Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 406

Oleh: Mbah MAN
buku 406

****
DALAM pada itu, Ki Jayaraga bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani masih berdiri di atas panggungan yang di dirikan di sebelah menyebelah regol padukuhan induk. Mereka bertiga tidak habis mengerti, mengapa pasukan para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu tidak kunjung menyerang? Mereka justru telah mengambil jarak yang cukup jauh dari dinding padukuhan dan sepertinya ada yang sedang mereka tunggu.
“Mengapa mereka tidak segera menyerbu padukuhan ini, Ayah?” bertanya Nyi Dwani.
Empu Wisanata menggeleng lemah, “Aku tidak tahu, Dwani. Mungkin mereka menunggu Matahari terbit.”
“Bukankah Matahari telah terbit beberapa saat yang lalu?”
“Ya,” jawab ayahnya, “Mungkin masih terlalu pagi bagi mereka untuk memulai sebuah pertempuran.”
“Tentu tidak,” sahut Ki Jayaraga sambil mengamati para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berlindung di antara pepohonan dan tanggul-tanggul yang tinggi, “Aku merasakan ada sesuatu yang sedang mereka tunggu, namun apakah itu aku tidak dapat menebak dengan pasti.”
Sejenak Empu Wisanata dan Nyi Dwani menekur. Berbagai dugaan silih berganti di dalam benak mereka, namun tak satu pun yang dapat dijadikan alasan yang kuat mengapa mereka tidak segera menyerang.
Selagi mereka disibukkan dengan berbagai tanggapan atas sikap pasukan Panembahan Cahya Warastra itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi panah sendaren dua kali berturut turut memecahkan udara pagi di atas padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal Menoreh yang telah bersiap di balik pagar hampir serentak memandang ke udara. Panah-panah itu memang sudah tidak kelihatan namun suara raungannya terasa membelah angkasa.
“Jangan terpancing!” tiba-tiba terdengar teriakan yang menggelegar dari Ki Jayaraga yang berdiri di atas panggungan. Ditebarkan pandangan matanya ke seluruh pengawal tanah perdikan Menoreh yang merupakan gabungan para pengawal yang ada di padukuhan-padukuhan kecil dan padukuhan induk. Katanya kemudian sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, “Tetap di tempat kalian. Jangan terpancing dengan keadaan yang tidak menentu. Biasakan selalu mendengarkan perintah melalui atasan kalian.”
Selesai berkata demikian Ki Jayaraga segera mengajak Empu Wisanata dan Nyi Dwani turun dari panggungan. Mereka harus segera memperhitungkan jika musuh jadi menyerang. Gelar yang telah disepakati adalah gelar gedong minep atau jurang grawah. Kalau pintu gerbang padukuhan induk ternyata mampu dijebol oleh pihak lawan, mereka justru akan membiarkan sebagian lawan masuk dengan deras ke dalam padukuhan. Setelah gelombang serangan itu agak mereda, para pengawal yang bersembunyi di kanan kiri regol akan serentak menyerang untuk memotong arus serangan itu.
Ki Jayaraga dengan cerdik telah menanam batang-batang bambu beberapa langkah di belakang regol. Dengan sebuah pengungkit yang diletakkan di kedua ujung bambu-bambu yang ditanam itu, arus serangan lawan akan tertahan beberapa saat. Di saat itulah para pengawal di sebelah menyebelah regol akan menyerang pasukan lawan yang tertahan itu.
Dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga segera menuju ke sebuah rumah yang dijadikan sebagai tempat pertemuan para pemimpin pengawal. Dengan sebuah isyarat kentong dua ganda berturut turut yang tidak terlalu keras namun gaungnya cukup sampai ke sudut-sudut pertahanan Menoreh, beberapa pemimpin pengawal pun segera berkumpul.
Setelah semuanya duduk di pendapa beralaskan sebuah tikar pandan yang lebar, Ki Jayaraga pun memulai pembicaraan.
“Panah sendaren yang baru saja kita dengar pasti ada hubungannya dengan penyerbuan ke padukuhan induk ini,” Ki Jayaraga berhenti sejenak, “Kita tidak usah berandai-andai panah sendaren itu sebagai isyarat pasukan lawan ditarik mundur, namun yang perlu kita siagakan adalah, kemungkinan sebagai isyarat dimulainya penyerbuan pasukan lawan. Oleh karena itu, siapkan panah-panah dan lembing-lembing di atas panggungan sepanjang dinding padukuhan. Beberapa pengawal dapat memanjat pohon yang tumbuh di sisi dalam dinding. Usahakan jangan sampai lawan dapat mencapai dinding padukuhan sehingga memberi kesempatan pada mereka untuk memanjat dengan cara apapun. Hujani mereka dengan anak panah, lembing bahkan kalian dapat menggunakan batu-batu yang dilontarkan melalui bandil maupun ketapel.”
Para pemimpin pengawal itu mengangguk anggukkan kepala mereka. Salah satu pemimpin pengawal yang berkumis tipis tiba-tiba mengangkat tangannya untuk menarik perhatian Ki Jayaraga.
“Bicaralah!” perintah ki Jayaraga kemudian.
“Ki Jayaraga,” berkata pemimpin pengawal yang berkumis tipis itu, “Kami juga menyediakan batu-batu yang cukup besar di sepanjang panggungan.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, bahkan para pemimpin pengawal yang lain telah saling pandang karena tidak mengerti maksud kawannya itu.
“Apakah alat yang akan kau gunakan untuk melontarkan batu-batu yang cukup besar itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.
Sejenak pemimpin pengawal yang berkumis tipis itu tersenyum. Diedarkan pandangan matanya ke arah kawan kawannya, baru kemudian dia meneruskan kata katanya, “Batu-batu itu tidak dilontarkan, melainkan dijatuhkan saja dari atas dinding apabila lawan dapat mencapai dinding dan mencoba memanjat.”
Ki Jayaraga mengangguk anggukkan kepalanya, sementara para pemimpin pengawal yang lain saling bergeremang bahkan ada yang mencemooh.
“Buang-buang waktu saja,” desis seorang pemimpin pengawal yang berbadan kekar kepada kawannya yang duduk di sebelahnya, “Kita perbanyak panah dan lembing yang mempunyai jarak lontar cukup jauh. Jika ada yang berhasil mencapai dinding, alangkah mudahnya membidik orang yang sedang memanjat, apapun alat yang dipakainya.”
Kawannya yang duduk di sebelahnya hanya mengangguk angguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Siapa yang memimpin pasukan pertahanan di belakang pintu gerbang?” pertanyaan Ki Jayaraga telah membungkam pengawal yang bertubuh kekar itu.
“Aku, Ki Jayaraga,” jawab seorang pemimpin pengawal yang bertubuh tinggi dan berambut keriting.
“Kau sudah tahu tugasmu?” kembali Ki Jayaraga bertanya.
Orang yang tinggi dan berambut keriting itu sejenak menggeser duduknya agak mendekat, kemudian jawabnya, “Tugas kami menahan laju pasukan lawan jika gerbang padukuhan induk dapat dijebol lawan. Kami juga sudah menyiapkan anak panah dan lembing yang jumlahnya tak terhitung. Selain itu kami juga telah membuat tombak-tombak panjang dari batang-batang bambu yang ujungnya telah diruncingkan.”
“Bagus,” sahut Ki Jayaraga, “Begitu mereka memasuki pintu gerbang, hujani mereka dengan anak panah dan lembing. Jika ternyata masih ada yang lolos, kalian dapat mempergunakan batang-batang bambu itu untuk menahan mereka, dan jika ternyata masih ada yang lolos, kalian harus siap dengan sebuah pertempuran yang sebenarnya.”
Para pemimpin pengawal itu mengangguk anggukkan kepala mereka. Dalam benak mereka terbayang, betapa pasukan lawan akan sangat kesulitan menghadapi berbagai rintangan yang telah mereka siapkan.
“Nah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Apakah masih ada yang kurang jelas?”
Para pemimpin pengawal yang berkumpul di pendapa itu hampir serentak menjawab, “Semuanya sudah jelas, Ki.”
“Baiklah, kalau memang sudah tidak ada persoalan lagi, silahkan kembali ke tempat kalian masing-masing.”
Demikianlah akhirnya pertemuan itu segera bubar. Sementara Ki Jayaraga telah menemui Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang sedang melihat lihat pertahanan yang telah disusun oleh para pengawal.
Namun baru saja Ki Jayaraga mendekati Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang sedang mengamati sebuah pengungkit yang berada beberapa langkah di sisi regol, seorang pengamat yang berada di atas panggungan telah memberikan isyarat kepada Ki Jayaraga bahwa ada tanda-tanda musuh telah mendekat.
Dengan tergesa-gesa Ki Jayaraga beserta Empu Wisanata dan Nyi Dwani naik ke atas panggungan. Dada ketiga orang itu sejenak berdesir begitu melihat pasukan lawan yang sudah bergerak dalam gelar walaupun masih cukup jauh dan belum dapat dijangkau oleh lontaran anak panah.
“Dirada Meta,” desis Ki Jayaraga.
“Ya, Ki,” Empu Wisanata yang di sebelahnya menyahut, “Agaknya mereka memperhitungkan kekuatan gerbang padukuhan ini sehingga mereka mengandalkan kekuatan Dirada Meta untuk menjebolnya.”
“Kekuatan utama tentu pada kedua gading itu,” berkata ki Jayaraga kemudian tanpa melepaskan pandangan matanya pada gerak gelar lawan yang lambat tapi pasti menuju ke padukuhan induk, “Kalau tidak terdapat pada kedua gadingnya, tentu Senapatinya bertempat pada belalai itu .”
Ketika jarak pasukan lawan itu hampir mendekati jarak jangkauan lontaran anak panah, tiba-tiba gelar Dirada Meta itu berhenti. Terdengar sebuah aba-aba yang kemudian segera sambung bersambung ke seluruh gelar.
Sejenak kemudian gelar itu pun seperti teraduk. Beberapa orang saling bergeser. Ketika beberapa saat kemudian gelar itu kembali tenang, tampak orang-orang yang terletak pada bagian kepala gelar telah menyandang sebuah perisai.
“Mereka agaknya sudah mempersiapkan diri dengan sebaik baiknya,” berkata Empu Wisanata.
Ki Jayaraga mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika pandangan matanya membentur tangan Empu Wisanata dan Nyi Dwani, keduanya ternyata telah menggenggam busur dan menyandang endong dengan puluhan anak panah di dalamnya.
“Kami meminjam dari para pengawal itu,” berkata Empu Wisanata sambil menunjuk ke arah seorang pengawal yang sekarang sedang berdiri agak jauh sambil menjinjing beberapa lembing.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jika yang melontarkan anak panah kalian berdua, aku yakin setebal apapun perisai itu pasti akan tembus.”
“Ah,” hampir bersamaan ayah dan anak itu berdesah, “Kami belum berbuat apa-apa. Semoga kami tidak lupa bagaimana menggunakan busur ini.”
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya kemudian, “Nah, kalian berdua dapat memulai melontarkan anak panah. Memang untuk kebanyakan pemanah, jarak itu masih cukup jauh, tapi bagi kalian aku rasa dapat mencapainya untuk sekedar mengingatkan kepada lawan bahwa yang mereka hadapi bukan anak-anak kemarin sore yang sedang belajar memanah.”
Empu Wisanata dan Nyi Dwani saling pandang sejenak. Ketika mereka melemparkan pandangan mata ke arah pasukan lawan, perlahan tapi pasti gelar Dirada Meta itu telah bergerak maju.
Jarak dengan pasukan itu memang masih jauh, namun dengan mengerahkan tenaga cadangan, ayah dan anak itu telah mengangkat busurnya. Ketika tali busur itu telah direntangkan dengan sekuat tenaga, hampir bersamaan dua buah anak panah melesat bagaikan tatit yang melompat di udara menyambar kearah sasaran.
Ternyata kekuatan tenaga cadangan kedua orang itu telah mampu melontarkan anak panah melebihi orang kebanyakan. Kedua anak panah itu pun kemudian menyambar sasaran masing-masing. Terdengar umpatan yang sangat kotor dari kedua pengikut Panembahan Cahya Warastra ketika kedua anak panah itu telah mampu menembus perisai yang mereka bawa. Anak panah dari Nyi Dwani ternyata sempat menyentuh pundak salah seorang pengikut Panembahan Cahya Warastra sehingga darah pun telah menetes. Sedangkan anak panah Empu Wisanata ternyata tidak hanya menyentuh, namun benar-benar telah melukai dada kanan lawannya.
“Gila,” umpat Bango Lamatan yang ternyata telah bergabung dengan pasukan yang dipimpin Ki Gede Ental Sewu, “Orang-orang Menoreh memang gila. Mereka harus diajari bagaimana memanah yang sesungguhnya.”
Selesai berkata demikian, Bango Lamatan yang berada di belalai dari gelar Dirada Meta itu telah menyambar busur dan sebuah anak panah dari seseorang yang berdiri di belakangnya. Dengan sepenuh tenaga, segera dilontarkannya anak panah itu mengarah ke gerbang padukuhan induk yang tertutup rapat.
Yang terjadi kemudian ternyata telah menggetarkan setiap dada yang berada di belakang gerbang padukuhan induk itu. Pintu gerbang yang setebal telapak tangan orang dewasa dan diselarak ganda ternyata telah terguncang hebat begitu terkena anak panah yang dilepaskan Bango Lamatan. Untunglah gerbang itu terbuat dari kayu nangka yang sangat tua sehingga tidak menjadi retak ataupun selaraknya berpatahan. Namun goncangannya telah membuat setiap dada dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berdebar debar.
“Jangan terpancing!” tiba-tiba terdengar teriakan lantang dari Ki Jayaraga, “Tidak setiap orang dalam pasukan lawan mampu melakukan itu. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu membuat pengeram-eram seperti itu. Mungkin itu tadi yang melakukannya adalah Senapati lawan untuk sekedar menakut-nakuti kita. Tapi dengan kesombongannya itu, justru aku sudah dapat meraba, sampai di mana kemampuan ilmunya yang sebenarnya.”
Empu Wisanata yang berada di sebelah Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam sambil berbisik, “Ternyata Ki Jayaraga mampu juga untuk sedikit menyombongkan diri di hadapan para pengawal.”
Ki Jayaraga tersenyum sambil berpaling, jawabnya kemudian, “Kadang-kadang sikap jumawa itu diperlukan untuk sekedar membangkitkan kepercayaan para pengawal terhadap pemimpinnya.”
Empu Wisanata hanya dapat mengangguk anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu gelar Dirada Meta dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra telah semakin dekat dengan gerbang padukuhan induk.
Tiba-tiba Bango Lamatan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil meneriakkan sebuah aba-aba yang segera diteruskan oleh para pemimpin pasukan yang ada di sebelah menyebelah gelar. Sejenak kemudian pasukan pengikut Panembahan Cahya Warastra itu pun telah berhenti.
“Bango Lamatan,” Ki Gede Ental Sewu yang berada di ujung belalai telah mundur beberapa langkah kebelakang mendekati Bango Lamatan, “Kita harus memperhitungkan korban yang akan berjatuhan jika kita menyerbu gerbang padukuhan induk itu tanpa perhitungan.”
“Demikianlah, Ki Gede,” jawab Bango Lamatan sambil mengangguk hormat, “Aku berpendapat sebaiknya untuk mengalihkan perhatian, Ki Gede dapat menjebol dinding sebelah kanan regol sedangkan aku dan Ki Ajar Wiyat serta Kiai Sasadara akan berusaha menjebol dinding sebelah kiri regol.”
Sejenak Ki Gede Ental Sewu terdiam, namun akhirnya dia bertanya juga, “Bagaimana dengan regol itu?”
“Pasukan pemanah berapi akan membakar regol itu. Kita sudah menyiapkan bumbung-bumbung bambu yang berisi minyak jarak serta panah-panah yang ujungnya telah dibalut dengan secarik kain yang nantinya akan dicelupkan ke bumbung-bumbung itu kemudian di nyalakan.”
Ki Gede mengangguk angguk sambil memandang ke arah dinding padukuhan induk Menoreh yang terlihat berdiri sangat kokoh.
“Dinding itu memang terbuat dari batu Ki Gede,” berkata Bango Lamatan sepertinya memahami apa yang sedang dipikirkan oleh pemimpin padepokan dari gunung Sindara itu, “Namun diantara bebatuan yang direkatkan itu pasti ada celah yang lemah sehingga serangan yang terus menerus pada celah itu akan dapat menggugurkan bebatuan itu.”
Kembali Ki Gede mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah Bango Lamatan. Tapi bagi kalian yang tidak memiliki ilmu kebal atau sejenisnya akan sangat sulit mendekati dinding itu karena hujan panah dan lembing pasti akan menghambat pergerakan kalian.”
“Itu sudah kami perhitungkan Ki Gede,” jawab Bango Lamatan, “Aku memang tidak menguasai ilmu kebal atau sejenisnya. Aku akan membawa perisai atau setidaknya ada orang lain yang membawa perisai bersamaku untuk sekedar melindungiku dari hujan anak panah selagi aku mencoba untuk mengguncang dinding itu.”
“Bagaimana dengan Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara?”
“Menurut pengakuan mereka, mereka telah memiliki bekal itu, sejenis ilmu kebal yang dapat melindungi wadag mereka dari serangan anak panah dan senjata tajam lainnya.”
“Baiklah,” berkata Ki Gede Ental Sewu kemudian, “Perintahkan agar pasukan tetap diam di tempat. Seandainya mereka nanti menghujani aku dengan anak panah, pasukan kita tidak usah membalas. Persediaan anak panah kita sangat terbatas, berbeda dengan orang-orang Menoreh itu, mereka dapat membuat anak panah sebanyak banyaknya.” Ki Gede berhenti sejenak kemudian lanjutnya, “Sekarang aku akan mendekati dinding itu, kau bersama dengan Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara dapat memulainya sekarang juga.”
Selesai berkata demikian, Ki Gede tanpa menunggu tanggapan Bango Lamatan telah melangkah keluar dari barisan dan kemudian berjalan mendekati dinding sebelah kanan regol.
Seperti yang telah mereka duga sebelumnya, segera saja hujan anak panah dan lembing berhamburan ke arah Ki Gede Ental Sewu yang berjalan seenaknya tanpa menghiraukan anak-anak panah dan lembing yang menyerangnya.
Sekali lagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dadanya bagaikan diguncang prahara menyaksikan betapa anak panah dan lembing yang mereka lontarkan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap Ki Gede Ental Sewu. Anak-anak panah dan lembing-lembing itu seolah olah telah menyentuh sekeping baja tulen sehingga terpental dan berjatuhan ke tanah. Bahkan tak jarang beberapa diantaranya telah berpatahan sebelum jatuh ke tanah.
Ketika Ki Gede Ental Sewu telah berdiri beberapa tombak dari dinding, sejenak dipusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmunya yang sangat nggegirisi.
Ki Jayaraga yang melihat ada orang yang mendekati dinding padukuhan dengan menunjukkan kelebihannya menahan serangan anak panah dan lembing segera memerintahkan untuk menghentikan serangan. Dengan hati yang berdebar debar Ki Jayaraga sambil berjongkok mencoba mengintip dari balik dinding di atas panggungan. Panggungan itu memang tidak dibangun sejajar dengan tinggi dinding, namun panggungan itu dibangun agak rendah dari dinding. Jaraknya sekitar setinggi pinggang orang dewasa.
“Rasa rasanya aku pernah mengenal orang itu,” desis Ki Jayaraga sambil terus mengamati seraut wajah yang kelihatannya tidak asing baginya.
“He!” hampir saja Ki Jayaraga terlonjak dari tempatnya begitu dia menyadari siapakah orang yang sedang berdiri beberapa tombak dari dinding padukuhan itu.
“Ki Gede Ental Sewu dari gunung Sindara.” serunya sedikit tertahan.
“He!” Empu Wisanata yang berjongkok di sebelahnya pun ikut terkejut, “Benarkah kita berhadapan dengan Ki Gede Ental Sewu?”
Sementara Nyi Dwani yang masih muda dan tidak banyak mengenal tokoh tua telah ikut mengawasi Ki Gede dari balik dinding, katanya kemudian, “Siapakah yang ayah maksudkan? Aku tidak mengenalnya.”
“Kau memang tidak mengenalnya,” jawab ayahnya, “Ki Gede jarang sekali turun gunung. Entah apa yang membuatnya tertarik untuk mendatangi Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Dalam pada itu Ki Gede Ental Sewu yang telah selesai memusatkan nalar budinya segera mengurai kedua tangannya yang menyilang di depan dadanya. Sejenak kemudian dengan mata yang menyala, Ki Gede pun telah mengangkat tangan kanannya ke atas. Seleret cahaya kebiru-biruan melesat menghantam dinding padukuhan sebelah kanan regol.
Benturan ilmu Ki Gede dengan dinding itu telah menimbulkan ledakkan yang dahsyat dan suara menggelegar memekakkan telinga. Beberapa pengawal yang bersembunyi di balik dinding di atas panggungan itu telah terlempar berhamburan jatuh ke tanah saling tindih. Untunglah mereka tidak mengalami cidera yang berarti, hanya sedikit benturan dengan tanah dan lecet-lecet saja.
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Serba sedikit guru Tumenggung Prabandaru ini sudah mengenal Ki Gede Ental Sewu ketika dia masih bergelut dengan dunianya, dunia hitam. Seseorang yang tidak dapat dikatakan putih, namun juga tidak berwarna hitam, justru karena Ki Gede Ental Sewu lebih senang dengan warnanya sendiri dan tidak berpihak kepada siapapun kecuali yang memberikan keuntungan kepadanya.
Ketika sekali lagi Ki Gede Ental Sewu bermaksud melontarkan ajinya untuk menggempur dinding padukuhan induk yang sudah mulai jebol bagian atasnya, Ki Jayaraga telah mengambil keputusan untuk menghentikannya.
Demikianlah ketika sekali lagi tangan kanan Ki Gede Ental Sewu terangkat ke atas, sebelum Ki Gede sempat melontarkan ajinya yang nggegirisi itu, entah dari mana datangnya tiba-tiba hanya berjarak selangkah di depan Ki Gede, tanah yang ada di depan Ki Gede telah meledak disertai dengan semburan api yang menjilat. Benar-benar semburan api yang keluar dari dalam tanah dan jilatan lidah apinya sempat menyambar kain panjang Ki Gede Ental Sewu.
“Gila!” umpat Ki Gede terkejut sambil meloncat ke belakang. Semburan api dan percikan tanah yang membara itu ternyata telah menghanguskan ujung kain panjangnya.
Sejenak Ki Gede masih mengatur gejolak dalam dadanya mendapat serangan yang tiba-tiba itu, walaupun sebenarnya Ki Jayaraga tidak bermaksud menyerang langsung ke arah Ki Gede dan hanya mengarahkan serangannya itu selangkah di depan Ki Gede, namun semburan api itu ternyata telah mengejutkannya.
“Hanya ada satu orang di dunia ini yang mampu meledakkan tanah dan menyemburkan api!” teriak Ki Gede sambil memandang ke tempat Ki Jayaraga bersembunyi, “Aku tidak akan pernah lupa dengan Pradapa yang kemudian menyebut dirinya Jayaraga, guru Tumenggung Prabandaru dan para Bajak laut itu,” dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Mengapa kau tersesat di tempat ini, he! Ataukah kau telah menjadi seorang pengembara yang putus asa dan menjelajah ke seluruh sudut bumi ini hanya untuk sekedar mengobati rasa kecewamu atas kematian semua muridmu?”
Berdesir dada Ki Jayaraga ketika murid muridnya disebut. Bagaimana pun juga, di sudut hatinya yang paling dalam rasa penyesalan itu masih tetap ada. Penyesalan tentang nasib murid muridnya yang telah terbunuh dan sama sekali tidak pernah memberikan kebanggaan dan mengangkat nama baik perguruan.
“Kau benar Ki Gede,” tiba-tiba Ki Jayaraga menyahut sambil berdiri dari tempatnya berlindung, “Aku merindukan kembali masa-masa mudaku ketika aku masih bernama Pradapa. Menjelajahi pulau ini dari ujung sampai ke ujung yang lainnya. Bertemu dengan banyak orang yang salah satunya adalah seseorang yang menyebut dirinya Respati Mintuna.”
“Tutup mulutmu yang kotor itu, Pradapa!” bentak Ki Gede Ental Sewu, “Kalau kau bermaksud mengungkit masa lalu itu, berarti akan ada perang tanding kedua untuk menuntaskan dendam diantara kita.”
“Dendam itu sebenarnya tidak ada, Kakang Respati. Kau hanya mengada-ada. Aku tidak pernah mendendam kepada siapapun, bahkan kepada mereka yang telah membunuh murid muridku karena mereka telah mati dalam sebuah perang tanding yang adil.”
“Jangan panggil aku Kakang!” kembali Ki Gede Ental Sewu membentak, “Aku tidak pernah mempunyai sangkut paut atau pun hubungan keluarga dengan orang yang bernama Pradapa yang kemudian bersembunyi di balik nama Jayaraga, dan entah nama apalagi yang akan kau pakai setelah ini.”
“Tidak, Kakang Respati!” tak kalah kerasnya Ki Jayaraga yang biasanya tenang itu telah berteriak, “Aku memanggilmu Kakang justru karena aku ingin menghormatimu sesuai dengan permintaan Niken Larasati.”
Tiba-tiba tubuh Ki Gede Ental Sewu gemetar begitu mendengar nama Niken Larasati disebut oleh Ki Jayaraga. Sejenak wajahnya berubah merah membara dan sepasang matanya menyiratkan dendam kesumat yang tiada taranya.
Namun belum sempat Ki Gede membalas kata-kata Ki Jayaraga, mereka telah dikejutkan oleh suara benturan yang menggelegar di sebelah kiri regol. Ternyata Bango Lamatan bersama dengan Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara telah mulai menggabungkan kekuatan mereka untuk menggempur dinding padukuhan sebelah kiri regol.
Empu Wisanata yang masih berjongkok di atas panggungan di sebelah Ki Jayaraga segera bangkit berdiri. Sejenak dilayangkan pandangan matanya ke arah dinding sebelah kiri regol. Ternyata dinding itu telah jebol hampir sepertiganya. Tampak Bango Lamatan yang menyandang perisai di tangan kirinya, sedang tangan kanannya sudah siap kembali melontarkan ajinya untuk menggempur dinding sebelah kiri regol. Demikian juga Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara telah bersiap siap membantu Bango Lamatan.
Tanpa berpikir panjang, Empu Wisanata segera menarik sebuah anak panah dari endongnya. Namun sebelum menempatkan anak panah itu pada busurnya, dia terlebih dahulu telah mematahkan ujung anak panah yang runcing itu.
Sejenak kemudian sebuah anak panah yang tumpul ujungnya telah meluncur menghantam perisai Bango Lamatan dari samping kiri. Akibatnya sangat luar biasa, Bango Lamatan yang sedang memusatkan nalar budinya untuk kembali menggempur dinding sebelah kiri regol telah terguncang ketika panah Empu Wisanata menghantam perisainya.
Hantaman itu bagaikan berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit, sehingga sejenak Bango Lamatan telah kehilangan keseimbangan. Kalau saja Ki Ajar Wiyat tidak menahan tubuhnya, tentu Bango Lamatan sudah jatuh terjengkang kebelakang.
“Gila!” teriak Bango Lamatan sambil memperbaiki kedudukannya. Kemudian perintahnya pun keluar dengan teriakan yang menggelegar, “Bakar pintu gerbang sekarang juga!”
Perintah itu tidak perlu diulangi, segera saja para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang membawa panah berapi telah melontarkan panah-panah berapi ke pintu gerbang. Sebagian lagi bahkan telah melontarkan bumbung-bumbung bambu yang berisi minyak jarak ke arah pintu gerbang sehingga ketika bumbung-bumbung itu berbenturan dengan pintu gerbang yang cukup tebal itu, minyaknya telah tumpah berhamburan melumuri sebagian daun pintunya.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak tinggal diam, dari atas panggungan sambil berlindung mereka menghujani pasukan lawan yang mencoba maju dengan senjata jarak jauh yang telah mereka persiapkan. Hujan panah dan lembing serta batu-batu memang sempat menghambat gerak maju pasukan Panembahan Cahya Warastra, namun ketika sebagian pintu gerbang yang berlumuran minyak jarak itu terkena panah berapi, gerbang yang kokoh itu pun sedikit demi sedikit mulai terbakar.
Kepanikan pun segera terjadi di sekitar regol. Beberapa pengawal mencoba mencari air dari perigi terdekat untuk memadamkan api yang mulai membesar. Namun karena tidak ada persiapan yang memadai untuk mengatasi kebakaran, api pun semakin membesar dan kini seluruh pintu gerbang telah ditelan oleh api yang berkobar kobar.
Kesempatan itu ternyata tidak di sia-siakan oleh Bango Lamatan. Dengan sebuah isyarat, bersama dengan Ki Ajar Wiyat dan Kiai Sasadara, sekali lagi dinding yang terbuat dari susunan batu-batu kali itu telah meledak dan batu batunya pun jatuh berguguran sehingga telah terbuka sebuah lubang yang cukup lebar.
“Maju..!” teriak Bango Lamatan memberikan semangat pasukannya untuk masuk menerobos melalui dinding sebelah kiri regol yang telah berlubang cukup lebar.
Kembali para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memberikan perlawanan melalui lontaran anak panah dan lembing serta batu-batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Namun pasukan di bawah pimpinan Bango Lamatan itu agaknya telah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mereka yang menerobos di garis depan telah dibekali dengan perisai yang kuat, sementara beberapa kawannya yang tidak berperisai telah ikut berlindung di bawahnya sambil membalas serangan para pengawal Menoreh dengan melontarkan anak panah yang mereka bawa.
Korban segera berjatuhan di kedua belah pihak. Walaupun perisai yang melindungi pasukan pimpinan Bango Lamatan itu cukup rapat, namun sesekali tetap ada anak panah atau lembing yang mampu menerobos di sela selanya sehingga korban pun tidak dapat dielakkan lagi. Sedangkan di pihak Menoreh, mereka menjadi sasaran yang empuk jika mereka kurang sempurna dalam berlindung. Lawannya akan dengan mudah membidik dari balik perisai justru pada saat para pengawal itu muncul di atas dinding untuk melontarkan anak panah maupun melemparkan lembing. Kesempatan itu dijadikan saat yang tepat bagi para pengikut Panembahan Cahya Warastra untuk berbalik menyerang.
Pertempuran jarak jauh di sebelah kiri regol itu semakin seru ketika pasukan di bawah pimpinan Bango Lamatan semakin mendekati dinding. Kini batu-batu besar pun ikut di jatuhkan dari atas dinding dan ternyata telah memakan korban yang cukup banyak. Pasukan Bango Lamatan itu kini telah menempatkan perisai mereka di atas kepala sambil merunduk mendekati dinding yang telah berlubang. Mereka tidak menyangka kalau pasukan Menoreh akan menjatuhkan batu-batu besar tepat di atas perisai-perisai itu sehingga telah membuat beberapa orang jatuh terjungkal, pada saat itulah beberapa anak panah telah menyambar dada mereka.
Bango Lamatan melihat kesulitan pasukannya, maka teriaknya kemudian, “Pasukan yang membawa panah, serang mereka yang di atas dinding! Jangan beri kesempatan mereka keluar dan menyerang kita!”
Aba-aba itu telah menguatkan semangat mereka untuk menggunakan anak panah mereka habis habisan. Karena sebelumnya mereka mendapat perintah untuk menghemat anak panah karena persediaan memang sangat terbatas.
Sejenak kemudian, beratus ratus anak panah telah berterbangan menyambar-nyambar ke atas dinding sehingga membuat para pengawal yang berjaga di atas panggungan tidak berani menampakkan diri apalagi membalas serangan. Kesempatan ini segera di gunakan oleh Bango Lamatan untuk membawa maju pasukannya.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang menyaksikan pertempuran jarak jauh yang telah berkobar di regol sebelah kiri telah memerintahkan Empu Wisanata dan Nyi Dwani untuk turun dari panggungan dan membantu perlawanan yang berada di regol sebelah kiri.
Empu Wisanata dan Nyi Dwani tidak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Bagaikan dua ekor garuda yang sedang menyambar mangsanya, ayah dan anak itu segera meluncur turun dari panggungan menuju ke sebelah kiri gerbang padukuhan induk. Keadaan dinding sebelah kiri gerbang itu benar-benar telah rusak. Dinding batu yang terkena lontaran ilmu Bango Lamatan dan kawan-kawannya ternyata telah jebol dan membentuk sebuah lubang yang memungkinkan pasukan Bango Lamatan untuk menerobos maju.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun segera menyambut pasukan Bango Lamatan itu dengan hujan anak panah, lembing dan tombak-tombak panjang yang terbuat dari bambu. Korban di pihak lawan pun mulai berjatuhan, namun dengan semangat membara, pasukan yang dipimpin Bango Lamatan itu sedikit demi sedikit telah memasuki padukuhan induk lewat celah dinding yang telah jebol.
Sebelum pasukan lawan itu telah benar-benar memasuki padukuhan induk, para pengawal yang bertahan di atas panggungan sepanjang dinding sebelah kiri telah berloncatan turun dan bergabung dengan kawan-kawan mereka yang bertahan beberapa puluh langkah di belakang dinding padukuhan induk.
Seorang pengawal yang bermata sipit tiba-tiba saja telah berbalik akan memanjat ke panggungan lagi.
“He!” teriak kawannya, “Mau kemana?”
Sejenak pengawal yang bermata sipit itu ragu-ragu, namun katanya kemudian, “Bekalku tertinggal di atas panggungan.”
“Ah,” kawannya segera menariknya untuk bergabung dengan para pengawal yang telah menempatkan diri, “Apa Kau sudah gila? Mungkin Kau masih akan menemukan bekalmu di sana, tapi sebagai gantinya justru kepalamu yang akan tertinggal di atas panggungan sana.”
Pengawal bermata sipit itu tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa dia pun kemudian berlari mengikuti kawannya menuju ke tempat para pengawal mempertahankan diri.
“Mundur ke pertahanan ke dua!” Empu Wisanata yang melihat kesulitan para pengawal menahan arus pasukan Panembahan Cahya Warastra yang dipimpin oleh Bango Lamatan telah menjatuhkan perintah.
Dengan cekatan para pengawal Menoreh segera membentuk pertahanan kedua. Mereka telah menempatkan brunjung-brunjung bambu yang berisi batu-batu kali dan di susun berjajar memanjang sekitar dua puluh langkah di belakang dinding padukuhan sebagai tempat berlindung dari serangan anak panah atau lemparan tombak dan lembing dari lawan. Dari tempat perlindungan itu, para pengawal kembali menghujani pasukan lawan dengan anak panah dan senjata lontar lainnya.
Namun, pasukan lawan benar-benar telah menyiapkan diri untuk menghadapi serangan jarak jauh dari para pengawal Menoreh. Sekali lagi orang-orang yang membawa perisai-perisai yang lebar dan kuat telah berada di barisan paling depan. Sementara yang lainnya telah membalas serangan jarak jauh para pengawal Menoreh dengan senjata yang sama, anak panah, lembing dan tombak-tombak yang dilemparkan dengan sekuat tenaga.
Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang bahu membahu bersama para pengawal menahan arus serangan pasukan lawan mulai menyadari keadaan yang tidak menguntungkan. Lambat laun pertahanan mereka akan jebol dan pertempuran yang sebenarnya tidak akan dapat dihindarkan lagi.
“Hubungi Ki Jayaraga,” berkata Empu Wisanata kepada seorang penghubung yang berjongkok di sebelahnya di balik brunjung-brunjung bambu, “Katakan kepada Ki Jayaraga, kapan kita mulai membuka gelar.”
Penghubung itu segera bergerak. Dengan terbungkuk-bungkuk, penghubung itu pun kemudian menyelinap di antara riuhnya pertempuran jarak jauh yang sedang berkecamuk di sebelah kiri pintu gerbang.
Baru saja penghubung itu pergi, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari arah pasukan lawan yang berada di depan pintu gerbang. Ternyata pasukan lawan berusaha untuk menjebol pintu gerbang yang sudah terbakar hampir seluruhnya itu. Dengan berlindung pada perisai-perisai lebar yang dipegang oleh beberapa murid Panembahan Cahya Warastra, beberapa orang yang berbadan tegap dan kekar telah memanggul potongan pohon kelapa yang cukup besar dan panjang. Dengan berteriak dan bersorak, batang pohon kelapa itu dicoba untuk dibenturkan ke arah pintu gerbang yang mulai rapuh karena api telah membakar hampir seluruhnya.
Mereka tidak memperdulikan lagi hujan anak panah, lembing dan batu-batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Mereka percaya penuh kepada kawan-kawan mereka yang melindungi mereka dengan perisai-perisai lebar. Memang masih ada satu dua anak panah, bahkan beberapa lembing yang mampu menyusup diantara rapatnya perisai-perisai itu, namun akibatnya sudah tidak begitu terasa bagi pasukan Panembahan Cahya Warastra.
Pintu gerbang itu memang telah rapuh. Ketika sekali lagi hentakan yang kuat menderanya, dengan menimbulkan suara yang berderak derak, pintu gerbang padukuhan induk yang kokoh itu pun akhirnya roboh.
Bagaikan air bah yang sedang melanda, pasukan Panembahan Cahya Warastra yang berada di depan pintu gerbang segera bergerak memasuki gerbang yang telah roboh. Gerakan pasukan itu memang tidak lancar karena mereka harus berjalan sambil menghindari potongan-potongan kayu yang masih menyala serta kepingan-kepingan bara dari sisa-sisa daun pintu yang telah hangus terbakar. Sedangkan dari atas, beratus ratus anak panah dan lembing serta bebatuan berterbangan siap untuk mencabut nyawa.
Gerakan pasukan lawan itu memang sangat lambat, namun mereka yang membawa perisai segera berdiri di paling depan untuk melindungi gerak maju pasukan. Beberapa orang yang membawa peralatan untuk menyerang jarak jauh segera membalas serangan dari arah panggungan di kanan kiri gerbang yang telah roboh itu untuk mengurangi tekanan. Dan ternyata usaha itu sedikit demi sedikit membawa hasil, pasukan Panembahan Cahya Warastra yang berada di depan pintu gerbang telah mulai memasuki padukuhan induk, mengikuti pasukan sebelumnya yang dipimpin Bango Lamatan.
Ketika kemudian Ki Jayaraga yang masih di atas panggungan itu tanpa disadarinya telah berpaling ke tempat Ki Gede Ental Sewu berdiri, alangkah terkejutnya guru Glagah Putih itu. Ternyata Ki Gede telah mundur dan hilang di dalam pasukannya.
“Gila,” geram Ki Jayaraga, “Kemana perginya setan tua itu.”
Memang pasukan lawan yang ada di depan Ki Jayaraga belum bergerak sama sekali. Mereka agaknya sedang menunggu pasukan Bango Lamatan yang berusaha menerobos dinding sebelah kiri pintu gerbang serta pasukan yang berada di tengah yang sedang berusaha menjebol pintu gerbang yang sedang terbakar.
Ki Jayaraga tanggap dengan keadaan yang kurang menguntungkan bagi para pengawal Menoreh. Dengan cepat Ki Jayaraga segera meluncur turun dari panggungan untuk mengendalikan para pengawal yang bertahan di belakang pintu gerbang.
“Mundur ke pertahanan kedua!” teriak Ki Jayaraga ditengah tengah hiruk pikuk pasukan lawan yang menyerbu lewat pintu gerbang.
Ketika kemudian penghubung dari Empu Wisanata itu telah sampai di hadapan Ki Jayaraga, tahulah Ki Jayaraga bahwa keadaan para pengawal di sebelah kiri pintu gerbang pun sedang mengalami tekanan yang luar biasa. Maka katanya kemudian kepada penghubung yang masih berdiri termangu mangu di sebelahnya, “Sampaikan kepada setiap pemimpin kelompok untuk segera memasang gelar gedong minep!”
Penghubung itu mengangguk. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, sejenak kemudian penghubung itu pun telah hilang diantara riuhnya pertempuran yang mulai berkobar di depan pintu gerbang.
Perlahan-lahan para pengawal Menoreh itu pun kemudian mulai menarik diri dari tempat mereka semula. Mereka yang semula bertahan di atas panggungan telah berloncatan turun dan mulai menyusun pertahanan dengan gelar gedong minep. Mereka akan membiarkan pasukan lawan untuk masuk ke padukuhan induk. Namun justru pada saat lawan lengah dan merasa telah berhasil memasuki padukuhan induk, mereka akan di cerai beraikan terlebih dahulu untuk mengurangi tekanan lawan sebelum kemudian dihancurkan.
Dalam pada itu, pasukan Panembahan Cahya Warastra yang berada di sisi kanan pintu gerbang padukuhan ternyata telah bergabung dengan pasukan yang ada di depan pintu gerbang dan berusaha untuk ikut masuk ke dalam padukuhan. Sedangkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan sigap telah membentuk gelar gedong minep. Para pengawal telah menyebar dan mengurung pasukan Panembahan Cahya Warastra yang mulai memasuki padukuhan induk.
Ketika kemudian pasukan Panembahan Cahya Warastra telah memasuki padukuhan induk semakin jauh ke dalam, pertempuran pun sudah tidak dapat dielakkan lagi. Suara gemuruh teriakan, sumpah serapah, bahkan jerit kesakitan terdengar di seluruh medan pertempuran. Kilatan pedang di bawah terik sinar Matahari dan dentangan senjata-senjata yang beradu benar-benar mendebarkan jantung. Korban di kedua belah pihak pun sudah mulai berjatuhan.
Ki Jayaraga benar-benar harus mengendalikan pasukannya agar dalam benturan pertama tidak terlalu banyak korban yang jatuh di pihak Menoreh. Jumlah lawan memang tidak terpaut terlampau banyak dengan para pengawal Menoreh yang bertahan di padukuhan induk, namun rasa rasanya Ki Jayaraga merasakan sebuah isyarat yang aneh ketika melihat pasukan lawan yang berduyun-duyun menyerbu ke padukuhan induk.
“Sebenarnya jumlah mereka tidak terpaut banyak dengan pasukan Menoreh,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Tidak mungkin pasukan Panembahan Cahya Warastra yang di kumpulkan dari perguruan-perguruan itu hanya sebanyak ini. Mungkin mereka masih menyimpan tenaga yang masih segar sebagai pasukan cadangan.”
Berpikir sampai disitu, Ki Jayaraga segera melambaikan tangannya ke arah seorang pengawal penghubung yang lain yang berada di barisan belakang.
Dengan berlari-lari kecil pengawal penghubung itu segera menghadap Ki Jayaraga.
“Kembalilah ke kediaman Ki Gede. Sampaikan bahwa pasukan cadangan agar segera digerakkan menuju ke medan pertempuran,” perintah Ki Jayaraga kepada pengawal penghubung itu.
Sejenak pengawal penghubung itu ragu-ragu. Akhirnya dengan memberanikan diri dia bertanya, “Apakah menurut perhitungan Ki Jayaraga pasukan pengawal Menoreh sudah memerlukan bantuan?”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Aku tidak mengatakan pasukan kita dalam tekanan yang berat. Aku hanya mengatakan bahwa sudah waktunya pasukan cadangan yang ada di kediaman Ki Gede untuk digeser ke medan pertempuran. Soal mereka nanti akan ikut terjun dalam pertempuran atau tidak, akan kita lihat perkembangannya nanti.”
Pengawal penghubung itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian tanpa bertanya lagi dia segera berlari ke salah satu rumah yang ada di belakang garis pertempuran untuk mengambil kuda.
Ki Jayaraga masih melihat pengawal penghubung itu berlari menuju ke salah satu rumah yang ada di belakang garis pertempuran. Namun sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah melibatkan diri dalam hiruk pikuknya pertempuran.
Sambil menghindari serangan yang datang dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berada di kanan kirinya, Ki Jayaraga semakin masuk dalam kancah pertempuran. Agaknya Ki Jayaraga sedang mencari seseorang yang akan sangat berbahaya bagi para pengawal Menoreh jika sepak terjangnya tidak dihentikan, Ki Gede Ental Sewu.
Dalam pada itu, pengawal penghubung yang ditugaskan untuk menghubungi pasukan cadangan yang ada di kediaman Ki Gede telah memacu kudanya bagaikan terbang. Sebagaimana yang telah dipesankan oleh Ki Jayaraga, pengawal penghubung itu harus segera menghadap Ki Gede untuk meminta bantuan pasukan cadangan.
Kuda yang ditungganginya benar-benar berpacu seperti dikejar setan. Melewati jalan berbatu batu di jalan-jalan padukuhan induk yang telah sepi karena ditinggal penghuninya mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang lebih aman.
Ketika kemudian regol kediaman Ki Gede Menoreh sudah terlihat, pengawal penghubung itu pun segera memperlambat laju kudanya. Dengan sebuah isyarat yang telah disepakati berupa lambaian tangan tiga kali berturut turut, pengawal penghubung itu berusaha untuk menarik perhatian para penjaga regol kediaman Ki Gede Menoreh.
Ternyata para pengawal yang sedang bertugas menjaga regol itu telah melihat kedatangannya sehingga mereka segera menyibak untuk memberi jalan. Dengan tanpa turun dari kudanya, pengawal penghubung itu segera menghela kudanya memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi yang sedang duduk-duduk di pendapa itu terkejut ketika melihat seekor kuda yang melaju cukup kencang melewati regol untuk kemudian melintasi halaman menuju ke pendapa.
Dengan segera kedua orang tua yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu berdiri. Ketika penunggang kuda itu telah menghentikan kudanya tepat di bawah tangga pendapa dan meloncat turun, barulah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Penunggang kuda itu sudah sangat dikenal oleh Ki Gede.
Dengan tergesa-gesa pengawal penghubung itu segera menaiki tlundak pendapa menuju ke tempat Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi berdiri menunggu.
“Maaf Ki Gede,” berkata pengawal penghubung itu sesampainya di depan Ki Gede sambil mengangguk hormat, “Pertempuran di padukuhan induk telah pecah. Pesan Ki Jayaraga, mohon Ki Gede berkenan melepas pasukan cadangan untuk membantu pasukan yang sedang bertempur di padukuhan induk.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Kalau Ki Jayaraga sampai meminta bantuan pasukan cadangan, berarti keadaan sudah berkembang sedemikian gawatnya. Maka katanya kemudian kepada pengawal penghubung itu, “Apakah para pengawal yang bertahan di padukuhan induk mengalami tekanan yang terlalu berat?”
Pengawal penghubung itu menggeleng, “Tidak Ki Gede. Ki Jayaraga hanya berpesan untuk memohon pasukan cadangan digerakkan menuju ke medan.”
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi saling berpandangan sejenak. Kalau pasukan Menoreh tidak mengalami tekanan yang berarti, untuk apa pasukan cadangan harus digerakkan ke medan pertempuran. Namun akhirnya Ki Gede menyadari, tentu Ki Jayaraga sudah memperhitungkan untuk apa pasukan cadangan digerakkan ke Medan, padahal pasukan cadangan itu juga diperlukan jika ternyata lawan telah membuat perhitungan yang lain dan menyerbu ke kediaman Ki Gede dari arah yang lain.
“Baiklah,” akhirnya Ki Gede memutuskan, “Aku akan memimpin sendiri pasukan cadangan ini. Aku harap Kiai Sabda Dadi berkenan untuk tinggal dan menjaga keamanan di rumah ini bersama sebagian pengawal.”
Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Ki Gede sekilas. Jawabnya kemudian, “Sebenarnya aku ingin ikut bergabung dengan pasukan cadangan, namun keamanan rumah ini memang perlu dipertimbangkan.”
“Ya Kiai,” jawab Ki Gede, “Tidak semua pasukan cadangan dikerahkan untuk turun ke medan, mungkin sepertiganya tetap tinggal untuk membantu Kiai Sabda Dadi menjaga rumah ini.”
“Itu tidak perlu,” tiba-tiba terdengar suara dari arah samping rumah induk, “Ki Sanak berdua dapat pergi ke medan pertempuran, biarlah aku dan cucuku ini yang menjaga keamanan rumah ini.”
Mereka yang ada di pendapa itu terkejut. Serentak mereka berpaling ke arah suara itu berasal. Sejenak kemudian dari samping rumah induk Ki Gede muncul dua orang yang sangat aneh. Seorang yang berperawakan tinggi besar dan hampir sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu panjang berwarna putih dan seorang perempuan muda yang sangat cantik.
“Resi Mayangkara!” hampir bersamaan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi berseru.
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi memang belum pernah bertemu dengan Resi Mayangkara. Mereka hanya mendengar cerita itu dari mulut ke mulut. Namun pengalaman mereka berdua dalam mengenali para tokoh sakti serta kenyataan bahwa kehadiran Resi Mayangkara di tempat itu ternyata tidak mereka ketahui sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang itu pasti seorang yang linuwih.
Mereka berdua itu memang Resi Mayangkara dan Anjani. Sebenarnya Resi Mayangkara sangat jarang menampakkan diri di muka umum apalagi di siang hari. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menutup diri dan hanya berhubungan dengan orang-orang tertentu saja. Namun atas desakan Anjani, akhirnya dengan sangat terpaksa Resi Mayangkara menuruti keinginan Anjani untuk memperkenalkan diri kepada Ki Gede dan menyatakan ingin membantu menjaga keamanan rumah Ki Gede selama ditinggal menuju ke padukuhan induk.
Semua itu sebenarnya hanyalah alasan yang dicari cari saja oleh Anjani. Keinginan yang sebenarnya dari Anjani adalah untuk mengenal lebih dekat dengan Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu.
“Eyang,” demikian Anjani merengek kepada Resi Mayangkara ketika diajak untuk segera meninggalkan tempat itu, “Aku ingin mengenal lebih dekat dengan Nyi Sekar Mirah, selagi dia belum mengetahui siapa aku sebenarnya dalam hubunganku dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku ingin mengetahui lebih jauh atas tanggapannya seandainya seorang istri itu diduakan cintanya oleh suaminya. Aku ingin tahu tanggapan yang sebenarnya dari lubuk hatinya yang paling dalam.”
“Apakah itu memang perlu, Anjani?” dengan sareh orang tua itu mencoba meluluhkan hati Anjani.
“Ya, Eyang,” jawab Anjani cepat, “Aku ingin mengenal lebih dekat dengan keluarga Ki Rangga dengan segala macam persoalan rumah tangganya, sehingga aku akan dapat memutuskan dengan benar tentang masa depanku sesuai dengan pengamatanku terhadap keluarga Ki Rangga.”
Sejenak Resi Mayangkara merenung. Sepanjang hidupnya Resi Mayangkara memang tidak pernah bersinggungan dengan urusan perempuan. Maka katanya kemudian, “Anjani, aku tidak begitu mengetahui seluk beluk sebuah rumah tangga, namun menurut penalaranku, tidak ada seorang perempuan pun di dunia ini yang mau diduakan cintanya. Seharusnya sebagai sesama perempuan Kau sudah menyadari semua itu sejak awal.”
“Tapi bukankah Ki Rangga sendiri yang berjanji membawaku ke Menoreh setelah dia memenangkan perang tanding itu dan aku sebagai taruhannya?”
Kembali Resi Mayangkara termenung. Sebenarnyalah Resi Mayangkara yang mempunyai pandangan waskita itu dapat menebak bahwa Ki Rangga tidak bersungguh sungguh dalam menentukan taruhan pada saat perang tanding dengan guru Anjani. Ki Rangga hanya ingin mengolok-olok kedua Guru Anjani agar mereka menjadi marah dan kehilangan penalaran dalam perang tanding itu sehingga pengetrapan ilmunya akan tumpang suh dan kurang perhitungan. Namun ternyata yang terjadi adalah diluar dugaan Ki Rangga Agung Sedayu, justru Anjani bersedia menjadi taruhan dan sangat berharap Ki Rangga memenangkan perang tanding dan membawanya ke Menoreh.
“Bagaimana Eyang?” Anjani yang melihat Resi Mayangkara hanya diam membisu mulai merengek rengek sambil mengguncang guncang lengan Resi yang aneh itu, “Ayo kita ke pendapa dan memperkenalkan diri kepada Ki Gede Menoreh.”
Sejenak Resi Mayangkara masih ragu-ragu. Namun ketika Resi Mayangkara itu kemudian berpaling, alangkah terkejutnya dia ketika melihat mata yang berbinar bagaikan bintang timur itu ternyata telah mulai berkaca kaca.
“Baiklah,” akhirnya Resi yang sudah sangat tua namun masih terlihat tegap itu mengalah, “Namun jangan berbuat yang aneh-aneh sehingga akan mengecewakan Ki Gede, terutama keluarga Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Terima kasih, Eyang,” bagaikan anak kecil yang mendapatkan mainan baru, Anjani pun meloncat loncat gembira sambil menarik tangan Resi Mayangkara menuju ke pendapa rumah Ki Gede Menoreh, sedangkan Resi Mayangkara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengikuti langkah Anjani.
Demikianlah akhirnya dengan tergopoh-gopoh Ki Gede segera menyambut mereka berdua, “Selamat datang dan terima kasih atas berkenannya Resi Mayangkara berkunjung ke rumah ini,”
Resi Mayangkara sejenak menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Anjani sekilas. Katanya kemudian, “Terima kasih Ki Gede. Sebenarnya kami tidak ingin merepotkan Ki Gede, namun melihat keadaan yang kurang menguntungkan bagi keamanan Menoreh, kami bersedia membantu.”
Ki Gede tersenyum sambil mempersilahkan mereka naik ke pendapa, “Bukankah kami keluarga Menoreh sudah menerima bantuan yang tiada terkira dari cucu Resi Mayangkara ini?” Ki Gede berhenti sejenak sambil mengangguk ke arah Anjani, “Aku mewakili seluruh keluarga Menoreh mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan Ni Sanak menghadapi sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab yang menyerbu ke rumah ini pagi tadi.”
“Ah,” sejenak wajah yang cantik dan pipi yang kemerahan itu semakin memerah. Namun akhirnya Anjani pun menjawab, “Aku hanya disuruh Eyang untuk membantu, Ki Gede. Selebihnya aku sangat bersyukur bahwa aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung sehingga dapat menyelesaikan pertempuran itu.”
“Namun lain kali Kau harus berlatih lebih keras lagi, Anjani,” sahut Resi Mayangkara setengah menegur, “Jangan hanya mengandalkan bau wangi dan kemolekan tubuhmu.”
Kembali wajah yang cantik itu menjadi kemerah-merahan, namun Anjani tidak menjawab teguran Resi Mayangkara dan hanya menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Resi Mayangkara menjadi kasihan melihat Anjani tertunduk diam, karena itu katanya kemudian, “Sudahlah Anjani, Kau dapat berlatih lagi dengan sungguh-sungguh. Kalau Kau mau tinggal di gunung Kendalisada, aku berjanji akan membimbing-mu untuk meningkatkan ilmu yang telah Kau capai selama ini.”
Namun agaknya Anjani sama sekali tidak tertarik untuk tinggal di Gunung Kendalisada, dia lebih senang tinggal di Menoreh. Maka dengan menggeleng lemah dia menjawab, “Terima kasih Eyang atas bantuannya selama ini. Namun untuk tinggal di Gunung Kendalisada, aku masih belum mempunyai gambaran sama sekali.”
Resi Mayangkara hanya dapat mengerutkan keningnya mendengar jawaban Anjani. Mungkin bagi orang lain tidak akan melewatkan kesempatan untuk menimba ilmu di bawah bimbingan Resi yang aneh itu. Namun bagi Anjani, keluarga Ki Rangga Agung Sedayu ternyata lebih menarik hatinya.
“Sudahlah,” berkata Resi Mayangkara kemudian, “Kau sudah menentukan masa depanmu sendiri,” Resi itu berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling dan menganggukkan kepalanya ke arah Kiai Sabda Dadi dia melanjutkan kata katanya, “Agaknya aku belum begitu mengenal dengan Ki Sanak yang satu ini. Sekiranya tidak keberatan, aku ingin mengenal lebih dekat.”
Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi diam membeku karena terpesona dengan kehadiran Resi Mayangkara yang hanya didengarnya melalui dongeng dari mulut ke mulut, seolah olah baru tersadar. Dengan tergopoh-gopoh dia segera menyambut uluran tangan Resi Mayangkara sambil berkata, “Ma’afkan aku, Resi. Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Resi Mayangkara yang hanya aku dengar namanya melalui dongeng-dongeng,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aku diberi nama Sabda Dadi dan berasal dari Padepokan Glagah Tinutu di lereng Pegunungan Kendeng.”
Resi Mayangkara tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Nah, sekarang kalian berdua dapat berangkat ke medan pertempuran. Serahkan keamanan rumah ini kepada kami berdua. Namun bagaimanapun juga harus ada beberapa pengawal yang tinggal karena tidak menutup kemungkinan lawan akan menyerbu rumah ini dengan membawa pasukan segelar sepapan dan itu tidak mungkin dapat kami hadapi hanya berdua saja.”
Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi tersenyum mendengar ucapan Resi Mayangkara. Kata Ki Gede kemudian sambil menggeleng, “Tentu tidak. Kita tidak akan membawa seluruh pasukan cadangan ke medan. Kita tinggalkan sepertiga kekuatan untuk menjaga rumah ini.”
Resi Mayangkara mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke arah Anjani dia berkata, “Anjani, sebaiknya Kau masuk ke dalam. Biarlah aku yang berada di luar untuk mengamati keadaan sementara Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi berangkat ke medan pertempuran.”
Ki Gede tersenyum ke arah Anjani yang masih belum beranjak dari tempatnya. Dari raut wajahnya tampak ada sedikit keragu raguan. Akhirnya Ki Gede pun berkata, “Silahkan, Anjani. Di dalam ada Nyi Sekar Mirah istri Ki Rangga Agung Sedayu dan Damarpati cucu Kiai Sabda Dadi. Kau pasti sudah melihat mereka pada saat orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu menyerbu ke rumah ini, namun aku yakin Kau pasti belum mengenal mereka.”
Sejenak Anjani masih ragu-ragu, namun dengan menguatkan hati akhirnya Anjani pun menjawab, “Terima kasih Ki Gede. Nanti saja setelah Ki Gede berangkat aku akan menemui Nyi Sekar Mirah dan Damarpati.”
Ki Gede hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Resi Mayangkara, “Silahkan Resi kalau ingin beristirahat sejenak. Biarlah para pengawal yang sedang bertugas saja yang mengamati keadaan, sementara Resi Mayangkara dapat beristirahat di gandhok kanan.”
Resi Mayangkara menggeleng, “Aku sudah terbiasa berada di mana-mana. Aku dapat beristirahat di mana pun, dan aku dapat berada di mana pun sesuai dengan keinginanku. Aku akan mengamati keadaan dari tempat mana saja yang aku mau.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepala. Mereka berdua yakin dengan kemampuan Resi Mayangkara yang tinggi, tidak akan ada seorang pun yang mencoba menyusup ke rumah Ki Gede tanpa sepengetahuan Resi Mayangkara.
“Baiklah kalau demikian kami akan berangkat sekarang juga,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian katanya sambil berpaling ke arah pengawal penghubung yang berdiri agak jauh, “Kita berangkat sekarang. Hubungi pemimpin pengawal yang membawahi pasukan cadangan untuk mengumpulkan pasukannya di halaman ini sekarang juga.”
Namun pengawal penghubung itu sepertinya tidak mendengar perintah Ki Gede dan hanya diam termangu mangu. Pandangan mata pengawal penghubung itu bagaikan lekat di wajah Anjani. Betapa pengawal penghubung itu bagaikan terkena sihir begitu memandang wajah Anjani yang kecantikannya bagaikan seorang dewi yang hanya ada dalam dongeng-dongeng dan cerita-cerita babat. Tak henti hentinya pengawal itu menelusuri seluruh lekuk tubuh Anjani yang nyaris sempurna. Rambutnya yang disanggul rendah itu sebagian rambutnya ada yang jatuh tergerai menyentuh pundak. Keningnya yang halus dan putih bagaikan batu pualam itu begitu mempesona dihiasi oleh anak-anak rambut yang jatuh beriak riak ditiup angin lembut di pagi hari. Matanya yang berbinar bagaikan bintang timur sangat serasi berpadu dengan alisnya yang melengkung indah, sedangkan hidungnya yang kecil dan mancung serta bibir tipis mungil merah merekah benar-benar membuat setiap laki-laki tak akan jemu-jemu memandang dan tak ingin kehilangan waktu sekejab pun dalam menikmati keindahan yang tiada taranya.
Ketika kemudian pandangan mata pengawal itu turun ke arah leher Anjani yang putih mulus dan jenjang, tanpa terasa beberapa kali pengawal itu harus menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering. Apalagi ketika pandangan matanya mulai menelusuri ke bagian dada yang tidak begitu besar namun terlihat sangat padat berisi dan pinggang yang ramping berpadu dengan pinggul yang bulat penuh, debar jantung pengawal itu pun menjadi berdentangan dan nafasnya terengah engah bagaikan nafas seekor kuda jantan yang habis dipacu seharian di tengah padang.
Ternyata Kiai Sabda Dadi yang berdiri agak dekat dengan pengawal penghubung itu tanggap dengan apa yang sedang terjadi. Jarak keduanya memang hanya beberapa langkah saja, namun jika Kiai Sabda Dadi harus melangkah mendekat dan menggamit pengawal itu untuk menyadarkannya, tentu pengawal itu akan menjadi sangat malu. Berpikir sampai disitu, Kiai Sabda Dadi segera mengerahkan ilmunya melalui tiupan dari mulutnya mengarah ke wajah pengawal yang sedang terkesima itu.
Sejenak kemudian angin yang tidak terlampau keras namun mengandung sedikit hawa panas telah menerpa wajah pengawal itu. Bagaikan sebuah obor dari minyak jarak yang didekatkan ke wajahnya, pengawal itu merasakan betapa serangkum hawa panas telah menerpa wajahnya sehingga tanpa sadar dia telah mundur selangkah.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kiai Sabda Dadi. Maka katanya kemudian kepada pengawal yang masih terkejut itu, “Ki Gede minta Kau segera menghubungi pemimpin pengawal cadangan untuk segera mengumpulkan anak buahnya di halaman ini sekarang juga.”
Pengawal yang baru terbangun dari angan-angan indahnya itu sejenak bersemu merah wajahnya, namun dengan segera dia bisa menguasai dirinya. Sambil mengangguk kearah Ki Gede pengawal itu pun menjawab, “Aku mohon diri untuk menghubungi pemimpin pengawal cadangan.”
Ki Gede hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Pergilah dan jangan terlalu membuang buang waktu. Sebelum Matahari naik sepenggalah, kita sudah harus berada di medan pertempuran.”
Pengawal itu mengangguk tanpa menjawab lagi. Kemudian dengan tergesa-gesa dia segera menyeberangi pendapa menuju ke halaman samping.
Sepeninggal pengawal penghubung itu ternyata Anjani merasa ewuh pekewuh dengan para sesepuh yang hadir di situ sehubungan dengan sikap pengawal yang kurang pada tempatnya terhadap dirinya. Maka katanya kemudian kepada Ki Gede, “Ki Gede, biarlah aku menemani Nyi Sekar Mirah di dalam. Mungkin Nyi Sekar Mirah memerlukan kawan untuk sekedar menenang-kan gejolak perasaannya sehubungan dengan peristiwa tadi pagi.”
Ki Gede tersenyum sambil mengangguk, “Silahkan Anjani. Aku yakin kehadiranmu akan sangat berarti bagi ketenangan Nyi Sekar Mirah.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Anjani mendengar kata-kata Ki Gede. Walaupun sebenarnya Ki Gede tidak mengetahui persoalan yang sesungguhnya antara Anjani dengan Ki Rangga Agung Sedayu, namun kata-kata itu bagaikan menghadapkan Anjani pada sebuah belanga dengan air yang jernih dan tenang di dalamnya sehingga Anjani seolah olah telah bercermin dan dapat melihat dengan jelas segala noda yang ada di wajahnya.
“Tidak ada niat sebiji sawi pun dalam hatiku untuk mengganggu ketenangan Nyi Sekar Mirah,” berkata Anjani dalam hati, “Yang aku inginkan hanyalah ketegasan Ki Rangga Agung Sedayu tentang masa depanku. Walaupun aku telah diperlakukan sebagai barang taruhan, namun sebagai seorang perempuan aku tetap mempunyai harga diri.”
“Anjani,” tiba-tiba Resi Mayangkara berdesis perlahan tapi cukup membuat lamunan Anjani berantakan, “Kawanilah Nyi Sekar Mirah dan jangan memberikan gambaran yang salah tentang perkembangan keadaan Menoreh sekarang ini. Selain itu yang lebih penting adalah Kau harus benar-benar menjadi kawan yang baik dan tidak menambah beban di hatinya.”
Kembali dada Anjani berdesir tajam mendengar ucapan Resi Mayangkara. Anjani sadar bahwa Resi Mayangkara ingin mengingatkan kedudukannya di depan Nyi Sekar Mirah dalam hubungannya dengan suami dari pewaris tongkat baja putih dari perguruan Kedungjati itu.
“Aku mengerti Eyang,” jawab Anjani setelah berhasil menekan gejolak di dalam dadanya. Kemudian kepada Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi dia berkata, “Aku mohon diri. Semoga pasukan Menoreh memperoleh kemenangan dan kehidupan di tanah Perdikan ini kembali seperti sediakala.”
“Terima kasih Anjani,” Ki Gede lah yang menyahut.
Sejenak kemudian Anjani pun telah melangkah menyeberangi pendapa kediaman Ki Gede Menoreh yang cukup luas itu menuju ke pintu pringgitan.
Ketika kemudian Anjani dengan perlahan mendorong pintu yang menghubungkan pendapa dengan ruang pringgitan itu, sejenak dia masih sempat berpaling ke halaman. Dilihatnya Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi sedang mengatur para pengawal yang sudah mulai berkumpul. Sementara Resi Mayangkara sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
“Resi Mayangkara memang seorang sakti yang aneh,” berkata Anjani dalam hati, “Orang tua itu lebih senang bersembunyi dari pada menampakkan diri.”
Akhirnya dengan dada yang berdebar-debar, Anjani pun melangkahkan kakinya memasuki ruang pringgitan yang cukup luas. Sejenak dipandanginya perabotan yang cukup bagus terpajang di ruangan itu. Ketika kemudian pandangan matanya tertumbuk pada pintu yang menghubungkan ruang pringgitan dengan ruang dalam, Anjani pun kemudian memutuskan untuk segera melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam.
Dengan langkah satu-satu, Anjani mendekati pintu ruang dalam. Debar jantungnya rasa rasanya hampir memecahkan rongga dadanya. Berbeda pada saat dini hari tadi ketika dia memasuki ruang dalam itu dari pintu samping atas perintah Resi Mayangkara. Tidak ada perasaan gugup untuk bertemu dengan Sekar Mirah karena begitu memasuki ruang dalam dia telah disambut dengan serangan-serangan lawannya yang membadai. Memang Anjani sekilas melihat seorang perempuan yang duduk bersimpuh di salah satu sudut ruang dalam sambil mendekap bayinya, sementara di depannya seorang pemuda tanggung yang sangat tampan melindunginya dari serangan lawannya sambil menggenggam sebuah senjata yang mengerikan, tongkat baja putih yang ujungnya berkepala tengkorak berwarna kekuning kuningan.
Kini Anjani harus melawan perasaannya sendiri. Apakah dia akan mampu menahan gejolak di dalam dadanya nanti jika bertemu dengan Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu? Ataukah dia justru tidak akan dapat menahan diri dan larut dalam perasaannya yang meledak ledak yang membutuhkan saluran untuk sekedar mengurangi beban di hatinya?
Sambil menahan nafas, Anjani mendorong pintu ruang dalam yang memang tidak pernah diselarak. Derit pintu yang nyaring rasa rasanya bagaikan jeritan hatinya yang sedang gundah.
“Masuklah,” tiba-tiba terdengar suara yang lembut menyapanya ketika Anjani masih merasa ragu untuk meneruskan mendorong pintu ruang dalam yang sudah terbuka hampir sejengkal.
Sejenak Anjani ragu-ragu. Suara itu terdengar begitu menyentuh, bagaikan suara seorang ibu yang merindukan kepulangan anaknya yang telah lama mengembara ke ujung bumi.
Ketika kemudian daun pintu itu didorongnya sehingga terbuka lebar-lebar, pertama kali yang tampak dalam pandangan matanya adalah seorang perempuan paro baya yang masih terlihat cantik. Sorot matanya yang tajam menunjukkan kekerasan hatinya walaupun masih tetap tampak kelembutan dan kehangatannya sebagai seorang ibu.
Disamping perempuan paro baya yang duduk bersimpuh sambil menggendong bayinya yang sedang tidur lelap itu, tampak pemuda tanggung yang juga dilihatnya pagi tadi. Namun kini Anjani menjadi ragu-ragu, yang disangkanya pemuda tanggung itu kini telah melepas ikat kepalanya dan tampaklah rambutnya yang panjang terurai sampai ke punggung.
Kedua perempuan yang berada di ruang dalam itu memang Sekar Mirah dan Damarpati. Begitu Anjani melangkah memasuki ruang dalam, dengan segera kedua perempuan itu bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut Anjani.
“Selamat datang kembali ke rumah Ki Gede, Ni Sanak,” berkata Sekar Mirah sambil mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Anjani, “Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan Ni Sanak. Entah apa yang akan terjadi pada diri kami berdua jika Ni Sanak tidak muncul menolong kami,”
Kemudian sambil menepuk bahu Damarpati Sekar Mirah melanjutkan kata katanya, “Anak muda yang cantik ini adalah cucu Kiai Sabda Dadi dan aku sendiri Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu.”
Anjani berusaha tersenyum walaupun terasa betapa hambarnya. Jawabnya kemudian, “Terima kasih. Namaku Anjani, orang yang kleyang kabur kanginan. Sementara ini aku ikut Resi Mayangkara di Gunung Kendalisada,” Anjani berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalian terlalu memuji aku. Aku hanya menjalankan perintah Eyang Resi untuk memasuki rumah ini dari pintu samping begitu kami melihat ada dua orang yang memasuki rumah ini dalam waktu yang hampir bersamaan.”
Sejenak Sekar Mirah dan Damarpati saling berpandangan sambil mengerutkan keningnya. Tanpa sadar keduanya berdesis hampir bersamaan, “Resi Mayangkara dari Gunung Kendali-sada?”
Anjani menyadari keterlanjurannya menyebut Resi yang aneh itu. Namun kemudian jawabnya sambil tersenyum untuk mengurangi debar di jantungnya, “Benar Nyi Sekar Mirah, sementara ini aku tinggal di Gunung Kendalisada. Resi Mayangkara adalah seorang sakti yang aneh, namun jangan dibayangkan bahwa aku telah berguru kepadanya. Aku hanyalah seorang kleyang kabur kanginan yang menumpang berteduh di pertapaannya.”
Sekar Mirah hanya tersenyum simpul mendengar jawaban Anjani. Kemudian sambil tangan kirinya tetap menggendong bayinya, tangan kanannya meraih tangan Anjani untuk dibimbing menuju ke tengah-tengah ruangan yang telah digelari tikar pandan yang putih bersih.
Dalam pada itu, pertempuran di pintu gerbang padukuhan induk semakin lama menjadi semakin sengit. Gelar gedong minep yang ditrapkan oleh Ki Jayaraga memang sedikit membantu mengurangi gempuran pasukan lawan. Dengan berkelompok yang saling merapat antara kelompok yang satu dengan yang lainnya, para pengawal mencoba menahan gempuran pasukan lawan yang menerjang bagaikan ombak samudra yang menghempas ke pantai.
Ki Gede Ental Sewu yang masih menyisakan dendam lama dengan Ki Jayaraga mencoba mencari musuh bebuyutannya itu di medan yang riuh. Sesekali pemimpin perguruan Ental Sewu itu harus menangkis atau menghindar dari serangan kelompok-kelompok pengawal yang dijumpainya sepanjang medan. Sudut matanya yang sangat tajam itu tiba-tiba saja menangkap sesosok bayangan yang mendekatinya dari arah kiri.
Sejenak Ki Gede Ental Sewu menghentikan langkahnya. Dengan tajam dipandanginya seseorang yang sudah tua bangka berjalan tertatih tatih menuju ke arahnya.
“Gila,” geram Ki Gede Ental Sewu, “Di medan yang sengit ini ada juga seorang tua bangka yang tersesat. Apa sebenarnya yang dicarinya?”
“He, Kakek tua!” teriak Ki Gede Ental Sewu diantara riuhnya pertempuran, “Kau mau kemana? Kakek bisa terluka kalau nekat menerobos medan pertempuran yang sengit ini, apa yang Kakek cari?”
Kakek itu sepertinya tidak mendengar teriakan Ki Gede Ental Sewu. Namun ketika langkahnya hampir saja melanggar tubuh Ki Gede Ental Sewu yang berdiri kokoh menghalangi jalannya, baru Kakek itu terkejut bukan alang kepalang.
“He!” seru Kakek itu sambil melangkah mundur, “Apa maksudmu Ki Sanak? Kau menghalangi jalanku!”
Ki Gede Ental Sewu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil berkata dalam hati, “Ternyata kakek ini tidak hanya pikun, tetapi juga tuli.”
Menyadari kata katanya tidak mungkin didengar oleh kakek tua yang disangkanya tuli itu, tiba-tiba Ki Gede maju selangkah sambil meraih lengan kakek itu untuk ditariknya keluar medan pertempuran.
Namun alangkah terkejutnya Ki Gede begitu tangannya ternyata hanya meraih angin. Dengan gerakan yang seolah olah tidak disengaja, kakek itu telah menghindari tangkapan tangan Ki Gede.
“Gila!” kembali Ki Gede menggeram, “Setan tua ini mau bermain main dengan pemimpin perguruan Ental Sewu.”
Sekali ini Ki Gede tidak mau gagal. Dengan sedikit mengerahkan tenaga, tangan kanannya bergerak cepat mencengkeram pundak kakek tua itu.
Namun sekali lagi Ki Gede harus mengumpat ketika cengkeramannya hanya mengenai tempat kosong. Ternyata hanya dengan membungkuk untuk membersihkan ujung kain panjangnya yang berdebu, kakek itu telah mampu menghindari cengkeraman Ki Gede.
“Kakek tua!” bentak Ki Gede menggelegar sehingga membuat Kakek tua itu terkejut dan mundur beberapa langkah dengan tubuh gemetar, “Jangan pernah mempermainkan Ki Gede Ental Sewu kalau Kau tidak bernyawa rangkap tujuh. Ikut aku sekarang juga keluar medan pertempuran, kalau tidak jangan salahkan aku kalau nyawamu yang sudah keriput itu ikut tercabut di medan perang yang ganas ini.”
Sejenak Kakek tua itu termangu mangu. Sambil mengernyitkan alisnya yang sudah putih semua itu dia menjawab terbata bata, “Aku mencari cucuku Ki Sanak. Apa Ki Sanak dapat membantuku untuk mencari cucuku itu? Katakan padanya, siang ini dia harus ke sawah untuk mengairi sawah kami. Siang ini adalah giliran sawah kami yang mendapatkan air.”
“Diam!” bentak Ki Gede dengan muka merah padam, “Persetan dengan segala macam alasanmu. Kalau Kau tidak bisa diam, aku sobek mulutmu nanti.”
“Jangan-jangan, Ki Sanak,” dengan cepat kakek tua itu menyahut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian, “Sekarang pergilah!”
Sejenak kakek tua itu tertegun. Dipandanginya Ki Gede Ental Sewu yang berdiri kokoh di depannya seolah olah ingin mengetahui kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh yang tinggi besar itu. Diluar dugaan Ki Gede, tiba-tiba kakek tua itu berkata dengan tegas sambil membusungkan dadanya yang kembang kempis, “Aku akan menghancurkan siapapun yang menghalangi jalanku mencari cucuku. Rawe-rawe rantas malang-malang putung.”
Ki Gede benar-benar terkesiap mendengar kata-kata kakek tua itu. Sejenak Ki Gede justru terdiam. Ki Gede sama sekali tidak menyangka bahwa seorang kakek tua yang sudah bau tanah masih berani menyombongkan diri di hadapan seorang pemimpin perguruan Ental Sewu.
“Kakek tua,” berkata Ki Gede Ental Sewu kemudian dengan nada yang dalam, “Tidak ada seorang pun yang berani menantang Ki Gede Ental Sewu di seluruh penjuru tanah ini kecuali ada dua kemungkinan, pertama dia memang sudah menyiapkan dirinya lahir maupun batin untuk beradu ilmu denganku. Yang kedua, dia belum tahu siapa sebenarnya Ki Gede Ental Sewu itu sehingga perbuatannya itu tidak lebih dari sebuah usaha untuk membunuh dirinya melalui lantaran tanganku.”
Kakek tua itu tersenyum jenaka, bahkan kemudian dia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya yang agak buncit itu. Katanya kemudian di sela-sela tertawanya, “Ki Gede Ental Sewu, sedari tadi Kau selalu menyebut namamu itu dengan penuh kebanggaan, sementara Kau sendiri belum tahu namaku. Apakah aku perlu menyebut nama dan gelarku sehingga orang yang bernama Ki Gede Ental Sewu itu akan terkejut dan lari terbirit-birit untuk bersembunyi di bawah pinjung biyungnya?”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Gede menggelegar dengan wajah yang merah padam, “Apakah Kau benar-benar belum mengenal nama perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara? Kalau Ki Sanak benar-benar termasuk golongan angkatan tua yang mempunyai ilmu pinunjul ing apapak, Ki Sanak pasti sudah mengenal perguruan kami.”
Sejenak kakek tua itu mengernyitkan kedua alisnya yang sudah berwarna seperti kapas itu. Kedua matanya yang hitam kelam itu memandang wajah Ki Gede dengan penuh tanda tanya. Katanya kemudian, “Aku mengenal perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara sudah puluhan tahun yang lalu. Namun orang yang berdiri di hadapanku sekarang ini bukan pemimpin perguruan Ental Sewu yang kukenal sebelumnya. Orangnya berperawakan kecil dan suka bercanda, bukan seperti Ki Sanak yang mengaku ngaku pemimpin perguruan Ental Sewu tetapi gampang sekali naik darah, membentak bentak orang yang pantas menjadi ayahmu atau bahkan kakekmu.”
Tersirap darah Ki Gede Ental Sewu mendengar ucapan kakek tua itu. Sejenak dicobanya untuk mengingat ingat apakah kakek tua itu pernah berkunjung ke Padepokan Ental sewu semasa masih di bawah pimpinan Ayahnya yang juga bergelar Ki Gede Ental Sewu. Namun rasa rasanya dia tidak mengenalnya ataukah waktu yang telah mengubah ujud kakek tua itu sehingga dia tidak dapat mengenalinya lagi.
Menyadari hal itu dan kemungkinan orang tua itu adalah salah satu dari sahabat ayahnya yang telah meninggal delapan tahun yang lalu, Ki Gede Ental Sewu segera menurunkan nada suaranya, “Kakek tua, waktu mungkin telah banyak mengubah diri kita sehingga aku tidak mengenali lagi siapakah Kakek ini? Aku adalah Respati Mintuna, putra tertua Ki Gede Ental Sewu sepuh yang telah meninggal dunia delapan tahun yang lalu. Aku kemudian mewarisi padepokan Ental sewu dengan segala isinya, sehingga aku pun kemudian mengunakan gelar yang sama dengan Ayah, Ki Gede Ental Sewu.”
Kakek tua itu mengangguk anggukkan kepalanya. Dalam sorot matanya sama sekali tidak ada rasa kebencian apalagi permusuhan. Maka katanya kemudian, “Bukankah Ki Gede Ental Sewu yang kukenal itu mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan?”
Sejenak wajah Ki Gede menjadi merah padam menahan gejolak yang tiba-tiba saja melanda dadanya. Namun sekejab kemudian Ki Gede segera dapat menguasai dirinya. Maka jawabnya kemudian, “Kau benar Kakek tua, aku mempunyai adik perempuan yang bernama Niken Larasati, satu satunya saudara yang aku punya dan sangat aku sayangi.”
Sampai di sini kata-kata Ki Gede terhenti. Tampak wajahnya menjadi layu dan sedih. Ada semacam kenangan lama yang sangat menyakitkan hatinya.
Kakek tua yang masih berdiri termangu mangu di depannya itu segera menyahut, “Jadi di manakah adik perempuanmu sekarang ini?”
Ki Gede Ental Sewu menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Kakek tua itu. Sambil menatap dalam-dalam wajah orang tua yang berdiri di hadapannya dia ganti bertanya, “Sebelumnya aku yang lebih muda ini mohon ma’af jika memang kakek adalah salah satu sahabat Ayahku semasa beliau masih hidup. Jika memang diperkenankan, aku ingin mengetahui nama atau pun gelar dari Kakek.”
Kakek tua itu tersenyum sambil mengangguk angguk. Jawabnya kemudian, “Namaku tidak begitu penting dan memang sudah dilupakan banyak orang. Akan tetapi aku yakin, satu atau dua orang masih tetap mengingat gelarku, orang-orang memberiku gelar, Singawana. Ya, Singawana dan aku menambahkan kata sepuh di belakang gelar Singawana, karena muridku juga menyenangi gelar itu dan memakainya dengan penuh kebanggaan.”
“Ki Singawana Sepuh? Guru Pangeran Ranapati?” seru Ki Gede Ental Sewu dengan jantung yang berdentangan. Dia benar-benar tidak mengira akan berjumpa dengan orang yang sangat ditakuti di seluruh tlatah Mataram bahkan sampai ke Madiun dan Panaraga.
“Ya, inilah aku,” jawab Kakek tua itu yang ternyata adalah Ki Singawana Sepuh, guru Pangeran Ranapati, “Sebenarnyalah aku tidak ingin terlibat dengan pertikaian Panembahan Cahya Warastra dengan Mataram. Namun ketika kami memutuskan berpisah untuk meneruskan perjalanan masing-masing, maksudku aku dan Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu, aku menjumpai persiapan yang luar biasa di tepian kali Praga. Para pemimpin perguruan bersama dengan para muridnya berbondong-bondong menyeberang ke tlatah Menoreh, sehingga aku memutuskan untuk menunda perjalananku dan singgah di Menoreh untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi.”
Ki Gede Ental Sewu termangu mangu sejenak mendengar penjelasan Ki Singawana Sepuh. Sambil menarik nafas dalam-dalam akhirnya terloncat juga sebuah pertanyaan dari bibirnya, “Jadi, Ki Singawana pernah bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu?”
Ki Singawana Sepuh tersenyum sekilas mendengar pertanyaan Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Aku tahu banyak pihak yang berkepentingan dengan Ki Rangga Agung Sedayu, demikian juga aku. Namun kami telah bersepakat untuk saling menghargai dengan tidak melibatkan diri dalam pertikaian antara Mataram dan Panaraga.”
“Bukankah sebagai prajurit, Ki Rangga berkewajiban melaksanakan perintah dari atasannya yang dalam hal ini adalah Panembahan Hanyakrawati? Walaupun perintah itu datangnya dari Ki Patih misalnya, namun sebenarnyalah Ki Patih dan seluruh jajaran di bawahnya adalah merupakan saluran perintah dari penguasa tunggal Mataram, Panembahan Hanyakrawati.”
“Kau benar Ki Gede, “ jawab Ki Singawana Sepuh, “Namun dalam hal ini, Ki Rangga Agung Sedayu mengemban tugas khusus, tugas yang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, justru karena tugas khusus ini menitik beratkan kepada kemampuan khusus yang dimiliki oleh Ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Gede Ental Sewu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apakah kemampuan khusus yang dimiliki oleh adik Untara itu? Dan tugas khusus apakah yang harus dia laksanakan?”
Ki Singawana Sepuh menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Gede. Sejenak pandangan matanya terlempar pada pertempuran di sekelilingnya yang semakin sengit. Tampak sepasang muda mudi yang sedang bertempur dengan dahsyatnya melawan sekelompok pengawal Menoreh yang terlatih.
Agaknya Ki Gede mengikuti pandangan Ki Singawana Sepuh sehingga katanya kemudian, “Dua orang muda yang sedang bertempur itu adalah muridku, Bantarkawung dan Sindangwangi. Keduanya perlu menimba pengalaman dalam menghadapi pertempuran yang sesungguhnya. Untuk itulah aku telah membawa mereka berdua kemari.”
Ki Singawana Sepuh mengangguk anggukkan kepalanya mendengar penjelasan dari Ki Gede. Sambil masih memandang ke arah kedua muda mudi yang tandangnya semakin trengginas menghadapi sekelompok pengawal dari Menoreh itu, Ki Singawana Sepuh melanjutkan keterangannya, “Ki Rangga Agung Sedayu memang diperintahkan melawat ke Panaraga khusus untuk menghadapi seseorang yang dipandang berbahaya dan dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan Mataram terhadap Panaraga. Ki Rangga melawat ke Panaraga tidak untuk memimpin pasukan segelar sepapan, namun dia diutus berdasarkan kemampuan khususnya, kemampuan olah kanuragannya secara pribadi, bukan sebagai pemimpin sebuah pasukan.”
“Dan agaknya Ki Rangga Agung Sedayu telah berhasil menuntaskan tugas khususnya itu walaupun dalam bentuk yang lain,” sahut Ki Gede Ental Sewu sambil tersenyum penuh arti ke arah Ki Singawana Sepuh.
“Ah,” Ki Singawana Sepuh tertawa tertahan, “Jika yang Kau maksudkan tugas khusus Ki Rangga adalah untuk mengimbangi aku sebagai guru Pangeran Ranapati, itu memang benar. Namun sesungguhnya aku tidak ikut campur dengan niat Ranapati untuk menggunakan kekuatan Panaraga melawan Mataram. Justru kedatanganku ke Panaraga adalah atas permintaan Rara Ambarasari untuk membujuknya agar dia mau mengurungkan niatnya untuk merebut tahta dan mau kembali ke Kademangan Cepaga di lereng Merapi.”
Sejenak kerut merut tampak di wajah Ki Gede Ental Sewu. Dengan nada sedikit ragu, akhirnya Ki Gede pun memberanikan diri untuk bertanya, “Siapakah Rara Ambarasari itu, Ki?”
Ki Singawana tersenyum. Jawabnya singkat, “Ibunda Pangeran Ranapati.”
Kembali kerut merut terlihat semakin dalam di wajah Ki Gede. Katanya kemudian, “Berita yang pernah aku dengar ternyata memang benar. Ibunda Pangeran yang keras hati itu ternyata memang masih hidup,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian sambil memandang tajam ke arah Ki Singawana Sepuh, dia kembali bertanya, “Sebenarnya siapakah Rara Ambarasari itu sehingga dia telah melahirkan seorang Pangeran yang bergelar Ranapati dan kini sedang menuntut haknya atas tahta Mataram?”
Ki Singawana Sepuh menarik nafas dalam-dalam, bahkan terasa sangat dalam seolah olah ingin dihirupnya seluruh udara yang ada di medan pertempuran itu. Sejenak dipandanginya pertempuran yang semakin kisruh. Agaknya korban di kedua belah pihak sudah tak terhitung jumlahnya. Teriakkan, umpatan dan bahkan suara jeritan mereka yang sedang meregang nyawa benar-benar terdengar sangat nggegirisi dan memenuhi seluruh udara medan pertempuran.
Ketika kemudian pandangan mata Ki Singawana Sepuh tanpa disengaja telah melihat seorang pengawal Menoreh yang roboh karena lambungnya tersayat oleh pedang Bantar Kawung dan Sindangwangi yang tak kalah dahsyatnya tanpa belas kasihan telah menghujamkan pedang tipisnya ke dada lawannya, Ki Singawana Sepuh pun segera berpaling ke arah Ki Gede dan berkata sedikit keras, “Kau ajarkan kedua muridmu itu ilmu perguruan Ental Sewu hanya untuk membunuh dan membunuh. Apakah tidak ada cara lain untuk menaklukkan lawan tanpa harus membunuhnya?”
Ki Gede tertawa tertahan mendengar pertanyaan Ki Singawana Sepuh. Jawabnya kemudian, “Perguruan Ental sewu dulu dan sekarang memang berbeda jauh. Ayah terlalu lembut dan santun dalam setiap menyelesaikan persoalan. Aku tidak telaten dengan cara seperti itu. Kalau kita mempunyai kekuatan, kenapa tidak? Kita selesaikan setiap permasalahan dengan ujung senjata sehingga orang lain akan tunduk dan patuh menuruti setiap kehendak kita.”
“Aku sangat tidak setuju dengan cara seperti itu,” geram Ki Singawana Sepuh, “Lebih baik aku segera menyingkir dari tempat yang memuakkan ini. Aku sudah tidak tahan lagi.”
Selesai berkata demikian Ki Singawana Sepuh segera melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu.
“Tunggu, Ki!’’ seru Ki Gede mencoba menahan langkah Ki Singawana Sepuh, “Kau belum menjawab pertanyaanku?”
“Pertanyaanmu tidak perlu dijawab,” berkata Ki Singawana Sepuh sambil berlalu dari tempat itu, “Aku sangat kecewa padamu, Respati Mintuna. Perguruan Ental Sewu yang dulu kukenal ternyata telah berubah warna di tangan generasi penerusnya. Kalau tidak mengingat budi baik Ayahmu, mungkin aku sudah ikut turun ke medan pertempuran ini khusus untuk menghukummu karena telah menyelewengkan Cita-cita sahabat baikku dimasa lalu.”
Kata-kata terakhir dari Ki Singawana Sepuh itu ternyata telah menghentikan langkah Ki Gede Ental Sewu untuk menyusul langkah guru Pangeran Ranapati itu. Sejenak dengan tatapan mata yang kosong dipandanginya saja langkah Ki Singawana Sepuh yang semakin jauh dari arena pertempuran.
Baru saja Ki Gede Ental Sewu membalikkan badannya untuk kembali melihat pertempuran yang semakin lama semakin sengit, seseorang telah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki yang renggang.
“Kau?” geram Ki Gede Ental Sewu dengan muka yang merah padam.
“Ya, ini aku Kakang Respati,” jawab orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam, “Mengapa dendammu setinggi langit dan sedalam lautan kepadaku, Kakang? Apakah Jayaraga yang tua ini sama sekali tidak ada harganya di hadapanmu, dan Kau ingin segera menyingkirkan aku dari muka bumi ini?”
“Persetan, kau Pradapa,” kembali Ki Gede Ental Sewu menggeram bagaikan seekor singa yang sedang terluka, “Kau telah meracun adik perempuanku satu satunya sehingga dia telah menemui ajalnya dengan sangat mengenaskan dan Kau masih mencoba memungkiri perbuatan terkutukmu itu?”
“Kakang,” berkata orang itu yang ternyata memang Ki Jayaraga dengan nada yang sareh, “Aku sangat mencintai Niken Larasati. Tidak mungkin ada niat sebiji sawi pun dalam hatiku untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat kejam seperti itu. Malam itu kami memang berencana untuk melarikan diri dari Padepokan Ental Sewu yang ternyata tidak dapat memberikan ketentraman bagi kami berdua. Aku sudah berjanji untuk menjemputnya di bilik paling ujung dari gandhok kiri. Namun sesampainya di sana, yang aku dapatkan hanyalah tubuhnya yang telah terbujur diam di atas amben. Aku masih sempat melihat sekilas ada sebuah mangkuk dengan isinya yang tinggal sedikit yang tergeletak tumpah di lantai sebelum aku meninggalkan tempat itu.”
“Gila!” bentak Ki Gede memotong ucapan Ki Jayaraga, “Sudah jelas bahwa hubungan kalian tidak direstui oleh Ayah dan juga aku sebagai kakak kandungnya. Kau pasti telah membujuknya untuk mati bersama dengan meminum racun seperti kisah-kisah percintaan yang cengeng yang pernah aku dengar. Mengapa racun di dalam mangkuk itu masih tersisa? Itu adalah bagianmu yang seharusnya Kau minum. Namun begitu melihat adikku meregang nyawa, Kau terlalu pengecut untuk menyusulnya meminum racun itu sehingga Kau memutuskan untuk melarikan diri.”
“Tidak kakang, itu tidak benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Aku bukan termasuk golongan orang-orang cengeng yang melihat persoalan hidup ini dengan sangat dangkal. Aku melarikan diri saat itu karena aku mendengar suara ribut para Cantrik Padepokan Ental Sewu yang menyerbu ke tempat itu. Aku segera sadar bahwa seseorang telah berusaha untuk menjebakku, maka aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, namun aku berjanji suatu saat aku akan kembali ke Padepokan Ental Sewu untuk menjernihkan masalah ini.”
“Omong kosong!” kembali Ki Gede Ental Sewu membentak, “Kalau memang Kau berniat untuk menjernihkan masalah ini, apa katamu tentang nama Jayaraga? Mengapa Kau bersembunyi di balik nama itu sehingga Kau seolah olah telah hilang ditelan bumi. Bertahun tahun aku mencarimu dengan membawa dendam setinggi langit sedalam lautan, ternyata Kau telah berganti nama dan mendirikan sebuah perguruan yang tak bernama, namun ternyata aku justru dapat menemukan persembunyianmu dengan cara mengenali dari ilmu yang telah Kau turunkan kepada murid muridmu.”
Ki Jayaraga sejenak termangu mangu. Namun katanya kemudian, “Sejak peristiwa itu aku memang selalu menghindari setiap pertemuan dengan para murid perguruan Ental Sewu, terutama Kau, Kakang Respati,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Semua itu bukan berarti aku menghindari tanggung jawab. Aku ingin masalah ini menjadi sedikit mereda seiring dengan berlalunya waktu sehingga suatu saat kita dapat membicarakannya lagi dengan hati yang dingin.”
“Persetan dengan segala alasanmu!” teriak Ki Gede yang kelihatannya sudah tidak dapat diajak berbicara lagi, “Sebagaimana paugeran yang berlaku di perguruan Ental Sewu, setiap persoalan yang timbul akan kita selesaikan dengan senjata. Bersiaplah Pradapa, petualanganmu akan berakhir hari ini.”
Selesai berkata demikian, Ki Gede Ental Sewu segera mempersiapkan diri. Pemimpin perguruan Ental Sewu itu kelihatannya tidak akan memulai serangannya dari tataran bawah, namun langsung pada tataran tinggi ilmunya.
Ki Jayaraga yang menyadari tingkat kemampuan olah kanuragan pewaris perguruan Ental Sewu itu sejenak dadanya berdesir. Perguruan Ental Sewu bukanlah perguruan anak kemarin sore yang belajar main loncat loncatan dengan bersenjatakan pedang-pedangan dari kayu. Perguruan Ental Sewu semasa dipimpin ayah Respati Mintuna adalah perguruan yang sangat disegani, baik dari sisi ilmunya maupun hubungannya dengan para kawula di sekitar padepokan.
Ketika kemudian Ki Gede Ental Sewu telah meloncat dengan garangnya menyerang Ki Jayaraga, guru Glagah Putih itu pun segera mengambil sikap jika tidak ingin dadanya terbelah terkena serangan pertama dari Ki Gede Ental Sewu.
Demikianlah akhirnya dua orang yang sudah lama tidak bertemu itu kini untuk pertama kalinya menyabung nyawa. Dalam pengembaraannya Ki Jayaraga yang semasa mudanya bernama Timur Pradapa itu memang selalu menghindari pertemuan dengan para Cantrik perguruan Ental Sewu, karena semenjak peristiwa meninggalnya Niken Larasati, beberapa Cantrik padepokan Ental Sewu telah disebar untuk mencari keberadaan Timur Pradapa yang hilang bagaikan ditelan bumi.
******

Pernah suatu ketika seorang Cantrik telah memberikan laporan kepada Respati Mintuna, kakak kandung Niken Larasati tentang keberadaan orang yang selama ini mereka cari.
“Ma’af kakang Respati,” berkata Cantrik itu di suatu siang yang terik di pendapa padepokan Ental Sewu, “Aku baru saja mendapat berita dari seorang kawanku, Prajurit Pajang yang baru pulang dari medan perang.”
Respati Mintuna mengerutkan keningnya. Dengan muka sedikit masam dia menjawab, “Apa peduliku dengan perang antara Pajang dan Mataram? Biarlah Bapak dan anak angkatnya itu saling berebut tahta atas tanah ini. Aku sama sekali tidak berkepentingan.”
“Tapi, kakang. Ada berita yang sangat menarik dalam hubungannya dengan orang yang selama ini kita cari.”
“Timur Pradapa, maksudmu?”
“Ya, kakang,”
“He!” seru Respati Mintuna agak terkejut sehingga dia menggeser duduknya sejengkal, “Apa katamu? Timur Pradapa? Apa dia ikut dalam pertempuran itu dan sudah mati terbunuh?”
“O, tidak kakang,” jawab Cantrik itu sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “Yang mati terbunuh dalam sebuah perang tanding di pertempuran itu adalah Tumenggung Prabadaru, senapati yang membawahi pasukan khusus Pajang.”
“Gila!” umpat Respati Mintuna, “Aku tidak mengenal siapa itu Tumenggung Prabadaru. Untuk apa Kau menceritakan peristiwa itu kepadaku, he?”
Sejenak Cantrik itu tergagap, namun dengan cepat dia segera menguasai diri. Jawabnya kemudian, “Ma’afkan aku kakang Respati. Yang aku maksud adalah Tumenggung itu memiliki jalur ilmu yang mirip dengan ilmu Timur Pradapa.”
“He?” kembali Respati Mintuna terkejut. Dipandanginya wajah Cantrik itu lekat-lekat sambil menggeram, “Dari mana Kau tahu bahwa Tumenggung itu mempunyai jalur ilmu yang sama dengan Pradapa?”
Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi getar didalam dadanya karena pandangan tajam Respati Mintuna, Cantrik itu pun kemudian menceritakan peristiwa yang didengarnya dari sahabatnya, seorang prajurit Pajang yang baru saja pulang dari medan perang.
Sejenak Respati Mintuna termenung. Kalau menurut cerita prajurit Pajang kawan Cantrik itu memang ada kemiripan ilmu dari orang yang selama ini mereka cari, ilmu yang berdasarkan pada pengungkapan kekuatan air, udara dan api.
Setelah menimbang nimbang beberapa saat, akhirnya Respati Mintuna berkata kepada Cantrik yang masih duduk menunggu di hadapannya, “Pergilah! Beritahu kawan kawanmu untuk menelusuri jalur ilmu Tumenggung Prabadaru itu. Aku tidak yakin kalau Tumenggung itu memang benar telah menyadap ilmu dari Timur Pradapa, seharusnya dia menjadi seorang yang pilih tanding dan sulit untuk dikalahkan, jika dia telah menyadap ilmu itu sampai tuntas.”
“Demikianlah yang sebenarnya telah terjadi, kakang Respati,” sahut Cantrik itu, “Namun lawannya bukanlah orang sembarangan, walaupun lawan Tumenggung Prabadaru itu umurnya terhitung masih muda, namun ilmunya sangat ngedab-edabi.”
Respati Mintuna mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Siapakah yang menjadi lawan Tumenggung itu?”
“Agung Sedayu, murid utama orang bercambuk,” jawab Cantrik itu.
“He?” kembali Respati Mintuna terkejut, “Apakah nama itu juga yang telah membunuh Ajar dari Tal Pitu beberapa waktu yang lalu?”
Sejenak Cantrik itu berusaha untuk mengingat ingat. Setelah yakin dengan ingatannya, Cantrik itu pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Benar, kakang. Orang yang telah berhasil mengalahkan Tumenggung itu adalah orang yang sama dengan yang telah membunuh Ajar Tal Pitu, Agung Sedayu murid utama orang bercambuk.”
“Gila,” umpat Respati Mintuna, “Nama itu telah menggelitik hatiku untuk turun gunung. Aku harus menghentikan tingkah polah murid orang bercambuk itu. Kalau tidak, dia akan menjadi semakin sombong dan merasa dirinya tanpa tanding.”
Cantrik yang duduk di depannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dia sudah tahu sifat Respati Mintuna, putra tertua dari Ki Gede Ental Sewu yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sifat itu sangat jauh berbeda dengan ayahnya yang sangat welas asih dan penuh kasih sayang terhadap sesamanya.
Demikianlah, peristiwa itu ternyata telah memacu semangat para Cantrik Padepokan Ental Sewu untuk semakin giat menelusuri keberadaan Timur Pradapa melalui jalur ilmu yang diturunkan kepada Tumenggung Prabadaru. Namun ketika penelusuran mereka belum membuahkan hasil, mereka kembali dikejutkan oleh berita kedatangan tiga bajak laut yang mengaku sebagai saudara seperguruan Tumenggung Prabadaru.
Kedatangan ketiga bajak laut di ibu kota Pajang itu sengaja akan melampiaskan dendam kepada saudara seperguruan mereka karena merasa telah dihinakan atas perlakuan Tumenggung Prabadaru yang tidak mau mengakui mereka sebagai saudara seperguruan dan bahkan akan menangkap mereka bertiga.
Namun alangkah terkejutnya ketiga Bajak Laut itu ketika mendapatkan berita bahwa Tumenggung Prabadaru ternyata telah tewas dalam sebuah perang tanding melawan murid orang bercambuk, Agung Sedayu. Akhirnya ketiga bajak laut itu pun memutuskan untuk mengalihkan dendam mereka kepada orang yang telah membunuh saudara seperguruan mereka.
Ketika terjadi perang tanding yang dahsyat antara ketiga bajak laut itu yang masing-masing melawan Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan Ki Waskita, berita yang sampai ke telinga Respati Mintuna pun sangat mengejutkan. Ketiga bajak laut itu telah menemui ajalnya di tangan ketiga lawannya dan kembali nama Agung Sedayu disebut sebut yang membuat hati pewaris perguruan Ental Sewu itu semakin terbakar.
“Agaknya sudah waktunya aku untuk turun gunung,” demikian Respati Mintuna yang telah menggunakan gelar sebagaimana ayahnya dahulu, Ki Gede Ental Sewu memberikan arahan kepada para Cantriknya, “Usahakan menelusuri jalur ilmu ketiga bajak laut yang dungu itu untuk sampai ke tempat persembunyian Timur Pradapa. Selain untuk melenyapkan orang yang telah berbuat dosa terhadap perguruan kita, aku juga ingin menjajagi ilmu murid orang bercambuk itu. Namun yang lebih utama, temukan persembunyian Timur Pradapa terlebih dahulu.”
Sebenarnyalah menelusuri jalur ilmu ketiga bajak laut itu ternyata lebih mudah. Tidak seperti Tumenggung Prabadaru yang setelah mendapat kamukten seolah olah sudah tidak lagi mengenal sumbernya, ketiga bajak laut itu semasa hidupnya masih sering mengunjungi padepokannya dengan membawa barang-barang berharga sebagian dari hasil mereka merompak di laut untuk guru mereka.
Akhirnya penelusuran para Cantrik padepokan Ental Sewu itu berakhir pada sebuah tempat yang jauh terpencil, di antara lebatnya batang-batang perdu di pinggir hutan pepat yang jarang disentuh kaki orang, terdapat sebuah jalan setapak yang menuju ke sebuah padepokan kecil yang tidak banyak dikenal. Padepokan yang tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap sekelilingnya, padepokan yang benar-benar berdiri dalam kebisuan dan kediamannya.
Ketika kemudian Respati Mintuna dan beberapa orang murid kepercayaannya berusaha mencapai tempat yang sangat terpencil itu, ternyata orang yang mereka cari selama ini telah pergi meninggalkan Padepokannya. Dengan kemarahan yang tiada taranya, Respati Mintuna dan murid-murid kepercayaannya berusaha mencari jejak Timur Pradapa dengan mengaduk aduk seluruh padepokan, namun mereka sama sekali tidak mendapatkan petunjuk. Timur Pradapa kembali menghilang ditelan bumi.
Sebenarnyalah pada saat yang hampir bersamaan, Timur Pradapa yang telah mengubah namanya menjadi Ki Jayaraga telah meninggalkan Padepokannya untuk menyusul muridnya yang termuda ke Menoreh. Memang pada saat itu murid termuda Ki Jayaraga yang bernama Lodra telah bertekad akan membalas dendam atas kematian saudara-saudara seperguruannya dengan caranya sendiri, cara yang sebenarnya tidak direstui oleh gurunya.
Akhirnya jejak Timur Pradapa itu kembali muncul ke permukaan ketika tanpa disengaja seorang Cantrik padepokan Ental Sewu yang sedang berkunjung ke padepokan sahabatnya mendapat petunjuk. Pemimpin padepokan sahabatnya yang bernama Ki Kapat Argajalu telah tewas dalam sebuah pertempuran di Menoreh. Jasadnya telah diijinkan untuk dibawa pulang ke padepokannya bersama dengan kedua anaknya yang juga menemui ajalnya, Tumpak dan Soma. Sedangkan Putut Mawekas, salah seorang murid Ki Kapat Argajalu yang menyerah dan diampuni oleh Ki Gede Menoreh, telah diijinkan untuk membawa ketiga jenasah itu kembali ke padepokan.
Ketika Cantrik padepokan Ental Sewu itu sempat melihat bekas luka pada tubuh Soma, alangkah terkejutnya dia. Sekujur tubuh Soma yang bagaikan terbakar dan kulitnya melepuh, bahkan di sebagian tempat telah mengelupas, menandakan bahwa Soma telah terkena ilmu yang berdasarkan pada pengungkapan kekuatan inti air, udara dan api.
Demikianlah akhirnya, dalam penelusurannya ke Menoreh, dengan mudah Cantrik Padepokan Ental sewu itu mendapat berita bahwa baru saja terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Kapat Argajalu, yang masih terhitung saudara jauh dengan Ki Argapati. Dalam peristiwa itu Ki Kapat Argajalu beserta kedua anaknya, Tumpak dan Soma telah menjadi korban, dan pembunuh Soma adalah Glagah Putih, seorang pemuda yang baru tumbuh yang merupakan adik sepupu Ki Lurah Agung Sedayu.
“Apakah Kau yakin dengan pengamatanmu itu?” bertanya Respati Mintuna kepada Cantrik yang telah melakukan penyelidikan sekembalinya dari Menoreh.
“Aku yakin sekali, kakang,” jawab Cantrik itu dengan raut muka yang bersungguh sungguh, “Semua orang tahu bahwa Glagah Putih tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Pada awalnya aku sempat ragu-ragu, dari mana Glagah Putih menyerap ilmu yang nggegirisi itu?” Cantrik itu berhenti sejenak untuk menelan ludah, lanjutnya kemudian, “Ternyata jawabnya ada di rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu sendiri. Memang aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang Timur Pradapa yang dua orang muridnya telah mati terbunuh oleh Agung Sedayu, sekarang dia justru tinggal bersamanya, menjadi bagian dari keluarga Ki Lurah Agung Sedayu.”
Respati Mintuna mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sorot matanya menyiratkan ketidak percayaan atas cerita Cantrik itu. Maka katanya kemudian setengah membentak, “Jangan bercerita ngaya wara, he! Bagaimana mungkin orang yang berilmu mumpuni seperti Timur Pradapa itu bersembunyi di bawah ketiak pembunuh muridnya? Aku tidak yakin dengan pengamatanmu itu!”
Sejenak Cantrik itu termangu mangu, namun dengan memberanikan diri akhirnya dia melanjutkan keterangannya, “Ma’afkan aku kakang, menurut perhitungan nalar memang tidak mungkin. Akan tetapi aku telah membuktikan sendiri. Aku telah bertemu dengan Timur Prada itu sendiri justru di suatu pagi ketika dia keluar dari rumah Ki Lurah Agung Sedayu sambil menjinjing cangkul. Walaupun wajahnya telah dihiasi kumis dan janggut yang telah berwarna putih semua, tapi aku tidak pernah lupa. Wajah dan perawakan itu adalah milik Timur Pradapa walaupun akhirnya aku mengetahui namanya telah diubah menjadi Ki Jayaraga, ya Ki Jayaraga guru Glagah Putih.” 
“Jayaraga?” tanpa sadar bibir Respati Mintuna mengulang nama itu, “Pantas kita sulit menemukan jejaknya semenjak dia meninggalkan Padepokannya. Ternyata dia telah melakukan perbuatan pengecut dengan mengubah namanya agar tidak dikenali lagi.”
“Jadi, bagaimana rencana kita selanjutnya, kakang?” bertanya Cantrik itu kemudian.
Sejenak Respati Mintuna termenung. Kini dia tidak dapat lagi mengambil keputusan dengan tergesa-gesa seperti pada saat menyerbu padepokan Timur Pradapa yang terpencil itu. Timur Pradapa justru kini telah tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu, murid utama orang bercambuk yang namanya mulai disegani di seluruh tlatah Mataram dan sekitarnya.
“Ayah sendiri semasa hidupnya merasa segan untuk berurusan dengan orang bercambuk itu,” berkata Respati di dalam hati, “Apalagi kini murid utama orang bercambuk itu kelihatannya sudah hampir tuntas mewarisi ilmu gurunya, sementara orang bercambuk itu sendiri masih hidup. Tidak mungkin bagiku untuk beramai ramai membawa murid-murid padepokan Ental Sewu menyerbu rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Perimbangan kekuatan antara para Cantrik padepokan Ental Sewu dengan para pengawal Menoreh masih perlu dicermati, baik dalam jumlah maupun kemampuan. Sedangkan Sindangwangi dan Bantarkawung masih terlalu muda dan masih jauh untuk menerima ilmu puncak perguruan Ental Sewu. Masih diperlukan beberapa tahun lagi untuk melatih mereka menjadi murid Ental Sewu yang disegani.”
Kembali Respati Mintuna termenung. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggelengkan kepala berulang ulang dia menjawab pertanyaan Cantrik itu, “Untuk sementara ini kita hanya mengamati saja segala gerak gerik Timur Pradapa yang telah berganti nama Jayaraga itu. Kita akan melihat dan menilai, kapan waktu yang tepat untuk menangkap si pengecut Jayaraga itu.”
Cantrik yang duduk di hadapannya hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Dalam hati dia dapat memahami jalan pikiran putra tertua Ki Gede Ental Sewu itu. Memang belum waktunya untuk menangkap Ki Jayaraga, mungkin harus dipancing terlebih dahulu untuk keluar dari Tanah Perdikan Menoreh, namun ternyata Ki Jayaraga hampir tidak pernah bepergian keluar Menoreh. Kalaupun kesempatan itu ada, teman seperjalanan Ki Jayaraga itulah yang menjadi pertimbangan. Kadang Ki Lurah Agung Sedayu sendiri, bahkan tidak jarang Kiai Gringsing, orang yang bergelar orang bercambuk itu yang menjadi kawan seperjalanannya.
Demikianlah hari bergulir terus sehingga ketika ada utusan dari Panembahan Cahya Warastra kepada perguruan Ental Sewu untuk bergabung dengan perguruan-perguruan yang lain di Menoreh, Respati Mintuna yang kini telah bergelar Ki Gede Ental Sewu segera menyatakan kesanggupannya untuk bergabung. Selain untuk mencari Ki Jayaraga, ada sepercik keinginan untuk mencoba beradu ilmu dengan Ki Rangga Agung Sedayu yang namanya telah menggetarkan seluruh tanah ini dari ujung ke ujung.
Ketika kemudian dengan tanpa sengaja pada saat menyerbu ke padukuhan induk Menoreh, Ki Gede Ental Sewu bertemu dengan musuh bebuyutannya, Ki Jayaraga, dendamnya pun segera ditumpahkan bagaikan hujan lebat yang turun dari langit. Serangan serangannya langsung pada tataran tinggi dari ilmu padepokan Ental Sewu. Setiap serangannya selalu disertai dengan pusaran angin yang panas, sepanas api dari tempurung kelapa.
Namun Ki Jayaraga adalah orang yang aneh. Ilmunya yang bersumber pada kekuatan inti air, angin dan api telah membuatnya seolah olah terlindungi dari sambaran ilmu lawannya. Gerakannya yang masih cekatan dan trengginas walaupun usianya telah merambat semakin tua telah membuat setiap serangan lawannya hanya menemui tempat kosong.
“Pengecut!” teriak Ki Gede suatu saat ketika kembali serangannya dapat dihindari oleh Ki Jayaraga, “Jangan hanya berloncat loncatan seperti seekor tupai, kalau memang berani, tahan seranganku, jangan hanya menghindar saja.”
“Ma’afkan aku kakang!” teriak Ki Jayaraga tak kalah kerasnya, “Aku masih ingat pesan Niken Larasati untuk selalu menghormatimu selaku saudara tua. Tidak ada keinginan untuk melawanmu, apalagi sampai melukaimu.”
“Persetan!” bentak Ki Gede sambil melancarkan serangannya. Kaki kanannya bergerak mendatar menyapu kaki Ki Jayaraga yang masih goyah sehabis menghindari serangan sebelumnya, “Aku tidak peduli lagi dengan perasaan Niken Larasati. Dia telah mati. Mati karena pokal seorang yang bernama Timur Pradapa.”
Mendapat serangan seperti itu Ki Jayaraga segera menarik kakinya mundur selangkah. Serangan mendatar itu memang tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pusaran yang menyertainya telah menghamburkan debu dan daun-daun kering sehingga sejenak pemandangan menjadi gelap tertutup debu.
Kesempatan ini agaknya telah diperhitungkan oleh Ki Gede. Dengan berteriak menggelegar dia meloncat secepat tatit yang melompat di udara, menerjang dada Ki Jayaraga yang terbuka.
Kali ini benar-benar tidak ada kesempatan bagi Ki Jayaraga untuk menghindar. Dia harus menangkis serangan itu kalau tidak ingin dadanya remuk terkena terjangan Ki Gede. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Ki Jayaraga pun kemudian menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun terjadi. Walaupun Ki Gede Ental Sewu dan Ki Jayaraga masing-masing belum merambah pada puncak ilmu mereka, namun benturan yang terjadi itu benar-benar telah mengguncang arena pertempuran di sekitar mereka. Tanah tempat mereka berpijak bergetar dahsyat bagaikan terkena gempa bumi, sedangkan debu bercampur tanah dan daun-daun kering berhamburan menutupi pandangan mata.
Ki Jayaraga yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada untuk menahan gempuran Ki Gede ternyata telah bergetar dan surut tiga langkah ke belakang. Sejenak nafasnya bagaikan tersumbat karena pengaruh getaran yang menghimpit dadanya. Dengan segera dia meloncat beberapa langkah lagi ke belakang untuk menghindari debu yang berhamburan serta untuk melapangkan dadanya dengan menarik nafas dalam-dalam dari udara yang lebih bersih.
Sementara Ki Gede Ental Sewu telah terlontar kebelakang karena serangannya bagaikan menghantam dinding baja setebal satu jengkal. Namun dengan cepat dia segera menguasai dirinya sehingga tidak sampai jatuh terlentang.
“Gila!” umpat Ki Gede ketika merasakan nyeri di dalam dadanya akibat benturan itu, “Ternyata Kau belum berubah, Pradapa. Walaupun umurmu sudah mendekati liang kubur, kekuatanmu tidak surut, bahkan semakin kuat.”
Ki Jayaraga yang masih berusaha mengatur pernafasannya tidak segera menjawab. Dicobanya untuk beberapa kali menarik nafas agar rongga dadanya yang terasa sesak bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur turun dari lereng bukit yang runtuh menjadi sedikit longgar.
“Kakang,” akhirnya Ki Jayaraga menjawab, “Aku rasa rasanya hampir pingsan menahan serangan Kakang Respati. Aku rasa pertempuran ini tidak ada gunanya lagi untuk diteruskan. Kita berdua ini sudah semakin tua, seharusnyalah sudah lebih mengendap dan tidak perlu lagi menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Alangkah baiknya kalau permasalahan di antara kita ini dibicarakan dengan hati yang dingin sehingga akan diketahui duduk permasalahannya.”
“Permasalahannya sudah jelas,” sahut Ki Gede Ental Sewu cepat, “Kalau memang Kau mengakui kesalahanmu dan menyerah dengan baik-baik, aku berjanji akan membunuhmu tanpa membuatmu terlalu lama menderita.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Gede. Agaknya Ki Gede sudah tidak dapat diajak bicara lagi. Maka Ki Jayaraga pun kemudian segera bersiap ketika melihat Ki Gede ternyata telah mempersiapkan diri untuk serangan berikutnya. Sejenak kemudian kedua orang yang sudah memasuki hari-hari tuanya itu kembali terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu, Empu Wisanata ternyata telah berhadapan dengan Kiai Sasadara di tengah-tengah riuhnya pertempuran.
“Ki Sanak kah pemimpin para pengawal Menoreh ini?” bertanya Kiai Sasadara dengan sopan.
Empu Wisanata menggeleng. Jawabnya kemudian, “Bukan. Ki Jayaraga yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh ini. Aku hanyalah pembantunya untuk ikut mengawasi di medan sebelah kiri.”
“Hmm..” sejenak Kiai Sasadara itu mengawasi Empu Wisanata dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Setelah puas dengan pengamatannya, dia bergumam perlahan, seolah olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Kekuatan yang tersembunyi di dalam wadag yang renta memang tidak bisa diduga. Kadang kita terjebak oleh ujud kewadagan dari seseorang, namun kali ini aku tidak akan tertipu. Aku sedang berhadapan dengan seseorang yang sudah mumpuni lahir batin.”
Empu Wisanata mengerutkan keningnya mendengar gumam Kiai Sasadara walaupun hanya lamat-lamat, namun pendengaran Empu Wisanata yang tajam dapat menangkap setiap patah kata. Maka katanya kemudian, “Ki Sanak, lebih baik kita saling memperkenalkan diri. Namaku Empu Wisanata, aku adalah penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini.”
“Apakah Ki Sanak seorang pembuat keris atau senjata-senjata piandel lainnya?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Kiai Sasadara begitu mendengar kata Empu.
“Tidak Ki Sanak, aku tidak bisa membuat keris.”
“Jadi? Mengapa Ki Sanak memakai gelar Empu?”
“Entahlah,” jawab Empu Wisanata, “Orang-orang memberi julukan Empu kepadaku mungkin karena sejak muda aku sudah senang merawat beberapa keris milik ayahku sehingga mereka menjulukiku Empu.”
Kiai Sasadara tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil melangkahkan kaki kanannya ke samping untuk mulai memasang kuda-kuda, dia berkata, “Nah, Empu Wisanata, perkenalkan namaku Kiai Sasadara dari Blitar. Sebenarnya kita berdua tidak pernah saling bersengketa, namun kini kita telah saling berhadapan di medan perang. Jangan salahkan aku kalau Empu nanti pulang tinggal nama saja.”
Empu Wisanata kini yang ganti tersenyum mendengar kata-kata lawannya. Maka kemudian jawabnya, “Dalam sebuah pertempuran, kematian adalah akibat terburuk yang mungkin akan kita dapatkan. Sejak tadi pagi aku sudah siap untuk membunuh atau di bunuh.”
“Bagus,” sahut Kiai Sasadara, “Bersiaplah. Cabut senjatamu kalau memang menurut pendapatmu itu akan sedikit membantumu memperpanjang umurmu sebelum Malaikat maut mencabut nyawamu dengan perantaraan kedua tanganku ini.”
“Aku tidak terbiasa bertempur dengan memakai senjata,” jawab Empu Wisanata kemudian sambil menggeser kedudukannya begitu melihat lawannya mulai bersiap menyerang, “Kalau Kiai Sasadara tidak bersenjata, aku pun tidak.”
“Baiklah kalau memang kesombonganmu telah mengaburkan penalaranmu. Aku telah memberimu kesempatan, dan kesempatan itu tidak akan terulang untuk kedua kalinya.”
Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja tanpa melakukan sebuah ancang-ancang, tubuh kiai Sasadara melesat menerjang Empu Wisanata dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah lambung.
Empu Wisanata terkejut mengetahui kecepatan gerak lawannya. Dengan tergesa-gesa ditariknya kaki kirinya selangkah ke belakang. Ketika kaki lawannya lewat sejengkal dari lambungnya, dengan cepat tangan kiri Empu Wisanata berusaha mencengkeram pergelangan kaki lawannya, sementara tangan kanannya terayun deras ke arah tengkuk.
Menghadapi dua serangan sekaligus dari Empu Wisanata, pemimpin perguruan dari Blitar itu tidak menjadi gugup. Dengan sedikit menundukkan kepalanya, serangan Empu Wisanata yang mengarah ke tengkuk dapat dihindarinya, sedangkan kaki kanannya yang terjulur lurus segera ditekuknya untuk kemudian justru lutut Kiai Sasadara lah yang dengan deras menghantam dada Empu Wisanata.
Kembali Empu Wisanata terkejut. Serangan itu begitu dekat, tidak ada jalan lain untuk menghindar selain meloncat ke belakang sejauh jauhnya untuk menghindari serangan susulan.
Ternyata Kiai Sasadara tidak mengejarnya. Dibiarkannya saja Empu Wisanata memperbaiki kedudukannya.
Untuk sejenak Empu Wisanata tertegun. Kecepatan gerak lawannya ternyata telah menimbulkan kesulitan, walaupun masih dalam batas kewajaran. Namun jika lawannya semakin meningkatkan ilmu yang dapat membuat dirinya seolah olah tanpa bobot dan dapat bergerak tanpa melalui sebuah ancang-ancang, dirinya benar-benar akan menemui kesulitan.
Sebelum Empu Wisanata menemukan jalan untuk memecahkan ilmu lawannya yang mampu melenting dan melontar tanpa ancang-ancang itu, sekali lagi Kiai Sasadara telah berteriak nyaring sambil melesat ke depan menghantam dada Empu Wisanata dengan kepalan tangannya. Gerakannya sangat ringan dan cepat, melebihi kecepatan tatit yang melompat di udara.
Kini Empu Wisanata benar-benar harus memusatkan seluruh kemampuannya untuk mengimbangi gerak lawannya. Tidak ada jalan lain untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya kecuali dengan menangkis semua serangan dari Kiai Sasadara, walaupun dengan demikian akan dapat berakibat semakin mempercepat susutnya ketahanan tubuh Empu Wisanata. Namun untuk beberapa saat Empu Wisanata masih dapat bertahan dari gempuran lawannya.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang dahsyat. Kiai Sasadara bergerak menyambar-nyambar bagaikan seekor elang yang sedang memburu mangsanya, sedangkan Empu Wisanata tidak banyak bergerak, namun gerakannya terlihat tangguh tanggon bagaikan seekor banteng. Setiap kali Empu Wisanata hanya bergeser setapak demi setapak sambil menangkis setiap serangan lawannya yang datang membadai dengan mengandalkan ilmu yang dapat memperkuat pertahanan tubuhnya, aji tameng waja.
Ternyata lawannya dapat merasakan hal itu sehingga dengan mengumpat keras Kiai Sasadara telah melompat kebelakang sambil berseru, “Aji Tameng Waja. Ternyata Empu telah melindungi diri dari setiap seranganku dengan aji kebanggaan Sultan Trenggana pada masa kejayaan Demak lama dahulu. Namun jangan terburu buru untuk menepuk dada, aku pun mempunyai sejenis aji yang dapat merontokkan Aji Tameng Wajamu yang masih sangat dangkal itu.”
Empu Wisanata tidak menjawab. Kini dia harus semakin waspada karena lawannya ternyata telah mengenali ilmunya, sehingga tidak menutup kemungkinan lawannya akan meningkatkan tataran ilmunya semakin tinggi untuk menembus pertahanan Aji Tameng Waja.
Kiai Sasadara hanya memerlukan waktu sekejab untuk memusatkan nalar budinya. Sejenak kemudian, sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah lawannya, Kiai Sasadara pun siap melancarkan sebuah serangan dahsyat.
Empu Wisanata maklum, lawannya tentu telah mengetrapkan sebuah aji yang akan dapat menggoyahkan pertahanan Aji Tameng Wajanya. Untuk itu Empu Wisanata segera meningkatkan pertahanannya menjadi berlipat lipat.
Ketika kemudian dengan kecepatan tatit Kiai Sasadara meluncur menyambar kepala lawannya dengan telapak tangannya, tiba-tiba Empu Wisanata mengalami hal yang sangat aneh dan luar biasa yang selama hidupnya belum pernah dijumpai. Sambaran tangan Kiai Sasadara tenyata membawa serangkum hawa yang berbau sangat busuk dan memuakkan. Bau itu begitu busuknya sehingga membuat perut Empu Wisanata menjadi mual dan hampir muntah.
Dengan cepat Empu Wisanata meloncat kebelakang untuk mengurangi pengaruh bau busuk yang sangat menyengat itu. Sejenak matanya menjadi nanar dan kepalanya terasa pening, sedangkan isi perutnya seolah olah memberontak ingin menyembur keluar.
“Gila,” desis Empu Wisanata sambil mengamati lawannya yang ternyata tidak memburunya.
Lawannya justru telah berdiri dengan bertolak pinggang sambil tertawa terkekeh-kekeh. Katanya kemudian diantara derai tawanya, “He, Empu! Bagaimana dengan Aji Tameng Wajamu? Biar pun Kau telah melipat gandakan kekuatannya untuk menahan seranganku, namun semua itu tidak akan berguna. Kau akan mati tercekik karena menahan nafasmu sendiri. Ketahuilah, ajiku ini sudah jarang bahkan tidak ada seorang pun yang mampu menguasainya saat ini, sebuah aji yang bangkit dari alam kegelapan, sebuah aji yang di dapat dengan laku yang sangat berat dan aneh, Aji Bathang Sayuta.”
Terkejut Empu Wisanata mendengar nama aji bathang sayuta. Menurut pendengarannya dan juga penuturan dari gurunya dulu sewaktu dia masih muda, aji bathang sayuta adalah sebuah aji yang didapatkan dengan laku yang sangat aneh dan mengerikan, pati geni tujuh hari tujuh malam dalam sebuah liang lahat bersama beberapa mayat yang sudah membusuk.
Menyadari lawannya terkejut mendengar aji bathang sayuta yang dimilikinya, Kiai Sasadara segera bersiap melancarkan serangan berikutnya.
Kali ini Empu Wisanata benar-benar dalam kesulitan. Setiap kali serangan lawannya datang membadai, dia harus menahan nafas sambil menangkis serangan yang bertubi-tubi itu. Ketika kemudian terasa rongga dadanya hampir pecah menahan nafas untuk sekian lama, tidak ada jalan lain bagi Empu Wisanata kecuali meloncat mundur.
Demikianlah pertempuran antara Kiai Sasadara melawan Empu Wisanata berlangsung dengan dahsyatnya. Pemimpin perguruan dari Blitar itu menyerang tanpa memberi kesempatan sekejab pun bagi lawannya untuk membalas. Sementara Empu Wisanata hanya dapat bertahan sambil meloncat mundur dan mundur terus sehingga terlihat Empu Wisanata sangat terdesak dengan hebatnya.
Namun Empu Wisanata tidak merasa putus asa. Dengan berbekal pengalaman dan ilmu yang mumpuni, dia yakin suatu saat Ilmu Bathang Sayuta itu akan terungkap titik kelemahannya. Walaupun untuk itu dia harus berpacu dengan waktu sebelum pertahanannya semakin lemah dan semakin lemah.
Para pengawal Menoreh yang bertempur di sekitar Empu Wisanata menjadi berdebar debar. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi. Namun menilik kedudukan Empu Wisanata yang terus menerus mundur telah mengisyaratkan kepada mereka apa yang sedang dialami oleh ayah Nyi Dwani itu.
Sementara Nyi Dwani yang sedang bertempur tidak jauh dari tempat ayahnya masih belum menyadari kesulitan yang sedang dialami oleh ayahnya. Agaknya perhatian Nyi Dwani masih tersita oleh ketiga lawannya walaupun Nyi Dwani tidak mengalami kesulitan yang sesungguhnya. Namun jika sedikit saja dia lengah, tidak menutup kemungkinan justru ketiga lawannya itulah yang akan menyulitkan Nyi Dwani.
Ketika kemudian karena tidak tahan melihat kesulitan yang dialami oleh Empu Wisanata, seorang pengawal Menoreh yang bertempur di dekat Nyi Dwani telah berdesis perlahan lahan namun cukup menarik perhatian Nyi Dwani.
“Nyi Dwani, lihatlah Ayahmu, mungkin dia memerlukan bantuanmu,” desis pengawal itu tanpa berpaling sedikitpun ke arah Nyi Dwani.
Nyi Dwani terkejut mendapat bisikan pengawal yang bertempur di sebelahnya. Sekilas dengan sudut matanya dia mencoba melihat ke tempat ayahnya sedang bertempur. Debar jantung di rongga dada Nyi Dwani pun semakin kencang begitu melihat Empu Wisanata benar-benar mengalami kesulitan menahan gempuran lawannya.
Menyadari kemungkinan terburuk dapat terjadi pada ayahnya, Nyi Dwani bermaksud segera menyelesaikan ketiga lawannya untuk dapat membantu ayahnya. Dengan cepat dihentakkan kemampuannya untuk menyerang ketiga lawannya. Pedangnya berputaran mengerikan disertai dengan hawa panas yang keluar dari bilah pedangnya. Ternyata pedang di tangan Nyi Dwani itu telah merah membara.
Demikianlah, di bawah tuntunan ayahnya, ternyata Nyi Dwani telah menyempurnakan ilmunya selama ini. Kalau dahulu ketika dia berperang tanding dengan Nyi Sekar Mirah masih mengandalkan sinar bulan untuk mengungkapkan ilmunya, ternyata pada perkembangannya dan juga pergaulan ayah dan anak itu dengan Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, mereka telah memperoleh pencerahan bagaimana seharusnya menentukan sikap dalam hubungannya dengan pengungkapan ilmu terhadap Sang Maha Pencipta. Bahwa pengakuan Yang Maha Agung itu adalah sumber segala kekuatan yang ada di jagad raya ini telah menempatkan ilmu mereka segaris dengan ilmu orang-orang yang selalu hidup di bawah tuntunanNya.
Putaran pedang yang membara itu selain membawa hawa panas yang tak tertahankan oleh lawan lawannya, juga kekuatannya benar-benar nggegirisi. Ketika salah seorang lawannya berusaha menangkis pedang Nyi Dwani yang menyambar ke arah lambung, ternyata kekuatan ayunannya telah melemparkan pedang lawannya itu ke udara. Sebelum lawannya menyadari apa yang telah terjadi, ayunan pedang Nyi Dwani sama sekali tidak berubah arah, dengan derasnya pedang yang membara itu merobek lambung lawannya.
Sejenak orang yang terkena sabetan pedang Nyi Dwani pada lambungnya itu terhuyung kebelakang. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia mencoba untuk menghentikan darah yang muncrat dari lukanya dengan kedua tangannya. Namun luka itu ternyata terlalu parah sehingga akhirnya dengan sebuah umpatan yang keras dan sangat kotor, dia jatuh terjerembab dan nyawanya pun melayang.
Dua orang kawannya yang berusaha menolong dengan cara memotong serangan Nyi Dwani ternyata kalah cepat. Sebelum serangan mereka datang, kawannya telah menjadi korban Nyi Dwani terlebih dahulu. Ketika Nyi Dwani menyadari ada serangan dari arah kanan dan kiri secara bersamaan, Nyi Dwani justru dengan sengaja telah maju selangkah. Kemudian sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat pedangnya terjulur mengarah ke punggung salah satu lawannya.
Kecepatan gerak Nyi Dwani memang tidak bisa diimbangi oleh lawan lawannya. Segera saja terdengar keluhan tertahan ketika ujung pedang yang membara itu menyobek punggungnya. Selain darah yang memancar keluar dari luka itu, juga tercium bau kain dan daging yang hangus terbakar.
Lawan Nyi Dwani yang tinggal satu segera menerjang ke depan untuk menyelamatkan kawannya yang terluka agar tidak mendapat serangan susulan. Dengan teriakan kemarahan yang tiada taranya, dia mencoba menyerang sisi kiri Nyi Dwani yang terbuka.
Agaknya Nyi Dwani membiarkan saja lawannya yang telah terluka di bagian punggung itu dan tidak mengejarnya dengan serangan susulan. Luka itu sangat parah dan tidak mungkin tertolong lagi, maka Nyi Dwani membiarkan saja orang itu dengan terhuyung-huyung meninggalkan arena. Sementara perhatian Nyi Dwani segera terpusat pada lawannya yang terakhir.
Ketika ujung pedang lawannya hanya tinggal sejengkal dari pundak kirinya, dengan sedikit memiringkan tubuhnya, Nyi Dwani berhasil menghindari serangan itu. Sebelum lawannya sempat menarik kembali senjatanya, dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh mata wadag lawannya, ujung pedang Nyi Dwani tiba-tiba saja telah menghunjam dadanya.
Sejenak pengikut Panembahan Cahya Warastra itu menggeram sambil memandang Nyi Dwani dengan pandangan penuh kebencian. Ketika kemudian Nyi Dwani menarik pedangnya dengan sedikit sentakan, tubuh yang sudah bersimbah darah itu pun terhuyung-huyung ke depan. Dengan sigap Nyi Dwani segera meloncat ke belakang untuk menghindari tubuh lawannya yang jatuh tersungkur tak bernyawa lagi.
Sejenak Nyi Dwani masih berdiri termangu mangu merenungi lawan terakhirnya yang telah terbujur menjadi mayat. Ketika Nyi Dwani kemudian mengedarkan pandangan matanya ke luar lingkaran pertempuran, tampak lawannya yang terluka punggungnya itu ternyata telah tergeletak tak bergerak lagi.
Para pengikut Panembahan Cahya Warastra yang bertempur di seputar arena pertempuran Nyi Dwani menjadi gelisah. Mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka, betapa perempuan yang terbilang masih muda dan cantik itu ternyata mempunyai ilmu iblis. Jika perempuan itu kemudian mengambil alih lawan-lawan para pengawal Menoreh, dapat dipastikan para pengikut Panembahan Cahaya Warastra itu satu persatu tinggal menunggu giliran untuk mati.
Namun ternyata Nyi Dwani segera teringat akan ayahnya. Dengan beberapa kali loncatan dia telah berada di pinggir arena pertempuran antara Empu Wisanata melawan Kiai Sasadara. Sebenarnyalah keadaan Empu Wisanata memang kurang beruntung, karena pemusatan pikirannya terganggu dengan bau busuk yang memuakkan. Sedangkan lawannya benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk balas menyerang.
Nyi Dwani yang masih berdiri di pinggir arena pertempuran mengerutkan keningnya. Menurut penilaiannya, lawan ayahnya itu mempunyai kecepatan gerak yang luar biasa, yang tanpa memerlukan ancang-ancang dia dapat menyerang Empu Wisanata dari segala arah, sedangkan ayahnya hanya mampu bertahan saja.
Ada satu kejanggalan bagi Nyi Dwani. Dia tahu ayahnya mempunyai semacam aji yang dapat memperkuat pertahanannya, aji tameng waja. Dengan berbekal ilmu itu seharusnya ayahnya tidak akan kesulitan mengimbangi kecepatan gerak lawannya dengan pertahanan yang kokoh berlandaskan pada aji tameng waja, namun yang terjadi adalah sangat mengherankan, ayahnya telah terdesak dengan hebat dan hanya dapat bergerak mundur tanpa dapat balas menyerang.
Ketika Nyi Dwani belum dapat menarik sebuah kesimpulan dari pengamatannya tentang penyebab ayahnya yang semakin terdesak oleh lawannya, lamat-lamat dari pinggir arena pertempuran, Nyi Dwani mencium bau busuk yang kadang muncul sesaat, kadang hilang terbawa angin.
“Bau apakah ini?” bertanya Nyi Dwani dalam hati dengan rasa heran, “Bukankah korban-korban yang berjatuhan itu baru saja mati sehingga tidak akan mungkin menimbulkan bau busuk seperti ini.”
Berpikir sampai disitu, Nyi Dwani memutuskan untuk semakin mendekati lingkaran pertempuran. Ketika langkahnya semakin mendekati arena pertempuran, bau busuk itu pun terasa semakin menyengat.
“Gila,” desis Nyi Dwani sambil cepat-cepat menutup saluran pernafasannya dan mundur beberapa langkah, “Bau busuk ini benar-benar tak tertahankan. Kalau memang sumber bau busuk ini adalah merupakan pancaran ilmu yang bersumber dari lawan Ayah, maka sekarang semuanya telah menjadi jelas mengapa ayah selalu terdesak mundur. Pemusatan pikiran ayah menjadi terganggu karena bau busuk ini. Tidak ada cara lain untuk mengatasinya kecuali dengan jalan memadamkan sumbernya.”
Setelah menyarungkan pedangnya terlebih dahulu karena melihat lawan ayahnya juga tidak bersenjata, sejenak kemudian Nyi Dwani segera memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan sejenis ilmu yang menjadi andalannya, ilmu yang mampu membuat kedua telapak tangannya merah membara, memancarkan panas yang tiada taranya.
“Ayah! Aku datang!” teriak Nyi Dwani melengking tinggi menyakitkan telinga sambil melompat ke tengah-tengah arena pertempuran setelah terlebih dahulu menghirup udara yang bersih untuk memenuhi rongga dadanya.
Seiring dengan hilangnya gema suaranya yang melingkar lingkar memenuhi udara medan pertempuran, dengan dahsyatnya Nyi Dwani telah menyerang Kiai Sasadara yang sedang sibuk mendesak Empu Wisanata.
Serangan Nyi Dwani itu ternyata sangat mengejutkan Kiai Sasadara. Berbeda dengan Ayahnya yang usianya sudah menjelang hari-hari tua, Nyi Dwani yang masih muda ternyata mempunyai kecepatan gerak yang mengagumkan walaupun masih selisih tipis di bawah kemampuan pemimpin perguruan dari Blitar itu. Namun dalam usianya yang masih muda, kemungkinan-kemungkinan itu masih dapat diraihnya dengan kerja keras dan ketekunan.
Empu Wisanata yang sekilas melihat anak perempuannya itu meluncur dengan deras menerjang Kiai Sasadara menjadi sangat terkejut dan berusaha untuk mencegahnya.
“Dwani, jangan!” teriak Empu Wisanata namun semuanya telah terlambat, serangan dahsyat dari Nyi Dwani tidak mungkin ditarik mundur.
Kiai Sasadara yang menyadari betapa berbahayanya serangan kedua telapak Nyi Dwani yang terlihat membara itu segera menyambut dengan ilmu pamungkasnya, aji yang diterima turun temurun dari leluhurnya, Aji Brajamusti.
Agaknya Kiai Sasadara memerlukan waktu sekejab untuk mengetrapkan aji pamungkasnya itu. Maka ketika serangan Nyi Dwani meluncur menghantam dadanya, dengan cepat pemimpin perguruan dari Blitar itu telah bergeser selangkah ke kanan untuk menghindari terkaman lawannya.
Begitu menyadari serangannya berhasil dihindari oleh lawannya, Nyi Dwani segera memutar tubuhnya untuk mempersiapkan serangan selanjutnya. Namun ternyata waktu yang sekejap itu telah dipergunakan sebaik baiknya oleh Kiai Sasadara untuk mengetrapkan aji pamungkasnya. Sejenak kemudian justru serangan Kiai Sasadara lah yang mendahului meluncur dengan dahsyatnya menerjang Nyi Dwani.
Sebenarnyalah kedudukan Nyi Dwani saat itu hanya dapat bertahan menghadapi serangan lawannya. Namun ternyata Nyi Dwani dalam waktu yang sekejap telah membuat keputusan yang sangat berbahaya, keputusan untuk membenturkan ilmunya langsung dengan ilmu Kiai Sasadara.
Kiai Sasadara terkejut bukan buatan namun semuanya sudah terlambat. Ketika tangan pemimpin perguruan dari Blitar itu berhasil menghantam pundak kiri Nyi Dwani, sebuah cengkraman dari tangan kanan Nyi Dwani yang membara telah menyentuh lehernya.
Tubuh Nyi Dwani yang terkena hantaman pada pundak kanannya itu telah terlempar ke belakang beberapa langkah untuk kemudian jatuh terlentang di atas tanah yang berdebu dan tak bergerak sama sekali. Sedangkan Kiai Sasadara yang lehernya bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa segera meloncat kebelakang. Sejenak dia masing terhuyung-huyung untuk mempertahankan kedudukannya sambil mencoba meraba lehernya yang kulit dan dagingnya sebagian telah mengelupas dan hangus terbakar.
Sementara Empu Wisanata yang tidak menyangka anaknya telah mengambil keputusan nekat dengan membenturkan langsung ilmunya dengan ilmu lawannya itu menjadi terkejut bukan alang kepalang.
“Dwani!” teriak Empu Wisanata sambil berlari memburu ke arah Nyi Dwani begitu melihat anak perempuannya telah terlempar ke belakang dan jatuh di tanah yang berdebu.
Dengan beberapa kali loncatan, ayah Nyi Dwani itu telah berada di sisi tubuh anaknya yang terbujur diam. Dengan jantung yang berdebaran, sambil berjongkok Empu Wisanata mencoba mengetahui keadaan anaknya dengan meraba urat nadi yang ada di leher. Sejenak orang tua itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Detak nadi itu terasa sangat lemah dan hampir tidak dapat dirasakan oleh ujung jari Empu Wisanata yang menekan leher Nyi Dwani. Namun setidaknya harapan itu masih ada.
“Untunglah Dwani telah mewarisi aji tameng waja untuk mempertahankan diri walaupun masih belum matang,” desis Empu Wisanata sambil mengamat-amati bahu kanan anaknya yang membengkak dan berwarna kehitaman terkena aji Brajamusti, “Seandainya Dwani mengikuti saranku beberapa bulan yang lalu untuk memperdalam aji tameng waja ini dengan laku yang terakhir walaupun cukup berat, aku yakin menghadapi kedahsyatan aji lawannya, keadaannya tidak akan separah ini.”
Setelah mengetahui keadaan anaknya yang masih ada harapan walaupun hanya setitik, Empu Wisanata segera bangkit berdiri. Pandangan matanya nanar mencari bayangan lawannya yang telah melukai anak perempuannya. Namun Empu Wisanata sekali lagi terkejut, lawannya ternyata telah meninggalkan medan pertempuran sebelum Empu Wisanata sempat membuat perhitungan dan menuntut pertanggung jawabannya atas luka yang telah diderita oleh Nyi Dwani.
Ketika kemudian Empu Wisanata memutuskan untuk menyingkir dari medan pertempuran sambil membawa tubuh Nyi Dwani yang masih belum sadarkan diri, pertempuran di sekelilingnya menjadi semakin dahsyat dan buas. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra ternyata telah meningkatkan cara bertempur mereka dengan kasar dan sedikit liar. Tidak jarang mereka menyerang lawannya sambil berteriak teriak dan mengumpat dengan umpatan yang sangat kotor. Namun para pengawal tanah Perdikan Menoreh bukan hanya sekali ini saja mereka menghadapi pertempuran yang kasar dan liar. Pengalaman sejak pergolakan di tanah mereka yang dibakar oleh Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi serta beberapa pengalaman dalam berbagai medan pertempuran telah menempa para pengawal tanah Perdikan Menoreh menjadi pengawal yang tangguh dan tanggon di segala medan.
Dengan langkah yang tergesa-gesa Empu Wisanata segera menuju ke garis belakang. Di garis belakang itu telah disediakan sebuah rumah khusus untuk perawatan bagi mereka yang terluka. Beberapa tabib terbaik yang ada di tanah Perdikan Menoreh telah disiagakan untuk mengatasi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesampainya di rumah khusus yang dipergunakan untuk menampung para pengawal yang terluka, dengan setengah berlari Empu Wisanata segera menyeberangi pendapa yang tidak begitu luas. Ketika Empu Wisanata yang berjalan sambil mendukung tubuh anaknya itu kemudian memasuki pintu pringgitan yang dibiarkan saja terbuka lebar, alangkah terkejutnya ayah Nyi Dwani itu. Di dalam pringgitan ternyata telah berdiri dua orang yang sudah sangat dikenalnya, Ki Gede Menoreh dan Kiai Sabda Dadi.
“Empu, siapakah yang terluka?” Ki Gede Menoreh ternyata yang telah menyapanya terlebih dahulu.
Sejenak langkah Empu Wisanata tertegun. Namun ketika pandangan matanya membentur seraut wajah orang yang berdiri di sebelah Ki Gede, dengan cepat dia menjawab, “Anakku Ki Gede, Dwani.” Empu Wisanata berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Kiai Sabda Dadi yang berdiri di sebelah Ki Gede dia melanjutkan, “Aku mohon Kiai Sabda Dadi berkenan menolong anakku.”
“O..tentu, tentu,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil mempersilahkan Empu Wisanata untuk membaringkan Nyi Dwani di atas salah satu amben bambu yang banyak berjajar di ruangan itu, “Biarlah aku melihat keadaannya terlebih dahulu. Marilah kita memohon kepada Yang Maha Agung semoga kita selalu mendapatkan bimbingan dan pertolongan-NYA.”
Terasa sesuatu bergetar di dalam dada Empu Wisanata. Bagaimanapun juga sebagai seorang ayah, dia selalu mengharapkan yang terbaik bagi masa depan anak perempuannya untuk dapat menyambung dan melestarikan keturunannya. Namun semenjak peristiwa dengan Ki Saba Lintang beberapa waktu yang lalu, anak perempuannya itu sepertinya telah menutup pintu hatinya rapat-rapat bagi setiap laki-laki yang mencoba mendekatinya.
“Aku memerlukan semangkuk air,” berkata Kiai Sabda Dadi perlahan namun ternyata telah membuyarkan angan-angan Empu Wisanata.
Dengan bergegas Empu Wisanata segera berjalan menuju ke ruang dalam. Sesampainya di ruang dalam, dilihatnya sudah ada beberapa pengawal yang terluka dan sedang ditangani oleh para Tabib terbaik yang ada di Menoreh. Semuanya tampak sibuk merawat yang terluka ringan maupun yang terluka berat. Para pengawal itu tampak berbaring di amben-amben bambu yang berjajar jajar cukup banyak memenuhi ruang dalam.
Sejenak Empu Wisanata ragu-ragu, namun kemudian didekatinya salah satu Tabib yang sedang bekerja sambil berbisik perlahan, “Di mana aku dapat memperoleh air?”
Tabib itu menoleh sejenak ke arah Empu Wisanata. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah sebuah kendi yang terletak di ajug-ajug dekat pintu butulan, “Ambillah secukupnya. Jangan lupa untuk mengembalikan kendi itu ke tempatnya semula.”
Empu Wisanata tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya sambil berjalan menuju ke ajug-ajug di dekat pintu butulan.
Ketika semangkuk air jernih telah diserahkan kepada Kiai Sabda Dadi, kakek Damarpati itu pun segera mengeluarkan sejenis serbuk yang berwarna kuning kehijauan dari dalam kantong ikat pinggangnya. Serbuk itu dibungkus daun pisang yang masih segar. Kelihatannya Kiai Sabda Dadi selalu mengganti bungkus serbuk itu untuk selalu menjaga kesegarannya.
Setelah menuangkan serbuk itu secukupnya ke dalam mangkuk yang berisi air jernih, dengan menggunakan sebilah welat yang bersih, Kiai Sabda Dadi mulai mengaduk serbuk itu sehingga menyatu dengan air yang ada di dalam mangkuk.
Setelah terlebih dahulu membungkus kembali sisa obat itu dan memasukkan ke dalam kantong ikat pinggangnya, Kiai Sabda Dadi pun kemudian berkata kepada Empu Wisanata, “Bantu aku untuk meminumkan obat ini kepada Nyi Dwani agar dapat menambah daya tahan tubuhnya.”
Dengan perlahan Empu Wisanata kemudian mengangkat kepala anak perempuannya sedangkan Kiai Sabda Dadi dengan telaten dan sabar sedikit demi sedikit menuangkan cairan obat itu ke mulut Nyi Dwani.
Memang agak sulit untuk memberikan minum kepada orang yang tak sadarkan diri. Namun dengan pengalaman dan kemampuannya, setelah Kiai Sabda Dadi menekan dan mengurut beberapa bagian di leher dan tengkuk Nyi Dwani, akhirnya sedikit demi sedikit cairan obat itu pun melewati kerongkongan dan masuk ke dalam perut.
“Biarlah cairan obat itu bekerja terlebih dahulu agar daya tahan Nyi Dwani bertambah kuat sebelum aku mengobati luka dalam di bahunya, “ berkata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah Empu Wisanata dengan perlahan lahan meletakkan kembali kepala Nyi Dwani di pembaringan.
Ki Gede Menoreh yang sedari tadi hanya berdiri di sisi pembaringan dan mengawasi Kiai Sabda Dadi bekerja hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Semoga Yang Maha Agung masih memberikan kesempatan kepada Nyi Dwani.”
“Ya Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil mulai mempersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk mengobati luka dalam Nyi Dwani, “Tulang bahu Nyi Dwani ini kelihatannya telah patah. Aku harus menyambungnya kembali, namun untuk itu aku harus merobek kulit dan dagingnya agar dapat mencapai tulang yang patah itu.”
Wajah Empu Wisanata menegang mendengar penjelasan Kiai Sabda Dadi itu. Dengan jantung yang berdentangan diberanikannya untuk bertanya, “Jadi, bagaimana dengan luka baru yang akan Kiai buat itu?”
Kiai Sabda Dadi tersenyum. Sambil berpaling sekilas ke arah Empu Wisanata dia menjawab, “Jangan khawatir Empu, aku akan menjahit luka baru itu dan memampatkannya dengan obat yang lain.”
Kerut merut di dahi Empu Wisanata agak mengendur mendengar jawaban Kiai Sabda Dadi, namun betapapun juga, ketegangan masih tampak di wajahnya.
Ketika ketiga orang itu masih merenungi Nyi Dwani yang terbaring diam, tiba -tiba seorang pengawal penghubung dengan tergesa-gesa telah memasuki pringgitan.
“Ki Gede..” berkata pengawal penghubung itu setibanya di hadapan Ki Gede Menoreh dengan nafas yang sedikit memburu, “Aku telah berhasil menghubungi Ki Jayaraga. Menurut perhitungan Ki Jayaraga pasukan kita masih mampu mengatasi keadaan. Pasukan cadangan sebaiknya disiagakan untuk mengatasi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin akan ada serangan susulan atau ada penambahan jumlah pasukan lawan yang menurut perhitungan Ki Jayaraga pasukan lawan juga mempunyai pasukan cadangan.”
Ki Gede Menoreh mengangguk anggukkan kepalanya mendengar laporan pengawal penghubung itu. Kemudian katanya sambil tersenyum, “Apakah kehadiran orang-orang tua seperti kami ini sudah tidak diperlukan lagi?”
“Tentu tidak, Ki Gede,” jawab pengawal penghubung itu dengan serta merta, “Ada beberapa pemimpin pasukan lawan yang memerlukan perhatian khusus. Beberapa kelompok pengawal memang untuk sementara masih mampu menahan seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Ki Ajar Wiyat dari Tumapel, namun seseorang yang menyebut dirinya Bango Lamatan benar-benar telah membuat kelompok-kelompok pengawal yang menahannya menjadi kebingungan menghadapi ilmunya yang aneh dan ngedab-edabi.”
“He..?” seru Kiai Sabda Dadi sambil berpaling ke arah pengawal penghubung itu, “Apa katamu, Bango Lamatan?” kakek Damarpati itu berhenti sejenak, kemudian katanya kepada Ki Gede Menoreh, “Ki Gede, ternyata dugaan kita benar. Setelah Bango Lamatan dan kawan kawannya gagal menyerbu kediaman Ki Gede, dia segera bergabung dengan pasukan yang menyerbu padukuhan induk Menoreh. Sebaiknya Ki Gede dan Empu Wisanata segera turun ke medan pertempuran. Biarlah aku mengobati Nyi Dwani terlebih dahulu. Setelah selesai aku pun akan menyusul ke medan.”
“Baiklah,” berkata Ki Gede Menoreh sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Empu Wisanata yang masih berdiri termangu mangu di samping pembaringan anaknya, “Marilah kita turun ke medan. Serahkan pengobatan Nyi Dwani pada Kiai Sabda Dadi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu katanya kepada pengawal penghubung yang masih berdiri di depannya menunggu perintah, “Kembalilah kepada pasukan cadangan. Beritahu pemimpin pengawal yang tertua untuk selalu siaga. Sewaktu waktu tenaga pasukan cadangan itu akan dibutuhkan.”
“Ya Ki Gede,” jawab pengawal penghubung itu sambil mengangguk hormat kemudian melangkah keluar pringgitan menuju ke tempat pasukan cadangan disiagakan.
Sepeninggal pengawal penghubung itu, Ki Gede Menoreh dan Empu Wisanata pun segera bergegas meninggalkan rumah yang disediakan untuk menampung para kurban pertempuran menuju ke medan yang semakin riuh.
Ketika langkah kedua orang itu telah mencapai medan pertempuran, beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertempur tanpa sengaja telah berpaling ke arah Ki Gede dan Empu Wisanata yang sedang berjalan kearah mereka. Sejenak mereka masih belum menyadari siapakah yang berjalan dengan tegap sambil menjinjing tombak pendek disamping Empu Wisanata itu. Namun ketika mereka kemudian menyadari sepenuhnya bahwa orang itu adalah Ki Gede Menoreh, mereka benar-benar telah menjadi sangat terkejut. Segera saja berbagai macam perasaan telah teraduk dalam dada mereka. Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah hadir di medan dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Sangat jauh berbeda dengan berita yang selama ini mereka dengar, Ki Gede telah jatuh sakit dan tidak mampu lagi bangkit dari pembaringannya.
“Ki Gede Menoreh telah datang..!” teriak salah seorang pengawal yang tidak mampu lagi untuk menahan gejolak perasaannya yang seakan akan meledak ledak dalam dadanya.
Segera saja teriakan itu disambut oleh kawan kawannya yang lain sehingga sejenak kemudian arena pertempuran di sebelah kiri regol padukuhan induk itu pun telah menjadi gegap gempita oleh teriakan nama pemimpin mereka yang sangat disegani dan sekaligus dicintai, Ki Gede Menoreh.
“Persetan!” geram Ki Ajar Wiyat yang bertempur melawan sekelompok pengawal tak jauh dari tempat Ki Gede dan Empu Wisanata lewat, “Minggirlah kalian tikus-tikus clurut. Aku ingin melihat sampai dimana kehebatan orang yang disebut Ki Gede Menoreh itu.”
Selesai berkata demikian dengan menghentakkan ilmunya, Ki Ajar pun telah menyibakkan para pengawal yang mengerubutinya sehingga para pengawal itu pun segera berloncatan ke belakang menghindari terjangan ilmu Ki Ajar Wiyat yang nggegirisi.
Ternyata Ki Gede dan Empu Wisanata yang lewat di sekitar medan itu dapat merasakan getaran ilmu itu. Ketika kemudian mereka berpaling, terlihat seseorang yang berperawakan tinggi kurus namun dengan penuh kepercayaan diri sedang berjalan ke arah mereka berdua.
“Nah,” berkata Ki Ajar Wiyat setelah berhadapan dengan Ki Gede Menoreh dan Empu Wisanata, “Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya, namun menilik ciri-ciri yang aku dengar, Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu adalah seorang sakti yang bersenjatakan sebuah tombak pendek,” Ki Ajar Wiyat berhenti sejenak, Lalu, “Sedangkan Ki Sanak yang satunya ini aku tidak tahu dan memang aku tidak ingin tahu siapakah Ki Sanak ini? Yang jelas aku, Ki Ajar Wiyat dari Tumapel hanya ingin menantang Ki Gede Menoreh yang sangat dibangga-banggakan oleh para pengawalnya itu dalam sebuah perang tanding untuk membuktikan kebesaran namanya.”
“Aku tidak merasa mempunyai nama besar, Ki Ajar,” sahut Ki Gede Menoreh cepat, “Mungkin tanggapanmu sajalah yang terlalu berlebihan. Adapun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyambutku dengan gegap gempita itu adalah hak mereka dan memang sudah sewajarnyalah seorang pemimpin itu dicintai dan dibanggakan oleh anak buahnya.”
“Alangkah sombongnya,” geram Ki Ajar Wiyat, “Aku harap kesombonganmu itu sepadan dengan nyalimu untuk menerima tantanganku berperang tanding.”
“Ki Ajar,” jawab Ki Gede tenang, “Seseorang akan menerima sebuah tantangan untuk berperang tanding itu tentu ada sebabnya. Tidak mungkin tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan kemudian seseorang dengan mudah melontarkan sebuah tantangan untuk berperang tanding kepada orang lain. Apalagi ini adalah dalam sebuah pertempuran. Kita tidak dapat menentukan siapakah yang akan menjadi lawan kita? Siapapun yang berdiri dihadapan kita dan menyerang kita, itulah lawan kita.”
“Omong kosong!” bentak Ki Ajar Wiyat, “Itu hanya alasan bagi para pengecut. Terserah, apakah Kau akan mengajak kawanmu itu atau Kau cukup mempunyai nyali untuk menghadapiku sendirian, aku tidak peduli. Akan aku bunuh setiap orang Menoreh, kemudian orang-orang Mataram yang sombong itu pun tidak akan luput dari tangan mautku.”
“Ki Ajar memang orang luar biasa,” berkata Ki Gede Menoreh sambil menggeleng gelengkan kepala menanggapi sikap lawannya, “Aku berjanji untuk menghadapimu sendirian namun itu bukan berarti bahwa aku menerima tantanganmu untuk berperang tanding. Namun sebenarnyalah tenagaku yang tua ini aku rasa masih lebih dari cukup kalau hanya untuk menghadapi Ki Ajar. Tidak perlu seluruh penghuni Tanah Perdikan Menoreh ini atau bahkan para prajurit Mataram bersama-sama mengeroyokmu seperti laku anjing-anjing pemburu yang saling berebut hanya untuk mengejar seekor tupai.”
“Gila!” umpat Ki Ajar Wiyat sambil menggeretakkan giginya, “Ternyata Kepala Perdikan Menoreh yang mempunyai nama besar itu tak lebih dari seorang pembual,” dia berhenti sejenak. Kemudian sambil meloloskan senjatanya yang berupa sebilah keris luk sebelas namun yang berukuran melebihi kewajaran, dia bergeser selangkah ke samping sambil menyilangkan senjatanya di depan dada. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah Ki Gede. Mungkin Kau masih bisa keluar dengan selamat dari beberapa pertempuran sebelum ini, namun kali ini aku sarankan Kau segera memikirkan cara yang terbaik untuk melarikan diri sebelum ujung senjataku ini merobek dadamu.”
Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Dia hanya menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Empu Wisanata yang sedari tadi hanya berdiri termangu mangu di sebelahnya. Katanya kemudian, “Sebaiknya Empu Wisanata mencari lawan yang sepadan dengan tataran ilmu yang Empu kuasai. Biarlah Ki Ajar yang memiliki angan-angan terlalu tinggi ini menjadi lawanku.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Ajar Wiyat, “Kalian berdua dapat maju bersama-sama untuk melawanku. Aku tidak akan gentar, akan tetapi sebaliknya kalian berdua lah yang akan menyesal karena dengan menghadapi dua lawan sekaligus aku terpaksa mengeluarkan ilmu puncakku yang kedahsyatannya tidak akan pernah terbayangkan oleh kalian berdua. Ilmu yang apabila ditrapkan dapat mengakibatkan sebuah gunung menjadi runtuh dan lautan akan mengering.”
“Luar biasa,” desis Ki Gede Menoreh sambil menggeleng gelengkan kepalanya, sementara Empu Wisanata hanya tersenyum masam sambil berlalu dari tempat itu.
“He!” teriak Ki Ajar Wiyat begitu menyadari Empu Wisanata berlalu dari hadapannya, “Jangan lari pengecut. Aku akan membunuhmu sekarang juga.”
Selesai berkata demikian Ki Ajar Wiyat segera membuat ancang-ancang untuk meloncat memburu Empu Wisanata yang telah meninggalkan tempat itu beberapa langkah. Namun ternyata Ki Gede Menoreh tidak tinggal diam, dijulurkannya ujung tombak pendeknya menghadang tepat di depan Ki Ajar Wiyat sehingga pemimpin perguruan dari Tumapel itu segera mengurungkan niatnya untuk meloncat menyerang Empu Wisanata.
“Ki Ajar,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil menarik tombak pendeknya kembali ke depan dada setelah melihat Ki Ajar Wiyat kembali pada kedudukannya semula, “Kau tidak usah mengejar Empu Wisanata. Di sini aku sudah siap melayanimu walaupun mungkin diperlukan waktu tiga hari tiga malam untuk menundukkanmu.”
 “Persetan dengan bualanmu. Kau jangan bermimpi dapat melawanku selama tiga hari tiga malam, karena aku hanya memerlukan waktu tidak lebih dari sepenginang untuk membunuhmu,” berkata Ki Ajar Wiyat sambil mulai menggerakkan kerisnya yang berukuran melebihi dari ukuran sewajarnya.
Agaknya Ki Gede Menoreh tanggap bahwa tidak ada gunanya lagi untuk mengulur waktu begitu melihat lawannya sudah mulai menggerakkan senjatanya. Dengan bertumpu pada pangkal tombak yang tergenggam erat di tangan kanannya, tangan kirinya pun mulai menggerakkan ujung tombak itu lurus kedepan siap untuk mematuk dada.
“Sekali lagi aku peringatkan Ki Gede,” berkata Ki Ajar sambil menggeser kaki kirinya selangkah ke samping, “Aku tidak akan mulai dari tataran bawah, namun aku akan langsung menyerang dengan menggunakan tataran tinggi dari ilmuku. Namun jangan khawatir, tataran ini masih cukup jauh dari puncak ilmuku sehingga Ki Gede kemungkinannya masih dapat mengimbangi beberapa saat.”
Ki Gede hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata lawannya yang sangat jumawa itu. Namun dengan demikian Kepala Perdikan Menoreh itu semakin meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi lawan yang belum diketahui tingkatan ilmunya.
Sejenak kemudian, ketika dengan dahsyatnya keris luk sebelas itu meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara mengarah ke jantung Ki Gede, dengan sedikit menarik kaki kirinya ke belakang, Ki Gede mencondongkan tubuhnya sedikit ke kanan. Kemudian dengan gerakan memutar ujung tombaknya mencoba melibat tangan lawannya yang menggenggam keris.
Ki Ajar menyadari sepenuhnya bahwa Ki Gede akan mencoba melepaskan keris di tangannya itu pada benturan pertama. Namun Ki Ajar yang sudah banyak makan asam garamnya pertempuran itu tentu saja tidak akan membiarkan kerisnya terlepas. Dengan menarik kerisnya ke samping kanan sehingga libatan ujung tombak itu mengenai tempat kosong, ujung keris itu tiba-tiba telah berubah arah menyambar ke arah lambung kiri Ki Gede yang terbuka.
Mendapat serangan susulan seperti itu Ki Gede Menoreh tidak menjadi gugup. Ketika libatan ujung tombaknya mengenai tempat kosong, dengan cepat ujung tombak itu pun berubah arah untuk menangkis senjata lawannya yang mengarah ke lambung.
Benturan itu ternyata cukup mengejutkan Ki Ajar. Ternyata kekuatan Ki Gede tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Hampir saja keris itu terlepas dari genggamannya kalau saja Ki Ajar tidak segera memperbaiki kedudukannya sambil meloncat ke belakang mengambil jarak.
--oo0oo-

Lanjut ke TADBM 407


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403