Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 404
SETELAH menimbang-nimbang
beberapa saat, akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu memutuskan untuk berterus
terang, “Pandan Wangi, orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra
itu telah menghimpun perguruan-perguruan yang sehaluan dengannya untuk
menghancurkan Mataram di tepian Kali Praga sebelah barat dengan menduduki
beberapa padukuhan kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya.”
Seketika wajah Pandan Wangi menjadi merah padam begitu
mendengar penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan lantang dia berteriak, “Kakang,
apa maksud semua ini? Mengapa aku tidak diberitahu kalau Menoreh sedang dalam
bahaya, sementara ayah Argapati sedang sakit? Malam ini juga aku akan ke
Menoreh untuk bahu-membahu dengan seluruh rakyat untuk mengusir orang-orang
yang telah menduduki beberapa padukuhan di tepi barat Kali Praga.”
“Sabarlah Pandan Wangi,” berkata Ki Widura sareh, “Semua
harus dihitung dengan cermat. Apabila kita salah dalam melangkah, akan jatuh
korban sia-sia.”
“Paman Widura benar,” sahut Ki Rangga, “Besok pagi aku akan
berangkat menghadap Ki Patih Mandaraka untuk menerima perintahnya. Aku yakin
sasaran orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu adalah
Mataram bukan Menoreh. Menoreh hanya sebagai pancadan saja. Namun demikian kita
tidak akan membiarkan bumi Menoreh diinjak-injak oleh orang-orang yang tidak
berhak.”
Dada Pandan Wangi masih bergemuruh. Dia benar-benar
mencemaskan nasib rakyat Menoreh, apalagi ayahnya, Ki Gede Menoreh selaku
pemimpin tertinggi Tanah Perdikan itu sedang sakit dan Prastawa telah berangkat
ke Panaraga memimpin sepasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
diperbantukan ke Mataram.
“Di Menoreh masih ada Ki Jayaraga dan seorang yang bernama
Kiai Sabda Dadi,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Aku telah mendengar berita
itu sebelumnya dari prajurit sandi. Aku kira keduanya telah mengambil
langkah-langkah pengamanan yang diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Menoreh.”
Kata-kata Ki Rangga Agung Sedayu itu bagaikan titik-titik
embun di teriknya sinar Matahari. Untuk sejenak gejolak hati Pandan Wangi agak
mereda. Namun tiba-tiba dia bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, “Kakang,
bagaimana dengan Sekar Mirah? Bukankah dia sedang dalam keadaan mengandung
tua?”
Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Widura sejenak saling
berpandangan. Namun akhirnya Ki Rangga lah yang menjawab, “Atas ijin Yang Maha
Agung dan atas karuniaNya yang tiada taranya, insya Allah Sekar Mirah telah
melahirkan dengan selamat.”
“He?” Pandan Wangi terkejut, “Dari mana Kakang mendapat
berita ini?”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil
memandang ke arah Pamannya, namun kelihatannya Ki Widura menyerahkan jawaban
itu sepenuhnya kepada dirinya.
“Wangi,” akhirnya Ki Rangga menemukan jawaban atas
pertanyaan Pandan Wangi itu, “Ada yang telah memberitahukan kepadaku atas
kelahiran anakku dengan selamat, demikian pula aku berharap Sekar Mirah tak
kurang suatu apa,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Nah, yang
lebih penting dari itu adalah bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya
menghadapi situasi yang cukup gawat ini.”
Pandan Wangi terdiam sejenak. Setelah beberapa saat kemudian
dia baru berkata, “Kakang, aku akan ikut Kakang Sedayu besok ke Mataram. Aku
titipkan Kakang Swandaru kepada Paman Widura. Sebelumnya aku mohon ma’af telah
merepotkan penghuni Padepokan ini, tapi aku tidak melihat jalan lain selain aku
harus kembali ke Menoreh.”
Hampir bersamaan Ki Widura dan Ki Rangga Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Mereka menyadari suasana hati Pandan Wangi pada saat
itu, dan memang Pandan Wangi telah memilih pada pilihan yang sulit antara
suaminya dan Ayahnya serta rakyat Menoreh.
“Baiklah Pandan Wangi,” akhirnya Ki Widura memberikan
tanggapannya, “Bagaimanapun juga Kau jangan meninggalkan suamimu begitu saja, Kau
harus meminta ijin terlebih dahulu kepadanya.”
Sambil menundukkan wajahnya Pandan Wangi hanya mengangguk
anggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun Ki
Widura dan Ki Rangga Agung Sedayu melihat perubahan yang terjadi pada wajah
putri Kepala Perdikan Menoreh itu walaupun hanya sekilas.
“Kelihatannya Pandan Wangi tidak membutuhkan ijin itu,”
berkata Ki Rangga dalam hati.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Angin malam yang bertiup
perlahan menggoyangkan dedaunan dan bunga-bunga yang tumbuh di sekitar halaman
Padepokan. Bunga arum ndalu yang ditanam di sebelah kanan pendapa mengeluarkan
bau yang semerbak mewangi, sementara suara binatang-binatang malam terdengar
bersahut-sahutan dengan irama yang ajeg.
Sesekali terdengar suara burung kedasih yang ngelangut di kejauhan.
Ketika kemudian dari gardu perondan di padukuhan sebelah
yang terletak di ujung jalan yang menuju padepokan itu memperdengarkan suara
kentong dengan nada dara muluk, ketiga orang itu pun segera menyadari bahwa
waktu telah menjelang tengah malam.
“Marilah kita beristirahat,” berkata Ki Widura kemudian,
“Kita masih memerlukan tenaga yang segar untuk besok pagi, terutama angger
berdua yang akan melaksanakan perjalanan jauh.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi mengangguk.
Demikianlah akhirnya ketiga orang itu kemudian telah menuju
ke bilik mereka masing-masing untuk beristirahat.
Dalam pada itu di gunung Kendalisada, Resi Mayangkara tampak
berdiri tegak bagaikan patung batu di tengah malam yang pekat di depan
pondoknya. Sedangkan Anjani yang telah selesai melaksanakan mandi keramas
dengan landa merang dan sesuci kemudian memakai sinjang pethak. Kain putih yang
hanya selembar itu dibalutkan ke tubuhnya sebatas dada sampai lutut. Rambutnya
yang panjang dan masih basah dibiarkan saja jatuh terurai menutupi punggungnya
yang putih bersih bagaikan pualam.
“Sudah waktunya, Anjani,” tiba-tiba Resi Mayangkara yang
berdiri tegak di tengah-tengah halaman itu menyapa Anjani begitu perempuan
cantik itu keluar dari pondoknya, “Marilah aku antar Kau menuju goa pertapaan.
Ingat, Kau akan berjalan dalam kegelapan goa dan tidak diperkenankan membawa
penerangan apapun karena laku tapa kungkum ini juga sekaligus pati geni.”
“Aku mengerti Eyang,” jawab Anjani sambil berjalan mendekat.
Langkahnya agak tersendat sendat karena kain putih yang membalut tubuhnya itu
begitu ketat.
Dengan langkah satu-satu keduanya pun kemudian menuju ke
belakang pondok yang selama ini ditempati oleh Resi Mayangkara. Tepat di
belakang pondok itu terdapat sebuah goa yang tidak seberapa besar. Anjani harus
membungkuk untuk memasuki goa itu.
“Jaga dirimu jangan sampai tertidur selama melaksanakan tapa
kungkum,” pesan Resi Mayangkara begitu Anjani mulai memasuki goa, “Sendang di
dalam goa itu tidak terlalu dalam. Ada sebuah batu besar di dasarnya yang dapat
Kau jadikan sebagai tempat duduk.”
Anjani yang mulai menelusuri dinding goa yang gelap dan
licin itu tidak menyahut. Dengan meraba raba dinding goa, Anjani melangkah
satu-satu. Ternyata hanya mulut goa itu yang sempit, setelah masuk ke dalamnya
Anjani dapat berjalan dengan berdiri tegak, tidak harus terbungkuk-bungkuk.
Semakin masuk ke dalam, Anjani merasakan hawa yang aneh
menyelimuti sekujur tubuhnya. Rasa rasanya sekujur tubuhnya telah dicengkeram
oleh sesuatu yang tidak tampak sehingga hawa dingin yang menusuk sampai ke
tulang sumsum itu telah membuat Anjani menggigil. Ketika kemudian lamat-lamat
Anjani mendengar suara gemericik air, dia mulai berpengharapan untuk segera
menemukan sendang itu.
Ketika jalanan mulai menurun dan berkelok ke kiri, suara
gemericik air itu semakin keras. Dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, Anjani
mencoba meraba apa yang ada di depannya dan ternyata Anjani telah menyentuh
air.
“Inilah sendang itu,” berkata Anjani dalam hati. Dengan
sangat hati-hati Anjani melangkah lagi satu langkah. Ketika kakinya sudah
terasa menyentuh bibir sendang kecil yang terdapat di dalam goa itu, Anjani pun
dengan mantap telah melangkahkan kaki yang satunya turun ke dalam sendang.
Segera saja air yang sedingin banyu sewindu menyergap kulit
kakinya. Namun Anjani tidak mempedulikan semua itu. Setelah dia benar-benar
berada dalam sendang yang ternyata hanya sedalam pinggang orang dewasa itu,
Anjani pun telah melepas satu satunya selembar kain putih yang membalut
tubuhnya dan kemudian dilemparkannya selembar kain yang telah basah itu ke
samping sendang.
Dengan tubuh yang polos Anjani mencoba meraba raba dasar
sendang dengan kakinya untuk mencari batu besar yang terdapat di dasar sendang.
Setelah agak jauh ke tengah sendang, barulah kakinya terantuk pada batu yang
dimaksud oleh Resi Mayangkara itu. Dengan perlahan Anjani pun kemudian naik ke
atas batu dan duduk bersila di atasnya untuk memulai laku tapa kungkum dan
sekaligus pati geni.
Setelah sejenak memusatkan nalar dan budinya disertai dengan
doa permohonan agar laku yang dijalaninya itu mendapat anugerah dari Yang Maha
Agung, Anjani pun memulai laku yang sangat berat itu.
Sejenak suasana yang hening di dalam goa itu sangat membantu
Anjani dalam memusatkan nalar dan budinya. Air sendang yang beriak perlahan
sebatas lehernya terasa bagaikan membelai-belai lehernya yang jenjang itu.
Ketika kemudian Anjani mencoba semakin menukik ke dalam keheningan, tiba-tiba
jantungnya berdesir tajam ketika terasa sesuatu menyentuh punggungnya.
Anjani mencoba mengabaikan perasaan itu. Dengan segenap
kemampuannya dicobanya untuk kembali memusatkan nalar dan budinya, namun
alangkah terkejutnya ketika kini justru bagian dadanya yang tersentuh oleh
sesuatu itu.
Hampir saja Anjani berteriak dan meloncat keluar dari
sendang, namun niat itu ditahankannya dengan kuat. Dia menyadari semua itu
pasti bagian dari cobaan laku yang sedang dijalaninya, dan Resi Mayangkara
memang sengaja tidak menjelaskan cobaan apa saja yang akan dialaminya di dalam
sendang itu.
“Mungkin sejenis ikan atau belut,” demikian Anjani berkata
dalam hati untuk menenteramkan gejolak hatinya.
“Bagaimana kalau yang menyentuhku tadi seekor ular?”
tiba-tiba pikiran itu menyelinap dalam benak Anjani.
“Ah, tidak mungkin,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“Kalau memang di sendang ini ada ularnya, Resi Mayangkara pasti sudah tahu dan
tidak akan menjerumuskan aku dalam bahaya seperti itu karena beliau tahu aku
bukan seorang yang kebal racun.”
Mendapat pemikiran demikian itu Anjani menjadi sedikit lebih
tenang. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu kejadian
yang hampir tak tertahankan oleh Anjani. Sentuhan-sentuhan itu semakin sering
dan hampir di sekujur tubuhnya. Anjani benar-benar hampir pingsan karena
menahan rasa geli yang tiada taranya dan akhirnya berubah menjadi sebuah
ketakutan yang mencengkam jantungnya.
Dalam keadaan yang hampir tak tertahankan itu, tiba-tiba
Anjani teringat akan sebuah ilmu yang telah diajarkan oleh Resi Mayangkara, aji
seribu bunga.
“Akan aku coba mengetrapkan aji ini,” berkata Anjani dalam
hati, “Kalau udara saja bisa dipengaruhi oleh aji ini dengan bau wangi yang
sangat menyengat, mungkin air sendang ini akan berubah berbau sangat wangi
sehingga memabokkan binatang-binatang yang ada di dalamnya.”
Mendapat pemikiran demikian, segera saja Anjani mengetrapkan
aji yang telah dipelajarinya dari Resi yang aneh itu. Perlahan tapi pasti,
tubuh Anjani telah menyebarkan bau semerbak mewangi seribu bunga. Semakin lama
bau itu semakin tajam dan menyengat karena Anjani telah mengetrapkan aji itu
sampai ke puncak.
Ternyata pengaruhnya sangat luar biasa. Air sendang di
sekitar tubuh Anjani bagaikan berubah menjadi minyak kasturi, dan kini tidak
terasa lagi sentuhan-sentuhan yang mengerikan itu. Anjani benar-benar terbebas
dari perasaan ngeri yang mencengkam jantungnya.
Sejenak Anjani dapat bernafas lega. Kini dia menyadari
mengapa Resi Mayangkara telah menurunkan ilmu seperti itu kepadanya, ternyata
dalam menjalani laku yang sangat berat ini, ilmu itu sangat menolongnya.
Kini Anjani dapat kembali memusatkan nalar dan budinya untuk
memohon kepada Yang Maha Agung agar mendapatkan amarahnya dalam menjalani laku
yang sangat berat itu sampai tuntas.
*****
Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih
tertahan di tepian Kali Praga sedang mencoba mencari jalan untuk menyeberang ke
Tanah Perdikan Menoreh.
“Rara,” berkata Glagah Putih dari atas tebing sambil
mengamati tepian Kali Praga yang hanya kelihatan hitam pekat tersaput malam
yang tanpa bulan, “Apakah kita perlu memakai jasa tukang satang untuk
menyeberang?”
“Aku ragu Kakang,” jawab Rara Wulan, “Kalau mereka adalah
bagian dari Panembahan Cahya Warastra, kita akan mendapat kesulitan.”
Sejenak Glagah Putih merenung. Kemudian katanya, “Bagaimana
kalau kita menyeberang besok pagi-pagi bersama para pedagang yang akan pergi ke
Menoreh?”
Rara Wulan mengerutkan keningnya sambil memandang ke bawah,
ke arah rakit-rakit itu biasanya di tambatkan, tapi yang tampak hanya
kegelapan. Katanya kemudian, “Aku tidak yakin kalau besok masih ada pedagang
yang mau menyeberang ke Menoreh. Setidaknya berita yang terjadi di Menoreh ini
pasti sudah sampai ke telinga mereka dan mereka tidak mau mengambil resiko,
karena bisa saja justru dagangan mereka yang akan dirampas bahkan sekalian
dengan nyawa mereka.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kau
benar Rara. Kalau kita menyeberang lewat penyeberangan yang biasanya ini, kita
pasti dicurigai. Lebih baik kita mencari jalan lain.”
“Maksud Kakang?”
“Kalau perlu kita berenang untuk menyeberang.”
“Ah, Kau ini ada-ada saja Kakang. Rasa rasanya malas
bersentuhan dengan air di malam yang dingin ini.”
“Percayalah Rara, itu hanya awalnya saja, setelah beberapa
saat berenang, perasaan dingin itu akan hilang dengan sendirinya.”
“Silahkan saja kalau mau berenang. Aku mau tidur saja.”
Selesai berkata demikian, Rara Wulan kemudian merapikan
rumput-rumput kering yang dikumpulkannya tadi sore untuk alas tidurnya. Sejenak
kemudian Rara Wulan pun telah merebahkan tubuhnya beralaskan rumput-rumput
kering di bawah sebatang pohon yang cukup besar yang tumbuh di atas tebing itu.
Glagah Putih sejenak masih mengamati bawah tebing yang gelap
pekat, namun pandangan mata Glagah Putih yang tajam mampu menembus kegelapan
itu sehingga dengan jelas dia melihat di mana rakit-rakit itu ditambatkan
beserta tukang-tukang satang yang tidur meringkuk berselimutkan kain panjang di
atas rakit mereka.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, dia benar-benar
belum menemukan cara yang aman untuk menyeberangi Kali Praga. Panembahan Cahya
Warastra pasti telah menempatkan orang-orangnya di sepanjang tepian Kali Praga
sebelah barat. Dengan demikian mereka yang tidak sehaluan dengan Panembahan itu
akan sangat sulit untuk menembus pagar betis itu. Ketika kemudian terdengar
Rara Wulan terbatuk-batuk kecil, Glagah Putih pun akhirnya meninggalkan tempat
pengintaiannya dan mengayunkan langkahnya menuju ke tempat Rara Wulan
berbaring.
Namun baru saja Glagah Putih akan merebahkan tubuhnya yang
terasa penat di sebelah istrinya, tiba-tiba di antara suara jeritan
binatang-binatang malam, terdengar lengkingan suara yang sudah sangat dikenal
oleh Glagah Putih, suara rinding. Memang suara rinding dengan nada melengking
tinggi itu hanya sekejab, kemudian menghilang ditingkah oleh suara binatang
malam. Namun bagi Glagah Putih itu sudah cukup memberikan isyarat bahwa
seseorang atau bahkan mungkin sekelompok orang yang pernah sangat dekat dengan
sepasang suami istri itu sedang berada di sekitar tempat itu.
Rara Wulan yang tampaknya belum tidur telah mengangkat kepalanya.
Katanya kemudian setengah berbisik, “Kakang? Benarkah pendengaranku ini? Aku
mendengar suara rinding.”
Glagah Putih tidak menjawab. Dengan hati-hati dikeluarkannya
sebuah rinding yang disimpan di saku bajunya bagian dalam. Kemudian tanpa
ragu-ragu ditiupnya rinding itu dengan nada yang sama dengan yang baru saja
terdengar, melengking tinggi namun hanya dalam waktu yang sangat pendek.
Sejenak mereka berdua masih menunggu. Glagah Putih segera
duduk di sebelah Rara Wulan yang telah bangkit dari tempat berbaringnya dan
duduk sambil memeluk lutut.
Malam semakin dalam. Sementara angin yang dingin terasa
menggigit kulit, namun kedua orang yang duduk di bawah pohon di atas tebing itu
masih tetap bertahan sambil menunggu yang mereka harapkan untuk muncul, dan ternyata
harapan itu memang tidak sia-sia.
Pendengaran mereka yang tajam segera mendengar suara
beberapa orang sedang mendaki tebing. Walaupun pendakian itu telah dilaksanakan
dengan sangat hati-hati, namun Glagah Putih dan Rara Wulan mampu menangkapnya
dengan jelas.
Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri ketika
beberapa bayangan yang masih samar tampak telah mencapai puncak tebing dan
melangkah mendekati tempat di mana mereka berdua telah berdiri menunggu.
Ketika orang-orang yang mendaki tebing itu sudah semakin
dekat, dengan setengah berlari sepasang suami istri itu pun segera menyongsong
mereka. Hampir saja mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam pertemuan yang
tak terduga duga itu.
Jerit tangis berbaur dengan tawa gembira hampir saja meledak
di tempat itu kalau saja seorang yang terlihat paling tua di antara mereka
tidak segera memperingatkan mereka dengan berdesis perlahan, “Kendalikan diri
kalian, kita sedang berada di daerah yang tidak aman.”
Rara Wulan yang sedang dikerubuti oleh empat orang perempuan
itu hanya dapat meneteskan air mata bahagia tanpa sepatah kata pun yang mampu
keluar dari bibirnya.
Seorang perempuan yang sudah cukup tua telah berbisik di
telinganya, “Bagaimana keadaanmu selama ini, nduk? Bukankah Kau berdua selalu
dalam lindungan Yang Maha Agung?”
Rara Wulan hanya berdesis pelan, seolah olah suaranya
tertelan oleh isak tangisnya yang tertahan tahan, “Alhamdulillah, Ibu. Kami
berdua sehat-sehat saja.”
Perempuan tua itu memang ibu angkat Rara Wulan yang lebih
dikenal dengan nama Nyi Citra Jati, dan tentu saja ketiga perempuan muda yang
ikut merangkul Rara Wulan adalah anak-anak Nyi Citra Jati yang lainnya yaitu
Padmini, Baruni dan Setiti.
Sementara Glagah Putih segera menyalami Ki Citra Jati yang
telah memperingatkan mereka tadi agar selalu waspada di daerah yang belum
mereka kenal sebelumnya. Selanjutnya di belakang Ki Citra Jati adalah Mlaya
Werdi yang berdiri termangu mangu.
“Selamat datang Ayah, Ibu, Kakang Mlaya Werdi dan adik-adik
semua,” berkata Glagah Putih kemudian sambil mempersilahkan mereka mencari
tempat duduk sendiri-sendiri. Sedangkan Rara Wulan masih saja berangkulan
dengan adik-adik perempuannya seolah olah mereka tidak mau berpisah lagi.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, barulah Glagah
Putih teringat pada seseorang, “Aku tidak melihat Adi Pamekas? Apakah dia
memang sengaja tidak diajak ke Menoreh?”
Ki Citra Jati tersenyum, jawabnya kemudian, “Karena Mlaya
Werdi ingin mengikuti kami ke Menoreh, maka Pamekas kami tinggal di Padepokan
untuk mengawani Ki Wasesa agar Padepokan tidak kosong selama ditinggal Mlaya
Werdi.”
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk anggukkan
kepala mereka.
Dalam pada itu, di bawah tebing di tepian sebelah barat Kali
Praga tampak sebuah bayangan hitam yang berdiri tegak di balik sebuah pohon
sedang mengamati keadaan di atas tebing sebelah timur Kali Praga. Bayangan itu
tampak mengamati dengan seksama kejadian yang sedang berlangsung di atas
tebing. Walaupun jarak itu cukup jauh, namun orang itu kelihatannya telah mengetrapkan
aji sapta pandulu dan sapta pangrungu untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang
sedang terjadi di atas tebing.
“Lebih dari lima orang,” berkata orang itu dalam hati,
“Agaknya telah terjadi sebuah pertemuan rahasia di atas sana. Siapakah
sebenarnya mereka itu?”
Dengan perlahan orang itu membungkuk untuk mengambil sebuah
batu kerikil. Dengan tanpa menimbulkan suara, batu kerikil itu telah
dilemparkannya dan jatuh mengenai salah seorang tukang satang yang sedang
meringkuk di atas rakitnya berselimutkan kain panjang.
Sejenak tukang satang yang terkena lemparan batu kerikil itu
menggeliat. Kemudian dengan perlahan dia duduk sambil menyingkapkan kain
panjangnya. Dengan sangat hati-hati dilepaskannya tali pengikat rakit yang
tertambat pada sebuah patok di tepi sungai. Setelah tali pengikat itu terlepas,
kemudian dikayuhnya rakit itu meluncur menuju ke tepian sebelah barat.
Ketika rakit itu telah menepi di sisi barat tepian Kali
Praga, dengan tanpa menimbulkan suara berisik orang yang sedang mengamati sisi tebing
sebelah timur Kali Praga itu telah meloncat ke atas rakit sambil berdesis
perlahan, “Marilah kita lihat, siapa yang berada di atas tebing itu?”
Tukang satang yang mulai mengayuh rakitnya itu mengerutkan
keningnya sambil bertanya, “Siapakah yang Ki Lurah maksud?”
“Kita akan segera tahu, siapakah mereka dan apa
kepentingannya berada di atas tebing sebelah timur Kali Praga ini,” jawab orang
yang dipanggil Ki Lurah itu sambil berdiri menyilangkan kedua tangannya di
depan dada.
Sejenak kemudian rakit itu meluncur menembus kepekatan malam
di atas arus air Kali Praga yang tidak begitu deras. Hanya dalam waktu sekejab
rakit itu pun kemudian telah merapat di tepian Kali Praga sebelah timur.
“Bangunkan kawan kawanmu,” perintah Ki Lurah sambil
melangkah perlahan di tepian yang berpasir.
Dengan tergesa gesa, tukang satang itu segera membangunkan
kawan kawannya yang berjumlah tiga orang.
“Ada apa?” bertanya seorang tukang satang yang berbadan
kurus dengan wajah yang masih mengantuk.
“Ki Lurah memerlukan kita,” jawab tukang satang yang
menyeberangkan Ki Lurah itu sambil beranjak membangunkan kawannya yang lain.
Beberapa saat kemudian di tepian yang berpasir itu telah
berkumpul empat orang tukang satang dan orang yang di panggil Ki Lurah itu.
“Aku melihat gerakan yang mencurigakan di atas tebing itu,”
berkata Ki Lurah kemudian sambil menunjuk ke tempat Glagah Putih dan Rara Wulan
bersembunyi, “Kemungkinannya jumlah mereka lebih dari lima orang tapi tidak
akan sampai sepuluh orang.”
“Apakah kita perlu memanggil kawan kawan kita yang berjaga
jaga di sisi barat Kali Praga, Ki Lurah?” bertanya salah seorang tukang satang
itu.
“Itu tidak perlu,” geram Ki Lurah, “Ingat, kita tidak
terikat dengan jumlah, akan tetapi kemampuan masing-masing orang yang akan
menentukan. Takaranku adalah lawan sebanyak lima orang, sisanya nanti terserah
kalian berempat.”
Hampir bersamaan keempat tukang satang itu menarik nafas
dalam-dalam. Mereka sudah mengenal betul dengan perangai Ki Lurah.
Sebenarnyalah menurut pengamatan mereka selama ini Ki Lurah itu termasuk orang
yang berilmu cukup tinggi, namun kesombongannyalah yang kadang-kadang
membuatnya kurang perhitungan.
“Marilah,” berkata Ki Lurah sambil melangkah ke arah tebing,
“Kita datang dengan dada tengadah, tidak usah mengendap endap seperti laku
seorang pencuri.”
Dengan tanpa menyamarkan kedatangan mereka, kelima orang itu
pun akhirnya mulai mendaki tebing sebelah timur Kali Praga dari arah sisi barat
yang medannya cukup terjal.
Dalam pada itu Glagah Putih dan kawan kawannya yang sedang
berada di atas tebing telah mendengar hadirnya orang orang yang tidak diundang
itu sejak mereka masih berada di tepian. Ki Citra Jati yang sudah menduga hal
itu akan terjadi hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Sementara anak anak Nyi
Citra Jati segera berkumpul di dekat ibu mereka untuk mendapatkan pengarahan.
“Baruni dan Setiti,” berkata Nyi Citra Jati, “Kalian berdua
jangan terlalu jauh dengan mbokayu kalian Padmini. Sementara biarlah Rara Wulan
berpasangan dengan Glagah Putih. Sedangkan Pamanmu Mlaya Werdi akan melindungi
kalian dari belakang,” Nyi Citra Jati berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
“Aku dan Ayahmu akan berada di luar lingkaran untuk melindungi kalian kalau
kalau masih ada di antara mereka yang datang dengan sembunyi sembunyi.”
Kedua gadis itu mengangguk tanpa menjawab. Keduanya segera
bergeser merapat ke dekat Padmini. Sedangkan Nyi Citra Jati telah bergeser
menjauh dan berlindung diantara semak semak yang cukup lebat diikuti oleh Ki
Citra Jati.
Glagah Putih yang maklum dengan siasat yang digunakan oleh
Nyi Citra Jati segera tanggap. Bersama Rara Wulan, dia segera melangkah ke
tempat yang cukup lapang sambil menunggu kedatangan orang orang yang sedang
mendaki tebing itu. Sedangkan Mlaya Werdi yang sedari tadi masih duduk di atas
sebongkah batu padas, dengan perlahan bangkit dari tempat duduknya dan bergeser
di belakang para keponakannya.
Ketika orang-orang yang mendaki tebing itu sudah mulai
terdengar semakin dekat, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah menanggalkan
penyamaran mereka sejak Matahari terbenam tadi memang merasa tidak ada gunanya
lagi menyembunyikan jati diri mereka. Dengan penuh kewaspadaan, sepasang suami
istri dan kawan-kawannya itu pun mulai mempersiapkan diri.
Agaknya kelima orang yang mendaki tebing itu benar-benar
penuh percaya diri. Itu terbukti mereka tidak berusaha menyembunyikan kehadiran
mereka, dengan langkah yang mantap dan penuh keyakinan akan kemampuan mereka,
Ki Lurah yang berjalan paling depan telah berhenti beberapa langkah di depan
Glagah Putih. Malam yang pekat ternyata tidak menghalangi pandangan Ki Lurah
untuk mengenali lawan lawannya yang berdiri beberapa langkah saja di depannya.
Tiba-tiba tawa Ki Lurah meledak mengoyak malam yang sepi. Di
sela-sela derai tawanya yang berkepanjangan Ki Lurah itu pun berkata, “Ah,
ternyata yang kita temukan di sini adalah sekumpulan perempuan-perempuan cantik
dan dua laki-laki entah sebagai pengawal atau pelayan mereka, aku tidak tahu,”
Ki Lurah berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Walaupun kalian memakai pakaian
laki-laki, namun aku tetap bisa membedakan, manakah yang lelaki tulen dan
manakah yang menyamar sebagai laki-laki.”
Glagah Putih yang berdiri di paling depan segera menyahut,
“Ma’afkan kami Ki Sanak kalau kehadiran kami di atas tebing ini mengganggu
keberadaan Ki Sanak yang berada di bawah tebing sana. Kami sekeluarga berasal
dari Prambanan dan berniat untuk menengok saudara kami yang sedang sakit di
Menoreh.”
Sejenak Ki Lurah mengerutkan keningnya, katanya kemudian
setengah membentak, “Jangan membual. Aku tidak bertanya siapa diri kalian.
Sekarang juga kalian harus mengikuti kami turun ke tepian. Kawan-kawan kami
sudah hampir sepekan berjaga-jaga di tepian Kali Praga ini, dan agaknya mereka
membutuhkan hiburan.”
“Gila..!” tiba-tiba justru Rara Wulan lah yang balas membentak,
“Tutup mulutmu yang kotor. Jangan berpikir bahwa kami perempuan-perempuan
murahan yang dapat seenaknya kalian perlakukan.”
Ki Lurah hanya tertawa pendek. Sambil menunjuk ke arah Rara
Wulan, katanya kemudian, “Apa katamu tentang empat perempuan muda dan dua
laki-laki di larut malam begini dan di tempat yang sepi seperti ini? Aku sudah
terbiasa mendapat jawaban seperti ini dan akhirnya kalian pasti akan segera
membuka kedok kalian setelah tercapai kesepakatan di antara kita.”
“Gila, gila, gila,” teriak Rara Wulan sejadi-jadinya sambil
dihentak-hentakkannya kakinya ke tanah. Untunglah Rara Wulan masih sadar
sehingga tidak menggunakan tenaga cadangannya ketika menghentakkan kakinya ke
tanah.
“Sudahlah Ki Lurah,” tiba-tiba salah seorang Tukang Satang
itu menyeletuk, “Malam semakin dingin dan tiba-tiba saja aku menjadi sangat
bergairah. Kita jangan membuang-buang waktu terlalu banyak. Kita dapat
melakukannya di sini atau di atas rakit agar lebih hangat. Terserah mereka.”
“Tutup mulutmu..!” Rara Wulan yang sudah tidak dapat menahan
diri itu telah meloncat secepat tatit yang meluncur di udara menampar Tukang
satang yang berdiri di sebelah kiri Ki Lurah.
Akibatnya adalah di luar dugaan semua orang yang hadir di
atas tebing itu. Dengan deras ayunan tangan Rara Wulan yang terbuka menerjang
wajah Tukang Satang itu sehingga kepalanya telah terpeluntir ke kanan bersamaan
dengan terdorongnya tubuh tukang satang itu terjengkang ke belakang.
Sejenak orang-orang itu bagaikan membeku di tempatnya.
Dengan dada yang berdebar debar mereka mengamati Tukang Satang yang terkapar
tak bergerak di tanah yang berdebu.
“Mati?” seru Ki Lurah sambil melangkah mendekat. Sambil
berjongkok, dirabanya dada Tukang Satang itu yang ternyata jantungnya telah
berhenti berdetak.
Ternyata kemarahan Rara Wulan yang tersinggung harga dirinya
sebagai seorang perempuan telah mengungkapkan tenaga cadangannya hampir sampai
ke puncak sehingga akibatnya sangat mengerikan, leher Tukang Satang itu telah
patah dan rahangnya terlepas bersamaan dengan lepasnya nyawa dari raganya.
Ki Lurah menggeram keras sambil berdiri. Kemarahannya
benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun. Kini sadarlah Ki Lurah dengan siapa dia
berhadapan. Ternyata perempuan yang menyerang salah satu Tukang Satang itu
berilmu sangat tinggi, terbukti dengan sekali pukul leher Tukang Satang yang
malang itu telah patah. Padahal para Tukang Satang itu bukan Tukang Satang yang
sebenarnya. Mereka adalah anak buah Ki Lurah yang telah malang melintang dalam
dunia hitam. Kemampuan olah kanuragan mereka tidak dapat dianggap enteng.
Mereka selalu berhasil melakukan perampokan di padukuhan-padukuhan yang
terbilang cukup kaya. Tak jarang mereka harus berhadapan dengan para pengawal
Padukuhan. Akan tetapi mereka selalu berhasil menuntaskan tugas mereka.
Kini Ki Lurah harus membuat perhitungan yang cermat. Di
pihaknya telah jatuh satu korban, sementara di pihak lawan masih segar dan
jumlahnya pun berlebih.
Menyadari akan kedudukannya itu, segera saja Ki Lurah
melontarkan isyarat untuk meminta bantuan. Sejenak kemudian malam yang sepi itu
terkoyak oleh suara suitan nyaring yang membelah udara malam. Suaranya
terdengar sampai di tepian Kali Praga sebelah barat tempat berkumpulnya para
pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga jaga.
Namun alangkah terkejutnya Ki Lurah ketika suara suitan itu
belum mereda, terdengar suara lengkingan rinding yang ditiup oleh Ki Citra Jati
dari balik gerumbul tidak jauh dari tempat itu.
Glagah Putih dan kawan kawannya sadar bahwa suara rinding
dari Ki Citra Jati itu adalah sebuah isyarat agar mereka segera bergerak
sebelum lawan mereka mendapatkan bantuan dari tepi barat Kali Praga.
Sejenak kemudian benturan pun segera terjadi dengan dahsyat.
Para Tukang Satang yang telah tanggap dengan keadaan segera mencabut senjata
masing-masing. Sementara Ki Lurah telah mencabut sebuah keris yang cukup
panjang yang bercahaya kemerah-merahan di tengah malam yang pekat.
Anak-anak Nyi Citra Jati selain Rara Wulan telah mengurai
senjata masing-masing. Padmini dan Baruni yang selalu membawa busur yang
disilangkan di depan dadanya segera menggenggam busur mereka di tangan kiri
yang digunakan sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan. Sedangkan di
tangan kanan mereka tergenggam sebatang anak panah yang digunakan sebagai
senjata seperti sebuah pedang untuk menyerang lawan mereka.
Sedangkan Setiti yang selalu membawa bawa sumpit telah
menggenggam sumpit itu di tangan kanan. Tidak seperti biasanya, sumpit itu
tidak terbuat dari bambu namun terbuat dari baja pilihan yang dapat digunakan
sebagai senjata yang mirip dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah namun
tanpa kepala tengkorak di ujungnya.
Selebihnya, apabila dalam keadaan mendesak mereka akan
melepaskan senjata-senjata mereka dan lebih mengandalkan pada kemampuan puncak
mereka, Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sementara Ki Lurah yang sudah waringuten segera menyerang
Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah saja di samping kirinya. Dengan sebuah
tusukan ke arah dada, Ki Lurah meloncat disertai dengan suara teriakan yang
menggelegar.
Rara Wulan yang mendapat serangan dari Ki Lurah segera
menggeser kaki kirinya selangkah kebelakang. Dengan sedikit memiringkan
tubuhnya sehingga tusukan keris ke arah dadanya itu hanya lewat sejengkal di
depannya, tangan kanan Rara Wulan bergerak cepat mencengkeram pergelangan
tangan Ki Lurah yang menggenggam keris.
Tentu saja Ki Lurah tidak akan membiarkan lawannya merebut
senjatanya. Dengan tergesa-gesa ditariknya keris itu sambil kaki kanannya
terayun deras mengarah ke lambung Rara Wulan.
Ada keinginan Rara Wulan untuk membenturkan siku tangan
kirinya dengan kaki Ki Lurah yang terayun deras ke arah lambungnya, namun niat
itu segera diurungkan. Dengan sekali lompat kebelakang, Rara Wulan sudah
terbebas dari serangan Ki Lurah. Ketika Ki Lurah kemudian bermaksud memburu
lawannya, ternyata di tangan Rara Wulan sudah tergenggam senjata andalannya,
sebuah selendang yang cukup panjang.
Sejenak Ki Lurah tertegun dan menghentikan langkahnya.
Senjata di tangan Rara Wulan itu sangat mendebarkan hatinya. Hanya orang-orang
yang benar-benar sudah mumpuni saja yang mampu memainkan senjata sejenis itu
dalam sebuah pertempuran yang sebenarnya.
Keraguan Ki Lurah itu ternyata terbaca oleh Rara Wulan.
Dengan sengaja diputarnya selendang itu di atas kepalanya untuk mempengaruhi
ketahanan batin lawannya. Putaran selendang itu begitu dahsyatnya sehingga
menimbulkan pusaran angin dan suara berdengung bagaikan dengung seribu lebah
hutan yang sedang mengamuk.
“Persetan,” geram Ki Lurah, “Aku bukan anak kecil yang takut
dengan segala macam pengeram-eram. Selendangmu itu akan segera putus terbabat
oleh kerisku yang tajamnya melebihi pitung
penyukur.”
“Aku meragukan itu, Ki Sanak,” jawab Rara Wulan tanpa
menghentikan putaran selendangnya, “Justru kerismu yang kau agung agungkan itu
yang sebentar lagi akan berpindah ke tanganku.”
“Jangan banyak membual,” sekali lagi Ki Lurah menggeram
sambil meloncat mengayunkan kerisnya membabat ke arah putaran selendang Rara
Wulan.
Demikianlah akhirnya mereka berdua segera terlibat dalam
sebuah perkelahian yang sengit. Ki Lurah benar-benar dibuat kerepotan dengan
senjata Rara Wulan. Selendang itu kadang-kadang meliuk-liuk bagaikan seekor
ular yang hidup yang berusaha membelit tangannya, kadang lehernya, bahkan
kakinya yang sedang meloncat di udara pun hampir saja terbelit dengan selendang
itu. Namun suatu saat dengan tidak terduga duga selendang itu tiba-tiba berubah
mengeras bagaikan sebuah tongkat baja dan mendera dadanya.
Glagah Putih yang menyaksikan perkelahian itu hanya menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kakinya bergeser menjauhi lingkaran perkelahian.
Dia sudah yakin istrinya itu tidak akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi
lawannya.
Tanpa sadar Glagah Putih justru mengayunkan langkah
mendekati lingkaran pertempuran anak-anak Nyi Citra Jati yang lain. Betapa
Padmini, Baruni dan Setiti telah membuat para Tukang Satang itu kebingungan.
Beberapa Kali senjata-senjata anak-anak Nyi Citra Jati itu mulai menyentuh
tubuh- tubuh mereka sehingga yang dapat dilakukan oleh para pengikut Ki Lurah
itu hanyalah bertahan sambil mundur dan mundur terus.
Namun mereka menyadari bahwa tidak mungkin untuk bertahan
sambil bergerak mundur terus karena di belakang mereka adalah lereng tebing
yang cukup terjal. Jika mereka sampai terjatuh, akibatnya akan sangat berbahaya
bagi keselamatan mereka.
Dengan pertimbangan seperti itulah, akhirnya para Tukang
Satang itu pun memutuskan untuk menghentakkan segenap kemampuan mereka untuk
mendesak anak-anak Nyi Citra Jati. Namun Padmini yang lebih dewasa dan lebih
berpengalaman dari adik adiknya segera memberi aba-aba untuk memperketat
serangan mereka sehingga sejenak kemudian pertempuran itu pun bagaikan meledak
dengan dahsyatnya.
Mlaya Werdi yang berdiri tidak seberapa jauh dari tempat
pertempuran anak-anak Nyi Citra Jati itu sama sekali tidak lengah. Sesuai
dengan pesan Nyi Citra Jati untuk mengamati keadaan jika ada bantuan lawan yang
datang dengan diam-diam. Namun sejauh itu tidak ada tanda-tanda yang
mencurigakan.
Dalam pada itu di tepian sebelah barat Kali Praga, para
pengikut Panembahan Cahya Warastra yang sedang berjaga-jaga telah mendengar
isyarat dari Ki Lurah. Dengan tergesa-gesa mereka segera menarik beberapa rakit
yang disembunyikan diantara semak belukar. Sejenak kemudian tiga buah rakit itu
telah diturunkan ke Kali Praga dengan penumpangnya masing-masing rakit sekitar
sepuluh orang.
Demikianlah rakit-rakit itu pun kemudian telah meluncur
dengan cepat di atas air Kali Praga yang keruh. Hanya dalam waktu sekejab
rakit-rakit itu telah merapat di tepian timur Kali Praga. Dengan sigap para
penumpangnya segera berloncatan ke tepian yang berpasir basah. Ketika kemudian
sekali lagi terdengar suitan nyaring dari arah tebing, para pengikut Panembahan
Cahya Warastra itu pun segera berlari-larian menuju ke arah suara suitan itu
berasal.
Memang Ki Lurah yang merasa tidak akan dapat mengatasi
lawannya telah melontarkan isyarat sekali lagi. Namun dengan demikian isyarat
itu pun bagi Rara Wulan dan anak-anak Nyi Citra Jati merupakan pertanda bahwa
mereka harus segera menyelesaikan lawan-lawan mereka sebelum bala bantuan
datang.
Ketika di bawah tebing mulai terdengar hiruk pikuk
orang-orang yang memanjat naik, sekali lagi terdengar sebuah lengkingan bunyi
rinding membelah udara malam. Dengan tanpa membuang waktu, Rara Wulan dan
adik-adik angkatnya pun segera menyelesaikan lawan-lawan mereka.
Para Tukang Satang itu tidak sempat melihat bagaimana
anak-anak Nyi Citra jati itu mempergunakan senjata mereka. Tiba-tiba saja dua
orang Tukang Satang merasakan sesuatu telah hinggap di dada sebelah kiri.
Ternyata anak panah Padmini dan Baruni telah menembus jantung mereka.
Sejenak kedua orang tukang Satang itu masih sempat mengumpat
keras sambil terhuyung-huyung memegangi dada mereka sebelum akhirnya jatuh
terjerembab tak bergerak untuk selamanya.
Sementara Setiti yang bersenjatakan sumpit telah menggunakan
senjatanya itu sebagaimana mestinya. Segera saja sebuah paser kecil telah
melesat dengan kecepatan yang luar biasa menembus leher lawannya.
Racun yang ada di ujung paser itu kekuatannya setara dengan racun
ular bandotan macan. Hanya dalam sekejap sebelum lawannya menyadari apa yang
sebenarnya sedang terjadi, tubuhnya tiba-tiba merasa kejang dan nafasnya pun
telah tersumbat. Tukang Satang yang terakhir itu pun kemudian roboh
berkelojotan mati.
Ki Lurah yang sempat melihat sekilas anak buahnya telah
terbujur menjadi mayat menjadi semakin wuru. Dengan mengangkat kerisnya
tinggi-tinggi seolah olah ingin menembus langit, dipusatkannya segala nalar
budinya untuk menghentakkan ilmu pamungkasnya.
Ketika kemudian serangannya yang membadai menerjang Rara
Wulan, dari ujung keris itu seolah olah telah memancar lidah api yang sangat
panas. Ujung lidah api itu ternyata telah mendahului dari ujud keris itu
sendiri. Sehingga ketika keris yang ada di tangan Ki Lurah itu belum menyentuh
tubuh Rara Wulan, lidah api itu telah menghanguskan ujung baju Rara Wulan.
Rara Wulan segera menyadari watak dari ilmu lawannya. Dia
tidak ingin kehilangan waktu terlalu banyak sementara orang-orang Panembahan
Cahya Warastra justru telah mulai memanjat tebing.
Setelah meloncat beberapa langkah ke samping menghindari
kejaran jilatan api yang keluar dari ujung keris Ki Lurah, dalam waktu yang
hanya sekejab Rara Wulan segera mengetrapkan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sejenak udara di sekitar arena pertempuran itu bagaikan
dipampatkan. Ketika udara yang telah dipampatkan itu kemudian berputar dan
membentuk butiran-butiran air yang sangat panas, Ki Lurah ternyata telah
terlambat menyadarinya. Langkahnya terhenti ketika butiran-butiran lembut air yang
sangat panas itu menerjang tubuhnya.
Dengan tergesa-gesa Ki Lurah meloncat ke belakang sejauh
jauhnya sambil memutar senjatanya untuk melindungi dirinya dari terjangan Aji
Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Namun ternyata kecepatan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu
melebihi usaha Ki Lurah menghindarkan diri dengan meloncat kebelakang.
Butiran-butiran air panas yang sangat lembut itu telah menyusup di sela-sela
putaran kerisnya dan langsung menghunjam ke dalam tubuh Ki Lurah lewat
lubang-lubang di kulitnya.
Untuk sejenak Ki Lurah telah terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah. Butiran-butiran lembut air panas itu telah menyusup ke dalam
pembuluh darahnya dan menghancurkan jaringan urat darah di sekujur tubuhnya.
Akhir yang sangat mengerikan bagi Ki Lurah. Seluruh pembuluh
darahnya seakan meledak dan darah pun mengalir deras keluar dari lubang-lubang
di kulitnya. Dengan mengeluarkan teriakan kesakitan yang luar biasa, Ki Lurah
pun akhirnya jatuh tertelungkup bermandikan darah dan tak bergerak lagi untuk selama
lamanya.
Dalam pada itu, para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang
sedang mendaki tebing telah semakin dekat dengan tempat pertempuran. Ketika
kemudian mereka telah mencapai bibir tebing dan berlari-larian menuju ke medan
pertempuran, alangkah terkejutnya mereka, ternyata medan pertempuran yang
tadinya terdengar hiruk-pikuk kini telah menjadi sepi. Hanya bekas-bekas
pertempuran saja yang masih mereka jumpai dan beberapa sosok mayat yang
terbujur malang-melintang.
Dengan cepat mereka segera menyebar untuk memburu
orang-orang yang telah membunuh kawan-kawan mereka. Hampir setiap jengkal tanah
di atas tebing itu tidak luput dari pengamatan mereka. Sesekali mereka
menemukan jejak-jejak kaki namun sudah sangat kabur dan susah dikenali.
Demikian juga arah jejak kaki itu tidak jelas kemana arah tujuannya. Seolah
olah jejak-jejak itu hanya melingkar-lingkar saja di atas tebing.
“Ki Lurah..!” tiba-tiba seorang yang wajahnya bulat dan
berambut keriting berteriak lantang begitu mengenali sesosok mayat yang tertelungkup
dalam keadaan yang mengenaskan.
Beberapa orang segera berlari ke tempat di mana orang yang
wajahnya bulat itu menemukan mayat Ki Lurah. Mereka tidak yakin bahwa Ki Lurah
yang menurut pengenalan mereka selama ini termasuk orang yang berilmu cukup tinggi
telah terbunuh. Jika memang Ki Lurah ikut menjadi korban, berarti lawan yang
dihadapinya pasti bukan orang kebanyakan.
Sesampainya di depan mayat yang tertelungkup itu, dengan
tergesa-gesa seseorang segera membalikkannya. Dengan dada yang berdebar debar
mereka melihat betapa keadaan mayat itu sangat mengerikan, sekujur tubuhnya
bersimbah darah.
Beberapa orang berusaha mencondongkan tubuh ke depan agar
lebih jelas melihat wajah mayat itu, sedangkan yang lainnya justru telah
berjongkok di sisi mayat itu untuk meyakinkan penglihatan mereka bahwa tubuh
yang telah terbujur kaku itu adalah Ki Lurah.
“Ki Lurah..!” seseorang berdesis perlahan setelah dia yakin
dengan penglihatannya.
“Ya, benar. Ini memang Ki Lurah,” yang lainnya menyahut
hampir bersamaan.
“Gila..!” terdengar beberapa orang telah mengumpat, “Ilmu
apakah yang telah membunuh Ki Lurah?”
Seseorang yang rambutnya sudah ubanan melangkah maju sambil
menyibakkan orang-orang yang sedang berkerumun dan kemudian berjongkok di sisi
tubuh Ki Lurah yang telah membeku. Sejenak diamatinya sekujur tubuh yang telah
dingin itu. Dicobanya mencari bekas-bekas luka yang mungkin terdapat pada tubuh
Ki Lurah, namun tidak tampak segores luka pun yang terdapat pada mayat itu.
“Aneh,” desis orang yang rambutnya sudah ubanan itu, “Tidak
ada segores luka pun, namun darah yang keluar dari pori-pori kulitnya bagaikan
diperas,” orang itu berhenti sejenak. Dikerahkan kemampuan daya ingatnya untuk
mengenali jenis ilmu yang telah membuat Ki Lurah terbunuh. Gurunya sering
bercerita tentang berjenis jenis ilmu yang ada di muka bumi ini sebagai
pengetahuan bagi murid-muridnya. Dari yang paling sederhana sampai yang paling
rumit dan aneh, aneh dalam kemampuannya menghancurkan lawan maupun aneh dalam
memberikan nama aji itu sendiri.
Tiba-tiba bagaikan disengat oleh seekor kalajengking sebesar
ibu jari kaki orang dewasa, orang yang rambutnya sudah ubanan itu terlonjak
berdiri sambil berteriak, “Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce! Ya.., Pacar Wutah
Puspa Rinonce, aku yakin itu.”
Orang-orang yang mengerumuninya itu terkejut. Seorang yang
berperut buncit mendesak maju sambil bertanya, “Apakah Kau yakin Kakang Dumuk?
Kalau memang Ki Lurah telah terbunuh dengan aji Pacar Wutah Puspa Rinonce, kita
harus segera melaporkan peristiwa ini kepada Guru.”
“Kau benar Adi Walang” jawab orang yang rambutnya sudah
ubanan yang ternyata bernama Dumuk, “Hanya guru yang dapat mengatasi aji ini.
Kita masih jauh di bawah tataran orang yang telah membunuh Ki Lurah ini,
kecuali Kakang Labda Gati, ilmunya mungkin sudah mencapai tataran setingkat
dengan Guru.”
Beberapa orang yang mendengarkan pembicaraan itu mengangguk
angguk. Sementara beberapa orang yang lainnya telah sibuk menggali tanah di
atas tebing itu dengan peralatan seadanya. Betapa pun kelamnya hati mereka
serta jalan hidup yang mereka tempuh selama ini sangat jauh dari tuntunan hidup
bebrayan, namun mereka masih mempunyai setitik rasa kesetia-kawanan terhadap
kawan-kawan mereka yang telah terbunuh dalam menjalankan tugas.
Demikianlah akhirnya, Dumuk yang merupakan orang yang
dituakan dalam rombongan itu telah memerintahkan untuk mengubur lima orang
kawan mereka yang telah terbunuh di atas tebing sebelah timur Kali Praga.
Dengan peralatan seadanya mereka pun kemudian mengubur kelima kawan mereka itu
dalam satu lubang.
Sejenak kemudian, setelah mereka merasa tidak ada lagi yang
perlu dilakukan, mereka pun kemudian segera menuruni tebing dan kembali
menyeberang ke tepi barat Kali Praga.
*****
Dalam pada itu di padepokan Jati Anom, malam telah sampai ke
ujungnya. Burung-burung mulai terbangun dan keluar dari sarangnya sambil
memperdengarkan kicau yang merdu menyambut terbitnya sang fajar.
Setelah menunaikan kewajibannya sebagai hamba kepada
Penciptanya, Ki Rangga Agung Sedayu mulai mempersiapkan perjalanan ke Mataram
untuk menghadap Ki Patih Mandaraka. Empat ekor kuda yang tegar telah disiapkan
di halaman padepokan. Putut Darpa dan Putut Darpita pun telah siap dengan
perbekalan mereka dan duduk di pendapa menunggu Ki Rangga dan Pandan Wangi
keluar.
Kedua Putut kakak beradik itu tidak terlihat membawa pedang,
namun senjata mereka adalah senjata ciri khas perguruan orang bercambuk,
sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggang mereka dan disembunyikan di bawah
baju.
Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi muncul
dari balik pintu pringgitan, kedua Putut itu segera berdiri dan menganggukkan
kepala.
“Apakah kalain sudah makan pagi?” bertanya Pandan Wangi
sambil melangkah mendekat.
Putut Darpa ternyata yang menjawab, “Kami tadi sudah makan
di dapur Nyi. Jika Ki Rangga dan Nyi Pandan Wangi belum makan pagi, kami akan
menunggu.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi tersenyum.
Sambil berjalan melintasi pendapa Ki Rangga kemudian menuju ke tempat kuda-kuda
mereka ditambatkan. Katanya kemudian, “Marilah, mumpung hari masih pagi. Semoga
kita sampai di Mataram sebelum gelap.”
Kedua Putut itu hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar
kata-kata Ki Rangga. Sejenak kemudian keduanya pun segera menuju ke kuda
masing-masing dan mempersiapkan segala uba rampe untuk sebuah perjalanan yang
cukup jauh.
Pandan Wangi yang telah mendapat ijin dari suaminya itu
telah memakai pakaian khususnya dengan sepasang pedang di lambung. Rambutnya
yang masih hitam lebat namun di sana sini sudah mulai dihiasi dengan rambut
yang berwarna putih itu disanggul tinggi dan diikat dengan secarik kain
berwarna merah saga. Pandan Wangi masih terlihat sangat cantik di usianya yang
sudah mendekati setengah abad.
Demikianlah, keempat orang yang akan melakukan perjalanan ke
Mataram itu masih harus menunggu Ki Widura untuk berpamitan. Agaknya Ki Widura
masih ada keperluan sebentar di belakang. Setelah beberapa saat menunggu,
barulah Ki Widura muncul dari balik pintu pringgitan dan berjalan mendekati
keempat orang yang masih belum menaiki kuda-kuda mereka.
“Ma’af, aku tadi masih ada keperluan di belakang,” berkata
Ki Widura sesampainya di depan mereka berempat, “Apakah masih ada yang
tertinggal sebelum kalian berangkat? Tolong jika kalian bertemu Glagah Putih
dan Rara Wulan, katakan aku sudah sangat rindu untuk menimang cucu.”
“Ah,” hampir bersamaan mereka yang mendengar pesan Ki Widura
itu tertawa. Bahkan Pandan Wangi yang berdiri di sebelah Ki Rangga Agung Sedayu
menimpali, “Bukankah Ki Widura sudah bertambah cucunya dari Kakang Agung
Sedayu?”
“Ya,. ya..,” sahut Ki Widura cepat, “Namun biarlah
kebahagiaan orang tua ini bertambah lengkap setelah mendapat cucu dari Glagah
Putih.”
Kembali keempat orang itu tertawa.
“Baiklah, Paman,” akhirnya Ki Rangga berpamitan, “Kami mohon
diri. Aku titip Adi Swandaru. Obat yang aku tinggalkan cukup untuk persediaan
satu bulan. Semoga sebelum satu bulan aku sudah bisa kembali ke Padepokan.”
Ki Widura mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil
melangkah menuju ke regol dia berkata, “Keadaan Mataram sangat gawat sehubungan
dengan kehadiran pengikut Panembahan Cahya Warastra. Tidak menutup kemungkinan
Menoreh akan terkena pengaruhnya.”
Sambil menuntun kuda-kuda mereka, keempat orang itu berjalan
perlahan-lahan mengikuti Ki Widura menyeberangi halaman Padepokan yang cukup
luas.
Ketika kemudian mereka telah sampai di depan regol, Ki
Widura pun menghentikan langkahnya sambil berpesan, “Hati-hatilah di jalan.
Lebih baik kalian menghindari persoalan yang mungkin timbul di sepanjang
perjalanan agar kedatangan kalian di Mataram tidak terlambat.”
“Ya Paman,” sahut Ki Rangga sedangkan yang lain hanya
mengangguk anggukkan kepala mereka.
Setelah sekali lagi minta diri kepada Ki Widura, keempat
orang yang akan melakukan perjalanan jauh itu segera meloncat ke atas punggung
kuda masing-masing. Sejenak kemudian mereka berempat telah berderap menyusuri
jalan-jalan di Kademangan Jati Anom yang masih sepi.
“Apakah kita akan mampir ke rumah Kakang Untara?” bertanya
Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Ki Rangga. Sedang kedua Putut kakak
beradik itu berkuda beberapa langkah di belakang.
“Aku kira tidak perlu, Wangi,” jawab Ki Rangga, “Kakang
Untara tidak ada di tempat. Dia ikut melawat ke Panaraga bersama sama dengan
pasukan Mataram yang lain.”
Pandan Wangi hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
Sementara itu embun pagi mulai terusir oleh sinar Matahari
yang mulai mengintip dari balik bukit. Walaupun sinarnya masih sangat lemah,
namun perlahan-lahan embun-embun yang masih bergelayutan dengan manja di
pucuk-pucuk dedaunan mulai menguap bersamaan dengan warna langit yang mulai
cerah.
Keempat orang yang sedang melakukan perjalanan ke Mataram
itu masih belum merasa perlu untuk berpacu di atas jalan yang berbatu batu.
Namun ketika kemudian mereka telah keluar dari regol Kademangan Jati Anom dan
menyusuri sebuah bulak yang cukup panjang, mereka pun segera memacu kuda-kuda
mereka semakin cepat.
Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Ki Rangga
tampak sangat menikmati perjalanan itu. Wajahnya yang masih terlihat muda dari
usia yang sebenarnya itu terlihat sangat cerah. Sebuah senyum kecil selalu
tersungging di bibirnya yang merah bak delima merekah. Dilemparkan pandangan
matanya jauh kedepan dengan sinar mata yang berbinar-binar. Betapa perjalanan
ini mengingatkannya pada kenangan jauh ke masa lalu sewaktu dirinya masih
seorang gadis yang mempunyai kesenangan berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan,
berburu di hutan di pinggir tlatah Tanah Perdikan Menoreh ditemani oleh
pemomongnya yang setia, Kerti.
Sesekali dari sudut matanya dia melihat Ki Rangga Agung Sedayu
yang berkuda di sebelahnya tampak menundukkan kepalanya. Wajah Ki Rangga
sepertinya sedang memendam sebuah beban yang sangat berat. Bahkan berkali-kali
tanpa disadarinya Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil
menggeleng gelengkan kepalanya.
“Apakah sebenarnya yang sedang dipikirkannya?” bertanya
Pandan Wangi dalam hati, “Apakah dia sedang memikirkan Kakang Swandaru yang
masih sakit di Padepokan Jati Anom? Atau dia gelisah karena ingin segera
bertemu dengan Sekar Mirah yang justru sekarang sudah mendapatkan momongan?”
Berbagai pertanyaan bergulat di dalam dada Pandan Wangi,
namun sejauh itu dia tidak mendapatkan jawabannya, bahkan hatinya pun telah
ikut menjadi gelisah.
“Mungkin Kakang Agung Sedayu sedang memikirkan tugas apa
yang akan diembannya dari Ki Patih Mandaraka,” kembali Pandan Wangi berkata
dalam hati, “Atau Kakang Agung Sedayu sedang memikirkan cara untuk menembus
pertahanan Panembahan Cahya Warastra yang telah menduduki tepi barat Kali
Praga.”
Sampai di sini Pandan Wangi menjadi sangat gelisah.
Terbayang Ayahnya yang sedang terbaring sakit sementara kekuatan yang ada di
Tanah Perdikan Menoreh sangat lemah, hanya ada Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi.
“Aku belum mengenal kemampuan Kiai Sabda Dadi itu secara
pribadi,” demikian Pandan Wangi melanjutkan angan angannya, “Kemampuannya dalam
bidang pengobatan pun aku kira masih di bawah Kiai Gringsing.”
Tiba-tiba angan-angan Pandan Wangi menjadi berantakan
bagaikan awan yang tertiup angin kencang ketika Ki Rangga berkata, “Wangi,
lebih baik kita mengambil jalan ke kiri menghindari padukuhan-padukuhan yang
ada di depan kita. Kita akan menyusuri tepi hutan yang masih cukup lebat namun
aku yakin sudah jarang ada binatang buas yang berkeliaran mencari mangsa di
tepi hutan itu.”
“Baiklah Kakang,” sahut Pandan Wangi. Sambil menoleh ke
belakang dia berkata kepada kedua Putut kakak beradik itu, “Kita akan mengambil
jalan ke kiri.”
Kedua Putut itu hanya mengangguk tanpa mengurangi laju kuda
mereka.
Ketika kemudian mereka berempat telah berbelok ke arah kiri
dan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat, mereka
dikejutkan oleh suara ringkik kuda di belakang mereka. Hampir bersamaan keempat
orang itu telah berpaling. Ternyata seorang penunggang kuda dengan mengenakan
caping lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya, muncul dari kelokan jalan
setapak di belakang mereka dan membuntuti mereka hanya dalam jarak beberapa
puluh langkah saja.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sempat berpaling sekilas sejenak
berpandangan dengan Pandan Wangi, namun tidak ada satu pun kesan yang dapat
ditangkap dari sinar mata Puteri Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun panggraita
Ki Rangga Agung Sedayu yang tajam segera bisa mengenali bahwa penunggang kuda
itu sama dengan penunggang kuda beberapa waktu yang lalu yang telah membuntuti
dirinya dan Ki Ageng Sela Gilang ketika mereka baru saja keluar dari padukuhan
Ngadireja.
“Siapakah sebenarnya penunggang kuda itu?” pertanyaan itu
berputar putar dalam benak Ki Rangga, demikian juga dengan ketiga kawan
seperjalanannya.
Demikianlah penunggang kuda yang aneh itu terus membuntuti
keempat orang yang akan pergi ke Mataram itu sampai Padukuhan Nglipura,
Padukuhan kecil sebelum mereka menyeberangi Kali Opak. Sementara Matahari sudah
memanjat semakin tinggi. Sinarnya yang panas mulai terasa menggatalkan kulit,
sedangkan titik-titik keringat pun mulai terasa membasahi punggung.
Ketika mereka berempat sudah hampir mendekati regol
padukuhan Nglipura, Ki Rangga Agung Sedayu segera mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi sebagai isyarat agar mereka mengurangi laju kuda masing-masing.
Begitu mereka memasuki regol Padukuhan Nglipura yang sepi,
hampir bersamaan mereka telah berpaling ke belakang. Namun alangkah terkejutnya
mereka, ternyata penunggang kuda yang aneh itu sudah tidak ada di tempatnya.
“Gila,” geram Ki Rangga Agung Sedayu, “Apa maksud semua
permainan ini?”
Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya ikut mengerutkan
keningnya dalam-dalam, katanya kemudian, “Kita kehilangan pengamatan kita atas
orang berkuda itu justru karena suara-suara telapak kaki kuda-kuda kita sendiri
yang cukup keras. Sehingga ketika dia berhenti di tikungan atau berbalik arah
kita tidak menyadarinya.”
“Mungkin,” jawab Ki Rangga, “Namun aku yakin penunggang kuda
itu bukan orang kebanyakan. Dia mempunyai kemampuan untuk mengelabuhi Aji Sapta
Pangrungu, sehingga aku telah kehilangan jejaknya.”
Pandan Wangi sadar kalau Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang
yang sangat mumpuni dalam olah kanuragan. Jika masih ada orang yang mampu
mengelabuhi Ki Rangga Agung Sedayu dalam hal menyadap bunyi di sekitarnya
melalui Aji Sapta Pangrungu, berarti orang itu benar-benar memiliki kemampuan
yang ngedab-edabi.
Tanpa terasa keempat orang itu telah semakin jauh memasuki
padukuhan Nglipura yang sepi. Di sepanjang jalan padukuhan mereka hanya sekali
dua kali saja berpapasan dengan orang-orang yang berjalan kaki, selebihnya
adalah regol-regol yang tertutup rapat-rapat.
Ketika jalanan mulai menurun dan berbatu batu, mereka sudah
dapat mencium bau air Kali Opak yang tidak terlalu dalam dan deras. Di beberapa
tempat bahkan dapat diseberangi tanpa harus turun dari kuda.
Demikianlah akhirnya mereka berempat telah turun dari kuda
masing-masing dan menuntun kuda-kuda itu di antara batu-batu besar yang
berserakan. Batu-batu besar itu berasal dari letusan Gunung Merapi beberapa
waktu lalu ketika pecah perang antara Pajang dan Mataram.
Sambil menuntun kudanya di sebelah Pandan Wangi, Ki Rangga
berdesis perlahan lahan, “Kita akan beristirahat sejenak untuk memberi
kesempatan kepada kuda-kuda kita untuk sekedar beristirahat dan minum air Kali
Opak.”
“Ya Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil menuntun kudanya
mengikuti langkah-langkah saudara tua seperguruan suaminya itu.
Perlahan mereka mulai menapak di atas tanah berpasir yang
lembab. Air Kali Opak yang tidak begitu dalam dan deras telah memberi
kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum. Setelah puas meminum air Kali
Opak, kuda-kuda itu pun kemudian di tambatkan di tepian agar dapat merumput
secukupnya.
Sambil melepaskan lelah, Ki Rangga duduk diantara batu-batu
yang berserakan di tepian. Sambil sesekali diedarkan pandangan matanya
berkeliling kalau-kalau dia dapat menemukan sosok seorang penunggang kuda yang
telah sekian lama membuntutinya itu.
Sementara itu Pandan Wangi justru telah duduk di atas
sebongkah batu hitam sambil merendam kedua kakinya. Sambil memainkan kedua
kakinya di dalam air, sesekali tampak ikan-ikan kecil yang berseliweran
menyentuh jari-jari kakinya sekilas namun kemudian segera berenang menjauh
bersembunyi di antara ceruk-ceruk bebatuan dan dasar sungai yang berpasir
lembut.
Tidak jauh dari tempat Pandan Wangi duduk melepaskan
lelahnya, kedua Putut kakak beradik itu tampak sedang mengamat-amati beberapa
ikan yang cukup besar berenang renang di sela-sela bebatuan yang terendam air
sungai hanya sebatas lutut orang dewasa.
Dalam pada itu, di balik batu-batu padas yang menjorok ke
sungai dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat agak jauh beberapa puluh langkah
di seberang Kali Opak, sekitar sepuluh orang dengan senjata teracu telah
merayap mendekati tempat Ki Rangga dan kawan kawannya beristirahat melepaskan
lelah.
“Guru,” bisik seseorang yang berbadan pendek dan gempal,
“Berilah kesempatan kepadaku untuk berperang tanding melawan Ki Rangga Agung
Sedayu. Aku merasa cara ini adalah cara seorang pengecut yang tidak mempunyai
harga diri sama sekali.”
“Tutup mulutmu, Dugel!” orang yang dipanggil Guru itu
sedikit membentak, “Kau belum tahu kekuatan sebenarnya yang tersimpan dalam
diri Ki Rangga Agung Sedayu. Sudah tak terbilang lawan-lawan yang tangguh dan
tanggon binasa ditangannya. Kau tentu tahu takaran seorang Ajar Tal Pitu.
Dibandingkan dengan kemampuanmu, Kau tidak ada apa apanya dengan Ajar yang
mampu mengubah dirinya menjadi seekor serigala raksasa yang liar dan ganas
itu.”
“Tapi itu sudah berlalu cukup lama, Guru,” kembali Dugel
berdesis perlahan, “Sejak aku menguasai Aji Gumbala Geni, rasa rasanya apapun
bisa aku lumatkan menjadi debu dengan aji itu.”
“Jangan takabur,” potong Gurunya sambil mengamati jauh ke
depan, ke tempat Ki Rangga dan kawan kawannya duduk-duduk melepas lelah, “Aku
akui memang ilmumu telah meningkat semakin pesat akhir-akhir ini, tapi jangan
lupa, Ki Rangga Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.”
“Guru,” kini Dugel telah beringsut setapak mendekati
Gurunya, “Aku berguru ilmu olah kanuragan ini tidak hanya bersumber dari Guru
seorang. Namun aku juga telah menyadap berbagai ilmu dari guru guruku yang
lain. Aku kira bekalku lebih dari cukup untuk menghadapi seorang Rangga yang
menjadi agul agulnya Mataram.”
“Diamlah, Dugel,” hardik Gurunya dengan suara sepelan
mungkin, “Kau akan kuberi kesempatan untuk beradu dada dengan Ki Rangga Agung
Sedayu setelah semua pengikutnya kita binasakan. Kita tidak harus berlaku
jantan karena kita memang dari kalangan dunia hitam yang mengabaikan
nilai-nilai kejujuran dan kejantanan. Kalau Kau tidak mampu mengatasi Ki Rangga
Agung Sedayu sendirian, masih ada saudara-saudara seperguruanmu. Dan jika masih
kurang, aku akan ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.”
Dugel hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Diam-diam dalam
hatinya ada sedikit kegusaran dengan salah satu dari sekian Gurunya itu. Dia
merasa disepelekan padahal menurut pengamatannya, ilmu Gurunya itu sekarang
sudah dilampauinya sejalan dengan timbunan ilmu yang diperolehnya ketika mengembara
ke seluruh pelosok negeri ini.
Demikianlah sambil merayap perlahan-lahan mereka berusaha
mendekat tanpa diketahui oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya. Mereka akan
memberikan kejutan pada serangan pertama sehingga lawan-lawan mereka lengah dan
tidak siap menghadapi serangan mendadak itu sehingga kurban pun akan jatuh
dipihak lawan.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sudah mengetahui
kehadiran mereka sejak dia dan kawan-kawannya turun ke tepian Kali Opak.
Panggraitanya yang tajam seakan mampu menembus gerumbul-gerumbul perdu dan
tebing-tebing yang menjorok dan melihat ada apa di baliknya. Akan tetapi pada
dasarnya Ki Rangga adalah orang yang selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari
segala prasangka buruk kepada siapapun. Dia hanya berharap orang-orang yang
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan tebing-tebing yang menjorok
itu tidak sedang menunggu dirinya dan kawan-kawan seperjalanannya.\
Namun ketika pendengaran Ki Rangga dan Pandan Wangi yang
tajam mendengar desir lembut betapapun mereka mencoba menyamarkan, keduanya
segera menyadari bahwa bahaya telah mengancam mereka.
Dengan sebuah isyarat, Ki Rangga telah memberitahu kedua
Putut itu untuk bersiap. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka dan tetap
melakukan kegiatan masing-masing, namun apabila diperlukan dalam waktu yang
hanya sekejap, senjata-senjata mereka akan segera tergenggam di tangan
masing-masing siap untuk menghadapi segala kemungkinan.\
Demikianlah, ketika orang-orang yang akan melakukan penyergapan
itu sudah merasa yakin bahwa kehadiran mereka belum disadari oleh lawan-lawan
mereka, dengan sebuah isyarat, orang yang dipanggil Guru oleh Dugel itu telah
memerintahkan semua muridnya untuk bersiap. Dengan sebuah lompatan yang panjang
dan teriakan mengguntur, mereka berharap dapat mengejutkan Ki Rangga dan kawan
kawannya sehingga untuk sejenak mereka akan kehilangan daya penalarannya dan
dengan segera senjata-senjata yang sudah teracu itu akan menembus dada.
Namun, yang terjadi kemudian adalah di luar perhitungan Guru
Dugel dan murid-muridnya yang lain. Bahkan Ki Rangga dan kawan-kawannya pun
tidak menduga sama sekali akan terjadi peristiwa seperti itu. Belum sempat Guru
Dugel memberi isyarat untuk menyerang, dari arah tebing sebelah kiri Kali Opak
yang agak landai tiba-tiba telah meluncur bagaikan anak panah yang dilepaskan
dari busurnya seekor kuda dengan penunggangnya yang mengenakan caping bambu
hampir menutupi seluruh wajahnya.
Kuda itu berlari seolah-olah tidak menjejak tanah. Bagaikan
seekor kuda terbang, dengan dahsyatnya kuda beserta penunggangnya itu meluncur
dan menerjang orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan
batu-batu padas yang menjorok di seberang tepian Kali Opak.
Dengan mengayun-ayunkan tongkat hitamnya orang yang
bercaping itu membongkar gerumbul-gerumbul perdu dan bongkah-bongkah batu padas
yang terdapat di seberang tepian kali Opak sehingga debu dan tanah pun ikut
berhamburan. Beberapa orang yang tidak sempat menghindar telah terpelanting
terkena sambaran tongkat hitam itu. Tubuh-tubuh mereka terlempar dan jatuh
tersungkur tidak bergerak lagi, entah pingsan atau mati.
Sementara Dugel dan Gurunya yang mempunyai kemampuan lebih,
hampir bersamaan telah meloncat ke arah yang berbeda. Ketika kaki-kaki mereka
telah menjejak tanah, bagaikan seekor bilalang, mereka pun kemudian melenting
dengan cepat dan menyambar ke arah orang yang berkuda itu dengan serangan yang
dahsyat.
Mendapat serangan dari dua arah yang berbeda tidak membuat
penunggang kuda itu menjadi gugup. Dengan sekali sentak kudanya meringkik keras
dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sambil menarik kendali
kudanya ke arah kiri, penunggang kuda itu pun kemudian menghentak kudanya
berbelok ke kiri untuk menerjang Dugel yang sedang meloncat menerjang ke
arahnya. Sementara serangan Guru Dugel dari arah lain ternyata hanya lewat
beberapa jengkal saja dari punggungnya.
Dugel terkejut melihat lawannya ternyata mengarahkan
terjangan kaki depan kudanya tepat ke arah dada. Sambil membungkuk dalam-dalam,
akhirnya Dugel pun berguling ke samping untuk menghindari terjangan kaki kuda
lawannya. Namun alangkah terkejutnya Dugel ketika dia mencoba melenting
berdiri, terasa sesuatu telah menyentuh pundaknya. Segera saja pundak kiri
Dugel terasa bagaikan lumpuh dan agak sulit digerakkan.
“Gila..!” umpat Dugel sambil meraba pundak kirinya. Walaupun
tidak menitikkan darah, namun luka memar itu telah mempengaruhi pergerakan
tangan kiri Dugel.
Sementara penunggang kuda yang menyadari bahwa agaknya Ki
Rangga dan kawan kawannya masih berdiri termangu mangu di tepian kali Opak
sambil menyaksikan pertempuran yang berlangsung begitu cepat, telah berteriak
sambil berpaling ke arah Ki Rangga, “Jangan pedulikan kami, cepatlah berangkat!
Orang-orang ini sengaja dikirim untuk menghambat perjalanan kalian.”
“Persetan..!” bentak Guru Dugel sambil meloncat dengan kaki
kanan terjulur lurus mengarah lambung lawannya, sementara Dugel yang telah
menyadari bahwa tongkat lawannya telah melukai pundak kirinya pada saat dia
berguling telah menggeram keras dan mengambil ancang-ancang.
“Guru..!” teriaknya sambil memusatkan nalar budinya,
“Pengacau ini harus segera dimusnahkan kalau tidak tugas kita akan berantakan.”
Selesai berkata demikian, Dugel segera menggosok-gosokkan
kedua belah telapak tangannya. Sejenak kemudian dari kedua belah telapak tangan
Dugel pun telah memancar gumpalan-gumpalan api yang membara dan langsung
menerjang lawannya yang masih tetap bertahan di atas punggung kuda.
Agaknya Gurunya pun telah mengambil keputusan yang sama,
ketika serangannya hanya mengenai tempat yang kosong karena lawannya justru
sekali lagi telah memutar kudanya, dari kedua belah telapak tangannya juga
telah meluncur gumpalan-gumpalan api yang sangat panas dan siap untuk
melumatkan lawannya menjadi debu.
“Pergilah!” penunggang kuda itu masih sempat memperingatkan
Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan kawannya sebelum meloncat turun dari kudanya
untuk menghindari terjangan gumpalan-gumpalan api yang membara.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah peristiwa yang dapat
menggetarkan setiap jantung dari mereka yang ada di tepian kali Opak. Kuda
orang yang bercaping itu hanya sempat meringkik pendek sebelum kemudian
tubuhnya terjengkang roboh dalam keadaan hangus terbakar.
Ketika dengan bangganya guru dan murid itu masih menikmati
kemenangan kecilnya, tiba-tiba orang bercaping itu telah memutar tongkatnya
dengan cepat. Angin pun segera berputar dengan dahsyatnya bagaikan angin puting
beliung melibas ke arah Dugel dan Gurunya.
Sementara itu Ki Rangga segera dapat menilai. Agaknya orang
bercaping itu berniat baik kepada mereka berempat. Dia mencoba menahan
orang-orang yang mencoba untuk mencegatnya di Kali Opak. Menyadari hal
demikian, Ki Rangga Agung Sedayu segera memberikan isyarat kepada Pandan Wangi
dan kedua Putut itu untuk segera menyingkir.
Dengan sigap keempat orang itu segera meraih kendali kuda
masing-masing. Sejenak kemudian keempat orang itu telah berderap menyeberangi
kali Opak yang dangkal di penghujung musim kemarau.
Melihat buruannya akan terlepas dari tangannya, Dugel segera
berteriak kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih tersisa dan justru
telah menyingkir agak menjauhi medan pertempuran.
“He..! Kalian murid-murid dungu! Cepat kejar mereka. Aku dan
Guru akan segera menyelesaikan orang gila yang mencampuri urusan kita ini!”
teriak Dugel sambil menghentakkan Aji Gumbala Geni untuk ke sekian kalinya
menyambar ke arah dada lawannya.
Tentu saja lawannya tidak akan membiarkan dadanya hangus
terbakar. Sambil memutar tongkatnya melindungi dada, orang bercaping itu dengan
gerakan yang tidak kasat mata, tangan kirinya telah menaburkan tiga buah pisau
belati sekaligus yang menyambar ke arah leher, dada dan perut Dugel.
Gurunya yang melihat Dugel mendapat serangan tiga arah
sekaligus segera menolong Dugel dengan melancarkan Aji Gumbala Geninya
menyambar pisau-pisau belati yang mengarah ke bagian tubuh Dugel yang
berbahaya. Segera saja ketiga buah pisau belati itu pun runtuh berjatuhan ke
atas tanah tersambar oleh Aji Gumbala Geni.
Orang bercaping yang menyadari bahwa pisau-pisau belatinya
tidak banyak berpengaruh terhadap lawannya, segera memutar tongkatnya kembali.
Sejenak kemudian angin yang menderu kembali meluncur menerjang Dugel.
Dugel terkejut mendapat serangan dahsyat dari angin puting
beliung yang melibatnya dengan cepat. Sedikit saja dia terlambat, serangan
lawannya itu dapat merontokkan isi dadanya. Oleh karena itu, dengan
mengandalkan kecepatannya dalam bergerak dan kelincahannya, dia berloncatan
dengan cepat ke segala arah untuk mengelabuhi serangan lawannya. Tidak jarang
dia bahkan harus bergulingan di atas tanah ketika pusaran angin itu menyambar
bagian atas tubuhnya. Ketika kemudian dia mempunyai kesempatan walaupun hanya
sekejab, dari kedua belah telapak tangannya yang terbuka, kembali meluncur gumpalan-gumpalan
api yang siap menghanguskan tubuh lawannya.
Sementara Guru Dugel telah berbuat serupa dengan muridnya.
Untuk mengalihkan perhatian orang bercaping itu, dia justru telah meloncat
berputar-putar mengitari arena pertempuran. Sesekali serangannya menerjang ke
arah lawannya dari sudut yang kadang tak terduga.
Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang sudah
bergerak agak jauh meninggalkan tepian Kali Opak menjadi bimbang. Dilihatnya
beberapa orang tengah berlari-lari mengejarnya dengan senjata teracu, sementara
orang bercaping yang menolong mereka telah terdesak menghadapi serangan kedua
Guru dan Murid itu.
Ketika Ki Rangga telah memutuskan kembali ke tepian kali
Opak untuk membantu orang bercaping itu, tiba-tiba dari arah tikungan seberang
Kali Opak terdengar derap seekor kuda yang melaju kencang. Sejenak kemudian
muncul seorang penunggang kuda yang bercaping lebar hampir menutupi seluruh
wajahnya.
Semua orang yang ada di tepian itu terkejut bukan buatan.
Bahkan saudara-saudara seperguruan Dugel yang sedang mengejar Ki Rangga dan
kawan-kawannya pun sejenak telah menghentikan langkah mereka. Penunggang kuda
itu benar-benar mirip dengan orang yang sedang bertempur dengan Dugel dan
Gurunya, baik dalam cara berpakaian maupun bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Ternyata penunggang kuda yang terakhir ini telah menunjukkan
ketangkasannya dalam menunggang kuda. Ketika kudanya hampir mencapai tepian
kali Opak yang berbatu batu, dengan tangkasnya dia melenting dari atas kudanya
dan dengan lincahnya dia kemudian berloncatan di atas batu-batu yang berserakan
di sepanjang kali Opak menuju ke tempat terjadinya pertempuran.
Dugel dan Gurunya mengumpat keras-keras begitu orang
bercaping yang kedua itu kini telah berdiri beberapa langkah saja di dekat
orang bercaping yang pertama.
“Gila..!” teriak Dugel, “Permainan yang sangat memuakkan.
Marilah, berapapun kawan kalian yang akan berdatangan. Kami sanggup melumat
kalian menjadi debu.”
Orang bercaping yang baru datang itu ternyata tidak
menanggapi kata-kata Dugel. Bahkan dia berpaling dan berteriak ditujukan kepada
Ki Rangga, “Menjelang dini hari nanti api akan dinyalakan. Berangkatlah, jangan
hiraukan kami agar kalian tidak sampai terlambat.”
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata orang
bercaping yang datang kemudian itu. Kata-kata orang bercaping yang datang
kemudian itu adalah bahasa sandi yang sering digunakan dalam lingkungan
keprajuritan khususnya di lingkungan prajurit sandi yudha. Dan kini orang
bercaping itu telah memberitahukan kepadanya bahwa dini hari nanti Panembahan
Cahya Warastra dan perguruan-perguruan yang telah dihimpunnya akan menggempur
ibu kota Mataram.
Sadar akan waktu yang semakin sempit untuk mempersiapkan
pasukan segelar sepapan jika memang benar Panembahan Cahya Warastra akan menggempur
ibu kota Mataram dini hari nanti, Ki Rangga segera memberi isyarat kepada
kawan-kawan seperjalanannya untuk segera meninggalkan tempat itu dengan
pertimbangan kedua orang bercaping itu tentu akan mampu mengimbangi kekuatan
dua orang lawannya yang mempunyai kemampuan bermain-main dengan
gumpalan-gumpalan api.
Pandan Wangi dan kedua Putut itu segera tanggap. Digebraknya
kuda-kuda mereka berpacu mengikuti Ki Rangga yang sudah memacu kudanya terlebih
dahulu beberapa langkah di depan mereka, sedangkan orang-orang yang berusaha
memburu mereka ternyata telah jauh tertinggal di belakang.
“Penunggang kuda yang aneh itu ternyata ada dua orang,”
desis Ki Rangga dalam hati sambil memacu kudanya semakin cepat memasuki wilayah
Padukuhan yang kecil namun sangat asri, Padukuhan Cupu Watu.
Sambil menjaga agar jarak antara dirinya dan kawan-kawan
seperjalanannya tidak terlampau jauh, Ki Rangga kembali berangan-angan,
“Ternyata selama ini aku telah dikelabuhi mereka. Aku berpikiran kalau mereka
itu hanya satu orang saja sehingga dengan mudah mereka ganti berganti
menghilangkan jejak kemudian dengan tidak terduga duga muncul lagi di tempat
yang terbuka sehingga membuat pengenalanku atas keberadaan mereka menjadi
kabur.”
Tanpa disadarinya Ki Rangga mengangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian lanjutnya dalam hati, “Sebenarnya aku dapat lebih mempertajam aji
sapta panggraitaku untuk melacak keberadaan salah satu dari mereka ketika
berada di tepian kali Opak itu, namun ketika aku akan lebih mempertajam
panggraitaku, penunggang kuda yang satunya justru telah muncul di tempat lain
sehingga perhatianku telah terpecah kepadanya. Suatu permainan yang menarik
yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah mumpuni secara lahir
maupun batin.”
Kini Ki Rangga yakin, dengan berdua mereka akan mampu
menahan gempuran Dugel dan Gurunya. Sementara murid-murid yang lain tidak akan
banyak membantu. Mereka justru hanya akan mengganggu Dugel dan Gurunya saja
jika ikut turun ke medan pertempuran di antara orang-orang yang berilmu tinggi.
Demikianlah akhirnya, ketika Matahari mulai tergelincir dari
puncaknya, mereka berempat telah mendekati hutan tambak baya yang semakin
ramai. Dari jauh sudah tampak lorong yang memang sengaja dibuat untuk
menghubungkan hutan yang masih cukup lebat itu dengan daerah-daerah di
sekitarnya. Sebuah kedai tampak ramai dikunjungi pembeli di dekat lorong masuk
ke hutan itu. Sementara agak jauh beberapa langkah di samping kanan kedai,
tampak tiga ekor kuda yang berwarna cokelat gelap ditambatkan di antara
tanaman-tanaman perdu yang tumbuh liar di sekitar kedai.
Keasyikan orang-orang yang sedang berbelanja dikedai itu
terganggu sejenak ketika mereka lamat-lamat mendengar derap kaki-kaki kuda yang
dipacu dengan kencang. Beberapa orang bahkan telah berdiri dari duduknya dan memandang
ke arah jalan yang menghubungkan hutan tambak baya itu dengan daerah timur dan
selatan. Bersamaan dengan munculnya debu yang mengepul, di ujung jalan itu
tampak empat ekor kuda sedang dipacu dengan kecepatan yang tinggi.
Beberapa orang yang ada di kedai itu ternyata telah menaruh
perhatian terhadap kedatangan empat ekor kuda yang melaju dengan kencang. Salah
seorang yang berbadan kurus tapi berkumis tebal telah menyempatkan diri untuk
turun dari kedai dan melangkah ke pinggir jalan.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang berpacu dengan waktu itu
pun menyadari bahwa tidak selayaknya mereka berpacu dengan kecepatan tinggi
ketika memasuki tempat keramaian, di mana sedang banyak orang yang berbelanja
di kedai yang terdapat di mulut lorong. Untuk itulah Ki Rangga segera memberi
isyarat agar mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka.
Sejenak kemudian Ki Rangga dan tiga orang kawannya telah
berderap dengan kecepatan sedang lewat di muka kedai tanpa berhenti dan
langsung memasuki lorong hutan Tambak Baya.
Orang yang kurus dan berkumis tebal itu terkejut bukan
buatan bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa begitu
mengenali orang yang berkuda di paling depan.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” desisnya dengan bibir bergetar,
“Gila..! Ternyata Perguruan Gumbala Geni tidak mampu menahannya di pinggir Kali
Opak.”
Menyadari hal itu, dengan tergesa-gesa orang yang kurus dan
berkumis tebal itu segera kembali ke kedai. Dua orang kawannya dengan
tergesa-gesa segera menyongsongnya.
“Bagaimana Ki Dukut?” bertanya salah seorang dari kedua
orang itu.
“Burung Garuda itu terlalu perkasa bagi perguruan Gumbala
Geni, kita harus mengirim isyarat kepada Ki Ajar Andong Puring,” jawab orang
yang di panggil Ki Dukut itu.
Selesai berkata demikian, Ki Dukut beserta kedua kawannya
dengan setengah berlari segera mendekati kuda-kuda yang ditambatkan di sebelah
kanan kedai. Ternyata mereka telah menyimpan busur beserta anak panahnya di
kantung pelana kuda mereka. Sejenak kemudian terdengar suara raungan merobek
udara siang yang terik tiga kali susul menyusul. Ternyata mereka telah
mengirimkan isyarat melalui panah sendaren.
Ki Rangga Agung Sedayu yang mulai merambah hutan Tambak Baya
itu sejenak tertegun mendengar suara raungan panah sendaren tiga kali berturut
turut. Sambil tetap mempertahankan derap kaki kudanya, dia berpaling ke arah
kawan-kawan seperjalanannya, “Hati hatilah. Mungkin suara panah sendaren itu
ada hubungannya dengan kita. Tidak ada salahnya kalau kita berhati hati.”
Pandan Wangi yang berada beberapa langkah di belakangnya
hanya mengangguk. Kemudian dihela kudanya maju beberapa langkah untuk menjajari
Ki Rangga Agung Sedayu. Sambil berkuda di sebelah Ki Rangga, kedua tangannya
setiap saat telah siap untuk mencabut sepasang pedangnya.
Dalam pada itu di tengah hutan Tambak Baya, Ki Ajar Andong
Puring dan murid-muridnya telah mendengar isyarat panah sendaren dari Ki Dukut
dan kawan kawannya. Sejenak Ajar yang memimpin Padepokan Andong Puring di
lereng gunung Gede itu tertegun. Sambil menarik nafas dalam-dalam dia berpaling
ke arah murid muridnya yang berjumlah tujuh orang, katanya kemudian, “Ki Rangga
Agung Sedayu adalah orang yang mumpuni. Perguruan Gumbala Geni itu tidak mampu
memahatnya. Namun di sini kita tidak sendirian, ada Kiai Naga Geni yang
menemani kita bermain main dengan murid utama orang bercambuk itu.”
Kiai Naga Geni yang disebut-sebut namanya oleh Ki Ajar
Andong Puring hanya tertawa masam. Tanpa mengubah letak duduknya, bersila di
atas rerumputan kering di bawah sebatang pohon besar sambil memejamkan matanya,
dia menyahut, “Mengapa kita begitu ketakutan dengan orang yang disebut murid
orang bercambuk? Apakah cambuknya itu terbuat dari baja pilihan, sedangkan
sebilah pedang yang terbuat dari baja pun akan leleh tersambar oleh aji Naga
Geni.”
Ki Ajar dan murid-muridnya hanya saling berpandangan. Dari
uraian kata katanya saja sudah tampak betapa sombongnya orang yang menyebut
dirinya Kiai Naga Geni itu. Memang Kiai Naga Geni itu masih keturunan ketiga
Kiai Nagapasa dari Blambangan yang namanya pernah menggetarkan Demak lama.
Namun ternyata kehebatan nama Kiai Nagapasa dengan aji kebanggaan-nya yang juga
diberi nama Aji Nagapasa pada waktu itu harus lenyap tersapu Aji Sasra Birawa
yang dimiliki oleh murid perguruan Pengging yang gemilang, Ki Kebo Kanigara.
Kehadiran Kiai Naga Geni jauh-jauh dari Blambangan
sebenarnya selain menghadiri undangan Panembahan Cahya Warastra, dia juga
membawa dendam lama dari pendahulunya, Kiai Nagapasa untuk mencari keturunan
perguruan Pengging dan sekaligus membalaskan dendam perguruan yang sudah
puluhan tahun terpendam.
Ketika kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang
gaungnya terdengar melingkar lingkar di hutan yang masih cukup lebat itu, Ki
Ajar Andong Puring pun telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya. Dengan
sigap ketujuh murid perguruan Andong Puring itu pun kemudian segera berloncatan
ke tengah jalan setapak yang membentuk lorong yang panjang yang menghubungkan
alas Tambak Baya dengan alas Mentaok.
Sementara Kiai Naga Geni tampak masih duduk bersila dengan tenang
di bawah pohon sambil memejamkan matanya. Walaupun dia mencoba menenangkan
hatinya, namun debar jantungnya seakan akan memukul-mukul rongga dadanya.
Betapapun juga, dia telah mendengar nasehat dari gurunya sebelum menghembuskan
nafas terakhirnya karena usia tua, untuk sedapat mungkin menghindari silang
seketa dengan perguruan orang bercambuk. Masih menurut penuturan Gurunya, orang
bercambuk guru Ki Rangga Agung Sedayu itu di masa mudanya bersahabat dekat
dengan murid perguruan Pengging, Ki Kebo Kanigara.
Kiai Naga Geni menyadari bahwa pesan gurunya yang telah
tiada itu cukup beralasan. Perguruan orang bercambuk atau yang dikenal dengan
nama perguruan Windujati di masa kejayaan Majapahit adalah perguruan besar yang
sangat disegani pada waktu itu. Namun kini dengan perkembangan jaman dan
munculnya perguruan-perguruan baru, nama perguruan Windujati seakan telah
tenggelam.
“Aku tidak perduli..!” geram Kiai Naga Geni dalam hati,
“Sebelum menemukan anak turun perguruan Pengging, murid orang bercambuk ini pun
sudah merupakan hiburan untuk menuntaskan dendam, justru karena guru-guru
mereka telah bersahabat di masa muda.”
Lamunan Kiai Naga Geni terputus ketika terdengar bentakan
menggelegar dari Ki Ajar Andong Puring untuk menghentikan Ki Rangga Agung
Sedayu dan rombongannya yang telah tiba di tempat itu.
Ki Rangga terkejut. Bentakan orang yang berdiri beberapa
langkah menghadang jalannya ini mirip dengan aji Gelap Ngampar atau Senggara
Macan. Namun menilik ujud lahiriahnya yang mirip dengan auman seekor harimau loreng,
aji ini lebih mendekati aji Senggara Macan yang bersifat melemahkan nyali
lawannya. Berbeda dengan aji Gelap Ngampar yang getarannya dapat merontokkan
isi dada orang yang mendengarkannya.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu tanpa turun dari kudanya telah
berpaling ke belakang. Dilihatnya kedua Putut yang masih muda itu mengerutkan
keningnya dalam-dalam dengan wajah yang tegang.
“Mereka perlu pengalaman semacam ini,” berkata Ki Rangga
dalam hati, “Jika mereka hanya terkungkung saja di dalam dinding Padepokan,
mereka akan menganggap ilmu yang telah mereka serap tidak ada duanya di dunia
ini. Padahal dunia ini sangat luas dan berisi beraneka ilmu yang kadang sangat
sulit untuk dinalar.”
“Ki Sanak,” tiba-tiba Ki Ajar Andong Puring berteriak lagi
namun teriakan yang sewajarnya sehingga membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Aku
minta kalian semua turun dari kuda-kuda kalian. Serahkan semua barang berharga
dan juga kuda-kuda kalian. Kami jamin kalian dapat lewat dengan selamat.”
Ki Rangga sejenak merenung. Ketika kemudian dia berpaling ke
arah Pandan Wangi, dilihatnya Putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu mengangguk sekilas.
Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga pun
meloncat turun dari kudanya diikuti oleh Pandan Wangi, sedangkan kedua Putut
itu masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika Ki Rangga mengangguk ke arah mereka
berdua, mereka pun segera mengikuti Ki Rangga dan Pandan Wangi meloncat turun
dari kuda mereka.
“Silahkan, Ki Sanak,” berkata Ki Rangga selanjutnya,
“Sebenarnyalah kami membutuhkan kuda-kuda ini, namun jika Ki Sanak lebih
membutuhkan, kami akan menempuh sisa perjalanan kami ini dengan berjalan kaki.”
Ki Ajar Andong Puring dan murid muridnya justru telah
membeku mendengar jawaban Ki Rangga. Mereka berharap Ki Rangga dan kawan kawannya
akan mempertahankan diri sehingga mereka mempunyai alasan untuk segera terlibat
dalam sebuah pertempuran.
Sebelum Ki Ajar memutuskan untuk mengambil suatu sikap,
tiba-tiba terdengar tertawa yang berkepanjangan. Kiai Naga Geni yang tadinya
duduk bersila dengan tenang di bawah sebatang pohon, kini telah berdiri dan
tertawa berkepanjangan sambil berjalan menghampiri mereka yang sedang dicekam
ketegangan.
“Persetan dengan segala omong kosong ini,” geram Kiai Naga
Geni sesampainya di sebelah Ki Ajar berdiri. Kemudian katanya kepada Ki Ajar,
“Ki Ajar, kita tidak usah berbelit-belit untuk mencari perkara dengan mereka.
Katakan saja bahwa kita memerlukan nyawa mereka untuk tumbal dari sebuah
perjuangan.”
“Nah, itu lebih baik Ki Sanak,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu
cepat sambil mengangguk hormat ke arah Kiai Naga Geni, “Kalau mungkin Ki Sanak
tidak berkeberatan, ijinkanlah kami mengetahui nama atau gelar Ki Sanak.”
Kiai Naga Geni justru tertegun melihat sikap Ki Rangga yang
begitu tenang padahal maut sewaktu waktu dapat merenggut nyawanya.
“Kau sombong sekali, Ki Rangga Agung Sedayu, Pemimpin
pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh,” Kiai Naga Geni berhenti sejenak,
kemudian lanjutnya, “Jangan pernah mengharap di sini Kau akan dilindungi oleh
pasukan khususmu yang segelar sepapan itu. Kau berhadapan dengan Kiai Naga Geni
dari perguruan Nagapasa Nusakambangan. Nah, apa katamu sekarang.”
Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Nama perguruan Nagapasa
dari Nusakambangan pernah disebut oleh Gurunya. Salah satu perguruan yang
pernah berseteru dengan perguruan Pengging pada jaman Kasultanan Demak lama.
Namun Kiai Gringsing tidak pernah menyebut hubungan khususnya dengan perguruan
yang pernah mengalami jaman keemasan pada saat Pangeran Handayaningrat atau
lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging Sepuh menjadi pemimpin pemerintahan
di Kadipaten Pengging.
“Ma’afkan aku, Kiai Naga Geni,” berkata Ki Rangga Agung
Sedayu setelah sejenak terdiam, “Aku rasa kita tidak pernah saling bersengketa.
Perguruanku dan perguruan Nagapasa tidak pernah saling mengenal. Jadi untuk apa
sebenarnya kita harus bertengkar di sini?”
“Tutup mulutmu,” bentak Kiai Naga Geni, “Aku datang
jauh-jauh dari Nusakambangan untuk menuntaskan dendam pendahuluku. Ketahuilah,
Kakek Guru kami, Kiai Nagapasa telah dibunuh dengan curang oleh murid perguruan
Pengging, Ki Kebo Kanigara. Nah, sekarang ini siapapun yang mempunyai sangkut
paut dengan perguruan Pengging akan aku musnahkan.”
Kembali Ki Rangga Agung Sedayu tertegun. Katanya kemudian,
“Aku tidak mengerti Kiai, apakah hubungannya antara perguruanku ini dengan
masalah balas dendam yang Kau sebut-sebut itu?”
“Jangan berpura-pura,” kembali Kiai Naga Geni membentak,
“Gurumu yang bergelar orang bercambuk itu adalah sahabat karib Ki Kebo Kanigara
pada saat jaman kejayaan Demak lama. Tidak mustahil Gurumu pun ikut berperan
dalam peristiwa terbunuhnya Kiai Nagapasa.”
Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar bingung dan tak habis
pikir. Kiai Gringsing tidak pernah bercerita tentang riwayat hidupnya kepada
para muridnya. Yang diketahui oleh Ki Rangga adalah, bahwa perguruan orang
bercambuk itu ternyata adalah jalur lurus pewaris dari perguruan Windujati. Itu
terbukti dari Kitab warisan perguruan Windujati yang sekarang mereka miliki.
“Nah, apakah Kau sekarang sudah menyadari?” bertanya Kiai
Naga Geni begitu melihat Ki Rangga Agung Sedayu tidak berkata sepatah kata pun
dan hanya diam termangu-mangu.
Sementara Pandan Wangi yang ada disebelahnya hanya
mengatupkan giginya rapat-rapat. Kalau pertempuran sudah tidak dapat
dihindarkan lagi, sudah semestinya dia menghadapi orang yang disebut dengan Ki
Ajar itu, sedangkan Ki Rangga akan menghadapi Kiai Naga Geni. Namun yang
menjadi permasalahan sekarang adalah kedua Putut kakak beradik itu, mereka
berdua harus melawan tujuh orang sekaligus. Keadaan yang benar-benar tidak
seimbang.
Ki Ajar Andong Puring yang sedari tadi diam saja tiba-tiba
telah memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk menyebar. Tujuh orang murid
perguruan Andong Puring itu pun kemudian segera mencabut senjata masing-masing.
Dengan gerakan yang teratur dan rapi, ke tujuh murid Ki Ajar Andong Puring
bergerak mengepung Ki Rangga dan kawan-kawannya.
Diam-diam Ki Rangga mulai menghitung kekuatan. Dia hanya
berempat sedangkan di pihak lawan ada sembilan orang. Jika dia bertempur hanya
terpusat pada lawannya Kiai Naga Geni, yang akan segera menjadi kurban adalah
kedua Putut itu. Maka setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Ki Rangga
pun berkata, “Kiai, aku tidak tahu menahu soal dendam itu. Tapi yang sedang
terjadi sekarang ini adalah kami telah dihadang untuk bisa masuk ke Mataram.
Apapun yang terjadi, kami akan membela diri dan berusaha untuk melanjutkan
perjalanan kami.”
Selesai berkata demikian, Ki Rangga segera bergeser
mendekati Pandan Wangi, sedangkan kepada kedua Putut itu diberinya isyarat
untuk beradu punggung menghadapi lawan yang mengepung dari arah belakang.
Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya mengerutkan
keningnya. Menurut perhitungannya, mereka akan sulit sekali untuk bergerak
saling melindungi, justru karena lawan-lawan mereka dengan bebas akan berputar
putar memilih orang yang paling lemah diantara mereka.
Namun sudah tidak ada jalan lain lagi untuk menahan gempuran
lawan. Oleh karena itu, tiba-tiba saja Pandan Wangi telah mengambil keputusan
sendiri. Dengan tangkasnya Pandan Wangi segera melepas tali kendali kudanya dan
meloncat kebelakang. Dengan serta merta dilecutnya kudanya kuat-kuat sehingga
kuda itu terkejut dan meringkik keras kemudian meloncat berlari sekencang
kencangnya ke arah Ki Ajar Andong Puring yang berdiri beberapa langkah saja di
depannya.
Ki Ajar terkejut mendapat terjangan kuda yang lari bagaikan
kesetanan itu. Namun dengan tangkasnya dia telah melenting kesamping sehingga
kuda yang berlari dengan binal itu lewat hanya sejengkal dari tubuhnya.
Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perkiraan Ki Ajar
itu sendiri. Kuda yang berlari dengan kencang itu memang berhasil dihindari
oleh Ki Ajar, akan tetapi bagi seorang muridnya yang berdiri di samping kiri
Gurunya ternyata telah bernasib kurang baik. Kuda itu ternyata telah melanggar
sebagian tubuhnya sehingga tanpa ampun murid Ki Ajar yang malang itu telah
terputar dengan dahsyat kemudian terlempar beberapa langkah ke belakang sebelum
akhirnya terbanting ke tanah tidak bergerak lagi.
Ki Rangga yang melihat peristiwa itu tersenyum ke arah
Pandan Wangi. Ternyata usaha Pandan Wangi untuk mengurangi jumlah lawannya
berhasil. Namun perbandingan itu masih terlampau jauh.
Murid-murid Ki Ajar Andong Puring yang lainnya sejenak
bagaikan membeku melihat salah seorang kawannya terjatuh dilanggar kuda Pandan
Wangi yang berlari bagaikan kesetanan. Ketika mereka bergerak ingin menolong
kawannya yang malang itu, Ki Ajar ternyata justru telah membentak mereka,
“Biarkan saja anak bodoh itu! Tetap pada kedudukan kalian. Jangan sampai mereka
lolos dari kepungan kalian.”
Ki Rangga yang mendengar teriakan Ki Ajar itu segera memberi
isyarat kepada kawan-kawannya untuk mendorong kuda-kuda mereka agar bergerak
menyingkir dari arena pertempuran. Sementara Pandan Wangi yang telah kehilangan
kudanya kemudian telah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan kedua Putut yang
tegang itu pun kemudian telah mengurai senjatanya pula, selembar cambuk yang
disembunyikan di bawah baju mereka.
Kiai Naga Geni yang melihat kedua Putut itu mengurai
cambuknya telah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, “Ternyata kita
benar-benar berhadapan dengan perguruan orang-orang bercambuk. Namun aku masih
meragukan, apakah mereka benar-benar menguasai senjata mereka ataukah sekedar
gembala-gembala yang bodoh dan sombong yang tidak menyadari dengan siapa mereka
berhadapan.”
Selesai berkata demikian, dengan langkah satu-satu Pemimpin
Perguruan dari Nusa Kambangan itu mendekati arena pertempuran. Dengan tajamnya
dia memandang ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang masih belum mengurai
cambuknya.
“Manakah senjata ciri khas perguruanmu, Ki Rangga?” bertanya
Kiai Naga Geni dengan nada mengejek, “Ataukah Kau lupa membawanya setelah
selesai menggembalakan kambing kambingmu?”
Ki Rangga hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar ejekan
lawannya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak terbiasa menggunakan cambukku untuk
melawan orang yang tidak bersenjata. Kalau Kiai ingin menggunakan senjata,
silahkan. Nanti akan aku pertimbangkan untuk menggunakan cambukku atau tidak setelah
melihat ujud senjata Kiai.”
“Iblis.!” Umpat Kiai Naga geni, “Kesombongan perguruan orang
bercambuk benar-benar memuakkan. Senjataku adalah kedua belah tanganku ini.
Jika aku menghendaki, aku dapat membakar hutan dan mengeringkan lautan dengan
ilmuku.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab bualan lawannya.
Sebenarnyalah dia ingin menggunakan cambuknya. Sesuai dengan sifat dari senjata
itu sendiri yang panjang dan lentur serta dapat digerakkan untuk menjangkau ke
segala arah. Dengan demikian kemungkinan untuk menolong kedua Putut itu apabila
mereka dalam keadaan bahaya sangat terbuka lebar. Namun ternyata lawannya
justru tidak bersenjata, maka yang dapat dilakukannya saat ini hanyalah
mengetrapkan ilmu kebalnya untuk melindungi dirinya dari kemungkinan pancaran
ilmu lawannya. Namun Ki Rangga tidak tergesa-gesa mengetrapkan ilmu kebalnya
tersebut sampai ke puncak karena dia belum dapat mengukur sampai dimana tingkat
ketinggian ilmu lawannya.
Sementara Pandan Wangi yang sudah menggenggam sepasang
pedangnya mulai menggeser kaki kanannya selangkah ke samping. Disilangkannya
kedua pedang tipisnya itu di depan dada. Setelah kaki kirinya ditekuk sedikit
kedepan, pedang yang ada ditangan kanannya pun kemudian bergerak lurus kedepan,
siap untuk mematuk dada lawannya.
Ki Ajar Andong Puring yang berdiri beberapa langkah saja
dari tempat Pandan Wangi berdiri seolah olah terkesima dengan gerakan pembukaan
yang diperagakan oleh satu satunya putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu.
Pandan Wangi benar-benar terlihat masih mempesona di usianya yang mendekati
setengah abad. Wajahnya yang putih bersih itu terlihat berbinar cerah dengan
sepasang mata yang tajam. Tubuhnya yang langsing terlihat masih penuh padat
berisi sehingga membuat Ki Ajar Andong Puring beberapa kali harus menelan ludah
untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering,
sekering sawah dan pategalan di musim kemarau.
“Nah, apakah Kau sudah siap, Ki Ajar?” pertanyaan Pandan
Wangi telah membuyarkan lamunan Ki Ajar.
Sejenak pandangan mata Ki Ajar menyambar wajah Pandan Wangi
namun kemudian segera dipalingkannya pandangan matanya ke arah murid-muridnya
yang sudah siap melakukan serangan pertama.
“Marilah, agaknya kita memang sudah ditakdirkan untuk saling
melukai di tempat ini,” berkata Ki Ajar tanpa berani menentang mata Pandan
Wangi, “Apapun akibatnya harus kita terima demi terwujudnya sebuah cita-cita
mulia.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian tanpa
meninggalkan kewaspadaan sedikit pun, “Apakah cita-citamu itu Ki Ajar?”
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab
pertanyaan Pandan Wangi, “Bukan aku pribadi yang mempunyai cita-cita itu, namun
kami semua yang tergabung dalam barisan yang menginginkan perubahan, perubahan
pemerintahan yang semakin baik dan yang lebih penting lagi adalah adanya
perubahan taraf hidup kawula Mataram yang semakin makmur.”
“Apakah menurut penilaian Ki Ajar, pemerintahan Panembahan
Hanyakrawati sekarang ini kurang baik?”
Ki Ajar tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Setiap kawula
Mataram yang peduli dengan lingkungannya akan menjawab ya, bukankah bukti-bukti
telah ada di sekitar kita? Kehidupan yang semakin sulit, gagal panen di
mana-mana, penyakit yang merajalela di kalangan kawula alit sementara para
bangsawan dan kalangan istana hanya hidup berfoya-foya dan saling memperebutkan
kedudukan dan kemewahan,” Ki Ajar berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
“Bukankah penyebab terjadinya ketegangan antara Mataram dan Panaraga karena
adanya keinginan untuk memiliki kedudukan yang bukan haknya? Dan itu hanya
terjadi pada segelintir kalangan istana, sementara perang yang terjadi nanti
akan sangat merugikan kawula alit, para prajurit rendahan yang akan menjadi
kurban, banyak perempuan yang akan menjadi janda, anak-anak akan terlantar
karena kehilangan Ayahnya. Lalu siapakah yang akan menanggung semua itu? Semua
akan kembali menjadi tanggungan para kawula alit yang telah lama hidup
menderita.”
Pandan Wangi termangu-mangu mendengarkan penjelasan Ki Ajar
Andong Puring. Sejenak ingatannya kembali ke puluhan tahun silam ketika terjadi
pertikaian antara keluarga sendiri di Tanah Perdikan Menoreh. Betapa luka
akibat pertikaian itu nyaris menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Tanah
kelahirannya itu. Kakak satu-satunya harus terbunuh di ujung pedangnya sendiri,
justru pada saat Pandan Wangi mulai berangan angan untuk menyatukan keluarganya
yang tercerai-berai karena dendam dan perbedaan kepentingan.
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari Pandan Wangi sedang
terhanyut oleh kenangan masa lalunya segera terbatuk-batuk kecil. Katanya
kemudian sambil mengerahkan getar tenaga cadangannya dalam tekanan suaranya,
“Wangi, waktu kita sangat sempit. Sebelum Matahari terbenam kita sudah harus
sampai di tujuan.”
Pandan Wangi bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk
mendengar kata-kata Ki Rangga. Dengan mempererat genggaman pada hulu pedangnya,
dia pun akhirnya berkata, “Baiklah Ki Ajar, simpan dulu ceritamu itu untuk
besok kalau kita masih sempat bertemu kembali. Benar-benar sebuah cerita yang
menarik. Sekarang marilah kita melihat kenyataan, kita telah terlanjur
berhadapan sebagai lawan.”
Diam-diam Ki Ajar mengumpat dalam hati. Usahanya untuk
mempengaruhi Pandan Wangi ternyata dengan mudah telah digagalkan oleh Ki Rangga
Agung Sedayu.
Ketika kemudian Ki Ajar sudah tidak melihat kemungkinan lain
selain menundukkan lawannya dengan kekerasan, segera Ki Ajar mencabut
senjatanya, sebuah keris luk sembilan yang berwarna hitam kelam. Keris itu
tampak mengerikan dengan pamor yang ungu gelap. Seolah olah ada kekuatan dari
kegelapan yang menyelimuti keris itu.
Pandan Wangi sejenak tergetar hatinya melihat ujud keris
itu. Namun dengan menguatkan hati dan memohon pertolongan kepada Yang Maha
Hidup, Pandan Wangi telah memasrahkan segala persoalan itu langsung kepada
sumber hidupnya.
Demikianlah akhirnya, ketika Pandan Wangi sudah bersiap
menghadapi serangan pertama dari Ki Ajar Andong Puring, ternyata justru Kiai
Naga Geni yang memulai pertempuran terlebih dahulu. Dengan teriakan yang
menggelegar, tubuhnya melesat bagaikan seekor naga yang terbang mematuk
mangsanya. Dengan jari-jari yang membentuk cakar naga, Kiai Naga Geni menerjang
Ki Rangga Agung Sedayu ke arah dada.
Ki Rangga Agung Sedayu yang melihat kecepatan lawannya dalam
bergerak diam-diam terkejut. Lawannya itu benar-benar seperti seekor ular
raksasa yang terbang menggeliat di udara. Bahkan dengan cepat Kiai Naga Geni
mampu mengubah serangannya selagi dia masih melayang di udara, benar-benar
seperti tingkah seekor naga.
Namun yang menjadi lawannya kini adalah Ki Rangga Agung
Sedayu, murid utama perguruan orang bercambuk yang telah tuntas menyadap ilmu
dari gurunya, Kiai Gringsing. Selain itu ilmu yang telah dipelajarinya dari kitab
Ki Waskita serta ilmu warisan leluhur dari jalur Ayahnya sendiri Ki Sadewa,
juga telah luluh dan menyatu dalam dirinya menjadi sebuah kekuatan yang
nggegirisi.
Gerak Ki Rangga sudah tidak terpaku pada satu jalur ilmu
tertentu. Seakan akan semua gerak yang dilakukannya adalah pancaran dari ketiga
jalur ilmu yang berbeda beda itu. Kadang gerakannya aneh dan sulit di duga,
kadang pelan tapi bertenaga bagaikan tenaga seekor gajah. Namun suatu saat
justru kelincahan gerak dan tandangnya membuat lawan menjadi kebingungan karena
Ki Rangga seolah olah hanya tinggal bayangannya saja.
Kiai Naga Geni yang merasa dirinya tanpa tanding di tlatah
Nusakambangan dan sekitar ujung kulon benar-benar merasa terhina. Dengan cepat
ditingkatkan ilmunya beberapa lapis untuk mengejutkan lawannya. Namun alangkah
kecewanya Kiai Naga Geni itu ketika ternyata Ki Rangga dengan cepat masih dapat
menguasai diri dan bahkan telah membalas dengan serangan-serangan yang membadai
dan membuatnya berkali kali harus meloncat mundur.
Sementara Pandan Wangi yang telah mewarisi ilmu yang utuh
dari jalur Menoreh dan telah dikembangkannya sendiri berdasarkan
petunjuk-petunjuk dari Kiai Gringsing ketika orang tua itu masih hidup dan
sering mengunjungi Sangkal Putung, telah membuat ilmu pedang rangkapnya semakin
meningkat pesat. Dengan kekuatan tenaga cadangannya dan pemusatan nalar
budinya, kalau dia menghendaki, serangan ujung pedangnya dapat mendahului ujud
wadag dari pedang itu sendiri sejauh satu jengkal. Sehingga lawan tidak akan
mengira ketika ujung pedang itu masih kurang satu jengkal dari tubuhnya,
ternyata kulitnya telah tertembus dan robek mengalirkan darah.
Ki Ajar yang belum menyadari kekuatan yang tersimpan dalam
diri lawannya telah mencoba mendesak Pandan Wangi dalam sebuah pertempuran jarak
pendek. Selain memang jangkauan senjatanya lebih pendek dari pedang Pandan
Wangi, Ki Ajar tidak ingin memberikan kesempatan pada lawannya untuk
mengembangkan permainan ilmu pedangnya. Dengan serangan-serangan pendek dan
cepat, keris luk sembilan di tangan Ki Ajar berubah menjadi berpuluh-puluh dan
mengurung Pandan Wangi dari segala penjuru.
Pandan Wangi yang mendapat perlakuan seperti itu sejenak
memang mengalami kesulitan untuk mengembangkan permainan pedang rangkapnya.
Tidak mungkin baginya untuk meloncat mundur dan mundur terus justru beberapa
langkah di belakangnya kedua Putut itu sedang berjuang menghadapi gempuran enam
orang murid perguruan Andong Puring. Maka yang dapat dilakukannya kemudian
adalah menghentakkan segenap kekuatannya untuk menahan laju gempuran Ki Ajar
Andong Puring yang beruntun.
Ki Rangga Agung Sedayu segera melihat kesulitan yang dialami
oleh Pandan Wangi. Tidak ada jalan lain selain menolong Pandan Wangi dengan
memaksa lawannya mundur beberapa langkah sehingga Pandan Wangi mendapat
kesempatan untuk mengambil jarak dan mengembangkan permainan ilmu pedangnya.
Demikianlah ketika Ki Rangga mempunyai kesempatan membalas
serangan lawannya, dengan sebuah serangan yang membadai Ki Rangga telah
menggulung lawannya. Ketika Kiai Naga Geni yang mendapat serangan membadai dan
beruntun itu telah meloncat kebelakang untuk mengambil jarak, kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan sebuah lompatan panjang
dia telah meninggalkan lawannya dan memotong arah serangan Ki Ajar Andong
Puring yang meluncur kearah Pandan Wangi.
Ki Ajar terkejut ketika menyadari Ki Rangga telah berusaha
memotong arah serangannya. Dengan cepat diubahnya arah serangan senjatanya yang
semula ditujukan ke arah Pandan Wangi, kini justru mengarah ke lambung Ki
Rangga.
Ki Rangga tidak terkejut melihat perubahan arah serangan
itu. Namun dia tidak akan membiarkan lambungnya tertembus oleh senjata lawannya
walaupun dia yakin hal itu tidak akan terjadi karena tubuhnya sudah dilindungi
dengan ilmu kebal. Dengan sedikit menggeser tubuhnya, ujung keris itu hampir
menyentuh ujung bajunya. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak kasat
mata, Ki Rangga berusaha mencengkeram pergelangan tangan lawannya yang
menggenggam senjata andalannya itu.
Tentu saja Ki Ajar tidak ingin senjatanya terlepas dari
genggamannya. Dengan sebuah lompatan yang panjang, Ki Ajar pun mundur beberapa
langkah kebelakang menghindari cengkeraman Ki Rangga Agung Sedayu.
Ketika kemudian Ki Ajar telah berdiri tegak di atas kedua
kakinya yang kokoh, ternyata Pandan Wangi telah mengambil tempat beberapa
langkah di depannya sambil menjulurkan pedang tipisnya ke arah ulu hati. Kini
Pandan wangi benar-benar telah mengatur jarak dengan lawannya sehingga tidak
akan terdesak lagi dengan serangan jarak pendek lawannya.
Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu yang masih berdiri
termangu mangu ternyata telah dilanda serangan dahsyat dari Kiai Naga Geni.
Dengan teriakan menggelegar, Kiai Naga Geni dengan kemarahan yang memuncak
menerjang Ki Rangga Agung Sedayu dengan jari-jari yang membara, Ki Rangga pun
segera mengetrapkan ilmu kebalnya sampai ke puncak.
Segera saja hawa panas memancar dari tubuh Ki Rangga Agung
Sedayu. Kiai Naga Geni yang sudah terlanjur meluncur itu terkejut ketika
tiba-tiba saja serangkum hawa panas menyergapnya. Akan tetapi apa boleh buat,
dia tidak akan menghentikan serangannya ke arah dada lawannya.
Ternyata Ki Rangga tidak membiarkan saja dadanya dalam
keadaan terbuka menerima serangan Kiai Naga Geni. Walaupun tubuhnya sudah
dilindungi dengan ilmu kebal, namun Ki Rangga belum tahu sampai dimana kekuatan
yang tersimpan dalam diri Kiai Naga Geni itu. Dengan menyilangkan kedua
tangannya di depan dada, maka sejenak kemudian sebuah benturan dahsyat dari
kedua orang yang berilmu tinggi itu pun telah terjadi.
Hampir saja Kiai Naga Geni berteriak kegirangan ketika dia
melihat lawannya terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian yang terjadi
adalah sebuah pengeram-eram. Ki Rangga yang mencoba menahan hantaman Kiai Naga
Geni dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada itu ternyata telah
terhuyung beberapa langkah surut kemudian jatuh pada kedua lututnya. Ketika
kemudian dengan sigap Ki Rangga meloncat berdiri, orang-orang yang ada di
seputar arena pertempuran itu hampir tidak percaya dengan penglihatan mereka
sendiri. Ternyata yang bangkit berdiri tidak hanya seorang Ki Rangga saja,
tubuh Ki Rangga telah terpecah menjadi tiga orang.
Untuk sejenak pemimpin perguruan dari Nusakambangan itu
terkesiap. Aji kakang kawah adi ari-ari memang sudah jarang ditemui pada jaman
itu. Kalau ternyata Ki Rangga mampu menguasainya dengan baik, dia benar-benar
akan menjadi orang yang sulit dicari bandingnya di seluruh tlatah Mataram.
Belum sempat pemimpin perguruan dari Nusakambangan itu
menentukan sikap dan menyadari apa yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi
ilmu yang sudah hampir punah itu, ujud Ki Rangga yang paling dekat dan ada di
hadapannya tiba-tiba telah melancarkan sebuah serangan balasan yang dahsyat.
Dengan sisi telapak tangan kanannya, ujud Ki Rangga yang ada di depannya telah
meloncat maju dan dengan deras menghantam dada lawannya.
Segera terdengar sebuah keluhan tertahan. Tubuh Kiai Naga
Geni itu terhuyung-huyung kebelakang, namun ketahanan tubuhnya memang luar
biasa. Dengan cepat dia meloncat beberapa langkah kebelakang untuk menghindari
kemungkinan dari serangan susulan lawannya.
Namun ternyata Ki Rangga tidak memburunya. Justru kedua ujud
Ki Rangga yang lain telah meloncat ke belakang dan membantu kedua Putut itu
untuk menghadapi serangan lawan lawannya yang semakin menekan. Keenam murid
perguruan Andong Puring itu menyerang secara bergelombang susul menyusul ke
arah kedua lawannya. Untunglah kedua Putut yang berasal dari Kademangan Jati
Anom itu sudah dibekali ilmu cambuk yang cukup mapan, sehingga mereka tidak
gugup dalam menghadapi serangan-serangan yang beruntun. Secara bergantian
ujung-ujung cambuk itu menggelepar dengan memperdengarkan suara yang memekakkan
telinga. Ternyata keduanya memang sudah terbiasa bertempur berpasangan sehingga
secara bergantian dan saling mengisi, ujung-ujung cambuk yang berkarah itu
menghalau setiap serangan yang dilancarkan oleh murid-murid Andong Puring.
Ketika kedua ujud Ki Rangga Agung Sedayu itu telah meloncat
dan berdiri tegak diantara kedua Putut dan lawan lawannya, yang terjadi
kemudian adalah sebuah pertunjukan yang aneh. Ke-enam murid Ki Ajar itu justru
telah berdiri membeku bagaikan tersihir melihat Ki Rangga yang telah berubah
ujud menjadi tiga orang. Demikian juga kedua Putut itu, mereka belum pernah melihat
ilmu yang sedahsyat dan seaneh itu sehingga untuk sejenak pertempuran pun
seolah telah terhenti.
Pandan Wangi yang sudah pernah melihat ilmu kakang kawah adi
ari-ari yang dimiliki oleh Ki Rangga masih juga tergetar hatinya. Dalam
panggraitanya, dia masih belum mampu membedakan manakah ujud yang asli dan
manakah ujud yang palsu.
Sementara Ki Ajar yang melihat Ki Rangga telah berubah ujud
rangkap tiga, diam-diam telah memusatkan nalar budinya untuk menemukan ujud
asli Ki Rangga yang sebenarnya. Dia akan membuat kejutan dengan menyerang ujud
asli Ki Rangga secara tiba-tiba sehingga dapat melumpuhkan perlawanan murid
utama perguruan orang bercambuk itu. Namun alangkah terkejutnya Ki Ajar,
walaupun dia telah mengerahkan segenap kemampuannya, panggraitanya tidak mampu
mengurai ujud-ujud Ki Rangga sehingga yang tampak adalah Ki Rangga benar-benar
telah berubah menjadi tiga orang.
Demikianlah sebenarnya yang telah terjadi. Dalam perjalanan
mematangkan salah satu ilmu yang telah dipelajari dari isi kitab Ki Waskita, Ki
Rangga Agung Sedayu telah menyempurnakannya dengan berbagai laku terutama
pengenalan atas ilmu itu sendiri lebih menukik ke kedalaman sehingga kedua ujud
Ki Rangga itu kini bukan lagi sekedar ujud-ujud semu yang hanya dapat
membingungkan lawan yang masih belum mapan kemampuan olah kanuragannya, namun
dalam perkembangannya, ujud kakang kawah dan adi-ari-ari atau kadang disebut
kakang pembarep adi wuragil itu merupakan pancaran ilmu dari dalam diri Ki
Rangga Agung Sedayu sendiri. Sehingga setiap sentuhan dari salah satu ujud Ki
Rangga, akan mempunyai akibat yang sama secara kewadagan karena merupakan
kepanjangan dari ilmu Ki Rangga Agung Sedayu yang sebenarnya.
Itulah sebenarnya kelebihan dari Ilmu Kakang Pembarep Adi
Wuragil dibandingkan dengan ilmu bayangan semu yang telah dikuasai oleh Ki
Waskita. Sentuhan Ilmu Bayangan Semu tidak akan berpengaruh secara wadag, namun
justru kekerdilan jiwa seseorang yang akan terpengaruh oleh ilmu itu. Namun
kelebihan dari Ilmu Bayangan Semu itu adalah orang yang menguasai ilmu ini
dapat mengambil bentuk-bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluan pada
saat itu, sedangkan Ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil hanya mengambil bentuk
yang sama dengan dirinya, namun dalam perkembangannya jika seseorang dapat
menguasainya sampai tingkat yang sempurna, akan menjadi ilmu yang sangat
nggegirisi karena kemampuan orang yang memiliki ilmu ini akan menjadi berlipat
lipat.
Kiai Naga Geni yang telah mampu menguasai dirinya segera
memusatkan nalar budinya. Dengan kemampuan panggraitanya, dia berusaha
mengetahui ujud asli Ki Rangga, dan inilah kesalahannya. Kiai Naga Geni terlalu
tergesa-gesa untuk menarik sebuah kesimpulan. Dia yakin ujud asli Ki Rangga
Agung Sedayu adalah yang baru saja menyerangnya dan sekarang berdiri beberapa langkah
di depannya. Dengan teriakan mirip seekor naga yang sedang marah, Kiai Naga
Geni pun kemudian meluncur menerjang ujud Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang
berdiri dihadapannya.
Tubuh Kiai Naga Geni menggeliat bagaikan seekor naga yang
sedang terbang di udara. Jari-jari kedua tangannya yang membentuk cakar naga
terlihat membara, sedangkan dari mulutnya benar-benar menyemburkan api yang
berkobar kobar menerjang ke arah lawannya. Inilah aji kebanggaan perguruan
Nusakambangan, Aji Naga Geni.
Namun ternyata ujud Ki Rangga yang ada di depannya sama
sekali tidak ada usaha untuk menghindar dari terjangan lawannya. Bahkan ujud Ki
Rangga itu justru telah meloncat menyambut serangan lawannya.
Kiai Naga Geni terkejut. Semburan api dari aji naga geni
yang mampu meluluh lantakkan senjata yang terbuat dari baja sekalipun ternyata
sama sekali tidak dirasakan oleh lawannya, bahkan cengkeramannya yang mengenai
pundak lawannya rasa rasanya seperti mencengkeram angin saja. Dalam keadaan
seperti itulah sebuah hantaman dari ujud Ki Rangga itu telah mengguncang
dadanya.
Sebenarnyalah Kiai Naga Geni sudah yakin dengan ilmunya dia
akan dapat melumat Ki Rangga Agung Sedayu. Namun kesalahan yang dilakukannya
benar-benar berakibat sangat parah. Ujud Ki Rangga yang ada di depannya itu
adalah bentuk semu namun yang telah dilambari dengan pancaran ilmu Ki Rangga
Agung Sedayu sehingga mempunyai kemampuan dan daya serang yang sama dengan diri
Ki Rangga sendiri namun yang tidak dapat dilukai secara wadag, justru karena
itu hanyalah sebuah ujud semu.
Kesadaran Kiai Naga Geni akan kemampuan dan sifat-sifat ilmu
kakang pembarep adi wuragil ini sudah terlambat. Sudah dicobanya untuk menahan
gempuran ujud Ki Rangga pada dadanya dengan menyilangkan tangan kirinya di
depan dada, sementara tangan kanannya yang sedang mencengkeram bahu lawannya
ternyata hanya mencengkeram bayangan kosong belaka.
Sekali lagi tubuh Kiai Naga Geni terlempar kebelakang dengan
dahsyatnya sebelum akhirnya terbanting ke tanah dengan memuntahkan darah segar.
Sejenak Kiai Naga Geni masih menggeliat sambil menggeram. Dengan bertelekan
pada kedua tangannya dia berusaha duduk untuk mengatasi pernafasannya yang
tersumbat karena dadanya rasa rasanya bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan.
Ki Ajar yang melihat keadaan Kiai Naga Geni segera berlari
mendekat. Dibantunya pemimpin perguruan Nusakambangan itu untuk duduk bersila.
Sejenak kemudian Kiai Naga Geni pun tenggelam dalam usahanya mengatur
pernafasannya dan mengurangi rasa sakit yang mendera dadanya.
Pertempuran benar-benar telah berhenti. Ki Rangga Agung
Sedayu yang menyadari tidak ada gunanya lagi untuk tetap mengetrapkan aji
kakang pembarep adi wuragil segera melepaskan ilmunya itu perlahan lahan.
Sejenak kemudian ketiga ujud Ki Rangga itu pun akhirnya saling mendekat dan bersatu
menjadi Ki Rangga Agung Sedayu yang asli.
Murid-murid Andong Puring dan kedua Putut yang masih belum
banyak berpengalaman dalam dunia olah kanuragan terutama pengetahuan mereka
terhadap berjenis jenis ilmu, masih tetap berdiri termangu mangu di tempatnya.
Berbagai tanggapan muncul dari dalam benak mereka. Murid-murid Andong Puring
merasa putus asa untuk memenangkan pertempuran itu dengan dikalahkannya Kiai
Naga Geni oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Kini hanya tinggal Gurunya Ki Ajar
Andong Puring yang kemampuannya masih jauh di bawah Ki Rangga. Sedangkan ke dua
Putut itu justru telah berangan angan suatu saat mereka akan mampu mencapai
tataran seperti yang telah ditunjukkan oleh kakak seperguruan mereka dari
perguruan orang bercambuk, Ki Rangga Agung Sedayu.
Sementara menunggu Kiai Naga Geni memulihkan pernafasannya,
Ki Ajar telah memberi isyarat kepada murid muridnya untuk menolong salah satu
kawannya yang tergeletak pingsan diterjang kuda Pandan Wangi.
Dengan tergesa-gesa murid-murid Andong Puring itu segera
menyarungkan senjata masing-masing kemudian setengah berlari mereka mendekati
kawannya yang masih tergeletak pingsan.
Ki Rangga Agung Sedayu agaknya tanggap dengan perkembangan
keadaan. Segera dia memberi isyarat kepada kawan kawannya untuk meneruskan perjalanan.
Kuda Pandan Wangi sudah lari entah kemana. Akhirnya kedua
Putut itu yang harus mengalah dan menggunakan satu ekor kuda untuk berdua,
sedang kuda mereka yang satunya digunakan oleh Pandan Wangi.
Demikianlah akhirnya mereka berempat segera berderap kembali
di lorong hutan Tambak Baya meninggalkan lawan lawannya yang hanya dapat
berdiri termangu mangu sambil memandangi debu putih yang mengepul di belakang
kaki-kaki kuda yang berderap cepat.
Ketika mereka hampir mendekati ujung lorong hutan Tambak Baya,
tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras, “Kakang, lihat! Itulah kudaku!”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menyahut, “Kau
benar Wangi, agaknya belum ada orang yang lewat, sehingga kudamu masih aman
merumput di pinggir lorong hutan ini.”
Sejenak kemudian Pandan Wangi telah menarik tali kekang kuda
yang ditungganginya ketika sudah tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari
kudanya yang sedang asyik merumput.
Setelah meloncat turun dan menyerahkan kendali kuda kepada
Putut Darpa yang telah meloncat turun terlebih dahulu, Pandan Wangi pun
kemudian dengan perlahan mendekat agar tidak mengejutkan kudanya yang sedang
asyik merumput.
Kuda itu meringkik perlahan begitu Pandan Wangi membelai
surinya yang hitam dan lebat. Setelah menepuk nepuk leher kudanya agar menjadi
lebih tenang, Pandan Wangi pun kemudian segera meloncat ke atas punggung
kudanya dan siap berderap kembali menuju ke Mataram.
“Marilah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Hari sudah menjelang
sore. Semoga sebelum gelap turun kita sudah dapat menghadap Ki Patih
Mandaraka.”
Sejenak kemudian mereka berempat telah memacu kuda-kuda itu
keluar dari hutan Tambak Baya menuju ke alas Mentaok yang telah ramai menjadi
sebuah negeri yang bernama Mataram.
Dalam pada itu, di padukuhan kecil sebelah utara Tanah Perdikan
Menoreh tampak dua orang sedang berjalan di tengah-tengah bulak yang panjang.
Terik sinar Matahari sore masih terasa panas menyengat kulit kedua orang itu
sehingga tampak merah terbakar. Keringat bagaikan terperas telah membuat tubuh
kedua pejalan kaki itu basah kuyup.
“Kita berhenti sebentar di bawah pohon nyamplung itu, Ayah,”
berkata salah seorang yang ternyata seorang perempuan. Wajahnya yang
berkeringat bercampur debu itu tampak kotor namun tidak dapat menyembunyikan
kecantikan alami yang dimilikinya. Selendangnya yang panjang dibalutkan di atas
kepalanya untuk mengurangi panasnya sengatan Matahari.
“Baiklah, kita beristirahat sejenak,” berkata orang yang
dipanggil ayah itu sambil mengayunkan langkahnya menuju pohon nyamplung yang
tumbuh di pinggir parit sebelah kiri tanggul.
Di sepanjang bulak itu memang terdapat parit di sebelah
menyebelah yang cukup lebar. Di musim kemarau parit itu airnya memang sangat
kecil, tidak cukup untuk mengairi tanah-tanah pesawahan yang terlihat kering
dan bera. Rumput-rumput liar yang tumbuh tampak kekuning kuningan terbakar
Matahari. Hanya rumput-rumput yang tumbuh di sepanjang tanggul dekat parit itu
sajalah yang tampak masih menghijau dan sering digunakan oleh para penggembala
untuk menggembalakan ternaknya.
Ketika kemudian kedua orang itu duduk melepas lelah di atas
akar-akar yang menonjol di bawah bayangan teduh pohon nyamplung itu, semilir
angin yang sepoi-sepoi ternyata telah membuat kedua pejalan kaki itu terkantuk
kantuk.
Namun belum sempat kedua pejalan kaki itu menikmati
semilirnya angin lebih lama lagi, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda
dari arah Padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Sambil menggeliat orang yang dipanggil ayah itu mencoba
melongokkan kepalanya memandang ke arah jalan yang menuju ke padukuhan induk.
Tampak debu yang mengepul tinggi pertanda ada beberapa ekor kuda yang sedang
dipacu menuju ke arah mereka yang sedang duduk-duduk di bawah pohon nyamplung.
“Siapakah mereka, Ayah?” bertanya perempuan itu sambil tetap
duduk di tempatnya.
“Aku tidak tahu,” jawab Ayahnya sambil kembali menyandarkan
punggungnya ke pohon nyamplung.
“Mungkin para pengawal Padukuhan induk sedang nganglang,”
desis perempuan itu perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Mungkin,” jawab Ayahnya acuh saja sambil memejamkan
matanya.
Sementara tiga ekor kuda yang dipacu menyelusuri bulak
panjang yang menghubungkan antara padukuhan induk dengan padukuhan kecil
disebelah utara Tanah Perdikan Menoreh itu telah semakin dekat dengan tempat
kedua pejalan kaki itu beristirahat.
Ketiga penunggang kuda itu memang para pengawal Padukuhan
induk menilik dari ciri-ciri yang mereka kenakan. Ketika ketiga pengawal itu
telah semakin dekat, tampak kerut merut di wajah mereka yang tegang.
“Siapakah mereka itu, Kakang Dama?” bertanya salah seorang
pengawal yang bertahi lalat di pipi kirinya sambil memandang ke arah kedua
orang yang duduk terkantuk kantuk di bawah pohon nyamplung.
“Itulah yang sedang aku pikirkan,” jawab pengawal yang
bernama Dama itu, “Disaat Padukuhan induk dalam keadaan gawat, kita harus
selalu waspada terhadap perkembangan yang terjadi di sekeliling kita.”
“Marilah kita mendekat,” berkata pengawal yang satunya lagi.
Dengan perlahan mereka menghela kuda-kuda itu mendekati
kedua pejalan kaki yang sedang duduk terkantuk kantuk di atas tanggul di bawah
pohon nyamplung yang tumbuh rimbun di dekat parit.
Ketika kemudian mereka bertiga sudah berada di bawah tanggul
yang rendah, dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian meloncat turun dan
menambatkan kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang mengering di pinggir
jalan.
Dama sebagai pengawal yang tertua rasa rasanya tidak sabar
ingin segera mendaki tanggul dan menyapa kedua pejalan kaki itu. Walaupun wajah
kedua orang itu berlumuran debu bercampur keringat, namun Dama dapat mengenali
siapakah mereka berdua itu.
“Empu Wisanata? Bukankah aku berhadapan dengan Empu
Wisanata?” hampir berteriak Dama menyapa kedua pejalan kaki itu sesampainya dia
di atas tanggul yang tidak seberapa tinggi, sedangkan kedua temannya menyusul
di belakangnya.
Lelaki tua yang dipanggil Empu Wisanata itu terkejut. Dengan
cepat dia bangkit berdiri sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Oh, kiranya para
pengawal padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Terima kasih masih mengenal
kami. Kami memang sengaja beristirahat sejenak disini sebelum memasuki
padukuhan induk.”
Ketiga pengawal itu segera maju beberapa langkah dan
mengulurkan tangan untuk menyambut salam dari Empu Wisanata, sedangkan
perempuan yang ternyata adalah Nyi Dwani hanya bangkit berdiri dari tempat
duduknya dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Selamat datang kembali di Tanah Perdikan ini,” berkata Dama
setelah masing-masing mencari tempat duduk di bawah naungan rindangnya pohon
nyamplung, “Kemanakah kalian berdua selama ini? Rumah kalian tampak sepi setiap
kami meronda mengelilingi padukuhan induk.”
Sejenak Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam sambil
berpaling ke arah Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani hanya menundukkan kepalanya saja
tanpa berani memandang ke arah ayahnya.
“Kami memang telah memutuskan untuk menengok keluarga yang
tinggal di ujung kali Keduwang,” akhirnya Empu Wisanata yang menjawab
pertanyaan Dama, “Sengaja kami pergi dengan diam-diam karena tidak ingin
merepotkan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Kami berharap hanya dalam waktu
sepekan kami sudah dapat kembali ke Menoreh. Ternyata rencana kami tidak
berjalan dengan lancar, kami harus tertahan hampir sebulan lamanya di padepokan
yang terletak di ujung kali Keduwang itu karena suatu urusan.”
Dama dan kedua kawannya hanya mengangguk anggukkan kepala mereka.
Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin mereka sampaikan sehubungan dengan
kepergian ayah dan anak itu, namun pertanyaan itu hanya disimpan dalam hati
saja justru mereka tahu bahwa persoalan itu pasti menyangkut persoalan
keluarga.
“Apakah Empu Wisanata mengalami kesulitan ketika akan
memasuki Tanah Perdikan ini?” bertanya Dama kemudian setelah sejenak mereka
terdiam.
“Ya,” dengan serta merta Empu Wisanata menjawab, “Kami
melihat persiapan pasukan segelar sepapan di padukuhan-padukuhan yang terdekat dari
tepian Kali Praga. Bahkan kami harus berjalan memutar dan tidak berani langsung
menuju ke gerbang utama padukuhan induk.”
Dama dan kedua kawannya saling berpandangan sebelum akhirnya
pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi itu menyahut, “Menurut keterangan Ki
Jayaraga, ada seorang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra dan telah
mengumpulkan berbagai perguruan yang sehaluan dengan dirinya dari seluruh
penjuru negeri ini untuk menggempur Mataram di saat ibu kota Mataram kosong
ditinggal para prajuritnya melawat ke Panaraga.”
Empu Wisanata mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Menurut perhitunganku, ibu kota Mataram tidak mungkin kosong. Ki Patih
Mandaraka adalah seorang yang mumpuni dalam mengatur siasat. Tidak mungkin ibu
kota dibiarkan kosong sedangkan Panembahan Hanyakrawati berada di istana.
Justru aku yakin itu adalah bagian dari siasat Ki Patih untuk menjebak orang
yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu.”
Para pengawal itu sejenak termangu mangu. Mereka memang
tidak sampai berpikir sejauh itu. Yang mereka dengar ibu kota Mataram sekarang
ini memang sedang kosong sehingga seandainya ada musuh yang menyerang, mereka
dengan leluasa akan dapat menguasainya. Namun ternyata pendapat Empu Wisanata
itu telah membuka pikiran mereka, memang tidak mungkin membiarkan ibu kota
Mataram dalam keadaan benar-benar kosong.
“Ah, sudahlah,” akhirnya Empu Wisanata bangkit dari tempat
duduknya, “Kami sudah cukup beristirahat dan akan melanjutkan perjalanan yang
tinggal sejengkal lagi.”
Selesai berkata demikian Empu Wisanata berpaling ke arah Nyi
Dwani dan agaknya anak perempuannya itu tanggap dan segera mengikuti ayahnya
berdiri.
Dama dan kawan kawannya pun kemudian ikut bangkit dari
tempat duduk mereka. Sambil mengibas-ngibaskan kain panjangnya yang terkena
debu, Dama pun berkata, “Sebaiknya Empu Wisanata dan Nyi Dwani mampir dulu di
rumah Ki Gede. Tentu Ki Jayaraga akan sangat gembira menyambut kedatangan
kalian berdua.”
“Terima kasih,” sahut Empu Wisanata, “Kami memang berencana
demikian. Semoga tenaga kami yang tidak seberapa ini dapat membantu menjaga
keamanan di lingkungan sekitar tempat tinggal kami.”
Demikianlah akhirnya mereka pun kemudian berpisah. Ketiga
pengawal itu segera meneruskan perjalanan mereka meronda ke daerah Tanah Perdikan
sebelah utara. Sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani dengan langkah satu-satu
kembali menyusuri bulak panjang di bawah siraman sinar Matahari sore yang mulai
meredup menuju ke padukuhan induk.
Dalam pada itu di Kepatihan, Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan
Wangi telah diterima menghadap oleh Ki Patih Mandaraka di ruangan khusus,
sedangkan kedua Putut yang mengawani perjalanan mereka berdua telah di
tempatkan di bangunan penjagaan samping untuk sekedar melepaskan lelah.
Setelah menanyakan keselamatan mereka berdua selama dalam
perjalanan menuju Mataram, dengan menarik nafas dalam-dalam, Ki Patih pun
berkata, “Agaknya orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu
telah mendapat laporan melalui petugas sandinya tentang perjalanan kalian.
Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi kalian semua.”
“Demikianlah Ki Patih,” jawab Ki Rangga sambil menyembah,
“Namun masih ada hal yang membuat hamba penasaran. Siapakah kedua orang
bercaping yang menolong kami di tepian kali Opak itu?”
Ki Patih tertawa perlahan mendengar pertanyaan Ki Rangga.
Jawabnya kemudian, “Bagaimana mungkin aku tahu, sedangkan kalian yang mengalami
peristiwa itu sendiri tidak tahu siapa mereka.”
“Ampun Ki Patih,” cepat-cepat Ki Rangga menyela, “Bukan
maksud hamba untuk menanyakan hal ini kepada Ki Patih. Namun menilik kemampuan
kedua orang bercaping yang membantu kami di tepian Kali Opak itu, mereka berdua
pasti bukan dari lingkungan orang kebanyakan.”
Ki Patih mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki
Rangga. Namun kemudian sambil tersenyum Ki Patih berkata, “Sudahlah. Dari
manapun mereka berasal itu tidak penting. Yang jelas mereka telah berhasil
melaksanakan tugasnya.”
Ki Rangga tertegun mendengar kalimat terakhir dari Ki Patih.
Sambil mengangkat kepalanya, sejenak dipandanginya Ki Patih yang ternyata juga
sedang memandanginya sehingga dengan tergesa-gesa Ki Rangga pun kemudian segera
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Agaknya pandangan mata Ki Rangga yang penuh dengan tanda
tanya itu terbaca oleh Ki Patih. Sehingga akhirnya Ki Patih pun tidak dapat
mengelak lagi, “Memang akulah yang telah menyuruh mereka berdua untuk turun
gunung dan membantu Ki Rangga. Selama ini mereka berdua itu lebih senang
menyepi di gunung-gunung dan hutan-hutan sunyi. Aku telah memberi pengertian
kepada mereka bahwa sebaik-baiknya menjalani sebuah laku tapa itu adalah tapa
ngrame. Hati kita, jiwa kita tetap dalam kedudukannya sebagaimana seorang
pertapa yang tidak tergoyahkan oleh nafsu duniawi, namun raga kita, badan kita
ini akan selalu berbuat untuk kebaikan umat dan menolong sesama sebagaimana
seorang satria yang selalu tampil di depan dalam membela kebenaran kejujuran
dan keadilan. Itulah yang disebut seorang Satriya Pinandita.”
Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi hanya saling pandang
ketika Ki Patih telah menyebutkan bahwa kedua orang bercaping itu ternyata
adalah utusan Ki Patih Mandaraka. Tapi siapakah sebenarnya kedua orang itu?
Mereka berdua masih menunggu keterangan lebih lanjut dari Ki Patih.
Sementara itu Matahari masih menyisakan sinarnya walaupun
sangat lemah. Sejenak kemudian ketika Matahari telah benar-benar terbenam,
terdengar suara panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Agung
dari arah Masjid Kepatihan.
“Marilah,” berkata Ki Patih kemudian sambil bangkit berdiri,
“Kita hentikan sejenak pembicaraan ini. Setelah makan malam, kita akan
benar-benar membicarakan persoalan yang menyangkut keamanan ibu kota Mataram
ini dengan sungguh-sungguh.”
“Hamba Ki Patih,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan
Wangi menjawab.
Ketika Ki Patih kemudian beranjak menuju ke ruang dalam, Ki
Rangga dan Pandan Wangi pun kemudian mengundurkan diri. Mereka berdua berjalan
beriringan menuju ke Masjid Kepatihan yang terletak di samping kanan dari
bangunan induk istana Kepatihan.
Sambil berjalan menuruni tlundak pendapa samping, Pandan
Wangi berkata, “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita membersihkan diri dulu di
pakiwan?”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekelilingnya. Katanya kemudian, “Wangi, di dekat Masjid
Kepatihan Kau akan menjumpai pakiwan khusus untuk perempuan. Kau dapat
menggunakannya sebelum memasuki Masjid.”
Pandan Wangi mengangguk anggukkan kepalanya. Jawabnya
kemudian, “Baiklah Kakang kalau begitu. Aku ikut Kakang saja langsung ke
Masjid.”
“Marilah,” ajak Ki Rangga sambil mengayunkan langkahnya.
Ketika kemudian mereka telah selesai menunaikan kewajibannya
selaku hamba yang bersyukur kepada Penciptanya, Ki Patih Mandaraka pun kemudian
mengajak Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi makan malam bersama di ruang
khusus bagian dalam istana Kepatihan.
“Menurut berita yang dibawa para prajurit sandi yang
bertugas di Menoreh,” demikian Ki Patih memulai pembicaraan setelah selesai
santap malam, “Orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu akan
mengumpulkan seluruh perguruan yang sudah tergabung dalam pasukannya sore ini.
Belum ada kepastian kapan mereka akan menyeberang Kali Praga dan menyerbu ibu
kota Mataram.”
“Ampun Ki Patih,” Ki Rangga menyela sambil menyembah,
“Berapakah jumlah prajurit yang berada di ibu kota Mataram? Kita harus segera
membuat perhitungan.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk angguk. Katanya
kemudian, “Ki Rangga, pasukan cadangan yang ditugaskan untuk menjaga keamanan
kota lebih dari cukup,” Ki Patih berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Memang
disengaja, yang bertugas meronda di ibu kota dan sekitarnya hanya beberapa
prajurit berkuda saja. Demikian juga regol-regol telah di kurangi penjaganya
dengan tujuan untuk memberikan kesan seolah olah ibu kota Mataram sedang
kosong. Tapi sebenarnya pasukan cadangan telah disiagakan di barak-barak.
Mereka dilarang melakukan kegiatan di luar barak tanpa seijin Perwira yang
bertugas.”
Ki Rangga dan Pandan Wangi saling pandang sejenak. Tampak
kerut merut di kening keduanya semakin dalam. Namun setelah mereka menyadari
bahwa semua itu adalah bagian dari rencana Ki Patih untuk mengelabuhi
Panembahan Cahya Warastra, keduanya pun kemudian mengangguk anggukkan kepala
sambil menarik nafas dalam-dalam. Rasa rasanya dada mereka yang selama ini
pepat telah menjadi sedikit longgar begitu mendengarkan keterangan dari Ki
Patih.
“Nah,” berkata Ki Patih kemudian, “Malam ini kita harus
menyeberang ke Menoreh, dan ini menjadi tugasmu Ki Rangga.”
Ki Rangga sejenak tertegun. Menyeberangi Kali Praga di malam
hari serta harus melewati penjagaan para pengikut Panembahan Cahya Warastra
yang bersiaga di seberang Kali Praga bukanlah pekerjaan mudah. Maka kemudian
katanya, “Ampun Ki Patih. Di seberang Kali Praga telah dijaga oleh para
pengikut Panembahan Cahya Warastra. Bagaimana kita menyeberang tanpa ketahuan
oleh mereka?”
“Berenang,” jawab Ki Patih sambil tersenyum.
“Berenang?” tanpa sesadarnya Ki Rangga mengulang kata-kata
Ki Patih. Bahkan Pandan Wangi yang selama ini hanya mendengarkan sambil
menundukkan kepalanya telah mengangkat wajahnya sambil memandang ke arah Ki
Patih dengan terheran heran.
“Ya, berenang,” jawab Ki Patih mantap, “Dengan berenang
apalagi menyelam beberapa jengkal di bawah permukaan air Kali Praga, aku yakin
akan sulit untuk diketahui oleh musuh. Kita akan mengambil di tempat yang
jarang digunakan untuk penyeberangan sehingga pengawasan disitu agak longgar.”
“Bagaimana dengan buaya-buaya kerdil yang sering tampak di
tempat-tempat yang agak dalam?” bertanya Pandan Wangi yang sedari tadi diam
saja. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Menoreh, dia hafal betul
dengan keadaan Kali Praga.
Ki Patih tersenyum sambil memandang Pandan Wangi. Jawabnya
kemudian, “Jangan kawatir. Ada semacam ramuan yang akan membuat
binatang-binatang air itu menyingkir bila mencium aroma ramuan itu. Sebelum
turun ke air, semua orang wajib melumuri tubuhnya dengan ramuan itu.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi meng-angguk
angguk. Terbayang dalam benak mereka, rintangan yang sangat berat yang harus
mereka dilalui. Tidak hanya buaya-buaya kerdil itu yang dapat membahayakan
keselamatan mereka, namun juga para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang
telah menunggu mereka di tepian dengan senjata terhunus.
“Baiklah,” berkata Ki Patih Mandaraka selanjutnya, “Kita
perlu Ki Tumenggung Tirtayudha untuk hadir disini. Ki Tumenggung Tirtayudha
adalah perwira yang membawahi Prajurit Jalamangkara, prajurit yang mempunyai kemampuan
sangat khusus, yaitu mampu bergerak di air dengan kemampuan yang luar biasa.
Sedangkan di darat mereka adalah prajurit-prajurit tangguh tanggon yang mampu
menyerang dengan cepat kemudian menyingkir dengan cepat pula.”
Ki Rangga Agung sedayu dan Pandan Wangi sejenak termangu
mangu mendengarkan keterangan Ki Patih. Ki Rangga memang pernah mendengar
rencana untuk membentuk sepasukan prajurit Jalamangkara yang mempunyai
kemampuan bertempur di bawah air. Mereka bergerak bagaikan ikan dan mampu
bertahan di bawah air dengan menggunakan alat khusus. Namun sejauh ini Ki
Rangga belum pernah bertemu dengan para prajurit Jalamangkara, apalagi dengan
Ki Tumenggung Tirtayudha.
Ki Patih agaknya mengerti jalan pikiran kedua tamunya. Maka
katanya kemudian, “Aku telah menyuruh seorang prajurit jaga untuk memanggil
Tumenggung Tirtayudha agar hadir disini.”
Belum selesai Ki Patih melanjutkan kata katanya, tiba-tiba
terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Sejenak kemudian seorang yang
berperawakan sedang dengan kumis tipis melintang di atas bibirnya telah
memasuki ruang khusus tempat Ki Rangga dan Pandan Wangi menghadap Ki Patih.
Setelah menyembah terlebih dahulu, orang itupun kemudian duduk beberapa jengkal
di sebelah Ki Rangga menghadap Ki Patih Mandaraka.
“Nah, inilah Ki Tumenggung Tirtayudha itu,” berkata Ki Patih
sambil tersenyum. Orang yang disebut Tumenggung Tirtayudha itu segera
menganggukkan kepalanya kearah Ki Rangga dan Pandan Wangi.
Segera saja Ki Rangga dan Pandan Wangi membalas anggukan Ki
Tumenggung Tirtayudha itu.
“Ki Tumenggung Tirtayudha,” berkata Ki Patih kemudian,
“Apakah pasukanmu sudah siap? Malam ini kita akan menyeberang ke Menoreh.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Pandan Wangi menoleh ke arah
Ki Tumenggung Tirtayudha, Tumenggung yang usianya tidak terpaut jauh dengan Ki
Rangga Agung Sedayu sendiri.
Sambil melakukan sembah, Ki Tumenggung Tirtayudha pun
kemudian menjawab, “Ampun Ki Patih. Pasukan Jalamangkara sudah siap untuk
sewaktu waktu digerakkan. Tinggal menunggu titah dari Ki Patih.”
Ki Patih mengangguk anggukkan kepalanya, kemudian katanya
sambil menoleh ke arah Ki Rangga Agung Sedayu, “Ki Rangga, malam ini kita akan
menyeberang ke Menoreh. Tugas pasukan Jalamangkara adalah bergerak dengan
senyap kemudian menghancurkan para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang
berjaga di tepian sebelah barat Kali Praga,” Ki Patih berhenti sejenak kemudian
lanjutnya, “Ki Rangga dan Ki Tumenggung Tirtayudha masing-masing akan membawa
sepasukan parajurit Jalamangkara untuk menyeberang di tempat yang tidak diperhitungkan
oleh para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Kalian harus berpacu dengan
waktu. Hancurkan para pengawas musuh yang ada di tepian barat Kali Praga tanpa
suara. Jangan sampai para pengawas itu sempat melontarkan isyarat ke padukuhan
terdekat yang dijadikan landasan para pengikut Panembahan Cahya Warastra.”
Ki Rangga dan Ki Tumenggung mengangguk anggukkan kepala
mereka. Keduanya sudah mendapat gambaran bagaimana mereka harus membawa
pasukannya menyeberang Kali Praga tanpa diketahui oleh lawan dan kemudian
sekaligus menghancurkan mereka.
Sementara Pandan Wangi yang hanya menjadi pendengar telah
terusik. Tanpa sesadarnya dia telah mengangkat wajahnya dan memandang ke arah
Ki Patih yang justru sedang memandanginya sambil tersenyum. Agaknya Ki Patih
telah menduga apa yang tersirat dalam dada anak perempuan satu satunya Ki Gede
Menoreh itu.
“Pandan Wangi,” berkata Ki Patih akhirnya, “Kau tidak aku
tugaskan untuk ikut menyeberang dengan berenang bersama Ki Rangga,” Ki Patih
berhenti sejenak sambil mencoba melihat kesan yang tersirat di wajah Pandan
Wangi, tampak seleret rona merah menghias wajah perempuan setengah baya itu.
Sambil menahan senyum, Ki Patih pun kemudian melanjutkan kata katanya, “Aku
telah menerima laporan dari prajurit sandi yang bertugas di tepian sebelah
timur, mereka telah mengadakan hubungan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan
serta beberapa kawan kawannya. Tugasmu adalah bergabung dengan mereka.
Tunggulah isyarat dari Ki Rangga maupun Ki Tumenggung. Jika tepi barat Kali
Praga telah dibersihkan dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra, tugas
kalian adalah melumpuhkan para tukang satang yang ada di sebelah timur tepian
Kali Praga, kemudian dengan menggunakan rakit-rakit yang ada, kalian dapat
menyusul Ki Rangga menyeberang ke Menoreh.”
Tanpa disadarinya Ki Rangga telah menarik nafas dalam-dalam
mendengar keterangan Ki Patih Mandaraka, walaupun sebelumnya Ki Rangga telah
menduga bahwa tidak mungkin Pandan Wangi akan diikut sertakan dalam gerakan
pasukan Jalamangkara, namun tak urung hatinya merasa lega begitu Ki Patih telah
menjatuhkan titah.
“Baiklah,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Gerakan penyusupan
kalian ke tepi barat Kali Praga ada kemungkinannya akan diketahui oleh pihak
lawan. Tidak menutup kemungkinan para pengawas lawan akan berhasil mengirimkan
isyarat ke padukuhan terdekat sehingga pasukan lawan akan berdatangan bagaikan
lebah yang diganggu sarangnya dan pertempuran di tepi barat Kali Praga pun
tidak mungkin dielakkan lagi.”
“Ampun Ki Patih,” Ki Tumenggung Tirtayudha menyela, “Bukankah
tujuan kita menyeberang ke tepi barat itu untuk mengalihkan tempat pertempuran
keluar dari ibu kota Mataram?”
“Kau benar, Ki Tumenggung. Namun sebenarnyalah aku
menginginkan sebuah kejutan bagi orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya
Warastra itu. Setelah melumpuhkan para pengikutnya yang berjaga di tepi barat
Kali Praga, begitu Matahari terbit, kita akan menyerbu padukuhan yang dijadikan
landasan para pengikut Cahya Warastra itu.”
Ki Tumenggung Tirtayudha mengangguk anggukkan kepalanya.
Sementara Ki Rangga segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih.
Kita memerlukan berpuluh puluh rakit untuk menyeberangkan pasukan cadangan yang
sekarang masih berada di barak-barak.”
“Ya,” jawab Ki Patih cepat, “Sementara kalian berdua
menyeberang ke tepian sebelah barat, aku sendiri yang akan memimpin pasukan
cadangan dan sebagian pasukan dari Kadipaten dan Kademangan-Kademangan yang
tidak jadi diberangkatkan ke Panaraga karena keadaan kesehatan mereka yang
kurang memenuhi syarat waktu itu untuk ikut bertempur ataupun karena suatu hal
yang lain, namun sekarang mereka telah siap untuk terjun ke medan perang sedahsyat
apapun.”
Ki Rangga dan Ki Tumenggung hampir bersamaan telah menarik
nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepala. Ki Patih ternyata telah
memperhitungkan semua itu dengan cermat. Pasukan cadangan yang ada di ibu kota
Mataram sengaja disimpan di barak-barak dan tidak diperkenankan untuk keluar
menampakkan diri kecuali ada ijin khusus dari Perwiranya. Demikian juga
pasukan-pasukan yang tidak jadi dikirim ke Panaraga karena keadaan kesehatan
mereka atau suatu hal yang lain, kini telah siap untuk diturunkan ke medan
pertempuran.
“Kesan yang tampak di ibu kota Mataram memang sangat lemah,”
gumam Ki Rangga dalam hati, “Penjagaan dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat
lemah. Hanya beberapa penjaga yang terlihat di gerbang Timur dan gerbang Barat.
Sedangkan prajurit yang meronda pun hanya tiga atau empat orang dengan berkuda.
Berbeda dengan biasanya yang terdiri dari lima belas sampai dua puluh prajurit
berkuda.”
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Tumenggung Tirtayudha
membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Kapankah pasukan Jalamangkara diperkenankan
bergeser ke tepian Kali Praga untuk memulai pergerakan menyusup ke daerah
lawan?”
Sejenak Ki Patih menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan
Ki Tumenggung Tirtayudha. Jawabnya kemudian, “Wayah sirep uwong pasukan Jalamangkara
sudah harus di tepian sebelah timur Kali Praga. Kalian berdua harus memilih
tempat yang terpisah jauh dan akan dipandu oleh para prajurit sandi yang telah
mengenal daerah sepanjang tepian Kali Praga,” Ki Patih berhenti sejenak untuk
mengambil nafas, kemudian lanjutnya, “Sementara pasukan cadangan ditambah
dengan pasukan yang tidak jadi berangkat ke Panaraga, mungkin jumlahnya
mendekati dua Bregada, secara berangsur angsur akan bergerak secara berkelompok
agar tidak banyak menarik perhatian, sudah harus tiba di tepian sebelum tengah
malam.”
“Bagaimana dengan rakit-rakit itu, Ki Patih?” bertanya Ki
Rangga dengan nada sedikit ragu-ragu. Menyeberangkan pasukan sejumlah hampir
dua bregada memerlukan sekitar delapan puluh buah rakit.
Ki Patih tersenyum mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya
kemudian sambil tetap tersenyum, “Kita bersyukur bahwa Panembahan Cahya
Warastra telah berbaik hati membuatkan kita rakit-rakit yang tersimpan di
tepian sebelah barat Kali Praga. Rencananya rakit-rakit itu akan digunakan oleh
para pengikut Cahya Warastra itu untuk menyeberang ke Mataram pada saat
penyerbuan tiba. Adalah tugas Ki Rangga dan Ki Tumenggung untuk melumpuhkan
para penjaganya dan sekaligus menguasai rakit-rakit itu untuk selanjutnya
didorong ke tepian sebelah timur sebagai sarana mengangkut pasukan kita,”
sampai di sini Ki Patih berhenti sejenak sambil berpaling ke arah Pandan Wangi.
Kemudian lanjutnya, “Dan itu adalah tugasmu Pandan Wangi. Kau akan dibantu oleh
Glagah Putih bersama kawan kawannya.”
Mereka yang hadir di ruangan itu hampir bersamaan telah
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya para prajurit sandi Mataram telah
mendapatkan keterangan yang lengkap tentang keadaan di tepian sebelah barat
Kali Praga.
“Apakah masih ada sesuatu yang membuat kalian ragu-ragu atau
kurang jelas?” bertanya Ki Patih setelah sejenak mereka yang berada di ruangan
itu terdiam.
Ki Rangga yang duduk bersila tepat di depan Ki Patih segera
beringsut setapak maju. Sambil menyembah katanya kemudian, “Ampun Ki Patih.
Setelah pertemuan ini selesai, ijinkanlah hamba bersama dengan Ki Tumenggung
untuk menemui pasukan Jalamangkara di barak mereka. Kami berdua masih
memerlukan waktu untuk menjelaskan rencana kita kepada para pemimpin prajurit
agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melaksanakan rencana sesuai petunjuk
Ki Patih.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
Jawabnya kemudian, “Memang demikianlah seharusnya Ki Rangga. Namun ingat,
gerakan kita ini adalah bersifat sangat rahasia. Hanya para pemimpin prajurit
sajalah yang wajib mengetahui arah gerakan kita. Untuk selanjutnya, para
prajurit akan diberi penjelasan yang lebih mendalam setelah kalian berada di
tepian sebelah timur Kali Praga.”
“Hamba, Ki Patih,” hampir berbareng Ki Rangga dan Ki
Tumenggung menjawab.
“Kunci keberhasilan rencana kita ini adalah kerahasiaan,”
berkata Ki Patih selanjutnya, “Masing-masing pihak harus menjaga kerahasiaan
rencana ini. Walaupun kepada orang terdekat kita, istri atau anak misalnya,
kalau mereka tidak ada hubungannya dengan rencana ini, atau mereka memang tidak
berhak untuk mendengar rencana ini, jangan sampai rencana ini diceritakan
kepada mereka.”
Ketiga orang yang menghadap itu hanya mengangguk anggukkan
kepala mereka tanpa berkata sepatah kata pun. Sementara dari arah Masjid
Kepatihan terdengar suara panggilan yang mendayu-dayu memanggil umat manusia
untuk menunaikan kewajiban menyembah kepada Sang Pencipta alam semesta.
Sejenak Ki Patih berdiam diri sambil mendengarkan suara
panggilan untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Agung itu sampai selesai.
“Nah,” berkata Ki Patih kemudian, “Kita masih mempunyai
waktu beberapa saat untuk mempersiapkan diri. Pergunakanlah waktu sebaik
baiknya. Jangan menampakkan kesibukan yang luar biasa yang dapat memancing
pertanyaan bagi orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan rencana ini,
sehingga kemungkinan kebocoran rencana kita ini sampai ke telinga musuh dapat
dihindari,”
Setelah selesai memberikan pesan pesannya, Ki Patih pun
segera bangkit berdiri, sedangkan ketiga orang itu dengan tergopoh-gopoh segera
berjongkok sambil menyembah.
“Hamba bertiga mohon diri, Ki Patih,” berkata Ki Tumenggung
Tirtayudha mewakili ketiga orang yang menghadap itu.
“Baiklah,” jawab Ki Patih, “Lakukan tugas kalian
masing-masing dengan penuh kesungguhan dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap
kelangsungan kejayaan negeri ini.”
Demikianlah akhirnya, setelah tidak ada lagi hal-hal yang
perlu disampaikan, Ki Patih Mandaraka pun kemudian mengijinkan ketiga orang
yang menghadap itu untuk mengundurkan diri. Sementara Ki Patih telah bersiap
siap pergi ke Istana Panembahan Hanyakrawati untuk melaporkan rencana
penyeberangan ke Menoreh mendahului menyerang Panembahan Cahya Warastra dan
para pengikutnya.
bersambung ke TADBM jilid 405
*******
sarat rangkaian yg tidak terputus.............
BalasHapus