Terusan Apu Dibukit Menoreh Jilid 410

Buku 410
ALANGKAH dahsyatnya Kemampuan orang ini dalam menyerap bunyi dan mengaburkan pengamatan batin sehingga kehadirannya telah luput dari pantauan ajiku sapta pangrungu,” desis Kiai Sabda Dadi dalam hati sambil mencoba mengenali wajah yang terlihat samar-samar dari tempat Kiai Sabda Dadi berdiri.
Namun belum sempat Kiai Sabda Dadi menduga-duga siapakah orang yang datang paling akhir itu, tiba-tiba saja Punjul dan Wareng telah maju beberapa langkah. Kemudian hampir bersamaan mereka menyapa sambil membungkukkan badan mereka dalam-dalam.
“Selamat malam Guru. Bakti dari kami kedua murid perguruan Sapta Dhahana.”
Ternyata Secaprana dan Secabawa juga mengenali orang itu. Berkata mereka berdua kemudian, “Selamat datang Kiai Damar Sasongko.”
Orang yang dipanggil guru oleh Punjul dan Wareng itu memang pemimpin perguruan Sapta Dhahana dari lereng gunung Tidar, Kiai Damar Sasongko.
“Nah,” berkata Kiai Damar Sasongko kemudian sambil meloncat turun dari tanggul. Gerakannya hampir tidak kasat mata. Seolah-olah tubuh tinggi besar itu begitu saja melayang turun tanpa memakai ancang-ancang, “Aku sangat setuju dengan murid-murid Kumuda, bahwa kita memang bukan segolongan pengecut yang hanya berani membunuh orang yang tak berdaya. Perguruan Sapta Dhahana tidak akan menodai nama perguruan dengan perbuatan pengecut.”
Sejenak Kiai Damar Sasongko berhenti. Diedarkan pandangan matanya menyapu ke sekelilingnya. Ketika tatapan matanya yang menyala bagaikan sepasang mata burung hantu di dalam gelap itu tersangkut pada seraut wajah tua, wajah Kiai Sabda Dadi, untuk beberapa saat pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tertegun.
Dengan langkah perlahan namun mantap, akhirnya pemimpin perguruan dari lereng gunung Tidar itu mendekat ke tempat Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi berdiri.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Damar kemudian sesampainya dia di hadapan Kiai Sabda Dadi, “Siapakah Ki Sanak ini? Rasa-rasanya kita pernah bertemu sebelumnya.”
“Ah,” desah Kiai Sabda Dadi sambil tersenyum, “Itu mungkin hanya perasaan Ki Sanak saja. Sebenarnyalah kita belum pernah saling bertemu dan saling mengenal.”
Kiai Damar mengangguk anggukkan kepalanya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Kiai Sabda Dadi. Kiai Damar merasa pernah mengenal atau setidaknya bertemu muka dengan orang tua yang kini berdiri di hadapannya. Sebenarnya pemimpin perguruan dari lereng Tidar itu ingin mengetahui nama atau gelar dari orang tua yang telah menarik hatinya itu. Namun kesombongan dan keangkuhan hatinya lah yang membuat Kiai Damar menahan diri untuk bertanya.
“Baiklah,” akhirnya Kiai Damar memutuskan, “Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ki Rangga Agung Sedayu yang namanya telah kawentar di sepanjang pesisir utara pulau ini dan juga di seluruh kadipaten bawahan Mataram, telah berhasil mengalahkan Panembahan Cahya Warastra yang menurut berita telah kalis dari segala macam sakit bahkan kematian,” guru padepokan Sapta Dhahana itu berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Hatiku telah tergelitik untuk mencoba kedahsyatan ilmunya. Untuk itu aku akan memberinya batas waktu sampai sebulan penuh untuk memulihkan kesehatannya kembali. Dan jika dalam waktu sebulan Ki Rangga belum pulih seperti sediakala, aku akan berbaik hati untuk menambah sepuluh hari, ingat hanya sepuluh hari. Setelah itu aku tidak akan peduli lagi, apakah Ki Rangga siap atau tidak siap aku akan membunuhnya.”
Berdesir dada Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi. Mereka berdua sadar bahwa waktu yang hanya sebulan untuk memulihkan kesehatan Ki Rangga yang terluka parah hampir tidak masuk akal. Walaupun sudah ditambah sepuluh hari, namun mereka berdua tetap tidak yakin bahwa Ki Rangga akan siap pada waktunya. Sementara pengawal Menoreh yang tidak begitu paham dengan ilmu pengobatan justru merasa bersyukur. Waktu sebulan baginya adalah sangat panjang, dan dia yakin orang-orang yang sombong ini nantinya akan tergilas oleh dahsyatnya ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.
“Baiklah, kami segera minta diri,” berkata Kiai Damar kemudian tanpa menghiraukan tanggapan dari ketiga orang Menoreh itu, “Carilah tabib terbaik untuk segera dapat memulihkan kesehatan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku akan sangat kecewa jika sampai batas waktu yang aku berikan ternyata Ki Rangga belum siap untuk berperang tanding.”
“Sebentar Ki Sanak,” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi menyela, “Apakah sebenarnya kepentingan Ki Sanak dengan Ki Rangga sehingga Ki Sanak telah menetapkan batas waktu untuk berperang tanding? Bukankah Ki Rangga juga mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya sehubungan dengan kepentingan Ki Sanak itu?”
Kiai Damar tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Terbunuhnya kakang Pideksa sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhnya sekarang juga, melawan atau pun tidak melawan. Namun aku masih menjunjung tinggi sifat-sifat kejantanan sehingga aku memutuskan untuk memberinya waktu sebulan lebih sepuluh hari.”
“Ki Sanak,” Pandan Wangi yang sedari tadi diam saja ternyata telah terusik untuk menyatakan pendapatnya, “Bukankah perang tanding antara Ki Rangga melawan Ki Ajar Kumuda itu sudah berlaku sangat adil? Siapapun yang keluar dari medan perang tanding itu masih dalam keadaan hidup tidak akan dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan? Sebagaimana yang telah diceritakan oleh kedua muridnya yang menjadi saksi pada waktu itu bahwa Ki Ajar Kumuda meminta dari pihak perguruan Kumuda untuk tidak membalas dendam atas peristiwa itu?”
“Persetan!” geram Kiai Damar, “Persoalannya telah bergeser kepada harga diri sebuah perguruan. Aku sebagai saudara muda Ki Ajar Kumuda akan membuktikan bahwa kami masih mempunyai kekuatan yang pantas untuk diperhitungkan. Memang menurut kedua muridnya, kakang Pideksa telah berpesan untuk tidak membalas dendam sejalan dengan kemampuan kedua murid utamanya yang masih terpaut sangat jauh dengan kemampuan Ki Rangga. Namun itu bukan berarti bahwa perguruan Kumuda tidak akan bangkit lagi untuk membalaskan sakit hati ini. Sekarang ada aku, saudara muda Kakang Pideksa walaupun pada perkembangan selanjutnya kami berguru pada guru yang berbeda, namun ikatan batin sebagai saudara seperguruan tidak akan pernah lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan.”
Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar penuturan Kiai Damar. Agaknya dendam benar-benar telah membutakan hati orang itu.
“Kami akan pergi,” gumam Kiai Damar hampir tak terdengar sambil mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Kemudian katanya kepada kedua muridnya dan kedua murid Ki Ajar Kumuda, “Kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini. Sebulan lebih sepuluh hari lagi kita akan kembali dan akan tuntaslah sudah dendam dan penghinaan yang selama ini kita tanggung.”
Dengan sekali loncat, Kiai Damar pun menghilang dalam gelapnya malam. Sementara kedua muridnya dan murid-murid Kumuda masih berdiri termangu-mangu. Baru sejenak kemudian keempat orang itu pun melangkah mengikuti Kiai Damar yang sudah pergi terlebih dahulu.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berkata perlahan untuk mencairkan ketegangan yang terasa mencekam setiap dada, “Tinggal beberapa langkah lagi kita akan segera sampai di kediaman Ki Gede Menoreh.”
Pandan Wangi mengangguk. Tanpa terasa setitik air mengambang di kedua sudut matanya. Sebentar lagi dia akan sampai ke rumahnya yang telah sekian lama ditinggalkan, walaupun kadangkala dia bersama suaminya jika ada kepentingan masih sempat menengok rumah itu. Namun setiap kali dia datang ke Menoreh, selalu saja getaran rindu bercampur pilu mengaduk-aduk dadanya. Betapa kenangan indah dan sekaligus pahit telah terlukis di dinding-dinding rumah itu yang tak mungkin terhapuskan oleh berjalannya waktu.
Pengawal Menoreh itu segera tanggap. Dengan segera dia naik di bagian depan pedati untuk mengendalikan jalannya lembu-lembu penarik pedati. Sementara Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi telah berjalan beriringan menuju bagian belakang pedati.
Namun alangkah terkejutnya kedua orang itu begitu mereka sampai di belakang pedati. Jerami yang pada awalnya menutupi tubuh Ki Rangga itu ternyata telah berserakan dan tercecer sebagian jatuh ke tanah. Sedangkan tubuh Ki Rangga yang sebelumnya tergeletak di lantai pedati telah raib entah ke mana.
“Kakang!” jerit Pandan Wangi begitu menyadari Ki Rangga telah lenyap tak berbekas. Dengan kedua tangan gemetar putri kepala Tanah Perdikan Menoreh itu menyibakkan beberapa onggokan jerami yang masih tersisa. Namun tubuh Ki Rangga benar-benar telah lenyap.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari sesuatu pasti telah terjadi dengan hilangnya Ki Rangga segera mengetrapkan aji sapta pangrungu dan aji sapta pandulu. Dicobanya untuk mendengarkan setiap gerak yang mungkin dapat dijadikan pancatan untuk melacak keberadaan Ki Rangga. Demikian juga pandangan matanya yang menjadi sangat tajam berlipat-lipat telah mencoba menembus pekatnya malam. Namun usaha itu ternyata tidak membawa hasil. Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar telah lenyap bagaikan di telan bumi.
Untuk beberapa saat Kiai Sabda Dadi dan Pandan Wangi hanya berdiri membeku. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Sementara pengawal Menoreh yang sudah siap menggerakkan cambuknya untuk menghela lembu-lembu pedati itu terkejut begitu mendengar Pandan Wangi menjerit.
“Ada apa Kiai?” tanya pengawal Menoreh itu sambil berpaling ke belakang.
Kiai Sabda Dadi termangu-mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam akhirnya dia menjawab, “Ki Rangga tidak ada di tempatnya.”
“He!” pengawal Menoreh itu terlonjak dari tempat duduknya. Dengan cepat dia meloncat masuk ke dalam pedati. Namun yang dijumpainya hanyalah jerami-jerami yang berserakan.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Kiai?” tanya pengawal itu dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam dadanya.
Kiai Sabda Dadi menggeleng lemah, “Aku tidak tahu dan tidak berani menduga-duga.”
Untuk sejenak ketiga orang itu hanya dapat berdiam diri. Sementara Pandan Wangi sudah mulai terisak-isak. Walaupun dengan sekuat tenaga dicobanya untuk menahan tangisnya, namun rasa-rasanya tangis itu telah berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya sehingga untuk beberapa saat Pandan Wangi bagaikan tercekik.
“Sudahlah,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berusaha mencairkan suasana, “Sekarang kita hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga Yang Maha Agung selalu melindungi hambaNya.”
Hampir bersamaan Pandan Wangi dan pengawal itu mengangguk. Namun tetap saja kegelisahan menghentak-hentak dada ketiga orang itu.
“Kiai,” berkata pengawal itu setelah beberapa saat mereka terdiam, “Bagaimanakah rencana kita selanjutnya? Tetap menuju ke kediaman Ki Gede atau kembali ke padukuhan induk?”
Kiai Sabda Dadi termenung. Berbagai pertimbangan bergejolak dalam dadanya. Namun akhirnya kakek Damarpati itu pun mengambil keputusan, “Kita teruskan perjalanan. Nyi Pandan Wangi memerlukan istirahat yang cukup. Sesampainya di kediaman Ki Gede nanti, aku akan menggunakan kuda untuk kembali ke padukuhan induk.”
Pandan Wangi dan pengawal itu hanya dapat mengangguk-angguk. Agaknya itu adalah jalan yang terbaik untuk sementara ini.
Demikianlah akhirnya pedati itu kembali merayap di atas jalan berbatu-batu menuju ke kediaman Ki Gede yang tinggal beberapa langkah lagi.
Dalam pada itu, pertempuran di depan gerbang padukuhan induk sudah benar-benar berakhir. Para pengikut Panembahan Cahya Warastra kebanyakan telah melarikan diri mencari selamat dari pada tertawan oleh prajurit Mataram. Sedangkan sebagian yang lainnya banyak yang terluka bahkan terbunuh di medan pertempuran.
Pertempuran si sayap kanan dari gelar Garuda Nglayang pasukan Mataram juga telah berhenti. Berkat bujukan dan rayuan dari Nyi Citra Jati yang telah kehilangan lawannya, akhirnya murid-murid perguruan Pamulatsih memilih menyerah.
“Percayalah. Kami tidak akan memperlakukan kalian dengan semena-mena,” berkata Nyi Citra Jati sambil menghampiri keenam murid perguruan Pamulatsih yang semuanya perempuan.
“Apakah kalian akan mengikat kedua tangan kami dan menggiring kami sepanjang jalan layaknya budak-budak tawanan?” bertanya salah seorang yang berwajah bulat dan bertahi lalat di dagu.
“Tentu tidak,” Padmini lah yang dengan serta merta menjawab, “Kalian bebas berjalan bersama kami menuju ke padukuhan induk. Hanya saja demi keamanan dan ketertiban, kami mohon senjata-senjata kalian diserahkan.”
Untuk sejenak murid-murid Pamulatsih itu saling berpandangan. Namun ketika yang tertua diantara mereka menganggukkan kepala, senjata-senjata mereka pun kemudian dengan rela hati harus diserahkan.
Seorang prajurit Mataram dengan sigap segera mengikat senjata-senjata yang telah diserahkan itu dan membawanya ke luar medan pertempuran untuk digabungkan dengan senjata-senjata yang lain.
“Marilah,” berkata Nyi Citra Jati kemudian sambil membimbing salah seorang murid Pamulatsih, “Kita tinggalkan medan pertempuran ini. Sebaiknya kita beristirahat di padukuhan induk. Pada saatnya nanti aku akan menghadap Ki Gede Menoreh dan Ki Patih Mandaraka untuk memohonkan ampunan bagi kalian sehingga kalian akan aku angkat sebagai anak-anakku dan aku persaudarakan dengan anak-anakku yang terdahulu.”
Kata-kata Nyi Citra Jati itu bagaikan tetesan embun di tengah padang tandus. Menyejukkan dan sekaligus memberikan harapan bagi masa depan mereka yang lebih baik.
Beberapa saat kemudian, dengan berjalan beriringan mereka telah meninggalkan medan pertempuran menuju ke padukuhan induk. Sementara Ki Citra Jati dengan di bantu kedua Putut dari jati Anom itu telah mendekati lingkaran pertempuran Mlayawerdi melawan Alap-Alap Siwurbang.
“Kita mendekat,” berkata Ki Citra Jati kepada kedua Putut itu.
Putut Darpa dan Putut Darpita hanya mengangguk sambil mengikuti langkah ki Citra Jati.
Sesampainya mereka di pinggir arena pertempuran, tampak kedua orang yang sedang bertempur itu sudah tidak dapat mengekang diri lagi. Keduanya agaknya telah merambah pada puncak ilmu masing-masing dan siap untuk dibenturkan.
Trisula di tangan Alap-Alap Siwurbang tampak menyala di malam yang gelap. Ujung-ujung trisula itu bagaikan menyemburkan lidah api yang siap menghanguskan tubuh lawannya. Sementara Mlayawerdi yang bersenjatakan sebilah pedang telah mengetrapkan puncak ilmunya, Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Alap-alap Siwurbang yang meloncat tinggi sambil menghunjamkan dengan deras ujung trisulanya ke dada Mlayawerdi telah membentur aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Namun kekuatan yang terpancar pada pedang Mlayawerdi berlandaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce ternyata tidak mampu menahan laju ujung trisula yang bagaikan menyala itu. Beruntung sebelum ujung trisula itu menyentuh dadanya, Mlayawerdi masih sempat mengungkitnya sehingga arah sasarannya menjadi sedikit berbelok tidak jadi menghunjam jantung namun hanya merobek pundak kirinya.
Sementara getaran pedang Mlayawerdi yang berlandaskan pada aji Pacar Wutah Puspa Rinonce ternyata telah mampu menyusup pertahanan Alap-alap Siwurbang. Kekuatan aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu bagaikan ribuan jarum yang menyusup menembus kulit dan daging serta akhirnya melumatkan jantungnya.
Terdengar umpatan yang sangat kasar dari mulut Alap-alap Siwurbang sebelum tubuhnya yang melayang itu jatuh terjerambab ke tanah. Sementara Mlayawerdi yang terdorong beberapa langkah ke belakang karena kekuatan lawannya segera berguling ke samping agar tidak tertimpa tubuh lawannya.
“Mlayawerdi?” teriak Ki Citra jati sambil melangkah memasuki lingkaran pertempuran, “Kau tidak apa-apa?”
Sejenak Mlayawerdi belum menjawab. Dibiarkan tubuhnya terlentang sambil mencoba mengatur pernafasannya yang terasa bagaikan tersumbat. Sementara perasaan panas dan pedih telah menyengat pundak kirinya.
Ki Citra Jati yang telah berjongkok di samping tubuhnya segera memeriksa luka di pundak kirinya. Luka itu tampak mengalirkan darah cukup deras serta sebagian kulit di pundaknya telah hangus terbakar.
“Duduklah,” berkata Ki Citra Jati kemudian sambil membantu Mlayawerdi bangkit, “Lukamu cukup parah. Aku akan menaburkan obat hanya untuk sementara memampatkan aliran darah, sedangkan luka bakar ini harus dirawat dengan sungguh-sungguh.”
Mlayawerdi hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab. Ketika Ki Citra Jati kemudian menaburkan sejenis serbuk berwarna kehitam-hitaman di atas lukanya, tampak Mlayawerdi untuk beberapa saat mengatupkan giginya rapat-rapat menahan rasa sakit yang bagaikan membakar pundak kirinya.
Demikianlah akhirnya, dengan dibantu kedua Putut dari jati Anom, Mlayawerdi telah dipapah menuju padukuhan induk untuk mendapatkan perawatan yang semestinya.
Dalam pada itu, di tengah padang rumput yang tidak begitu luas dan terlindung oleh gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak seseorang yang bertubuh tinggi besar dengan sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu putih sedang merenungi sesosok tubuh yang tergeletak di hadapannya.
“Eyang Resi,” tiba-tiba seorang perempuan muda yang sangat cantik yang duduk bersimpuh di sampingnya membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya Ki Rangga kita bawa saja ke gunung Kendalisada? Di sana Eyang Resi dapat mengobati Ki Rangga dan aku yang akan merawatnya sehari-hari. Dengan demikian Ki rangga dapat sembuh dengan cepat dan tidak terganggu oleh keadaan di sekitarnya yang dapat berkembang tidak menentu.”
Orang yang dipanggil Eyang Resi itu memang Resi Mayangkara. Beberapa saat yang lalu seorang pengawal Menoreh telah mendahului perjalanan Kiai Sabda Dadi dengan menggunakan seekor kuda untuk memberitahu keadaan Ki Rangga kepada keluarga di kediaman Ki Gede Menoreh. Anjani yang mendengar Ki Rangga telah terluka segera mencari Resi Mayangkara di halaman belakang.
“Eyang Resi,” panggil Anjani sesampainya dia di halaman belakang yang gelap gulita, “Dimanakah Eyang?”
Resi Mayangkara yang menyadari Anjani pasti sedang memerlukan bantuannya segera muncul dari kegelapan sambil menyapa, “Ada apa Anjani?”
“Eyang,” berkata Anjani sambil menghampiri Resi Mayangkara, “Ki Rangga Agung Sedayu telah terluka di medan pertempuran. Apakah tidak sebaiknya kalau kita menyusulnya ke padukuhan induk?”
Sejenak Resi Mayangkara merenung. Kemudian jawabnya, “Anjani, di sana sudah ada Ki Patih Mandaraka. Kehadiran kita mungkin tidak begitu diperlukan. Lebih baik kita menjaga kediaman Ki Gede Menoreh saja.”
“Ah, Eyang ini,” bibir yang mungil dan lembut itu tampak cemberut, “Ki Rangga di medan pertempuran telah terluka sedangkan di sini kita hanya berpangku tangan saja. Apakah itu pantas?”
Resi Mayangkara mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Masalahnya bukan pantas dan tidak pantas, namun masing-masing mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.”
“Kita tidak meninggalkan tugas,” tukas Anjani dengan cepat, “Namun lebih dari itu, kita berjalan menuju padukuhan induk sambil meronda di sepanjang jalan yang menuju ke sana. Barangkali ada hal-hal yang mencurigakan dan perlu mendapatkan perhatian sehingga apabila ada rencana Ki Rangga dibawa pulang ke kediaman Ki Gede, keamanan di sepanjang jalan sudah terjamin.”
Resi Mayangkara menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Resi yang waskita itu sudah paham apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Anjani. Anjani ingin segera mengetahui keadaan Ki Rangga.
Akhirnya Resi Mayangkara tidak dapat menolak. Tanpa sepengetahuan para penghuni rumah Ki Gede serta para pengawal yang berjaga, Resi Mayangkara telah berangkat menuju padukuhan induk bersama Anjani.
Ketika di tengah perjalanan panggraita Resi Mayangkara yang sangat tajam itu menyentuh getaran yang sedang terjadi di tengah bulak, Resi Mayangkara segera memerintahkan Anjani untuk bersembunyi di antara gerumbul-gerumbul di tengah padang itu. Sementara dia menyelamatkan Ki Rangga Agung Sedayu.
Demikianlah akhirnya Ki rangga Agung sedayu telah dibawa Resi Mayangkara ke tengah padang rumput tempat Anjani menunggu.
“Bagaimana Eyang?” kembali Anjani bertanya. Jari jemari lentik itu telah mencengkeram lengan Resi Mayangkara dan mengguncang-guncangkannya, “Aku berjanji untuk tinggal di gunung Kendalisada jika Eyang Resi membawa Ki Rangga dan mengobatinya di gunung Kendalisada.”
“Anjani,” dengan sareh Resi Mayangkara menjawab, “Ki Rangga mempunyai keluarga di Menoreh. Biarlah keluarganya saja yang merawatnya, kita tidak usah ikut campur. Untuk pengobatannya aku dapat memberi beberapa petunjuk kepada keluarga atau tabib yang merawatnya sebelum aku kembali ke gunung Kendalisada.”
“Jadi Eyang Resi setelah ini segera kembali ke gunung Kendalisada?” mata yang biasanya berbinar indah dan cemerlang itu menatap Resi Mayangkara dengan sinar mata yang redup, seredup sinar matahari senja.
“Ya, Anjani,” jawab Resi Mayangkara dengan sareh tanpa berpaling, “Tidak ada sesuatu pun yang menahanku di Menoreh ini. Bukankah kedatanganku ke tanah Perdikan yang subur ini hanya atas permintaanmu?”
Untuk beberapa saat Anjani membisu. Memang tidak ada yang bisa menahan Resi Mayangkara untuk tetap tinggal di Menoreh. Sedangkan dirinya, apakah sebenarnya yang akan dikatakan kepada Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu jika pada saatnya nanti Sekar Mirah ingin mengetahui lebih jauh tentang jati dirinya?
Angin malam yang dingin mulai terasa menggigit tulang. Langit yang bersih tanpa mendung selembar pun tampak gemerlapan dihiasi berjuta-juta bintang gemintang. Sementara burung-burung malam dan sejenisnya telah lama berkeliaran mencari mangsa. Burung kedasih yang bertengger di dahan sebuah pohon randu alas sebesar pelukan orang dewasa yang tumbuh di pinggir padang itu suaranya terdengar ngelangut sampai ke ujung bulak.
Anjani menarik nafas panjang, panjang sekali. Dadanya yang membusung itu rasa-rasanya ingin menampung seluruh udara yang ada di padang perdu. Ketika sudut matanya mencoba mencuri pandang ke arah Resi Mayangkara yang duduk di sebelahnya, Resi yang Waskita itu tampak menundukkan kepalanya sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Ada beberapa pilihan yang dapat Kau jadikan sebagai landasan untuk menentukan masa depanmu, Anjani,” tiba-tiba Resi Mayangkara berdesis perlahan sambil mengangkat kepalanya, “Tinggal di Menoreh dalam lingkungan keluarga Ki Rangga adalah salah satu pilihan. Sementara ikut aku ke gunung Kendalisada adalah pilihan lain yang mungkin dapat Kau pertimbangkan.”
Anjani hanya menundukkan kepala sambil jari-jemarinya yang lentik tak henti-hentinya mencabuti rumput yang terhampar di hadapannya. Sesekali sepasang mata yang indah dan jernih bak berlian itu menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu yang tergolek diam. Kadang dia merasa alangkah dekatnya Ki Rangga itu dengan dirinya sehingga dengan mudah dia dapat menggapainya? Namun di saat yang lain, betapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk merengkuh hati laki-laki yang telah menjadi pujaan hatinya itu.
“Bagaimana Anjani?” tiba-tiba pertanyaan dari Resi Mayangkara telah membuyarkan lamunannya.
“Entahlah Eyang,” desah Anjani sambil meluruskan kedua kakinya, “Jika ada pilihan lain yang mungkin lebih baik dari kedua pilihan itu, aku lebih senang untuk memilihnya.”
Resi Mayangkara berpaling sambil mengerutkan keningnya, “Apakah Kau mempunyai pilihan lain selain kedua pilihan yang telah aku sebutkan tadi.”
Kepala yang indah itu menggeleng lemah. Jawabnya kemudian dengan suara yang lemah, “Aku tidak tahu Eyang.”
Sejenak suasana menjadi sepi kembali. Hanya suara binatang-binatang malam yang bersahut sahutan dalam sebuah irama yang ajeg. Semilir angin yang sesekali bertiup telah membuat rambut Anjani yang tergerai itu beriak-riak bagaikan aliran air di sungai yang jernih. Ketika suatu saat angin bertiup agak kencang, dagu yang runcing bak lebah bergantung itu terangkat sedikit sehingga sinar bintang yang jauh di puncak langit telah menyentuhnya dan menerangi seraut wajah cantik dan sempurna. Kecantikan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata, kecantikan yang hanya dapat ditandingi oleh dewi-dewi kahyangan dalam cerita babat dan dongeng-dongeng.
Malam telah menuju puncaknya. Sesekali terdengar gonggongan anjing-anjing liar jauh di hutan yang membujur di sebelah utara padukuhan induk. Gardu ronda yang berada di dekat regol kediaman Ki Gede Menoreh telah dipukul dengan nada dara muluk. Malam ternyata telah sampai ke puncaknya.
Ketika pendengaran Resi Mayangkara yang sangat tajam itu tersentuh oleh bunyi kelinting lembu-lembu penarik pedati yang membawa Pandan Wangi menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh, Resi yang waskita itu pun segera menyadari bahwa sudah saatnya untuk membawa Ki Rangga Agung Sedayu menyingkir dari tempat itu.
“Marilah Anjani,” berkata Resi Mayangkara kemudian, “Pedati itu agaknya sudah bergerak lagi. Kita harus segera menyesuaikan diri.”
Anjani sekilas berpaling. Dicobanya untuk mempertajam pendengarannya namun keberadaan pedati itu memang masih cukup jauh.
“Sudahlah Anjani,” akhirnya Resi Mayangkara bangkit dari tempat duduknya. Dengan sedikit membungkukkan badan, diangkatnya tubuh Ki Rangga yang tergolek diam diatas rerumputan, “Marilah kita antar Ki Rangga ke kediaman Ki Gede Menoreh agar segera mendapatkan perawatan yang semestinya.”
Tidak ada jalan lain bagi Anjani selain mengikuti langkah Resi Mayangkara yang mendukung Ki Rangga Agung Sedayu berjalan di antara gerumbul-gerumbul liar menyebarangi padang rumput yang tidak begitu luas itu menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu di padukuhan induk Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh dibantu oleh Ki Citra Jati telah mengatur korban-korban yang terluka baik dari pihak Mataram maupun dari pengikut Panembahan Cahya Warastra. Demikian juga korban-korban yang telah gugur dari kedua belah pihak telah dikumpulkan di sebuah pendapa terpisah.
Ketika Ki Jayaraga sedang merenungi tubuh-tubuh yang telah membeku dan berjajar-jajar di pendapa, dua orang pengawal Menoreh telah berlari-lari mendapatkannya.
“Ki Jayaraga!” seru salah satu pengawal itu sambil mencoba menguasai nafasnya yang memburu, “Mayat Panembahan Cahya Warastra telah hilang.”
“He!” terkejut Ki Jayaraga sambil bangkit berdiri, “Apa katamu? Mayat Panembahan Cahya Warastra hilang?”
“Ya, Ki,” jawab kedua pengawal itu hampir bersamaan, “Ketika kami berdua menyisir bekas tempat perang tanding Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra, kami tidak menemukan sebuah mayat pun.”
Ki Jayaraga sejenak menarik nafas panjang untuk meredakan getar di dalam dadanya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Ah, itu mungkin kalian saja yang sudah terlambat. Para prajurit Mataram telah mengambilnya terlebih dahulu.”
Untuk beberapa saat kedua pengawal itu saling berpandangan. Namun salah satunya segera menyahut, “Itu mungkin sekali, Ki. Namun yang sangat mengejutkan, di bekas tempat perang tanding itu kami bertemu dengan seseorang yang mencari Ki Rangga Agung Sedayu.”
“He?” kembali Ki Jayaraga terkejut, “Ada yang ingin bertemu dengan Ki Rangga?” Ki Jayaraga berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Apakah kalian mengenalinya?”
Kedua pengawal itu menggeleng. Jawab salah satu dari keduanya kemudian, “Ketika kami sedang mencari mayat Panembahan yang sakti itu, tiba-tiba seseorang telah berdiri di hadapan kami bagaikan muncul begitu saja dari kegelapan.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, “Bukankah kalian membawa penerangan sehingga bisa mengenali wajah orang itu dengan jelas?”
“Kami membawa obor,” jawab salah satu pengawal itu dengan serta merta, “Namun begitu orang itu muncul di hadapan kami, tiba-tiba saja obor yang kami bawa telah padam.”
Jantung tua Ki Jayaraga rasa-rasanya berpacu semakin cepat. Berbagai dugaan telah tumbuh di hatinya.
“Mungkinkah cerita tentang Panembahan yang sakti dan telah terhindar dari segala rasa sakit dan kematian itu benar adanya?” berkata Ki Jayaraga dalam hati.
“Tidak ada orang yang mempunyai kemampuan seperti itu,” angan-angan itu dibantahnya sendiri, “Selama masih berujud manusia, dia tidak akan luput dari rasa sakit dan kematian.”
“Bagaimana, Ki?” tiba-tiba pertanyaan salah satu pengawal itu telah membuyarkan lamunan Ki Jayaraga.
“Apakah orang itu menyebutkan kepentingannya mencari Ki Rangga?” bertanya Ki Jayaraga kemudian setelah sejenak terdiam.
“Ya, Ki,” jawab mereka bersamaan.
“Untuk apa?”
Sejenak kedua pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya salah satu menjawab, “Orang itu menunggu Ki Rangga di bekas arena perang tanding.”
“He?” kali ini Ki Jayaraga benar-benar terkejut bukan alang-kepalang. Katanya kemudian sambil menggeram, “Baiklah, kalau memang Panembahan itu hidup lagi, apapun yang terjadi, aku lah lawannya sekarang.”
Selesai berkata demikian Ki Jayaraga dengan tergesa-gesa segera menuruni tlundak pendapa dan berjalan melintasi halaman menuju ke bekas tempat perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra di luar dinding padukuhan induk.
Kedua pengawal itu terkejut begitu menyadari Ki Jayaraga dengan cepat telah berlalu dari tempat itu. Dengan setengah berlari keduanya pun berusaha mengejar guru Glagah Putih itu.
“Sebentar, Ki Jayaraga!” hampir bersamaan kedua pengawal itu berteriak memanggil.
Sejenak Ki Jayaraga menghentikan langkahnya. Katanya kemudian sambil memutar tubuhnya, “Ada apa lagi?”
“Ki Jayaraga,” berkata salah satu dari keduanya setelah tiba di hadapan Ki Jayaraga, “Apakah tidak sebaiknya kita melaporkan kejadian ini kepada Ki Gede Menoreh terlebih dahulu?”
Ki Jayaraga termangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam akhirnya dia pun menjawab sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Agaknya aku memang terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan. Lebih baik masalah ini kita laporkan terlebih dahulu kepada Ki Gede Menoreh.”
Demikianlah akhirnya mereka bertiga berjalan beriringan menuju ke rumah yang dijadikan sebagai tempat penampungan bagi mereka yang terluka. Rumah itu hanya khusus untuk yang terluka parah, sedangkan bagi yang terluka ringan dan tidak terlalu membahayakan jiwa telah dipindahkan ke banjar padukuhan induk.
Dari kejauhan tampak pendapa itu telah penuh dengan orang-orang yang sedang dalam perawatan. Begitu banyaknya korban yang terluka dari kedua belah pihak sehingga ruangan di bagian dalam tidak mampu untuk menampung mereka semua. Atas petunjuk Ki Gede Menoreh, dengan sangat terpaksa sebagian yang lain telah di tempatkan di pendapa.
Beberapa prajurit yang sedang bertugas jaga telah menambah penerangan dengan menancapkan bambu-bambu setinggi orang dewasa yang ujungnya telah diberi minyak jarak yang berguna sebagai penerangan di setiap sudut halaman rumah itu yang dirasa gelap. Sehingga dari jauh halaman rumah itu tampak terang benderang.
Ki Jayaraga yang berjalan di depan seperti tidak sabar ingin segera sampai. Sementara kedua pengawal itu hanya mengikutinya saja dari belakang tanpa berbicara sepatah kata pun.
Agaknya prajurit yang berjaga-jaga di rumah itu telah melihat rombongan itu begitu mereka mendekati regol. Dengan tergesa-gesa seorang prajurit yang mengenali Ki Jayaraga sebagai pemimpin pasukan pengawal Menoreh di medan pertempuran siang tadi segera menyambut.
“Selamat malam Ki Jayaraga,” sapa prajurit itu dengan ramah, “Malam sudah larut dan Ki Jayaraga belum juga beristirahat?”
Ki Jayaraga tersenyum sekilas sambil menyahut dengan tetap berjalan tanpa berhenti, “Aku ingin bertemu Ki Gede Menoreh. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan.”
Prajurit itu maklum bahwa tentu ada sesuatu yang sangat penting sehingga Ki Jayaraga memerlukan datang menemui Ki Gede di malam yang telah larut. Maka katanya kemudian sambil memberi jalan, “Silahkan, Ki. Namun aku tidak yakin apakah Ki Gede masih terjaga? Beliau berada di gandhok sebelah kanan bersama Ki Patih Mandaraka.”
“Ki Patih masih berada di sini?” bertanya Ki Jayaraga heran sambil berpaling dan menahan langkahnya sejenak.
Prajurit itu mengangguk. Jawabnya kemudian, “Ki Patih telah memutuskan untuk bermalam di sini. Sebenarnya Ki Gede telah mempersilahkan untuk bermalam di kediaman Ki Gede. Namun karena malam sudah cukup larut, Ki patih memutuskan untuk bermalam di padukuhan induk saja.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Menjelang waktu sirep bocah tadi setelah pertempuran benar-benar selesai, Ki Gede Menoreh memang telah mempersilahkan Ki Patih Mandaraka bersama para prajurit pengawal kepatihan untuk bermalam di kediaman Ki Gede. Walaupun jarak kediaman Ki Gede dengan padukuhan induk cukup jauh, namun beberapa ekor kuda telah disiapkan. Ternyata Ki Patih tidak berkenan dan justru memilih untuk bermalam di padukuhan induk. Karena pada dasarnya Ki Patih Mandaraka juga seorang prajurit, baginya bukan hal yang perlu dipermasalahkan jika harus bermalam di medan pertempuran sekali pun.
“Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian kepada kedua pengawal yang berdiri termangu-mangu di sebelah menyebelah regol, “Waktu kita sangat sempit.”
Tanpa menjawab kedua pengawal itu dengan tergesa-gesa segera mengikuti langkah ki Jayaraga menuju gandhok sebelah kanan.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Ki Patih Mandaraka ternyata juga belum beristirahat. Mereka berdua sedang duduk-duduk sambil berbincang-bincang di atas sebuah amben besar yang berada di ruang tengah.
Ketika kedua orang itu mendengar percakapan yang bernada sedikit keras di luar gandhok, Ki Gede pun memerlukan untuk turun dari amben dan berjalan menuju pintu gandhok.
“Ada apa?” bertanya Ki Gede sambil membuka pintu.
Namun begitu pandangan mata Ki Gede tertumbuk pada seraut wajah yang sudah sangat dikenalnya, Ki Gede pun segera berseru, “Ki Jayaraga? Masuklah. Ki Patih Mandaraka juga belum berkenan istirahat.”
Para prajurit pengawal kepatihan yang sebelumnya menahan Ki Jayaraga hanya dapat saling pandang. Mereka menyangka Ki Patih dan Ki Gede sudah berada di bilik masing-masing. Namun ternyata kedua orang penting itu masih belum beristirahat.
“Nah,” berkata Ki Jayaraga kemudian kepada para prajurit pengawal kepatihan yang sedang berjaga, “Aku sangat berterima kasih atas peringatan kalian, namun ternyata Ki Gede dan Ki Patih masih berkenan menerimaku.”
Prajurit pengawal kepatihan yang berdiri paling dekat dengan Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur. Katanya kemudian, “Silahkan, Ki. Sebenarnya kami hanya menjalankan tugas.”
“Memang itulah yang seharusnya kalian pegang teguh sebagai prajurit pengawal kepatihan,” sahut Ki Jayaraga sambil tersenyum dan mengayunkan langkah mengikuti Ki Gede memasuki gandhok. Sementara kedua pengawal Menoreh yang menyertainya menunggu di luar.
Demikianlah ketiga orang tua itu akhirnya segera terlibat dalam perbincangan yang sungguh-sungguh. Berita yang dibawa Ki Jayaraga telah membuat Ki Patih sangat berhati-hati dalam menyimpulkan peristiwa itu.
“Aku memang telah mendengar cerita tentang kesaktian saudara kembar Kecruk Putih yang sudah kalis dari rasa sakit bahkan kematian,” berkata Ki Patih, “Namun apakah cerita itu benar ataukah memang sengaja disebar luaskan dengan tujuan tertentu, masih perlu dibuktikan.”
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Jayaraga, “Menurut hamba, orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu memang sakti dengan aji Brahala Wuru nya. Namun kalau menurut cerita dia telah kalis dari rasa sakit bahkan kematian, aku pribadi tidak mempercayainya. Selama masih berujud manusia, betapapun tinggi ilmunya, dia pasti merasakan sakit dan akan mengalami kematian.”
“Ampun Ki Patih,” Ki Gede Menoreh ternyata mempunyai pendapat sendiri, “Berdasarkan cerita Ki Jayaraga atas dasar laporan kedua pengawal Menoreh, sekarang ini ada seseorang yang sedang menunggu Ki Rangga Agung Sedayu di tempat bekas arena perang tanding. Aku tidak yakin kalau itu Panembahan Cahya Warastra yang hidup kembali. Seandainya benar Panembahan itu mempunyai kemampuan terhindar dari kematian, dia tentu sudah bertiwikrama kembali dan mengamuk mencari Ki Rangga Agung Sedayu sampai kemari. Kalau itu benar terjadi, tidak ada kekuatan yang akan mampu menahannya lagi.”
Ki Patih Mandaraka dan Ki Jayaraga hampir bersamaan mengangguk-angguk. Apa yang disampaikan oleh Ki Gede itu memang masuk akal. Dan memang menurut perhitungan nalar orang yang sekarang sedang menunggu Ki Rangga itu bukan Panembahan Cahya Warastra.
“Bagaimana dengan jasadnya yang tidak ditemukan?” tiba-tiba saja Ki Jayaraga mengajukan pertanyaan.
Ki Gede tersenyum. Jawabnya kemudian, “Bukankah Ki Jayaraga tadi telah menyampaikan kemungkinannya bisa saja telah dibawa oleh prajurit Mataram yang telah terlebih dahulu menyisir tempat itu?”
“Tentu tidak,” tiba-tiba saja Ki Patih Mandaraka dengan serta merta memotong, “Tugas menyisir bekas medan pertempuran tentu telah dibagi dengan sangat jelas oleh Lurah prajurit yang memimpin di bagian kesehatan. Para prajurit yang bertugas di bagian kesehatan itu akan dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masing mempunyai tugas untuk menyisir daerah bekas pertempuran yang telah ditentukan, sehingga tidak akan terjadi tumpang suh.”
Penjelasan Ki Patih itu ternyata telah membuat jantung kedua orang tua itu menjadi berdebar-debar. Dengan demikian hilangnya jasad Panembahan Cahya Warastra itu masih menyisakan sebuah teka-teki.
“Sebaiknya kita temui saja orang yang ingin bertemu dengan Ki Rangga itu,” berkata Ki Patih selanjutnya.
Sejenak kedua orang tua itu saling berpandangan. Berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Ampun Ki Patih. Apakah Ki Patih sudah mempunyai gambaran tentang orang itu?”
Ki Patih menggeleng, “Untuk itulah lebih baik kita segera menemuinya dari pada hanya berteka-teki?”
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba Ki Gede bertanya sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga, “Ki Jayaraga, apakah kedua pengawal itu dapat memberikan gambaran ujud dari orang yang ingin bertemu dengan Ki Rangga itu?”
Untuk beberapa saat Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Akhirnya Ki Jayaraga pun bangkit dari duduknya dan turun dari amben.
“Aku akan memanggil mereka,” berkata Ki Jayaraga sambil berjalan menuju ke pintu.
Beberapa saat kemudian kedua pengawal itu pun telah dibawa oleh Ki Jayaraga menghadap Ki Patih.
“Berikan gambaran yang jelas sejauh pengamatanmu terhadap orang yang mencari Ki Rangga itu,” perintah Ki Patih kepada kedua pengawal itu.
Dengan suara sedikit bergetar, salah satu pengawal itu pun kemudian memberikan gambaran orang yang ingin bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ampun Ki Patih. Malam cukup gelap dan obor yang kami bawa tiba-tiba saja padam. Sehingga kami tidak dapat mengenali wajahnya, namun bentuk tubuh orang yang berdiri di hadapan kami itu dapat kami amati dengan cukup jelas,” berkata pengawal yang satunya.
Ki Gede Menoreh yang mendengarkan keterangan kedua pengawal itu sampai tuntas merasa mengenal sosok orang yang sedang menunggu Ki Rangga Agung Sedayu di bekas medan perang tanding itu.
“Aku akan menemuinya,” tiba-tiba Ki Gede Menoreh bangkit dari tempat duduknya dan turun dari amben besar di tengah-tengah ruangan.
Kemudian sambil mengangguk hormat kepada Ki Patih, Ki Gede berkata, “Ampun Ki Patih, rasa-rasanya aku mengenal orang itu dan orang itu pun tentu masih mengenaliku walaupun aku sudah semakin tua. Ijinkanlah aku menemuinya.”
Ki Patih tersenyum sambil mengangguk-angguk. Jawabnya kemudian, “Apakah Ki Gede perlu membawa pasukan segelar sepapan?”
“Ah,” hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga tertawa pendek. Ki Jayaraga lah yang kemudian menjawab, “Biarlah aku saja yang menemani Ki Gede, Ki Patih. Setidaknya tenaga tuaku ini masih diperlukan.”
Kembali Ki Patih tersenyum. Sambil bangkit dari tempat duduknya dan turun dari amben, Ki Patih pun menanggapi kelakar kedua orang itu, “Kalau Ki Gede dan Ki Jayaraga sudah merasa tua, aku bahkan sebaliknya. Dari hari ke hari aku merasa semakin muda dan bergairah.”
“Ah,” kembali kedua orang itu tertawa.
“Baiklah, kami mohon diri, Ki Patih,” akhirnya Ki Gede mohon diri sambil beranjak dari amben.
“Silahkan Ki Gede,” jawab Ki Patih kemudian sambil melangkah mengiringi kedua orang tua itu menuju ke pintu gandhok, “Berhati hatilah. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang mencoba mengambil kesempatan pada saat seperti ini. Tidak ada jeleknya kita selalu waspada.”
Kedua orang tua itu tidak menjawab hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil mengiringi langkah Ki Patih.
“Apakah Ki Gede tidak perlu membawa senjata?” tiba-tiba Ki Patih menghentikan langkahnya sambil menunjuk ke arah sebuah tombak pendek yang terbungkus selongsong kain putih dan tersandar di sudut gandhok.
Ki Gede tersenyum sambil menggeleng, “Tidak Ki Patih. Aku tidak memerlukan senjata. Jika memang benar dugaanku tentang orang itu, dia justru tidak akan mau menemuiku jika aku membawa senjata.”
Hampir bersamaan orang-orang yang ada di dalam gandhok itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Demikianlah akhirnya kedua orang tua itu bersama dengan kedua pengawal Menoreh segera menuju ke bekas tempat perang tanding Panembahan Cahya Warastra melawan Ki Rangga Agung Sedayu.
Sesampainya mereka berempat di luar dinding padukuhan induk, bekas medan pertempuran yang gelap gulita tampak terhampar di hadapan mereka karena tidak ada sebuah obor pun yang menerangi tempat itu. Sementara beberapa saat tadi Ki Gede Menoreh telah menolak ketika para prajurit penjaga regol yang mereka lewati menawarkan sebuah obor untuk penerangan.
“Aku belum rabun,” jawab Ki Gede sambil tersenyum, “Selebihnya kami memang sengaja bergerak dalam gelap agar tidak mudah diketahui oleh sisa-sisa pasukan lawan yang mungkin masih berkeliaran di bekas medan pertempuran.”
Demikanlah mereka berempat dengan sangat hati-hati mulai bergeser menuju ke dinding padukuhan induk sebelah barat. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh kedua orang tua itu, mereka berdua tidak mengalami kesulitan berjalan di malam sepekat apapun. Sementara kedua pengawal itu hanya mampu mengikuti kedua orang linuwih itu dari belakang.
“Kita berhenti di sini,” berkata Ki Gede sesampainya mereka di ujung dinding padukuhan induk sebelah barat, “Aku akan maju beberapa langkah untuk sekedar menampakkan diri agar kedatangan kita diketahui oleh orang yang ingin menemui Ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Jayaraga ragu-ragu sejenak. Maka katanya kemudian, “Apakah tidak sebaiknya aku mengawani Ki Gede? Kita belum tahu dengan siapa sesungguhnya kita berhadapan.”
“Terima kasih, Ki Jayaraga,” jawab Ki Gede perlahan, “Akan tetapi lebih baik aku sendiri yang menemuinya.”
Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Ki Jayaraga, Ki Gede segera maju beberapa puluh langkah ke depan. Ketika pandangan tajam Ki Gede melihat sebuah pohon dadap yang tumbuh menjulang, Ki Gede pun menghentikan langkahnya. Ki Gede telah melihat seseorang sedang berdiri hampir melekat pada sebatang pohon dadap yang batangnya hampir sebesar tubuh orang dewasa.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya suara nyanyian merdu binatang-binatang malam yang terdengar riuh rendah dalam irama yang ajeg. Sesekali terdengar gonggongan anjing-anjing liar yang jauh dari arah hutan yang membujur di utara padukuhan induk. Sedangkan di langit yang gelap tampak berseliweran kelelawar dan burung-burung malam mencari mangsa.
“Selamat malam, Paman,” tiba-tiba bayangan yang melekat pada sebatang pohon dadap itu bergeser maju mendekati tempat Ki Gede Menoreh berdiri.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam begitu mendengar suara yang masih dikenalinya itu. Maka jawabnya kemudian, “Terima kasih Rudita. Aku sengaja datang kemari untuk memberitahukan kepadamu tentang keadaan Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga telah menderita luka yang cukup parah sehingga tidak mungkin baginya untuk datang menemuimu di tempat ini.”
Orang itu memang Rudita, putra satu-satunya Ki Waskita yang masih terhitung kerabat dekat dengan keluarga Ki Gede Menoreh.
“Ma’afkan aku telah mengganggu istirahat Paman Argapati, setelah seharian Paman berjuang menegakkan kedamaian di atas bumi ini dengan tumpahan darah dan nyawa,” berkata Rudita selanjutnya sambil melangkah semakin dekat.
Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Rudita. Ada sedikit singgungan di sudut hati orang tua itu. Maka katanya kemudian, “Apakah maksud sebenarnya kedatanganmu kemari, Rudita?”
Rudita tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku datang hanya sekedar untuk melihat dan menyaksikan sekali lagi dan sekali lagi, betapa manusia merupakan makhluk yang paling berbahaya, bukan hanya bagi sesamanya, namun lebih jauh lagi akibat perbuatannya yang tidak pernah mengenal puas akan dapat berakibat pada seluruh makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia itu sendiri. Bahkan tidak menutup kemungkinan keseimbangan alam pun akan terganggu karena pokal makhluk yang disebut manusia.”
Ki Gede kembali menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai getar jantungnya yang mulai melonjak-lonjak. Dengan nada suara yang dalam, Ki Gede mencoba menjawab kata-kata Rudita, “Rudita, sebenarnya kita berdiri di atas alas yang sama namun pada ujung yang berbeda. Di satu ujung kami berusaha menciptakan perdamaian di atas bumi ini dengan cara kami, cara yang mungkin tidak disukai oleh beberapa pihak. Namun yakinlah kita juga membatasi diri dengan paugeran-paugeran yang telah digariskan oleh para pendahulu kami yang selalu kami sesuaikan dan kami perbaiki seiring dengan bergulirnya waktu sehingga akan bermanfaat dan tidak mencederai kehidupan bebrayan. Sementara Kau berdiri di ujung yang lain, yang ingin melihat dunia ini dalam genggaman kedamaian dengan cara yang masih belum terjangkau oleh akal manusia dan masih merupakan mimpi yang belum pernah terjamah.”
“Itu adalah pandangan mereka yang belum memahami arti kehidupan yang sebenarnya,” jawab Rudita, “Paman masih selalu dihinggapi oleh rasa curiga dan syak wasangka terhadap sesama. Pendekatan dari hati ke hati, sikap yang saling terbuka dan menyadari serta menerima bahwa perbedaan itu pasti ada adalah salah satu cara untuk mengurangi ketegangan jiwa yang terjadi di antara kita karena adanya perbedaan. Jadikanlah perbedaan itu sebagai rahmatan lil alamin yang harus kita terima tanpa prasangka buruk serta ikhlas bahwa sebenarnyalah dalam menjalani kehidupan ini kita harus siap untuk berbagi.”
“Sudahlah Rudita,” kembali ki Gede Menoreh mencoba berkata dengan nada rendah, “Kita memang berseberangan dalam hal keyakinan untuk menciptakan perdamaian. Cara yang Kau tempuh itu mungkin suatu saat akan menampakkan hasilnya, namun tidak untuk saat ini,” Ki Gede Menoreh berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Nah, sekarang katakanlah kepentinganmu, aku akan menyampaikannya karena Ki Rangga tidak mampu datang ke tempat ini sehubungan dengan keadaannya yang terluka cukup parah.”
Sejenak Rudita menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga Ki Rangga Agung Sedayu sejak masa mudanya telah akrab dengan dirinya walaupun mereka tidak pernah seiring sejalan. Namun selama ini menurut pengamatannya, hanya Ki Rangga Agung Sedayu lah yang mau mendengarkan isi hatinya.
“Aku hanya ingin bertemu dengannya, tidak lebih,” Rudita berhenti sejenak, lalu, “Namun karena dia sedang sakit, sebaiknya aku minta diri. Sampaikan saja salamku kepada Agung Sedayu dan semoga dia cepat sembuh dari sakit wadagnya maupun sakit batinnya,”
Sebuah desir tajam terasa menggores jantung Ki Gede, namun Ki Gede berusaha untuk tidak mempedulikannya. Maka katanya kemudian, “Baiklah Rudita, pesanmu akan aku sampaikan. Namun sebelum Kau meninggalkan tempat ini, aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu.”
Rudita mengerutkan keningnya, “Masalah apakah itu Paman?”
“Apakah pada saat kau datang tadi, kau masih melihat jasad Panembahan Cahya Warastra yang tergolek di tempat ini?”
“Aku melihat seseorang sedang meninggalkan tempat ini sambil mendukung sesuatu, entah itu orang atau apa aku tidak tahu, dan memang aku tidak mau tahu,” jawab Rudita sambil lalu.
Kembali dada Ki Gede bergetar namun sekali lagi Ki Gede mencoba mengabaikannya. Katanya kemudian, “Terima kasih Rudita. Keteranganmu itu mungkin akan sangat berguna bagi kami.”
“Aku tidak berbuat apa-apa,” jawab Rudita. Kemudian lanjutnya, “Aku akan kembali sekarang juga, Paman. Kasihan Ibu yang sudah tua tinggal sendirian di rumah. Tadi siang Ayah telah berangkat menuju ke kediaman Ki Gede begitu mendengar perang telah pecah di Menoreh walaupun Ayah agak kurang sehat. Ayah memang terlalu memaksakan diri.”
“Ki Waskita telah berangkat kesini siang tadi?” bertanya Ki Gede dengan nada sedikit terkejut. Kabar terakhir yang diterimanya, Ki Waskita sedang sakit.
“Ya Paman,” jawab Rudita pendek. Kemudian sambil melangkah pergi dia melanjutkan kata-katanya, “Aku mohon diri Paman. Sebelum pagi aku harus sudah di rumah.”
Ki Gede hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Rudita yang melangkah pergi. Katanya kemudian, “Hati-hatilah di jalan Rudita. Sampaikan salamku kepada Ibumu.”
“Terima kasih paman,” jawab Rudita sebelum bayangannya hilang ditelan kegelapan malam.
Sejenak Ki Gede masih berdiri termangu-mangu beberapa saat setelah kepergian Rudita. Setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, akhirnya Ki Gede pun kemudian melangkah kembali menuju ke tempat Ki Jayaraga dan para pengawal menunggu.
“Bagaimana Ki Gede?” bertanya Ki Jayaraga dengan serta merta begitu bayangan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu tampak menuju ke arah mereka menunggu.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Ki Gede, “Sebagaimana dugaanku sebelumnya, orang yang menunggu Ki Rangga Agung Sedayu itu ternyata Rudita, putra Ki Waskita.”
“O,” desah Ki Jayaraga perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Serba sedikit Ki Jayaraga sudah mengetahui putra Ki Waskita yang aneh itu.
“Marilah kita kembali,” berkata Ki Gede kemudian sambil melangkah, “Ada sesuatu yang akan kita perbincangkan dengan Ki Patih Mandaraka.”
Ki Jayaraga dan kedua pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun mereka tidak bertanya sepatah kata pun dan hanya mengikuti langkah Ki Gede meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu pedati yang membawa Pandan Wangi telah mencapai regol kediaman Ki Gede Menoreh. Dari jauh sudah terdengar bunyi kelinting lembu-lembu penarik pedati itu. Dengan bergegas para pengawal yang sedang bertugas jaga di regol segera berloncatan ke tengah jalan menyambut datangnya pedati.
Ketika para pengawal kemudian mengetahui bahwa yang ada di dalam pedati adalah Pandan Wangi yang sedang terluka, dengan segera mereka membuka pintu regol lebar-lebar dan membiarkan pedati itu masuk ke halaman.
Beberapa orang yang berada di rumah Ki Gede segera berhamburan ke halaman. Sore tadi mereka telah mendengar berita dari salah seorang pengawal yang datang mendahului dengan menunggang kuda bahwa Ki Rangga Agung Sedayu dan Nyi Pandan Wangi yang sedang terluka telah diangkut dengan sebuah pedati menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Sekar Mirah dengan tergopoh-gopoh segera menggendong bayinya yang sedang tidur lelap di pembaringan. Setelah terlebih dahulu berbenah diri secukupnya, dengan bergegas Sekar Mirah pun segera keluar dari bilik.
Namun alangkah terkejutnya Sekar Mirah itu, demikian dia membuka pintu bilik, ternyata Damarpati sudah berdiri termangu-mangu di hadapannya.
“Biarlah aku yang menggendong si kecil, Nyi,” berkata Damarpati yang kali ini memakai pakaian selayaknya pakaian perempuan kebanyakan.
Sejenak Sekar Mirah masih ragu-ragu. Namun akhirnya bayi yang digendongnya itu diserahkan ke Damarpati.
“Hati-hatilah,” katanya kemudian sambil menyerahkan bayinya, “Jangan sampai dia terbangun dan menangis.”
Damarpati tersenyum sambil menyambut uluran tangan Sekar Mirah. Sejenak diciumnya pipi bayi mungil itu dengan penuh kasih sebelum kemudian digendongnya.
“Marilah,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggandeng tangan Damarpati, “Aku ingin segera menunjukkan anak ini kepada ayahnya, dan semoga Kakang Agung Sedayu sudah mempersiapkan sebuah nama untuknya.”
Dengan bergegas keduanya pun kemudian menyeberangi ruang dalam menuju ke pringgitan. Ketika pintu pringgitan itu telah terbuka, tampak di depan pendapa beberapa orang sedang mengerumuni pedati. Salah satunya adalah Ki Waskita yang datang menjelang tengah malam tadi.
“Mbokayu..!” seru Sekar Mirah demikian dia mengenali perempuan dengan sepasang pedang di lambungnya sedang turun dari pedati.
Beberapa orang yang sedang mengerumuni pedati itu pun segera menyibak untuk memberikan jalan kepada Sekar Mirah dan Damarpati.
Segera saja isak tangis memecah memenuhi kesunyian malam. Keduanya telah melepaskan tekanan-tekanan perasaan yang berdesak-desakan di dalam dada masing-masing. Beberapa perempuan pembantu di rumah ki Gede pun tak kuasa menahan haru begitu melihat Sekar Mirah dan Pandan Wangi saling berpelukan dengan erat sambil menangis sejadi-jadinya.
Sekar Mirah menangis karena merasa terharu bisa bertemu dengan kakak iparnya itu yang telah sekian lama berpisah, namun sebaliknya Pandan Wangi menangis tersedu sedu justru karena teringat akan suami adik iparnya itu yang sampai sekarang belum diketahui nasibnya.
Tiba-tiba bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah melepaskan pelukannya sambil bertanya di antara sedu sedannya, “Mbokayu, di manakah kakang Agung Sedayu?”
Pandan Wangi tercekat hatinya mendapat pertanyaan adik iparnya. Dengan segera diraihnya kembali tubuh Sekar Mirah ke dalam pelukannya dan tangisnya pun semakin menjadi-jadi.
Namun agaknya Sekar Mirah telah dapat membaca apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan segera dia melepaskan diri dari pelukan Pandan Wangi dan bergegas melongok ke dalam pedati.
“Kakang..!” jerit Sekar Mirah begitu menyadari di dalam pedati itu telah kosong. Hanya beberapa onggok jerami yang tersisa.
Bagaikan menjadi gila, putri satu satunya Ki Demang Sangkal Putung itu menghambur ke arah onggokan jerami. Sambil menjerit-jerit seperti orang kesurupan, onggokan jerami itu pun disibakkannya kesana kemari sambil berteriak-teriak memanggil manggil nama suaminya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu hatinya bagaikan teriris sembilu. Mereka dapat merasakan penderitaan Sekar Mirah yang telah sekian lama dalam keadaan hamil tua ditinggal oleh suaminya untuk menunaikan tugas negara. Namun kini saat yang ditunggu-tunggunya untuk berkumpul kembali dengan suami tercinta ternyata hanya harapan kosong belaka. Suaminya tidak pulang bersama sama dengan Pandan Wangi. Berbagai dugaan pun segera bermunculan di dalam dadanya.
“Kiai!” tiba-tiba dengan memekik Sekar Mirah meraih lengan Kiai Sabda Dadi yang berdiri mematung di sisi pedati. Diguncang-guncangnya lengan kakek Damarpati itu sambil menjerit tinggi, “Dimana suamiku, Kiai? Dimana suamiku..?”
Jerit tangis Sekar Mirah benar-benar memilukan hati. Orang-orang yang beridiri di halaman itu hanya dapat diam membeku. Sementara para perempuan pembantu rumah Ki Gede telah ikut menangis, bahkan suara tangisnya lebih keras dari Sekar Mirah.
Ki Waskita yang telah mendengar penjelasan singkat dari Kiai Sabda Dadi sebelum orang-orang datang mengerumuni pedati segera bergeser maju. Sebagai orang yang mendapat anugrah luar biasa dari Yang Maha Agung untuk mendapat kesempatan membaca masa depan walaupun hanya dalam bentuk sebuah isyarat, Ki Waskita merasa yakin bahwa ki Rangga Agung Sedayu dalam keadaan selamat. Bahkan menurut isyarat yang diterimanya dan telah diuraikannya dengan pertimbangan yang njlimet serta pengalamannya bertahun tahun membaca isyarat, Ki Waskita yakin bahwa Ki Rangga Agung Sedayu berada tidak jauh dari tempat kediaman Ki Gede Menoreh.
“Nyi Sekar Mirah,” perlahan Ki Waskita berkata namun dengan tekanan yang dalam, “Jangan biarkan perasaanmu terhanyut dalam dugaan-dugaan yang tidak beralasan. Marilah kita memohon pertolonganNya agar suamimu selalu dalam lindungan Yang Maha Agung. Apapun yang terjadi di atas bumi ini, semuanya tidak lepas dari kehendakNya. Walaupun manusia berusaha sekuat apapun, namun kehendakNya lah yang berlaku jua,” Ki Waskita berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Dengan karunia yang telah diberikan kepadaku yang masih jauh dari sempurna ini, aku akan mencoba untuk mencari keberadaan Ki Rangga Agung Sedayu melalui isyarat yang telah aku terima. Semoga aku mampu menguraikan isyarat itu dengan benar dan semoga Ki Rangga Agung Sedayu dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa pun.”
Sekar Mirah yang sedang terhanyut oleh perasaannya itu tiba-tiba hatinya bagaikan tersiram banyu sewindu begitu mendengar kata-kata Ki Waskita. Baginya Ki Waskita adalah seorang yang luar biasa. Seseorang yang mempunyai pandangan waskita, mengetahui apa yang belum terjadi, setidaknya itulah anggapannya selama ini, sehingga perlahan-lahan hatinya menjadi lilih dan sedikit tenang.
“Kita semua berdoa dan berharap semoga Ki Rangga dalam keadaan selamat,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah Sekar Mirah melepaskan cengkeramannya, “Memang telah terjadi sedikit gangguan di tengah perjalanan tadi. Namun agaknya seseorang yang sakti telah menyelamatkan Ki Rangga tanpa sepengetahuan kami.”
“Apakah Kiai tidak menemukan jejak atau apa pun yang dapat dijadikan sebagai pancadan dalam menduga keberadaan Ki Rangga?” bertanya salah seorang pengawal yang ikut berkerumun.
Kiai Sabda Dadi berpaling ke arah pengawal itu sambil menggeleng lemah, “Tidak ada. Namun aku yakin, Ki Rangga berada di tangan seorang yang sakti yang tidak ada perasaan dendam. Seandainya yang membawa ki Rangga itu adalah salah satu dari musuh-musuhnya yang menyimpan dendam setinggi gunung, tentu kita hanya akan menemukan Ki Rangga dalam keadaan yang tidak menguntungkan.”
Beberapa orang yang berkerumun di sekitar pedati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun isak tangis Sekar Mirah belum juga reda walaupun sudah tidak sekeras tadi. Agaknya penalarannya perlahan-lahan sudah mulai pulih sejalan dengan beberapa keterangan yang diberikan oleh orang-orang tua itu.
Ketika para perempuan pembantu rumah Ki Gede Menoreh itu mulai berebutan untuk memeluk Sekar Mirah untuk sekedar memberinya dukungan dan kekuatan batin, Pandan Wangi yang sudah dapat menguasai perasaannya segera melangkah mendekat sambil berdesis perlahan, “Sudahlah, beri kesempatan Nyi Sekar Mirah untuk bernafas. Sebaiknya kita kembali ke ruang dalam.”
“Aku setuju dengan Nyi Pandan Wangi,” sahut Kiai Sabda Dadi kemudian, “Marilah kita kembali ke ruang dalam,”
Selesai berkata demikian Kiai Sabda Dadi kemudian segera bergeser dan berdiri di ujung tangga pendapa. Sementara Pandan Wangi segera meraih tangan Sekar Mirah untuk dibimbingnya berjalan menaiki tlundak pendapa.
Demikian Pandan Wangi dan Sekar Mirah berlalu dari tempat itu, barulah orang orang yang berkerumun di sekeliling pedati itu mulai bergerak. Para pengawal yang sedang bertugas jaga segera kembali ke tempat masing-masing. Sedangkan para perempuan pembantu rumah Ki Gede dan Damarpati yang sedang menggendong bayi itu pun dengan bergegas-gegas menyusul pandan Wangi dan Sekar Mirah yang sudah melintasi pendapa dan masuk ke pringgitan.
Setelah para perempuan itu sudah tidak tampak lagi bayangannya, barulah Kiai Sabda Dadi yang sudah berada di ujung tangga pendapa itu bergerak menyusul. Namun sudut matanya telah menangkap bayangan seseorang yang masih belum bergerak dari sisi pedati.
“Sebaiknya pedati ini kau bawa ke halaman samping,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian ketika dilihatnya pengawal yang mengusiri pedati itu masih berdiri termangu-mangu.
“Baiklah Kiai, mungkin aku masih sempat beristirahat sejenak di sisa malam ini,” berkata pengawal itu sambil menaiki pedati kembali. Sementara Kiai Sabda Dadi telah kembali melangkah meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang merasakan getaran di dalam dadanya segera meninggalkan halaman depan dan menuju ke halaman belakang lewat longkangan. Untuk sejenak Ki Waskita masih berdiri mematung di dalam kegelapan. Setelah yakin tidak ada seorangpun yang memperhatikannya, segera disilangkan kedua tangannya di depan dada.
Beberapa saat kemudian Ki Waskita telah tenggelam dalam alam bawah sadarnya. Hubungan antara ki Rangga Agung sedayu dengan ki Waskita tidak ubahnya seperti hubungan antara murid dan guru walaupun Ki Waskita tidak pernah menuntun secara langsung kepada Ki Rangga dalam menekuni sebuah ilmu. Namun dengan memberikan kesempatan kepada ki Rangga untuk membaca kitab peninggalan perguruan ki Waskita, maka jalur antara murid dan guru itu pun seolah-olah telah terjalin dengan sendirinya.
Ketika Ki Waskita sudah yakin dengan isyarat yang diterimanya, segera saja diuraikan kedua tangannya yang bersilang di depan dada. Dengan perlahan namun penuh kewaspadaan, ayah Rudita itu pun melangkah menuju ke samping perigi di bawah rimbunan pohon jambu air.
Namun alangkah terkejutnya Ki Waskita ketika demikian kakinya melangkah, terdengar suara isak tangis seorang perempuan dari arah rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi.
Dengan dada yang berdebar-debar Ki Waskita meneruskan langkahnya. Ketika pandangan mata Ki Waskita yang tajam melebihi orang-orang kebanyakan itu menangkap sesosok bayangan perempuan yang sedang duduk bersimpuh sambil terisak-isak di depan sesosok tubuh yang terbujur diam, Ki Waskita pun menghentikan langkahnya.
Perempuan yang sedang menangis itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Ki Waskita. Perhatiannya benar-benar hanya tercurah kepada sesosok tubuh yang terbujur diam di depannya.
“Ma’afkan aku Ni Sanak,” perlahan Ki Waskita menyapa agar tidak menimbulkan salah paham, “Siapakah Ni Sanak ini dan siapakah yang terbaring diam itu?”
Untuk sejenak perempuan muda itu mengangkat wajahnya. Dalam keremangan dini hari Ki Waskita dapat melihat dengan jelas, betapa cantiknya perempuan muda yang duduk bersimpuh beberapa langkah di hadapannya itu. Seraut wajah yang lembut mempesona dengan sepasang mata bak bintang timur yang sedang bercahaya. Hidung yang mungil dan mancung berpadu dengan bibir yang lembut memerah bak delima merekah. Sementara lehernya yang jenjang itu tampak putih bersih di antara rambutnya yang hitam panjang jatuh beriak-riak di kedua bahunya yang indah.
Ki Waskita yang sudah mendekati usia senja pun bagaikan terpesona melihat keindahan yang terpampang di hadapannya. Namun Ki Waskita adalah orang yang sudah melewati batas kehidupan duniawi, sudah putus segala kawruh lahir maupun batin sehingga keindahan perempuan yang bagaimana pun tidak dapat menggoyahkan pribadinya yang sudah terbentuk dan sudah matang luar dalam.
“Maafkan aku sekali lagi Ni Sanak,” berkata Ki Waskita mengulangi pertanyaannya, “Apakah aku diperkenankan untuk mengetahui siapakah Ni Sanak ini dan orang yang berada di hadapan Ni Sanak itu?”
Perempuan muda dan cantik itu mencoba tersenyum, betapapun pahitnya. Jawabnya kemudian, “Siapakah diriku ini tidaklah penting. Yang lebih penting adalah bagaimana menolong Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Ki Rangga Agung Sedayu?” bagaikan tersengat ribuan lebah Ki Waskita meloncat maju dan dengan tergesa-gesa segera berlutut di samping tubuh yang terbujur diam itu.
Dengan jantung berdentangan, Ki Waskita mencoba mengamati-amati seraut wajah yang kehitam-hitaman tertutup debu. Wajah itu memang sulit dikenali karena dengan sengaja telah dilumuri oleh sejenis cairan kental yang berwarna hitam pekat. Namun berdasarkan panggraita Ki Waskita yang telah bergaul bertahun-tahun dengan Ki Rangga serta melihat bentuk tubuhnya, Ki waskita yakin orang yang terbujur diam itu adalah Ki Rangga Agung Sedayu.
Tanpa membuang waktu lagi, Ki Waskita segera meraba dada sebelah kiri Ki Rangga untuk meyakinkan keadaannya. Namun rasa-rasanya jantung tua Ki Waskita itu hampir terlepas dari tangkainya begitu tidak dapat diketemukannya detak jantung Ki Rangga. Bahkan ketika Ki Waskita dengan hati-hati meletakkan telinganya di atas dada Ki Rangga untuk mencoba mendengarkan detak jantungnya dengan lebih seksama, tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa jantung itu masih berdetak, betapapun lembutnya.
Keringat dingin segera membasahi sekujur tubuh tua Ki Waskita. Dengan tangan yang mulai gemetar, Ki Waskita sekali lagi mencoba meyakinkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu dengan meraba detak urat nadi yang berada di pangkal leher, kemudian di kedua pergelangan tangan bahkan sampai ke pergelangan kaki. Namun hasilnya sama saja, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Akhirnya dengan pandangan nanar dan suara bergetar karena menahan deburan yang memukul-mukul rongga dadanya, Ki Waskita pun bertanya kepada perempuan yang masih duduk bersimpuh sambil menangis terisak-isak itu, “Bagaimana ini bisa terjadi, Nini? Bagaimana ini bisa terjadi pada diri Ki Rangga?”
Jangankan menjawab pertanyaan Ki Waskita, perempuan muda itu malah menangis sejadi-jadinya sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Ki Waskita menjadi sangat gelisah. Jauh di lubuk hatinya dia tidak bisa mempercayai keadaan yang telah terjadi pada diri Ki Rangga Agung Sedayu itu.
“Apapun yang terjadi aku harus segera membawa ki Rangga ke dalam,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Segalanya lebih baik kita pasrahkan kepada Yang Maha Hidup. Semoga keluarga Ki Rangga tetap tabah menghadapi cobaan ini.”
Berpikir sampai disini akhirnya Ki Waskita berkata, “Nini, aku akan membawa Ki Rangga ke dalam. Terserah kepada Nini, apakah akan tetap berada di sini atau mengikuti aku ke dalam rumah ki Gede.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu jawaban perempuan muda itu, Ki Waskita segera membungkuk dan kemudian mendukung Ki Rangga dibawa masuk ke kediaman Ki Gede melalui pintu dapur yang memang dibiarkan terbuka. Pagi memang akan segera menjelang dan beberapa perempuan pembantu rumah Ki Gede sudah bersiap-siap menyiapkan hidangan untuk makan pagi.
Ketika Ki Waskita kemudian memasuki dapur, beberapa perempuan yang sempat berpaling menjadi terkejut. Namun agaknya Ki Waskita sangat tergesa-gesa sehingga tidak memberi kesempatan kepada para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu untuk bertanya.
Begitu Ki Waskita memasuki ruang dalam, beberapa orang yang sedang duduk-duduk di ruang itu menjadi sangat terkejut. Serentak mereka berdiri dan menyambut kedatangan Ki Waskita dengan seribu tanda tanya.
“Siapakah itu Ki Waskita?” bertanya Kiai Sabda Dadi sambil menyongsong kedatangan Ki Waskita.
Namun belum sempat ki Waskita menjawab, Sekar Mirah yang ada di antara mereka telah menjerit tinggi sambil berlari menubruk ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang berada dalam dukungan Ki Waskita. Agaknya nalurinya sebagai seorang istri telah memberitahukan bahwa orang yang sedang dalam dukungan ki Waskita itu adalah suaminya yang selama ini telah dirindukannya siang dan malam.
Namun belum juga langkahnya sampai di depan Ki Waskita, tubuhnya menjadi limbung karena kesadarannya yang tiba-tiba saja telah hilang. Kalau saja Pandan Wangi yang ada di belakangnya tidak dengan sigap menangkap tubuh yang telah kehilangan keseimbangan itu, tentu Sekar Mirah sudah terjerembab di lantai ruang dalam.
“Mirah.!” Seru Pandan Wangi yang dengan sigapnya telah menangkap tubuh yang terkulai itu.
Segera saja suasana menjadi gaduh. Para perempuan pembantu rumah Ki Gede yang mendengar jeritan Sekar Mirah dengan tergopoh-gopoh berdesak-desakkan masuk ke ruang dalam. Begitu mereka melihat keadaan Sekar Mirah yang terkulai dalam pelukan Pandan Wangi, jerit tangis pun segera pecah memenuhi sudut-sudut kediaman Ki Gede Menoreh bahkan sampai terdengar di regol penjagaan depan.
Para pengawal yang sedang bertugas di regol depan tampak saling berpandangan sambil mengerutkan kening mereka dalam dalam. Salah satu pengawal yang berbadan agak gemuk dengan tergesa-gesa melangkah menuju ke kediaman Ki Gede.
“He?” salah seorang kawannya menahan lengannya, “Kau mau ke mana?”
Pengawal berbadan agak gemuk itu segera mengibaskan tangan kawannya, “Kau dengar suara tangis itu? Aku akan melihat apa yang sedang terjadi di dalam.”
“Apakah itu perlu?” kawannya kembali bertanya, “Belum tentu tenaga kita dibutuhkan. Kalau memang mereka memerlukan bantuan kita, pasti salah seorang akan memberitahukan kepada kita.”
“O,” sahut pengawal berbadan agak gemuk itu sambil memutar tubuh menghadap kawannya, “Jadi kita bergerak hanya pada saat kita dibutuhkan saja? Atau ada yang meminta bantuan kepada kita, baru kita bergerak? Begitu?” pengawal itu berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Bagaimana seandainya telah terjadi keadaan darurat dan mereka tidak sempat memberitahukan hal itu kepada kita? Apakah kita hanya menunggu jatuhnya korban sia-sia?”
Agaknya kawannya masih mau menjawab, namun yang menjadi pimpinan jaga pada malam itu segera menyahut, “Pergilah. Berikan isyarat kalau memang ada hal-hal yang perlu bantuan. Namun selebihnya, kau harus hati-hati jangan sampai menyinggung perasaan para penghuni kediaman Ki Gede kalau yang terjadi sebenarnya hanyalah urusan pribadi yang tidak perlu kita ketahui.”
Pengawal yang berbadan agak gemuk itu mengangguk. Setelah sekilas berpaling kepada kawannya, pengawal itu pun kemudian melanjutkan langkahnya dengan setengah berlari menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh.
Sesampainya pengawal itu di depan pintu pringgitan, sejenak dia masih ragu-ragu. Namun dengan sedikit menahan nafas, pintu pringgitan itu pun akhirnya diketuknya perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Ketika pengawal itu menyadari tidak ada jawaban sama sekali dari dalam pringgitan, perlahan-lahan pintu itu pun didorongnya sehingga sedikit terbuka dan ada celah baginya untuk mengintip ke dalam.
“Kosong?” desis pengawal itu, “Barangkali mereka di ruang tengah.”
Dengan memberanikan diri, pengawal itu pun kemudian melangkah masuk ke pringgitan. Sementara suara ribut-ribut dan tangisan itu memang berasal dari ruang tengah.
Namun sebelum pengawal itu mendekati pintu ruang tengah, tiba-tiba saja pintu telah terbuka.
“Ki Waskita..!” tergagap pengawal itu menyapa Ki Waskita yang berdiri di tengah-tengah pintu, “Ma’afkan aku, Ki. Para pengawal khawatir ada sesuatu hal yang mungkin memerlukan bantuan sehingga aku telah lancang memasuki rumah Ki Gede.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya kemudian, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nyi Sekar Mirah memang sedang terguncang hatinya. Kau dapat kembali ke tempatmu bertugas.”
Pengawal itu sejenak menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian sambil membungkuk, “Terima kasih, Ki. Dan sekali lagi maafkan kami.”
Ki Waskita tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya sambil menutup pintu ruang tengah kembali.
Ketika bayangan Ki Waskita telah hilang di balik pintu, dengan tergesa-gesa pengawal itu pun kemudian segera meninggalkan pringgitan untuk kembali ke tempatnya bertugas.
Dalam pada itu, sepeninggal pengawal yang berbadan agak gemuk itu, Ki Waskita segera kembali ke bilik tempat Ki Rangga Agung Sedayu di baringkan dengan ditunggui oleh Kiai Sabda Dadi. Sementara Sekar Mirah yang sedang kehilangan kesadarannya karena tekanan batin yang luar biasa telah dibawa ke dalam biliknya sendiri dan ditunggui oleh Pandan Wangi dan Damarpati.
“Bagaimanakah keadaannya, Kiai? Apakah masih ada harapan?” bertanya Ki Waskita begitu memasuki bilik.
Sejenak Kiai Sabda Dadi termenung. Pengalamannya bertahun-tahun dalam menggeluti ilmu pengobatan belum pernah sekali pun menjumpai hal seaneh ini.
Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Sabda Dadi menggeleng lemah. Jawabnya kemudian, “Aku tidak yakin, Ki. Sepanjang pengetahuanku dalam menekuni ilmu pengobatan, belum pernah aku menjumpai permasalahan seperti ini. Jantung Ki rangga telah berhenti berdetak, demikian juga urat-urat nadinya. Namun sekujur tubuh Ki Rangga masih terasa hangat.” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan yang lebih aneh lagi, sekujur kepala Ki Rangga telah dibalut dengan sejenis cairan yang kental yang dapat mengeluarkan hawa panas sehingga bagian kepala Ki Rangga dapat terjaga suhunya dan tidak menjadi dingin karena tidak adanya aliran darah ke otak.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah Ki Waskita tidak begitu memahami seluk beluk ilmu pengobatan. Namun demikian Ki Waskita pun tetap mengajukan sebuah pertanyaan yang selama ini menghantui pikirannya. Katanya kemudian, “Jadi, bagaimanakah keadaan Ki Rangga yang sebenarnya? Apakah Ki Rangga masih ada harapan untuk dapat diselamatkan?”
Kiai Sabda Dadi tidak menjawab. Pandangan matanya menatap tubuh Ki Rangga yang terbujur diam di atas pembaringan. Berbagai tanggapan muncul dalam benaknya sehubungan dengan keadaan Ki Rangga yang aneh dan tidak sewajarnya itu.
Ketika kedua orang tua itu sedang merenungi tubuh Ki Rangga yang terbujur diam, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam melebihi kemampuan orang kebanyakan telah mendengar langkah-langkah kecil menuju ke bilik.
Ketika kedua orang tua itu kemudian berpaling, tampak seorang perempuan muda yang sangat cantik sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik yang terbuka lebar sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Anjani,” desis Kiai Sabda Dadi perlahan.
Ki Waskita yang mendengar desis Kiai Sabda Dadi itu mengerutkan keningnya. Perempuan muda yang sedang berdiri di depan pintu itu adalah perempuan yang dijumpainya di dekat rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi.
“Jadi, Kiai Sabda Dadi sudah mengenalnya?” bertanya Ki Waskita kemudian sambil berpaling ke arah kakek Damarpati yang duduk di sebelahnya.
Kiai Sabda Dadi menarik nafas panjang, jawabnya, “Nimas Anjani adalah murid Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada,” kemudian katanya kepada Anjani, “Masuklah Anjani, apakah kau mempunyai sebuah keperluan dengan kami?”
Ki Waskita yang mendengar nama Resi Mayangkara disebut terkejut bukan buatan. Nama Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada memang pernah didengarnya, namun semua itu menurutnya tidak lebih dari sebuah dongengan saja.
“Resi Mayangkara..?” desis Ki Waskita perlahan sambil matanya tidak berkedip memandang Anjani. Ki Waskita sama sekali tidak menyangka bahwa perempuan cantik yang dijumpainya di sebelah perigi itu adalah murid Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada.
Anjani yang merasa diperhatikan oleh Ki Waskita itu semakin menundukkan kepalanya. Kemudian katanya sambil tetap berdiri di depan pintu, “Kiai, bolehkah aku sedikit membantu untuk kesembuhan Ki Rangga? Sesungguhnya aku harus melaksanakan pesan Eyang Resi agar jiwa Ki Rangga dapat secepatnya tertolong.”
Hampir bersamaan kedua orang tua itu berdiri dari tempat duduk mereka. Kiai Sabda Dadi lah yang kemudian segera menyahut, “Pesan Resi mayangkara? Bagaimana Sang Resi bisa mengetahui keadaan Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang terluka parah?”
Sejenak Anjani menengadahkan kepalanya yang indah itu, namun begitu pandangan matanya berbenturan dengan pandangan kedua orang tua itu, segera saja ditundukkan kepalanya kembali dalam-dalam. Jawabnya kemudian lirih hampir tak terdengar, “Eyang Resi lah yang mengambil Ki Rangga pada saat pedati itu di cegat orang-orang tak dikenal ditengah-tengah bulak tadi malam,” Anjani berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Selain ingin menyelamatkan Ki Rangga dari kemungkinan balas dendam, Eyang Resi juga ingin membantu menyembuhkan Ki Rangga dari lukanya yang sangat parah.”
Kedua orang tua itu hampir bersamaan menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sangat bersyukur bahwa ternyata yang membawa Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang sakti yang bergelar Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada.
“Sekarang di manakah Resi Mayangkara?” bertanya Ki Waskita kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
Namun sebelum Anjani menjawab, dengan tergopoh-gopoh Kiai Sabda Dadi segera menarik sebuah dingklik kayu yang berada di sudut bilik dan diangsurkan kepada Anjani sambil berkata, “Masuklah Anjani. Sebaiknya kita berbincang-bincang sambil duduk.”
“Terima kasih, Kiai,” jawab Anjani sambil melangkah memasuki bilik dan duduk di atas dingklik kayu di dekat pintu.
“Nah, sekarang ceritakanlah. Bagaimana Resi Mayangkara menolong mengobati Ki Rangga,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian.
Untuk beberapa saat Anjani terdiam. Setelah menarik nafas beberapa kali untuk mengurangi getar di rongga dadanya, Anjani pun kemudian menjawab, “Eyang Resi telah membawa Ki Rangga ke halaman belakang kediaman ki Gede Menoreh. Di sana Ki Rangga telah diobati oleh Eyang Resi,” Anjani berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aku tidak begitu mengerti tentang ilmu pengobatan, namun sebelum pergi meninggalkan kami berdua, Eyang Resi telah berpesan bahwa tata letak urat saraf dan otot-otot bebayu dari Ki Rangga telah ditata kembali dengan cara menghentikan detak jantung Ki Rangga untuk sementara agar pada saat Eyang Resi membetulkan semua letak urat saraf dan otot bebayunya, Ki Rangga tidak mengalami lonjakan denyut jantung yang dapat mengakibatkan semakin parahnya keadaan Ki Rangga.”
“O,” hampir bersamaan kedua orang itu mengangguk anggukkan kepala. Berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Aku memang pernah membaca sebuah rontal kuna peninggalan guruku tentang jenis jenis pengobatan yang salah satunya adalah dengan cara menghentikan denyut jantung untuk sementara. Sayangnya rontal itu tidak menjelaskan bagaimana tata cara dan syarat syarat yang diperlukan, sehingga aku tidak begitu mempercayainya bahwa pengobatan sejenis itu memang ada sampai hari ini aku telah mengalaminya sendiri dengan melihat apa yang telah terjadi pada diri ki Rangga Agung Sedayu.”
Ki Waskita yang duduk di sebelahnya hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
Sejenak mereka yang berada di dalam bilik itu terhanyut oleh angan masing masing. Sementara di luar telah terdengar ayam jantan berkokok bersahut sahutan untuk yang terakhir kalinya malam itu, menandakan bahwa sebentar lagi pagi akan menjelang.
“Kiai,” tiba-tiba Anjani berkata dengan nada sedikit gelisah, “Eyang Resi telah berpesan kepadaku bahwa Ki Rangga harus segera disadarkan dari keadaannya sebelum sinar Matahari yang pertama menyentuh permukaan bumi Menoreh.”
Tersirap darah kedua orang tua itu. Untuk beberapa saat keduanya hanya saling pandang tidak tahu apa yang harus diperbuat. Namun Kiai Sabda Dadi yang telah menekuni ilmu pengobatan sekian lama segera tanggap. Katanya kemudian, “Bagaimana cara menyadarkan Ki Rangga? Mengapa tidak Resi Mayangkara sendiri yang menyadarkannya?”
Dengan tertunduk malu-malu Anjani pun kemudian menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Eyang Resi memberi pesan kepadaku, bahwa untuk menyadarkan Ki Rangga hanya ada satu cara yaitu saraf yang ada di dalam otak Ki Rangga harus dibangunkan kembali.”
“Bagaimana caranya?” hampir bersamaan kedua orang itu kembali bertanya.
Kepala Anjani semakin tertunduk dalam-dalam. Kemudian setelah menghela nafas panjang, barulah Anjani menjawab, “Dengan cara merangsang indera penciumannya.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban Anjani. Namun Kiai Sabda dadi yang lebih berpengalaman dalam ilmu pengobatan telah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya, aku pernah mempelajari hal itu. Untuk menyadarkan orang yang sedang pingsan kita dapat menggunakan bau-bauan yang menyengat untuk merangsang indera penciumannya agar saraf di otaknya bekerja kembali,” Kiai Sabda dadi berhenti sebentar. Namun kemudian dengan dahi yang berkerut merut dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan Ki Rangga? Keadaannya tidak hanya sekedar pingsan, namun lebih dari itu. Tentu diperlukan bau yang sangat kuat dan tajam untuk menembus alam bawah sadarnya.”
Ternyata jawaban Anjani telah membuat kedua orang tua itu terkejut bukan alang kepalang, “Kiai, menurut Eyang Resi hanya kekuatan wangi aji seribu bunga yang dapat menyadarkan Ki Rangga.”
“Aji seribu bunga?” hampir bersamaan kedua orang tua itu telah mengulang kata-kata Anjani dengan dada yang berdebar debar.
“Sebuah ilmu yang sangat langka dan hampir punah,” desis Ki Waskita sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Dan konon kabarnya ilmu itu hanya mampu dikuasai oleh seorang perempuan yang mempunyai kecantikan hampir sempurna.”
“Ya,” sahut Kiai Sabda dadi, “Aku juga pernah mendengar aji sasra kembang atau sasra puspa, bahkan ada yang menyebut aji sasra malika yang kesemuanya berarti seribu bunga. Konon seorang perempuan yang menguasai aji ini dari tubuhnya akan dapat menyebarkan bau wangi yang sangat luar biasa dan dapat memabokkan.”
“Namun ada kelebihan dari aji seribu bunga ini,” berkata ki Waskita, “Bau wanginya dapat memberikan kesembuhan dan mengembalikan kesadaran seseorang sebagaimana yang telah dikatakan oleh Resi Mayangkara kepada Nini Anjani.”
Kembali Anjani menundukkan wajahnya. Setitik air mulai mengembang di sudut matanya yang berbinar bak bintang timur itu.
Ternyata kedua orang tua itu tidak memperhatikan perubahan pada wajah Anjani. Bahkan Kiai Sabda dadi telah mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Anjani semakin tertunduk, “Nini Anjani, menilik pesan dari Resi Mayangkara, agaknya kau menguasai aji seribu bunga yang dapat untuk menolong Ki Rangga menemukan kesadarannya kembali,” kakek Damarpati itu berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya, “Marilah, kita berpacu dengan waktu. Sebentar lagi matahari akan terbit dan kita semua tidak mau kehilangan Ki Rangga Agung Sedayu.”
Tiba-tiba saja Anjani menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Air matanya deras mengalir dari sela-sela jari jemarinya yang lentik. Sementara dadanya yang membusung itu terlihat bergetar hebat menahan tangis yang seakan ingin meledak tak terkendali.
“Ada apa Nini Anjani?” hampir bersamaan kedua orang tua itu bertanya dengan nada keheranan.
Sambil berusaha menahan tangisnya, Anjani pun menjawab terbata-bata, “Tidak mungkin Kiai, itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan dalam tata kehidupan bebrayan ini.”
Mendengar jawaban Anjani, kedua orang tua itu mengerutkan kening dalam-dalam, terlebih lagi Ki Waskita. Baru sekarang ki Waskita menyadari mengapa ketika pertama kali bertemu Anjani di bawah rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi, Anjani menangis tersedu-sedu. Ternyata Anjani tidak sampai hati atau merasa malu untuk melaksanakan tata cara pengobatan yang aneh melalui pengetrapan aji seribu bunga. Itulah sebabnya Resi Mayangkara telah meninggalkan Anjani dan Ki Rangga Agung Sedayu berdua saja di bawah gelapnya rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi.
“Nini Anjani,” berkata Kiai Sabda dadi yang sudah mulai gelisah dengan keselamatan Ki Rangga, “Apa yang kau maksud dengan melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan itu? Ki rangga dalam keadaan tak sadarkan diri. Dia tidak akan menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Marilah, jangan turuti rasa segan dan malu di hatimu. Keselamatan Ki rangga adalah yang paling utama.”
“Kiai,” tiba-tiba Anjani menurunkan kedua telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Katanya kemudian sambil menatap tajam kakek Damarpati itu, “Ilmu seribu bunga yang aku kuasai belum sempurna. Tajamnya bau wangi dari aji itu mungkin belum cukup untuk menyadarkan Ki Rangga, kecuali..”
Anjani tidak mampu meneruskan kata-katanya dan tangisnya pun kembali meledak, namun dia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menahan agar tidak sampai terdengar keluar bilik. Itulah sebabnya pundak Anjani sampai terguncang guncang dalam usahanya untuk menahan tangisnya.
“Nini Anjani,” berkata Ki Waskita dengan nada sedikit keras. Agaknya Ki Waskita sudah tidak sabar lagi, “Aku tidak tahu dan memang aku tidak ingin tahu bagaimana caranya kau membantu Ki Rangga untuk menemukan kesadarannya kembali dengan aji seribu bunga itu. Aku dan Kiai Sabda dadi akan keluar bilik. Selaraklah bilik ini nanti dari dalam dan kalau perlu kau dapat mematikan lampu dlupak di ajug-ajug itu. Selanjutnya terserah kepadamu. Keselamatan Ki Rangga aku serahkan sepenuhnya kepadamu. Kami berdua tidak akan mungkin bercerita tentang kejadian ini karena sesungguhnya kami tidak tahu apa yang akan kau lakukan dalam membantu Ki Rangga menemukan kesadarannya kembali. Ki rangga pun juga tidak akan tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Jadi percayalah, kau hanya perlu memohon kekuatan kepada Yang Maha Agung agar kau tetap dapat menjaga niat baikmu untuk menolong Ki Rangga.”
Selesai berkata demikian Ki Waskita segera bangkit dari duduknya sambil memberikan isyarat kepada Kiai Sabda dadi untuk mengikutinya keluar bilik.
Demikianlah kedua orang tua itu segera melangkah menuju ke pintu. Ketika kedua orang tua itu telah berada di luar bilik, Ki waskita pun kemudian menutup pintu bilik itu dari luar. Tinggallah Anjani yang gelisah di dalam bilik bersama Ki Rangga yang masih belum sadarkan diri.
Namun ternyata kedua orang tua itu tidak perlu menunggu lama. Sejenak kemudian mereka berdua mendengar pintu bilik telah diselarak dari dalam dan lampu dlupak di atas ajug-ajug itu pun telah dimatikan.
Dalam pada itu seekor kuda telah dipacu dengan kencang sebelum Matahari menampakkan sinarnya yang pertama di atas bumi Menoreh. Kuda itu adalah kuda pilihan terbukti dengan membawa beban berlebihan tetap berlari dengan kencang. Selain beban penunggangnya itu sendiri, ada juga sesosok mayat yang diikat tertelungkup di belakang penunggang kuda itu.
“Aku harus sampai di tempat yang disebut tegal kepanasan oleh Panembahan di dekat puncak Suralaya sebelum fajar menyingsing,” gumam penunggang kuda itu dalam hati sambil memacu kudanya semakin cepat.
“Aku tidak percaya Panembahan Cahya Warastra dapat dikalahkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali penunggang kuda itu berkata dalam hati, “Sebuah pertarungan ilmu yang dahsyat dan ngedab edabi. Keduanya memiliki ilmu yang sudah sangat jarang dijumpai pada saat ini. Namun aku tidak yakin kalau Ki Rangga Agung Sedayu sampai saat ini masih dapat bertahan. Mungkin sekarang ini orang-orang Menoreh sedang menangisi kematiannya.”
Kuda itu terus melaju. Ketika jalan mulai menanjak dan terjal, dengan sangat hati-hati penunggang kuda itu mengendalikan tunggangannya agar tidak sampai tergelincir. Ketika hutan semakin pepat dan jalan mulai mendaki, penunggang kuda itu pun kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Dengan cekatan penunggang kuda itu pun kemudian meloncat turun. Dengan sedikit ragu-ragu dia menambatkan tali kendali kuda itu ke sebuah batang pohon sebesar paha orang dewasa, namun akhirnya tali itu pun dilepaskannya kembali.
“Biarlah kuda ini bergerak bebas seandainya ada binatang buas yang mencoba memangsanya,” berkata orang itu dalam hati, “Kuda orang-orang Mataram memang bagus-bagus, dan beruntung aku tadi menemukannya berkeliaran tidak jauh dari bekas medan pertempuran. Agaknya ini salah satu kuda pasukan jalamangkara yang dilepas sebelum pecah pertempuran tadi siang.”
Setelah melepaskan tali yang mengikat pada sesosok mayat yang tertelungkup di punggung kuda bagian belakang itu, orang itu pun kemudian memanggul mayat itu di pundak kirinya.
Sesekali orang itu menoleh ke belakang, ada sedikit kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau sampai sejauh ini ada yang mengikuti perjalanannya. Namun akhirnya penunggang kuda itu pun yakin bahwa tidak ada seorang pun yang sedang mengikuti perjalanannya.
Dengan tangkasnya orang itu kemudian meloncati pohon-pohon yang roboh karena dimakan usia atau mungkin ada angin puting beliung yang telah memporak porandakan tempat itu beberapa waktu lalu, menilik bekas-bekasnya yang masih tampak mengerikan. Sementara itu waktu telah merambat semakin cepat menuju matahari memancarkan sinarnya yang pertama menyentuh bumi Menoreh.
Ketika orang itu kemudian telah mencapai puncak pebukitan Menoreh. Sejenak dia bagaikan tersihir oleh kendahan alam yang tiada taranya. Matahari baru saja menampakkan sinarnya yang pertama menyentuh punggung pebukitan Menoreh yang berkelok-kelok yang diselimuti kabut tipis. Udara sangat cerah sehingga tampak nun jauh di sebelah utara berjajar gunung Sindara dan Gunung Sumbing. Sedangkan di sebelah timur, gunung Merbabu dan Gunung Merapi tampak menyembul di antara gumpalan awan tipis yang seakan akan sedang berdiri berjajar dengan garangnya mengawal sebuah karya agung kejayaan masa lalu, candi Borobudur yang mempesona.
Begitu orang itu mulai melangkahkan kakinya, serombongan burung liar yang terbang rendah hampir saja menyambar keningnya. Sedangkan puluhan kupu-kupu dan capung yang berada beberapa langkah di depannya tampak sedang terbang kian kemari dengan riangnya menjelajahi hamparan bunga-bunga liar yang tumbuh di antara gerumbul ilalang dan pohon-pohon perdu.
Melihat pemandangan yang begitu mempesona terhampar di hadapannya, sejenak orang itu bagaikan terlena dan lupa akan tujuannya mendatangi tempat itu. Tidak bosan bosannya pandangan matanya menatap gugusan perbukitan yang tampak berdiri kokoh dengan lembahnya yang di beberapa tempat masih berupa hutan belukar yang luas menghijau dan sama sekali belum terjamah oleh tangan manusia. Namun di beberapa tempat telah dibuka untuk pesawahan dan ladang oleh para penghuni padukuhan yang bertempat di lereng sebelah bawah dari pebukitan Menoreh. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah warna hijau yang berpadu dengan birunya langit dan putihnya mega.
“Ah,” orang itu berdesah begitu menyadari tujuannya datang ke tempat itu, “Tegal kepanasan sudah tidak jauh lagi. Aku harus segera menghadap Sang Begawan.”
Dengan setengah berlari, orang yang memanggul sesosok mayat di pundak kirinya itu pun segera menyeberangi padang perdu luas bagaikan tak bertepi yang terhampar di hadapannya.
Dalam pada itu di padukuhan induk, pagi pagi sekali Glagah Putih telah mencari istrinya. Rara Wulan memang telah diminta oleh ibu angkatnya Nyi Citra Jati untuk menemani bermalam di sebuah rumah kosong yang telah ditinggal penghuninya mengungsi. Rumah itu terletak hanya beberapa tombak saja dari rumah yang digunakan sebagai balai pengobatan. Di dalam rumah yang cukup bersih itu, Rara Wulan bermalam bersama ibu angkatnya dan saudara-saudara tirinya yang lain. Selain itu, ke enam murid perguruan Pamulatsih yang telah menyerah juga telah bermalam bersama mereka.
“Agaknya Nyi Citra Jati memerlukan Rara Wulan untuk mengawasi ke enam murid perguruan Pamulatsih yang telah menyerah,” berkata Glagah Putih sambil berjalan menuju ke rumah yang digunakan bermalam istrinya, “Masih ada sedikit keraguan di hati Nyi Citra Jati terhadap mereka. Namun sebenarnya itu semua tidak lebih dari sebuah sikap hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dalam keadaan yang seperti ini, segala sesuatu yang tidak terduga bisa saja terjadi.”
Ketika rumah itu sudah terlihat dari lorong padukuhan, tampak Rara Wulan sedang berdiri termangu mangu di bawah sebatang pohon keluwih di halaman depan yang tidak seberapa luas.
“He, sepagi ini kau sudah bangun?” bertanya Glagah Putih begitu dia melangkah memasuki regol halaman.
Rara Wulan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Pertanyaan Kakang aneh. Semalaman aku belum tidur sekejap pun dan kakang malah bertanya kenapa aku pagi-pagi sudah bangun.”
“He!” Glagah Putih terkejut, “Apa yang telah terjadi Rara? Apakah ke enam murid perguruan Pamulatsih itu membuat ulah?”
“O, tidak..tidak,” jawab Rara Wulan cepat, “Mereka malah bisa tidur dengan nyenyak sekali. Justru kami berlima yang harus berjaga bergantian.”
Glagah Putih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Itu salahmu sendiri, mengapa kau tidak memanfaatkan waktu untuk beristirahat ketika tidak sedang bergiliran jaga?”
Rara Wulan memarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Baruni dan Setiti mengajakku bercakap-cakap sampai pagi. Mereka banyak bertanya tentang kakang Agung Sedayu.”
“He!” kembali Glagah Putih terkejut. Sambil setengah berbisik, Glagah Putih bertanya, “Apa hubungannya Kakang Aging Sedayu dengan mereka berdua?”
Rara Wulan kembali tersenyum sambil menjawab perlahan, “Mereka sangat kagum dengan kemampuan bidik Kakang Agung Sedayu. Bagaimana mungkin dalam malam yang pekat, Kakang Agung Sedayu mampu membidik dengan tepat sebuah anak panah yang meluncur di udara, hanya dengan mengandalkan cahaya api di ujung panah itu sebagai petunjuk.”
Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kakak sepupunya itu memang mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam hal membidik. Kemampuan yang diturunkan dari ayahnya, Ki Sadewa.
“Lalu, apakah mereka berdua tertarik untuk mempelajarinya?” bertanya Glagah Putih kemudian.
“Ya,” sahut Rara Wulan, “Mereka berdua ingin berguru kepada Kakang Agung Sedayu tentang ilmu membidik. Sebenarnya mereka berdua sudah mempelajari dasar-dasar ilmu membidik itu dari ayah dan ibu angkat kita. Namun jika dibandingkan dengan kemampuan Kakang Agung Sedayu, masih terpaut sangat jauh.”
Kembali Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Melihat keadaan Kakang Agung Sedayu yang masih sakit serta kesibukan dalam mengemban tugas keprajuritannya, aku tidak yakin kalau Kakang Agung Sedayu mempunyai waktu untuk mengajari mereka berdua.”
“Kakang,” sahut Rara Wulan, “Baruni dan Setiti sudah mempunyai dasar-dasar ilmu membidik dari kedua orang tua angkat kita. Jadi kakang Agung Sedayu mungkin tinggal memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana sebaiknya mengembangkan ilmu yang telah mereka miliki sebelumnya.”
“Mungkin,” berkata Glagah Putih, “Dengan demikian mereka berdua harus sesering mungkin meminta petunjuk kepada Kakang Agung Sedayu. Aku tidak yakin kalau Nyi Citra Jati akan mengijinkan kedua anak angkatnya yang masih sangat muda itu tinggal di Menoreh.”
“Kenapa, Kakang?” bertanya Rara Wulan, “Aku yakin ibu angkat kita akan mengijinkan mereka berdua menimba ilmu di Menoreh demi masa depan mereka berdua. Mereka dapat tinggal di rumah kakang Agung Sedayu atau di rumah Ki Gede Menoreh yang besar tapi sepi penghuninya itu. Kedua gadis itu mungkin dapat dianggap sebagai cucu oleh ki Gede menjelang hari-hari tuanya.”
“Ah, sudahlah Rara,” berkata Glagah Putih kemudian, “Sebaiknya kita segera menghadap Ki Gede Menoreh untuk meminta ijin menjenguk Kakang Agung Sedayu.”
“Baiklah Kakang. Aku akan minta ijin Nyi Citra Jati terlebih dahulu sebelum menghadap Ki Gede.”
Demikianlah akhirnya setelah meminta ijin kepada ibu angkatnya, suami istri itu pun kemudian berangkat menuju ke rumah yang dijadikan untuk penginapan bagi Ki Patih Mandaraka dan Ki Gede`Menoreh. Sementara para Tumenggung dan Perwira lainnya ditempatkan di rumah sebelahnya.
Ketika sepasang suami istri itu telah sampai di tempat Ki Gede Menoreh bermalam, ternyata para orang-orang tua itu telah duduk-duduk di pendapa dengan semangkuk minuman hangat serta beberapa potong makanan.
“Kemarilah,” berkata Ki Gede kemudian sambil melambaikan tangannya ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan begitu sepasang suami istri itu memasuki regol.
Beberapa prajurit yang berjaga di regol yang sudah mengenal sepasang suami istri itu segera menganggukkan kepala mereka sambil mempersilahkan mereka masuk.
Dengan tergesa-gesa keduanya pun segera melangkah menyeberangi halaman yang tidak begitu luas. Begitu keduanya telah mencapai tangga pendapa, bagaikan telah berjanji sebelumnya, sepasang suami istri itu pun kemudian menyampaikan salam hormat sambil membungkukkan badan mereka dalam-dalam.
Ki Patih Mandaraka tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Naiklah. Biar para prajurit yang bertugas di dapur mengambilkan dua mangkuk minuman hangat lagi untuk kalian. Ketela rebus ini pun juga perlu ditambah.”
“Terima kasih Ki Patih,” hampir bersamaan keduanya menjawab sambil menaiki tlundak pendapa.
Namun baru saja sepasang suami istri itu mengambil tempat di hadapan Ki Patih dan Ki Gede, mereka yang berada di rumah itu dikejutkan oleh bunyi derap kaki kuda yang semakin lama semakin mendekati rumah itu.
Para prajurit yang sedang berjaga di pintu regol segera tanggap. Dengan tangkasnya mereka berloncatan ke tengah regol untuk menghadang penunggang kuda yang melaju cukup kencang menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke rumah itu. Masing masing telah menggenggam erat-erat pangkal senjatanya siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Ternyata penunggang kuda itu menyadari bahwa kedatangannya dapat menimbulkan suatu kesalah pahaman. Maka sejenak kemudian derap kuda itu pun mulai melambat begitu mendekati regol, dan akhirnya berhenti di depan para prajurit yang sedang menghadang jalan.
Tanpa diperintah, penunggang kuda itu pun segera meloncat turun sambil berkata, “Ma’afkan aku jika kedatanganku telah mengejutkan kalian,” orang itu berhenti sejenak. Sambil menganggukkan kepalanya dia melanjutkan kata-katanya, “Aku ingin menghadap Eyang Buyut Mandaraka.”
Tersirap darah para prajurit yang sedang berjaga di regol itu. Hampir saja mereka tidak mampu mengenali sosok yang masih sangat muda dalam pakaian yang sangat sederhana, pakaian orang kebanyakan.
Serentak para prajurit yang berjaga itu segera berjongkok sambil menghaturkan sembah. Parajurit yang tertua pun kemudian berkata, “Ma’afkan kami Raden. Hampir saja kami tidak mengenali Raden Mas Rangsang dalam keadaan seperti ini.”
Anak yang masih sangat muda itu memang Raden Mas Rangsang, Pangeran Pati Mataram.
Raden Mas Rangsang tersenyum katanya kemudian, “Berdirilah! Kalian ternyata masih prajurit Mataram yang selalu siap sedia menghadapi segala kemungkinan walaupun baru saja mengalami pertempuran dahsyat yang sangat menguras tenaga.”
“Terima kasih Raden,” berkata prajurit yang tertua sambil memberi isyarat kawan-kawannya untuk berdiri.
“Nah, sekarang kalian dapat kembali ke tugas kalian masing-masing, “ berkata Raden Mas Rangsang kemudian sambil berjalan menuntun kudanya. Seorang prajurit yang terdekat dengan tergopoh-gopoh segera melangkah maju dan menerima kendali kuda Raden Mas Rangsang untuk di tambatkan di patok-patok yang berada di halaman samping.
Dengan langkah yang tenang dan sorot mata yang tajam, Raden Mas Rangsang pun kemudian memasuki regol halaman.
Kecuali Ki Patih Mandaraka, semua yang duduk di pendapa itu segera bangkit dari duduknya dan turun dari pendapa untuk menyambut kedatangan Raden Mas Rangsang.
Namun sebelum orang-orang itu sempat menyampaikan salam, justru Pangeran yang santun itu lah yang telah terlebih dahulu mengucapkan salam.
Dengan sedikit tergopoh Ki Gede segera menyambut uluran tangan Raden Mas rangsang. Demikian juga Glagah Putih. Hanya kepada Rara Wulan Raden Mas Rangsang tidak menjulurkan tangannya, namun hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Naiklah ke pendapa, Cucunda Buyut Pangeran,” berkata ki Patih dari tempat duduknya, “Sepagi ini sudah sampai di tanah Perdikan Menoreh. Apakah Cucunda Buyut mempunyai kepentingan yang sangat mendesak sehingga tidak dapat di tunda lagi?”
Raden Mas Rangsang tidak menjawab, hanya senyumnya saja yang menghiasi bibirnya. Dengan cepat Raden Mas Rangsang segera menaiki tlundak pendapa. Sesampainya dia di hadapan Ki Patih Mandaraka yang duduk bersila, pangeran yang rendah hati itu pun segera menyambut uluran tangan Ki Patih dan menciumnya.
“Duduklah,” berkata Ki Patih dengan sareh, “Apakah Cucunda Buyut telah meminta ijin terlebih dahulu kepada Ayahanda Panembahan untuk mengunjungi tanah perdikan sepagi ini?”
Raden Mas Rangsang mengangguk sambil mengatur letak duduknya di hadapan Ki Patih. Jawabnya kemudian, “Eyang Buyut, aku telah meminta ijin Ayahanda Panembahan untuk secara khusus menghadap Eyang Buyut Mandaraka yang sedang berada di tanah perdikan Menoreh.”
Sejenak Ki patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sambil mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sadar pandangan matanya tertumbuk pada orang-orang yang masih berdiri termangu-mangu di ujung tangga pendapa, maka katanya kemudian sambil tertawa, “Ah, sebenarnya Ki Argapatilah yang menjadi tuan rumah di sini. Namun kita telah memperlakukannya seperti orang asing di halaman rumahnya sendiri. Marilah Ki Gede, duduklah bersama kami. Kami tidak ingin menjadi tamu yang deksura, tamu yang tidak mengenal unggah-ungguh dengan membiarkan tuan rumahnya menjadi kebingungan.”
Ki Gede tersenyum. Sejenak dihirupnya udara pagi untuk memenuhi rongga dadanya. Kedatangan Pangeran Pati dari Mataram ini memang sangat mengejutkan hatinya sehingga dia menjadi sedikit gugup dan tidak bisa berpikir dengan jernih.
“Terima kasih Ki Patih. Seharusnya hamba menyediakan tempat yang lebih layak bagi tamu kehormatan dari Mataram. Namun apa daya, keadaan memang masih belum memungkinkan,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil melangkah perlahan menaiki tlundak pendapa.
Namun ketika Pemimpin tertinggi tanah Perdikan Menoreh itu berpaling ke belakang, tampak Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang memandang ke arahnya dengan pandangan yang penuh tanda tanya.
“Ada apa Glagah Putih?” bertanya Ki Gede sambil menghentikan langkahnya.
Dengan bergegas Glagah Putih segera mendekat sambil menjawab dengan suara perlahan, “Ma’afkan kami Ki Gede. Sesungguhnya kami menghadap Ki Gede untuk memohon diri menjenguk keadaan Kakang Agung Sedayu yang telah terlebih dahulu di bawa ke kediaman Ki Gede bersama mbokayu Pandan Wangi tadi malam.”
Sejenak Ki Gede menarik nafas dalam-dalam begitu mendengar nama Pandan Wangi disebut. Anak perempuan satu-satunya itu memang sedang terluka, namun Ki Gede yakin kalau Kiai Sabda dadi akan dapat mengatasi permasalahannya. Justru yang sedang merisaukan hatinya adalah keadaan Ki Rangga Agung Sedayu yang masih belum sadarkan diri.
“Pergilah,” akhirnya Ki Gede berkata, “Segera hubungi aku kalau ada perkembangan keadaan dari Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Terima kasih Ki Gede,” hampir bersamaan sepasang suami istri itu menjawab.
Demikianlah, setelah mereka berdua mohon diri kepada Ki Patih dan Raden Mas Rangsang, sepasang suami istri yang masih muda itu pun kemudian segera meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Gede Menoreh pun kemudian segera ikut bergabung duduk di pendapa.
“Nah, Cucunda Buyut,” berkata Ki Patih Mandaraka, “Sekarang aku ingin mengetahui tujuan Cucunda Buyut datang mengunjungi Tanah Perdikan ini.”
Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Patih. Katanya kemudian sambil menganggukkan kepalanya, “Eyang Buyut, aku telah menerima sebuah petunjuk dalam mimpiku beberapa waktu yang lalu, namun aku tidak tahu apa makna dari mimpi itu,” Raden mas Rangsang berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Namun ketika aku dan Ayahanda Panembahan dalam perjalanan pulang dari tepian kali Praga kemarin siang, aku sempat menanyakan tafsir dari mimpi yang aku terima kepada Kanjeng Sunan sebelum kami berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing.”
Hampir bersamaan ki Patih dan Ki Gede mengerutkan kening. Mimpi dari seorang pangeran Pati yang digadang-gadang untuk memimpin negeri ini kelak di kemudian hari tidak boleh dianggap hanya sebuah bunga tidur.
“Cucunda Buyut,” berkata Ki Patih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah Kanjeng Sunan memberikan sedikit gambaran tentang makna mimpi itu?”
Raden Mas Rangsang menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kanjeng Sunan tidak berani menafsirkan arti mimpi itu. Namun Kanjeng Sunan menyarankan aku untuk pergi ke pebukitan Menoreh dan menemui seseorang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening.”
“Begawan Cipta Hening?” hampir bersamaan kedua orang tua itu berdesis perlahan.
“Ampun Ki Patih. Apakah Ki Patih pernah mendengar nama itu?” bertanya Ki Gede kemudian.
Untuk sejenak Ki Patih Mandaraka termenung. Nama Begawan Cipta Hening rasa-rasanya terdengar asing di telinganya. Namun jika petunjuk itu datang dari seorang Wali yang waskita, tentu ada makna yang tersembunyi di balik nama itu.
“Aku belum pernah mendengar nama itu,” akhirnya Ki Patih memberikan jawaban setelah beberapa saat terdiam. Lanjutnya kemudian, “Namun aku tidak yakin kalau yang dimaksud oleh Kanjeng Sunan itu adalah dalam arti sebenarnya. Maksudku, arti dari Begawan Cipta Hening itu sendiri adalah benar-benar nama dari seseorang, atau mungkin Kanjeng Sunan ingin memberikan sebuah tuntunan agar Cucunda Buyut mulai meningkatkan perhatian terhadap hal-hal yang tidak kasat mata dan melakukan hubungan timbal balik dengan alam yang gumelar ini sebagai tanda-tanda kebesaran Yang Maha Agung dengan cara memusatkan seluruh nalar dan budi untuk menuju ke keheningan batin.”
“Dan pebukitan Menoreh yang sepi dan tenang agaknya telah dipilih oleh Kanjeng Sunan,” Ki Gede Menoreh memberikan tanggapannya.
Ki Patih Mandaraka tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar pendapat ki Gede, sedangkan Raden Mas Rangsang kelihatannya masih ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada Ki Patih.
“Eyang Buyut,” akhirnya Raden Mas Rangsang mengungkapkan permasalahan yang masih mengganjal hatinya, “Kanjeng Sunan memberikan petunjuk kepadaku untuk memulai sebuah perjalanan dengan berjalan kaki dari Mataram sampai pebukitan Menoreh. Petunjuk selanjutnya akan aku dapatkan setelah aku menginjakkan kakiku di bukit Menoreh.”
Kembali kedua orang tua itu mengerutkan kening. Ki Gede lah yang kemudian menyahut, “Pebukitan Menoreh sangat luas. Diperlukan waktu yang sangat panjang untuk menjelajahinya dari ujung sampai ke ujung yang lain.”
“Ki Gede,” sahut Raden Mas Rangsang cepat, “Kanjeng Sunan menyebut sebuah tempat untuk menemui Begawan Cipta Hening. Tempat itu bernama pertapaan Suralaya. Petunjuk selanjutnya akan aku dapatkan dari Sang Begawan tentang apa yang harus aku lakukan sehubungan dengan makna mimpiku itu. Apakah Ki Gede mengetahui tempat itu?”
Ki Gede Menoreh mengangguk, “Aku pernah mendengar puncak tertinggi dari pebukitan Menoreh itu bernama puncak Suralaya, namun aku tidak tahu pasti di mana letak pertapaan itu dan apakah di sana ada seseorang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening.”
Tiba-tiba pintu pringgitan terbuka dan seorang prajurit yang bertugas di dapur telah membawa semangkuk minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu, sambil berjongkok prajurit yang bertugas di dapur itu pun dengan sangat hati-hati meletakkan semangkuk minuman hangat di hadapan Raden Mas Rangsang dan menambahkan beberapa potong makanan.
Ketika prajurit itu telah hilang di balik pintu pringgitan, Ki Patih pun kemudian berkata, “Nah, Cucunda Buyut. Kapankah kau akan memulai perjalanan itu? Dan apakah Kanjeng Sunan memperkenankan seseorang untuk menyertaimu dalam perjalananmu itu?”
Pangeran Pati Mataram itu menggeleng, “Kanjeng Sunan mensyaratkan aku untuk sendirian dalam menjalani laku ini. Sedangkan waktu yang akan aku pilih adalah besok pagi setelah aku mendapat restu dari Kanjeng Eyang Buyut.”
“Tentu, tentu..” sahut Ki Patih cepat, “Demi masa depan Cucunda Buyut dalam mengemban amanah untuk memimpin negeri ini di kelak kemudian hari, sangatlah diperlukan sebuah laku untuk menyelaraskan batin dengan alam sekitar serta lebih mendengarkan keluh kesah para kawula alit. Untuk itulah Kanjeng Sunan mensyaratkan berjalan kaki. Tentu Cucunda akan banyak melewati padukuhan-padukuhan di sepanjang perjalanan. Pesanku, lihatlah dari dekat kehidupan para kawula alit itu sehingga kelak pada saatnya Cucunda Buyut menjadi pemimpin negeri ini sudah mendapat gambaran untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka.”
“Selebihnya laku itu juga akan mendekatkan diri kita kepada Sang Pencipta Alam ini,” Ki Gede Menoreh menambahkan.
Raden Mas Rangsang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini di dalam dadanya telah tumbuh sebuah tekat yang bergemuruh untuk melaksanakan laku itu demi terwujudnya negeri yang makmur dan sejahtera.
Dalam pada itu, Matahari telah mulai merambat naik di langit sebelah timur. Sinarnya yang cerah menimpa pucuk-pucuk dedaunan yang masih digelayuti oleh embun pagi. Butiran-butiran embun itu pun bagaikan hiasan mutiara yang berkilauan di telingga para putri-putri raja.
Di kediaman Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Kiai Sabda Dadi hampir kehilangan kesabaran menunggu pintu bilik Ki Rangga Agung Sedayu di buka dari dalam. Bau harum menyengat yang sebelumnya menebar sampai di tempat kedua orang tua itu menunggu perlahan telah mulai memudar. Sedangkan sinar Matahari pagi yang masih lemah telah mampu menerobos celah di sela-sela dinding papan di bilik Ki Rangga, namun dari dalam bilik belum terdengar adanya tanda-tanda kehidupan sama sekali.
“Kiai,” desis Ki Waskita, “Aku tidak mendengar suara apapun dari dalam bilik, walaupun aku sudah mencoba mempertajam pendengaranku.”
Kiai Sabda Dadi menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sedari tadi aku telah memantau apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam bilik melalui indera pendengaranku. Namun apa yang aku dengar dari dalam bilik itu seolah-olah kosong tidak berpenghuni. Bahkan desah nafas Nini Anjani pun aku tidak mampu mendengarkannya. Kelihatannya telah terjadi sesuatu di luar perhitungan kita.”
Kembali kedua orang tua itu termenung. Namun tiba-tiba mereka berdua telah dikejutkan oleh isak tangis seorang perempuan dari bilik sebelah. Ternyata Sekar Mirah yang telah sadar dari pingsannya berusaha bangkit dari tempat tidurnya, akan tetapi Pandan Wangi yang sedari tadi menungguinya segera mencegahnya.
“Tenanglah, Mirah. Percayakan kakang Agung Sedayu dalam pengobatan Kiai Sabda Dadi. Selebihnya, marilah kita selalu memanjatkan doa kepada Yang Maha Agung agar kakang Agung Sedayu dapat melewati masa-masa yang gawat ini,” bisik Pandan Wangi sambil memeluk Sekar Mirah yang mencoba bangkit dari pembaringan.
“Mbokayu,” desis Sekar Mirah di sela-sela isak tangisnya yang ditahannya dengan sekuat tenaga, “Kau tidak tahu bagaimana perasaan hatiku saat ini. Sudah sekian lama kakang Agung Sedayu meninggalkan keluarga, namun kini setelah dia kembali ke Menoreh justru Kakang Agung Sedayu mengalami luka yang sangat parah. Bahkan untuk melihat anaknya yang baru lahir saja tidak mampu. Aku sangat ingin sekali menunjukkan kepadanya buah hati kami yang telah sekian lama kami tunggu-tunggu. Haruskah anakku ditakdirkan untuk tidak pernah melihat keberadaan ayahnya sepanjang hidupnya?”
Tanpa terasa sepasang mata Pandan Wangi ikut menjadi basah. Dengan tergesa-gesa diusapnya kedua matanya itu dengan ujung bajunya. Katanya kemudian, “Mirah, aku bisa merasakan perasaanmu saat ini. Namun aku minta, janganlah berpikiran terlalu jauh. Marilah semuanya kita pasrahkan kepada Yang Maha Agung. Saat ini kita hanya dapat memohon kepada Sang Penguasa jagad raya ini karena hidup dan mati seseorang berada dalam kuasaNya. Semoga Yang Maha Agung berkenan mendengar doa kita dan mengabulkannya.”
Sekar Mirah mengangguk. Kata-kata kakak iparnya itu sedikit banyak telah menghibur hatinya. Namun tetap saja kegelisahan terasa memukul-mukul rongga dadanya.
“Mbokayu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya, “Apakah tidak sebaiknya kita menengok keadaan Kakang Agung Sedayu? Apapun yang terjadi, aku sudah pasrah. Sebaiknya aku selalu berada di sisi Kakang Agung Sedayu agar aku dapat selalu mengetahui perkembangan yang terjadi dengan suamiku.”
Pandan Wangi berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Baiklah Mirah. Sebaiknya memang kau menunggui suamimu. Namun kau harus berjanji untuk selalu menjaga sikap dan tidak mengganggu Kiai Sabda Dadi dalam upayanya membantu kakang Agung sedayu menemukan kesadarannya kembali.”
Sekar Mirah mengangguk. Kemudian dengan dibantu Pandan Wangi, dengan perlahan Sekar Mirah pun bangkit dari pembaringan.
Ketika dengan tergesa-gesa Sekar Mirah kemudian melangkahkan kakinya, dengan segera Pandan Wangi menahan langkah adik iparnya itu dengan memegang lengannya. Bisiknya kemudian, “Benahi dirimu terlebih dahulu sebelum keluar bilik, Mirah.”
“Oh..” desis Sekar Mirah tersadar dengan keadaan dirinya yang masih belum rapi. Dengan cepat disanggulnya kembali rambutnya yang terurai. Kemudian setelah membenahi letak baju dan kain panjangnya, mereka berdua pun dengan bergandengan tangan melangkah keluar bilik.
Derit pintu bilik yang terbuka sama sekali tidak mengejutkan kedua orang tua yang sedang duduk menunggu di ruang tengah itu. Dengan perlahan kedua orang tua itu pun kemudian bangkit berdiri menyambut Sekar Mirah dan Pandan Wangi.
Sekar Mirah yang melihat Kiai Sabda dadi dan Ki Waskita berada di ruang tengah sejenak tertegun sehingga dia menghentikan langkahnya. Dengan pandangan mata yang mengandung seribu pertanyaan dia bertanya, “Kiai, mengapa Kiai Sabda Dadi berada di sini? Apakah Kiai sudah selesai mengobati kakang Agung Sedayu? Bagaimana keadaan suamiku sekarang?”
Bagaikan ribuan anak panah yang diluncurkan dari busurnya pertanyaan putri Demang Sangkal Putung yang kaya raya itu menghujam ke jantung Kiai Sabda Dadi. Kakek Damarpati itu sejenak bagaikan membeku dan tidak tahu jawaban apa yang harus diberikan kepada istri ki Rangga Agung Sedayu itu.
Namun sebelum orang tua itu menemukan jawaban dari pertanyaan Sekar Mirah, tiba-tiba saja mereka yang berada di ruang tengah itu telah dikejutkan oleh bunyi derit pintu bilik tempat Ki Rangga Agung Sedayu dirawat. Serentak mereka pun berpaling ke arah pintu bilik yang dengan perlahan-lahan telah terbuka.
Sejenak mereka yang hadir di ruang tengah itu bagaikan membeku. Di antara cahaya remang lampu dlupak yang ada di sudut ruang tengah serta cahaya Matahari yang masih lemah menembus celah-celah dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati, tampak sesosok tubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam sedang mendukung seorang perempuan muda yang sangat cantik namun berwajah pucat pasi. Agaknya perempuan muda itu sedang tak sadarkan diri.
“Resi Mayangkara!” Kiai Sabda Dadi berdesis perlahan namun cukup mengagetkan orang-orang yang ada di sekitarnya.
“O, jadi inikah Resi Mayangkara itu,” hampir semua yag hadir di ruangan itu berkata dalam hati sambil memandang ke arah orang yang tinggi besar itu dengan mata tak berkedip.
Memang yang keluar dari bilik itu adalah Resi Mayangkara dari gunung Kendalisada sambil mendukung Anjani yang sedang pingsan.
“Marilah,” berkata Resi Mayangkara kemudian sambil melangkah keluar bilik, “Anjani memerlukan udara segar agar kesehatannya pulih kembali. Agaknya dia terlalu memaksakan diri melampaui batas kemampuannya dalam mengetrapkan aji seribu bunga untuk membantu Ki Rangga Agung Sedayu mencapai kesadarannya kembali, sehingga jantungnya hampir saja meledak. Untunglah aku masih sempat menolongnya.”
Sekar Mirah bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk begitu Resi Mayangkara menyebut nama suaminya. Dengan memekik kecil, Sekar Mirah pun segera menghambur ke dalam bilik.
Ternyata Pandan Wangi dan Kiai Sabda Dadi tidak membiarkan Sekar Mirah sendirian melihat keadaan suaminya. Keduanya pun dengan bergegas segera menyusul ke dalam bilik. Hanya Ki Waskita yang tidak ikut masuk ke dalam bilik Ki Rangga. Dengan segera Ki Waskita menyingkirkan mangkuk-mangkuk kotor dari tengah-tengah tikar pandan yang terbentang di ruang tengah itu agar Resi Mayangkara dapat membaringkan Anjani.
“Terima kasih,” berkata Resi Mayangkara sambil berjongkok dan kemudian perlahan-lahan membaringkan Anjani.
“Maafkan aku Sang Resi,” berkata Ki Waskita kemudian sambil ikut berlutut di sisi Anjani, “Agaknya kita belum pernah bertemu sebelumnya. Aku bernama Ki Waskita yang masih terhitung kerabat dekat dengan Ki Gede Menoreh. Kalau aku boleh tahu, apakah sebenarnya yang telah menimpa pada diri Nini Anjani sehingga dia telah mengalami keadaan seperti ini?”
Sejenak Resi Mayangkara memandang Ki Waskita yang telah duduk berlutut di hadapannya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Bukankah yang menemui Anjani di halaman belakang tadi malam adalah Ki Waskita?”
“Benar, Resi,” jawab Ki Waskita, “Aku menemukan Ki Rangga yang terbujur diam di sebelah perigi di tunggui oleh Nini Anjani yang sedang menangis.”
Resi Mayangkara menarik nafas dalam-dalam sambil matanya redup menatap ke arah seraut wajah cantik jelita yang tergolek di hadapannya. Katanya kemudian, “Aku tahu perasaan apa yang sebenarnya sedang berkembang di dalam hati Anjani. Namun rasa-rasanya ada keinginan di dalam hatiku untuk mencoba keteguhan dan ketulusan hatinya, dan ternyata yang telah aku saksikan adalah perasaan yang benar-benar tulus yang terpancar dari relung hatinya yang paling dalam.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Agaknya ayah Rudita ini mulai dapat menangkap hubungan rumit yang sedang membelit dua hati antara Ki Rangga Agung Sedayu dengan perempuan muda yang bernama Anjani ini.
“Resi,” berkata Ki Waskita setelah sejenak terdiam, “Apakah benar Nini Anjani ini adalah murid Resi Mayangkara?”
Resi Mayangkara tersenyum tipis. Jawabnya kemudian, “Secara langsung aku tidak mengambilnya sebagai muridku, namun melihat kesungguhan hatinya serta tekadnya yang tak pernah kunjung padam dalam meraih masa depan yang lebih baik dan lebih bermakna bagi kehidupan bebrayan ini, aku telah tergerak untuk membekalinya dengan ilmu dari perguruan Kendalisada yang tidak seberapa. Semoga nantinya bermanfaat baginya dalam menggapai cita-citanya.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai orang yang diberi karunia ketajaman olah batin untuk meraba masa depan, Ki Waskita melihat seolah-olah lingkaran api yang tidak ada putus-putusnya membelit Ki Rangga Agung Sedayu. Namun disela-sela lingkaran api yang berkobar-kobar mengerikan, terdapat seuntai bunga melati yang ikut terseret dalam kobaran api. Betapapun dahsyatnya gumpalan api yang mencoba menghanguskannya, namun untaian bunga melati itu bagaikan terbuat dari selembar baja tulen yang tak akan hancur walaupun dibakar api sepanas apapun.
“Aji seribu bunga adalah salah satu dari sekian ilmu yang hampir punah,” berkata Ki Waskita di dalam hati, “Jika Anjani mampu menyempurnakannya, kekuatannya benar-benar nggegirisi. Lawan yang setangguh apapun akan bertekuk lutut bila terkena pengaruh aji seribu bunga. Semoga Anjani mampu mengendalikan dirinya dan tidak terseret ke dalam jurang kenistaan karena kekuatan yang dimiliki oleh Aji Seribu Bunga ini.”
“Namun semua ilmu itu memang tergantung penggunaannya,” berkata Ki Waskita dalam hati selanjutnya, “Aji Sasra Birawa, Tameng Waja, Rog Rog Asem atau pun Lembu Sekilan bahkan Lebur Seketi pun yang pernah dimiliki oleh para sesepuh yang beraliran putih dapat saja diselewengkan jika para pewarisnya sudah kehilangan kiblat dari tujuan semula dan tidak lagi menggunakannya untuk kebaikan kehidupan bebrayan ini.”
“Nah, Ki Waskita,” berkata Resi Mayangkara membuyarkan lamunan Ki Waskita, “Anjani masih memerlukan waktu beberapa saat untuk sadarkan diri. Aliran darahnya sudah lancar dan pernafasannya pun sudah tidak tersumbat lagi. Biarlah dia terjaga nanti pada saatnya sehingga dia benar-benar mendapat waktu yang cukup untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.”
“Resi,” sahut Ki Waskita, “Mengapa Anjani melakukan semua ini? Maksudku, mengapa dia mengerahkan seluruh tenaga cadangannya sampai melewati batas kemampuannya?”
Resi Mayangkara kembali tersenyum tipis. Jawabnya kemudian, “Aku memang ingin mencoba keteguhan dan keikhlasan hatinya. Aji Seribu Bunga yang dikuasai Anjani memang belum sempurna. Untuk itulah aku menyarankan dia untuk mengetrapkan Aji Seribu Bunga tanpa mengenakan selembar pakaian pun dan duduk sedekat mungkin dengan Ki Rangga agar ketajaman wangi seribu bunga dapat mencapai saraf indera penciuman Ki Rangga dan membangunkannya dari tidur panjangnya. Atau dia dapat meningkatkan ketajaman bau wangi aji seribu bunga itu dengan dorongan tenaga cadangannya. Akan tetapi aku sudah memperingatkan bahwa penggunaan tenaga cadangan yang berlebihan dapat membahayakan keselamatan dirinya. Namun agaknya dia masih memegang teguh suba sita dan kesopanan dalam tata kehidupan bebarayan ini. Karena itu lah dia lebih memilih mengerahkan segenap tenaga cadangannya sampai diluar batas kemampuannya.”
Ki Waskita kini benar-benar paham, mengapa sewaktu pertama kali bertemu dengan Anjani di bawah rimbunan pohon jambu air di sebelah perigi, Anjani tidak dapat menahan tangisnya. Ternyata Resi Mayangkara telah memberinya dua pilihan yang sangat sulit yang kesemuanya sangat memberatkan hatinya.
“Dengan membawa Ki Rangga ke dalam bilik yang tertutup rapat dan lampu dlupak dipadamkan, sebenarnya Anjani dapat melakukan tugasnya tanpa khawatir terlihat oleh orang lain,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Namun ternyata Anjani adalah perempuan yang sangat teguh memegang suba sita walaupun yang dihadapinya adalah orang yang sedang tidak sadarkan diri.”
“Apakah tidak sebaiknya Nini Anjani dibawa ke dalam bilik sebelah agar dapat beristirahat dengan tenang?” berkata Ki Waskita kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam.
“Sebaiknya memang demikian,” jawab Resi Mayangkara, “Setelah dia sadar nanti, biarlah Kiai Sabda Dadi memberikan reramuan untuk menguatkan dan mengembalikan kesehatannya.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Resi Mayangkara. Katanya kemudian, “Mengapa menunggu Kiai Sabda Dadi? Apakah Resi tidak mempunyai reramuan sejenis itu untuk Anjani?”
Resi Mayangkara tersenyum. Jawabnya kemudian, “Tentu saja aku juga memilikinya. Namun agaknya aku harus segera kembali ke Gunung Kendalisada tanpa harus menunggu Anjani tersadar terlebih dahulu.”
Selesai berkata demikian, Resi mayangkara segera bangkit berdiri sambil mendukung Anjani. Katanya kemudian, “Di bilik manakah sebaiknya Anjani dibaringkan Ki Waskita?”
Ki Waskita segera bangkit berdiri sambil melangkah ke sebuah bilik yang terbuka. Bilik itu adalah bilik Pandan Wangi semasa remajanya dahulu sebelum dia mengikuti suaminya ke Kademangan Sangkal Putung.
Dalam pada itu di dalam bilik Ki Rangga Agung Sedayu, Pandan Wangi dengan susah payah berusaha menahan Sekar Mirah agar tidak mengganggu Kiai Sabda Dadi dalam merawat Ki Rangga Agung Sedayu yang perlahan-lahan mulai menemukan kesadarannya.
“Aku memerlukan air hangat untuk membersihkan reramuan yang melumuri wajah dan sebagian kepala Ki Rangga,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil berpaling ke arah Pandan Wangi.
Agaknya Pandan Wangi tanggap dengan permintaan Kiai Sabda Dadi. Katanya kemudian sambil melepaskan pelukannya pada Sekar Mirah, “Mirah, aku akan mengambil air hangat di dapur. Tolong kendalikan perasaanmu agar tidak mengganggu Kiai Sabda Dadi. Sebaiknya kau duduk agak menjauh dari pembaringan agar Kiai Sabda Dadi lebih leluasa dalam merawat Kakang Agung Sedayu.”
“Ya..ya..mbokayu,” jawab Sekar Mirah diantara sedu sedannya.
Dengan perlahan Sekar Mirah pun kemudian beringsut dari tepi pembaringan. Diraihnya sebuah dingklik kayu yang terletak di dekat pintu bilik. Ketika Pandan Wangi kemudian telah melangkah keluar bilik, Sekar Mirah pun sudah dapat menenangkan hatinya sambil duduk di atas dingklik kayu di ujung pembaringan suaminya.
Pandan Wangi yang telah melangkah keluar bilik itu masih sempat berpaling sekilas ke arah Sekar Mirah yang telah duduk di atas dingklik kayu di ujung pembaringan Ki Rangga agung Sedayu.
“Syukurlah,” desis Pandan Wangi dalam hati, “Sekar Mirah sudah dapat mengendapkan perasaannya. Bagaimanapun juga aku memahami perasaan Sekar Mirah. Keadaan Kakang Agung Sedayu memang sempat mengkhawatirkan. Untunglah semua itu sudah berlalu.”
Tiba-tiba Pandan Wangi yang sedang melangkah keluar bilik itu teringat kepada Resi Mayangkara dan Ki Waskita yang berada di ruang tengah beberapa saat yang lalu. Namun kini kedua orang itu tidak tampak sama sekali.
“Kemanakah mereka?” bertanya Pandan Wangi dalam hati sambil melangkahkan kakinya menyeberangi ruang tengah yang cukup luas. Ketika pendengarannya yang tajam menangkap sebuah pembicaraan dari dalam bilik yang berada di hadapannya, Pandan Wangi pun mengerutkan keningnya dalam dalam.
“Siapakah yang berada di dalam bilikku?” bertanya Pandan Wangi dalam hati.
Dengan bergegas Pandan Wangi segera mengayunkan langkahnya menuju ke bilik yang dulu pernah ditempatinya semasa dia masih remaja sebelum suaminya memboyongnya ke Kademangan Sangkal Putung.
Ketika Pandan Wangi kemudian muncul di pintu bilik, Ki Waskita yang berada di dalam bilik itu pun segera bangkit dari duduknya sambil menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Ma’afkan aku Pandan Wangi. Tanpa meminta ijin terlebih dahulu aku telah menawarkan bilik ini kepada Resi Mayangkara untuk sementara membaringkan Anjani yang belum sadarkan diri.”
“Anjani,” desis Pandan Wangi perlahan mengulang nama itu. Dia pun segera teringat perempuan muda yang dalam keadaan tak sadarkan diri didukung oleh Resi Mayangkara keluar dari bilik Ki Rangga Agung Sedayu beberapa saat yang lalu.
“Anjani,” kembali Pandan Wangi mengulang nama itu, namun kali ini hanya di dalam hati. Pandangan matanya pun tak lepas dari wajah cantik perempuan muda yang tergolek di atas pembaringannya, “Pantas perempuan ini telah membuat hati Kakang Agung Sedayu resah dan gelisah. Perempuan muda ini sangat cantik dan bertubuh nyaris sempurna. Aku yakin setiap laik-laki yang bertemu dengannya pasti akan tertarik oleh kecantikan dan kemolekkan tubuhnya, walaupun semua itu juga tergantung kepada pribadi masing-masing.”
Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat kepada suaminya yang kini sedang terbaring sakit dan dirawat oleh Ki Widura di Padepokan Jati Anom.
“Seandainya yang mengalami ini Kakang Swandaru dan bukan Kakang Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi bagaimana harus mempertahankan keutuhan rumah tanggaku,” angan-angan Pandan Wangi pun melambung bersama dengan awan yang berarak-arak di langit yang tinggi.
Ki Waskita yang melihat Pandan Wangi hanya berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik segera mengulangi kata-katanya, “Pandan Wangi, aku mohon maaf sebesar-besarnya jika kami telah lancang menggunakan bilik ini tanpa meminta persetujuanmu terlebih dahulu.”
“O, tidak..tidak,” sahut Pandan Wangi cepat begitu menyadari kesalahannya yang tidak menghiraukan ucapan Ki Waskita karena perhatiannya tercurah kepada Anjani, “Silahkan Ki Waskita. Aku tidak keberatan. Aku tadi hanya lewat dan mendengar ada suara percakapan di dalam bilik ini. Sebenarnya aku akan mengambil air hangat di dapur, karena Kiai Sabda Dadi memerlukannya,” dia berhenti sejenak. Kemudian katanya sambil menganggukkan kepala kepada Resi Mayangkara yang duduk di sebelah Ki Waskita, “Maafkan aku Resi, aku tidak dapat menemani Resi Mayangkara dan Ki Waskita, aku minta diri untuk ke dapur sebentar.”
“Silahkan Nyi,” jawab Resi Mayangkara sambil tersenyum tipis. Namun sebagai Resi yang weruh sak durunge winarah, dia dapat membaca rona wajah Pandan Wangi yang penuh dengan gejolak ketika memandangi Anjani yang sedang tergolek di pembaringannya.
Ketika Pandan Wangi kemudian beringsut dari depan pintu dan berjalan menuju ke dapur, Resi Mayangkara pun berdesis perlahan, “Alangkah rumitnya hidup ini dengan hadirnya makhluk yang bernama perempuan.”
“Ah,” Ki Waskita tertawa tertahan mendengar desis Resi dari gunung Kendalisada itu. Katanya kemudian, “Namun dunia ini memang tidak akan lengkap tanpa kehadiran mereka.”
“Ki Waskita benar,” sahut Resi Mayangkara, “Namun aku lebih memilih untuk menghindari keterlibatan mereka dalam kehidupan pribadiku.”
Ki Waskita tersenyum mendengar ucapan Resi Mayangkara. Katanya kemudian, “Itu adalah keputusan yang telah dibuat oleh Resi dengan mempertimbangan segala sebab akibat yang akan terjadi kemudian dalam perjalanan kehidupan Resi.”
“Ah, sudahlah. Biarlah segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kehendak Yang Maha Agung,” Resi Mayangkara berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Ki Waskita, agaknya sudah waktunya aku kembali ke gunung Kendalisada. Keadaan Ki Rangga dan Anjani sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Semoga mereka berdua dapat menemukan kesesuaian di hari-hari mendatang.”
“Demikianlah harapan kita, Resi,” jawab Ki Waskita sambil bangkit dari tempat duduknya. Sementara Resi Mayangkara pun telah mendahului bangkit berdiri.
“Ki Waskita,” berkata Resi Mayangkara kemudian, “Sampaikan pesanku kepada Ki Rangga untuk berhati-hati. Beberapa orang sedang menunggu kesehatan Ki Rangga pulih kembali seperti sediakala namun justru untuk menantangnya kembali dalam sebuah perang tanding. Salah satunya adalah orang yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasongko dari perguruan Sapta Dhahana yang telah hadir di tengah-tengah bulak tadi malam setelah kedua muridnya gagal merebut Ki Rangga Agung Sedayu dari tangan Kiai Sabda Dadi.”
Ki Waskita menjadi berdebar-debar mendengar keterangan Resi Mayangkara. Sedikit banyak Ki Waskita sudah mendengar perguruan Sapta Dhahana.
“Sapta Dhahana adalah perguruan yang beraliran keras, bahkan tidak segan-segan mereka melanggar paugeran-paugeran yang berlaku di kehidupan bebrayan ini,” gumam Ki Waskita perlahan.
“Ki Waskita benar,” sahut Resi Mayangkara sambil mengayunkan langkahnya menuju ke pintu bilik, “Keberadaan perguruan itu memang sudah lama menjadi persoalan bagi Kadipaten-Kadipaten yang berada di wilayah pesisir utara. Karena memang di sana lah perguruan ini mencari penghidupannya.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang perguruan Sapta Dhahana adalah sebuah berguruan yang tidak menggantungkan penghidupan mereka pada sawah dan ladang, namun dari hasil mereka menarik upeti terhadap pedagang-pedagang yang lewat di sepanjang jalur pantai utara serta kademangan-kademangan yang berada dalam perlindungan mereka, menurut istilah yang mereka pergunakan.
“Baiklah Ki Waskita,” berkata Resi Mayangkara kemudian ketika mereka berdua telah berada di ambang pintu bilik, “Sampaikan salam hormatku kepada Ki Gede Menoreh.”
“Tentu, Resi. Akan aku sampaikan salam Resi kepada Ki Gede. Semoga Resi sampai di gunung Kendalisada dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apapun.”
“Terima kasih,” jawab Resi Mayangkara.
Selesai berkata demikian, Resi Mayangkara pun kemudian melangkah keluar bilik. Setelah menyeberangi ruang tengah yang cukup luas, Resi mayangkara pun kemudian menghilang di balik pintu pringgitan.
Sejenak Ki Waskita masih berdiri termangu-mangu memandangi Resi yang aneh itu menghilang di balik pintu pringgitan. Ketika pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur itu terdengar berderit, Ki Waskita pun berpaling. Tampak Pandan Wangi melangkah memasuki ruang tengah sambil membawa sebuah belanga yang berisi air hangat. Sementara selembar kain yang bersih tampak tersampir di pundaknya.
“Siapakah yang sedang Ki Waskita tunggu?” bertanya Pandan Wangi begitu langkahnya sampai di depan Ki Waskita yang berdiri termangu-mangu.
“Aku tidak sedang menunggu seseorang,” jawab Ki Waskita sambil tersenyum, “Aku hanya mengantar Resi Mayangkara yang kembali ke gunung Kendalisada.”
Pandan Wangi tertegun langkahnya sejenak. Dijulurkan lehernya untuk melongok ke dalam bilik, tampak Anjani yang sedang terbaring diam di atas pembaringan bagaikan sebuah golek dari batu kencana.
Sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, Pandan Wangi pun kemudian bertanya, “Mengapa Resi Mayangkara begitu tergesa-gesa kembali ke gunung Kendalisada? Mengapa tidak menunggu sampai Anjani sadar dan membawanya serta ke gunung Kendalisada?”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Mungkin untuk sementara Anjani akan tinggal di Menoreh?”
“He?” terkejut Pandan Wangi mendengar jawaban Ki Waskita.
“Untuk apa?” bertanya Pandan Wangi selanjutnya, “Bukankah Anjani tidak mempunyai sanak kadang di Menoreh ini? Mengapa dia memilih untuk tinggal di Menoreh?”
Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Wangi, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Anjani setelah ini. Yang aku ketahui Anjani telah mengalami keadaan yang cukup mengkhawatirkan setelah menolong Ki Rangga mengembalikan keadarannya. Biarlah dia sejenak tinggal di sini untuk sekedar memulihkan keadaannya. Setelah itu semuanya tergantung kepada Anjani, kita tidak dapat mengaturnya atau pun memaksanya.”
Berdesir dada Pandan Wangi mendengar Ki Waskita menyebut nama Anjani yang seolah-olah menjadi satu-satunya orang yang paling berjasa menolong Ki Rangga menemukan kesadarannya kembali. Hal itulah sebenarnya yang telah membakar jantungnya. Jauh di lubuk hatinya ada perasaan tidak rela jika nama Ki Rangga selalu dihubung-hubungkan dengan perempuan muda yang mempunyai kecantikan luar biasa yang bernama Anjani.
“Wangi,” berkata Ki Waskita kemudian, “Biarlah aku saja yang membawa air hangat ini untuk Ki Rangga. Sebaiknya kau saja yang menunggu Anjani. Sebentar lagi dia akan menemukan kesadarannya kembali dan rasanya tidak pantas jika aku yang menunggunya sendirian di dalam bilik.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Rasa-rasanya ada keseganan di dalam hatinya untuk menunggu perempuan cantik yang bernama Anjani itu. Namun dilain pihak dia tidak mungkin menolak permintaan Ki Waskita.
“Kemarikan belanga itu,” desak Ki Waskita sambil menjulurkan kedua tangannya. Kali ini Pandan Wangi benar-benar tidak dapat menolak. Diangsurkannya belanga yang ada tangannya serta selembar kain bersih yang tersampir di pundaknya.
Ketika belanga itu kemudian telah berpindah tangan, dengan bergegas ki Waskita pun segera melangkah memasuki bilik Ki Rangga.
Untuk beberapa saat Pandan Wangi masih berdiri termangu mangu sambil mengawasi langkah orang tua itu memasuki bilik Ki Rangga. Baru setelah bayangan Ki Waskita tidak tampak lagi, Pandan Wangi pun kemudian berpaling ke arah pintu bilik yang terbuka. Bilik yang pernah ditempatinya semasa dia masih remaja dan telah banyak mengguratkan segala macam kenangan sebelum pada akhirnya dia harus pergi meninggalkan tanah Perdikan Menoreh untuk mengikuti suaminya.
“Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan yang bernama Anjani ini,” gumam Pandan Wangi dalam hati, “Kenal pun aku tidak. Jika Kakang Agung Sedayu tidak menyebut namanya beberapa waktu yang lalu di tepian kali praga, tentu aku tidak peduli dengan kehadirannya di Menoreh ini.”
Sejenak Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan rongga dadanya yang tiba-tiba saja terasa menjadi pepat. Sambil melangkah perlahan angan-angannya pun kembali melambung.
“Aku tidak akan membiarkan perempuan ini mengganggu rumah tangga Sekar Mirah,” kembali Pandan Wangi berkata dalam hati, “Keluargaku memang sudah berada di pinggir jurang kehancuran, namun aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi pada rumah tangga Sekar Mirah.”
Ketika kaki Pandan Wangi kemudian telah melangkah memasuki bilik, pertama kali yang dilihatnya adalah tubuh Anjani yang tergolek diam di atas pembaringan.
Kembali Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Wajah Anjani yang berbinar seakan membekukan aliran darah putri satu-satu Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Diam-diam dalam hati Pandan Wangi mengakui kecantikan yang luar biasa dari perempuan yang tergolek di hadapannya.
“Bagaimanakah sebenarnya perasaan Kakang Agung Sedayu terhadap Anjani?” bertanya Pandan Wangi dalam hati sambil melangkah mendekati pembaringan. Ditariknya sebuah dingklik kayu yang ada di dekatnya. Sambil duduk, dia pun kemudian merenungi Anjani yang masih belum sadarkan diri.
Ketika angan-angan Pandan Wangi sedang terbuai dengan kejadian yang baru saja menimpa tanah kelahirannya itu, tiba-tiba saja perempuan yang terbaring di hadapannya itu berdesah perlahan sambil menggerakkan kepalanya. Sementara kedua tangannya pun mulai bergerak-gerak seperti sedang mencari-cari sebuah pegangan.
“Perempuan ini agaknya mulai sadarkan diri,” desis Pandan Wangi perlahan sambil pandangan matanya tak lepas dari wajah Anjani.
“Kakang..” tiba-tiba bibir Anjani yang merekah indah itu berdesah perlahan, “Jangan tinggalkan aku Kakang..”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar desah Anjani. Putri kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun dapat menduga siapa orang yang sedang disebut namanya oleh Anjani di alam bawah sadarnya.
Ketika sekali lagi Anjani berdesah sambil menggeliatkan tubuhnya yang padat berisi, Pandan Wangi pun sudah tidak sabar lagi. Diguncang-guncangkannya pundak Anjani sambil berkata agak sedikit keras, “Bangunlah..! Sedari tadi Resi Mayangkara menunggumu untuk diajak kembali ke gunung Kendalisada sementara kau masih saja bermalas-malasan di tempat tidur.”
Anjani yang masih dalam keadaan antara sadar dan tidak, terkejut mendengar suara seorang perempuan di dekat telinganya. Dengan segera dibuka kedua matanya. Untuk sejenak pandangan matanya masih belum dapat menangkap bayangan yang berada di depannya, namun ketika dia kemudian mengejapkan kedua matanya berkali-kali, barulah tampak seraut wajah cantik dari seorang perempuan yang umurnya sudah mendekati setengah abad.
“Siapa..?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang mungil dan memerah basah sambil dia berusaha mengangkat kepalanya.
“Aku, Pandan Wangi, putri kepala Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Pandan Wangi dengan nada suara yang datar.
Terkejut Anjani mendengar jawaban Pandan Wangi. Dengan bertelekan pada kedua sikunya, dia pun kemudian segera berusaha untuk duduk.
“Putri kepala Tanah Perdikan Menoreh?” Anjani mengulangi kata-kata Pandan Wangi ketika dia sudah mampu duduk di atas pembaringan. Dipandanginya wajah perempuan paro baya yang duduk di hadapannya, namun ternyata Pandan Wangi justru telah melemparkan pandangan matanya menelusuri dinding-dinding bilik yang terlihat sedikit kotor kehitam-hitaman serta beberapa sarang laba-laba yang menempel di sudut-sudut bilik.
-oOo-

“Anjani..,” perlahan Ki Rangga berdesah, “Cobalah berpikir tentang masa depanmu. Itulah yang lebih penting sekarang ini. Aku telah berjanji membawamu ke Menoreh. Bukankah kau sekarang ini sudah di Menoreh? Hidup di antara keluargaku?” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi sedikit tersengal, namun kemudian lanjutnya, “Sesungguhnya di antara kita memang tidak ada suatu ikatan apapun. Aku minta maaf jika tidak dapat memenuhi harapan yang mungkin sempat melambung di hatimu. Tapi percayalah, jika memang kau ingin menjadi bagian dari keluargaku, dengan senang hati aku akan menerimanya.”
Anjani tergugu. Air yang bening mulai menetes dari sudut matanya yang indah. Bibirnya yang tipis dan berwarna merah dadu itu terkatup rapat. sedangkan kepalanya tertunduk dalam dalam sehingga gerai rambutnya yang panjang hampir menyentuh dada ki Rangga Agung Sedayu yang masih tergolek lemah di atas pembaringan.
Sejenak kemudian, dengan menguatkan hatinya, Anjani berkata perlahan sambil mengangkat kepalanya, “Kakang, aku memang tidak pernah sekali pun memahatkan sebuah harapan di dinding hatiku. Aku tahu betapa kotornya diriku sehingga tidak sepantasnya aku berharap lebih dari apa yang telah kuraih sekarang ini, yaitu kebebasanku. Justru sekarang ini aku memberanikan diri menjenguk kakang yang sedang sakit tanpa seijin mbokayu Sekar Mirah untuk sekedar mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kakang yang telah membebaskan aku dari kekejaman kedua Guruku, dan selanjutnya aku mohon maaf kalau selama ini telah membuat hati Kakang menjadi galau dan bersedih.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum tipis. Ketika pandangan Ki Rangga kemudian tersangkut pada seraut wajah perempuan muda dan cantik yang duduk di atas dingklik kayu di samping pembaringannya, dada Ki Rangga pun berdesir tajam. Sepasang mata yang indah dan bening itu pun ternyata sedang memandangnya pula dengan seribu satu macam perasaan yang bergejolak di dalam dada.
Berdesir tajam jantung Anjani begitu menyadari sikap Pandan Wangi kepadanya. Namun sebelum Anjani melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja terdengar sebuah jerit tangis dari dalam bilik Ki Rangga Agung Sedayu.
Hampir bersamaan kedua perempuan itu mengangkat kepala sambil mencoba mencermati apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Namun ketika mereka berdua kemudian mendengar sebuah tawa tertahan dari Ki Waskita, kedua perempuan itu pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Syukurlah, agaknya Kakang Agung Sedayu telah sadar dari tidur panjangnya,” desis Pandan Wangi sambil bangkit dari tempat duduknya.
Ketika Anjani terlihat ikut beringsut dari tempat duduknya di pembaringan, Pandan Wangi pun mencegahnya, “Anjani, bukankah namamu Anjani? Beristirahatlah. Aku akan menengok keadaan kakang Agung Sedayu sebentar. Nanti akan aku sampaikan kepada Kiai Sabda Dadi tentang keadaanmu. Mungkin kau memerlukan obat atau sejenisnya untuk mempercepat kesembuhanmu. Selebihnya, aku akan memberitahu orang-orang yang sedang bekerja di dapur untuk menyiapkan makan pagi untukmu.”
Anjani menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ada sebuah goresan pedih terasa menyayat jantungnya. Ternyata Pandan Wangi tidaklah seburuk sebagaiman kesan pertama yang didapatkannya. Pandan Wangi ternyata cukup menaruh perhatian terhadap keadaannya.
“Terima kasih, Nyi,” desis Anjani hampir tak terdengar begitu Pandan Wangi melangkah meninggalkan bilik.
Ketika bayangan putri kepala Tanah Perdikan Menoreh itu telah hilang di balik pintu bilik yang tertutup rapat, perlahan-lahan Anjani pun mengedarkan tatapan matanya ke seluruh ruangan. Ketika pandangan matanya kemudian tersangkut pada sebuah dlupak di atas ajug-ajug di pojok ruangan, keningnya pun tampak berkerut merut.
“Seseorang agaknya telah lupa memadamkan dlupak itu,” berkata Anjani dalam hati sambil beringsut turun dari ranjang, “Hari telah semakin siang. Sebaiknya aku padamkan dlupak itu.”
Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Sinarnya yang cerah mulai terasa menggatalkan kulit. Di pinggir hutan yang membujur di kaki pebukitan Menoreh sebelah timur tampak seorang anak muda sedang duduk berteduh di bawah bayangan pohon keluwih yang tumbuh beberapa langkah dari tepi hutan di antara batang-batang ilalang yang tumbuh merapat berjajar-jajar.
Tiba-tiba pandangan anak muda yang sedang duduk berteduh itu menangkap bayangan seseorang yang muncul dari kelokan hutan dan berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang terlihat hanya samar-samar. Jalan setapak yang memang sangat jarang dilalui orang. Hanya para pemburu dan orang-orang yang menggantungkan mata pencahariannya dari hasil hutanlah yang sering melalui jalan itu.
Ketika orang yang berjalan di pinggir hutan itu hampir mencapai pohon keluwih tempat anak muda itu sedang duduk berteduh , tiba-tiba saja anak muda itu dengan tergopoh-gopoh segera bangkit berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Guru,” desis anak muda itu kemudian sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.
Orang yang di panggil Guru itu menoleh. Sejenak dipandangi wajah anak muda yang berdiri di bawah bayang bayang pohon keluwih. Sambil melangkah perlahan lahan ke arah anak muda itu, kemudian katanya, “Bagaimana kau memanggilku Guru, sedangkan kita belum pernah saling mengenal?”
Anak muda yang berdiri di bawah bayang bayang pohon keluwih itu tiba tiba menjatuhkan dirinya berlutut ketika orang yang berpakaian serba putih itu telah berdiri di depannya.
“Ampun Kanjeng Sunan, hamba adalah anak muda yang pernah Kanjeng Sunan tolong sewaktu terjadi ontran ontran di Tanah Perdikan Menoreh hampir setahun yang lalu.”
Orang yang dipanggil Kanjeng Sunan oleh anak muda itu sejenak mengerutkan keningnya. Sambil mengamati wajah anak muda yang berlutut sambil menundukkan kepalanya dalam dalam, dia berkata, “Apakah kau anak muda yang aku jumpai di pinggir sungai yang membelah Kademangan induk Perdikan Menoreh waktu itu?”
“Hamba, Kanjeng Sunan.”
“Mengapa kau meninggalkan Gunung Muria? Bukankah kau sudah berjanji ingin menjadi Santriku?”
Bergetar sekujur tubuh anak muda itu, sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan menundukkan kepalanya dalam dalam, dia menjawab, “Ampun Kanjeng Sunan, hamba masih mempunyai janji dengan Ki Rangga Agung Sedayu untuk menuntaskan ilmu kanuragan yang telah dijanjikan kepada hamba.”
“O..,” Kanjeng Sunan itu tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Jadi kau masih ragu ragu dengan ilmu kasampurnaning ngaurip yang akan aku ajarkan dibandingkan dengan segala macam ilmu kanuragan itu?”
Untuk beberapa saat anak muda itu bagaikan membeku. Perasaan bersalah telah melanda hatinya.
—ooOoo—


Lanjut keTaDbM 411

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403