Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 413
buku 413
****
Demikianlah, akhirnya Ki Patih dan orang-orang tua itu segera
menempatkan diri duduk bersila di atas sehelai tikar pandan yang terbentang di
tengah-tengah pendapa. Sementara Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya serta
orang-orang yang lain telah ikut pula duduk bersila melingkar menghadap ke arah
Ki Patih.
Dalam pada itu, di antara
gerumbul dan semak belukar yang bertebaran di belakang dinding banjar padukuhan
induk, dua sosok bayangan tampak merayap mendekati dinding pembatas yang berada
di belakang banjar.
“Apakah kita perlu
meloncati dinding, kakang?” bertanya orang yang agak gemuk dan berwajah bulat.
Yang dipanggil kakang itu
sejenak mengerutkan keningnya. Setelah mengamati keadaan sekelilingnya terlebih
dahulu, akhirnya dia pun berbisik, “Sebaiknya aku dulu yang meloncati dinding. Kau
mengawasi keadaan.”
Kawannya tidak menjawab,
hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk.
Beberapa saat kemudian,
kedua orang itu telah berdiri melekat dinding. Dengan penuh kewaspadaan
keduanya pun berusaha mendengarkan segala desir yang mungkin terdengar di luar
maupun di dalam dinding.
Ketika orang yang
berwajah bulat itu kemudian memandang wajah kawannya sambil mengangguk, maka
dengan merendahkan kedua lututnya, kawannya itu pun telah mengambil
ancang-ancang untuk meloncat ke atas dinding.
Sejenak kemudian,
bagaikan seekor burung rajawali, orang itu pun telah terbang dan hinggap dengan
tubuh tertelungkup di atas dinding. Untuk beberapa saat dia sama sekali tidak
bergerak namun pendengarannya yang tajam segera mendengar derit pintu yang
terbuka. Seleret sinar dlupak tampak muncul dari sela-sela pintu yang terbuka.
Namun sesaat kemudian sinar itu pun segera lenyap seiring dengan tertutupnya
kembali pintu dapur itu.
Apa yang terdengar kemudian adalah langkah seseorang yang tergesa-gesa
menuju ke perigi yang terletak di halaman belakang banjar. Ketika orang yang
menelungkup di atas dinding itu mengangkat kepalanya, terdengar seseorang
sedang menimba air di perigi untuk mengisi pakiwan.
Tiba-tiba terdengar pintu
dapur berderit kembali. Seseorang yang lain agaknya ke luar dari dapur dan
berjalan menuju ke halaman belakang.
“Apakah air di pakiwan
sudah penuh?” terdengar seseorang bertanya.
“Belum,” jawab orang yang
sedang menimba di perigi itu, “Tinggal sedikit lagi. Apakah Ki Patih berkenan
ke pakiwan sekarang?”
“Belum,” jawab orang yang
baru keluar dari dapur, “Mungkin nanti pada saat akan berangkat Ki Patih
memerlukan pakiwan ini.”
Kembali suasana menjadi
sunyi. Yang terdengar hanyalah derit senggot bambu dalam irama yang ajeg serta
sesekali suara air yang tertumpah ke dalam pakiwan.
Ketika sekali lagi
terdengar derit pintu dapur, orang yang menelungkup di atas dinding itu segera
berbisik kepada kawannya yang menunggu di bawah, “Aku kira aku tidak perlu
meloncat masuk. Kita sudah mendapat keterangan yang cukup.”
“Apakah Kau yakin,
kakang?” bertanya kawannya yang menunggu di bawah dinding.
Orang yang sedang
menelungkup di atas dinding itu tidak segera menjawab. Tiba-tiba saja tubuhnya
telah melayang turun dan berdiri tegak di samping kawannya.
“Aku kira kita sudah
cukup mendapat keterangan tentang Ki Patih,” katanya kemudian sambil tangannya
sibuk membersihkan debu yang melekat di pakaiannya, “Ki Patih akan kembali ke
Kota Raja malam ini juga. Kita harus segera melaporkan kepada Ki Lurah agar Ki
Lurah segera dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian kedua orang itu segera
bergeser menjauhi dinding. Dengan berlindung pada gerumbul perdu serta semak
belukar, kedua orang itu pun semakin jauh meninggalkan dinding belakang banjar
padukuhan induk.
Ketika kedua orang itu
telah semakin jauh meninggalkan dinding banjar padukuhan induk, tiba-tiba saja
dari gelapnya kerimbunan bayangan pohon sawo kecik yang tumbuh beberapa langkah
dari dinding telah muncul bayangan seseorang.
Bersamaan dengan itu,
pintu dapur pun terdengar berderit dan seseorang telah keluar menuju halaman
belakang sambil membawa dlupak yang menyala.
“Apakah Ki Patih sudah
bersiap untuk berangkat?” bertanya orang yang sedang menimba di perigi itu
sambil menuangkan air ke jambangan yang ada di dalam pakiwan.
“Ya, sebentar lagi,”
sahut orang yang membawa dlupak sambil masuk ke pakiwan. Sejenak kemudian orang
itu pun telah keluar dari pakiwan dan meninggalkan dlupak itu di atas ajug-ajug
di salah satu sudut pakiwan.
“Air di jambangan sudah
penuh,” berkata orang itu kemudian kepada kawannya yang masih berdiri
termangu-mangu di dekat perigi, “Namun sesuai perintah Ki Lurah, kita tetap di
halaman belakang ini untuk menjaga segala kemungkinan.”
Orang yang berdiri di
dekat perigi itu hanya menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah
bayangan rimbunan pohon sawo kecik. Agaknya orang ini telah melihat seseorang
keluar dari gelapnya bayangan rimbunan pohon sawo kecik dan berjalan mendekat
ke arah mereka.
“Tugas kalian telah
selesai,” berkata orang yang keluar dari gelapnya bayangan rimbunan pohon sawo
kecik itu, “Kita menunggu Ki Patih pergi ke pakiwan untuk meyakinkan bahwa
tidak ada hal-hal yang diluar perhitungan kita,” orang itu berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Perintahkan kepada kawan-kawanmu yang masih bersembunyi di
halaman belakang ini untuk segera berkemas.”
“Baik Ki Lurah,” jawab
orang yang berdiri di dekat perigi. Sejenak kemudian orang itu pun telah
melangkah ke tempat yang telah dijadikan oleh kawan-kawannya untuk bersembunyi
sambil mengamati keadaan.
“Ki Lurah,” berkata orang
yang keluar dari dapur setelah kawannya pergi, “Apakah tidak sebaiknya
perjalanan Ki Patih ditunda sampai besok? Kita tidak tahu dengan pasti sedang
berhadapan dengan siapa dan berapa sebenarnya kekuatan mereka.”
Orang yang dipanggil Ki
Lurah itu segera melangkah mendekat. Katanya kemudian, “Ki Patih sendiri yang
menghendaki permasalahan ini diselesaikan sampai tuntas malam ini juga. Ketika
prajurit sandi yang bertugas di tepian kali Praga tadi sore melaporkan adanya
gerakan beberapa orang yang mencurigakan di dalam hutan dekat tepian kali
Praga, aku sudah mempunyai gagasan seperti itu. Namun ketika Ki Patih yang baru
saja hadir tadi aku beri laporan, Ki Patih menghendaki semuanya harus terungkap
secara jelas, agar di lain waktu tidak membuat persoalan semakin besar dan
rumit.”
Orang yang diajak bicara
oleh Ki Lurah itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah sore tadi
seorang prajurit sandi yang bertugas di tepian kali Praga telah memberi laporan
kepada Ki Lurah prajurit pengawal Kepatihan di banjar padukuhan induk. Prajurit
sandi itu telah melihat adanya gerakan yang mencurigakan dari orang-orang yang
berada di dalam hutan dekat tepian kali Praga.
“Berapakah jumlah
mereka?” bertanya Ki Lurah kepada prajurit sandi itu.
“Yang terlihat sekitar
lima belas orang, namun selebihnya aku tidak tahu karena tidak mungkin bagiku
untuk masuk ke dalam hutan lebih dalam lagi,” jawab Prajurit sandi itu, “Aku
belum dapat memastikan siapakah mereka sebenarnya. Ada kemungkinannya mereka
adalah sisa-sisa pengikut Panembahan Cahya Warastra atau mungkin justru
kelompok lain yang berusaha mengail di air yang keruh.”
Ki Lurah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Terima kasih atas laporan
ini. Akan aku laporkan kepada Ki Patih jika Ki Patih telah kembali dari
kediaman Ki Gede Menoreh. Untuk selanjutnya Kau dapat kembali ke tempat
tugasmu. Usahakan untuk selalu mengadakan hubungan dengan kami jika ada
perkembangan atau perubahan sewaktu-waktu”
“Baik Ki Lurah,” jawab
prajurit sandi itu.
Demikianlah ketika Ki
Patih dan rombongannya telah duduk di pendapa beserta orang-orang yang menunggu
kehadiran Ki Patih, secara khusus Ki Lurah prajurit pengawal kepatihan segera
menghadap dengan cara duduk hanya beberapa jengkal di belakang Ki Patih.
Agaknya Ki Patih tanggap
bahwa ada sesuatu hal yang perlu segera mendapatkan perhatian. Maka sambil
berpaling ke belakang Ki Patih pun berdesis perlahan, “Apakah ada sesuatu hal
yang penting?”
“Ampun Ki Patih,” jawab
Ki Lurah sambil beringsut setapak maju dan menghaturkan sembah, “Tadi sore ada
prajurit sandi yang telah melaporkan perkembangan di sekitar tepian kali
Praga.”
Kemudian Ki Lurah pun
secara singkat segera melaporkan perkembangan yang ada di tepian kali Praga.
“Usahakan untuk
menyelesaikan masalah ini malam ini juga,” perintah Ki Patih tetap dengan suara
berbisik kepada Ki Lurah, “Perjalanan ini tidak boleh ditunda. Berikan kesan
kepada mereka bahwa kita tetap kembali ke kota Raja malam ini sehingga kita
segera tahu siapa sebenarnya mereka dan apa tujuannya.”
“Sendika Ki Patih,”
berkata ki Lurah kemudian sambil beringsut mundur.
Demikianlah akhirnya
ketika para prajurit yang sedang berjaga di banjar padukuhan induk malam itu
melihat ada dua orang yang mencurigakan sedang mendekati dinding belakang
banjar, Ki Lurah pun kemudian memerintahkan untuk membuat kesan bahwa Ki Patih
tetap pada rencana semula untuk kembali ke kota Raja malam itu juga.
Dengan menyebarkan
sebagian prajuritnya bersembunyi di halaman belakang banjar, Ki Lurah sendiri
ternyata telah turun tangan untuk mengamati keadaan dan menunggu kedua orang
yang mereka curigai itu memasuki halaman belakang banjar.
Demikianlah akhirnya
usaha Ki Lurah dan anak buahnya dalam memberikan kesan kepada kedua orang yang
menyusup ke halaman belakang banjar dapat dikatakan berhasil, menilik kedua
orang yang dicurigai itu telah meninggalkan tempat.
Dalam pada itu, di
pendapa agaknya Ki Patih telah memberikan titahnya.
“Ki Gede Ental Sewu,”
berkata Ki Patih, “Setelah mendengarkan tujuan kalian ke Menoreh ini untuk
mencari Ki Jayaraga dan bukan semata-mata bergabung dengan pasukan Panembahan
Cahya Warastra, aku berjanji akan membantu kalian mengajukan pertimbangan kepada
Sinuhun Panembahan Hanyakrawati untuk memohon keringanan atas kesalahan kalian
terhadap Mataram,” Ki Patih berhenti sejenak sambil memandang ke arah Ki Gede
Ental Sewu yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lanjutnya kemudian, “Namun
dengan demikian bukan berarti kalian bebas dari segala tuduhan. Pernyataan
kalian untuk bersetia kepada Mataram masih harus diuji.”
“Ampun Ki Patih,” jawab
Ki Gede Ental Sewu, “Perguruan Ental Sewu di lereng Gunung Sindoro siap
menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan oleh pemerintahan Mataram. Namun
permohonan kami pribadi, ijinkanlah kami meluruskan permasalahan perguruan kami
dengan Ki Jayaraga agar tidak ada lagi syak wasangka di antara kami.”
“Itu urusan Ki Gede,”
sahut Ki Patih cepat, “Namun semua itu dapat ki Gede lakukan setelah urusan Ki
Gede dengan Mataram selesai. Untuk itu aku akan membawa Ki Gede dan kedua
muridmu malam ini juga bersama-sama dengan prajurit pengawal Kepatihan menuju
ke Kota Raja. Untuk selanjutnya nanti terserah kepada Sinuhun Panembahan Hanyakrawati
untuk mengabulkan permohonanmu.”
Sejenak wajah Ki Gede
Ental Sewu memerah. Namun hanya sekejap wajah itu kembali tampak pasrah dan
ikhlas menerima keputusan Ki Patih Mandaraka.
“Hamba Ki Patih,” berkata
Ki Gede Ental Sewu kemudian sambil menghaturkan sembah, “Kami akan menjunjung
tinggi setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintahan Mataram.”
Ki Patih tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Jayaraga yang duduk di sebelah Ki
Gede Menoreh hanya dapat menarik nafas dalam-dalam dengan kepala tertunduk.
“Ampun Ki Patih,” berkata
Ki Gede Menoreh kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sebelumnya kami mohon
ijin untuk memperkenalkan sepasang suami istri yang ikut menghadap Ki Patih
malam ini,” Ki Gede Menoreh berhenti sejenak. Kemudian sambil menunjuk dengan
ibu jarinya ke arah laki-laki dan perempuan yang rambutnya sudah putih semua
itu, Ki Gede melanjutkan kata-katanya, “Sepasang suami istri itu adalah Ki
Citra Jati dan Nyi Citra Jati beserta anak-anak angkat mereka.”
Sejenak Ki Patih
mengangkat alisnya sambil melemparkan pandangan matanya ke arah orang-orang
yang duduk di sekitar sepasang suami istri itu. Tanyanya kemudian sambil
tersenyum, “Sebanyak itu?”
“Ampun Ki Patih,” Ki
Citra Jati lah yang dengan serta merta menyahut sambil menyembah, “Tiga orang
gadis-gadis inilah anak angkat kami, sedangkan Mlayawerdi ini termasuk paman
mereka,” Ki Citra Jati berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke belakang
dia melanjutkan, “Sedangkan keenam gadis-gadis yang duduk di belakang kami
adalah para anak murid perguruan Pamulatsih.”
“Perguruan Pamulatsih?”
ulang Ki Patih dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah perguruan itu tidak
menerima murid kecuali perempuan?”
“Hamba Ki Patih,” jawab
Ki Citra Jati sambil berpaling ke arah salah satu murid perguruan Pamulatsih
yang duduk di belakangnya.
Salah satu murid
perguruan Pamulatsih yang berwajah bulat dan bertahi lalat di dagu segera
beringsut maju. Katanya kemudian setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu,
“Ampun Ki Patih, hamba mewakili saudara-saudara seperguruan, mohon ijin
menyampaikan permohonan kami.”
“Katakan,” sahut Ki Patih
cepat.
Untuk sejenak gadis
berwajah bulat itu justru telah membeku. Ketika saudara seperguruannya yang
duduk di sebelahnya menggamit, baru lah dengan suara sedikit bergetar dia
berkata, “Mohon ampun Ki Patih. Perguruan Pamulatsih telah bersalah membantu
Panembahan Cahya Warastra. Untuk itu kami murid-murid Perguruan Pamulatsih
dengan penuh kesadaran telah menyerahkan diri,” gadis itu berhenti sejenak
untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering.
Lanjutnya kemudian, “Guru kami Nyi Ayu Rahutri telah tewas dalam pertempuran
kemarin. Jika Ki Patih mengijinkan, mohon dapatlah kiranya jasad Nyi Ayu
Rahutri kami semayamkan di padepokan Pamulatsih.”
Untuk beberapa saat Ki
Patih terdiam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil berpaling ke
arah Ki Gede Menoreh, akhirnya Ki Patih pun bertanya, “Siapakah yang
bertanggung jawab atas perguruan Pamulatsih sepeninggal Nyi Ayu Rahutri?”
Ki Gede Menoreh yang
merasa mendapat pertanyaan dari Ki Patih justru sejenak telah menjadi bingung.
Tanpa sadar Ki Gede Menoreh pun kemudian telah berpaling ke arah Ki Citra Jati
dan Nyi Citra Jati.
“Ampun Ki Patih,” Nyi
Citra Jati yang merasa bertanggung jawab atas keenam murid perguruan Pamulatsih
itu segera menyembah sambil membungkukkan badan dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Hamba yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini, Ki Patih. Hamba telah
membujuk mereka untuk menyerah sepeninggal Nyi Ayu Rahutri. Bahkan hamba
berkeinginan untuk mempersaudarakan mereka berenam dengan anak-anak kami.”
Kembali Ki Patih mengerutkan
keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepala, Ki Patih akhirnya berkata,
“Baiklah. Untuk perguruan Pamulatsih aku serahkan pengawasannya kepada Ki Citra
Jati dan Nyi Citra Jati. Mewakili pemerintahan Mataram, aku mengucapkan terima
kasih atas bantuan kalian dalam menghadapi pasukan Panembahan Cahya Warastra
kemarin. Dan sekali lagi pemerintahan Mataram membutuhkan bantuan kalian untuk
mengawasi perguruan Pamulatsih.”
Orang-orang yang hadir di
pendapa itu tampak mengangguk-angguk. Sepeninggal Nyi Ayu Rahutri mereka memang
beranggapan bahwa kekuatan perguruan Pamulatsih telah jauh menyusut. Yang
tertinggal hanyalah murid-muridnya yang berada pada tataran yang masih jauh di
bawah guru mereka.
“Nah,” berkata Ki Patih
kemudian, “Kalian murid-murid perguruan Pamulatsih selanjutnya akan berada di
bawah bimbingan Nyi Citra jati. Jika kalian berkeinginan mengebumikan jasad Nyi
Ayu Rahutri itu di padepokan kalian, sebaiknya kalian membicarakannya terlebih
dahulu dengan Nyi Citra Jati. Bukankah padepokan kalian terletak jauh di sebuah
pulau kecil di ujung timur pulau Jawa? Pertimbangkanlah baik-baik masalah ini
sebelum kalian memutuskannya.”
Kembali orang-orang yang
berada di pendapa itu mengangguk-angguk.
Demikianlah akhirnya
pertemuan di pendapa itu telah selesai. Ki Patih sejenak telah menyempatkan
diri pergi ke pakiwan. Sedangkan Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya segera
berkemas untuk mengikuti perjalanan Ki Patih kembali ke kota Raja. Sementara Ki
Citra jati dan Nyi Citra Jati telah mengajak anak-anak angkatnya beserta keenam
murid perguruan Pamulatsih kembali ke rumah yang sementara ini mereka gunakan
sebagai tempat tinggal.
Dalam pada itu di dalam
hutan dekat tepian Kali Praga, tampak telah berkumpul orang-orang yang berwajah
keras, sekeras batu padas di gerojokan. Seorang yang berperawakan tinggi tegap
dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya tampak sedang membangunkan
seseorang yang sedang tidur mendengkur bersandaran sebatang pohon. Orang itu
terlihat sudah sangat tua sekali. Tubuhnya kecil bahkan cenderung agak bongkok.
Namun yang membuat orang tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua belah
tangannya itu dadanya tergetar hebat adalah ketika pandangan matanya menangkap
sebilah keris yang tampak terselip di lambung kiri orang tua renta itu, keris
Kanjeng Kiai Sarpasri.
“Luar biasa,” desis orang
tinggi besar itu dalam hati, “Eyang Guru baru saja tiba beberapa saat tadi
menjelang sirep bocah. Bagaimana mungkin keris Kanjeng Kiai Sarpasri ini sudah
kembali kepadanya?”
Namun orang tinggi besar
itu tidak terlalu lama merenungi keris yang terselip di lambung kiri orang yang
disebut Eyang Guru itu. Dengan perlahan orang tinggi besar itu segera
berjongkok dan menyentuh kaki orang yang disebut Eyang Guru itu.
“Eyang Guru?” perlahan
orang tinggi besar itu berdesis sambil menyentuh kaki Eyang Guru, “Petugas
sandi kita telah datang dan mengabarkan bahwa malam ini juga Ki Patih Mandaraka
akan kembali ke kota Raja.”
Eyang Guru itu ternyata
tidak bergerak sama sekali. Bahkan suara dengkurnya terdengar menjadi semakin
keras.
Sejenak orang tinggi
besar itu ragu-ragu. Ada perasaan segan untuk kembali membangunkan Eyang Guru.
Namun waktu telah berjalan terus dan malam telah mendekati pusatnya.
Ketika orang tinggi besar
dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya itu kemudian bangkit
berdiri, tiba-tiba saja seseorang telah menggamitnya dari belakang.
Dengan cepat dia kemudian
memutar tubuhnya, tampak seseorang sedang berdiri termangu-mangu di hadapannya.
“Rombongan Ki Patih telah
mendekati kelokan jalan di pinggir hutan itu,” berkata orang yang menggamitnya
itu kemudian.
Orang tinggi besar itu
tidak menjawab. Sejenak dia menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah
Eyang Guru yang masih terlihat tidur pulas bersandaran sebuah pohon.
“Apakah sebaiknya kita
menyergap rombongan itu di padang perdu yang luas sebelum jalan menurun menuju
ke tepian?” bertanya orang tinggi besar itu akhirnya.
Namun sebelum kawannya
menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa lirih di belakang mereka.
Serentak kedua orang itu
berpaling. Ternyata Eyang Guru itu telah duduk bersila di bawah pohon tempatnya
bersandar. Sambil tetap terkekeh, Eyang Guru itu pun kemudian berkata, “Apakah
kalian ingin membunuh diri?”
“Maksud Eyang Guru?”
hampir bersamaan kedua orang itu bertanya sambil berlutut dan kemudian duduk
bersila di hadapan Eyang Guru.
Eyang Guru sejenak
memandang kedua orang yang telah duduk bersila di hadapannya. Katanya kemudian,
“Orang dari Sela itu terlalu pengecut untuk pulang ke kota Raja hanya dengan
pengawalnya. Ki Gede Menoreh dan para pengawal Tanah Perdikan ternyata telah
mengawal rombongan itu,” Eyang Guru berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya,
“Selain itu di tepian kali Praga juga telah menunggu pasukan yang cukup besar
jumlahnya. Dengan sekali isyarat, mereka akan berdatangan ke padang perdu itu
untuk membantai kalian.”
Kedua orang yang duduk di
hadapan Eyang Guru itu hampir bersamaan telah mengerutkan kening. Hampir saja
terloncat sebuah pertanyaan dari mulut mereka. Namun mereka segera menyadari,
tentu Eyang Guru mereka itu lebih tahu dari pada para petugas sandi.
“Jadi, bagaimana
selanjutnya Eyang Guru? Dimanakah sebaiknya kita mencegat rombongan Ki Patih?”
bertanya orang yang tinggi tegap itu kemudian.
Untuk beberapa saat Eyang
Guru terdiam. Sambil menebarkan pandangan matanya ke sekitarnya, Eyang Guru pun
kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini.
Agaknya malam ini kita kurang beruntung. Orang dari Sela itu terlalu pengecut
untuk menghadapi perang tanding beradu dada denganku. Kita masih banyak
kesempatan di lain waktu.”
Selesai berkata demikian,
tanpa mempedulikan kedua orang yang masih duduk bersila di atas tanah yang
lembap, Eyang Guru pun kemudian melangkah menerobos lebatnya hutan menuju ke
arah timur.
Kedua orang yang sedang
duduk bersila di atas tanah yang lembap itu hanya dapat saling pandang. Namun
mereka berdua tidak berani membantah keputusan yang telah dibuat oleh Eyang
Guru mereka. Maka keduanya pun kemudian segera berdiri dan memberi isyarat
kepada kawan-kawan mereka yang sedang bersembunyi di dalam hutan itu untuk
segera bergerak ke arah timur mengikuti Eyang Guru mereka.
Dalam pada itu Ki Patih
dan rombongannya telah mencapai kelokan jalan setapak yang menjelujur di
pinggir hutan sebelah utara padukuhan induk. Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga
beserta sekelompok pengawal Menoreh ternyata telah menyertai perjalanan Ki
Patih sampai ke tepian kali Praga.
“Jalan-jalan akan semakin
ramai jika hutan di sebelah timur ini mulai dibuka untuk sebuah padukuhan, Ki
Gede,” berkata Ki Patih yang berkuda di sebelah kanan Ki Gede Menoreh.
“Hamba Ki Patih,” jawab
Ki Gede Menoreh, “Memang kami telah berencana untuk membuka sebagian hutan
sebelah timur ini untuk sebuah padukuhan. Dengan demikian hubungan antara
penyeberangan kali Praga dan Padukuhan kecil yang berada di sebelah utara
Padukuhan induk tidak terputus. Selama ini hanya jalan setapak di tepi hutan
inilah yang menjadi jalan penghubung.”
Ki Patih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesekali pandangan matanya terlempar jauh ke
depan, ke kegelapan yang membentang seolah tak berujung.
“Apakah sudah ada
tanda-tanda kehadiran mereka?” tiba-tiba Ki Patih berbisik kepada Ki Lurah
Prajurit pengawal Kepatihan yang berkuda beberapa langkah di belakangnya.
“Ampun Ki Patih,” jawab
Ki Lurah sambil sedikit memacu kudanya ke depan mendekati Ki Patih, “Menurut
berita dari prajurit sandi sore tadi, mereka berada di ujung hutan dekat tepian
kali Praga. Menurut hemat hamba, mereka tidak akan mungkin menyerang rombongan
ini di dekat tepian, karena Ki Tumenggung Tirtayudha telah menempatkan
sepasukan prajurit Jalamangkara di sekitar tepian.”
Ki Patih menarik nafas
dalam-dalam sambil mengerutkan kening. Berbagai pertimbangan memang sempat
bergolak dalam dada orang yang semasa mudanya bergelar Ki Juru Mertani itu. Ada
keinginan untuk segera mengetahui siapakah sebenarnya sekelompok orang yang
berada di ujung hutan dekat tepian itu? Namun dengan pengamanan yang telah
dilakukan oleh Ki Tumenggung Tirtayudha sepanjang perjalananya, kemungkinannya
sangat kecil jika sekelompok orang-orang yang tak di kenal itu akan mencegat
perjalanannya.
Sebenarnya Ki Patih telah
memerintahkan untuk memancing sekelompok orang tak dikenal itu sore tadi kepada
Ki Lurah prajurit pengawal Kepatihan. Namun agaknya Ki Tumenggung Tirtayudha
yang memegang kendali pengamanan perjalanannya sampai ke kota Raja tidak mau
mengambil tindakan gegabah.
“Siapakah sebenarnya yang
dimaksud dengan trah Sultan Demak itu?” berkata Ki Patih dalam hati sambil
terus memacu kudanya dengan derap yang ajeg, “Ki Ajar Serat Gading telah
menyebutnya. Jika memang ada sekelompok orang yang sedang memperjuangkan trah
Sultan Demak untuk kembali bertahta di negeri ini, sebenarnya lah mereka hanya
bermimpi di siang hari.”
Kembali pandangan mata Ki
Patih terlempar jauh ke arah kegelapan di hadapannya. Ingatannya kembali ke
masa kerajaan Pajang masih tegak berdiri. Sejak Ki Gede Pemanahan memutuskan
untuk meninggalkan istana Pajang dan membuka alas Mentaok, Ki Patih Mandaraka
yang pada waktu itu masih bergelar Ki Juru Mertani sudah dapat merasakan akan
adanya perpecahan dan persaingan yang sangat tajam dalam memperebutkan
kekuasaan di negeri ini.
Tanpa terasa kaki-kaki
kuda rombongan Ki Patih itu telah mulai melintasi padang perdu yang cukup luas.
Untuk beberapa saat mereka dapat memacu kuda-kuda mereka lebih cepat. Setelah
mencapai jalan yang sedikit menurun, mulailah kaki-kaki kuda mereka menginjak
tanah yang sedikit berpasir pertanda bahwa rombongan Ki Patih itu telah
mendekati tepian kali Praga.
Tanpa sadar, hampir
setiap orang yang ada dalam rombongan itu telah menarik nafas dalam-dalam.
Rasa-rasanya kekhawatiran yang selama ini menghantui perjalanan mereka telah
sirna. Ki Patih dan para prajurit pengawal Kepatihan akan segera menyeberangi
kali Praga dengan pengawalan ketat sepasukan prajurit Jalamangkara.
Beberapa prajurit yang
berjaga di tepian itu segera menyambut kedatangan rombongan Ki Patih. Kuda-kuda
mereka telah dipisahkan dan dinaikkan ke rakit khusus serta dijaga oleh
beberapa prajurit. Sedangkan ki Patih dan Ki Tumenggung Tirtayudha serta Ki
Gede Ental Sewu dan kedua muridnya akan berada dalam satu rakit. Sementara para
prajurit pengawal Kepatihan berada di rakit yang lain.
“Terima kasih Ki Gede
Menoreh,” berkata Ki Patih kepada Ki Gede yang bediri beberapa langkah di depan
Ki Patih sambil memegangi kendali kudanya, “Atas nama Mataram, aku mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dharma bhakti yang
ditunjukkan Tanah Perdikan Menoreh kepada pemerintahan Mataram.”
“Hamba Ki Patih,” jawab
Ki Gede Menoreh sambil membungkuk, “Demi tegaknya panji-panji kebesaran Mataram
di atas tanah ini, kami para penghuni Tanah Pedikan Menoreh rela berkorban jiwa
dan raga.”
Ki Patih tersenyum mendengar
janji kepala tanah Perdikan Menoreh itu. Katanya kemudian sambil berpaling ke
arah Ki Jayaraga, “Atas nama Mataram, aku juga mengucapkan terima kasih atas
bantuan Ki Jayaraga selama ini.”
“Sendika Ki Patih,” jawab
Ki Jayaraga sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, “Hamba bukanlah orang
yang pantas mendapatkan perlakuan khusus. Hamba tidak lebih dari salah satu
penghuni tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Ki patih tertawa
pendek. Jawabnya kemudian, “Seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh yang mampu
membakar hutan dan mengeringkan lautan.”
Sejenak ki Jayaraga
mengerutkan keningnya mendengar kelakar Ki Patih. Katanya kemudian, “Ampun ki
Patih, hamba tidak berani membakar hutan karena selain akan dapat menimbulkan
banjir, tentu ki Gede Menoreh tidak akan pernah mengijinkan. Sedangkan untuk
mengeringkan lautan hamba tidak tahu harus memakai alat apa.”
Orang-orang yang
mendengar kelakar ki Jayaraga pun tidak dapat menahan tawa mereka.
“Baiklah,” berkata Ki
Patih kemudian, “Semoga disisa perjalanan malam ini tidak ada satu pun aral
yang melintang.”
“Hamba Ki Patih,” hampir
bersamaan orang-orang yang berada di tepian itu menjawab.
Demikianlah akhirnya
rombongan Ki Patih segera menaiki rakit masing-masing, sedangkan Ki Gede
Menoreh dan Ki Jayaraga serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh segera
bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk.
Ketika Ki Patih mulai
menaiki rakit dan menyeberangi kali Praga yang airnya tampak kehitam-hitaman
dalam kegelapan malam, lamat-lamat dari padukuhan kecil di seberang kali Praga
terdengar suara kentongan dipukul dengan nada dara muluk yang menandakan bahwa
malam telah sampai pada pusatnya.
“Kita akan sampai di kota
Raja menjelang dini hari,” berkata Ki Patih kepada Ki Tumenggung Tirtayudha
yang berdiri di sebelahnya.
“Sendika Ki Patih,” jawab
Ki Tumenggung, “Memang kita tidak mungkin berpacu terlalu cepat di malam hari
melewati padukuhan-padukuhan. Apalagi jika kita sudah memasuki kota Raja, akan
dapat menimbulkan kegelisahan kepada para penghuni kota Raja, dan bahkan tidak
menutup kemungkinan dapat menimbulkan kesalah pahaman dengan para prajurit yang
sedang bertugas.”
Ki Patih tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Ketika Ki Patih kemudian melemparkan pandangan matanya ke
seberang, tampak dalam gelapnya malam sepasukan prajurit telah siap
menyambutnya.
“Pengawalan yang
berlebihan,” desis Ki Patih perlahan. Namun desis yang hanya perlahan itu
ternyata telah membuat Ki Tumenggung Tirtayudha mengerutkan keningnya
dalam-dalam.
“Ampun Ki patih,” berkata
Ki Tumenggung kemudian, “Kami tidak mau mengulangi kesalahan yang telah terjadi
di tanah pekuburan pagi tadi. Perang tanding itu seharusnya tidak perlu terjadi
karena keselamatan Ki Patih di atas segala-galanya. Kami tidak ingin kejadian
itu terulang lagi malam ini. Kekuatan lawan belum dapat kita jajagi sepenuhnya
sehingga kami telah memilih langkah pengamanan terlebih dahulu.”
Ki Patih tidak menjawab,
hanya kepalanya saja yang tampak terangguk-angguk. Agaknya ki Patih dapat
mengerti jalan pikiran ki Tumenggung yang lebih memilih keselamatan dirinya
dari pada membuat permainan yang ujung-ujungnya akan menghadapkan dirinya untuk
berperang tanding dengan lawan yang belum diketahui kekuatannya.
Dalam pada itu Ki Gede
Menoreh dan Ki Jayaraga beserta para pengawal sedang dalam perjalanan kembali
dari tepian kali Praga menuju ke padukuhan induk. Mereka berkuda dengan
kecepatan sedang agar tidak menimbulkan kesan yang mendebarkan kepada
orang-orang yang mungkin sempat berpapasan atau para peronda yang sedang
nganglang. Ketika samar-samar dalam kegelapan malam lampu dlupak yang terangkut
di pojok regol padukuhan induk yang baru diperbaiki siang tadi mulai terlihat,
mereka segera memperlambat laju kuda mereka.
Beberapa pengawal yang
sedang berjaga di gardu di sebelah regol itu segera berloncatan ke tengah regol
dengan penuh kewaspadaan. Namun ketika rombongan itu semakin dekat dan mereka
dapat melihat dengan jelas siapakah yang berkuda di paling depan, dengan segera
para pengawal itu pun kemudian berloncatan menepi.
“Selamat malam Ki Gede,”
berkata para pengawal itu serempak sambil membungkuk ketika rombongan Ki Gede
lewat di depan mereka.
“Selamat malam,” jawab Ki
Gede sambil tersenyum dan berpaling ke arah para pengawal yang berdiri
berjajar-jajar di depan gardu, “Apakah semuanya baik-baik saja?”
“Demikianlah Ki Gede,”
jawab pengawal yang tertua yang berdiri di paling ujung sambil mengangguk.
Sejenak kemudian
rombongan itu telah bergerak menuju ke Banjar Padukuhan induk.
“Ki Gede,” bertanya Ki
Jayaraga sambil berkuda di sebelah kiri Ki Gede. “Apakah tidak sebaiknya kita
langsung saja kembali ke kediaman Ki Gede?”
Ki Gede tersenyum sambil
berpaling ke arah Ki Jayaraga. Jawabnya kemudian, “Aku ingin melihat keadaan
para pengawal yang sedang di rawat terlebih dahulu. Selain itu kita perlu
menanyakan kepada Kiai Sabda Dadi, apakah dia ingin tinggal di padukuhan induk
ini, ataukah akan kembali bersama-sama kita.”
Ki Jayaraga menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian seolah-olah hanya
ditujukan kepada dirinya sendiri, “Orang itu telah banyak berjasa kepada Tanah
Perdikan ini. Kiai Sabda Dadi datang ke Tanah Perdikan ini dengan berbekal
pengetahuan pengobatan yang mumpuni sehingga telah banyak bermanfaat bagi
sesama. Berbeda dengan aku yang datang ke tempat ini dengan penuh dendam.
Untung lah pada waktu itu ada Kiai Gringsing yang mampu meredam dendam kesumat
yang membara di jantung ini. Seandainya saja pada waktu itu tidak ada orang
yang mampu menghalang-halangiku, tentu hidupku sampai saat ini masih tetap
bergelimang dengan noda dan dosa.”
“Kita wajib bersyukur,
Ki,” berkata Ki Gede menanggapi kata-kata Guru Glagah Putih itu, “Apapun
rencana manusia, kehendak Yang Maha Agung lah yang berlaku. Dan kita jangan
pernah berhenti memohon yang terbaik bagi kehidupan bebrayan ini.”
Tanpa terasa rombongan
berkuda itu telah sampai di depan regol banjar Padukuhan induk. Beberapa
pengawal yang berjaga segera menyambut tali kendali kuda-kuda itu begitu Ki
Gede dan Ki Jayaraga telah meloncat turun.
Dalam pada itu, di
kediaman Ki Gede Menoreh Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang gelisah di
pembaringan. Telah berkali-kali dicobanya untuk memejamkan mata, namun berbagai
bayangan selalu saja hilir mudik di rongga matanya sehinga membuat suami Sekar
Mirah itu gelisah.
“Kakang,” bisik Sekar
Mirah yang duduk di tepi pembaringan sambil memijat-mijat kaki suaminya,
“Apakah ada sesuatu yang sedang menjadi beban pikiran Kakang sehingga Kakang
terlihat sangat gelisah?”
Ki Rangga menarik nafas
dalam dalam sambil pandangan matanya menatap langit-langit bilik. Katanya
kemudian, “Mirah, waktu sudah lewat tengah malam, sebaiknya Kau segera
beristirahat. Tingalkan aku sendiri. Aku akan baik-baik saja. Bukankah
sewaktu-waktu Bagus Sadewa memerlukan kehadiranmu?”
Sekar Mirah tersenyum.
Setiap kali teringat akan anaknya, selalu saja hati putri satu-satunya Ki
Demang Sangkal Putung itu berdesir tajam. Sebuah desir kebahagiaan dan rasa
syukur yang tiada terkira atas karunia dari Sang Maha Pencipta justru di saat
usianya menjelang senja telah dikaruniai seorang putra.
Kakang,” berkata Sekar
Mirah kemudian, “Sore tadi aku telah memberinya minum sepuas-puasnya. Tampaknya
dia tidur lelap sekali ditunggui Damarpati dan Rara Wulan. Biasanya menjelang
ayam jantan berkokok yang pertama dia akan terbangun dan menangis minta minum.”
Ki Rangga tersenyum
sambil memandang ke arah istrinya dengan pandangan mata penuh kasih sayang.
Betapa kehidupan yang berliku telah mereka jalani bersama. Betapa rasanya
sangat jauh bagi dirinya untuk merengkuh hati Sekar Mirah pada saat awal-awal
mereka membangun rumah tangga. Betapa ketinggian hati adik saudara
seperguruannya itu serta kebiasaan hidup dalam gelimang
kemewahan kadang telah menimbulkan perdebatan yang panjang dan tak
berkesudahan tentang masa depan mereka berdua.
“Kakang, apakah kita akan
menghabiskan umur kita di Padepokan yang sepi ini selama-lamanya?” bertanya
Sekar Mirah pada waktu itu, “Padepokan yang sama sekali tidak dapat menjanjikan
apa-apa bagi masa depan kita. Padepokan yang tidak lebih dari tempat
penampungan bagi orang-orang malas dan tanpa gairah dalam menyongsong masa
depan.”
“Ah,” tanpa sadar Ki
Rangga telah berdesah perlahan sambil melemparkan pandangan matanya ke
langit-langit. Masa yang telah lalu itu terasa sangat menyesakkan dada.
Masa-masa yang penuh dengan perjuangan dan liku-liku kehidupan.
Sekar Mirah yang sedari
tadi memperhatikan suaminya segera bertanya, “Ada apa Kakang?”
“O, tidak ada apa-apa
Mirah,” jawab Ki Rangga dengan serta merta. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki
Rangga mencoba meredakan getaran dalam dadanya yang tiba-tiba saja bergejolak
lagi.
“Isyarat itu datang
lagi,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Aku harus segera meminta petunjuk kepada
Ki Waskita.”
“Mirah,” berkata Ki
Rangga pada akhirnya, “Ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin aku
bicarakan dengan Ki Waskita. Pergilah ke regol depan dan mintalah tolong kepada
salah satu pengawal yang sedang berjaga di sana untuk memberitahu Ki Waskita.”
Sejenak Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah masalah itu begitu pentingnya,
kakang? Sehingga perlu membangunkan Ki Waskita yang mungkin sedang
beristirahat?”
Untuk beberapa saat Ki
Rangga terdiam. Namun ketika kembali sebuah desir tajam terasa menusuk
jantungnya, Ki Rangga pun sudah tidak dapat menunda lagi untuk segera menyampaikan
apa yang sedang dialaminya itu kepada Ki Waskita.
“Pergilah ke regol depan
Mirah, saat ini aku benar-benar membutuhkan bantuan Ki Waskita.”
Sekar Mirah hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian sambil bangkit dari bibir
pembaringan, “Baiklah Kakang, aku akan pergi ke regol depan. Sekalian aku mohon
pamit untuk menengok Bagus Sadewa.”
Ki Rangga tidak menjawab
hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk.
Dalam pada itu, di bawah
siraman sinar bulan tua yang suram, berpuluh-puluh orang tampak bergerak dengan
cepat melintasi padang-padang perdu serta tanah-tanah pesawahan yang kering.
Gerakan mereka sangat cepat serta teratur. Mereka bergerak di antara bayangan
gerumbul perdu dan pepohonan serta sesekali harus berlindung di balik tanggul-tanggul
tinggi dan parit-parit yang dalam jika berpapasan dengan para
pengawal yang sedang meronda. Mereka sengaja melewati jalan-jalan pintas dan
tidak melewati jalur jalan seperti biasanya agar segera dapat mencapai tempat
tujuan sebelum ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya.
“Masih cukup waktu untuk
mencapai kediaman Ki Gede Menoreh sebelum dini hari,” desis salah seorang yang
berperawakan tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya.
“Kita memang harus
berpacu dengan waktu,” jawab kawan di sebelahnya sambil meloncati parit yang
cukup dalam, “Sebelum rombongan Ki Gede mencapai regol halaman rumahnya
sendiri, seluruh penghuni rumah itu harus sudah terbujur menjadi mayat.”
Orang yang bergelang besi
itu tersenyum sambil terus berlari menyusup di antara gerumbul perdu dan
berlindung di balik batang-batang pohon yang tumbuh menjulang. Katanya
kemudian, “Di manakah Eyang Guru?”
Kawannya tertawa pendek.
Jawabnya kemudian, “Sepertinya Kau belum mengenal tabiat Eyang Guru. Dia datang
dan pergi sesuka hatinya,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin
sebelum kita mencapai dinding pembatas rumah Ki Gede, Eyang Guru pasti sudah
berada di dalam bilik Ki Rangga dan membunuh agul-agulnya Mataram itu dengan
tanpa kesulitan sama sekali.”
Orang yang bergelang besi
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai cerita tentang kesaktian Eyang
Guru mereka itu memang telah tersebar luas di antara sisa-sisa murid perguruan
Nagaraga yang sempat meloloskan diri pada saat pasukan Mataram meluluh lantakan
perguruan itu.
“Orang bercambuk yang
membunuh Kiai Nagaraga itu sekarang sudah tidak ada lagi,” berkata orang
bergelang besi itu dalam hati sambil terus berlari, “Sebagai gantinya Ki Rangga
Agung Sedayu sebagi murid utama perguruan bercambuk telah muncul dengan
kemampuan ilmunya yang ngedab-edabi. Namun aku yakin, kemampuannya tidak akan
melebihi kemampuan Eyang Guru. Apalagi dia sekarang sedang dalam keadaan sakit
setelah berperang tanding melawan Panembahan Cahya Warastra. Membunuhnya hanya
memerlukan waktu suwe mijet wohing ranti.”
Mereka kini mulai
menyusup padukuhan induk dari arah timur. Dengan sangat hati-hati
dan penuh kewaspadaan mereka melintasi lorong-lorong gelap dan sepi. Sesekali
mereka bahkan harus meloncati dinding-dinding pembatas rumah dan menyeberangi
halaman-halaman untuk segera mencapai rumah Ki Gede melalui jalan pintas.
Dalam pada itu di bilik
Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Waskita tampak duduk terpekur di atas sebuah
dingklik kayu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sementara di
pembaringan ki Rangga pun sedang melakukan hal yang sama.\
“Kau benar ngger,”
berkata Ki Waskita kemudian sambil menarik nafas dalam dalam dan mengurai kedua
tangannya yang bersilang di dada, “Kita harus bertindak cepat sebelum badai itu
melanda seisi rumah ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu
yang juga telah melepaskan pemusatan nalar dan budinya itu segera menyahut,
“Aku mohon Ki Waskita segera memberitahu Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara
biarlah Sekar Mirah menemani aku di dalam bilik ini.”
Ki Waskita mengangguk
sambil berkata, “Bersyukurlah ngger, Kau telah menerima karunia yang tak
terkira. Angger telah diberi kemampuan untuk membaca dan mengurai isyarat
tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang, namun dengan sepenuh kesadaran
bahwa semua itu tidak mendahului kehendak Sang Maha Pencipta,” Ki Waskita
berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Kadang orang-orang mempunyai penafsiran
yang salah tentang karunia ini. Apa yang tampak dalam mata hati kita
hanyalah sebuah isyarat. Untuk mengurai isyarat tersebut diperlukan hati yang
bening, sebening air dalam belanga yang tenang sehingga akan terlihat apa saja
yang berada di dasar belanga tersebut.”
Ki Rangga Agung Sedayu
sejenak termangu. Tanyanya kemudian, “Ma’afkan aku Ki Waskita. Apakah ki
Waskita dapat memberi aku sedikit petunjuk bagaimanakah caranya agar hati kita
ini selalu dalam keadaan bening?”
Ki Waskita tersenyum.
Jawabnya kemudian dengan las lasan dan jelas, “Jangan pernah berhenti bibirmu
basah dalam mengingat dan menyebut Asma Yang Maha Agung.”
Ki Rangga Agung Sedayu
tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
Sesungguhnyalah dengan setiap saat mengingat kepada Sang Maha Pencipta hati ini
akan menjadi tentram.
“Baiklah ngger,” berkata
Ki Waskita kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan membangunkan
Glagah Putih dan para pengawal yang sedang tidak berdinas jaga. Mereka tidur di
gandhok kanan. Akan aku usahakan semua persiapan ini tetap dalam keadaan senyap
seolah-olah kita belum mengetahui kedatangan mereka.”
“Terima kasih, Ki
Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Pandan Wangi sebaiknya juga diberitahu.
Semoga lukanya sudah tidak banyak berpengaruh.”
Ki Waskita tidak menjawab
hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dan melangkah keluar dari bilik.
Dalam pada itu di
padukuhan induk Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga sedang menjenguk beberapa
pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dalam perawatan Kiai Sabda Dadi.
“Apakah lukanya cukup
parah Kiai?” bertanya Ki Gede sambil mengamat-amati seorang pengawal yang
sedang terbaring di sebuah amben bambu yang sederhana. Pengawal itu
kelihatannya menderita luka di pundak kirinya.
“Sebenarnya lukanya tidak
begitu parah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil meraba daerah di sekitar
luka yang tampak membengkak, “Yang aku kawatirkan adalah ada salah satu urat
yang berada di sekitar luka ini yang terputus sehingga mengakibatkan tangan
kiri pengawal ini agak sulit untuk digerakkan.”
“Apakah memang demikian
yang Kau rasakan sekarang ini?” bertanya Ki Gede kepada pengawal yang terluka
itu.
“Benar Ki Gede,” jawab
pengawal itu sambil meringis menahan sakit ketika Kiai Sabda Dadi mencoba
menekan beberapa tempat di sekitar luka itu.
Ki Gede sejenak menarik
nafas dalam-dalam. Ki Gede dapat merasakan betapa kegelisahan melanda hati
pengawal yang terluka itu. Seandainya memang benar ada urat yang terputus,
tidak menutup kemungkinan pengawal itu akan mengalami cacat seumur hidup.
Ki Jayaraga yang berdiri
di sebelah Ki Gede tiba-tiba saja bertanya, “Apakah ada kemungkinan urat yang terputus
itu dapat disambung kembali, Kiai?”
Kiai Sabda Dadi tidak
segera menjawab. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah dia
menjawab pertanyaan Ki Jayaraga, “Kemungkinan itu memang ada, Ki. Namun aku
harus membedah lagi luka yang sudah menutup ini. Seandainya kemudian urat itu
dapat aku sambung kembali, tentu diperlukan waktu yang cukup lama untuk
memulihkan kekuatan urat itu seperti sediakala.”
Hampir bersamaan kedua
orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah,” berkata Ki Jayaraga
kemudian, “Sekarang kami menunggu keputusan Kia Sabda Dadi. Apakah Kiai akan
tetap disini untuk sementara ataukah akan kembali ke kediaman Ki Gede
bersama-sama kami malam ini juga?”
Kiai Sabda Dadi tampak
berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ki Jayaraga. Sambil memandang ke
arah Ki Gede, akhirnya Kakek Damarpati itu pun menjawab, “Maaf Ki Gede,
sebaiknya aku tinggal di padukuhan induk ini untuk sementara waktu sambil
membantu Tabib keprajuritan yang ditugaskan disini untuk merawat para prajurit
yang sedang terluka,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Menurut pengamatanku keadaan Ki Rangga sudah berangsur membaik sehingga untuk
sementara dapat aku tinggal. Memang sangat luar biasa ketahanan tubuh murid
orang bercambuk itu. Rasanya baru kemarin dia mendapatkan luka dalam yang cukup
parah, namun hanya dalam waktu yang sangat singkat, dari dalam tubuhnya ada
semacam kemampuan yang tidak kasat mata yang mampu untuk mengobati dirinya
sendiri.”
Ki Gede dan Ki Jayaraga
saling berpandangan sambil menahan nafas. Mereka berdua menjadi semakin kagum
dengan kemajuan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu yang semakin pesat. Tidak
mengherankan jika semasa hidupnya, Panembahan Senapati selalu memantau
perkembangan ilmu adik Untara itu.
“Swandaru akan semakin
jauh tertinggal dari kakak seperguruannya,” berkata Ki Gede dalam hati sambil
merenung, “Ilmu Ki Rangga Agung sedayu memang semakin ngedab-edabi. Tidak
menutup kemungkinan dalam keadaan terluka parah ini pun dia akan meningkatkan
ilmunya lagi.”
Sementara ki Jayaraga
yang berdiri di sebelahnya telah membandingkan Ki Rangga dengan saudara
sepupunya, Glagah Putih yang telah diangkat menjadi muridnya yang terakhir.
“Memang agak berbeda
dasar yang dimiliki oleh Ki Rangga dengan Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga
dalam hati, “Ki Rangga mempunyai daya ingat yang luar biasa. Selain itu dalam
keadaan apapun Ki Rangga selalu melakukan pengamatan kembali terhadap semua
ilmu yang telah di pelajarinya, sehingga semakin hari ilmunya menjadi semakin
matang dan meningkat. Namun aku yakin walaupun Glagah Putih tidak memiliki
bakat yang luar biasa sebagaimana yang dimiliki oleh kakak sepupunya,
kesempatan baginya untuk berkembang masih terbuka luas.”
“Baiklah,” berkata ki
Gede kemudian membuyarkan lamunan Ki Jayaraga, “Kita akan segera kembali.
Rasa-rasanya hati tua ini kadang digelisahkan oleh sesuatu hal yang tidak ada
ujung pangkalnya.”
“Benar Ki Gede,” sahut ki
Jayarag dengan serta merta, “Sepertinya kita sedang meninggalkan kanak-kanak
bermain di pinggir sungai. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tidak kita
inginkan.”
Kiai Sabda Dadi tersenyum
mendengar perkataan kedua orang tua itu. Katanya kemudian, “Tapi bukankah
mereka yang kita tinggalkan itu sudah bukan kanak-kanak lagi?”
“Ah,” kedua orang tua itu
hampir berbareng telah berdesah. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Namun
sebaiknya kita tetap berhati-hati dalam keadaan seperti ini. Tidak menutup
kemungkinan masih banyak pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berkeliaran di
sekitar Tanah Perdikan ini. Atau mungkin justru ada pihak lain yang ingin
mengambil keuntungan di saat seperti ini.”
“Ki Jayaraga benar,” ki
Gede menambahkan, “Walaupun di rumah ada Ki Waskita, Glagah Putih dan yang
lainnya, namun entah apa sebabnya, sedari tadi hatiku menjadi gelisah. Atau
mungkin ini hanya perasaan orang tua saja yang sudah mulai mendekati pikun.”
“Ah, tentu tidak Ki
Gede,” jawab Kiai Sabda dadi dengan serta merta, “Kegelisahan yang dialami oleh
Ki Gede tentu sangat berbeda dengan kegelisahan yang dirasakan oleh orang
kebanyakan. Aku sarankan memang sebaiknya Ki Gede dan ki Jayaraga segera
kembali.”
Hampir bersamaan Ki Gede
dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Berkata Ki Gede kemudian, “Baiklah Kiai,
kami berdua segera minta diri. Jika ada sesuatu hal yang sangat penting di
padukuhan induk ini, Kiai dapat menghubungi Lurah prajurit yang ditugaskan
sementara disini untuk mengirimkan penghubung, demikian juga kami akan
melakukan sebaliknya.”
“Baik Ki Gede,” jawab
Kiai Sabda dadi sambil melangkah mengantarkan kedua orang tua itu keluar dari
rumah yang sedang digunakan sementara untuk balai pengobatan.
Dalam pada itu di regol
depan kediaman Ki Gede, para pengawal yang sedang berjaga telah dikejutkan oleh
kehadiran seseorang yang sudah sangat renta yang seakan-akan muncul begitu saja
dari dalam kegelapan dan berjalan tertatih-tatih mendekati regol.
Dalam kesuraman cahaya
lampu dlupak yang disangkutkan di kanan-kiri regol, tampak seraut wajah yang
sudah penuh dengan keriput. Rambutnya yang putih seperti kapas itu terjulur di
bawah ikat kepalanya yang lusuh.
Beberapa pengawal segera
turun dari gardu dan melangkah mendekati orang tua renta itu.
“Kek,” sapa salah satu
pengawal begitu sampai di depan orang tua renta yang sedang berdiri
termangu-mangu di depan regol, “Kakek ini siapa? Dan mengapa malam-malam begini
berkeliaran di sini?”
“Huh!” tiba-tiba kakek
itu mendengus marah, “Kalian sangka aku ini sebangsa kelelawar yang senang
berkeliaran di malam hari, he? Aku datang kesini karena memang ada suatu
keperluan!”
Para pengawal yang turun
dari gardu itu segera mengerumuni Kakek aneh itu. Pengawal yang tertua segera
beringsut maju sambil berkata, “Sudahlah, Kek. Malam sudah hampir menjelang
dini hari. Kalau Kakek memang mempunyai keperluan, besok saja kakek datang ke
sini lagi. Lebih baik Kakek segera pulang. Biarlah salah satu dari kami akan
mengantarkan Kakek sampai ke rumah.”
“Hem,” Kakek itu berdesah
perlahan sambil matanya yang kecil hitam itu mengamat-amati satu-persatu para
pengawal yang mengerumuninya. Katanya kemudian sambil tersenyum-senyum, “Aku
tidak mau diantar kemanapun. Kecuali…”
Kakek tua itu tidak
melanjutkan kata-katanya sehingga membuat para pengawal menjadi heran dan
saling pandang. Bahkan beberapa diantaranya telah menyangka bahwa Kakek ini
agak kurang waras ingatannya.
“Kecuali apa Kek?”
bertanya salah seorang pengawal dengan rasa penasaran.
“Kecuali kalian mengantar
aku masuk ke rumah ini,” jawab kakek itu sambil tertawa dan menunjuk ke arah
rumah Ki Gede.
“Kek,” berkata pengawal
tertua itu mencoba sareh, “Kami sedang bertugas jaga, jadi kami tidak ada waktu
untuk bermain-main. Lebih baik kakek segera pulang. Salah satu dari kami yang
akan mengantar kakek pulang. Mungkin sekarang ini Kakek sedang dicari oleh
anak-anak kakek atau barangkali cucu kakek.”
Wajah kakek tua renta itu
tiba-tiba menjadi merah padam. Sambil menegakkan tubuhnya yang agak bongkok dan
bertolak pinggang, dia membentak, “Aku tidak ingin pulang! Dengar! Sekali lagi
aku tidak ingin pulang! Aku ingin menemui Ki Rangga Agung Sedayu agul-agulnya Mataram
yang menurut cerita orang-orang sangat sakti mandraguna. Ora
tedas papak paluning pandhe, sisaning gurinda. Dibacok mlorok, dibedhil misil,
dan ditumbak lakak-lakak.”
Para pengawal yang
mendengar permintaan Kakek tua itu menjadi berdebar-debar. Mereka ternyata
telah salah sangka. Kakek tua itu ternyata tidak gila. Dengan jelas dia dapat
menyebut nama Ki Rangga Agung Sedayu. Mereka mulai berhati-hati dan atas
perintah pengawal tertua, salah seorang pengawal dengan diam-diam telah
bergeser menjauh untuk melaporkan kejadian aneh di depan regol itu kepada Ki
Waskita.
“Nah,” berkata Kakek tua
itu selanjutnya, “Apakah kalian semua dapat mengantar aku? Kalau tidak, lebih
baik kalian segera menyingkir dari regol. Aku akan masuk dan menemui Ki rangga
Agung Sedayu sendirian.”
“Sebentar, Kek!” berkata
pengawal yang tertua mencoba mencegah kakek tua itu yang sudah hampir
menggerakkan kakinya untuk melangkah, “Ada keperluan apakah kakek ingin menemui
Ki Rangga?”
“Itu bukan urusanmu!”
bentak kakek tua itu sambil bergerak melangkahkan kakinya. Namun baru saja dia
melangkah dua tindak, dengan cepat para pengawal segera mencegah dan
mengurungnya.
“He?” kakek itu berseru
marah, “Mengapa kalian menghalang-halangi aku?”
“Bukan maksud kami Kek,”
jawab pengawal tertua, “Kami hanya ingin tahu keperluan kakek menemui Ki
rangga di waktu yang tidak sewajarnya ini. Kalau memang kakek ada keperluan
khusus dan kami tidak diperbolehkan mengetahuinya, sebaiknya kakek kembali
besok pagi saja. Ki Rangga sekarang sedang beristirahat dan tidak boleh
diganggu.”
Sejenak Kakek tua itu
mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Aku tetap pada pendirianku. Aku akan
masuk dan menemui Ki Rangga. Kalian tidak akan mampu menghalang-halangi aku.”
Selesai berkata demikian,
kakek tua itu pun kemudian segera meneruskan langkahnya tanpa
menghiraukan lagi para pengawal yang mengerumuninya.
Tentu saja para pengawal
tidak tinggal diam. Mereka berusaha menahan langkah kakek tua itu dengan
cara menahan dan mendorong kakek tua itu mundur. Namun alangkah terkejutnya
para pengawal itu. Rasa-rasanya mereka telah mendorong seekor gajah yang sedang
mengamuk sehingga beberapa pengawal telah terpental mundur.
“Gila!” geram beberapa
pengawal, “Kekuatan Kakek ini seperti seekor Gajah!”
Beberapa pengawal yang
terpelanting segera bangkit berdiri dan maju kembali untuk ikut menahan langkah
kakek tua itu. Namun, betapapun mereka berjuang sekuat tenaga untuk menahan
laju langkah kakek tua itu, kembali mereka terpental mundur beberapa langkah
bahkan ada yang kembali terpelanting dan jatuh terlentang di atas tanah yang
berdebu.
“Gila, gila, gila!” geram
pengawal tertua sambil mengerahkan segenap kekuatannya bersama kawan-kawannya
menahan tubuh yang terlihat tua dan renta, namun mempunyai kekuatan yang
ngedab-edabi.
Sedangkan kakek tua itu
tampak sangat menikmati permainan itu. Sambil tertawa-tawa dia melangkah terus.
Sesekali dia menggerakkan kedua pundaknya dan kembali beberapa orang dibuatnya
jatuh terpelanting.
Demikian lah di saat
kegaduhan di depan regol itu sedang terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara
berat dan dalam dari arah belakang para pengawal, “Sudahlah, biarkan kakek tua
ini aku yang mengurus. Sebaiknya kalian segera bersiap bersama kawan-kawan
kalian untuk menyambut tamu-tamu yang mungkin akan segera berdatangan.”
Serempak para pengawal
itu berpaling ke belakang. Tampak dalam keremangan sinar lampu dlupak yang
tergantung di gardu penjagaan, seseorang sedang berdiri dengan kedua kaki yang
renggang dan kedua tangan bersilang di dada.
Bagaikan disengat ribuan
kalajengking, para pengawal itu pun menjadi sangat terkejut begitu
mengenali orang yang sedang berdiri di depan gardu penjagaan itu.
“Ki Rangga Agung Sedayu!”
hampir bersamaan para pengawal itu telah berseru kaget dengan perasaan heran
bercampur gembira. Namun beberapa pengawal justru menjadi ragu-ragu.
“Bukankah Ki Rangga masih
tergolek sakit?” pertanyaan itu telah melingkar-lingkar dalam benak mereka.
Sementara kakek tua yang
aneh itu sejenak telah membeku di tempatnya begitu para pengawal menyebut nama
Ki Rangga Agung Sedayu. Menurut berita yang diterimanya, Ki Rangga Agung Sedayu
sedang menderita sakit akibat perang tanding dengan Panembahan Cahya Warastra
sekitar dua hari yang lalu. Adalah tidak masuk akal jika dalam waktu sesingkat
itu Ki Rangga telah sembuh. Namun kenyataannya sekarang ini Ki Rangga telah
hadir di hadapannya.
“Lebih baik kalian segera
mempersiapkan diri,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian kepada para
pengawal yang masih berdiri termangu-mangu, “Biarlah Kakek ini aku yang
mengurus.”
Bagaikan tersadar dari
sebuah mimpi buruk, para pengawal yang sedang mengerumuni kakek aneh itu segera
menyibak untuk memberi jalan kepada Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan langkah perlahan
dan satu-satu Ki Rangga pun kemudian melangkah maju sambil mengurai kedua
tangannya yang bersilang di dada.
“Selamat malam Ki Sanak,”
sapa Ki Rangga begitu sampai di hadapan Kakek itu, “Apakah ada suatu
kepentingan yang sangat mendesak sehingga Ki Sanak ingin bertemu denganku?”
Kakek itu tidak segera
menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut, sejenak dipandanginya Ki Rangga
Agung Sedayu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah menarik nafas
dalam-dalam sambil tertawa kecil, akhirnya Kakek itu pun kemudian berkata,
“Sebuah kesombongan yang tiada taranya. Seseorang sedang mencoba menipuku
dengan sebuah permainan yang menggelikan. Memang orang kebanyakan dengan
mudahnya dapat tertipu oleh permainan bayangan semu yang sempurna ini. Namun
bagiku ini tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak yang memuakkan?”
Selesai berkata demikian,
tanpa menghiraukan Ki Rangga Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah di
depannya, kakek aneh itu pun segera mengayunkan langkahnya memasuki regol rumah
Ki Gede Menoreh. Menurut panggraitanya, Ki Rangga Agung Sedayu itu tidak lebih
dari sebuah ujud semu dan tidak akan mempunyai pengaruh apa pun terhadap
dirinya.
Para pengawal yang masih
berdiri di belakang Ki Rangga Agung Sedayu menjadi heran mendengar perkataan
kakek tua itu. Mereka memang tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali ujud
bayangan semu. Mereka menganggap yang hadir di antara mereka itu memang
benar-benar Ki Rangga Agung Sedayu.
Namun ketika kakek tua
itu tinggal selangkah lagi di hadapan Ki Rangga Agung Sedayu, tiba-tiba
saja Ki Rangga telah menjulurkan tangan kanannya dan mendorong bahu kiri kakek
tua itu.
Pada awalnya Kakek tua
itu tidak menghiraukan sama sekali apa yang akan diperbuat oleh ki Rangga.
Dalam perhitungannya, apa yang diperbuat oleh Ki Rangga itu tidak akan
memberikan pengaruh apapun terhadapnya.
Namun yang terjadi
kemudian benar-benar telah mengejutkannya. Ternyata tangan Ki Rangga yang
terjulur itu benar-benar telah menyentuh pundaknya. Namun semuanya telah
terlambat. Sebelum dia menyadari kesalahannya, sebuah kekuatan yang dahsyat
telah menderanya ke belakang beberapa langkah dan membuatnya hampir saja jatuh
terjengkang.
“He?” seru kakek itu sambil
terhuyung-huyung ke belakang dengan perasaan heran bercampur kaget. Dia
benar-benar tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
Namun dengan sigap kakek
itu segera memperbaiki kedudukannya. Setelah dia berhasil berdiri tegak
di atas kedua kakinya yang renggang, dicobanya sekali lagi untuk memusatkan
segenap nalar dan budinya.
“Gila!” geram kakek itu
dalam hati, “Menurut panggraitaku, yang berdiri di depanku ini memang
hanya sebuah bayangan semu, bayangan semu yang benar-benar sempurna. Namun
betapapun sempurnanya sebuah bayangan semu, dia tidak mempunyai kekuatan
secara kewadagan untuk menyerang. Kekuatan yang sebenarnya dari bayangan semu
adalah mengelabuhi lawan, bukan menyerang. Namun mengapa bayangan semu Ki
Rangga ini mampu mendorongku hampir jatuh?”
Untuk sejenak kakek itu
menjadi ragu-ragu dengan pengamatannya sendiri. Berbagai pertimbangan telah
bergolak di dalam dadanya.
“Secara pribadi aku
memang belum mengenal orang yang bernama Agung Sedayu, apalagi ilmunya” kembali
kakek itu berkata dalam hati, “Aku mendengar kedahsyatan ilmunya hanya dari
cerita orang. Jika apa yang aku alami beberapa saat tadi itu bukan sekedar
mimpi, lawanku kali ini benar-benar diluar perhitunganku.”
Dalam pada itu, ki Rangga
yang melihat kakek itu itu telah berdiri tegak, segera melangkah ke depan
sambil berkata, “Sudahlah Ki Sanak, tadi Kau mengatakan ingin bertemu denganku
dan sekarang aku sudah berada di hadapanmu, mengapa Kau masih terlihat
ragu-ragu?”
Sejenak wajah tua itu
menjadi merah padam. Katanya kemudian dengan suara yang menggelegar, “Persetan
dengan ilmu pengeram-erammu, Ki Rangga. Aku tahu ujud aslimu sekarang ini
sedang bersembunyi tidak jauh dari tempat ini. Lambat atau cepat aku pasti akan
menemukannya. Dengan menelusuri getaran pancaran ilmumu, dengan sangat mudahnya
aku akan dapat menemukan tempat persembunyianmu. Dan dengan Kanjeng Kiai
Sarpasri di tanganku, jangan harap Kau masih dapat melihat terbitnya Matahari
esok pagi.”
Selesai berkata demikian,
kakek tua itu segera menghunus keris yang selama ini terselip di pinggangnya,
keris pusaka yang dahsyat tiada taranya, Kanjeng Kiai Sarpasri.
Beberapa pengawal yang
masih berada di sekitar regol segera menebar. Mereka tidak ingin terkena
lontaran ilmu kedua orang linuwih tersebut yang mungkin dapat berakibat maut.
“Nah, Ki Rangga Agung
Sedayu,” berkata orang tua itu kemudian, “Aku yakin dalam samadimu sekarang
ini, Kau dapat mendengar suaraku dengan jelas. Dengan kemampuan ilmuku, aku
akan menelusuri pancaran getaran ilmumu sehingga dengan mudah aku akan
menemukanmu dan membunuhmu,” orang tua itu berhenti sejenak. Kemudian
lanjutnya, “Atau aku akan membenturkan ilmuku dengan pancaran ilmumu. Aku yakin
sedikit banyak ilmuku akan mempengaruhi kekuatan yang terungkap lewat
samadimu.”
“Tidak semudah itu Ki
Sanak,” berkata Ki Rangga sambil mengurai senjatanya, sebuah cambuk berjuntai
panjang dengan karah-karah baja di sepanjang ujungnya, “Aku akan dapat
menyamarkan pancaran getaran ilmuku kapan saja aku kehendaki, dan itu akan
menyulitkan Ki Sanak untuk menelusuri dari mana sumber pancaran ilmuku itu.”
“Omong kosong!” bentak
Kakek tua itu sambil mulai menggeser kedudukannya selangkah ke kanan. Sementara
tangan kanannya yang memegang keris kanjeng Kiai Sarpasri telah terangkat
tinggi-tinggi, “Aku tidak sebodoh itu Ki Rangga. Aku mempunyai seribu satu cara
untuk menemukan pusat getaran ilmumu.”
Selesai berkata demikian,
Kakek tua itu segera meloncat secepat tatit di udara sambil mengayunkan
senjatanya yang tampak membara dalam gelapnya malam.
Dalam pada itu, seorang
pengawal tampak sedang berlari menuju ke samping gandhok kiri.
Dengan tergesa-gesa didorongnya pintu seketeng. Hampir saja dia menabrak
kawannya yang akan keluar dari longkangan.
“Di manakah Ki Waskita?”
bertanya pengawal itu kepada kawannya.
“Di halaman belakang
dengan Glagah Putih,” jawab kawannya itu sambil melangkah keluar pintu
seketeng, “Ada keperluan apakah Kau mencari Ki Waskita?”
“Di regol depan sedang
ada masalah,” jawab pengawal itu sambil setengah berlari menyusuri longkangan
menuju ke halaman belakang.
“Masalah apa?” bertanya
kawannya itu kemudian. Namun pengawal itu sudah tidak mendengar pertanyaannya.
Sesampainya di halaman
belakang, tampak dalam keremangan malam beberapa orang sedang berkumpul. Di
antara mereka tampak Ki Waskita dan Glagah Putih.
“Ki Waskita..!” berkata
pengawal itu dengan suara sedikit keras sambil berlari mendekat, “Ada sesuatu
yang penting, Ki.”
Ki Waskita yang sedang
berbincang dengan Glagah Putih serta beberapa pengawal itu segera berpaling.
“Ada apa?” bertanya Ki
Waskita kemudian setelah pengawal dari regol depan itu sampai di hadapannya.
Sejenak pengawal dari
regol depan itu mengatur nafasnya yang sedikit tersengal. Katanya kemudian, “Di
regol depan telah terjadi kegaduhan. Seorang kakek-kakek memaksa masuk ke
kediaman Ki Gede ini untuk menemui Ki Rangga Agung Sedayu.”
Orang-orang yang berada
di halaman belakang itu sejenak saling pandang dengan kening yang
berkerut-merut. Berkata Ki Waskita kemudian, “Hanya seorang kakek-kakek saja
mengapa mesti diributkan?”
“Seorang Kakek yang aneh
Ki,” sahut pengawal itu dengan cepat. Kemudian dengan singkat dia melaporkan
peristiwa yang telah terjadi di regol depan.
“Aku akan melihatnya,”
berkata Ki Waskita kemudian, “Adalah tidak sewajarnya di saat seperti ini ada
seseorang yang ingin bertemu dengan Ki Rangga. Kalaupun orang itu mungkin salah
satu sahabat Ki Rangga, tentu dia masih menjunjung tinggi suba sita dan tidak
memaksakan kehendak untuk bertemu Ki Rangga di saat seperti ini.”
Pengawal dari regol depan
itu menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi tenang begitu mendengar ki
Waskita sendiri yang akan datang ke regol.
“Marilah,” berkata Ki
Waskita kemudian kepada pengawal itu, “Kita menuju ke regol depan.”
Namun baru saja Ki
Waskita akan melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja mereka yang berada di halaman
belakang itu telah dikejutkan oleh bunyi ledakan cambuk yang menggelegar
memecah udara malam yang sepi.
“Kakang Agung Sedayu!”
seru Glagah Putih dengan serta merta dengan wajah yang menegang sambil
berpaling ke arah Ki Waskita.
“Bukankah Ki Rangga
sedang sakit?” bertanya pengawal itu pula. Beberapa orang yang berada di
halaman belakang itu pun mempunyai tanggapan yang sama.
Sejenak Ki Waskita
tertegun. Segera saja terbayang di rongga matanya ki Rangga Agung Sedayu yang
tergolek di pembaringan sedang mengetrapkan sebuah ilmu yang sudah sangat
jarang bahkan dapat dikatakan langka, aji pengangen-angen.
“Pada dasarnya Ki Rangga
memang sudah menguasai ilmu yang mirip dengan aji pengangen-angen, yaitu kakang
pembarep dan adi wuragil,” berkata Ki Waskita dalam hati dengan jantung yang
berdebaran, “Watak kedua ilmu itu hampir sama, hanya pengetrapannya yang
berbeda. Kakang pembarep dan adi wuragil mengharuskan sumber ilmunya selalu
berada di dekatnya, sedangkan aji pengangen-angen tidak. Bayangan semu yang
diciptakan dapat bergerak jauh dari sumbernya akan tetapi tetap merupakan
pancaran ilmu dari sumbernya.”
“Bagaimana, Ki? Apakah
mungkin itu Kakang Agung Sedayu?” tiba-tiba pertanyaan Glagah Putih telah
membuyarkan lamunan Ki Waskita.
“Aku akan
melihatnya,” jawab Ki Waskita sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi
debar jantungnya, “Kau di sini saja Glagah Putih. Masih banyak kemungkinan yang
dapat terjadi. Jangan mudah terpancing dengan perubahan keadaan yang mendadak.
Bisa saja yang terjadi di depan regol itu hanya sebuah pancingan. Usahakan
untuk saling berhubungan dengan menggunakan isyarat yang telah kita sepakati.”
“Baik, Ki,” jawab Glagah
Putih.
Sejenak kemudian Ki
Waskita beserta pengawal dari regol depan itu telah menyusuri longkangan menuju
ke halaman depan lewat samping gandhok kiri. Sementara suara ledakan cambuk
yang menggelegar itu kembali terdengar.
Ketika mereka berdua
sedang melintasi pintu butulan yang menghubungkan longkangan dengan ruang
tengah di rumah induk, tiba-tiba saja Ki Waskita menghentikan langkahnya.
“Teruslah berjalan,”
berkata Ki Waskita kemudian kepada pengawal itu, “Aku akan menengok keadaan
ruang dalam sebentar.”
Pengawal itu tidak
menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk sambil meneruskan langkahnya.
Sejenak Ki Waskita masih
melihat pengawal itu hilang di balik pintu seketeng. Ki Waskita pun kemudian
dengan bergegas segera memasuki ruang tengah.
Demikian Ki Waskita
menginjakkan kakinya di ruang dalam, tampak seorang perempuan dengan pakaian
khusus serta sepasang pedang di lambung sedang berdiri
termangu-mangu membelakanginya.
“Ki Waskita?” sapa Pandan
Wangi sambil berpaling begitu mendengar desir langkah mendekat di belakangnya.
Ki Waskita tersenyum
sambil mengangguk. Jawabnya kemudian sambil melangkah mendekat, “Ya, ngger.
Apakah semua baik-baik saja?”
“Demikianlah Ki Waskita,”
jawab Pandan Wangi. Namun sebelum Pandan Wangi melanjutkan kata-katanya,
tiba-tiba saja terdengar seseorang menarik pintu selarak bilik Ki Rangga.
Sejenak kemudian sebuah kepala tersembul dari sela-sela pintu bilik yang
terbuka sejengkal.
“Nyi Sekar Mirah,”
berkata Ki Waskita sambil melangkah mendekat, “Apakah Ki Rangga Baik-baik
saja?”
“Aku tidak yakin dengan
apa yang sedang terjadi, Ki,” jawab Sekar Mirah sambil membuka pintu bilik dan
mempersilahkan ki Waskita masuk diikuti oleh Pandan Wangi dari belakang.
“Kami baru saja mendengar
suara ledakan cambuk beberapa kali dari halaman depan,” berkata Pandan Wangi
setengah berbisik begitu ki Waskita berdiri di sisi pembaringan Ki Rangga,
“Siapakah yang bermain cambuk itu, Ki?”
Ki Waskita tidak
menjawab. Sejenak dipandanginya kedua perempuan itu. Ada keinginan untuk
menjelaskan tentang ilmu yang sedang dipelajari oleh Ki Rangga, namun sebuah
keragu-raguan sempat menyelinap di dalam dada ayah Rudita itu.
“Angger berdua,” akhirnya
Ki Waskita menemukan jalan pemecahannya, “Setelah ini aku akan melihat ke
halaman depan, siapakah yang sedang bermain cambuk itu?” Ki Waskita berhenti
sebentar sambil mengamat-amati perubahan yang sedang terjadi pada tubuh Ki
Rangga yang terbujur diam dengan kedua tangan bersilang di dada. Lanjutnya
kemudian, “Aku mohon Ki Rangga jangan diganggu dulu. Pintu bilik ini sebaiknya
diselarak dari dalam saja.”
“Apakah tidak
sebaiknya kalau kami berdua yang menunggui Kakang Agung Sedayu, Ki?” bertanya
Sekar Mirah kemudian dengan wajah yang menunjukkan kecemasan.
Untuk beberapa saat ki
Waskita termenung. Namun akhirnya Ki Waskita pun menjawab, “Sebaiknya Rara
Wulan dan Damarpati serta anakmu dibawa saja ke dalam bilik ini agar kalian
menjadi lebih tenang. Dengan demikian Nyi Pandan Wangi tidak usah berjaga di
ruang tengah, semua dapat berkumpul di dalam bilik ini.”
Hampir bersamaan Pandan
Wangi dan Sekar Mirah telah mengangguk anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang aku akan
turun ke halaman untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi,” berkata Ki
Waskita kemudian. Namun sebelum Ki Waskita sempat beranjak dari tempatnya,
tiba-tiba saja mereka yang berada di dalam bilik itu telah dikejutkan oleh
getaran yang terasa menguncang seluruh isi rumah Ki Gede Menoreh.
“Ki Waskita!” seru sekar
Mirah tertahan, “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?”
Tanpa sadar ki Waskita
telah berpaling ke arah ki Rangga yang sedang terbujur diam. Terdengar bibir Ki
Rangga berdesah perlahan, sedangkan dari keningnya telah mengembun titik-titik
keringat yang semakin lama menjadi semakin deras.
“Ki Rangga telah
terpancing untuk membenturkan ilmunya,” berkata Ki Waskita dalam hati dengan
jantung yang berdebaran, “Seharusnya Ki Rangga berusaha sejauh mungkin untuk
menghindari benturan itu. Semakin sering benturan itu terjadi, akan semakin
mudah bagi lawannya untuk mengetahui sumber getaran ilmunya. Semoga Ki Rangga
menyadari itu.”
“Bagaimana, Ki?”
pertanyaan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Ki Waskita, “Kakang Agung
Sedayu terlihat gelisah dalam tidurnya ketika terjadi guncangan tadi.”
Sejenak Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Berbagai pertimbangan sedang bergejolak di dalam
dadanya.
“Apakah Ki Waskita tidak
jadi ke halaman depan?” kini Pandan Wangi yang bertanya pula.
“Aku akan kesana,” sahut
Ki Waskita sambil mendekat ke arah Ki Rangga. Orang tua itu tampak mengerutkan
keningnya. Kemudian sambil membungkuk, dirabanya kening Ki Rangga.
“Masih dalam tataran yang
belum membahayakan,” desis Ki Waskita yang membuat kedua perempuan itu saling
pandang.
“Apakah yang membahayakan
Kakang Agung Sedayu, Ki?” bertanya Sekar Mirah dengan nada kecemasan yang luar
biasa. Sebagai seorang istri dan sekaligus perempuan yang berilmu tinggi, dia
dapat meraba berdasarkan panggraitanya bahwa suaminya sekarang ini sedang
mengalami sesuatu yang mungkin dapat membahayakan jiwanya.
“Angger berdua,” akhirnya
Ki Waskita memutuskan untuk memberi penjelasan kepada kedua perempuan itu,
“Angger Agung Sedayu sekarang ini sedang mengetrapkan sebuah ilmu yang sudah
sangat langka pada saat ini. ilmu yang disebut dengan aji pengangen-angen.”
“Aji pengengen-angen?”
hampir bersamaan kedua perempuan itu berseru tertahan.
“Ya ngger, aji
pengangen-angen,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil mengamati perubahan yang
terjadi pada wajah kedua perempuan itu. Lanjutnya kemudian, “Dengan aji ini, Ki
Rangga akan mampu mengendalikan ujud semunya sejauh yang dia kehendaki serta
dalam pengetrapan ilmu yang sama dengan ilmu sumbernya. Namun sebagaimana ilmu
yang lain, aji pengangen-anegn ini juga tidak sempurna. Ilmu ini juga mempunyai
sebuah kelemahan.”
Kembali kedua perempuan
itu saling pandang sejenak. Bertanya Sekar Mirah kemudian, “Apakah kelemahan
ilmu itu, Ki?”
Ki Waskita tidak segera
menjawab, hanya telunjuk jari tangan kanannya saja yang menunjuk ke arah Ki
Rangga yang sedang terbaring diam.
“Itulah kelemahannya yang
terbesar,” jawab Ki Waskita kemudian, “Selagi Ki Rangga mengetrapkan aji
pengangen-angen, raganya bernar-benar dalam keadaan lemah. Jika seseorang yang
bermaksud jahat menemukan Ki Rangga dalam keadaan seperti ini, dengan sangat
mudahnya dia akan dapat mencederainya bahkan membunuhnya sekalipun, suwe
mijet wohing ranti.”
Jantung kedua perempuan
itu bagaikan tersengat bara begitu mendengar keterangan Ki Waskita.
“Sudahlah,” berkata Ki
Waskita akhirnya, “Aku akan ke halaman depan. Pastikan tidak ada seorang pun
yang dapat menyentuh tubuh Ki Rangga yang sedang dalam puncak samadinya. Jika
memungkinkan aku akan memerintahkan sebagian pengawal berjaga di seputar
longkangan untuk mencegah orang yang ingin memasuki bilik Ki Rangga dari arah
belakang dinding.”
“Terima kasih Ki,” jawab
kedua perempuan itu hampir bersamaan.
Sejenak kemudian, Ki
Waskita pun segera meninggalkan bilik Ki Rangga dan berjalan menyeberangi ruang
tengah menuju ke halaman depan rumah Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu, di jalan
padukuhan yang menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh, tampak dua orang laki-laki
yang sudah tidak dapat disebut muda lagi sedang berjalan dengan tergesa-gesa.
“Kau dengar suara cambuk
itu, Kakang?” bertanya seorang yang tampak lebih muda.
Yang dipanggil kakang itu
tersenyum sekilas. Sambil tetap mengayunkan langkahnya dia menjawab, “Tidak ada
bedanya dengan suara cambuk para gembala di padang-padang perdu.”
Namun ketika kedua orang
itu tiba-tiba saja merasakan udara malam telah bergetar dengan
dahsyatnya, sejenak langkah mereka terhenti.
“Gila!” geram orang yang
disebut Kakang itu, “Memang nama besar Ki Rangga Agung Sedayu bukan sekedar
omong kosong. Murid utama orang bercambuk itu benar-benar telah mewarisi ilmu
perguruan bercambuk dengan tuntas.”
Orang yang di sebelahnya
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Yang aku dengar Ki Rangga sedang
sakit. Bagaimana mungkin dia sekarang ini sedang bermain cambuk melawan Eyang
Guru?”
“Semua orang Mataram
memang licik!” geram orang yang dipanggil kakang itu, “Aku yakin Ki Rangga
hanya berpura-pura sakit untuk menghindari balas dendam lawan-lawannya,” dia
berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya sambil meneruskan langkahnya, “Tapi itu
tidak menghalangi Eyang Guru untuk membunuhnya. Marilah kita bantu Eyang Guru
meluluh-lantakkan rumah Ki Gede Menoreh rata dengan tanah.”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil mengikuti langkah orang
itu, “Kakang Mahadri, di manakah Gandon dan kawan-kawannya?”
“Apa peduli kita,” jawab
orang yang ternyata bernama Ki Mahadri itu sambil terus berjalan, “Tugas kita
adalah membantu Eyang Guru sesuai perintah Raden Wirasena.”
Kawannya hanya menarik
nafas dalam-dalam sambil terus mengikuti langkah Ki Mahadri yang semakin cepat.
Dalam pada
itu beberapa orang yang bertubuh kekar dan berwajah keras, sekeras
batu padas di gerojokan sedang mendekati dinding sebelah timur rumah Ki Gede
Menoreh.
“Berapa orang yang akan
menyerang dari dinding belakang?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi besar
dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya.
“Hampir separuh dari
kekuatan kita, Kakang Gandon,” jawab orang yang di sebelahnya.
“Marilah,” berkata orang
yang dipanggil Gandon itu, “Eyang Guru sudah mulai dengan permainannya. Tapi
aku masih belum mengerti dengan suara cambuk itu. Apakah Ki Rangga sudah
benar-benar sembuh dari sakitnya?”
Beberapa orang yang
mengikutinya hanya diam saja. Ketika mereka kemudian tinggal beberapa langkah
saja dari dinding, sejenak beberapa orang justru telah menjadi
ragu-ragu untuk meloncati dinding.
“Kakang Gandon,” kembali
salah seorang dari mereka bertanya sambil berbisik, “Apakah tidak sebaiknya
kita melewati regol depan? Meloncati dinding terlalu berbahaya.”
Gandon sejenak merenung.
Memang meloncati dinding terlalu berbahaya. Lawan dapat saja menunggu di balik
dinding dengan busur dan anak panah. Begitu mereka meloncat dan muncul dari
balik dinding, secepat kilat anak-anak panah pun akan berterbangan dan meranjam
tubuh mereka.
“Tunggulah di sini,”
berkata Gandon kemudian dengan berbisik pula, “Aku akan menelusur sepanjang
dinding sebelah timur ini. Kemungkinan masih ada celah-celah yang tidak dijaga
oleh para pengawal.”
Orang-orang itu hanya
mengangguk-angguk. Mereka yakin akan kemampuan Gandon untuk memantau segala
jenis suara dari balik dinding, baik itu desir langkah maupun nafas yang
tertahan-tahan.
“Hem,” desah Gandon
kemudian sambil menyusur dinding. Dengan kemampuannya untuk menyerap segala
bunyi yang timbul dari langkahnya, Gandon pun kemudian meningkatkan
kemampuannya untuk mendengarkan segala bunyi yang timbul dari balik dinding.
Segera saja pendengaran
Gandon yang tajam telah menangkap desir langkah para pengawal yang sedang
berjaga-jaga di halaman samping rumah Ki Gede.
“Hem,” kembali Gandon
berdesah. Berdasarkan pengamatannya, para pengawal itu hanya berjaga-jaga di
seputar halaman samping, tidak di sepanjang dinding.
Dengan sedikit bergegas
Gandon pun segera kembali ke tempat kawan-kawannya menunggu.
“Mereka tidak berjaga di
sepanjang dinding,” berkata Gandon kemudian sesampainya dia di hadapan
kawan-kawannya, “Kita dapat menyamarkan kedatangan kita dengan cara memanjat
pohon itu”
Selesai berkata demikian,
Gandon segera menunjuk sebatang pohon yang tumbuh justru agak jauh dari dinding
halaman samping rumah Ki Gede.
“Pohon itu terlalu jauh
dari dinding. Mengapa kita tidak meloncati dinding saja, Kakang?” bertanya
salah satu dari mereka.
“Bodoh!” geram Gandon,
“Meloncati dinding tetap berbahaya. Kau lihat cabang yang menjulur ke arah
dalam itu. Kita dapat memanfaatkan cabang itu untuk memasuki rumah ini.”
Kawan-kawannya tidak
menjawab. Dalam keremangan malam di bawah siraman sinar bulan tua, mereka
memang melihat salah satu cabang pohon itu menjulur ke arah dalam.
“Kita akan tetap bergerak
dalam senyap sebelum benar-benar yakin jangkauan kita memungkinkan untuk
menyergap para pengawal itu,” berkata Gandon kemudian memberikan arahan,
“Dengan sekali ayunan, senjata-senjata kita harus mampu membinasakan mereka
tanpa menimbulkan kegaduhan.”
Kembali kawan-kawannya
hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka menyerahkan semua persoalan kepada
Gandon, orang yang dianggap memiliki kelebihan di antara mereka.
Demikianlah sejenak
kemudian mereka segera merayap mendekati pohon yang tumbuh agak jauh dari
dinding. Tetap dalam gerakan yang senyap, satu-persatu mereka mulai memanjat
pohon itu.
Dalam pada itu ujud semu
Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar telah merepotkan kakek tua yang disebut
Eyang Guru oleh para pengikutnya itu.
“Iblis, Genderuwo,
Tetekan!” berkali-kali Eyang Guru mengumpat tidak ada habis-habisnya. Sampai
sejauh ini dia belum dapat menemukan kelemahan ilmu lawannya.
“Aku akan memancing ujud
semu Ki Rangga ini menjauhi sumbernya,” berkata Eyang Guru dalam hati sambil
menghindari serangan lawannya, “Dengan semakin jauh jarak ujud semu ini dari
sumbernya, aku yakin kekuatan ilmu Ki Rangga akan melemah, sehingga setiap
benturan ilmu yang terjadi tidak akan menggoyahkan ilmu kebalku.”
Sebenarnyalah Eyang Guru
itu pada awalnya telah mencoba membenturkan ilmunya dengan ujud semu Ki Rangga
untuk menelusuri sumber pancaran ilmu lawannya. Namun yang terjadi kemudian
adalah diluar perhitungannya, kekuatan ilmu cambuk Ki Rangga hampir saja
menembus ilmu kebalnya dan merontokkan jantung.
Dengan sangat cerdik
Eyang Guru itu pun kemudian bergeser setapak demi setapak menjauhi regol depan
rumah Ki Gede Menoreh. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu dalam puncak samadinya
sama sekali belum menyadari bahwa lawan telah merencanakan sesuatu yang mungkin
dapat menjebaknya dalam kesulitan.
Demikianlah pertempuran
itu perlahan mulai bergeser menjauhi regol. Setiap kali ujung cambuk itu
meluncur dan mematuk sasarannya, Eyang Guru tidak berusaha membentur ujung
cambuk itu dengan senjatanya, keris pusaka kanjeng Kiai Sarpasri. Dia hanya
berusaha menghindar dengan cara melangkah surut. Sejenak kemudian lingkaran
pertempuran itu pun perlahan mulai mendekati kelokan jalan di depan rumah Ki
Gede Menoreh.
“Mungkin jarak ujud semu
Ki Rangga ini sudah cukup jauh dari sumbernya,” berkata Eyang Guru dalam hati
sambil melompat mundur ketika ujung cambuk itu menyambar kening, “Kekuatan ilmu
Ki Rangga tentu sudah jauh berkurang dibandingkan dengan pada saat dia masih di
depan regol.”
Berpikir sampai disitu,
Eyang Guru segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan
sebuah ilmu yang nggegirisi. Bertumpu pada kekuatan keris pusaka Kanjeng Kiai
Sarpasri, Eyang Guru segera mengangkat senjatanya tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian, keris
kanjeng Kiai Sarpasri itu telah mengeluarkan lidah api yang menjulang tinggi
dan berkobar-kobar bagaikan membakar langit. Ketika Eyang Guru kemudian dengan
kecepatan yang tidak kasat mata memutar keris itu di atas kepalanya, yang
tejadi kemudian adalah suatu hal yang nggegirisi. Di seputar Eyang Guru telah
tercipta pusaran angin bercampur lidah api yang berkobar-kobar mengerikan dan
siap menghanguskan apapun yang diterjangnya.
Dalam pada itu, Ki Rangga
dalam puncak samadinya telah melihat dengan ketajaman mata hati kedahsyatan
ilmu lawan. Sebenarnya jika Ki Rangga menghendaki, dapat saja dia menghindarkan
diri dari benturan dengan ilmu lawannya, namun ternyata Ki Rangga telah
tergelitik untuk mencoba kekuatan ilmu lawannya.
Demikianlah, ketika
pusaran angin bercampur lidah api yang menyala-nyala itu berputar semakin
kencang mengelilingi tubuh Eyang Guru, ujud semu Ki Rangga pun telah mengambil
ancang-ancang dengan memutar cambuknya di atas kepala. Begitu Eyang Guru
meloncat disertai dengan badai api menerjang ujud semu Ki Rangga, dari ujung
cambuk yang dihentakkan sendal pancing telah meluncur seleret cahaya
kebiru-biruan menghantam pusaran badai api itu.
Yang terjadi kemudian
adalah kedahsyatan yang tiada taranya. Terdengar ledakan bagaikan guntur
membelah langit. Dalam sekejap pusaran angin bercampur lidah api itu pun telah
terkoyak dan menebar ke sekeliling arena pertempuran.
Akibatnya adalah sangat
mengerikan. Semak belukar serta pohon-pohon perdu yang tersentuh oleh pusaran
api itu telah hangus terbakar. Sedangkan Eyang Guru yang berada di dalam
lingkaran pusaran api itu telah terpental beberapa langkah ke belakang.
Sementara ujud semu Ki Rangga tetap berdiri dengan kokohnya di atas kedua
kakinya yang renggang.
Namun yang sebenarnya
terjadi di dalam bilik Ki Rangga ternyata sangat mengejutkan Sekar Mirah. Tubuh
Ki Rangga yang terbujur diam itu telah terguncang dan terangkat beberapa
jengkal dari pembaringan sebelum akhirnya terbanting kembali dengan derasnya di
atas pembaringan sehingga menimbulkan suara yang berderak-derak.
“Kakang!” jerit Sekar
Mirah disertai dengan isak tangis sambil menubruk tubuh suaminya yang kembali
terbujur diam. Sementara Bagus Sadewa yang tertidur dalam gendongan Rara Wulan
telah terkejut sehingga terbangun dan menangis sekeras-kerasnya.
Sedangkan Pandan Wangi
yang duduk di sebuah dingklik kayu telah ikut terlonjak kaget. Dengan setengah
berlari dia segera mendekati pembaringan Ki Rangga.
“Tenanglah Mirah,” bisik
Pandan Wangi kemudian sambil memeluk tubuh adik iparnya itu dari belakang, “Ki
Waskita telah berpesan, apapun yang terjadi kita jangan mengganggu Kakang Agung
Sedayu.”
Dengan sekuat tenaga
Sekar Mirah mencoba mengendalikan dirinya. Dengan masih tetap terisak-isak,
perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati dilepaskan tubuh Ki Rangga dari
pelukannya.
“Marilah,” bisik Pandan
Wangi kemudian sambil membimbing Sekar Mirah menjauhi pembaringan Ki Rangga,
“Lebih baik Kau mengurus anakmu terlebih dahulu. Kelihatannya dia memerlukan
perhatianmu.”
Sekar Mirah tidak
menjawab hanya mengangguk sambil mengusap air mata yang masih saja mengalir
deras dari sudut matanya.
Dalam pada itu di medan
pertempuran, Eyang Guru telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Karena
pemusatan nalar dan budinya terganggu, pusaran angin bercampur lidah api itu
pun telah padam dengan sendirinya. Tinggallah Eyang Guru yang berdiri termangu-mangu
beberapa langkah di hadapan ujud semu Ki Rangga Agung Sedayu.
Sambil menghela nafas
panjang, berkata Eyang Guru dalam hati, “Luar biasa. Kedahsyatan ilmu perguruan
orang bercambuk memang bukan sekedar cerita ngayawara. Aku telah membuktikan
sendiri. Namun apa yang sedang aku cari , ternyata telah aku temukan.”
Sambil tetap mewaspadai
pergerakan lawan, Eyang Guru mencoba kembali ketajaman mata hatinya untuk
melihat sumber pancaran ilmu lawannya.
Memang pada saat terjadi
benturan dahsyat tadi, dengan ketajaman mata batinnya, Eyang Guru telah melihat
seberkas sinar yang terpantul akibat dari benturan kedua ilmu yang nggegirisi
itu. Dalam ketajaman panggraitanya, Eyang Guru telah melihat seberkas sinar
yang melesat kembali ke pusat pancaran ilmu itu.
“Ternyata Ki Rangga
bersembunyi di salah satu bilik yang berada di ruang tengah rumah Ki Gede,”
berkata Eyang Guru kemudian dalam hati, “Untuk meyakinkan, aku akan
membenturkan ilmuku sekali lagi,”
Maka Eyang Guru pun
segera mengangkat kembali keris pusakanya tinggi-tinggi sambil berteriak
menggelegar, “Tunggulah Ki Rangga, aku akan segera datang. Dan dengan keris
Kanjeng Kiai Sarpasri, aku akan mengantarmu menjenguk gerbang kematian.”
Namun ketika Eyang Guru
telah bersiap sekali lagi untuk mengetrapkan ilmunya, tiba-tiba saja
pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah kaki menuju ke tempat
itu.
Ketika Eyang Guru
kemudian menyempatkan diri untuk berpaling sekilas, tampak dari kelokan jalan
muncul dua orang yang umurnya sudah tidak muda lagi berjalan tergesa-gesa
mendekati arena pertempuran.
“Mahadri dan Jaladri,”
desis Eyang Guru perlahan demi melihat kedua orang itu.
Kedua orang yang datang
dengan tergesa-gesa itu memang Mahadri dan kawannya yang ternyata bernama
Jaladri. Dengan segera mereka berdua pun kemudian menghampiri ke tempat Eyang
Guru berdiri.
“Eyang Guru,” berkata
Mahadri kemudian setibanya di hadapan Eyang Guru, “Kami berdua diutus oleh
Raden Wirasena untuk membantu Eyang Guru.”
Untuk beberapa saat Eyang
Guru tertegun. Ada sedikit ketersinggungan di sudut hatinya. Mengapa Raden
Wirasena masih meragukan kemampuannya? Namun akhirnya Eyang Guru itu pun
kemudian berkata, “Baiklah, kalian berdua hadapilah Ki Rangga Agung Sedayu yang
sekarang berada di hadapan kalian. Aku akan masuk ke dalam rumah Ki Gede untuk
menemukan Ki Rangga yang sebenarnya dan sekaligus membunuhnya.”
Tiba-tiba Jaladri
tertawa. Katanya kemudian, “Mengapa Eyang Guru masih tertipu dengan permainan
kanak-kanak semacam ini? Berilah kami tugas yang lebih menantang sesuai dengan
tingkat kemampuan kami.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Eyang Guru dengan serta-merta, “Kalian belum pernah mengalami sendiri
kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu,” Eyang Guru berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Aku sudah menemukan pusat getaran ilmunya. Sebentar lagi
agul agulnya Mataram itu hanya akan tinggal namanya saja.”
Selesai berkata demikian
Eyang Guru segera berlalu dari tempat itu tanpa mempedulikan lagi Mahadri dan
Jaladri yang masih berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu, Ki Rangga
Agung Sedayu yang dalam samadinya melihat Eyang Guru bergerak menjauh dan
menuju ke kediaman Ki Gede, segera berusaha untuk menghalangi langkahnya.
“Kalian berdua tahanlah
ujud Ki Rangga ini, agar aku segera dapat mencapai tempat samadi Ki Rangga dan
membunuhnya!” teriak Eyang Guru sambil menghindar sejauh-jauhnya dari jangkauan
ujung cambuk lawannya.
Mahadri yang percaya
dengan kemampuan Eyang Guru dalam mengenali ujud semu Ki Rangga segera meloncat
ke depan sambil mencabut senjatanya. Sementara Jaladri yang dihinggapi oleh
keragu-raguan masih tetap berdiri termangu-mangu di tempatnya.
Sejenak kemudian Mahadri
pun segera terlibat pertempuran yang sengit melawan ujud semu Ki Rangga. Dengan
sekuat tenaga Mahadri mencoba menahan kedahsyatan gempuran ilmu cambuk putra
termuda Ki Sadewa itu.
“Mengapa Kakang Mahadri
begitu bodohnya membuang-buang waktu melawan sebuah ujud semu?” berkata Jaladri
dalam hati sambil melangkah menyusuri jalan menuju ke regol rumah Ki Gede,
“Betapapun sempurnanya sebuah ujud semu, dia tidak akan mempunyai pengaruh
apapun terhadap lingkungan di sekitarnya.”
Tanpa mempedulikan
Mahadri yang sedang bertempur dengan ujud semu Ki Rangga, Jaladri pun kemudian
meneruskan langkahnya.
Ketika Jaladri kemudian
lewat hanya tiga langkah saja di samping ujud semu Ki Rangga, tiba-tiba saja
ujung cambuk Ki Rangga menyambar dadanya.
“Jaladri! Awas serangan!”
teriak Mahadri berusaha mengingatkan kawannya.
Pada awalnya Jaladri
memang tidak menghiraukan serangan lawannya itu. Namun ketika ujung cambuk itu
tinggal tiga jengkal dari dadanya, terasa sebuah desir angin yang dahsyat
disertai hawa panas menyambar dadanya.
Bagaikan disambar petir
di siang bolong, Jaladri pun terkejut bukan alang-kepalang. Namun semuanya
sudah sangat terlambat. Memang Jaladri masih sempat memiringkan dadanya sambil
melangkah surut, namun ujung cambuk itu sudah keburu datang dan menghantam
dadanya. Yang dapat dilakukan hanyalah mengetrapkan tenaga cadangan
setinggi-tingginya untuk melindungi dadanya dari kehancuran.
Akibat yang terjadi kemudian
adalah diluar perhitungan Jaladri. Ujung cambuk itu telah meledak dan dada
Jaladri bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari
atas tebing yang runtuh. Tubuhnya terlempar beberapa langkah kebelakang untuk
kemudian jatuh terkapar tak bergerak di atas tanah yang berdebu.
“Jaladri!” teriak Mahadri
sambil memburu ke tempat kawannya itu jatuh tergeletak.
Untunglah disaat terakhir
sebelum ujung cambuk itu menyentuh dada Jaladri, keragu-raguan sempat
menyelinap di dada ki Rangga Agung Sedayu. Dalam samadinya Ki Rangga tidak
sampai hati untuk menghancurkan lawannya yang tidak mempersiapkan dirinya
terlebih dahulu. Jika saja Ki Rangga tidak mengurangi kekuatan cambuknya, tentu
dada lawannya sudah hancur berantakan tak berbentuk.
Dalam pada itu, Eyang
Guru yang sedang berlari memasuki regol rumah Ki Gede ternyata telah menahan
langkahnya sejenak begitu mendengar ledakan cambuk Ki Rangga. Sekilas dia masih
sempat melihat Jaladri terlempar kebelakang dan jatuh terlentang tak bergerak.
“Anak keras kepala,”
geram Eyang Guru dalam hati, “Belum tahu tingginya gunung dan luasnya samudra.”
Namun agaknya Eyang Guru
sudah tidak mempedulikan keadaan Jaladri lagi. Dengan cepat dia segera
berlari menyeberangi halaman dan menaiki tlundak pendapa.
Dalam pada itu, seorang
pengawal yang berjaga di halaman samping dengan tanpa menarik perhatian telah
bergeser ke halaman belakang untuk menemui Glagah Putih.
“Ada beberapa orang yang
telah memasuki halaman samping dengan cara memanjat melalui dahan pohon di
samping dinding sebelah utara,” berkata pengawal itu setibanya di hadapan
Glagah Putih.
“Kami yang berada di
halaman belakang ini juga sedang memantau orang-orang yang mencoba menyusup ke
tempat ini,” berkata Glagah Putih kemudian sambil menggamit pengawal itu untuk
bergeser ke tempat yang lebih gelap, “Biarkan saja mereka masuk, namun jangan
meninggalkan kewaspadaan. Usahakan para pengawal bersikap seolah-olah belum
menyadari kehadiran mereka. Kelihatannya mereka akan menggunakan kesempatan
untuk menyerang selagi kita lengah.”
Pengawal itu mengangguk.
Kemudian dengan tanpa menarik perhatian, dia pun segera bergeser meninggalkan
halaman belakang.
Sejenak kemudian, suasana
benar-benar terasa mencekam bagi kedua belah pihak. Gandon dan kawan-kawannya
yang telah berhasil memasuki halaman samping segera merayap mendekati para
pengawal. Sementara di halaman belakang kediaman Ki Gede, beberapa orang juga
tampak merayap di antara semak-semak dan gerumbul perdu.
“Ki Sambit,” bisik salah
seorang dari mereka kepada orang di sebelahnya, “Kapan kita mulai bergerak?”
Orang yang dipanggil Ki
Sambit itu menjawab, juga dengan berbisik, “Kita menunggu isyarat dari Gandon.”
Kawannya hanya
mengangguk-angguk sambil terus merayap mendekati tempat para pengawal.
Demikianlah ketika para
pengawal yang berada di halaman samping itu tiba-tiba mendengar suara derik
seekor jengkerik yang cukup keras dan tidak sewajarnya, tangan-tangan para
pengawal itu pun telah melekat di hulu senjata masing-masing. Sedangkan dari
halaman belakang pun ternyata juga terdengar suara sahutan derik jengkerik yang
cukup keras membelah sepinya malam.
Dalam sekejap, dari balik
gerumbul-gerumbul perdu segera berloncatan orang-orang yang berwajah keras
dengan senjata telanjang menyergap ke arah para pengawal sambil
berteriak-teriak untuk menyurutkan semangat lawan.
“Bunuh mereka semua!”
terdengar sebuah teriakan menggelegar di antara riuhnya teriakan dan umpatan.
Dengan tangkasnya para
pengawal segera menebar sambil mencabut senjata masing-masing. Benturan pertama
itu ternyata tidak begitu mengejutkan sebagaimana yang diharapkan Gandon. Para
pengawal dengan penuh kepercayaan diri dan kewaspadaan yang tinggi telah
menyambut kehadiran mereka.
“Gila!” geram Gandon
sambil mengayunkan senjatanya dengan deras membabat seorang pengawal yang
berdiri tidak jauh dari tempatnya, “Meskipun kalian telah menyadari kehadiran
kami, jangan harap kalian dapat bertahan sepenginang sirih!”
Pengawal itu tidak
menjawab. Jarak serangan itu begitu dekatnya, tidak ada kesempatan sama sekali
baginya untuk menghindar. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari maut
adalah hanya dengan menangkis serangan itu.
Ketika dengan sekuat
tenaga pengawal itu mencoba membenturkan senjatanya, apa yang terjadi kemudian
benar-benar diluar perhitungannya.
Ketika kedua senjata itu
pun kemudian berbenturan, pengawal itu merasakan telapak tangannya bagaikan
tersengat oleh seonggok bara tempurung kelapa. Dengan gerak naluriah, pengawal
itu pun segera telah meloncat mundur. Namun ternyata dia tidak mampu untuk
mempertahankan senjatanya sehingga senjata itu telah terlepas dan terjatuh.
Terdengar Gandon tertawa
berkepanjangan. Katanya kemudian di sela-sela suara tertawanya, “Mampuslah Kau
tikus clurut! Kau tidak menyadari dengan siapa berhadapan!”
Selesai berkata demikian,
senjata di tangan Gandon itu pun terayun deras membabat leher pengawal yang
berdiri dengan kedua lutut gemetar.
Namun alangkah
terkejutnya Gandon. Pada saat dia sudah begitu yakin akan dapat menebas putus
leher lawannya, ternyata senjatanya telah membentur sebuah kekuatan yang tiada
taranya. Senjata di tangan Gandon itu telah membentur sebuah timang dari ikat
pinggang kulit yang tergenggam di tangan seorang anak muda.
“Gila!” umpat Gandon
sambil meloncat mundur. Telapak tangannya terasa panas bagaikan terkelupas.
Untung Gandon masih mampu mempertahankannya walaupun dengan susah payah.
Sejenak dipandanginya
sosok anak muda yang berdiri beberapa langkah di arah sebelah kirinya. Seorang
anak muda dengan senjata yang sangat aneh, seutas ikat pinggang kulit dengan
timang yang terbuat dari lempengan baja.
“Anak iblis!” geram
Gandon, “He!? Mengapa Kau berani menghalangi aku membunuh cecurut itu? Sebut
namamu sebelum aku membelah dadamu!”
“Namaku Glagah Putih,”
jawab anak muda itu yang ternyata memang Glagah Putih, “Ki Sanak telah berlaku
tidak jantan dengan menyerang lawan yang tidak bersenjata.”
“Apa peduliku!? Orang itu
terlalu lemah di medan yang keras dan garang ini. Sudah sepantasnya dia
mampus!”
Glagah Putih tidak
menanggapi kata-kata lawannya. Sambil berpaling ke arah pengawal yang masih
berdiri dengan gemetar dia berkata, “Ambil senjatamu dan kembalilah bergabung
dengan kawan-kawanmu.”
Pengawal itu tidak
menjawab sepatah kata pun. Hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk.
Setelah mengambil senjatanya yang tergeletak di tanah, dengan tergesa-gesa
segera ditinggalkannya lingkaran pertempuran itu.
“Nah,” berkata Glagah
Putih sepeninggal pengawal itu, “Lebih baik Ki Sanak mengurungkan niat untuk
membuat keributan di rumah Ki Gede ini. Di antara kita belum pernah saling
bertemu dan membuat masalah. Untuk apa kita bertaruh nyawa atas persoalan yang
belum diketahui ujung pangkalnya ini?”
Gandon
tertawa pendek. Sambil meloncat menyerang dia membentak keras, “Permasalahannya
adalah, aku ingin sekali merobek mulutmu!”
Glagah
Putih yang selalu waspada akan gerak-gerik lawannya segera tanggap. Dengan
menggeser kedudukan kaki kirinya se langkah, serangan lawannya itu dengan mudah
dapat dihindari.
Sejenak
kemudian keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Dalam
pada itu Mahadri yang sedang berlari memburu ke tempat kawannya terjatuh segera
menghentikan langkahnya ketika cambuk Ki Rangga meledak hanya sejengkal di
depan hidungnya.
Dengan
gerak naluriah Mahadri pun segera melangkah surut kebelakang. Dengan segera
dihentakkan seluruh kekuatan tenaga cadangannya pada senjatanya, sebuah pedang
berukuran diluar kewajaran.
Pedang
di tangan Mahadri pun bagaikan membara di malam yang gelap. Ketika cambuk
lawannya meluncur mencoba membelit senjatanya, dengan sedikit merendahkan
lututnya, ujung cambuk itu lewat sejengkal di atas kepala. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Mahadri, bagaikan tatit yang meloncat di udara, tubuhnya
meluncur ke depan dengan pedang yang terjulur lurus mengancam jantung.
Namun
yang menjadi lawannya adalah Ki Rangga Agung Sedayu dalam pengetrapan aji
pengangen-angen. Ujud semu Ki Rangga sama sekali tidak berusaha untuk
menghindar. Justru cambuk itu sekali berputar di atas kepala untuk kemudian
meluncur membelit leher Mahadri.
Mahadri
yang tidak menyadari kedahsyatan aji pengangen-angen telah tertipu dengan ujud
semu Ki Rangga. Senjatanya yang terjulur lurus itu telah menembus dada, namun
sama sekali tidak berpengaruh karena pancaran kekuatan ilmu Ki Rangga berada di
ujung cambuknya. Jika Mahadri ingin menggoncang pertahanan samadi lawannya,
seharusnya dia membenturkan ilmunya dengan ujung cambuk Ki Rangga. Samadi Ki
Rangga akan terganggu jika terjadi benturan ilmu, bukan benturan wadag.
Yang
terjadi kemudian benar-benar telah membuat Mahadri kehilangan kesempatan.
Ketika ujung pedang Mahadri menembus bayangan semu yang kosong, pancaran ilmu
Ki Rangga yang berada di ujung cambuk itu telah membelit lehernya. Dengan
sekali hentakan sendal pancing, tubuh Mahadri pun terlempar ke udara dan jatuh
terjerembab di atas tanah yang berdebu.
Sekali
Mahadri terlihat masih menggeliat. Namun untuk selanjutnya tubuh itu pun
kemudian terbujur diam.
Dalam
pada itu Eyang Guru yang merasa telah menemukan sumber pancaran ilmu Ki Rangga
segera menaiki tlundak pendapa. Namun sebelum Eyang Guru sempat menyeberangi
pendapa rumah Ki Gede yang luas itu, tiba-tiba saja terdengar pintu pringgitan
berderit terbuka dan seorang yang sudah cukup tua tapi tampak masih tegap telah
muncul dari balik pintu.
Sejenak
Eyang Guru tertegun. Panggraitanya yang tajam segera mengenali orang yang
berdiri di hadapannya itu bukanlah orang kebanyakan.
“Siapapun
Ki Sanak, minggirlah! Aku tidak ingin kanjeng Kiai Sarpasri ini memakan korban
yang sia-sia!” geram Eyang Guru kemudian sambil melangkah maju dan mengangkat
senjata pusakanya tinggi-tinggi.
Orang
yang berdiri di depan pintu pringgitan itu terkejut begitu melihat pamor keris
di tangan kanan Eyang Guru. Yang tergenggam di tangan Eyang Guru itu bukan lagi
sebuah keris lurus tanpa luk dalam bentuk ukiran seekor naga dengan taburan
permata di antara sisik-sisiknya. Namun yang tampak kemudian adalah seekor naga
yang tidak seberapa besar yang sedang marah dengan taring yang panjang dan
sepasang mata yang memancarkan api.
“Keris
Kiai Sarpasri!” seru orang tua itu dengan suara sedikit bergetar.
Eyang
Guru tertawa pendek mendengar orang tua itu mengenali pusakanya. Katanya
kemudian dengan suara bagai guruh yang meledak di langit, “Minggirlah tua
bangka! Kau sudah mengetahui kedahsyatan pusakaku ini. Lebih baik kau segera
menyingkir sebelum aku berubah pikiran!”
Namun
orang tua itu justru telah melangkah maju setelah menutup pintu pringgitan
terlebih dahulu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, tentu saja aku tahu akan
kedahsyatan pusakamu itu, namun itu bukan berarti aku akan membiarkan Ki Sanak
masuk dan mencederai Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang dalam puncak samadinya.
Apapun yang terjadi aku akan mencegah Ki Sanak.”
Eyang
Guru menggeram keras. Dia sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk
bermain-main. Maka sejenak kemudian keris di tangan kanannya telah di putar
beberapa kali di atas kepala untuk mengetrapkan ilmunya yang nggegirisi.
Namun
sebelum Eyang Guru sempat memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetrapkan
ilmunya, pendengarannya yang tajam tiba-tiba saja telah menangkap derap langkah
beberapa ekor kuda. Walaupun masih cukup jauh, namun gaung hentakan telapak
kaki-kaki kuda itu terdengar lamat-lamat memantul di lereng-lereng bukit dan
lembah sehingga menimbulkan gaung yang melingkar-lingkar semakin lama semakin
jelas.
“Pasti
rombongan Argapati,” geram Eyang Guru dalam hati, “Sebelum Argapati melangkahi
regol halaman rumahnya sendiri, Ki Rangga harus sudah terbujur menjadi mayat.”
Sedangkan
orang tua yang berdiri termangu-mangu beberapa langkah di depan pintu
pringgitan itu pun agaknya juga telah mendengar akan derap kaki-kaki kuda itu,
namun dengan tanggapan yang berbeda.
“Syukurlah
jika rombongan Ki Gede telah kembali,” berkata orang tua itu dalam hati, “Aku
akan mencoba menahan orang ini sampai mereka datang.”
“Nah,
Ki Sanak,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan orang tua itu, “Aku
kira kau juga mendengar derap langkah kaki-kaki kuda itu. Mereka masih cukup
jauh. Masih cukup waktu bagiku untuk mengubur seluruh penghuni rumah ini.”
Orang
tua itu tampak menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kita
belum pernah bertemu sebelumnya. Apalagi terlibat dalam sebuah masalah. Jika Ki
sanak tidak keberatan, katakan alasan Ki Sanak membawa orang-orang itu menyerbu
ke kediaman Ki Gede ini.”
Eyang
Guru tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku tahu kau mencoba mengulur waktu
dengan harapan bantuan itu segera datang. Akan tetapi jangan khawatir. Sudah
ada beberapa orang yang bertugas khusus untuk menahan rombongan Argapati agar
mereka tidak sampai kembali ke rumah ini.”
“Mereka
pasti kembali,” tiba-tiba terdengar suara berat dan dalam dari arah belakang
Eyang Guru.
Bagaikan
disengat ribuan kalajengking Eyang Guru itu pun terkejut bukan alang kepalang.
Dengan cepat dia segera berpaling ke belakang.
“Ki
Rangga!?” seru Eyang Guru dengan suara sedikit tertahan begitu mengetahui siapa
yang berdiri di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Ki Rangga
secepat itu dapat menyelesaikan lawannya dan segera menyusulnya.
Memang
yang berdiri di belakang Eyang Guru itu adalah ujud semu ki Rangga dalam
pengetrapan aji pengangen-angen.
“Nah,
Ki Waskita,” berkata ujud semu Ki Rangga kemudian, “Jangan hiraukan orang ini.
biarlah aku yang mengurusnya. Aku mohon Ki Waskita sudi melihat perkembangan
yang sedang terjadi di halaman samping dan belakang.”
Orang
tua yang berdiri beberapa langkah di depan pintu pringgitan itu memang Ki
Waskita. Sejenak dia masih ragu-ragu. Namun akhirnya dia pun menjawab, “Baiklah
ngger, aku akan ke halaman belakang. Berhati-hatilah. Agaknya dia sedang
mencari kelemahan aji pengangen-angen.”
Selesai
berkata demikian Ki Waskita segera bergeser surut. Namun sebelum dia sempat
membalikkan badan, tiba-tiba saja Eyang Guru telah memutar keris pusakanya.
Sejenak kemudian pusaran angin bercampur lidah api telah berputar dengan
dahsyat mengelilingi tubuh Eyang Guru dan menimbulkan suara menderu disertai
loncatan lidah api yang menjulur.
Ki
Waskita terkejut melihat lawannya tanpa peringatan terlebih dahulu telah
mengetrapkan ilmunya yang nggegirirsi itu. Namun, Ayah Rudita itu tidak sempat
berangan-angan terlalu jauh ketika dengan teriakan menggelegar lawannya telah
meloncat menerjangnya.
Dengan
gerak naluriah Ki Waskita segera meloncat sejauh-jauhnya dari garis serangan
Eyang Guru. Namun, yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungan Ki Waskita.
Ternyata lawannya tidak menghiraukan ke arah mana dirinya akan menghindar.
Justru serangan Eyang Guru telah meluncur dengan derasnya menghantam pintu
pringgitan yang tertutup rapat.
Bersamaan
dengan ledakan yang mengantam pintu pringgitan sehingga pecah dan terbakar
menjadi puing-puing bara yang berserakan, tubuh Eyang Guru melesat bagaikan
anak panah yang lepas dari busurnya meluncur memasuki kediaman Ki Gede Menoreh.
Tujuannya pasti, berpacu dengan ujud semu Ki Rangga untuk menemukan bilik
tempat Ki Rangga memusatkan samadinya dan menghentikan pancaran ilmu yang
mendebarkan itu.
“Berhenti!”
teriak Ki Waskita begitu menyadari kesalahannya. Dengan cepat dia segera
berlari menyusul lawannya.
Akan
tetapi langkah Ki Waskita kembali terhenti. Sekali lagi badai pusaran angin
disertai semburan api yang menjilat menyembur keluar melalui reruntuhan pintu
pringgitan menerjang dirinya.
“Gila!”
geram ki Waskita sambil meloncat menghindar. Sekali lagi dia telah salah
memperhitungankan lawannya.
Selagi
Ki Waskita menemui kesulitan mengejar lawannya, Eyang Guru dengan cepat segera
melintasi pringgitan. Hanya dengan dua kali lompatan dia telah berada di ruang
tengah, tepat di depan pintu bilik Ki Rangga yang tertutup rapat dan diselarak
dari dalam.
“Hem,”
desah Eyang Guru sambil menatap tajam pintu bilik di hadapannya. Ada sedikit
keragu-raguan yang menyelinap di dalam dadanya. Dengan aji sapta pangrungu, dia
dapat mendengar beberapa orang sedang berada di dalam bilik itu.
“Menilik
tarikan nafasnya, tidak salah lagi ki Rangga sedang dalam puncak samadinya di
dalam bilik ini,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Namun selain Ki Rangga masih
ada beberapa orang lagi. Tiga orang yang berilmu cukup tinggi, seorang
kedengarannya tidak begitu tinggi ilmunya dan seorang bayi. Mungkin anak Ki
Rangga.”
Kembali
Eyang Guru termenung. Seandainya dia dengan nekat menghancurkan pintu bilik dan
memasukinya, tentu ketiga orang berilmu tinggi di dalam bilik itu pasti sudah
siap menyambutnya.
Dalam
pada itu, di dalam bilik Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah bersiap dengan
senjata masing-masing. Keduanya telah menempatkan diri dua langkah di sebelah
menyebelah pintu. Jika seseorang memaksakan diri untuk masuk ke bilik dengan
cara memecah pintu, kedua senjata perempuan berilmu tinggi itu yang akan
menghalanginya.
Sementara
Rara Wulan telah menempatkan diri beberapa langkah di depan pintu bilik. Kedua
tangannya telah teracu ke depan siap melontarkan aji pamungkasnya, Aji
Namaskara.
Yang
bersimpuh dengan tubuh menggigil dan mendekap erat-erat Bagus Sadewa di sudut
bilik adalah Damarpati. Untunglah tangis Bagus Sadewa sudah mereda setelah
ditenangkan oleh Sekar Mirah. Walaupun Damarpati selangkah dua langkah juga
telah mempelajari olah kanuragan, namun gadis itu tidak senang dengan segala
sesuatu yang mengandung unsur kekerasan. Sudah berapa kali kakeknya mencoba
menyadarkan betapa pentingnya segala usaha untuk melindungi dan mempertahankan
diri, namun gadis itu selalu menghindar dengan segala macam alasan.
Di
luar bilik, Eyang Guru masing berdiri mematung. Panggraitanya yang tajam telah
menangkap bahaya yang tersembunyi di balik pintu bilik yang tertutup rapat itu.
Ada keinginan untuk melontarkan ilmunya yang nggegirisi itu untuk menghancurkan
pintu bilik, namun Eyang Guru benar-benar tidak dapat mengukur kekuatan yang
sedang mengintainya.
Selagi
Eyang Guru termenung, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang menyapanya dari
arah belakang, “Mengapa kau menjadi ragu-ragu Ki Sanak?”
Bagaikan
disambar petir di siang bolong, Eyang Guru segera berpaling ke belakang dan
ternyata kembali ujud semu Ki Rangga Agung Sedayu telah berdiri di belakangnya.
Dengan
cepat Eyang Guru segera memutar tubuhnya. Untuk sejenak dia tidak tahu apa yang
harus diperbuat dan hanya mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kini dia menyadari
betapa dahsyatnya ilmu agul-agulnya Mataram itu. Ujud semu Ki Rangga ternyata
tidak perlu mengejarnya kemana pun dia pergi. Dengan mudah ujud semu itu dapat
berpindah tempat sesuai dengan keinginan pemiliknya.
“Alangkah
dahsyatnya,” berkata Eyang Guru dalam hati, “Jika Ki Rangga mempunyai
kesempatan untuk mematangkan ilmunya ini, dia akan dapat berada di mana saja
dan kapan saja sesuai dengan yang dia kehendaki, walaupun jarak akan tetap
berpengaruh terhadap kekuatan pancaran ilmunya. Namun jika seseorang sekali
terlibat pertempuran dengan Ki Rangga, dia tidak akan mempunyai kesempatan
untuk menghindar ataupun melarikan diri.”
“Bagaimana
Ki Sanak?” berkata ujud semu Ki Rangga itu kemudian membuyarkan angan-angan
lawannya, “Apakah Ki Sanak tetap akan memaksakan diri untuk memasuki bilik? Aku
masih memberikan kesempatan kepada Ki Sanak untuk berpikir dan merenung, justru
di antara kita sebenarnya belum pernah bertemu dan terlibat dalam sebuah
permasalahan.”
Eyang
Guru tertegun. Hatinya menjadi semakin ragu-ragu untuk sekali lagi membenturkan
ilmunya dengan ilmu perguruan orang bercambuk. Jika di luar sana dia masih
mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu murid utama orang bercambuk ini, bagaimana
dengan sekarang ini, di saat ujud semu Ki Rangga hanya berada beberapa langkah
saja dari sumber pancaran ilmunya.
“Tentu
kekuatannya menjadi semakin berlipat-lipat,” berkata Eyang Guru dalam hati
dengan dada yang semakin bergemuruh.
“Aku
kira Ki Rangga benar Ki Sanak,” tiba-tiba Eyang Guru kembali dikejutkan oleh
hadirnya seseorang di ruang tengah itu.
Ternyata
Ki Waskita telah memasuki ruang tengah. Dengan langkah satu-satu, orang yang
semasa mudanya benama Jaka Raras itu melangkah mendekat.
“Gila!”
geram Eyang Guru begitu melihat Ki Waskita melangkah mendekat, “Aku menyesal
tidak membunuhmu terlebih dahulu sebelum menemukan tempat samadi Ki Rangga.”
Ki
Waskita tersenyum sambil berdiri mengambil jarak beberapa langkah di samping
Eyang Guru. Katanya kemudian, “Ki Sanak, lebih baik Ki Sanak menyerah saja. Ki
Sanak sudah kehilangan kesempatan. Percayalah, kami bukan sekelompok manusia
yang tak berhati dan berjantung. Kami akan menyerahkan semua persoalan yang
terjadi ini kepada yang berwenang, yaitu Mataram.”
“Omong
kosong!” kembali Eyang Guru menggeram seperti geraman seekor harimau yang
lapar, “Aku tahu kalian adalah sekelompok manusia yang tidak tidak lebih baik
dari gerombolan serigala lapar. Kalian akan memeras keterangan sampai darahku
kering sebelum akhirnya kalian akan melemparkan mayatku ke tepian sungai praga
untuk menjadi santapan burung-burung liar!”
Ki
Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu derap kaki-kaki kuda itu
semakin jelas terdengar dan agaknya rombongan Ki Gede telah memacu kuda-kuda
itu di sepanjang jalan padukuhan.
Demikianlah
sebenarnya yang telah terjadi. Ketika pendengaran orang-orang tua itu menangkap
lamat-lamat suara ledakan cambuk beberapa kali dari arah kediaman Ki Gede,
tanpa menunda waktu lagi mereka pun segera memacu kuda-kuda mereka.
“Ki
Rangga Agung Sedayu?” bertanya Ki Gede dengan nada sedikit ragu-ragu sambil
berpaling ke arah Ki Jayaraga yang berpacu di sebelahnya.
“Bukankah
Ki Rangga sedang sakit?” Ki Jayaraga justru balik bertanya.
“Entahlah,”
jawab Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai getar di dadanya,
“Semoga kita belum terlambat.”
“Ada
Ki Waskita, Ki Gede,” sahut Ki Jayaraga sambil menghentak lambung kuda
tunggangannya agar perpacu lebih cepat, “Selebihnya masih ada Glagah Putih,
Rara Wulan dan Pandan Wangi serta Sekar Mirah.”
Ki
Gede tidak menyahut, namun orang tua yang sudah kenyang makan asam garamnya
kehidupan itu benar-benar tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
Dalam
pada itu, di ruang tengah kediaman Ki Gede, Eyang Guru benar-benar sedang
mengalami kegelisahan yang luar biasa. Kehadiran orang yang bernama Ki Waskita
itu tentu tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Sementara untuk mengatasi
ujud semu Ki Rangga dia masih diliputi oleh keragu-raguan dan berbagai
pertimbangan.
“Sebentar
lagi rombongan Ki Gede akan memasuki regol,” berkata Ki Waskita kemudian
membuyarkan lamunan Eyang Guru, “Apakah Ki Sanak sudah mengambil keputusan?”
“Tutup
mulutmu!” bentak Eyang Guru sambil mengangkat keris pusakanya tinggi-tinggi.
Agaknya Eyang Guru sudah tidak dapat melihat jalan lain selain mengadu kerasnya
tulang dan liatnya kulit, “Tidak ada kata menyerah bagi para pengikut trah
Pangeran Sekar Seda Lepen. Kami berjuang untuk menegakkan keadilan di tanah ini.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Sak dumuk bathuk, sak nyari bumi, dak
belani taker pati!”
Selesai
berkata demikian, dengan cepat Eyang Guru memutar keris Kiai Sarpasri di atas
kepalanya. Segera saja badai pusaran angin bercampur lidah api telah berputar
dengan dahsyat mengelilingi tubuh Eyang Guru dan menimbulkan suara menderu di
sertai loncatan lidah api yang menjulur.
Ki
Waskita yang sudah mengalami kedahsyatan ilmu Eyang Guru segera bergeser
setapak. Ikat kepalanya telah dilepas dan kini dibelitkan di lengan tangan
kirinya. Sementara ujud semu Ki Rangga pun segera memutar cambuknya di atas
kepala, siap melontarkan aji pamungkas perguruan orang bercambuk.
Sejenak
kemudian badai api itu pun semakin dahsyat berputar di ruang tengah kediaman Ki
Gede yang luas. Rasa-rasanya seluruh isi ruangan itu ikut berputar.
Dinding-dinding yang terbuat dari kayu jati tebal itu telah berderak-derak dan
sebagian telah terjilat oleh api yang terloncat dari pusaran angin sehingga
menimbulkan bekas yang kehitam-hitaman.
Agaknya
Eyang Guru sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Derap kaki-kaki kuda itu
sudah terdengar memasuki regol halaman rumah Ki Gede Menoreh. Maka diawali
dengan sebuah teriakan yang menggelegar memekakkan telinga, Eyang Guru pun
dengan segenap kekuatannya telah meloncat sambil melontarkan pusaran angin
bercampur api.
Namun,
yang terjadi kemudian adalah benar-benar di luar dugaan. Ketika ujud semu ki
Rangga sudah siap membenturkan puncak ilmu perguruan bercambuk dan Ki Waskita
siap membentengi dirinya dengan puncak ilmunya pula, ternyata Eyang Guru telah
meloncat tinggi dan menghentakkan ilmunya yang nggegirisi itu tidak ke arah
kedua lawannya, akan tetapi justru pusaran angin bercampur lidah api itu
meluncur menghantam langit-langit ruang tengah dan menjebol tembus sampai atap.
Demikian
atap di atas ruang tengah itu jebol dan menimbulkan suara yang menggelegar,
tubuh Eyang Guru telah melesat bagaikan tatit yang meloncat di udara keluar
melalui lobang di atap yang menganga.
Kedua
lawannya sejenak bagaikan terkesima melihat Eyang Guru telah lenyap bayangannya
menghilang melalui atap rumah yang jebol. Sebenarnya Ki Waskita bisa saja
mengejar Eyang Guru dengan cara meloncat melalui atap yang jebol itu, namun
kesadarannya segera mencegahnya. Ki Waskita belum tahu pasti apa yang akan
dilakukan oleh lawan selanjutnya. Jika dia nekat meloncat naik menyusul Eyang
Guru ke atap sedangkan lawan telah siap menyambutnya dengan ilmunya yang
nggegirisi itu, tentu dirinya akan menemui kesulitan untuk menghindar pada saat
tubuhnya masih melayang di udara.
Dalam
pada itu Eyang Guru yang telah merasa terbebas dari kedua lawannya segera
meninggalkan rumah ki Gede sejauh-jauhnya. Dinding pembatas rumah ki Gede yang
tinggi itu sama sekali bukan halangan yang berarti baginya. Dengan gerakan yang
sangat cepat Eyang Guru telah melintasi sebuah padang perdu kecil sebelum
akhirnya mencapai sebuah sungai yang tidak seberapa besar yang membelah
padukuhan induk.
Ketika
Eyang Guru kemudian menuruni tebing sungai yang landai, pandangan matanya yang
tajam melebihi orang kebanyakan telah menangkap bayangan seseorang yang berdiri
dengan kaki renggang di atas tepian sungai yang berpasir.
“Gila!”
geram Eyang Guru begitu dia mengenali siapakah bayangan orang yang berdiri di
tepian itu.
“Persetan
dengan ilmu pengangen-angenmu Ki Rangga!” geram Eyang Guru kembali, “Jarak ini
cukup jauh dari bilik tempatmu bersamadi. Aku tidak akan takut untuk
membenturkan ilmuku.”
Selesai
berkata demikian, Eyang Guru segera mengambil ancang-ancang. Keris Kanjeng Kiai
Sarpari yang telah disarungkan kini dihunusnya kembali. Namun sebelum Eyang
Guru memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetrapkan puncak ilmunya
yang nggegirisi, tiba-tiba saja ujud semu yang berada beberapa langkah di
hadapannya perlahan memudar. Seiring dengan semilirnya angin menjelang dini
hari yang bertiup sedikit kencang, ujud semu Ki Rangga itu pun bagaikan asap
yang menebar dan perlahan menghilang.
Untuk
sejenak Eyang Guru masih termangu-mangu di tepian. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya dia berdesis perlahan, “Agaknya Ki Rangga telah sadar dari samadinya karena sesuatu hal.
Untung aku telah mengambil keputusan yang tepat untuk meloloskan diri dari
rumah terkutuk itu. Seandainya rombongan Ki Gede sempat hadir sebelum aku
sempat meloloskan diri, tentu mereka akan menangkapku beramai-ramai seperti
menangkap seekor kelinci, dan kemudian berusaha menguras keterangan dari
mulutku tentang trah Pangeran Sekar Seda Lepen.”
Sejenak
Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan udara pagi
yang terasa sangat segar. Rasa-rasanya tubuh Eyang Guru yang letih sehabis
menyabung nyawa menjadi pulih kembali.
“Raden
Wirasena harus segera mencari beberapa hubungan dengan perguruan-perguruan yang
sehaluan dengannya. Para Rajawali dari pegunungan kapur mungkin bisa
dilibatkan, demikian juga Ki Rambang dan Ki Suluh,” berkata Eyang Guru dalam
hati, “Rencana Raden Wirasena untuk membenturkan kekuatan Madiun dengan Mataram
pada waktu itu ternyata gagal. Dengan sangat licik Juru Mertani berhasil
mengelabuhi para Adipati pendukung Panembahan Madiun untuk meninggalkan Madiun
sehingga Madiun akhirnya dapat ditundukkan oleh Mataram dengan mudah,” Eyang
Guru berhenti berangan-angan sejenak. Kemudian lanjutnya, “Percobaan pembunuhan
atas Panembahan Senapati oleh murid-murid perguruan Nagaraga pada waktu itu
sebenarnya hanyalah untuk mempercepat benturan Mataram dan Madiun, namun
ternyata justru perguruan Nagaraga yang terlebih dahulu berhasil dihancurkan
oleh Mataram.”
Kembali
Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam. Setelah mengedarkan pandangan matanya ke
sekeliling, Eyang Guru itu pun kemudian melangkahkan kaki meninggalkan tempat
itu.
Dalam
pada itu kuda-kuda yang dipacu dengan kencang telah memasuki regol halaman
rumah Ki Gede Menoreh. Pada saat terakhir mereka masih mendengar ledakan yang
menggelegar dan melihat atap rumah Ki Gede bagaikan meledak dan kemudian
terbakar.
“Gila!”
hampir setiap mulut berseru dengan geram. Sekilas Ki Gede dan Ki Jayaraga yang
berpandangan tajam melihat seseorang meloncat keluar dari atap yang terbakar
dan kemudian menghilang.
“Tentu
seseorang yang pilih tanding,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berdesis
perlahan.
Dengan
tanpa mengurangi kecepatan sama sekali, rombongan berkuda itu pun segera
memasuki halaman rumah Ki Gede yang luas. Begitu mereka hampir mencapai tangga
pendapa, dengan segera mereka menarik tali kekang kuda-kuda itu sehingga
kuda-kuda itu pun telah meringkik keras dan berhenti dengan mengangkat kedua
kaki depannya tinggi-tinggi.
Dengan
tangkasnya para penunggang kuda itu telah meloncat turun. Tanpa menghiraukan
kuda-kuda mereka, Ki Gede dan Ki Jayaraga segera berlari melintasi pendapa.
Pandangan pertama yang membuat darah mereka tersirap adalah pintu pringgitan
yang runtuh menjadi abu. Masih ada sedikit sisa-sisa potongan-potongan kayu
yang membara, namun selebihnya sudah padam.
Dengan
bergegas kedua orang tua itu segera melewati pintu pintu pringgitan yang jebol
dan hangus terbakar menuju ke ruang tengah. Sementara para pengawal yang ikut
rombongan Ki Gede, sebagian segera berlari-larian mencari tangga dan peralatan
untuk memadamkan api.
Memang
sepeninggal Eyang Guru, jerit tangis dan kegaduhan segera terjadi di dalam
rumah Ki Gede. Para perempuan-perempuan yang tidur di dapur telah
menjerit-jerit mendengar ledakan yang dahsyat dan menghancurkan atap di atas
ruang tengah. Segera saja tercium bau asap dan suara gemeretak api yang
membakar atap rumah Ki Gede. Beberapa laki-laki pekerja rumah Ki Gede yang
sebelumnya bersembunyi ketakutan, dengan memberanikan diri telah keluar untuk
melihat apa yang sedang terjadi.
Kesempatan
yang kisruh ini ternyata telah dimanfaatkan oleh Gandon dan kawan-kawannya.
Begitu mereka menyadari bahwa Eyang Guru telah meninggalkan tempat itu, segera
saja Gandon memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk menarik diri.
Demikianlah
ketika terdengar suitan nyaring dua kali berturut turut, dengan segera
orang-orang yang memasuki rumah Ki Gede itu bergerak mundur dengan cepat.
Sedangkan para pengawal dengan sengaja tidak mengejar mereka. Selain berbahaya,
mereka juga ingin segera membantu kawan-kawannya yang sedang memadamkan api
yang membakar atap di atas ruang tengah.
“Biarkan
mereka!” teriak Glagah Putih begitu melihat beberapa pengawal mencoba mengejar
selangkah dua langkah, “Kita bantu kawan-kawan kita memadamkan api!”
Demikianlah,
dengan menggunakan tangga dan alat-alat seadanya, mereka mengangkut air dari
perigi untuk memadamkan api yang berkobar-kobar. Beberapa tetangga kiri kanan
Ki Gede yang semula takut keluar rumah ketika mendengar orang-orang bertempur,
kini telah keluar dari rumah masing-masing dan membantu memadamkan api.
Dalam
pada itu, Ki Gede dan Ki Jayaraga yang telah memasuki ruang tengah sejenak
tertegun. Mereka berdua masih melihat sisa-sisa api yang menyala di atas atap
yang menganga. Beberapa potong kayu yang masih membara berjatuhan di lantai
yang kotor oleh abu dan basah oleh air yang tertumpah sisa-sisa dari guyuran
air pada saat orang-orang memadamkan api.
Terdengar
suara riuh-rendah teriakan orang-orang di atas atap yang masih berusaha
memadamkan api yang tinggal sedikit. Ternyata dengan cepat api dapat dipadamkan
sehingga tidak sempat menjalar ke tempat yang lebih jauh. Tanpa sepengetahuan
orang-orang di sekitarnya, Glagah Putih yang ikut memanjat ke atas atap telah
menggunakan ilmunya yang bertumpu pada kekuatan air untuk memadamkan api yang
menyala-nyala itu.
Ketika
kedua orang tua itu masih merenungi ruang tengah yang porak poranda itu,
tiba-tiba saja pintu bilik Ki Rangga berderit terbuka. Seraut wajah cantik
namun tampak lelah muncul dari balik pintu.
“Wangi!”
seru Ki Gede sambil setengah berlari mendapatkan putri satu-satunya, “Kau tidak
apa-apa? Bagaimana dengan yang lainnya?”
“Ayah!
Ayah Argapati!” seru Pandan Wangi sambil berlinang air mata. Dengan cepat
disarungkan sepasang pedangnya kemudian dengan tergesa-gesa dia segera
menyambut pelukan ayahnya.
“Semua
baik-baik ayah. Hanya Kakang Agung Sedayu tampaknya belum tersadar dari
samadinya.” Berkata Pandan Wangi di antara sedu sedannya.
“Syukurlah,”
berkata Ayahnya kemudian sambil membimbing putrinya berjalan kembali ke bilik
Ki Rangga, “Mari kita lihat keadaan Ki Rangga. Semoga Yang Maha Agung masih
melindunginya.”
Kemudian
sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga, Ki Gede pun berkata, “Marilah Ki
Jayaraga, kita menengok keadaan Ki Rangga.”
Ki
Jayaraga tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mengikuti langkah Ki Gede dari
belakang. Sesekali kepalanya menengok ke atas, mengamati atap ruang tengah yang
jebol. Sisa-sisa kebakaran itu memang masih tampak namun berkat kecekatan para
pengawal dan para pekerja rumah Ki Gede, api itu segera dapat dipadamkan.
“Ternyata
kebakaran itu dengan cepat dapat dipadamkam,” berkata Ki Jayaraga dalam hati
sambil tersenyum dan mengikuti langkah Ki Gede, “Agaknya Glagah Putih tanggap
dan telah menggunakan kemampuan ilmunya untuk membantu mempercepat pemadaman.”
Begitu
Ki Gede memasuki bilik, sejenak pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu
tertegun. Di atas pembaringan tampak Ki Rangga terbujur diam sementara di atas
sebuah dingklik kayu beberapa jengkal dari bibir pembaringan, Ki Waskita sedang
duduk dengan kedua tangan bersilang di dada sambil menundukkan kepalanya
dalam-dalam dan kedua mata terpejam.
Sekar
Mirah dan Rara Wulan yang ikut menunggui Ki Rangga dan berdiri di sebelah
menyebelah pembaringan hampir saja berseru begitu melihat Ki Gede dan Ki
Jayaraga memasuki bilik. Untunglah Ki Gede segera memberi isyarat untuk tetap
tenang agar tidak mengganggu pemusatan nalar dan budi Ki Waskita.
“Rara,
kau dapat mengajak Damarpati dan Bagus Sadewa kembali ke biliknya,” dengan
setengah berbisik Ki Gede berkata kepada Rara Wulan sambil memandang Damarpati
yang masih bersimpuh di sudut bilik sambil mendekap Bagus Sadewa.
Rara
Wulan sejenak berpaling ke arah Damarpati. Damarpati pun ternyata telah tanggap
dan segera berdiri.
“Kami
mohon diri,” berkata Rara Wulan kemudian sambil mengangguk ke arah kedua orang
tua itu. Kemudian kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi dia juga berpamitan.
“Setelah
Kakang Agung Sedayu sadarkan diri, aku akan menyusul kalian,” bisik Sekar Mirah
sambil beringsut mendekat ke arah Damarpati. Setelah mencium pipi anaknya yang
sedang tertidur lelap dengan penuh kasih, dilepaskannya kedua perempuan itu
keluar bilik.
Sepeninggal
kedua perempuan itu, Ki Rangga yang semula terbujur diam tampak mulai bergerak
dan membuka kedua matanya perlahan. Terdengar sebuah desah tertahan sebelum
akhirnya Ki Rangga mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada sambil
menarik nafas dalam-dalam.
“Ngger,”
berkata Ki Waskita kemudian sambil mengangkat kepala dan juga mengurai kedua
tangannya yang bersilang di dada, “Jangan terlalu memaksakan diri. Aku sengaja
mengganggu pemusatan samadimu agar Angger tidak terlalu jauh tenggelam dalam
alam bawah sadar. Bagaimana pun juga, kekuatan wadag seseorang itu ada
batasnya.”
Ki
Rangga tidak menjawab. Untuk beberapa saat dia masih berusaha menilai keadaan
sekujur tubuhnya. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan dan seluruh
persendiannya terasa bengkak dan sakit. Demikian juga kulit di sekujur tubuhnya
terasa pedih bagaikan ditusuk-tusuk oleh duri kemarung.
Setelah
sekali lagi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang terasa
sedikit sesak, Ki Rangga pun kemudian berkata sambil tersenyum, “Terima kasih
Ki Waskita. Rasa-rasanya masih agak sulit untuk mengendalikan gejolak di dalam
dada ini. Masih banyak yang perlu dipahami dan didalami.”
“Kau
benar ngger,” sahut Ki Waskita. Kemudian sambil berpaling ke arah kedua orang
tua itu, Ki Waskita berkata, “Selamat datang Ki Gede dan Ki Jayaraga. Agaknya
aku bukan seorang penunggu rumah yang baik. Seseorang telah merusak atap rumah
Ki Gede tanpa aku dapat mencegahnya.”
“Ah,”
hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga tersenyum. Berkata Ki Gede kemudian,
“Syukurlah semuanya selamat atas berkah dan lindungan Yang Maha Agung,” Ki Gede
berhenti sejenak. Kemudian katanya kepada Ki Rangga, “Sebaiknya Ki Rangga
beristirahat dulu di sisa malam ini. Aku akan melihat-lihat keadaan seputar
rumah dan juga memberikan ketenangan kepada para penghuni rumah ini yang masih
ketakutan agar segera dapat bekerja kembali.”
“Terima
kasih Ki Gede,” jawab Ki Rangga, “Untuk sementara aku belum dapat membantu
apa-apa selain hanya merepotkan Ki Gede.”
“Sudahlah
Ki Rangga,” jawab Ki Gede sambil tersenyum, “Aku akan turun ke halaman terlebih
dahulu untuk melihat para pengawal. Selanjutnya biarlah Pandan Wangi yang ke
dapur untuk menenangkan para pembantu. Sementara Ki Jayaraga mungkin dapat
melihat-lihat atap yang jebol untuk mencari tukang kayu agar kerusakan yang
terjadi segera dapat diperbaiki.”
“Aku
kira itu tidak perlu Ki Gede. Pada saat aku masih muda, aku pernah menjadi
seorang tukang kayu,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta yang disambut dengan
senyuman oleh mereka yang hadir di bilik itu.
“Aku
setuju dengan Ki Jayaraga, Ki Gede,” sahut Ki Waskita sambil bangkit berdiri,
“Jika memang Ki Jayaraga bersedia menjadi tukangnya, biarlah aku yang menjadi
pembantunya, namun dengan satu syarat.”
Beberapa
orang yang berada di dalam bilik itu mengerutkan kening. Ki Gede lah yang
kemudian bertanya, “Apakah syarat itu Ki Waskita?”
“Aku
menuntut upah yang sama,” jawab Ki Waskita yang disambut dengan gelak tawa oleh
orang-orang di sekitarnya.
Demikianlah
akhirnya Ki Gede dan Ki Jayaraga pun segera meninggalkan bilik diikuti oleh
Pandan Wangi. Sementara Ki Waskita masih memberikan beberapa pesan kepada Ki
Rangga Agung Sedayu sebelum menyusul orang-orang yang telah terlebih dahulu
meninggalkan bilik.
“Mirah,”
berkata Ki Rangga kemudian setelah Ki Waskita hilang di balik pintu, “Aku
merasa sangat haus. Apakah kau
dapat membuatkan aku semangkuk minuman hangat?”
“Sebentar
Kakang,” jawab Sekar Mirah sambil bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan ke
dapur. Sekalian akan aku ambilkan makanan jika Kakang juga merasa lapar.”
“Tidak
Mirah,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Aku hanya haus saja.”
“Beberapa
potong ketela rebus barangkali?” bertanya Sekar Mirah kemudian.
Ki
Rangga tidak menjawab hanya menggelengkan kepalanya.
“Baiklah
Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil membungkuk dan menyelimuti
suaminya dengan kain panjang, “Jangan tidur dulu sebelum aku datang membawa
minuman hangat.”
Ki
Rangga tersenyum sambil memandang ke arah istrinya dengan tatapan penuh rasa
kasih sayang.
Demikianlah
sejenak kemudian Sekar Mirah pun telah meninggalkan Ki Rangga di dalam bilik
itu sendirian.
Dalam
pada itu malam telah sampai ke ujungnya. Pebukitan Menoreh yang semula terlelap
dalam buaian dinginnya malam, perlahan telah terbangun oleh suara seruan yang
berkumandang mengingatkan dan mengajak umat manusia untuk segera menunaikan
kewajibannya kepada Sang Maha Pencipta. Dengan berduyun-duyun dan dilambari
niat ikhlas hanya menyembah kepada Dzat Yang Tunggal, para penghuni
padukuhan-padukuhan yang tersebar di kaki pebukitan Menoreh itu pun menuju ke
tempat-tempat ibadah.
Seorang
pemuda tampak berjalan di antara para penghuni padukuhan. Wajah pemuda itu
tampak tenang dengan tatapan mata yang penuh wibawa. Baju yang dipakainya
sangat sederhana sebagaimana orang kebanyakan namun tidak mengurangi pesona
orang yang memakainya.
Sejenak
kemudian setelah mengambil air untuk bersuci, pemuda itu pun kemudian menaiki
tlundak bangunan yang diperuntukkan khusus untuk beribadah.
Ternyata
sudah banyak orang-orang yang berdiri berjajar-jajar membentuk barisan
berlapis-lapis. Ketika pemuda itu kemudian mengambil tempat di barisan paling
belakang, tiba-tiba seseorang yang sudah beruban telah menggamitnya.
“Raden,”
bisik orang tua itu sambil membimbing pemuda itu berjalan menerobos sela-sela
barisan, “Mohon sudilah kiranya Raden pemimpin kami untuk melaksanakan ibadah
subuh ini.”
Pemuda
itu sejenak menghentikan langkahnya. Tanpa sadar dipandanginya wajah orang tua
yang berdiri sangat dekat dengan dirinya itu. Tiba-tiba saja dada pemuda itu
berdesir tajam begitu memandang seraut wajah yang sareh dengan sepasang mata
yang teduh, seteduh lautan yang tenang tanpa riak dan gelombang.
Setelah
menarik nafas terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba saja
bergejolak, pemuda itu pun kemudian menjawab juga dengan berbisik, “Mengapa
Kakek memanggilku dengan gelar Raden? Dan selebihnya aku juga tidak mempunyai
kemampuan untuk memimpin kalian dalam hal beribadah ini.”
“Ah,”
desah orang tua itu sambil kembali menarik lengan pemuda itu, “Aku sering melihat
Raden di alun-alun kota Gede setiap ada pasewakan agung. Bukankah Raden setiap
kali selalu menyempatkan diri turun dari pendapa agung untuk sekedar menyapa
para kawula alit yang pada saat itu sedang ikut menyaksikan pasewakan agung?
Aku adalah pedagang keliling yang sering singgah di Kota Raja. Walaupun aku
sudah tua, namun pandangan mataku tidak pernah salah. Bukankah sekarang ini aku
sedang berhadapan dengan Raden Mas Rangsang pangeran Pati Mataram?”
Pemuda
itu yang memang adalah Raden Mas Rangsang sejenak bagaikan membeku di
tempatnya. Bagaimana mungkin seseorang dengan mudahnya dapat mengenali dirinya
dalam ujud yang sederhana sebagaimana orang kebanyakan?
“Siapakah
sebenarnya Kakek ini?” bertanya Raden Mas Rangsang kemudian sambil kembali
memandang wajah orang yang berdiri hanya selangkah di hadapannya. Entah apa
sebenarnya yang sedang terjadi, setiap kali pandangan matanya tertumbuk pada
seraut wajah tua itu, dadanya selalu saja tergetar.
“Sudahlah
Raden,” bisik orang tua itu kemudian sambil tersenyum sareh, “Jangan pedulikan
aku. Mereka sudah cukup lama menunggu. Kami para penghuni padukuhan ini memang
kurang mendapat tuntunan dan bimbingan yang memadai dalam menimba ilmu kasampurnaning
ngaurip, sehingga kehadiran Raden di tempat ini diharapkan akan
dapat sedikit membantu.”
Raden
Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Memang di istana dia mendapat pelajaran
tentang kawruh kehidupan bebrayan dan kelanggengan dari para ulama yang memang khusus
didatangkan untuk mengajar para kerabat istana. Agaknya di tempat yang jauh
terpencil seperti padukuhan ini kurang mendapat perhatian dan tuntunan serta
bimbingan dalam menimba kawruh itu.
“Aku
akan memohon kepada Ayahanda untuk mengirimkan para Ulama sampai ke pelosok
padukuhan yang terpencil sekalipun. Agar tata kehidupan bebrayan dan kehidupan kelanggengan dapat berjalan seiring, sehingga para
kawula Mataram dimana pun mereka berada akan mendapat kesempatan yang sama
dalam nggayuh marang kasampurnan,” berkata Raden
Mas Rangsang dalam hati.
“Bagaimana
Raden?” pertanyaan orang tua itu menyadarkan Pangeran Mataram itu dari
lamunannya.
“Baiklah,
Kek,” jawab Raden Mas Rangsang akhirnya, “Aku akan melaksanakannya dengan
sedikit kemampuan yang ada pada diriku. Namun di kemudian hari, harus ada orang
yang khusus membimbing para penghuni padukuhan ini dalam menimbakawruh kasampurnan ini.”
Selesai
berkata demikian, Raden Mas Rangsang segera melangkah ke depan. Dengan segera
orang-orang yang berbaris itu pun menyibak untuk memberinya jalan.
Ketika
Raden Mas Rangsang sudah berdiri di depan menghadap orang-orang yang telah
berbaris dengan rapi, dengan nada yang dalam pangeran Pati Mataram itu pun
kemudian berkata, “Luruskanlah barisan kalian, sesungguhnya lurusnya barisan
kalian, akan mencerminkan lurusnya hati.”
Orang-orang
itu sejenak masih saling bergeser untuk menyesuaikan dengan kawan-kawan di
sebelahnya. Setelah dirasa cukup, Raden Mas Rangsang pun kemudian memutar
tubuhnya menghadap kiblat untuk memulai memimpin ibadah kepada Sang Maha
Pencipta.
Suasana
benar-benar tenang dan khusyuk. Bacaan Kitab Suci Raden Mas Rangsang terdengar
mengalir dengan jelas dan jernih. Orang-orang yang berdiri di belakangnya
seolah-olah telah terbuai ke alam bawah sadar mereka dan dengan sepenuh hati
menghadapkan jiwa dan raga mereka pasrah kepada Dzat Yang Maha Agung.
Demikianlah
Raden Mas Rangsang yang masih muda itu telah mendapat kepercayaan untuk
memimpin para penghuni padukuhan untuk melaksanakan ibadah pagi itu. Namun,
alangkah kecewanya putra Panembahan Hanyakrawati itu ketika ibadah telah
ditunaikan dan satu-persatu para penghuni padukuhan telah kembali ke rumah
masing-masing, orang tua yang memintanya untuk memimpin ibadah pagi itu tidak
dijumpainya lagi. Walaupun Raden Mas Rangsang sudah berusaha dengan seksama
mengamati satu-persatu orang-orang yang menyalaminya, namun bayangan orang tua
yang berwajah sareh dan bermata teduh bagaikan samudra itu tidak dijumpainya
lagi.
Untuk
beberapa saat, Raden Mas Rangsang masih berdiri termangu-mangu ketika orang
yang terakhir meninggalkan tempat itu. Dilemparkan pandangan matanya ke
kejauhan. Tampak langit di sebelah timur mulai terlihat cerah dengan hiasan
cahaya merah kekuning-kuningan. Cahaya yang indah itu mulai menyentuh
pucuk-pucuk pepohonan dan menebar di atas hamparan padang-padang rumput serta
membelai butiran-butiran embun sehingga tampak bagaikan hamparan permadani
indah bertabur jutaan permata yang berkilauan.
“Alangkah
indahnya pagi ini,” berkata Mas Rangsang dalam hati sambil menuruni tlundak.
Dihirupnya udara pagi yang bersih sepuas-puasnya untuk melonggarkan dadanya dan
melancarkan segenap aliran darah di sekujur tubuhnya.
Perlahan
cucu Panembahan Senapati itu berjalan menyusuri lorong padukuhan yang masih
sepi. Sesekali dari regol-regol rumah yang masih tertutup rapat itu terdengar
derit orang mengambil air dari perigi serta suara sapu lidi dalam irama yang
ajeg. Tak jarang terdengar suara tangis kanak-kanak yang terbangun dan
berteriak-teriak memanggil biyung mereka yang sedang sibuk bekerja di dapur.
Angin
pagi bertiup dengan lembut. Tak terasa langkah Raden Mas Rangsang sudah
mendekati regol padukuhan yang sangat sederhana. Regol itu terbuat dari kayu
randu yang sudah agak lapuk dimakan usia. Sedangkan kedua pintunya dibiarkan
saja terbuka tanpa ada seorang pengawal padukuhan pun yang menjaganya.
“Agaknya
padukuhan ini tergolong padukuhan yang aman,” berkata Mas Rangsang dalam hati
sambil mengamati sebuah gardu yang hampir roboh di sebelah regol, “Atau mungkin
para penghuni padukuhan ini sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di
sekitarnya.”
Raden
Mas Rangsang sejenak berhenti berangan-angan. Tanpa sadar diayunkan langkahnya
mendekati gardu yang hampir roboh itu.
“Sudah
lama gardu itu tidak disentuh sama sekali,” berkata Raden Mas Rangsang sambil
mengamati-amati sarang laba-laba yang banyak menghiasi sudut-sudut gardu yang
kumuh. Ketika pangeran Pati Mataram itu kemudian mencoba menyentuh lantai gardu
yang terbuat dari papan kayu, debu tebal dan kehitam-hitaman segera saja
melekat di ujung jarinya.
“Keadaan
aman dan tentram yang dirasakan oleh para penghuni padukuhan ini telah
melalaikan mereka,” berkata Mas Rangsang dalam hati sambil membersihkan ujung
jarinya dengan kain panjangnya, “Jika sesuatu yang tidak dikehendaki tiba-tiba
saja melanda padukuhan ini, barulah mereka akan menyesali kelengahannya.”
Setelah
puas mengamat-amati gardu yang hampir roboh itu, Adipati Anom Mataram itu pun
kemudian meneruskan langkahnya keluar dari padukuhan itu melalui pintu gerbang.
Sejenak
kemudian Raden Mas Rangsang pun tengah menyusuri sebuah bulak pendek yang
menghubungkan padukuhan kecil itu dengan sebuah hutan lebat di kaki pegunungan
Menoreh.
Di
sebelah menyebelah bulak itu terhampar sawah-sawah yang kering. Musim hujan
memang belum turun dan sawah-sawah itu dibiarkan saja dalam keadaan bera.
Pematang-pematang di beberapa tempat dibiarkan saja longsor dan ditumbuhi
rumput-rumput liar. Sementara tanah-tanah pesawahan itu sendiri telah berubah
menjadi padang rumput dan semak belukar.
Raden
Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Padukuhan kecil di kaki pebukitan Menoreh sebelah timur ini memang bukan
termasuk wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Padukuhan kecil itu masih termasuk
wilayah penyangga dari ibu kota Mataram yang pengawasannya di bawah Pepatih
Dalem Mataram.
“Eyang
Buyut Mandaraka sudah terlalu sepuh. Wajar jika pengawasan terhadap Padukuhan
ini kurang seksama,” berkata Mas Rangsang sambil terus berjalan menyusuri bulak
yang terhitung cukup pendek, “Kalau tidak salah nama padukuhan tadi adalah padukuhan
Tanggulan. Sekembalinya nanti aku ke Kota Gede, aku akan memohon kepada
Ayahanda untuk menunjuk seorang Kadang Sentana untuk mengawasi padukuhan
Tanggulan ini.”
Tanpa
terasa langkah Raden Mas Rangsang telah sampai di ujung bulak. Kini di hadapannya
terbantang sebuah padang perdu yang tidak seberapa luas yang terhubung langsung
dengan hutan yang masih lebat dan pepat.
Sejenak
Mas Rangsang memandangi jalur jalan setapak yang tampak menjelujur di sela-sela
rumput-urmput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar. Beberapa pohon perdu
tampak tumbuh bertebaran di padang yang tidak seberapa luas itu.
“Para
penghuni padukuhan agaknya juga memanfaatkan hutan itu untuk kebutuhan mereka,”
berkata Raden Mas Rangsang dalam hati, “Mereka dapat mengambil mafaat hutan itu
bagi kebutuhan mereka, kayu untuk sekedar mengasapi dapur atau pun kebutuhan
yang lebih besar, untuk bahan bangunan rumah barangkali.”
Dengan
tanpa ragu-ragu, cucu Panembahan Senapati itu pun kemudian melangkah
menyeberangi padang perdu. Ketika kakinya sudah mulai menginjak tanah yang
lembap di bawah pohon-pohon yang menjulang tinggi, tiba-tiba pendengaran Raden
Mas Rangsang yang tajam telah menangkap lamat-lamat suara seseorang di dalam
hutan itu. Suara itu masih belum begitu jelas. Timbul tenggelam terbawa desir
angin yang menerobos di sela-sela dedaunan yang lebat.
Semakin
jauh menyusup ke dalam hutan, suara itu terdengar semakin jelas. Ternyata yang
terdengar oleh Putra Mahkota Mataram itu adalah suara orang sedang membaca
ayat-ayat dari Kitab Suci. Ketika Raden Mas Rangsang kemudian menerobos di
sela-sela gerumbul dan sulur-sulur serta akar-akar pohon yang silang melintang,
pandangan matanya segera saja menangkap sebuah gubuk reyot beberapa tombak di
hadapannya. Dari dalam gubuk itulah suara itu terdengar.
Sejenak
Raden Mas Rangsang menghentikan langkahnya. Diperhatikan suara itu dengan
seksama. Alangkah merdunya suara orang yang sedang membaca ayat-ayat suci itu.
Suaranya mengalun merdu kadang meninggi tajam menusuk dada menembus jantung,
kadang merendah mengusap dan membelai hati sanubari. Namun tak jarang suara itu
menghentak dada dan mengorek isinya.
“Siapakah
orang yang sedang membaca ayat-ayat suci ini?” gumam Mas Rangsang perlahan.
Tanpa
disadarinya Raden Mas Rangsang segera mencari sebuah tempat duduk. Ketika
dilihatnya sebuah akar pohon yang tumbul menonjol tidak seberapa jauh dari
tempatnya berdiri, Raden Mas Rangsang pun segera menghampiri dan duduk di
atasnya.
Dalam
pada itu suara alunan ayat-ayat suci itu pun terus berlanjut. Suasana di
sekitar hutan itu benar-benar sunyi senyap. Angin seolah-olah telah berhenti
berhembus. Beberapa ekor burung tampak bergerombol di dahan-dahan yang rendah
tanpa berani memperdengarkan kicauan mereka sama sekali. Mereka seakan akan
sedang terkesima dan ikut hanyut dalam buaian alunan merdu kalam Ilahi.
Sementara seekor ular sebesar lengan orang dewasa tampak melingkar diam tak
bergerak di bawah sebatang pohon yang tumbuh di dekat gubuk itu. Kedua matanya
yang hitam legam itu terpejam rapat seolah-olah sedang ikut menghayati alunan
bacaan ayat-ayat Kitab Suci. Di sebelahnya, di antara gerumbul dan semak
belukar seekor induk burung puyuh tampak sedang mengerami telur-telurnya dengan
tenang tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Alunan
ayat-ayat suci itu begitu menghanyutkan. Tanpa terasa setitik demi setitik air
mata mulai menyembul di sudut mata Raden Mas Rangsang. Setiap kali ayat yang
dibaca itu mengulang dan mengulang pertanyaan Sang Maha Pencipta kepada
hamba-hambaNya tentang nikmat yang tiada taranya namun yang selalu didustakan,
setiap kali pula jantung Raden Mas Rangsang bagaikan sebuah belanga yang jatuh
di atas tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping.
“Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau
dustakan?” desah Raden Mas Rangsang lirih melafalkan kembali ayat-ayat suci
itu. Sementara air matanya semakin deras mengalir bagaikan aliran anak sungai
di musim penghujan.
--oo0oo—
Bersambung
ke TDBM 414
Komentar
Posting Komentar