Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 413


buku 413
****
Demikianlah, akhirnya Ki Patih dan orang-orang tua itu segera menempatkan diri duduk bersila di atas sehelai tikar pandan yang terbentang di tengah-tengah pendapa. Sementara Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya serta orang-orang yang lain telah ikut pula duduk bersila melingkar menghadap ke arah Ki Patih.
Dalam pada itu, di antara gerumbul dan semak belukar yang bertebaran di belakang dinding banjar padukuhan induk, dua sosok bayangan tampak merayap mendekati dinding pembatas yang berada di belakang banjar.
“Apakah kita perlu meloncati dinding, kakang?” bertanya orang yang agak gemuk dan berwajah bulat.
Yang dipanggil kakang itu sejenak mengerutkan keningnya. Setelah mengamati keadaan sekelilingnya terlebih dahulu, akhirnya dia pun berbisik, “Sebaiknya aku dulu yang meloncati dinding. Kau mengawasi keadaan.”
Kawannya tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk.
Beberapa saat kemudian, kedua orang itu telah berdiri melekat dinding. Dengan penuh kewaspadaan keduanya pun berusaha mendengarkan segala desir yang mungkin terdengar di luar maupun di dalam dinding.
Ketika orang yang berwajah bulat itu kemudian memandang wajah kawannya sambil mengangguk, maka dengan merendahkan kedua lututnya, kawannya itu pun telah mengambil ancang-ancang untuk meloncat ke atas dinding.
Sejenak kemudian, bagaikan seekor burung rajawali, orang itu pun telah terbang dan hinggap dengan tubuh tertelungkup di atas dinding. Untuk beberapa saat dia sama sekali tidak bergerak namun pendengarannya yang tajam segera mendengar derit pintu yang terbuka. Seleret sinar dlupak tampak muncul dari sela-sela pintu yang terbuka. Namun sesaat kemudian sinar itu pun segera lenyap seiring dengan tertutupnya kembali pintu dapur itu.
Apa yang terdengar kemudian adalah langkah seseorang yang tergesa-gesa menuju ke perigi yang terletak di halaman belakang banjar. Ketika orang yang menelungkup di atas dinding itu mengangkat kepalanya, terdengar seseorang sedang menimba air di perigi untuk mengisi pakiwan.
Tiba-tiba terdengar pintu dapur berderit kembali. Seseorang yang lain agaknya ke luar dari dapur dan berjalan menuju ke halaman belakang.
“Apakah air di pakiwan sudah penuh?” terdengar seseorang bertanya.
“Belum,” jawab orang yang sedang menimba di perigi itu, “Tinggal sedikit lagi. Apakah Ki Patih berkenan ke pakiwan sekarang?”
“Belum,” jawab orang yang baru keluar dari dapur, “Mungkin nanti pada saat akan berangkat Ki Patih memerlukan pakiwan ini.”
Kembali suasana menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah derit senggot bambu dalam irama yang ajeg serta sesekali suara air yang tertumpah ke dalam pakiwan.
Ketika sekali lagi terdengar derit pintu dapur, orang yang menelungkup di atas dinding itu segera berbisik kepada kawannya yang menunggu di bawah, “Aku kira aku tidak perlu meloncat masuk. Kita sudah mendapat keterangan yang cukup.”
“Apakah Kau yakin, kakang?” bertanya kawannya yang menunggu di bawah dinding.
Orang yang sedang menelungkup di atas dinding itu tidak segera menjawab. Tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang turun dan berdiri tegak di samping kawannya.
“Aku kira kita sudah cukup mendapat keterangan tentang Ki Patih,” katanya kemudian sambil tangannya sibuk membersihkan debu yang melekat di pakaiannya, “Ki Patih akan kembali ke Kota Raja malam ini juga. Kita harus segera melaporkan kepada Ki Lurah agar Ki Lurah segera dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian kedua orang itu segera bergeser menjauhi dinding. Dengan berlindung pada gerumbul perdu serta semak belukar, kedua orang itu pun semakin jauh meninggalkan dinding belakang banjar padukuhan induk.
Ketika kedua orang itu telah semakin jauh meninggalkan dinding banjar padukuhan induk, tiba-tiba saja dari gelapnya kerimbunan bayangan pohon sawo kecik yang tumbuh beberapa langkah dari dinding telah muncul bayangan seseorang.
Bersamaan dengan itu, pintu dapur pun terdengar berderit dan seseorang telah keluar menuju halaman belakang sambil membawa dlupak yang menyala.
“Apakah Ki Patih sudah bersiap untuk berangkat?” bertanya orang yang sedang menimba di perigi itu sambil menuangkan air ke jambangan yang ada di dalam pakiwan.
“Ya, sebentar lagi,” sahut orang yang membawa dlupak sambil masuk ke pakiwan. Sejenak kemudian orang itu pun telah keluar dari pakiwan dan meninggalkan dlupak itu di atas ajug-ajug di salah satu sudut pakiwan.
“Air di jambangan sudah penuh,” berkata orang itu kemudian kepada kawannya yang masih berdiri termangu-mangu di dekat perigi, “Namun sesuai perintah Ki Lurah, kita tetap di halaman belakang ini untuk menjaga segala kemungkinan.”
Orang yang berdiri di dekat perigi itu hanya menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah bayangan rimbunan pohon sawo kecik. Agaknya orang ini telah melihat seseorang keluar dari gelapnya bayangan rimbunan pohon sawo kecik dan berjalan mendekat ke arah mereka.
“Tugas kalian telah selesai,” berkata orang yang keluar dari gelapnya bayangan rimbunan pohon sawo kecik itu, “Kita menunggu Ki Patih pergi ke pakiwan untuk meyakinkan bahwa tidak ada hal-hal yang diluar perhitungan kita,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Perintahkan kepada kawan-kawanmu yang masih bersembunyi di halaman belakang ini untuk segera berkemas.”
“Baik Ki Lurah,” jawab orang yang berdiri di dekat perigi. Sejenak kemudian orang itu pun telah melangkah ke tempat yang telah dijadikan oleh kawan-kawannya untuk bersembunyi sambil mengamati keadaan.
“Ki Lurah,” berkata orang yang keluar dari dapur setelah kawannya pergi, “Apakah tidak sebaiknya perjalanan Ki Patih ditunda sampai besok? Kita tidak tahu dengan pasti sedang berhadapan dengan siapa dan berapa sebenarnya kekuatan mereka.”
Orang yang dipanggil Ki Lurah itu segera melangkah mendekat. Katanya kemudian, “Ki Patih sendiri yang menghendaki permasalahan ini diselesaikan sampai tuntas malam ini juga. Ketika prajurit sandi yang bertugas di tepian kali Praga tadi sore melaporkan adanya gerakan beberapa orang yang mencurigakan di dalam hutan dekat tepian kali Praga, aku sudah mempunyai gagasan seperti itu. Namun ketika Ki Patih yang baru saja hadir tadi aku beri laporan, Ki Patih menghendaki semuanya harus terungkap secara jelas, agar di lain waktu tidak membuat persoalan semakin besar dan rumit.”
Orang yang diajak bicara oleh Ki Lurah itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah sore tadi seorang prajurit sandi yang bertugas di tepian kali Praga telah memberi laporan kepada Ki Lurah prajurit pengawal Kepatihan di banjar padukuhan induk. Prajurit sandi itu telah melihat adanya gerakan yang mencurigakan dari orang-orang yang berada di dalam hutan dekat tepian kali Praga.
“Berapakah jumlah mereka?” bertanya Ki Lurah kepada prajurit sandi itu.
“Yang terlihat sekitar lima belas orang, namun selebihnya aku tidak tahu karena tidak mungkin bagiku untuk masuk ke dalam hutan lebih dalam lagi,” jawab Prajurit sandi itu, “Aku belum dapat memastikan siapakah mereka sebenarnya. Ada kemungkinannya mereka adalah sisa-sisa pengikut Panembahan Cahya Warastra atau mungkin justru kelompok lain yang berusaha mengail di air yang keruh.”
Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Terima kasih atas laporan ini. Akan aku laporkan kepada Ki Patih jika Ki Patih telah kembali dari kediaman Ki Gede Menoreh. Untuk selanjutnya Kau dapat kembali ke tempat tugasmu. Usahakan untuk selalu mengadakan hubungan dengan kami jika ada perkembangan atau perubahan sewaktu-waktu”
“Baik Ki Lurah,” jawab prajurit sandi itu.
Demikianlah ketika Ki Patih dan rombongannya telah duduk di pendapa beserta orang-orang yang menunggu kehadiran Ki Patih, secara khusus Ki Lurah prajurit pengawal kepatihan segera menghadap dengan cara duduk hanya beberapa jengkal di belakang Ki Patih.
Agaknya Ki Patih tanggap bahwa ada sesuatu hal yang perlu segera mendapatkan perhatian. Maka sambil berpaling ke belakang Ki Patih pun berdesis perlahan, “Apakah ada sesuatu hal yang penting?”
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Lurah sambil beringsut setapak maju dan menghaturkan sembah, “Tadi sore ada prajurit sandi yang telah melaporkan perkembangan di sekitar tepian kali Praga.”
Kemudian Ki Lurah pun secara singkat segera melaporkan perkembangan yang ada di tepian kali Praga.
“Usahakan untuk menyelesaikan masalah ini malam ini juga,” perintah Ki Patih tetap dengan suara berbisik kepada Ki Lurah, “Perjalanan ini tidak boleh ditunda. Berikan kesan kepada mereka bahwa kita tetap kembali ke kota Raja malam ini sehingga kita segera tahu siapa sebenarnya mereka dan apa tujuannya.”
“Sendika Ki Patih,” berkata ki Lurah kemudian sambil beringsut mundur.
Demikianlah akhirnya ketika para prajurit yang sedang berjaga di banjar padukuhan induk malam itu melihat ada dua orang yang mencurigakan sedang mendekati dinding belakang banjar, Ki Lurah pun kemudian memerintahkan untuk membuat kesan bahwa Ki Patih tetap pada rencana semula untuk kembali ke kota Raja malam itu juga.
Dengan menyebarkan sebagian prajuritnya bersembunyi di halaman belakang banjar, Ki Lurah sendiri ternyata telah turun tangan untuk mengamati keadaan dan menunggu kedua orang yang mereka curigai itu memasuki halaman belakang banjar.
Demikianlah akhirnya usaha Ki Lurah dan anak buahnya dalam memberikan kesan kepada kedua orang yang menyusup ke halaman belakang banjar dapat dikatakan berhasil, menilik kedua orang yang dicurigai itu telah meninggalkan tempat.
Dalam pada itu, di pendapa agaknya Ki Patih telah memberikan titahnya.
“Ki Gede Ental Sewu,” berkata Ki Patih, “Setelah mendengarkan tujuan kalian ke Menoreh ini untuk mencari Ki Jayaraga dan bukan semata-mata bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra, aku berjanji akan membantu kalian mengajukan pertimbangan kepada Sinuhun Panembahan Hanyakrawati untuk memohon keringanan atas kesalahan kalian terhadap Mataram,” Ki Patih berhenti sejenak sambil memandang ke arah Ki Gede Ental Sewu yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lanjutnya kemudian, “Namun dengan demikian bukan berarti kalian bebas dari segala tuduhan. Pernyataan kalian untuk bersetia kepada Mataram masih harus diuji.”
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Gede Ental Sewu, “Perguruan Ental Sewu di lereng Gunung Sindoro siap menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan oleh pemerintahan Mataram. Namun permohonan kami pribadi, ijinkanlah kami meluruskan permasalahan perguruan kami dengan Ki Jayaraga agar tidak ada lagi syak wasangka di antara kami.”
“Itu urusan Ki Gede,” sahut Ki Patih cepat, “Namun semua itu dapat ki Gede lakukan setelah urusan Ki Gede dengan Mataram selesai. Untuk itu aku akan membawa Ki Gede dan kedua muridmu malam ini juga bersama-sama dengan prajurit pengawal Kepatihan menuju ke Kota Raja. Untuk selanjutnya nanti terserah kepada Sinuhun Panembahan Hanyakrawati untuk mengabulkan permohonanmu.”
Sejenak wajah Ki Gede Ental Sewu memerah. Namun hanya sekejap wajah itu kembali tampak pasrah dan ikhlas menerima keputusan Ki Patih Mandaraka.
“Hamba Ki Patih,” berkata Ki Gede Ental Sewu kemudian sambil menghaturkan sembah, “Kami akan menjunjung tinggi setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintahan Mataram.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Jayaraga yang duduk di sebelah Ki Gede Menoreh hanya dapat menarik nafas dalam-dalam dengan kepala tertunduk.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sebelumnya kami mohon ijin untuk memperkenalkan sepasang suami istri yang ikut menghadap Ki Patih malam ini,” Ki Gede Menoreh berhenti sejenak. Kemudian sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah laki-laki dan perempuan yang rambutnya sudah putih semua itu, Ki Gede melanjutkan kata-katanya, “Sepasang suami istri itu adalah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati beserta anak-anak angkat mereka.”
Sejenak Ki Patih mengangkat alisnya sambil melemparkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang duduk di sekitar sepasang suami istri itu. Tanyanya kemudian sambil tersenyum, “Sebanyak itu?”
“Ampun Ki Patih,” Ki Citra Jati lah yang dengan serta merta menyahut sambil menyembah, “Tiga orang gadis-gadis inilah anak angkat kami, sedangkan Mlayawerdi ini termasuk paman mereka,” Ki Citra Jati berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia melanjutkan, “Sedangkan keenam gadis-gadis yang duduk di belakang kami adalah para anak murid perguruan Pamulatsih.”
“Perguruan Pamulatsih?” ulang Ki Patih dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah perguruan itu tidak menerima murid kecuali perempuan?”
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Citra Jati sambil berpaling ke arah salah satu murid perguruan Pamulatsih yang duduk di belakangnya.
Salah satu murid perguruan Pamulatsih yang berwajah bulat dan bertahi lalat di dagu segera beringsut maju. Katanya kemudian setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu, “Ampun Ki Patih, hamba mewakili saudara-saudara seperguruan, mohon ijin menyampaikan permohonan kami.”
“Katakan,” sahut Ki Patih cepat.
Untuk sejenak gadis berwajah bulat itu justru telah membeku. Ketika saudara seperguruannya yang duduk di sebelahnya menggamit, baru lah dengan suara sedikit bergetar dia berkata, “Mohon ampun Ki Patih. Perguruan Pamulatsih telah bersalah membantu Panembahan Cahya Warastra. Untuk itu kami murid-murid Perguruan Pamulatsih dengan penuh kesadaran telah menyerahkan diri,” gadis itu berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering. Lanjutnya kemudian, “Guru kami Nyi Ayu Rahutri telah tewas dalam pertempuran kemarin. Jika Ki Patih mengijinkan, mohon dapatlah kiranya jasad Nyi Ayu Rahutri kami semayamkan di padepokan Pamulatsih.”
Untuk beberapa saat Ki Patih terdiam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh, akhirnya Ki Patih pun bertanya, “Siapakah yang bertanggung jawab atas perguruan Pamulatsih sepeninggal Nyi Ayu Rahutri?”
Ki Gede Menoreh yang merasa mendapat pertanyaan dari Ki Patih justru sejenak telah menjadi bingung. Tanpa sadar Ki Gede Menoreh pun kemudian telah berpaling ke arah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
“Ampun Ki Patih,” Nyi Citra Jati yang merasa bertanggung jawab atas keenam murid perguruan Pamulatsih itu segera menyembah sambil membungkukkan badan dalam-dalam. Katanya kemudian, “Hamba yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini, Ki Patih. Hamba telah membujuk mereka untuk menyerah sepeninggal Nyi Ayu Rahutri. Bahkan hamba berkeinginan untuk mempersaudarakan mereka berenam dengan anak-anak kami.”
Kembali Ki Patih mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepala, Ki Patih akhirnya berkata, “Baiklah. Untuk perguruan Pamulatsih aku serahkan pengawasannya kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Mewakili pemerintahan Mataram, aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian dalam menghadapi pasukan Panembahan Cahya Warastra kemarin. Dan sekali lagi pemerintahan Mataram membutuhkan bantuan kalian untuk mengawasi perguruan Pamulatsih.”
Orang-orang yang hadir di pendapa itu tampak mengangguk-angguk. Sepeninggal Nyi Ayu Rahutri mereka memang beranggapan bahwa kekuatan perguruan Pamulatsih telah jauh menyusut. Yang tertinggal hanyalah murid-muridnya yang berada pada tataran yang masih jauh di bawah guru mereka.
“Nah,” berkata Ki Patih kemudian, “Kalian murid-murid perguruan Pamulatsih selanjutnya akan berada di bawah bimbingan Nyi Citra jati. Jika kalian berkeinginan mengebumikan jasad Nyi Ayu Rahutri itu di padepokan kalian, sebaiknya kalian membicarakannya terlebih dahulu dengan Nyi Citra Jati. Bukankah padepokan kalian terletak jauh di sebuah pulau kecil di ujung timur pulau Jawa? Pertimbangkanlah baik-baik masalah ini sebelum kalian memutuskannya.”
Kembali orang-orang yang berada di pendapa itu mengangguk-angguk.
Demikianlah akhirnya pertemuan di pendapa itu telah selesai. Ki Patih sejenak telah menyempatkan diri pergi ke pakiwan. Sedangkan Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya segera berkemas untuk mengikuti perjalanan Ki Patih kembali ke kota Raja. Sementara Ki Citra jati dan Nyi Citra Jati telah mengajak anak-anak angkatnya beserta keenam murid perguruan Pamulatsih kembali ke rumah yang sementara ini mereka gunakan sebagai tempat tinggal.
Dalam pada itu di dalam hutan dekat tepian Kali Praga, tampak telah berkumpul orang-orang yang berwajah keras, sekeras batu padas di gerojokan. Seorang yang berperawakan tinggi tegap dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya tampak sedang membangunkan seseorang yang sedang tidur mendengkur bersandaran sebatang pohon. Orang itu terlihat sudah sangat tua sekali. Tubuhnya kecil bahkan cenderung agak bongkok. Namun yang membuat orang tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya itu dadanya tergetar hebat adalah ketika pandangan matanya menangkap sebilah keris yang tampak terselip di lambung kiri orang tua renta itu, keris Kanjeng Kiai Sarpasri.
“Luar biasa,” desis orang tinggi besar itu dalam hati, “Eyang Guru baru saja tiba beberapa saat tadi menjelang sirep bocah. Bagaimana mungkin keris Kanjeng Kiai Sarpasri ini sudah kembali kepadanya?”
Namun orang tinggi besar itu tidak terlalu lama merenungi keris yang terselip di lambung kiri orang yang disebut Eyang Guru itu. Dengan perlahan orang tinggi besar itu segera berjongkok dan menyentuh kaki orang yang disebut Eyang Guru itu.
“Eyang Guru?” perlahan orang tinggi besar itu berdesis sambil menyentuh kaki Eyang Guru, “Petugas sandi kita telah datang dan mengabarkan bahwa malam ini juga Ki Patih Mandaraka akan kembali ke kota Raja.”
Eyang Guru itu ternyata tidak bergerak sama sekali. Bahkan suara dengkurnya terdengar menjadi semakin keras.
Sejenak orang tinggi besar itu ragu-ragu. Ada perasaan segan untuk kembali membangunkan Eyang Guru. Namun waktu telah berjalan terus dan malam telah mendekati pusatnya.
Ketika orang tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya itu kemudian bangkit berdiri, tiba-tiba saja seseorang telah menggamitnya dari belakang.
Dengan cepat dia kemudian memutar tubuhnya, tampak seseorang sedang berdiri termangu-mangu di hadapannya.
“Rombongan Ki Patih telah mendekati kelokan jalan di pinggir hutan itu,” berkata orang yang menggamitnya itu kemudian.
Orang tinggi besar itu tidak menjawab. Sejenak dia menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Eyang Guru yang masih terlihat tidur pulas bersandaran sebuah pohon.
“Apakah sebaiknya kita menyergap rombongan itu di padang perdu yang luas sebelum jalan menurun menuju ke tepian?” bertanya orang tinggi besar itu akhirnya.
Namun sebelum kawannya menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa lirih di belakang mereka.
Serentak kedua orang itu berpaling. Ternyata Eyang Guru itu telah duduk bersila di bawah pohon tempatnya bersandar. Sambil tetap terkekeh, Eyang Guru itu pun kemudian berkata, “Apakah kalian ingin membunuh diri?”
“Maksud Eyang Guru?” hampir bersamaan kedua orang itu bertanya sambil berlutut dan kemudian duduk bersila di hadapan Eyang Guru.
Eyang Guru sejenak memandang kedua orang yang telah duduk bersila di hadapannya. Katanya kemudian, “Orang dari Sela itu terlalu pengecut untuk pulang ke kota Raja hanya dengan pengawalnya. Ki Gede Menoreh dan para pengawal Tanah Perdikan ternyata telah mengawal rombongan itu,” Eyang Guru berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Selain itu di tepian kali Praga juga telah menunggu pasukan yang cukup besar jumlahnya. Dengan sekali isyarat, mereka akan berdatangan ke padang perdu itu untuk membantai kalian.”
Kedua orang yang duduk di hadapan Eyang Guru itu hampir bersamaan telah mengerutkan kening. Hampir saja terloncat sebuah pertanyaan dari mulut mereka. Namun mereka segera menyadari, tentu Eyang Guru mereka itu lebih tahu dari pada para petugas sandi.
“Jadi, bagaimana selanjutnya Eyang Guru? Dimanakah sebaiknya kita mencegat rombongan Ki Patih?” bertanya orang yang tinggi tegap itu kemudian.
Untuk beberapa saat Eyang Guru terdiam. Sambil menebarkan pandangan matanya ke sekitarnya, Eyang Guru pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Agaknya malam ini kita kurang beruntung. Orang dari Sela itu terlalu pengecut untuk menghadapi perang tanding beradu dada denganku. Kita masih banyak kesempatan di lain waktu.”
Selesai berkata demikian, tanpa mempedulikan kedua orang yang masih duduk bersila di atas tanah yang lembap, Eyang Guru pun kemudian melangkah menerobos lebatnya hutan menuju ke arah timur.
Kedua orang yang sedang duduk bersila di atas tanah yang lembap itu hanya dapat saling pandang. Namun mereka berdua tidak berani membantah keputusan yang telah dibuat oleh Eyang Guru mereka. Maka keduanya pun kemudian segera berdiri dan memberi isyarat kepada kawan-kawan mereka yang sedang bersembunyi di dalam hutan itu untuk segera bergerak ke arah timur mengikuti Eyang Guru mereka.
Dalam pada itu Ki Patih dan rombongannya telah mencapai kelokan jalan setapak yang menjelujur di pinggir hutan sebelah utara padukuhan induk. Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga beserta sekelompok pengawal Menoreh ternyata telah menyertai perjalanan Ki Patih sampai ke tepian kali Praga.
“Jalan-jalan akan semakin ramai jika hutan di sebelah timur ini mulai dibuka untuk sebuah padukuhan, Ki Gede,” berkata Ki Patih yang berkuda di sebelah kanan Ki Gede Menoreh.
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede Menoreh, “Memang kami telah berencana untuk membuka sebagian hutan sebelah timur ini untuk sebuah padukuhan. Dengan demikian hubungan antara penyeberangan kali Praga dan Padukuhan kecil yang berada di sebelah utara Padukuhan induk tidak terputus. Selama ini hanya jalan setapak di tepi hutan inilah yang menjadi jalan penghubung.”
Ki Patih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesekali pandangan matanya terlempar jauh ke depan, ke kegelapan yang membentang seolah tak berujung.
“Apakah sudah ada tanda-tanda kehadiran mereka?” tiba-tiba Ki Patih berbisik kepada Ki Lurah Prajurit pengawal Kepatihan yang berkuda beberapa langkah di belakangnya.
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Lurah sambil sedikit memacu kudanya ke depan mendekati Ki Patih, “Menurut berita dari prajurit sandi sore tadi, mereka berada di ujung hutan dekat tepian kali Praga. Menurut hemat hamba, mereka tidak akan mungkin menyerang rombongan ini di dekat tepian, karena Ki Tumenggung Tirtayudha telah menempatkan sepasukan prajurit Jalamangkara di sekitar tepian.”
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sambil mengerutkan kening. Berbagai pertimbangan memang sempat bergolak dalam dada orang yang semasa mudanya bergelar Ki Juru Mertani itu. Ada keinginan untuk segera mengetahui siapakah sebenarnya sekelompok orang yang berada di ujung hutan dekat tepian itu? Namun dengan pengamanan yang telah dilakukan oleh Ki Tumenggung Tirtayudha sepanjang perjalananya, kemungkinannya sangat kecil jika sekelompok orang-orang yang tak di kenal itu akan mencegat perjalanannya.
Sebenarnya Ki Patih telah memerintahkan untuk memancing sekelompok orang tak dikenal itu sore tadi kepada Ki Lurah prajurit pengawal Kepatihan. Namun agaknya Ki Tumenggung Tirtayudha yang memegang kendali pengamanan perjalanannya sampai ke kota Raja tidak mau mengambil tindakan gegabah.
“Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan trah Sultan Demak itu?” berkata Ki Patih dalam hati sambil terus memacu kudanya dengan derap yang ajeg, “Ki Ajar Serat Gading telah menyebutnya. Jika memang ada sekelompok orang yang sedang memperjuangkan trah Sultan Demak untuk kembali bertahta di negeri ini, sebenarnya lah mereka hanya bermimpi di siang hari.”
Kembali pandangan mata Ki Patih terlempar jauh ke arah kegelapan di hadapannya. Ingatannya kembali ke masa kerajaan Pajang masih tegak berdiri. Sejak Ki Gede Pemanahan memutuskan untuk meninggalkan istana Pajang dan membuka alas Mentaok, Ki Patih Mandaraka yang pada waktu itu masih bergelar Ki Juru Mertani sudah dapat merasakan akan adanya perpecahan dan persaingan yang sangat tajam dalam memperebutkan kekuasaan di negeri ini.
Tanpa terasa kaki-kaki kuda rombongan Ki Patih itu telah mulai melintasi padang perdu yang cukup luas. Untuk beberapa saat mereka dapat memacu kuda-kuda mereka lebih cepat. Setelah mencapai jalan yang sedikit menurun, mulailah kaki-kaki kuda mereka menginjak tanah yang sedikit berpasir pertanda bahwa rombongan Ki Patih itu telah mendekati tepian kali Praga.
Tanpa sadar, hampir setiap orang yang ada dalam rombongan itu telah menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya kekhawatiran yang selama ini menghantui perjalanan mereka telah sirna. Ki Patih dan para prajurit pengawal Kepatihan akan segera menyeberangi kali Praga dengan pengawalan ketat sepasukan prajurit Jalamangkara.
Beberapa prajurit yang berjaga di tepian itu segera menyambut kedatangan rombongan Ki Patih. Kuda-kuda mereka telah dipisahkan dan dinaikkan ke rakit khusus serta dijaga oleh beberapa prajurit. Sedangkan ki Patih dan Ki Tumenggung Tirtayudha serta Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya akan berada dalam satu rakit. Sementara para prajurit pengawal Kepatihan berada di rakit yang lain.
“Terima kasih Ki Gede Menoreh,” berkata Ki Patih kepada Ki Gede yang bediri beberapa langkah di depan Ki Patih sambil memegangi kendali kudanya, “Atas nama Mataram, aku mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dharma bhakti yang ditunjukkan Tanah Perdikan Menoreh kepada pemerintahan Mataram.”
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede Menoreh sambil membungkuk, “Demi tegaknya panji-panji kebesaran Mataram di atas tanah ini, kami para penghuni Tanah Pedikan Menoreh rela berkorban jiwa dan raga.”
Ki Patih tersenyum mendengar janji kepala tanah Perdikan Menoreh itu. Katanya kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga, “Atas nama Mataram, aku juga mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Jayaraga selama ini.”
“Sendika Ki Patih,” jawab Ki Jayaraga sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, “Hamba bukanlah orang yang pantas mendapatkan perlakuan khusus. Hamba tidak lebih dari salah satu penghuni tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Ki patih tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh yang mampu membakar hutan dan mengeringkan lautan.”
Sejenak ki Jayaraga mengerutkan keningnya mendengar kelakar Ki Patih. Katanya kemudian, “Ampun ki Patih, hamba tidak berani membakar hutan karena selain akan dapat menimbulkan banjir, tentu ki Gede Menoreh tidak akan pernah mengijinkan. Sedangkan untuk mengeringkan lautan hamba tidak tahu harus memakai alat apa.”
Orang-orang yang mendengar kelakar ki Jayaraga pun tidak dapat menahan tawa mereka.
“Baiklah,” berkata Ki Patih kemudian, “Semoga disisa perjalanan malam ini tidak ada satu pun aral yang melintang.”
“Hamba Ki Patih,” hampir bersamaan orang-orang yang berada di tepian itu menjawab.
Demikianlah akhirnya rombongan Ki Patih segera menaiki rakit masing-masing, sedangkan Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh segera bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk.
Ketika Ki Patih mulai menaiki rakit dan menyeberangi kali Praga yang airnya tampak kehitam-hitaman dalam kegelapan malam, lamat-lamat dari padukuhan kecil di seberang kali Praga terdengar suara kentongan dipukul dengan nada dara muluk yang menandakan bahwa malam telah sampai pada pusatnya.
“Kita akan sampai di kota Raja menjelang dini hari,” berkata Ki Patih kepada Ki Tumenggung Tirtayudha yang berdiri di sebelahnya.
“Sendika Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung, “Memang kita tidak mungkin berpacu terlalu cepat di malam hari melewati padukuhan-padukuhan. Apalagi jika kita sudah memasuki kota Raja, akan dapat menimbulkan kegelisahan kepada para penghuni kota Raja, dan bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kesalah pahaman dengan para prajurit yang sedang bertugas.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ketika Ki Patih kemudian melemparkan pandangan matanya ke seberang, tampak dalam gelapnya malam sepasukan prajurit telah siap menyambutnya.
“Pengawalan yang berlebihan,” desis Ki Patih perlahan. Namun desis yang hanya perlahan itu ternyata telah membuat Ki Tumenggung Tirtayudha mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Ampun Ki patih,” berkata Ki Tumenggung kemudian, “Kami tidak mau mengulangi kesalahan yang telah terjadi di tanah pekuburan pagi tadi. Perang tanding itu seharusnya tidak perlu terjadi karena keselamatan Ki Patih di atas segala-galanya. Kami tidak ingin kejadian itu terulang lagi malam ini. Kekuatan lawan belum dapat kita jajagi sepenuhnya sehingga kami telah memilih langkah pengamanan terlebih dahulu.”
Ki Patih tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tampak terangguk-angguk. Agaknya ki Patih dapat mengerti jalan pikiran ki Tumenggung yang lebih memilih keselamatan dirinya dari pada membuat permainan yang ujung-ujungnya akan menghadapkan dirinya untuk berperang tanding dengan lawan yang belum diketahui kekuatannya.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga beserta para pengawal sedang dalam perjalanan kembali dari tepian kali Praga menuju ke padukuhan induk. Mereka berkuda dengan kecepatan sedang agar tidak menimbulkan kesan yang mendebarkan kepada orang-orang yang mungkin sempat berpapasan atau para peronda yang sedang nganglang. Ketika samar-samar dalam kegelapan malam lampu dlupak yang terangkut di pojok regol padukuhan induk yang baru diperbaiki siang tadi mulai terlihat, mereka segera memperlambat laju kuda mereka.
Beberapa pengawal yang sedang berjaga di gardu di sebelah regol itu segera berloncatan ke tengah regol dengan penuh kewaspadaan. Namun ketika rombongan itu semakin dekat dan mereka dapat melihat dengan jelas siapakah yang berkuda di paling depan, dengan segera para pengawal itu pun kemudian berloncatan menepi.
“Selamat malam Ki Gede,” berkata para pengawal itu serempak sambil membungkuk ketika rombongan Ki Gede lewat di depan mereka.
“Selamat malam,” jawab Ki Gede sambil tersenyum dan berpaling ke arah para pengawal yang berdiri berjajar-jajar di depan gardu, “Apakah semuanya baik-baik saja?”
“Demikianlah Ki Gede,” jawab pengawal yang tertua yang berdiri di paling ujung sambil mengangguk.
Sejenak kemudian rombongan itu telah bergerak menuju ke Banjar Padukuhan induk.
“Ki Gede,” bertanya Ki Jayaraga sambil berkuda di sebelah kiri Ki Gede. “Apakah tidak sebaiknya kita langsung saja kembali ke kediaman Ki Gede?”
Ki Gede tersenyum sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga. Jawabnya kemudian, “Aku ingin melihat keadaan para pengawal yang sedang di rawat terlebih dahulu. Selain itu kita perlu menanyakan kepada Kiai Sabda Dadi, apakah dia ingin tinggal di padukuhan induk ini, ataukah akan kembali bersama-sama kita.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Orang itu telah banyak berjasa kepada Tanah Perdikan ini. Kiai Sabda Dadi datang ke Tanah Perdikan ini dengan berbekal pengetahuan pengobatan yang mumpuni sehingga telah banyak bermanfaat bagi sesama. Berbeda dengan aku yang datang ke tempat ini dengan penuh dendam. Untung lah pada waktu itu ada Kiai Gringsing yang mampu meredam dendam kesumat yang membara di jantung ini. Seandainya saja pada waktu itu tidak ada orang yang mampu menghalang-halangiku, tentu hidupku sampai saat ini masih tetap bergelimang dengan noda dan dosa.”
“Kita wajib bersyukur, Ki,” berkata Ki Gede menanggapi kata-kata Guru Glagah Putih itu, “Apapun rencana manusia, kehendak Yang Maha Agung lah yang berlaku. Dan kita jangan pernah berhenti memohon yang terbaik bagi kehidupan bebrayan ini.”
Tanpa terasa rombongan berkuda itu telah sampai di depan regol banjar Padukuhan induk. Beberapa pengawal yang berjaga segera menyambut tali kendali kuda-kuda itu begitu Ki Gede dan Ki Jayaraga telah meloncat turun.
Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang gelisah di pembaringan. Telah berkali-kali dicobanya untuk memejamkan mata, namun berbagai bayangan selalu saja hilir mudik di rongga matanya sehinga membuat suami Sekar Mirah itu gelisah.
“Kakang,” bisik Sekar Mirah yang duduk di tepi pembaringan sambil memijat-mijat kaki suaminya, “Apakah ada sesuatu yang sedang menjadi beban pikiran Kakang sehingga Kakang terlihat sangat gelisah?”
Ki Rangga menarik nafas dalam dalam sambil pandangan matanya menatap langit-langit bilik. Katanya kemudian, “Mirah, waktu sudah lewat tengah malam, sebaiknya Kau segera beristirahat. Tingalkan aku sendiri. Aku akan baik-baik saja. Bukankah sewaktu-waktu Bagus Sadewa memerlukan kehadiranmu?”
Sekar Mirah tersenyum. Setiap kali teringat akan anaknya, selalu saja hati putri satu-satunya Ki Demang Sangkal Putung itu berdesir tajam. Sebuah desir kebahagiaan dan rasa syukur yang tiada terkira atas karunia dari Sang Maha Pencipta justru di saat usianya menjelang senja telah dikaruniai seorang putra.
Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian, “Sore tadi aku telah memberinya minum sepuas-puasnya. Tampaknya dia tidur lelap sekali ditunggui Damarpati dan Rara Wulan. Biasanya menjelang ayam jantan berkokok yang pertama dia akan terbangun dan menangis minta minum.”
Ki Rangga tersenyum sambil memandang ke arah istrinya dengan pandangan mata penuh kasih sayang. Betapa kehidupan yang berliku telah mereka jalani bersama. Betapa rasanya sangat jauh bagi dirinya untuk merengkuh hati Sekar Mirah pada saat awal-awal mereka membangun rumah tangga. Betapa ketinggian hati adik saudara seperguruannya itu serta kebiasaan hidup dalam gelimang kemewahan kadang telah menimbulkan perdebatan yang panjang dan tak berkesudahan tentang masa depan mereka berdua.
“Kakang, apakah kita akan menghabiskan umur kita di Padepokan yang sepi ini selama-lamanya?” bertanya Sekar Mirah pada waktu itu, “Padepokan yang sama sekali tidak dapat menjanjikan apa-apa bagi masa depan kita.  Padepokan yang tidak lebih dari tempat penampungan bagi orang-orang malas dan tanpa gairah dalam menyongsong masa depan.”
“Ah,” tanpa sadar Ki Rangga telah berdesah perlahan sambil melemparkan pandangan matanya ke langit-langit. Masa yang telah lalu itu terasa sangat menyesakkan dada. Masa-masa yang penuh dengan perjuangan dan liku-liku kehidupan.
Sekar Mirah yang sedari tadi memperhatikan suaminya segera bertanya, “Ada apa Kakang?”
“O, tidak ada apa-apa Mirah,” jawab Ki Rangga dengan serta merta. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga mencoba meredakan getaran dalam dadanya yang tiba-tiba saja bergejolak lagi.
“Isyarat itu datang lagi,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Aku harus segera meminta petunjuk kepada Ki Waskita.”
“Mirah,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita. Pergilah ke regol depan dan mintalah tolong kepada salah satu pengawal yang sedang berjaga di sana untuk memberitahu Ki Waskita.”
Sejenak Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah masalah itu begitu pentingnya, kakang? Sehingga perlu membangunkan Ki Waskita yang mungkin sedang beristirahat?”
Untuk beberapa saat Ki Rangga terdiam. Namun ketika kembali sebuah desir tajam terasa menusuk jantungnya, Ki Rangga pun sudah tidak dapat menunda lagi untuk segera menyampaikan apa yang sedang dialaminya itu kepada Ki Waskita.
“Pergilah ke regol depan Mirah, saat ini aku benar-benar membutuhkan bantuan Ki Waskita.”
Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian sambil bangkit dari bibir pembaringan, “Baiklah Kakang, aku akan pergi ke regol depan. Sekalian aku mohon pamit untuk menengok Bagus Sadewa.”
Ki Rangga tidak menjawab hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk.
Dalam pada itu, di bawah siraman sinar bulan tua yang suram, berpuluh-puluh orang tampak bergerak dengan cepat melintasi padang-padang perdu serta tanah-tanah pesawahan yang kering. Gerakan mereka sangat cepat serta teratur. Mereka bergerak di antara bayangan gerumbul perdu dan pepohonan serta sesekali harus berlindung di balik tanggul-tanggul tinggi  dan parit-parit yang dalam jika berpapasan dengan para pengawal yang sedang meronda. Mereka sengaja melewati jalan-jalan pintas dan tidak melewati jalur jalan seperti biasanya agar segera dapat mencapai tempat tujuan sebelum ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya.
“Masih cukup waktu untuk mencapai kediaman Ki Gede Menoreh sebelum dini hari,” desis salah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya.
“Kita memang harus berpacu dengan waktu,” jawab kawan di sebelahnya sambil meloncati parit yang cukup dalam, “Sebelum rombongan Ki Gede mencapai regol halaman rumahnya sendiri, seluruh penghuni rumah itu harus sudah terbujur menjadi mayat.”
Orang yang bergelang besi itu tersenyum sambil terus berlari menyusup di antara gerumbul perdu dan berlindung di balik batang-batang pohon yang tumbuh menjulang. Katanya kemudian, “Di manakah Eyang Guru?”
Kawannya tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Sepertinya Kau belum mengenal tabiat Eyang Guru. Dia datang dan pergi sesuka hatinya,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin sebelum kita mencapai dinding pembatas rumah Ki Gede, Eyang Guru pasti sudah berada di dalam bilik Ki Rangga dan membunuh agul-agulnya Mataram itu dengan tanpa kesulitan sama sekali.”
Orang yang bergelang besi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai cerita tentang kesaktian Eyang Guru mereka itu memang telah tersebar luas di antara sisa-sisa murid perguruan Nagaraga yang sempat meloloskan diri pada saat pasukan Mataram meluluh lantakan perguruan itu.
“Orang bercambuk yang membunuh Kiai Nagaraga itu sekarang sudah tidak ada lagi,” berkata orang bergelang besi itu dalam hati sambil terus berlari, “Sebagai gantinya Ki Rangga Agung Sedayu sebagi murid utama perguruan bercambuk telah muncul dengan kemampuan ilmunya yang ngedab-edabi. Namun aku yakin, kemampuannya tidak akan melebihi kemampuan Eyang Guru. Apalagi dia sekarang sedang dalam keadaan sakit setelah berperang tanding melawan Panembahan Cahya Warastra. Membunuhnya hanya memerlukan waktu suwe mijet wohing ranti.”
 Mereka kini mulai menyusup padukuhan  induk dari arah timur. Dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan mereka melintasi lorong-lorong gelap dan sepi. Sesekali mereka bahkan harus meloncati dinding-dinding pembatas rumah dan menyeberangi halaman-halaman untuk segera mencapai rumah Ki Gede melalui jalan pintas.
Dalam pada itu di bilik Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Waskita tampak duduk terpekur di atas sebuah dingklik kayu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sementara di pembaringan ki Rangga pun sedang melakukan hal yang sama.\
“Kau benar ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil menarik nafas dalam dalam dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Kita harus bertindak cepat sebelum badai itu melanda seisi rumah ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu yang juga telah melepaskan pemusatan nalar dan budinya itu segera menyahut, “Aku mohon Ki Waskita segera memberitahu Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara biarlah Sekar Mirah menemani aku di dalam bilik ini.”
Ki Waskita mengangguk sambil berkata, “Bersyukurlah ngger, Kau telah menerima karunia yang tak terkira. Angger telah diberi kemampuan untuk membaca dan mengurai isyarat tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang, namun dengan sepenuh kesadaran bahwa semua itu tidak mendahului kehendak Sang Maha Pencipta,” Ki Waskita berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Kadang orang-orang mempunyai penafsiran yang salah tentang karunia ini. Apa yang tampak dalam  mata hati kita hanyalah sebuah isyarat. Untuk mengurai isyarat tersebut diperlukan hati yang bening, sebening air dalam belanga yang tenang sehingga akan terlihat apa saja yang berada di dasar belanga tersebut.”
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak termangu. Tanyanya kemudian, “Ma’afkan aku Ki Waskita. Apakah ki Waskita dapat memberi aku sedikit petunjuk bagaimanakah caranya agar hati kita ini selalu dalam keadaan bening?”
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya kemudian dengan las lasan dan jelas, “Jangan pernah berhenti bibirmu basah dalam mengingat dan menyebut  Asma Yang Maha Agung.”
Ki Rangga Agung Sedayu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas panjang. Sesungguhnyalah dengan setiap saat mengingat kepada Sang Maha Pencipta hati ini akan menjadi tentram.
“Baiklah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan membangunkan Glagah Putih dan para pengawal yang sedang tidak berdinas jaga. Mereka tidur di gandhok kanan. Akan aku usahakan semua persiapan ini tetap dalam keadaan senyap seolah-olah kita belum mengetahui kedatangan mereka.”
“Terima kasih, Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Pandan Wangi sebaiknya juga diberitahu. Semoga lukanya sudah tidak banyak berpengaruh.”
Ki Waskita tidak menjawab hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dan melangkah keluar dari bilik.
Dalam pada itu di padukuhan induk Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga sedang menjenguk beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dalam perawatan Kiai Sabda Dadi.
“Apakah lukanya cukup parah Kiai?” bertanya Ki Gede sambil mengamat-amati seorang pengawal yang sedang terbaring di sebuah amben bambu yang sederhana. Pengawal itu kelihatannya menderita luka di pundak kirinya.
“Sebenarnya lukanya tidak begitu parah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil meraba daerah di sekitar luka yang tampak membengkak, “Yang aku kawatirkan adalah ada salah satu urat yang berada di sekitar luka ini yang terputus sehingga mengakibatkan tangan kiri pengawal ini agak sulit untuk digerakkan.”
“Apakah memang demikian yang Kau rasakan sekarang ini?” bertanya Ki Gede kepada pengawal yang terluka itu.
“Benar Ki Gede,” jawab pengawal itu sambil meringis menahan sakit ketika Kiai Sabda Dadi mencoba menekan beberapa tempat di sekitar luka itu.
Ki Gede sejenak menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede dapat merasakan betapa kegelisahan melanda hati pengawal yang terluka itu. Seandainya memang benar ada urat yang terputus, tidak menutup kemungkinan pengawal itu akan mengalami cacat seumur hidup.
Ki Jayaraga yang berdiri di sebelah Ki Gede tiba-tiba saja bertanya, “Apakah ada kemungkinan urat yang terputus itu dapat disambung kembali, Kiai?”
Kiai Sabda Dadi tidak segera menjawab. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah dia menjawab pertanyaan Ki Jayaraga, “Kemungkinan itu memang ada, Ki. Namun aku harus membedah lagi luka yang sudah menutup ini. Seandainya kemudian urat itu dapat aku sambung kembali, tentu diperlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kekuatan urat itu seperti sediakala.”
Hampir bersamaan kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sekarang kami menunggu keputusan Kia Sabda Dadi. Apakah Kiai akan tetap disini untuk sementara ataukah akan kembali ke kediaman Ki Gede bersama-sama kami malam ini juga?”
Kiai Sabda Dadi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ki Jayaraga. Sambil memandang ke arah Ki Gede, akhirnya Kakek Damarpati itu pun menjawab, “Maaf Ki Gede, sebaiknya aku tinggal di padukuhan induk ini untuk sementara waktu sambil membantu Tabib keprajuritan yang ditugaskan disini untuk merawat para prajurit yang sedang terluka,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menurut pengamatanku keadaan Ki Rangga sudah berangsur membaik sehingga untuk sementara dapat aku tinggal. Memang sangat luar biasa ketahanan tubuh murid orang bercambuk itu. Rasanya baru kemarin dia mendapatkan luka dalam yang cukup parah, namun hanya dalam waktu yang sangat singkat, dari dalam tubuhnya ada semacam kemampuan yang tidak kasat mata yang mampu untuk mengobati dirinya sendiri.”
Ki Gede dan Ki Jayaraga saling berpandangan sambil menahan nafas. Mereka berdua menjadi semakin kagum dengan kemajuan  ilmu Ki Rangga Agung Sedayu yang semakin pesat. Tidak mengherankan jika semasa hidupnya, Panembahan Senapati  selalu memantau perkembangan ilmu adik Untara itu.
“Swandaru akan semakin jauh tertinggal dari kakak seperguruannya,” berkata Ki Gede dalam hati sambil merenung, “Ilmu Ki Rangga Agung sedayu memang semakin ngedab-edabi. Tidak menutup kemungkinan dalam keadaan terluka parah ini pun dia akan meningkatkan ilmunya lagi.”
Sementara ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya telah membandingkan Ki Rangga dengan saudara sepupunya, Glagah Putih yang telah diangkat menjadi muridnya yang terakhir.
“Memang agak berbeda dasar yang dimiliki oleh Ki Rangga dengan Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Ki Rangga mempunyai daya ingat yang luar biasa. Selain itu dalam keadaan apapun Ki Rangga selalu melakukan pengamatan kembali terhadap semua ilmu yang telah di pelajarinya, sehingga semakin hari ilmunya menjadi semakin matang dan meningkat. Namun aku yakin walaupun Glagah Putih tidak memiliki bakat yang luar biasa sebagaimana yang dimiliki oleh kakak sepupunya, kesempatan baginya untuk berkembang masih terbuka luas.”
“Baiklah,” berkata ki Gede kemudian membuyarkan lamunan Ki Jayaraga, “Kita akan segera kembali. Rasa-rasanya hati tua ini kadang digelisahkan oleh sesuatu hal yang tidak ada ujung pangkalnya.”
“Benar Ki Gede,” sahut ki Jayarag dengan serta merta, “Sepertinya kita sedang meninggalkan kanak-kanak bermain di pinggir sungai. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Kiai Sabda Dadi tersenyum mendengar perkataan kedua orang tua itu. Katanya kemudian, “Tapi bukankah mereka yang kita tinggalkan itu sudah bukan kanak-kanak lagi?”
“Ah,” kedua orang tua itu hampir berbareng telah berdesah. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Namun sebaiknya kita tetap berhati-hati dalam keadaan seperti ini. Tidak menutup kemungkinan masih banyak pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berkeliaran di sekitar Tanah Perdikan ini. Atau mungkin justru ada pihak lain yang ingin mengambil keuntungan di saat seperti ini.”
“Ki Jayaraga benar,” ki Gede menambahkan, “Walaupun di rumah ada Ki Waskita, Glagah Putih dan yang lainnya, namun entah apa sebabnya, sedari tadi hatiku menjadi gelisah. Atau mungkin ini hanya perasaan orang tua saja yang sudah mulai mendekati pikun.”
“Ah, tentu tidak Ki Gede,” jawab Kiai Sabda dadi dengan serta merta, “Kegelisahan yang dialami oleh Ki Gede tentu sangat berbeda dengan kegelisahan yang dirasakan oleh orang kebanyakan. Aku sarankan memang sebaiknya Ki Gede dan ki Jayaraga segera kembali.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Berkata Ki Gede kemudian, “Baiklah Kiai, kami berdua segera minta diri. Jika ada sesuatu hal yang sangat penting di padukuhan induk ini, Kiai dapat menghubungi Lurah prajurit yang ditugaskan sementara disini untuk mengirimkan penghubung, demikian juga kami akan melakukan sebaliknya.”
“Baik Ki Gede,” jawab Kiai Sabda dadi sambil melangkah mengantarkan kedua orang tua itu keluar dari rumah yang sedang digunakan sementara untuk balai pengobatan.
Dalam pada itu di regol depan kediaman Ki Gede, para pengawal yang sedang berjaga telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang sudah sangat renta yang seakan-akan muncul begitu saja dari dalam kegelapan dan berjalan tertatih-tatih mendekati regol.
Dalam kesuraman cahaya lampu dlupak yang disangkutkan di kanan-kiri regol, tampak seraut wajah yang sudah penuh dengan keriput. Rambutnya yang putih seperti kapas itu terjulur di bawah ikat kepalanya yang lusuh.
Beberapa pengawal segera turun dari gardu dan melangkah mendekati orang tua renta itu.
“Kek,” sapa salah satu pengawal begitu sampai di depan orang tua renta yang sedang berdiri termangu-mangu di depan regol, “Kakek ini siapa? Dan mengapa malam-malam begini berkeliaran di sini?”
“Huh!” tiba-tiba kakek itu mendengus marah, “Kalian sangka aku ini sebangsa kelelawar yang senang berkeliaran di malam hari, he? Aku datang kesini karena memang ada suatu keperluan!”
Para pengawal yang turun dari gardu itu segera mengerumuni Kakek aneh itu. Pengawal yang tertua segera beringsut maju sambil berkata, “Sudahlah, Kek. Malam sudah hampir menjelang dini hari. Kalau Kakek memang mempunyai keperluan, besok saja kakek datang ke sini lagi. Lebih baik Kakek segera pulang. Biarlah salah satu dari kami akan mengantarkan Kakek sampai ke rumah.”
“Hem,” Kakek itu berdesah perlahan sambil matanya yang kecil hitam itu mengamat-amati satu-persatu para pengawal yang mengerumuninya. Katanya kemudian sambil tersenyum-senyum, “Aku tidak mau diantar kemanapun. Kecuali…”
Kakek tua itu tidak melanjutkan kata-katanya sehingga membuat para pengawal menjadi heran dan saling pandang. Bahkan beberapa diantaranya telah menyangka bahwa Kakek ini agak kurang waras ingatannya.
“Kecuali apa Kek?” bertanya salah seorang pengawal dengan rasa penasaran.
“Kecuali kalian mengantar aku masuk ke rumah ini,” jawab kakek itu sambil tertawa dan menunjuk ke arah rumah Ki Gede.
“Kek,” berkata pengawal tertua itu mencoba sareh, “Kami sedang bertugas jaga, jadi kami tidak ada waktu untuk bermain-main. Lebih baik kakek segera pulang. Salah satu dari kami yang akan mengantar kakek pulang. Mungkin sekarang ini Kakek sedang dicari oleh anak-anak kakek atau barangkali cucu kakek.”
Wajah kakek tua renta itu tiba-tiba menjadi merah padam. Sambil menegakkan tubuhnya yang agak bongkok dan bertolak pinggang, dia membentak, “Aku tidak ingin pulang! Dengar! Sekali lagi aku tidak ingin pulang! Aku ingin menemui Ki Rangga Agung Sedayu agul-agulnya Mataram yang menurut cerita orang-orang sangat sakti mandraguna. Ora tedas papak paluning pandhe, sisaning gurinda. Dibacok mlorok, dibedhil misil, dan ditumbak lakak-lakak.”
Para pengawal yang mendengar permintaan Kakek tua itu menjadi berdebar-debar. Mereka ternyata telah salah sangka. Kakek tua itu ternyata tidak gila. Dengan jelas dia dapat menyebut nama Ki Rangga Agung Sedayu. Mereka mulai berhati-hati dan atas perintah pengawal tertua, salah seorang pengawal dengan diam-diam telah bergeser menjauh untuk melaporkan kejadian aneh di depan regol itu kepada Ki Waskita.
“Nah,” berkata Kakek tua itu selanjutnya, “Apakah kalian semua dapat mengantar aku? Kalau tidak, lebih baik kalian segera menyingkir dari regol. Aku akan masuk dan menemui Ki rangga Agung Sedayu sendirian.”
“Sebentar, Kek!” berkata pengawal yang tertua mencoba mencegah kakek tua itu yang sudah hampir menggerakkan kakinya untuk melangkah, “Ada keperluan apakah kakek ingin menemui Ki Rangga?”
“Itu bukan urusanmu!” bentak kakek tua itu sambil bergerak melangkahkan kakinya. Namun baru saja dia melangkah dua tindak, dengan cepat para pengawal segera mencegah dan mengurungnya.
“He?” kakek itu berseru marah, “Mengapa kalian menghalang-halangi aku?”
“Bukan maksud kami Kek,” jawab pengawal tertua, “Kami hanya ingin tahu keperluan kakek  menemui Ki rangga di waktu yang tidak sewajarnya ini. Kalau memang kakek ada keperluan khusus dan kami tidak diperbolehkan mengetahuinya, sebaiknya kakek kembali besok pagi saja. Ki Rangga sekarang sedang beristirahat dan tidak boleh diganggu.”
Sejenak Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Aku tetap pada pendirianku. Aku akan masuk dan menemui Ki Rangga. Kalian tidak akan mampu menghalang-halangi aku.”
Selesai berkata demikian, kakek tua itu pun kemudian segera meneruskan langkahnya tanpa  menghiraukan lagi para pengawal yang mengerumuninya.
Tentu saja para pengawal tidak  tinggal diam. Mereka berusaha menahan langkah kakek tua itu dengan cara menahan dan mendorong kakek tua itu mundur. Namun alangkah terkejutnya para pengawal itu. Rasa-rasanya mereka telah mendorong seekor gajah yang sedang mengamuk sehingga beberapa pengawal telah terpental mundur.
“Gila!” geram beberapa pengawal, “Kekuatan Kakek ini seperti seekor Gajah!”
Beberapa pengawal yang terpelanting segera bangkit berdiri dan maju kembali untuk ikut menahan langkah kakek tua itu. Namun, betapapun mereka berjuang sekuat tenaga untuk menahan laju langkah kakek tua itu, kembali mereka terpental mundur beberapa langkah bahkan ada yang kembali terpelanting dan jatuh terlentang di atas tanah yang berdebu.
“Gila, gila, gila!” geram pengawal tertua sambil mengerahkan segenap kekuatannya bersama kawan-kawannya menahan tubuh yang terlihat tua dan renta, namun mempunyai kekuatan yang ngedab-edabi.
Sedangkan kakek tua itu tampak sangat menikmati permainan itu. Sambil tertawa-tawa dia melangkah terus. Sesekali dia menggerakkan kedua pundaknya dan kembali beberapa orang dibuatnya jatuh terpelanting.
Demikian lah di saat kegaduhan di depan regol itu sedang terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara berat dan dalam dari arah belakang para pengawal, “Sudahlah, biarkan kakek tua ini aku yang mengurus. Sebaiknya kalian segera bersiap bersama kawan-kawan kalian untuk menyambut tamu-tamu yang mungkin akan segera berdatangan.”
Serempak para pengawal itu berpaling ke belakang. Tampak dalam keremangan sinar lampu dlupak yang tergantung di gardu penjagaan, seseorang sedang berdiri dengan kedua kaki yang renggang dan kedua tangan bersilang di dada.
Bagaikan disengat ribuan kalajengking, para pengawal itu pun menjadi sangat terkejut  begitu mengenali orang yang sedang berdiri di depan gardu penjagaan itu.
“Ki Rangga Agung Sedayu!” hampir bersamaan para pengawal itu telah berseru kaget dengan perasaan heran bercampur gembira. Namun beberapa pengawal justru menjadi ragu-ragu.
“Bukankah Ki Rangga masih tergolek sakit?” pertanyaan itu telah melingkar-lingkar dalam benak mereka.
Sementara kakek tua yang aneh itu sejenak telah membeku di tempatnya begitu para pengawal menyebut nama Ki Rangga Agung Sedayu. Menurut berita yang diterimanya, Ki Rangga Agung Sedayu sedang menderita sakit akibat perang tanding dengan Panembahan Cahya Warastra sekitar dua hari yang lalu. Adalah tidak masuk akal jika dalam waktu sesingkat itu Ki Rangga telah sembuh. Namun kenyataannya sekarang ini Ki Rangga telah hadir di hadapannya.
“Lebih baik kalian segera mempersiapkan diri,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian kepada para pengawal yang masih berdiri termangu-mangu, “Biarlah Kakek ini aku yang mengurus.”
Bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk, para pengawal yang sedang mengerumuni kakek aneh itu segera menyibak untuk memberi jalan kepada Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan langkah perlahan dan satu-satu Ki Rangga pun kemudian melangkah maju sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada.
“Selamat malam Ki Sanak,” sapa Ki Rangga begitu sampai di hadapan Kakek itu, “Apakah ada suatu kepentingan yang sangat mendesak sehingga Ki Sanak ingin bertemu denganku?”
Kakek itu tidak segera menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut, sejenak dipandanginya Ki Rangga Agung Sedayu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah menarik nafas dalam-dalam sambil tertawa kecil, akhirnya Kakek itu pun kemudian berkata, “Sebuah kesombongan yang tiada taranya. Seseorang sedang mencoba menipuku dengan sebuah permainan yang menggelikan. Memang orang kebanyakan dengan mudahnya dapat tertipu oleh permainan bayangan semu yang sempurna ini. Namun bagiku ini tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak yang memuakkan?”
Selesai berkata demikian, tanpa menghiraukan Ki Rangga Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah di depannya, kakek aneh itu pun segera mengayunkan langkahnya memasuki regol rumah Ki Gede Menoreh. Menurut panggraitanya, Ki Rangga Agung Sedayu itu tidak lebih dari sebuah ujud semu dan tidak akan mempunyai pengaruh apa pun terhadap dirinya.
Para pengawal yang masih berdiri di belakang Ki Rangga Agung Sedayu menjadi heran mendengar perkataan kakek tua itu. Mereka memang tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali ujud bayangan semu. Mereka menganggap yang hadir di antara mereka itu memang benar-benar Ki Rangga Agung Sedayu.
Namun ketika kakek tua itu tinggal selangkah lagi di hadapan Ki Rangga Agung Sedayu,  tiba-tiba saja Ki Rangga telah menjulurkan tangan kanannya dan mendorong bahu kiri kakek tua itu.
Pada awalnya Kakek tua itu tidak menghiraukan sama sekali apa yang akan diperbuat oleh ki Rangga. Dalam perhitungannya, apa yang diperbuat oleh Ki Rangga itu tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadapnya.
Namun yang terjadi kemudian benar-benar telah mengejutkannya. Ternyata tangan Ki Rangga yang terjulur itu benar-benar telah menyentuh pundaknya. Namun semuanya telah terlambat. Sebelum dia menyadari kesalahannya, sebuah kekuatan yang dahsyat telah menderanya ke belakang beberapa langkah dan membuatnya hampir saja jatuh terjengkang.
“He?” seru kakek itu sambil terhuyung-huyung ke belakang dengan perasaan heran bercampur kaget. Dia benar-benar tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
Namun dengan sigap kakek itu segera memperbaiki kedudukannya. Setelah dia berhasil  berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang, dicobanya sekali lagi untuk memusatkan segenap nalar dan budinya.
“Gila!” geram kakek itu dalam hati, “Menurut panggraitaku, yang berdiri di depanku ini memang  hanya sebuah bayangan semu, bayangan semu yang benar-benar sempurna. Namun betapapun sempurnanya sebuah bayangan semu, dia  tidak mempunyai kekuatan secara kewadagan untuk menyerang. Kekuatan yang sebenarnya dari bayangan semu adalah mengelabuhi lawan, bukan menyerang. Namun mengapa bayangan semu Ki Rangga ini mampu mendorongku hampir jatuh?”
Untuk sejenak kakek itu menjadi ragu-ragu dengan pengamatannya sendiri. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dadanya.
“Secara pribadi aku memang belum mengenal orang yang bernama Agung Sedayu, apalagi ilmunya” kembali kakek itu berkata dalam hati, “Aku mendengar kedahsyatan ilmunya hanya dari cerita orang. Jika apa yang aku alami beberapa saat tadi itu bukan sekedar mimpi, lawanku kali ini benar-benar diluar perhitunganku.”
Dalam pada itu, ki Rangga yang melihat kakek itu itu telah berdiri tegak, segera melangkah ke depan sambil berkata, “Sudahlah Ki Sanak, tadi Kau mengatakan ingin bertemu denganku dan sekarang aku sudah berada di hadapanmu, mengapa Kau masih terlihat ragu-ragu?”
Sejenak wajah tua itu menjadi merah padam. Katanya kemudian dengan suara yang menggelegar, “Persetan dengan ilmu pengeram-erammu, Ki Rangga. Aku tahu ujud aslimu sekarang ini sedang bersembunyi tidak jauh dari tempat ini. Lambat atau cepat aku pasti akan menemukannya. Dengan menelusuri getaran pancaran ilmumu, dengan sangat mudahnya aku akan dapat menemukan tempat persembunyianmu. Dan dengan Kanjeng Kiai Sarpasri di tanganku, jangan harap Kau masih dapat melihat terbitnya Matahari esok pagi.”
Selesai berkata demikian, kakek tua itu segera menghunus keris yang selama ini terselip di pinggangnya, keris pusaka yang dahsyat tiada taranya, Kanjeng Kiai Sarpasri.
Beberapa pengawal yang masih berada di sekitar regol segera menebar. Mereka tidak ingin terkena lontaran ilmu kedua orang linuwih tersebut yang mungkin dapat berakibat maut.
“Nah, Ki Rangga Agung Sedayu,” berkata orang tua itu kemudian, “Aku yakin dalam samadimu sekarang ini, Kau dapat mendengar suaraku dengan jelas. Dengan kemampuan ilmuku, aku akan menelusuri pancaran getaran ilmumu sehingga dengan mudah aku akan menemukanmu dan membunuhmu,” orang tua itu berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Atau aku akan membenturkan ilmuku dengan pancaran ilmumu. Aku yakin sedikit banyak ilmuku akan mempengaruhi kekuatan yang terungkap lewat samadimu.”
“Tidak semudah itu Ki Sanak,” berkata Ki Rangga sambil mengurai senjatanya, sebuah cambuk berjuntai panjang dengan karah-karah baja di sepanjang ujungnya, “Aku akan dapat menyamarkan pancaran getaran ilmuku kapan saja aku kehendaki, dan itu akan menyulitkan Ki Sanak untuk menelusuri dari mana sumber pancaran ilmuku itu.”
“Omong kosong!” bentak Kakek tua itu sambil mulai menggeser kedudukannya selangkah ke kanan. Sementara tangan kanannya yang memegang keris kanjeng Kiai Sarpasri telah terangkat tinggi-tinggi, “Aku tidak sebodoh itu Ki Rangga. Aku mempunyai seribu satu cara untuk menemukan pusat getaran ilmumu.”
Selesai berkata demikian, Kakek tua itu segera meloncat secepat tatit di udara sambil mengayunkan senjatanya yang tampak membara dalam gelapnya malam.
Dalam pada itu, seorang pengawal tampak sedang berlari menuju ke  samping gandhok  kiri. Dengan tergesa-gesa didorongnya pintu seketeng. Hampir saja dia menabrak kawannya yang akan keluar dari longkangan.
“Di manakah Ki Waskita?” bertanya pengawal itu kepada kawannya.
“Di halaman belakang dengan Glagah Putih,” jawab kawannya itu sambil melangkah keluar pintu seketeng, “Ada keperluan apakah Kau mencari Ki Waskita?”
“Di regol depan sedang ada masalah,” jawab pengawal itu sambil setengah berlari menyusuri longkangan menuju ke halaman belakang.
“Masalah apa?” bertanya kawannya itu kemudian. Namun pengawal itu sudah tidak mendengar pertanyaannya.
Sesampainya di halaman belakang, tampak dalam keremangan malam beberapa orang sedang berkumpul. Di antara mereka tampak Ki Waskita dan Glagah Putih.
“Ki Waskita..!” berkata pengawal itu dengan suara sedikit keras sambil berlari mendekat, “Ada sesuatu yang penting, Ki.”
Ki Waskita yang sedang berbincang dengan Glagah Putih serta beberapa pengawal itu segera berpaling.
“Ada apa?” bertanya Ki Waskita kemudian setelah pengawal dari regol depan itu sampai di hadapannya.
Sejenak pengawal dari regol depan itu mengatur nafasnya yang sedikit tersengal. Katanya kemudian, “Di regol depan telah terjadi kegaduhan. Seorang kakek-kakek memaksa masuk ke kediaman Ki Gede ini untuk menemui Ki Rangga Agung Sedayu.”
Orang-orang yang berada di halaman belakang itu sejenak saling pandang dengan kening yang berkerut-merut. Berkata Ki Waskita kemudian, “Hanya seorang kakek-kakek saja mengapa mesti diributkan?”
“Seorang Kakek yang aneh Ki,” sahut pengawal itu dengan cepat. Kemudian dengan singkat dia melaporkan peristiwa yang telah terjadi di regol depan.
“Aku akan melihatnya,” berkata Ki Waskita kemudian, “Adalah tidak sewajarnya di saat seperti ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Ki Rangga. Kalaupun orang itu mungkin salah satu sahabat Ki Rangga, tentu dia masih menjunjung tinggi suba sita dan tidak memaksakan kehendak untuk bertemu Ki Rangga di saat seperti ini.”
Pengawal dari regol depan itu menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi tenang begitu mendengar ki Waskita sendiri yang akan datang ke regol.
“Marilah,” berkata Ki Waskita kemudian kepada pengawal itu, “Kita menuju ke regol depan.”
Namun baru saja Ki Waskita akan melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja mereka yang berada di halaman belakang itu telah dikejutkan oleh bunyi ledakan cambuk yang menggelegar memecah udara malam yang sepi.
“Kakang Agung Sedayu!” seru Glagah Putih dengan serta merta dengan wajah yang menegang sambil berpaling ke arah Ki Waskita.
“Bukankah Ki Rangga sedang sakit?” bertanya pengawal itu pula. Beberapa orang yang berada di halaman belakang itu pun mempunyai tanggapan yang sama.
Sejenak Ki Waskita tertegun. Segera saja terbayang di rongga matanya ki Rangga Agung Sedayu yang tergolek di pembaringan sedang mengetrapkan sebuah ilmu yang sudah sangat jarang bahkan dapat dikatakan langka, aji pengangen-angen.
“Pada dasarnya Ki Rangga memang sudah menguasai ilmu yang mirip dengan aji pengangen-angen, yaitu kakang pembarep dan adi wuragil,” berkata Ki Waskita dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Watak kedua ilmu itu hampir sama, hanya pengetrapannya yang berbeda. Kakang pembarep dan adi wuragil mengharuskan sumber ilmunya selalu berada di dekatnya, sedangkan aji pengangen-angen tidak. Bayangan semu yang diciptakan dapat bergerak jauh dari sumbernya akan tetapi tetap merupakan pancaran ilmu dari sumbernya.”
“Bagaimana, Ki? Apakah mungkin itu Kakang Agung Sedayu?” tiba-tiba pertanyaan Glagah Putih telah membuyarkan lamunan Ki Waskita.
 “Aku akan melihatnya,” jawab Ki Waskita sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi debar jantungnya, “Kau di sini saja Glagah Putih. Masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Jangan mudah terpancing dengan perubahan keadaan yang mendadak. Bisa saja yang terjadi di depan regol itu hanya sebuah pancingan. Usahakan untuk saling berhubungan dengan menggunakan isyarat yang telah kita sepakati.”
“Baik, Ki,” jawab Glagah Putih.
Sejenak kemudian Ki Waskita beserta pengawal dari regol depan itu telah menyusuri longkangan menuju ke halaman depan lewat samping gandhok kiri. Sementara suara ledakan cambuk yang menggelegar itu kembali terdengar.
Ketika mereka berdua sedang melintasi pintu butulan yang menghubungkan longkangan dengan ruang tengah di rumah induk, tiba-tiba saja Ki Waskita menghentikan langkahnya.
“Teruslah berjalan,” berkata Ki Waskita kemudian kepada pengawal itu, “Aku akan menengok keadaan ruang dalam sebentar.”
Pengawal itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk sambil meneruskan langkahnya.
Sejenak Ki Waskita masih melihat pengawal itu hilang di balik pintu seketeng. Ki Waskita pun kemudian dengan bergegas segera memasuki ruang tengah.
Demikian Ki Waskita menginjakkan kakinya di ruang dalam, tampak seorang perempuan dengan pakaian khusus serta sepasang pedang di lambung  sedang berdiri termangu-mangu membelakanginya.
“Ki Waskita?” sapa Pandan Wangi sambil berpaling begitu mendengar desir langkah mendekat di belakangnya.
Ki Waskita tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya kemudian sambil melangkah mendekat, “Ya, ngger. Apakah semua baik-baik saja?”
“Demikianlah Ki Waskita,” jawab Pandan Wangi. Namun sebelum Pandan Wangi melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja terdengar seseorang menarik pintu selarak bilik Ki Rangga. Sejenak kemudian sebuah kepala tersembul dari sela-sela pintu bilik yang terbuka sejengkal.
“Nyi Sekar Mirah,” berkata Ki Waskita sambil melangkah mendekat, “Apakah Ki Rangga Baik-baik saja?”
“Aku tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi, Ki,” jawab Sekar Mirah sambil membuka pintu bilik dan mempersilahkan ki Waskita masuk diikuti oleh Pandan Wangi dari belakang.
“Kami baru saja mendengar suara ledakan cambuk beberapa kali dari halaman depan,” berkata Pandan Wangi setengah berbisik begitu ki Waskita berdiri di sisi pembaringan Ki Rangga, “Siapakah yang bermain cambuk itu, Ki?”
Ki Waskita tidak menjawab. Sejenak dipandanginya kedua perempuan itu. Ada keinginan untuk menjelaskan tentang ilmu yang sedang dipelajari oleh Ki Rangga, namun sebuah keragu-raguan sempat menyelinap di dalam dada ayah Rudita itu.
“Angger berdua,” akhirnya Ki Waskita menemukan jalan pemecahannya, “Setelah ini aku akan melihat ke halaman depan, siapakah yang sedang bermain cambuk itu?” Ki Waskita berhenti sebentar sambil mengamat-amati perubahan yang sedang terjadi pada tubuh Ki Rangga yang terbujur diam dengan kedua tangan bersilang di dada. Lanjutnya kemudian, “Aku mohon Ki Rangga jangan diganggu dulu. Pintu bilik ini sebaiknya diselarak dari dalam saja.”
 “Apakah tidak sebaiknya kalau kami berdua yang menunggui Kakang Agung Sedayu, Ki?” bertanya Sekar Mirah kemudian dengan wajah yang menunjukkan kecemasan.
Untuk beberapa saat ki Waskita termenung. Namun akhirnya Ki Waskita pun menjawab, “Sebaiknya Rara Wulan dan Damarpati serta anakmu dibawa saja ke dalam bilik ini agar kalian menjadi lebih tenang. Dengan demikian Nyi Pandan Wangi tidak usah berjaga di ruang tengah, semua dapat berkumpul di dalam bilik ini.”
Hampir bersamaan Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah mengangguk anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang aku akan turun ke halaman untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi,” berkata Ki Waskita kemudian. Namun sebelum Ki Waskita sempat beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja mereka yang berada di dalam bilik itu telah dikejutkan oleh getaran yang terasa menguncang seluruh isi rumah Ki Gede Menoreh.
“Ki Waskita!” seru sekar Mirah tertahan, “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?”
Tanpa sadar ki Waskita telah berpaling ke arah ki Rangga yang sedang terbujur diam. Terdengar bibir Ki Rangga berdesah perlahan, sedangkan dari keningnya telah mengembun titik-titik keringat yang semakin lama menjadi semakin deras.
“Ki Rangga telah terpancing untuk membenturkan ilmunya,” berkata Ki Waskita dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Seharusnya Ki Rangga berusaha sejauh mungkin untuk menghindari benturan itu. Semakin sering benturan itu terjadi, akan semakin mudah bagi lawannya untuk mengetahui sumber getaran ilmunya. Semoga Ki Rangga menyadari itu.”
“Bagaimana, Ki?” pertanyaan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Ki Waskita, “Kakang Agung Sedayu terlihat gelisah dalam tidurnya ketika terjadi guncangan tadi.”
Sejenak Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Berbagai pertimbangan sedang bergejolak di dalam dadanya.
“Apakah Ki Waskita tidak jadi ke halaman depan?” kini Pandan Wangi yang bertanya pula.
“Aku akan kesana,” sahut Ki Waskita sambil mendekat ke arah Ki Rangga. Orang tua itu tampak mengerutkan keningnya. Kemudian  sambil membungkuk, dirabanya kening Ki Rangga.
“Masih dalam tataran yang belum membahayakan,” desis Ki Waskita yang membuat kedua perempuan itu saling pandang.
“Apakah yang membahayakan Kakang Agung Sedayu, Ki?” bertanya Sekar Mirah dengan nada kecemasan yang luar biasa. Sebagai seorang istri dan sekaligus perempuan yang berilmu tinggi, dia dapat meraba berdasarkan panggraitanya bahwa suaminya sekarang ini sedang mengalami sesuatu yang mungkin dapat membahayakan jiwanya.
“Angger berdua,” akhirnya Ki Waskita memutuskan untuk memberi penjelasan kepada kedua perempuan itu, “Angger Agung Sedayu sekarang ini sedang mengetrapkan sebuah ilmu yang sudah sangat langka pada saat ini. ilmu yang disebut dengan aji pengangen-angen.”
“Aji pengengen-angen?” hampir bersamaan kedua perempuan itu berseru tertahan.
“Ya ngger, aji pengangen-angen,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil mengamati perubahan yang terjadi pada wajah kedua perempuan itu. Lanjutnya kemudian, “Dengan aji ini, Ki Rangga akan mampu mengendalikan ujud semunya sejauh yang dia kehendaki serta dalam pengetrapan ilmu yang sama dengan ilmu sumbernya. Namun sebagaimana ilmu yang lain, aji pengangen-anegn ini juga tidak sempurna. Ilmu ini juga mempunyai sebuah kelemahan.”
Kembali kedua perempuan itu saling pandang sejenak. Bertanya Sekar Mirah kemudian, “Apakah kelemahan ilmu  itu, Ki?”
Ki Waskita tidak segera menjawab, hanya telunjuk jari tangan kanannya saja yang menunjuk ke arah Ki Rangga yang sedang terbaring diam.
“Itulah kelemahannya yang terbesar,” jawab Ki Waskita kemudian, “Selagi Ki Rangga mengetrapkan aji pengangen-angen, raganya bernar-benar dalam keadaan lemah. Jika seseorang yang bermaksud jahat menemukan Ki Rangga dalam keadaan seperti ini, dengan sangat mudahnya dia akan dapat mencederainya bahkan membunuhnya sekalipun, suwe mijet wohing ranti.”
Jantung kedua perempuan itu bagaikan tersengat bara begitu mendengar keterangan Ki Waskita.
“Sudahlah,” berkata Ki Waskita akhirnya, “Aku akan ke halaman depan. Pastikan tidak ada seorang pun yang dapat menyentuh tubuh Ki Rangga yang sedang dalam puncak samadinya. Jika memungkinkan aku akan memerintahkan sebagian pengawal berjaga di seputar longkangan untuk mencegah orang yang ingin memasuki bilik Ki Rangga dari arah belakang dinding.”
“Terima kasih Ki,” jawab kedua perempuan itu hampir bersamaan.
Sejenak kemudian, Ki Waskita pun segera meninggalkan bilik Ki Rangga dan berjalan menyeberangi ruang tengah menuju ke halaman depan rumah Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu, di jalan padukuhan yang menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh, tampak dua orang laki-laki yang sudah tidak dapat disebut muda lagi sedang berjalan dengan tergesa-gesa.
“Kau dengar suara cambuk itu, Kakang?” bertanya seorang yang tampak lebih muda.
Yang dipanggil kakang itu tersenyum sekilas. Sambil tetap mengayunkan langkahnya dia menjawab, “Tidak ada bedanya dengan suara cambuk para gembala di padang-padang perdu.”
Namun ketika kedua orang itu tiba-tiba saja merasakan udara malam telah bergetar dengan dahsyatnya, sejenak langkah mereka terhenti.
“Gila!” geram orang yang disebut Kakang itu, “Memang nama besar Ki Rangga Agung Sedayu bukan sekedar omong kosong. Murid utama orang bercambuk itu benar-benar telah mewarisi ilmu perguruan bercambuk dengan tuntas.”
Orang yang di sebelahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Yang aku dengar Ki Rangga sedang sakit. Bagaimana mungkin dia sekarang ini sedang bermain cambuk melawan Eyang Guru?”
“Semua orang Mataram memang licik!” geram orang yang dipanggil kakang itu, “Aku yakin Ki Rangga hanya berpura-pura sakit untuk menghindari balas dendam lawan-lawannya,” dia berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya sambil meneruskan langkahnya, “Tapi itu tidak menghalangi Eyang Guru untuk membunuhnya. Marilah kita bantu Eyang Guru meluluh-lantakkan  rumah Ki Gede Menoreh rata dengan tanah.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil mengikuti langkah orang itu, “Kakang Mahadri, di manakah Gandon dan kawan-kawannya?”
“Apa peduli kita,” jawab orang yang ternyata bernama Ki Mahadri itu sambil terus berjalan, “Tugas kita adalah membantu Eyang Guru sesuai perintah Raden Wirasena.”
Kawannya hanya menarik nafas dalam-dalam sambil terus mengikuti langkah Ki Mahadri yang semakin cepat.
Dalam pada itu  beberapa orang yang bertubuh kekar dan berwajah keras, sekeras batu padas di gerojokan sedang mendekati dinding sebelah timur rumah Ki Gede Menoreh.
“Berapa orang yang akan menyerang dari dinding belakang?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya.
“Hampir separuh dari kekuatan kita, Kakang Gandon,” jawab orang yang di sebelahnya.
“Marilah,” berkata orang yang dipanggil Gandon itu, “Eyang Guru sudah mulai dengan permainannya. Tapi aku masih belum mengerti dengan suara cambuk itu. Apakah Ki Rangga sudah benar-benar sembuh dari sakitnya?”
Beberapa orang yang mengikutinya hanya diam saja. Ketika mereka kemudian tinggal beberapa langkah saja dari dinding, sejenak beberapa orang justru telah menjadi ragu-ragu  untuk meloncati dinding.
“Kakang Gandon,” kembali salah seorang dari mereka bertanya sambil berbisik, “Apakah tidak sebaiknya kita melewati regol depan? Meloncati dinding terlalu berbahaya.”
Gandon sejenak merenung. Memang meloncati dinding terlalu berbahaya. Lawan dapat saja menunggu di balik dinding dengan busur dan anak panah. Begitu mereka meloncat dan muncul dari balik dinding, secepat kilat anak-anak panah pun akan berterbangan dan meranjam tubuh mereka.
“Tunggulah di sini,” berkata Gandon kemudian dengan berbisik pula, “Aku akan menelusur sepanjang dinding sebelah timur ini. Kemungkinan masih ada celah-celah yang tidak dijaga oleh para pengawal.”
Orang-orang itu hanya mengangguk-angguk. Mereka yakin akan kemampuan Gandon untuk memantau segala jenis suara dari balik dinding, baik itu desir langkah maupun nafas yang tertahan-tahan.
“Hem,” desah Gandon kemudian sambil menyusur dinding. Dengan kemampuannya untuk menyerap segala bunyi yang timbul dari langkahnya, Gandon pun kemudian  meningkatkan kemampuannya untuk mendengarkan segala bunyi yang timbul dari balik dinding.
Segera saja pendengaran Gandon yang tajam telah menangkap desir langkah para pengawal yang sedang berjaga-jaga di halaman samping rumah Ki Gede.
“Hem,” kembali Gandon berdesah. Berdasarkan pengamatannya, para pengawal itu hanya berjaga-jaga di seputar halaman samping, tidak di sepanjang dinding.
Dengan sedikit bergegas Gandon pun segera kembali ke tempat kawan-kawannya menunggu.
“Mereka tidak berjaga di sepanjang dinding,” berkata Gandon kemudian sesampainya dia di hadapan kawan-kawannya, “Kita dapat menyamarkan kedatangan kita dengan cara memanjat pohon itu”
Selesai berkata demikian, Gandon segera menunjuk sebatang pohon yang tumbuh justru agak jauh dari dinding halaman samping rumah Ki Gede.
“Pohon itu terlalu jauh dari dinding. Mengapa kita tidak meloncati dinding saja, Kakang?” bertanya salah satu dari mereka.
“Bodoh!” geram Gandon, “Meloncati dinding tetap berbahaya. Kau lihat cabang yang menjulur ke arah dalam itu. Kita dapat memanfaatkan cabang itu untuk memasuki rumah ini.”
Kawan-kawannya tidak menjawab. Dalam keremangan malam di bawah siraman sinar bulan tua, mereka memang melihat salah satu cabang pohon itu menjulur ke arah dalam.
“Kita akan tetap bergerak dalam senyap sebelum benar-benar yakin jangkauan kita memungkinkan untuk menyergap para pengawal itu,” berkata Gandon kemudian memberikan arahan, “Dengan sekali ayunan, senjata-senjata kita harus mampu membinasakan mereka tanpa menimbulkan kegaduhan.”
Kembali kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka menyerahkan semua persoalan kepada Gandon, orang yang dianggap memiliki kelebihan di antara mereka.
Demikianlah sejenak kemudian mereka segera merayap mendekati pohon yang tumbuh agak jauh dari dinding. Tetap dalam gerakan yang senyap, satu-persatu mereka mulai memanjat pohon itu.
Dalam pada itu ujud semu Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar telah merepotkan kakek tua yang disebut Eyang Guru oleh para pengikutnya itu.
“Iblis, Genderuwo, Tetekan!” berkali-kali Eyang Guru mengumpat tidak ada habis-habisnya. Sampai sejauh ini dia belum dapat menemukan kelemahan ilmu lawannya.
“Aku akan memancing ujud semu Ki Rangga ini menjauhi sumbernya,” berkata Eyang Guru dalam hati sambil menghindari serangan lawannya, “Dengan semakin jauh jarak ujud semu ini dari sumbernya, aku yakin kekuatan ilmu Ki Rangga akan melemah, sehingga setiap benturan ilmu yang terjadi tidak akan menggoyahkan ilmu kebalku.”
Sebenarnyalah Eyang Guru itu pada awalnya telah mencoba membenturkan ilmunya dengan ujud semu Ki Rangga untuk menelusuri sumber pancaran ilmu lawannya. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungannya, kekuatan ilmu cambuk Ki Rangga hampir saja menembus ilmu kebalnya dan merontokkan jantung.
Dengan sangat cerdik Eyang Guru itu pun kemudian bergeser setapak demi setapak menjauhi regol depan rumah Ki Gede Menoreh. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu dalam puncak samadinya sama sekali belum menyadari bahwa lawan telah merencanakan sesuatu yang mungkin dapat menjebaknya dalam kesulitan.
Demikianlah pertempuran itu perlahan mulai bergeser menjauhi regol. Setiap kali ujung cambuk itu meluncur dan mematuk sasarannya, Eyang Guru tidak berusaha membentur ujung cambuk itu dengan senjatanya, keris pusaka kanjeng Kiai Sarpasri. Dia hanya berusaha menghindar dengan cara melangkah surut. Sejenak kemudian lingkaran pertempuran itu pun perlahan mulai mendekati kelokan jalan di depan rumah Ki Gede Menoreh.
“Mungkin jarak ujud semu Ki Rangga ini sudah cukup jauh dari sumbernya,” berkata Eyang Guru dalam hati sambil melompat mundur ketika ujung cambuk itu menyambar kening, “Kekuatan ilmu Ki Rangga tentu sudah jauh berkurang dibandingkan dengan pada saat dia masih di depan regol.”
Berpikir sampai disitu, Eyang Guru segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan sebuah ilmu yang nggegirisi. Bertumpu pada kekuatan keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri, Eyang Guru segera mengangkat senjatanya tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian, keris kanjeng Kiai Sarpasri itu telah mengeluarkan lidah api yang menjulang tinggi dan berkobar-kobar bagaikan membakar langit. Ketika Eyang Guru kemudian dengan kecepatan yang tidak kasat mata memutar keris itu di atas kepalanya, yang tejadi kemudian adalah suatu hal yang nggegirisi. Di seputar Eyang Guru telah tercipta pusaran angin bercampur lidah api yang berkobar-kobar mengerikan dan siap menghanguskan apapun yang diterjangnya.
Dalam pada itu, Ki Rangga dalam puncak samadinya telah melihat dengan ketajaman mata hati kedahsyatan ilmu lawan. Sebenarnya jika Ki Rangga menghendaki, dapat saja dia menghindarkan diri dari benturan dengan ilmu lawannya, namun ternyata Ki Rangga telah tergelitik untuk mencoba kekuatan ilmu lawannya.
Demikianlah, ketika pusaran angin bercampur lidah api yang menyala-nyala itu berputar semakin kencang mengelilingi tubuh Eyang Guru, ujud semu Ki Rangga pun telah mengambil ancang-ancang dengan memutar cambuknya di atas kepala. Begitu Eyang Guru meloncat disertai dengan badai api menerjang ujud semu Ki Rangga, dari ujung cambuk yang dihentakkan sendal pancing telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan menghantam pusaran badai api itu.
Yang terjadi kemudian adalah kedahsyatan yang tiada taranya. Terdengar ledakan bagaikan guntur membelah langit. Dalam sekejap pusaran angin bercampur lidah api itu pun telah terkoyak dan menebar ke sekeliling arena pertempuran.
Akibatnya adalah sangat mengerikan. Semak belukar serta pohon-pohon perdu yang tersentuh oleh pusaran api itu telah hangus terbakar. Sedangkan Eyang Guru yang berada di dalam lingkaran pusaran api itu telah terpental beberapa langkah ke belakang. Sementara ujud semu Ki Rangga tetap berdiri dengan kokohnya di atas kedua kakinya yang renggang.
Namun yang sebenarnya terjadi di dalam bilik Ki Rangga ternyata sangat mengejutkan Sekar Mirah. Tubuh Ki Rangga yang terbujur diam itu telah terguncang dan terangkat beberapa jengkal dari pembaringan sebelum akhirnya terbanting kembali dengan derasnya di atas pembaringan sehingga menimbulkan suara yang berderak-derak.
“Kakang!” jerit Sekar Mirah disertai dengan isak tangis sambil menubruk tubuh suaminya yang kembali terbujur diam. Sementara Bagus Sadewa yang tertidur dalam gendongan Rara Wulan telah terkejut sehingga terbangun dan menangis sekeras-kerasnya.
Sedangkan Pandan Wangi yang duduk di sebuah dingklik kayu telah ikut terlonjak kaget. Dengan setengah berlari dia segera mendekati pembaringan Ki Rangga.
“Tenanglah Mirah,” bisik Pandan Wangi kemudian sambil memeluk tubuh adik iparnya itu dari belakang, “Ki Waskita telah berpesan, apapun yang terjadi kita jangan mengganggu Kakang Agung Sedayu.”
Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba mengendalikan dirinya. Dengan masih tetap terisak-isak, perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati dilepaskan tubuh Ki Rangga dari pelukannya.
“Marilah,” bisik Pandan Wangi kemudian sambil membimbing Sekar Mirah menjauhi pembaringan Ki Rangga, “Lebih baik Kau mengurus anakmu terlebih dahulu. Kelihatannya dia memerlukan perhatianmu.”
Sekar Mirah tidak menjawab hanya mengangguk sambil mengusap air mata yang masih saja mengalir deras dari sudut matanya.
Dalam pada itu di medan pertempuran, Eyang Guru telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Karena pemusatan nalar dan budinya terganggu, pusaran angin bercampur lidah api itu pun telah padam dengan sendirinya. Tinggallah Eyang Guru yang berdiri termangu-mangu beberapa langkah di hadapan ujud semu Ki Rangga Agung Sedayu.
Sambil menghela nafas panjang, berkata Eyang Guru dalam hati, “Luar biasa. Kedahsyatan ilmu perguruan orang bercambuk memang bukan sekedar cerita ngayawara. Aku telah membuktikan sendiri. Namun apa yang sedang aku cari , ternyata telah aku temukan.”
Sambil tetap mewaspadai pergerakan lawan, Eyang Guru mencoba kembali ketajaman mata hatinya untuk melihat sumber pancaran ilmu lawannya.
Memang pada saat terjadi benturan dahsyat tadi, dengan ketajaman mata batinnya, Eyang Guru telah melihat seberkas sinar yang terpantul akibat dari benturan kedua ilmu yang nggegirisi itu. Dalam ketajaman panggraitanya, Eyang Guru telah melihat seberkas sinar yang melesat kembali ke pusat pancaran ilmu itu.
“Ternyata Ki Rangga bersembunyi di salah satu bilik yang berada di ruang tengah rumah Ki Gede,” berkata Eyang Guru kemudian dalam hati, “Untuk meyakinkan, aku akan membenturkan ilmuku sekali lagi,”
Maka Eyang Guru pun segera mengangkat kembali keris pusakanya tinggi-tinggi sambil berteriak menggelegar, “Tunggulah Ki Rangga, aku akan segera datang. Dan dengan keris Kanjeng Kiai Sarpasri, aku akan mengantarmu menjenguk gerbang kematian.”
Namun ketika Eyang Guru telah bersiap sekali lagi untuk mengetrapkan ilmunya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah kaki menuju ke tempat itu.
Ketika Eyang Guru kemudian menyempatkan diri untuk berpaling sekilas, tampak dari kelokan jalan muncul dua orang yang umurnya sudah tidak muda lagi berjalan tergesa-gesa mendekati arena pertempuran.
“Mahadri dan Jaladri,” desis Eyang Guru perlahan demi melihat kedua orang itu.
Kedua orang yang datang dengan tergesa-gesa itu memang Mahadri dan kawannya yang ternyata bernama Jaladri. Dengan segera mereka berdua pun kemudian menghampiri ke tempat Eyang Guru berdiri.
“Eyang Guru,” berkata Mahadri kemudian setibanya di hadapan Eyang Guru, “Kami berdua diutus oleh Raden Wirasena untuk membantu Eyang Guru.”
Untuk beberapa saat Eyang Guru tertegun. Ada sedikit ketersinggungan di sudut hatinya. Mengapa Raden Wirasena masih meragukan kemampuannya? Namun akhirnya Eyang Guru itu pun kemudian berkata, “Baiklah, kalian berdua hadapilah Ki Rangga Agung Sedayu yang sekarang berada di hadapan kalian. Aku akan masuk ke dalam rumah Ki Gede untuk menemukan Ki Rangga yang sebenarnya dan sekaligus membunuhnya.”
Tiba-tiba Jaladri tertawa. Katanya kemudian, “Mengapa Eyang Guru masih tertipu dengan permainan kanak-kanak semacam ini? Berilah kami tugas yang lebih menantang sesuai dengan tingkat kemampuan kami.”
“Tutup mulutmu!” bentak Eyang Guru dengan serta-merta, “Kalian belum pernah mengalami sendiri kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu,” Eyang Guru berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah menemukan pusat getaran ilmunya. Sebentar lagi agul agulnya Mataram itu hanya akan tinggal namanya saja.”
Selesai berkata demikian Eyang Guru segera berlalu dari tempat itu tanpa mempedulikan lagi Mahadri dan Jaladri yang masih berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu, Ki Rangga Agung Sedayu yang dalam samadinya melihat Eyang Guru bergerak menjauh dan menuju ke kediaman Ki Gede, segera berusaha untuk menghalangi langkahnya.
“Kalian berdua tahanlah ujud Ki Rangga ini, agar aku segera dapat mencapai tempat samadi Ki Rangga dan membunuhnya!” teriak Eyang Guru sambil menghindar sejauh-jauhnya dari jangkauan ujung cambuk lawannya.
Mahadri yang percaya dengan kemampuan Eyang Guru dalam mengenali ujud semu Ki Rangga segera meloncat ke depan sambil mencabut senjatanya. Sementara Jaladri yang dihinggapi oleh keragu-raguan masih tetap berdiri termangu-mangu di tempatnya.
Sejenak kemudian Mahadri pun segera terlibat pertempuran yang sengit melawan ujud semu Ki Rangga. Dengan sekuat tenaga Mahadri mencoba menahan kedahsyatan gempuran ilmu cambuk putra termuda Ki Sadewa itu.
“Mengapa Kakang Mahadri begitu bodohnya membuang-buang waktu melawan sebuah ujud semu?” berkata Jaladri dalam hati sambil melangkah menyusuri jalan menuju ke regol rumah Ki Gede, “Betapapun sempurnanya sebuah ujud semu, dia tidak akan mempunyai pengaruh apapun terhadap lingkungan di sekitarnya.”
Tanpa mempedulikan Mahadri yang sedang bertempur dengan ujud semu Ki Rangga, Jaladri pun kemudian meneruskan langkahnya.
Ketika Jaladri kemudian lewat hanya tiga langkah saja di samping ujud semu Ki Rangga, tiba-tiba saja ujung cambuk Ki Rangga menyambar dadanya.
“Jaladri! Awas serangan!” teriak Mahadri berusaha mengingatkan kawannya.
Pada awalnya Jaladri memang tidak menghiraukan serangan lawannya itu. Namun ketika ujung cambuk itu tinggal tiga jengkal dari dadanya, terasa sebuah desir angin yang dahsyat disertai hawa panas menyambar dadanya.
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Jaladri pun terkejut bukan alang-kepalang. Namun semuanya sudah sangat terlambat. Memang Jaladri masih sempat memiringkan dadanya sambil melangkah surut, namun ujung cambuk itu sudah keburu datang dan menghantam dadanya. Yang dapat dilakukan hanyalah mengetrapkan tenaga cadangan setinggi-tingginya untuk melindungi dadanya dari kehancuran.
Akibat yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungan Jaladri. Ujung cambuk itu telah meledak dan dada Jaladri bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas tebing yang runtuh. Tubuhnya terlempar beberapa langkah kebelakang untuk kemudian jatuh terkapar tak bergerak di atas tanah yang berdebu.
“Jaladri!” teriak Mahadri sambil memburu ke tempat kawannya itu jatuh tergeletak.
Untunglah disaat terakhir sebelum ujung cambuk itu menyentuh dada Jaladri, keragu-raguan sempat menyelinap di dada ki Rangga Agung Sedayu. Dalam samadinya Ki Rangga tidak sampai hati untuk menghancurkan lawannya yang tidak mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Jika saja Ki Rangga tidak mengurangi kekuatan cambuknya, tentu dada lawannya sudah hancur berantakan tak berbentuk.
Dalam pada itu, Eyang Guru yang sedang berlari memasuki regol rumah Ki Gede ternyata telah menahan langkahnya sejenak begitu mendengar ledakan cambuk Ki Rangga. Sekilas dia masih sempat melihat Jaladri terlempar kebelakang dan jatuh terlentang tak bergerak.
“Anak keras kepala,” geram Eyang Guru dalam hati, “Belum tahu tingginya gunung dan luasnya samudra.”
Namun agaknya Eyang Guru sudah tidak mempedulikan keadaan Jaladri lagi. Dengan cepat dia segera berlari  menyeberangi halaman dan menaiki tlundak pendapa.
Dalam pada itu, seorang pengawal yang berjaga di halaman samping dengan tanpa menarik perhatian telah bergeser ke halaman belakang untuk menemui Glagah Putih.
“Ada beberapa orang yang telah memasuki halaman samping dengan cara memanjat melalui dahan pohon di samping dinding sebelah utara,” berkata pengawal itu setibanya di hadapan Glagah Putih.
“Kami yang berada di halaman belakang ini juga sedang memantau orang-orang yang mencoba menyusup ke tempat ini,” berkata Glagah Putih kemudian sambil menggamit pengawal itu untuk bergeser ke tempat yang lebih gelap, “Biarkan saja mereka masuk, namun jangan meninggalkan kewaspadaan. Usahakan para pengawal bersikap seolah-olah belum menyadari kehadiran mereka. Kelihatannya mereka akan menggunakan kesempatan untuk menyerang selagi kita lengah.”
Pengawal itu mengangguk. Kemudian dengan tanpa menarik perhatian, dia pun segera bergeser meninggalkan halaman belakang.
Sejenak kemudian, suasana benar-benar terasa mencekam bagi kedua belah pihak. Gandon dan kawan-kawannya yang telah berhasil memasuki halaman samping segera merayap mendekati para pengawal. Sementara di halaman belakang kediaman Ki Gede, beberapa orang juga tampak merayap di antara semak-semak dan gerumbul perdu.
“Ki Sambit,” bisik salah seorang dari mereka kepada orang di sebelahnya, “Kapan kita mulai bergerak?”
Orang yang dipanggil Ki Sambit itu menjawab, juga dengan berbisik, “Kita menunggu isyarat dari Gandon.”
Kawannya hanya mengangguk-angguk sambil terus merayap mendekati tempat para pengawal.
Demikianlah ketika para pengawal yang berada di halaman samping itu tiba-tiba mendengar suara derik seekor jengkerik yang cukup keras dan tidak sewajarnya, tangan-tangan para pengawal itu pun telah melekat di hulu senjata masing-masing. Sedangkan dari halaman belakang pun ternyata juga terdengar suara sahutan derik jengkerik yang cukup keras membelah sepinya malam.
Dalam sekejap, dari balik gerumbul-gerumbul perdu segera berloncatan orang-orang yang berwajah keras dengan senjata telanjang menyergap ke arah para pengawal sambil berteriak-teriak untuk menyurutkan semangat lawan.
“Bunuh mereka semua!” terdengar sebuah teriakan menggelegar di antara riuhnya teriakan dan umpatan.
Dengan tangkasnya para pengawal segera menebar sambil mencabut senjata masing-masing. Benturan pertama itu ternyata tidak begitu mengejutkan sebagaimana yang diharapkan Gandon. Para pengawal dengan penuh kepercayaan diri dan kewaspadaan yang tinggi telah menyambut kehadiran mereka.
“Gila!” geram Gandon sambil mengayunkan senjatanya dengan deras membabat seorang pengawal yang berdiri tidak jauh dari tempatnya, “Meskipun kalian telah menyadari kehadiran kami, jangan harap kalian dapat bertahan sepenginang sirih!”
Pengawal itu tidak menjawab. Jarak serangan itu begitu dekatnya, tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk menghindar. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari maut adalah hanya dengan menangkis serangan itu.
Ketika dengan sekuat tenaga pengawal itu mencoba membenturkan senjatanya, apa yang terjadi kemudian benar-benar diluar perhitungannya.
Ketika kedua senjata itu pun kemudian berbenturan, pengawal itu merasakan telapak tangannya bagaikan tersengat oleh seonggok bara tempurung kelapa. Dengan gerak naluriah, pengawal itu pun segera telah meloncat mundur. Namun ternyata dia tidak mampu untuk mempertahankan senjatanya sehingga senjata itu telah terlepas dan terjatuh.
Terdengar Gandon tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian di sela-sela suara tertawanya, “Mampuslah Kau tikus clurut! Kau tidak menyadari dengan siapa berhadapan!”
Selesai berkata demikian, senjata di tangan Gandon itu pun terayun deras membabat leher pengawal yang berdiri dengan kedua lutut gemetar.
Namun alangkah terkejutnya Gandon. Pada saat dia sudah begitu yakin akan dapat menebas putus leher lawannya, ternyata senjatanya telah membentur sebuah kekuatan yang tiada taranya. Senjata di tangan Gandon itu telah membentur sebuah timang dari ikat pinggang kulit yang tergenggam di tangan seorang anak muda.
“Gila!” umpat Gandon sambil meloncat mundur. Telapak tangannya terasa panas bagaikan terkelupas. Untung Gandon masih mampu mempertahankannya walaupun dengan susah payah.
Sejenak dipandanginya sosok anak muda yang berdiri beberapa langkah di arah sebelah kirinya. Seorang anak muda dengan senjata yang sangat aneh, seutas ikat pinggang kulit dengan timang yang terbuat dari lempengan baja.
“Anak iblis!” geram Gandon, “He!? Mengapa Kau berani menghalangi aku membunuh cecurut itu? Sebut namamu sebelum aku membelah dadamu!”
“Namaku Glagah Putih,” jawab anak muda itu yang ternyata memang Glagah Putih, “Ki Sanak telah berlaku tidak jantan dengan menyerang lawan yang tidak bersenjata.”
“Apa peduliku!? Orang itu terlalu lemah di medan yang keras dan garang ini. Sudah sepantasnya dia mampus!”
Glagah Putih tidak menanggapi kata-kata lawannya. Sambil berpaling ke arah pengawal yang masih berdiri dengan gemetar dia berkata, “Ambil senjatamu dan kembalilah bergabung dengan kawan-kawanmu.”
Pengawal itu tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk. Setelah mengambil senjatanya yang tergeletak di tanah, dengan tergesa-gesa segera ditinggalkannya lingkaran pertempuran itu.
“Nah,” berkata Glagah Putih sepeninggal pengawal itu, “Lebih baik Ki Sanak mengurungkan niat untuk membuat keributan di rumah Ki Gede ini. Di antara kita belum pernah saling bertemu dan membuat masalah. Untuk apa kita bertaruh nyawa atas persoalan yang belum diketahui ujung pangkalnya ini?”
Gandon tertawa pendek. Sambil meloncat menyerang dia membentak keras, “Permasalahannya adalah, aku ingin sekali merobek mulutmu!”
Glagah Putih yang selalu waspada akan gerak-gerik lawannya segera tanggap. Dengan menggeser kedudukan kaki kirinya se langkah, serangan lawannya itu dengan mudah dapat dihindari.
Sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu Mahadri yang sedang berlari memburu ke tempat kawannya terjatuh segera menghentikan langkahnya ketika cambuk Ki Rangga meledak hanya sejengkal di depan hidungnya.
Dengan gerak naluriah Mahadri pun segera melangkah surut kebelakang. Dengan segera dihentakkan seluruh kekuatan tenaga cadangannya pada senjatanya, sebuah pedang berukuran diluar kewajaran.
Pedang di tangan Mahadri pun bagaikan membara di malam yang gelap. Ketika cambuk lawannya meluncur mencoba membelit senjatanya, dengan sedikit merendahkan lututnya, ujung cambuk itu lewat sejengkal di atas kepala. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Mahadri, bagaikan tatit yang meloncat di udara, tubuhnya meluncur ke depan dengan pedang yang terjulur lurus mengancam jantung.
Namun yang menjadi lawannya adalah Ki Rangga Agung Sedayu dalam pengetrapan aji pengangen-angen. Ujud semu Ki Rangga sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Justru cambuk itu sekali berputar di atas kepala untuk kemudian meluncur membelit leher Mahadri.
Mahadri yang tidak menyadari kedahsyatan aji pengangen-angen telah tertipu dengan ujud semu Ki Rangga. Senjatanya yang terjulur lurus itu telah menembus dada, namun sama sekali tidak berpengaruh karena pancaran kekuatan ilmu Ki Rangga berada di ujung cambuknya. Jika Mahadri ingin menggoncang pertahanan samadi lawannya, seharusnya dia membenturkan ilmunya dengan ujung cambuk Ki Rangga. Samadi Ki Rangga akan terganggu jika terjadi benturan ilmu, bukan benturan wadag.
Yang terjadi kemudian benar-benar telah membuat Mahadri kehilangan kesempatan. Ketika ujung pedang Mahadri menembus bayangan semu yang kosong, pancaran ilmu Ki Rangga yang berada di ujung cambuk itu telah membelit lehernya. Dengan sekali hentakan sendal pancing, tubuh Mahadri pun terlempar ke udara dan jatuh terjerembab di atas tanah yang berdebu.
Sekali Mahadri terlihat masih menggeliat. Namun untuk selanjutnya tubuh itu pun kemudian terbujur diam.
Dalam pada itu Eyang Guru yang merasa telah menemukan sumber pancaran ilmu Ki Rangga segera menaiki tlundak pendapa. Namun sebelum Eyang Guru sempat menyeberangi pendapa rumah Ki Gede yang luas itu, tiba-tiba saja terdengar pintu pringgitan berderit terbuka dan seorang yang sudah cukup tua tapi tampak masih tegap telah muncul dari balik pintu.
Sejenak Eyang Guru tertegun. Panggraitanya yang tajam segera mengenali orang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah orang kebanyakan.
“Siapapun Ki Sanak, minggirlah! Aku tidak ingin kanjeng Kiai Sarpasri ini memakan korban yang sia-sia!” geram Eyang Guru kemudian sambil melangkah maju dan mengangkat senjata pusakanya tinggi-tinggi.
Orang yang berdiri di depan pintu pringgitan itu terkejut begitu melihat pamor keris di tangan kanan Eyang Guru. Yang tergenggam di tangan Eyang Guru itu bukan lagi sebuah keris lurus tanpa luk dalam bentuk ukiran seekor naga dengan taburan permata di antara sisik-sisiknya. Namun yang tampak kemudian adalah seekor naga yang tidak seberapa besar yang sedang marah dengan taring yang panjang dan sepasang mata yang memancarkan api.
“Keris Kiai Sarpasri!” seru orang tua itu dengan suara sedikit bergetar.
Eyang Guru tertawa pendek mendengar orang tua itu mengenali pusakanya. Katanya kemudian dengan suara bagai guruh yang meledak di langit, “Minggirlah tua bangka! Kau sudah mengetahui kedahsyatan pusakaku ini. Lebih baik kau segera menyingkir sebelum aku berubah pikiran!”
Namun orang tua itu justru telah melangkah maju setelah menutup pintu pringgitan terlebih dahulu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, tentu saja aku tahu akan kedahsyatan pusakamu itu, namun itu bukan berarti aku akan membiarkan Ki Sanak masuk dan mencederai Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang dalam puncak samadinya. Apapun yang terjadi aku akan mencegah Ki Sanak.”
Eyang Guru menggeram keras. Dia sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk bermain-main. Maka sejenak kemudian keris di tangan kanannya telah di putar beberapa kali di atas kepala untuk mengetrapkan ilmunya yang nggegirisi.
Namun sebelum Eyang Guru sempat memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetrapkan ilmunya, pendengarannya yang tajam tiba-tiba saja telah menangkap derap langkah beberapa ekor kuda. Walaupun masih cukup jauh, namun gaung hentakan telapak kaki-kaki kuda itu terdengar lamat-lamat memantul di lereng-lereng bukit dan lembah sehingga menimbulkan gaung yang melingkar-lingkar semakin lama semakin jelas.
“Pasti rombongan Argapati,” geram Eyang Guru dalam hati, “Sebelum Argapati melangkahi regol halaman rumahnya sendiri, Ki Rangga harus sudah terbujur menjadi mayat.”
Sedangkan orang tua yang berdiri termangu-mangu beberapa langkah di depan pintu pringgitan itu pun agaknya juga telah mendengar akan derap kaki-kaki kuda itu, namun dengan tanggapan yang berbeda.
“Syukurlah jika rombongan Ki Gede telah kembali,” berkata orang tua itu dalam hati, “Aku akan mencoba menahan orang ini sampai mereka datang.”
“Nah, Ki Sanak,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan orang tua itu, “Aku kira kau juga mendengar derap langkah kaki-kaki kuda itu. Mereka masih cukup jauh. Masih cukup waktu bagiku untuk mengubur seluruh penghuni rumah ini.”
Orang tua itu tampak menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kita belum pernah bertemu sebelumnya. Apalagi terlibat dalam sebuah masalah. Jika Ki sanak tidak keberatan, katakan alasan Ki Sanak membawa orang-orang itu menyerbu ke kediaman Ki Gede ini.”
Eyang Guru tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku tahu kau mencoba mengulur waktu dengan harapan bantuan itu segera datang. Akan tetapi jangan khawatir. Sudah ada beberapa orang yang bertugas khusus untuk menahan rombongan Argapati agar mereka tidak sampai kembali ke rumah ini.”
“Mereka pasti kembali,” tiba-tiba terdengar suara berat dan dalam dari arah belakang Eyang Guru.
Bagaikan disengat ribuan kalajengking Eyang Guru itu pun terkejut bukan alang kepalang. Dengan cepat dia segera berpaling ke belakang.
“Ki Rangga!?” seru Eyang Guru dengan suara sedikit tertahan begitu mengetahui siapa yang berdiri di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Ki Rangga secepat itu dapat menyelesaikan lawannya dan segera menyusulnya.
Memang yang berdiri di belakang Eyang Guru itu adalah ujud semu ki Rangga dalam pengetrapan aji pengangen-angen.
“Nah, Ki Waskita,” berkata ujud semu Ki Rangga kemudian, “Jangan hiraukan orang ini. biarlah aku yang mengurusnya. Aku mohon Ki Waskita sudi melihat perkembangan yang sedang terjadi di halaman samping dan belakang.”
Orang tua yang berdiri beberapa langkah di depan pintu pringgitan itu memang Ki Waskita. Sejenak dia masih ragu-ragu. Namun akhirnya dia pun menjawab, “Baiklah ngger, aku akan ke halaman belakang. Berhati-hatilah. Agaknya dia sedang mencari kelemahan aji pengangen-angen.”
Selesai berkata demikian Ki Waskita segera bergeser surut. Namun sebelum dia sempat membalikkan badan, tiba-tiba saja Eyang Guru telah memutar keris pusakanya. Sejenak kemudian pusaran angin bercampur lidah api telah berputar dengan dahsyat mengelilingi tubuh Eyang Guru dan menimbulkan suara menderu disertai loncatan lidah api yang menjulur.
Ki Waskita terkejut melihat lawannya tanpa peringatan terlebih dahulu telah mengetrapkan ilmunya yang nggegirirsi itu. Namun, Ayah Rudita itu tidak sempat berangan-angan terlalu jauh ketika dengan teriakan menggelegar lawannya telah meloncat menerjangnya.
Dengan gerak naluriah Ki Waskita segera meloncat sejauh-jauhnya dari garis serangan Eyang Guru. Namun, yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungan Ki Waskita. Ternyata lawannya tidak menghiraukan ke arah mana dirinya akan menghindar. Justru serangan Eyang Guru telah meluncur dengan derasnya menghantam pintu pringgitan yang tertutup rapat.
Bersamaan dengan ledakan yang mengantam pintu pringgitan sehingga pecah dan terbakar menjadi puing-puing bara yang berserakan, tubuh Eyang Guru melesat bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya meluncur memasuki kediaman Ki Gede Menoreh. Tujuannya pasti, berpacu dengan ujud semu Ki Rangga untuk menemukan bilik tempat Ki Rangga memusatkan samadinya dan menghentikan pancaran ilmu yang mendebarkan itu.
“Berhenti!” teriak Ki Waskita begitu menyadari kesalahannya. Dengan cepat dia segera berlari menyusul lawannya.
Akan tetapi langkah Ki Waskita kembali terhenti. Sekali lagi badai pusaran angin disertai semburan api yang menjilat menyembur keluar melalui reruntuhan pintu pringgitan menerjang dirinya.
“Gila!” geram ki Waskita sambil meloncat menghindar. Sekali lagi dia telah salah memperhitungankan lawannya.
Selagi Ki Waskita menemui kesulitan mengejar lawannya, Eyang Guru dengan cepat segera melintasi pringgitan. Hanya dengan dua kali lompatan dia telah berada di ruang tengah, tepat di depan pintu bilik Ki Rangga yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam.
“Hem,” desah Eyang Guru sambil menatap tajam pintu bilik di hadapannya. Ada sedikit keragu-raguan yang menyelinap di dalam dadanya. Dengan aji sapta pangrungu, dia dapat mendengar beberapa orang sedang berada di dalam bilik itu.
“Menilik tarikan nafasnya, tidak salah lagi ki Rangga sedang dalam puncak samadinya di dalam bilik ini,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Namun selain Ki Rangga masih ada beberapa orang lagi. Tiga orang yang berilmu cukup tinggi, seorang kedengarannya tidak begitu tinggi ilmunya dan seorang bayi. Mungkin anak Ki Rangga.”
Kembali Eyang Guru termenung. Seandainya dia dengan nekat menghancurkan pintu bilik dan memasukinya, tentu ketiga orang berilmu tinggi di dalam bilik itu pasti sudah siap menyambutnya.
Dalam pada itu, di dalam bilik Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah bersiap dengan senjata masing-masing. Keduanya telah menempatkan diri dua langkah di sebelah menyebelah pintu. Jika seseorang memaksakan diri untuk masuk ke bilik dengan cara memecah pintu, kedua senjata perempuan berilmu tinggi itu yang akan menghalanginya.
Sementara Rara Wulan telah menempatkan diri beberapa langkah di depan pintu bilik. Kedua tangannya telah teracu ke depan siap melontarkan aji pamungkasnya, Aji Namaskara.
Yang bersimpuh dengan tubuh menggigil dan mendekap erat-erat Bagus Sadewa di sudut bilik adalah Damarpati. Untunglah tangis Bagus Sadewa sudah mereda setelah ditenangkan oleh Sekar Mirah. Walaupun Damarpati selangkah dua langkah juga telah mempelajari olah kanuragan, namun gadis itu tidak senang dengan segala sesuatu yang mengandung unsur kekerasan. Sudah berapa kali kakeknya mencoba menyadarkan betapa pentingnya segala usaha untuk melindungi dan mempertahankan diri, namun gadis itu selalu menghindar dengan segala macam alasan.
Di luar bilik, Eyang Guru masing berdiri mematung. Panggraitanya yang tajam telah menangkap bahaya yang tersembunyi di balik pintu bilik yang tertutup rapat itu. Ada keinginan untuk melontarkan ilmunya yang nggegirisi itu untuk menghancurkan pintu bilik, namun Eyang Guru benar-benar tidak dapat mengukur kekuatan yang sedang mengintainya.
Selagi Eyang Guru termenung, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang menyapanya dari arah belakang, “Mengapa kau menjadi ragu-ragu Ki Sanak?”
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Eyang Guru segera berpaling ke belakang dan ternyata kembali ujud semu Ki Rangga Agung Sedayu telah berdiri di belakangnya.
Dengan cepat Eyang Guru segera memutar tubuhnya. Untuk sejenak dia tidak tahu apa yang harus diperbuat dan hanya mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kini dia menyadari betapa dahsyatnya ilmu agul-agulnya Mataram itu. Ujud semu Ki Rangga ternyata tidak perlu mengejarnya kemana pun dia pergi. Dengan mudah ujud semu itu dapat berpindah tempat sesuai dengan keinginan pemiliknya.
“Alangkah dahsyatnya,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Jika Ki Rangga mempunyai kesempatan untuk mematangkan ilmunya ini, dia akan dapat berada di mana saja dan kapan saja sesuai dengan yang dia kehendaki, walaupun jarak akan tetap berpengaruh terhadap kekuatan pancaran ilmunya. Namun jika seseorang sekali terlibat pertempuran dengan Ki Rangga, dia tidak akan mempunyai kesempatan untuk menghindar ataupun melarikan diri.”
“Bagaimana Ki Sanak?” berkata ujud semu Ki Rangga itu kemudian membuyarkan angan-angan lawannya, “Apakah Ki Sanak tetap akan memaksakan diri untuk memasuki bilik? Aku masih memberikan kesempatan kepada Ki Sanak untuk berpikir dan merenung, justru di antara kita sebenarnya belum pernah bertemu dan terlibat dalam sebuah permasalahan.”
Eyang Guru tertegun. Hatinya menjadi semakin ragu-ragu untuk sekali lagi membenturkan ilmunya dengan ilmu perguruan orang bercambuk. Jika di luar sana dia masih mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu murid utama orang bercambuk ini, bagaimana dengan sekarang ini, di saat ujud semu Ki Rangga hanya berada beberapa langkah saja dari sumber pancaran ilmunya.
“Tentu kekuatannya menjadi semakin berlipat-lipat,” berkata Eyang Guru dalam hati dengan dada yang semakin bergemuruh.
“Aku kira Ki Rangga benar Ki Sanak,” tiba-tiba Eyang Guru kembali dikejutkan oleh hadirnya seseorang di ruang tengah itu.
Ternyata Ki Waskita telah memasuki ruang tengah. Dengan langkah satu-satu, orang yang semasa mudanya benama Jaka Raras itu melangkah mendekat.
“Gila!” geram Eyang Guru begitu melihat Ki Waskita melangkah mendekat, “Aku menyesal tidak membunuhmu terlebih dahulu sebelum menemukan tempat samadi Ki Rangga.”
Ki Waskita tersenyum sambil berdiri mengambil jarak beberapa langkah di samping Eyang Guru. Katanya kemudian, “Ki Sanak, lebih baik Ki Sanak menyerah saja. Ki Sanak sudah kehilangan kesempatan. Percayalah, kami bukan sekelompok manusia yang tak berhati dan berjantung. Kami akan menyerahkan semua persoalan yang terjadi ini kepada yang berwenang, yaitu Mataram.”
“Omong kosong!” kembali Eyang Guru menggeram seperti geraman seekor harimau yang lapar, “Aku tahu kalian adalah sekelompok manusia yang tidak tidak lebih baik dari gerombolan serigala lapar. Kalian akan memeras keterangan sampai darahku kering sebelum akhirnya kalian akan melemparkan mayatku ke tepian sungai praga untuk menjadi santapan burung-burung liar!”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu derap kaki-kaki kuda itu semakin jelas terdengar dan agaknya rombongan Ki Gede telah memacu kuda-kuda itu di sepanjang jalan padukuhan.
Demikianlah sebenarnya yang telah terjadi. Ketika pendengaran orang-orang tua itu menangkap lamat-lamat suara ledakan cambuk beberapa kali dari arah kediaman Ki Gede, tanpa menunda waktu lagi mereka pun segera memacu kuda-kuda mereka.
“Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Ki Gede dengan nada sedikit ragu-ragu sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga yang berpacu di sebelahnya.
“Bukankah Ki Rangga sedang sakit?” Ki Jayaraga justru balik bertanya.
“Entahlah,” jawab Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai getar di dadanya, “Semoga kita belum terlambat.”
“Ada Ki Waskita, Ki Gede,” sahut Ki Jayaraga sambil menghentak lambung kuda tunggangannya agar perpacu lebih cepat, “Selebihnya masih ada Glagah Putih, Rara Wulan dan Pandan Wangi serta Sekar Mirah.”
Ki Gede tidak menyahut, namun orang tua yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu benar-benar tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Dalam pada itu, di ruang tengah kediaman Ki Gede, Eyang Guru benar-benar sedang mengalami kegelisahan yang luar biasa. Kehadiran orang yang bernama Ki Waskita itu tentu tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Sementara untuk mengatasi ujud semu Ki Rangga dia masih diliputi oleh keragu-raguan dan berbagai pertimbangan.
“Sebentar lagi rombongan Ki Gede akan memasuki regol,” berkata Ki Waskita kemudian membuyarkan lamunan Eyang Guru, “Apakah Ki Sanak sudah mengambil keputusan?”
“Tutup mulutmu!” bentak Eyang Guru sambil mengangkat keris pusakanya tinggi-tinggi. Agaknya Eyang Guru sudah tidak dapat melihat jalan lain selain mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit, “Tidak ada kata menyerah bagi para pengikut trah Pangeran Sekar Seda Lepen. Kami berjuang untuk menegakkan keadilan di tanah ini. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Sak dumuk bathuk, sak nyari bumi, dak belani taker pati!”
Selesai berkata demikian, dengan cepat Eyang Guru memutar keris Kiai Sarpasri di atas kepalanya. Segera saja badai pusaran angin bercampur lidah api telah berputar dengan dahsyat mengelilingi tubuh Eyang Guru dan menimbulkan suara menderu di sertai loncatan lidah api yang menjulur.
Ki Waskita yang sudah mengalami kedahsyatan ilmu Eyang Guru segera bergeser setapak. Ikat kepalanya telah dilepas dan kini dibelitkan di lengan tangan kirinya. Sementara ujud semu Ki Rangga pun segera memutar cambuknya di atas kepala, siap melontarkan aji pamungkas perguruan orang bercambuk.
Sejenak kemudian badai api itu pun semakin dahsyat berputar di ruang tengah kediaman Ki Gede yang luas. Rasa-rasanya seluruh isi ruangan itu ikut berputar. Dinding-dinding yang terbuat dari kayu jati tebal itu telah berderak-derak dan sebagian telah terjilat oleh api yang terloncat dari pusaran angin sehingga menimbulkan bekas yang kehitam-hitaman.
Agaknya Eyang Guru sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Derap kaki-kaki kuda itu sudah terdengar memasuki regol halaman rumah Ki Gede Menoreh. Maka diawali dengan sebuah teriakan yang menggelegar memekakkan telinga, Eyang Guru pun dengan segenap kekuatannya telah meloncat sambil melontarkan pusaran angin bercampur api.
Namun, yang terjadi kemudian adalah benar-benar di luar dugaan. Ketika ujud semu ki Rangga sudah siap membenturkan puncak ilmu perguruan bercambuk dan Ki Waskita siap membentengi dirinya dengan puncak ilmunya pula, ternyata Eyang Guru telah meloncat tinggi dan menghentakkan ilmunya yang nggegirisi itu tidak ke arah kedua lawannya, akan tetapi justru pusaran angin bercampur lidah api itu meluncur menghantam langit-langit ruang tengah dan menjebol tembus sampai atap.
Demikian atap di atas ruang tengah itu jebol dan menimbulkan suara yang menggelegar, tubuh Eyang Guru telah melesat bagaikan tatit yang meloncat di udara keluar melalui lobang di atap yang menganga.
Kedua lawannya sejenak bagaikan terkesima melihat Eyang Guru telah lenyap bayangannya menghilang melalui atap rumah yang jebol. Sebenarnya Ki Waskita bisa saja mengejar Eyang Guru dengan cara meloncat melalui atap yang jebol itu, namun kesadarannya segera mencegahnya. Ki Waskita belum tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh lawan selanjutnya. Jika dia nekat meloncat naik menyusul Eyang Guru ke atap sedangkan lawan telah siap menyambutnya dengan ilmunya yang nggegirisi itu, tentu dirinya akan menemui kesulitan untuk menghindar pada saat tubuhnya masih melayang di udara.
Dalam pada itu Eyang Guru yang telah merasa terbebas dari kedua lawannya segera meninggalkan rumah ki Gede sejauh-jauhnya. Dinding pembatas rumah ki Gede yang tinggi itu sama sekali bukan halangan yang berarti baginya. Dengan gerakan yang sangat cepat Eyang Guru telah melintasi sebuah padang perdu kecil sebelum akhirnya mencapai sebuah sungai yang tidak seberapa besar yang membelah padukuhan induk.
Ketika Eyang Guru kemudian menuruni tebing sungai yang landai, pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan telah menangkap bayangan seseorang yang berdiri dengan kaki renggang di atas tepian sungai yang berpasir.
“Gila!” geram Eyang Guru begitu dia mengenali siapakah bayangan orang yang berdiri di tepian itu.
“Persetan dengan ilmu pengangen-angenmu Ki Rangga!” geram Eyang Guru kembali, “Jarak ini cukup jauh dari bilik tempatmu bersamadi. Aku tidak akan takut untuk membenturkan ilmuku.”
Selesai berkata demikian, Eyang Guru segera mengambil ancang-ancang. Keris Kanjeng Kiai Sarpari yang telah disarungkan kini dihunusnya kembali. Namun sebelum Eyang Guru memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetrapkan puncak ilmunya yang nggegirisi, tiba-tiba saja ujud semu yang berada beberapa langkah di hadapannya perlahan memudar. Seiring dengan semilirnya angin menjelang dini hari yang bertiup sedikit kencang, ujud semu Ki Rangga itu pun bagaikan asap yang menebar dan perlahan menghilang.
Untuk sejenak Eyang Guru masih termangu-mangu di tepian. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dia berdesis perlahan, “Agaknya Ki Rangga telah sadar dari samadinya karena sesuatu hal. Untung aku telah mengambil keputusan yang tepat untuk meloloskan diri dari rumah terkutuk itu. Seandainya rombongan Ki Gede sempat hadir sebelum aku sempat meloloskan diri, tentu mereka akan menangkapku beramai-ramai seperti menangkap seekor kelinci, dan kemudian berusaha menguras keterangan dari mulutku tentang trah Pangeran Sekar Seda Lepen.”
Sejenak Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan udara pagi yang terasa sangat segar. Rasa-rasanya tubuh Eyang Guru yang letih sehabis menyabung nyawa menjadi pulih kembali.
“Raden Wirasena harus segera mencari beberapa hubungan dengan perguruan-perguruan yang sehaluan dengannya. Para Rajawali dari pegunungan kapur mungkin bisa dilibatkan, demikian juga Ki Rambang dan Ki Suluh,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Rencana Raden Wirasena untuk membenturkan kekuatan Madiun dengan Mataram pada waktu itu ternyata gagal. Dengan sangat licik Juru Mertani berhasil mengelabuhi para Adipati pendukung Panembahan Madiun untuk meninggalkan Madiun sehingga Madiun akhirnya dapat ditundukkan oleh Mataram dengan mudah,” Eyang Guru berhenti berangan-angan sejenak. Kemudian lanjutnya, “Percobaan pembunuhan atas Panembahan Senapati oleh murid-murid perguruan Nagaraga pada waktu itu sebenarnya hanyalah untuk mempercepat benturan Mataram dan Madiun, namun ternyata justru perguruan Nagaraga yang terlebih dahulu berhasil dihancurkan oleh Mataram.”
Kembali Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam. Setelah mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, Eyang Guru itu pun kemudian melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu kuda-kuda yang dipacu dengan kencang telah memasuki regol halaman rumah Ki Gede Menoreh. Pada saat terakhir mereka masih mendengar ledakan yang menggelegar dan melihat atap rumah Ki Gede bagaikan meledak dan kemudian terbakar.
“Gila!” hampir setiap mulut berseru dengan geram. Sekilas Ki Gede dan Ki Jayaraga yang berpandangan tajam melihat seseorang meloncat keluar dari atap yang terbakar dan kemudian menghilang.
“Tentu seseorang yang pilih tanding,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berdesis perlahan.
Dengan tanpa mengurangi kecepatan sama sekali, rombongan berkuda itu pun segera memasuki halaman rumah Ki Gede yang luas. Begitu mereka hampir mencapai tangga pendapa, dengan segera mereka menarik tali kekang kuda-kuda itu sehingga kuda-kuda itu pun telah meringkik keras dan berhenti dengan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Dengan tangkasnya para penunggang kuda itu telah meloncat turun. Tanpa menghiraukan kuda-kuda mereka, Ki Gede dan Ki Jayaraga segera berlari melintasi pendapa. Pandangan pertama yang membuat darah mereka tersirap adalah pintu pringgitan yang runtuh menjadi abu. Masih ada sedikit sisa-sisa potongan-potongan kayu yang membara, namun selebihnya sudah padam.
Dengan bergegas kedua orang tua itu segera melewati pintu pintu pringgitan yang jebol dan hangus terbakar menuju ke ruang tengah. Sementara para pengawal yang ikut rombongan Ki Gede, sebagian segera berlari-larian mencari tangga dan peralatan untuk memadamkan api.
Memang sepeninggal Eyang Guru, jerit tangis dan kegaduhan segera terjadi di dalam rumah Ki Gede. Para perempuan-perempuan yang tidur di dapur telah menjerit-jerit mendengar ledakan yang dahsyat dan menghancurkan atap di atas ruang tengah. Segera saja tercium bau asap dan suara gemeretak api yang membakar atap rumah Ki Gede. Beberapa laki-laki pekerja rumah Ki Gede yang sebelumnya bersembunyi ketakutan, dengan memberanikan diri telah keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Kesempatan yang kisruh ini ternyata telah dimanfaatkan oleh Gandon dan kawan-kawannya. Begitu mereka menyadari bahwa Eyang Guru telah meninggalkan tempat itu, segera saja Gandon memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk menarik diri.
Demikianlah ketika terdengar suitan nyaring dua kali berturut turut, dengan segera orang-orang yang memasuki rumah Ki Gede itu bergerak mundur dengan cepat. Sedangkan para pengawal dengan sengaja tidak mengejar mereka. Selain berbahaya, mereka juga ingin segera membantu kawan-kawannya yang sedang memadamkan api yang membakar atap di atas ruang tengah.
“Biarkan mereka!” teriak Glagah Putih begitu melihat beberapa pengawal mencoba mengejar selangkah dua langkah, “Kita bantu kawan-kawan kita memadamkan api!”
Demikianlah, dengan menggunakan tangga dan alat-alat seadanya, mereka mengangkut air dari perigi untuk memadamkan api yang berkobar-kobar. Beberapa tetangga kiri kanan Ki Gede yang semula takut keluar rumah ketika mendengar orang-orang bertempur, kini telah keluar dari rumah masing-masing dan membantu memadamkan api.
Dalam pada itu, Ki Gede dan Ki Jayaraga yang telah memasuki ruang tengah sejenak tertegun. Mereka berdua masih melihat sisa-sisa api yang menyala di atas atap yang menganga. Beberapa potong kayu yang masih membara berjatuhan di lantai yang kotor oleh abu dan basah oleh air yang tertumpah sisa-sisa dari guyuran air pada saat orang-orang memadamkan api.
Terdengar suara riuh-rendah teriakan orang-orang di atas atap yang masih berusaha memadamkan api yang tinggal sedikit. Ternyata dengan cepat api dapat dipadamkan sehingga tidak sempat menjalar ke tempat yang lebih jauh. Tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitarnya, Glagah Putih yang ikut memanjat ke atas atap telah menggunakan ilmunya yang bertumpu pada kekuatan air untuk memadamkan api yang menyala-nyala itu.
Ketika kedua orang tua itu masih merenungi ruang tengah yang porak poranda itu, tiba-tiba saja pintu bilik Ki Rangga berderit terbuka. Seraut wajah cantik namun tampak lelah muncul dari balik pintu.
“Wangi!” seru Ki Gede sambil setengah berlari mendapatkan putri satu-satunya, “Kau tidak apa-apa? Bagaimana dengan yang lainnya?”
“Ayah! Ayah Argapati!” seru Pandan Wangi sambil berlinang air mata. Dengan cepat disarungkan sepasang pedangnya kemudian dengan tergesa-gesa dia segera menyambut pelukan ayahnya.
“Semua baik-baik ayah. Hanya Kakang Agung Sedayu tampaknya belum tersadar dari samadinya.” Berkata Pandan Wangi di antara sedu sedannya.
“Syukurlah,” berkata Ayahnya kemudian sambil membimbing putrinya berjalan kembali ke bilik Ki Rangga, “Mari kita lihat keadaan Ki Rangga. Semoga Yang Maha Agung masih melindunginya.”
Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga, Ki Gede pun berkata, “Marilah Ki Jayaraga, kita menengok keadaan Ki Rangga.”
Ki Jayaraga tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mengikuti langkah Ki Gede dari belakang. Sesekali kepalanya menengok ke atas, mengamati atap ruang tengah yang jebol. Sisa-sisa kebakaran itu memang masih tampak namun berkat kecekatan para pengawal dan para pekerja rumah Ki Gede, api itu segera dapat dipadamkan.
“Ternyata kebakaran itu dengan cepat dapat dipadamkam,” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil tersenyum dan mengikuti langkah Ki Gede, “Agaknya Glagah Putih tanggap dan telah menggunakan kemampuan ilmunya untuk membantu mempercepat pemadaman.”
Begitu Ki Gede memasuki bilik, sejenak pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu tertegun. Di atas pembaringan tampak Ki Rangga terbujur diam sementara di atas sebuah dingklik kayu beberapa jengkal dari bibir pembaringan, Ki Waskita sedang duduk dengan kedua tangan bersilang di dada sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dan kedua mata terpejam.
Sekar Mirah dan Rara Wulan yang ikut menunggui Ki Rangga dan berdiri di sebelah menyebelah pembaringan hampir saja berseru begitu melihat Ki Gede dan Ki Jayaraga memasuki bilik. Untunglah Ki Gede segera memberi isyarat untuk tetap tenang agar tidak mengganggu pemusatan nalar dan budi Ki Waskita.
“Rara, kau dapat mengajak Damarpati dan Bagus Sadewa kembali ke biliknya,” dengan setengah berbisik Ki Gede berkata kepada Rara Wulan sambil memandang Damarpati yang masih bersimpuh di sudut bilik sambil mendekap Bagus Sadewa.
Rara Wulan sejenak berpaling ke arah Damarpati. Damarpati pun ternyata telah tanggap dan segera berdiri.
“Kami mohon diri,” berkata Rara Wulan kemudian sambil mengangguk ke arah kedua orang tua itu. Kemudian kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi dia juga berpamitan.
“Setelah Kakang Agung Sedayu sadarkan diri, aku akan menyusul kalian,” bisik Sekar Mirah sambil beringsut mendekat ke arah Damarpati. Setelah mencium pipi anaknya yang sedang tertidur lelap dengan penuh kasih, dilepaskannya kedua perempuan itu keluar bilik.
Sepeninggal kedua perempuan itu, Ki Rangga yang semula terbujur diam tampak mulai bergerak dan membuka kedua matanya perlahan. Terdengar sebuah desah tertahan sebelum akhirnya Ki Rangga mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil mengangkat kepala dan juga mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Jangan terlalu memaksakan diri. Aku sengaja mengganggu pemusatan samadimu agar Angger tidak terlalu jauh tenggelam dalam alam bawah sadar. Bagaimana pun juga, kekuatan wadag seseorang itu ada batasnya.”
Ki Rangga tidak menjawab. Untuk beberapa saat dia masih berusaha menilai keadaan sekujur tubuhnya. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan dan seluruh persendiannya terasa bengkak dan sakit. Demikian juga kulit di sekujur tubuhnya terasa pedih bagaikan ditusuk-tusuk oleh duri kemarung.
Setelah sekali lagi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang terasa sedikit sesak, Ki Rangga pun kemudian berkata sambil tersenyum, “Terima kasih Ki Waskita. Rasa-rasanya masih agak sulit untuk mengendalikan gejolak di dalam dada ini. Masih banyak yang perlu dipahami dan didalami.”
Kau benar ngger,” sahut Ki Waskita. Kemudian sambil berpaling ke arah kedua orang tua itu, Ki Waskita berkata, “Selamat datang Ki Gede dan Ki Jayaraga. Agaknya aku bukan seorang penunggu rumah yang baik. Seseorang telah merusak atap rumah Ki Gede tanpa aku dapat mencegahnya.”
“Ah,” hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga tersenyum. Berkata Ki Gede kemudian, “Syukurlah semuanya selamat atas berkah dan lindungan Yang Maha Agung,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian katanya kepada Ki Rangga, “Sebaiknya Ki Rangga beristirahat dulu di sisa malam ini. Aku akan melihat-lihat keadaan seputar rumah dan juga memberikan ketenangan kepada para penghuni rumah ini yang masih ketakutan agar segera dapat bekerja kembali.”
“Terima kasih Ki Gede,” jawab Ki Rangga, “Untuk sementara aku belum dapat membantu apa-apa selain hanya merepotkan Ki Gede.”
“Sudahlah Ki Rangga,” jawab Ki Gede sambil tersenyum, “Aku akan turun ke halaman terlebih dahulu untuk melihat para pengawal. Selanjutnya biarlah Pandan Wangi yang ke dapur untuk menenangkan para pembantu. Sementara Ki Jayaraga mungkin dapat melihat-lihat atap yang jebol untuk mencari tukang kayu agar kerusakan yang terjadi segera dapat diperbaiki.”
“Aku kira itu tidak perlu Ki Gede. Pada saat aku masih muda, aku pernah menjadi seorang tukang kayu,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta yang disambut dengan senyuman oleh mereka yang hadir di bilik itu.
“Aku setuju dengan Ki Jayaraga, Ki Gede,” sahut Ki Waskita sambil bangkit berdiri, “Jika memang Ki Jayaraga bersedia menjadi tukangnya, biarlah aku yang menjadi pembantunya, namun dengan satu syarat.”
Beberapa orang yang berada di dalam bilik itu mengerutkan kening. Ki Gede lah yang kemudian bertanya, “Apakah syarat itu Ki Waskita?”
“Aku menuntut upah yang sama,” jawab Ki Waskita yang disambut dengan gelak tawa oleh orang-orang di sekitarnya.
Demikianlah akhirnya Ki Gede dan Ki Jayaraga pun segera meninggalkan bilik diikuti oleh Pandan Wangi. Sementara Ki Waskita masih memberikan beberapa pesan kepada Ki Rangga Agung Sedayu sebelum menyusul orang-orang yang telah terlebih dahulu meninggalkan bilik.
“Mirah,” berkata Ki Rangga kemudian setelah Ki Waskita hilang di balik pintu, “Aku merasa sangat haus. Apakah kau dapat membuatkan aku semangkuk minuman hangat?”
“Sebentar Kakang,” jawab Sekar Mirah sambil bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan ke dapur. Sekalian akan aku ambilkan makanan jika Kakang juga merasa lapar.”
“Tidak Mirah,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Aku hanya haus saja.”
“Beberapa potong ketela rebus barangkali?” bertanya Sekar Mirah kemudian.
Ki Rangga tidak menjawab hanya menggelengkan kepalanya.
“Baiklah Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil membungkuk dan menyelimuti suaminya dengan kain panjang, “Jangan tidur dulu sebelum aku datang membawa minuman hangat.”
Ki Rangga tersenyum sambil memandang ke arah istrinya dengan tatapan penuh rasa kasih sayang.
Demikianlah sejenak kemudian Sekar Mirah pun telah meninggalkan Ki Rangga di dalam bilik itu sendirian.
Dalam pada itu malam telah sampai ke ujungnya. Pebukitan Menoreh yang semula terlelap dalam buaian dinginnya malam, perlahan telah terbangun oleh suara seruan yang berkumandang mengingatkan dan mengajak umat manusia untuk segera menunaikan kewajibannya kepada Sang Maha Pencipta. Dengan berduyun-duyun dan dilambari niat ikhlas hanya menyembah kepada Dzat Yang Tunggal, para penghuni padukuhan-padukuhan yang tersebar di kaki pebukitan Menoreh itu pun menuju ke tempat-tempat ibadah.
Seorang pemuda tampak berjalan di antara para penghuni padukuhan. Wajah pemuda itu tampak tenang dengan tatapan mata yang penuh wibawa. Baju yang dipakainya sangat sederhana sebagaimana orang kebanyakan namun tidak mengurangi pesona orang yang memakainya.
Sejenak kemudian setelah mengambil air untuk bersuci, pemuda itu pun kemudian menaiki tlundak bangunan yang diperuntukkan khusus untuk beribadah.
Ternyata sudah banyak orang-orang yang berdiri berjajar-jajar membentuk barisan berlapis-lapis. Ketika pemuda itu kemudian mengambil tempat di barisan paling belakang, tiba-tiba seseorang yang sudah beruban telah menggamitnya.
“Raden,” bisik orang tua itu sambil membimbing pemuda itu berjalan menerobos sela-sela barisan, “Mohon sudilah kiranya Raden pemimpin kami untuk melaksanakan ibadah subuh ini.”
Pemuda itu sejenak menghentikan langkahnya. Tanpa sadar dipandanginya wajah orang tua yang berdiri sangat dekat dengan dirinya itu. Tiba-tiba saja dada pemuda itu berdesir tajam begitu memandang seraut wajah yang sareh dengan sepasang mata yang teduh, seteduh lautan yang tenang tanpa riak dan gelombang.
Setelah menarik nafas terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba saja bergejolak, pemuda itu pun kemudian menjawab juga dengan berbisik, “Mengapa Kakek memanggilku dengan gelar Raden? Dan selebihnya aku juga tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin kalian dalam hal beribadah ini.”
“Ah,” desah orang tua itu sambil kembali menarik lengan pemuda itu, “Aku sering melihat Raden di alun-alun kota Gede setiap ada pasewakan agung. Bukankah Raden setiap kali selalu menyempatkan diri turun dari pendapa agung untuk sekedar menyapa para kawula alit yang pada saat itu sedang ikut menyaksikan pasewakan agung? Aku adalah pedagang keliling yang sering singgah di Kota Raja. Walaupun aku sudah tua, namun pandangan mataku tidak pernah salah. Bukankah sekarang ini aku sedang berhadapan dengan Raden Mas Rangsang pangeran Pati Mataram?”
Pemuda itu yang memang adalah Raden Mas Rangsang sejenak bagaikan membeku di tempatnya. Bagaimana mungkin seseorang dengan mudahnya dapat mengenali dirinya dalam ujud yang sederhana sebagaimana orang kebanyakan?
“Siapakah sebenarnya Kakek ini?” bertanya Raden Mas Rangsang kemudian sambil kembali memandang wajah orang yang berdiri hanya selangkah di hadapannya. Entah apa sebenarnya yang sedang terjadi, setiap kali pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah tua itu, dadanya selalu saja tergetar.
“Sudahlah Raden,” bisik orang tua itu kemudian sambil tersenyum sareh, “Jangan pedulikan aku. Mereka sudah cukup lama menunggu. Kami para penghuni padukuhan ini memang kurang mendapat tuntunan dan bimbingan yang memadai dalam menimba ilmu kasampurnaning ngaurip, sehingga kehadiran Raden di tempat ini diharapkan akan dapat sedikit membantu.”
Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Memang di istana dia mendapat pelajaran tentang kawruh kehidupan bebrayan dan kelanggengan dari para ulama yang memang khusus didatangkan untuk mengajar para kerabat istana. Agaknya di tempat yang jauh terpencil seperti padukuhan ini kurang mendapat perhatian dan tuntunan serta bimbingan dalam menimba kawruh itu.
“Aku akan memohon kepada Ayahanda untuk mengirimkan para Ulama sampai ke pelosok padukuhan yang terpencil sekalipun. Agar tata kehidupan bebrayan dan kehidupan kelanggengan dapat berjalan seiring, sehingga para kawula Mataram dimana pun mereka berada akan mendapat kesempatan yang sama dalam nggayuh marang kasampurnan,” berkata Raden Mas Rangsang dalam hati.
“Bagaimana Raden?” pertanyaan orang tua itu menyadarkan Pangeran Mataram itu dari lamunannya.
“Baiklah, Kek,” jawab Raden Mas Rangsang akhirnya, “Aku akan melaksanakannya dengan sedikit kemampuan yang ada pada diriku. Namun di kemudian hari, harus ada orang yang khusus membimbing para penghuni padukuhan ini dalam menimbakawruh kasampurnan ini.”
Selesai berkata demikian, Raden Mas Rangsang segera melangkah ke depan. Dengan segera orang-orang yang berbaris itu pun menyibak untuk memberinya jalan.
Ketika Raden Mas Rangsang sudah berdiri di depan menghadap orang-orang yang telah berbaris dengan rapi, dengan nada yang dalam pangeran Pati Mataram itu pun kemudian berkata, “Luruskanlah barisan kalian, sesungguhnya lurusnya barisan kalian, akan mencerminkan lurusnya hati.”
Orang-orang itu sejenak masih saling bergeser untuk menyesuaikan dengan kawan-kawan di sebelahnya. Setelah dirasa cukup, Raden Mas Rangsang pun kemudian memutar tubuhnya menghadap kiblat untuk memulai memimpin ibadah kepada Sang Maha Pencipta.
Suasana benar-benar tenang dan khusyuk. Bacaan Kitab Suci Raden Mas Rangsang terdengar mengalir dengan jelas dan jernih. Orang-orang yang berdiri di belakangnya seolah-olah telah terbuai ke alam bawah sadar mereka dan dengan sepenuh hati menghadapkan jiwa dan raga mereka pasrah kepada Dzat Yang Maha Agung.
Demikianlah Raden Mas Rangsang yang masih muda itu telah mendapat kepercayaan untuk memimpin para penghuni padukuhan untuk melaksanakan ibadah pagi itu. Namun, alangkah kecewanya putra Panembahan Hanyakrawati itu ketika ibadah telah ditunaikan dan satu-persatu para penghuni padukuhan telah kembali ke rumah masing-masing, orang tua yang memintanya untuk memimpin ibadah pagi itu tidak dijumpainya lagi. Walaupun Raden Mas Rangsang sudah berusaha dengan seksama mengamati satu-persatu orang-orang yang menyalaminya, namun bayangan orang tua yang berwajah sareh dan bermata teduh bagaikan samudra itu tidak dijumpainya lagi.
Untuk beberapa saat, Raden Mas Rangsang masih berdiri termangu-mangu ketika orang yang terakhir meninggalkan tempat itu. Dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan. Tampak langit di sebelah timur mulai terlihat cerah dengan hiasan cahaya merah kekuning-kuningan. Cahaya yang indah itu mulai menyentuh pucuk-pucuk pepohonan dan menebar di atas hamparan padang-padang rumput serta membelai butiran-butiran embun sehingga tampak bagaikan hamparan permadani indah bertabur jutaan permata yang berkilauan.
“Alangkah indahnya pagi ini,” berkata Mas Rangsang dalam hati sambil menuruni tlundak. Dihirupnya udara pagi yang bersih sepuas-puasnya untuk melonggarkan dadanya dan melancarkan segenap aliran darah di sekujur tubuhnya.
Perlahan cucu Panembahan Senapati itu berjalan menyusuri lorong padukuhan yang masih sepi. Sesekali dari regol-regol rumah yang masih tertutup rapat itu terdengar derit orang mengambil air dari perigi serta suara sapu lidi dalam irama yang ajeg. Tak jarang terdengar suara tangis kanak-kanak yang terbangun dan berteriak-teriak memanggil biyung mereka yang sedang sibuk bekerja di dapur.
Angin pagi bertiup dengan lembut. Tak terasa langkah Raden Mas Rangsang sudah mendekati regol padukuhan yang sangat sederhana. Regol itu terbuat dari kayu randu yang sudah agak lapuk dimakan usia. Sedangkan kedua pintunya dibiarkan saja terbuka tanpa ada seorang pengawal padukuhan pun yang menjaganya.
“Agaknya padukuhan ini tergolong padukuhan yang aman,” berkata Mas Rangsang dalam hati sambil mengamati sebuah gardu yang hampir roboh di sebelah regol, “Atau mungkin para penghuni padukuhan ini sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di sekitarnya.”
Raden Mas Rangsang sejenak berhenti berangan-angan. Tanpa sadar diayunkan langkahnya mendekati gardu yang hampir roboh itu.
“Sudah lama gardu itu tidak disentuh sama sekali,” berkata Raden Mas Rangsang sambil mengamati-amati sarang laba-laba yang banyak menghiasi sudut-sudut gardu yang kumuh. Ketika pangeran Pati Mataram itu kemudian mencoba menyentuh lantai gardu yang terbuat dari papan kayu, debu tebal dan kehitam-hitaman segera saja melekat di ujung jarinya.
“Keadaan aman dan tentram yang dirasakan oleh para penghuni padukuhan ini telah melalaikan mereka,” berkata Mas Rangsang dalam hati sambil membersihkan ujung jarinya dengan kain panjangnya, “Jika sesuatu yang tidak dikehendaki tiba-tiba saja melanda padukuhan ini, barulah mereka akan menyesali kelengahannya.”
Setelah puas mengamat-amati gardu yang hampir roboh itu, Adipati Anom Mataram itu pun kemudian meneruskan langkahnya keluar dari padukuhan itu melalui pintu gerbang.
Sejenak kemudian Raden Mas Rangsang pun tengah menyusuri sebuah bulak pendek yang menghubungkan padukuhan kecil itu dengan sebuah hutan lebat di kaki pegunungan Menoreh.
Di sebelah menyebelah bulak itu terhampar sawah-sawah yang kering. Musim hujan memang belum turun dan sawah-sawah itu dibiarkan saja dalam keadaan bera. Pematang-pematang di beberapa tempat dibiarkan saja longsor dan ditumbuhi rumput-rumput liar. Sementara tanah-tanah pesawahan itu sendiri telah berubah menjadi padang rumput dan semak belukar.
Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Padukuhan kecil di kaki pebukitan Menoreh sebelah timur ini memang bukan termasuk wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Padukuhan kecil itu masih termasuk wilayah penyangga dari ibu kota Mataram yang pengawasannya di bawah Pepatih Dalem Mataram.
“Eyang Buyut Mandaraka sudah terlalu sepuh. Wajar jika pengawasan terhadap Padukuhan ini kurang seksama,” berkata Mas Rangsang sambil terus berjalan menyusuri bulak yang terhitung cukup pendek, “Kalau tidak salah nama padukuhan tadi adalah padukuhan Tanggulan. Sekembalinya nanti aku ke Kota Gede, aku akan memohon kepada Ayahanda untuk menunjuk seorang Kadang Sentana untuk mengawasi padukuhan Tanggulan ini.”
Tanpa terasa langkah Raden Mas Rangsang telah sampai di ujung bulak. Kini di hadapannya terbantang sebuah padang perdu yang tidak seberapa luas yang terhubung langsung dengan hutan yang masih lebat dan pepat.
Sejenak Mas Rangsang memandangi jalur jalan setapak yang tampak menjelujur di sela-sela rumput-urmput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar. Beberapa pohon perdu tampak tumbuh bertebaran di padang yang tidak seberapa luas itu.
“Para penghuni padukuhan agaknya juga memanfaatkan hutan itu untuk kebutuhan mereka,” berkata Raden Mas Rangsang dalam hati, “Mereka dapat mengambil mafaat hutan itu bagi kebutuhan mereka, kayu untuk sekedar mengasapi dapur atau pun kebutuhan yang lebih besar, untuk bahan bangunan rumah barangkali.”
Dengan tanpa ragu-ragu, cucu Panembahan Senapati itu pun kemudian melangkah menyeberangi padang perdu. Ketika kakinya sudah mulai menginjak tanah yang lembap di bawah pohon-pohon yang menjulang tinggi, tiba-tiba pendengaran Raden Mas Rangsang yang tajam telah menangkap lamat-lamat suara seseorang di dalam hutan itu. Suara itu masih belum begitu jelas. Timbul tenggelam terbawa desir angin yang menerobos di sela-sela dedaunan yang lebat.
Semakin jauh menyusup ke dalam hutan, suara itu terdengar semakin jelas. Ternyata yang terdengar oleh Putra Mahkota Mataram itu adalah suara orang sedang membaca ayat-ayat dari Kitab Suci. Ketika Raden Mas Rangsang kemudian menerobos di sela-sela gerumbul dan sulur-sulur serta akar-akar pohon yang silang melintang, pandangan matanya segera saja menangkap sebuah gubuk reyot beberapa tombak di hadapannya. Dari dalam gubuk itulah suara itu terdengar.
Sejenak Raden Mas Rangsang menghentikan langkahnya. Diperhatikan suara itu dengan seksama. Alangkah merdunya suara orang yang sedang membaca ayat-ayat suci itu. Suaranya mengalun merdu kadang meninggi tajam menusuk dada menembus jantung, kadang merendah mengusap dan membelai hati sanubari. Namun tak jarang suara itu menghentak dada dan mengorek isinya.
“Siapakah orang yang sedang membaca ayat-ayat suci ini?” gumam Mas Rangsang perlahan.
Tanpa disadarinya Raden Mas Rangsang segera mencari sebuah tempat duduk. Ketika dilihatnya sebuah akar pohon yang tumbul menonjol tidak seberapa jauh dari tempatnya berdiri, Raden Mas Rangsang pun segera menghampiri dan duduk di atasnya.
Dalam pada itu suara alunan ayat-ayat suci itu pun terus berlanjut. Suasana di sekitar hutan itu benar-benar sunyi senyap. Angin seolah-olah telah berhenti berhembus. Beberapa ekor burung tampak bergerombol di dahan-dahan yang rendah tanpa berani memperdengarkan kicauan mereka sama sekali. Mereka seakan akan sedang terkesima dan ikut hanyut dalam buaian alunan merdu kalam Ilahi. Sementara seekor ular sebesar lengan orang dewasa tampak melingkar diam tak bergerak di bawah sebatang pohon yang tumbuh di dekat gubuk itu. Kedua matanya yang hitam legam itu terpejam rapat seolah-olah sedang ikut menghayati alunan bacaan ayat-ayat Kitab Suci. Di sebelahnya, di antara gerumbul dan semak belukar seekor induk burung puyuh tampak sedang mengerami telur-telurnya dengan tenang tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Alunan ayat-ayat suci itu begitu menghanyutkan. Tanpa terasa setitik demi setitik air mata mulai menyembul di sudut mata Raden Mas Rangsang. Setiap kali ayat yang dibaca itu mengulang dan mengulang pertanyaan Sang Maha Pencipta kepada hamba-hambaNya tentang nikmat yang tiada taranya namun yang selalu didustakan, setiap kali pula jantung Raden Mas Rangsang bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?” desah Raden Mas Rangsang lirih melafalkan kembali ayat-ayat suci itu. Sementara air matanya semakin deras mengalir bagaikan aliran anak sungai di musim penghujan.
--oo0oo—

Bersambung ke TDBM 414

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403