Terusan Apu Dibukit Menoreh Jilid 410
“ALANGKAH dahsyatnya Kemampuan orang ini dalam
menyerap bunyi dan mengaburkan pengamatan batin sehingga kehadirannya telah
luput dari pantauan ajiku sapta pangrungu,” desis Kiai Sabda Dadi dalam hati
sambil mencoba mengenali wajah yang terlihat samar-samar dari tempat Kiai Sabda
Dadi berdiri.
Namun belum sempat Kiai Sabda Dadi menduga-duga siapakah
orang yang datang paling akhir itu, tiba-tiba saja Punjul dan Wareng telah maju
beberapa langkah. Kemudian hampir bersamaan mereka menyapa sambil membungkukkan
badan mereka dalam-dalam.
“Selamat malam Guru. Bakti dari kami kedua murid perguruan
Sapta Dhahana.”
Ternyata Secaprana dan Secabawa juga mengenali orang itu.
Berkata mereka berdua kemudian, “Selamat datang Kiai Damar Sasongko.”
Orang yang dipanggil guru oleh Punjul dan Wareng itu memang
pemimpin perguruan Sapta Dhahana dari lereng gunung Tidar, Kiai Damar Sasongko.
“Nah,” berkata Kiai Damar Sasongko kemudian sambil meloncat
turun dari tanggul. Gerakannya hampir tidak kasat mata. Seolah-olah tubuh
tinggi besar itu begitu saja melayang turun tanpa memakai ancang-ancang, “Aku
sangat setuju dengan murid-murid Kumuda, bahwa kita memang bukan segolongan
pengecut yang hanya berani membunuh orang yang tak berdaya. Perguruan Sapta
Dhahana tidak akan menodai nama perguruan dengan perbuatan pengecut.”
Sejenak Kiai Damar Sasongko berhenti. Diedarkan pandangan
matanya menyapu ke sekelilingnya. Ketika tatapan matanya yang menyala bagaikan
sepasang mata burung hantu di dalam gelap itu tersangkut pada seraut wajah tua,
wajah Kiai Sabda Dadi, untuk beberapa saat pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu
tertegun.
Dengan langkah perlahan namun mantap, akhirnya pemimpin
perguruan dari lereng gunung Tidar itu mendekat ke tempat Kiai Sabda Dadi dan
Pandan Wangi berdiri.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Damar kemudian sesampainya dia di
hadapan Kiai Sabda Dadi, “Siapakah Ki Sanak ini? Rasa-rasanya kita pernah
bertemu sebelumnya.”
“Ah,” desah Kiai Sabda Dadi sambil tersenyum, “Itu mungkin
hanya perasaan Ki Sanak saja. Sebenarnyalah kita belum pernah saling bertemu
dan saling mengenal.”
Kiai Damar mengangguk anggukkan kepalanya sambil sesekali
mencuri pandang ke arah Kiai Sabda Dadi. Kiai Damar merasa pernah mengenal atau
setidaknya bertemu muka dengan orang tua yang kini berdiri di hadapannya.
Sebenarnya pemimpin perguruan dari lereng Tidar itu ingin mengetahui nama atau
gelar dari orang tua yang telah menarik hatinya itu. Namun kesombongan dan
keangkuhan hatinya lah yang membuat Kiai Damar menahan diri untuk bertanya.
“Baiklah,” akhirnya Kiai Damar memutuskan, “Aku telah
melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ki Rangga Agung Sedayu yang
namanya telah kawentar di sepanjang pesisir utara pulau ini dan juga di seluruh
kadipaten bawahan Mataram, telah berhasil mengalahkan Panembahan Cahya Warastra
yang menurut berita telah kalis dari segala macam sakit bahkan kematian,” guru
padepokan Sapta Dhahana itu berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Hatiku telah
tergelitik untuk mencoba kedahsyatan ilmunya. Untuk itu aku akan memberinya
batas waktu sampai sebulan penuh untuk memulihkan kesehatannya kembali. Dan
jika dalam waktu sebulan Ki Rangga belum pulih seperti sediakala, aku akan
berbaik hati untuk menambah sepuluh hari, ingat hanya sepuluh hari. Setelah itu
aku tidak akan peduli lagi, apakah Ki Rangga siap atau tidak siap aku akan
membunuhnya.”
Berdesir dada Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi. Mereka
berdua sadar bahwa waktu yang hanya sebulan untuk memulihkan kesehatan Ki
Rangga yang terluka parah hampir tidak masuk akal. Walaupun sudah ditambah
sepuluh hari, namun mereka berdua tetap tidak yakin bahwa Ki Rangga akan siap
pada waktunya. Sementara pengawal Menoreh yang tidak begitu paham dengan ilmu
pengobatan justru merasa bersyukur. Waktu sebulan baginya adalah sangat
panjang, dan dia yakin orang-orang yang sombong ini nantinya akan tergilas oleh
dahsyatnya ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.
“Baiklah, kami segera minta diri,” berkata Kiai Damar
kemudian tanpa menghiraukan tanggapan dari ketiga orang Menoreh itu, “Carilah
tabib terbaik untuk segera dapat memulihkan kesehatan Ki Rangga Agung Sedayu.
Aku akan sangat kecewa jika sampai batas waktu yang aku berikan ternyata Ki
Rangga belum siap untuk berperang tanding.”
“Sebentar Ki Sanak,” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi menyela,
“Apakah sebenarnya kepentingan Ki Sanak dengan Ki Rangga sehingga Ki Sanak
telah menetapkan batas waktu untuk berperang tanding? Bukankah Ki Rangga juga
mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya sehubungan dengan kepentingan Ki
Sanak itu?”
Kiai Damar tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Terbunuhnya
kakang Pideksa sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhnya sekarang juga,
melawan atau pun tidak melawan. Namun aku masih menjunjung tinggi sifat-sifat
kejantanan sehingga aku memutuskan untuk memberinya waktu sebulan lebih sepuluh
hari.”
“Ki Sanak,” Pandan Wangi yang sedari tadi diam saja ternyata
telah terusik untuk menyatakan pendapatnya, “Bukankah perang tanding antara Ki
Rangga melawan Ki Ajar Kumuda itu sudah berlaku sangat adil? Siapapun yang
keluar dari medan perang tanding itu masih dalam keadaan hidup tidak akan
dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan? Sebagaimana yang telah diceritakan
oleh kedua muridnya yang menjadi saksi pada waktu itu bahwa Ki Ajar Kumuda
meminta dari pihak perguruan Kumuda untuk tidak membalas dendam atas peristiwa
itu?”
“Persetan!” geram Kiai Damar, “Persoalannya telah bergeser
kepada harga diri sebuah perguruan. Aku sebagai saudara muda Ki Ajar Kumuda
akan membuktikan bahwa kami masih mempunyai kekuatan yang pantas untuk
diperhitungkan. Memang menurut kedua muridnya, kakang Pideksa telah berpesan
untuk tidak membalas dendam sejalan dengan kemampuan kedua murid utamanya yang
masih terpaut sangat jauh dengan kemampuan Ki Rangga. Namun itu bukan berarti
bahwa perguruan Kumuda tidak akan bangkit lagi untuk membalaskan sakit hati
ini. Sekarang ada aku, saudara muda Kakang Pideksa walaupun pada perkembangan
selanjutnya kami berguru pada guru yang berbeda, namun ikatan batin sebagai
saudara seperguruan tidak akan pernah lekang oleh panas dan tidak akan lapuk
oleh hujan.”
Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam mendengar penuturan Kiai Damar. Agaknya dendam benar-benar telah
membutakan hati orang itu.
“Kami akan pergi,” gumam Kiai Damar hampir tak terdengar
sambil mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Kemudian katanya kepada
kedua muridnya dan kedua murid Ki Ajar Kumuda, “Kita tinggalkan tempat ini.
Tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini. Sebulan lebih sepuluh hari
lagi kita akan kembali dan akan tuntaslah sudah dendam dan penghinaan yang
selama ini kita tanggung.”
Dengan sekali loncat, Kiai Damar pun menghilang dalam
gelapnya malam. Sementara kedua muridnya dan murid-murid Kumuda masih berdiri
termangu-mangu. Baru sejenak kemudian keempat orang itu pun melangkah mengikuti
Kiai Damar yang sudah pergi terlebih dahulu.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan,” akhirnya Kiai Sabda
Dadi berkata perlahan untuk mencairkan ketegangan yang terasa mencekam setiap
dada, “Tinggal beberapa langkah lagi kita akan segera sampai di kediaman Ki
Gede Menoreh.”
Pandan Wangi mengangguk. Tanpa terasa setitik air mengambang
di kedua sudut matanya. Sebentar lagi dia akan sampai ke rumahnya yang telah
sekian lama ditinggalkan, walaupun kadangkala dia bersama suaminya jika ada
kepentingan masih sempat menengok rumah itu. Namun setiap kali dia datang ke
Menoreh, selalu saja getaran rindu bercampur pilu mengaduk-aduk dadanya. Betapa
kenangan indah dan sekaligus pahit telah terlukis di dinding-dinding rumah itu
yang tak mungkin terhapuskan oleh berjalannya waktu.
Pengawal Menoreh itu segera tanggap. Dengan segera dia naik
di bagian depan pedati untuk mengendalikan jalannya lembu-lembu penarik pedati.
Sementara Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi telah berjalan beriringan menuju
bagian belakang pedati.
Namun alangkah terkejutnya kedua orang itu begitu mereka
sampai di belakang pedati. Jerami yang pada awalnya menutupi tubuh Ki Rangga
itu ternyata telah berserakan dan tercecer sebagian jatuh ke tanah. Sedangkan
tubuh Ki Rangga yang sebelumnya tergeletak di lantai pedati telah raib entah ke
mana.
“Kakang!” jerit Pandan Wangi begitu menyadari Ki Rangga
telah lenyap tak berbekas. Dengan kedua tangan gemetar putri kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu menyibakkan beberapa onggokan jerami yang masih tersisa.
Namun tubuh Ki Rangga benar-benar telah lenyap.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari sesuatu pasti telah terjadi
dengan hilangnya Ki Rangga segera mengetrapkan aji sapta pangrungu dan aji
sapta pandulu. Dicobanya untuk mendengarkan setiap gerak yang mungkin dapat
dijadikan pancatan untuk melacak keberadaan Ki Rangga. Demikian juga pandangan
matanya yang menjadi sangat tajam berlipat-lipat telah mencoba menembus
pekatnya malam. Namun usaha itu ternyata tidak membawa hasil. Ki Rangga Agung
Sedayu benar-benar telah lenyap bagaikan di telan bumi.
Untuk beberapa saat Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi hanya
berdiri membeku. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Sementara pengawal
Menoreh yang sudah siap menggerakkan cambuknya untuk menghela lembu-lembu
pedati itu terkejut begitu mendengar Pandan Wangi menjerit.
“Ada apa Kiai?” tanya pengawal Menoreh itu sambil berpaling
ke belakang.
Kiai Sabda Dadi termangu-mangu. Sambil menarik nafas
dalam-dalam akhirnya dia menjawab, “Ki Rangga tidak ada di tempatnya.”
“He!” pengawal Menoreh itu terlonjak dari tempat duduknya.
Dengan cepat dia meloncat masuk ke dalam pedati. Namun yang dijumpainya
hanyalah jerami-jerami yang berserakan.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Kiai?” tanya pengawal itu
dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam dadanya.
Kiai Sabda Dadi menggeleng lemah, “Aku tidak tahu dan tidak
berani menduga-duga.”
Untuk sejenak ketiga orang itu hanya dapat berdiam diri.
Sementara Pandan Wangi sudah mulai terisak-isak. Walaupun dengan sekuat tenaga
dicobanya untuk menahan tangisnya, namun rasa-rasanya tangis itu telah
berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya sehingga untuk beberapa saat
Pandan Wangi bagaikan tercekik.
“Sudahlah,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berusaha mencairkan
suasana, “Sekarang kita hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga Yang Maha Agung
selalu melindungi hambaNya.”
Hampir bersamaan Pandan Wangi dan pengawal itu mengangguk.
Namun tetap saja kegelisahan menghentak-hentak dada ketiga orang itu.
“Kiai,” berkata pengawal itu setelah beberapa saat mereka
terdiam, “Bagaimanakah rencana kita selanjutnya? Tetap menuju ke kediaman Ki
Gede atau kembali ke padukuhan induk?”
Kiai Sabda Dadi termenung. Berbagai pertimbangan bergejolak
dalam dadanya. Namun akhirnya kakek Damarpati itu pun mengambil keputusan,
“Kita teruskan perjalanan. Nyi Pandan Wangi memerlukan istirahat yang cukup.
Sesampainya di kediaman Ki Gede nanti, aku akan menggunakan kuda untuk kembali
ke padukuhan induk.”
Pandan Wangi dan pengawal itu hanya dapat mengangguk-angguk.
Agaknya itu adalah jalan yang terbaik untuk sementara ini.
Demikianlah akhirnya pedati itu kembali merayap di atas
jalan berbatu-batu menuju ke kediaman Ki Gede yang tinggal beberapa langkah
lagi.
Dalam pada itu, pertempuran di depan gerbang padukuhan induk
sudah benar-benar berakhir. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra kebanyakan
telah melarikan diri mencari selamat dari pada tertawan oleh prajurit Mataram.
Sedangkan sebagian yang lainnya banyak yang terluka bahkan terbunuh di medan
pertempuran.
Pertempuran si sayap kanan dari gelar Garuda Nglayang
pasukan Mataram juga telah berhenti. Berkat bujukan dan rayuan dari Nyi Citra
Jati yang telah kehilangan lawannya, akhirnya murid-murid perguruan Pamulatsih
memilih menyerah.
“Percayalah. Kami tidak akan memperlakukan kalian dengan
semena-mena,” berkata Nyi Citra Jati sambil menghampiri keenam murid perguruan
Pamulatsih yang semuanya perempuan.
“Apakah kalian akan mengikat kedua tangan kami dan
menggiring kami sepanjang jalan layaknya budak-budak tawanan?” bertanya salah
seorang yang berwajah bulat dan bertahi lalat di dagu.
“Tentu tidak,” Padmini lah yang dengan serta merta menjawab,
“Kalian bebas berjalan bersama kami menuju ke padukuhan induk. Hanya saja demi
keamanan dan ketertiban, kami mohon senjata-senjata kalian diserahkan.”
Untuk sejenak murid-murid Pamulatsih itu saling berpandangan.
Namun ketika yang tertua diantara mereka menganggukkan kepala, senjata-senjata
mereka pun kemudian dengan rela hati harus diserahkan.
Seorang prajurit Mataram dengan sigap segera mengikat
senjata-senjata yang telah diserahkan itu dan membawanya ke luar medan
pertempuran untuk digabungkan dengan senjata-senjata yang lain.
“Marilah,” berkata Nyi Citra Jati kemudian sambil membimbing
salah seorang murid Pamulatsih, “Kita tinggalkan medan pertempuran ini.
Sebaiknya kita beristirahat di padukuhan induk. Pada saatnya nanti aku akan
menghadap Ki Gede Menoreh dan Ki Patih Mandaraka untuk memohonkan ampunan bagi
kalian sehingga kalian akan aku angkat sebagai anak-anakku dan aku
persaudarakan dengan anak-anakku yang terdahulu.”
Kata-kata Nyi Citra Jati itu bagaikan tetesan embun di
tengah padang tandus. Menyejukkan dan sekaligus memberikan harapan bagi masa
depan mereka yang lebih baik.
Beberapa saat kemudian, dengan berjalan beriringan mereka
telah meninggalkan medan pertempuran menuju ke padukuhan induk. Sementara Ki
Citra Jati dengan di bantu kedua Putut dari jati Anom itu telah mendekati
lingkaran pertempuran Mlayawerdi melawan Alap-Alap Siwurbang.
“Kita mendekat,” berkata Ki Citra Jati kepada kedua Putut
itu.
Putut Darpa dan Putut Darpita hanya mengangguk sambil
mengikuti langkah ki Citra Jati.
Sesampainya mereka di pinggir arena pertempuran, tampak
kedua orang yang sedang bertempur itu sudah tidak dapat mengekang diri lagi.
Keduanya agaknya telah merambah pada puncak ilmu masing-masing dan siap untuk
dibenturkan.
Trisula di tangan Alap-Alap Siwurbang tampak menyala di
malam yang gelap. Ujung-ujung trisula itu bagaikan menyemburkan lidah api yang
siap menghanguskan tubuh lawannya. Sementara Mlayawerdi yang bersenjatakan
sebilah pedang telah mengetrapkan puncak ilmunya, Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun telah terjadi.
Alap-alap Siwurbang yang meloncat tinggi sambil menghunjamkan dengan deras
ujung trisulanya ke dada Mlayawerdi telah membentur aji Pacar Wutah Puspa
Rinonce. Namun kekuatan yang terpancar pada pedang Mlayawerdi berlandaskan Aji
Pacar Wutah Puspa Rinonce ternyata tidak mampu menahan laju ujung trisula yang
bagaikan menyala itu. Beruntung sebelum ujung trisula itu menyentuh dadanya,
Mlayawerdi masih sempat mengungkitnya sehingga arah sasarannya menjadi sedikit
berbelok tidak jadi menghunjam jantung namun hanya merobek pundak kirinya.
Sementara getaran pedang Mlayawerdi yang berlandaskan pada
aji Pacar Wutah Puspa Rinonce ternyata telah mampu menyusup pertahanan Alap-alap
Siwurbang. Kekuatan aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu bagaikan ribuan jarum
yang menyusup menembus kulit dan daging serta akhirnya melumatkan jantungnya.
Terdengar umpatan yang sangat kasar dari mulut Alap-alap
Siwurbang sebelum tubuhnya yang melayang itu jatuh terjerambab ke tanah.
Sementara Mlayawerdi yang terdorong beberapa langkah ke belakang karena
kekuatan lawannya segera berguling ke samping agar tidak tertimpa tubuh
lawannya.
“Mlayawerdi?” teriak Ki Citra jati sambil melangkah memasuki
lingkaran pertempuran, “Kau tidak apa-apa?”
Sejenak Mlayawerdi belum menjawab. Dibiarkan tubuhnya
terlentang sambil mencoba mengatur pernafasannya yang terasa bagaikan
tersumbat. Sementara perasaan panas dan pedih telah menyengat pundak kirinya.
Ki Citra Jati yang telah berjongkok di samping tubuhnya
segera memeriksa luka di pundak kirinya. Luka itu tampak mengalirkan darah
cukup deras serta sebagian kulit di pundaknya telah hangus terbakar.
“Duduklah,” berkata Ki Citra Jati kemudian sambil membantu
Mlayawerdi bangkit, “Lukamu cukup parah. Aku akan menaburkan obat hanya untuk
sementara memampatkan aliran darah, sedangkan luka bakar ini harus dirawat
dengan sungguh-sungguh.”
Mlayawerdi hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab.
Ketika Ki Citra Jati kemudian menaburkan sejenis serbuk berwarna
kehitam-hitaman di atas lukanya, tampak Mlayawerdi untuk beberapa saat
mengatupkan giginya rapat-rapat menahan rasa sakit yang bagaikan membakar
pundak kirinya.
Demikianlah akhirnya, dengan dibantu kedua Putut dari jati
Anom, Mlayawerdi telah dipapah menuju padukuhan induk untuk mendapatkan
perawatan yang semestinya.
Dalam pada itu, di tengah padang rumput yang tidak begitu
luas dan terlindung oleh gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak
seseorang yang bertubuh tinggi besar dengan sekujur tubuhnya ditumbuhi
bulu-bulu putih sedang merenungi sesosok tubuh yang tergeletak di hadapannya.
“Eyang Resi,” tiba-tiba seorang perempuan muda yang sangat
cantik yang duduk bersimpuh di sampingnya membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya
Ki Rangga kita bawa saja ke gunung Kendalisada? Di sana Eyang Resi dapat
mengobati Ki Rangga dan aku yang akan merawatnya sehari-hari. Dengan demikian
Ki rangga dapat sembuh dengan cepat dan tidak terganggu oleh keadaan di
sekitarnya yang dapat berkembang tidak menentu.”
Orang yang dipanggil Eyang Resi itu memang Resi Mayangkara.
Beberapa saat yang lalu seorang pengawal Menoreh telah mendahului perjalanan
Kiai Sabda Dadi dengan menggunakan seekor kuda untuk memberitahu keadaan Ki
Rangga kepada keluarga di kediaman Ki Gede Menoreh. Anjani yang mendengar Ki
Rangga telah terluka segera mencari Resi Mayangkara di halaman belakang.
“Eyang Resi,” panggil Anjani sesampainya dia di halaman
belakang yang gelap gulita, “Dimanakah Eyang?”
Resi Mayangkara yang menyadari Anjani pasti sedang
memerlukan bantuannya segera muncul dari kegelapan sambil menyapa, “Ada apa
Anjani?”
“Eyang,” berkata Anjani sambil menghampiri Resi Mayangkara,
“Ki Rangga Agung Sedayu telah terluka di medan pertempuran. Apakah tidak
sebaiknya kalau kita menyusulnya ke padukuhan induk?”
Sejenak Resi Mayangkara merenung. Kemudian jawabnya,
“Anjani, di sana sudah ada Ki Patih Mandaraka. Kehadiran kita mungkin tidak
begitu diperlukan. Lebih baik kita menjaga kediaman Ki Gede Menoreh saja.”
“Ah, Eyang ini,” bibir yang mungil dan lembut itu tampak
cemberut, “Ki Rangga di medan pertempuran telah terluka sedangkan di sini kita
hanya berpangku tangan saja. Apakah itu pantas?”
Resi Mayangkara mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
“Masalahnya bukan pantas dan tidak pantas, namun masing-masing mempunyai tugas
dan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.”
“Kita tidak meninggalkan tugas,” tukas Anjani dengan cepat,
“Namun lebih dari itu, kita berjalan menuju padukuhan induk sambil meronda di
sepanjang jalan yang menuju ke sana. Barangkali ada hal-hal yang mencurigakan
dan perlu mendapatkan perhatian sehingga apabila ada rencana Ki Rangga dibawa
pulang ke kediaman Ki Gede, keamanan di sepanjang jalan sudah terjamin.”
Resi Mayangkara menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah
Resi yang waskita itu sudah paham apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Anjani.
Anjani ingin segera mengetahui keadaan Ki Rangga.
Akhirnya Resi Mayangkara tidak dapat menolak. Tanpa
sepengetahuan para penghuni rumah Ki Gede serta para pengawal yang berjaga,
Resi Mayangkara telah berangkat menuju padukuhan induk bersama Anjani.
Ketika di tengah perjalanan panggraita Resi Mayangkara yang
sangat tajam itu menyentuh getaran yang sedang terjadi di tengah bulak, Resi
Mayangkara segera memerintahkan Anjani untuk bersembunyi di antara
gerumbul-gerumbul di tengah padang itu. Sementara dia menyelamatkan Ki Rangga
Agung Sedayu.
Demikianlah akhirnya Ki rangga Agung sedayu telah dibawa
Resi Mayangkara ke tengah padang rumput tempat Anjani menunggu.
“Bagaimana Eyang?” kembali Anjani bertanya. Jari jemari
lentik itu telah mencengkeram lengan Resi Mayangkara dan
mengguncang-guncangkannya, “Aku berjanji untuk tinggal di gunung Kendalisada
jika Eyang Resi membawa Ki Rangga dan mengobatinya di gunung Kendalisada.”
“Anjani,” dengan sareh Resi Mayangkara menjawab, “Ki Rangga
mempunyai keluarga di Menoreh. Biarlah keluarganya saja yang merawatnya, kita
tidak usah ikut campur. Untuk pengobatannya aku dapat memberi beberapa petunjuk
kepada keluarga atau tabib yang merawatnya sebelum aku kembali ke gunung
Kendalisada.”
“Jadi Eyang Resi setelah ini segera kembali ke gunung
Kendalisada?” mata yang biasanya berbinar indah dan cemerlang itu menatap Resi
Mayangkara dengan sinar mata yang redup, seredup sinar matahari senja.
“Ya, Anjani,” jawab Resi Mayangkara dengan sareh tanpa
berpaling, “Tidak ada sesuatu pun yang menahanku di Menoreh ini. Bukankah
kedatanganku ke tanah Perdikan yang subur ini hanya atas permintaanmu?”
Untuk beberapa saat Anjani membisu. Memang tidak ada yang bisa
menahan Resi Mayangkara untuk tetap tinggal di Menoreh. Sedangkan dirinya,
apakah sebenarnya yang akan dikatakan kepada Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung
Sedayu jika pada saatnya nanti Sekar Mirah ingin mengetahui lebih jauh tentang
jati dirinya?
Angin malam yang dingin mulai terasa menggigit tulang.
Langit yang bersih tanpa mendung selembar pun tampak gemerlapan dihiasi
berjuta-juta bintang gemintang. Sementara burung-burung malam dan sejenisnya
telah lama berkeliaran mencari mangsa. Burung kedasih yang bertengger di dahan
sebuah pohon randu alas sebesar pelukan orang dewasa yang tumbuh di pinggir
padang itu suaranya terdengar ngelangut sampai ke ujung bulak.
Anjani menarik nafas panjang, panjang sekali. Dadanya yang
membusung itu rasa-rasanya ingin menampung seluruh udara yang ada di padang
perdu. Ketika sudut matanya mencoba mencuri pandang ke arah Resi Mayangkara
yang duduk di sebelahnya, Resi yang Waskita itu tampak menundukkan kepalanya
sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Ada beberapa pilihan yang dapat Kau jadikan sebagai
landasan untuk menentukan masa depanmu, Anjani,” tiba-tiba Resi Mayangkara
berdesis perlahan sambil mengangkat kepalanya, “Tinggal di Menoreh dalam
lingkungan keluarga Ki Rangga adalah salah satu pilihan. Sementara ikut aku ke
gunung Kendalisada adalah pilihan lain yang mungkin dapat Kau pertimbangkan.”
Anjani hanya menundukkan kepala sambil jari-jemarinya yang
lentik tak henti-hentinya mencabuti rumput yang terhampar di hadapannya.
Sesekali sepasang mata yang indah dan jernih bak berlian itu menatap wajah Ki
Rangga Agung Sedayu yang tergolek diam. Kadang dia merasa alangkah dekatnya Ki
Rangga itu dengan dirinya sehingga dengan mudah dia dapat menggapainya? Namun
di saat yang lain, betapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk merengkuh hati
laki-laki yang telah menjadi pujaan hatinya itu.
“Bagaimana Anjani?” tiba-tiba pertanyaan dari Resi
Mayangkara telah membuyarkan lamunannya.
“Entahlah Eyang,” desah Anjani sambil meluruskan kedua
kakinya, “Jika ada pilihan lain yang mungkin lebih baik dari kedua pilihan itu,
aku lebih senang untuk memilihnya.”
Resi Mayangkara berpaling sambil mengerutkan keningnya,
“Apakah Kau mempunyai pilihan lain selain kedua pilihan yang telah aku sebutkan
tadi.”
Kepala yang indah itu menggeleng lemah. Jawabnya kemudian
dengan suara yang lemah, “Aku tidak tahu Eyang.”
Sejenak suasana menjadi sepi kembali. Hanya suara
binatang-binatang malam yang bersahut sahutan dalam sebuah irama yang ajeg.
Semilir angin yang sesekali bertiup telah membuat rambut Anjani yang tergerai
itu beriak-riak bagaikan aliran air di sungai yang jernih. Ketika suatu saat
angin bertiup agak kencang, dagu yang runcing bak lebah bergantung itu
terangkat sedikit sehingga sinar bintang yang jauh di puncak langit telah
menyentuhnya dan menerangi seraut wajah cantik dan sempurna. Kecantikan yang
tak mampu diungkapkan dengan kata-kata, kecantikan yang hanya dapat ditandingi
oleh dewi-dewi kahyangan dalam cerita babat dan dongeng-dongeng.
Malam telah menuju puncaknya. Sesekali terdengar gonggongan
anjing-anjing liar jauh di hutan yang membujur di sebelah utara padukuhan
induk. Gardu ronda yang berada di dekat regol kediaman Ki Gede Menoreh telah
dipukul dengan nada dara muluk. Malam ternyata telah sampai ke puncaknya.
Ketika pendengaran Resi Mayangkara yang sangat tajam itu
tersentuh oleh bunyi kelinting lembu-lembu penarik pedati yang membawa Pandan
Wangi menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh, Resi yang waskita itu pun segera
menyadari bahwa sudah saatnya untuk membawa Ki Rangga Agung Sedayu menyingkir
dari tempat itu.
“Marilah Anjani,” berkata Resi Mayangkara kemudian, “Pedati
itu agaknya sudah bergerak lagi. Kita harus segera menyesuaikan diri.”
Anjani sekilas berpaling. Dicobanya untuk mempertajam
pendengarannya namun keberadaan pedati itu memang masih cukup jauh.
“Sudahlah Anjani,” akhirnya Resi Mayangkara bangkit dari
tempat duduknya. Dengan sedikit membungkukkan badan, diangkatnya tubuh Ki
Rangga yang tergolek diam diatas rerumputan, “Marilah kita antar Ki Rangga ke
kediaman Ki Gede Menoreh agar segera mendapatkan perawatan yang semestinya.”
Tidak ada jalan lain bagi Anjani selain mengikuti langkah
Resi Mayangkara yang mendukung Ki Rangga Agung Sedayu berjalan di antara
gerumbul-gerumbul liar menyebarangi padang rumput yang tidak begitu luas itu
menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu di padukuhan induk Ki Jayaraga dan Ki Gede
Menoreh dibantu oleh Ki Citra Jati telah mengatur korban-korban yang terluka
baik dari pihak Mataram maupun dari pengikut Panembahan Cahya Warastra.
Demikian juga korban-korban yang telah gugur dari kedua belah pihak telah
dikumpulkan di sebuah pendapa terpisah.
Ketika Ki Jayaraga sedang merenungi tubuh-tubuh yang telah
membeku dan berjajar-jajar di pendapa, dua orang pengawal Menoreh telah
berlari-lari mendapatkannya.
“Ki Jayaraga!” seru salah satu pengawal itu sambil mencoba
menguasai nafasnya yang memburu, “Mayat Panembahan Cahya Warastra telah
hilang.”
“He!” terkejut Ki Jayaraga sambil bangkit berdiri, “Apa
katamu? Mayat Panembahan Cahya Warastra hilang?”
“Ya, Ki,” jawab kedua pengawal itu hampir bersamaan, “Ketika
kami berdua menyisir bekas tempat perang tanding Ki Rangga melawan Panembahan
Cahya Warastra, kami tidak menemukan sebuah mayat pun.”
Ki Jayaraga sejenak menarik nafas panjang untuk meredakan
getar di dalam dadanya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Ah, itu mungkin
kalian saja yang sudah terlambat. Para prajurit Mataram telah mengambilnya
terlebih dahulu.”
Untuk beberapa saat kedua pengawal itu saling berpandangan.
Namun salah satunya segera menyahut, “Itu mungkin sekali, Ki. Namun yang sangat
mengejutkan, di bekas tempat perang tanding itu kami bertemu dengan seseorang
yang mencari Ki Rangga Agung Sedayu.”
“He?” kembali Ki Jayaraga terkejut, “Ada yang ingin bertemu
dengan Ki Rangga?” Ki Jayaraga berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Apakah
kalian mengenalinya?”
Kedua pengawal itu menggeleng. Jawab salah satu dari
keduanya kemudian, “Ketika kami sedang mencari mayat Panembahan yang sakti itu,
tiba-tiba seseorang telah berdiri di hadapan kami bagaikan muncul begitu saja
dari kegelapan.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, “Bukankah kalian membawa
penerangan sehingga bisa mengenali wajah orang itu dengan jelas?”
“Kami membawa obor,” jawab salah satu pengawal itu dengan
serta merta, “Namun begitu orang itu muncul di hadapan kami, tiba-tiba saja
obor yang kami bawa telah padam.”
Jantung tua Ki Jayaraga rasa-rasanya berpacu semakin cepat.
Berbagai dugaan telah tumbuh di hatinya.
“Mungkinkah cerita tentang Panembahan yang sakti dan telah
terhindar dari segala rasa sakit dan kematian itu benar adanya?” berkata Ki
Jayaraga dalam hati.
“Tidak ada orang yang mempunyai kemampuan seperti itu,”
angan-angan itu dibantahnya sendiri, “Selama masih berujud manusia, dia tidak
akan luput dari rasa sakit dan kematian.”
“Bagaimana, Ki?” tiba-tiba pertanyaan salah satu pengawal
itu telah membuyarkan lamunan Ki Jayaraga.
“Apakah orang itu menyebutkan kepentingannya mencari Ki
Rangga?” bertanya Ki Jayaraga kemudian setelah sejenak terdiam.
“Ya, Ki,” jawab mereka bersamaan.
“Untuk apa?”
Sejenak kedua pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya salah
satu menjawab, “Orang itu menunggu Ki Rangga di bekas arena perang tanding.”
“He?” kali ini Ki Jayaraga benar-benar terkejut bukan
alang-kepalang. Katanya kemudian sambil menggeram, “Baiklah, kalau memang
Panembahan itu hidup lagi, apapun yang terjadi, aku lah lawannya sekarang.”
Selesai berkata demikian Ki Jayaraga dengan tergesa-gesa
segera menuruni tlundak pendapa dan berjalan melintasi halaman menuju ke bekas
tempat perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra
di luar dinding padukuhan induk.
Kedua pengawal itu terkejut begitu menyadari Ki Jayaraga
dengan cepat telah berlalu dari tempat itu. Dengan setengah berlari keduanya
pun berusaha mengejar guru Glagah Putih itu.
“Sebentar, Ki Jayaraga!” hampir bersamaan kedua pengawal itu
berteriak memanggil.
Sejenak Ki Jayaraga menghentikan langkahnya. Katanya
kemudian sambil memutar tubuhnya, “Ada apa lagi?”
“Ki Jayaraga,” berkata salah satu dari keduanya setelah tiba
di hadapan Ki Jayaraga, “Apakah tidak sebaiknya kita melaporkan kejadian ini
kepada Ki Gede Menoreh terlebih dahulu?”
Ki Jayaraga termangu sejenak. Sambil menarik nafas
dalam-dalam akhirnya dia pun menjawab sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Agaknya aku memang terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan. Lebih
baik masalah ini kita laporkan terlebih dahulu kepada Ki Gede Menoreh.”
Demikianlah akhirnya mereka bertiga berjalan beriringan
menuju ke rumah yang dijadikan sebagai tempat penampungan bagi mereka yang
terluka. Rumah itu hanya khusus untuk yang terluka parah, sedangkan bagi yang
terluka ringan dan tidak terlalu membahayakan jiwa telah dipindahkan ke banjar
padukuhan induk.
Dari kejauhan tampak pendapa itu telah penuh dengan
orang-orang yang sedang dalam perawatan. Begitu banyaknya korban yang terluka
dari kedua belah pihak sehingga ruangan di bagian dalam tidak mampu untuk
menampung mereka semua. Atas petunjuk Ki Gede Menoreh, dengan sangat terpaksa
sebagian yang lain telah di tempatkan di pendapa.
Beberapa prajurit yang sedang bertugas jaga telah menambah
penerangan dengan menancapkan bambu-bambu setinggi orang dewasa yang ujungnya
telah diberi minyak jarak yang berguna sebagai penerangan di setiap sudut
halaman rumah itu yang dirasa gelap. Sehingga dari jauh halaman rumah itu
tampak terang benderang.
Ki Jayaraga yang berjalan di depan seperti tidak sabar ingin
segera sampai. Sementara kedua pengawal itu hanya mengikutinya saja dari
belakang tanpa berbicara sepatah kata pun.
Agaknya prajurit yang berjaga-jaga di rumah itu telah
melihat rombongan itu begitu mereka mendekati regol. Dengan tergesa-gesa
seorang prajurit yang mengenali Ki Jayaraga sebagai pemimpin pasukan pengawal
Menoreh di medan pertempuran siang tadi segera menyambut.
“Selamat malam Ki Jayaraga,” sapa prajurit itu dengan ramah,
“Malam sudah larut dan Ki Jayaraga belum juga beristirahat?”
Ki Jayaraga tersenyum sekilas sambil menyahut dengan tetap
berjalan tanpa berhenti, “Aku ingin bertemu Ki Gede Menoreh. Ada sesuatu yang
harus aku sampaikan.”
Prajurit itu maklum bahwa tentu ada sesuatu yang sangat
penting sehingga Ki Jayaraga memerlukan datang menemui Ki Gede di malam yang
telah larut. Maka katanya kemudian sambil memberi jalan, “Silahkan, Ki. Namun
aku tidak yakin apakah Ki Gede masih terjaga? Beliau berada di gandhok sebelah
kanan bersama Ki Patih Mandaraka.”
“Ki Patih masih berada di sini?” bertanya Ki Jayaraga heran
sambil berpaling dan menahan langkahnya sejenak.
Prajurit itu mengangguk. Jawabnya kemudian, “Ki Patih telah
memutuskan untuk bermalam di sini. Sebenarnya Ki Gede telah mempersilahkan
untuk bermalam di kediaman Ki Gede. Namun karena malam sudah cukup larut, Ki
patih memutuskan untuk bermalam di padukuhan induk saja.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Menjelang waktu
sirep bocah tadi setelah pertempuran benar-benar selesai, Ki Gede Menoreh
memang telah mempersilahkan Ki Patih Mandaraka bersama para prajurit pengawal
kepatihan untuk bermalam di kediaman Ki Gede. Walaupun jarak kediaman Ki Gede
dengan padukuhan induk cukup jauh, namun beberapa ekor kuda telah disiapkan.
Ternyata Ki Patih tidak berkenan dan justru memilih untuk bermalam di padukuhan
induk. Karena pada dasarnya Ki Patih Mandaraka juga seorang prajurit, baginya
bukan hal yang perlu dipermasalahkan jika harus bermalam di medan pertempuran
sekali pun.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian kepada kedua
pengawal yang berdiri termangu-mangu di sebelah menyebelah regol, “Waktu kita
sangat sempit.”
Tanpa menjawab kedua pengawal itu dengan tergesa-gesa segera
mengikuti langkah ki Jayaraga menuju gandhok sebelah kanan.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Ki Patih Mandaraka
ternyata juga belum beristirahat. Mereka berdua sedang duduk-duduk sambil
berbincang-bincang di atas sebuah amben besar yang berada di ruang tengah.
Ketika kedua orang itu mendengar percakapan yang bernada
sedikit keras di luar gandhok, Ki Gede pun memerlukan untuk turun dari amben
dan berjalan menuju pintu gandhok.
“Ada apa?” bertanya Ki Gede sambil membuka pintu.
Namun begitu pandangan mata Ki Gede tertumbuk pada seraut
wajah yang sudah sangat dikenalnya, Ki Gede pun segera berseru, “Ki Jayaraga?
Masuklah. Ki Patih Mandaraka juga belum berkenan istirahat.”
Para prajurit pengawal kepatihan yang sebelumnya menahan Ki
Jayaraga hanya dapat saling pandang. Mereka menyangka Ki Patih dan Ki Gede
sudah berada di bilik masing-masing. Namun ternyata kedua orang penting itu
masih belum beristirahat.
“Nah,” berkata Ki Jayaraga kemudian kepada para prajurit
pengawal kepatihan yang sedang berjaga, “Aku sangat berterima kasih atas
peringatan kalian, namun ternyata Ki Gede dan Ki Patih masih berkenan
menerimaku.”
Prajurit pengawal kepatihan yang berdiri paling dekat dengan
Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur.
Katanya kemudian, “Silahkan, Ki. Sebenarnya kami hanya menjalankan tugas.”
“Memang itulah yang seharusnya kalian pegang teguh sebagai
prajurit pengawal kepatihan,” sahut Ki Jayaraga sambil tersenyum dan
mengayunkan langkah mengikuti Ki Gede memasuki gandhok. Sementara kedua
pengawal Menoreh yang menyertainya menunggu di luar.
Demikianlah ketiga orang tua itu akhirnya segera terlibat
dalam perbincangan yang sungguh-sungguh. Berita yang dibawa Ki Jayaraga telah
membuat Ki Patih sangat berhati-hati dalam menyimpulkan peristiwa itu.
“Aku memang telah mendengar cerita tentang kesaktian saudara
kembar Kecruk Putih yang sudah kalis dari rasa sakit bahkan kematian,” berkata
Ki Patih, “Namun apakah cerita itu benar ataukah memang sengaja disebar luaskan
dengan tujuan tertentu, masih perlu dibuktikan.”
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Jayaraga, “Menurut hamba, orang
yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu memang sakti dengan aji
Brahala Wuru nya. Namun kalau menurut cerita dia telah kalis dari rasa sakit
bahkan kematian, aku pribadi tidak mempercayainya. Selama masih berujud
manusia, betapapun tinggi ilmunya, dia pasti merasakan sakit dan akan mengalami
kematian.”
“Ampun Ki Patih,” Ki Gede Menoreh ternyata mempunyai
pendapat sendiri, “Berdasarkan cerita Ki Jayaraga atas dasar laporan kedua
pengawal Menoreh, sekarang ini ada seseorang yang sedang menunggu Ki Rangga
Agung Sedayu di tempat bekas arena perang tanding. Aku tidak yakin kalau itu
Panembahan Cahya Warastra yang hidup kembali. Seandainya benar Panembahan itu
mempunyai kemampuan terhindar dari kematian, dia tentu sudah bertiwikrama
kembali dan mengamuk mencari Ki Rangga Agung Sedayu sampai kemari. Kalau itu
benar terjadi, tidak ada kekuatan yang akan mampu menahannya lagi.”
Ki Patih Mandaraka dan Ki Jayaraga hampir bersamaan
mengangguk-angguk. Apa yang disampaikan oleh Ki Gede itu memang masuk akal. Dan
memang menurut perhitungan nalar orang yang sekarang sedang menunggu Ki Rangga
itu bukan Panembahan Cahya Warastra.
“Bagaimana dengan jasadnya yang tidak ditemukan?” tiba-tiba
saja Ki Jayaraga mengajukan pertanyaan.
Ki Gede tersenyum. Jawabnya kemudian, “Bukankah Ki Jayaraga
tadi telah menyampaikan kemungkinannya bisa saja telah dibawa oleh prajurit
Mataram yang telah terlebih dahulu menyisir tempat itu?”
“Tentu tidak,” tiba-tiba saja Ki Patih Mandaraka dengan
serta merta memotong, “Tugas menyisir bekas medan pertempuran tentu telah
dibagi dengan sangat jelas oleh Lurah prajurit yang memimpin di bagian
kesehatan. Para prajurit yang bertugas di bagian kesehatan itu akan dibagi
dalam beberapa kelompok yang masing-masing mempunyai tugas untuk menyisir
daerah bekas pertempuran yang telah ditentukan, sehingga tidak akan terjadi
tumpang suh.”
Penjelasan Ki Patih itu ternyata telah membuat jantung kedua
orang tua itu menjadi berdebar-debar. Dengan demikian hilangnya jasad
Panembahan Cahya Warastra itu masih menyisakan sebuah teka-teki.
“Sebaiknya kita temui saja orang yang ingin bertemu dengan
Ki Rangga itu,” berkata Ki Patih selanjutnya.
Sejenak kedua orang tua itu saling berpandangan. Berkata Ki
Gede Menoreh kemudian, “Ampun Ki Patih. Apakah Ki Patih sudah mempunyai
gambaran tentang orang itu?”
Ki Patih menggeleng, “Untuk itulah lebih baik kita segera
menemuinya dari pada hanya berteka-teki?”
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba Ki Gede
bertanya sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga, “Ki Jayaraga, apakah kedua
pengawal itu dapat memberikan gambaran ujud dari orang yang ingin bertemu
dengan Ki Rangga itu?”
Untuk beberapa saat Ki Jayaraga mengerutkan keningnya.
Akhirnya Ki Jayaraga pun bangkit dari duduknya dan turun dari amben.
“Aku akan memanggil mereka,” berkata Ki Jayaraga sambil
berjalan menuju ke pintu.
Beberapa saat kemudian kedua pengawal itu pun telah dibawa
oleh Ki Jayaraga menghadap Ki Patih.
“Berikan gambaran yang jelas sejauh pengamatanmu terhadap
orang yang mencari Ki Rangga itu,” perintah Ki Patih kepada kedua pengawal itu.
Dengan suara sedikit bergetar, salah satu pengawal itu pun
kemudian memberikan gambaran orang yang ingin bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ampun Ki Patih. Malam cukup gelap dan obor yang kami bawa
tiba-tiba saja padam. Sehingga kami tidak dapat mengenali wajahnya, namun
bentuk tubuh orang yang berdiri di hadapan kami itu dapat kami amati dengan
cukup jelas,” berkata pengawal yang satunya.
Ki Gede Menoreh yang mendengarkan keterangan kedua pengawal
itu sampai tuntas merasa mengenal sosok orang yang sedang menunggu Ki Rangga
Agung Sedayu di bekas medan perang tanding itu.
“Aku akan menemuinya,” tiba-tiba Ki Gede Menoreh bangkit
dari tempat duduknya dan turun dari amben besar di tengah-tengah ruangan.
Kemudian sambil mengangguk hormat kepada Ki Patih, Ki Gede
berkata, “Ampun Ki Patih, rasa-rasanya aku mengenal orang itu dan orang itu pun
tentu masih mengenaliku walaupun aku sudah semakin tua. Ijinkanlah aku
menemuinya.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk-angguk. Jawabnya
kemudian, “Apakah Ki Gede perlu membawa pasukan segelar sepapan?”
“Ah,” hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga tertawa
pendek. Ki Jayaraga lah yang kemudian menjawab, “Biarlah aku saja yang menemani
Ki Gede, Ki Patih. Setidaknya tenaga tuaku ini masih diperlukan.”
Kembali Ki Patih tersenyum. Sambil bangkit dari tempat
duduknya dan turun dari amben, Ki Patih pun menanggapi kelakar kedua orang itu,
“Kalau Ki Gede dan Ki Jayaraga sudah merasa tua, aku bahkan sebaliknya. Dari
hari ke hari aku merasa semakin muda dan bergairah.”
“Ah,” kembali kedua orang itu tertawa.
“Baiklah, kami mohon diri, Ki Patih,” akhirnya Ki Gede mohon
diri sambil beranjak dari amben.
“Silahkan Ki Gede,” jawab Ki Patih kemudian sambil melangkah
mengiringi kedua orang tua itu menuju ke pintu gandhok, “Berhati hatilah. Tidak
menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang mencoba mengambil kesempatan pada saat
seperti ini. Tidak ada jeleknya kita selalu waspada.”
Kedua orang tua itu tidak menjawab hanya
mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil mengiringi langkah Ki Patih.
“Apakah Ki Gede tidak perlu membawa senjata?” tiba-tiba Ki
Patih menghentikan langkahnya sambil menunjuk ke arah sebuah tombak pendek yang
terbungkus selongsong kain putih dan tersandar di sudut gandhok.
Ki Gede tersenyum sambil menggeleng, “Tidak Ki Patih. Aku
tidak memerlukan senjata. Jika memang benar dugaanku tentang orang itu, dia
justru tidak akan mau menemuiku jika aku membawa senjata.”
Hampir bersamaan orang-orang yang ada di dalam gandhok itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Demikianlah akhirnya kedua orang tua itu bersama dengan
kedua pengawal Menoreh segera menuju ke bekas tempat perang tanding Panembahan
Cahya Warastra melawan Ki Rangga Agung Sedayu.
Sesampainya mereka berempat di luar dinding padukuhan induk,
bekas medan pertempuran yang gelap gulita tampak terhampar di hadapan mereka
karena tidak ada sebuah obor pun yang menerangi tempat itu. Sementara beberapa
saat tadi Ki Gede Menoreh telah menolak ketika para prajurit penjaga regol yang
mereka lewati menawarkan sebuah obor untuk penerangan.
“Aku belum rabun,” jawab Ki Gede sambil tersenyum,
“Selebihnya kami memang sengaja bergerak dalam gelap agar tidak mudah diketahui
oleh sisa-sisa pasukan lawan yang mungkin masih berkeliaran di bekas medan
pertempuran.”
Demikanlah mereka berempat dengan sangat hati-hati mulai
bergeser menuju ke dinding padukuhan induk sebelah barat. Dengan kemampuan yang
dimiliki oleh kedua orang tua itu, mereka berdua tidak mengalami kesulitan
berjalan di malam sepekat apapun. Sementara kedua pengawal itu hanya mampu
mengikuti kedua orang linuwih itu dari belakang.
“Kita berhenti di sini,” berkata Ki Gede sesampainya mereka
di ujung dinding padukuhan induk sebelah barat, “Aku akan maju beberapa langkah
untuk sekedar menampakkan diri agar kedatangan kita diketahui oleh orang yang
ingin menemui Ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Jayaraga ragu-ragu sejenak. Maka katanya kemudian,
“Apakah tidak sebaiknya aku mengawani Ki Gede? Kita belum tahu dengan siapa
sesungguhnya kita berhadapan.”
“Terima kasih, Ki Jayaraga,” jawab Ki Gede perlahan, “Akan
tetapi lebih baik aku sendiri yang menemuinya.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Ki
Jayaraga, Ki Gede segera maju beberapa puluh langkah ke depan. Ketika pandangan
tajam Ki Gede melihat sebuah pohon dadap yang tumbuh menjulang, Ki Gede pun
menghentikan langkahnya. Ki Gede telah melihat seseorang sedang berdiri hampir
melekat pada sebatang pohon dadap yang batangnya hampir sebesar tubuh orang
dewasa.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya suara nyanyian merdu
binatang-binatang malam yang terdengar riuh rendah dalam irama yang ajeg.
Sesekali terdengar gonggongan anjing-anjing liar yang jauh dari arah hutan yang
membujur di utara padukuhan induk. Sedangkan di langit yang gelap tampak
berseliweran kelelawar dan burung-burung malam mencari mangsa.
“Selamat malam, Paman,” tiba-tiba bayangan yang melekat pada
sebatang pohon dadap itu bergeser maju mendekati tempat Ki Gede Menoreh
berdiri.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam begitu mendengar
suara yang masih dikenalinya itu. Maka jawabnya kemudian, “Terima kasih Rudita.
Aku sengaja datang kemari untuk memberitahukan kepadamu tentang keadaan Ki
Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga telah menderita luka yang cukup parah sehingga
tidak mungkin baginya untuk datang menemuimu di tempat ini.”
Orang itu memang Rudita, putra satu-satunya Ki Waskita yang
masih terhitung kerabat dekat dengan keluarga Ki Gede Menoreh.
“Ma’afkan aku telah mengganggu istirahat Paman Argapati,
setelah seharian Paman berjuang menegakkan kedamaian di atas bumi ini dengan
tumpahan darah dan nyawa,” berkata Rudita selanjutnya sambil melangkah semakin
dekat.
Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Rudita.
Ada sedikit singgungan di sudut hati orang tua itu. Maka katanya kemudian,
“Apakah maksud sebenarnya kedatanganmu kemari, Rudita?”
Rudita tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku datang hanya
sekedar untuk melihat dan menyaksikan sekali lagi dan sekali lagi, betapa
manusia merupakan makhluk yang paling berbahaya, bukan hanya bagi sesamanya,
namun lebih jauh lagi akibat perbuatannya yang tidak pernah mengenal puas akan
dapat berakibat pada seluruh makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia
itu sendiri. Bahkan tidak menutup kemungkinan keseimbangan alam pun akan
terganggu karena pokal makhluk yang disebut manusia.”
Ki Gede kembali menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai
getar jantungnya yang mulai melonjak-lonjak. Dengan nada suara yang dalam, Ki
Gede mencoba menjawab kata-kata Rudita, “Rudita, sebenarnya kita berdiri di
atas alas yang sama namun pada ujung yang berbeda. Di satu ujung kami berusaha
menciptakan perdamaian di atas bumi ini dengan cara kami, cara yang mungkin
tidak disukai oleh beberapa pihak. Namun yakinlah kita juga membatasi diri
dengan paugeran-paugeran yang telah digariskan oleh para pendahulu kami yang
selalu kami sesuaikan dan kami perbaiki seiring dengan bergulirnya waktu
sehingga akan bermanfaat dan tidak mencederai kehidupan bebrayan. Sementara Kau
berdiri di ujung yang lain, yang ingin melihat dunia ini dalam genggaman
kedamaian dengan cara yang masih belum terjangkau oleh akal manusia dan masih
merupakan mimpi yang belum pernah terjamah.”
“Itu adalah pandangan mereka yang belum memahami arti
kehidupan yang sebenarnya,” jawab Rudita, “Paman masih selalu dihinggapi oleh
rasa curiga dan syak wasangka terhadap sesama. Pendekatan dari hati ke hati,
sikap yang saling terbuka dan menyadari serta menerima bahwa perbedaan itu
pasti ada adalah salah satu cara untuk mengurangi ketegangan jiwa yang terjadi
di antara kita karena adanya perbedaan. Jadikanlah perbedaan itu sebagai
rahmatan lil alamin yang harus kita terima tanpa prasangka buruk serta ikhlas
bahwa sebenarnyalah dalam menjalani kehidupan ini kita harus siap untuk
berbagi.”
“Sudahlah Rudita,” kembali ki Gede Menoreh mencoba berkata
dengan nada rendah, “Kita memang berseberangan dalam hal keyakinan untuk
menciptakan perdamaian. Cara yang Kau tempuh itu mungkin suatu saat akan
menampakkan hasilnya, namun tidak untuk saat ini,” Ki Gede Menoreh berhenti
sejenak. Kemudian lanjutnya, “Nah, sekarang katakanlah kepentinganmu, aku akan
menyampaikannya karena Ki Rangga tidak mampu datang ke tempat ini sehubungan
dengan keadaannya yang terluka cukup parah.”
Sejenak Rudita menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga Ki
Rangga Agung Sedayu sejak masa mudanya telah akrab dengan dirinya walaupun
mereka tidak pernah seiring sejalan. Namun selama ini menurut pengamatannya,
hanya Ki Rangga Agung Sedayu lah yang mau mendengarkan isi hatinya.
“Aku hanya ingin bertemu dengannya, tidak lebih,” Rudita
berhenti sejenak, lalu, “Namun karena dia sedang sakit, sebaiknya aku minta
diri. Sampaikan saja salamku kepada Agung Sedayu dan semoga dia cepat sembuh
dari sakit wadagnya maupun sakit batinnya,”
Sebuah desir tajam terasa menggores jantung Ki Gede, namun
Ki Gede berusaha untuk tidak mempedulikannya. Maka katanya kemudian, “Baiklah
Rudita, pesanmu akan aku sampaikan. Namun sebelum Kau meninggalkan tempat ini,
aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu.”
Rudita mengerutkan keningnya, “Masalah apakah itu Paman?”
“Apakah pada saat kau datang tadi, kau masih melihat jasad
Panembahan Cahya Warastra yang tergolek di tempat ini?”
“Aku melihat seseorang sedang meninggalkan tempat ini sambil
mendukung sesuatu, entah itu orang atau apa aku tidak tahu, dan memang aku
tidak mau tahu,” jawab Rudita sambil lalu.
Kembali dada Ki Gede bergetar namun sekali lagi Ki Gede
mencoba mengabaikannya. Katanya kemudian, “Terima kasih Rudita. Keteranganmu
itu mungkin akan sangat berguna bagi kami.”
“Aku tidak berbuat apa-apa,” jawab Rudita. Kemudian
lanjutnya, “Aku akan kembali sekarang juga, Paman. Kasihan Ibu yang sudah tua
tinggal sendirian di rumah. Tadi siang Ayah telah berangkat menuju ke kediaman
Ki Gede begitu mendengar perang telah pecah di Menoreh walaupun Ayah agak
kurang sehat. Ayah memang terlalu memaksakan diri.”
“Ki Waskita telah berangkat kesini siang tadi?” bertanya Ki
Gede dengan nada sedikit terkejut. Kabar terakhir yang diterimanya, Ki Waskita
sedang sakit.
“Ya Paman,” jawab Rudita pendek. Kemudian sambil melangkah
pergi dia melanjutkan kata-katanya, “Aku mohon diri Paman. Sebelum pagi aku
harus sudah di rumah.”
Ki Gede hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
memandang Rudita yang melangkah pergi. Katanya kemudian, “Hati-hatilah di jalan
Rudita. Sampaikan salamku kepada Ibumu.”
“Terima kasih paman,” jawab Rudita sebelum bayangannya
hilang ditelan kegelapan malam.
Sejenak Ki Gede masih berdiri termangu-mangu beberapa saat
setelah kepergian Rudita. Setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu,
akhirnya Ki Gede pun kemudian melangkah kembali menuju ke tempat Ki Jayaraga
dan para pengawal menunggu.
“Bagaimana Ki Gede?” bertanya Ki Jayaraga dengan serta merta
begitu bayangan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu tampak menuju ke arah
mereka menunggu.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Ki Gede,
“Sebagaimana dugaanku sebelumnya, orang yang menunggu Ki Rangga Agung Sedayu
itu ternyata Rudita, putra Ki Waskita.”
“O,” desah Ki Jayaraga perlahan sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Serba sedikit Ki Jayaraga sudah mengetahui putra Ki Waskita yang
aneh itu.
“Marilah kita kembali,” berkata Ki Gede kemudian sambil
melangkah, “Ada sesuatu yang akan kita perbincangkan dengan Ki Patih Mandaraka.”
Ki Jayaraga dan kedua pengawal itu mengerutkan keningnya.
Namun mereka tidak bertanya sepatah kata pun dan hanya mengikuti langkah Ki
Gede meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu pedati yang membawa Pandan Wangi telah
mencapai regol kediaman Ki Gede Menoreh. Dari jauh sudah terdengar bunyi
kelinting lembu-lembu penarik pedati itu. Dengan bergegas para pengawal yang
sedang bertugas jaga di regol segera berloncatan ke tengah jalan menyambut
datangnya pedati.
Ketika para pengawal kemudian mengetahui bahwa yang ada di
dalam pedati adalah Pandan Wangi yang sedang terluka, dengan segera mereka
membuka pintu regol lebar-lebar dan membiarkan pedati itu masuk ke halaman.
Beberapa orang yang berada di rumah Ki Gede segera
berhamburan ke halaman. Sore tadi mereka telah mendengar berita dari salah
seorang pengawal yang datang mendahului dengan menunggang kuda bahwa Ki Rangga
Agung Sedayu dan Nyi Pandan Wangi yang sedang terluka telah diangkut dengan
sebuah pedati menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Sekar Mirah dengan tergopoh-gopoh segera menggendong bayinya
yang sedang tidur lelap di pembaringan. Setelah terlebih dahulu berbenah diri
secukupnya, dengan bergegas Sekar Mirah pun segera keluar dari bilik.
Namun alangkah terkejutnya Sekar Mirah itu, demikian dia membuka
pintu bilik, ternyata Damarpati sudah berdiri termangu-mangu di hadapannya.
“Biarlah aku yang menggendong si kecil, Nyi,” berkata
Damarpati yang kali ini memakai pakaian selayaknya pakaian perempuan
kebanyakan.
Sejenak Sekar Mirah masih ragu-ragu. Namun akhirnya bayi
yang digendongnya itu diserahkan ke Damarpati.
“Hati-hatilah,” katanya kemudian sambil menyerahkan bayinya,
“Jangan sampai dia terbangun dan menangis.”
Damarpati tersenyum sambil menyambut uluran tangan Sekar
Mirah. Sejenak diciumnya pipi bayi mungil itu dengan penuh kasih sebelum
kemudian digendongnya.
“Marilah,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggandeng
tangan Damarpati, “Aku ingin segera menunjukkan anak ini kepada ayahnya, dan
semoga Kakang Agung Sedayu sudah mempersiapkan sebuah nama untuknya.”
Dengan bergegas keduanya pun kemudian menyeberangi ruang
dalam menuju ke pringgitan. Ketika pintu pringgitan itu telah terbuka, tampak
di depan pendapa beberapa orang sedang mengerumuni pedati. Salah satunya adalah
Ki Waskita yang datang menjelang tengah malam tadi.
“Mbokayu..!” seru Sekar Mirah demikian dia mengenali
perempuan dengan sepasang pedang di lambungnya sedang turun dari pedati.
Beberapa orang yang sedang mengerumuni pedati itu pun segera
menyibak untuk memberikan jalan kepada Sekar Mirah dan Damarpati.
Segera saja isak tangis memecah memenuhi kesunyian malam.
Keduanya telah melepaskan tekanan-tekanan perasaan yang berdesak-desakan di
dalam dada masing-masing. Beberapa perempuan pembantu di rumah ki Gede pun tak
kuasa menahan haru begitu melihat Sekar Mirah dan Pandan Wangi saling
berpelukan dengan erat sambil menangis sejadi-jadinya.
Sekar Mirah menangis karena merasa terharu bisa bertemu
dengan kakak iparnya itu yang telah sekian lama berpisah, namun sebaliknya
Pandan Wangi menangis tersedu sedu justru karena teringat akan suami adik
iparnya itu yang sampai sekarang belum diketahui nasibnya.
Tiba-tiba bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah
melepaskan pelukannya sambil bertanya di antara sedu sedannya, “Mbokayu, di manakah
kakang Agung Sedayu?”
Pandan Wangi tercekat hatinya mendapat pertanyaan adik
iparnya. Dengan segera diraihnya kembali tubuh Sekar Mirah ke dalam pelukannya
dan tangisnya pun semakin menjadi-jadi.
Namun agaknya Sekar Mirah telah dapat membaca apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Dengan segera dia melepaskan diri dari pelukan
Pandan Wangi dan bergegas melongok ke dalam pedati.
“Kakang..!” jerit Sekar Mirah begitu menyadari di dalam
pedati itu telah kosong. Hanya beberapa onggok jerami yang tersisa.
Bagaikan menjadi gila, putri satu satunya Ki Demang Sangkal
Putung itu menghambur ke arah onggokan jerami. Sambil menjerit-jerit seperti
orang kesurupan, onggokan jerami itu pun disibakkannya kesana kemari sambil
berteriak-teriak memanggil manggil nama suaminya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu hatinya bagaikan
teriris sembilu. Mereka dapat merasakan penderitaan Sekar Mirah yang telah
sekian lama dalam keadaan hamil tua ditinggal oleh suaminya untuk menunaikan
tugas negara. Namun kini saat yang ditunggu-tunggunya untuk berkumpul kembali
dengan suami tercinta ternyata hanya harapan kosong belaka. Suaminya tidak
pulang bersama sama dengan Pandan Wangi. Berbagai dugaan pun segera bermunculan
di dalam dadanya.
“Kiai!” tiba-tiba dengan memekik Sekar Mirah meraih lengan
Kiai Sabda Dadi yang berdiri mematung di sisi pedati. Diguncang-guncangnya
lengan kakek Damarpati itu sambil menjerit tinggi, “Dimana suamiku, Kiai?
Dimana suamiku..?”
Jerit tangis Sekar Mirah benar-benar memilukan hati.
Orang-orang yang beridiri di halaman itu hanya dapat diam membeku. Sementara
para perempuan pembantu rumah Ki Gede telah ikut menangis, bahkan suara
tangisnya lebih keras dari Sekar Mirah.
Ki Waskita yang telah mendengar penjelasan singkat dari Kiai
Sabda Dadi sebelum orang-orang datang mengerumuni pedati segera bergeser maju.
Sebagai orang yang mendapat anugrah luar biasa dari Yang Maha Agung untuk
mendapat kesempatan membaca masa depan walaupun hanya dalam bentuk sebuah
isyarat, Ki Waskita merasa yakin bahwa ki Rangga Agung Sedayu dalam keadaan
selamat. Bahkan menurut isyarat yang diterimanya dan telah diuraikannya dengan
pertimbangan yang njlimet serta pengalamannya bertahun tahun membaca isyarat,
Ki Waskita yakin bahwa Ki Rangga Agung Sedayu berada tidak jauh dari tempat kediaman
Ki Gede Menoreh.
“Nyi Sekar Mirah,” perlahan Ki Waskita berkata namun dengan
tekanan yang dalam, “Jangan biarkan perasaanmu terhanyut dalam dugaan-dugaan
yang tidak beralasan. Marilah kita memohon pertolonganNya agar suamimu selalu
dalam lindungan Yang Maha Agung. Apapun yang terjadi di atas bumi ini, semuanya
tidak lepas dari kehendakNya. Walaupun manusia berusaha sekuat apapun, namun
kehendakNya lah yang berlaku jua,” Ki Waskita berhenti sejenak, kemudian
lanjutnya, “Dengan karunia yang telah diberikan kepadaku yang masih jauh dari
sempurna ini, aku akan mencoba untuk mencari keberadaan Ki Rangga Agung Sedayu
melalui isyarat yang telah aku terima. Semoga aku mampu menguraikan isyarat itu
dengan benar dan semoga Ki Rangga Agung Sedayu dalam keadaan selamat tak kurang
suatu apa pun.”
Sekar Mirah yang sedang terhanyut oleh perasaannya itu
tiba-tiba hatinya bagaikan tersiram banyu sewindu begitu mendengar kata-kata Ki
Waskita. Baginya Ki Waskita adalah seorang yang luar biasa. Seseorang yang
mempunyai pandangan waskita, mengetahui apa yang belum terjadi, setidaknya
itulah anggapannya selama ini, sehingga perlahan-lahan hatinya menjadi lilih
dan sedikit tenang.
“Kita semua berdoa dan berharap semoga Ki Rangga dalam
keadaan selamat,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah Sekar Mirah
melepaskan cengkeramannya, “Memang telah terjadi sedikit gangguan di tengah
perjalanan tadi. Namun agaknya seseorang yang sakti telah menyelamatkan Ki
Rangga tanpa sepengetahuan kami.”
“Apakah Kiai tidak menemukan jejak atau apa pun yang dapat
dijadikan sebagai pancadan dalam menduga keberadaan Ki Rangga?” bertanya salah
seorang pengawal yang ikut berkerumun.
Kiai Sabda Dadi berpaling ke arah pengawal itu sambil
menggeleng lemah, “Tidak ada. Namun aku yakin, Ki Rangga berada di tangan
seorang yang sakti yang tidak ada perasaan dendam. Seandainya yang membawa ki
Rangga itu adalah salah satu dari musuh-musuhnya yang menyimpan dendam setinggi
gunung, tentu kita hanya akan menemukan Ki Rangga dalam keadaan yang tidak
menguntungkan.”
Beberapa orang yang berkerumun di sekitar pedati itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun isak tangis Sekar Mirah belum juga reda
walaupun sudah tidak sekeras tadi. Agaknya penalarannya perlahan-lahan sudah
mulai pulih sejalan dengan beberapa keterangan yang diberikan oleh orang-orang
tua itu.
Ketika para perempuan pembantu rumah Ki Gede Menoreh itu
mulai berebutan untuk memeluk Sekar Mirah untuk sekedar memberinya dukungan dan
kekuatan batin, Pandan Wangi yang sudah dapat menguasai perasaannya segera
melangkah mendekat sambil berdesis perlahan, “Sudahlah, beri kesempatan Nyi
Sekar Mirah untuk bernafas. Sebaiknya kita kembali ke ruang dalam.”
“Aku setuju dengan Nyi Pandan Wangi,” sahut Kiai Sabda Dadi
kemudian, “Marilah kita kembali ke ruang dalam,”
Selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi kemudian segera
bergeser dan berdiri di ujung tangga pendapa. Sementara Pandan Wangi segera
meraih tangan Sekar Mirah untuk dibimbingnya berjalan menaiki tlundak pendapa.
Demikian Pandan Wangi dan Sekar Mirah berlalu dari tempat
itu, barulah orang orang yang berkerumun di sekeliling pedati itu mulai
bergerak. Para pengawal yang sedang bertugas jaga segera kembali ke tempat
masing-masing. Sedangkan para perempuan pembantu rumah Ki Gede dan Damarpati
yang sedang menggendong bayi itu pun dengan bergegas-gegas menyusul pandan
Wangi dan Sekar Mirah yang sudah melintasi pendapa dan masuk ke pringgitan.
Setelah para perempuan itu sudah tidak tampak lagi
bayangannya, barulah Kiai Sabda Dadi yang sudah berada di ujung tangga pendapa
itu bergerak menyusul. Namun sudut matanya telah menangkap bayangan seseorang
yang masih belum bergerak dari sisi pedati.
“Sebaiknya pedati ini kau bawa ke halaman samping,” berkata
Kiai Sabda Dadi kemudian ketika dilihatnya pengawal yang mengusiri pedati itu
masih berdiri termangu-mangu.
“Baiklah Kiai, mungkin aku masih sempat beristirahat sejenak
di sisa malam ini,” berkata pengawal itu sambil menaiki pedati kembali.
Sementara Kiai Sabda Dadi telah kembali melangkah meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang merasakan getaran di dalam
dadanya segera meninggalkan halaman depan dan menuju ke halaman belakang lewat
longkangan. Untuk sejenak Ki Waskita masih berdiri mematung di dalam kegelapan.
Setelah yakin tidak ada seorangpun yang memperhatikannya, segera disilangkan
kedua tangannya di depan dada.
Beberapa saat kemudian Ki Waskita telah tenggelam dalam alam
bawah sadarnya. Hubungan antara ki Rangga Agung sedayu dengan ki Waskita tidak
ubahnya seperti hubungan antara murid dan guru walaupun Ki Waskita tidak pernah
menuntun secara langsung kepada Ki Rangga dalam menekuni sebuah ilmu. Namun
dengan memberikan kesempatan kepada ki Rangga untuk membaca kitab peninggalan
perguruan ki Waskita, maka jalur antara murid dan guru itu pun seolah-olah
telah terjalin dengan sendirinya.
Ketika Ki Waskita sudah yakin dengan isyarat yang
diterimanya, segera saja diuraikan kedua tangannya yang bersilang di depan
dada. Dengan perlahan namun penuh kewaspadaan, ayah Rudita itu pun melangkah
menuju ke samping perigi di bawah rimbunan pohon jambu air.
Namun alangkah terkejutnya Ki Waskita ketika demikian
kakinya melangkah, terdengar suara isak tangis seorang perempuan dari arah
rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi.
Dengan dada yang berdebar-debar Ki Waskita meneruskan
langkahnya. Ketika pandangan mata Ki Waskita yang tajam melebihi orang-orang
kebanyakan itu menangkap sesosok bayangan perempuan yang sedang duduk bersimpuh
sambil terisak-isak di depan sesosok tubuh yang terbujur diam, Ki Waskita pun
menghentikan langkahnya.
Perempuan yang sedang menangis itu sama sekali tidak
menghiraukan kehadiran Ki Waskita. Perhatiannya benar-benar hanya tercurah
kepada sesosok tubuh yang terbujur diam di depannya.
“Ma’afkan aku Ni Sanak,” perlahan Ki Waskita menyapa agar
tidak menimbulkan salah paham, “Siapakah Ni Sanak ini dan siapakah yang
terbaring diam itu?”
Untuk sejenak perempuan muda itu mengangkat wajahnya. Dalam
keremangan dini hari Ki Waskita dapat melihat dengan jelas, betapa cantiknya
perempuan muda yang duduk bersimpuh beberapa langkah di hadapannya itu. Seraut
wajah yang lembut mempesona dengan sepasang mata bak bintang timur yang sedang
bercahaya. Hidung yang mungil dan mancung berpadu dengan bibir yang lembut
memerah bak delima merekah. Sementara lehernya yang jenjang itu tampak putih
bersih di antara rambutnya yang hitam panjang jatuh beriak-riak di kedua
bahunya yang indah.
Ki Waskita yang sudah mendekati usia senja pun bagaikan
terpesona melihat keindahan yang terpampang di hadapannya. Namun Ki Waskita
adalah orang yang sudah melewati batas kehidupan duniawi, sudah putus segala
kawruh lahir maupun batin sehingga keindahan perempuan yang bagaimana pun tidak
dapat menggoyahkan pribadinya yang sudah terbentuk dan sudah matang luar dalam.
“Maafkan aku sekali lagi Ni Sanak,” berkata Ki Waskita
mengulangi pertanyaannya, “Apakah aku diperkenankan untuk mengetahui siapakah
Ni Sanak ini dan orang yang berada di hadapan Ni Sanak itu?”
Perempuan muda dan cantik itu mencoba tersenyum, betapapun
pahitnya. Jawabnya kemudian, “Siapakah diriku ini tidaklah penting. Yang lebih
penting adalah bagaimana menolong Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Ki Rangga Agung Sedayu?” bagaikan tersengat ribuan lebah Ki
Waskita meloncat maju dan dengan tergesa-gesa segera berlutut di samping tubuh
yang terbujur diam itu.
Dengan jantung berdentangan, Ki Waskita mencoba
mengamati-amati seraut wajah yang kehitam-hitaman tertutup debu. Wajah itu
memang sulit dikenali karena dengan sengaja telah dilumuri oleh sejenis cairan
kental yang berwarna hitam pekat. Namun berdasarkan panggraita Ki Waskita yang
telah bergaul bertahun-tahun dengan Ki Rangga serta melihat bentuk tubuhnya, Ki
waskita yakin orang yang terbujur diam itu adalah Ki Rangga Agung Sedayu.
Tanpa membuang waktu lagi, Ki Waskita segera meraba dada
sebelah kiri Ki Rangga untuk meyakinkan keadaannya. Namun rasa-rasanya jantung
tua Ki Waskita itu hampir terlepas dari tangkainya begitu tidak dapat
diketemukannya detak jantung Ki Rangga. Bahkan ketika Ki Waskita dengan
hati-hati meletakkan telinganya di atas dada Ki Rangga untuk mencoba
mendengarkan detak jantungnya dengan lebih seksama, tidak ada tanda-tanda sama
sekali bahwa jantung itu masih berdetak, betapapun lembutnya.
Keringat dingin segera membasahi sekujur tubuh tua Ki
Waskita. Dengan tangan yang mulai gemetar, Ki Waskita sekali lagi mencoba
meyakinkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu dengan meraba detak urat nadi yang
berada di pangkal leher, kemudian di kedua pergelangan tangan bahkan sampai ke
pergelangan kaki. Namun hasilnya sama saja, tidak ada tanda-tanda kehidupan di
sana.
Akhirnya dengan pandangan nanar dan suara bergetar karena
menahan deburan yang memukul-mukul rongga dadanya, Ki Waskita pun bertanya
kepada perempuan yang masih duduk bersimpuh sambil menangis terisak-isak itu,
“Bagaimana ini bisa terjadi, Nini? Bagaimana ini bisa terjadi pada diri Ki
Rangga?”
Jangankan menjawab pertanyaan Ki Waskita, perempuan muda itu
malah menangis sejadi-jadinya sambil menutupi wajah dengan kedua telapak
tangannya.
Ki Waskita menjadi sangat gelisah. Jauh di lubuk hatinya dia
tidak bisa mempercayai keadaan yang telah terjadi pada diri Ki Rangga Agung
Sedayu itu.
“Apapun yang terjadi aku harus segera membawa ki Rangga ke
dalam,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Segalanya lebih baik kita pasrahkan
kepada Yang Maha Hidup. Semoga keluarga Ki Rangga tetap tabah menghadapi cobaan
ini.”
Berpikir sampai disini akhirnya Ki Waskita berkata, “Nini,
aku akan membawa Ki Rangga ke dalam. Terserah kepada Nini, apakah akan tetap
berada di sini atau mengikuti aku ke dalam rumah ki Gede.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu jawaban perempuan
muda itu, Ki Waskita segera membungkuk dan kemudian mendukung Ki Rangga dibawa
masuk ke kediaman Ki Gede melalui pintu dapur yang memang dibiarkan terbuka.
Pagi memang akan segera menjelang dan beberapa perempuan pembantu rumah Ki Gede
sudah bersiap-siap menyiapkan hidangan untuk makan pagi.
Ketika Ki Waskita kemudian memasuki dapur, beberapa
perempuan yang sempat berpaling menjadi terkejut. Namun agaknya Ki Waskita
sangat tergesa-gesa sehingga tidak memberi kesempatan kepada para perempuan
pembantu rumah Ki Gede itu untuk bertanya.
Begitu Ki Waskita memasuki ruang dalam, beberapa orang yang
sedang duduk-duduk di ruang itu menjadi sangat terkejut. Serentak mereka
berdiri dan menyambut kedatangan Ki Waskita dengan seribu tanda tanya.
“Siapakah itu Ki Waskita?” bertanya Kiai Sabda Dadi sambil
menyongsong kedatangan Ki Waskita.
Namun belum sempat ki Waskita menjawab, Sekar Mirah yang ada
di antara mereka telah menjerit tinggi sambil berlari menubruk ke arah Ki
Rangga Agung Sedayu yang berada dalam dukungan Ki Waskita. Agaknya nalurinya
sebagai seorang istri telah memberitahukan bahwa orang yang sedang dalam
dukungan ki Waskita itu adalah suaminya yang selama ini telah dirindukannya
siang dan malam.
Namun belum juga langkahnya sampai di depan Ki Waskita,
tubuhnya menjadi limbung karena kesadarannya yang tiba-tiba saja telah hilang.
Kalau saja Pandan Wangi yang ada di belakangnya tidak dengan sigap menangkap
tubuh yang telah kehilangan keseimbangan itu, tentu Sekar Mirah sudah
terjerembab di lantai ruang dalam.
“Mirah.!” Seru Pandan Wangi yang dengan sigapnya telah
menangkap tubuh yang terkulai itu.
Segera saja suasana menjadi gaduh. Para perempuan pembantu
rumah Ki Gede yang mendengar jeritan Sekar Mirah dengan tergopoh-gopoh
berdesak-desakkan masuk ke ruang dalam. Begitu mereka melihat keadaan Sekar
Mirah yang terkulai dalam pelukan Pandan Wangi, jerit tangis pun segera pecah
memenuhi sudut-sudut kediaman Ki Gede Menoreh bahkan sampai terdengar di regol penjagaan
depan.
Para pengawal yang sedang bertugas di regol depan tampak
saling berpandangan sambil mengerutkan kening mereka dalam dalam. Salah satu
pengawal yang berbadan agak gemuk dengan tergesa-gesa melangkah menuju ke
kediaman Ki Gede.
“He?” salah seorang kawannya menahan lengannya, “Kau mau ke
mana?”
Pengawal berbadan agak gemuk itu segera mengibaskan tangan
kawannya, “Kau dengar suara tangis itu? Aku akan melihat apa yang sedang
terjadi di dalam.”
“Apakah itu perlu?” kawannya kembali bertanya, “Belum tentu
tenaga kita dibutuhkan. Kalau memang mereka memerlukan bantuan kita, pasti
salah seorang akan memberitahukan kepada kita.”
“O,” sahut pengawal berbadan agak gemuk itu sambil memutar
tubuh menghadap kawannya, “Jadi kita bergerak hanya pada saat kita dibutuhkan
saja? Atau ada yang meminta bantuan kepada kita, baru kita bergerak? Begitu?”
pengawal itu berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Bagaimana seandainya telah
terjadi keadaan darurat dan mereka tidak sempat memberitahukan hal itu kepada
kita? Apakah kita hanya menunggu jatuhnya korban sia-sia?”
Agaknya kawannya masih mau menjawab, namun yang menjadi
pimpinan jaga pada malam itu segera menyahut, “Pergilah. Berikan isyarat kalau
memang ada hal-hal yang perlu bantuan. Namun selebihnya, kau harus hati-hati
jangan sampai menyinggung perasaan para penghuni kediaman Ki Gede kalau yang
terjadi sebenarnya hanyalah urusan pribadi yang tidak perlu kita ketahui.”
Pengawal yang berbadan agak gemuk itu mengangguk. Setelah
sekilas berpaling kepada kawannya, pengawal itu pun kemudian melanjutkan
langkahnya dengan setengah berlari menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Sesampainya pengawal itu di depan pintu pringgitan, sejenak
dia masih ragu-ragu. Namun dengan sedikit menahan nafas, pintu pringgitan itu
pun akhirnya diketuknya perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Ketika
pengawal itu menyadari tidak ada jawaban sama sekali dari dalam pringgitan,
perlahan-lahan pintu itu pun didorongnya sehingga sedikit terbuka dan ada celah
baginya untuk mengintip ke dalam.
“Kosong?” desis pengawal itu, “Barangkali mereka di ruang
tengah.”
Dengan memberanikan diri, pengawal itu pun kemudian
melangkah masuk ke pringgitan. Sementara suara ribut-ribut dan tangisan itu
memang berasal dari ruang tengah.
Namun sebelum pengawal itu mendekati pintu ruang tengah,
tiba-tiba saja pintu telah terbuka.
“Ki Waskita..!” tergagap pengawal itu menyapa Ki Waskita
yang berdiri di tengah-tengah pintu, “Ma’afkan aku, Ki. Para pengawal khawatir
ada sesuatu hal yang mungkin memerlukan bantuan sehingga aku telah lancang
memasuki rumah Ki Gede.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya kemudian, “Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Nyi Sekar Mirah memang sedang terguncang hatinya. Kau
dapat kembali ke tempatmu bertugas.”
Pengawal itu sejenak menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian sambil membungkuk, “Terima kasih, Ki. Dan sekali lagi maafkan kami.”
Ki Waskita tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya
sambil menutup pintu ruang tengah kembali.
Ketika bayangan Ki Waskita telah hilang di balik pintu,
dengan tergesa-gesa pengawal itu pun kemudian segera meninggalkan pringgitan
untuk kembali ke tempatnya bertugas.
Dalam pada itu, sepeninggal pengawal yang berbadan agak
gemuk itu, Ki Waskita segera kembali ke bilik tempat Ki Rangga Agung Sedayu di
baringkan dengan ditunggui oleh Kiai Sabda Dadi. Sementara Sekar Mirah yang
sedang kehilangan kesadarannya karena tekanan batin yang luar biasa telah
dibawa ke dalam biliknya sendiri dan ditunggui oleh Pandan Wangi dan Damarpati.
“Bagaimanakah keadaannya, Kiai? Apakah masih ada harapan?”
bertanya Ki Waskita begitu memasuki bilik.
Sejenak Kiai Sabda Dadi termenung. Pengalamannya
bertahun-tahun dalam menggeluti ilmu pengobatan belum pernah sekali pun
menjumpai hal seaneh ini.
Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Sabda Dadi
menggeleng lemah. Jawabnya kemudian, “Aku tidak yakin, Ki. Sepanjang
pengetahuanku dalam menekuni ilmu pengobatan, belum pernah aku menjumpai
permasalahan seperti ini. Jantung Ki rangga telah berhenti berdetak, demikian
juga urat-urat nadinya. Namun sekujur tubuh Ki Rangga masih terasa hangat.”
Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan yang lebih aneh
lagi, sekujur kepala Ki Rangga telah dibalut dengan sejenis cairan yang kental
yang dapat mengeluarkan hawa panas sehingga bagian kepala Ki Rangga dapat
terjaga suhunya dan tidak menjadi dingin karena tidak adanya aliran darah ke
otak.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah Ki Waskita
tidak begitu memahami seluk beluk ilmu pengobatan. Namun demikian Ki Waskita
pun tetap mengajukan sebuah pertanyaan yang selama ini menghantui pikirannya.
Katanya kemudian, “Jadi, bagaimanakah keadaan Ki Rangga yang sebenarnya? Apakah
Ki Rangga masih ada harapan untuk dapat diselamatkan?”
Kiai Sabda Dadi tidak menjawab. Pandangan matanya menatap
tubuh Ki Rangga yang terbujur diam di atas pembaringan. Berbagai tanggapan
muncul dalam benaknya sehubungan dengan keadaan Ki Rangga yang aneh dan tidak
sewajarnya itu.
Ketika kedua orang tua itu sedang merenungi tubuh Ki Rangga
yang terbujur diam, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam melebihi
kemampuan orang kebanyakan telah mendengar langkah-langkah kecil menuju ke
bilik.
Ketika kedua orang tua itu kemudian berpaling, tampak
seorang perempuan muda yang sangat cantik sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah
pintu bilik yang terbuka lebar sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Anjani,” desis Kiai Sabda Dadi perlahan.
Ki Waskita yang mendengar desis Kiai Sabda Dadi itu
mengerutkan keningnya. Perempuan muda yang sedang berdiri di depan pintu itu adalah
perempuan yang dijumpainya di dekat rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi.
“Jadi, Kiai Sabda Dadi sudah mengenalnya?” bertanya Ki
Waskita kemudian sambil berpaling ke arah kakek Damarpati yang duduk di
sebelahnya.
Kiai Sabda Dadi menarik nafas panjang, jawabnya, “Nimas
Anjani adalah murid Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada,” kemudian katanya
kepada Anjani, “Masuklah Anjani, apakah kau mempunyai sebuah keperluan dengan
kami?”
Ki Waskita yang mendengar nama Resi Mayangkara disebut
terkejut bukan buatan. Nama Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada memang
pernah didengarnya, namun semua itu menurutnya tidak lebih dari sebuah
dongengan saja.
“Resi Mayangkara..?” desis Ki Waskita perlahan sambil
matanya tidak berkedip memandang Anjani. Ki Waskita sama sekali tidak menyangka
bahwa perempuan cantik yang dijumpainya di sebelah perigi itu adalah murid Resi
Mayangkara dari gunung Kendalisada.
Anjani yang merasa diperhatikan oleh Ki Waskita itu semakin
menundukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil tetap berdiri di depan pintu,
“Kiai, bolehkah aku sedikit membantu untuk kesembuhan Ki Rangga? Sesungguhnya
aku harus melaksanakan pesan Eyang Resi agar jiwa Ki Rangga dapat secepatnya
tertolong.”
Hampir bersamaan kedua orang tua itu berdiri dari tempat
duduk mereka. Kiai Sabda Dadi lah yang kemudian segera menyahut, “Pesan Resi
mayangkara? Bagaimana Sang Resi bisa mengetahui keadaan Ki Rangga Agung Sedayu
yang sedang terluka parah?”
Sejenak Anjani menengadahkan kepalanya yang indah itu, namun
begitu pandangan matanya berbenturan dengan pandangan kedua orang tua itu,
segera saja ditundukkan kepalanya kembali dalam-dalam. Jawabnya kemudian lirih
hampir tak terdengar, “Eyang Resi lah yang mengambil Ki Rangga pada saat pedati
itu di cegat orang-orang tak dikenal ditengah-tengah bulak tadi malam,” Anjani
berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Selain ingin menyelamatkan Ki Rangga
dari kemungkinan balas dendam, Eyang Resi juga ingin membantu menyembuhkan Ki
Rangga dari lukanya yang sangat parah.”
Kedua orang tua itu hampir bersamaan menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sangat bersyukur bahwa
ternyata yang membawa Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang sakti yang bergelar
Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada.
“Sekarang di manakah Resi Mayangkara?” bertanya Ki Waskita
kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
Namun sebelum Anjani menjawab, dengan tergopoh-gopoh Kiai
Sabda Dadi segera menarik sebuah dingklik kayu yang berada di sudut bilik dan
diangsurkan kepada Anjani sambil berkata, “Masuklah Anjani. Sebaiknya kita
berbincang-bincang sambil duduk.”
“Terima kasih, Kiai,” jawab Anjani sambil melangkah memasuki
bilik dan duduk di atas dingklik kayu di dekat pintu.
“Nah, sekarang ceritakanlah. Bagaimana Resi Mayangkara
menolong mengobati Ki Rangga,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian.
Untuk beberapa saat Anjani terdiam. Setelah menarik nafas
beberapa kali untuk mengurangi getar di rongga dadanya, Anjani pun kemudian
menjawab, “Eyang Resi telah membawa Ki Rangga ke halaman belakang kediaman ki
Gede Menoreh. Di sana Ki Rangga telah diobati oleh Eyang Resi,” Anjani berhenti
sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aku tidak begitu mengerti tentang ilmu
pengobatan, namun sebelum pergi meninggalkan kami berdua, Eyang Resi telah
berpesan bahwa tata letak urat saraf dan otot-otot bebayu dari Ki Rangga telah
ditata kembali dengan cara menghentikan detak jantung Ki Rangga untuk sementara
agar pada saat Eyang Resi membetulkan semua letak urat saraf dan otot
bebayunya, Ki Rangga tidak mengalami lonjakan denyut jantung yang dapat
mengakibatkan semakin parahnya keadaan Ki Rangga.”
“O,” hampir bersamaan kedua orang itu mengangguk anggukkan
kepala. Berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Aku memang pernah membaca sebuah
rontal kuna peninggalan guruku tentang jenis jenis pengobatan yang salah
satunya adalah dengan cara menghentikan denyut jantung untuk sementara.
Sayangnya rontal itu tidak menjelaskan bagaimana tata cara dan syarat syarat
yang diperlukan, sehingga aku tidak begitu mempercayainya bahwa pengobatan
sejenis itu memang ada sampai hari ini aku telah mengalaminya sendiri dengan
melihat apa yang telah terjadi pada diri ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Waskita yang duduk di sebelahnya hanya mengangguk
anggukkan kepalanya.
Sejenak mereka yang berada di dalam bilik itu terhanyut oleh
angan masing masing. Sementara di luar telah terdengar ayam jantan berkokok
bersahut sahutan untuk yang terakhir kalinya malam itu, menandakan bahwa
sebentar lagi pagi akan menjelang.
“Kiai,” tiba-tiba Anjani berkata dengan nada sedikit
gelisah, “Eyang Resi telah berpesan kepadaku bahwa Ki Rangga harus segera
disadarkan dari keadaannya sebelum sinar Matahari yang pertama menyentuh
permukaan bumi Menoreh.”
Tersirap darah kedua orang tua itu. Untuk beberapa saat
keduanya hanya saling pandang tidak tahu apa yang harus diperbuat. Namun Kiai
Sabda Dadi yang telah menekuni ilmu pengobatan sekian lama segera tanggap.
Katanya kemudian, “Bagaimana cara menyadarkan Ki Rangga? Mengapa tidak Resi
Mayangkara sendiri yang menyadarkannya?”
Dengan tertunduk malu-malu Anjani pun kemudian menjawab
dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Eyang Resi memberi pesan kepadaku,
bahwa untuk menyadarkan Ki Rangga hanya ada satu cara yaitu saraf yang ada di
dalam otak Ki Rangga harus dibangunkan kembali.”
“Bagaimana caranya?” hampir bersamaan kedua orang itu
kembali bertanya.
Kepala Anjani semakin tertunduk dalam-dalam. Kemudian
setelah menghela nafas panjang, barulah Anjani menjawab, “Dengan cara
merangsang indera penciumannya.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban
Anjani. Namun Kiai Sabda dadi yang lebih berpengalaman dalam ilmu pengobatan
telah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya, aku pernah
mempelajari hal itu. Untuk menyadarkan orang yang sedang pingsan kita dapat
menggunakan bau-bauan yang menyengat untuk merangsang indera penciumannya agar
saraf di otaknya bekerja kembali,” Kiai Sabda dadi berhenti sebentar. Namun
kemudian dengan dahi yang berkerut merut dia kembali bertanya, “Bagaimana
dengan Ki Rangga? Keadaannya tidak hanya sekedar pingsan, namun lebih dari itu.
Tentu diperlukan bau yang sangat kuat dan tajam untuk menembus alam bawah
sadarnya.”
Ternyata jawaban Anjani telah membuat kedua orang tua itu
terkejut bukan alang kepalang, “Kiai, menurut Eyang Resi hanya kekuatan wangi
aji seribu bunga yang dapat menyadarkan Ki Rangga.”
“Aji seribu bunga?” hampir bersamaan kedua orang tua itu
telah mengulang kata-kata Anjani dengan dada yang berdebar debar.
“Sebuah ilmu yang sangat langka dan hampir punah,” desis Ki
Waskita sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Dan konon kabarnya ilmu itu
hanya mampu dikuasai oleh seorang perempuan yang mempunyai kecantikan hampir
sempurna.”
“Ya,” sahut Kiai Sabda dadi, “Aku juga pernah mendengar aji
sasra kembang atau sasra puspa, bahkan ada yang menyebut aji sasra malika yang
kesemuanya berarti seribu bunga. Konon seorang perempuan yang menguasai aji ini
dari tubuhnya akan dapat menyebarkan bau wangi yang sangat luar biasa dan dapat
memabokkan.”
“Namun ada kelebihan dari aji seribu bunga ini,” berkata ki
Waskita, “Bau wanginya dapat memberikan kesembuhan dan mengembalikan kesadaran
seseorang sebagaimana yang telah dikatakan oleh Resi Mayangkara kepada Nini
Anjani.”
Kembali Anjani menundukkan wajahnya. Setitik air mulai
mengembang di sudut matanya yang berbinar bak bintang timur itu.
Ternyata kedua orang tua itu tidak memperhatikan perubahan
pada wajah Anjani. Bahkan Kiai Sabda dadi telah mengajukan sebuah pertanyaan
yang membuat Anjani semakin tertunduk, “Nini Anjani, menilik pesan dari Resi
Mayangkara, agaknya kau menguasai aji seribu bunga yang dapat untuk menolong Ki
Rangga menemukan kesadarannya kembali,” kakek Damarpati itu berhenti sebentar.
Kemudian lanjutnya, “Marilah, kita berpacu dengan waktu. Sebentar lagi matahari
akan terbit dan kita semua tidak mau kehilangan Ki Rangga Agung Sedayu.”
Tiba-tiba saja Anjani menutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Air matanya deras mengalir dari sela-sela jari jemarinya yang
lentik. Sementara dadanya yang membusung itu terlihat bergetar hebat menahan
tangis yang seakan ingin meledak tak terkendali.
“Ada apa Nini Anjani?” hampir bersamaan kedua orang tua itu
bertanya dengan nada keheranan.
Sambil berusaha menahan tangisnya, Anjani pun menjawab
terbata-bata, “Tidak mungkin Kiai, itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin
melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan dalam tata kehidupan bebrayan
ini.”
Mendengar jawaban Anjani, kedua orang tua itu mengerutkan
kening dalam-dalam, terlebih lagi Ki Waskita. Baru sekarang ki Waskita
menyadari mengapa ketika pertama kali bertemu Anjani di bawah rimbunan pohon
jambu air di sebelah perigi, Anjani menangis tersedu-sedu. Ternyata Anjani
tidak sampai hati atau merasa malu untuk melaksanakan tata cara pengobatan yang
aneh melalui pengetrapan aji seribu bunga. Itulah sebabnya Resi Mayangkara
telah meninggalkan Anjani dan Ki Rangga Agung Sedayu berdua saja di bawah
gelapnya rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi.
“Nini Anjani,” berkata Kiai Sabda dadi yang sudah mulai
gelisah dengan keselamatan Ki Rangga, “Apa yang kau maksud dengan melanggar
batas-batas kesopanan dan kesusilaan itu? Ki rangga dalam keadaan tak sadarkan
diri. Dia tidak akan menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Marilah,
jangan turuti rasa segan dan malu di hatimu. Keselamatan Ki rangga adalah yang
paling utama.”
“Kiai,” tiba-tiba Anjani menurunkan kedua telapak tangannya
yang menutupi wajahnya. Katanya kemudian sambil menatap tajam kakek Damarpati
itu, “Ilmu seribu bunga yang aku kuasai belum sempurna. Tajamnya bau wangi dari
aji itu mungkin belum cukup untuk menyadarkan Ki Rangga, kecuali..”
Anjani tidak mampu meneruskan kata-katanya dan tangisnya pun
kembali meledak, namun dia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menahan agar
tidak sampai terdengar keluar bilik. Itulah sebabnya pundak Anjani sampai terguncang
guncang dalam usahanya untuk menahan tangisnya.
“Nini Anjani,” berkata Ki Waskita dengan nada sedikit keras.
Agaknya Ki Waskita sudah tidak sabar lagi, “Aku tidak tahu dan memang aku tidak
ingin tahu bagaimana caranya kau membantu Ki Rangga untuk menemukan
kesadarannya kembali dengan aji seribu bunga itu. Aku dan Kiai Sabda dadi akan
keluar bilik. Selaraklah bilik ini nanti dari dalam dan kalau perlu kau dapat
mematikan lampu dlupak di ajug-ajug itu. Selanjutnya terserah kepadamu.
Keselamatan Ki Rangga aku serahkan sepenuhnya kepadamu. Kami berdua tidak akan
mungkin bercerita tentang kejadian ini karena sesungguhnya kami tidak tahu apa
yang akan kau lakukan dalam membantu Ki Rangga menemukan kesadarannya kembali.
Ki rangga pun juga tidak akan tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Jadi
percayalah, kau hanya perlu memohon kekuatan kepada Yang Maha Agung agar kau
tetap dapat menjaga niat baikmu untuk menolong Ki Rangga.”
Selesai berkata demikian Ki Waskita segera bangkit dari
duduknya sambil memberikan isyarat kepada Kiai Sabda dadi untuk mengikutinya
keluar bilik.
Demikianlah kedua orang tua itu segera melangkah menuju ke
pintu. Ketika kedua orang tua itu telah berada di luar bilik, Ki waskita pun
kemudian menutup pintu bilik itu dari luar. Tinggallah Anjani yang gelisah di
dalam bilik bersama Ki Rangga yang masih belum sadarkan diri.
Namun ternyata kedua orang tua itu tidak perlu menunggu
lama. Sejenak kemudian mereka berdua mendengar pintu bilik telah diselarak dari
dalam dan lampu dlupak di atas ajug-ajug itu pun telah dimatikan.
Dalam pada itu seekor kuda telah dipacu dengan kencang
sebelum Matahari menampakkan sinarnya yang pertama di atas bumi Menoreh. Kuda
itu adalah kuda pilihan terbukti dengan membawa beban berlebihan tetap berlari
dengan kencang. Selain beban penunggangnya itu sendiri, ada juga sesosok mayat
yang diikat tertelungkup di belakang penunggang kuda itu.
“Aku harus sampai di tempat yang disebut tegal kepanasan
oleh Panembahan di dekat puncak Suralaya sebelum fajar menyingsing,” gumam penunggang
kuda itu dalam hati sambil memacu kudanya semakin cepat.
“Aku tidak percaya Panembahan Cahya Warastra dapat
dikalahkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali penunggang kuda itu berkata
dalam hati, “Sebuah pertarungan ilmu yang dahsyat dan ngedab edabi. Keduanya
memiliki ilmu yang sudah sangat jarang dijumpai pada saat ini. Namun aku tidak
yakin kalau Ki Rangga Agung Sedayu sampai saat ini masih dapat bertahan.
Mungkin sekarang ini orang-orang Menoreh sedang menangisi kematiannya.”
Kuda itu terus melaju. Ketika jalan mulai menanjak dan
terjal, dengan sangat hati-hati penunggang kuda itu mengendalikan tunggangannya
agar tidak sampai tergelincir. Ketika hutan semakin pepat dan jalan mulai
mendaki, penunggang kuda itu pun kemudian memutuskan untuk melanjutkan
perjalanannya dengan berjalan kaki.
Dengan cekatan penunggang kuda itu pun kemudian meloncat
turun. Dengan sedikit ragu-ragu dia menambatkan tali kendali kuda itu ke sebuah
batang pohon sebesar paha orang dewasa, namun akhirnya tali itu pun dilepaskannya
kembali.
“Biarlah kuda ini bergerak bebas seandainya ada binatang
buas yang mencoba memangsanya,” berkata orang itu dalam hati, “Kuda orang-orang
Mataram memang bagus-bagus, dan beruntung aku tadi menemukannya berkeliaran
tidak jauh dari bekas medan pertempuran. Agaknya ini salah satu kuda pasukan
jalamangkara yang dilepas sebelum pecah pertempuran tadi siang.”
Setelah melepaskan tali yang mengikat pada sesosok mayat
yang tertelungkup di punggung kuda bagian belakang itu, orang itu pun kemudian
memanggul mayat itu di pundak kirinya.
Sesekali orang itu menoleh ke belakang, ada sedikit
kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau sampai sejauh ini ada yang mengikuti
perjalanannya. Namun akhirnya penunggang kuda itu pun yakin bahwa tidak ada
seorang pun yang sedang mengikuti perjalanannya.
Dengan tangkasnya orang itu kemudian meloncati pohon-pohon
yang roboh karena dimakan usia atau mungkin ada angin puting beliung yang telah
memporak porandakan tempat itu beberapa waktu lalu, menilik bekas-bekasnya yang
masih tampak mengerikan. Sementara itu waktu telah merambat semakin cepat
menuju matahari memancarkan sinarnya yang pertama menyentuh bumi Menoreh.
Ketika orang itu kemudian telah mencapai puncak pebukitan
Menoreh. Sejenak dia bagaikan tersihir oleh kendahan alam yang tiada taranya.
Matahari baru saja menampakkan sinarnya yang pertama menyentuh punggung
pebukitan Menoreh yang berkelok-kelok yang diselimuti kabut tipis. Udara sangat
cerah sehingga tampak nun jauh di sebelah utara berjajar gunung Sindara dan
Gunung Sumbing. Sedangkan di sebelah timur, gunung Merbabu dan Gunung Merapi
tampak menyembul di antara gumpalan awan tipis yang seakan akan sedang berdiri
berjajar dengan garangnya mengawal sebuah karya agung kejayaan masa lalu, candi
Borobudur yang mempesona.
Begitu orang itu mulai melangkahkan kakinya, serombongan
burung liar yang terbang rendah hampir saja menyambar keningnya. Sedangkan
puluhan kupu-kupu dan capung yang berada beberapa langkah di depannya tampak
sedang terbang kian kemari dengan riangnya menjelajahi hamparan bunga-bunga
liar yang tumbuh di antara gerumbul ilalang dan pohon-pohon perdu.
Melihat pemandangan yang begitu mempesona terhampar di
hadapannya, sejenak orang itu bagaikan terlena dan lupa akan tujuannya
mendatangi tempat itu. Tidak bosan bosannya pandangan matanya menatap gugusan
perbukitan yang tampak berdiri kokoh dengan lembahnya yang di beberapa tempat
masih berupa hutan belukar yang luas menghijau dan sama sekali belum terjamah
oleh tangan manusia. Namun di beberapa tempat telah dibuka untuk pesawahan dan
ladang oleh para penghuni padukuhan yang bertempat di lereng sebelah bawah dari
pebukitan Menoreh. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah warna hijau
yang berpadu dengan birunya langit dan putihnya mega.
“Ah,” orang itu berdesah begitu menyadari tujuannya datang
ke tempat itu, “Tegal kepanasan sudah tidak jauh lagi. Aku harus segera
menghadap Sang Begawan.”
Dengan setengah berlari, orang yang memanggul sesosok mayat
di pundak kirinya itu pun segera menyeberangi padang perdu luas bagaikan tak
bertepi yang terhampar di hadapannya.
Dalam pada itu di padukuhan induk, pagi pagi sekali Glagah
Putih telah mencari istrinya. Rara Wulan memang telah diminta oleh ibu
angkatnya Nyi Citra Jati untuk menemani bermalam di sebuah rumah kosong yang
telah ditinggal penghuninya mengungsi. Rumah itu terletak hanya beberapa tombak
saja dari rumah yang digunakan sebagai balai pengobatan. Di dalam rumah yang
cukup bersih itu, Rara Wulan bermalam bersama ibu angkatnya dan saudara-saudara
tirinya yang lain. Selain itu, ke enam murid perguruan Pamulatsih yang telah
menyerah juga telah bermalam bersama mereka.
“Agaknya Nyi Citra Jati memerlukan Rara Wulan untuk
mengawasi ke enam murid perguruan Pamulatsih yang telah menyerah,” berkata
Glagah Putih sambil berjalan menuju ke rumah yang digunakan bermalam istrinya,
“Masih ada sedikit keraguan di hati Nyi Citra Jati terhadap mereka. Namun
sebenarnya itu semua tidak lebih dari sebuah sikap hati-hati dan penuh
kewaspadaan. Dalam keadaan yang seperti ini, segala sesuatu yang tidak terduga
bisa saja terjadi.”
Ketika rumah itu sudah terlihat dari lorong padukuhan,
tampak Rara Wulan sedang berdiri termangu mangu di bawah sebatang pohon keluwih
di halaman depan yang tidak seberapa luas.
“He, sepagi ini kau sudah bangun?” bertanya Glagah Putih
begitu dia melangkah memasuki regol halaman.
Rara Wulan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Pertanyaan Kakang
aneh. Semalaman aku belum tidur sekejap pun dan kakang malah bertanya kenapa
aku pagi-pagi sudah bangun.”
“He!” Glagah Putih terkejut, “Apa yang telah terjadi Rara?
Apakah ke enam murid perguruan Pamulatsih itu membuat ulah?”
“O, tidak..tidak,” jawab Rara Wulan cepat, “Mereka malah
bisa tidur dengan nyenyak sekali. Justru kami berlima yang harus berjaga
bergantian.”
Glagah Putih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Itu salahmu
sendiri, mengapa kau tidak memanfaatkan waktu untuk beristirahat ketika tidak
sedang bergiliran jaga?”
Rara Wulan memarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian,
“Baruni dan Setiti mengajakku bercakap-cakap sampai pagi. Mereka banyak
bertanya tentang kakang Agung Sedayu.”
“He!” kembali Glagah Putih terkejut. Sambil setengah
berbisik, Glagah Putih bertanya, “Apa hubungannya Kakang Aging Sedayu dengan
mereka berdua?”
Rara Wulan kembali tersenyum sambil menjawab perlahan,
“Mereka sangat kagum dengan kemampuan bidik Kakang Agung Sedayu. Bagaimana
mungkin dalam malam yang pekat, Kakang Agung Sedayu mampu membidik dengan tepat
sebuah anak panah yang meluncur di udara, hanya dengan mengandalkan cahaya api
di ujung panah itu sebagai petunjuk.”
Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kakak sepupunya
itu memang mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam hal membidik. Kemampuan
yang diturunkan dari ayahnya, Ki Sadewa.
“Lalu, apakah mereka berdua tertarik untuk mempelajarinya?”
bertanya Glagah Putih kemudian.
“Ya,” sahut Rara Wulan, “Mereka berdua ingin berguru kepada
Kakang Agung Sedayu tentang ilmu membidik. Sebenarnya mereka berdua sudah
mempelajari dasar-dasar ilmu membidik itu dari ayah dan ibu angkat kita. Namun
jika dibandingkan dengan kemampuan Kakang Agung Sedayu, masih terpaut sangat
jauh.”
Kembali Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian katanya, “Melihat keadaan Kakang Agung Sedayu yang masih sakit serta
kesibukan dalam mengemban tugas keprajuritannya, aku tidak yakin kalau Kakang
Agung Sedayu mempunyai waktu untuk mengajari mereka berdua.”
“Kakang,” sahut Rara Wulan, “Baruni dan Setiti sudah
mempunyai dasar-dasar ilmu membidik dari kedua orang tua angkat kita. Jadi
kakang Agung Sedayu mungkin tinggal memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana
sebaiknya mengembangkan ilmu yang telah mereka miliki sebelumnya.”
“Mungkin,” berkata Glagah Putih, “Dengan demikian mereka
berdua harus sesering mungkin meminta petunjuk kepada Kakang Agung Sedayu. Aku
tidak yakin kalau Nyi Citra Jati akan mengijinkan kedua anak angkatnya yang
masih sangat muda itu tinggal di Menoreh.”
“Kenapa, Kakang?” bertanya Rara Wulan, “Aku yakin ibu angkat
kita akan mengijinkan mereka berdua menimba ilmu di Menoreh demi masa depan
mereka berdua. Mereka dapat tinggal di rumah kakang Agung Sedayu atau di rumah
Ki Gede Menoreh yang besar tapi sepi penghuninya itu. Kedua gadis itu mungkin
dapat dianggap sebagai cucu oleh ki Gede menjelang hari-hari tuanya.”
“Ah, sudahlah Rara,” berkata Glagah Putih kemudian,
“Sebaiknya kita segera menghadap Ki Gede Menoreh untuk meminta ijin menjenguk
Kakang Agung Sedayu.”
“Baiklah Kakang. Aku akan minta ijin Nyi Citra Jati terlebih
dahulu sebelum menghadap Ki Gede.”
Demikianlah akhirnya setelah meminta ijin kepada ibu
angkatnya, suami istri itu pun kemudian berangkat menuju ke rumah yang
dijadikan untuk penginapan bagi Ki Patih Mandaraka dan Ki Gede`Menoreh.
Sementara para Tumenggung dan Perwira lainnya ditempatkan di rumah sebelahnya.
Ketika sepasang suami istri itu telah sampai di tempat Ki
Gede Menoreh bermalam, ternyata para orang-orang tua itu telah duduk-duduk di
pendapa dengan semangkuk minuman hangat serta beberapa potong makanan.
“Kemarilah,” berkata Ki Gede kemudian sambil melambaikan
tangannya ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan begitu sepasang suami istri itu
memasuki regol.
Beberapa prajurit yang berjaga di regol yang sudah mengenal
sepasang suami istri itu segera menganggukkan kepala mereka sambil
mempersilahkan mereka masuk.
Dengan tergesa-gesa keduanya pun segera melangkah
menyeberangi halaman yang tidak begitu luas. Begitu keduanya telah mencapai
tangga pendapa, bagaikan telah berjanji sebelumnya, sepasang suami istri itu
pun kemudian menyampaikan salam hormat sambil membungkukkan badan mereka dalam-dalam.
Ki Patih Mandaraka tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Naiklah. Biar para prajurit yang bertugas di dapur
mengambilkan dua mangkuk minuman hangat lagi untuk kalian. Ketela rebus ini pun
juga perlu ditambah.”
“Terima kasih Ki Patih,” hampir bersamaan keduanya menjawab
sambil menaiki tlundak pendapa.
Namun baru saja sepasang suami istri itu mengambil tempat di
hadapan Ki Patih dan Ki Gede, mereka yang berada di rumah itu dikejutkan oleh
bunyi derap kaki kuda yang semakin lama semakin mendekati rumah itu.
Para prajurit yang sedang berjaga di pintu regol segera
tanggap. Dengan tangkasnya mereka berloncatan ke tengah regol untuk menghadang
penunggang kuda yang melaju cukup kencang menyusuri lorong-lorong padukuhan
menuju ke rumah itu. Masing masing telah menggenggam erat-erat pangkal
senjatanya siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Ternyata penunggang kuda itu menyadari bahwa kedatangannya
dapat menimbulkan suatu kesalah pahaman. Maka sejenak kemudian derap kuda itu
pun mulai melambat begitu mendekati regol, dan akhirnya berhenti di depan para
prajurit yang sedang menghadang jalan.
Tanpa diperintah, penunggang kuda itu pun segera meloncat
turun sambil berkata, “Ma’afkan aku jika kedatanganku telah mengejutkan
kalian,” orang itu berhenti sejenak. Sambil menganggukkan kepalanya dia
melanjutkan kata-katanya, “Aku ingin menghadap Eyang Buyut Mandaraka.”
Tersirap darah para prajurit yang sedang berjaga di regol
itu. Hampir saja mereka tidak mampu mengenali sosok yang masih sangat muda
dalam pakaian yang sangat sederhana, pakaian orang kebanyakan.
Serentak para prajurit yang berjaga itu segera berjongkok
sambil menghaturkan sembah. Parajurit yang tertua pun kemudian berkata,
“Ma’afkan kami Raden. Hampir saja kami tidak mengenali Raden Mas Rangsang dalam
keadaan seperti ini.”
Anak yang masih sangat muda itu memang Raden Mas Rangsang,
Pangeran Pati Mataram.
Raden Mas Rangsang tersenyum katanya kemudian, “Berdirilah!
Kalian ternyata masih prajurit Mataram yang selalu siap sedia menghadapi segala
kemungkinan walaupun baru saja mengalami pertempuran dahsyat yang sangat
menguras tenaga.”
“Terima kasih Raden,” berkata prajurit yang tertua sambil
memberi isyarat kawan-kawannya untuk berdiri.
“Nah, sekarang kalian dapat kembali ke tugas kalian
masing-masing, “ berkata Raden Mas Rangsang kemudian sambil berjalan menuntun
kudanya. Seorang prajurit yang terdekat dengan tergopoh-gopoh segera melangkah
maju dan menerima kendali kuda Raden Mas Rangsang untuk di tambatkan di
patok-patok yang berada di halaman samping.
Dengan langkah yang tenang dan sorot mata yang tajam, Raden
Mas Rangsang pun kemudian memasuki regol halaman.
Kecuali Ki Patih Mandaraka, semua yang duduk di pendapa itu
segera bangkit dari duduknya dan turun dari pendapa untuk menyambut kedatangan
Raden Mas Rangsang.
Namun sebelum orang-orang itu sempat menyampaikan salam,
justru Pangeran yang santun itu lah yang telah terlebih dahulu mengucapkan
salam.
Dengan sedikit tergopoh Ki Gede segera menyambut uluran
tangan Raden Mas rangsang. Demikian juga Glagah Putih. Hanya kepada Rara Wulan
Raden Mas Rangsang tidak menjulurkan tangannya, namun hanya menganggukkan
kepala sambil tersenyum.
“Naiklah ke pendapa, Cucunda Buyut Pangeran,” berkata ki
Patih dari tempat duduknya, “Sepagi ini sudah sampai di tanah Perdikan Menoreh.
Apakah Cucunda Buyut mempunyai kepentingan yang sangat mendesak sehingga tidak
dapat di tunda lagi?”
Raden Mas Rangsang tidak menjawab, hanya senyumnya saja yang
menghiasi bibirnya. Dengan cepat Raden Mas Rangsang segera menaiki tlundak
pendapa. Sesampainya dia di hadapan Ki Patih Mandaraka yang duduk bersila,
pangeran yang rendah hati itu pun segera menyambut uluran tangan Ki Patih dan
menciumnya.
“Duduklah,” berkata Ki Patih dengan sareh, “Apakah Cucunda
Buyut telah meminta ijin terlebih dahulu kepada Ayahanda Panembahan untuk
mengunjungi tanah perdikan sepagi ini?”
Raden Mas Rangsang mengangguk sambil mengatur letak duduknya
di hadapan Ki Patih. Jawabnya kemudian, “Eyang Buyut, aku telah meminta ijin
Ayahanda Panembahan untuk secara khusus menghadap Eyang Buyut Mandaraka yang
sedang berada di tanah perdikan Menoreh.”
Sejenak Ki patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sambil
mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sadar pandangan matanya tertumbuk pada
orang-orang yang masih berdiri termangu-mangu di ujung tangga pendapa, maka
katanya kemudian sambil tertawa, “Ah, sebenarnya Ki Argapatilah yang menjadi
tuan rumah di sini. Namun kita telah memperlakukannya seperti orang asing di
halaman rumahnya sendiri. Marilah Ki Gede, duduklah bersama kami. Kami tidak
ingin menjadi tamu yang deksura, tamu yang tidak mengenal unggah-ungguh dengan
membiarkan tuan rumahnya menjadi kebingungan.”
Ki Gede tersenyum. Sejenak dihirupnya udara pagi untuk
memenuhi rongga dadanya. Kedatangan Pangeran Pati dari Mataram ini memang
sangat mengejutkan hatinya sehingga dia menjadi sedikit gugup dan tidak bisa
berpikir dengan jernih.
“Terima kasih Ki Patih. Seharusnya hamba menyediakan tempat
yang lebih layak bagi tamu kehormatan dari Mataram. Namun apa daya, keadaan
memang masih belum memungkinkan,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil
melangkah perlahan menaiki tlundak pendapa.
Namun ketika Pemimpin tertinggi tanah Perdikan Menoreh itu
berpaling ke belakang, tampak Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang memandang
ke arahnya dengan pandangan yang penuh tanda tanya.
“Ada apa Glagah Putih?” bertanya Ki Gede sambil menghentikan
langkahnya.
Dengan bergegas Glagah Putih segera mendekat sambil menjawab
dengan suara perlahan, “Ma’afkan kami Ki Gede. Sesungguhnya kami menghadap Ki
Gede untuk memohon diri menjenguk keadaan Kakang Agung Sedayu yang telah
terlebih dahulu di bawa ke kediaman Ki Gede bersama mbokayu Pandan Wangi tadi
malam.”
Sejenak Ki Gede menarik nafas dalam-dalam begitu mendengar
nama Pandan Wangi disebut. Anak perempuan satu-satunya itu memang sedang
terluka, namun Ki Gede yakin kalau Kiai Sabda dadi akan dapat mengatasi
permasalahannya. Justru yang sedang merisaukan hatinya adalah keadaan Ki Rangga
Agung Sedayu yang masih belum sadarkan diri.
“Pergilah,” akhirnya Ki Gede berkata, “Segera hubungi aku
kalau ada perkembangan keadaan dari Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Terima kasih Ki Gede,” hampir bersamaan sepasang suami
istri itu menjawab.
Demikianlah, setelah mereka berdua mohon diri kepada Ki
Patih dan Raden Mas Rangsang, sepasang suami istri yang masih muda itu pun
kemudian segera meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Gede Menoreh pun
kemudian segera ikut bergabung duduk di pendapa.
“Nah, Cucunda Buyut,” berkata Ki Patih Mandaraka, “Sekarang
aku ingin mengetahui tujuan Cucunda Buyut datang mengunjungi Tanah Perdikan
ini.”
Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam sebelum
menjawab pertanyaan Ki Patih. Katanya kemudian sambil menganggukkan kepalanya,
“Eyang Buyut, aku telah menerima sebuah petunjuk dalam mimpiku beberapa waktu
yang lalu, namun aku tidak tahu apa makna dari mimpi itu,” Raden mas Rangsang
berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Namun ketika aku dan Ayahanda Panembahan
dalam perjalanan pulang dari tepian kali Praga kemarin siang, aku sempat
menanyakan tafsir dari mimpi yang aku terima kepada Kanjeng Sunan sebelum kami
berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing.”
Hampir bersamaan ki Patih dan Ki Gede mengerutkan kening.
Mimpi dari seorang pangeran Pati yang digadang-gadang untuk memimpin negeri ini
kelak di kemudian hari tidak boleh dianggap hanya sebuah bunga tidur.
“Cucunda Buyut,” berkata Ki Patih kemudian setelah sejenak
mereka terdiam, “Apakah Kanjeng Sunan memberikan sedikit gambaran tentang makna
mimpi itu?”
Raden Mas Rangsang menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kanjeng
Sunan tidak berani menafsirkan arti mimpi itu. Namun Kanjeng Sunan menyarankan
aku untuk pergi ke pebukitan Menoreh dan menemui seseorang yang menyebut
dirinya Begawan Cipta Hening.”
“Begawan Cipta Hening?” hampir bersamaan kedua orang tua itu
berdesis perlahan.
“Ampun Ki Patih. Apakah Ki Patih pernah mendengar nama itu?”
bertanya Ki Gede kemudian.
Untuk sejenak Ki Patih Mandaraka termenung. Nama Begawan
Cipta Hening rasa-rasanya terdengar asing di telinganya. Namun jika petunjuk
itu datang dari seorang Wali yang waskita, tentu ada makna yang tersembunyi di
balik nama itu.
“Aku belum pernah mendengar nama itu,” akhirnya Ki Patih
memberikan jawaban setelah beberapa saat terdiam. Lanjutnya kemudian, “Namun
aku tidak yakin kalau yang dimaksud oleh Kanjeng Sunan itu adalah dalam arti
sebenarnya. Maksudku, arti dari Begawan Cipta Hening itu sendiri adalah
benar-benar nama dari seseorang, atau mungkin Kanjeng Sunan ingin memberikan
sebuah tuntunan agar Cucunda Buyut mulai meningkatkan perhatian terhadap
hal-hal yang tidak kasat mata dan melakukan hubungan timbal balik dengan alam
yang gumelar ini sebagai tanda-tanda kebesaran Yang Maha Agung dengan cara
memusatkan seluruh nalar dan budi untuk menuju ke keheningan batin.”
“Dan pebukitan Menoreh yang sepi dan tenang agaknya telah
dipilih oleh Kanjeng Sunan,” Ki Gede Menoreh memberikan tanggapannya.
Ki Patih Mandaraka tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar pendapat ki Gede, sedangkan Raden Mas Rangsang kelihatannya
masih ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada Ki Patih.
“Eyang Buyut,” akhirnya Raden Mas Rangsang mengungkapkan
permasalahan yang masih mengganjal hatinya, “Kanjeng Sunan memberikan petunjuk
kepadaku untuk memulai sebuah perjalanan dengan berjalan kaki dari Mataram
sampai pebukitan Menoreh. Petunjuk selanjutnya akan aku dapatkan setelah aku
menginjakkan kakiku di bukit Menoreh.”
Kembali kedua orang tua itu mengerutkan kening. Ki Gede lah
yang kemudian menyahut, “Pebukitan Menoreh sangat luas. Diperlukan waktu yang
sangat panjang untuk menjelajahinya dari ujung sampai ke ujung yang lain.”
“Ki Gede,” sahut Raden Mas Rangsang cepat, “Kanjeng Sunan
menyebut sebuah tempat untuk menemui Begawan Cipta Hening. Tempat itu bernama
pertapaan Suralaya. Petunjuk selanjutnya akan aku dapatkan dari Sang Begawan
tentang apa yang harus aku lakukan sehubungan dengan makna mimpiku itu. Apakah
Ki Gede mengetahui tempat itu?”
Ki Gede Menoreh mengangguk, “Aku pernah mendengar puncak
tertinggi dari pebukitan Menoreh itu bernama puncak Suralaya, namun aku tidak
tahu pasti di mana letak pertapaan itu dan apakah di sana ada seseorang yang
menyebut dirinya Begawan Cipta Hening.”
Tiba-tiba pintu pringgitan terbuka dan seorang prajurit yang
bertugas di dapur telah membawa semangkuk minuman hangat dan beberapa potong
makanan.
Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu, sambil
berjongkok prajurit yang bertugas di dapur itu pun dengan sangat hati-hati
meletakkan semangkuk minuman hangat di hadapan Raden Mas Rangsang dan
menambahkan beberapa potong makanan.
Ketika prajurit itu telah hilang di balik pintu pringgitan,
Ki Patih pun kemudian berkata, “Nah, Cucunda Buyut. Kapankah kau akan memulai
perjalanan itu? Dan apakah Kanjeng Sunan memperkenankan seseorang untuk menyertaimu
dalam perjalananmu itu?”
Pangeran Pati Mataram itu menggeleng, “Kanjeng Sunan
mensyaratkan aku untuk sendirian dalam menjalani laku ini. Sedangkan waktu yang
akan aku pilih adalah besok pagi setelah aku mendapat restu dari Kanjeng Eyang
Buyut.”
“Tentu, tentu..” sahut Ki Patih cepat, “Demi masa depan
Cucunda Buyut dalam mengemban amanah untuk memimpin negeri ini di kelak
kemudian hari, sangatlah diperlukan sebuah laku untuk menyelaraskan batin
dengan alam sekitar serta lebih mendengarkan keluh kesah para kawula alit.
Untuk itulah Kanjeng Sunan mensyaratkan berjalan kaki. Tentu Cucunda akan
banyak melewati padukuhan-padukuhan di sepanjang perjalanan. Pesanku, lihatlah
dari dekat kehidupan para kawula alit itu sehingga kelak pada saatnya Cucunda
Buyut menjadi pemimpin negeri ini sudah mendapat gambaran untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan mereka.”
“Selebihnya laku itu juga akan mendekatkan diri kita kepada
Sang Pencipta Alam ini,” Ki Gede Menoreh menambahkan.
Raden Mas Rangsang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini di
dalam dadanya telah tumbuh sebuah tekat yang bergemuruh untuk melaksanakan laku
itu demi terwujudnya negeri yang makmur dan sejahtera.
Dalam pada itu, Matahari telah mulai merambat naik di langit
sebelah timur. Sinarnya yang cerah menimpa pucuk-pucuk dedaunan yang masih
digelayuti oleh embun pagi. Butiran-butiran embun itu pun bagaikan hiasan
mutiara yang berkilauan di telingga para putri-putri raja.
Di kediaman Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Kiai Sabda Dadi
hampir kehilangan kesabaran menunggu pintu bilik Ki Rangga Agung Sedayu di buka
dari dalam. Bau harum menyengat yang sebelumnya menebar sampai di tempat kedua
orang tua itu menunggu perlahan telah mulai memudar. Sedangkan sinar Matahari
pagi yang masih lemah telah mampu menerobos celah di sela-sela dinding papan di
bilik Ki Rangga, namun dari dalam bilik belum terdengar adanya tanda-tanda
kehidupan sama sekali.
“Kiai,” desis Ki Waskita, “Aku tidak mendengar suara apapun
dari dalam bilik, walaupun aku sudah mencoba mempertajam pendengaranku.”
Kiai Sabda Dadi menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sedari tadi aku telah
memantau apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam bilik melalui indera
pendengaranku. Namun apa yang aku dengar dari dalam bilik itu seolah-olah
kosong tidak berpenghuni. Bahkan desah nafas Nini Anjani pun aku tidak mampu
mendengarkannya. Kelihatannya telah terjadi sesuatu di luar perhitungan kita.”
Kembali kedua orang tua itu termenung. Namun tiba-tiba
mereka berdua telah dikejutkan oleh isak tangis seorang perempuan dari bilik
sebelah. Ternyata Sekar Mirah yang telah sadar dari pingsannya berusaha bangkit
dari tempat tidurnya, akan tetapi Pandan Wangi yang sedari tadi menungguinya
segera mencegahnya.
“Tenanglah, Mirah. Percayakan kakang Agung Sedayu dalam
pengobatan Kiai Sabda Dadi. Selebihnya, marilah kita selalu memanjatkan doa
kepada Yang Maha Agung agar kakang Agung Sedayu dapat melewati masa-masa yang
gawat ini,” bisik Pandan Wangi sambil memeluk Sekar Mirah yang mencoba bangkit
dari pembaringan.
“Mbokayu,” desis Sekar Mirah di sela-sela isak tangisnya
yang ditahannya dengan sekuat tenaga, “Kau tidak tahu bagaimana perasaan hatiku
saat ini. Sudah sekian lama kakang Agung Sedayu meninggalkan keluarga, namun
kini setelah dia kembali ke Menoreh justru Kakang Agung Sedayu mengalami luka
yang sangat parah. Bahkan untuk melihat anaknya yang baru lahir saja tidak
mampu. Aku sangat ingin sekali menunjukkan kepadanya buah hati kami yang telah
sekian lama kami tunggu-tunggu. Haruskah anakku ditakdirkan untuk tidak pernah
melihat keberadaan ayahnya sepanjang hidupnya?”
Tanpa terasa sepasang mata Pandan Wangi ikut menjadi basah.
Dengan tergesa-gesa diusapnya kedua matanya itu dengan ujung bajunya. Katanya
kemudian, “Mirah, aku bisa merasakan perasaanmu saat ini. Namun aku minta,
janganlah berpikiran terlalu jauh. Marilah semuanya kita pasrahkan kepada Yang
Maha Agung. Saat ini kita hanya dapat memohon kepada Sang Penguasa jagad raya
ini karena hidup dan mati seseorang berada dalam kuasaNya. Semoga Yang Maha
Agung berkenan mendengar doa kita dan mengabulkannya.”
Sekar Mirah mengangguk. Kata-kata kakak iparnya itu sedikit
banyak telah menghibur hatinya. Namun tetap saja kegelisahan terasa
memukul-mukul rongga dadanya.
“Mbokayu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya, “Apakah tidak
sebaiknya kita menengok keadaan Kakang Agung Sedayu? Apapun yang terjadi, aku
sudah pasrah. Sebaiknya aku selalu berada di sisi Kakang Agung Sedayu agar aku
dapat selalu mengetahui perkembangan yang terjadi dengan suamiku.”
Pandan Wangi berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Baiklah
Mirah. Sebaiknya memang kau menunggui suamimu. Namun kau harus berjanji untuk
selalu menjaga sikap dan tidak mengganggu Kiai Sabda Dadi dalam upayanya
membantu kakang Agung sedayu menemukan kesadarannya kembali.”
Sekar Mirah mengangguk. Kemudian dengan dibantu Pandan
Wangi, dengan perlahan Sekar Mirah pun bangkit dari pembaringan.
Ketika dengan tergesa-gesa Sekar Mirah kemudian melangkahkan
kakinya, dengan segera Pandan Wangi menahan langkah adik iparnya itu dengan
memegang lengannya. Bisiknya kemudian, “Benahi dirimu terlebih dahulu sebelum
keluar bilik, Mirah.”
“Oh..” desis Sekar Mirah tersadar dengan keadaan dirinya
yang masih belum rapi. Dengan cepat disanggulnya kembali rambutnya yang terurai.
Kemudian setelah membenahi letak baju dan kain panjangnya, mereka berdua pun
dengan bergandengan tangan melangkah keluar bilik.
Derit pintu bilik yang terbuka sama sekali tidak mengejutkan
kedua orang tua yang sedang duduk menunggu di ruang tengah itu. Dengan perlahan
kedua orang tua itu pun kemudian bangkit berdiri menyambut Sekar Mirah dan
Pandan Wangi.
Sekar Mirah yang melihat Kiai Sabda dadi dan Ki Waskita
berada di ruang tengah sejenak tertegun sehingga dia menghentikan langkahnya.
Dengan pandangan mata yang mengandung seribu pertanyaan dia bertanya, “Kiai,
mengapa Kiai Sabda Dadi berada di sini? Apakah Kiai sudah selesai mengobati
kakang Agung Sedayu? Bagaimana keadaan suamiku sekarang?”
Bagaikan ribuan anak panah yang diluncurkan dari busurnya pertanyaan
putri Demang Sangkal Putung yang kaya raya itu menghujam ke jantung Kiai Sabda
Dadi. Kakek Damarpati itu sejenak bagaikan membeku dan tidak tahu jawaban apa
yang harus diberikan kepada istri ki Rangga Agung Sedayu itu.
Namun sebelum orang tua itu menemukan jawaban dari
pertanyaan Sekar Mirah, tiba-tiba saja mereka yang berada di ruang tengah itu
telah dikejutkan oleh bunyi derit pintu bilik tempat Ki Rangga Agung Sedayu
dirawat. Serentak mereka pun berpaling ke arah pintu bilik yang dengan perlahan-lahan
telah terbuka.
Sejenak mereka yang hadir di ruang tengah itu bagaikan
membeku. Di antara cahaya remang lampu dlupak yang ada di sudut ruang tengah
serta cahaya Matahari yang masih lemah menembus celah-celah dinding bilik yang
terbuat dari papan kayu jati, tampak sesosok tubuh tinggi besar dengan pakaian
serba hitam sedang mendukung seorang perempuan muda yang sangat cantik namun
berwajah pucat pasi. Agaknya perempuan muda itu sedang tak sadarkan diri.
“Resi Mayangkara!” Kiai Sabda Dadi berdesis perlahan namun
cukup mengagetkan orang-orang yang ada di sekitarnya.
“O, jadi inikah Resi Mayangkara itu,” hampir semua yag hadir
di ruangan itu berkata dalam hati sambil memandang ke arah orang yang tinggi
besar itu dengan mata tak berkedip.
Memang yang keluar dari bilik itu adalah Resi Mayangkara
dari gunung Kendalisada sambil mendukung Anjani yang sedang pingsan.
“Marilah,” berkata Resi Mayangkara kemudian sambil melangkah
keluar bilik, “Anjani memerlukan udara segar agar kesehatannya pulih kembali.
Agaknya dia terlalu memaksakan diri melampaui batas kemampuannya dalam
mengetrapkan aji seribu bunga untuk membantu Ki Rangga Agung Sedayu mencapai
kesadarannya kembali, sehingga jantungnya hampir saja meledak. Untunglah aku
masih sempat menolongnya.”
Sekar Mirah bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk begitu
Resi Mayangkara menyebut nama suaminya. Dengan memekik kecil, Sekar Mirah pun
segera menghambur ke dalam bilik.
Ternyata Pandan Wangi dan Kiai Sabda Dadi tidak membiarkan
Sekar Mirah sendirian melihat keadaan suaminya. Keduanya pun dengan bergegas
segera menyusul ke dalam bilik. Hanya Ki Waskita yang tidak ikut masuk ke dalam
bilik Ki Rangga. Dengan segera Ki Waskita menyingkirkan mangkuk-mangkuk kotor
dari tengah-tengah tikar pandan yang terbentang di ruang tengah itu agar Resi
Mayangkara dapat membaringkan Anjani.
“Terima kasih,” berkata Resi Mayangkara sambil berjongkok
dan kemudian perlahan-lahan membaringkan Anjani.
“Maafkan aku Sang Resi,” berkata Ki Waskita kemudian sambil
ikut berlutut di sisi Anjani, “Agaknya kita belum pernah bertemu sebelumnya.
Aku bernama Ki Waskita yang masih terhitung kerabat dekat dengan Ki Gede
Menoreh. Kalau aku boleh tahu, apakah sebenarnya yang telah menimpa pada diri
Nini Anjani sehingga dia telah mengalami keadaan seperti ini?”
Sejenak Resi Mayangkara memandang Ki Waskita yang telah
duduk berlutut di hadapannya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Bukankah yang
menemui Anjani di halaman belakang tadi malam adalah Ki Waskita?”
“Benar, Resi,” jawab Ki Waskita, “Aku menemukan Ki Rangga
yang terbujur diam di sebelah perigi di tunggui oleh Nini Anjani yang sedang
menangis.”
Resi Mayangkara menarik nafas dalam-dalam sambil matanya
redup menatap ke arah seraut wajah cantik jelita yang tergolek di hadapannya.
Katanya kemudian, “Aku tahu perasaan apa yang sebenarnya sedang berkembang di
dalam hati Anjani. Namun rasa-rasanya ada keinginan di dalam hatiku untuk
mencoba keteguhan dan ketulusan hatinya, dan ternyata yang telah aku saksikan
adalah perasaan yang benar-benar tulus yang terpancar dari relung hatinya yang
paling dalam.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Agaknya ayah
Rudita ini mulai dapat menangkap hubungan rumit yang sedang membelit dua hati
antara Ki Rangga Agung Sedayu dengan perempuan muda yang bernama Anjani ini.
“Resi,” berkata Ki Waskita setelah sejenak terdiam, “Apakah
benar Nini Anjani ini adalah murid Resi Mayangkara?”
Resi Mayangkara tersenyum tipis. Jawabnya kemudian, “Secara
langsung aku tidak mengambilnya sebagai muridku, namun melihat kesungguhan
hatinya serta tekadnya yang tak pernah kunjung padam dalam meraih masa depan
yang lebih baik dan lebih bermakna bagi kehidupan bebrayan ini, aku telah
tergerak untuk membekalinya dengan ilmu dari perguruan Kendalisada yang tidak
seberapa. Semoga nantinya bermanfaat baginya dalam menggapai cita-citanya.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai orang yang diberi karunia ketajaman
olah batin untuk meraba masa depan, Ki Waskita melihat seolah-olah lingkaran
api yang tidak ada putus-putusnya membelit Ki Rangga Agung Sedayu. Namun
disela-sela lingkaran api yang berkobar-kobar mengerikan, terdapat seuntai
bunga melati yang ikut terseret dalam kobaran api. Betapapun dahsyatnya
gumpalan api yang mencoba menghanguskannya, namun untaian bunga melati itu
bagaikan terbuat dari selembar baja tulen yang tak akan hancur walaupun dibakar
api sepanas apapun.
“Aji seribu bunga adalah salah satu dari sekian ilmu yang
hampir punah,” berkata Ki Waskita di dalam hati, “Jika Anjani mampu menyempurnakannya,
kekuatannya benar-benar nggegirisi. Lawan yang setangguh apapun akan bertekuk
lutut bila terkena pengaruh aji seribu bunga. Semoga Anjani mampu mengendalikan
dirinya dan tidak terseret ke dalam jurang kenistaan karena kekuatan yang
dimiliki oleh Aji Seribu Bunga ini.”
“Namun semua ilmu itu memang tergantung penggunaannya,”
berkata Ki Waskita dalam hati selanjutnya, “Aji Sasra Birawa, Tameng Waja, Rog
Rog Asem atau pun Lembu Sekilan bahkan Lebur Seketi pun yang pernah dimiliki
oleh para sesepuh yang beraliran putih dapat saja diselewengkan jika para
pewarisnya sudah kehilangan kiblat dari tujuan semula dan tidak lagi
menggunakannya untuk kebaikan kehidupan bebrayan ini.”
“Nah, Ki Waskita,” berkata Resi Mayangkara membuyarkan
lamunan Ki Waskita, “Anjani masih memerlukan waktu beberapa saat untuk sadarkan
diri. Aliran darahnya sudah lancar dan pernafasannya pun sudah tidak tersumbat
lagi. Biarlah dia terjaga nanti pada saatnya sehingga dia benar-benar mendapat
waktu yang cukup untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.”
“Resi,” sahut Ki Waskita, “Mengapa Anjani melakukan semua
ini? Maksudku, mengapa dia mengerahkan seluruh tenaga cadangannya sampai
melewati batas kemampuannya?”
Resi Mayangkara kembali tersenyum tipis. Jawabnya kemudian,
“Aku memang ingin mencoba keteguhan dan keikhlasan hatinya. Aji Seribu Bunga
yang dikuasai Anjani memang belum sempurna. Untuk itulah aku menyarankan dia
untuk mengetrapkan Aji Seribu Bunga tanpa mengenakan selembar pakaian pun dan
duduk sedekat mungkin dengan Ki Rangga agar ketajaman wangi seribu bunga dapat
mencapai saraf indera penciuman Ki Rangga dan membangunkannya dari tidur
panjangnya. Atau dia dapat meningkatkan ketajaman bau wangi aji seribu bunga
itu dengan dorongan tenaga cadangannya. Akan tetapi aku sudah memperingatkan
bahwa penggunaan tenaga cadangan yang berlebihan dapat membahayakan keselamatan
dirinya. Namun agaknya dia masih memegang teguh suba sita dan kesopanan dalam
tata kehidupan bebarayan ini. Karena itu lah dia lebih memilih mengerahkan
segenap tenaga cadangannya sampai diluar batas kemampuannya.”
Ki Waskita kini benar-benar paham, mengapa sewaktu pertama
kali bertemu dengan Anjani di bawah rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi,
Anjani tidak dapat menahan tangisnya. Ternyata Resi Mayangkara telah memberinya
dua pilihan yang sangat sulit yang kesemuanya sangat memberatkan hatinya.
“Dengan membawa Ki Rangga ke dalam bilik yang tertutup rapat
dan lampu dlupak dipadamkan, sebenarnya Anjani dapat melakukan tugasnya tanpa
khawatir terlihat oleh orang lain,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Namun
ternyata Anjani adalah perempuan yang sangat teguh memegang suba sita walaupun
yang dihadapinya adalah orang yang sedang tidak sadarkan diri.”
“Apakah tidak sebaiknya Nini Anjani dibawa ke dalam bilik
sebelah agar dapat beristirahat dengan tenang?” berkata Ki Waskita kemudian
setelah beberapa saat mereka terdiam.
“Sebaiknya memang demikian,” jawab Resi Mayangkara, “Setelah
dia sadar nanti, biarlah Kiai Sabda Dadi memberikan reramuan untuk menguatkan
dan mengembalikan kesehatannya.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Resi
Mayangkara. Katanya kemudian, “Mengapa menunggu Kiai Sabda Dadi? Apakah Resi
tidak mempunyai reramuan sejenis itu untuk Anjani?”
Resi Mayangkara tersenyum. Jawabnya kemudian, “Tentu saja
aku juga memilikinya. Namun agaknya aku harus segera kembali ke Gunung
Kendalisada tanpa harus menunggu Anjani tersadar terlebih dahulu.”
Selesai berkata demikian, Resi mayangkara segera bangkit
berdiri sambil mendukung Anjani. Katanya kemudian, “Di bilik manakah sebaiknya
Anjani dibaringkan Ki Waskita?”
Ki Waskita segera bangkit berdiri sambil melangkah ke sebuah
bilik yang terbuka. Bilik itu adalah bilik Pandan Wangi semasa remajanya dahulu
sebelum dia mengikuti suaminya ke Kademangan Sangkal Putung.
Dalam pada itu di dalam bilik Ki Rangga Agung Sedayu, Pandan
Wangi dengan susah payah berusaha menahan Sekar Mirah agar tidak mengganggu
Kiai Sabda Dadi dalam merawat Ki Rangga Agung Sedayu yang perlahan-lahan mulai
menemukan kesadarannya.
“Aku memerlukan air hangat untuk membersihkan reramuan yang
melumuri wajah dan sebagian kepala Ki Rangga,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian
sambil berpaling ke arah Pandan Wangi.
Agaknya Pandan Wangi tanggap dengan permintaan Kiai Sabda
Dadi. Katanya kemudian sambil melepaskan pelukannya pada Sekar Mirah, “Mirah,
aku akan mengambil air hangat di dapur. Tolong kendalikan perasaanmu agar tidak
mengganggu Kiai Sabda Dadi. Sebaiknya kau duduk agak menjauh dari pembaringan
agar Kiai Sabda Dadi lebih leluasa dalam merawat Kakang Agung Sedayu.”
“Ya..ya..mbokayu,” jawab Sekar Mirah diantara sedu sedannya.
Dengan perlahan Sekar Mirah pun kemudian beringsut dari tepi
pembaringan. Diraihnya sebuah dingklik kayu yang terletak di dekat pintu bilik.
Ketika Pandan Wangi kemudian telah melangkah keluar bilik, Sekar Mirah pun
sudah dapat menenangkan hatinya sambil duduk di atas dingklik kayu di ujung
pembaringan suaminya.
Pandan Wangi yang telah melangkah keluar bilik itu masih
sempat berpaling sekilas ke arah Sekar Mirah yang telah duduk di atas dingklik
kayu di ujung pembaringan Ki Rangga agung Sedayu.
“Syukurlah,” desis Pandan Wangi dalam hati, “Sekar Mirah
sudah dapat mengendapkan perasaannya. Bagaimanapun juga aku memahami perasaan
Sekar Mirah. Keadaan Kakang Agung Sedayu memang sempat mengkhawatirkan.
Untunglah semua itu sudah berlalu.”
Tiba-tiba Pandan Wangi yang sedang melangkah keluar bilik
itu teringat kepada Resi Mayangkara dan Ki Waskita yang berada di ruang tengah
beberapa saat yang lalu. Namun kini kedua orang itu tidak tampak sama sekali.
“Kemanakah mereka?” bertanya Pandan Wangi dalam hati sambil
melangkahkan kakinya menyeberangi ruang tengah yang cukup luas. Ketika
pendengarannya yang tajam menangkap sebuah pembicaraan dari dalam bilik yang
berada di hadapannya, Pandan Wangi pun mengerutkan keningnya dalam dalam.
“Siapakah yang berada di dalam bilikku?” bertanya Pandan
Wangi dalam hati.
Dengan bergegas Pandan Wangi segera mengayunkan langkahnya
menuju ke bilik yang dulu pernah ditempatinya semasa dia masih remaja sebelum suaminya
memboyongnya ke Kademangan Sangkal Putung.
Ketika Pandan Wangi kemudian muncul di pintu bilik, Ki
Waskita yang berada di dalam bilik itu pun segera bangkit dari duduknya sambil
menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Ma’afkan aku
Pandan Wangi. Tanpa meminta ijin terlebih dahulu aku telah menawarkan bilik ini
kepada Resi Mayangkara untuk sementara membaringkan Anjani yang belum sadarkan
diri.”
“Anjani,” desis Pandan Wangi perlahan mengulang nama itu.
Dia pun segera teringat perempuan muda yang dalam keadaan tak sadarkan diri
didukung oleh Resi Mayangkara keluar dari bilik Ki Rangga Agung Sedayu beberapa
saat yang lalu.
“Anjani,” kembali Pandan Wangi mengulang nama itu, namun
kali ini hanya di dalam hati. Pandangan matanya pun tak lepas dari wajah cantik
perempuan muda yang tergolek di atas pembaringannya, “Pantas perempuan ini
telah membuat hati Kakang Agung Sedayu resah dan gelisah. Perempuan muda ini
sangat cantik dan bertubuh nyaris sempurna. Aku yakin setiap laik-laki yang bertemu
dengannya pasti akan tertarik oleh kecantikan dan kemolekkan tubuhnya, walaupun
semua itu juga tergantung kepada pribadi masing-masing.”
Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat kepada suaminya yang
kini sedang terbaring sakit dan dirawat oleh Ki Widura di Padepokan Jati Anom.
“Seandainya yang mengalami ini Kakang Swandaru dan bukan
Kakang Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi bagaimana harus mempertahankan
keutuhan rumah tanggaku,” angan-angan Pandan Wangi pun melambung bersama dengan
awan yang berarak-arak di langit yang tinggi.
Ki Waskita yang melihat Pandan Wangi hanya berdiri
termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik segera mengulangi kata-katanya,
“Pandan Wangi, aku mohon maaf sebesar-besarnya jika kami telah lancang
menggunakan bilik ini tanpa meminta persetujuanmu terlebih dahulu.”
“O, tidak..tidak,” sahut Pandan Wangi cepat begitu menyadari
kesalahannya yang tidak menghiraukan ucapan Ki Waskita karena perhatiannya
tercurah kepada Anjani, “Silahkan Ki Waskita. Aku tidak keberatan. Aku tadi
hanya lewat dan mendengar ada suara percakapan di dalam bilik ini. Sebenarnya
aku akan mengambil air hangat di dapur, karena Kiai Sabda Dadi memerlukannya,”
dia berhenti sejenak. Kemudian katanya sambil menganggukkan kepala kepada Resi
Mayangkara yang duduk di sebelah Ki Waskita, “Maafkan aku Resi, aku tidak dapat
menemani Resi Mayangkara dan Ki Waskita, aku minta diri untuk ke dapur
sebentar.”
“Silahkan Nyi,” jawab Resi Mayangkara sambil tersenyum
tipis. Namun sebagai Resi yang weruh sak durunge winarah, dia dapat membaca
rona wajah Pandan Wangi yang penuh dengan gejolak ketika memandangi Anjani yang
sedang tergolek di pembaringannya.
Ketika Pandan Wangi kemudian beringsut dari depan pintu dan
berjalan menuju ke dapur, Resi Mayangkara pun berdesis perlahan, “Alangkah rumitnya
hidup ini dengan hadirnya makhluk yang bernama perempuan.”
“Ah,” Ki Waskita tertawa tertahan mendengar desis Resi dari
gunung Kendalisada itu. Katanya kemudian, “Namun dunia ini memang tidak akan
lengkap tanpa kehadiran mereka.”
“Ki Waskita benar,” sahut Resi Mayangkara, “Namun aku lebih
memilih untuk menghindari keterlibatan mereka dalam kehidupan pribadiku.”
Ki Waskita tersenyum mendengar ucapan Resi Mayangkara.
Katanya kemudian, “Itu adalah keputusan yang telah dibuat oleh Resi dengan
mempertimbangan segala sebab akibat yang akan terjadi kemudian dalam perjalanan
kehidupan Resi.”
“Ah, sudahlah. Biarlah segala sesuatunya berjalan sesuai
dengan kehendak Yang Maha Agung,” Resi Mayangkara berhenti sebentar. Lanjutnya
kemudian, “Ki Waskita, agaknya sudah waktunya aku kembali ke gunung
Kendalisada. Keadaan Ki Rangga dan Anjani sudah tidak mengkhawatirkan lagi.
Semoga mereka berdua dapat menemukan kesesuaian di hari-hari mendatang.”
“Demikianlah harapan kita, Resi,” jawab Ki Waskita sambil
bangkit dari tempat duduknya. Sementara Resi Mayangkara pun telah mendahului
bangkit berdiri.
“Ki Waskita,” berkata Resi Mayangkara kemudian, “Sampaikan
pesanku kepada Ki Rangga untuk berhati-hati. Beberapa orang sedang menunggu
kesehatan Ki Rangga pulih kembali seperti sediakala namun justru untuk
menantangnya kembali dalam sebuah perang tanding. Salah satunya adalah orang
yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasongko dari perguruan Sapta Dhahana yang
telah hadir di tengah-tengah bulak tadi malam setelah kedua muridnya gagal
merebut Ki Rangga Agung Sedayu dari tangan Kiai Sabda Dadi.”
Ki Waskita menjadi berdebar-debar mendengar keterangan Resi
Mayangkara. Sedikit banyak Ki Waskita sudah mendengar perguruan Sapta Dhahana.
“Sapta Dhahana adalah perguruan yang beraliran keras, bahkan
tidak segan-segan mereka melanggar paugeran-paugeran yang berlaku di kehidupan
bebrayan ini,” gumam Ki Waskita perlahan.
“Ki Waskita benar,” sahut Resi Mayangkara sambil mengayunkan
langkahnya menuju ke pintu bilik, “Keberadaan perguruan itu memang sudah lama
menjadi persoalan bagi Kadipaten-Kadipaten yang berada di wilayah pesisir
utara. Karena memang di sana lah perguruan ini mencari penghidupannya.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang perguruan
Sapta Dhahana adalah sebuah berguruan yang tidak menggantungkan penghidupan
mereka pada sawah dan ladang, namun dari hasil mereka menarik upeti terhadap
pedagang-pedagang yang lewat di sepanjang jalur pantai utara serta
kademangan-kademangan yang berada dalam perlindungan mereka, menurut istilah
yang mereka pergunakan.
“Baiklah Ki Waskita,” berkata Resi Mayangkara kemudian
ketika mereka berdua telah berada di ambang pintu bilik, “Sampaikan salam
hormatku kepada Ki Gede Menoreh.”
“Tentu, Resi. Akan aku sampaikan salam Resi kepada Ki Gede.
Semoga Resi sampai di gunung Kendalisada dalam keadaan selamat tanpa kurang
suatu apapun.”
“Terima kasih,” jawab Resi Mayangkara.
Selesai berkata demikian, Resi Mayangkara pun kemudian
melangkah keluar bilik. Setelah menyeberangi ruang tengah yang cukup luas, Resi
mayangkara pun kemudian menghilang di balik pintu pringgitan.
Sejenak Ki Waskita masih berdiri termangu-mangu memandangi
Resi yang aneh itu menghilang di balik pintu pringgitan. Ketika pintu yang
menghubungkan ruang tengah dengan dapur itu terdengar berderit, Ki Waskita pun
berpaling. Tampak Pandan Wangi melangkah memasuki ruang tengah sambil membawa
sebuah belanga yang berisi air hangat. Sementara selembar kain yang bersih
tampak tersampir di pundaknya.
“Siapakah yang sedang Ki Waskita tunggu?” bertanya Pandan
Wangi begitu langkahnya sampai di depan Ki Waskita yang berdiri termangu-mangu.
“Aku tidak sedang menunggu seseorang,” jawab Ki Waskita
sambil tersenyum, “Aku hanya mengantar Resi Mayangkara yang kembali ke gunung
Kendalisada.”
Pandan Wangi tertegun langkahnya sejenak. Dijulurkan
lehernya untuk melongok ke dalam bilik, tampak Anjani yang sedang terbaring
diam di atas pembaringan bagaikan sebuah golek dari batu kencana.
Sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, Pandan Wangi pun
kemudian bertanya, “Mengapa Resi Mayangkara begitu tergesa-gesa kembali ke
gunung Kendalisada? Mengapa tidak menunggu sampai Anjani sadar dan membawanya
serta ke gunung Kendalisada?”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian,
“Mungkin untuk sementara Anjani akan tinggal di Menoreh?”
“He?” terkejut Pandan Wangi mendengar jawaban Ki Waskita.
“Untuk apa?” bertanya Pandan Wangi selanjutnya, “Bukankah
Anjani tidak mempunyai sanak kadang di Menoreh ini? Mengapa dia memilih untuk
tinggal di Menoreh?”
Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
kemudian, “Wangi, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Anjani setelah ini.
Yang aku ketahui Anjani telah mengalami keadaan yang cukup mengkhawatirkan
setelah menolong Ki Rangga mengembalikan keadarannya. Biarlah dia sejenak
tinggal di sini untuk sekedar memulihkan keadaannya. Setelah itu semuanya
tergantung kepada Anjani, kita tidak dapat mengaturnya atau pun memaksanya.”
Berdesir dada Pandan Wangi mendengar Ki Waskita menyebut
nama Anjani yang seolah-olah menjadi satu-satunya orang yang paling berjasa
menolong Ki Rangga menemukan kesadarannya kembali. Hal itulah sebenarnya yang
telah membakar jantungnya. Jauh di lubuk hatinya ada perasaan tidak rela jika
nama Ki Rangga selalu dihubung-hubungkan dengan perempuan muda yang mempunyai
kecantikan luar biasa yang bernama Anjani.
“Wangi,” berkata Ki Waskita kemudian, “Biarlah aku saja yang
membawa air hangat ini untuk Ki Rangga. Sebaiknya kau saja yang menunggu
Anjani. Sebentar lagi dia akan menemukan kesadarannya kembali dan rasanya tidak
pantas jika aku yang menunggunya sendirian di dalam bilik.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Rasa-rasanya ada keseganan di
dalam hatinya untuk menunggu perempuan cantik yang bernama Anjani itu. Namun
dilain pihak dia tidak mungkin menolak permintaan Ki Waskita.
“Kemarikan belanga itu,” desak Ki Waskita sambil menjulurkan
kedua tangannya. Kali ini Pandan Wangi benar-benar tidak dapat menolak.
Diangsurkannya belanga yang ada tangannya serta selembar kain bersih yang
tersampir di pundaknya.
Ketika belanga itu kemudian telah berpindah tangan, dengan
bergegas ki Waskita pun segera melangkah memasuki bilik Ki Rangga.
Untuk beberapa saat Pandan Wangi masih berdiri termangu
mangu sambil mengawasi langkah orang tua itu memasuki bilik Ki Rangga. Baru
setelah bayangan Ki Waskita tidak tampak lagi, Pandan Wangi pun kemudian
berpaling ke arah pintu bilik yang terbuka. Bilik yang pernah ditempatinya
semasa dia masih remaja dan telah banyak mengguratkan segala macam kenangan
sebelum pada akhirnya dia harus pergi meninggalkan tanah Perdikan Menoreh untuk
mengikuti suaminya.
“Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan yang
bernama Anjani ini,” gumam Pandan Wangi dalam hati, “Kenal pun aku tidak. Jika
Kakang Agung Sedayu tidak menyebut namanya beberapa waktu yang lalu di tepian
kali praga, tentu aku tidak peduli dengan kehadirannya di Menoreh ini.”
Sejenak Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam untuk
melonggarkan rongga dadanya yang tiba-tiba saja terasa menjadi pepat. Sambil
melangkah perlahan angan-angannya pun kembali melambung.
“Aku tidak akan membiarkan perempuan ini mengganggu rumah
tangga Sekar Mirah,” kembali Pandan Wangi berkata dalam hati, “Keluargaku
memang sudah berada di pinggir jurang kehancuran, namun aku tidak akan
membiarkan hal ini terjadi pada rumah tangga Sekar Mirah.”
Ketika kaki Pandan Wangi kemudian telah melangkah memasuki
bilik, pertama kali yang dilihatnya adalah tubuh Anjani yang tergolek diam di
atas pembaringan.
Kembali Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Wajah Anjani
yang berbinar seakan membekukan aliran darah putri satu-satu Kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu. Diam-diam dalam hati Pandan Wangi mengakui kecantikan
yang luar biasa dari perempuan yang tergolek di hadapannya.
“Bagaimanakah sebenarnya perasaan Kakang Agung Sedayu terhadap
Anjani?” bertanya Pandan Wangi dalam hati sambil melangkah mendekati
pembaringan. Ditariknya sebuah dingklik kayu yang ada di dekatnya. Sambil
duduk, dia pun kemudian merenungi Anjani yang masih belum sadarkan diri.
Ketika angan-angan Pandan Wangi sedang terbuai dengan
kejadian yang baru saja menimpa tanah kelahirannya itu, tiba-tiba saja
perempuan yang terbaring di hadapannya itu berdesah perlahan sambil
menggerakkan kepalanya. Sementara kedua tangannya pun mulai bergerak-gerak
seperti sedang mencari-cari sebuah pegangan.
“Perempuan ini agaknya mulai sadarkan diri,” desis Pandan
Wangi perlahan sambil pandangan matanya tak lepas dari wajah Anjani.
“Kakang..” tiba-tiba bibir Anjani yang merekah indah itu
berdesah perlahan, “Jangan tinggalkan aku Kakang..”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar
desah Anjani. Putri kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun dapat menduga siapa
orang yang sedang disebut namanya oleh Anjani di alam bawah sadarnya.
Ketika sekali lagi Anjani berdesah sambil menggeliatkan
tubuhnya yang padat berisi, Pandan Wangi pun sudah tidak sabar lagi.
Diguncang-guncangkannya pundak Anjani sambil berkata agak sedikit keras,
“Bangunlah..! Sedari tadi Resi Mayangkara menunggumu untuk diajak kembali ke
gunung Kendalisada sementara kau masih saja bermalas-malasan di tempat tidur.”
Anjani yang masih dalam keadaan antara sadar dan tidak,
terkejut mendengar suara seorang perempuan di dekat telinganya. Dengan segera
dibuka kedua matanya. Untuk sejenak pandangan matanya masih belum dapat menangkap
bayangan yang berada di depannya, namun ketika dia kemudian mengejapkan kedua
matanya berkali-kali, barulah tampak seraut wajah cantik dari seorang perempuan
yang umurnya sudah mendekati setengah abad.
“Siapa..?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya
yang mungil dan memerah basah sambil dia berusaha mengangkat kepalanya.
“Aku, Pandan Wangi, putri kepala Tanah Perdikan Menoreh,”
jawab Pandan Wangi dengan nada suara yang datar.
Terkejut Anjani mendengar jawaban Pandan Wangi. Dengan
bertelekan pada kedua sikunya, dia pun kemudian segera berusaha untuk duduk.
“Putri kepala Tanah Perdikan Menoreh?” Anjani mengulangi
kata-kata Pandan Wangi ketika dia sudah mampu duduk di atas pembaringan.
Dipandanginya wajah perempuan paro baya yang duduk di hadapannya, namun
ternyata Pandan Wangi justru telah melemparkan pandangan matanya menelusuri
dinding-dinding bilik yang terlihat sedikit kotor kehitam-hitaman serta
beberapa sarang laba-laba yang menempel di sudut-sudut bilik.
-oOo-
“Anjani..,” perlahan Ki Rangga berdesah, “Cobalah berpikir
tentang masa depanmu. Itulah yang lebih penting sekarang ini. Aku telah
berjanji membawamu ke Menoreh. Bukankah kau sekarang ini sudah di Menoreh?
Hidup di antara keluargaku?” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi sedikit tersengal, namun kemudian lanjutnya, “Sesungguhnya di antara
kita memang tidak ada suatu ikatan apapun. Aku minta maaf jika tidak dapat
memenuhi harapan yang mungkin sempat melambung di hatimu. Tapi percayalah, jika
memang kau ingin menjadi bagian dari keluargaku, dengan senang hati aku akan
menerimanya.”
Anjani tergugu. Air yang bening mulai menetes dari sudut
matanya yang indah. Bibirnya yang tipis dan berwarna merah dadu itu terkatup
rapat. sedangkan kepalanya tertunduk dalam dalam sehingga gerai rambutnya yang
panjang hampir menyentuh dada ki Rangga Agung Sedayu yang masih tergolek lemah
di atas pembaringan.
Sejenak kemudian, dengan menguatkan hatinya, Anjani berkata
perlahan sambil mengangkat kepalanya, “Kakang, aku memang tidak pernah sekali
pun memahatkan sebuah harapan di dinding hatiku. Aku tahu betapa kotornya
diriku sehingga tidak sepantasnya aku berharap lebih dari apa yang telah kuraih
sekarang ini, yaitu kebebasanku. Justru sekarang ini aku memberanikan diri
menjenguk kakang yang sedang sakit tanpa seijin mbokayu Sekar Mirah untuk
sekedar mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kakang yang telah membebaskan
aku dari kekejaman kedua Guruku, dan selanjutnya aku mohon maaf kalau selama
ini telah membuat hati Kakang menjadi galau dan bersedih.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum tipis. Ketika pandangan Ki
Rangga kemudian tersangkut pada seraut wajah perempuan muda dan cantik yang
duduk di atas dingklik kayu di samping pembaringannya, dada Ki Rangga pun
berdesir tajam. Sepasang mata yang indah dan bening itu pun ternyata sedang
memandangnya pula dengan seribu satu macam perasaan yang bergejolak di dalam
dada.
Berdesir tajam jantung Anjani begitu menyadari sikap Pandan
Wangi kepadanya. Namun sebelum Anjani melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja
terdengar sebuah jerit tangis dari dalam bilik Ki Rangga Agung Sedayu.
Hampir bersamaan kedua perempuan itu mengangkat kepala
sambil mencoba mencermati apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Namun ketika
mereka berdua kemudian mendengar sebuah tawa tertahan dari Ki Waskita, kedua
perempuan itu pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
“Syukurlah, agaknya Kakang Agung Sedayu telah sadar dari
tidur panjangnya,” desis Pandan Wangi sambil bangkit dari tempat duduknya.
Ketika Anjani terlihat ikut beringsut dari tempat duduknya
di pembaringan, Pandan Wangi pun mencegahnya, “Anjani, bukankah namamu Anjani?
Beristirahatlah. Aku akan menengok keadaan kakang Agung Sedayu sebentar. Nanti
akan aku sampaikan kepada Kiai Sabda Dadi tentang keadaanmu. Mungkin kau
memerlukan obat atau sejenisnya untuk mempercepat kesembuhanmu. Selebihnya, aku
akan memberitahu orang-orang yang sedang bekerja di dapur untuk menyiapkan
makan pagi untukmu.”
Anjani menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ada sebuah goresan
pedih terasa menyayat jantungnya. Ternyata Pandan Wangi tidaklah seburuk
sebagaiman kesan pertama yang didapatkannya. Pandan Wangi ternyata cukup
menaruh perhatian terhadap keadaannya.
“Terima kasih, Nyi,” desis Anjani hampir tak terdengar
begitu Pandan Wangi melangkah meninggalkan bilik.
Ketika bayangan putri kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
telah hilang di balik pintu bilik yang tertutup rapat, perlahan-lahan Anjani
pun mengedarkan tatapan matanya ke seluruh ruangan. Ketika pandangan matanya
kemudian tersangkut pada sebuah dlupak di atas ajug-ajug di pojok ruangan,
keningnya pun tampak berkerut merut.
“Seseorang agaknya telah lupa memadamkan dlupak itu,”
berkata Anjani dalam hati sambil beringsut turun dari ranjang, “Hari telah semakin
siang. Sebaiknya aku padamkan dlupak itu.”
Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di
langit sebelah timur. Sinarnya yang cerah mulai terasa menggatalkan kulit. Di
pinggir hutan yang membujur di kaki pebukitan Menoreh sebelah timur tampak
seorang anak muda sedang duduk berteduh di bawah bayangan pohon keluwih yang
tumbuh beberapa langkah dari tepi hutan di antara batang-batang ilalang yang
tumbuh merapat berjajar-jajar.
Tiba-tiba pandangan anak muda yang sedang duduk berteduh itu
menangkap bayangan seseorang yang muncul dari kelokan hutan dan berjalan
perlahan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang terlihat hanya
samar-samar. Jalan setapak yang memang sangat jarang dilalui orang. Hanya para
pemburu dan orang-orang yang menggantungkan mata pencahariannya dari hasil
hutanlah yang sering melalui jalan itu.
Ketika orang yang berjalan di pinggir hutan itu hampir
mencapai pohon keluwih tempat anak muda itu sedang duduk berteduh , tiba-tiba
saja anak muda itu dengan tergopoh-gopoh segera bangkit berdiri sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Guru,” desis anak muda itu kemudian sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam.
Orang yang di panggil Guru itu menoleh. Sejenak dipandangi
wajah anak muda yang berdiri di bawah bayang bayang pohon keluwih. Sambil
melangkah perlahan lahan ke arah anak muda itu, kemudian katanya, “Bagaimana kau
memanggilku Guru, sedangkan kita belum pernah saling mengenal?”
Anak muda yang berdiri di bawah bayang bayang pohon keluwih
itu tiba tiba menjatuhkan dirinya berlutut ketika orang yang berpakaian serba
putih itu telah berdiri di depannya.
“Ampun Kanjeng Sunan, hamba adalah anak muda yang pernah
Kanjeng Sunan tolong sewaktu terjadi ontran ontran di Tanah Perdikan Menoreh
hampir setahun yang lalu.”
Orang yang dipanggil Kanjeng Sunan oleh anak muda itu
sejenak mengerutkan keningnya. Sambil mengamati wajah anak muda yang berlutut
sambil menundukkan kepalanya dalam dalam, dia berkata, “Apakah kau anak muda
yang aku jumpai di pinggir sungai yang membelah Kademangan induk Perdikan
Menoreh waktu itu?”
“Hamba, Kanjeng Sunan.”
“Mengapa kau meninggalkan Gunung Muria? Bukankah kau sudah
berjanji ingin menjadi Santriku?”
Bergetar sekujur tubuh anak muda itu, sambil merangkapkan
kedua tangannya di depan dada dan menundukkan kepalanya dalam dalam, dia
menjawab, “Ampun Kanjeng Sunan, hamba masih mempunyai janji dengan Ki Rangga
Agung Sedayu untuk menuntaskan ilmu kanuragan yang telah dijanjikan kepada
hamba.”
“O..,” Kanjeng Sunan itu tersenyum sambil mengangguk
anggukkan kepalanya, “Jadi kau masih ragu ragu dengan ilmu kasampurnaning
ngaurip yang akan aku ajarkan dibandingkan dengan segala macam ilmu kanuragan
itu?”
Untuk beberapa saat anak muda itu bagaikan membeku. Perasaan
bersalah telah melanda hatinya.
—ooOoo—
Lanjut keTaDbM 411
Komentar
Posting Komentar