Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 406
Oleh: Mbah MAN
buku 406
****
DALAM pada itu, Ki Jayaraga
bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani masih berdiri di atas panggungan yang di
dirikan di sebelah menyebelah regol padukuhan induk. Mereka bertiga tidak habis
mengerti, mengapa pasukan para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu tidak
kunjung menyerang? Mereka justru telah mengambil jarak yang cukup jauh dari
dinding padukuhan dan sepertinya ada yang sedang mereka tunggu.
“Mengapa mereka tidak segera
menyerbu padukuhan ini, Ayah?” bertanya Nyi Dwani.
Empu Wisanata menggeleng
lemah, “Aku tidak tahu, Dwani. Mungkin mereka menunggu Matahari terbit.”
“Bukankah Matahari telah
terbit beberapa saat yang lalu?”
“Ya,” jawab ayahnya,
“Mungkin masih terlalu pagi bagi mereka untuk memulai sebuah pertempuran.”
“Tentu tidak,” sahut Ki
Jayaraga sambil mengamati para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang
berlindung di antara pepohonan dan tanggul-tanggul yang tinggi, “Aku merasakan
ada sesuatu yang sedang mereka tunggu, namun apakah itu aku tidak dapat menebak
dengan pasti.”
Sejenak Empu Wisanata dan
Nyi Dwani menekur. Berbagai dugaan silih berganti di dalam benak mereka, namun
tak satu pun yang dapat dijadikan alasan yang kuat mengapa mereka tidak segera
menyerang.
Selagi mereka disibukkan
dengan berbagai tanggapan atas sikap pasukan Panembahan Cahya Warastra itu,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi panah sendaren dua kali berturut turut
memecahkan udara pagi di atas padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal Menoreh yang
telah bersiap di balik pagar hampir serentak memandang ke udara. Panah-panah
itu memang sudah tidak kelihatan namun suara raungannya terasa membelah
angkasa.
“Jangan terpancing!”
tiba-tiba terdengar teriakan yang menggelegar dari Ki Jayaraga yang berdiri di
atas panggungan. Ditebarkan pandangan matanya ke seluruh pengawal tanah
perdikan Menoreh yang merupakan gabungan para pengawal yang ada di
padukuhan-padukuhan kecil dan padukuhan induk. Katanya kemudian sambil
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, “Tetap di tempat kalian. Jangan terpancing
dengan keadaan yang tidak menentu. Biasakan selalu mendengarkan perintah
melalui atasan kalian.”
Selesai berkata demikian Ki
Jayaraga segera mengajak Empu Wisanata dan Nyi Dwani turun dari panggungan.
Mereka harus segera memperhitungkan jika musuh jadi menyerang. Gelar yang telah
disepakati adalah gelar gedong minep atau jurang grawah. Kalau pintu gerbang
padukuhan induk ternyata mampu dijebol oleh pihak lawan, mereka justru akan
membiarkan sebagian lawan masuk dengan deras ke dalam padukuhan. Setelah
gelombang serangan itu agak mereda, para pengawal yang bersembunyi di kanan
kiri regol akan serentak menyerang untuk memotong arus serangan itu.
Ki Jayaraga dengan cerdik
telah menanam batang-batang bambu beberapa langkah di belakang regol. Dengan
sebuah pengungkit yang diletakkan di kedua ujung bambu-bambu yang ditanam itu,
arus serangan lawan akan tertahan beberapa saat. Di saat itulah para pengawal
di sebelah menyebelah regol akan menyerang pasukan lawan yang tertahan itu.
Dengan tergesa-gesa Ki
Jayaraga segera menuju ke sebuah rumah yang dijadikan sebagai tempat pertemuan
para pemimpin pengawal. Dengan sebuah isyarat kentong dua ganda berturut turut
yang tidak terlalu keras namun gaungnya cukup sampai ke sudut-sudut pertahanan
Menoreh, beberapa pemimpin pengawal pun segera berkumpul.
Setelah semuanya duduk di
pendapa beralaskan sebuah tikar pandan yang lebar, Ki Jayaraga pun memulai
pembicaraan.
“Panah sendaren yang baru
saja kita dengar pasti ada hubungannya dengan penyerbuan ke padukuhan induk
ini,” Ki Jayaraga berhenti sejenak, “Kita tidak usah berandai-andai panah
sendaren itu sebagai isyarat pasukan lawan ditarik mundur, namun yang perlu
kita siagakan adalah, kemungkinan sebagai isyarat dimulainya penyerbuan pasukan
lawan. Oleh karena itu, siapkan panah-panah dan lembing-lembing di atas
panggungan sepanjang dinding padukuhan. Beberapa pengawal dapat memanjat pohon
yang tumbuh di sisi dalam dinding. Usahakan jangan sampai lawan dapat mencapai
dinding padukuhan sehingga memberi kesempatan pada mereka untuk memanjat dengan
cara apapun. Hujani mereka dengan anak panah, lembing bahkan kalian dapat
menggunakan batu-batu yang dilontarkan melalui bandil maupun ketapel.”
Para pemimpin pengawal itu
mengangguk anggukkan kepala mereka. Salah satu pemimpin pengawal yang berkumis
tipis tiba-tiba mengangkat tangannya untuk menarik perhatian Ki Jayaraga.
“Bicaralah!” perintah ki
Jayaraga kemudian.
“Ki Jayaraga,” berkata
pemimpin pengawal yang berkumis tipis itu, “Kami juga menyediakan batu-batu
yang cukup besar di sepanjang panggungan.”
Ki Jayaraga mengerutkan
keningnya, bahkan para pemimpin pengawal yang lain telah saling pandang karena
tidak mengerti maksud kawannya itu.
“Apakah alat yang akan kau
gunakan untuk melontarkan batu-batu yang cukup besar itu?” bertanya Ki Jayaraga
kemudian.
Sejenak pemimpin pengawal
yang berkumis tipis itu tersenyum. Diedarkan pandangan matanya ke arah kawan
kawannya, baru kemudian dia meneruskan kata katanya, “Batu-batu itu tidak
dilontarkan, melainkan dijatuhkan saja dari atas dinding apabila lawan dapat
mencapai dinding dan mencoba memanjat.”
Ki Jayaraga mengangguk
anggukkan kepalanya, sementara para pemimpin pengawal yang lain saling
bergeremang bahkan ada yang mencemooh.
“Buang-buang waktu saja,”
desis seorang pemimpin pengawal yang berbadan kekar kepada kawannya yang duduk
di sebelahnya, “Kita perbanyak panah dan lembing yang mempunyai jarak lontar
cukup jauh. Jika ada yang berhasil mencapai dinding, alangkah mudahnya membidik
orang yang sedang memanjat, apapun alat yang dipakainya.”
Kawannya yang duduk di
sebelahnya hanya mengangguk angguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Siapa yang memimpin pasukan
pertahanan di belakang pintu gerbang?” pertanyaan Ki Jayaraga telah membungkam
pengawal yang bertubuh kekar itu.
“Aku, Ki Jayaraga,” jawab
seorang pemimpin pengawal yang bertubuh tinggi dan berambut keriting.
“Kau sudah tahu tugasmu?”
kembali Ki Jayaraga bertanya.
Orang yang tinggi dan
berambut keriting itu sejenak menggeser duduknya agak mendekat, kemudian
jawabnya, “Tugas kami menahan laju pasukan lawan jika gerbang padukuhan induk
dapat dijebol lawan. Kami juga sudah menyiapkan anak panah dan lembing yang
jumlahnya tak terhitung. Selain itu kami juga telah membuat tombak-tombak
panjang dari batang-batang bambu yang ujungnya telah diruncingkan.”
“Bagus,” sahut Ki Jayaraga,
“Begitu mereka memasuki pintu gerbang, hujani mereka dengan anak panah dan
lembing. Jika ternyata masih ada yang lolos, kalian dapat mempergunakan
batang-batang bambu itu untuk menahan mereka, dan jika ternyata masih ada yang
lolos, kalian harus siap dengan sebuah pertempuran yang sebenarnya.”
Para pemimpin pengawal itu
mengangguk anggukkan kepala mereka. Dalam benak mereka terbayang, betapa
pasukan lawan akan sangat kesulitan menghadapi berbagai rintangan yang telah
mereka siapkan.
“Nah,” berkata Ki Jayaraga
kemudian, “Apakah masih ada yang kurang jelas?”
Para pemimpin pengawal yang
berkumpul di pendapa itu hampir serentak menjawab, “Semuanya sudah jelas, Ki.”
“Baiklah, kalau memang sudah
tidak ada persoalan lagi, silahkan kembali ke tempat kalian masing-masing.”
Demikianlah akhirnya
pertemuan itu segera bubar. Sementara Ki Jayaraga telah menemui Empu Wisanata
dan Nyi Dwani yang sedang melihat lihat pertahanan yang telah disusun oleh para
pengawal.
Namun baru saja Ki Jayaraga
mendekati Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang sedang mengamati sebuah pengungkit
yang berada beberapa langkah di sisi regol, seorang pengamat yang berada di
atas panggungan telah memberikan isyarat kepada Ki Jayaraga bahwa ada
tanda-tanda musuh telah mendekat.
Dengan tergesa-gesa Ki
Jayaraga beserta Empu Wisanata dan Nyi Dwani naik ke atas panggungan. Dada
ketiga orang itu sejenak berdesir begitu melihat pasukan lawan yang sudah
bergerak dalam gelar walaupun masih cukup jauh dan belum dapat dijangkau oleh
lontaran anak panah.
“Dirada Meta,” desis Ki
Jayaraga.
“Ya, Ki,” Empu Wisanata yang
di sebelahnya menyahut, “Agaknya mereka memperhitungkan kekuatan gerbang
padukuhan ini sehingga mereka mengandalkan kekuatan Dirada Meta untuk
menjebolnya.”
“Kekuatan utama tentu pada
kedua gading itu,” berkata ki Jayaraga kemudian tanpa melepaskan pandangan
matanya pada gerak gelar lawan yang lambat tapi pasti menuju ke padukuhan
induk, “Kalau tidak terdapat pada kedua gadingnya, tentu Senapatinya bertempat
pada belalai itu .”
Ketika jarak pasukan lawan
itu hampir mendekati jarak jangkauan lontaran anak panah, tiba-tiba gelar
Dirada Meta itu berhenti. Terdengar sebuah aba-aba yang kemudian segera sambung
bersambung ke seluruh gelar.
Sejenak kemudian gelar itu
pun seperti teraduk. Beberapa orang saling bergeser. Ketika beberapa saat
kemudian gelar itu kembali tenang, tampak orang-orang yang terletak pada bagian
kepala gelar telah menyandang sebuah perisai.
“Mereka agaknya sudah
mempersiapkan diri dengan sebaik baiknya,” berkata Empu Wisanata.
Ki Jayaraga mengangguk
anggukkan kepalanya. Ketika pandangan matanya membentur tangan Empu Wisanata
dan Nyi Dwani, keduanya ternyata telah menggenggam busur dan menyandang endong
dengan puluhan anak panah di dalamnya.
“Kami meminjam dari para
pengawal itu,” berkata Empu Wisanata sambil menunjuk ke arah seorang pengawal
yang sekarang sedang berdiri agak jauh sambil menjinjing beberapa lembing.
Ki Jayaraga menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata, “Jika yang melontarkan anak panah kalian berdua,
aku yakin setebal apapun perisai itu pasti akan tembus.”
“Ah,” hampir bersamaan ayah
dan anak itu berdesah, “Kami belum berbuat apa-apa. Semoga kami tidak lupa
bagaimana menggunakan busur ini.”
Ki Jayaraga tersenyum.
Katanya kemudian, “Nah, kalian berdua dapat memulai melontarkan anak panah.
Memang untuk kebanyakan pemanah, jarak itu masih cukup jauh, tapi bagi kalian
aku rasa dapat mencapainya untuk sekedar mengingatkan kepada lawan bahwa yang
mereka hadapi bukan anak-anak kemarin sore yang sedang belajar memanah.”
Empu Wisanata dan Nyi Dwani
saling pandang sejenak. Ketika mereka melemparkan pandangan mata ke arah
pasukan lawan, perlahan tapi pasti gelar Dirada Meta itu telah bergerak maju.
Jarak dengan pasukan itu
memang masih jauh, namun dengan mengerahkan tenaga cadangan, ayah dan anak itu
telah mengangkat busurnya. Ketika tali busur itu telah direntangkan dengan
sekuat tenaga, hampir bersamaan dua buah anak panah melesat bagaikan tatit yang
melompat di udara menyambar kearah sasaran.
Ternyata kekuatan tenaga
cadangan kedua orang itu telah mampu melontarkan anak panah melebihi orang
kebanyakan. Kedua anak panah itu pun kemudian menyambar sasaran masing-masing.
Terdengar umpatan yang sangat kotor dari kedua pengikut Panembahan Cahya
Warastra ketika kedua anak panah itu telah mampu menembus perisai yang mereka
bawa. Anak panah dari Nyi Dwani ternyata sempat menyentuh pundak salah seorang
pengikut Panembahan Cahya Warastra sehingga darah pun telah menetes. Sedangkan
anak panah Empu Wisanata ternyata tidak hanya menyentuh, namun benar-benar
telah melukai dada kanan lawannya.
“Gila,” umpat Bango Lamatan
yang ternyata telah bergabung dengan pasukan yang dipimpin Ki Gede Ental Sewu,
“Orang-orang Menoreh memang gila. Mereka harus diajari bagaimana memanah yang
sesungguhnya.”
Selesai berkata demikian,
Bango Lamatan yang berada di belalai dari gelar Dirada Meta itu telah menyambar
busur dan sebuah anak panah dari seseorang yang berdiri di belakangnya. Dengan
sepenuh tenaga, segera dilontarkannya anak panah itu mengarah ke gerbang
padukuhan induk yang tertutup rapat.
Yang terjadi kemudian
ternyata telah menggetarkan setiap dada yang berada di belakang gerbang
padukuhan induk itu. Pintu gerbang yang setebal telapak tangan orang dewasa dan
diselarak ganda ternyata telah terguncang hebat begitu terkena anak panah yang
dilepaskan Bango Lamatan. Untunglah gerbang itu terbuat dari kayu nangka yang
sangat tua sehingga tidak menjadi retak ataupun selaraknya berpatahan. Namun
goncangannya telah membuat setiap dada dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
berdebar debar.
“Jangan terpancing!”
tiba-tiba terdengar teriakan lantang dari Ki Jayaraga, “Tidak setiap orang
dalam pasukan lawan mampu melakukan itu. Hanya orang-orang tertentu saja yang
mampu membuat pengeram-eram seperti itu. Mungkin itu tadi yang melakukannya
adalah Senapati lawan untuk sekedar menakut-nakuti kita. Tapi dengan
kesombongannya itu, justru aku sudah dapat meraba, sampai di mana kemampuan
ilmunya yang sebenarnya.”
Empu Wisanata yang berada di
sebelah Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam sambil berbisik, “Ternyata Ki
Jayaraga mampu juga untuk sedikit menyombongkan diri di hadapan para pengawal.”
Ki Jayaraga tersenyum sambil
berpaling, jawabnya kemudian, “Kadang-kadang sikap jumawa itu diperlukan untuk
sekedar membangkitkan kepercayaan para pengawal terhadap pemimpinnya.”
Empu Wisanata hanya dapat
mengangguk anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu gelar Dirada
Meta dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra telah semakin dekat dengan
gerbang padukuhan induk.
Tiba-tiba Bango Lamatan
mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil meneriakkan sebuah aba-aba yang
segera diteruskan oleh para pemimpin pasukan yang ada di sebelah menyebelah
gelar. Sejenak kemudian pasukan pengikut Panembahan Cahya Warastra itu pun
telah berhenti.
“Bango Lamatan,” Ki Gede
Ental Sewu yang berada di ujung belalai telah mundur beberapa langkah
kebelakang mendekati Bango Lamatan, “Kita harus memperhitungkan korban yang
akan berjatuhan jika kita menyerbu gerbang padukuhan induk itu tanpa
perhitungan.”
“Demikianlah, Ki Gede,” jawab
Bango Lamatan sambil mengangguk hormat, “Aku berpendapat sebaiknya untuk
mengalihkan perhatian, Ki Gede dapat menjebol dinding sebelah kanan regol
sedangkan aku dan Ki Ajar Wiyat serta Kiai Sasadara akan berusaha menjebol
dinding sebelah kiri regol.”
Sejenak Ki Gede Ental Sewu
terdiam, namun akhirnya dia bertanya juga, “Bagaimana dengan regol itu?”
“Pasukan pemanah berapi akan
membakar regol itu. Kita sudah menyiapkan bumbung-bumbung bambu yang berisi
minyak jarak serta panah-panah yang ujungnya telah dibalut dengan secarik kain
yang nantinya akan dicelupkan ke bumbung-bumbung itu kemudian di nyalakan.”
Ki Gede mengangguk angguk
sambil memandang ke arah dinding padukuhan induk Menoreh yang terlihat berdiri
sangat kokoh.
“Dinding itu memang terbuat
dari batu Ki Gede,” berkata Bango Lamatan sepertinya memahami apa yang sedang
dipikirkan oleh pemimpin padepokan dari gunung Sindara itu, “Namun diantara
bebatuan yang direkatkan itu pasti ada celah yang lemah sehingga serangan yang
terus menerus pada celah itu akan dapat menggugurkan bebatuan itu.”
Kembali Ki Gede mengangguk
anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah Bango Lamatan. Tapi bagi kalian
yang tidak memiliki ilmu kebal atau sejenisnya akan sangat sulit mendekati
dinding itu karena hujan panah dan lembing pasti akan menghambat pergerakan
kalian.”
“Itu sudah kami perhitungkan
Ki Gede,” jawab Bango Lamatan, “Aku memang tidak menguasai ilmu kebal atau
sejenisnya. Aku akan membawa perisai atau setidaknya ada orang lain yang
membawa perisai bersamaku untuk sekedar melindungiku dari hujan anak panah
selagi aku mencoba untuk mengguncang dinding itu.”
“Bagaimana dengan Ki Ajar
Wiyat dan Kiai Sasadara?”
“Menurut pengakuan mereka,
mereka telah memiliki bekal itu, sejenis ilmu kebal yang dapat melindungi wadag
mereka dari serangan anak panah dan senjata tajam lainnya.”
“Baiklah,” berkata Ki Gede
Ental Sewu kemudian, “Perintahkan agar pasukan tetap diam di tempat. Seandainya
mereka nanti menghujani aku dengan anak panah, pasukan kita tidak usah
membalas. Persediaan anak panah kita sangat terbatas, berbeda dengan
orang-orang Menoreh itu, mereka dapat membuat anak panah sebanyak banyaknya.”
Ki Gede berhenti sejenak kemudian lanjutnya, “Sekarang aku akan mendekati
dinding itu, kau bersama dengan Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara dapat
memulainya sekarang juga.”
Selesai berkata demikian, Ki
Gede tanpa menunggu tanggapan Bango Lamatan telah melangkah keluar dari barisan
dan kemudian berjalan mendekati dinding sebelah kanan regol.
Seperti yang telah mereka
duga sebelumnya, segera saja hujan anak panah dan lembing berhamburan ke arah
Ki Gede Ental Sewu yang berjalan seenaknya tanpa menghiraukan anak-anak panah
dan lembing yang menyerangnya.
Sekali lagi para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh dadanya bagaikan diguncang prahara menyaksikan betapa
anak panah dan lembing yang mereka lontarkan itu sama sekali tidak berpengaruh
terhadap Ki Gede Ental Sewu. Anak-anak panah dan lembing-lembing itu seolah
olah telah menyentuh sekeping baja tulen sehingga terpental dan berjatuhan ke
tanah. Bahkan tak jarang beberapa diantaranya telah berpatahan sebelum jatuh ke
tanah.
Ketika Ki Gede Ental Sewu
telah berdiri beberapa tombak dari dinding, sejenak dipusatkan nalar budinya
untuk mengungkapkan ilmunya yang sangat nggegirisi.
Ki Jayaraga yang melihat ada
orang yang mendekati dinding padukuhan dengan menunjukkan kelebihannya menahan
serangan anak panah dan lembing segera memerintahkan untuk menghentikan
serangan. Dengan hati yang berdebar debar Ki Jayaraga sambil berjongkok mencoba
mengintip dari balik dinding di atas panggungan. Panggungan itu memang tidak
dibangun sejajar dengan tinggi dinding, namun panggungan itu dibangun agak
rendah dari dinding. Jaraknya sekitar setinggi pinggang orang dewasa.
“Rasa rasanya aku pernah
mengenal orang itu,” desis Ki Jayaraga sambil terus mengamati seraut wajah yang
kelihatannya tidak asing baginya.
“He!” hampir saja Ki
Jayaraga terlonjak dari tempatnya begitu dia menyadari siapakah orang yang
sedang berdiri beberapa tombak dari dinding padukuhan itu.
“Ki Gede Ental Sewu dari
gunung Sindara.” serunya sedikit tertahan.
“He!” Empu Wisanata yang
berjongkok di sebelahnya pun ikut terkejut, “Benarkah kita berhadapan dengan Ki
Gede Ental Sewu?”
Sementara Nyi Dwani yang
masih muda dan tidak banyak mengenal tokoh tua telah ikut mengawasi Ki Gede
dari balik dinding, katanya kemudian, “Siapakah yang ayah maksudkan? Aku tidak
mengenalnya.”
“Kau memang tidak
mengenalnya,” jawab ayahnya, “Ki Gede jarang sekali turun gunung. Entah apa
yang membuatnya tertarik untuk mendatangi Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Dalam pada itu Ki Gede Ental
Sewu yang telah selesai memusatkan nalar budinya segera mengurai kedua
tangannya yang menyilang di depan dadanya. Sejenak kemudian dengan mata yang
menyala, Ki Gede pun telah mengangkat tangan kanannya ke atas. Seleret cahaya
kebiru-biruan melesat menghantam dinding padukuhan sebelah kanan regol.
Benturan ilmu Ki Gede dengan
dinding itu telah menimbulkan ledakkan yang dahsyat dan suara menggelegar
memekakkan telinga. Beberapa pengawal yang bersembunyi di balik dinding di atas
panggungan itu telah terlempar berhamburan jatuh ke tanah saling tindih.
Untunglah mereka tidak mengalami cidera yang berarti, hanya sedikit benturan
dengan tanah dan lecet-lecet saja.
Ki Jayaraga mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Serba sedikit guru Tumenggung Prabandaru ini sudah
mengenal Ki Gede Ental Sewu ketika dia masih bergelut dengan dunianya, dunia
hitam. Seseorang yang tidak dapat dikatakan putih, namun juga tidak berwarna
hitam, justru karena Ki Gede Ental Sewu lebih senang dengan warnanya sendiri
dan tidak berpihak kepada siapapun kecuali yang memberikan keuntungan
kepadanya.
Ketika sekali lagi Ki Gede
Ental Sewu bermaksud melontarkan ajinya untuk menggempur dinding padukuhan
induk yang sudah mulai jebol bagian atasnya, Ki Jayaraga telah mengambil
keputusan untuk menghentikannya.
Demikianlah ketika sekali
lagi tangan kanan Ki Gede Ental Sewu terangkat ke atas, sebelum Ki Gede sempat
melontarkan ajinya yang nggegirisi itu, entah dari mana datangnya tiba-tiba
hanya berjarak selangkah di depan Ki Gede, tanah yang ada di depan Ki Gede
telah meledak disertai dengan semburan api yang menjilat. Benar-benar semburan
api yang keluar dari dalam tanah dan jilatan lidah apinya sempat menyambar kain
panjang Ki Gede Ental Sewu.
“Gila!” umpat Ki Gede
terkejut sambil meloncat ke belakang. Semburan api dan percikan tanah yang
membara itu ternyata telah menghanguskan ujung kain panjangnya.
Sejenak Ki Gede masih
mengatur gejolak dalam dadanya mendapat serangan yang tiba-tiba itu, walaupun
sebenarnya Ki Jayaraga tidak bermaksud menyerang langsung ke arah Ki Gede dan
hanya mengarahkan serangannya itu selangkah di depan Ki Gede, namun semburan
api itu ternyata telah mengejutkannya.
“Hanya ada satu orang di
dunia ini yang mampu meledakkan tanah dan menyemburkan api!” teriak Ki Gede
sambil memandang ke tempat Ki Jayaraga bersembunyi, “Aku tidak akan pernah lupa
dengan Pradapa yang kemudian menyebut dirinya Jayaraga, guru Tumenggung
Prabandaru dan para Bajak laut itu,” dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
“Mengapa kau tersesat di tempat ini, he! Ataukah kau telah menjadi seorang
pengembara yang putus asa dan menjelajah ke seluruh sudut bumi ini hanya untuk
sekedar mengobati rasa kecewamu atas kematian semua muridmu?”
Berdesir dada Ki Jayaraga ketika
murid muridnya disebut. Bagaimana pun juga, di sudut hatinya yang paling dalam
rasa penyesalan itu masih tetap ada. Penyesalan tentang nasib murid muridnya
yang telah terbunuh dan sama sekali tidak pernah memberikan kebanggaan dan
mengangkat nama baik perguruan.
“Kau benar Ki Gede,”
tiba-tiba Ki Jayaraga menyahut sambil berdiri dari tempatnya berlindung, “Aku
merindukan kembali masa-masa mudaku ketika aku masih bernama Pradapa.
Menjelajahi pulau ini dari ujung sampai ke ujung yang lainnya. Bertemu dengan
banyak orang yang salah satunya adalah seseorang yang menyebut dirinya Respati
Mintuna.”
“Tutup mulutmu yang kotor
itu, Pradapa!” bentak Ki Gede Ental Sewu, “Kalau kau bermaksud mengungkit masa
lalu itu, berarti akan ada perang tanding kedua untuk menuntaskan dendam
diantara kita.”
“Dendam itu sebenarnya tidak
ada, Kakang Respati. Kau hanya mengada-ada. Aku tidak pernah mendendam kepada
siapapun, bahkan kepada mereka yang telah membunuh murid muridku karena mereka
telah mati dalam sebuah perang tanding yang adil.”
“Jangan panggil aku Kakang!”
kembali Ki Gede Ental Sewu membentak, “Aku tidak pernah mempunyai sangkut paut
atau pun hubungan keluarga dengan orang yang bernama Pradapa yang kemudian
bersembunyi di balik nama Jayaraga, dan entah nama apalagi yang akan kau pakai
setelah ini.”
“Tidak, Kakang Respati!” tak
kalah kerasnya Ki Jayaraga yang biasanya tenang itu telah berteriak, “Aku
memanggilmu Kakang justru karena aku ingin menghormatimu sesuai dengan
permintaan Niken Larasati.”
Tiba-tiba tubuh Ki Gede
Ental Sewu gemetar begitu mendengar nama Niken Larasati disebut oleh Ki
Jayaraga. Sejenak wajahnya berubah merah membara dan sepasang matanya
menyiratkan dendam kesumat yang tiada taranya.
Namun belum sempat Ki Gede
membalas kata-kata Ki Jayaraga, mereka telah dikejutkan oleh suara benturan
yang menggelegar di sebelah kiri regol. Ternyata Bango Lamatan bersama dengan
Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara telah mulai menggabungkan kekuatan mereka untuk
menggempur dinding padukuhan sebelah kiri regol.
Empu Wisanata yang masih
berjongkok di atas panggungan di sebelah Ki Jayaraga segera bangkit berdiri.
Sejenak dilayangkan pandangan matanya ke arah dinding sebelah kiri regol.
Ternyata dinding itu telah jebol hampir sepertiganya. Tampak Bango Lamatan yang
menyandang perisai di tangan kirinya, sedang tangan kanannya sudah siap kembali
melontarkan ajinya untuk menggempur dinding sebelah kiri regol. Demikian juga
Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara telah bersiap siap membantu Bango Lamatan.
Tanpa berpikir panjang, Empu
Wisanata segera menarik sebuah anak panah dari endongnya. Namun sebelum
menempatkan anak panah itu pada busurnya, dia terlebih dahulu telah mematahkan
ujung anak panah yang runcing itu.
Sejenak kemudian sebuah anak
panah yang tumpul ujungnya telah meluncur menghantam perisai Bango Lamatan dari
samping kiri. Akibatnya sangat luar biasa, Bango Lamatan yang sedang memusatkan
nalar budinya untuk kembali menggempur dinding sebelah kiri regol telah
terguncang ketika panah Empu Wisanata menghantam perisainya.
Hantaman itu bagaikan
berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit, sehingga sejenak
Bango Lamatan telah kehilangan keseimbangan. Kalau saja Ki Ajar Wiyat tidak
menahan tubuhnya, tentu Bango Lamatan sudah jatuh terjengkang kebelakang.
“Gila!” teriak Bango Lamatan
sambil memperbaiki kedudukannya. Kemudian perintahnya pun keluar dengan
teriakan yang menggelegar, “Bakar pintu gerbang sekarang juga!”
Perintah itu tidak perlu
diulangi, segera saja para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang membawa
panah berapi telah melontarkan panah-panah berapi ke pintu gerbang. Sebagian
lagi bahkan telah melontarkan bumbung-bumbung bambu yang berisi minyak jarak ke
arah pintu gerbang sehingga ketika bumbung-bumbung itu berbenturan dengan pintu
gerbang yang cukup tebal itu, minyaknya telah tumpah berhamburan melumuri
sebagian daun pintunya.
Para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh tidak tinggal diam, dari atas panggungan sambil berlindung mereka
menghujani pasukan lawan yang mencoba maju dengan senjata jarak jauh yang telah
mereka persiapkan. Hujan panah dan lembing serta batu-batu memang sempat
menghambat gerak maju pasukan Panembahan Cahya Warastra, namun ketika sebagian
pintu gerbang yang berlumuran minyak jarak itu terkena panah berapi, gerbang
yang kokoh itu pun sedikit demi sedikit mulai terbakar.
Kepanikan pun segera terjadi
di sekitar regol. Beberapa pengawal mencoba mencari air dari perigi terdekat
untuk memadamkan api yang mulai membesar. Namun karena tidak ada persiapan yang
memadai untuk mengatasi kebakaran, api pun semakin membesar dan kini seluruh
pintu gerbang telah ditelan oleh api yang berkobar kobar.
Kesempatan itu ternyata
tidak di sia-siakan oleh Bango Lamatan. Dengan sebuah isyarat, bersama dengan
Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara, sekali lagi dinding yang terbuat dari susunan
batu-batu kali itu telah meledak dan batu batunya pun jatuh berguguran sehingga
telah terbuka sebuah lubang yang cukup lebar.
“Maju..!” teriak Bango
Lamatan memberikan semangat pasukannya untuk masuk menerobos melalui dinding
sebelah kiri regol yang telah berlubang cukup lebar.
Kembali para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh memberikan perlawanan melalui lontaran anak panah dan lembing
serta batu-batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Namun pasukan di bawah
pimpinan Bango Lamatan itu agaknya telah mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Mereka yang menerobos di garis depan telah dibekali dengan perisai yang kuat,
sementara beberapa kawannya yang tidak berperisai telah ikut berlindung di
bawahnya sambil membalas serangan para pengawal Menoreh dengan melontarkan anak
panah yang mereka bawa.
Korban segera berjatuhan di
kedua belah pihak. Walaupun perisai yang melindungi pasukan pimpinan Bango
Lamatan itu cukup rapat, namun sesekali tetap ada anak panah atau lembing yang
mampu menerobos di sela selanya sehingga korban pun tidak dapat dielakkan lagi.
Sedangkan di pihak Menoreh, mereka menjadi sasaran yang empuk jika mereka
kurang sempurna dalam berlindung. Lawannya akan dengan mudah membidik dari
balik perisai justru pada saat para pengawal itu muncul di atas dinding untuk
melontarkan anak panah maupun melemparkan lembing. Kesempatan itu dijadikan
saat yang tepat bagi para pengikut Panembahan Cahya Warastra untuk berbalik
menyerang.
Pertempuran jarak jauh di
sebelah kiri regol itu semakin seru ketika pasukan di bawah pimpinan Bango
Lamatan semakin mendekati dinding. Kini batu-batu besar pun ikut di jatuhkan
dari atas dinding dan ternyata telah memakan korban yang cukup banyak. Pasukan
Bango Lamatan itu kini telah menempatkan perisai mereka di atas kepala sambil
merunduk mendekati dinding yang telah berlubang. Mereka tidak menyangka kalau
pasukan Menoreh akan menjatuhkan batu-batu besar tepat di atas perisai-perisai
itu sehingga telah membuat beberapa orang jatuh terjungkal, pada saat itulah
beberapa anak panah telah menyambar dada mereka.
Bango Lamatan melihat
kesulitan pasukannya, maka teriaknya kemudian, “Pasukan yang membawa panah,
serang mereka yang di atas dinding! Jangan beri kesempatan mereka keluar dan
menyerang kita!”
Aba-aba itu telah menguatkan
semangat mereka untuk menggunakan anak panah mereka habis habisan. Karena
sebelumnya mereka mendapat perintah untuk menghemat anak panah karena
persediaan memang sangat terbatas.
Sejenak kemudian, beratus
ratus anak panah telah berterbangan menyambar-nyambar ke atas dinding sehingga
membuat para pengawal yang berjaga di atas panggungan tidak berani menampakkan
diri apalagi membalas serangan. Kesempatan ini segera di gunakan oleh Bango
Lamatan untuk membawa maju pasukannya.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga
yang menyaksikan pertempuran jarak jauh yang telah berkobar di regol sebelah
kiri telah memerintahkan Empu Wisanata dan Nyi Dwani untuk turun dari
panggungan dan membantu perlawanan yang berada di regol sebelah kiri.
Empu Wisanata dan Nyi Dwani
tidak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Bagaikan dua ekor garuda yang
sedang menyambar mangsanya, ayah dan anak itu segera meluncur turun dari
panggungan menuju ke sebelah kiri gerbang padukuhan induk. Keadaan dinding
sebelah kiri gerbang itu benar-benar telah rusak. Dinding batu yang terkena
lontaran ilmu Bango Lamatan dan kawan-kawannya ternyata telah jebol dan
membentuk sebuah lubang yang memungkinkan pasukan Bango Lamatan untuk menerobos
maju.
Para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh pun segera menyambut pasukan Bango Lamatan itu dengan hujan anak panah,
lembing dan tombak-tombak panjang yang terbuat dari bambu. Korban di pihak
lawan pun mulai berjatuhan, namun dengan semangat membara, pasukan yang
dipimpin Bango Lamatan itu sedikit demi sedikit telah memasuki padukuhan induk
lewat celah dinding yang telah jebol.
Sebelum pasukan lawan itu
telah benar-benar memasuki padukuhan induk, para pengawal yang bertahan di atas
panggungan sepanjang dinding sebelah kiri telah berloncatan turun dan bergabung
dengan kawan-kawan mereka yang bertahan beberapa puluh langkah di belakang
dinding padukuhan induk.
Seorang pengawal yang
bermata sipit tiba-tiba saja telah berbalik akan memanjat ke panggungan lagi.
“He!” teriak kawannya, “Mau
kemana?”
Sejenak pengawal yang
bermata sipit itu ragu-ragu, namun katanya kemudian, “Bekalku tertinggal di
atas panggungan.”
“Ah,” kawannya segera
menariknya untuk bergabung dengan para pengawal yang telah menempatkan diri,
“Apa Kau sudah gila? Mungkin Kau masih akan menemukan bekalmu di sana, tapi
sebagai gantinya justru kepalamu yang akan tertinggal di atas panggungan sana.”
Pengawal bermata sipit itu
tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa dia pun kemudian berlari mengikuti kawannya
menuju ke tempat para pengawal mempertahankan diri.
“Mundur ke pertahanan ke
dua!” Empu Wisanata yang melihat kesulitan para pengawal menahan arus pasukan
Panembahan Cahya Warastra yang dipimpin oleh Bango Lamatan telah menjatuhkan
perintah.
Dengan cekatan para pengawal
Menoreh segera membentuk pertahanan kedua. Mereka telah menempatkan
brunjung-brunjung bambu yang berisi batu-batu kali dan di susun berjajar
memanjang sekitar dua puluh langkah di belakang dinding padukuhan sebagai
tempat berlindung dari serangan anak panah atau lemparan tombak dan lembing
dari lawan. Dari tempat perlindungan itu, para pengawal kembali menghujani
pasukan lawan dengan anak panah dan senjata lontar lainnya.
Namun, pasukan lawan
benar-benar telah menyiapkan diri untuk menghadapi serangan jarak jauh dari
para pengawal Menoreh. Sekali lagi orang-orang yang membawa perisai-perisai
yang lebar dan kuat telah berada di barisan paling depan. Sementara yang
lainnya telah membalas serangan jarak jauh para pengawal Menoreh dengan senjata
yang sama, anak panah, lembing dan tombak-tombak yang dilemparkan dengan sekuat
tenaga.
Empu Wisanata dan Nyi Dwani
yang bahu membahu bersama para pengawal menahan arus serangan pasukan lawan
mulai menyadari keadaan yang tidak menguntungkan. Lambat laun pertahanan mereka
akan jebol dan pertempuran yang sebenarnya tidak akan dapat dihindarkan lagi.
“Hubungi Ki Jayaraga,”
berkata Empu Wisanata kepada seorang penghubung yang berjongkok di sebelahnya
di balik brunjung-brunjung bambu, “Katakan kepada Ki Jayaraga, kapan kita mulai
membuka gelar.”
Penghubung itu segera
bergerak. Dengan terbungkuk-bungkuk, penghubung itu pun kemudian menyelinap di
antara riuhnya pertempuran jarak jauh yang sedang berkecamuk di sebelah kiri
pintu gerbang.
Baru saja penghubung itu
pergi, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari arah pasukan lawan yang berada di depan
pintu gerbang. Ternyata pasukan lawan berusaha untuk menjebol pintu gerbang
yang sudah terbakar hampir seluruhnya itu. Dengan berlindung pada
perisai-perisai lebar yang dipegang oleh beberapa murid Panembahan Cahya
Warastra, beberapa orang yang berbadan tegap dan kekar telah memanggul potongan
pohon kelapa yang cukup besar dan panjang. Dengan berteriak dan bersorak,
batang pohon kelapa itu dicoba untuk dibenturkan ke arah pintu gerbang yang
mulai rapuh karena api telah membakar hampir seluruhnya.
Mereka tidak memperdulikan
lagi hujan anak panah, lembing dan batu-batu sebesar kepalan tangan orang
dewasa. Mereka percaya penuh kepada kawan-kawan mereka yang melindungi mereka
dengan perisai-perisai lebar. Memang masih ada satu dua anak panah, bahkan
beberapa lembing yang mampu menyusup diantara rapatnya perisai-perisai itu,
namun akibatnya sudah tidak begitu terasa bagi pasukan Panembahan Cahya
Warastra.
Pintu gerbang itu memang
telah rapuh. Ketika sekali lagi hentakan yang kuat menderanya, dengan
menimbulkan suara yang berderak derak, pintu gerbang padukuhan induk yang kokoh
itu pun akhirnya roboh.
Bagaikan air bah yang sedang
melanda, pasukan Panembahan Cahya Warastra yang berada di depan pintu gerbang
segera bergerak memasuki gerbang yang telah roboh. Gerakan pasukan itu memang
tidak lancar karena mereka harus berjalan sambil menghindari potongan-potongan
kayu yang masih menyala serta kepingan-kepingan bara dari sisa-sisa daun pintu
yang telah hangus terbakar. Sedangkan dari atas, beratus ratus anak panah dan
lembing serta bebatuan berterbangan siap untuk mencabut nyawa.
Gerakan pasukan lawan itu
memang sangat lambat, namun mereka yang membawa perisai segera berdiri di
paling depan untuk melindungi gerak maju pasukan. Beberapa orang yang membawa
peralatan untuk menyerang jarak jauh segera membalas serangan dari arah
panggungan di kanan kiri gerbang yang telah roboh itu untuk mengurangi tekanan.
Dan ternyata usaha itu sedikit demi sedikit membawa hasil, pasukan Panembahan
Cahya Warastra yang berada di depan pintu gerbang telah mulai memasuki
padukuhan induk, mengikuti pasukan sebelumnya yang dipimpin Bango Lamatan.
Ketika kemudian Ki Jayaraga
yang masih di atas panggungan itu tanpa disadarinya telah berpaling ke tempat
Ki Gede Ental Sewu berdiri, alangkah terkejutnya guru Glagah Putih itu.
Ternyata Ki Gede telah mundur dan hilang di dalam pasukannya.
“Gila,” geram Ki Jayaraga,
“Kemana perginya setan tua itu.”
Memang pasukan lawan yang
ada di depan Ki Jayaraga belum bergerak sama sekali. Mereka agaknya sedang menunggu
pasukan Bango Lamatan yang berusaha menerobos dinding sebelah kiri pintu
gerbang serta pasukan yang berada di tengah yang sedang berusaha menjebol pintu
gerbang yang sedang terbakar.
Ki Jayaraga tanggap dengan
keadaan yang kurang menguntungkan bagi para pengawal Menoreh. Dengan cepat Ki
Jayaraga segera meluncur turun dari panggungan untuk mengendalikan para
pengawal yang bertahan di belakang pintu gerbang.
“Mundur ke pertahanan
kedua!” teriak Ki Jayaraga ditengah tengah hiruk pikuk pasukan lawan yang
menyerbu lewat pintu gerbang.
Ketika kemudian penghubung
dari Empu Wisanata itu telah sampai di hadapan Ki Jayaraga, tahulah Ki Jayaraga
bahwa keadaan para pengawal di sebelah kiri pintu gerbang pun sedang mengalami
tekanan yang luar biasa. Maka katanya kemudian kepada penghubung yang masih
berdiri termangu mangu di sebelahnya, “Sampaikan kepada setiap pemimpin
kelompok untuk segera memasang gelar gedong minep!”
Penghubung itu mengangguk.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, sejenak kemudian penghubung itu
pun telah hilang diantara riuhnya pertempuran yang mulai berkobar di depan
pintu gerbang.
Perlahan-lahan para pengawal
Menoreh itu pun kemudian mulai menarik diri dari tempat mereka semula. Mereka
yang semula bertahan di atas panggungan telah berloncatan turun dan mulai
menyusun pertahanan dengan gelar gedong minep. Mereka akan membiarkan pasukan
lawan untuk masuk ke padukuhan induk. Namun justru pada saat lawan lengah dan
merasa telah berhasil memasuki padukuhan induk, mereka akan di cerai beraikan
terlebih dahulu untuk mengurangi tekanan lawan sebelum kemudian dihancurkan.
Dalam pada itu, pasukan
Panembahan Cahya Warastra yang berada di sisi kanan pintu gerbang padukuhan
ternyata telah bergabung dengan pasukan yang ada di depan pintu gerbang dan berusaha
untuk ikut masuk ke dalam padukuhan. Sedangkan para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh dengan sigap telah membentuk gelar gedong minep. Para pengawal telah
menyebar dan mengurung pasukan Panembahan Cahya Warastra yang mulai memasuki
padukuhan induk.
Ketika kemudian pasukan
Panembahan Cahya Warastra telah memasuki padukuhan induk semakin jauh ke dalam,
pertempuran pun sudah tidak dapat dielakkan lagi. Suara gemuruh teriakan,
sumpah serapah, bahkan jerit kesakitan terdengar di seluruh medan pertempuran.
Kilatan pedang di bawah terik sinar Matahari dan dentangan senjata-senjata yang
beradu benar-benar mendebarkan jantung. Korban di kedua belah pihak pun sudah
mulai berjatuhan.
Ki Jayaraga benar-benar
harus mengendalikan pasukannya agar dalam benturan pertama tidak terlalu banyak
korban yang jatuh di pihak Menoreh. Jumlah lawan memang tidak terpaut terlampau
banyak dengan para pengawal Menoreh yang bertahan di padukuhan induk, namun
rasa rasanya Ki Jayaraga merasakan sebuah isyarat yang aneh ketika melihat pasukan
lawan yang berduyun-duyun menyerbu ke padukuhan induk.
“Sebenarnya jumlah mereka
tidak terpaut banyak dengan pasukan Menoreh,” berkata Ki Jayaraga dalam hati,
“Tidak mungkin pasukan Panembahan Cahya Warastra yang di kumpulkan dari
perguruan-perguruan itu hanya sebanyak ini. Mungkin mereka masih menyimpan
tenaga yang masih segar sebagai pasukan cadangan.”
Berpikir sampai disitu, Ki
Jayaraga segera melambaikan tangannya ke arah seorang pengawal penghubung yang
lain yang berada di barisan belakang.
Dengan berlari-lari kecil
pengawal penghubung itu segera menghadap Ki Jayaraga.
“Kembalilah ke kediaman Ki
Gede. Sampaikan bahwa pasukan cadangan agar segera digerakkan menuju ke medan
pertempuran,” perintah Ki Jayaraga kepada pengawal penghubung itu.
Sejenak pengawal penghubung
itu ragu-ragu. Akhirnya dengan memberanikan diri dia bertanya, “Apakah menurut
perhitungan Ki Jayaraga pasukan pengawal Menoreh sudah memerlukan bantuan?”
Ki Jayaraga mengerutkan
keningnya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak mengatakan pasukan kita dalam tekanan
yang berat. Aku hanya mengatakan bahwa sudah waktunya pasukan cadangan yang ada
di kediaman Ki Gede untuk digeser ke medan pertempuran. Soal mereka nanti akan
ikut terjun dalam pertempuran atau tidak, akan kita lihat perkembangannya nanti.”
Pengawal penghubung itu
menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian tanpa
bertanya lagi dia segera berlari ke salah satu rumah yang ada di belakang garis
pertempuran untuk mengambil kuda.
Ki Jayaraga masih melihat
pengawal penghubung itu berlari menuju ke salah satu rumah yang ada di belakang
garis pertempuran. Namun sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah melibatkan diri
dalam hiruk pikuknya pertempuran.
Sambil menghindari serangan
yang datang dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berada di kanan
kirinya, Ki Jayaraga semakin masuk dalam kancah pertempuran. Agaknya Ki
Jayaraga sedang mencari seseorang yang akan sangat berbahaya bagi para pengawal
Menoreh jika sepak terjangnya tidak dihentikan, Ki Gede Ental Sewu.
Dalam pada itu, pengawal
penghubung yang ditugaskan untuk menghubungi pasukan cadangan yang ada di
kediaman Ki Gede telah memacu kudanya bagaikan terbang. Sebagaimana yang telah
dipesankan oleh Ki Jayaraga, pengawal penghubung itu harus segera menghadap Ki
Gede untuk meminta bantuan pasukan cadangan.
Kuda yang ditungganginya
benar-benar berpacu seperti dikejar setan. Melewati jalan berbatu batu di
jalan-jalan padukuhan induk yang telah sepi karena ditinggal penghuninya
mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang lebih aman.
Ketika kemudian regol
kediaman Ki Gede Menoreh sudah terlihat, pengawal penghubung itu pun segera
memperlambat laju kudanya. Dengan sebuah isyarat yang telah disepakati berupa
lambaian tangan tiga kali berturut turut, pengawal penghubung itu berusaha
untuk menarik perhatian para penjaga regol kediaman Ki Gede Menoreh.
Ternyata para pengawal yang
sedang bertugas menjaga regol itu telah melihat kedatangannya sehingga mereka
segera menyibak untuk memberi jalan. Dengan tanpa turun dari kudanya, pengawal
penghubung itu segera menghela kudanya memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Ki Gede Menoreh dan Kiai
Sabda Dadi yang sedang duduk-duduk di pendapa itu terkejut ketika melihat
seekor kuda yang melaju cukup kencang melewati regol untuk kemudian melintasi
halaman menuju ke pendapa.
Dengan segera kedua orang
tua yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu berdiri. Ketika
penunggang kuda itu telah menghentikan kudanya tepat di bawah tangga pendapa
dan meloncat turun, barulah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Penunggang kuda
itu sudah sangat dikenal oleh Ki Gede.
Dengan tergesa-gesa pengawal
penghubung itu segera menaiki tlundak pendapa menuju ke tempat Ki Gede dan Kiai
Sabda Dadi berdiri menunggu.
“Maaf Ki Gede,” berkata
pengawal penghubung itu sesampainya di depan Ki Gede sambil mengangguk hormat,
“Pertempuran di padukuhan induk telah pecah. Pesan Ki Jayaraga, mohon Ki Gede
berkenan melepas pasukan cadangan untuk membantu pasukan yang sedang bertempur
di padukuhan induk.”
Ki Gede mengerutkan
keningnya. Kalau Ki Jayaraga sampai meminta bantuan pasukan cadangan, berarti
keadaan sudah berkembang sedemikian gawatnya. Maka katanya kemudian kepada
pengawal penghubung itu, “Apakah para pengawal yang bertahan di padukuhan induk
mengalami tekanan yang terlalu berat?”
Pengawal penghubung itu
menggeleng, “Tidak Ki Gede. Ki Jayaraga hanya berpesan untuk memohon pasukan
cadangan digerakkan menuju ke medan.”
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi
saling berpandangan sejenak. Kalau pasukan Menoreh tidak mengalami tekanan yang
berarti, untuk apa pasukan cadangan harus digerakkan ke medan pertempuran.
Namun akhirnya Ki Gede menyadari, tentu Ki Jayaraga sudah memperhitungkan untuk
apa pasukan cadangan digerakkan ke Medan, padahal pasukan cadangan itu juga
diperlukan jika ternyata lawan telah membuat perhitungan yang lain dan menyerbu
ke kediaman Ki Gede dari arah yang lain.
“Baiklah,” akhirnya Ki Gede
memutuskan, “Aku akan memimpin sendiri pasukan cadangan ini. Aku harap Kiai
Sabda Dadi berkenan untuk tinggal dan menjaga keamanan di rumah ini bersama
sebagian pengawal.”
Kiai Sabda Dadi menarik
nafas dalam-dalam sambil memandang Ki Gede sekilas. Jawabnya kemudian,
“Sebenarnya aku ingin ikut bergabung dengan pasukan cadangan, namun keamanan
rumah ini memang perlu dipertimbangkan.”
“Ya Kiai,” jawab Ki Gede,
“Tidak semua pasukan cadangan dikerahkan untuk turun ke medan, mungkin
sepertiganya tetap tinggal untuk membantu Kiai Sabda Dadi menjaga rumah ini.”
“Itu tidak perlu,” tiba-tiba
terdengar suara dari arah samping rumah induk, “Ki Sanak berdua dapat pergi ke
medan pertempuran, biarlah aku dan cucuku ini yang menjaga keamanan rumah ini.”
Mereka yang ada di pendapa
itu terkejut. Serentak mereka berpaling ke arah suara itu berasal. Sejenak
kemudian dari samping rumah induk Ki Gede muncul dua orang yang sangat aneh.
Seorang yang berperawakan tinggi besar dan hampir sekujur tubuhnya ditumbuhi
bulu-bulu panjang berwarna putih dan seorang perempuan muda yang sangat cantik.
“Resi Mayangkara!” hampir
bersamaan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi berseru.
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi
memang belum pernah bertemu dengan Resi Mayangkara. Mereka hanya mendengar
cerita itu dari mulut ke mulut. Namun pengalaman mereka berdua dalam mengenali
para tokoh sakti serta kenyataan bahwa kehadiran Resi Mayangkara di tempat itu
ternyata tidak mereka ketahui sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang itu
pasti seorang yang linuwih.
Mereka berdua itu memang
Resi Mayangkara dan Anjani. Sebenarnya Resi Mayangkara sangat jarang
menampakkan diri di muka umum apalagi di siang hari. Sudah menjadi kebiasaannya
untuk menutup diri dan hanya berhubungan dengan orang-orang tertentu saja.
Namun atas desakan Anjani, akhirnya dengan sangat terpaksa Resi Mayangkara
menuruti keinginan Anjani untuk memperkenalkan diri kepada Ki Gede dan
menyatakan ingin membantu menjaga keamanan rumah Ki Gede selama ditinggal
menuju ke padukuhan induk.
Semua itu sebenarnya
hanyalah alasan yang dicari cari saja oleh Anjani. Keinginan yang sebenarnya
dari Anjani adalah untuk mengenal lebih dekat dengan Sekar Mirah, istri Ki
Rangga Agung Sedayu.
“Eyang,” demikian Anjani
merengek kepada Resi Mayangkara ketika diajak untuk segera meninggalkan tempat
itu, “Aku ingin mengenal lebih dekat dengan Nyi Sekar Mirah, selagi dia belum
mengetahui siapa aku sebenarnya dalam hubunganku dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
Aku ingin mengetahui lebih jauh atas tanggapannya seandainya seorang istri itu
diduakan cintanya oleh suaminya. Aku ingin tahu tanggapan yang sebenarnya dari
lubuk hatinya yang paling dalam.”
“Apakah itu memang perlu,
Anjani?” dengan sareh orang tua itu mencoba meluluhkan hati Anjani.
“Ya, Eyang,” jawab Anjani
cepat, “Aku ingin mengenal lebih dekat dengan keluarga Ki Rangga dengan segala
macam persoalan rumah tangganya, sehingga aku akan dapat memutuskan dengan
benar tentang masa depanku sesuai dengan pengamatanku terhadap keluarga Ki
Rangga.”
Sejenak Resi Mayangkara
merenung. Sepanjang hidupnya Resi Mayangkara memang tidak pernah bersinggungan
dengan urusan perempuan. Maka katanya kemudian, “Anjani, aku tidak begitu
mengetahui seluk beluk sebuah rumah tangga, namun menurut penalaranku, tidak
ada seorang perempuan pun di dunia ini yang mau diduakan cintanya. Seharusnya
sebagai sesama perempuan Kau sudah menyadari semua itu sejak awal.”
“Tapi bukankah Ki Rangga
sendiri yang berjanji membawaku ke Menoreh setelah dia memenangkan perang
tanding itu dan aku sebagai taruhannya?”
Kembali Resi Mayangkara
termenung. Sebenarnyalah Resi Mayangkara yang mempunyai pandangan waskita itu
dapat menebak bahwa Ki Rangga tidak bersungguh sungguh dalam menentukan taruhan
pada saat perang tanding dengan guru Anjani. Ki Rangga hanya ingin
mengolok-olok kedua Guru Anjani agar mereka menjadi marah dan kehilangan
penalaran dalam perang tanding itu sehingga pengetrapan ilmunya akan tumpang
suh dan kurang perhitungan. Namun ternyata yang terjadi adalah diluar dugaan Ki
Rangga Agung Sedayu, justru Anjani bersedia menjadi taruhan dan sangat berharap
Ki Rangga memenangkan perang tanding dan membawanya ke Menoreh.
“Bagaimana Eyang?” Anjani
yang melihat Resi Mayangkara hanya diam membisu mulai merengek rengek sambil
mengguncang guncang lengan Resi yang aneh itu, “Ayo kita ke pendapa dan
memperkenalkan diri kepada Ki Gede Menoreh.”
Sejenak Resi Mayangkara
masih ragu-ragu. Namun ketika Resi Mayangkara itu kemudian berpaling, alangkah
terkejutnya dia ketika melihat mata yang berbinar bagaikan bintang timur itu
ternyata telah mulai berkaca kaca.
“Baiklah,” akhirnya Resi
yang sudah sangat tua namun masih terlihat tegap itu mengalah, “Namun jangan
berbuat yang aneh-aneh sehingga akan mengecewakan Ki Gede, terutama keluarga Ki
Rangga Agung Sedayu.”
“Terima kasih, Eyang,”
bagaikan anak kecil yang mendapatkan mainan baru, Anjani pun meloncat loncat
gembira sambil menarik tangan Resi Mayangkara menuju ke pendapa rumah Ki Gede
Menoreh, sedangkan Resi Mayangkara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
mengikuti langkah Anjani.
Demikianlah akhirnya dengan
tergopoh-gopoh Ki Gede segera menyambut mereka berdua, “Selamat datang dan
terima kasih atas berkenannya Resi Mayangkara berkunjung ke rumah ini,”
Resi Mayangkara sejenak
menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Anjani sekilas. Katanya
kemudian, “Terima kasih Ki Gede. Sebenarnya kami tidak ingin merepotkan Ki
Gede, namun melihat keadaan yang kurang menguntungkan bagi keamanan Menoreh,
kami bersedia membantu.”
Ki Gede tersenyum sambil
mempersilahkan mereka naik ke pendapa, “Bukankah kami keluarga Menoreh sudah
menerima bantuan yang tiada terkira dari cucu Resi Mayangkara ini?” Ki Gede
berhenti sejenak sambil mengangguk ke arah Anjani, “Aku mewakili seluruh
keluarga Menoreh mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan Ni
Sanak menghadapi sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab yang menyerbu ke
rumah ini pagi tadi.”
“Ah,” sejenak wajah yang
cantik dan pipi yang kemerahan itu semakin memerah. Namun akhirnya Anjani pun
menjawab, “Aku hanya disuruh Eyang untuk membantu, Ki Gede. Selebihnya aku
sangat bersyukur bahwa aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung
sehingga dapat menyelesaikan pertempuran itu.”
“Namun lain kali Kau harus
berlatih lebih keras lagi, Anjani,” sahut Resi Mayangkara setengah menegur,
“Jangan hanya mengandalkan bau wangi dan kemolekan tubuhmu.”
Kembali wajah yang cantik
itu menjadi kemerah-merahan, namun Anjani tidak menjawab teguran Resi
Mayangkara dan hanya menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Resi Mayangkara menjadi
kasihan melihat Anjani tertunduk diam, karena itu katanya kemudian, “Sudahlah
Anjani, Kau dapat berlatih lagi dengan sungguh-sungguh. Kalau Kau mau tinggal
di gunung Kendalisada, aku berjanji akan membimbing-mu untuk meningkatkan ilmu
yang telah Kau capai selama ini.”
Namun agaknya Anjani sama
sekali tidak tertarik untuk tinggal di Gunung Kendalisada, dia lebih senang tinggal
di Menoreh. Maka dengan menggeleng lemah dia menjawab, “Terima kasih Eyang atas
bantuannya selama ini. Namun untuk tinggal di Gunung Kendalisada, aku masih
belum mempunyai gambaran sama sekali.”
Resi Mayangkara hanya dapat
mengerutkan keningnya mendengar jawaban Anjani. Mungkin bagi orang lain tidak
akan melewatkan kesempatan untuk menimba ilmu di bawah bimbingan Resi yang aneh
itu. Namun bagi Anjani, keluarga Ki Rangga Agung Sedayu ternyata lebih menarik
hatinya.
“Sudahlah,” berkata Resi
Mayangkara kemudian, “Kau sudah menentukan masa depanmu sendiri,” Resi itu
berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling dan menganggukkan kepalanya ke arah
Kiai Sabda Dadi dia melanjutkan kata katanya, “Agaknya aku belum begitu
mengenal dengan Ki Sanak yang satu ini. Sekiranya tidak keberatan, aku ingin
mengenal lebih dekat.”
Kiai Sabda Dadi yang sedari
tadi diam membeku karena terpesona dengan kehadiran Resi Mayangkara yang hanya
didengarnya melalui dongeng dari mulut ke mulut, seolah olah baru tersadar.
Dengan tergopoh-gopoh dia segera menyambut uluran tangan Resi Mayangkara sambil
berkata, “Ma’afkan aku, Resi. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu
dengan Resi Mayangkara yang hanya aku dengar namanya melalui dongeng-dongeng,”
Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aku diberi nama Sabda
Dadi dan berasal dari Padepokan Glagah Tinutu di lereng Pegunungan Kendeng.”
Resi Mayangkara tersenyum
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Nah, sekarang kalian
berdua dapat berangkat ke medan pertempuran. Serahkan keamanan rumah ini kepada
kami berdua. Namun bagaimanapun juga harus ada beberapa pengawal yang tinggal
karena tidak menutup kemungkinan lawan akan menyerbu rumah ini dengan membawa
pasukan segelar sepapan dan itu tidak mungkin dapat kami hadapi hanya berdua
saja.”
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi
tersenyum mendengar ucapan Resi Mayangkara. Kata Ki Gede kemudian sambil
menggeleng, “Tentu tidak. Kita tidak akan membawa seluruh pasukan cadangan ke
medan. Kita tinggalkan sepertiga kekuatan untuk menjaga rumah ini.”
Resi Mayangkara mengangguk
anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke arah Anjani dia berkata,
“Anjani, sebaiknya Kau masuk ke dalam. Biarlah aku yang berada di luar untuk
mengamati keadaan sementara Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi berangkat ke medan
pertempuran.”
Ki Gede tersenyum ke arah
Anjani yang masih belum beranjak dari tempatnya. Dari raut wajahnya tampak ada
sedikit keragu raguan. Akhirnya Ki Gede pun berkata, “Silahkan, Anjani. Di
dalam ada Nyi Sekar Mirah istri Ki Rangga Agung Sedayu dan Damarpati cucu Kiai
Sabda Dadi. Kau pasti sudah melihat mereka pada saat orang-orang yang tidak
bertanggung jawab itu menyerbu ke rumah ini, namun aku yakin Kau pasti belum
mengenal mereka.”
Sejenak Anjani masih
ragu-ragu, namun dengan menguatkan hati akhirnya Anjani pun menjawab, “Terima
kasih Ki Gede. Nanti saja setelah Ki Gede berangkat aku akan menemui Nyi Sekar
Mirah dan Damarpati.”
Ki Gede hanya menganggukkan
kepalanya. Kemudian katanya kepada Resi Mayangkara, “Silahkan Resi kalau ingin
beristirahat sejenak. Biarlah para pengawal yang sedang bertugas saja yang
mengamati keadaan, sementara Resi Mayangkara dapat beristirahat di gandhok
kanan.”
Resi Mayangkara menggeleng,
“Aku sudah terbiasa berada di mana-mana. Aku dapat beristirahat di mana pun,
dan aku dapat berada di mana pun sesuai dengan keinginanku. Aku akan mengamati
keadaan dari tempat mana saja yang aku mau.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan
Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepala. Mereka berdua yakin dengan
kemampuan Resi Mayangkara yang tinggi, tidak akan ada seorang pun yang mencoba
menyusup ke rumah Ki Gede tanpa sepengetahuan Resi Mayangkara.
“Baiklah kalau demikian kami
akan berangkat sekarang juga,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian katanya
sambil berpaling ke arah pengawal penghubung yang berdiri agak jauh, “Kita
berangkat sekarang. Hubungi pemimpin pengawal yang membawahi pasukan cadangan
untuk mengumpulkan pasukannya di halaman ini sekarang juga.”
Namun pengawal penghubung
itu sepertinya tidak mendengar perintah Ki Gede dan hanya diam termangu mangu.
Pandangan mata pengawal penghubung itu bagaikan lekat di wajah Anjani. Betapa
pengawal penghubung itu bagaikan terkena sihir begitu memandang wajah Anjani
yang kecantikannya bagaikan seorang dewi yang hanya ada dalam dongeng-dongeng
dan cerita-cerita babat. Tak henti hentinya pengawal itu menelusuri seluruh
lekuk tubuh Anjani yang nyaris sempurna. Rambutnya yang disanggul rendah itu
sebagian rambutnya ada yang jatuh tergerai menyentuh pundak. Keningnya yang
halus dan putih bagaikan batu pualam itu begitu mempesona dihiasi oleh
anak-anak rambut yang jatuh beriak riak ditiup angin lembut di pagi hari.
Matanya yang berbinar bagaikan bintang timur sangat serasi berpadu dengan
alisnya yang melengkung indah, sedangkan hidungnya yang kecil dan mancung serta
bibir tipis mungil merah merekah benar-benar membuat setiap laki-laki tak akan
jemu-jemu memandang dan tak ingin kehilangan waktu sekejab pun dalam menikmati
keindahan yang tiada taranya.
Ketika kemudian pandangan
mata pengawal itu turun ke arah leher Anjani yang putih mulus dan jenjang,
tanpa terasa beberapa kali pengawal itu harus menelan ludah untuk membasahi
kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering. Apalagi ketika
pandangan matanya mulai menelusuri ke bagian dada yang tidak begitu besar namun
terlihat sangat padat berisi dan pinggang yang ramping berpadu dengan pinggul
yang bulat penuh, debar jantung pengawal itu pun menjadi berdentangan dan
nafasnya terengah engah bagaikan nafas seekor kuda jantan yang habis dipacu
seharian di tengah padang.
Ternyata Kiai Sabda Dadi
yang berdiri agak dekat dengan pengawal penghubung itu tanggap dengan apa yang
sedang terjadi. Jarak keduanya memang hanya beberapa langkah saja, namun jika
Kiai Sabda Dadi harus melangkah mendekat dan menggamit pengawal itu untuk
menyadarkannya, tentu pengawal itu akan menjadi sangat malu. Berpikir sampai
disitu, Kiai Sabda Dadi segera mengerahkan ilmunya melalui tiupan dari mulutnya
mengarah ke wajah pengawal yang sedang terkesima itu.
Sejenak kemudian angin yang
tidak terlampau keras namun mengandung sedikit hawa panas telah menerpa wajah
pengawal itu. Bagaikan sebuah obor dari minyak jarak yang didekatkan ke
wajahnya, pengawal itu merasakan betapa serangkum hawa panas telah menerpa
wajahnya sehingga tanpa sadar dia telah mundur selangkah.
Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Kiai Sabda Dadi. Maka katanya kemudian kepada pengawal yang
masih terkejut itu, “Ki Gede minta Kau segera menghubungi pemimpin pengawal
cadangan untuk segera mengumpulkan anak buahnya di halaman ini sekarang juga.”
Pengawal yang baru terbangun
dari angan-angan indahnya itu sejenak bersemu merah wajahnya, namun dengan segera
dia bisa menguasai dirinya. Sambil mengangguk kearah Ki Gede pengawal itu pun
menjawab, “Aku mohon diri untuk menghubungi pemimpin pengawal cadangan.”
Ki Gede hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam sambil berkata, “Pergilah dan jangan terlalu membuang buang
waktu. Sebelum Matahari naik sepenggalah, kita sudah harus berada di medan
pertempuran.”
Pengawal itu mengangguk
tanpa menjawab lagi. Kemudian dengan tergesa-gesa dia segera menyeberangi
pendapa menuju ke halaman samping.
Sepeninggal pengawal penghubung
itu ternyata Anjani merasa ewuh pekewuh dengan para sesepuh yang hadir di situ
sehubungan dengan sikap pengawal yang kurang pada tempatnya terhadap dirinya.
Maka katanya kemudian kepada Ki Gede, “Ki Gede, biarlah aku menemani Nyi Sekar
Mirah di dalam. Mungkin Nyi Sekar Mirah memerlukan kawan untuk sekedar
menenang-kan gejolak perasaannya sehubungan dengan peristiwa tadi pagi.”
Ki Gede tersenyum sambil
mengangguk, “Silahkan Anjani. Aku yakin kehadiranmu akan sangat berarti bagi
ketenangan Nyi Sekar Mirah.”
Terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Anjani mendengar kata-kata Ki Gede. Walaupun sebenarnya Ki Gede
tidak mengetahui persoalan yang sesungguhnya antara Anjani dengan Ki Rangga
Agung Sedayu, namun kata-kata itu bagaikan menghadapkan Anjani pada sebuah belanga
dengan air yang jernih dan tenang di dalamnya sehingga Anjani seolah olah telah
bercermin dan dapat melihat dengan jelas segala noda yang ada di wajahnya.
“Tidak ada niat sebiji sawi
pun dalam hatiku untuk mengganggu ketenangan Nyi Sekar Mirah,” berkata Anjani
dalam hati, “Yang aku inginkan hanyalah ketegasan Ki Rangga Agung Sedayu
tentang masa depanku. Walaupun aku telah diperlakukan sebagai barang taruhan,
namun sebagai seorang perempuan aku tetap mempunyai harga diri.”
“Anjani,” tiba-tiba Resi Mayangkara
berdesis perlahan tapi cukup membuat lamunan Anjani berantakan, “Kawanilah Nyi
Sekar Mirah dan jangan memberikan gambaran yang salah tentang perkembangan
keadaan Menoreh sekarang ini. Selain itu yang lebih penting adalah Kau harus
benar-benar menjadi kawan yang baik dan tidak menambah beban di hatinya.”
Kembali dada Anjani berdesir
tajam mendengar ucapan Resi Mayangkara. Anjani sadar bahwa Resi Mayangkara
ingin mengingatkan kedudukannya di depan Nyi Sekar Mirah dalam hubungannya
dengan suami dari pewaris tongkat baja putih dari perguruan Kedungjati itu.
“Aku mengerti Eyang,” jawab
Anjani setelah berhasil menekan gejolak di dalam dadanya. Kemudian kepada Ki
Gede dan Kiai Sabda Dadi dia berkata, “Aku mohon diri. Semoga pasukan Menoreh
memperoleh kemenangan dan kehidupan di tanah Perdikan ini kembali seperti
sediakala.”
“Terima kasih Anjani,” Ki
Gede lah yang menyahut.
Sejenak kemudian Anjani pun
telah melangkah menyeberangi pendapa kediaman Ki Gede Menoreh yang cukup luas
itu menuju ke pintu pringgitan.
Ketika kemudian Anjani
dengan perlahan mendorong pintu yang menghubungkan pendapa dengan ruang
pringgitan itu, sejenak dia masih sempat berpaling ke halaman. Dilihatnya Ki
Gede dan Kiai Sabda Dadi sedang mengatur para pengawal yang sudah mulai
berkumpul. Sementara Resi Mayangkara sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
“Resi Mayangkara memang
seorang sakti yang aneh,” berkata Anjani dalam hati, “Orang tua itu lebih
senang bersembunyi dari pada menampakkan diri.”
Akhirnya dengan dada yang
berdebar-debar, Anjani pun melangkahkan kakinya memasuki ruang pringgitan yang
cukup luas. Sejenak dipandanginya perabotan yang cukup bagus terpajang di
ruangan itu. Ketika kemudian pandangan matanya tertumbuk pada pintu yang
menghubungkan ruang pringgitan dengan ruang dalam, Anjani pun kemudian
memutuskan untuk segera melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam.
Dengan langkah satu-satu,
Anjani mendekati pintu ruang dalam. Debar jantungnya rasa rasanya hampir
memecahkan rongga dadanya. Berbeda pada saat dini hari tadi ketika dia memasuki
ruang dalam itu dari pintu samping atas perintah Resi Mayangkara. Tidak ada
perasaan gugup untuk bertemu dengan Sekar Mirah karena begitu memasuki ruang
dalam dia telah disambut dengan serangan-serangan lawannya yang membadai.
Memang Anjani sekilas melihat seorang perempuan yang duduk bersimpuh di salah
satu sudut ruang dalam sambil mendekap bayinya, sementara di depannya seorang
pemuda tanggung yang sangat tampan melindunginya dari serangan lawannya sambil
menggenggam sebuah senjata yang mengerikan, tongkat baja putih yang ujungnya
berkepala tengkorak berwarna kekuning kuningan.
Kini Anjani harus melawan
perasaannya sendiri. Apakah dia akan mampu menahan gejolak di dalam dadanya
nanti jika bertemu dengan Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu? Ataukah
dia justru tidak akan dapat menahan diri dan larut dalam perasaannya yang
meledak ledak yang membutuhkan saluran untuk sekedar mengurangi beban di
hatinya?
Sambil menahan nafas, Anjani
mendorong pintu ruang dalam yang memang tidak pernah diselarak. Derit pintu
yang nyaring rasa rasanya bagaikan jeritan hatinya yang sedang gundah.
“Masuklah,” tiba-tiba
terdengar suara yang lembut menyapanya ketika Anjani masih merasa ragu untuk
meneruskan mendorong pintu ruang dalam yang sudah terbuka hampir sejengkal.
Sejenak Anjani ragu-ragu.
Suara itu terdengar begitu menyentuh, bagaikan suara seorang ibu yang
merindukan kepulangan anaknya yang telah lama mengembara ke ujung bumi.
Ketika kemudian daun pintu
itu didorongnya sehingga terbuka lebar-lebar, pertama kali yang tampak dalam
pandangan matanya adalah seorang perempuan paro baya yang masih terlihat
cantik. Sorot matanya yang tajam menunjukkan kekerasan hatinya walaupun masih
tetap tampak kelembutan dan kehangatannya sebagai seorang ibu.
Disamping perempuan paro
baya yang duduk bersimpuh sambil menggendong bayinya yang sedang tidur lelap
itu, tampak pemuda tanggung yang juga dilihatnya pagi tadi. Namun kini Anjani
menjadi ragu-ragu, yang disangkanya pemuda tanggung itu kini telah melepas ikat
kepalanya dan tampaklah rambutnya yang panjang terurai sampai ke punggung.
Kedua perempuan yang berada
di ruang dalam itu memang Sekar Mirah dan Damarpati. Begitu Anjani melangkah
memasuki ruang dalam, dengan segera kedua perempuan itu bangkit dari tempat
duduknya untuk menyambut Anjani.
“Selamat datang kembali ke
rumah Ki Gede, Ni Sanak,” berkata Sekar Mirah sambil mengulurkan tangannya yang
segera disambut oleh Anjani, “Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
atas pertolongan Ni Sanak. Entah apa yang akan terjadi pada diri kami berdua
jika Ni Sanak tidak muncul menolong kami,”
Kemudian sambil menepuk bahu
Damarpati Sekar Mirah melanjutkan kata katanya, “Anak muda yang cantik ini
adalah cucu Kiai Sabda Dadi dan aku sendiri Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung
Sedayu.”
Anjani berusaha tersenyum
walaupun terasa betapa hambarnya. Jawabnya kemudian, “Terima kasih. Namaku
Anjani, orang yang kleyang kabur kanginan. Sementara ini aku ikut Resi
Mayangkara di Gunung Kendalisada,” Anjani berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Kalian terlalu memuji aku. Aku hanya menjalankan perintah Eyang Resi untuk
memasuki rumah ini dari pintu samping begitu kami melihat ada dua orang yang
memasuki rumah ini dalam waktu yang hampir bersamaan.”
Sejenak Sekar Mirah dan
Damarpati saling berpandangan sambil mengerutkan keningnya. Tanpa sadar
keduanya berdesis hampir bersamaan, “Resi Mayangkara dari Gunung Kendali-sada?”
Anjani menyadari
keterlanjurannya menyebut Resi yang aneh itu. Namun kemudian jawabnya sambil
tersenyum untuk mengurangi debar di jantungnya, “Benar Nyi Sekar Mirah,
sementara ini aku tinggal di Gunung Kendalisada. Resi Mayangkara adalah seorang
sakti yang aneh, namun jangan dibayangkan bahwa aku telah berguru kepadanya.
Aku hanyalah seorang kleyang kabur kanginan yang menumpang berteduh di
pertapaannya.”
Sekar Mirah hanya tersenyum
simpul mendengar jawaban Anjani. Kemudian sambil tangan kirinya tetap
menggendong bayinya, tangan kanannya meraih tangan Anjani untuk dibimbing
menuju ke tengah-tengah ruangan yang telah digelari tikar pandan yang putih
bersih.
Dalam pada itu, pertempuran
di pintu gerbang padukuhan induk semakin lama menjadi semakin sengit. Gelar
gedong minep yang ditrapkan oleh Ki Jayaraga memang sedikit membantu mengurangi
gempuran pasukan lawan. Dengan berkelompok yang saling merapat antara kelompok
yang satu dengan yang lainnya, para pengawal mencoba menahan gempuran pasukan
lawan yang menerjang bagaikan ombak samudra yang menghempas ke pantai.
Ki Gede Ental Sewu yang
masih menyisakan dendam lama dengan Ki Jayaraga mencoba mencari musuh
bebuyutannya itu di medan yang riuh. Sesekali pemimpin perguruan Ental Sewu itu
harus menangkis atau menghindar dari serangan kelompok-kelompok pengawal yang
dijumpainya sepanjang medan. Sudut matanya yang sangat tajam itu tiba-tiba saja
menangkap sesosok bayangan yang mendekatinya dari arah kiri.
Sejenak Ki Gede Ental Sewu
menghentikan langkahnya. Dengan tajam dipandanginya seseorang yang sudah tua
bangka berjalan tertatih tatih menuju ke arahnya.
“Gila,” geram Ki Gede Ental
Sewu, “Di medan yang sengit ini ada juga seorang tua bangka yang tersesat. Apa
sebenarnya yang dicarinya?”
“He, Kakek tua!” teriak Ki
Gede Ental Sewu diantara riuhnya pertempuran, “Kau mau kemana? Kakek bisa
terluka kalau nekat menerobos medan pertempuran yang sengit ini, apa yang Kakek
cari?”
Kakek itu sepertinya tidak
mendengar teriakan Ki Gede Ental Sewu. Namun ketika langkahnya hampir saja
melanggar tubuh Ki Gede Ental Sewu yang berdiri kokoh menghalangi jalannya,
baru Kakek itu terkejut bukan alang kepalang.
“He!” seru Kakek itu sambil
melangkah mundur, “Apa maksudmu Ki Sanak? Kau menghalangi jalanku!”
Ki Gede Ental Sewu hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam sambil berkata dalam hati, “Ternyata kakek ini
tidak hanya pikun, tetapi juga tuli.”
Menyadari kata katanya tidak
mungkin didengar oleh kakek tua yang disangkanya tuli itu, tiba-tiba Ki Gede
maju selangkah sambil meraih lengan kakek itu untuk ditariknya keluar medan
pertempuran.
Namun alangkah terkejutnya
Ki Gede begitu tangannya ternyata hanya meraih angin. Dengan gerakan yang
seolah olah tidak disengaja, kakek itu telah menghindari tangkapan tangan Ki
Gede.
“Gila!” kembali Ki Gede
menggeram, “Setan tua ini mau bermain main dengan pemimpin perguruan Ental
Sewu.”
Sekali ini Ki Gede tidak mau
gagal. Dengan sedikit mengerahkan tenaga, tangan kanannya bergerak cepat
mencengkeram pundak kakek tua itu.
Namun sekali lagi Ki Gede
harus mengumpat ketika cengkeramannya hanya mengenai tempat kosong. Ternyata
hanya dengan membungkuk untuk membersihkan ujung kain panjangnya yang berdebu,
kakek itu telah mampu menghindari cengkeraman Ki Gede.
“Kakek tua!” bentak Ki Gede
menggelegar sehingga membuat Kakek tua itu terkejut dan mundur beberapa langkah
dengan tubuh gemetar, “Jangan pernah mempermainkan Ki Gede Ental Sewu kalau Kau
tidak bernyawa rangkap tujuh. Ikut aku sekarang juga keluar medan pertempuran,
kalau tidak jangan salahkan aku kalau nyawamu yang sudah keriput itu ikut
tercabut di medan perang yang ganas ini.”
Sejenak Kakek tua itu
termangu mangu. Sambil mengernyitkan alisnya yang sudah putih semua itu dia
menjawab terbata bata, “Aku mencari cucuku Ki Sanak. Apa Ki Sanak dapat
membantuku untuk mencari cucuku itu? Katakan padanya, siang ini dia harus ke
sawah untuk mengairi sawah kami. Siang ini adalah giliran sawah kami yang
mendapatkan air.”
“Diam!” bentak Ki Gede
dengan muka merah padam, “Persetan dengan segala macam alasanmu. Kalau Kau
tidak bisa diam, aku sobek mulutmu nanti.”
“Jangan-jangan, Ki Sanak,”
dengan cepat kakek tua itu menyahut sambil menutup mulutnya dengan kedua
tangannya.
“Nah,” berkata Ki Gede
kemudian, “Sekarang pergilah!”
Sejenak kakek tua itu
tertegun. Dipandanginya Ki Gede Ental Sewu yang berdiri kokoh di depannya
seolah olah ingin mengetahui kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh yang tinggi
besar itu. Diluar dugaan Ki Gede, tiba-tiba kakek tua itu berkata dengan tegas
sambil membusungkan dadanya yang kembang kempis, “Aku akan menghancurkan
siapapun yang menghalangi jalanku mencari cucuku. Rawe-rawe rantas
malang-malang putung.”
Ki Gede benar-benar
terkesiap mendengar kata-kata kakek tua itu. Sejenak Ki Gede justru terdiam. Ki
Gede sama sekali tidak menyangka bahwa seorang kakek tua yang sudah bau tanah
masih berani menyombongkan diri di hadapan seorang pemimpin perguruan Ental
Sewu.
“Kakek tua,” berkata Ki Gede
Ental Sewu kemudian dengan nada yang dalam, “Tidak ada seorang pun yang berani
menantang Ki Gede Ental Sewu di seluruh penjuru tanah ini kecuali ada dua
kemungkinan, pertama dia memang sudah menyiapkan dirinya lahir maupun batin untuk
beradu ilmu denganku. Yang kedua, dia belum tahu siapa sebenarnya Ki Gede Ental
Sewu itu sehingga perbuatannya itu tidak lebih dari sebuah usaha untuk membunuh
dirinya melalui lantaran tanganku.”
Kakek tua itu tersenyum
jenaka, bahkan kemudian dia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya
yang agak buncit itu. Katanya kemudian di sela-sela tertawanya, “Ki Gede Ental
Sewu, sedari tadi Kau selalu menyebut namamu itu dengan penuh kebanggaan,
sementara Kau sendiri belum tahu namaku. Apakah aku perlu menyebut nama dan
gelarku sehingga orang yang bernama Ki Gede Ental Sewu itu akan terkejut dan
lari terbirit-birit untuk bersembunyi di bawah pinjung biyungnya?”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki
Gede menggelegar dengan wajah yang merah padam, “Apakah Kau benar-benar belum
mengenal nama perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara? Kalau Ki Sanak
benar-benar termasuk golongan angkatan tua yang mempunyai ilmu pinunjul ing
apapak, Ki Sanak pasti sudah mengenal perguruan kami.”
Sejenak kakek tua itu
mengernyitkan kedua alisnya yang sudah berwarna seperti kapas itu. Kedua
matanya yang hitam kelam itu memandang wajah Ki Gede dengan penuh tanda tanya.
Katanya kemudian, “Aku mengenal perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara
sudah puluhan tahun yang lalu. Namun orang yang berdiri di hadapanku sekarang
ini bukan pemimpin perguruan Ental Sewu yang kukenal sebelumnya. Orangnya
berperawakan kecil dan suka bercanda, bukan seperti Ki Sanak yang mengaku ngaku
pemimpin perguruan Ental Sewu tetapi gampang sekali naik darah, membentak
bentak orang yang pantas menjadi ayahmu atau bahkan kakekmu.”
Tersirap darah Ki Gede Ental
Sewu mendengar ucapan kakek tua itu. Sejenak dicobanya untuk mengingat ingat
apakah kakek tua itu pernah berkunjung ke Padepokan Ental sewu semasa masih di
bawah pimpinan Ayahnya yang juga bergelar Ki Gede Ental Sewu. Namun rasa
rasanya dia tidak mengenalnya ataukah waktu yang telah mengubah ujud kakek tua
itu sehingga dia tidak dapat mengenalinya lagi.
Menyadari hal itu dan
kemungkinan orang tua itu adalah salah satu dari sahabat ayahnya yang telah
meninggal delapan tahun yang lalu, Ki Gede Ental Sewu segera menurunkan nada
suaranya, “Kakek tua, waktu mungkin telah banyak mengubah diri kita sehingga
aku tidak mengenali lagi siapakah Kakek ini? Aku adalah Respati Mintuna, putra
tertua Ki Gede Ental Sewu sepuh yang telah meninggal dunia delapan tahun yang
lalu. Aku kemudian mewarisi padepokan Ental sewu dengan segala isinya, sehingga
aku pun kemudian mengunakan gelar yang sama dengan Ayah, Ki Gede Ental Sewu.”
Kakek tua itu mengangguk
anggukkan kepalanya. Dalam sorot matanya sama sekali tidak ada rasa kebencian
apalagi permusuhan. Maka katanya kemudian, “Bukankah Ki Gede Ental Sewu yang
kukenal itu mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan?”
Sejenak wajah Ki Gede
menjadi merah padam menahan gejolak yang tiba-tiba saja melanda dadanya. Namun
sekejab kemudian Ki Gede segera dapat menguasai dirinya. Maka jawabnya
kemudian, “Kau benar Kakek tua, aku mempunyai adik perempuan yang bernama Niken
Larasati, satu satunya saudara yang aku punya dan sangat aku sayangi.”
Sampai di sini kata-kata Ki
Gede terhenti. Tampak wajahnya menjadi layu dan sedih. Ada semacam kenangan
lama yang sangat menyakitkan hatinya.
Kakek tua yang masih berdiri
termangu mangu di depannya itu segera menyahut, “Jadi di manakah adik
perempuanmu sekarang ini?”
Ki Gede Ental Sewu menarik
nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Kakek tua itu. Sambil menatap
dalam-dalam wajah orang tua yang berdiri di hadapannya dia ganti bertanya,
“Sebelumnya aku yang lebih muda ini mohon ma’af jika memang kakek adalah salah
satu sahabat Ayahku semasa beliau masih hidup. Jika memang diperkenankan, aku
ingin mengetahui nama atau pun gelar dari Kakek.”
Kakek tua itu tersenyum
sambil mengangguk angguk. Jawabnya kemudian, “Namaku tidak begitu penting dan
memang sudah dilupakan banyak orang. Akan tetapi aku yakin, satu atau dua orang
masih tetap mengingat gelarku, orang-orang memberiku gelar, Singawana. Ya,
Singawana dan aku menambahkan kata sepuh di belakang gelar Singawana, karena
muridku juga menyenangi gelar itu dan memakainya dengan penuh kebanggaan.”
“Ki Singawana Sepuh? Guru
Pangeran Ranapati?” seru Ki Gede Ental Sewu dengan jantung yang berdentangan.
Dia benar-benar tidak mengira akan berjumpa dengan orang yang sangat ditakuti
di seluruh tlatah Mataram bahkan sampai ke Madiun dan Panaraga.
“Ya, inilah aku,” jawab
Kakek tua itu yang ternyata adalah Ki Singawana Sepuh, guru Pangeran Ranapati,
“Sebenarnyalah aku tidak ingin terlibat dengan pertikaian Panembahan Cahya Warastra
dengan Mataram. Namun ketika kami memutuskan berpisah untuk meneruskan
perjalanan masing-masing, maksudku aku dan Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu,
aku menjumpai persiapan yang luar biasa di tepian kali Praga. Para pemimpin
perguruan bersama dengan para muridnya berbondong-bondong menyeberang ke tlatah
Menoreh, sehingga aku memutuskan untuk menunda perjalananku dan singgah di
Menoreh untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi.”
Ki Gede Ental Sewu termangu
mangu sejenak mendengar penjelasan Ki Singawana Sepuh. Sambil menarik nafas
dalam-dalam akhirnya terloncat juga sebuah pertanyaan dari bibirnya, “Jadi, Ki
Singawana pernah bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu?”
Ki Singawana Sepuh tersenyum
sekilas mendengar pertanyaan Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Aku tahu banyak pihak
yang berkepentingan dengan Ki Rangga Agung Sedayu, demikian juga aku. Namun
kami telah bersepakat untuk saling menghargai dengan tidak melibatkan diri
dalam pertikaian antara Mataram dan Panaraga.”
“Bukankah sebagai prajurit,
Ki Rangga berkewajiban melaksanakan perintah dari atasannya yang dalam hal ini
adalah Panembahan Hanyakrawati? Walaupun perintah itu datangnya dari Ki Patih
misalnya, namun sebenarnyalah Ki Patih dan seluruh jajaran di bawahnya adalah
merupakan saluran perintah dari penguasa tunggal Mataram, Panembahan
Hanyakrawati.”
“Kau benar Ki Gede, “ jawab
Ki Singawana Sepuh, “Namun dalam hal ini, Ki Rangga Agung Sedayu mengemban
tugas khusus, tugas yang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, justru
karena tugas khusus ini menitik beratkan kepada kemampuan khusus yang dimiliki
oleh Ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Gede Ental Sewu
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apakah kemampuan khusus
yang dimiliki oleh adik Untara itu? Dan tugas khusus apakah yang harus dia
laksanakan?”
Ki Singawana Sepuh menarik
nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Gede. Sejenak pandangan
matanya terlempar pada pertempuran di sekelilingnya yang semakin sengit. Tampak
sepasang muda mudi yang sedang bertempur dengan dahsyatnya melawan sekelompok
pengawal Menoreh yang terlatih.
Agaknya Ki Gede mengikuti
pandangan Ki Singawana Sepuh sehingga katanya kemudian, “Dua orang muda yang
sedang bertempur itu adalah muridku, Bantarkawung dan Sindangwangi. Keduanya
perlu menimba pengalaman dalam menghadapi pertempuran yang sesungguhnya. Untuk
itulah aku telah membawa mereka berdua kemari.”
Ki Singawana Sepuh
mengangguk anggukkan kepalanya mendengar penjelasan dari Ki Gede. Sambil masih
memandang ke arah kedua muda mudi yang tandangnya semakin trengginas menghadapi
sekelompok pengawal dari Menoreh itu, Ki Singawana Sepuh melanjutkan
keterangannya, “Ki Rangga Agung Sedayu memang diperintahkan melawat ke Panaraga
khusus untuk menghadapi seseorang yang dipandang berbahaya dan dapat
mempengaruhi keseimbangan kekuatan Mataram terhadap Panaraga. Ki Rangga melawat
ke Panaraga tidak untuk memimpin pasukan segelar sepapan, namun dia diutus
berdasarkan kemampuan khususnya, kemampuan olah kanuragannya secara pribadi,
bukan sebagai pemimpin sebuah pasukan.”
“Dan agaknya Ki Rangga Agung
Sedayu telah berhasil menuntaskan tugas khususnya itu walaupun dalam bentuk
yang lain,” sahut Ki Gede Ental Sewu sambil tersenyum penuh arti ke arah Ki
Singawana Sepuh.
“Ah,” Ki Singawana Sepuh
tertawa tertahan, “Jika yang Kau maksudkan tugas khusus Ki Rangga adalah untuk
mengimbangi aku sebagai guru Pangeran Ranapati, itu memang benar. Namun
sesungguhnya aku tidak ikut campur dengan niat Ranapati untuk menggunakan
kekuatan Panaraga melawan Mataram. Justru kedatanganku ke Panaraga adalah atas
permintaan Rara Ambarasari untuk membujuknya agar dia mau mengurungkan niatnya
untuk merebut tahta dan mau kembali ke Kademangan Cepaga di lereng Merapi.”
Sejenak kerut merut tampak
di wajah Ki Gede Ental Sewu. Dengan nada sedikit ragu, akhirnya Ki Gede pun
memberanikan diri untuk bertanya, “Siapakah Rara Ambarasari itu, Ki?”
Ki Singawana tersenyum.
Jawabnya singkat, “Ibunda Pangeran Ranapati.”
Kembali kerut merut terlihat
semakin dalam di wajah Ki Gede. Katanya kemudian, “Berita yang pernah aku
dengar ternyata memang benar. Ibunda Pangeran yang keras hati itu ternyata
memang masih hidup,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian sambil memandang tajam
ke arah Ki Singawana Sepuh, dia kembali bertanya, “Sebenarnya siapakah Rara
Ambarasari itu sehingga dia telah melahirkan seorang Pangeran yang bergelar
Ranapati dan kini sedang menuntut haknya atas tahta Mataram?”
Ki Singawana Sepuh menarik
nafas dalam-dalam, bahkan terasa sangat dalam seolah olah ingin dihirupnya
seluruh udara yang ada di medan pertempuran itu. Sejenak dipandanginya
pertempuran yang semakin kisruh. Agaknya korban di kedua belah pihak sudah tak
terhitung jumlahnya. Teriakkan, umpatan dan bahkan suara jeritan mereka yang
sedang meregang nyawa benar-benar terdengar sangat nggegirisi dan memenuhi
seluruh udara medan pertempuran.
Ketika kemudian pandangan
mata Ki Singawana Sepuh tanpa disengaja telah melihat seorang pengawal Menoreh
yang roboh karena lambungnya tersayat oleh pedang Bantar Kawung dan
Sindangwangi yang tak kalah dahsyatnya tanpa belas kasihan telah menghujamkan
pedang tipisnya ke dada lawannya, Ki Singawana Sepuh pun segera berpaling ke
arah Ki Gede dan berkata sedikit keras, “Kau ajarkan kedua muridmu itu ilmu
perguruan Ental Sewu hanya untuk membunuh dan membunuh. Apakah tidak ada cara
lain untuk menaklukkan lawan tanpa harus membunuhnya?”
Ki Gede tertawa tertahan
mendengar pertanyaan Ki Singawana Sepuh. Jawabnya kemudian, “Perguruan Ental
sewu dulu dan sekarang memang berbeda jauh. Ayah terlalu lembut dan santun
dalam setiap menyelesaikan persoalan. Aku tidak telaten dengan cara seperti
itu. Kalau kita mempunyai kekuatan, kenapa tidak? Kita selesaikan setiap
permasalahan dengan ujung senjata sehingga orang lain akan tunduk dan patuh
menuruti setiap kehendak kita.”
“Aku sangat tidak setuju
dengan cara seperti itu,” geram Ki Singawana Sepuh, “Lebih baik aku segera
menyingkir dari tempat yang memuakkan ini. Aku sudah tidak tahan lagi.”
Selesai berkata demikian Ki
Singawana Sepuh segera melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu.
“Tunggu, Ki!’’ seru Ki Gede
mencoba menahan langkah Ki Singawana Sepuh, “Kau belum menjawab pertanyaanku?”
“Pertanyaanmu tidak perlu
dijawab,” berkata Ki Singawana Sepuh sambil berlalu dari tempat itu, “Aku
sangat kecewa padamu, Respati Mintuna. Perguruan Ental Sewu yang dulu kukenal
ternyata telah berubah warna di tangan generasi penerusnya. Kalau tidak
mengingat budi baik Ayahmu, mungkin aku sudah ikut turun ke medan pertempuran
ini khusus untuk menghukummu karena telah menyelewengkan Cita-cita sahabat
baikku dimasa lalu.”
Kata-kata terakhir dari Ki
Singawana Sepuh itu ternyata telah menghentikan langkah Ki Gede Ental Sewu
untuk menyusul langkah guru Pangeran Ranapati itu. Sejenak dengan tatapan mata
yang kosong dipandanginya saja langkah Ki Singawana Sepuh yang semakin jauh
dari arena pertempuran.
Baru saja Ki Gede Ental Sewu
membalikkan badannya untuk kembali melihat pertempuran yang semakin lama
semakin sengit, seseorang telah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki yang
renggang.
“Kau?” geram Ki Gede Ental
Sewu dengan muka yang merah padam.
“Ya, ini aku Kakang
Respati,” jawab orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam, “Mengapa dendammu
setinggi langit dan sedalam lautan kepadaku, Kakang? Apakah Jayaraga yang tua
ini sama sekali tidak ada harganya di hadapanmu, dan Kau ingin segera
menyingkirkan aku dari muka bumi ini?”
“Persetan, kau Pradapa,”
kembali Ki Gede Ental Sewu menggeram bagaikan seekor singa yang sedang terluka,
“Kau telah meracun adik perempuanku satu satunya sehingga dia telah menemui
ajalnya dengan sangat mengenaskan dan Kau masih mencoba memungkiri perbuatan
terkutukmu itu?”
“Kakang,” berkata orang itu
yang ternyata memang Ki Jayaraga dengan nada yang sareh, “Aku sangat mencintai
Niken Larasati. Tidak mungkin ada niat sebiji sawi pun dalam hatiku untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat kejam seperti itu. Malam itu kami
memang berencana untuk melarikan diri dari Padepokan Ental Sewu yang ternyata
tidak dapat memberikan ketentraman bagi kami berdua. Aku sudah berjanji untuk
menjemputnya di bilik paling ujung dari gandhok kiri. Namun sesampainya di
sana, yang aku dapatkan hanyalah tubuhnya yang telah terbujur diam di atas
amben. Aku masih sempat melihat sekilas ada sebuah mangkuk dengan isinya yang
tinggal sedikit yang tergeletak tumpah di lantai sebelum aku meninggalkan
tempat itu.”
“Gila!” bentak Ki Gede
memotong ucapan Ki Jayaraga, “Sudah jelas bahwa hubungan kalian tidak direstui
oleh Ayah dan juga aku sebagai kakak kandungnya. Kau pasti telah membujuknya
untuk mati bersama dengan meminum racun seperti kisah-kisah percintaan yang
cengeng yang pernah aku dengar. Mengapa racun di dalam mangkuk itu masih
tersisa? Itu adalah bagianmu yang seharusnya Kau minum. Namun begitu melihat
adikku meregang nyawa, Kau terlalu pengecut untuk menyusulnya meminum racun itu
sehingga Kau memutuskan untuk melarikan diri.”
“Tidak kakang, itu tidak
benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Aku bukan termasuk golongan orang-orang
cengeng yang melihat persoalan hidup ini dengan sangat dangkal. Aku melarikan
diri saat itu karena aku mendengar suara ribut para Cantrik Padepokan Ental
Sewu yang menyerbu ke tempat itu. Aku segera sadar bahwa seseorang telah
berusaha untuk menjebakku, maka aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu,
namun aku berjanji suatu saat aku akan kembali ke Padepokan Ental Sewu untuk
menjernihkan masalah ini.”
“Omong kosong!” kembali Ki
Gede Ental Sewu membentak, “Kalau memang Kau berniat untuk menjernihkan masalah
ini, apa katamu tentang nama Jayaraga? Mengapa Kau bersembunyi di balik nama
itu sehingga Kau seolah olah telah hilang ditelan bumi. Bertahun tahun aku
mencarimu dengan membawa dendam setinggi langit sedalam lautan, ternyata Kau
telah berganti nama dan mendirikan sebuah perguruan yang tak bernama, namun
ternyata aku justru dapat menemukan persembunyianmu dengan cara mengenali dari
ilmu yang telah Kau turunkan kepada murid muridmu.”
Ki Jayaraga sejenak termangu
mangu. Namun katanya kemudian, “Sejak peristiwa itu aku memang selalu
menghindari setiap pertemuan dengan para murid perguruan Ental Sewu, terutama Kau,
Kakang Respati,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Semua itu
bukan berarti aku menghindari tanggung jawab. Aku ingin masalah ini menjadi
sedikit mereda seiring dengan berlalunya waktu sehingga suatu saat kita dapat
membicarakannya lagi dengan hati yang dingin.”
“Persetan dengan segala
alasanmu!” teriak Ki Gede yang kelihatannya sudah tidak dapat diajak berbicara
lagi, “Sebagaimana paugeran yang berlaku di perguruan Ental Sewu, setiap
persoalan yang timbul akan kita selesaikan dengan senjata. Bersiaplah Pradapa,
petualanganmu akan berakhir hari ini.”
Selesai berkata demikian, Ki
Gede Ental Sewu segera mempersiapkan diri. Pemimpin perguruan Ental Sewu itu
kelihatannya tidak akan memulai serangannya dari tataran bawah, namun langsung
pada tataran tinggi ilmunya.
Ki Jayaraga yang menyadari
tingkat kemampuan olah kanuragan pewaris perguruan Ental Sewu itu sejenak
dadanya berdesir. Perguruan Ental Sewu bukanlah perguruan anak kemarin sore
yang belajar main loncat loncatan dengan bersenjatakan pedang-pedangan dari
kayu. Perguruan Ental Sewu semasa dipimpin ayah Respati Mintuna adalah
perguruan yang sangat disegani, baik dari sisi ilmunya maupun hubungannya
dengan para kawula di sekitar padepokan.
Ketika kemudian Ki Gede
Ental Sewu telah meloncat dengan garangnya menyerang Ki Jayaraga, guru Glagah
Putih itu pun segera mengambil sikap jika tidak ingin dadanya terbelah terkena
serangan pertama dari Ki Gede Ental Sewu.
Demikianlah akhirnya dua
orang yang sudah lama tidak bertemu itu kini untuk pertama kalinya menyabung
nyawa. Dalam pengembaraannya Ki Jayaraga yang semasa mudanya bernama Timur
Pradapa itu memang selalu menghindari pertemuan dengan para Cantrik perguruan
Ental Sewu, karena semenjak peristiwa meninggalnya Niken Larasati, beberapa
Cantrik padepokan Ental Sewu telah disebar untuk mencari keberadaan Timur
Pradapa yang hilang bagaikan ditelan bumi.
******
Pernah suatu ketika seorang
Cantrik telah memberikan laporan kepada Respati Mintuna, kakak kandung Niken Larasati
tentang keberadaan orang yang selama ini mereka cari.
“Ma’af kakang Respati,”
berkata Cantrik itu di suatu siang yang terik di pendapa padepokan Ental Sewu,
“Aku baru saja mendapat berita dari seorang kawanku, Prajurit Pajang yang baru
pulang dari medan perang.”
Respati Mintuna mengerutkan
keningnya. Dengan muka sedikit masam dia menjawab, “Apa peduliku dengan perang
antara Pajang dan Mataram? Biarlah Bapak dan anak angkatnya itu saling berebut
tahta atas tanah ini. Aku sama sekali tidak berkepentingan.”
“Tapi, kakang. Ada berita
yang sangat menarik dalam hubungannya dengan orang yang selama ini kita cari.”
“Timur Pradapa, maksudmu?”
“Ya, kakang,”
“He!” seru Respati Mintuna
agak terkejut sehingga dia menggeser duduknya sejengkal, “Apa katamu? Timur Pradapa?
Apa dia ikut dalam pertempuran itu dan sudah mati terbunuh?”
“O, tidak kakang,” jawab
Cantrik itu sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “Yang mati terbunuh dalam
sebuah perang tanding di pertempuran itu adalah Tumenggung Prabadaru, senapati
yang membawahi pasukan khusus Pajang.”
“Gila!” umpat Respati
Mintuna, “Aku tidak mengenal siapa itu Tumenggung Prabadaru. Untuk apa Kau
menceritakan peristiwa itu kepadaku, he?”
Sejenak Cantrik itu
tergagap, namun dengan cepat dia segera menguasai diri. Jawabnya kemudian,
“Ma’afkan aku kakang Respati. Yang aku maksud adalah Tumenggung itu memiliki
jalur ilmu yang mirip dengan ilmu Timur Pradapa.”
“He?” kembali Respati
Mintuna terkejut. Dipandanginya wajah Cantrik itu lekat-lekat sambil menggeram,
“Dari mana Kau tahu bahwa Tumenggung itu mempunyai jalur ilmu yang sama dengan
Pradapa?”
Sambil menarik nafas
dalam-dalam untuk mengurangi getar didalam dadanya karena pandangan tajam
Respati Mintuna, Cantrik itu pun kemudian menceritakan peristiwa yang
didengarnya dari sahabatnya, seorang prajurit Pajang yang baru saja pulang dari
medan perang.
Sejenak Respati Mintuna
termenung. Kalau menurut cerita prajurit Pajang kawan Cantrik itu memang ada
kemiripan ilmu dari orang yang selama ini mereka cari, ilmu yang berdasarkan pada
pengungkapan kekuatan air, udara dan api.
Setelah menimbang nimbang
beberapa saat, akhirnya Respati Mintuna berkata kepada Cantrik yang masih duduk
menunggu di hadapannya, “Pergilah! Beritahu kawan kawanmu untuk menelusuri
jalur ilmu Tumenggung Prabadaru itu. Aku tidak yakin kalau Tumenggung itu
memang benar telah menyadap ilmu dari Timur Pradapa, seharusnya dia menjadi
seorang yang pilih tanding dan sulit untuk dikalahkan, jika dia telah menyadap
ilmu itu sampai tuntas.”
“Demikianlah yang sebenarnya
telah terjadi, kakang Respati,” sahut Cantrik itu, “Namun lawannya bukanlah
orang sembarangan, walaupun lawan Tumenggung Prabadaru itu umurnya terhitung
masih muda, namun ilmunya sangat ngedab-edabi.”
Respati Mintuna mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Siapakah yang menjadi lawan Tumenggung itu?”
“Agung Sedayu, murid utama
orang bercambuk,” jawab Cantrik itu.
“He?” kembali Respati
Mintuna terkejut, “Apakah nama itu juga yang telah membunuh Ajar dari Tal Pitu
beberapa waktu yang lalu?”
Sejenak Cantrik itu berusaha
untuk mengingat ingat. Setelah yakin dengan ingatannya, Cantrik itu pun
kemudian mengangguk sambil berkata, “Benar, kakang. Orang yang telah berhasil
mengalahkan Tumenggung itu adalah orang yang sama dengan yang telah membunuh
Ajar Tal Pitu, Agung Sedayu murid utama orang bercambuk.”
“Gila,” umpat Respati
Mintuna, “Nama itu telah menggelitik hatiku untuk turun gunung. Aku harus
menghentikan tingkah polah murid orang bercambuk itu. Kalau tidak, dia akan
menjadi semakin sombong dan merasa dirinya tanpa tanding.”
Cantrik yang duduk di
depannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dia sudah tahu sifat Respati
Mintuna, putra tertua dari Ki Gede Ental Sewu yang telah meninggal beberapa
tahun yang lalu. Sifat itu sangat jauh berbeda dengan ayahnya yang sangat welas
asih dan penuh kasih sayang terhadap sesamanya.
Demikianlah, peristiwa itu
ternyata telah memacu semangat para Cantrik Padepokan Ental Sewu untuk semakin
giat menelusuri keberadaan Timur Pradapa melalui jalur ilmu yang diturunkan
kepada Tumenggung Prabadaru. Namun ketika penelusuran mereka belum membuahkan
hasil, mereka kembali dikejutkan oleh berita kedatangan tiga bajak laut yang
mengaku sebagai saudara seperguruan Tumenggung Prabadaru.
Kedatangan ketiga bajak laut
di ibu kota Pajang itu sengaja akan melampiaskan dendam kepada saudara
seperguruan mereka karena merasa telah dihinakan atas perlakuan Tumenggung
Prabadaru yang tidak mau mengakui mereka sebagai saudara seperguruan dan bahkan
akan menangkap mereka bertiga.
Namun alangkah terkejutnya
ketiga Bajak Laut itu ketika mendapatkan berita bahwa Tumenggung Prabadaru
ternyata telah tewas dalam sebuah perang tanding melawan murid orang bercambuk,
Agung Sedayu. Akhirnya ketiga bajak laut itu pun memutuskan untuk mengalihkan
dendam mereka kepada orang yang telah membunuh saudara seperguruan mereka.
Ketika terjadi perang
tanding yang dahsyat antara ketiga bajak laut itu yang masing-masing melawan
Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan Ki Waskita, berita yang sampai ke telinga
Respati Mintuna pun sangat mengejutkan. Ketiga bajak laut itu telah menemui
ajalnya di tangan ketiga lawannya dan kembali nama Agung Sedayu disebut sebut
yang membuat hati pewaris perguruan Ental Sewu itu semakin terbakar.
“Agaknya sudah waktunya aku
untuk turun gunung,” demikian Respati Mintuna yang telah menggunakan gelar
sebagaimana ayahnya dahulu, Ki Gede Ental Sewu memberikan arahan kepada para
Cantriknya, “Usahakan menelusuri jalur ilmu ketiga bajak laut yang dungu itu
untuk sampai ke tempat persembunyian Timur Pradapa. Selain untuk melenyapkan
orang yang telah berbuat dosa terhadap perguruan kita, aku juga ingin menjajagi
ilmu murid orang bercambuk itu. Namun yang lebih utama, temukan persembunyian
Timur Pradapa terlebih dahulu.”
Sebenarnyalah menelusuri
jalur ilmu ketiga bajak laut itu ternyata lebih mudah. Tidak seperti Tumenggung
Prabadaru yang setelah mendapat kamukten seolah olah sudah tidak lagi mengenal
sumbernya, ketiga bajak laut itu semasa hidupnya masih sering mengunjungi
padepokannya dengan membawa barang-barang berharga sebagian dari hasil mereka
merompak di laut untuk guru mereka.
Akhirnya penelusuran para
Cantrik padepokan Ental Sewu itu berakhir pada sebuah tempat yang jauh
terpencil, di antara lebatnya batang-batang perdu di pinggir hutan pepat yang
jarang disentuh kaki orang, terdapat sebuah jalan setapak yang menuju ke sebuah
padepokan kecil yang tidak banyak dikenal. Padepokan yang tidak mempunyai
pengaruh apapun terhadap sekelilingnya, padepokan yang benar-benar berdiri
dalam kebisuan dan kediamannya.
Ketika kemudian Respati
Mintuna dan beberapa orang murid kepercayaannya berusaha mencapai tempat yang
sangat terpencil itu, ternyata orang yang mereka cari selama ini telah pergi
meninggalkan Padepokannya. Dengan kemarahan yang tiada taranya, Respati Mintuna
dan murid-murid kepercayaannya berusaha mencari jejak Timur Pradapa dengan
mengaduk aduk seluruh padepokan, namun mereka sama sekali tidak mendapatkan
petunjuk. Timur Pradapa kembali menghilang ditelan bumi.
Sebenarnyalah pada saat yang
hampir bersamaan, Timur Pradapa yang telah mengubah namanya menjadi Ki Jayaraga
telah meninggalkan Padepokannya untuk menyusul muridnya yang termuda ke
Menoreh. Memang pada saat itu murid termuda Ki Jayaraga yang bernama Lodra
telah bertekad akan membalas dendam atas kematian saudara-saudara
seperguruannya dengan caranya sendiri, cara yang sebenarnya tidak direstui oleh
gurunya.
Akhirnya jejak Timur Pradapa
itu kembali muncul ke permukaan ketika tanpa disengaja seorang Cantrik
padepokan Ental Sewu yang sedang berkunjung ke padepokan sahabatnya mendapat
petunjuk. Pemimpin padepokan sahabatnya yang bernama Ki Kapat Argajalu telah
tewas dalam sebuah pertempuran di Menoreh. Jasadnya telah diijinkan untuk
dibawa pulang ke padepokannya bersama dengan kedua anaknya yang juga menemui
ajalnya, Tumpak dan Soma. Sedangkan Putut Mawekas, salah seorang murid Ki Kapat
Argajalu yang menyerah dan diampuni oleh Ki Gede Menoreh, telah diijinkan untuk
membawa ketiga jenasah itu kembali ke padepokan.
Ketika Cantrik padepokan
Ental Sewu itu sempat melihat bekas luka pada tubuh Soma, alangkah terkejutnya
dia. Sekujur tubuh Soma yang bagaikan terbakar dan kulitnya melepuh, bahkan di
sebagian tempat telah mengelupas, menandakan bahwa Soma telah terkena ilmu yang
berdasarkan pada pengungkapan kekuatan inti air, udara dan api.
Demikianlah akhirnya, dalam
penelusurannya ke Menoreh, dengan mudah Cantrik Padepokan Ental sewu itu
mendapat berita bahwa baru saja terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Ki
Kapat Argajalu, yang masih terhitung saudara jauh dengan Ki Argapati. Dalam
peristiwa itu Ki Kapat Argajalu beserta kedua anaknya, Tumpak dan Soma telah
menjadi korban, dan pembunuh Soma adalah Glagah Putih, seorang pemuda yang baru
tumbuh yang merupakan adik sepupu Ki Lurah Agung Sedayu.
“Apakah Kau yakin dengan
pengamatanmu itu?” bertanya Respati Mintuna kepada Cantrik yang telah melakukan
penyelidikan sekembalinya dari Menoreh.
“Aku yakin sekali, kakang,”
jawab Cantrik itu dengan raut muka yang bersungguh sungguh, “Semua orang tahu
bahwa Glagah Putih tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Pada awalnya aku
sempat ragu-ragu, dari mana Glagah Putih menyerap ilmu yang nggegirisi itu?”
Cantrik itu berhenti sejenak untuk menelan ludah, lanjutnya kemudian, “Ternyata
jawabnya ada di rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu sendiri. Memang aku tidak habis
pikir, bagaimana mungkin seorang Timur Pradapa yang dua orang muridnya telah
mati terbunuh oleh Agung Sedayu, sekarang dia justru tinggal bersamanya,
menjadi bagian dari keluarga Ki Lurah Agung Sedayu.”
Respati Mintuna mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Sorot matanya menyiratkan ketidak percayaan atas cerita
Cantrik itu. Maka katanya kemudian setengah membentak, “Jangan bercerita ngaya
wara, he! Bagaimana mungkin orang yang berilmu mumpuni seperti Timur Pradapa
itu bersembunyi di bawah ketiak pembunuh muridnya? Aku tidak yakin dengan
pengamatanmu itu!”
Sejenak Cantrik itu termangu
mangu, namun dengan memberanikan diri akhirnya dia melanjutkan keterangannya,
“Ma’afkan aku kakang, menurut perhitungan nalar memang tidak mungkin. Akan
tetapi aku telah membuktikan sendiri. Aku telah bertemu dengan Timur Prada itu
sendiri justru di suatu pagi ketika dia keluar dari rumah Ki Lurah Agung Sedayu
sambil menjinjing cangkul. Walaupun wajahnya telah dihiasi kumis dan janggut
yang telah berwarna putih semua, tapi aku tidak pernah lupa. Wajah dan
perawakan itu adalah milik Timur Pradapa walaupun akhirnya aku mengetahui
namanya telah diubah menjadi Ki Jayaraga, ya Ki Jayaraga guru Glagah
Putih.”
“Jayaraga?” tanpa sadar
bibir Respati Mintuna mengulang nama itu, “Pantas kita sulit menemukan jejaknya
semenjak dia meninggalkan Padepokannya. Ternyata dia telah melakukan perbuatan
pengecut dengan mengubah namanya agar tidak dikenali lagi.”
“Jadi, bagaimana rencana
kita selanjutnya, kakang?” bertanya Cantrik itu kemudian.
Sejenak Respati Mintuna
termenung. Kini dia tidak dapat lagi mengambil keputusan dengan tergesa-gesa
seperti pada saat menyerbu padepokan Timur Pradapa yang terpencil itu. Timur
Pradapa justru kini telah tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu, murid utama
orang bercambuk yang namanya mulai disegani di seluruh tlatah Mataram dan
sekitarnya.
“Ayah sendiri semasa
hidupnya merasa segan untuk berurusan dengan orang bercambuk itu,” berkata
Respati di dalam hati, “Apalagi kini murid utama orang bercambuk itu
kelihatannya sudah hampir tuntas mewarisi ilmu gurunya, sementara orang
bercambuk itu sendiri masih hidup. Tidak mungkin bagiku untuk beramai ramai
membawa murid-murid padepokan Ental Sewu menyerbu rumah Ki Lurah Agung Sedayu.
Perimbangan kekuatan antara para Cantrik padepokan Ental Sewu dengan para
pengawal Menoreh masih perlu dicermati, baik dalam jumlah maupun kemampuan.
Sedangkan Sindangwangi dan Bantarkawung masih terlalu muda dan masih jauh untuk
menerima ilmu puncak perguruan Ental Sewu. Masih diperlukan beberapa tahun lagi
untuk melatih mereka menjadi murid Ental Sewu yang disegani.”
Kembali Respati Mintuna
termenung. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggelengkan kepala berulang
ulang dia menjawab pertanyaan Cantrik itu, “Untuk sementara ini kita hanya
mengamati saja segala gerak gerik Timur Pradapa yang telah berganti nama
Jayaraga itu. Kita akan melihat dan menilai, kapan waktu yang tepat untuk
menangkap si pengecut Jayaraga itu.”
Cantrik yang duduk di
hadapannya hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Dalam hati dia dapat memahami
jalan pikiran putra tertua Ki Gede Ental Sewu itu. Memang belum waktunya untuk
menangkap Ki Jayaraga, mungkin harus dipancing terlebih dahulu untuk keluar
dari Tanah Perdikan Menoreh, namun ternyata Ki Jayaraga hampir tidak pernah
bepergian keluar Menoreh. Kalaupun kesempatan itu ada, teman seperjalanan Ki
Jayaraga itulah yang menjadi pertimbangan. Kadang Ki Lurah Agung Sedayu
sendiri, bahkan tidak jarang Kiai Gringsing, orang yang bergelar orang bercambuk
itu yang menjadi kawan seperjalanannya.
Demikianlah hari bergulir
terus sehingga ketika ada utusan dari Panembahan Cahya Warastra kepada
perguruan Ental Sewu untuk bergabung dengan perguruan-perguruan yang lain di
Menoreh, Respati Mintuna yang kini telah bergelar Ki Gede Ental Sewu segera
menyatakan kesanggupannya untuk bergabung. Selain untuk mencari Ki Jayaraga,
ada sepercik keinginan untuk mencoba beradu ilmu dengan Ki Rangga Agung Sedayu
yang namanya telah menggetarkan seluruh tanah ini dari ujung ke ujung.
Ketika kemudian dengan tanpa
sengaja pada saat menyerbu ke padukuhan induk Menoreh, Ki Gede Ental Sewu
bertemu dengan musuh bebuyutannya, Ki Jayaraga, dendamnya pun segera
ditumpahkan bagaikan hujan lebat yang turun dari langit. Serangan serangannya
langsung pada tataran tinggi dari ilmu padepokan Ental Sewu. Setiap serangannya
selalu disertai dengan pusaran angin yang panas, sepanas api dari tempurung
kelapa.
Namun Ki Jayaraga adalah
orang yang aneh. Ilmunya yang bersumber pada kekuatan inti air, angin dan api
telah membuatnya seolah olah terlindungi dari sambaran ilmu lawannya.
Gerakannya yang masih cekatan dan trengginas walaupun usianya telah merambat
semakin tua telah membuat setiap serangan lawannya hanya menemui tempat kosong.
“Pengecut!” teriak Ki Gede
suatu saat ketika kembali serangannya dapat dihindari oleh Ki Jayaraga, “Jangan
hanya berloncat loncatan seperti seekor tupai, kalau memang berani, tahan
seranganku, jangan hanya menghindar saja.”
“Ma’afkan aku kakang!”
teriak Ki Jayaraga tak kalah kerasnya, “Aku masih ingat pesan Niken Larasati
untuk selalu menghormatimu selaku saudara tua. Tidak ada keinginan untuk
melawanmu, apalagi sampai melukaimu.”
“Persetan!” bentak Ki Gede
sambil melancarkan serangannya. Kaki kanannya bergerak mendatar menyapu kaki Ki
Jayaraga yang masih goyah sehabis menghindari serangan sebelumnya, “Aku tidak
peduli lagi dengan perasaan Niken Larasati. Dia telah mati. Mati karena pokal
seorang yang bernama Timur Pradapa.”
Mendapat serangan seperti
itu Ki Jayaraga segera menarik kakinya mundur selangkah. Serangan mendatar itu
memang tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pusaran yang menyertainya
telah menghamburkan debu dan daun-daun kering sehingga sejenak pemandangan
menjadi gelap tertutup debu.
Kesempatan ini agaknya telah
diperhitungkan oleh Ki Gede. Dengan berteriak menggelegar dia meloncat secepat
tatit yang melompat di udara, menerjang dada Ki Jayaraga yang terbuka.
Kali ini benar-benar tidak
ada kesempatan bagi Ki Jayaraga untuk menghindar. Dia harus menangkis serangan
itu kalau tidak ingin dadanya remuk terkena terjangan Ki Gede. Dengan
mengerahkan tenaga cadangannya, Ki Jayaraga pun kemudian menyilangkan kedua
tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian benturan
yang dahsyat pun terjadi. Walaupun Ki Gede Ental Sewu dan Ki Jayaraga
masing-masing belum merambah pada puncak ilmu mereka, namun benturan yang
terjadi itu benar-benar telah mengguncang arena pertempuran di sekitar mereka.
Tanah tempat mereka berpijak bergetar dahsyat bagaikan terkena gempa bumi, sedangkan
debu bercampur tanah dan daun-daun kering berhamburan menutupi pandangan mata.
Ki Jayaraga yang
menyilangkan kedua tangannya di depan dada untuk menahan gempuran Ki Gede
ternyata telah bergetar dan surut tiga langkah ke belakang. Sejenak nafasnya bagaikan
tersumbat karena pengaruh getaran yang menghimpit dadanya. Dengan segera dia
meloncat beberapa langkah lagi ke belakang untuk menghindari debu yang
berhamburan serta untuk melapangkan dadanya dengan menarik nafas dalam-dalam
dari udara yang lebih bersih.
Sementara Ki Gede Ental Sewu
telah terlontar kebelakang karena serangannya bagaikan menghantam dinding baja
setebal satu jengkal. Namun dengan cepat dia segera menguasai dirinya sehingga
tidak sampai jatuh terlentang.
“Gila!” umpat Ki Gede ketika
merasakan nyeri di dalam dadanya akibat benturan itu, “Ternyata Kau belum
berubah, Pradapa. Walaupun umurmu sudah mendekati liang kubur, kekuatanmu tidak
surut, bahkan semakin kuat.”
Ki Jayaraga yang masih
berusaha mengatur pernafasannya tidak segera menjawab. Dicobanya untuk beberapa
kali menarik nafas agar rongga dadanya yang terasa sesak bagaikan tertimpa
berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur turun dari lereng bukit yang runtuh
menjadi sedikit longgar.
“Kakang,” akhirnya Ki
Jayaraga menjawab, “Aku rasa rasanya hampir pingsan menahan serangan Kakang
Respati. Aku rasa pertempuran ini tidak ada gunanya lagi untuk diteruskan. Kita
berdua ini sudah semakin tua, seharusnyalah sudah lebih mengendap dan tidak
perlu lagi menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Alangkah baiknya
kalau permasalahan di antara kita ini dibicarakan dengan hati yang dingin
sehingga akan diketahui duduk permasalahannya.”
“Permasalahannya sudah
jelas,” sahut Ki Gede Ental Sewu cepat, “Kalau memang Kau mengakui kesalahanmu
dan menyerah dengan baik-baik, aku berjanji akan membunuhmu tanpa membuatmu
terlalu lama menderita.”
Ki Jayaraga menarik nafas
dalam-dalam mendengar jawaban Ki Gede. Agaknya Ki Gede sudah tidak dapat diajak
bicara lagi. Maka Ki Jayaraga pun kemudian segera bersiap ketika melihat Ki
Gede ternyata telah mempersiapkan diri untuk serangan berikutnya. Sejenak
kemudian kedua orang yang sudah memasuki hari-hari tuanya itu kembali terlibat
dalam sebuah pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu, Empu
Wisanata ternyata telah berhadapan dengan Kiai Sasadara di tengah-tengah
riuhnya pertempuran.
“Ki Sanak kah pemimpin para
pengawal Menoreh ini?” bertanya Kiai Sasadara dengan sopan.
Empu Wisanata menggeleng.
Jawabnya kemudian, “Bukan. Ki Jayaraga yang memimpin pasukan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh ini. Aku hanyalah pembantunya untuk ikut mengawasi di medan
sebelah kiri.”
“Hmm..” sejenak Kiai
Sasadara itu mengawasi Empu Wisanata dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Setelah puas dengan pengamatannya, dia bergumam perlahan, seolah olah ditujukan
kepada dirinya sendiri, “Kekuatan yang tersembunyi di dalam wadag yang renta
memang tidak bisa diduga. Kadang kita terjebak oleh ujud kewadagan dari
seseorang, namun kali ini aku tidak akan tertipu. Aku sedang berhadapan dengan
seseorang yang sudah mumpuni lahir batin.”
Empu Wisanata mengerutkan
keningnya mendengar gumam Kiai Sasadara walaupun hanya lamat-lamat, namun
pendengaran Empu Wisanata yang tajam dapat menangkap setiap patah kata. Maka
katanya kemudian, “Ki Sanak, lebih baik kita saling memperkenalkan diri. Namaku
Empu Wisanata, aku adalah penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini.”
“Apakah Ki Sanak seorang
pembuat keris atau senjata-senjata piandel lainnya?” tiba-tiba pertanyaan itu
terlontar begitu saja dari Kiai Sasadara begitu mendengar kata Empu.
“Tidak Ki Sanak, aku tidak
bisa membuat keris.”
“Jadi? Mengapa Ki Sanak
memakai gelar Empu?”
“Entahlah,” jawab Empu
Wisanata, “Orang-orang memberi julukan Empu kepadaku mungkin karena sejak muda
aku sudah senang merawat beberapa keris milik ayahku sehingga mereka
menjulukiku Empu.”
Kiai Sasadara tersenyum
sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil melangkahkan kaki kanannya ke
samping untuk mulai memasang kuda-kuda, dia berkata, “Nah, Empu Wisanata,
perkenalkan namaku Kiai Sasadara dari Blitar. Sebenarnya kita berdua tidak
pernah saling bersengketa, namun kini kita telah saling berhadapan di medan
perang. Jangan salahkan aku kalau Empu nanti pulang tinggal nama saja.”
Empu Wisanata kini yang
ganti tersenyum mendengar kata-kata lawannya. Maka kemudian jawabnya, “Dalam
sebuah pertempuran, kematian adalah akibat terburuk yang mungkin akan kita
dapatkan. Sejak tadi pagi aku sudah siap untuk membunuh atau di bunuh.”
“Bagus,” sahut Kiai
Sasadara, “Bersiaplah. Cabut senjatamu kalau memang menurut pendapatmu itu akan
sedikit membantumu memperpanjang umurmu sebelum Malaikat maut mencabut nyawamu
dengan perantaraan kedua tanganku ini.”
“Aku tidak terbiasa
bertempur dengan memakai senjata,” jawab Empu Wisanata kemudian sambil
menggeser kedudukannya begitu melihat lawannya mulai bersiap menyerang, “Kalau
Kiai Sasadara tidak bersenjata, aku pun tidak.”
“Baiklah kalau memang
kesombonganmu telah mengaburkan penalaranmu. Aku telah memberimu kesempatan,
dan kesempatan itu tidak akan terulang untuk kedua kalinya.”
Selesai berkata demikian,
tiba-tiba saja tanpa melakukan sebuah ancang-ancang, tubuh kiai Sasadara
melesat menerjang Empu Wisanata dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah
lambung.
Empu Wisanata terkejut
mengetahui kecepatan gerak lawannya. Dengan tergesa-gesa ditariknya kaki
kirinya selangkah ke belakang. Ketika kaki lawannya lewat sejengkal dari
lambungnya, dengan cepat tangan kiri Empu Wisanata berusaha mencengkeram
pergelangan kaki lawannya, sementara tangan kanannya terayun deras ke arah
tengkuk.
Menghadapi dua serangan
sekaligus dari Empu Wisanata, pemimpin perguruan dari Blitar itu tidak menjadi
gugup. Dengan sedikit menundukkan kepalanya, serangan Empu Wisanata yang
mengarah ke tengkuk dapat dihindarinya, sedangkan kaki kanannya yang terjulur
lurus segera ditekuknya untuk kemudian justru lutut Kiai Sasadara lah yang
dengan deras menghantam dada Empu Wisanata.
Kembali Empu Wisanata
terkejut. Serangan itu begitu dekat, tidak ada jalan lain untuk menghindar
selain meloncat ke belakang sejauh jauhnya untuk menghindari serangan susulan.
Ternyata Kiai Sasadara tidak
mengejarnya. Dibiarkannya saja Empu Wisanata memperbaiki kedudukannya.
Untuk sejenak Empu Wisanata
tertegun. Kecepatan gerak lawannya ternyata telah menimbulkan kesulitan,
walaupun masih dalam batas kewajaran. Namun jika lawannya semakin meningkatkan
ilmu yang dapat membuat dirinya seolah olah tanpa bobot dan dapat bergerak
tanpa melalui sebuah ancang-ancang, dirinya benar-benar akan menemui kesulitan.
Sebelum Empu Wisanata
menemukan jalan untuk memecahkan ilmu lawannya yang mampu melenting dan
melontar tanpa ancang-ancang itu, sekali lagi Kiai Sasadara telah berteriak
nyaring sambil melesat ke depan menghantam dada Empu Wisanata dengan kepalan
tangannya. Gerakannya sangat ringan dan cepat, melebihi kecepatan tatit yang
melompat di udara.
Kini Empu Wisanata
benar-benar harus memusatkan seluruh kemampuannya untuk mengimbangi gerak
lawannya. Tidak ada jalan lain untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya
kecuali dengan menangkis semua serangan dari Kiai Sasadara, walaupun dengan
demikian akan dapat berakibat semakin mempercepat susutnya ketahanan tubuh Empu
Wisanata. Namun untuk beberapa saat Empu Wisanata masih dapat bertahan dari
gempuran lawannya.
Yang terjadi kemudian adalah
pertempuran yang dahsyat. Kiai Sasadara bergerak menyambar-nyambar bagaikan
seekor elang yang sedang memburu mangsanya, sedangkan Empu Wisanata tidak
banyak bergerak, namun gerakannya terlihat tangguh tanggon bagaikan seekor
banteng. Setiap kali Empu Wisanata hanya bergeser setapak demi setapak sambil
menangkis setiap serangan lawannya yang datang membadai dengan mengandalkan
ilmu yang dapat memperkuat pertahanan tubuhnya, aji tameng waja.
Ternyata lawannya dapat
merasakan hal itu sehingga dengan mengumpat keras Kiai Sasadara telah melompat
kebelakang sambil berseru, “Aji Tameng Waja. Ternyata Empu telah melindungi
diri dari setiap seranganku dengan aji kebanggaan Sultan Trenggana pada masa
kejayaan Demak lama dahulu. Namun jangan terburu buru untuk menepuk dada, aku
pun mempunyai sejenis aji yang dapat merontokkan Aji Tameng Wajamu yang masih
sangat dangkal itu.”
Empu Wisanata tidak
menjawab. Kini dia harus semakin waspada karena lawannya ternyata telah
mengenali ilmunya, sehingga tidak menutup kemungkinan lawannya akan
meningkatkan tataran ilmunya semakin tinggi untuk menembus pertahanan Aji
Tameng Waja.
Kiai Sasadara hanya
memerlukan waktu sekejab untuk memusatkan nalar budinya. Sejenak kemudian,
sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dengan telapak tangan terbuka
menghadap ke arah lawannya, Kiai Sasadara pun siap melancarkan sebuah serangan
dahsyat.
Empu Wisanata maklum,
lawannya tentu telah mengetrapkan sebuah aji yang akan dapat menggoyahkan
pertahanan Aji Tameng Wajanya. Untuk itu Empu Wisanata segera meningkatkan
pertahanannya menjadi berlipat lipat.
Ketika kemudian dengan
kecepatan tatit Kiai Sasadara meluncur menyambar kepala lawannya dengan telapak
tangannya, tiba-tiba Empu Wisanata mengalami hal yang sangat aneh dan luar
biasa yang selama hidupnya belum pernah dijumpai. Sambaran tangan Kiai Sasadara
tenyata membawa serangkum hawa yang berbau sangat busuk dan memuakkan. Bau itu
begitu busuknya sehingga membuat perut Empu Wisanata menjadi mual dan hampir
muntah.
Dengan cepat Empu Wisanata
meloncat kebelakang untuk mengurangi pengaruh bau busuk yang sangat menyengat
itu. Sejenak matanya menjadi nanar dan kepalanya terasa pening, sedangkan isi
perutnya seolah olah memberontak ingin menyembur keluar.
“Gila,” desis Empu Wisanata
sambil mengamati lawannya yang ternyata tidak memburunya.
Lawannya justru telah
berdiri dengan bertolak pinggang sambil tertawa terkekeh-kekeh. Katanya
kemudian diantara derai tawanya, “He, Empu! Bagaimana dengan Aji Tameng Wajamu?
Biar pun Kau telah melipat gandakan kekuatannya untuk menahan seranganku, namun
semua itu tidak akan berguna. Kau akan mati tercekik karena menahan nafasmu
sendiri. Ketahuilah, ajiku ini sudah jarang bahkan tidak ada seorang pun yang
mampu menguasainya saat ini, sebuah aji yang bangkit dari alam kegelapan, sebuah
aji yang di dapat dengan laku yang sangat berat dan aneh, Aji Bathang Sayuta.”
Terkejut Empu Wisanata
mendengar nama aji bathang sayuta. Menurut pendengarannya dan juga penuturan
dari gurunya dulu sewaktu dia masih muda, aji bathang sayuta adalah sebuah aji
yang didapatkan dengan laku yang sangat aneh dan mengerikan, pati geni tujuh
hari tujuh malam dalam sebuah liang lahat bersama beberapa mayat yang sudah
membusuk.
Menyadari lawannya terkejut
mendengar aji bathang sayuta yang dimilikinya, Kiai Sasadara segera bersiap
melancarkan serangan berikutnya.
Kali ini Empu Wisanata
benar-benar dalam kesulitan. Setiap kali serangan lawannya datang membadai, dia
harus menahan nafas sambil menangkis serangan yang bertubi-tubi itu. Ketika
kemudian terasa rongga dadanya hampir pecah menahan nafas untuk sekian lama,
tidak ada jalan lain bagi Empu Wisanata kecuali meloncat mundur.
Demikianlah pertempuran
antara Kiai Sasadara melawan Empu Wisanata berlangsung dengan dahsyatnya.
Pemimpin perguruan dari Blitar itu menyerang tanpa memberi kesempatan sekejab
pun bagi lawannya untuk membalas. Sementara Empu Wisanata hanya dapat bertahan
sambil meloncat mundur dan mundur terus sehingga terlihat Empu Wisanata sangat
terdesak dengan hebatnya.
Namun Empu Wisanata tidak
merasa putus asa. Dengan berbekal pengalaman dan ilmu yang mumpuni, dia yakin
suatu saat Ilmu Bathang Sayuta itu akan terungkap titik kelemahannya. Walaupun
untuk itu dia harus berpacu dengan waktu sebelum pertahanannya semakin lemah
dan semakin lemah.
Para pengawal Menoreh yang
bertempur di sekitar Empu Wisanata menjadi berdebar debar. Mereka tidak
mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi. Namun menilik kedudukan Empu
Wisanata yang terus menerus mundur telah mengisyaratkan kepada mereka apa yang
sedang dialami oleh ayah Nyi Dwani itu.
Sementara Nyi Dwani yang
sedang bertempur tidak jauh dari tempat ayahnya masih belum menyadari kesulitan
yang sedang dialami oleh ayahnya. Agaknya perhatian Nyi Dwani masih tersita
oleh ketiga lawannya walaupun Nyi Dwani tidak mengalami kesulitan yang
sesungguhnya. Namun jika sedikit saja dia lengah, tidak menutup kemungkinan
justru ketiga lawannya itulah yang akan menyulitkan Nyi Dwani.
Ketika kemudian karena tidak
tahan melihat kesulitan yang dialami oleh Empu Wisanata, seorang pengawal
Menoreh yang bertempur di dekat Nyi Dwani telah berdesis perlahan lahan namun
cukup menarik perhatian Nyi Dwani.
“Nyi Dwani, lihatlah Ayahmu,
mungkin dia memerlukan bantuanmu,” desis pengawal itu tanpa berpaling
sedikitpun ke arah Nyi Dwani.
Nyi Dwani terkejut mendapat
bisikan pengawal yang bertempur di sebelahnya. Sekilas dengan sudut matanya dia
mencoba melihat ke tempat ayahnya sedang bertempur. Debar jantung di rongga
dada Nyi Dwani pun semakin kencang begitu melihat Empu Wisanata benar-benar
mengalami kesulitan menahan gempuran lawannya.
Menyadari kemungkinan
terburuk dapat terjadi pada ayahnya, Nyi Dwani bermaksud segera menyelesaikan
ketiga lawannya untuk dapat membantu ayahnya. Dengan cepat dihentakkan
kemampuannya untuk menyerang ketiga lawannya. Pedangnya berputaran mengerikan
disertai dengan hawa panas yang keluar dari bilah pedangnya. Ternyata pedang di
tangan Nyi Dwani itu telah merah membara.
Demikianlah, di bawah
tuntunan ayahnya, ternyata Nyi Dwani telah menyempurnakan ilmunya selama ini.
Kalau dahulu ketika dia berperang tanding dengan Nyi Sekar Mirah masih
mengandalkan sinar bulan untuk mengungkapkan ilmunya, ternyata pada
perkembangannya dan juga pergaulan ayah dan anak itu dengan Ki Rangga Agung
Sedayu dan Ki Jayaraga, mereka telah memperoleh pencerahan bagaimana seharusnya
menentukan sikap dalam hubungannya dengan pengungkapan ilmu terhadap Sang Maha
Pencipta. Bahwa pengakuan Yang Maha Agung itu adalah sumber segala kekuatan
yang ada di jagad raya ini telah menempatkan ilmu mereka segaris dengan ilmu
orang-orang yang selalu hidup di bawah tuntunanNya.
Putaran pedang yang membara
itu selain membawa hawa panas yang tak tertahankan oleh lawan lawannya, juga
kekuatannya benar-benar nggegirisi. Ketika salah seorang lawannya berusaha
menangkis pedang Nyi Dwani yang menyambar ke arah lambung, ternyata kekuatan
ayunannya telah melemparkan pedang lawannya itu ke udara. Sebelum lawannya
menyadari apa yang telah terjadi, ayunan pedang Nyi Dwani sama sekali tidak
berubah arah, dengan derasnya pedang yang membara itu merobek lambung lawannya.
Sejenak orang yang terkena
sabetan pedang Nyi Dwani pada lambungnya itu terhuyung kebelakang. Dengan
sisa-sisa tenaganya, dia mencoba untuk menghentikan darah yang muncrat dari
lukanya dengan kedua tangannya. Namun luka itu ternyata terlalu parah sehingga
akhirnya dengan sebuah umpatan yang keras dan sangat kotor, dia jatuh
terjerembab dan nyawanya pun melayang.
Dua orang kawannya yang
berusaha menolong dengan cara memotong serangan Nyi Dwani ternyata kalah cepat.
Sebelum serangan mereka datang, kawannya telah menjadi korban Nyi Dwani
terlebih dahulu. Ketika Nyi Dwani menyadari ada serangan dari arah kanan dan
kiri secara bersamaan, Nyi Dwani justru dengan sengaja telah maju selangkah.
Kemudian sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat pedangnya terjulur mengarah
ke punggung salah satu lawannya.
Kecepatan gerak Nyi Dwani
memang tidak bisa diimbangi oleh lawan lawannya. Segera saja terdengar keluhan
tertahan ketika ujung pedang yang membara itu menyobek punggungnya. Selain
darah yang memancar keluar dari luka itu, juga tercium bau kain dan daging yang
hangus terbakar.
Lawan Nyi Dwani yang tinggal
satu segera menerjang ke depan untuk menyelamatkan kawannya yang terluka agar
tidak mendapat serangan susulan. Dengan teriakan kemarahan yang tiada taranya,
dia mencoba menyerang sisi kiri Nyi Dwani yang terbuka.
Agaknya Nyi Dwani membiarkan
saja lawannya yang telah terluka di bagian punggung itu dan tidak mengejarnya
dengan serangan susulan. Luka itu sangat parah dan tidak mungkin tertolong
lagi, maka Nyi Dwani membiarkan saja orang itu dengan terhuyung-huyung
meninggalkan arena. Sementara perhatian Nyi Dwani segera terpusat pada lawannya
yang terakhir.
Ketika ujung pedang lawannya
hanya tinggal sejengkal dari pundak kirinya, dengan sedikit memiringkan
tubuhnya, Nyi Dwani berhasil menghindari serangan itu. Sebelum lawannya sempat
menarik kembali senjatanya, dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh mata
wadag lawannya, ujung pedang Nyi Dwani tiba-tiba saja telah menghunjam dadanya.
Sejenak pengikut Panembahan
Cahya Warastra itu menggeram sambil memandang Nyi Dwani dengan pandangan penuh
kebencian. Ketika kemudian Nyi Dwani menarik pedangnya dengan sedikit sentakan,
tubuh yang sudah bersimbah darah itu pun terhuyung-huyung ke depan. Dengan
sigap Nyi Dwani segera meloncat ke belakang untuk menghindari tubuh lawannya
yang jatuh tersungkur tak bernyawa lagi.
Sejenak Nyi Dwani masih
berdiri termangu mangu merenungi lawan terakhirnya yang telah terbujur menjadi
mayat. Ketika Nyi Dwani kemudian mengedarkan pandangan matanya ke luar
lingkaran pertempuran, tampak lawannya yang terluka punggungnya itu ternyata
telah tergeletak tak bergerak lagi.
Para pengikut Panembahan
Cahya Warastra yang bertempur di seputar arena pertempuran Nyi Dwani menjadi
gelisah. Mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka, betapa perempuan
yang terbilang masih muda dan cantik itu ternyata mempunyai ilmu iblis. Jika
perempuan itu kemudian mengambil alih lawan-lawan para pengawal Menoreh, dapat
dipastikan para pengikut Panembahan Cahaya Warastra itu satu persatu tinggal
menunggu giliran untuk mati.
Namun ternyata Nyi Dwani
segera teringat akan ayahnya. Dengan beberapa kali loncatan dia telah berada di
pinggir arena pertempuran antara Empu Wisanata melawan Kiai Sasadara.
Sebenarnyalah keadaan Empu Wisanata memang kurang beruntung, karena pemusatan
pikirannya terganggu dengan bau busuk yang memuakkan. Sedangkan lawannya
benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk balas menyerang.
Nyi Dwani yang masih berdiri
di pinggir arena pertempuran mengerutkan keningnya. Menurut penilaiannya, lawan
ayahnya itu mempunyai kecepatan gerak yang luar biasa, yang tanpa memerlukan
ancang-ancang dia dapat menyerang Empu Wisanata dari segala arah, sedangkan
ayahnya hanya mampu bertahan saja.
Ada satu kejanggalan bagi
Nyi Dwani. Dia tahu ayahnya mempunyai semacam aji yang dapat memperkuat
pertahanannya, aji tameng waja. Dengan berbekal ilmu itu seharusnya ayahnya
tidak akan kesulitan mengimbangi kecepatan gerak lawannya dengan pertahanan
yang kokoh berlandaskan pada aji tameng waja, namun yang terjadi adalah sangat
mengherankan, ayahnya telah terdesak dengan hebat dan hanya dapat bergerak
mundur tanpa dapat balas menyerang.
Ketika Nyi Dwani belum dapat
menarik sebuah kesimpulan dari pengamatannya tentang penyebab ayahnya yang
semakin terdesak oleh lawannya, lamat-lamat dari pinggir arena pertempuran, Nyi
Dwani mencium bau busuk yang kadang muncul sesaat, kadang hilang terbawa angin.
“Bau apakah ini?” bertanya
Nyi Dwani dalam hati dengan rasa heran, “Bukankah korban-korban yang berjatuhan
itu baru saja mati sehingga tidak akan mungkin menimbulkan bau busuk seperti
ini.”
Berpikir sampai disitu, Nyi
Dwani memutuskan untuk semakin mendekati lingkaran pertempuran. Ketika langkahnya
semakin mendekati arena pertempuran, bau busuk itu pun terasa semakin
menyengat.
“Gila,” desis Nyi Dwani
sambil cepat-cepat menutup saluran pernafasannya dan mundur beberapa langkah,
“Bau busuk ini benar-benar tak tertahankan. Kalau memang sumber bau busuk ini
adalah merupakan pancaran ilmu yang bersumber dari lawan Ayah, maka sekarang
semuanya telah menjadi jelas mengapa ayah selalu terdesak mundur. Pemusatan
pikiran ayah menjadi terganggu karena bau busuk ini. Tidak ada cara lain untuk
mengatasinya kecuali dengan jalan memadamkan sumbernya.”
Setelah menyarungkan
pedangnya terlebih dahulu karena melihat lawan ayahnya juga tidak bersenjata,
sejenak kemudian Nyi Dwani segera memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan
sejenis ilmu yang menjadi andalannya, ilmu yang mampu membuat kedua telapak
tangannya merah membara, memancarkan panas yang tiada taranya.
“Ayah! Aku datang!” teriak
Nyi Dwani melengking tinggi menyakitkan telinga sambil melompat ke
tengah-tengah arena pertempuran setelah terlebih dahulu menghirup udara yang
bersih untuk memenuhi rongga dadanya.
Seiring dengan hilangnya
gema suaranya yang melingkar lingkar memenuhi udara medan pertempuran, dengan
dahsyatnya Nyi Dwani telah menyerang Kiai Sasadara yang sedang sibuk mendesak
Empu Wisanata.
Serangan Nyi Dwani itu
ternyata sangat mengejutkan Kiai Sasadara. Berbeda dengan Ayahnya yang usianya
sudah menjelang hari-hari tua, Nyi Dwani yang masih muda ternyata mempunyai
kecepatan gerak yang mengagumkan walaupun masih selisih tipis di bawah kemampuan
pemimpin perguruan dari Blitar itu. Namun dalam usianya yang masih muda,
kemungkinan-kemungkinan itu masih dapat diraihnya dengan kerja keras dan
ketekunan.
Empu Wisanata yang sekilas
melihat anak perempuannya itu meluncur dengan deras menerjang Kiai Sasadara
menjadi sangat terkejut dan berusaha untuk mencegahnya.
“Dwani, jangan!” teriak Empu
Wisanata namun semuanya telah terlambat, serangan dahsyat dari Nyi Dwani tidak
mungkin ditarik mundur.
Kiai Sasadara yang menyadari
betapa berbahayanya serangan kedua telapak Nyi Dwani yang terlihat membara itu
segera menyambut dengan ilmu pamungkasnya, aji yang diterima turun temurun dari
leluhurnya, Aji Brajamusti.
Agaknya Kiai Sasadara
memerlukan waktu sekejab untuk mengetrapkan aji pamungkasnya itu. Maka ketika
serangan Nyi Dwani meluncur menghantam dadanya, dengan cepat pemimpin perguruan
dari Blitar itu telah bergeser selangkah ke kanan untuk menghindari terkaman
lawannya.
Begitu menyadari serangannya
berhasil dihindari oleh lawannya, Nyi Dwani segera memutar tubuhnya untuk
mempersiapkan serangan selanjutnya. Namun ternyata waktu yang sekejap itu telah
dipergunakan sebaik baiknya oleh Kiai Sasadara untuk mengetrapkan aji
pamungkasnya. Sejenak kemudian justru serangan Kiai Sasadara lah yang
mendahului meluncur dengan dahsyatnya menerjang Nyi Dwani.
Sebenarnyalah kedudukan Nyi
Dwani saat itu hanya dapat bertahan menghadapi serangan lawannya. Namun
ternyata Nyi Dwani dalam waktu yang sekejap telah membuat keputusan yang sangat
berbahaya, keputusan untuk membenturkan ilmunya langsung dengan ilmu Kiai
Sasadara.
Kiai Sasadara terkejut bukan
buatan namun semuanya sudah terlambat. Ketika tangan pemimpin perguruan dari
Blitar itu berhasil menghantam pundak kiri Nyi Dwani, sebuah cengkraman dari
tangan kanan Nyi Dwani yang membara telah menyentuh lehernya.
Tubuh Nyi Dwani yang terkena
hantaman pada pundak kanannya itu telah terlempar ke belakang beberapa langkah
untuk kemudian jatuh terlentang di atas tanah yang berdebu dan tak bergerak
sama sekali. Sedangkan Kiai Sasadara yang lehernya bagaikan tersentuh bara api
dari tempurung kelapa segera meloncat kebelakang. Sejenak dia masing
terhuyung-huyung untuk mempertahankan kedudukannya sambil mencoba meraba
lehernya yang kulit dan dagingnya sebagian telah mengelupas dan hangus terbakar.
Sementara Empu Wisanata yang
tidak menyangka anaknya telah mengambil keputusan nekat dengan membenturkan
langsung ilmunya dengan ilmu lawannya itu menjadi terkejut bukan alang
kepalang.
“Dwani!” teriak Empu
Wisanata sambil berlari memburu ke arah Nyi Dwani begitu melihat anak
perempuannya telah terlempar ke belakang dan jatuh di tanah yang berdebu.
Dengan beberapa kali
loncatan, ayah Nyi Dwani itu telah berada di sisi tubuh anaknya yang terbujur
diam. Dengan jantung yang berdebaran, sambil berjongkok Empu Wisanata mencoba
mengetahui keadaan anaknya dengan meraba urat nadi yang ada di leher. Sejenak
orang tua itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Detak nadi itu terasa sangat
lemah dan hampir tidak dapat dirasakan oleh ujung jari Empu Wisanata yang menekan
leher Nyi Dwani. Namun setidaknya harapan itu masih ada.
“Untunglah Dwani telah
mewarisi aji tameng waja untuk mempertahankan diri walaupun masih belum
matang,” desis Empu Wisanata sambil mengamat-amati bahu kanan anaknya yang
membengkak dan berwarna kehitaman terkena aji Brajamusti, “Seandainya Dwani
mengikuti saranku beberapa bulan yang lalu untuk memperdalam aji tameng waja
ini dengan laku yang terakhir walaupun cukup berat, aku yakin menghadapi
kedahsyatan aji lawannya, keadaannya tidak akan separah ini.”
Setelah mengetahui keadaan
anaknya yang masih ada harapan walaupun hanya setitik, Empu Wisanata segera
bangkit berdiri. Pandangan matanya nanar mencari bayangan lawannya yang telah
melukai anak perempuannya. Namun Empu Wisanata sekali lagi terkejut, lawannya
ternyata telah meninggalkan medan pertempuran sebelum Empu Wisanata sempat
membuat perhitungan dan menuntut pertanggung jawabannya atas luka yang telah
diderita oleh Nyi Dwani.
Ketika kemudian Empu
Wisanata memutuskan untuk menyingkir dari medan pertempuran sambil membawa
tubuh Nyi Dwani yang masih belum sadarkan diri, pertempuran di sekelilingnya
menjadi semakin dahsyat dan buas. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra
ternyata telah meningkatkan cara bertempur mereka dengan kasar dan sedikit liar.
Tidak jarang mereka menyerang lawannya sambil berteriak teriak dan mengumpat
dengan umpatan yang sangat kotor. Namun para pengawal tanah Perdikan Menoreh
bukan hanya sekali ini saja mereka menghadapi pertempuran yang kasar dan liar.
Pengalaman sejak pergolakan di tanah mereka yang dibakar oleh Sidanti dan
gurunya Ki Tambak Wedi serta beberapa pengalaman dalam berbagai medan
pertempuran telah menempa para pengawal tanah Perdikan Menoreh menjadi pengawal
yang tangguh dan tanggon di segala medan.
Dengan langkah yang
tergesa-gesa Empu Wisanata segera menuju ke garis belakang. Di garis belakang
itu telah disediakan sebuah rumah khusus untuk perawatan bagi mereka yang
terluka. Beberapa tabib terbaik yang ada di tanah Perdikan Menoreh telah
disiagakan untuk mengatasi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesampainya di rumah khusus
yang dipergunakan untuk menampung para pengawal yang terluka, dengan setengah
berlari Empu Wisanata segera menyeberangi pendapa yang tidak begitu luas.
Ketika Empu Wisanata yang berjalan sambil mendukung tubuh anaknya itu kemudian
memasuki pintu pringgitan yang dibiarkan saja terbuka lebar, alangkah
terkejutnya ayah Nyi Dwani itu. Di dalam pringgitan ternyata telah berdiri dua
orang yang sudah sangat dikenalnya, Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi.
“Empu, siapakah yang
terluka?” Ki Gede Menoreh ternyata yang telah menyapanya terlebih dahulu.
Sejenak langkah Empu
Wisanata tertegun. Namun ketika pandangan matanya membentur seraut wajah orang
yang berdiri di sebelah Ki Gede, dengan cepat dia menjawab, “Anakku Ki Gede,
Dwani.” Empu Wisanata berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Kiai
Sabda Dadi yang berdiri di sebelah Ki Gede dia melanjutkan, “Aku mohon Kiai
Sabda Dadi berkenan menolong anakku.”
“O..tentu, tentu,” jawab
Kiai Sabda Dadi sambil mempersilahkan Empu Wisanata untuk membaringkan Nyi
Dwani di atas salah satu amben bambu yang banyak berjajar di ruangan itu,
“Biarlah aku melihat keadaannya terlebih dahulu. Marilah kita memohon kepada
Yang Maha Agung semoga kita selalu mendapatkan bimbingan dan pertolongan-NYA.”
Terasa sesuatu bergetar di
dalam dada Empu Wisanata. Bagaimanapun juga sebagai seorang ayah, dia selalu
mengharapkan yang terbaik bagi masa depan anak perempuannya untuk dapat
menyambung dan melestarikan keturunannya. Namun semenjak peristiwa dengan Ki
Saba Lintang beberapa waktu yang lalu, anak perempuannya itu sepertinya telah
menutup pintu hatinya rapat-rapat bagi setiap laki-laki yang mencoba
mendekatinya.
“Aku memerlukan semangkuk
air,” berkata Kiai Sabda Dadi perlahan namun ternyata telah membuyarkan
angan-angan Empu Wisanata.
Dengan bergegas Empu
Wisanata segera berjalan menuju ke ruang dalam. Sesampainya di ruang dalam,
dilihatnya sudah ada beberapa pengawal yang terluka dan sedang ditangani oleh
para Tabib terbaik yang ada di Menoreh. Semuanya tampak sibuk merawat yang
terluka ringan maupun yang terluka berat. Para pengawal itu tampak berbaring di
amben-amben bambu yang berjajar jajar cukup banyak memenuhi ruang dalam.
Sejenak Empu Wisanata
ragu-ragu, namun kemudian didekatinya salah satu Tabib yang sedang bekerja
sambil berbisik perlahan, “Di mana aku dapat memperoleh air?”
Tabib itu menoleh sejenak ke
arah Empu Wisanata. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah sebuah kendi yang
terletak di ajug-ajug dekat pintu butulan, “Ambillah secukupnya. Jangan lupa
untuk mengembalikan kendi itu ke tempatnya semula.”
Empu Wisanata tidak menjawab
hanya menganggukkan kepalanya sambil berjalan menuju ke ajug-ajug di dekat
pintu butulan.
Ketika semangkuk air jernih
telah diserahkan kepada Kiai Sabda Dadi, kakek Damarpati itu pun segera
mengeluarkan sejenis serbuk yang berwarna kuning kehijauan dari dalam kantong
ikat pinggangnya. Serbuk itu dibungkus daun pisang yang masih segar.
Kelihatannya Kiai Sabda Dadi selalu mengganti bungkus serbuk itu untuk selalu
menjaga kesegarannya.
Setelah menuangkan serbuk
itu secukupnya ke dalam mangkuk yang berisi air jernih, dengan menggunakan
sebilah welat yang bersih, Kiai Sabda Dadi mulai mengaduk serbuk itu sehingga
menyatu dengan air yang ada di dalam mangkuk.
Setelah terlebih dahulu
membungkus kembali sisa obat itu dan memasukkan ke dalam kantong ikat
pinggangnya, Kiai Sabda Dadi pun kemudian berkata kepada Empu Wisanata, “Bantu
aku untuk meminumkan obat ini kepada Nyi Dwani agar dapat menambah daya tahan
tubuhnya.”
Dengan perlahan Empu
Wisanata kemudian mengangkat kepala anak perempuannya sedangkan Kiai Sabda Dadi
dengan telaten dan sabar sedikit demi sedikit menuangkan cairan obat itu ke
mulut Nyi Dwani.
Memang agak sulit untuk
memberikan minum kepada orang yang tak sadarkan diri. Namun dengan pengalaman
dan kemampuannya, setelah Kiai Sabda Dadi menekan dan mengurut beberapa bagian
di leher dan tengkuk Nyi Dwani, akhirnya sedikit demi sedikit cairan obat itu
pun melewati kerongkongan dan masuk ke dalam perut.
“Biarlah cairan obat itu
bekerja terlebih dahulu agar daya tahan Nyi Dwani bertambah kuat sebelum aku
mengobati luka dalam di bahunya, “ berkata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah
Empu Wisanata dengan perlahan lahan meletakkan kembali kepala Nyi Dwani di
pembaringan.
Ki Gede Menoreh yang sedari
tadi hanya berdiri di sisi pembaringan dan mengawasi Kiai Sabda Dadi bekerja
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Semoga Yang Maha
Agung masih memberikan kesempatan kepada Nyi Dwani.”
“Ya Ki Gede,” jawab Kiai
Sabda Dadi sambil mulai mempersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk
mengobati luka dalam Nyi Dwani, “Tulang bahu Nyi Dwani ini kelihatannya telah
patah. Aku harus menyambungnya kembali, namun untuk itu aku harus merobek kulit
dan dagingnya agar dapat mencapai tulang yang patah itu.”
Wajah Empu Wisanata menegang
mendengar penjelasan Kiai Sabda Dadi itu. Dengan jantung yang berdentangan
diberanikannya untuk bertanya, “Jadi, bagaimana dengan luka baru yang akan Kiai
buat itu?”
Kiai Sabda Dadi tersenyum.
Sambil berpaling sekilas ke arah Empu Wisanata dia menjawab, “Jangan khawatir
Empu, aku akan menjahit luka baru itu dan memampatkannya dengan obat yang
lain.”
Kerut merut di dahi Empu
Wisanata agak mengendur mendengar jawaban Kiai Sabda Dadi, namun betapapun
juga, ketegangan masih tampak di wajahnya.
Ketika ketiga orang itu
masih merenungi Nyi Dwani yang terbaring diam, tiba -tiba seorang pengawal
penghubung dengan tergesa-gesa telah memasuki pringgitan.
“Ki Gede..” berkata pengawal
penghubung itu setibanya di hadapan Ki Gede Menoreh dengan nafas yang sedikit
memburu, “Aku telah berhasil menghubungi Ki Jayaraga. Menurut perhitungan Ki
Jayaraga pasukan kita masih mampu mengatasi keadaan. Pasukan cadangan sebaiknya
disiagakan untuk mengatasi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin akan
ada serangan susulan atau ada penambahan jumlah pasukan lawan yang menurut
perhitungan Ki Jayaraga pasukan lawan juga mempunyai pasukan cadangan.”
Ki Gede Menoreh mengangguk
anggukkan kepalanya mendengar laporan pengawal penghubung itu. Kemudian katanya
sambil tersenyum, “Apakah kehadiran orang-orang tua seperti kami ini sudah
tidak diperlukan lagi?”
“Tentu tidak, Ki Gede,”
jawab pengawal penghubung itu dengan serta merta, “Ada beberapa pemimpin
pasukan lawan yang memerlukan perhatian khusus. Beberapa kelompok pengawal
memang untuk sementara masih mampu menahan seseorang yang memperkenalkan
dirinya sebagai Ki Ajar Wiyat dari Tumapel, namun seseorang yang menyebut
dirinya Bango Lamatan benar-benar telah membuat kelompok-kelompok pengawal yang
menahannya menjadi kebingungan menghadapi ilmunya yang aneh dan ngedab-edabi.”
“He..?” seru Kiai Sabda Dadi
sambil berpaling ke arah pengawal penghubung itu, “Apa katamu, Bango Lamatan?”
kakek Damarpati itu berhenti sejenak, kemudian katanya kepada Ki Gede Menoreh,
“Ki Gede, ternyata dugaan kita benar. Setelah Bango Lamatan dan kawan kawannya
gagal menyerbu kediaman Ki Gede, dia segera bergabung dengan pasukan yang
menyerbu padukuhan induk Menoreh. Sebaiknya Ki Gede dan Empu Wisanata segera
turun ke medan pertempuran. Biarlah aku mengobati Nyi Dwani terlebih dahulu.
Setelah selesai aku pun akan menyusul ke medan.”
“Baiklah,” berkata Ki Gede
Menoreh sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Empu
Wisanata yang masih berdiri termangu mangu di samping pembaringan anaknya,
“Marilah kita turun ke medan. Serahkan pengobatan Nyi Dwani pada Kiai Sabda
Dadi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu katanya kepada pengawal penghubung yang
masih berdiri di depannya menunggu perintah, “Kembalilah kepada pasukan
cadangan. Beritahu pemimpin pengawal yang tertua untuk selalu siaga. Sewaktu
waktu tenaga pasukan cadangan itu akan dibutuhkan.”
“Ya Ki Gede,” jawab pengawal
penghubung itu sambil mengangguk hormat kemudian melangkah keluar pringgitan
menuju ke tempat pasukan cadangan disiagakan.
Sepeninggal pengawal
penghubung itu, Ki Gede Menoreh dan Empu Wisanata pun segera bergegas
meninggalkan rumah yang disediakan untuk menampung para kurban pertempuran
menuju ke medan yang semakin riuh.
Ketika langkah kedua orang
itu telah mencapai medan pertempuran, beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang sedang bertempur tanpa sengaja telah berpaling ke arah Ki Gede dan Empu
Wisanata yang sedang berjalan kearah mereka. Sejenak mereka masih belum
menyadari siapakah yang berjalan dengan tegap sambil menjinjing tombak pendek
disamping Empu Wisanata itu. Namun ketika mereka kemudian menyadari sepenuhnya
bahwa orang itu adalah Ki Gede Menoreh, mereka benar-benar telah menjadi sangat
terkejut. Segera saja berbagai macam perasaan telah teraduk dalam dada mereka.
Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah hadir di medan dalam
keadaan sehat tak kurang satu apapun. Sangat jauh berbeda dengan berita yang
selama ini mereka dengar, Ki Gede telah jatuh sakit dan tidak mampu lagi
bangkit dari pembaringannya.
“Ki Gede Menoreh telah
datang..!” teriak salah seorang pengawal yang tidak mampu lagi untuk menahan
gejolak perasaannya yang seakan akan meledak ledak dalam dadanya.
Segera saja teriakan itu
disambut oleh kawan kawannya yang lain sehingga sejenak kemudian arena
pertempuran di sebelah kiri regol padukuhan induk itu pun telah menjadi gegap
gempita oleh teriakan nama pemimpin mereka yang sangat disegani dan sekaligus
dicintai, Ki Gede Menoreh.
“Persetan!” geram Ki Ajar
Wiyat yang bertempur melawan sekelompok pengawal tak jauh dari tempat Ki Gede
dan Empu Wisanata lewat, “Minggirlah kalian tikus-tikus clurut. Aku ingin
melihat sampai dimana kehebatan orang yang disebut Ki Gede Menoreh itu.”
Selesai berkata demikian
dengan menghentakkan ilmunya, Ki Ajar pun telah menyibakkan para pengawal yang
mengerubutinya sehingga para pengawal itu pun segera berloncatan ke belakang
menghindari terjangan ilmu Ki Ajar Wiyat yang nggegirisi.
Ternyata Ki Gede dan Empu
Wisanata yang lewat di sekitar medan itu dapat merasakan getaran ilmu itu.
Ketika kemudian mereka berpaling, terlihat seseorang yang berperawakan tinggi
kurus namun dengan penuh kepercayaan diri sedang berjalan ke arah mereka berdua.
“Nah,” berkata Ki Ajar Wiyat
setelah berhadapan dengan Ki Gede Menoreh dan Empu Wisanata, “Kita memang belum
pernah bertemu sebelumnya, namun menilik ciri-ciri yang aku dengar, Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu adalah seorang sakti yang bersenjatakan sebuah
tombak pendek,” Ki Ajar Wiyat berhenti sejenak, Lalu, “Sedangkan Ki Sanak yang
satunya ini aku tidak tahu dan memang aku tidak ingin tahu siapakah Ki Sanak
ini? Yang jelas aku, Ki Ajar Wiyat dari Tumapel hanya ingin menantang Ki Gede
Menoreh yang sangat dibangga-banggakan oleh para pengawalnya itu dalam sebuah
perang tanding untuk membuktikan kebesaran namanya.”
“Aku tidak merasa mempunyai
nama besar, Ki Ajar,” sahut Ki Gede Menoreh cepat, “Mungkin tanggapanmu sajalah
yang terlalu berlebihan. Adapun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh
menyambutku dengan gegap gempita itu adalah hak mereka dan memang sudah
sewajarnyalah seorang pemimpin itu dicintai dan dibanggakan oleh anak buahnya.”
“Alangkah sombongnya,” geram
Ki Ajar Wiyat, “Aku harap kesombonganmu itu sepadan dengan nyalimu untuk
menerima tantanganku berperang tanding.”
“Ki Ajar,” jawab Ki Gede
tenang, “Seseorang akan menerima sebuah tantangan untuk berperang tanding itu
tentu ada sebabnya. Tidak mungkin tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan kemudian
seseorang dengan mudah melontarkan sebuah tantangan untuk berperang tanding
kepada orang lain. Apalagi ini adalah dalam sebuah pertempuran. Kita tidak
dapat menentukan siapakah yang akan menjadi lawan kita? Siapapun yang berdiri
dihadapan kita dan menyerang kita, itulah lawan kita.”
“Omong kosong!” bentak Ki
Ajar Wiyat, “Itu hanya alasan bagi para pengecut. Terserah, apakah Kau akan
mengajak kawanmu itu atau Kau cukup mempunyai nyali untuk menghadapiku
sendirian, aku tidak peduli. Akan aku bunuh setiap orang Menoreh, kemudian
orang-orang Mataram yang sombong itu pun tidak akan luput dari tangan mautku.”
“Ki Ajar memang orang luar
biasa,” berkata Ki Gede Menoreh sambil menggeleng gelengkan kepala menanggapi
sikap lawannya, “Aku berjanji untuk menghadapimu sendirian namun itu bukan
berarti bahwa aku menerima tantanganmu untuk berperang tanding. Namun
sebenarnyalah tenagaku yang tua ini aku rasa masih lebih dari cukup kalau hanya
untuk menghadapi Ki Ajar. Tidak perlu seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini
atau bahkan para prajurit Mataram bersama-sama mengeroyokmu seperti laku
anjing-anjing pemburu yang saling berebut hanya untuk mengejar seekor tupai.”
“Gila!” umpat Ki Ajar Wiyat
sambil menggeretakkan giginya, “Ternyata Kepala Perdikan Menoreh yang mempunyai
nama besar itu tak lebih dari seorang pembual,” dia berhenti sejenak. Kemudian
sambil meloloskan senjatanya yang berupa sebilah keris luk sebelas namun yang
berukuran melebihi kewajaran, dia bergeser selangkah ke samping sambil
menyilangkan senjatanya di depan dada. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah Ki Gede.
Mungkin Kau masih bisa keluar dengan selamat dari beberapa pertempuran sebelum
ini, namun kali ini aku sarankan Kau segera memikirkan cara yang terbaik untuk
melarikan diri sebelum ujung senjataku ini merobek dadamu.”
Ki Gede Menoreh tidak
menjawab. Dia hanya menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Empu
Wisanata yang sedari tadi hanya berdiri termangu mangu di sebelahnya. Katanya
kemudian, “Sebaiknya Empu Wisanata mencari lawan yang sepadan dengan tataran
ilmu yang Empu kuasai. Biarlah Ki Ajar yang memiliki angan-angan terlalu tinggi
ini menjadi lawanku.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki
Ajar Wiyat, “Kalian berdua dapat maju bersama-sama untuk melawanku. Aku tidak
akan gentar, akan tetapi sebaliknya kalian berdua lah yang akan menyesal karena
dengan menghadapi dua lawan sekaligus aku terpaksa mengeluarkan ilmu puncakku
yang kedahsyatannya tidak akan pernah terbayangkan oleh kalian berdua. Ilmu
yang apabila ditrapkan dapat mengakibatkan sebuah gunung menjadi runtuh dan
lautan akan mengering.”
“Luar biasa,” desis Ki Gede
Menoreh sambil menggeleng gelengkan kepalanya, sementara Empu Wisanata hanya
tersenyum masam sambil berlalu dari tempat itu.
“He!” teriak Ki Ajar Wiyat
begitu menyadari Empu Wisanata berlalu dari hadapannya, “Jangan lari pengecut.
Aku akan membunuhmu sekarang juga.”
Selesai berkata demikian Ki
Ajar Wiyat segera membuat ancang-ancang untuk meloncat memburu Empu Wisanata
yang telah meninggalkan tempat itu beberapa langkah. Namun ternyata Ki Gede
Menoreh tidak tinggal diam, dijulurkannya ujung tombak pendeknya menghadang
tepat di depan Ki Ajar Wiyat sehingga pemimpin perguruan dari Tumapel itu
segera mengurungkan niatnya untuk meloncat menyerang Empu Wisanata.
“Ki Ajar,” berkata Ki Gede Menoreh
kemudian sambil menarik tombak pendeknya kembali ke depan dada setelah melihat
Ki Ajar Wiyat kembali pada kedudukannya semula, “Kau tidak usah mengejar Empu
Wisanata. Di sini aku sudah siap melayanimu walaupun mungkin diperlukan waktu
tiga hari tiga malam untuk menundukkanmu.”
“Persetan dengan
bualanmu. Kau jangan bermimpi dapat melawanku selama tiga hari tiga malam,
karena aku hanya memerlukan waktu tidak lebih dari sepenginang untuk
membunuhmu,” berkata Ki Ajar Wiyat sambil mulai menggerakkan kerisnya yang
berukuran melebihi dari ukuran sewajarnya.
Agaknya Ki Gede Menoreh
tanggap bahwa tidak ada gunanya lagi untuk mengulur waktu begitu melihat
lawannya sudah mulai menggerakkan senjatanya. Dengan bertumpu pada pangkal
tombak yang tergenggam erat di tangan kanannya, tangan kirinya pun mulai
menggerakkan ujung tombak itu lurus kedepan siap untuk mematuk dada.
“Sekali lagi aku peringatkan
Ki Gede,” berkata Ki Ajar sambil menggeser kaki kirinya selangkah ke samping,
“Aku tidak akan mulai dari tataran bawah, namun aku akan langsung menyerang
dengan menggunakan tataran tinggi dari ilmuku. Namun jangan khawatir, tataran
ini masih cukup jauh dari puncak ilmuku sehingga Ki Gede kemungkinannya masih
dapat mengimbangi beberapa saat.”
Ki Gede hanya menarik nafas dalam-dalam
mendengar kata-kata lawannya yang sangat jumawa itu. Namun dengan demikian
Kepala Perdikan Menoreh itu semakin meningkatkan kewaspadaannya untuk
menghadapi lawan yang belum diketahui tingkatan ilmunya.
Sejenak kemudian, ketika
dengan dahsyatnya keris luk sebelas itu meluncur bagaikan tatit yang meloncat
di udara mengarah ke jantung Ki Gede, dengan sedikit menarik kaki kirinya ke
belakang, Ki Gede mencondongkan tubuhnya sedikit ke kanan. Kemudian dengan
gerakan memutar ujung tombaknya mencoba melibat tangan lawannya yang
menggenggam keris.
Ki Ajar menyadari sepenuhnya
bahwa Ki Gede akan mencoba melepaskan keris di tangannya itu pada benturan
pertama. Namun Ki Ajar yang sudah banyak makan asam garamnya pertempuran itu
tentu saja tidak akan membiarkan kerisnya terlepas. Dengan menarik kerisnya ke
samping kanan sehingga libatan ujung tombak itu mengenai tempat kosong, ujung
keris itu tiba-tiba telah berubah arah menyambar ke arah lambung kiri Ki Gede
yang terbuka.
Mendapat serangan susulan
seperti itu Ki Gede Menoreh tidak menjadi gugup. Ketika libatan ujung tombaknya
mengenai tempat kosong, dengan cepat ujung tombak itu pun berubah arah untuk
menangkis senjata lawannya yang mengarah ke lambung.
Benturan itu ternyata cukup
mengejutkan Ki Ajar. Ternyata kekuatan Ki Gede tidak dapat dipandang dengan
sebelah mata. Hampir saja keris itu terlepas dari genggamannya kalau saja Ki
Ajar tidak segera memperbaiki kedudukannya sambil meloncat ke belakang
mengambil jarak.
--oo0oo-
Lanjut ke TADBM 407
Komentar
Posting Komentar