bibir Rara Wulan sambil menunjuk ke arah Timur.
Sejenak
Rara Wulan mengerutkan keningnya. Orang-orang yang menyeberangi padang itu
memang masih cukup jauh, namun sekarang mereka berdua sudah dapat menghitung
berapa orang yang sedang berjalan sambil bergurau itu. Tampak senjata-senjata
yang terselip di lambung mereka, bahkan ada yang menjinjing sebuah tombak
pendek.
“Lima
orang,” desis Rara Wulan.
“Ya,
lima orang,” Glagah Putih yang berjongkok di sebelahnya menimpali, “Pemandangan
yang agak aneh. Di Padukuhan yang terpencil ini kita menjumpai orang-orang yang
bersenjata. Bukan sebuah senjata untuk menebang pohon atau menyabit rumput,
tapi sebenar benarnya senjata, senjata untuk berkelahi.”
“Mungkinkah
mereka itu gerombolan penyamun?” tiba-tiba Rara Wulan mengemukakan pendapatnya.
“Mungkin
juga,” jawab Glagah Putih, “Akan tetapi mengapa mereka berkeliaran di siang
hari?”
“Tentu
saja mereka tidak akan mendapatkan mangsa kalau berkeliaran di sini pada saat
malam hari, kecuali mereka mendatangi Padukuhan itu dan merampok dari pintu ke
pintu.”
“Bukankah
dengan demikian mereka akan berurusan dengan para peronda?”
Rara
Wulan tertegun sejenak, namun jawabnya tak mau kalah, “Itu menandakan bahwa
mereka merasa kuat dan mampu mengatasi para peronda, baik dalam jumlah maupun
kemampuan olah kanuragan mereka.”
“Tapi
yang terjadi sekarang ini mereka justru berkeliaran di siang hari.” Kembali
Glagah Putih menyangkal pendapat Rara Wulan.
Rara
Wulan benar-benar menjadi jengkel. Akhirnya dengan bersungut-sungut dia
berkata, “Mengapa tidak kita tanyakan saja kepada mereka? Dari pada
berandai-andai tanpa ujung pangkal.”
Glagah
Putih tersenyum. Tanpa sesadarnya disentuhnya pundak kanan Rara Wulan dengan
lembut sambil berbisik, “Ma’afkan aku Wulan. Bukan maksudku untuk mengajakmu
berdebat. Marilah kita pusatkan perhatian kita pada mereka. Agaknya mereka akan
berjalan beberapa langkah di depan kita. Semoga serba sedikit kita dapat
menangkap pembicaraan mereka sehingga dapat memberikan gambaran dengan siapa
kita berhadapan.”
Keduanya
pun kemudian terdiam karena orang-orang yang berjalan melintasi padang perdu
itu semakin dekat. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka dapat mengamat-amati
wajah-wajah yang keras, sekeras batu-batu padas di gerojokan serta cara
berpakaian mereka yang sedikit aneh dan tidak wajar bagi orang-orang
kebanyakan.
“Gila,”
tiba-tiba orang yang berjalan paling depan mengumpat keras, “Mengapa Wiguna
begitu pengecut? Janda tua itu seharusnya sudah mati dicekiknya.”
Beberapa
orang yang mendengar umpatannya tertawa. Seorang yang berbadan raksasa dengan
sebuah bindi berukuran sangat besar yang dipanggul di pundak kanannya menyahut,
“Mungkin Wiguna merasa kasihan, Ki Lurah. Bukankah janda tua itu masih
terhitung kakak iparnya?”
Orang
yang berjalan di paling depan yang dipanggil Ki Lurah itu sekali lagi
mengumpat, katanya kemudian, “Bukankah suami perempuan tua itu sudah mati?
Semua orang tahu bahwa Wiguna adalah adik Wiraguna, Demang Cepaga yang sudah
mati tiga tahun yang lalu. Jadi apa permasalahan yang sebenarnya? Wiguna
seharusnya dapat menggantikan kedudukan kakaknya itu tanpa banyak
permasalahan.”
“Tapi
janda tua itu mempunyai seorang anak laki-laki,” sahut seorang yang berbadan
pendek kekar dengan janggut yang jarang-jarang yang berjalan di samping kanan
orang yang berbadan raksasa itu.
“Persetan
dengan Teja Wulung,” kembali terdengar orang yang disebut Ki Lurah itu
menggeram, “Dia tidak akan pernah kembali ke Kademangan ini.”
Sementara
itu langkah segerombolan orang-orang aneh itu telah semakin jauh menyeberangi
padang perdu menuju ke arah Barat. Lamat-lamat mereka masih terdengar
melanjutkan percakapannya, namun jaraknya sudah semakin jauh dari tempat
persembunyian Glagah Putih dan Rara Wulan.
Glagah
Putih dan Rara Wulan memang mencoba mendengarkan percakapan mereka dengan
mengerahkan aji sapta pangrungu. Namun begitu aji itu sudah mereka trapkan,
justru rombongan orang-orang aneh itu telah menghentikan percakapan mereka.
Akhirnya
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
bangkit berdiri. Sementara rombongan orang-orang aneh itu telah semakin jauh
dan hanya terlihat seperti bintik-bintik hitam di sela-sela gerumbul dan
pepohonan yang bertebaran di padang itu.
Ketika
kemudian ronbongan orang-orang aneh itu sudah tidak tampak lagi, Glagah Putih
pun kemudian melangkahkan kaki sambil berkata, “Marilah Wulan, kita langsung
menuju Kademangan Cepaga. Serba sedikit kita telah mendapatkan bahan dari para
petugas sandi. Setidaknya kita dapat mulai dari Janda tua yang disebut sebut
orang-orang tadi. Mungkin yang dimaksud adalah Rara Ambarasari istri dari
Wiraguna, Demang Cepaga yang telah meninggal tiga tahun yang lalu.”
Rara
Wulan hanya mengangguk anggukkan kepalanya sambil berlari kecil mengikuti
langkah Glagah Putih yang mendahuluinya beberapa langkah di depan. Ketika
kemudian dia telah sampai di samping Glagah Putih, dengan segera dirangkulnya
lengan kiri Glagah Putih dengan manja.
Ada
sebuah desir tipis yang menelusup ke dalam dada Glagah Putih. Betapapun juga
dia tidak bisa mengingkari kodrat Rara Wulan sebagai seorang perempuan yang
selalu ingin diperhatikan dan dimanja. Sebagai seorang suami, Glagah Putih
merasa belum pernah memberikan kebahagiaan dan hidup yang berkecukupan
sebagaimana kehidupan rumah tangga kebanyakan orang kepada istrinya itu.
Ketika
kemudian sepasang suami istri itu telah mencapai ujung padang perdu itu, sebuah
regol yang cukup besar tampak berdiri dengan kokohnya. Di samping regol itu
terdapat sebuah gardu yang cukup besar. Gardu itu memang di siang hari hampir
selalu kosong, kadang-kadang hanya satu atau dua orang pengawal saja yang
tampak berjaga jaga. Namun menjelang sore setelah Matahari terbenam, bukan
hanya para pengawal yang bertugas saja yang menempati gardu tersebut, beberapa
anak muda yang telah selesai mengerjakan pekerjaan mereka sehari hari pun ikut
bergerombol menjaga regol Kademangan Cepaga.
Beberapa
saat Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu di depan regol
yang cukup besar itu. Ada kesan yang mendebarkan ketika sepasang suami istri
itu memandang ke arah pintu regol yang besar dan kuat yang dibiarkan terbuka
lebar begitu saja. Ternyata pada bagian tengah-tengah pintu itu, telah hancur
dan meninggalkan bekas yang mengerikan. Agaknya pintu itu pernah dibuka paksa
dengan kekuatan yang nggegirisi menilik dari bekas bekasnya.
Sejenak
mereka berdua masih merenungi pintu regol itu beberapa saat. Sebenarnyalah
mereka tidak gentar oleh kekuatan yang mampu menjebol pintu itu, karena mereka
pun yakin dapat melakukan hal yang sama, namun yang menjadi pertimbangan mereka
adalah, di tempat yang terpencil ini ternyata terdapat kekuatan yang perlu
diperhitungkan.
Setelah
puas mengamat amati pintu regol yang telah cacat itu, mereka berdua segera
melangkah memasuki Kademangan Cepaga. Regol itu ternyata menghubungkan sebuah
bulak yang cukup panjang dengan padukuhan terdekat. Di kiri-kanan bulak itu
terbentang sawah sawah yang luas dan menghijau. Batang-batang padi kelihatan
subur dan sebentar lagi akan berbuah.
Panas
Matahari yang bagaikan membakar kulit di siang hari itu ternyata telah
menumbuhkan kemalasan bagi para penghuni Kademangan itu. Jalan jalan menjadi
sangat lengang. Mereka lebih senang tinggal bermalas-malasan di rumah atau
sekalian tidur di gubug tengah sawah setelah mereka sepagian bekerja membersihkan
sawah mereka.
Ketika
sepasang suami istri itu telah berjalan berpuluh-puluh langkah menyusuri jalan
yang panas dan berdebu, barulah mereka menjumpai beberapa rumah yang sepi.
Pintu regolnya tertutup rapat dan tampaknya diselarak dari dalam. Rumah rumah itu
begitu sepinya sehingga tidak terdengar suara anak-anak yang biasanya terdengar
ramai bermain bersama teman-temannya ataupun tangisan bayi yang sedang
kehausan.
Memang
ada satu dua rumah yang pintu regolnya terbuka sedikit, namun Glagah Putih dan
Rara Wulan tidak berhasil melihat para penghuninya melakukan kegiatan ataupun
sedang duduk-duduk di pendapa rumahnya.
“Kakang,”
tiba tiba saja Rara Wulan berdesis sambil menggamit Glagah Putih, “Akhirnya
kita berjumpa pula dengan salah satu penghuni padukuhan ini.”
Selesai
berkata demikian, Rara Wulan menunjuk ke depan. Tampak seorang orang tua yang
bertelanjang dada tengah berjalan terbungkuk-bungkuk di teriknya sinar
Matahari. Sebuah caping yang lebar melindungi kepala orang tua itu dari
panasnya sengatan Matahari.
Sambil
sesekali membetulkan letak caping bambunya, orang tua itu berjalan
tertatih-tatih ke arah dimana Glagah Putih dan Rara Wulan sedang berdiri
menunggu. Agaknya orang tua itu menyadari bahwa ada seseorang yang sedang
memperhatikan dirinya, maka ketika keberadaan orang tua itu sudah tinggal
beberapa langkah saja di depan Glagah Putih dan Rara Wulan, tiba-tiba orang tua
itu berhenti dan membuka capingnya yang lebar.
Hampir
saja Rara Wulan terpekik ketika melihat seraut wajah yang benar-benar sudah tua
bangka sekali. Rambutnya yang sudah memutih semua bagaikan segumpal kapas itu
diikat dengan sebuah ikat kepala yang berwana hijau gadung namun sudah memudar
warnanya. Matanya yang hampir tenggelam dalam cekungan rongga matanya itu
tampak berkilat kilat bagaikan butiran intan. Kedua tulang pipinya menonjol
diantara hidungnya yang hanya tampak kedua lubangnya saja, sedangkan wajahnya
yang berkeriput seperti kulit pohon mahoni yang meranggas itu sama sekali tidak
tampak sehelai kumis maupun jenggotnya.
“Kek,”
Glagah Putih lah yang memberanikan diri menyapa terlebih dahulu, “Bolehkan kami
bertanya? Dimanakah rumah Nyi Rara Ambarasari istri Ki Wiraguna Demang Cepaga
yang telah meninggal dunia kira-kira tiga tahun yang lalu?”
Orang
tua itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan ganti
berganti. Mata tua yang hitam itu tampak penuh selidik dan ada kesan mencurigai
kepada sepasang suami istri itu.
“Siapakah
Ki sanak berdua ini?” justru orang tua itu balik bertanya dengan suara yang
parau mirip seperti suara burung gagak.
Glagah
Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, namun kemudian jawab Glagah Putih,
“Kami berdua adalah suami istri pengembara yang secara kebetulan sampai di
Kademangan ini.”
“Ada
urusan apakah kalian dengan Nyi Rara?” kembali orang tua itu bertanya.
Glagah
Puith tersenyum sambil menganggukkan kepalanya untuk memberi kesan yang baik
kepada orang tua itu sebelum menjawab, “Kami pengembara yang mengharapkan belas
kasihan dari para penghuni Kademangan ini untuk memberikan sekedar tempat
berteduh sebelum kami melanjutkan perjalanan.”
“O..,”
orang tua itu mengangguk anggukkan kepalanya, “Kalau kalian berdua hanya
memerlukan tempat berteduh, atau bermalam sekalipun, kalian sebaiknya pergi ke
banjar saja. Di sana memang disediakan tempat khusus bagi para perantau yang
mungkin kemalaman dalam perjalanannya. Di sana kalian dapat menghubungi Ki
Rambat, penjaga Banjar Kademangan.”
Untuk
sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Sesungguhnya tujuan mereka
ke Kademanagn Cepaga itu adalah untuk menemui Nyi Rara Ambarasari, ibu kandung
orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati yang telah menggemparkan Istana
Mataram atas pengakuannya sebagai putra Panembahan Senapati, bukan hanya
sekedar mencari tempat berteduh sebagaimana layaknya para Perantau yang
kemalaman.
“Ma’afkan
kami, Kek,” akhirnya Glagah Putih menemukan alasan yang tepat untuk menemui Nyi
Rara Ambarasari, “Bukan maksud kami menolak untuk pergi ke Banjar, namun
setelah melihat lihat Kademangan Cepaga yang asri dan damai ini, kami telah
memutuskan untuk mengakhiri perantauan kami dan menetap di Kademangan ini.
Untuk itulah kami memerlukan menghadap Nyi Rara Ambarasari sebagai pemangku
Kademangan ini sepeninggal Ki Wiraguna.”
“Engkau
salah Ki sanak,” tiba-tiba orang tua itu menyela kata kata Glagah Putih,
“Sepeninggal Ki Wiraguna, yang menggantikannya menjadi Demang Cepaga adalah
Teja Wulung, anak laki-laki satu-satunya.”
“Teja
Wulung,” tanpa disadari Glagah Putih dan Rara Wulan mengulang nama itu. Nama
sebenarnya dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati yang telah mereka
ketahui lewat para petugas sandi.
“Ya,
Teja Wulung,” kembali orang tua itu menegaskan, “Namun kini dia telah pergi
meninggalkan Kademangan ini.”
“Pergi?
Mengapa?” Rara Wulan yang sedari tadi hanya diam saja tiba-tiba bertanya
keheranan.
Orang
tua itu mendengus kesal, jawabnya kemudian, “Itu urusannya. Tidak ada seorang
pun yang berhak mencampurinya.”
Glagah
Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam dalam sambil berpandangan. Agaknya
orang tua itu tidak begitu senang dengan pertanyaan Rara Wulan. Mungkin orang
tua itu sebagai penghuni kademangan Cepaga kecewa dengan kepergian Teja Wulung,
namun mungkin justru sebaliknya, dia merasa bangga dengan kepergian Teja Wulung
untuk menuntut haknya sebagai Putra Panembahan Senapati sehingga dia tidak
senang jika ada orang-orang yang mempermasalahkan kepergian Teja Wulung.
Dan
ternyata dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan benar ketika orang tua itu
melanjutkan kata katanya, “Sebenarnyalah Teja Wulung itu bukan anak kandung Ki
Wiraguna. Semua orang-orang tua di sini mengetahui hal itu. Ketika Nyi Rara
masih menjadi seorang Endang di Padepokan Sela Gilang, dia telah dipersunting
oleh Panembahan Senapati yang pada waktu itu masih bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar. Walaupun Wiraguna kemudian menjadi suami Nyi Rara, tapi semua orang di
padukuhan Cepaga pada waktu itu mengetahui bahwa anak yang dikandung Nyi Rara adalah
benih dari Loring Pasar.”
Glagah
Putih dan Rara Wulan benar-benar tidak menyangka bahwa cerita kehidupan orang
yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah bukan rahasia lagi di
Kademangan ini. Hal ini tentu saja akan mempermudah keduanya untuk menelusuri
jejak Pangeran Mataram yang merasa terbuang itu.
“Baiklah,
Kek,” akhirnya Glagah Putih kembali bertanya, “Kepada siapakah kami harus
menghadap untuk mendapatkan ijin tinggal di kademangan ini?”
Sejenak
orang tua itu ragu-ragu, namun kemudian katanya, “Sebaiknya kalian menghadap
Nyi Rara, karena sepeninggal Teja Wulung belum ditunjuk siapa yang akan
memangku jabatan di Kademangan ini.”
Hampir
bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Akhirnya mereka merasa mendapatkan jalan untuk
bertemu dengan Ibunda Pangeran Ranapati, Nyi Rara Ambarasari.
“Dimanakah
letak rumah Nyi Rara itu, Kek?” sekarang Rara Wulanlah yang bertanya.
Sambil
mengamati wajah Rara Wulan, tiba tiba orang tua itu justru berkata kepada
Glagah Putih, “Berbahagialah engkau anak muda, ternyata istrimu ini sangat
cantik walaupun berpakaian sangat sederhana.”
“Ah,
Kakek ini..!” segera saja rona merah menghiasai wajah Rara Wulan sedangkan
orang tua itu hanya tertawa terkekeh-kekeh.
Sementara
itu Glagah Putih yang berdiri di sebelah Rara Wulan mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Kata-kata orang tua ini seolah olah memberikan isyarat kepadanya
bahwa kecantikan istrinya ini akan dapat menimbulkan permasalahan yang
seharusnya dapat dihindari dalam penyamaran mereka sebagai petugas sandi. Jika
orang yang sudah tua bangka ini saja masih mengagumi kecantikan Rara Wulan,
bagaimana dengan mereka yang masih muda dan merasa memiliki kelebihan untuk
memaksakan kehendak mereka?
“Sudahlah,”
orang tua itu akhirnya menghentikan tawanya, “Kalian dapat menyusuri jalan ini.
Sebelum persimpangan, di sebelah kanan jalan kalian akan menjumpai sebuah rumah
yang besar, rumah yang paling besar di Kademangan Cepaga ini. Itulah kediaman
Demang Cepaga.”
“Terima
kasih, Kek. Sekarang ijinkanlah kami meneruskan perjalanan.” Berkata Glagah
Putih sambil menggamit Rara Wulan yang menundukkan wajahnya saja tanpa berani
memandang kakek tua yang masih saja tersenyum-senyum mengagumi kecantikannya.
“Silahkan,
silahkan. Aku pun akan menengok sawah sebentar untuk melihat apakah menantuku
sudah bekerja dengan benar.”
Demikianlah
mereka pun akhirnya berpisah. Dengan tertatih tatih orang tua itu melanjutkan
langkahnya kearah yang berlawanan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan
Glagah Putih dan Rara Wulan telah semakin jauh meninggalkan tempat itu.
Ketika
keduanya telah sampai di depan rumah yang dimaksud, sejenak Glagah Putih dan
Rara Wulan termangu-mangu memandangi rumah yang tergolong mewah untuk ukuran
sebuah Kademangan yang terpencil di lereng Gunung Merapi ini. Regol halaman
depan terbuka lebar dan tampak dijaga oleh dua orang pengawal yang berdiri di
sebelah menyebelah pintu regol. Sedangkan pagar batu yang mengelilingi rumah
itu cukup tinggi, hanya orang-orang yang mempunyai kelebihan dalam olah
kanuragan sajalah yang mampu meloncati dinding setinggi itu tanpa kesulitan.
Agaknya
kedua pengawal yang menjaga regol itu telah memperhatikan Glagah Putih dan Rara
Wulan sedari tadi. Terbukti ketika sepasang suami istri itu sedang berdiri
termangu-mangu di seberang jalan, salah seorang pengawal yang berjaga di regol
itu telah melambaikan tangannya ke arah mereka.
“He,
kalian yang berdiri disitu, kemarilah!” teriak pengawal itu sambil melambaikan
tangannya.
Sejenak
Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam membeku. Mereka tidak menyangka bahwa
justru salah seorang dari pengawal itulah yang memanggil mereka sebelum mereka
mengajukan diri untuk menghadap Nyi Rara Ambarasari.
“Bagaimana
Kakang?” bisik Rara Wulan
“Marilah,”
ajak Glagah Putih, “Lebih baik kita menyatakan keinginan kita yang sebenarnya
dari pada membuat persoalan yang dapat membahayakan tugas kita.”
Dengan
tersaruk-saruk mereka berdua segera berjalan mendekati regol halaman rumah yang
terbesar di seluruh Kademangan Cepaga itu. Sementara para pengawal yang berdiri
di sebelah menyebelah regol itu pandangan mata mereka seolah olah lekat di
wajah Rara Wulan.
“Hem,”
desah pengawal yang memanggil mereka berdua itu setelah Glagah Putih dan Rara
Wulan berdiri beberapa langkah di depannya, “Menilik pakaian kalian, kalian
adalah perantau yang sudah terlalu lama meninggalkan kampung halaman yang entah
oleh alasan apa aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku ingin tahu, kalian berdua
ini sepasang suami istri ataukah kakak beradik?”
Jantung
Glagah Putih berdegub kencang mendengar pertanyaan pengawal itu. Apalagi saat
Glagah Putih mencoba mengamati dengan seksama pengawal yang masih terhitung
muda yang berdiri di hadapannya. Pandangan mata pengawal itu seolah olah
merayapi sekujur tubuh Rara Wulan yang hanya bisa menundukkan kepalanya dalam
dalam.
Setelah
mengatur gejolak di dalam dadanya, Glagah Putih pun menjawab, “Kami berdua
adalah sepasang suami istri yang berpetualang mengikuti ke arah mana kaki kami
akan melangkah. Daerah tempat tinggal kami telah tertimpa musibah bencana
kekeringan. Jika diijinkan kami ingin menetap dan hidup menjadi penghuni di
Kademangan ini.”
“O,”
sahut pengawal itu sambil berpaling sekilas ke arah Glagah Putih. Sejenak
kemudian pandangan matanya kembali ke arah Rara Wulan, “Sangat menyenangkan
mempunyai tetangga seperti kalian jika benar kalian telah memutuskan untuk
tinggal di Kademangan ini. Kalian dapat tinggal di rumahku sementara sambil
menunggu rumah kalian sendiri siap.”
Terasa
bulu bulu halus di sekujur tubuh Rara Wulan meremang. Walaupun dia tidak berani
mengangkat wajahnya sama sekali, namun nalurinya sebagai perempuan telah dapat
merasakan betapa laki-laki di hadapannya itu telah memandanginya dengan tanpa
berkedip seolah olah dirinya ingin ditelannya bulat bulat.
Sementara
itu beberapa pengawal yang sedang duduk duduk di gardu penjagaan sebelah regol
kediaman Demang Cepaga ternyata telah tertarik dengan kedatangan sepasang suami
istri itu. Dengan bergegas para pengawal itu pun kemudian berjalan ke regol
untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Seorang
pengawal yang berbadan kurus dan berkumis tipis telah sampai di hadapan Glagah
Putih mendahului kawan kawannya. Sambil menyilangkan tangannya di depan dada,
sejenak pengawal itu memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan ganti berganti
kemudian katanya, “Jarang sekali ada perantau yang lewat di Kademangan ini
dalam usia yang masih semuda kalian berdua. Biasanya mereka sudah berumur dan
tak jarang dalam keadaan sakit sakitan. Kalian berdua ini kelihatannya sangat
sehat dan tak kurang suatu apapun kecuali pakaian kalian yang kumal dan kotor.
Namun apapun keadaan kalian, aku meragukan jati diri kalian sebagai perantau.”
Berdesir
dada sepasang suami istri itu mendengar ucapan pengawal yang bertubuh kurus
itu. Sejauh mungkin mereka telah mencoba menyempurnakan penyamaran mereka
sebagai perantau selama ini dengan tubuh kotor dan baju yang kumal. Namun satu
hal yang mereka lupakan, keduanya tampak sehat dan terawat bahkan cenderung
agak gemuk.
Sebenarnyalah
keadaan kedua orang itu tetap berbeda dengan kebanyakan perantau. Mereka berdua
adalah prajurit petugas sandi dari Mataram yang sedang mengemban tugas. Ki
Patih Mandaraka telah membekali mereka dengan bekal yang cukup bahkan berlebih
kalau hanya sekedar untuk kebutuhan makan dan minum selama dalam menjalankan
tugas mereka. Kalau pun mereka kadang kadang harus menerobos hutan yang liar
untuk mencari jalan pintas, mereka berdua adalah orang orang yang mumpuni dalam
olah kanuragan sehingga sangat mudah mendapatkan makanan dengan berburu
binatang binatang yang ada di hutan hutan itu.
Berbeda
dengan perantau yang sebenarnya. Mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari
para penghuni padukuhan yang mereka singgahi sehingga keadaan mereka biasanya
kurus dan tidak terawat. Bahkan tak jarang mereka mendapatkan perlakuan yang
buruk karena dicurigai akan berbuat kejahatan di tempat yang mereka lewati.
“Nah,”
berkata pengawal yang bertubuh kurus itu kepada Glagah Putih, “Apa katamu
tentang diri kalian yang mengaku sebagai perantau? Ataukah memang kalian berdua
ini sebenarnya adalah orang kaya yang sedang dalam pelarian karena suatu
sebab?”
Beberapa
pengawal yang sudah berkerumun di muka regol itu saling bergeremang. Masing
masing mempunyai penilaian yang berbeda tentang diri Glagah Putih dan Rara
Wulan. Namun kebanyakan mereka melihat sepasang suami istri itu sebagai
perantau yang aneh.
Merasa
keadaan bisa berkembang semakin tidak menentu, Glagah Putih segera maju
selangkah. Setelah terlebih dahulu menganggukkan kepalanya dalam dalam, dia pun
berkata, “Sebelumnya kami mohon ma’af. Bukan maksud kami untuk mengaburkan jati
diri kami, tapi sebenarnyalah kami adalah suami istri yang mengembara untuk
mencari daerah baru setelah tempat tinggal kami yang lama tertimpa musibah
kekeringan. Memang kami membawa bekal sekedarnya dari hasil penjualan barang
barang kami yang tidak seberapa. Jikalau diijinkan oleh Pemangku Kademangan
Cepaga ini, kami ingin mencoba membuka lembaran baru di Kademangan ini.”
Beberapa
pengawal yang berkerumun itu tampak mengangguk anggukkan kepala, namun pengawal
yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu justru mengerutkan keningnya sambil
berkata, “Dari manakah kalian berasal?”
Sejenak
Glagah Putih menelan ludah, namun betapapun dia harus menjawab pertanyaan itu,
“Kami berasal dari padukuhan Jatingarang, bersebelahan dengan padepokan
Watukelir.”
Pengawal
berperawakan kurus itu sekilas tersenyum masam, katanya kemudian, “Aku tidak
tahu tempat yang kalian sebutkan itu, karena sepanjang umurku aku tidak pernah
meninggalkan Kademangan ini, namun yang jelas aku mencurigai kalian sebagai
pengikut orang orang yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang,
padepokan yang dulu menjadi tempat junjungan kami Ki Tejo Wulung berguru.”
“Kakang
Sempu,” tiba tiba pengawal yang pertama kali memanggil sepasang suami istri itu
menyela, “Aku kurang sependapat dengan Kakang. Orang orang yang sekarang sedang
menguasai Padepokan Sela Gilang adalah orang orang yang kasar bahkan sedikit
liar, berbeda jauh ujudnya dengan mereka ini.”
“Engkau
tahu apa, Adi Rakit,” dengus pengawal yang dipanggil Sempu itu, “Mereka
mempunyai beribu macam cara untuk mengelabuhi lawan. Ingat, keselamatan Nyi
Rara dan seisi kademangan ini di tangan kita para pengawal yang masih bersetia
kepada Ki Teja Wulung, Demang Cepaga yang sebenarnya.”
“Bagaimana
dengan Ki Wiguna?” tiba tiba salah seorang pengawal yang ikut berkerumun itu
bertanya.
“Persetan
dengan Ki Wiguna. Walaupun dia adalah adik kandung Ki Wiraguna, namun selama Ki
Teja Wulung masih hidup, dia tidak berhak untuk mengambil alih jabatan Demang
Cepaga. Apalagi dia telah berhubungan dengan orang orang di Padepokan Sela
Gilang itu.”
Sejenak
suasana menjadi sepi. Masing masing dihanyutkan oleh angan angan tentang masa
depan Kademangan Cepaga. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan hanya
mendengarkan saja apa yang dibicarakan di antara para pengawal itu. Namun
sejauh ini, mereka berdua telah dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya orang
orang yang telah mereka jumpai di padang sebelah hutan itu adalah orang orang
yang sekarang sedang menguasai Padepokan Sela Gilang.
“Jadi
bagaimana dengan kedua perantau ini, Kakang Sempu?” bertanya pengawal yang
bernama Rakit itu.
“Baiklah,”
berkata Sempu sambil memandang ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kalian
akan kami bawa ke gardu untuk diperiksa secara terpisah. Kalian harus menjawab
beberapa pertanyaan dari kami. Sebaiknya kalian berterus terang saja agar
segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar.”
Tentu
saja Rara Wulan sangat keberatan jika mereka harus diperiksa secara terpisah. Dia
tidak dapat membayangkan seorang diri dikerumuni laki laki yang memandangnya
dengan sorot mata yang mengerikan. Walaupun Rara Wulan bukan perempuan
kebanyakan, namun menghadapi sorot mata penuh gairah dari laki laki di
sekitarnya, dia tidak dapat melawannya dengan aji Namaskara, kecuali jika
mereka telah mencoba berbuat lebih jauh dan tidak sekedar memandanginya saja.
Ketika
Glagah Putih yang masih berdiri termangu mangu itu belum dapat menentukan sikap
atas tuntutan para pengawal, terasa Rara Wulan telah menggamit pinggangnya.
“Kakang,”
bisik Rara Wulan, “Bagaimana?”
Glagah
Putih menarik nafas dalam dalam. Diedarkan pandangan matanya menyapu para
pengawal yang mengerumuni mereka.
“Delapan
orang,” desis Glagah Putih dalam hati. Sebenarnya delapan orang bukanlah jumlah
yang menakutkan bagi mereka berdua, namun sejauh ini mereka berdua mencoba
memberikan kesan yang baik dan ramah kepada para penghuni Kademangan Cepaga.
“Ki
Sanak,” akhirnya Glagah Putih memberanikan diri untuk mengajukan pendapat,
“Ijinkanlah kami bertemu dengan Nyi Rara, ibunda dari Ki Teja Wulung. Biarlah
Nyi Rara sendiri yang menilai kami, seberapa pantas kami berdua ini diterima
menjadi penghuni baru Kademangan Cepaga.”
“Tidak,”
setengah berteriak Sempu menjawab, “Aku sebagai pemimpin pengawal Kademangan
Cepaga tidak akan mengijinkan kalian berdua menghadap Nyi Rara sebelum kalian
menjawab beberapa pertanyaan dari kami.”
“Itu
tidak perlu Sempu,” tiba tiba suara lembut tapi penuh wibawa telah mengejutkan
mereka yang sedang berkerumun. Serentak mereka berpaling ke belakang dan
tampaklah sesosok perempuan paro baya yang masih terlihat bekas garis garis
kecantikannya. Wajahnya yang putih bersih itu begitu lembut dengan sepasang
alis bak semut beriring melengkung indah menaungi sepasang mata yang berbinar
binar bagaikan bintang Timur. Sedangkan hidungnya yang kecil dan mancung itu
begitu indah dan serasi dengan bibir yang merekah bak buah delima. Walaupun
keriput telah menghiasai sebagian wajahnya, namun kecantikannya masih tak
tertandingi dengan gadis gadis yang masih berusia belia.
“Nyi
Rara..” serentak para pengawal itu membungkukkan badan mereka menghormat ke
arah perempuan paro baya yang ternyata adalah Nyi Rara Ambarasari, Ibunda
Pangeran Ranapati.
Glagah
Putih dan Rara Wulan yang menyadari dengan siapa mereka berhadapan, tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja mereka bergeser ke samping kanan
beberapa langkah agar terlihat jelas oleh Nyi Rara Ambarasari.
“Mohon
dima’afkan kami berdua Nyi Rara,” Rara Wulan lah yang kini mencoba mengambil
kesempatan untuk menarik perhatian Nyi Rara, “Kami tidak punya maksud apa apa
selain ingin diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari penghuni Kademangan
ini.”
Nyi
Rara tersenyum sekilas, kemudian jawabnya, “Marilah, kalian adalah tamuku.
Sebaiknya aku menemui kalian di pringgitan tidak di tengah regol.”
“Terima
kasih Nyi Rara,” hampir berbareng keduanya menyahut kemudian dengan tergesa
gesa mengikuti langkah gemulai dari Nyi Rara menuju ke rumah induk.
Sejenak
para pengawal yang berkerumun di depan regol itu saling berpandangan. Beberapa
diantaranya mencoba melayangkan pandang mata mereka ke arah Sempu, namun
pemimpin pengawal itu hanya dapat menggeleng lemah ketika beberapa pasang mata
itu tertuju ke arahnya.
Dalam
pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang berjalan mengikuti langkah Nyi
Rara Ambarasari sejenak terpesona ketika mereka baru saja melangkahkan kaki
memasuki halaman. Halaman itu ternyata cukup luas dengan penataan taman yang
begitu asri dan indah, menimbulkan perasaan sejuk dan damai bagi yang
memandangnya.
Di
sebelah kanan pendapa agak menjorok ke depan, tumbuh sebatang pohon bunga
kenanga yang menjulang cukup tinggi dengan daun-daunnya yang rimbun. Bunganya
yang dapat menyebarkan keharuman yang khas dan berwarna hijau kekuningan itu
tampak menggelung seperti bentuk bintang laut, bergerombol dan bertangkai
tangkai menjulur di antara kerimbunan daunnya.
Agak
jauh beberapa langkah di dekat dinding sebelah kanan regol, sebatang pohon
dadap merah tampak berdiri kokoh dengan bunga-bunganya yang bersusun-susun
seperti tandan pisang yang berwarna merah gelap bercampur jingga. Tampak seekor
burung kecil sedang berayun-ayun di tangkai sebuah bunga yang menyembul
diantara daun-daun dadap yang mulai gugur. Sesekali paruhnya yang mungil menyelusup
di sela-sela kelopak bunga yang bersusun susun itu untuk mencari serbuk sari.
Sementara
bunga bunga kenikir yang bergerombol di sisi kiri pendapa menampakkan warna
kuning cerah berpadu dengan daun-daunnya yang hijau gelap bagaikan taburan
seribu butiran kecubung kuning di atas hamparan permadani hijau.
Masih
ada lagi sejenis anggrek tanah yang bunganya berwarna putih bersih yang tumbuh
hampir sepanjang tangkainya yang menjulur begitu saja dari dalam tanah.
Sedangkan daunnya yang panjang panjang seolah bagaikan jari-jemari yang menadah
ke langit biru.
Glagah
Putih dan Rara Wulan tak habis habisnya memandangi kebun bunga itu seolah tidak
akan beranjak dari tempat itu seumur hidupnya. Pandangan mata mereka tak bosan
bosannya hinggap pada bunga-bunga melati dan mawar yang berjajar-jajar dan
tersusun pada bukit-bukit kecil yang sengaja dibuat untuk menambah suasana
sejuk dan damai.
Nyi
Rara Ambarasari sejenak menghentikan langkahnya ketika kakinya telah melangkahi
tlundak pendapa yang terakhir. Ketika kemudian dia menengok ke belakang, sebuah
senyum segera menghiasi bibirnya menyaksikan sepasang suami istri itu seolah
olah terbuai menikmati keindahan taman bunganya. Entah perasaan apa yang
bergejolak di dalam hatinya. Seakan akan bayangan dirinya dengan Mas Ngabehi
Loring Pasar berpuluh tahun yang lalu kembali tergambar dalam ingatannya.
Glagah
Putih dan Rara Wulan baru tersadar ketika sudut pandang mata mereka menangkap
sesosok bayangan sedang memperhatikan mereka.
“O..,
ma’afkan kami Nyi Rara,” dengan cepat Rara Wulan berkata, “Kami begitu
terpesona dengan taman bunga ini sehingga kami tidak menyadari kalau Nyi Rara
sudah menunggu kami sedari tadi.”
“Silahkan,”
berkata Nyi Rara sambil tetap menyungging senyum, “Aku akan menunggu kalian di
Pringgitan.”
Selesai
berkata demikian Nyi Rara segera memutar tubuhnya dan melangkah menyeberangi
pendapa menuju ke pringgitan. Namun, sebelum langkah Nyi Rara mencapai pintu
yang membatasi pendapa dengan ruang dalam itu, terdengar suara gaduh dari arah
regol.
Sebelum
Nyi Rara sempat menyadari apa yang sedang terjadi, tiba tiba serombongan orang
berjumlah sekitar tujuh orang menyibakkan para pengawal yang masih bergerombol
di depan regol, kemudian dengan langkah lebar mereka memasuki halaman rumah
Demang Cepaga.
Berdesir
dada Nyi Rara Ambarasari demi melihat orang yang berjalan paling depan.
“Adi
Wiguna,” desis Nyi Rara Dalam hati.
Orang
yang berjalan di depan rombongan itu memang Ki Wiguna, adik Demang Cepaga yang
telah meninggal dunia sekitar dua tahun yang lalu.
Sejenak
Nyi Rara Ambarasari termangu mangu ketika rombongan itu mulai berjalan
melintasi halaman rumahnya yang luas, namun kemudian dengan mencoba
mengendapkan segala perasaannya dia berkata, “O.., kiranya Adi Wiguna yang
datang berkunjung. Silahkan Adi, silahkan. Aku tidak menyangka kalau di siang
yang terik ini, Adi telah menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah ini.”
Sebuah
desir lembut terasa menyentuh jantung Ki Wiguna. Di rumah itulah dia bersama
kakaknya Wiraguna putra dari Ki Dukuh Cepaga dibesarkan. Walaupun rumah itu
kemudian mengalami perubahan sejalan dengan dikukuhkannya Wiraguna menjadi
Demang Cepaga, namun kenangan atas rumah dan penghuninya itu seakan baru
terjadi kemarin sore baginya.
Sungguh
masa kanak kanak yang sangat menyenangkan, bermain di bawah terang bulan sampai
jauh malam, atau membantu orang tua mereka menunggui sawah di siang hari sambil
membawa goprak untuk mengusir burung burung yang mencoba mencuri bulir bulir
padi yang mulai merunduk, atau hanya duduk duduk di bawah pohon nyamplung yang tumbuh
menjulang tinggi di pinggir sungai tak jauh di belakang rumah mereka sambil
menikmati semilirnya angin. Benar benar sebuah kenangan indah yang tak mungkin
tercerabut dari ingatannya.
Namun
dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, ternyata kehadiran seorang perempuan
telah menumbuhkan benih benih pertentangan di hati kedua kakak beradik itu,
walaupun kemudian ternyata seorang petualang yang bernama Jaka Suta itulah yang
telah berhasil memikat hati gadis yang bernama Endang Mintarsih itu.
Langkah
Ki Wiguna sempat tertegun tegun begitu pandang matanya menatap wajah kakak
iparnya. Betapa wajah itu tidak banyak berubah walaupun umur mereka berdua
telah merayap semakin senja. Gurat gurat kecantikan itu seakan akan tidak
pernah berubah, hanya sorot mata perempuan yang dimasa mudanya menjadi satu
satunya endang yang ada di Padepokan Sela Gilang itu kini agak berbeda. Sorot
mata itu kini bagaikan sebuah pelita di dalam sebuah goa yang gelap dan dalam.
Sinar kehidupan itu memang masih terlihat terpancar dari kedua bola matanya,
namun selebihnya adalah kegelapan yang sulit untuk dijajagi.
Ketika
kemudian Ki Wiguna melintas beberapa langkah di depan Glagah Putih dan Rara
Wulan, sejenak pandang matanya sempat menyambar wajah sepasang suami istri yang
sedang berdiri termangu mangu itu, namun langkah itupun kemudian tidak
berhenti.
“Marilah,”
sekali lagi Nyi Rara mempersilahkan para tamunya untuk naik ke pendapa dan
duduk di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah ten pendapa.
Kemudian
kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih berdiri termangu-mangu, Nyi Rara
berkata sambil melambaikan tangannya, “Kalian berdua kemarilah. Kalian juga
tamu tamuku. Bergabunglah bersama kami di pendapa ini.”
Dengan
langkah ragu ragu Glagah Putih dan Rara Wulan menaiki tlundak pendapa. Ketika
kemudian Nyi Rara Ambarasari menarik lengan Rara Wulan untuk menemani duduk di
sampingnya, Glagah Putih pun kemudian menempatkan dirinya beberapa jengkal di
belakang Rara Wulan.
Setelah
menanyakan keselamatan masing-masing, mulailah Ki Wiguna mengutarakan maksudnya
berkunjung ke kediaman Demang Cepaga siang itu.
“Mbok
Ayu,” demikian Ki Wiguna memulai pembicaraan, “Aku memerlukan menghadap mbok
Ayu siang ini mengatas namakan seluruh penghuni Kademangan Cepaga yang
menginginkan sebuah kepastian akan masa depan Kademangan ini.”
Nyi
Rara Ambarasari menarik nafas panjang sambil menggeser duduknya merapat ke Rara
Wulan, tanpa sadar jari jemari kedua perempuan itu telah menyatu.
“Ki
Wiguna,” Nyi Rara berhenti sejenak untuk mengatur detak jantungnya yang mulai
berdegup kencang, “Ada apakah dengan masa depan Kademangan ini? Aku tidak
merasakan adanya suatu perubahan yang mendasar sehingga kita memerlukan waktu
untuk membicarakan masa depan Kademangan ini.”
“Ma’afkan
aku sebelumnya mbok Ayu, kademangan ini memerlukan seorang pemimpin. Jangan
biarkan para bebahu Kademangan ini kehilangan arah dan petunjuk dalam
menjalankan tugas mereka.” berkata Ki Wiguna selanjutnya.
“Apakah
memang demikian yang terjadi selama ini? Mereka tidak mendapat petunjuk dan
arahan dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari?” jawab Nyi Rara Ambarasari
sambil menatap tajam ke arah Ki Wiguna.
Sejenak
Ki Wiraguna terdiam sambil menundukkan wajahnya. Entah mengapa, untuk menentang
pandang Nyi Rara Ambarasari itu dia tidak mempunyai nyali walaupun semenir,
namun kemudian katanya dengan suara bergetar sambil menahan gejolak di dalam
dadanya, “Memang dalam keseharian mereka kadang-kadang minta petunjuk dan
arahan kepadaku. Namun selebihnya aku tidak tahu.”
“Jadi,”
potong Nyi Rara dengan cepat, “Apakah permasalahan yang sebenarnya? Bukankah
selain Adi Wiguna, aku juga dapat memberikan petunjuk dan arahan kepada mereka
dalam menjalankan tugas sehari hari?”
Rona
merah mulai menjalari wajah Ki Wiguna. Sambil menarik nafas dalam dalam untuk
meredakan getar di dalam dadanya, dia mencoba mengutarakan maksud yang
sebenarnya, “Nyi Rara, dalam tugas keseharian mereka, memang hampir tidak ada
masalah yang berarti, namun yang mereka perlukan saat ini adalah sosok seorang
pemimpin di Kademangan Cepaga ini yang dapat mereka jadikan sebagai panutan.”
Nyi
Rara mengerutkan keningnya. Sebuah desir lembut bagaikan berpuluh ujung jarum
terasa menusuk nusuk jantungnya. Apa yang selama ini dikawatirkan agaknya mulai
merayapi hati para bebahu Kademangan. Agaknya mereka telah dengan sengaja
didorong oleh Ki Wiguna untuk segera mencari pengganti anaknya Teja Wulung yang
telah cukup lama meninggalkan Kademangan ini.
Perbincangan
di pendapa itu sejenak terganggu dengan hadirnya seorang pelayan menghidangkan
minuman dan beberapa potong makanan. Dengan cekatan Rara Wulan segera membantu
perempuan tua pelayan di rumah Nyi Rara itu untuk meletakkan mangkuk-mangkuk
minuman dan beberapa penganan di hadapan para tamu.
Ketika
pelayan itu telah selesai dan mengundurkan diri kembali ke ruang dalam, sejenak
Nyi Rara Ambarasari melayangkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang
duduk berjajar-jajar di belakang Ki Wiguna.
“Ki
Jagabaya,” tiba-tiba Nyi Rara berkata sambil memandang seseorang yang
berperawakan tinggi besar dan berkumis melintang yang duduk beberapa jengkal di
belakang sebelah kanan Ki Wiguna, “Dan juga Ki Jagatirta, Ki Jagawana dan yang
lainnya. Apakah memang demikian kehendak kalian? Kalian mengendaki adanya
pergantian pimpinan di Kademangan Cepaga ini padahal anakku Teja Wulung selaku
pewaris Kademangan Cepaga yang syah masih hidup?”
Tidak
ada seorang pun yang membuka suara untuk menjawab pertanyaan Nyi Rara
Ambarasari. Orang orang yang duduk di belakang Ki Wiguna itu hanya dapat
menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Diam-diam keringat dingin telah
membasahi punggung mereka. Memang pada kenyataannya mereka tidak dapat
membantah bahwa Teja Wulung masih syah sebagai Demang Cepaga walaupun dia telah
pergi beberapa bulan yang lalu meninggalkan Kademangan itu. Namun mereka juga
tidak dapat menyalahkan pendapat dari Ki Wiguna, paman Teja Wulung sendiri
untuk segera memilih pemimpin Kademangan Cepaga yang baru sepeninggal Teja
Wulung.
“Ma’afkan
sekali lagi mbok Ayu,” dengan suara bergetar Ki Wiguna mencoba memecah
kebuntuan, “Kita semua tidak tahu sampai kapan Teja Wulung meninggalkan
Kademangan ini. Kami semua justru berharap Teja Wulung dapat nggayuh
kamukten..”
“Tidak
perlu kau sebut-sebut itu, Adi Wiguna!” sergah Nyi Rara Ambarasari dengan suara
sedikit keras, “Selama anakku pergi, akulah yang diserahi tanggung jawab sebagi
pemangku sementara jabatan Demang Cepaga. Penyerahan secara resmi memang tidak
ada, tapi sebagai ibunya dan sekaligus istri Demang Cepaga yang terdahulu, aku
mempunyai tanggung jawab untuk membina masa depan Kademangan ini sambil
menunggu kabar dari Teja Wulung.”
Sejenak
semua yang hadir di pendapa itu termangu-mangu. Berbagai macam tanggapan muncul
di dalam benak masing-masing. Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Angin
pegunungan yang bertiup perlahan melintas di halaman itu terasa sejuk menggapai
tubuh tubuh yang diam membeku, namun dalam dada masing-masing sedang terjadi
sebuah pergolakan yang dahsyat.
Glagah
Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi hanya diam saja mengikuti pembicaraan
yang terjadi dapat menarik sebuah kesimpulan. Agaknya kepergian Teja Wulung
atau yang mereka kenal dengan nama Pangeran Ranapati itu telah menumbuhkan
permasalahan baru di Kademangan Cepaga. Paman Pangeran Ranapati ini
kelihatannya ingin menggantikan kedudukan keponakannya sebagai Demang Cepaga,
sementara ibunda Pangeran Ranapati sendiri masih bersikukuh bahwa anaknya tetap
sebagai Demang Cepaga walaupun telah cukup lama meninggalkan Kademangan itu.
Matahari
mulai tergelincir dari puncaknya. Walaupun sinarnya masih terasa menghanguskan
kulit, namun semilir angin pegunungan yang sejuk telah membuat udara yang panas
menjadi sedikit segar. Beberapa ekor kupu-kupu masih tampak hilir mudik
mengerumuni kembang-kembang kenikir yang bermekaran kuning keemasan. Dari arah
depan tampak seekor lebah terbang mendekat kemudian berdengung mengitari sebuah
kembang untuk mencoba berebut tempat dengan kupu-kupu yang masih saja asyik
bertengger di antara kelopak kelopak bunga. Ketika kaki-kaki lebah yang penuh
bulu-bulu halus itu mencoba menjejak di antara sari sari bunga, serentak
kerumunan kupu-kupu itu pun mengepak ngepakkan sayap-sayapnya yang indah
sehingga membuat lebah itu terkejut dan terbang menjauh.
“Mbok
Ayu,” suara parau Ki Wiguna memecah kesunyian, “Para bebahu Kademangan yang
hadir di pendapa ini sebelum berangkat menghadap mbok Ayu, telah sepakat untuk
meminta kepastian batasan waktu sampai kapan Kademangan ini dibiarkan kosong
tanpa seorang Pemimpin. Permasalahan yang pokok bukan pada terhambat atau
tidaknya tugas keseharian mereka, namun Kademangan yang cukup besar ini
memerlukan seorang pemimpin yang benar-benar dapat diandalkan, baik dalam
mengatur roda kehidupan di Kademangan ini maupun dalam menghadapi gangguan dari
luar yang mungkin timbul.”
Tertegun-tegun
Nyi Rara Ambarasari mendengarkan uraian Ki Wiguna. Di dalam hati memang dia
tidak dapat memungkiri pendapat adik iparnya ini. Beberapa waktu lalu memang
telah timbul-tanda tanda gangguan dari luar Kademangan ini. Segerombolan
orang-orang tak dikenal telah memasuki kademangan Cepaga dan kini mereka
bersarang di Padepokan Sela Gilang, padepokan tempat dia dibesarkan dan tumbuh
menjadi sekuntum bunga yang indah dan akhirnya dipetik oleh seorang petualang
yang bernama Jaka Suta.
Hampir
tidak ada perlawanan dari para penghuni Padepokan itu. Sepeninggal Ki Ageng
Sela Gilang menyusul muridnya melawat ke Timur, para penghuni Padepokan yang
memang tidak pernah dibekali latihan olah kanuragan itu tidak dapat menolak
kehendak orang orang-asing yang ingin menetap di Padepokan itu. Sedangkan para
pengawal Kademangan yang rata-rata telah dibekali kemampuan olah kanuragan dari
pemimpin mereka pada waktu itu, Ki Demang Teja Wulung, tidak berani bertindak gegabah.
Mereka menunggu seorang pemimpin yang dapat menggerakkan mereka untuk mengusir
orang-orang tak dikenal itu dari Padepokan Sela Gilang.
Para
pengawal yang memang pernah mencoba menolak kehadiran orang-orang asing itu
untuk memasuki Kademangan Cepaga pada saat pertama kali mereka memasuki
Kademangan Cepaga dari arah selatan, dibuat terheran heran dengan kemampuan
pemimpin mereka yang disebut Ki Lurah. Dengan tangan kosong orang yang di
panggil Ki Lurah itu telah membuat pengeram eram dengan menjebol pintu regol
yang terbuat dari kayu setebal hampir sejengkal dan meninggalkan bekas yang
mengerikan.
Sementara
itu Nyi Rara Ambarasari masih termenung. Ingatannya kembali ke masa-masa ketika
Teja Wulung masih ada. Kademangan itu begitu tenang dan damai. Teja Wulung
sendiri yang telah mengajarkan ilmu olah kanuragan kepada para pengawal untuk
menjaga keamanan Kademangan mereka sendiri. Kadang-kadang apabila gurunya Ki
Ageng Sela Gilang berkunjung ke rumahnya, disempatkannya memberikan beberapa
petunjuk kepada para pengawal itu sehingga pengalaman mereka semakin bertambah.
“Bagaimana,
mbok Ayu?” kembali terdengar pertanyaan Ki Wiguna yang membangunkan Nyi Rara
dari lamunannya, “Sampai kapan kami harus menunggu angger Teja Wulung?
Sementara keberadaan orang-orang asing di Padepokan Sela Gilang itu telah
meresahkan para penghuni padukuhan di sekitarnya. Memang selama ini yang mereka
ambil dari para penghuni padukuhan itu masih sebatas binatang ternak, kambing
atau ayam. Namun tidak menutup kemungkinan di kemudian hari mereka akan berbuat
semakin jauh.”
Nyi
Rara Ambarasari benar-benar dihadapkan pada persoalan yang rumit. Di satu pihak
dia tidak akan membiarkan persoalan orang-orang asing di Padepokan Sela Gilang
itu semakin berlarut-larut, namun apabila dia menyerahkan pimpinan Kademangan
Cepaga itu kepada adik iparnya, Ki Wiguna, hati kecilnya tidak rela.
Panggraitanya sebagai istri Demang Cepaga yang terdahulu dan telah sekian lama
mendampinginya dalam membina Kademangan ini, seolah bisa meraba bahwa niat yang
dikandung Ki Wiguna tidak tulus.
Ketika
kemudian tanpa disadarinya Nyi Rara Ambarasari menoleh ke arah Glagah Putih
yang duduk beberapa jengkal di belakang Rara Wulan, jantung perempuan paro baya
itu bagaikan terlonjak.
Sejenak
Nyi Rara Ambarasari termangu mangu. Hatinya masih terguncang hebat ketika
pandang matanya tertumbuk pada sebuah benda yang ditunjukkan oleh Glagah Putih
dari balik bajunya tepat pada saat dia menoleh kearahnya.
Sebuah
benda bulat pipih dan ada lukisan yang terpahat di permukaannya. Benda yang
serupa itu pernah dilihatnya ketika Mas Ngabehi Loring Pasar masih mengisi hari
hari indahnya di Padepokan Sela Gilang. Hanya bedanya yang dimiliki oleh Loring
Pasar itu agak besar dan terbuat dari emas, sedangkan yang disembunyikan di
balik baju Glagah Putih itu agak kecil dan bukan terbuat dari emas, menilik
ujudnya yang putih bersinar kemungkinannya terbuat dari perak.
Ketika
kemudian sekali lagi Nyi Rara Ambarasari mencoba memandang ke arah Glagah Putih
untuk meyakinkan penglihatannya, anak muda itu pun telah menganggukkan
kepalanya dan tersenyum ke arahnya.
Kini
yakinlah Nyi Rara Ambarasari bahwa mereka berdua itu bukanlah pengembara dalam
arti sebenarnya, mereka pasti dengan sengaja telah mencarinya di Kademangan
yang terpencil ini dan ada sangkut pautnya dengan Mas Ngabehi Loring Pasar atau
paling tidak sebuah jalur yang dapat menghubungkan ke arah itu.
Sambil
menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi getar-getar di dalam dadanya, Nyi
Rara pun berkata sambil menoleh ke arah Ki Wiguna, “Adi Wiguna, aku tidak dapat
memutuskan permasalahan ini sekarang. Berilah aku waktu barang sehari dua hari
agar aku mendapatkan waktu yang cukup untuk membuat keputusan yang menyangkut
masa depan Kademangan ini.”
“Tidak
ada bedanya,” potong Ki Wiguna, “Persoalannya sudah jelas dan para bebahu sudah
menunggu nunggu. Jadi mengapa mbok Ayu masih mengulur ulur waktu untuk
menyerahkan jabatan Demang Cepaga itu kepada yang lebih berhak?”
“Siapakah
yang engkau maksud dengan yang lebih berhak?” suara perempuan paro baya itu melengking
tinggi. Semburat merah tampak menghiasi wajahnya yang putih bersih,
“Sepeninggal kakang Wiraguna, Teja Wulung lah yang paling berhak memimpin
Kademangan ini. Kalau pun karena suatu sebab dia berhalangan untuk memangku
jabatan itu, masih ada aku. Walaupun aku hanya seorang putri triman, namun
Raden Sutawijaya putra angkat Sultan Pajang pada saat itu telah menyerahkan
serat kekancingan tanah palungguh Kademangan ini untuk anak yang masih dalam
kandunganku, bukan untuk kakang Wiraguna.”
Sampai
disini, hati perempuan yang pada masa mudanya bernama Endang Mintarsih itu
tidak mampu lagi menahan gejolak perasaannya. Dengan kedua tangannya dia
berusaha membendung air mata yang mulai pecah bagaikan air bah yang melanda
tebing-tebing di pegunungan. Isak tangisnya yang tertahan-tahan telah membuat
tubuhnya terguncang-guncang.
Dengan
sigap Rara Wulan segera merangkul perempuan paro baya yang telah banyak
mengalami pahit getirnya kehidupan itu. Dengan berbisik perlahan, Rara Wulan
mencoba menenangkan hati Nyi Rara Ambarasari, “Sudahlah Nyi Rara. Percayalah,
kami berdua akan mencoba membantu mengatasi permasalahan ini sejauh kami dapat
lakukan.”
Kemudian
sambil berpaling dan menganggukkan kepalanya ke arah Ki Wiguna, Rara Wulan
berkata, “Ma’afkan kami berdua Ki Wiguna. Bukan maksud kami untuk mencampuri
urusan Kademangan ini, namun sebaiknya biarlah Nyi Rara beristirahat sejenak
agar kesehatannya tidak terganggu.”
Ki
Wiguna yang tidak menyangka persoalan itu akan mengungkit kenangan masa lalu
Nyi Rara Ambarasari, diam-diam mengeluh dalam hati. Dia tidak menyangka bahwa
mbok Ayunya itu akan bersikukuh tetap memegang pimpinan Kademangan Cepaga
sambil menunggu kabar dari Teja Wulung. Sedangkan orang-orang asing yang
bersarang di Padepokan Sela Gilang itu sudah hampir hilang kesabarannya
menunggu-nunggu kesanggupannya.
Dengan
perlahan-lahan Rara Wulan membimbing Nyi Rara Ambarasari untuk berdiri,
kemudian dengan tetap menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya
serta menahan isak tangisnya, Nyi Rara Ambarasari dibantu oleh Rara Wulan
melangkah meninggalkan pendapa menuju ke pringgitan.
Sejenak
Glagah Putih masih duduk menunggu di pendapa. Ki Wiguna yang merasa sudah tidak
ada gunanya lagi berlama-lama di tempat itu segera bangkit berdiri diikuti oleh
para bebahu Kademangan. Ketika kemudian Glagah Putih itu pun ikut berdiri,
pandang mata Ki Wiguna yang tajam telah melekat di wajah Glagah Putih.
“Siapakah
kalian sebenarnya, Ki Sanak?” bertanya Ki Wiguna dengan nada yang dalam,
“Kademangan ini telah cukup disibukkan dengan kedatangan orang-orang asing di
Padepokan Sela Gilang. Aku harap kalian tidak menambah keruhnya suasana
Kademangan ini.”
Dengan
sedikit membungkukkan badannya, Glagah Putih menjawab, “Aku mohon ma’af apabila
kehadiran kami berdua di Kademangan ini membuat para penghuninya resah. Kami
hanyalah pengembara yang kebetulan sedang melewati daerah ini. Kami berjanji
tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Mungkin besok atau lusa kami segera
meneruskan perjalanan.”
“Lebih
cepat lebih baik,” terdengar desis yang cukup keras dari belakang Ki Wiguna.
Ternyata orang yang tinggi besar dengan kumis melintang yang di panggil Ki
Jagabaya oleh Nyi Rara itulah yang berkata.
Ki
Wiguna mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya dia berpaling ke belakang,
namun hanya sekilas. Kemudian katanya kepada Glagah Putih, “Matahari sudah jauh
tergelincir. Memang sebaiknya kalian bermalam di Kademangan ini, namun aku
sarankan lebih baik kalian bermalam di banjar saja agar tidak mengganggu
istirahat mbok Ayu.”
“Baiklah
Ki Wiguna,” jawab Glagah Putih berusaha untuk tidak membuat persoalan yang
berarti dengan paman Pangeran Ranapati itu, “Namun sebaiknya kami mohon pamit
terlebih dahulu kepada Nyi Rara sebelum meninggalkan tempat ini.”
Ki
Wiguna mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil memutar tubuhnya
dan melangkah pergi, “Terserah kalian. Tapi ingat! Jangan membuat persoalan di
Kademangan ini yang dapat mempersulit keadaan kalian.”
Glagah
Putih tidak menjawab. Dia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengikuti
langkah Ki Wiguna dan para bebahu kademangan itu menuruni tangga pendapa dengan
pandangan matanya.
Ketika
rombongan itu telah hilang di balik regol, Glagah Putih pun dengan langkah ragu
ragu mendekati pintu pringgitan. Sejenak dicobanya untuk mendengarkan suara di
balik pintu itu, namun pringgitan itu ternyata sepi. Mungkin Rara Wulan telah
membantu membimbing Nyi Rara menuju ke ruang tengah.
Perlahan
Glagah Putih mendorong pintu yang membatasi pendapa dengan pringgitan. Suara
derit pintu yang cukup keras ternyata telah menarik perhatian Rara Wulan yang
memang sedang duduk menemani Nyi Rara di ruang tengah.
“Kakang,
masuklah. Kami di ruang tengah,” terdengar suara Rara Wulan memanggil dari
ruang dalam.
Glagah
Putih menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatasi gejolak di dalam
dadanya. Sebenarnya Glagah Putih tidak ingin tergesa gesa mengungkapkan jati
diri mereka berdua di hadapan Nyi Rara, namun keadaanlah yang memaksa dirinya
untuk menunjukkan lencana khusus yang dimiliki oleh prajurit sandi Mataram
kepada Nyi Rara agar ibunda Pangeran Ranapati itu merasa mempunyai pegangan
untuk menentukan sikap.
Dengan
langkah yang tidak tergesa gesa Glagah Putih pun kemudian berjalan melintasi
pringgitan menuju ke ruang dalam. Ketika dia telah sampai di ruang tengah yang
hanya dibatasi dengan sebuah rana yang berukir lembut, tampak olehnya kedua
perempuan itu sedang duduk berdampingan di atas tikar pandan yang berwarna
cerah.
“Marilah
ngger,” Nyi Rara Ambarasari yang sudah mampu menguasai dirinya kembali itu
mempersilahkan Glagah Putih, “Anggaplah ini rumah kalian sendiri. Kalian dapat
bermalam di gandok kanan. Biarlah para pelayan nanti yang mempersiapkan bilik
untuk kalian.”
“Ah,
“ Glagah Putih berdesah sambil mengambil tempat duduk bersila di depan kedua
perempuan itu, “Kami adalah pengembara yang sudah terbiasa bertempat di
manapun. Janganlah keberadaan kami ini akan merepotkan Nyi Rara.”
“Ah,
sudahlah. Lupakan segala ewuh pakewuh itu. Sebaiknya kalian memanggilku Bibi
saja,” berkata Ibunda Pangeran Ranapati itu, kemudian lanjutnya, “Tidak ada
salahnya kalian sejenak melupakan petualangan kalian. Sekarang kalian berdua
adalah tamu tamuku, aku wajib memberikan yang terbaik sebagai tanda
penghormatan atas kesediaan kalian untuk mampir di rumah ini.”
“Terima
kasih, Bibi,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menyahut.
Perempuan
paro baya yang sempat tersangkut di hati Panembahan Senapati di masa mudanya
itu tersenyum. Entah perasaan apa yang sedang bergolak di dalam hatinya, namun
seakan hati kecilnya sudah bulat bahwa kedua anak muda itu dapat dipercaya
untuk membantu memecahkan masalahnya.
“Angger
Glagah Putih,” kata Nyi Rara Ambarasari kemudian, “Rara Wulan telah bercerita
banyak tentang diri kalian berdua. Jika pada saatnya nanti kalian kembali ke
Mataram, sampaikan ucapan terima kasihku yang tak terhingga serta salam hormat
kepada Ki Patih Mandaraka yang masih berkenan mengingat seorang Endang dari
Padepokan terpencil ini. Semoga sikap deksura dari anakku Teja Wulung mendapat
ampunan dari keluarga Istana di Mataram.”
Glagah
Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka
tidak sampai hati untuk menceritakan keadaan Teja Wulung yang sebenarnya.
Mereka tidak ingin membuat hati perempuan paro baya itu semakin menderita jika
mengetahui anak semata wayangnya telah menjadi Senapati Agul Agul Kadipaten
Panaraga dan siap untuk melakukan pemberontakan melawan Mataram.
“Angger
berdua,” berkata Nyi Rara Ambarasari sambil membetulkan letak duduknya,
“Sebenarnyalah setelah aku melihat lencana Angger Glagah Putih, aku segera
teringat dengan sebuah lencana yang mirip dengan itu. Sebuah lencana dari Mas
Ngabehi Loring Pasar yang dihadiahkan kepadaku sebagi kenang-kenangan, bukan
sebagai pertanda yang dapat dijadikan bukti keturunanku untuk menuntut hak ke
Mataram. Lencana itu sengaja aku simpan dan tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya, Teja Wulung pun tidak. Apalagi Kakang Wiraguna.”
Glagah
Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Masing masing mempunyai tanggapan
yang berbeda. Rara Wulan sebagai seorang perempuan menyikapi hal itu dengan
penuh rasa haru. Hatinya trenyuh atas perhatian Panembahan Senapati kepada Nyi
Rara Ambarasari. Sedangkan Glagah Putih menganggap pemberian lencana itu bukan
hanya sekedar sebagai kenang-kenangan, namun lebih dari itu, lencana itu adalah
lencana khusus, lencana yang hanya dimiliki oleh seorang bangsawan, apalagi
kedudukan Raden Sutawijaya pada waktu itu adalah sebagai putra angkat Sultan
Pajang.
“Ma’afkan
kami sebelumnya Bibi,” akhirnya Glagah Putih memberanikan diri untuk bertanya,
“Apakah kami diperkenankan untuk melihat lencana itu?”
Sebersit
keragu-raguan tampak di wajah Nyi Rara Ambarasari, namun kemudian dengan seulas
senyum, dia berkata sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya, “Baiklah
ngger, mungkin kalian kurang yakin dengan ceritaku. Aku tidak keberatan untuk
menunjukkan lencana itu kepada kalian, asalkan kalian berjanji tidak akan
menceritakan hal ini kepada siapa pun.”
Glagah
Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan menarik nafas panjang, kemudian sambil
mengangguk mereka menjawab, “Jangan kuatir Bibi. Kami berdua akan memegang
rahasia ini dengan taruhan nyawa kami.”
“Ah,”
desis Nyi Rara Ambarasari sambil melangkah ke senthong tengah, “Tidak sejauh
itu pengorbanan yang harus kalian lakukan.”
Sejenak
kemudian suasana menjadi sepi. Glagah Putih dan Rara Wulan hanya duduk terpekur
menunggu Nyi Rara Ambarasari kembali dari senthong tengah. Masing masing hanyut
dengan peristiwa peristiwa yang telah berlalu yang datang silih berganti dalam
perjalanan hidup mereka berdua. Kadang-kadang tampak Glagah Putih menarik nafas
dalam dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun kadang tampak Rara
Wulan lah yang mengerutkan keningnya dalam dalam sambil memandang ke arah pintu
senthong tengah. Seolah olah ingin ditembusnya pintu bilik itu dengan ketajaman
pandangan matanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan Nyi Rara Amabasari
di dalam bilik itu.
“Kakang,”
tiba tiba Rara Wulan berbisik, “Tugas kita adalah membuktikan kebenaran cerita
tentang Ibunda Pangeran Ranapati yang masih hidup dan kisah cintanya dengan Mas
Ngabehi Loring Pasar. Namun bukti apakah yang dapat kita bawa ke hadapan Ki
Patih Mandaraka?”
Glagah
Putih memandang sekilas ke arah Rara Wulan sebelum menjawab. Kemudian katanya
sambil menggerakkan kepalanya ke arah pintu senthong tengah, “Lencana itu.”
“Maksud
Kakang?”
“Lencana
itulah sebagai bukti bahwa memang Panembahan Senapati di masa mudanya pernah
mempunyai hubungan khusus dengan Nyi Rara Ambarasari.”
Rara
Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada pintu
bilik senthong tengah yang terbuka dan tampak dengan langkah yang gemulai Nyi
Rara Ambarasari melangkah keluar.
Setelah
menempati tempat duduknya semula, Nyi Rara Ambarasari kemudian menyodorkan
sebuah bungkusan kain yang sudah pudar warnanya, “Inilah ngger, kenang-kenangan
yang selalu kusimpan dan menjadi tautan kasih sayangku dengan Mas Ngabehi
Loring Pasar,” dia berhenti sejenak, lalu katanya kepada Rara Wulan, “Setiap
perempuan yang dinikahi oleh seorang laki-laki pasti menerima mas kawin sebagai
syarat syahnya sebuah pernikahan. Lencana itulah yang digunakan oleh Mas
Ngabehi Loring Pasar sebagai mas kawin.”
Sejenak
sepasang suami istri itu saling berpandangan. Mereka merasa terkejut dengan
pengakuan Ibunda Pangeran Ranapati itu bahwa lencana pemberian putra angkat
Sultan Pajang pada waktu itu adalah sebagai mas kawin. Dengan demikian tidak
ada seorang pun yang berhak meminta lencana itu karena bagi Nyi Rara
Ambarasari, nilai lencana itu seperti nyawanya sendiri.
Sambil
membuka bungkusan kain yang warnanya sudah memudar itu, Glagah Putih mencoba
menilai dirinya sendiri. Pada saat mereka berdua telah berikrar sebagai
sepasang suami istri, hanya sebentuk cincin emas yang tidak terlalu besar yang
dapat dipersembahkan kepada Rara`Wulan sebagai mas kawin, itupun atas bantuan
kakak sepupunya Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika tanpa disadarinya pandangan
matanya melirik kearah jari manis Rara Wulan yang duduk di sebelah Nyi Rara
Ambarasari, hati Glagah Putih menjadi terenyuh, cincin itu tetap melingkar
dengan setia di jari manis istri tercintanya itu.
Ketika
bungkusan kain itu telah terbuka dengan sempurna, sejenak Glagah Putih
termangu-mangu. Lencana itu benar-benar terbuat dari emas murni. Pada sisi yang
menghadap ke arah Glagah Putih tampak sebuah lukisan yang mirip dengan simbul
Surya Majapahit, kemudian di tengah-tengahnya ada gambar sebilah keris yang
masih tersimpan dalam wrangkanya serta di bawahnya ada gambar tiga buah bunga
melati.
“Lambang
ini hanya dimiliki oleh kerabat dekat Sultan Pajang,” berkata Glagah Putih
dalam hati, “Tidak aneh kalau lencana ini ada pada Mas Ngabehi Loring Pasar,
karena dia adalah putera angkat Sultan Pajang pada saat itu.”
Ketika
kemudian Glagah Putih membalikkan lencana itu, sejenak kerut merut di wajah
Glagah Putih terlihat semakin dalam. Ada guratan guratan yang tampak kurang
jelas dan aneh. Guratan guratan itu tidak menunjukan sebuah lambang apapun,
bahkan tampak seperti gambar sebuah peta, terlihat adanya simbol-simbol yang
seperti menggambarkan sebuah gunung dan sungai serta sebuah bulatan di sebelah
kanan atas yang sepertinya menggambarkan sebuah matahari. Masih ada lagi
beberapa simbol yang Glagah Putih belum dapat menebak apa maksud semua itu.
Setelah
puas mengamat amati lencana itu, Glagah Putih pun kemudian membungkus kembali
lencana itu dan kemudian menyerahkannya kepada Nyi Rara Ambarasari.
“Terima
kasih, Nyi Rara telah berkenan memperlihatkan lencana ini kepada kami,” berkata
Glagah Putih setelah lencana itu diterima oleh Nyi Rara.
Nyi
Rara Ambarasari tersenyum sekilas. Katanya kemudian sambil menimang-nimang
bungkusan kain di tangannya, “Sebenarnya dengan menunjukkan lencana ini kepada
kalian berdua, tidak ada niat sebiji sawi pun dari kami untuk mengungkit masa
lalu dengan pamrih pribadi, perhatian dan cinta kasih Mas Ngabehi Loring Pasar
kepadaku pada waktu itu sudah cukup aku bawa sebagai kenangan terindah seumur
hidupku. Sedangkan kepada Teja Wulung, selalu kutanamkan pengertian bahwa tanah
palungguh yang dihadiahkan oleh Mas Ngabehi Loring Pasar kepada Ayah Mertuaku,
Ki Dukuh Cepaga mewakili anak yang masih dalam kandunganku pada waktu itu
adalah sebagai tanda bahwa yang dapat diwarisinya hanyalah Kademangan Cepaga
ini, tidak lebih dan tidak kurang.”
Glagah
Putih menarik nafas dalam-dalam kemudian katanya, ”Maafkan kami Bibi, bukan
maksud kami untuk mengungkit kenangan lama yang barangkali menyakitkan hati
bibi, namun kami ingin mengetahui bagaimana kemudian Kakang Teja Wulung memakai
gelar Pangeran Ranapati?”
Perempuan
paro baya itu kembali berdesah panjang, seolah olah ingin dikeluarkan semua
beban yang menghimpit dada melalui desah nafasnya. Dengan mata yang menerawang
ke titik-titik di kejauhan dia menjawab pertanyaan Glagah Putih, ”Adi Wiguna ,
paman dari Teja Wulung dan sekaligus adik dari Kakang Wiraguna telah membakar
hatinya dan mendorongnya untuk menuntut hak ke istana Mataram, namun sebenarnya
aku tahu niat terselubung dari Wiguna, dia ingin warisan tanah palungguh
Kademangan Cepaga ini berpindah ke tangannya, jika Teja Wulung tidak ada.”
“Maksud
bibi, sebenarnya Paman Wiguna ingin menyingkirkan Kakang Teja Wulung?” kata
Glagah Putih
“Ya
ngger,” Perempuan paro baya itu menjawab sambil mengusap titik-titik air mata
yang mulai mengembang di sudut matanya, “Tidak ada satu pun bukti yang dapat
memperkuat kedudukan Teja Wulung sebagai Pangeran Mataram. Serat kekancingan
tanah palungguh Kademangan Cepaga itu pun tidak menyebut hubungan khususku
dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Sehingga tidak ada seorang pun yang akan
percaya dengan kisah hubunganku ini dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. ”
“Tetapi
mengapa bibi menunjukkan lencana itu kepada kami dan menceritakan hubungan yang
pernah terjalin antara bibi dengan Mas Ngabehi Loring Pasar kepada kami?” Rara
Wulan yang dari tadi diam saja kelihatannya mulai terusik.
“Angger
berdua, kepada kalian aku ingin berbagi cerita, bukan untuk membenarkan
tindakan Teja Wulung, namun sebagai ungkapan kepercayaanku kepada kalian bahwa
sebenarnyalah kisah cinta itu memang pernah ada.”
Terasa
sesuatu bergetar jauh di lubuk hati Glagah Putih dan Rara Wulan. Sebenarnyalah
perempuan paro baya ini telah menanggung beban yang sangat berat. Kecintaannya
kepada Mas Ngabehi Loring Pasar telah diujudkannya dalam bentuk kesetian yang
tiada taranya, penantian yang tak berujung serta kesediaan meratapi nasibnya
dengan ikhlas.
Dalam
pada itu, di rumah Ki Wiguna, telah berkumpul beberapa bebahu Kademangan yang
akan membahas pengukuhan Ki Wiguna sebagai Demang Cepaga sepeninggal Teja
Wulung yang sedang menggapai cita-citanya merintis jalan ke istana Mataram.
Seseorang
yang berperawakan pendek dengan otot otot yang menonjol di kedua belah
tangannya beringsut maju.
“Ki
Wiguna,” Suaranya nyaring menarik perhatian orang orang yang hadir di pendapa
rumah Ki Wiguna, “Pengukuhan ini harus segera dilaksanakan, jangan biarkan para
bebahu terombang-ambing dengan keadaan yang tidak menentu ini. Ingat, sudah
lebih sepuluh bulan anakmas Teja Wulung meninggalkan Kademangan ini. Apakah ada
diantara kita yang diberi wewenang untuk menggantikan tugasnya selama dia
pergi?”
Semua
mata memandang kearah Ki Wiguna. Tampak seleret senyum tipis menghiasi bibir Ki
Wiguna Widagda. Dengan sedikit menengadahkan wajah sambil memperlihatkan kerut
di dahi, dia menjawab, ”Ki Parta Tenaya, seandainya tidak ada seorang pun yang
diserahi untuk mengurus Kademangan ini, siapakah yang lebih pantas
menggantikannya selama dia pergi?”
“Tentu
saja Ki Wiguna yang paling pantas. Bukankah tidak ada lagi saudara yang paling
dekat selain engkau sebagi pamannya. Adapun ibunya, Nyi Rara Ambarasari tentu
saja tidak akan mampu melaksanakan tugas ini.” dengan cepat Ki Parta Tenaya
menyahut.
Beberapa
orang yang hadir dipendapa itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya, namun
beberapa diantaranya masih bergeremang. Tampaknya masih ada beberapa bebahu
yang kurang sependapat dengan Ki Parta Tenaya, namun mereka agaknya masih
merasa segan untuk menyuarakan pendapat mereka.
“Ma’afkan
aku sebelumnya, Ki Wiguna,” tiba tiba seseorang yang rambutnya sudah ubanan
beringsut maju, “Bukannya aku tidak sependapat dengan Ki Parta Tenaya, namun
lebih baik pengukuhan ini ditunda terlebih dahulu sambil menunggu keputusan
yang akan diambil oleh Nyi Rara Ambarasari.”
“Aku
rasa itu tidak perlu,” seseBesok tipis dan bermata agak juling menyahut, “Nasib
Kademangan ini tidak tergantung pada seorang perempuan. Kita para laki-laki di
Kademangan ini harus berani mengambil keputusan sejalan dengan kekosongan
kepemimpinan di Kademangan kita.”
Beberapa
orang yang hadir di pendapa itu mengangguk-anggukkan kepalanya, namun orang
yang rambutnya sudah ubanan itu mengerutkan keningnya dalam dalam, katanya
kemudian, “Bukan maksudku untuk mengesampingkan keberadaan para bebahu
Kademangan Cepaga, namun kita harus menyadari bahwa pewaris syah dari Kademangan
Cepaga ini masih hidup. Jadi kita tidak bisa dengan serta merta menggantinya.”
“Maksudmu?”
desak Ki Wiguna.
Orang
yang rambutnya sudah ubanan itu menarik nafas sejenak, sambil mengedarkan
tatapan matanya keseluruh yang hadir di pendapa itu dia menjawab, “Aku kurang
setuju dengan pengukuhan Ki Wiguna menjadi Demang Cepaga, namun tidak ada
salahnya jika kita memberikan kepercayaan kepada Ki Wiguna selaku paman Teja
Wulung untuk menjadi pemangku jabatan sementara Demang Cepaga sambil menunggu
berita dari Teja Wulung.”
“Itu
tidak ada bedanya,” sela Besok tipis dan bermata agak juling itu, “Yang penting
pada saat ini kita harus segera mempunyai seorang pemimpin yang dapat
mengarahkan kepada para bebahu Kademangan serta segera mengambil sikap terhadap
perkembangan keadaan saat ini, terutama yang menyangkut orang orang asing di
Padepokan Sela Gilang.”
Sejenak
orang-orang yang hadir di pendapa rumah Ki Wiguna itu menjadi ribut. Mereka
saling berebut mengemukakan pendapat yang berbeda beda, bahkan ada diantaranya
yang berteriak cukup keras sambil mengepalkan tinjunya keatas, “Setuju! Aku
setuju dengan pendapat Ki Ramban!”
“Ya..ya,
aku juga setuju!” sahut yang lain.
“Tidak
setuju, aku tidak setuju.!” teriak yang lain tak kalah kerasnya.
“Setuju..!”
kembali yang lain mencoba memaksakan pendapatnya.
“Sebentar,
sebentar..!” tiba tiba Ki Wiguna berteriak untuk meredam kegaduhan itu, Setelah
suara suara itu mereda, barulah Ki Wiguna melanjutkan kata katanya, “Apapun
pendapat kalian, aku dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa Kademangan Cepaga
harus segera memiliki seorang pemimpin, apapun sebutannya.”
“Betuul..!”
bagaikan suara guruh mereka yang hadir itu bersorak.
“Baiklah
kalau memang demikian,” suara Ki Wiguna segera meredam kegaduhan di pendapa
itu, “Kita akan segera melaksanakan pengukuhan ini paling lambat dua hari lagi.
Aku masih harus minta restu dari mbokayu Ambarasari, bagaimanapun juga dia
adalah istri Demang terdahulu, Kakang Wiraguna saudara kandungku satu satunya.
Namun Nyi Rara setuju atau tidak, tidak akan menjadi halangan bagi kita untuk
melaksanakan pengukuhan itu.”
Orang
orang yang hadir di pendapa itu mengangguk anggukkan kepala mereka. Agaknya
sudah tidak ada lagi suara-suara bergeremang atau nada nada yang akan menentang
rencana pengukuhan itu.
Demikianlah,
pertemuan para bebahu Kademangan Cepaga itu segera bubar. Beberapa orang masih
berbincang di pendapa, namun pada dasarnya pertemuan itu sudah selesai dengan
kesepakatan untuk melaksanakan pengukuhan Ki Wiguna dua hari lagi.
Namun
sebelum orang orang itu meninggalkan halaman rumah Ki Wiguna, tiba-tiba saja
mereka telah dikejutkan oleh datangnya dua orang yang masih terhitung muda
memasuki regol halaman rumah Ki Wiguna. Dengan tenang keduanya menyeberangi
halaman sambil sesekali tersenyum dan mengangguk ke arah orang-orang yang masih
berdiri termangu-mangu di halaman rumah Ki Wiguna.
Ki
Wiguna mengerutkan keningnya sejenak, rasa-rasanya dia pernah melihat dua orang
muda itu siang tadi ketika dia mengunjungi rumah Nyi Ambarasari. Kalau tidak
salah mereka adalah pasangan suami istri pengembara yang menjadi tamu di rumah
mbokayunya.
“Selamat
sore Ki Wiguna,” sapa Glagah Putih sambil menaiki tlundak pendapa, “Selamat
bertemu kembali. Agaknya Ki Wiguna agak lupa kepada kami pengembara yang
menjadi tamu di rumah Nyi Ambarasari.”
“Tentu
tidak Ki Sanak,” jawab Ki Wiguna sambil berdiri menyambut tamunya, “Aku sudah
tahu siapa kalian berdua, orang-orang malas yang menghambur-hamburkan waktunya
dengan berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, apapun tujuannya. Tapi
bagiku semua itu adalah pekerjaan sia-sia, tanpa masa depan”
Glagah
putih yang serba sedikit telah mengetahui watak Ki Wiguna dari penuturan Nyi
Ambarasari itu tersenyum, dicobanya untuk menghapus kesan tersinggung di
wajahnya, kemudian jawabnya, “Kami memang sepasang pengembara yang berjalan
kemana saja langkah ini membawa kami, namun demikian bukan berarti kami tidak
mempunyai suatu keyakinan tentang apa yang kami jalani.”
“Itu
terserah kalian, bukan urusanku,” sahut Ki Wiguna dengan nada yang sedikit
keras, ”Nah, sekarang katakan apa keperluan kalian datang kemari.”
Segera
saja warna merah menjalar di wajah Rara Wulan. Kalau saja Glagah Putih tidak
menggamitnya, tentu sudah meluncur kata-kata pedas dari mulutnya untuk
mengimbangi ucapan tuan rumah yang tidak mengenal unggah ungguh-dalam menerima
mereka sebagai tamunya.
Sambil
menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gelora yang bergejolak di dadanya,
Glagah Putih mencoba menjawab dengan sareh, “Maafkan kami berdua Ki Wiguna,
sesungguhnya kami kemari atas permintaan Nyi Rara Ambarasari untuk menemui Ki
Wiguna.”
Dada
Ki Wiguna berdesir tajam. Setiap kali ada orang menyebut nama Rara Ambarasari,
selalu saja ada perasaan gelisah di hatinya. Rasa rasanya ada yang kurang mapan
dengan nama itu. Seandainya mungkin, dia ingin nama itu tidak pernah lagi
disebut sebut oleh orang orang Kademangan Cepaga.
“Ki
Wiguna,” tiba tiba seseorang yang rambutnya sudah hampir putih semua namun
masih tampak kokoh berdesis perlahan lahan di belakang Ki Wiguna, “Apakah tidak
sebaiknya mereka dipersilahkan duduk dulu?”
Sambil
berpaling perlahan lahan Ki Wiguna menyahut, “Apakah itu memang perlu, Ki
Lajuwit?”
“Kita
tidak boleh meninggalkan suba sita dalam menerima seorang tamu, Ki Wiguna,
betapapun ujud lahiriahnya.” berkata Ki Lajuwir
Ki
Wiguna mengerutkan keningnya, sejenak diedarkan tatapan matanya keseluruh sudut
halaman rumahnya. Beberapa orang tampaknya telah mengurungkan niatnya untuk
meninggalkan halaman rumah Ki Wiguna. Agaknya mereka pun ingin mengetahui
kepentingan apakah yang akan disampaikan Nyi Rara Ambarasari melalui sepasang
suami istri pengembara itu.
“Ki
sanak berdua,” Akhirnya suara Ki Wiguna memecahkan kebekuan itu, “Marilah,
silahkan duduk dulu. Kelihatannya aku harus meluangkan waktu sejenak untuk
mendengarkan pesan mbokayu Rara Ambarasari yang dititipkan kepada kalian
berdua”
Sejenak
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, namun mereka pun kemudian
melangkah ke tengah-tengah pendapa yang telah dibentangi tikar pandan yang
putih bersih. Ki Wiguna dan beberapa bebahu yang masih ada di pendapa itu pun
segera duduk menebar mengitari Glagah Putih dan Rara Wulan.
Setelah
membetulkan letak kain panjangnya serta ikat kepalanya, Glagah Putih pun
bergeser setapak menghadap penuh ke arah Ki Wiguna, kemudian katanya, ”Ki
Wiguna, kedatangan kami berdua kemari sesungguhnya mengemban tugas dari Nyi
Rara Ambarasari untuk menyampaikan pesan kepada Ki Wiguna sehubungan dengan
permasalahan yang telah Ki Wiguna sampaikan kepada Nyi Rara Ambarasari di
rumahnya menjelang Matahari tergelincir siang tadi.”
“Katakan,”
sergah Ki Wiguna tidak sabar, “Masih banyak pekerjaan yang menunggu untuk
diselesaikan. Aku tidak mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan dongengan
kalian.”
“Kami
tidak sedang mendongeng!” tiba tiba Rara Wulan yang sudah menahan diri sedari
tadi menyela dengan suara keras, “Kami berdua adalah duta pamungkas dari Nyi
Rara Ambarasari. Kami diberi kewenangan mutlak untuk menyelesaikan permasalahan
yang timbul di Kademangan Cepaga ini.”
“Tutup
mulutmu,” bentak Ki Wiguna tak kalah keras, “Yang terjadi ini adalah urusan
penduduk Kademangan Cepaga, orang luar tidak boleh mencampuri urusan ini.”
“Aku
tidak peduli!” suara Rara Wulan tinggi melengking, “Disini telah terjadi
ketidak adilan dan pengambilan hak orang lain dengan cara curang. Kami tetap
pada pendirian kami, memperjuangkan hak Nyi Rara Ambarasari yang akan kau
telan.”
“Diam
kau perempuan Iblis,” geram Ki Wiguna sambil menghentakkan kepalan tangannya ke
lantai, “Sekali lagi aku peringatkan. Jangan ikut campur dengan masalah
Kademangan Cepaga. Kami sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah ini.
Lebih baik kalian segera pergi dari sini dan menyelesaikan urusan kalian
sendiri.”
Diam-diam
Glagah Putih merasa gelisah dengan perkembangan keadaan yang tidak terkendali
ini. Dia sangat menyayangkan Rara Wulan yang mudah terpancing oleh sikap dan
perilaku Ki Wiguna. Padahal kedatangan mereka ke rumah Ki Wiguna ini untuk
mengemban pesan perdamaian dari Nyi Rara Ambarasari, ibunda Pangeran Ranapati.
“Ma’afkan
istriku ini Ki Wiguna,” dengan cepat Glagah Putih berusaha mengembalikan
suasana yang mulai memanas itu, “Pesan Nyi Rara Ambarasari yang dititipkan
kepada kami adalah untuk kepentingan masa depan Kademangan ini sendiri. Kami
berdua hanya membantu menyampaikan pesan itu, tidak lebih dan tidak kurang.”
Ki
Wiguna yang sudah terlanjur merah padam wajahnya itu untuk sejenak bagaikan
membeku. Pengaruh nama Rara Ambarasari itu masih saja seperti bayang-bayang
hantu yang memburunya kemana dia bersembunyi. Jauh di lubuk hatinya dia tidak
dapat mengingkari, Rara Ambarasari adalah Putri triman dari Panembahan Senapati
yang dimasa mudanya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar kepada kakak kandungnya,
Ki Wiraguna. Ada setitik rasa penyesalan, mengapa justru kakaknya yang dipilih
oleh Mas Ngabehi Loring Pasar pada waktu itu untuk menerima Putri triman? Bukan
dirinya yang juga telah lama menaruh hati kepada Endang Mintarsih, satu-satunya
Endang yang tinggal di Padepokan Sela Gilang, jauh sebelum kedatangan Jaka Suta
dan pamannya di Padepokan itu.
Sementara
itu Matahari sudah semakin condong ke barat. Cahayanya yang kuning suram jatuh
di pucuk-pucuk dedaunan memantulkan warna-warna yang buram. Seorang pelayan di
rumah Ki Wiguna tampak sedang membawa sebuah bumbung berisi minyak klentik dari
arah kanan pendapa. Agaknya pelayan itu akan mengisi lampu dlupak yang
tergantung di tengah-tengah pendapa, namun begitu disadarinya masih banyak tamu
yang duduk-duduk di pendapa, segera saja langkahnya surut kembali ke belakang.
“Baiklah,”
akhirnya suara Ki Wiguna menurun, “Sampaikan saja pesan dari mbokayu Rara
Ambarasari. Tidak kurang dan tidak lebih.”
Hampir
saja Rara Wulan akan menjawab kalau saja Glagah Putih tidak menyentuh lambung
istrinya itu dengan sikunya, kemudian cepat-cepat Glagah Putih berkata, “Terima
kasih Ki Wiguna, Nyi Rara Ambarasari tidak berkeberatan seandainya Ki Wiguna
mengambil alih sementara pimpinan di Kademangan Cepaga ini selama Ki Teja
Wulung belum kembali. Namun dalam setiap permasalahan yang timbul di Kademangan
ini, Nyi Rara menghendaki dirinya dilibatkan.”
Sejenak
kerut merut di muka Ki Wiguna tampak semakin dalam. Sambil menghela nafas
panjang dia menjawab, “Itu sama saja tidak mempercayai aku untuk memimpin
Kademangan ini. Mengapa aku masih harus meminta pertimbangan kepada seorang
perempuan? Walaupun dia adalah ibu Teja Wulung, Demang yang terdahulu.”
“Bukan
begitu maksud Nyi Rara, Ki Wiguna,” sela Glagah Putih, “Bagaimanapun juga Nyi
Rara adalah ibunda dari Ki Teja Wulung. Semua orang-orang tua di Kademangan ini
tahu pasti bahwa Nyi Rara adalah putri triman yang mendapatkan tanah palungguh
Kademangan ini.”
“Aku
lebih tahu dari semua orang-orang tua yang ada di Kademangan ini,” sahut Ki
Wiguna cepat, “Aku adalah saksi hidup pada saat kakang Wiraguna menerima putri
triman dari Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun satu hal yang harus
dipertimbangkan, sepeninggal Teja Wulung yang sedang merintis jalan ke istana
Mataram, siapakah yang paling pantas menggantikannya sebagai Demang Cepaga?”
Glagah
Putih dan Rara Wulan hanya dapat saling berpandangan. Memang tidak ada orang
lain yang pantas menggantikan Teja Wulung selain pamannya sendiri, sedangkan
Nyi Rara Ambarasari jelas tidak mungkin mengambil alih pimpinan Kademangan
Cepaga menilik sikap kebanyakan dari para bebahu Kademangan yang tidak ingin
diperintah oleh seorang perempuan.
“Nah,
semuanya sudah jelas,” kembali Ki Wiguna berkata dengan nada yang dalam, “Dalam
waktu dua hari lagi, para bebahu Kademangan akan mewisuda aku menjadi pemimpin
Kademangan yang baru, terserah sebutan apa yang akan mereka gunakan, pemangku
sementara, atau bahkan Demang sekalipun aku tidak peduli. Yang jelas Kademangan
ini harus segera mempunyai seorang pemimpin.”
“Namun
sebaiknya pendapat Nyi Rara Ambarasari dipertimbangkan agar tidak terjadi
kesalah pahaman diantara kita di kemudian hari.” Glagah Putih masih mencoba
mengajukan pendapatnya.
“Aku
tidak peduli,” geram Ki Wiguna, “Terserah apa pendapat Mbokayu menghadapi
masalah ini. Kalian sebagai utusan Nyi Rara, sampaikan keputusanku ini apa
adanya, tidak lebih dan tidak kurang.”
Glagah
Putih harus menekan ibu jari Rara Wulan yang duduk di sebelahnya agar tidak
menjawab kata-kata Ki Wiguna. Lebih baik mereka segera kembali ke kediaman Nyi
Rara Ambarasari dan menyampaikan hasil pertemuan mereka dengan Ki Wiguna tanpa
harus mengalami keributan yang tidak perlu.
“Baiklah
Ki Wiguna,” akhirnya Glagah Putih pun meminta diri, “Kami akan kembali dan
menyampaikan keputusan Ki Wiguna ini kepada Nyi Rara, tidak lebih dan tidak
kurang.”
Selesai
berkata demikian, Glagah Putih segera bangkit dari tempat duduknya diikuti oleh
Rara Wulan. Ketika kemudian Ki Wiguna dan para bebahu yang hadir di situ ikut
berdiri, sekali lagi Glagah Putih mohon diri sambil menganggukkan kepalanya,
“Kami mohon diri, Ki Wiguna.”
“Silahkan,”
jawab Ki Wiguna acuh tak acuh.
Sejenak
kemudian sepasang suami istri itu pun telah menuruni tlundak pendapa kemudian
berjalan melintasi halaman rumah Ki Wiguna yang cukup luas di bawah pandangan
mata Ki Wiguna dan para bebahu Kademangan. Sedangkan di langit, Matahari sudah
semakin condong ke barat, namun demikian senja belum juga menjelang.
—oOo—
Dalam
pada itu, Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Singa Wana Sepuh yang lebih senang
dipanggil Ki Ageng Sela Gilang sedang dalam perjalanan menyusuri sebuah bukit
yang tidak terlalu tinggi setelah keluar dari wilayah Kadipaten Panaraga.
Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk tidak memasuki kota Panaraga agar
perjalanan mereka tidak terganggu oleh para telik sandi baik dari Mataram
maupun Panaraga.
Mereka
berdua segera mempercepat langkah mereka ketika di langit Matahari sudah
bergeser jauh ke barat. Beberapa hutan yang lebat dan liar telah mereka lalui
tanpa ada suatu halangan yang berarti. Bagi kedua orang yang sudah mempelajari
ilmu lahir maupun batin hampir sampai tuntas itu, rintangan alam seberat apapun
tidak banyak memberikan kendala. Tubuh-tubuh mereka sudah terlatih untuk
menghadapi keadaan yang berat sekalipun, sementara hati mereka bagaikan
selembar baja yang tangguh dan tanggon.
Ketika
kemudian mereka berdua menuruni sebuah lembah yang tidak begitu curam yang
terdapat sebuah sungai yang mengalir jernih diantara kelokan-kelokan lembah
itu, mereka pun memutuskan untuk mengikuti saja aliran sungai itu.
Demikianlah
ketika kedua orang itu menyusuri aliran sungai yang semakin lama semakin deras
arusnya serta tebing-tebing di sisi-sisinya semakin terjal, mereka pun akhirnya
memilih untuk naik ke tepian dan berjalan di atas tebing sambil mencoba mencari
jalan pintas yang lebih dekat untuk menuju padukuhan yang terdekat sebelum
malam tiba.
Ketika
warna-warna senja mulai menghiasi langit sebelah barat, kedua orang itu telah
mendekati sebuah padukuhan yang sepi di seberang padang rumput yang tidak
begitu luas di pinggir hutan yang membujur dari arah utara ke selatan.
Padukuhan
itu sama sekali tidak mempunyai pintu gerbang, apalagi pagar batu yang tinggi
sebagai pembatas dan pengamanan terhadap serangan binatang buas yang mungkin
keluar dari hutan yang masih cukup liar. Hanya sebuah tugu dari batu yang
setinggi orang dewasa menandai bahwa mereka telah memasuki padukuhan Panjer
Bumi, nama padukuhan yang terpahat di tugu batu itu.
Untuk
sejenak Ki Rangga dan Ki Ageng masih mengamat-amati tugu itu di bawah
bayang-bayang senja yang muram. Menilik bentuk dan warnanya, tugu pembatas itu
sudah lama dibuat dan ditempatkan di situ entah sejak kapan, namun ada hal yang
aneh, tulisan padukuhan Panjer Bumi yang terpahat di tugu batu itu kelihatannya
baru dibuat karena masih jelas terlihat bekas-bekas pahatannya dan sepertinya
dibuat dengan sangat tergesa-gesa.
Setelah
puas mengamat-amati tugu pembatas itu, mereka berdua pun kemudian segera
melangkahkan kaki memasuki padukuhan yang terasa sangat aneh dan asing itu.
Sepanjang
perjalanan, di bawah bayangan senja yang mulai menghiasi langit sebelah barat,
serta cahaya redup kemerah-merahan yang jatuh di jalan-jalan berbatu yang
mereka lewati, tampak di sebelah menyebelah jalan, sawah-sawah dan parit-parit
yang tak terurus. Sawah-sawah itu dulunya pasti subur dengan tanaman padi yang
menghijau. Namun sekarang dibiarkan saja dalam keadaan bera dan yang tampak
hanyalah rumput dan semak belukar yang tumbuh liar di mana-mana, sedangkan
parit-parit itu memang masih mengalirkan air namun di beberapa bagian tampak
tertahan oleh onggokan tanah-tanah yang longsor dari pematang-pematang yang
jebol. Sebuah gubuk yang sudah roboh dan teronggok diantara petak-petak sawah
yang kering menambah pemandangan semakin memilukan.
“Agaknya
padukuhan ini sudah lama ditinggal penghuninya,” desis Ki Ageng sambil
melanjutkan langkahnya.
Ki
Rangga yang berjalan di sebelahnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil sesekali melemparkan pandangan matanya ke arah deretan sawah-sawah yang
terbengkalai.
“Aneh..,”
tiba-tiba saja tanpa disadarinya Ki Rangga berguman.
Ki Ageng
sejenak menghentikan langkahnya mendengar gumam Ki Rangga. Katanya kemudian,
“Apakah yang aneh, Ki Rangga?”
Ki
Rangga Agung Sedayu pun kemudian ikut menghentikan langkahnya. Sambil berpaling
ke arah tugu batu berpuluh langkah di belakang mereka, dia berkata, “Tugu itu
yang aneh. Seandainya benar padukuhan ini telah lama ditinggalkan oleh
penghuninya, mengapa tulisan yang terpahat pada tugu itu masih kelihatan baru?”
Ki
Ageng Sela Gilang tertegun. Apa yang dikatakan Ki Rangga memang ada benarnya.
Namun siapakah yang telah melakukan semua itu? Sepertinya seseorang dengan
sengaja telah menghapus pahatan yang lama dan menggantinya dengan yang baru,
yang entah untuk tujuan apa.
“Marilah,”
akhirnya Ki Ageng berkata sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Kita segera
mengetahui semua teka-teki ini setelah memasuki padukuhan itu.”
Ki
Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu itu hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Dirinya bukanlah seorang pengecut yang tidak berani
menghadapi setiap mara bahaya, namun panggraitanya yang tajam telah
memperingatkan akan adanya suatu hal yang dapat membahayakan jiwa mereka.
“Aku
telah terpengaruh oleh ilmu Ki Waskita,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam
hati sambil menyusul langkah Ki Ageng, “Sebenarnya secara sengaja aku belum
pernah menyentuh ilmu itu sama sekali untuk tujuan mendalaminya, walaupun ilmu
itu masih terpahat dalam dinding ingatanku. Namun kadang-kadang untuk menjaga
kesegaran ingatanku tentang isi kitab Ki Waskita, dalam waktu-waktu luang aku
menghafal kembali urutan ilmu-ilmu itu, dan agaknya tanpa sengaja aku selalu
tertarik untuk mengulang ulang bagian dari ilmu yang dapat mempertajam
panggraita seseorang itu.”
Tak
terasa langkah kedua orang yang telah banyak mengenyam asam garamnya ilmu agal
maupun alus itu telah mencapai gardu penjagaan yang terdepan dari padukuhan
Panjer Bumi.
Gardu
itu keadaannya sungguh sangat memprihatinkan. Atapnya sudah hilang entah
kemana. Dindingnya yang terbuat dari batu sudah mulai retak di sana sini,
sementara lantainya yang dibuat agak tinggi dan dilapisi oleh papan-papan kayu
tampak sudah keropos habis dimakan rayap.
Sementara
itu langit sudah mulai menghitam. Suasana benar-benar mencekam. Tidak ada
setitik pun sinar pelita yang meluncur keluar dari sela-sela dinding kayu dari
rumah-rumah yang berada di ujung jalan dekat gardu itu. Benar-benar sebuah
malam yang kelam di sebuah padukuhan yang menyeramkan.
“Ki
Rangga,” tiba-tiba Ki Ageng berbisik, “Apakah kita akan memasuki Padukuhan ini
di malam hari?”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sambil mengedarkan pandangan matanya
kearah rumah-rumah di ujung jalan itu dia menjawab, “Apakah keberatannya
memasuki padukuhan ini di malam hari? Justru lebih mudah mencari rumah yang
berpenghuni di malam hari dari pada di siang hari di padukuhan yang sepi ini.”
“Maksud
Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng.
“Rumah
yang berpenghuni pasti memerlukan lampu. Sinarnya akan dapat menembus di
sela-sela dinding-dinding kayu dan dapat memberikan petunjuk kepada kita kemana
kita harus mencari tempat bermalam.”
Ki
Ageng Sela Gilang tersenyum tipis sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya kemudian, “Namun di sisi lain, memasuki padukuhan yang belum kita kenal
sama sekali apalagi di malam hari adalah sebuah tindakan yang cukup gegabah,
kecuali itu memang sudah menjadi bagian dari rencana kita untuk memancing dan
mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
“Ya,”
sahut Ki Rangga, “Dan memang harus ada yang dikorbankan dalam situasi seperti
itu agar kita mendapat gambaran yang mendekati kenyataan yang sebenarnya
sehingga kita dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya.”
Keduanya
sejenak terdiam sambil merenungi deretan rumah-rumah di ujung jalan itu yang
tampak seperti gundukan-gundukan hitam tanpa ada secercah cahaya pun.
“Marilah,
Ki Ageng,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian sambil mengayunkan
langkahnya, “Setidaknya masih ada bulan sepotong yang dapat menerangi
perjalanan kita malam ini.”
“Ah..,”
Ki Ageng tertawan tertahan, “Seorang Rangga Senapati Agul-agulnya Mataram masih
membutuhkan bantuan sepotong cahaya rembulan untuk menyusuri gelapnya malam?
Bagaimana dengan orang tua yang sudah rabun seperti aku ini? Berpuluh-puluh
obor pun rasanya masih kurang terang untuk menerangi jalanku ini.”
Ki
Rangga tertawa pendek, katanya kemudian, “Itu tidak perlu, karena obor-obor itu
sudah terdapat pada kedua mata Ki Ageng, sehingga di gelapnya malam, kedua mata
Ki Ageng akan bercahaya bagaikan mata seekor kucing candra mawa.”
“Ah,
celakalah aku,” gerutu Ki Ageng, “Sudah setua ini aku malah disamakan dengan seekor
kucing, padahal dulunya aku seekor singa.”
Segera
saja derai tawa kedua orang itu memenuhi udara malam yang sepi. Namun tawa
kedua orang itu bagaikan terputus ditengah jalan ketika tiba-tiba saja
pendengaran mereka yang melebihi ketajaman pendengaran orang-orang kebanyakan
itu lamat-lamat mendengar jerit seorang perempuan.
Sejenak
keduanya bagaikan membeku. Mereka berusaha meyakinkan apa yang baru saja mereka
dengar. Sebuah jerit perempuan di sebuah Padukuhan yang kosong tak berpenghuni.
Mereka
berdua mencoba untuk mengingat arah dari mana jerit itu berasal, namun agaknya
mereka mengalami kesulitan karena memang suara itu sangat jauh dan mereka tidak
sedang memusatkan nalar dan budi pada saat jeritan itu terjadi.
Untuk
beberapa saat mereka masih berdiam diri sambil memusatkan segenap ilmu yang
mereka miliki, aji sapta pangrungu, agar apabila jerit itu terdengar lagi,
mereka sudah dapat menduga dari arah mana datangnya suara itu.
Agaknya
mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, ketika jeritan itu sekali lagi
terdengar lamat-lamat di kejauhan, bagaikan sudah berjanji, keduanya segera
mengerahkan kemampuan mereka untuk berlari cepat bagaikan anak panah yang
terlepas dari busurnya meluncur menembus malam yang pekat melintasi jalan-jalan
berbatu mengarah ke sebelah selatan Padukuhan Panjer Bumi.
Sepanjang
perjalanan, Ki Rangga Agung Sedayu telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk
menghilangkan bobot tubuhnya sehingga dia berlari seolah olah tidak menyentuh
tanah sebagaimana yang telah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita dan telah
ditekuninya pada saat dia berada di goa atas petunjuk Pangeran Benawa untuk
meningkatkan kekebalan tubuhnya menghadapi racun sekeras apapun dengan cara
meminum air yang mengalir di dalam goa tersebut. Namun waktu luang yang didapatkannya
di dalam goa itu telah dimanfaatkan untuk menekuni salah satu ilmu dari isi
kitab Ki Waskita.
Sementara
Ki Ageng Sela Gilang, walaupun secara kewadagan dia jauh lebih tua dari Ki
Rangga Agung Sedayu, namun orang tua itu seakan-akan selalu berada di samping
Ki Rangga, betapapun Ki Rangga telah mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak.
“Aji
Sepi Angin,” desis Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati.
Demikianlah
kedua orang itu seolah-olah sedang berlomba satu sama lainnya. Ki Ageng Sela
Gilang yang sudah tua itu sebenarnya harus memeras segenap tenaganya. Dia tidak
tahu sampai kapan dia akan dapat bertahan jika Ki Rangga Agung Sedayu masih
saja mengerahkan kemampuan puncaknya. Ketika pandangan mata kedua orang itu
kemudian dapat menangkap titik-titik cahaya yang berkedip-kedip dari sebuah
rumah besar yang berada di ujung jalan yang sedang mereka lalui, Ki Rangga
Agung Sedayu pun mulai mengendorkan langkahnya sehingga Ki Ageng Sela Gilang
pun dapat bernafas lega.
Sejenak
kemudian dengan langkah yang penuh kewaspadaan keduanya pun mendekati
satu-satunya rumah yang memancarkan sinar kehidupan diantara deretan
rumah-rumah yang gelap gulita bagaikan sarang hantu. Rumah itu cukup besar
dengan dikelilingi oleh pagar yang tinggi. Sinar lampu itu ternyata berasal dari
sebuah dlupak yang digantung di sebelah kanan regol.
Dua
orang penjaga tampak hilir mudik di depan regol sambil menjinjing tombak
panjang. Sementara di dalam gardu penjagaan yang terletak di sebelah kanan
regol, beberapa pengawal sedang duduk-duduk beristirahat sambil bermain macanan
atau mungkin mul-mulan.
Ki
Rangga Agung Sedayu dan Ki Ageng Sela Gilang segera merapatkan diri mereka pada
sebuah pohon mahoni yang tumbuh besar di kanan jalan. Dari arah itu mereka
dapat mengamati regol yang kelihatannya dijaga cukup ketat.
“Bagaimana,
Ki Ageng?” desis Ki Rangga perlahan-lahan.
“Sebaiknya
kita masuk melalui pohon jambu itu,” jawab Ki Ageng sambil menunjuk ke arah
dinding sebelah kiri. Sebuah pohon jambu air yang lebat daun dan buahnya tampak
tumbuh di dekat dinding sebelah kiri rumah itu. Cabang cabangnya yang berdaun
rimbun sebagian menjulur keluar dinding sehingga memungkinkan bagi kedua orang
itu untuk meloncati dinding tanpa ketahuan oleh para penjaga.
Ketika
kedua penjaga regol itu hampir bersamaan berjalan membelakangi mereka, tanpa
aba-aba keduanya pun melenting bagaikan dua ekor belalang dan mendarat di
sebelah kiri dinding yang memagari rumah itu tanpa menimbulkan bunyi
sedikitpun.
Untuk
sejenak mereka berdua masih berdiam diri sambil melekat di dinding. Ketika
mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun yang sedang memperhatikan gerak gerik
mereka, dengan sebuah isyarat, Ki Rangga Agung Sedayu pun segera melenting
hinggap di atas dinding dalam keadaan tengkurap di bawah bayang-bayang
rimbunnya daun jambu air.
Ki
Ageng yang masih tinggal di bawah dinding sejenak masih mengamati keadaan,
ketika sekali lagi Ki Rangga memberikan isyarat dengan menjentikkan ujung ibu
jarinya dengan ujung jari tengah, Ki Ageng pun segera melenting ke atas dinding
dan hinggap di atas dinding dalam keadaan berjongkok di sebelah Ki Rangga.
“He..!”
bisik Ki Rangga, “Mengapa Ki Ageng berjongkok? Nanti bisa terlihat oleh
penjaga.”
“Bukankah
kita berada di bawah bayang-bayang rimbunnya pohon jambu air ini?” selesai
berkata demikian tanpa sadar Ki Ageng meraih sedompol jambu air yang ada di
depannya yang sudah berwarna merah matang. Dengan lahapnya satu persatu buah
jambu air itupun dimakannya. Alangkah segarnya.
Ki
Rangga Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Walaupun Ki Rangga
adalah seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan serta mempunyai kemampuan
untuk menyerap segala bentuk bunyi yang ada di sekitarnya, namun sebagai
seorang prajurit, dia tidak pernah meninggalkan kewaspadaan. Berbeda dengan Ki
Ageng Sela Gilang, dia adalah petualang sejati di masa mudanya, sehingga
tingkahnya kadang-kadang ada sedikit rasa sombong dan terlalu percaya dengan
kekuatan sendiri.
Untuk
sejenak mereka berdua masih dalam keadaannya masing masing. Ki Rangga Agung
Sedayu yang masih menelungkup di atas dinding pagar itu akhirnya perlahan lahan
bangkit dan ikut berjongkok di sisi Ki Ageng Sela Gilang.
Mereka
berdua masih mencoba mendengarkan setiap bunyi yang timbul dari sekitar rumah
itu, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ada suatu pertemuan atau seseorang
sedang dalam keadaan gawat, bahkan jeritan itu pun seakan telah hilang ditelan
bumi.
“Marilah,”
geram Ki Ageng, “Aku sudah muak dengan segala permainan ini. Lebih baik kita
datang dengan beradu dada dan menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi
sehubungan dengan sura jeritan perempuan yang kita dengar tadi.”
Selesai
berkata demikian, tiba-tiba saja Ki Ageng telah meloncat turun dengan
mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk mengguncang bumi.
Begitu
kaki Ki Ageng menyentuh tanah, segera saja bumi bergonjang bagaikan ada seribu
gempa bumi menjadi satu. Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berjongkok di atas
dinding pagar itu pun dapat merasakan guncangannya yang dahsyat.
“Luar
biasa,” desis Ki Rangga dalam hati, “Guru Pangeran Ranapati ini memang luar
biasa dan selebihnya adalah sikap dan tindakannya yang kadang kadang sulit
untuk diduga.”
Sebenarnya
ada keinginan dari Ki Rangga Agung Sedayu untuk menunjukkan kelebihannya
sebagaimana yang telah diperbuat oleh Ki Ageng Sela Gilang, namun niat itu
segera diurungkannya ketika lamat-lamat Ki Rangga mendengar suara gaduh yang
berasal dari arah gardu penjagaan di depan rumah itu.
Hanya
beberapa saat saja halaman samping kiri rumah itu sudah penuh dengan orang
orang yang bersenjata. Mereka berusaha mengepung kedudukan Ki Ageng Sela Gilang
yang dengan tenangnya melangkah satu satu mendekat ke arah rumah itu.
“Berhenti..!”
bentak seorang pengawal yang berperawakan tinggi besar dengan jambang dan kumis
yang lebat, sedangkan jenggotnya dibiarkan saja tumbuh liar menjuntai sampai
dada.
Ki
Ageng Sela Gilang sama sekali tidak menahan langkahnya. Dengan tenangnya dia
berjalan selangkah demi selangkah mendekati rumah itu dari arah samping kiri.
Pengawal
yang berjambang lebat dan berjenggot liar itu tampak tersinggung dengan sikap
Ki Ageng. Ketika langkah Ki Ageng sudah hampir mencapai dua langkah saja di
depannya, sambil mengacukan sebilah pedang yang cukup besar ke arah dada Ki
Ageng, dia pun sekali lagi membentak dengan kasar, “Berhenti..! Atau kulubangi dadamu
dengan pedangku ini he..tua bangka.”
Namun
alangkah terkejutnya mereka yang ada di halaman itu ketika dengan sekali
renggut saja, pedang yang cukup besar dan panjang milik pengawal yang
berjambang dan berjenggot liar itu sudah berpindah tangan. Kemudian tanpa
mengucap sepatah kata pun, Ki Ageng Sela Gilang dengan gerakan cepat yang tidak
dapat diikuti oleh pandangan mata biasa, pedang itu telah terbenam menembus
dada pengawal itu.
Sebuah
teriakan keras dan umpatan kasar segera meluncur dari mulut pengawal yang
berjambang dan berjenggot liar itu. Sejenak tubuhnya terhuyung huyung ke
belakang sambil kedua tangannya mendekap erat dadanya yang tertembus pedangnya
sendiri. Namun kemudian nyawanya benar-benar sudah tidak tertolong lagi.
Tubuhnya yang tinggi besar itu pun jatuh terlentang bersimbah darah.
Peristiwa
itu berlangsung dengan cepat di hadapan sekian banyak orang yang sedang
mengepung Ki Ageng Sela Gilang, namun mereka tidak dapat berbuat banyak untuk
menolong temannya yang malang itu. Mereka benar benar terpesona dengan
kecepatan dan kekuatan gerak dari Ki Ageng Sela Gilang.
Ki
Rangga Agung Sedayu yang menyaksikan langsung peristiwa itu dari atas dinding
pagar, hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Itulah sifat sebenarnya dari Ki
Ageng Sela Gilang yang di masa mudanya bergelar Ki Singa Wana yang merajai
hutan hutan di lereng Merapi dan Merbabu.
“Nah,”
berkata Ki Ageng Sela Gilang sambil bertolak pinggang, “Siapa lagi yang mau
mencari mati? Aku dengan senang hati akan membantu keinginan kalian itu.”
Orang
orang yang mengepungnya hanya diam membeku, namun mereka tidak mengendorkan
kepungannya sama sekali, bahkan mereka telah membuat barisan yang
berlapis-lapis dengan pedang, tombak dan berjenis senjata yang lain teracu
kearah Ki Ageng siap untuk meranjamnya.
Suasana
benar benar sangat mencekam. Ketika Ki Ageng Sela Gilang melangkah kedepan satu
langkah, kepungan itu pun bergeser selangkah mundur, namun mereka benar benar
tidak mau mengendorkan kepungan mereka.
“Selamat
datang Ki Singa Wana Sepuh, Guru Pangeran Ranapati,” tiba tiba terdengar suara
berat dan dalam dari arah depan.
Segera
saja para pengawal yang mengepung Ki Ageng Sela Gilang menyibak. Tampak dua
orang yang mempunyai wajah bak pinang dibelah dua berjalan dengan tegap
diiringi oleh seorang perempuan yang masih cukup muda, berwajah cantik dan
manis namun ada kesan kejam yang tersirat dari setiap senyuman dan lirikan
matanya.
Dua
orang yang berjalan di depan itu memang saudara kembar. Umurnya sudah lewat
setengah abad tapi masih kelihatan gagah dan kuat. Otot-ototnya tampak menonjol
disepanjang kedua belah lengannya. Sedangkan bahunya yang lebar dengan leher
yang kokoh dan agak panjang menurut ukuran wajar itu menopang sebuah kepala
dengan seraut wajah yang mirip dengan wajah seekor serigala.
“Kiranya
Ki Brahmuka dan Ki Gohmuka dari perguruan Tal pitu,” berkata Ki Ageng Sela
Gilang, “Semenjak perguruan itu hancur karena pokal pemimpinnya sendiri, Ki
Ajar Tal Pitu, kalian berdua yang menjadi murid luar perguruan Tal Pitu telah
mencoba membangun kembali kejayaan perguruan Tal Pitu.”
“Engkau
benar, Ki Singa Wana Sepuh,” berkata salah satu dari kedua orang kembar itu,
“Berbekal dendam setinggi langit dan sedalam lautan, kami berdua telah
membangun kembali kejayaan perguruan Tal Pitu, bukan hanya membangun tempat
tinggal untuk para cantrik dan penghuni padepokan, namun lebih dari itu kami
telah berhasil mengungkap kembali ilmu warisan perguruan Tal Pitu dan sekaligus
menyempurnakannya.”
Ki
Ageng Sela Gilang mengangguk anggukkan kepalanya, sementara Ki Rangga Agung
Sedayu yang masih berjongkok di atas pagar, tertegun sejenak. Dia benar-benar
tidak menyangka kalau di Padukuhan Panjer Bumi yang sepi ini akan bertemu
dengan murid Ki Ajar Tal Pitu yang telah dibunuhnya dalam perang tanding di
Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat yang lalu.
Beberapa
saat Ki Rangga Agung Sedayu masih belum dapat mengambil sikap. Dia sadar
sepenuhnya bahwa dendam yang dimaksud oleh murid murid perguruan Tal Pitu itu
adalah dirinya. Dia tidak akan menghindar walaupun akibat yang akan diterimanya
mungkin akan sangat pahit. Namun sejauh yang dapat dilakukannya, Ki Rangga
selalu berusaha untuk menyuarakan kedamaian dalam setiap langkahnya.
Setelah
menimbang beberapa saat, akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk hadir
dan menampakkan dirinya. Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga Agung Sedayu
ketika baru saja dia beringsut untuk meloncat turun dari atas pagar, salah satu
dari saudara kembar itu telah menunjuk ke arah tempatnya bersembunyi dan
berkata lantang, “Dan kau yang bersembunyi di balik bayang-bayang pohon jambu,
umurmu tinggal malam ini. Lebih baik engkau segera turun dan minta ampun kepada
kami, agar kami dapat mempertimbangkan cara yang palih mudah dan ringan untuk
membunuhmu.”
Bergetar
dada Ki Rangga Agung Sedayu mendengar kata kata dari salah seorang yang
berwajah mirip serigala itu. Pada dasarnya dia adalah orang yang luruh dan
rendah hati, namun dalam perjalanan hidupnya yang penuh gejolak dan terutama
keterikatan dirinya dalam bidang keprajuritan selama ini sehingga memperoleh
pangkat seorang Rangga, sedikit banyak telah mempengaruhi kepribadiannya dalam
mengambil sikap dan keputusan.
Sejenak
suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan kata-kata,
bahkan untuk menggerakkan ibu jari kaki saja para pengawal yang mengepung
halaman samping rumah itu tidak berani.
Tiba-tiba
orang orang yang ada di halaman samping rumah itu dikejutkan oleh angin yang
bertiup dan berputar cepat disertai dengan kabut yang tipis namun cukup pekat
dan padat. Sejenak kabut tipis itu masih berputaran di atas halaman samping
rumah itu sebelum akhirnya meluncur turun. Ternyata kabut yang berputar cepat
itu telah meluncur turun dan jatuh berputaran di sebelah Ki Ageng Sela Gilang.
Belum
hilang rasa terkejut orang orang yang hadir disitu, tiba-tiba saja kabut yang
berputar itu perlahan lahan memudar dan hilang tertiup angin malam. Sebagai
gantinya, telah berdiri dengan kokoh disamping Ki Ageng Sela Gilang, seorang
yang tangguh tanggon, pinunjul ing apapak, agul agulnya para
parajurit Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu.
“Permainan
kanak-kanak,” geram Brahmuka yag ternyata berperawakan lebih kurus dari
Gohmuka, “Jangan berharap ilmu kabutmu itu akan menggetarkan hati kami.
Kesalahan dari Ajar Tal Pitu tidak akan terulang pada kami, kami tidak
menggantungkan kekuatan pada sinar bulan atau apapun yang ada di sekitar kami,
namun kami meletakkan dasar kekuatan ilmu kami atas latihan dan laku yang berat
dan terlebih lagi adalah keyakinan kami atas apa yang telah kami jalani selama
ini.”
“Bagus,”
tiba tiba saja Ki Ageng Sela Gilang tertawa pendek sambil bertepuk tangan,
“Sudah lama aku tidak menyaksikan sebuah benturan ilmu olah kanuragan dari
orang-orang berilmu tinggi. Tapi apakah kalian akan mengeroyok Ki Rangga Agung
Sedayu? Itu rasanya tidak adil. Seharusnya kalian memberi kesempatan kepada Ki
Rangga Agung Sedayu untuk memilih salah satu diantara kalian sebagai lawannya.”
Diam-diam
Ki Rangga mengeluh dalam hati. Ki Ageng Sela Gilang ini benar-benar orang yang
tidak dapat di jajagi isi hatinya. Apakah dia berpihak pada dirinya ataukah
berpihak kepada kedua manusia berwajah serigala itu?
Selagi
Ki Rangga Agung Sedayu menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dilakukan untuk
menyelesaikan permasalahan dendam yang tak berkesudahan itu, tiba-tiba
perempuan muda yang sedari tadi berdiri diam di belakang kedua orang kembar itu
berkata nyaring, “Guru, ijinkanlah aku bermain-main dengan orang itu. Sudah
lama aku tidak menemukan sebuah permainan yang menarik. Agaknya orang yang
bernama Agung Sedayu ini cukup menarik untuk dijadikan permainanku.”
“Diam,
kau Anjani..!” bentak Ki Gohmuka dengan wajah merah padam. Dia maklum apa yang
dimaksud muridnya dengan permainan yang menarik. Memang Anjani adalah perempuan
yang cantik, tetapi mengerikan bagi laki-laki yang berwajah cukup tampan,
apalagi Ki Rangga Agung Sedayu adalah laki-laki yang cukup menarik sehingga di
masa mudanya pernah mematahkan hati seorang gadis dari Menoreh.
Mendapat
bentakan dari salah seorang Gurunya, Anjani tampak sedikit kesal, namun kemudian
katanya, “Guru, setidaknya berilah kesempatan padaku untuk menunjukkan ilmu
yang telah Guru berdua ajarkan kepadaku. Untuk apa ilmu-ilmu itu aku pelajari
dengan susah payah kalau bertemu musuh bebuyutan perguran kita, aku hanya
berpangku tangan.”
“Bukan
begitu, Anjani,” Ki Brahmuka lah yang menjawab, “Lawan kita kali ini tidak bisa
dipandang dengan sebelah mata. Ilmunya hanya selapis di bawah Panembahan
Senapati dan Pangeran Benawa semasa keduanya masih hidup. Namun itu tidak akan
membuat kita silau. Perguruan Tal Pitu telah bangkit dan aku yakin, seandainya
Panembahan Senapati atau Pangeran Benawa masih hidup, keduanya tidak akan
banyak menimbulkan kesulitan bagi kita berdua.”
Orang-orang
yang hadir disitu sejenak tertegun dengan jantung berdebaran, terutama Ki
Rangga Agung Sedayu. Betapapun juga, kedua murid dari Tal Pitu itu telah dengan
yakin membuat perbandingan perbandingan. Jika tidak ada sesuatu yang dapat
membuat mereka yakin akan kemampuan mereka, tentu mereka tidak akan berani
menyombongkan diri di hadapan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung
Sedayu.
Anjani
yang mendapat jawaban dari salah satu Gurunya itu pun akhirnya dapat menerima,
namun ketika pandang matanya tanpa sengaja bertemu dengan Ki Rangga Agung
Sedayu, perempuan cantik itu justru telah tersenyum genit sambil mengedipkan
sebelah matanya.
Tanpa
terasa bulu-bulu di sekujur tubuh Ki Rangga Agung Sedayu meremang. Senyum itu
begitu menantang dan menjanjikan kenikmatan yang luar biasa bagi setiap
laki-laki yang membiarkan dirinya terperosok dalam perangkap perempuan Iblis
itu.
Sementara
itu Ki Ageng Sela Gilang yang berdiri di sebelah Ki Ranga Agung Sedayu hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengarkan semua percakapan antara Guru dan muridnya itu. Setelah menimbang
beberapa saat, akhirnya dia berkata sambil melangkah menepi, “Aku tidak mau
berurusan dengan segala dendam yang terjadi diantara kalian. Dengan tidak
mengurangi rasa hormatku atas kerja sama yang telah terjalin antara muridku, Pangeran
Ranapati dengan kalian berdua, menurutku dalam hal ini lebih baik aku menjadi
penonton saja.”
Ki
Rangga Agung Sedayu lah yang kini benar-benar merasa terjepit. Memang dia tidak
dapat mengharapkan bantuan Ki Ageng Sela Gilang untuk menghadapi kedua manusia
serigala itu karena menyangkut dendam perguruan. Namun setidaknya, sebagai
orang yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan, Ki Ageng Sela Gilang
dapat diharapkannya untuk ikut mengurai atau bahkan memutus lingkaran dendam
yang tidak berkesudahan itu.
Selesai
berkata demikian, dengan langkah yang mantap, Ki Ageng Sela Gilang pun akhirnya
melangkah menepi dan duduk di atas sebuah batu di bawah pohon jambu yang
rindang.
Malam
telah merambah semakin dalam dan hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun
cahayanya cukup menerangi halaman samping rumah yang di tempati oleh Ki
Brahmuka dan Ki Gohmuka. Sementara itu, atas perintah pemimpin pengawal yang
bertugas malam itu, beberapa pengawal telah menempatkan beberapa obor di
sudut-sudut yang gelap agar halaman samping itu menjadi semakin terang.
Dengan
wajah yang tegang, Ki Brahmuka melangkah satu langkah ke depan, kemudian
katanya sambil menunjuk wajah Ki Rangga Agung Sedayu, “Engkau boleh memilih
satu diantara kami sebagai lawanmu, namun jika engkau memang pengecut, kami
masih memberi kesempatan kepadamu untuk minta ampun kepada kami, kepada
perguruan kami. Kami berjanji akan memperlakukanmu sebaik baiknya. Kami akan
memilih cara yang terbaik untuk membunuhmu tanpa harus menyakitimu terlebih
dahulu.”
Mendidih
darah Ki Rangga Agung Sedayu mendengar kesombongan murid Tal Pitu ini. Dengan
tenang tanpa ada rasa takut sedikit pun, Ki Rangga Agung Sedayu menjawab sambil
tersenyum, “Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Tapi sebelum kalian
membunuh aku, apakah aku diperbolehkan untuk mengajukan sebuah syarat?”
Kedua
orang murid Tal Pitu itu sejenak saling berpandangan, hampir bersamaan mereka
bertanya, “Syarat apakah itu?”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum, pancingannya ternyata telah berhasil. Dengan
cepat diapun menjawab, “Perang tanding ini selain mempertaruhkan nyawa kita
masing masing, sebaiknya ada taruhan yang lain agar pemenangnya tidak pulang
dengan tangan hampa.”
Kedua
manusia serigala itu benar benar tidak mengerti yang dimaksud oleh Ki Rangga.
Merasa dipermainkan, Ki Gohmuka akhirnya dengan suara lantang membentak,
“Jangan gila.! Perang tanding ini taruhannya hanya nyawa. Itu adalah taruhan
tertinggi yang dapat kita lakukan.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menggeleng lemah, “Itu tidak adil. Kalianlah yang berkepentingan
dengan nyawaku, sedangkan aku tidak. Aku tidak butuh nyawa kalian berdua
seandainya aku menang dalam perang tanding ini, tapi aku membutuhkan sesuatu
yang lain.”
“Katakan.!”
Bentak Ki Brahmuka menggelegar.
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu menahan nafas, dia sudah memulai permainan ini dan harus
berani menanggung akibat yang mungkin timbul. Maka katanya kemudian dengan
las-lasan sehingga kata demi kata terdengar jelas di telinga semua yang hadir
di halaman samping itu, “Aku ingin muridmu yang bernama Anjani itu sebagai
taruhan. Aku ingin membawanya ke Menoreh.”
“Gila..!”
hampir bersamaan kedua murid Tal Pitu itu mengumpat diiringi oleh jerit kecil
Dewi Anjani.
“Guru,”
dengan tergesa gesa Dewi Anjani segera beringsut maju, “Aku mau dijadikan taruhan.
Tidak dijadikan taruhan pun aku mau mengikuti Ki Rangga Agung Sedayu ke
Menoreh.”
“Tutup
mulutmu Anjani..!” kini Ki Gohmuka lah yang membentak, “Tidak sadarkah engkau
bahwa Ki Rangga dengan licik berusaha memecah belah kekuatan kita? Jangan hanya
menuruti hawa nafsumu saja.”
Sejenak
Anjani tertunduk diam, namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, yang
selama ini bagaikan sepetak tanah gersang yang tidak pernah puas mendapat
guyuran hujan selebat apapun, kini setelah bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu,
sepetak tanah gersang itu pun mulai subur menghijau dan tumbuh kuncup-kuncup
bunga yang siap bermekaran.
Ketika
tanpa disadarinya dia mengangkat wajahnya, terpandang olehnya Ki Rangga Agung
Sedayu yang sedang tersenyum kearahnya. Tiba-tiba saja jantungnya berdentangan
dan nafasnya berkejaran seolah olah dia baru saja menyelesaikan sebuah latihan
olah kanuragan yang berat. Sekujur tubuhnya menjadi lemas dan gemetar. Dengan
cepat ditundukkan kembali wajahnya sambil mencoba menguasai debar jantungnya yang
tak beraturan. Entah perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya. Biasanya
setiap laki-laki yang menarik hatinya hanya dijadikannya sebagai pemuas dahaga
untuk sementara waktu. Kemudian setelah puas mempermainkannya, tanpa mengenal
belas kasihan, laki-laki itupun akhirnya dibunuhnya.
Sementara
itu Ki Rangga Agung Sedayu yang memang sengaja ingin menimbulkan pertentangan
antara Guru dan murid itu semakin meningkatkan kewaspadaannya ketika Ki
Brahmuka perlahan-lahan telah mengambil sikap dan kini sudah berdiri hanya tiga
langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram keras, berkata Ki Brahmuka
kemudian, “Persetan dengan segala tuntutanmu. Marilah kita selesaikan dendam
kesumat ini. Tidak usah mengikut sertakan pihak-pihak yang tidak
berkepentingan. Nah, apakah engkau sudah siap Ki Rangga Agung Sedayu? Engkau
tidak usah memilih lawan, akulah lawanmu kali ini.”
Selesai
berkata demikian, Ki Brahmuka telah mengambil ancang ancang untuk menyerang Ki
Rangga Agung Sedayu. Kedua kakinya segera direnggangkan selebar bahu. Dengan
lutut setengah ditekuk dan tangan kanan lurus ke depan membentuk sebuah cakar
yang nggegirisi serta tangan kiri sebagai keseimbangan menyilang di depan dada,
dia siap melontarkan serangan yang pertama.
Ki
Rangga Agung Sedayu sekilas terkejut ketika memperhatikan jari -ari yang
mengembang itu. Tampak ujung-ujungnya yang panjang dan runcing serta berwarna
hitam kelam. Ternyata Ki Brahmuka telah mempersenjatai dirinya dengan kuku-kuku
dari baja yang sangat beracun.
Menyadari
bahwa lawannya ternyata mempergunakan senjata yang berupa kuku-kuku baja yang
beracun, Ki Rangga Agung Sedayu segera mengurai cambuknya. Lawannya yang sudah
siap untuk melontarkan serangan pertamanya itu sejenak tertegun. Senjata cambuk
itu memang sudah sangat terkenal di seluruh tlatah Mataram sampai menyeberang
ke bang wetan dan daerah di sepanjang pesisir lor. Senjata cambuk itu telah
banyak berperan seiring dengan silih bergantinya pemerintahan di Negeri ini.
Begitu
melihat lawannya telah mengurai senjata andalannya, dengan sebuah bentakan
menggelegar, Ki Brahmuka meloncat menyerang sambil mengayunkan cakarnya ke arah
wajah Ki Rangga. Terdengar suara angin yang suitan seiring dengan meluncurnya
serangan Ki Brahmuka.
Mendapat
serangan yang demikian cepat, Ki Rangga segera bergeser ke samping sambil
mengayunkan cambuknya. Ujung cambuk itu menggeliat dan mencoba membelit leher
Ki Brahmuka yang sedang meluncur di udara.
Tentu
saja Ki Brahmuka tidak akan membiarkan lehernya menjadi korban keganasan ujung
cambuk lawannya. Dengan menundukkan kepalanya dalam dalam, sambaran ujung
cambuk itu hanya lewat setebal ibu jari di atas kepalanya. Ketika menyadari
lawannya telah bergeser kesamping, maka Ki Bahmuka pun telah merubah
serangannya dengan tendangan kaki kiri yang lurus mengarah ke ulu hati.
Demikianlah
perang tanding itupun segera berlangsung dengan sengitnya. Agaknya Ki Brahmuka
tidak ingin banyak membuang waktu justru karena dia sudah dapat gambaran sampai
di mana tingkat ilmu kanuragan Ki Rangga Agung Sedayu. Kalau seorang Ajar Tal
Pitu saja bisa dikalahkan oleh lawannya ini, berarti dia harus memulai
tingkatan itu dari tataran yang dimiliki oleh Ajar Tal Pitu pada waktu itu.
Ki
Rangga Agung Sedayu benar benar harus memeras segenap ilmunya untuk menghadapi
lawannya kali ini. Berbeda dengan Ajar Tal Pitu yang bisa berubah menjadi
serigala jadi-jadian dan mempengaruhi sekelompok serigala yang liar di bawah
pengaruh ilmu hitamnya, Ki Brahmuka ini lebih menitik beratkan pada gerak dan
suara yang mirip serigala. Geraman dan lolongannya di sela-sela serangannya
yang membadai kadang dapat menggetarkan hati lawan yang tidak tatag dan tabah.
Selain itu lehernya yang panjang kadang-kadang terlihat melebihi panjang leher
sewajarnya sehingga gigi-gigi tajam Ki Brahmuka pun sering hampir mengenai
bagian tubuh Ki Rangga Agung Sedayu.
Diam
diam Ki Rangga bergidig. Murid Tal Pitu ini benar-benar seperti manusia
serigala. Dia menyerang tidak hanya dengan cakar-cakar bajanya, namun juga
dengan gigi-gigi tajam yang ada di mulutnya. Benar-benar mirip dengan tandang
seekor serigala.
Sementara
itu, Anjani yang berdiri di pinggir arena perkelahian itu bagaikan berdiri di
atas bara api. Wajahnya kelihatan gelisah sambil sesekali meremas remas
tangannya sendiri. Sesekali dia berpaling ke arah Gurunya yang lain, Ki
Gohmuka, namun tampaknya Gurunya yang satu ini tidak sedang memperhatikan
dirinya, perhatiannya tercurah pada jalannya perang tanding yang sedang
berlangsung.
Sesungguhnya
di dalam hati Anjani sedang terjadi pergolakan yang dahsyat, bahkan lebih dahsyat
dari pada perkelahian yang sedang berlangsung. Di satu sisi Anjani tentu saja
ingin Gurunya keluar sebagai pemenang dari perang tanding itu, namun jauh di
dasar hatinya yang kering akan cinta kasih, telah tumbuh suatu harapan untuk
meniti hari-hari esok yang lebih baik dan ceria dari hari-hari sebelumnya yang
kelam dan berlumur dosa.
Dia
menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah sekotor-kotor perempuan yang ada di
muka bumi ini. Tidak layak dirinya berangan angan untuk mendapatkan lelaki yang
baik seperti Ki Rangga Agung Sedayu. Namun permintaan Ki Rangga Agung Sedayu
yang didengarnya sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai taruhan dalam perang
tanding itu, telah menggetarkan jantungnya dan menyentuh perasaannya yang
paling lembut. Terasa ada suatu ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada
Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata masih memperhatikannya dan mengakui
keberadaannya sebagai seorang perempuan dengan segala macam cacat yang
dimilikinya.
Namun
lamunan Anjani segera buyar ketika suara ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu
berubah sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar namun getarannya bagaikan
memukul mukul dinding-dinding jantung orang orang yang sedang menyaksikan
perang tanding itu. Ki Gohmuka yang berdiri tidak jauh dari arena perkelahian
itu pun telah mengerutkan keningnya dalam dalam, terasa ada sesuatu yang
menghentak hentak jantungnya setiap kali cambuk Ki Rangga Agung Sedayu
menggelepar.
Perkelahian
itu semakin lama telah menimbulkan pusaran angin prahara yang mengguncang dan
merontokkan daun-daun dari pohon-pohon yang tumbuh di sekitar halaman samping
itu. Bahkan pohon jambu klutuk sebesar lengan orang dewasa telah hancur dan
tumbang ketika diterjang cakar cakar baja Ki Brahmuka.
Ki
Rangga Agung Sedayu yang sejak semula telah mengetrapkan ilmu kebalnya sampai
ke puncak sehingga telah memancarkan hawa panas di sekelilingnya itu beberapa
saat menjadi terheran heran. Ternyata Ki Brahmuka sama sekali tidak terpengaruh
dengan panas yang memancar dari ilmu kebalnya, bahkan kini tandang salah satu
dari murid Tal Pitu itu bagaikan wuru. Dia tidak memperdulikan lagi ujung
cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang mulai menyentuh kulitnya.
Ketika
sebuah hentakan yang kuat dari cambuk Ki Rangga Agung Sedayu telah berhasil
menghempaskannya ke tanah, sekejab Ki Brahmuka menggeliat namun dengan cepat
dia bangkit berdiri dan kembali meloncat menerkam Ki Rangga Agung Sedayu. Namun
yang membuat Ki Rangga Agung Sedayu terkejut bukan alang kepalang bukan
cepatnya serangan balik itu, tapi ternyata yang bangkit berdiri setelah jatuh
ke tanah tidak hanya seorang Brahmuka, tapi dua orang.
“Mirip
dengan ilmu Ajar Tal Pitu,” desis Ki Rangga dalam hati, “Mungkin ini hanya
perkembangannya saja.”
Namun
pada saat Ki Rangga kembali mempunyai kesempatan untuk membanting dengan keras
salah satu ujud Brahmuka itu ke bumi, yang bangkit dan menyerangnya bukan hanya
seorang Brahmuka, tapi kembali dua orang Brahmuka. Demikian seterusnya.
Untuk
sejenak Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar merasa kewalahan menghadapi salah
satu murid Tal Pitu ini yang terus bertambah jumlahnya setiap dia jatuh
menyentuh bumi. Ujud-ujud itu memang tidak ubahnya ujud-ujud semu yang hanya
mempengaruhi ketahanan batin lawan, namun dengan jumlah yang semakin bertambah
tambah, akan sangat menyulitkan Ki Rangga untuk menemukan ujud asli dari Ki
Brahmuka. Walaupun dia hanya memerlukan waktu yang sekejab untuk mengenali ujud
asli lawannya, namun waktu yang sekejab itu dapat dimanfaatkan oleh lawannya
untuk menghancurkannya.
Ki
Rangga Agung Sedayu semakin lama semakin terdesak. Dia tidak berusaha untuk
menjatuhkan musuh-musuhnya lagi, karena disadarinya bahwa itu hanya akan
menambah jumlah lawannya. Tapi yang dilakukan oleh Ki Rangga adalah
sejauh-jauhnya dapat menghindari serangan lawannya dengan hanya mengandalkan
ilmu kebalnya sambil mencoba mengenali ujud asli dari lawan yang sebenarnya.
Demikianlah,
akhirnya yang terjadi adalah sebuah perkelahian yang tidak seimbang antara Ki
Rangga Agung Sedayu dan ujud-ujud semu Ki Brahmuka yang sudah tak terhitung
jumlahnya mengerubuti lawannya yang hanya seorang diri. Semua yang menyaksikan
perang tanding yang berubah menjadi pengeroyokan itu menjadi miris hatinya
kecuali Ki Gohmuka yang tampak tersenyum puas melihat Ki Rangga Agung Sedayu
harus jatuh bangun menghindari terkaman dari lawan lawannya.
Sementara
itu di bawah rindangnya pohon jambu air, Ki Ageng Sela Gilang yang sedang
mengikuti jalannya perang tanding tampak sesekali mengangguk anggukkan
kepalanya. Bahkan tak jarang orang tua ini menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dalam hati, “Ki Rangga Agung Sedayu ternyata benar-benar seorang Senapati yang
linuwih. Jarang ada yang bisa bertahan menghadapi ilmu iblis dari Tal Pitu itu
sampai sejauh ini. Agaknya Ki Rangga benar-benar kebal dari segala macam
senjata tajam, namun apakah dia juga kebal dari segala macam racun dan bisa?
Itu yang masih harus dibuktikan.”
Sedangkan
Anjani yang semakin gelisah melihat kedudukan Ki Rangga yang semakin terdesak
benar-benar hampir tidak tahan lagi. Ingin rasanya dia meloncat ke lingkaran
perkelahian dan membantu Ki Rangga Agung Sedayu melawan ujud-ujud Gurunya yang
sudah tak terbilang banyaknya itu, namun jika disadarinya bahwa ilmunya masih
jauh dari sempurna dan yang akan dilawannya itu adalah Gurunya sendiri,
tekadnya yang sudah membara itupun tiba-tiba redup kembali.
Ada
semacam dendam yang terpendam kepada kedua Gurunya itu yang telah
memperlakukannya dengan sangat buruk. Memang dia diajari ilmu-ilmu kanuragan
yang aneh-aneh dan dahsyat, namun sebagai gantinya dia harus siap melayani nafsu
binatang kedua gurunya itu kapan pun mereka menghendaki. Bahkan ketika mereka
berdua menghendaki dirinya pada waktu yang bersamaan, dia harus melayani mereka
berdua tanpa membantah. Benar-benar sebuah ujud dari kelakuan binatang yang
paling rendah.
Semenjak
dia beranjak remaja, di mana masa-masa remaja adalah masa yang paling indah
untuk memulai mengenal perkembangan tubuh dan jiwanya. Dia mulai mengenal apa
yang namanya cinta walaupun masih dalam ujud yang kasar dan dangkal. Namun
bunga yang masih kuncup dan baru akan mekar mewangi itu telah direnggut dengan
paksa dan kasar. Sehingga bekas-bekas kekasarannya itu masih terbawa sampai
sekarang.
Sejak
saat itulah Anjani memendam dendam, tidak hanya kepada kedua Gurunya itu, namun
kepada setiap laki-laki yang dijumpainya. Selera membunuhnya benar-benar liar,
kapan saja dia ingin membunuh korbannya, saat itu juga akan dilakukannya. Semua
itu sebenarnya adalah ungkapan kemarahan dan dendam yang tak tersalurkan kepada
kedua Gurunya yang telah menjerumuskannya ke lembah hitam.
Kini
kesempatan itu sedang terbuka lebar. Ada seseorang yang dapat dijadikan
lantaran untuk menuntaskan dendam itu, yaitu Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika Ki
Rangga mengajukan syarat bahwa dia dijadikan sebagai taruhan atas perang
tanding itu, dirinya benar-benar hampir lupa daratan dan dengan serta merta
telah menyatakan diri bersedia sebagai taruhan.
Dalam
pada itu, malam yang semakin dalam terasa semakin dingin menggigit kulit. Namun
di seputar arena perkelahian itu hawa panas terasa berputar-putar dan membuat
orang-orang yang berdiri terlalu dekat dengan arena segera beringsut mundur
sehingga arena perang tanding itu pun semakin luas.
Ketika
perhatian orang-orang yang ada di seputar arena itu sedang tercurah ke perang
tanding yang sedang berlangsung, entah dari mana datangnya, perlahan lahan tapi
pasti sehelai demi sehelai telah turun kabut di halaman samping itu. Pada
awalnya mereka yang hadir tidak begitu banyak menaruh perhatian, namun ketika
kabut itu semakin tebal dan menghalangi pandangan mata, barulah mereka sadar
bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak wajar.
Sejenak
Ki Gohmuka yang berdiri di pinggir arena itu menengadahkan wajahnya. Kerut
merut di dahinya semakin dalam ketika menyadari bahwa lantaran kabut yang tebal
itu dirinya tidak dapat lagi menyaksikan apa yang sedang terjadi di tengah
arena perang tanding itu.
“Gila,”
umpatnya sambil menggeretakkan giginya, “Permainan licik apalagi yang engkau
tunjukkan, he..Ki Rangga.?”
Ki
Rangga Agung Sedayu yang mendengar umpatan itu hanya tersenyum. Dugaannya benar
bahwa kedua murid Tal Pitu itu belum mampu menembus ilmu warisan dari perguruan
Windujati. Mungkin mereka dapat mempertajam pandang mata mereka untuk mengenali
lawan, namun ujud-ujud yang di lihat tidak lebih dari bayang-bayang yang
bergerak berseliweran.
Inilah
kelemahan ilmu dari perguruan Tal Pitu yang telah menciptakan ujud-ujud semu
sebagai pancaran dari ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang telah
dikembangkan oleh Ki Brahmuka dan Gohmuka. Dalam kabut yang semakin tebal, Ki
Brahmuka yang asli akan sulit membedakan yang manakah Ki Rangga di antara
ujud-ujud semu ciptaannya, karena yang tampak dalam pandangannya hanya
bayangan-bayangan yang bergerak kian kemari tak tentu arah.
Kesempatan
ini telah digunakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu untuk bersembunyi di antara
tebalnya kabut sehingga terhindar dari serangan ujud-ujud Ki Brahmuka yang tak
terbilang jumlahnya.
Waktu
yang sekejab itu ternyata sangat berarti bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk
mengenali ujud lawan yang sebenarnya.
Dengan
memusatkan nalar dan budi serta memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung, Ki
Rangga Agung Sedayu pun segera mengungkapkan ilmunya yang tiada duanya, ilmu
yang dapat diungkapkan melalui sorot matanya dan dapat berakibat maut bagi
lawannya.
Sementara
itu, Ki Brahmuka yang sedang memusatkan pandangan matanya untuk mencari
bayangan Ki Rangga Agung Sedayu di antara bayangan-bayangan semu yang telah
diciptakannya dalam kepekatan kabut, tiba-tiba terkejut ketika merasakan sebuah
cengkraman yang dahsyat telah melanda dadanya.
Sejenak
nafasnya bagaikan tersumbat, sambil mengerahkan daya tahannya, dicobanya untuk
mencari arah dari mana datangnya serangan itu, namun semuanya sudah terlambat.
Ketika dia sudah mengenali sebuah bayangan yang berdiri hanya beberapa langkah
saja di samping kirinya, dadanya benar-benar bagaikan tertimpa sebuah gunung
anakan. Beberapa saat dia masih mencoba bertahan, dengan tertatih-tatih dia
berjalan mendekati bayangan yang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada
itu.
Dengan
menghentakkan seluruh daya tahan tubuhnya, sekali lagi Ki Brahmuka mencoba
mendekat ke arah bayangan itu. Daya tahan tubuh Ki Brahmuka memang luar biasa,
selain lambaran tenaga cadangannya yang memang hampir mencapai sempurna, juga
wadagnya telah mengalami tempaan dan pembajaan yang dahsyat selama
bertahun-tahun dalam menekuni olah kanuragan.
Ki
Rangga Agung Sedayu benar-benar tidak mau melepaskan lawannya sekejap pun.
Dihentakkannya seluruh kekuatan yang tersalur lewat sorot matanya. Lawannya
kini benar-benar sudah lumpuh, jatuh terduduk hanya dua langkah saja di depan
Ki Rangga sambil memegangi dadanya dengan kedua belah tangannya, sedangkan
ujud-ujud semu yang diciptakan oleh Ki Brahmuka berlandaskan pada Aji Kakang
Kawah Adi Ari-Ari, perlahan-lahan lenyap tertelan kepekatan kabut sejalan
dengan melemahnya pertahanan Ki Brahmuka.
Agaknya
akhir dari perang tanding itu sudah dapat dipastikan kalau saja Ki Rangga Agung
Sedayu tidak terganggu perhatiannya oleh sebuah teriakan yang mirip dengan
lolongan serigala. Dan sekejap kemudian sebuah bayangan meluncur menerjang Ki
Rangga Agung Sedayu.
Sejenak
perhatian Ki Rangga terpecah. Bayangan yang sedang terbang ke arahnya itu telah
menjulurkan kedua belah tangannya dengan kuku-kuku baja yang beracun siap untuk
melumatkan dadanya.
Tidak
ada pilihan lain bagi Ki Rangga Agung Sedayu. Dia tetap mengerahkan kekuatan
ilmunya melalui sorot matanya untuk menghancurkan Ki Brahmuka, sedangkan untuk
menghadapi serangan lawannya yang lain, dengan mengetrapkan ilmu kebal
setinggi-tingginya sambil tidak lupa selalu memohon kepada Yang Maha Agung agar
selalu dalam perlindunganNya, diangkatnya kedua tangannya bersilang di depan
dada siap untuk menghadapi gempuran lawan.
Bayangan
yang melesat cepat menerjang Ki Rangga Agung Sedayu itu ternyata adalah Ki
Gohmuka yang nekat menerjang memasuki gumpalan kabut untuk menolong saudara
kembarnya. Ketika saudara kembarannya, Ki Brahmuka sedang dalam perjuangan
antara hidup dan mati menghadapi ilmu sorot mata Ki Rangga, Ki Gohmuka yang berdiri
di luar arena perang tanding itu terkejut ketika panggraitanya yang tajam
sebagai saudara kembar serta lamat-lamat dalam pandangan matanya menembus
gumpalan kabut itu melihat bayangan seseorang yang jatuh terduduk di hadapan
seseorang yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dada.
Segera
saja Ki Gohmuka menyadari bahwa saudara kembarnya sedang dalam kesulitan.
Dengan sebuah teriakan keras yang mirip lolongan seekor serigala, dia pun
segera meloncat menerjang ke dalam gumpalan kabut.
Anjani
yang berdiri tidak jauh dari Ki Gohmuka terkejut. Tak disangkanya, gurunya yang
satunya ini akan berbuat curang mengeroyok Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan
membulatkan hatinya tanpa mempertimbangkan keselamatan dirinya, segera saja dia
mengambil ancang-ancang untuk meloncat masuk ke gumpalan kabut menyusul
gurunya.
Namun
baru saja dia mengerahkan tenaganya untuk meloncat, sebuah tangan yang kokoh
telah mencengkeram pergelangan tangannya. Dengan tergesa-gesa Anjani pun segera
menoleh untuk melihat siapakah yang menahannya untuk menyusul gurunya itu.
Ternyata Ki Ageng Sela Gilang telah berdiri di sampingnya dengan tersenyum
tanpa melepaskan cengkeramannya.
“Kakek,”
sergah Anjani, “Mengapa Kakek mencegahku? Aku harus membantu Ki Rangga Agung
Sedayu.”
“Aneh,”
berkata Ki Ageng sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mengapa engkau tidak
membantu Gurumu? Malah sebaliknya ingin membantu musuh Gurumu?”
“Karena
aku sudah muak menjadi muridnya!” teriak Anjani sambil mengibaskan tangannya
yang masih saja dicengkeram oleh Ki Ageng.
Sejenak
Ki Ageng terhenyak dengan pengakuan Anjani itu sehingga cengkeramannya pun
lepas. Dengan terheran-heran, orang tua itu balik bertanya, “Engkau sudah muak?
Bagaimana mungkin? Bukankah mereka berdua itu Gurumu?”
Baru
saja Anjani membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Ki Ageng, mereka berdua
telah dikejutkan oleh bunyi ledakan cambuk yang menggelegar menggetarkan udara
malam yang semakin dingin.
Ternyata
Ki Rangga Agung Sedayu telah mengurai senjata andalannya lagi, setelah untuk
beberapa saat dia melilitkannya di pinggang pada saat menghancurkan Ki Brahmuka
dengan ilmu sorot matanya.
Sejenak
kemudian perkelahian di dalam kabut itupun telah berkobar kembali antara Ki
Rangga Agung Sedayu melawan Ki Gohmuka. Sedangkan Ki Brahmuka telah tertelungkup
tak bernyawa.
Pada
saat benturan yang pertama tadi, keduanya ternyata memiliki kekuatan yang
hampir seimbang. Ki Rangga yang kekuatannya terpecah, ternyata masih mampu
menahan gempuran Ki Gohmuka walaupun dia harus terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling.
Ketika dengan cepat dia bangkit berdiri, Ki Rangga Agung Sedayu merasakan
sesuatu yang tidak wajar terjadi pada siku tangan kirinya.
Ketika
kemudian Ki Rangga mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dengan
siku tangan kirinya dengan merabanya, terasa pada bagian siku itu agak bengkak
dan ngilu. Ternyata kuku-kuku baja Ki Gohmuka telah mampu menembus perisai ilmu
kebalnya dan melukai siku tangan kirinya.
Sementara
Ki Gohmuka yang telah mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk menggempur
Ki Rangga telah terpental balik oleh kekuatannya sendiri. Dia bagaikan menabrak
dinding baja setebal satu jengkal sehingga tubuhnya terlempar beberapa langkah
kemudian jatuh terjerembab ke tanah.
Namun
kekuatan wadag Ki Gohmuka memang ngedab-edabi. Seolah-olah tanpa merasakan
akibat dari benturan itu, dengan sebuah raungan keras, dia segera meloncat
menerjang Ki Rangga yang baru saja bangkit berdiri. Ternyata Ki Rangga Agung
Sedayu telah siap dengan cambuknya. Segera saja serangan Ki Gohmuka disambut
oleh sebuah ledakan yang menggelegar memekakkan telinga.
Kini
Anjani yang berdiri di samping Ki Ageng Sela Gilang terlihat sudah agak tenang.
Ledakan-ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang beruntun telah
mengisyaratkan kepadanya bahwa Ki Rangga mampu mengimbangi Ki Gohmuka walaupun
sebelumnya telah berperang tanding melawan saudara kembarnya.
Dalam
pada itu, malam telah merambah menjelang dini hari. Titik-titik embun mulai
jatuh satu-satu membasahi pucuk-pucuk dedaunan dan kelopak-kelopak bunga yang
sedang bermekaran. Beberapa ekor kelelawar yang terbang bersliweran mulai
gelisah ketika melihat di langit sebelah timur telah membayang warna semburat
merah. Burung-burung yang semula tertidur pulas diantara ranting-ranting
pepohonan mulai menggeliat sambil mengepak-kepakkan sayap-sayapnya. Seekor ulat
yang tidur menggelung tidak jauh dari seekor burung gelatik yang sedang
bertengger di dahan yang rendah, dengan tergesa-gesa menyeret tubuhnya yang
tambun untuk bersembunyi di balik daun dari pada menjadi sarapan pagi bagi
burung gelatik itu.
Ketika
sinar Matahari yang pertama telah menyentuh halaman samping rumah itu. Tidak
terdengar lagi suara ledakan cambuk maupun teriakan yang mirip dengan lolongan
serigala. Suasana menjadi tenang tapi mencekam. Perlahan-lahan kabut yang
melingkupi di sekitar halaman samping itu mulai menipis kemudian hilang tertiup
angin pagi.
“Ki
Rangga..!” tiba-tiba Anjani menjerit sambil menghambur ke arah Ki Rangga yang
tampak sedang duduk bersila sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ki
Ageng Sela Gilang yang menyadari betapa gawatnya keadaan Ki Rangga yang sedang
memulihkan tenaganya itu karena para pengikut kedua murid dari Tal Pitu itu
masih mengepung tempat itu segera berlari menyusul Anjani.
Sesampainya
Anjani di depan Ki Rangga, tanpa mengenal unggah-ungguh dan rasa malu segera
ditubruknya orang yang telah memikat hatinya itu. Namun baru saja Anjani
mencondongkan tubuhnya ke depan, kembali sebuah tangan yang kekar telah
menahannya.
“Sudahlah
Anjani,” berkata Ki Ageng menyadarkan Anjani yang sedang dikuasai oleh gejolak
perasaannya, “Berilah kesempatan Ki Rangga untuk beristirahat. Itu sangat
dibutuhkannya untuk segera memulihkan kesehatannya.”
Ternyata
Ki Rangga Agung Sedayu telah selesai memulihkan tenaganya, walaupun tetap
terasa ada yang tidak wajar dengan siku lengan kirinya. Namun baru saja Ki
Rangga membuka kedua matanya, sebuah tepukan di pundaknya telah mengejutkannya.
Namun
begitu kesadarannya telah pulih kembali, tampak di depannya Ki Ageng Sela
Gilang sedang berjongkok sambil berdesis perlahan, “Kelihatannya Ki Rangga
mendapat luka walaupun tidak seberapa, namun pengaruh racun itu yang mungkin
dapat membahayakan.”
Ki
Rangga tersenyum sambil mencoba bangkit berdiri. Rasa rasanya tangan kirinya
agak terganggu. Ketika dia mencoba mengamat-amati siku tangan kirinya, tampak
seleret luka yang tidak mengucurkan darah dan di sekitar luka itu kulitnya
menghitam.
Ki
Rangga untuk sejenak terkejut. Bukankah selama ini dia kebal racun? Dan itu
sudah dibuktikan oleh Gurunya sendiri dengan menggunakan racun yang paling
keras sekalipun, dan ternyata pada waktu itu racun sekeras apapun tidak
mempengaruhinya.
Tapi
kenyataannya kali ini ada noda hitam legam dan seleret luka yang menggores siku
tangan kirinya. Agaknya Ki Rangga telah terkena kuku-kuku baja dari Ki Gohmuka
ketika terjadi benturan yang pertama. Kekuatan dan ketajaman kuku-kuku baja
dari Ki Gohmuka ternyata mampu menembus perisai ilmu kebalnya sehingga telah
meninggalkan segores luka.
Ki
Ageng yang ikut berdiri itu pun terkejut ketika ikut mengamati luka Ki Rangga.
Katanya kemudian, “Agaknya selain ilmu kebal, Ki Rangga juga mempunyai
kemampuan untuk menahan racun. Tapi menilik sifat racun ini, kelihatannya racun
ini akan bergerak walaupun sangat lambat menuju ke jantung. Kekuatan dalam diri
Ki Rangga yang mampu membuat Ki Rangga kebal racun mungkin hanya mampu
memperlambat kerja racun itu, tapi tidak memunahkan sekaligus.”
“Karena
racun yang digunakan oleh Guruku itu sangat kuat,” tiba-tiba Anjani yang sedari
tadi hanya diam itu mengutarakan pendapatnya, “Racun itu disebut racun Gundala
Wereng, dan tidak ada obatnya selain juga sesama racun yang benama racun
Gundala Seta.”
“He,”
hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Ageng terkejut.
“Bukankah
kedua jenis racun itu hanya ada dalam dongeng?” bertanya Ki Ageng.
“Ya,
memang,” jawab Anjani, “Namun kenyataannya Guruku berhasil menemukan racun
Gundala Wereng dan menggunakannya untuk merendam kuku-kuku bajanya.”
“Gila,”
geram Ki Ageng, “Kedua murid Tal Pitu itu memang terkutuk. Untunglah keduanya
bertemu dengan Ki Rangga sehingga petualangan mereka yang dapat membawa bencana
bagi sesama telah berakhir.
Selesai
berkata demikian Ki Ageng mengarahkan pandangan matanya ke dua sosok mayat yang
tergeletak tak berjauhan, Ki Brahmuka yang tertelungkup dengan tubuh yang masih
terlihat utuh namun isi dadanya hancur dan Ki Gohmuka yang tergeletak beberapa
langkah dengan luka bekas cambuk yang arang kranjang.
“Aku
terpaksa melakukannya,” desis Ki Rangga sambil menundukkan kepalanya
dalam-dalam, “Entah sampai kapan lingkaran dendam yang membelitku ini akan
berakhir.”
“Ah,”
Ki Ageng tertawa pendek, “Bukankah Ki Rangga tidak menghendaki semua ini
terjadi? Merekalah yang mencari mati sendiri.”
“Ki
Rangga, “ tiba-tiba Anjani menyela, “Racun Gundala Wereng itu sangat keras dan
bekerja dengan sangat cepat.” Dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Jarang
ada orang yang mampu menahannya. Biasanya dengan sekali gores, orang itu akan
mati hanya dalam hitungan kurang dari sepuluh. Kalau benar Ki Rangga kebal
racun, aku tidak menjamin Ki Rangga akan selamat dalam waktu empat puluh hari”
“Empat
puluh hari?” hampir berbareng Ki Rangga dan Ki Ageng berseru.
“Ya,
empat puluh hari,” jawab Anjani mantap, “Aku pernah menyaksikan Guruku
bertempur melawan seorang Pertapa yang sakti. Pertapa itu ternyata kebal racun.
Akan tetapi ketika dia tergores racun Gundala wereng, saat itu dia memang tidak
terpengaruh, namun ternyata dalam waktu empat puluh hari, Pertapa yang sakti
itu menemui ajalnya.”
Diam-diam
Ki Rangga tergetar hatinya. Walaupun dia tidak pernah takut mati karena mati
adalah bukan urusan manusia, akan tetapi urusan Yang Maha Agung yang menguasai
seluruh alam semesta ini, namun dia masih mempunyai banyak kuwajiban di dunia
ini. Seandainya boleh memilih, dia ingin menuntaskan segala urusan tetek bengek
terlebih dahulu sebelum dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.
“Bagaimana
Ki Rangga?” pertanyaan Ki Ageng telah membuyarkan lamunannya.
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dilemparkan pandangan matanya
ke arah para pengikut murid Tal Pitu itu yang masih berdiri termangu mangu agak
jauh dari bekas arena pertempuran. Mereka tidak lagi mengepung tempat itu, tapi
berdiri bergerombol di beberapa tempat sambil berbisik-bisik. Mereka tidak tahu
lagi apa yang harus diperbuat setelah kedua murid Tal Pitu itu mati.
“Ki
Ageng,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya para pengikut kedua
murid Tal Pitu itu disuruh menyelenggarakan jenasah ke dua pemimpin mereka?
Agar tempat ini segera lapang dan sebaiknya kita berbicara di pendapa saja.”
“Baiklah
Ki Rangga, “ jawab Ki Ageng, “Mereka mengenal aku sebagai Guru Pangeran
Ranapati sebagaimana Pemimpin mereka mengenalku,” Ki Ageng berhenti sejenak,
kemudian katanya sambil melambaikan tangannya ke arah salah satu kerumunan
pengikut dari Tal Pitu, “Salah satu dari kalian, kemarilah!”
Tampak
orang-orang yang bergerombol itu sejenak saling berpandangan, namun kemudian
dengan tergesa-gesa salah seorang yang berperawakan agak kurus dengan kumis
tipis melangkah mendekat.
“Kumpulkan
kawan kawanmu. Ajak mereka menyelenggarakan jenasah ke dua murid Tal Pitu itu,”
berkata Ki Ageng setelah Besok tipis itu tiba di hadapannya, “Setelah selesai,
aku harap kalian semua kembali ke Panaraga. Bukankah sebagian dari kalian
adalah prajurit Kadipaten Panaraga?”
“Benar
Ki Singa Wana,” jawab orang berkumis tipis itu, “Namun bagaimana dengan
sebagian dari kami yang berasal dari Tal Pitu?”
Sejenak
Ki Ageng tertegun. Tanpa disadarinya dia menoleh ke arah Ki Rangga Agung
Sedayu.
Ki
Rangga yang merasa dimintai pertimbangan tersenyum sekilas, katanya kemudian,
“Mereka dapat menentukan pilihan mereka sendiri, Ki Ageng. Namun yang perlu
diwaspadai, jangan sampai dalam perjalanan mereka ke Tal Pitu atau ke Panaraga,
mereka melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum dan merugikan kawula
alit.”
“Engkau
benar, Ki Rangga,” berkata Ki Ageng, kemudian katanya kepada Besok tipis itu,
“Itu terserah kepada kalian. Tapi ingat, aku dan Ki Rangga akan mengawasi polah
tingkah kalian selama kalian dalam perjalanan.”
Diam-diam
Besok tipis itu mengumpat dalam hati. Dia tidak habis mengerti, mengapa Ki
Ageng yang menurut pengenalannya bernama Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran
Ranapati itu kelihatannya berpihak kepada Ki Rangga Agung Sedayu, yang
jelas-jelas orang Mataram.
Namun
Besok tipis itu tidak dapat berbuat apa-apa. Yang dihadapinya adalah
orang-orang linuwih. Maka yang dilakukannya kemudian adalah menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “Kami akan selalu mengingatnya. Sekarang ijinkan kami
menyelenggarakan jenasah-jenasah itu”
“Silahkan,”
berkata Ki Ageng. Kemudian katanya kepada Ki Rangga dan Anjani sambil
mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, “Marilah kita ke pendapa. Di sana
kita dapat berbincang-bincang sambil melepaskan lelah, terutama Ki Rangga.”
“Ah,”
Ki Rangga tertawa pendek, “Rasa rasanya aku ingin bermanja-manja,
bermalas-malasan seharian penuh sambil makan dan minum yang enak-enak”
“O,”
sahut Ki Ageng, “Kalau memang Ki Rangga ingin makanan yang enak-enak, bagaimana
kalau kita kembali ke Kadipaten Panaraga saja? Aku jamin kita akan makan dan
minum sepuasnya.”
“Ya,”
berkata Ki Rangga, “Aku setuju, namun setelah itu aku harus meninggalkan
kepalaku untuk digantung di alun-alun kota Panaraga.”
“Ah,”
Ki Ageng pun tertawa berkepanjangan. Sedangkan Anjani yang berjalan mengikuti
di belakang Ki Rangga hanya tersenyum masam.
Setelah
duduk di atas tikar yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa, ketiga orang
itu pun duduk melingkar saling berhadapan.
“Nah,
Anjani,” berkata Ki Ageng kemudian membuka pembicaraan, “Engkau dapat
menceritakan kepada kami, terutama kepada Ki Rangga, bagaimana kita mendapatkan
penawar racun Gundala Wereng itu.”
Sejenak
wajah cantik itu termangu mangu. Sorot matanya yang kosong jatuh ke lantai
pendapa. Dadanya yang mungil tapi padat berisi itu tampak naik turun menahan
gejolak perasaannya.
“Kakek,”
akhirnya dari bibir yang kecil dan memerah delima itu meluncur kata katanya,
“Yang aku ingat pada saat itu, aku diajak ke Gunung Kendalisada, gunung yang
konon katanya tempat bertapanya Pertapa sakti berujud kera putih, Resi
Mayangkara.”
“Resi
Mayangkara,” tanpa sadar Ki Ageng dan Ki Rangga mengulang nama itu.
“Bukankah
Resi Mayangkara itu hanya ada dalam cerita Pewayangan?” bertanya Ki Rangga
kemudian.
Sebelum
menjawab, Anjani memandang tajam ke arah Ki Rangga seolah olah ingin menjenguk
isi hatinya sambil membisikkan ungkapan hatinya, “Ki Rangga, apakah engkau
mengerti jeritan hatiku selama ini? Ataukah engkau memang tidak peduli dengan penderitaanku
dan hanya bermain-main saja pada saat engkau mengajukan syarat diriku sebagai
taruhan perang tanding saat itu?”
Ki
Rangga yang merasa dipandang dengan tajam oleh Anjani menjadi salah tingkah.
Dia sudah dapat menebak isi hati Anjani. Bukankah dia telah keluar sebagai
pemenang dalam perang tanding itu? Dan dia harus mau menerima Anjani dan
membawanya ke Menoreh sesuai janjinya?
“Anjani,”
akhirnya Ki Rangga tidak dapat menahan hatinya lagi, “Percayalah, aku tidak
akan ingkar dengan janjiku.”
Seleret
warna merah menghiasi wajah Anjani. Segera saja ditundukkannya wajahnya sambil
berdesis perlahan, “Ki Rangga, aku tidak mempunyai hak untuk memaksakan
kehendak. Semua terserah Ki Rangga apa yang sebaiknya dilakukan.”
Ki
Ageng yang mendengarkan percakapan kedua orang itu hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu bahwa Ki Rangga
menyebut Anjani sebagai taruhan hanya untuk memancing kemarahan kedua murid Tal
Pitu itu, namun akibatnya sekarang adalah Anjani yang merasa disepelekan.
Seolah olah dirinya menjadi tidak berharga sama sekali.
“Sudahlah,”
akhirnya Ki Ageng menengahi, “Sekarang bagaimana Ki Rangga mendapatkan obat
bagi lukanya?”
Anjani
sejenak menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya.
Kemudian sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menahan isak tangis,
katanya lirih seolah olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aku bersedia
mengantar Ki Rangga mencari obat ke Gunung Kendalisada, jika memang Ki Rangga
masih membutuhkanku.”
Sebuah
desir setajam sembilu menggores hati Ki Rangga. Berbagai penyesalan telah
melanda hatinya. Entah kesan apa yang akan didapatkannya dari orang-orang di
Menoreh terutama istrinya Sekar Mirah yang tengah hamil tua, jika sekembalinya
dari Panaraga dia telah membawa Anjani.
TAMAT
Perjalanan Ki rangga di Panaraga Berkhir disini..... nantikan Kelanjutan ceritanya di TDBM 401..
Komentar
Posting Komentar