Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 408
Oleh Mbah_Man.
Buku 408
****
KI GEDE Menoreh yang mengamati
pergerakan para pengawal dalam mengejar lawan-lawannya itu menjadi
berdebar-debar ketika pasukan lawan sudah mulai mendekati dinding padukuhan
induk. Sambil bergerak mundur mereka terus mengadakan perlawanan yang sengit.
Sementara para pengawal Menoreh tidak menyadari bahaya yang dapat mengancam
nyawa mereka dari balik dinding padukuhan induk.
“Hentikan pengejaran!” teriak Ki Gede Menoreh mencoba
menghentikan gerak maju para pengawal Menoreh yang sudah hampir mendekati
dinding padukuhan induk.
Beberapa pemimpin kelompok yang terlibat dalam pengejaran
itu segera menyadari bahaya yang dapat menerkam mereka dari balik dinding
padukuhan induk, pasukan segelar sepapan dari Panembahan Cahya Warastra yang
sedang menghimpun kekuatan.
Menyadari semua itu, masing-masing pemimpin kelompok telah
mengulangi perintah pemimpin tertinggi mereka, Ki Gede Menoreh.
“Hentikan pengejaran!” perintah pun bersahut-sahutan
memenuhi medan pertempuran di dalam padukuhan induk.
Beberapa saat kemudian para pengawal Menoreh telah melepas
lawan-lawan mereka keluar dari padukuhan induk untuk bergabung dengan pasukan
Panembahan Cahya Warastra yang telah memulai memasang gelar.
Ki Gede Menoreh segera memanggil para pemimpin kelompok
untuk mengatur anggotanya. Beberapa pengawal yang terluka dan tidak dapat
melanjutkan pertempuran telah dipapah oleh kawan-kawannya menuju ke sebuah
rumah di belakang garis pertempuran yang berfungsi sebagai balai pengobatan
sementara. Sedangkan para pengawal yang telah gugur segera dibawa menyingkir
dari medan menunggu saat yang tepat untuk dikebumikan.
“Kita akan melihat situasi di luar dinding padukuhan induk
terlebih dulu,” berkata Ki Gede ketika para pemimpin kelompok itu telah
berkumpul.
“Ma’af Ki Gede,” seorang pemimpin pengawal yang berbadan
agak gemuk mengajukan pertanyaan, “Apakah tidak sebaiknya kita bergabung dengan
pasukan Mataram?”
Beberapa kawannya bergeremang mendengar pertanyaan yang
terdengar aneh di telinga mereka.
Ki Gede hanya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Keadaan memang
tidak begitu menguntungkan bagi kita,” Ki Gede berhenti sejenak kemudian
lanjutnya, “Kita harus menempuh jalan memutar untuk bisa bergabung dengan
pasukan Mataram yang datang dari depan padukuhan induk. Namun jika kita tetap
bertahan di dalam padukuhan ini, berarti kita harus siap sepenuhnya jika
pasukan Panembahan Cahya Warastra nantinya berbalik menyerbu ke dalam padukuhan
induk jika serbuan dari pasukan Mataram dirasakan terlalu kuat.”
Mereka yang hadir dalam pertemuan singkat itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah aku memilih untuk tetap bertahan di dalam padukuhan
induk,” berkata Ki Gede kemudian, “Siapkan kembali senjata-senjata jarak jauh
yang masih tersisa untuk menghambat laju pasukan lawan jika mereka nantinya
terdesak oleh pasukan Mataram dan memutuskan untuk mundur memasuki padukuhan
ini.”
Perintah itu tidak perlu diulangi. Para pemimpin kelompok
pengawal Menoreh itu pun segera menuju ke tempat kelompoknya masing-masing
untuk mengatur pertahanan jika pasukan lawan kembali memasuki padukuhan induk.
Dalam pada itu, ternyata tidak semua pasukan yang dipimpin
Bango Lamatan menarik diri keluar dari padukuhan induk dan bergabung dengan
pasukan Panembahan Cahya Warastra. Ternyata di dalam padukuhan induk masih
berlangsung tiga lingkaran pertempuran. Agak jauh di sebelah kiri regol
padukuhan induk sedang terjadi perang tanding yang dahsyat antara Bango Lamatan
melawan Kiai Sabda Dadi. Sedangkan di sisi kanan agak jauh dari regol sedang
berlangsung dengan sengitnya perang tanding antara Ki Jayaraga melawan Ki Gede
Ental Sewu.
Adapun lingkaran pertempuran berikutnya adalah sekelompok
pengawal yang sedang mengeroyok kedua murid Ki Gede Ental Sewu, Sindang Wangi
dan Bantar Kawung. Kedua murid dari perguruan Ental Sewu di lereng gunung
Sindara itu agaknya tidak mau meninggalkan guru mereka yang sedang menyabung
nyawa melawan Ki Jayaraga.
Sejenak Ki Gede Menoreh memandangi ketiga lingkaran
pertempuran itu bergantian. Wajah yang sudah tua dan berkeriput itu semakin
berkerut-kerut ketika menyaksikan pertempuran antara para pengawal Menoreh
melawan dua orang muda yang kelihatannya sudah mulai kelelahan, seorang gadis
muda yang bersenjatakan sebilah pedang tipis dan seorang pemuda tanggung yang
menggenggam sepasang pedang pendek yang tampak berkilat-kilat tertimpa sinar
Matahari.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat akhirnya Ki Gede
Menoreh memutuskan untuk mendekati lingkaran pertempuran yang ketiga. Ki Gede
merasa berkewajiban untuk menghentikan pertempuran yang tidak seimbang itu. Dua
orang yang masih belia harus melawan sekelompok pengawal yang jumlahnya tidak
kurang dari sepuluh. Dan jumlah itu akan terus bertambah karena para pengawal
yang sudah tidak mempunyai lawan ternyata telah berdatangan ke tempat itu.
Beberapa pengawal segera meloncat mundur dan menepi ketika
mereka menyadari pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh telah hadir. Ketika
Ki Gede Menoreh telah berdiri di pinggir arena pertempuran itu, beberapa saat
kemudian pertempuran itu pun telah berhenti dengan sendirinya.
“Apakah yang sebenarnya sedang terjadi disini?” bertanya Ki
Gede dengan pandangan mata yang tajam, “Mengapa kalian tidak memberikan
kesempatan kepada lawan-lawan kalian untuk bertempur satu lawan satu?”
Seorang pengawal yang bertubuh kurus mendesak maju,
“Ma’afkan kami Ki Gede. Mereka berdua sangat tangguh untuk dilawan satu
persatu. Dalam sebuah peperangan dibenarkan untuk berperang secara
berkelompok.”
“Kalian memang benar. Dalam sebuah pertempuran memang tidak
ada salahnya untuk bertempur secara berkelompok,” Ki Gede berhenti sejenak.
Kemudian lanjutnya, “Namun apakah kalian sudah pernah menawarkan kepada mereka
berdua untuk menyerah? Dengan melihat kenyataan bahwa mereka telah tertinggal
dari kawan-kawan mereka yang mengundurkan diri keluar dari padukuhan induk ini,
seharusnya mereka diberi kesempatan untuk mengambil keputusan yang lebih
bijak.”
“Kami tidak akan menyerah,” geram Bantar Kawung, “Kami tidak
takut menghadapi para pengecut yang beraninya hanya main keroyokan. Sebentar lagi
guru kami akan menyelesaikan lawannya dan kalian tidak akan mendapatkan
kesempatan lagi untuk menatap Matahari terbenam di senja hari.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar
kata-kata Bantar Kawung. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Ki Gede pun
akhirnya bertanya, “Siapakah gurumu itu, anak muda?”
Sejenak Bantar Kawung memandang kakak perempuannya, Sindang
Wangi untuk mendapatkan persetujuan. Sindang Wangi yang sedari tadi hanya diam
saja akhirnya berkata pendek saja, “Guru kami berdua adalah Ki Gede Ental Sewu
dari lereng gunung Sindara. Namaku Sindang Wangi dan ini adikku Bantar Kawung.”
Ki Gede Menoreh terkejut mendengar nama Ki Gede Ental Sewu
disebut. Ki Gede Ental Sewu adalah termasuk golongan angkatan tua, setua
dirinya. Namun sebenarnyalah nama Ki Gede Ental Sewu itu jarang didengar karena
memang jarang sekali turun gunung keluar dari padepokannya.
“Dimanakah guru kalian sekarang?” bertanya Ki Gede Menoreh
kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam.
Sindang Wangi memandang Ki Gede beberapa saat sebelum
menjawab pertanyaannya, “Guru sedang bertempur dengan lawannya.”
Selesai berkata demikian Sindang Wangi menunjuk ke arah Ki
Gede Ental Sewu yang sedang mengadu kesaktian dengan Ki Jayaraga beberapa puluh
tombak dari tempat mereka berdiri. Serentak mereka yang ada di tempat itu
berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Sindang Wangi.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam begitu menyadari
ternyata lawan Ki Jayaraga adalah Ki Gede Ental Sewu dari lereng gunung
Sindara. Sebenarnyalah Ki Gede Menoreh secara pribadi belum mengenal pemimpin
padepokan Ental Sewu itu. Namun sebagai tokoh angkatan tua, Ki Gede pernah
mendengar tokoh sakti dari gunung Sindara yang tidak suka mencampuri urusan
dunia sekitarnya. Namun kini ada satu keanehan yang dirasakan oleh ayah Pandan
Wangi itu, mengapa orang seperti Ki Gede Ental Sewu mau terbujuk oleh rayuan
Panembahan Cahya Warastra untuk menghimpun kekuatan di Menoreh dengan tujuan
menggulingkan pemerintahan Mataram?
“Kalau menilik ujud lahiriahnya, Ki Gede Ental Sewu ini
masih sebaya dengan aku dan juga Ki Jayaraga,” berkata Ki Gede Menoreh dalam
hati sambil mengamati pertempuran kedua orang yang linuwih itu, “Seharusnya
kalau memang benar yang sedang bertempur dengan Ki Jayaraga itu pemimpin
Perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara, orangnya tentu sudah sangat tua
sekali, karena pada saat aku masih muda, menurut pendengaranku Ki Gede Ental
Sewu itu juga sudah setua sekarang ini.”
Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Gede Menoreh namun
dia tidak dapat menyimpulkan keadaan yang sebenarnya.
“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Gede akhirnya kepada
para pengawal.
Kemudian kepada kedua murid Ki Gede Ental Sewu, Ki Gede
Menoreh berkata, “Sarungkan senjata kalian. Aku tidak menyuruh kalian untuk
menyerah, akan tetapi marilah kita lihat keadaan gurumu yang sedang bertempur
dengan Ki Jayaraga.”
Sindang Wangi dan Bantar Kawung untuk sejenak hanya saling
berpandangan. Namun akhirnya keduanya pun kemudian menyarungkan senjata mereka
dan melangkah mengikuti Ki Gede Menoreh yang telah terlebih dahulu meninggalkan
tempat itu.
Dalam pada itu pasukan Mataram ternyata telah membentuk
Gelar Garuda Nglayang begitu mereka tiba di tanah pesawahan yang kering di
depan padukuhan induk. Dengan seijin Ki Patih Mandaraka, Ki Tumenggung
Tirtayudha telah menarik pasukan berkuda Jalamangkara untuk bergabung dengan
pasukan Mataram yang baru tiba.
“Kita akan bertempur di atas tanah,” perintah Ki Tumenggung
Tirtayudha, “Lepaskan kuda-kuda kalian di belakang pasukan Mataram. Jika
memungkinkan kalian dapat menambatkan pada pohon-pohon perdu di tanggul-tanggul
pesawahan.”
Panembahan Cahya Warastra yang melihat pasukan Jalamangkara
menarik diri telah tersenyum sambil berkata, “Mengapa kalian tidak memanfaatkan
kuda-kuda itu untuk bertempur? Apakah kalian takut kuda-kuda itu justru akan
menginjak-injak pasukan kalian sendiri?”
Ki Patih Mandaraka yang masih berdiri di depan kedua
lawannya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Kami mempunyai perhitungan yang tidak
perlu Ki Sanak ketahui. Lebih baik kalian segera mengatur gelar sebelum pasukan
Mataram menggilas seperti buah durian menggilas buah mentimun.”
“Omong kosong!” teriak Panembahan Cahya Warastra, “Marilah
kita tuntaskan permasalahan di antara kita. Baik yang menyangkut dendam pribadi
maupun kepentingan yang lebih luas untuk tujuan perbaikan tata pemerintahan di
negeri ini.”
“Ah,” Ki Patih tertawa hambar. Kemudian sambil berpaling ke
arah Ki Rangga Agung Sedayu dia berkata, “Ki Rangga, ternyata aku menjadi
sangat kecewa. Jauh-jauh dari kota Mataram aku ingin menyambut Panembahan Cahya
Warastra yang aku sangka telah bangkit dari kubur karena kesaktiannya. Ternyata
yang aku hadapi hanyalah seorang pengecut yang bersembunyi di balik kebesaran
nama Panembahan itu.”
“Gila!” geram orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya
Warastra itu, “Juru Martani, kalau memang Kau jantan aku tantang untuk
berperang tanding. Persetan dengan segala persoalan negeri ini. Tapi yang jelas
dendam ini harus terbalaskan dengan tuntas, bahkan mungkin lebih.”
Namun Ki Patih sudah tidak mempedulikan lagi. Baginya sudah
tidak ada manfaatnya lagi untuk melayani orang yang mengaku bernama Panembahan
Cahya Warastra itu. Dengan tenangnya Ki Patih kemudian melangkah surut
meninggalkan tempat itu.
Panembahan Cahya Warastra yang merasa disepelekan segera
bertindak. Namun sebelum serangannya meluncur menghantam Ki Patih yang
melangkah surut, tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu telah berdiri tiga langkah di
hadapannya.
“Setan alas!” kembali orang yang wajahnya mirip dengan
Kecruk Putih itu menggeram, “Sepertinya aku harus membunuhmu terlebih dahulu
sebelum mengakhiri petualangan orang yang bernama Juru Martani itu. Bersiaplah,
Kau akan mengalami sebuah benturan ilmu yang belum pernah ada dalam
angan-anganmu.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab, akan tetapi dia
segera mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan menghadapi serangan saudara
kembar Kecruk Putih itu.
Setelah melilitkan cambuknya terlebih dahulu di pinggang, Ki
Rangga yang menyadari sepenuhnya dengan siapa dia berhadapan, segera
mengetrapkan ilmu kebalnya setinggi-tingginya sehingga sejenak kemudian udara
di sekitar Ki Rangga perlahan-lahan terasa mulai menghangat. Ketika kemudian
Panembahan Cahya Warastra telah menggeser kakinya selangkah ke samping, Ki
Rangga Agung Sedayu pun telah siap menghadapi serangan pertama lawannya.
Panembahan Cahya Warastra yang ingin segera mengejar Ki
Patih Mandaraka tidak ingin berlama-lama melayani Ki Rangga Agung Sedayu.
Serangan yang akan dilancarkan ke arah lawannya tidak akan dilakukan tataran
demi tataran, namun langsung pada tataran tinggi dari ilmunya yang nggegirisi
walaupun Panembahan Cahya Warastra merasa masih belum perlu untuk merambah pada
puncak ilmunya.
Beberapa saat kemudian, serangan pertama Panembahan Cahya
Warastra pun meluncur dengan dahsyat menerjang Ki Rangga Agung Sedayu. Dari
telapak tangan Panembahan itu benar-benar telah muncul semburan api yang
menjilat ke arah dada lawannya.
Sekejap Ki Rangga terkesiap menghadapi kecepatan gerak
lawannya. Belum sempat Ki Rangga menggeser kedudukannya untuk menghindari
serangan lawannya, semburan api yang terjulur dari telapak tangan Panembahan
Cahya Warastra telah berhasil menggapai dadanya.
“Gila!” tanpa sesadarnya Ki Rangga menggeram.
Segera saja Ki Rangga Agung Sedayu mengetrapkan ilmu
meringankan tubuhnya yang dipelajari dari kitab Ki Waskita untuk meloncat ke
belakang. Tubuh Ki Rangga melenting ke belakang seolah-olah tanpa bobot. Namun
yang membuat Ki Rangga kembali terkejut adalah gerakan tangan lawannya yang
telah menggapai dadanya itu ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Ketika
Ki Rangga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan meloncat ke belakang,
ternyata tangan itu tetap saja terjulur lurus mengikuti gerak mundur Ki Rangga.
Kali ini bukan hanya ujung semburan api dari pancaran ilmu
lawannya saja yang berhasil menjilat dada Ki Rangga Agung Sedayu, namun
hantaman telapak tangan Panembahan Cahya Warastra benar-benar telah membuat
dada Ki Rangga bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari
puncak bukit.
Hantaman telapak tangan Panembahan Cahya Warastra itu
ternyata belum mampu menembus ilmu kebal Ki Rangga Agung Sedayu, namun getaran
yang diterima oleh Ki Rangga telah membuatnya terlempar ke belakang beberapa
langkah sebelum akhirnya Ki Rangga berhasil menguasai kedudukannya dan kembali
tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
“Luar biasa,” desis Ki Rangga, “Sebuah ujud dari ilmu yang
aneh. Ilmu yang berlandaskan pada dua buah sumber ilmu yang berbeda namun dapat
berpadu dengan begitu sempurna.”
“Tidak usah merajuk Ki Sanak,” bentak Panembahan Cahya
Warastra, “Lebih baik Kau segera menyingkir dari hadapanku agar aku segera
dapat mengejar Ki Patih Mandaraka yang berlaku sangat pengecut. Meninggalkan
medan tanpa berani menerima tantanganku untuk berperang tanding.”
Ki Rangga tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Panembahan,
Ki Patih telah menunjuk aku untuk menghadapi Panembahan. Sebagai seorang
prajurit, pantang bagiku untuk menolak perintah, betapapun beratnya perintah
itu. Selain itu, tentu Ki Patih telah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum
menjatuhkan perintahnya.”
“O..,” orang yang mengaku saudara kembar Kecruk Putih itu
tertawa pendek, “Kau menganggap dirimu cukup pantas untuk menghadapiku hanya
atas dasar perintah dari Juru Martani?” Panembahan Cahya Warastra berhenti
sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah Kau tidak menyadari bahwa Kau telah
diumpankan oleh Patih yang licik itu agar dia bisa menghindar dariku?”
“Tentu tidak,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Ki Patih
adalah seorang yang linuwih dan sekaligus waskita dalam memperhitungkan
kejadian-kejadian yang akan datang atas dasar pertimbangan keadaan di masa kini
dalam hubungannya dengan peristiwa di sekelilingnya.”
“Omong kosong!” bentak Panembahan Cahya Warastra,
“Keberhasilannya selama ini dalam mengatasi segala macam persoalan adalah tidak
lebih dari akal liciknya yang disertai dengan tipu muslihat untuk membenarkan
segala tindakannya.”
“Aku kurang setuju Panembahan,” potong Ki Rangga cepat,
“Kadang-kadang orang sulit membedakan antara licik dan penuh perhitungan.
Orang-orang yang berpihak pada Ki Patih akan memberikan tanggapan atas apa yang
dilakukan oleh Ki Patih itu sebagai tindakan yang penuh dengan perhitungan,
sedangkan pihak lawan akan menyebut itu sebagai tindakan licik, tindakan yang
tidak jantan dan melanggar paugeran.”
Panembahan Cahya Warastra mengerutkan keningnya sejenak.
Kemudian katanya setengah berteriak, “He! Apa katamu tentang Harya Penangsang
yang terbunuh di tepian bengawan sore? Bukankah dengan licik Juru Martani telah
menyuruh Sutawijaya mengendarai seekor kuda betina?”
Ki Rangga tersenyum sambil menggeleng, “Tidak ada aturan
yang melarang seorang prajurit turun ke medan pertempuran dengan mengendarai
kuda betina.”
“Tapi itu dapat disebut licik,” geram Panembahan Cahya
Warastra, “Semua tahu bahwa Gagak Rimang adalah kuda perang yang tidak
diperkenankan untuk berhubungan dengan kuda betina manapun juga. Sehingga
kehadiran kuda betina di tengah-tengah medan pertempuran telah membuat Gagak
Rimang menjadi liar dan sulit dikendalikan.”
“Itulah salah satu perhitungan cerdik dari Ki Juru Martani
pada waktu itu yang luput dari pengamatan para perwira Jipang. Mereka begitu
yakin dengan kesaktian Harya Penangsang sehingga kelengahan itu harus ditebus
dengan sangat pahit.”
“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan Cahya Warastra dengan
muka merah membara, “Sudah cukup waktu yang kuberikan kepadamu untuk berpikir.
Sekarang kesempatan itu sudah tertutup. Jangan terlalu membanggakan ilmu
kebalmu yang masih mentah itu. Bajumu di bagian dada telah hangus terbakar oleh
ilmuku, itu membuktikan bahwa ilmu kebalmu masih jauh dari sempurna.
Ketahuilah, ilmu kebal yang sempurna itu akan dapat merambah pada benda-benda
di sekitarnya yang berhubungan erat dengan orang yang mempunyai ilmu kebal itu.
Seseorang yang telah sempurna ilmu kebalnya tidak akan tertembus oleh ilmu
lawan walaupun hanya ujung bajunya.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu tertegun mendengar uraian
Panembahan Cahya Warastra. Dia memang pernah mendengar ilmu kebal semacam itu,
ilmu yang dapat membuat pemiliknya kebal sampai dengan baju yang dipakainya
sekalipun. Namun menurut gurunya, tidak ada ilmu yang sempurna di dunia ini.
Walaupun seseorang dapat melindungi dirinya sampai dengan baju yang dipakainya,
namun sebuah getaran ilmu yang sangat kuat dan tajam justru akan dapat menembus
dan menghancurkan tulang dan daging tanpa harus merusak kulit dan baju
pembungkusnya.
Dalam pada itu, Ki Ageng Blarak Sineret ternyata masih bisa
berpikir jernih dan tidak terbawa arus perasaannya. Ketika Ki Ageng Blarak
Sineret melihat pasukan berkuda Jalamangkara menarik diri dan bergabung dengan
pasukan Mataram yang baru datang, dengan cepat dia segera bergeser dari
tempatnya dan memberi isyarat kepada pasukan Panembahan Cahya Warastra yang
telah bergabung dengan pasukan Bango Lamatan untuk menyusun gelar dibantu oleh
para pemimpin perguruan. Sesuai dengan arahan sebelumnya dari Panembahan Cahya
Warastra, Ki Ageng Blarak Sineret telah ditunjuk menjadi senopati pengapit
bersama Bango Lamatan. Namun ternyata sampai saat itu Bango Lamatan belum
menampakkan batang hidungnya sehingga Ki Ageng Blarak Sineret telah mengambil
alih pasukan karena Panembahan Cahya Warastra sendiri telah mengikatkan diri
dengan Ki Rangga Agung Sedayu dalam sebuah perang tanding.
Berangsur-angsur pasukan Panembahan Cahya Warastra telah
menyesuaikan dengan gelar yang mereka susun, Gelar Capit Urang. Segera saja
tampak kesibukan yang luar biasa. Beberapa pemimpin perguruan telah berkumpul
di depan Ki Ageng Blarak Sineret untuk mendapatkan penjelasan singkat.
“Aku akan berada di kepala gelar,” berkata Ki Ageng Blarak
Sineret memulai pengarahannya, “Sambil menunggu Ki Bango Lamatan dan Ki Gede
Ental Sewu hadir, aku mohon Ki Wasi Jaladara untuk mendampingiku di ujung
gelar.”
Ki Wasi Jaladara yang berada di samping Ki Ageng Blarak
Sineret hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah kata pun.
“Untuk di kedua ujung gelar,” berkata Ki Ageng Blarak
Sineret selanjutnya, “Aku mohon Nyi Rahutri, Alap-Alap Siwur Bang dan Ki Bagus
Lelana di ujung kiri gelar, sedangkan Kiai Sadaksada, Ki Rudraksa dan Ki Bagas
Waras berada di ujung gelar yang lain.”
Para pemimpin perguruan yang telah disebut namanya hanya
mengangguk-anggukkan kepala mereka tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut
mereka untuk menolak atau pun menyatakan keberatannya. Namun tiba-tiba dua
orang telah mendesak maju.
“Mohon maaf Ki Ageng,” berkata salah satu dari keduanya,
“Kami sepasang Iblis bertangan badai dari kali Dadung mohon arahan.”
Ki Ageng Blarak Sineret sejenak mengerutkan keningnya sambil
menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Dilemparkan pandangan matanya ke
sekeliling, seolah-olah ada yang sedang dicarinya.
“Di manakah Kiai Sasadara dan Ki Ajar Wiyat?” bertanya Ki
Ageng kepada mereka yang hadir tanpa memperdulikan permintaan Sepasang Iblis
bertangan badai dari kali Dadung.
Sejenak mereka yang hadir saling berpandangan, mereka memang
tidak melihat kedua orang itu semenjak tadi.
“Mereka berdua mendampingi Ki Bango Lamatan untuk menyerbu
padukuhan induk Menoreh pagi tadi,” akhirnya seseorang menjawab pertanyaan Ki
Ageng Blarak Sineret.
“Aku tahu itu,” jawab Ki Ageng cepat, “Akan tetapi mengapa
mereka tidak ikut menarik diri bersama-sama dengan pasukan yang lain?”
“Ki Bango Lamatan dan Ki Gede Ental Sewu juga belum tampak
hadir di antara kita,” tiba-tiba Ki Wasi Jaladara yang sedari tadi hanya diam
saja telah berdesis perlahan.
Kembali Ki Ageng Blarak Sineret menarik nafas dalam-dalam.
Berbagai dugaan timbul dalam benaknya, mengapa para tokoh-tokoh penting sejauh
ini belum bergabung dengan pasukan induk Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah mereka sedang terlibat dalam sebuah pertempuran yang
membuat mereka terikat sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menarik diri
bersama-sama pasukan?” pertanyaan itu bergulung-gulung dalam dada Ki Ageng
Blarak Sineret.
“Kita jangan tergantung dengan mereka yang tidak hadir
disini,” tiba-tiba terdengar suara merdu menyela, “Pasukan lawan sudah mulai
bergerak dengan gelar Garuda Nglayang, sedangkan kita di sini masih disibukkan
dengan segala urusan yang tidak jelas. Lebih baik kita segera bersiap. Apabila
kemudian para tokoh-tokoh penting itu hadir di medan, segala sesuatunya dapat
diatur kemudian.”
Hampir bersamaan semua yang hadir di situ berpaling ke arah
seseorang yang sedang berdiri dengan anggunnya, Nyi Rahutri.
Sejenak suasana menjadi hening. Segera saja beberapa pasang
mata laki-laki yang berada di situ dengan tanpa berkedip menyelusuri seluruh
lekuk-lekuk tubuh pemimpin Perguruan Pamulatsih itu dengan sorot mata yang
nanar dan sedikit liar.
Untuk beberapa saat hati Nyi Ayu Rahutri bagaikan tercekat
begitu menyadari berpasang-pasang mata laki-laki yang ada di sekitarnya
seolah-olah sedang menggerayangi sekujur tubuhnya yang terbungkus oleh pakaian
khusus yang ringkas dan ketat.
Dengan sedikit tersipu cepat-cepat Nyi Ayu Rahutri bertanya
perlahan, “Apakah pendapatku salah?”
“O, tidak..tidak,” beberapa orang tanpa disadari telah
menyahut.
“Jadi..? Bagaimana selanjutnya..?” kembali Nyi Ayu Rahutri
bertanya dengan nada sedikit manja.
Sejenak mereka yang hadir di situ hanya dapat saling pandang
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Beberapa orang yang sudah dapat menguasai
diri segera menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi laju detak jantung
mereka yang tiba-tiba saja telah melonjak-lonjak. Sedangkan beberapa yang lain
segera melemparkan pandangan mata mereka ke titik-titik di kejauhan sambil
menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir bayangan aneh yang tiba-tiba saja
menyusup dalam benak mereka.
“Pendapatmu benar, Nyi Rahutri,” Ki Ageng Blarak Sineret lah
yang segera menyahut untuk mencairkan suasana, “Kita akan menghadapi Mataram
dengan kekuatan yang ada. Jangan membuang-buang waktu lagi. Marilah kita segera
menempati tempat masing-masing sesuai dengan apa yang telah aku sampaikan
tadi.”
“Bagaimana dengan kami berdua?” tiba-tiba kedua iblis dari
tepian kali Dadung itu kembali bertanya.
“Ki Sanak berdua dapat bergabung dengan beberapa Putut yang
ada di ekor pasukan untuk menjaga jangan sampai pada saat kita sedang disibukkan
oleh pasukan Mataram, para pengawal dari Menoreh itu justru akan menusuk kita
dari belakang.” Akhirnya Ki Ageng Blarak Sineret memutuskan.
Rona merah segera saja mewarnai kedua wajah iblis dari
tepian kali dadung itu. Ada sedikit ketersinggungan di dalam hati mereka karena
tingkat kemampuan mereka yang hanya disamakan dengan kemampuan para Putut
padepokan. Namun mereka sama sekali tidak mempunyai nyali untuk menolak justru
mereka tahu dengan siapa mereka berdua berhadapan.
Demikianlah akhirnya dengan tergesa-gesa para pemimpin
perguruan itu segera menempati tempat mereka masing-masing. Dengan gelar capit
urang mereka telah siap menunggu aba-aba dari Ki Ageng Blarak Sineret untuk
menyerbu pasukan lawan yang telah berada di depan mata.
Dalam pada itu perang tanding antara Ki Rangga Agung Sedayu
melawan Panembahan Cahya Warastra berlangsung dengan dahsyatnya. Tanah bagaikan
dibajak dan debu-debu berhamburan. Sementara pepohonan serta gerumbul-gerumbul
liar yang terdapat di sekitar perang tanding itu telah porak poranda.
Ranting-ranting sebesar lengan orang dewasa berderak derak berpatahan terkena
sambaran angin pukulan kedua orang yang sudah hampir putus segala kawruh lahir
dan batin itu. Bahkan gerumbul-gerumbul bagaikan tercerabut dari akarnya dan
ikut berhamburan tertiup angin pusaran yang timbul dari akibat dahsyatnya
perang tanding itu.
Semakin lama lingkaran pertempuran itu semakin bergeser
mendekati pintu gerbang padukuhan induk yang sudah runtuh terbakar menjadi abu.
Ki Ageng Blarak Sineret yang mengambil alih sementara pimpinan pasukan
Panembahan Cahya Warastra menyadari sepenuhnya bahwa pertempuran antara kedua
orang linuwih itu tidak bisa diganggu, sehingga dia telah merencanakan untuk
menggeser pasukannya menjauhi lingkaran pertempuran.
“Kita tidak dapat membiarkan lingkaran pertempuran
Panembahan Cahya Warastra itu berada di dalam gelar kita. Kita harus membangun
kekuatan gelar capit urang agak jauh dari dinding padukuhan, agar tidak
mengganggu perang tanding itu,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret kepada Ki Wasi
Jaladara yang mendampinginya.
Ki Wasi Jaladara mengangguk. Kemudian dia segera meneriakkan
aba-aba sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, sedangkan tangan
kirinya yang juga terangkat tinggi telah bergerak menunjuk ke arah luar menjauhi
dinding padukuhan. Suara teriakan yang dilambari dengan tenaga cadangan itu
segera menggema ke seluruh pasukan sehingga para pemimpin pasukan yang berada
di kedua ujung gelar segera bersiap untuk menindak lanjuti.
“Apakah kita akan membiarkan Panembahan Cahya Warastra
bertempur sendirian di belakang gelar kita?” bertanya seorang Putut dari
Padepokan Cahya Warastra yang berdiri di belakang Ki Ageng Blarak Sineret.
Ki Ageng hanya berpaling ke belakang sekilas sambil
menjawab, “Panembahan Cahya Warastra tidak akan memerlukan waktu yang lama
untuk segera menyelesaikan lawannya. Sementara pasukan pengawal Menoreh yang
berada di balik dinding padukuhan induk bukan ancaman yang berarti bagi
Panembahan.”
Putut itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sepenuhnya
percaya dengan kesaktian pemimpin perguruannya, namun di dalam hatinya
terbersit kekhawatiran akan keselamatan pemimpinnya itu jika lawan ternyata
tidak segan untuk berbuat curang dengan meminta bantuan seluruh pengawal
Menoreh yang berada di balik dinding padukuhan itu untuk beramai-ramai
mengeroyok Panembahan Cahya Warastra.
“Tapi aku yakin, Panembahan akan dapat mengatasi semua itu
walaupun seisi Tanah Perdikan Menoreh ini beramai-ramai mengeroyoknya,” berkata
Putut itu dalam hati sambil tersenyum tipis dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah kita bergerak,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret
membuyarkan angan-angan Putut dari perguruan Panembahan Cahya Warastra itu,
“Usahakan kedua ujung gelar kita bergerak mendahului untuk menghancurkan sayap-sayap
gelar Garuda Nglayang pasukan lawan. Sementara dua kelompok putut-putut yang
terpilih dari setiap perguruan yang telah kita persiapkan agar menyusup
diantara barisan pasukan kita menuju ke masing-masing ujung gelar untuk
memberikan kejutan di kedua sayap pasukan lawan.”
Ki Wasi Jaladara sejenak mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian, “Apakah Ki Ageng bermaksud memberikan bantuan di kedua ujung gelar
capit urang untuk menambah tekanan kepada kedua sayap pasukan lawan?”
“Ya,” jawab Ki Ageng cepat, “Begitu benturan pertama
terjadi, kita akan melihat keseimbangan medan beberapa saat. Jika pasukan kita
di kedua ujung gelar menguasai medan, kelompok para Putut terpilih dari setiap
perguruan itu akan mempercepat hancurnya kekuatan lawan.”
“Jika pasukan kita yang terdesak atau kekuatannya seimbang
dengan pasukan Mataram?”
“Kelompok khusus para putut terpilih akan menambah kekuatan
kita di setiap ujung gelar atau paling tidak akan memberikan keseimbangan dalam
memberikan perlawanan.” Jawab Ki Ageng Blarak Sineret mantap.
Ki Wasi Jaladara hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika pandangan matanya kemudian menatap ke arah barisan pasukan lawan, tampak
pasukan Mataram sudah siap dalam gelar garuda Nglayang.
Demikianlah ketika Ki Ageng Blarak Sineret sudah merasa
cukup dengan segala persiapan pasukannya, tombak pendek di tangan kanannya
segera diangkat tinggi-tinggi. Segera saja terdengar suara teriakan menggelegar
dari Ki Wasi Jaladara memberi aba-aba untuk menyerbu lawan.
Dengan suara gemuruh dan teriakan serta sumpah serapah,
pasukan Panembahan Cahya Warastra bagaikan air bah yang turun dari
lereng-lereng bukit menerjang apa saja yang dilewatinya, gerumbul-gerumbul
perdu, bebatuan yang berserakan dan pohon-pohon kecil yang tidak begitu kuat
akarnya ikut terseret arus banjir bandang.
Pasukan Mataram ternyata mempunyai perhitungan lain. Mereka
tidak menyongsong pasukan lawan yang menyerbu dengan teriakan gegap gempita
serta senjata yang terangkat tinggi-tinggi siap menebas leher lawan. Namun
pasukan Mataram tetap menunggu di tempat mereka menggelar kekuatan. Perlahan
tapi pasti mereka justru telah bergerak mengatur jarak yang cukup antara
prajurit satu dengan yang lainnya agar pada saat terjadi benturan pertama,
mereka tidak salah mengayunkan senjata yang justru akan dapat melukai kawan
sendiri.
Tumenggung Singayudha dan Surayudha yang berada di kepala
gelar sejenak saling pandang begitu melihat pasukan Panembahan Cahya Warastra
berlari-larian sambil mengangkat senjata mereka yang terayun-ayun mengerikan.
Pasukan lawan memang telah memasang gelar capit urang namun dalam
perkembangannya kelihatannya pasukan lawan itu dengan cepat dapat mengubah
gelar menjadi jurang grawah atau pun gedong minep.
“Luar biasa,” desis Tumenggung Singayudha tanpa disadarinya,
“Ternyata Panembahan Cahya Warastra mampu menghimpun sedemikian besar pasukan
dari berbagai perguruan yang ada di tanah ini.”
Tumenggung Surayudha yang ada di sebelahnya tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Pasukan itu memang
kelihatannya sangat besar, namun sesungguhnya sangat rapuh dan mudah
tercerai-berai.”
Tumenggung Singayudha mengerutkan keningnya sambil
berpaling. Katanya kemudian, “Mengapa Kakang mengatakan pasukan sebesar itu
sangat rapuh dan mudah sekali tercerai-berai?”
“Mereka berjuang tidak atas dasar keyakinan yang kuat.
Mereka berjuang untuk kepentingan golongan mereka masing-masing,” Tumenggung
Surayudha berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Berbeda dengan kita para
prajurit Mataram, kita berjuang dengan landasan keyakinan yang sama, keyakinan
akan kebenaran dan demi tetap tegaknya pemerintahan Mataram di atas tanah ini.”
Sejenak Tumenggung Singayudha termenung. Sudah berapa puluh
kali sejak Panembahan Senopati memindahkan pemerintahan dari Pajang ke Mataram
telah terjadi pergolakan di negeri ini. Beberapa pihak merasa tidak puas dengan
pengangkatan Panembahan Senopati menjadi pemimpin tertinggi di tanah ini. Namun
yang justru telah membuat hati para kawula alit sedih dan nelangsa tak
terperikan adalah perang yang terjadi justru kebanyakan bersumber dari tingkah
polah keluarga istana sendiri.
“Marilah,” berkata Tumenggung Surayudha menyadarkan
Tumenggung Singayudha dari lamunannya, “Beri perintah untuk meniup sangkakala
dan genderang untuk memulai peperangan ini.”
Tumenggung Singayudha segera memberi isyarat kepada Ki Bekel
Sidokepung dari kademangan Candisari yang berdiri tidak jauh di belakangnya
untuk memerintahkan anak buahnya menabuh genderang dan meniup sangkakala.
Sejenak kemudian udara di atas padukuhan induk itu pun telah
digetarkan oleh bunyi sangkakala yang menggelegar ditingkah dengan suara
genderang yang ditabuh bertalu-talu. Pasukan cadangan Mataram itu memang tidak
membawa bende Kiai Becak karena bende itu telah dibawa oleh pasukan yang
melawat ke Panaraga. Sebagai gantinya pasukan cadangan Mataram telah membawa
sangkakala Kiai Sembur Geni dan genderang Kiai Talkanda.
Suara sangkakala Kiai Sembur Geni yang melengking tinggi
memekakkan telinga itu ternyata telah mempengaruhi pasukan Panembahan Cahya Warastra
yang sedang berlari-larian sambil mengacungkan senjata mereka yang
berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari. Untuk beberapa saat langkah mereka
bagaikan tertahan. Apalagi ketika genderang Kiai Talkanda telah ditabuh, getar
suaranya seakan-akan telah menghimpit dan menyesakkan dada.
“Jangan terpengaruh!” teriak Ki Ageng Blarak Sineret sambil
terus melangkah menuju ke tempat pasukan lawan menunggu, “Hancurkan setiap
penghalang. Tidak ada belas kasihan. Rawe-rawe rantas malang-malang putung.”
Teriakan Ki Ageng Blarak Sineret yang mengandung tenaga
cadangan ini ternyata telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap
ketahanan jiwani pasukannya dan membangkitkan kembali semangat perjuangan
mereka. Dengan teriakan yang membahana, pasukan Panembahan Cahya Warastra pun
kembali bergerak dengan cepat menyerbu ke tempat pertahanan para prajurit
Mataram.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Gede Ental Sewu dan Ki
Jayaraga berlangsung dengan dahsyatnya. Kedua orang yang sudah memasuki
masa-masa tua dan sudah selayaknya menikmati hidup dengan menimang cucu itu,
ternyata masih harus mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Keduanya
benar-benar sudah tenggelam dalam pertempuran mengadu ilmu yang tinggi dan
nggegirisi.
Ki Gede Ental Sewu agaknya sudah tidak sabar lagi untuk
segera menyelesaikan pertempuran begitu melihat kedua muridnya yang masih
sangat belia, Sindang wangi dan Bantar Kawung mendekati arena pertempuran.
Apalagi ketika dilihatnya beberapa pengawal yang lain telah mendahului
berkerumun di pinggir arena, hatinya benar-benar menjadi marah. Ki Gede Ental
Sewu mengira kedua muridnya itu telah menyerah dan ditawan oleh para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh.
“Tapi mengapa kedua tangan anak-anak itu tidak diikat?”
sebuah pertanyaan berputar-putar di benak Ki Gede Ental Sewu begitu menyadari
kedua muridnya itu berjalan dengan bebas diiringi oleh Ki Gede Menoreh dan
beberapa pengawal menuju ke tempatnya.
Namun ketika Ki Gede kemudian mendapat kesempatan sekilas
untuk mengawasi medan di sekitarnya, degup jantungnya pun menjadi semakin
kencang begitu menyadari pasukan pengawal Menoreh ternyata telah berada di
mana-mana.
“Gila!” umpat Ki Gede dalam hati sambil menghindari serangan
lawannya yang mengarah ke tengkuk, “Mengapa kedua anak itu tidak ikut mundur
bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra yang telah berada di luar
dinding padukuhan?”
“Pengalaman mereka masih terlalu dangkal sehingga dengan
mudah terjebak di antara para pengawal Menoreh yang lebih berpengalaman,”
kembali Ki Gede Ental Sewu berkata dalam hati.
Maka ketika suatu saat tekanan dari lawannya agak berkurang,
Ki Gede Ental Sewu segera mengambil keputusan untuk menggunakan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya. Dengan cepat Ki Gede telah meloncat ke belakang untuk
mengambil jarak.
Ki Jayaraga terkejut begitu menyadari lawannya telah
mengambil jarak. Panggraitanya yang tajam segera menyadari bahwa lawannya telah
mengambil keputusan untuk menggunakan puncak ilmunya.
“Kakang Respati,” berkata Ki Jayaraga berusaha untuk meredam
kemarahan lawannya, “Apakah Kakang bermaksud mengakhiri pertempuran ini dengan
salah satu dari kita harus menjadi banten?”
“Tutup mulutmu, Pradapa,” geram Ki Gede Ental Sewu dengan
wajah yang membara, “Hari ini aku telah memutuskan hanya salah satu dari kita
yang berhak menghirup segarnya udara dan teriknya sinar Matahari. Kalau Kau
merasa takut melihat kenyataan, berlututlah di hadapanku dan tundukkan
kepalamu, aku berjanji untuk tidak terlalu menyakitimu pada saat membunuhmu.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ada sebuah penyesalan
yang membelit hati tuanya. Penyesalan yang tak mungkin dapat ditebus sampai
saatnya nanti ajal akan menjemput di akhir hayatnya.
“Bersiaplah!” teriakan Ki Gede Ental Sewu yang semasa
mudanya bernama Respati Mintuna itu telah menyadarkan Ki Jayaraga akan kenangan
masa lalunya, “Aku tidak akan memberimu peringatan untuk kedua kalinya. Sekali
peringatan itu sudah terlalu banyak bagi orang sepertimu, orang yang hanya
mementingkan diri sendiri dan meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya
menjadi beban kewajibannya.”
Kata-kata Ki Gede Ental Sewu yang terakhir itu bagaikan
ujung sembilu yang dengan sengaja secara perlahan-lahan membelah hati tua Ki
Jayaraga menjadi potongan–potongan yang berserakan tak berarti. Kenangan akan
Niken Larasati yang telah terpendam berpuluh-puluh tahun yang lalu telah muncul
kembali dan seakan-akan baru saja terjadi kemarin sore.
Ketika Ki Jayaraga masih bergulat dengan kenangan masa
lalunya, tiba-tiba Ki Gede Ental Sewu telah berteriak lantang, “Tataplah
langit, peluklah bumi, Pradapa. Jangan rindukan lagi terbitnya Matahari esok
pagi!”
Terkejut Ki Jayaraga bagaikan tersengat ribuan lebah.
Serangan Ki Gede Ental Sewu yang dilambari dengan ilmu puncaknya telah meluncur
dengan dahsyat menerjang dadanya.
Tidak ada kesempatan bagi Ki Jayaraga untuk mengetrapkan Aji
Sigar bumi dalam menghadapi gempuran Ki Gede Ental Sewu. Yang dapat dilakukan
hanyalah menghindari serangan lawan sejauh-jauhnya.
Dengan cepat Ki Jayaraga segera menjatuhkan dirinya
berguling ke kanan beberapa kali, bahkan dengan sengaja Ki Jayaraga menambah
lagi beberapa putaran untuk menghindari kemungkinan akan adanya serangan
susulan.
Serangan Ki Gede Ental Sewu yang bagaikan tatit melompat di
udara itu ternyata hanya mengenai tempat kosong, sehingga sebuah kekuatan yang
dahsyat telah meluncur menghantam sebuah pohon sebesar pelukan orang dewasa
yang berada segaris dengan serangan Ki Gede Ental Sewu. Akibatnya adalah sangat
dahsyat dan nggegirisi sehingga membuat jantung mereka yang hadir di seputar
arena pertempuran itu telah tergetar dengan hebat, bahkan sebagian pengawal ada
yang merasa seolah-olah jantung mereka bagaikan telah terlepas dari tangkainya.
Sementara kedua murid dari perguruan Ental Sewu di lereng
Gunung Sindara, Sindang Wangi dan Bantar Kawung seolah-olah tidak percaya
dengan apa yang mereka saksikan, kekuatan puncak dari aji kebanggaan perguruan
Ental Sewu yang selama ini hanya mereka dengar dari dongengan para Putut dan
Cantrik padepokan.
Pohon sebesar pelukan orang dewasa itu sejenak bergetar sebelum
akhirnya meledak pecah berkeping-keping. Tanah tempat tumbuh pohon itu pun ikut
terbongkar sampai dengan akar-akarnya sehingga tanah bercampur batu-batu kecil
dan debu serta serpihan-serpihan kayu bercampur dedaunan berhamburan memenuhi
udara seputar arena pertempuran.
Sejenak pandangan di seputar arena itu menjadi kabur. Ki
Gede Menoreh yang mengawasi jalannya perang tanding dari pinggir arena menjadi
berdebar-debar. Kekuatan aji lawan Ki Jayaraga ini benar-benar tidak dapat
dipandang dengan sebelah mata. Namun Ki Gede Menoreh yakin, Ki Jayaraga yang
telah dikenalnya sejak Kiai Gringsing masih hidup itu tentu tidak akan
membiarkan dirinya lumat diterjang ilmu lawannya, Ki Jayaraga tentu mempunyai
perhitungan-perhitungan yang mungkin tidak terpikirkan oleh lawannya.
“Seandainya Ki Rangga Agung Sedayu telah hadir disini,”
tiba-tiba tanpa disadarinya Ki Gede Menoreh bergumam perlahan.
“Apakah seorang lawan telah mampu menahannya sehingga sampai
saat ini dia belum mendapatkan jalan untuk memasuki padukuhan induk?” kembali
Ki Gede Menoreh bertanya-tanya dalam hati.
Untuk sejenak ingatan Ki Gede Menoreh melayang kepada Ki
Rangga Agung Sedayu, pemimpin pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di
Menoreh. Ki Gede Menoreh memang telah mendengar bunyi ledakan cambuk Ki Rangga
Agung Sedayu beberapa saat yang lalu namun dia belum mengetahui bahwa di luar
dinding padukuhan induk sedang terjadi perang tanding hidup mati antara Ki
Rangga Agung Sedayu dan Panembahan Cahaya Warastra.
“Jika sejauh ini Ki Rangga Agung Sedayu masih tertahan di
luar dinding padukuhan induk, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pasukan
Panembahan Cahya Warastra benar-benar terdiri dari orang-orang yang pilih
tanding,” kembali Ki Gede Menoreh berangan-angan.
Namun angan-angan Ki Gede Menoreh menjadi buyar bagaikan
awan tipis yang tertiup angin kencang ketika mendengar teriakan lawan Ki
Jayaraga yang menggelegar memekakkan telinga.
“Pengecut!” teriak Ki Gede Ental Sewu dengan gigi
bergemeretakan menahan amarah yang tiada taranya, “Pradapa, kalau memang Kau
jantan, jangan hanya menghindar. Terimalah seranganku ini dengan dada
tengadah.”
Selesai berkata demikian, kembali Ki Gede Ental Sewu
memusatkan segenap nalar budinya untuk mengulangi serangannya.
Ki Jayaraga yang telah melenting berdiri kini tidak ada
pilihan lain baginya kecuali harus melawan. Sejenak kemudian Ki Jayaraga pun
telah berdiri dengan kokoh di atas kedua kakinya yang renggang, siap
membenturkan aji sigar bumi dengan aji pamungkas dari Perguruan Ental Sewu di
lereng Gunung Sindara.
Sejenak kemudian, dengan sebuah lompatan panjang Ki Gede
Ental Sewu telah mengayunkan tangannya ke arah ubun-ubun Ki Jayaraga. Tangan
kanan Ki Gede Ental Sewu yang terayun mengarah ubun-ubun lawannya itu tampak
bercahaya menyilaukan dari siku sampai telapak tangannya yang terbuka dengan
jari-jari merapat. Cahaya yang terpancar itu begitu menyilaukan pandangan mata
sehingga mereka yang hadir di pinggir arena tidak berani memandang langsung dan
memilih untuk memalingkan kepala.
Ki Jayaraga yang melihat cahaya menyilaukan terpancar dari
tangan Ki Gede Ental Sewu tidak bergeming. Dengan sepenuh hati dipanjatkan doa
kepada Yang Maha Hidup untuk memohon perlindunganNya dan pasrah atas apa yang
akan menjadi ketentuan dari garis hidupnya.
Dengan sedikit merendahkan kedua lututnya, Ki Jayaraga yang
telah siap dengan aji sigar bumi segera menyilangkan kedua tangan di atas
kepalanya untuk melindungi diri dari terjangan aji pamungkas perguruan Ental
Sewu dari lereng Gunung Sindara.
Sejenak kemudian sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi.
Memang Ki Gede Ental Sewu sengaja membenturkan ilmunya langsung melalui
tangannya, tidak dengan lontaran ilmu jarak jauh, untuk memberikan dampak
benturan yang berlipat ganda kepada lawannya.
Benturan yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan medan
pertempuran. Sebuah ledakan yang mengguntur telah memekakkan telinga sedangkan
getaran yang ditimbulkan akibat benturan itu telah menyentuh dada setiap orang
yang hadir di seputar arena. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Para pengawal
yang tidak mempunyai ketahanan tubuh yang cukup kuat telah terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi dada mereka yang rasa-rasanya bagaikan terhimpit
berbongkah-bongkah batu padas. Bahkan beberapa diantaranya telah jatuh tidak
sadarkan diri. Sementara kilatan cahaya yang menyilaukan akibat benturan ilmu
kedua orang yang linuwih itu untuk beberapa saat telah membutakan pandangan
orang-orang yang hadir di seputar medan.
Ternyata ketahanan tubuh kedua orang tua itu hampir
seimbang. Akibat benturan itu ternyata telah melontarkan keduanya beberapa
langkah ke belakang. Sejenak keduanya masih yang terhuyung-huyung sambil
memegangi dada mereka masing-masing yang rasa-rasanya tulang-tulang iganya
telah berpatahan.
Setelah menghentakkan kekuatannya untuk menahan laju tubuhnya
yang terseret ke belakang, Ki Jayaraga yang terlebih dahulu dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya telah kembali tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
Ketika Ki Jayaraga melontarkan pandangan matanya ke depan,
dilihatnya Ki Gede Ental Sewu yang mengalami sedikit kesulitan dalam
mengembalikan keseimbangan tubuhnya ternyata telah berhasil untuk berdiri tegak
kembali. Sambil menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk melonggarkan
dadanya yang bagaikan terhimpit sebuah bukit, pemimpin perguruan Ental Sewu itu
pun kemudian segera bergeser beberapa langkah ke depan untuk kembali siap
menyabung nyawa.
“Kakang Respati,” berkata Ki Jayaraga begitu melihat
lawannya telah menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Apakah benar-benar
tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan di antara kita ini?”
“Inilah jalan yang telah aku pilih,” geram Ki Gede Ental
Sewu yang semasa mudanya bernama Respati Mintuna, “Salah satu diantara kita
harus mati. Aku tidak mau hidup di bawah langit yang sama dengan orang yang
telah menodai nama baik keluargaku. Hari ini juga dendam setinggi langit
sedalam lautan ini harus dituntaskan.”
Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam menanggapi
kata-kata lawannya. Hati tuanya benar-benar bagaikan teriris-iris sembilu. Niat
baiknya untuk meluruskan peristiwa yang telah terjadi berpuluh tahun yang lalu
ternyata telah membentur sebuah dinding batu yang tak tergoyahkan.
“Nah, Pradapa. Terserah Kau akan melawan atau tidak, ilmuku
akan segera melumatmu,” berkata Ki Gede Ental Sewu kemudian.
Agaknya pemimpin perguruan di lereng Gunung Sindara itu
telah siap dengan puncak ilmunya dalam ujud yang lain. Kedua tangannya yang
semula bersilang di depan dada segera diuraikannya. Dengan penuh kepercayaan
diri yang tinggi, dia pun melanjutkan kata-katanya, “Aku tidak akan bertempur
seperti anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan, berloncat-loncatan
dan saling mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun aku akan
menggunakan ilmu yang berlandaskan kekuatan batin. Bersiaplah kalau tidak ingin
tubuhmu lumat menjadi seonggok daging dan serpihan tulang.”
Selesai berkata demikian, Ki Gede segera berdiri tegak
menghadap penuh ke arah lawannya dengan kaki yang renggang. Kedua tangannya
terjulur lurus dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah Ki Jayaraga.
Sejenak kemudian, perlahan-lahan kabut tipis tampak muncul
dari kedua belah telapak tangan Ki Gede Ental Sewu yang terbuka. Kabut itu
berwarna putih kebiru-biruan bergerak perlahan mengarah ke tempat lawannya
berdiri.
Terkesiap guru Glagah Putih itu melihat kabut tipis yang
berwarna putih kebiru-biruan bergerak perlahan dengan pasti menuju ke arahnya.
Semakin lama kabut itu semakin tebal dan bergerak bagaikan kepala seekor ular
berbisa yang siap mematuk dada Ki Jayaraga.
Sekilas Ki Jayaraga teringat dengan Kiai Gringsing, guru Ki
Rangga Agung Sedayu yang telah lama meninggal. Pertemuannya dengan Kiai
Gringsing telah mengubah jalan hidupnya yang semula selalu penuh dengan
gelimang noda. Sebuah pertemuan yang harus ditebus dengan mengadu ilmu seperti
yang sekarang sedang terjadi antara dirinya dengan Ki Gede Ental Sewu.
Namun Ki Jayaraga tidak dapat berlama-lama membiarkan
angannya terbang ke masa lalu. Ketika dilihatnya kabut tipis yang berwarna
putih kebiru-biruan itu telah semakin dekat dengan tempatnya berdiri, dengan
cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Ki Jayaraga hanya memerlukan
waktu sekejap untuk mengungkapkan ilmunya, ilmu yang sama ketika dia bertemu
dengan Kiai Gringsing untuk pertama kalinya.
Dengan berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, Ki
Jayaraga pun kemudian mengambil sikap yang sama dengan lawannya. Kedua
tangannya terjulur lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka. Sejenak
kemudian, kabut tipis yang berwarna putih kemerah-merahan telah meluncur dari
kedua telapak tangan Ki Jayaraga menyambut serangan lawannya.
Perlahan tapi pasti kedua kabut tipis yang berbeda warna itu
saling bertemu dan membentuk garis batas yang jelas. Kabut yang berwarna putih
kebiru-biruan itu tampak mendesak kabut yang berwarna putih kemerah-merahan.
Sejenak keduanya saling mendesak sehingga suasana sangat mencekam. Seandainya
saja ada sebatang jarum yang runtuh ke tanah, niscaya bunyi dentingannya akan
mengejutkan orang-orang yang ada di seputar arena.
Ki Gede Menoreh yang ikut menyaksikan pertempuran kedua
orang linuwih itu menjadi berdebar-debar. Beberapa tahun yang lalu Ki Gede
pernah menyaksikan pertempuran serupa antara Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing.
Suasananya benar-benar mencekam walaupun tidak ada teriakan atau pun benturan
yang menggelegar, namun udara di sekitar medan pertempuran seakan-akan telah
bergetar dengan dahsyat dan menghentak-hentak setiap dada.
Sindang Wangi dan Bantar Kawung justru telah berdiri saling
merapat. Kakak beradik itu seakan-akan telah berdiri di atas seonggok bara
menahan ketegangan hati yang luar biasa sehingga keringat mereka telah
bercucuran membasahi pakaian.
Semakin lama pertempuran yang tidak kasat mata itu menjadi
semakin dahsyat. Keduanya telah berdiri dengan tubuh yang bergetar menahan
gejolak ilmu yang telah mereka benturkan dengan cara tidak seperti kebanyakan
orang-orang mengadu ilmu. Kedua tangan yang teracu kedepan itu pun mulai
terlihat bergetar dan lelah bagaikan menahan sebongkah batu padas yang beratnya
beratus-ratus kati.
Kabut yang keluar dari kedua telapak tangan Ki Gede Ental
Sewu semakin lama menjadi semakin tebal dan bergejolak berusaha mendesak kabut
yang keluar dari telapak tangan Ki Jayaraga. Tubuh kedua orang linuwih itu
telah basah kuyup oleh keringat yang keluar bagaikan terperas dari pori-pori
tubuh-tubuh tua yang telah berkeriput. Sama sekali tidak ada teriakan maupun
umpatan, apalagi benturan wadag. Yang ada hanya lah keheningan yang mencekam
jantung sehingga mereka yang hadir menyaksikan pertempuran aneh itu
hampir-hampir telah lupa untuk mengambil nafas.
Ketika kabut yang saling mendesak itu menjadi semakin tebal,
kedua orang yang sedang mengadu ketajaman batin itu tenaganya benar-benar
bagaikan telah terhisap oleh bumi. Namun apapun yang akan terjadi, keduanya
tetap akan bertahan pada kedudukan masing-masing. Mereka tidak akan
mengendur-kan serangan mereka sekejap pun yang justru akan dapat berakibat
sangat mengerikan. Sejenak kemudian keduanya tampak telah berusaha untuk
melumpuhkan lawannya dengan menghentakkan sisa-sisa kekuatan mereka. Kabut pun
menjadi semakin tebal namun batas antara keduanya perlahan-lahan telah bergeser
mendekat kearah Ki Gede Ental Sewu.
Dengan semakin dahsyatnya pertarungan batin antara kedua
orang yang telah sampai pada batas puncak kemampuan mereka itu, ternyata udara
di seputar arena menjadi seperti dipampatkan sehingga pepohonan yang tumbuh
tidak jauh dari medan pertempuran itu telah berguguran daun-daunnya helai demi
helai semakin lama semakin deras sehingga yang tertinggal kemudian hanya lah
dahan dan ranting-rantingnya saja yang meranggas. Sementara dada orang-orang
yang sedang menyaksikan pertempuran itu menjadi sesak dan nafas mereka bagaikan
tersumbat seolah-olah dada mereka telah terhimpit oleh sebuah gunung anakan.
Perlahan tapi pasti batas antara kabut putih kebiru-biruan
dengan kabut putih kemerah-merahan bergeser mendekati Ki Gede Ental Sewu.
Dengan segenap kemampuan yang tersisa, tampak guru Sindang Wangi dan Bantar
Kawung itu mencoba menghentakkan puncak ilmunya. Namun keadaannya sudah
sedemikian payah. Kedua lututnya sudah tampak gemetar sehingga kedudukan kedua
kakinya yang renggang mulai goyah. Ketika batas kabut itu sudah tinggal
berjarak satu jengkal dengan kedua telapak tangan Ki Gede Ental Sewu yang terjulur
ke depan, sudah tidak ada lagi kekuatan yang mampu menopang tubuhnya sehingga
pemimpin perguruan Ental Sewu dari gunung Sindara itu pun telah terjatuh pada
kedua lututnya.
Beberapa saat kemudian, kedua tangan Ki Gede yang teracu
kedepan tampak semakin menggigil seperti orang kedinginan. Keadaan Ki Gede
Ental Sewu ini terlihat sudah sedemikian parah sehingga ketika kedua tangannya
tidak mampu lagi bertahan dan jatuh di kedua sisi tubuhnya, kepalanya pun
akhirnya sudah tidak mampu lagi untuk tetap tegak.
Ketika kepala itu kemudian jatuh terkulai, tubuh Ki Gede
yang telah basah kuyup oleh keringatnya sendiri itu pun akhirnya jatuh
terguling ke samping kanan dan telentang tak berdaya.
Sementara Ki Jayaraga yang telah menghentakkan sisa-sisa
kemampuannya ternyata juga mengalami hal yang hampir sama dengan lawannya di
saat-saat terakhir. Ketika hentakkan puncak ilmunya telah mampu membuat
lawannya jatuh terkulai, Ki Jayaraga pun ternyata telah mengalami kelelahan
yang luar biasa. Tenaganya bagaikan terkuras habis dan kedua kakinya tidak
mampu lagi menopang berat tubuhnya sehingga perlahan-lahan Ki Jayaraga pun
telah terjatuh pada kedua lututnya. Dengan sisa-sisa tenaganya Ki Jayaraga
berusaha duduk bersila untuk mengatur pernafasannya yang terasa bagaikan tersumbat
di kerongkongan. Sementara sekujur tubuhnya telah basah kuyup oleh keringatnya
sendiri.
Ki Gede Menoreh yang melihat akhir dari perang tanding itu
segera tanggap. Dengan tergopoh-gopoh pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu
sambil menjinjing tombak pendeknya segera berlari mendapatkan Ki Jayaraga yang
agaknya mendapatkan kesulitan untuk duduk bersila.
“Ki Jayaraga,” bisik Ki Gede sesampainya di sisi Ki
Jayaraga.
Sambil berlutut di sebelah Ki Jayaraga, Ki Gede Menoreh
segera meletakkan tombak pendek pusaka Menoreh di atas tanah terlebih dahulu
sebelum menolong Ki Jayaraga.
“Terima kasih Ki Gede, “ desis Ki Jayaraga hampir tak
terdengar ketika Ki Gede Menoreh berhasil menolongnya untuk dapat duduk bersila
dengan tenang sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah tenggelam dalam
usahanya untuk mengatur pernafasannya yang tersumbat serta membenahi
jalur-jalur urat nadinya yang bagaikan membeku sehingga aliran darahnya tidak
mengalir dengan lancar.
Dalam pada itu, keadaan Ki Gede Ental Sewu benar-benar
sangat gawat. Ketika pemimpin perguruan Ental Sewu dari gunung Sindara itu
terguling dan kemudian telentang tak sadarkan diri, dengan teriakan dan jerit
tangis, kedua muridnya segera berlari mendapatkan guru mereka yang telah
terbujur diam tak bergerak.
“Guru..guru..!” jerit Sidang Wangi sesampainya di tempat
gurunya terbaring diam.
Diiringi dengan isak tangis, tak henti-hentinya Sindang
Wangi mengguncang-guncang tubuh gurunya yang terbaring diam. Sedangkan Bantar
Kawung yang lebih muda usianya ternyata lebih tabah dari kakaknya. Dengan cepat
dilingkarkannya pakaian gurunya untuk membantu menolong pernafasan ki Gede
Ental Sewu yang tampak sangat berat, lemah dan tersendat-sendat. Dengan
perlahan diangkatnya kepala gurunya kemudian diletakkan di atas pangkuannya.
Ketika Bantar Kawung mengangkat kepalanya untuk sekedar
melihat keadaan di sekelilingnya, tampak seseorang yang sangat berwibawa sambil
menjinjing sebuah tombak pendek beserta beberapa pengawal sedang berjalan
menuju ke arahnya.
“Bagaimanakah keadaan Ki Gede Ental Sewu?” bertanya Ki Gede
Menoreh sesampainya di hadapan Bantar Kawung dan Sindang Wangi yang masih
dengan susah payah menguasai isak tangisnya.
“Kami tidak tahu, Ki Sanak,” jawab Bantar Kawung yang belum mengenal
Ki Gede Menoreh, “Seandainya Ki Sanak tidak berkeberatan, sudilah kiranya
menolong guru kami ini.”
Ki Gede Menoreh tersenyum kemudian sambil berpaling ke arah
para pengawal yang berdiri termangu-mangu di sampingnya dia berkata, “Ambillah
beberapa mangkuk air dingin, barangkali nanti diperlukan.”
Beberapa pengawal segera berlari-larian menuju ke rumah yang
terdekat di ujung lorong padukuhan.
Ketika Ki Gede Menoreh kembali merenungi keadaan lawan Ki
Jayaraga, tiba-tiba terdengar langkah kaki di belakangnya diikuti suara
perlahan, “Ma’af Ki Gede, ijinkan aku merawat Ki Gede Ental Sewu. Semoga Yang
Maha Agung masih mengijinkan kita untuk menolongnya.”
Ki Gede Menoreh perpaling, tampak Ki Jayaraga yang sudah
membaik keadaannya sedang berdiri termangu-mangu beberapa langkah di
belakangnya.
“Ki Jayaraga,” desis Ki Gede Menoreh sambil mengerutkan
keningnya, “Apakah keadaan Ki Jayaraga sudah membaik?”
“Demikianlah Ki Gede, Yang Maha Agung telah berkenan
memberikan pertolonganNya. Walaupun belum sepenuhnya pulih seperti sediakala,
aku sangat bersyukur masih diijinkan untuk menghirup udara Tanah Perdikan
Menoreh ini.”
“Syukurlah,” desis Ki Gede perlahan. Kemudian sambil
berpaling ke tempat Ki Gede Ental Sewu terbaring, dia melanjutkan, “Silahkan Ki
Jayaraga. Mungkin Ki Jayaraga dapat menolong meringankan penderitaannya.”
Ki Jayaraga mengangguk. Kemudian dengan sedikit
tergesa-gesa, Ki Jayaraga segera mendekati Ki Gede Ental Sewu yang terbaring
diam dalam pangkuan Bantar Kawung.
Setelah berjongkok di sisi tubuh Ki Gede Ental Sewu yang
terbujur diam, Ki Jayaraga kemudian mencoba mengetahui keadaan lawannya itu
dengan cara meraba dada dan lehernya.
Sejenak kerut merut di dahi Ki Jayaraga pun semakin dalam.
Tubuh itu terasa agak dingin dengan denyut nadi yang sangat lemah dan tak
teratur. Sedangkan pernafasan Ki Gede Ental Sewu hanya sesekali terdengar
perlahan dan sangat lemah.
Sambil memijat beberapa bagian di dada dan tengkuk, Ki
Jayaraga kemudian berkata kepada Bantar Kawung, “Aku akan mengambil obat yang
biasanya disimpan di kantong ikat pinggang Ki Gede.”
Bantar Kawung tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang
terangguk perlahan.
Dengan cekatan jari-jemari keriput Ki Jayaraga segera
mencari di kantong-kantong yang banyak terdapat di ikat pinggang Ki Gede Ental Sewu.
Ketika ujung jari guru Glagah Putih itu kemudian menyentuh sebuah buntalan kain
lusuh, segera saja ditariknya buntalan kecil itu keluar dari salah satu kantong
ikat pinggang Ki Gede.
“Hem..,” desah Ki Jayaraga dalam hati dengan jantung
berdebar, “Agaknya ini obat yang aku maksud. Semoga saja ketahanan tubuh Kakang
Respati masih mampu menahan laju arus racun yang sedang menjalar di seluruh
urat darahnya.”
Dengan bergegas dibukanya buntalan kain lusuh itu. Ketika
matanya tertumbuk pada butiran-butiran berwarna biru, hati Ki Jayaraga pun
bagaikan tersiram banyu sewindu.
“Aku memerlukan air,” berkata Ki Jayaraga sambil berpaling
ke arah Ki Gede Menoreh yang berdiri tegak di sampingnya.
Salah seorang pengawal yang telah kembali dari mencari air
atas perintah Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu segera maju sambil
mengangsurkan sebuah mangkuk dari tanah liat yang berisi air jernih.
“Terima kasih,” berkata Ki Jayaraga perlahan hampir tak
terdengar karena ketegangan yang sedang menguasai hatinya.
Dengan cepat Ki Jayaraga segera memasukkan tiga butir obat
yang berwarna biru itu kedalam mangkuk. Setelah mengaduk dengan telunjuk
jarinya, Ki Jayaraga segera memberi isyarat kepada Bantar Kawung untuk
mengangkat kepala gurunya.
Sedikit demi sedikit Ki Jayaraga mencoba untuk memasukkan
cairan obat itu kedalam mulut Ki Gede Ental Sewu. Memang untuk saat pertama Ki
Jayaraga menemui kesulitan, namun dengan pengalamannya walaupun tidak menekuni
ilmu pengobatan sebagaimana Kiai Gringsing, perlahan-lahan Ki Jayaraga telah
berhasil memasukkan cairan obat itu kedalam mulut Ki Gede Ental Sewu.
Setelah memijat beberapa bagian di leher dan tengkuk,
akhirnya cairan obat itu pun sedikit demi sedikit berhasil masuk kedalam perut
Ki Gede Ental Sewu.
“Biarkan gurumu berbaring di tanah,” berkata Ki Jayaraga
kepada Bantar Kawung yang masih memangku kepala gurunya, “Aku akan membantu
melancarkan jalan pernafasan gurumu.”
Dengan perlahan dan sangat hati-hati, Bantar Kawung
meletakkan kepala gurunya di atas tanah. Kemudian dia segera beringsut beberapa
jengkal untuk memberikan ruang kepada Ki Jayaraga.
Segera saja Ki Jayaraga duduk bersila di atas tanah di
sebelah tubuh ki Gede Ental Sewu yang terbujur diam. Nafas Ki Gede
hampir-hampir tak terlihat. Hanya dadanya saja yang kadang terlihat
bergerak-gerak sedikit, namun kemudian diam kembali untuk waktu yang lama.
Dengan memusatkan nalar budinya, Ki Jayaraga segera
meletakkan kedua telapak tangannya di atas dada Ki Gede Ental Sewu. Sambil
mengerahkan tenaga cadangannya, Ki Jayaraga berusaha menyalurkan hawa panas ke
dada pemimpin Perguruan Ental Sewu itu untuk membantu melonggarkan rongga
dadanya.
Ki Gede Menoreh yang berdiri di belakang ki Jayaraga ikut
merasakan ketegangan yang mencekam. Beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang berkerumun di tempat itu pun ikut menjadi tegang. Tidak ada seorang pun
yang berani bersuara, bahkan untuk sekedar menggerakkan ujung jari mereka pun
rasa-rasanya mereka tidak berani.
Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar keluhan pendek dari
mulut Ki Gede Ental Sewu. Dengan cepat Ki Jayaraga segera melepaskan tangannya
dari dada Ki Gede. Dengan dibantu Bantar Kawung, Ki Jayaraga mencoba mengangkat
tubuh bagian atas Ki Gede sehingga terduduk. Beberapa saat kemudian terdengar
Ki Gede Ental Sewu telah terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika Ki Gede kemudian
memuntahkan segumpal darah yang telah berwarna kehitam-hitaman dari mulutnya,
pernafasan Ki Gede pun rasa-rasanya terlihat semakin longgar. Agaknya gumpalan
darah itulah yang telah menyumbat pernafasan guru Bantar Kawung itu.
Sindang Wangi yang melihat gurunya memuntahkan segumpal
darah yang berwarna kehitam-hitaman telah menjerit kecil sambil menutupi
wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Namun ketika dia kemudian mendengar
desah nafas yang mulai teratur dari gurunya, hatinya yang tinggal semenir itu
seolah-olah telah berkembang kembali.
“Ki Gede Masih belum sadarkan diri,” berkata Ki Jayaraga
kemudian setelah membaringkan kembali tubuh Ki Gede Ental Sewu di atas tanah.
Kemudian sambil berpaling ke arah Bantar Kawung dia melanjutkan, “Apakah Kau
kuat memapah gurumu ke bangsal pengobatan, agar mendapat perawatan yang lebih
baik?”
Sejenak anak yang masih sangat muda itu ragu-ragu sambil
memandang ke arah mbokayunya. Agaknya Sindang Wangi tanggap dengan apa yang
sedang berkecamuk dalam dada adiknya. Maka katanya kemudian, “Apakah dengan
demikian kami berdua dianggap sebagai tawanan?”
“O..tidak tidak,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Kalian bukan
tawanan kami. Kami hanya meminta kalian berdua untuk menunggui guru kalian di
bangsal pengobatan agar mendapat perawatan yang semestinya.”
“Itu berlaku selama perang masih berlangsung,” sela Bantar
Kawung, “Setelah perang selesai nasib kami berdua segera ditentukan.”
“Tidak ngger..,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat
lembut dan sareh, “Kami bukanlah sekelompok orang yang pendendam. Kami
menjunjung tinggi paugeran baik pada saat berlangsungnya perang maupun setelah
selesainya perang.”
Hampir bersamaan Bantar Kawung dan Sindang Wangi mengerutkan
keningnya sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh yang berdiri selangkah di
belakang mereka. Dengan nada sedikit ragu-ragu Sindang Wangi akhirnya bertanya,
“Siapakah kakek ini yang berani menjamin keselamatan kami berdua baik saat ini
maupun nanti setelah perang selesai?”
Ki Gede Menoreh tersenyum lembut. Jawabnya kemudian, “Aku
Argapati, yang diberi kuasa atas Tanah Perdikan Menoreh ini bahwa kalian berdua
tidak akan diganggu seujung rambut pun.”
“Ki Gede Menoreh..!” hampir bersamaan kedua kakak beradik
itu berseru perlahan sambil bangkit berdiri.
“Ya, ngger..,” jawab Ki Gede Menoreh dengan nada dalam,
“Kalian tidak usah ewuh pekewuh di Tanah Perdikan Menoreh ini. Ki Gede Ental
Sewu dan kalian berdua telah aku anggap sebagai tamu-tamuku. Jangan diartikan
ini dengan berlebih-lebihan. Sesungguhnya setiap orang berkewajiban untuk
berniat baik dan melaksanakan niat baik itu dalam sebuah perbuatan yang nyata.”
“Terima kasih atas kemurahan Ki Gede Menoreh. Ma’afkan sikap
kami berdua yang semenjak tadi kurang trapsila dan tidak tanggap dengan siapa
kami berhadapan,” berkata Sindang Wangi selaku yang tertua mewakili adiknya
untuk memohon ma’af kepada penguasa tertinggi di Menoreh itu sambil
membungkukkan badannya dalam-dalam diikuti oleh adiknya.
“Sudahlah,” berkata Ki Gede Menoreh sambil mempersilahkan keduanya
untuk bersikap sewajarnya, “Yang lebih penting sekarang adalah keadaan guru
kalian yang memerlukan perawatan yang lebih bersungguh-sungguh.”
Kedua anak yang masih belia itu hanya mengangguk sambil
menahan gejolak yang berkecamuk dalam dada mereka. Sejenak kemudian Bantar
Kawung dibantu oleh dua orang pengawal telah memapah Ki Gede Ental Sewu menuju
ke salah satu rumah di padukuhan induk yang digunakan sebagai bangsal
pengobatan sementara.
Dalam pada itu sepeninggal Bantar Kawung dan Sindang Wangi yang
mengikuti para pengawal memapah guru mereka menuju bangsal pengobatan, Ki Gede
Menoreh dan Ki Jayaraga segera mengumpulkan para pengawal Menoreh. Beberapa
pengawal yang terluka dan sebagian telah menjadi korban telah dibawa ke bangsal
pengobatan untuk mendapatkan pengobatan maupun persemayaman sementara bagi yang
telah gugur.
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Masih ada
satu pertempuran di dalam padukuhan induk ini. Aku mohon Ki Jayaraga berkenan
untuk melihat keadaan Kiai Sabda Dadi di dekat lorong padukuhan yang menuju ke
sebelah kiri pintu gerbang padukuhan induk yang telah roboh. Terakhir aku
melihat pertempuran antara Kiai Sabda Dadi dan lawannya telah bergeser menjauhi
pintu gerbang sebelah kiri dan masuk ke lorong padukuhan induk. Sementara aku
akan naik ke panggungan yang masih tersisa di dinding sebelah kanan regol untuk
melihat suasana yang sedang terjadi di luar dinding padukuhan.”
“Baiklah Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga sambil mengangguk, “Aku
akan membawa beberapa pengawal yang mungkin akan berguna sebagai penghubung
jika keadaan semakin gawat dan memerlukan pertimbangan Ki Gede.”
“Silahkan Ki Jayaraga. Bawalah dua atau tiga pengawal.
Sedangkan pengawal yang lain akan aku bawa untuk terjun ke medan pertempuran
diluar dinding padukuhan induk jika hal itu memang memungkinkan dan dapat
mempengaruhi jalannya pertempuran.”
“Tentu saja Ki Gede harus membuat hubungan terlebih dahulu
dengan senapati yang memimpin pasukan Mataram agar tidak terjadi
kesalahpahaman.”
“Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Pasukan pengawal
Menoreh akan menyesuaikan dengan gelar yang telah disusun oleh pasukan Mataram.
Selebihnya tambahan kekuatan dari pasukan Menoreh diharapkan akan mempengaruhi
keseimbangan pertempuran.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya
kepada pengawal yang berdiri di sebelahnya, “Kalian berdua ikut aku.”
Kedua pengawal itu belum sempat menjawab ternyata Ki
Jayaraga dengan langkah tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu. Dengan
setengah berlari-lari kecil kedua pengawal itu pun akhirnya mengikuti
langkah-langkah Ki Jayaraga yang telah jauh mendahului.
Sepeninggal Ki Jayaraga, Ki Gede Menoreh segera memberi
isyarat kepada pemimpin pengawal Menoreh untuk ikut naik ke panggungan di
sebelah kanan regol padukuhan induk yang telah runtuh. Sedangkan pengawal yang
lain diperintahkan untuk menunggu.
Ketika Ki Gede Menoreh dan pemimpin pengawal itu telah
mendekati regol padukuhan induk yang telah roboh, dari sela-sela dinding yang
terbuka, mereka melihat pertempuran ternyata telah berkobar dengan dahsyatnya.
“Pertempuran telah dimulai,” desis ki Gede Menoreh, “Kita
akan mencoba membuat hubungan dengan senapati yang memimpin pasukan Mataram.”
“Ya, Ki Gede,” berkata pemimpin pengawal itu. Dia berhenti
sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah pasukan Mataram dipimpin langsung oleh Ki
Patih Mandaraka?”
Ki Gede Menoreh menggeleng, “Aku tidak tahu. Namun menurut
cerita yang aku dengar, Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra
itu telah bangkit dari kuburnya dan sekarang sedang memimpin
perguruan-perguruan yang sealiran dengannya untuk menghancurkan Mataram.
Menurut perhitunganku, kehadiran kembali orang yang mengaku bernama Kecruk
Putih itu tentu saja akan memancing Ki Patih Mandaraka untuk turun ke medan.”
Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar mendengar
keterangan Ki Gede. Dengan ragu-ragu dia akhirnya bertanya, “Ki Gede, apakah
memang ada ilmu semacam itu yang dapat membuat seseorang bangkit kembali dari
kuburnya?”
Ki Gede Menoreh tertawa pendek, jawabnya kemudian, “Alangkah
saktinya kalau memang ada seseorang yang mampu berbuat seperti itu? Aku tidak
yakin kalau orang yang sekarang sedang menggerakkan perguruan-perguruan yang
ada di tlatah ini dari ujung ke ujung adalah orang yang sama dengan Kecruk
Putih yang telah terbunuh beberapa waktu yang lalu oleh ki Patih Mandaraka
sendiri.”
Pemimpin pengawal itu terdiam, hanya kepalanya saja yang
terangguk-angguk. Tak terasa langkah mereka telah mendekati panggungan yang
masih tersisa di sebelah kanan dinding padukuhan induk.
Ketika kedua orang itu kemudian telah menaiki panggungan
sebelah kanan regol, sejenak keduanya tertegun. Jauh di depan mereka, diantara
hamparan tanah pesawahan yang kering dan ditumbuhi semak belukar yang tak
terurus, dua pasukan segelar sepapan sedang bertempur dengan dahsyatnya.
Pasukan Mataram yang menggunakan gelar garuda Nglayang sedang menghadapi
gempuran dari pasukan Panembahan Cahaya Warastra dalam gelar capit urang.
Kedua capit pasukan Panembahan Cahya Warastra berusaha
menghancurkan sayap-sayap garuda Nglayang, sedangkan paruh dari garuda pasukan
Mataram tak henti-hentinya mencoba mematuk-matuk dan membelah kepala capit
urang.
“Pertempuran yang luar biasa,” desis Ki Gede Menoreh tanpa
sadar.
“Ya, Ki Gede,” sahut pemimpin pengawal yang berdiri di sebelahnya,
“Panembahan Cahya Warastra benar-benar telah berhasil mengumpulkan
perguruan-perguruan yang ada di tanah ini untuk bersama-sama melawan Mataram.
Benar-benar suatu kekuatan yang besar dan berbahaya bagi tegaknya pemerintahan
Mataram.”
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengamat-amati pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya dia
bergumam perlahan, seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Seandainya
kekuatan sebesar itu digunakan untuk kebaikan dan kepentingan kawula alit,
tentu hasilnya akan luar biasa. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Justru
ketamakan dan keserakahan akan kekuasaan dan kamukten yang mereka kejar, tanpa
mempedulikan nasib para kawula alit.”
Pemimpin pengawal yang berdiri di sebelah Ki Gede untuk
sejenak termangu-mangu. Ketika pandangan matanya dilemparkan jauh ke depan ke
medan pertempuran, tanpa terasa pemimpin pengawal itu bergidik. Pertempuran
telah berlangsung dengan sengitnya, bahkan terkesan kasar dan sedikit liar.
Memang perguruan-perguruan yang dihimpun dalam pasukan Panembahan Cahya
Warastra itu mempunyai landasan dan keyakinan yang berbeda-beda, sehingga
ketika mereka bergabung dalam sebuah pasukan yang besar, mereka tidak dapat
menghilangkan corak dan warna masing-masing perguruan.
Suara denting senjata beradu disertai dengan sumpah serapah,
cacian dan makian bercampur aduk dengan jerit kesakitan dan teriakan meregang
nyawa. Sementara bau amis darah bercampur dengan debu yang berhamburan telah
memenuhi udara dan menyesakkan setiap dada.
Ketika Ki Gede Menoreh kemudian mencoba mengedarkan
pandangan matanya ke sebelah kiri regol, alangkah terkejutnya pemimpin
tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu. Jauh di ujung sebelah kiri dinding
padukuhan induk di dekat sebuah pategalan yang luas, pandangan matanya yang
masih tajam itu telah menangkap sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan
jantung, sebuah perang tanding yang dahsyat sedang berlangsung.
“Ki Rangga Agung Sedayu..?” desis Ki Gede Menoreh ragu-ragu
dengan jantung yang berdebaran.
Pemimpin pengawal yang telah berdiri di samping Ki Gede
Menoreh terkejut mendengar desis Ki Gede. Ketika pemimpin pengawal itu kemudian
mengikuti arah pandangan Ki Gede, sejenak keningnya menjadi berkerut-kerut.
“Ki Rangga Agung Sedayu? Benarkah yang sedang bertempur itu
Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu ingin
meyakinkan penglihatannya yang tidak begitu jelas karena jarak yang cukup jauh.
“Ya,” jawab ki Gede, “Aku yakin yang sedang bertempur itu Ki
Rangga Agung Sedayu,” Ki Gede Menoreh berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Namun
aku tidak yakin dengan siapa Ki Rangga bertempur, karena semenjak tadi lawannya
itu selalu membelakangi kita.”
Pemimpin pengawal itu kembali mengerutkan keningnya, namun
dia tidak memberikan tanggapan apapun karena memang kemampuan pandangannya
sangat terbatas sesuai dengan kemampuan ilmu olah kanuragannya yang belum
begitu tinggi.
Ketika pada suatu kesempatan lawan Ki Rangga telah bergeser
kearah yang lain, Ki Gede Menoreh yang sedang mengawasi jalannya perang tanding
dari atas panggungan itu menjadi semakin berdebar-debar ketika sekilas Ki Gede
mampu mengenali lawan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Kecruk Putih? Benarkah itu Kecruk Putih?” gumam Ki Gede
hampir tak terdengar.
“Siapakah Kecruk Putih itu Ki Gede?” bertanya pemimpin
pengawal di sebelahnya begitu mendengar gumam Ki Gede.
Untuk beberapa saat Ki Gede terdiam. Dia belum yakin benar
dengan penglihatannya karena jarak itu memang cukup jauh. Namun ketika sekali
lagi lawan Ki Rangga itu bergerak menghadap tepat kearah dimana Ki Gede Menoreh
berdiri, pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu jantungnya tiba-tiba
saja bagaikan terlepas dari tangkainya.
“Ya, itu memang Kecruk Putih, maksudku Panembahan Cahaya
Warastra,” berkata Ki Gede Menoreh dengan suara bergetar menahan gejolak
dadanya yang tiba-tiba saja terasa pepat.
“He!” pemimpin pengawal yang berdiri di sebelahnya ikut
terkejut bukan buatan, “Jadi benar berita yang mengatakan bahwa Panembahan itu
bangkit lagi dari kematiannya.”
Ki Gede Menoreh menghela nafas panjang untuk meredakan getar
di dalam dadanya. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu. Namun menurut pengamatanku
dari jarak yang cukup jauh ini, wajah lawan Ki Rangga itu memang mirip dengan
Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya, namun
dalam hatinya ada juga sedikit keraguan tentang cerita Panembahan Cahya
Warastra itu.
Sebenarnyalah perang tanding yang sedang terjadi di ujung
sebelah kiri dinding padukuhan induk itu adalah perang tanding yang sangat
dahsyat dan belum pernah terjadi sebelumnya di tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
Perang tanding antara agul-agulnya Mataram Ki Rangga Agung Sedayu melawan
Panembahan Cahya Warastra.
Ki Rangga yang belum mampu memecahkan rahasia ilmu yang
dimiliki oleh Panembahan Cahaya Warastra hanya dapat menghindar sambil bergeser
mundur dan terus mundur. Benar-benar tidak ada kesempatan bagi Ki Rangga Agung
Sedayu untuk membalas serangan lawannya. Setiap kali serangan lawannya meluncur
ke arahnya, Ki Rangga selalu terjebak dengan perhitungannya sendiri bahwa
tangan lawannya tidak akan mampu menggapai tubuhnya ketika Ki Rangga sudah
meloncat mundur mengambil jarak. Namun pada kenyataannya tangan lawannya itu
mampu menjulur melebihi ukuran bentuk wadagnya, bahkan sampai dua atau tiga
kali lipat. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi Ki Rangga selain harus
membenturkan kekuatan ilmu kebalnya dengan kekuatan ilmu lawannya. Lambat laun
namun pasti, Ki Rangga merasakan bahwa ilmu kebalnya pada suatu saat nanti akan
dapat tertembus oleh ilmu lawannya.
Demikianlah, perang tanding itu telah berlangsung dengan
sangat dahsyatnya. Ki Rangga Agung Sedayu telah mencoba untuk mengetrapkan ilmu
meringankan tubuh yang dipelajari dari isi kitab Ki Waskita. Tubuhnya memang mampu
bergerak sangat cepat seolah-olah tanpa bobot. Namun ternyata lawannya mampu
mengimbangi kecepatan gerak Ki Rangga Agung Sedayu. Walaupun Ki Rangga setiap
mendapat serangan mampu menghindarinya, namun tangan itu seolah-olah bergerak
terus mengikuti kemanapun Ki Rangga bergerak sehingga untuk kesekian kalinya Ki
Rangga harus membenturkan ilmu kebalnya dengan serangan lawannya.
“Gila,” desis Ki Rangga dalam hati sambil melompat ke
samping menghindari sebuah pukulan yang mengarah ke keningnya. Namun ketika
serangan lawannya itu mengenai tempat kosong karena Ki Rangga telah bergeser ke
samping, tiba-tiba saja tangan yang sudah terjulur lurus itu bisa membelok dan
mengejar kemana Ki Rangga bergerak.
“Tidak ada kesempatan sama sekali bagiku untuk balas menyerang,”
berpikir Ki Rangga dalam hati, “Aku harus bisa menciptakan peluang untuk balas
menyerang, dengan demikian setidaknya akan dapat mengurangi tekanan.”
Berpikir sampai di situ Ki Rangga segera mengambil sikap.
Ketika serangan lawannya kembali datang membadai, dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya Ki Rangga melompat ke samping kiri. Sesuai dengan
perhitungannya, tangan lawannya itu akan memanjang untuk mengikuti gerakan
tubuh Ki Rangga. Pada saat itulah tiba-tiba saja terdengar ledakan cambuk yang
tidak terlalu keras akan tetapi getarannya mampu merontokkan isi dada. Ternyata
Ki Rangga sambil meloncat ke samping kiri tadi telah mengurai cambuknya dan
berusaha untuk membalas serangan lawannya.
Terdengar sebuah umpatan pendek dari mulut Panembahan Cahya
Warastra begitu ujung cambuk yang menggelepar itu ternyata telah berhasil
menyentuh pundak kanannya.
“Curang!” geram Panembahan Cahya Warastra sambil berusaha
memperbaiki kedudukannya yang terdorong surut karena pengaruh hentakan ujung
cambuk Ki Rangga Agung Sedayu, “Mengapa Kau menggunakan senjata? Bukankah aku
masih belum mempergunakan senjata?”
“Ma’afkan aku Panembahan,” jawab Ki Rangga tenang sambil
berdiri diatas kedua kakinya yang renggang. Tangan kanannya menggenggam
erat-erat pangkal cambuknya, sedangkan juntai cambuknya berada di genggaman
tangan kirinya, “Aku merasa tidak berbuat curang. Aku hanya mengimbangi ilmu
Panembahan yang tiada duanya. Ilmu yang mampu memperpanjang bentuk wadag kedua
tangan Panembahan, walaupun aku masih belum yakin dengan pengamatanku atas
semua kejadian ini. Namun aku telah memutuskan menggunakan cambukku untuk
mengimbangi ilmu Panembahan.”
“Itu namanya curang,” kembali Panembahan Cahya Warastra
menggeram, “Aku hanya mengandalkan kedua tanganku sedangkan Kau telah menggunakan
senjatamu.”
“Tidak ada bedanya,” sahut Ki Rangga cepat, “Kedua tangan
Panembahan dapat memanjang bahkan sampai berlipat dari bentuk wadag
sesungguhnya, sedangkan aku tidak. Dengan mempergunakan cambukku ini aku akan
dapat memperpanjang jangkauan seranganku sehingga sekarang kita masing-masing
dapat menyerang dari jarak yang kita kehendaki.”
“Persetan!” kali ini Panembahan Cahya Warastra telah
berteriak, “Cambukmu itu tidak lebih dari cambuk para gembala di padang-padang
perdu. Jangan harap dengan cambukmu itu Kau akan mampu mengimbangi ilmuku.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Dipusatkan segala
nalar dan budinya untuk menghadapi serangan Panembahan Cahya Warastra
selanjutnya.
Demikianlah pertempuran hidup mati antara kedua orang yang
sudah putus segala ilmu agal maupun alus itu telah berkobar kembali. Keduanya
berusaha memanfaatkan keunggulan ilmu masing-masing. Panembahan Cahya Warastra
dengan ilmunya yang mampu melipat-gandakan ujud kewadagan kedua belah
tangannya, sedangkan Ki Rangga Agung Sedayu dengan ilmu cambuknya mampu
menjangkau bagian-bagian tak terduga dari tubuh lawannya.
Sesekali Ki Rangga memang masih dibingungkan dengan ilmu
lawannya sehingga masih ada saja serangan lawan yang mengenai tubuhnya. Namun
demikian juga sebaliknya, dengan kecepatan dan gerak meringankan tubuh Ki
Rangga yang melampaui kemampuan orang kebanyakan serta didukung dengan
senjatanya yang lentur dan panjang, telah membuat lawannya mengumpat tak
habis-habisnya karena ujung cambuk Ki Rangga semakin sering menyentuh tubuhnya.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan pemimpin pengawal yang
mengamati perang tanding dari atas panggungan menjadi semakin berdebar-debar
begitu mendengar suara ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak begitu
keras namun getarannya mampu mengguncang dada dan terasa sampai di tempat
mereka berdua berdiri.
“Luar biasa,” berkata Ki Gede Menoreh dalam hati, “Semenjak
tadi aku melihat Ki Rangga sepertinya selalu terdesak mundur menghadapi
lawannya yang bersenjatakan sesuatu yang aneh. Tetapi agaknya Ki Rangga telah
memutuskan untuk mempergunakan cambuknya.”
Memang dari jarak Ki Gede Menoreh berdiri, ilmu Panembahan
Cahya Warastra yang ngedab-edabi itu tidak begitu jelas terlihat. Ki Gede hanya
menduga kalau lawan Ki Rangga itu mempergunakan sejenis senjata yang aneh.
“Agaknya Ki Rangga telah berhasil mengimbangi ilmu lawannya
yang aneh dan ngedab-edabi,” berkata Ki Gede Menoreh kepada pemimpin pengawal
yang berdiri di sebelahnya sambil tetap mengawasi jalannya perang tanding.
Pemimpin pengawal yang berdiri di sampingnya tidak menjawab
hanya diam termangu-mangu. Dia tidak begitu mengerti jalannya pertempuran
antara kedua orang linuwih tersebut. Selain pandangan matanya yang tidak mampu
menjangkau jarak yang cukup jauh, juga pengetahuan ilmu kanuragannya yang masih
terbatas sehingga tidak dapat mengikuti jalannya pertempuran orang-orang yang
berilmu tinggi.
“Apakah kita akan mendekati perang tanding itu, Ki Gede?”
tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Sejenak Ki Gede merenung. Dilemparkan pandangan matanya jauh
ke depan, ke arah pertempuran pasukan Mataram melawan para pengikut Panembahan
Cahya Warastra. Ki Gede sedang diliputi oleh keragu-raguan. Dia tidak yakin
manakah yang terbaik untuk dilakukan? Mendekat ke tempat perang tanding Ki
Rangga Agung sedayu ataukah membantu pasukan Mataram.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Ki Gede
Menoreh memutuskan. Katanya kemudian kepada pemimpin pengawal itu, ”Turunlah
dari panggungan. Ambil panah sendaren, kita akan memberikan isyarat kepada
senapati yang memimpin pasukan Mataram.”
Perintah itu tidak usah diulangi untuk kedua kalinya. Dengan
tergesa gesa pemimpin pengawal itu pun kemudian segera turun dari panggungan
dan berlari ke arah para pengawal Menoreh yang sedang menunggu.
Sejenak kemudian pemimpin pengawal itu telah kembali ke atas
panggungan dengan menjinjing busur dan beberapa anak panah.
“Lontarkan anak panah sendaren dua kali berturut-turut,”
perintah Ki Gede Menoreh kepada pemimpin pengawal itu, “Kemudian yang terakhir
satu anak panah saja.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk. Beberapa saat kemudian
udara di atas medan pertempuran itu telah dipenuhi oleh raungan suara panah
sendaren dua kali berturut-turut dan yang terakhir kali hanya satu panah
sendaren.
Dalam pada itu, perang tanding antara ki Rangga Agung Sedayu
melawan Panembahan Cahya Warastra semakin lama menjadi semakin sengit.
Kedua-duanya telah merambah dari satu tataran ilmu ke tataran ilmu yang lebih
tinggi. Ketika Panembahan Cahya Warastra merasa bahwa ilmunya yang berlandaskan
pada kemampuan untuk memperpanjang bentuk wadag kedua tangannya tidak banyak
berpengaruh terhadap lawannya, Panembahan yang ternyata adalah saudara kembar
Kecruk Putih itu mulai memutuskan untuk meningkatkan ilmunya.
Demikianlah, pada suatu kesempatan, Panembahan Cahya
Warastra telah meloncat mundur mengambil jarak.
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari lawannya akan
mempersiapkan ilmunya yang lebih tinggi segera mempersiapkan diri. Ki Rangga
belum dapat menduga jenis ilmu apalagi yang akan dilontarkan oleh orang yang
mengaku bernama Panembahan Cahya Warastra yang ternyata adalah saudara kembar
Kecruk Putih yang telah terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka beberapa waktu yang
lalu.
“Nah, Ki Sanak,” berkata Panembahan Cahya Warastra kemudian,
“Aku tahu Ki Patih Mandaraka telah menyebut namamu sebagai Ki Rangga Agung
Sedayu, salah satu dari beberapa nama yang diberitahukan kepadaku oleh Ki Bango
Lamatan bahwa Ki Sanak termasuk deretan nama orang-orang yang berilmu tinggi.
Pada awalnya memang aku tidak menaruh perhatian sama sekali. Perhatianku hanya
tertuju pada satu nama, Ki Patih Mandaraka,” Panembahan itu berhenti sejenak,
kemudian lanjutnya, “Namun sekarang aku percaya terhadap laporan Ki Bango
Lamatan itu walaupun bagiku ilmu Ki Sanak masih belum menggetarkan dadaku.
Kalau Ki Sanak dapat mengatasi ilmuku yang satu ini, dengan tulus aku akan
mengakui ketinggian ilmu ki Sanak walaupun ilmu yang akan aku trapkan ini belum
puncak dari ilmuku. Kalau aku sudah sampai pada puncak ilmuku, aku yakin di
seluruh tlatah Mataram ini bahkan di seluruh tanah Jawa ini tidak ada seorang
pun yang akan mampu mengatasinya.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang ada
sedikit getaran yang menyentuh dadanya mendengar kata-kata Panembahan Cahya
Warastra. Namun pengalamannya beberapa kali menghadapi orang-orang berilmu
tinggi telah menempanya menjadi seorang prajurit yang pilih tanding.
“Terima kasih atas pujian Panembahan,” jawab Ki Rangga
kemudian dengan suara rendah, “Bagi seorang prajurit, bertempur di medan perang
adalah sebuah kehormatan untuk menunaikan tugas bela negara. Di dalam
pertempuran, aku tidak pernah memilih lawan. Namun jika seorang lawan sudah
berada di hadapanku, apapun yang terjadi aku tidak akan pernah surut selangkah
pun.”
“Luar biasa,” desis Panembahan Cahya Warastra sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Benar-benar seorang prajurit yang berjiwa
ksatria. Namun semua itu masih harus dibuktikan, karena kali ini Kau berhadapan
dengan Panembahan Cahya Warastra. Aku yakin, kalau Kau masih sempat melihat
puncak ilmuku, Kau akan menjadi pingsan atau bahkan lari terbirit-birit mencari
tempat berlindung di balik pinjung biyungmu.”
“Ah,” Ki Rangga tertawa pendek, “Jadi kapan Panembahan akan
melepaskan puncak ilmu yang nggegirisi itu? Sedari tadi aku sudah lelah
menunggu.”
“Setan kau,” geram Panembahan dengan wajah memerah, “Kau
sangka aku hanya pandai membual, he? Aku tidak perlu bersusah payah melepaskan
puncak ilmuku selama masih ada ilmu yang lain yang aku rasa sudah cukup untuk
membunuhmu.”
“Silahkan Panembahan,” jawab Ki Rangga tenang sambil
menggeser kedudukannya selangkah ke samping kiri, “Aku sudah tidak sabar lagi
untuk membenturkan ilmuku dengan ilmu Panembahan yang manapun juga.”
“Tutup mulut sombongmu itu,” teriak Panembahan Cahya
Warastra menggelegar sehingga beberapa orang yang sedang bertempur di tanah
pesawahan yang kering itu telah berpaling sekilas.
Selesai berkata demikian, Panembahan Cahya Warastra segera
mengambil sikap berdiri tegak dengan kedua kaki yang renggang. Kedua tangannya
teracu kedepan dengan telapak tangan terbuka dan saling merapat. Sejenak kemudian,
dari sela-sela telapak tangan yang merapat itu keluar asap bergulung-gulung
yang semakin lama menjadi semakin tebal.
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut. Dia pernah melihat ilmu itu
ketika Panembahan Cahya Warastra yang terdahulu bertempur dengan Ki Patih
Mandaraka.
Agaknya Panembahan Cahya Warastra dapat membaca pikiran Ki
Rangga Agung Sedayu, maka katanya kemudian sambil tertawa berkepanjangan, “Nah,
Ki Rangga Agung Sedayu. Kau tentu sudah pernah melihat ilmu sejenis ini, ilmu
saudara kembarku. Kami memang berguru pada sumber yang sama, namun pada
perkembangannya, aku telah menyempurnakannya sejalan dengan perantauanku ke
negeri seberang.”
Jantung Ki Rangga rasa-rasanya berdegup semakin kencang.
Jika benar pengakuan saudara kembar Kecruk Putih ini, alangkah dahsyatnya ilmu
prahara yang akan dilepaskan oleh Panembahan Cahya Warastra ini? Menyadari
kemungkinan itu, Ki Rangga telah semakin erat menggenggam tangkai cambuknya.
Sejenak kemudian, asap putih itu telah berhimpun membentuk
pusaran angin yang dahsyat. Berbeda dengan saudara kembarnya yang telah tewas
di tangan Ki Patih Mandaraka, orang yang juga bergelar panembahan Cahya
Warastra ini telah menyempurnakan ilmu praharanya. Angin yang berputar dengan
dahsyat itu ternyata telah melingkari sumbernya, sehingga seakan-akan
Panembahan Cahya Warastra telah menjadi pusat dari pusaran angin prahara itu
yang bergerak dengan dahsyat siap menerjang lawannya.
Sekali ini Ki Rangga benar-benar terkejut bukan buatan.
Seingatnya dulu Ki Patih menghancurkan ilmu prahara ini dengan menyerang
langsung kepada sumbernya. Namun yang dihadapinya kali ini sangat berbeda,
sumber itu tepat berada di tengah-tengah angin prahara yang berputar dahsyat,
sehingga Ki Rangga harus memecahkan pusaran prahara itu terlebih dahulu sebelum
dapat mencapai sumbernya.
“Luar biasa,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Ilmu prahara
yang sudah sempurna. Namun aku yakin sebagaimana nasehat guru, tidak ada ilmu
yang sempurna di muka bumi ini selain ilmu Yang Maha Agung.”
Berbekal keyakinan itulah, Ki Rangga telah memohon dengan
sepenuh hati kepada Sumber Hidupnya untuk dapat mengatasi segala bentuk
pengingkaran terhadap paugeran-paugeran yang telah digariskan olehNya.
Ketika Panembahan Cahya Warastra meloncat disertai dengan
angin prahara yang berputar dahsyat menerjang lawannya, Ki Rangga pun telah
siap dengan ilmu yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya. Kemanapun angin
prahara itu mengejar, Ki Rangga selalu berhasil menghindarinya.
Panembahan Cahya Warastra yang berada di pusat angin prahara
itu tertawa berkepanjangan, “Nah, apa kataku. Ki Rangga hanya mampu berloncatan
seperti seekor tupai di atas pohon kelapa. Aku yakin, sehebat apapun daya tahan
tubuh Ki Rangga, suatu saat pasti akan mengalami kelelahan, dan pada saat
itulah angin praharaku akan menyergap Ki Rangga, memutarnya keatas secepat
putaran angin puting beliung, sebelum kemudian membanting tubuh Ki Rangga ke
atas tanah menjadi serpihan daging dan pecahan tulang.”
Diam-diam Ki Rangga membenarkan kata-kata lawannya.
Ketahanan tubuh seseorang itu pasti ada batasnya, dan Ki Rangga menyadari
sepenuhnya bahwa lambat laun dia pasti akan mengalami kelelahan itu.
Demikianlah perang tanding itu telah meningkat menjadi
semakin dahsyat. Angin prahara yang berputar di sekeliling Panembahan Cahya
Warastra itu telah menjadikan medan perang tanding gelap karena tertutup oleh
debu yang berhamburan dan daun-daun kering serta ranting-ranting pepohonan yang
berpatahan. Ketika suatu saat angin prahara itu menerjang Ki rangga yang telah
melenting berpindah tempat terlebih dahulu, sebuah pohon sebesar pelukan orang
dewasa telah berderak-derak patah terkena sambaran ilmu Panembahan Cahya
Warastra. Pohon yang telah terpeluntir hancur itu pun kemudian hanyut terseret
pusaran angin prahara yang mengangkatnya keatas kemudian dengan suara
bergemuruh, pohon sebesar pelukan orang dewasa yang telah berubah menjadi
serpihan kayu dan patahan ranting serta dedaunan yang berhamburan itu pun
terhempas ke tanah.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Singayudha dan Ki Tumenggung
Surayudha yang berada di kepala gelar dan belum terlibat dalam sebuah
pertempuran yang sesungguhnya telah mendengar isyarat panah sendaren dari Ki
Gede Menoreh. Sejenak keduanya masih menimbang untung ruginya melibatkan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk ikut terjun langsung dalam pertempuran
melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Namun ketika seorang penghubung dari
sayap kanan telah menghadap untuk melaporkan keadaan medan di sayap kanan
gelar, kedua Tumenggung itu pun segera memutuskan untuk melibatkan pengawal
Menoreh dalam pertempuran yang semakin kisruh itu.
“Apakah keadaan sayap kanan sedemikian parahnya sehingga
memerlukan bantuan?” bertanya Ki Tumenggung Surayudha kepada prajurit
penghubung itu.
“Demikianlah Ki Tumenggung,” jawab prajurit penghubung itu,
“Sebenarnya pada awal benturan, pasukan yang ada di sayap kanan masih dapat
mengimbangi pasukan lawan. Namun beberapa saat kemudian kami dikejutkan oleh
kehadiran sekelompok orang yang mempunyai kemampuan di atas prajurit kebanyakan
dan kehadiran mereka telah menggoncangkan keseimbangan medan.”
Ki Tumenggung Surayudha menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada seorang prajurit di belakangnya yang membawa busur dan anak
panah, “Berilah isyarat kepada pasukan Menoreh agar mereka mengambil jalan
melambung dan menyerang ke arah pasukan musuh yang berada di sebelah kiri,
untuk membantu pasukan di sayap kanan yang sedang mengalami tekanan.”
Prajurit yang membawa busur dan anak panah itu hanya
menganggukkan kepalanya. Sejenak kemudian terdengar raungan panah sendaren tiga
kali berturut turut memenuhi udara padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Argapati yang masih berdiri di atas panggungan segera
tanggap dengan isyarat yang dilontarkan melalui panah sendaren itu.
“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian kepada pemimpin pengawal
itu, “Kita akan bergerak agak melambung ke kiri untuk mencapai sayap gelar.
Namun usahakan jangan terlalu dekat dengan arena perang tanding ki Rangga.
Pemimpin pengawal itu mengangguk. Sekilas dilemparkan
pandangan matanya ke arah medan perang tanding di ujung padukuhan induk sebelah
utara. Sebuah pertempuran yang tidak begitu dimengertinya. Yang tampak dalam
pandangan matanya hanyalah bayangan-bayangan kabur di antara debu yang
berhamburan dan pusaran prahara yang dahsyat.
“Sebuah pertempuran yang sangat dahsyat,” gumam pemimpin
pengawal itu tanpa disadarinya.
Ki Gede Menoreh yang sudah bersiap untuk turun dari
panggungan sejenak menoleh ke arah pemimpin pengawal itu. Ketika Ki Gede
Menoreh kemudian mengikuti pandangan mata pemimpin pengawal ke arah utara,
jantung pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu terkesiap. Agaknya perang
tanding itu telah meningkat semakin dahsyat.
Sebenarnyalah Ki Rangga merasa takjub melihat kedahsyatan
ilmu lawannya. Sepanjang hidupnya, belum pernah Ki Rangga menghadapi lawan
dengan kedahsyatan ilmu yang tiada taranya. Namun dengan tetap memohon
perlindungan dan pertolonganNya, Ki Rangga telah memantapkan hatinya untuk
mencoba membenturkan kekuatan ilmu cambuknya dengan pusaran angin prahara lawannya.
Untuk sejenak Ki Rangga masih menunggu datangnya prahara itu
sambil mengetrapkan ilmu cambuknya walaupun belum merambah sampai puncak. Apa
yang akan dilakukan Ki Rangga adalah suatu penjajagan sampai dimana kekuatan
pusaran angin prahara itu.
Ketika pusaran prahara itu kemudian menerjang Ki Rangga
kembali dengan suara yang bergemuruh, Ki Rangga telah siap. Sejenak kemudian
sebuah benturan yang sangat dahsyat telah terjadi. Ujung cambuk Ki Rangga
meluncur dan meledak menghantam pusaran prahara yang menerjangnya.
Ki Gede Menoreh yang masih sempat melihat Ki Rangga Agung
Sedayu mengangkat cambuknya telah menahan nafasnya sejenak. Ketika ujung cambuk
itu kemudian meledak tanpa memperdengarkan suaranya yang memekakkan telinga
namun justru getarannya mampu merontokkan isi dada, rasa-rasanya dada Ki Gede
Menoreh pun ikut terguncang.
Akibat benturan kedua ilmu itu ternyata sangat dahsyat.
Kekuatan yang tersalur pada ujung cambuk Ki Rangga telah membentur ilmu
Panembahan Cahya Warastra dan menimbulkan suara ledakan yang bergemuruh. Akibat
dari hentakan ilmu cambuk Ki Rangga itu ternyata telah mampu membuat pusaran
angin prahara lawannya pecah berhamburan dan menebar ke sekeliling medan. Namun
hal itu hanya berlangsung sekejap. Hanya dalam hitungan kejapan mata, angin
prahara itu telah berhimpun kembali melingkari Panembahan Cahya Warastra.
“Luar biasa,” desis Ki Gede Menoreh yang menyaksikan
jalannya perang tanding dari atas panggungan, “Kali ini Ki Rangga Agung Sedayu
benar-benar sedang menghadapi lawan yang sangat tangguh. Semoga Yang Maha Agung
selalu memberikan bimbingan dan pertolonganNya.”
“Ya, Ki Gede,” pemimpin pengawal itu menyahut. Kemudian
katanya, “Bagaimana dengan rencana kita selanjutnya?”
Ki Gede Menoreh tersenyum sekilas. Agaknya pertempuran yang
dahsyat di ujung dinding padukuhan sebelah utara itu telah melupakan akan tugas
yang sedang menunggu. Maka jawabnya kemudian, “Marilah kita segera menyusun
pasukan pengawal Menoreh untuk segera ikut turun ke medan pertempuran.”
Selesai berkata demikian, dengan tergesa-gesa Ki Gede
Menoreh dan pemimpin pengawal itu segera meluncur turun dari panggungan untuk
kemudian berlari-lari menuju ke tempat pasukan pengawal Menoreh yang sedang
menunggu.
Dalam pada itu, pasukan Mataram yang berada di sayap kanan
telah mengalami kegoncangan ketika sekelompok orang yang mempunyai kemampuan
melebihi prajurit kebanyakan telah hadir di medan. Tandang mereka benar-benar
ngedab-edabi. Sebentar saja pasukan yang berada di sayap kanan itu telah
mengalami tekanan yang sangat berat.
Pandan Wangi yang sedang berjalan mendekati seorang
perempuan paro baya tapi masih terlihat sangat cantik itu telah menahan
langkahnya. Ada sedikit keraguan di hati putri satu-satunya penguasa Tanah
Perdikan Menoreh itu. Perempuan paro baya itu memang sangat menarik hatinya.
Gerakannya lemah gemulai bagaikan orang sedang menari, namun setiap hentakan
pedang tipisnya yang ujungnya selalu bergetar itu sangat berbahaya dan
berkali-kali hampir memakan korban. Delapan prajurit yang berusaha menahannya
ternyata sudah mulai terdesak dan hanya bertahan agar tidak menjadi korban
sambaran pedang tipis lawannya.
Namun di lain pihak, sekelompok orang yang datang kemudian
itu juga menuntut perhatian. Para prajurit yang berusaha menahan mereka
ternyata telah kewalahan dan harus bertempur dalam kelompok sehingga tekanan
yang dialami pasukan Mataram di bagian sayap itu semakin berat.
Ketika Pandan Wangi masih dihinggapi keragu-raguan,
tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara perlahan, “Silahkan Nyi Pandan
Wangi, biarlah sekelompok orang yang baru datang di medan pertempuran itu kami
yang mengatasinya.”
Dengan sigap Pandan Wangi pun berpaling ke belakang. Tampak
Ki Citra jati dan Nyi Citra Jati sedang berdiri beberapa langkah di belakangnya
sambil tersenyum.
“Terima kasih,” jawab Pandan wangi sambil menganggukkan
kepalanya. Kemudian dengan langkah mantap diayunkan kakinya menuju ke lingkaran
pertempuran yang sangat menarik hatinya.
Kedatangan Pandan Wangi di lingkaran pertempuran itu
ternyata telah menarik perhatian perempuan paro baya itu. Dengan cepat dia
meloncat mundur mengambil jarak. Sementara para prajurit yang mengepungnya
segera berpencar membantu kawan-kawannya yang lain.
“O..,” seru perempuan paro baya itu sambil tersenyum, “Suatu
kehormatan bagiku dapat bertemu dengan putri Tanah Perdikan Menoreh yang
terkenal dengan sepasang pedang di lambungnya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Agaknya perempuan paro
baya ini sudah mengenalnya, atau setidaknya mengenal namanya dan ciri-ciri yang
melekat padanya.
Dengan tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan, pandan
wangi pun menjawab, “Terima kasih atas sambutan yang luar biasa. Mohon
dimaafkan jika aku kurang mengenal trapsila dan tata krama sehingga belum
mengenal nama maupun gelar dari Nyi sanak.”
Perempuan paro baya itu sejenak termangu-mangu. Ada sedikit
perasaan kecewa bahwa ternyata keberadaannya kurang dikenal. Namun dengan cepat
kesan itu terhapus dari wajahnya. Katanya kemudian, “Ah, tidak mengapa. Aku
memang bukan orang yang terkenal seperti putri tanah Perdikan Menoreh ini. Aku
hanyalah seorang pemimpin perguruan yang tidak terkenal. Perguruan Pamulatsih,
perguruan yang hanya menerima murid perempuan.”
Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian
dengan nada sedikit ragu-ragu, “Di manakah letak Perguruan Pamulatsih itu?”
Perempuan paro baya itu tersenyum maklum. Jawabnya kemudian,
“Perguruan Pamulatsih sangat jauh dari sini. Terletak di sebuah pulau kecil di
ujung timur Pulau Jawa.”
Kali ini Pandan wangi mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun
dia belum tahu secara pasti letak pulau itu. Namun setidaknya dia telah
mengetahui ancar-ancar letak perguruan Pamulatsih.
“Dan jika tidak berkeberatan, bolehkah aku mengetahui nama
atau gelar Nyi Sanak?” kembali Pandan Wangi bertanya.
“Orang memanggilku Nyi Rahutri, lengkapnya Nyi Ayu Rahutri.”
Panda wangi mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berusaha
mencuri pandang kearah wajah orang yang berdiri di depannya, seorang perempuan
paro baya tapi masih terlihat cantik dan ayu.
“Nah, Pandan Wangi,” berkata Nyi Rahutri kemudian, “Apakah
kita segera dapat memulai sebuah pertempuran ataukah Kau lebih senang
duduk-duduk di bawah pohon sawo kecik di sebelah tanggul itu sambil berbincang
mengenai dunia kita, dunia perempuan?”
Selesai berkata demikian Nyi Rahutri menunjuk ke arah
tanggul sebelah kanan jalan yang ditumbuhi beberapa pohon sawo kecik yang
berdaun rindang.
Pandan Wangi tersenyum kecil, jawabnya kemudian,
“Sebenarnyalah aku lebih senang duduk berbincang dari pada menggenggam sepasang
pedang. Namun sebelum kita memutuskan untuk itu, aku ingin mengetahui maksud
dan tujuan Nyi Ayu Rahutri bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra
ini.”
Nyi Rahutri tertawa kecil mendengar pertanyaan pandan wangi.
Sambil menahan tawanya dia menjawab, “Pertanyaanmu terlalu besar Pandan Wangi
dan memerlukan jawaban yang besar pula. Sebuah perjuangan kadang sulit untuk
dimengerti oleh sebagian orang. Namun cita-cita itu adalah hak setiap orang
walaupun orang lain berpendapat bahwa cita-cita itu terlalu ngaya wara dan tidak
masuk akal. Namun bagiku, memperjuangkan sebuah cita-cita yang telah aku yakini
adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, karena dengan demikian aku merasa pernah
meletakkan sebuah harapan bagi masa depanku walaupun hasilnya belum pasti.
Namun setidaknya dalam hidupku yang singkat ini, aku pernah mempunyai sebuah
harapan.”
Pandan wangi termenung sejenak mendengar jawaban Nyi
Rahutri. Berbagai perasaan bergejolak dalam dadanya. Bukankah dia pernah
mempunyai sebuah cita-cita dan harapan akan masa depannya? Dan sudahkah dia
berusaha memperjuangkan cita-cita dan harapannya itu dengan sepenuh hati?
“Apakah Nyi Pandan Wangi juga mempunyai sebuah cita-cita dan
harapan?” dengan suara yang lembut Nyi Rahutri tiba-tiba mengajukan sebuah
pertanyaan.
“Ya..ya, Nyi,” jawab Pandan wangi tergagap, “Tentu saja aku
juga mempunyai sebuah cita-cita dan harapan.”
“Sejak kapankah itu?” kembali terdengar suara lembut Nyi
Rahutri, “Apakah cita-cita dan harapan Nyi Pandan Wangi sudah terwujud? Atau
justru sebaliknya, sampai sekarang Nyi Pandan Wangi masih berharap dan hanya
bisa berharap?”
Bergetar dada Pandan Wangi mendengar pertanyaan bertubi-tubi
dari pemimpin Perguruan Pamulatsih itu. Rongga dadanya terasa pepat dan
nafasnya sedikit memburu ketika perlahan tapi pasti pandan Wangi terseret dalam
arus kenangan masa lalunya.
“Adakah seseorang telah menyakiti hatimu, Nyi Pandan Wangi?”
sebuah pertanyaan yang tak terduga telah menghentak dada putri satu-satu Ki
Gede Menoreh itu.
Tiba-tiba seraut wajah muncul sekilas dalam benaknya, wajah
yang selalu menghantui hari-harinya yang kelabu, wajah yang dikenalnya pada
masa remajanya dahulu dan tetap dikenangnya sampai kini, wajah seorang yang
luruh dan rendah hati, wajah Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ah,” Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha
untuk mengusir bayangan wajah itu dari benaknya. Namun wajah itu justru
tersenyum sareh ke arahnya sambil berbisik, “Kau belum pernah memperjuangkan
cita-cita dan harapanmu itu dengan sepenuh hati, Wangi? Apakah Kau akan tetap
menjadi pengkhianat bagi hati nuranimu? Berjuanglah wangi, berjuanglah. Rebut
masa depanmu selagi masih ada waktu.”
“Tidak..tidak!” tiba-tiba Pandan Wangi terpekik kecil sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya.
“Aku mengerti, Nyi..” sebuah bisik lembut dari Nyi Rahutri
kembali menguasai alam bawah sadarnya, “Tenangkanlah hatimu, aku akan
membantumu untuk meraih cita-cita dan harapanmu itu. Percayalah, aku akan
selalu berada di sampingmu.”
Pandan Wangi benar-benar telah terhanyut dan kehilangan
kendali. Pandang matanya yang kosong menatap jauh ke depan ke titik-titik
bayangan dan kenangan masa lalunya yang suram. Sementara air matanya setitik
demi setitik telah menetes turun dari sudut matanya. Demikianlah tanpa
disadarinya, Pandan Wangi telah terpengaruh oleh Aji Pamulatsih dari Nyi
Rahutri, sebuah aji yang dapat membuat seseorang kehilangan kendali bahkan
sampai kehilangan jati diri.
Nyi Rahutri tersenyum, mirip senyuman seekor serigala yang
sedang mengintai mangsanya. Pedang di tangan kanannya yang merunduk kini
perlahan telah terangkat. Dengan bergeser selangkah demi selangkah, pemimpin
Perguruan Pamulatsih itu mendekati mangsanya dan siap untuk menghabisi nyawa
lawannya tanpa ampun.
Ketika jarak antara Nyi Rahutri dengan Pandan Wangi tinggal
tiga langkah lagi, Nyi Rahutri memutuskan untuk menghabisi lawannya dengan
sekali loncat. Sementara Pandan Wangi masih tenggelam dalam mimpi masa lalunya.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Nyi Rahutri pun
kemudian segera meloncat sambil menjulurkan pedang tipisnya ke arah dada
sebelah kiri lawannya. Dalam perhitungannya, pedang tipisnya akan menembus
jantung Pandan Wangi dengan sekali tusuk dan anak perempuan satu-satunya Ki
Argapati itu tidak akan sempat mengelak ataupun menangkis. Tubuhnya akan jatuh
terlentang dengan luka yang menganga di bagian dada.
Pada saat yang gawat itulah, tiba-tiba terdengar suara
rinding yang ditiup dengan nada melengking tinggi memecah udara di seputar
arena pertempuran sehingga telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur
di sekitarnya.
Pandan Wangi yang sedang terbuai mimpinya bagaikan terbangun
dari sebuah mimpi buruk tepat pada saat ujung pedang tipis lawannya tinggal
sejengkal dari dadanya. Dengan gerak naluriah sebagai orang yang berilmu
tinggi, Pandan Wangi segera memiringkan dadanya, namun kecepatan gerak ujung
pedang lawannya ternyata masih mampu menggores lengan kirinya.
Darah segera menitik dari luka yang cukup dalam, namun
Pandan Wangi tidak segera kehilangan akal. Dengan bertumpu pada kaki kanannya,
dia segera melenting ke samping kanan untuk menjauhkan diri dari kemungkinan
serangan susulan lawannya.
Nyi Rahutri menggeram marah demi melihat mangsanya terlepas
dari jebakannya. Dengan segera diputar pedang tipisnya sambil memutar tubuhnya
setengah lingkaran dia telah siap meloncat mengejar lawannya.
Namun alangkah terkejutnya Nyi Rahutri ketika sedang
berputar itu sudut pandangan matanya menangkap bayangan seseorang yang sedang
berdiri tegak dengan kaki renggang serta sepasang pedang telah tergenggam di
kedua tangannya.
“Licik!” geram Pandan Wangi dengan wajah merah membara,
“Jangan harap Kau akan lolos dari tanganku.”
Nyi Rahutri baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab
kata-kata lawannya namun kedua ujung senjata lawannya telah meluncur ke
arahnya.
Nyi Rahutri tidak menyangka bahwa Pandan Wangi mempunyai
ilmu pedang yang nggegirisi. Kedua ujung pedang itu seolah-olah telah berubah
menjadi puluhan dan mengurungnya dari segala penjuru. Dengan sekuat tenaga Nyi
Rahutri telah merambah pada tenaga cadangannya untuk mengatasi serangan
lawannya yang bagaikan ombak menghantam tebing susul menyusul tak
henti-hentinya.
Kelihatannya Pandan wangi sudah sampai pada puncak
kemarahannya atas perbuatan licik lawannya. Namun pandan wangi tetap tidak kehilangan
nalar. Serangan-serangannya tetap runtut dan berlandaskan ilmu yang sudah
matang dan mengendap. Ilmu yang disadap dari ayahnya sendiri dan kemudian
dikembangkannya atas tuntunan Kiai Gringsing sewaktu masih hidup, telah
menyempurnakan ilmu pedang rangkapnya menjadi sebuah ungkapan ilmu yang
nggegirisi.
Nyi Rahutri benar-benar terdesak menghadapi gempuran Pandan
Wangi. Tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk balas menyerang. Dengan
berloncatan kesana-kemari dia berusaha menghindari kejaran kedua ujung pedang
lawannya. Sesekali jika kesempatan menghindar dari serangan lawannya sudah
tidak memungkinkan, jalan satu-satunya bagi Nyi Rahutri adalah menangkisnya.
Demikianlah ketika benturan itu terjadi, rasa-rasanya
pergelangan Nyi Rahutri bagaikan retak dan hampir saja senjatanya terlepas dari
genggaman. Dengan cepat Nyi Rahutri melompat kebelakang untuk memperbaiki
kedudukannya namun serangan pandan Wangi telah datang kembali dengan membadai.
Serangan Pandan Wangi yang bertubi-tubi itu akhirnya membuahkan
hasil sebuah goresan yang menghiasi lengan Nyi Rahutri. Dengan cepat pemimpin
Perguruan Pamulatsih itu melompat mundur untuk mengambil jarak. Ketika pandan
wangi mencoba untuk mengejar, ternyata waktu yang sekejap itu telah digunakan
Nyi Rahutri untuk mengungkapkan puncak ilmunya.
Pandan Wangi segera menahan langkahnya. Dilihatnya Nyi
Rahutri telah menyilangkan pedang tipisnya di depan dada. Matanya yang setengah
terpejam itu sedikit tengadah. Sementara ujung pedangnya telah bergetar semakin
cepat dan terlihat merah membara.
Tergetar dada Pandan Wangi demi menyadari lawannya telah
sampai pada puncak ilmunya. Tanpa membuang waktu lagi, Pandan Wangi segera
mengetrapkan puncak ilmu Perguruan Menoreh. Sebuah ilmu yang sangat dahsyat,
ilmu yang mampu membuat sentuhan serangannya mendahului bentuk wadagnya.
Demikianlah kedua perempuan yang sudah berumur namun yang
sama-sama masih terlihat sangat cantik dan menarik itu telah kembali terlibat
dalam perkelahian yang semakin sengit. Nyi Rahutri setiap ada kesempatan selalu
berusaha membenturkan senjatanya dengan sepasang pedang lawannya. Dengan
gerakan yang cepat Nyi Rahutri berusaha mengikat Pandan Wangi dalam sebuah
pertempuran jarak pendek.
Pada awalnya Pandan wangi belum menyadari rencana lawannya.
Namun pada suatu ketika karena tidak mungkin menghindari serangan lawannya,
Pandan Wangi telah menangkis senjata lawannya yang menyambar dari sisi kanan
menebas leher.
Benturan itu ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi. Ujung
pedang Nyi Rahutri yang membara itu ternyata panasnya telah merambat dengan
sangat cepat mengalir ke sepanjang bilah pedangnya sampai ke pangkal.
Hampir saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya kalau saja dia
tidak menyadari bahaya yang mungkin timbul akibat kelalaiannya itu. Dengan
cepat Pandan Wangi mencoba memperbaiki pegangan pada pangkal senjatanya sambil
melompat mundur.
Ternyata Nyi Rahutri tidak mengejarnya. Sambil tangan
kirinya bertolak pinggang dia tertawa berderai-derai. Katanya kemudian di
sela-sela suara tertawanya, “Nah, bagaimana Pandan Wangi. Kau sudah terluka.
Semakin lama darah yang menetes dari lukamu akan semakin deras. Sedangkan
menghadapi puncak ilmuku ternyata Kau tidak mampu. Menyerahlah, aku tidak akan
membuatmu terlalu menderita di saat-saat terakhirmu.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Pandangan matanya nanar
mengawasi gerak-gerik lawannya. Ketika tanpa disadarinya dia melihat ke arah
lengan kirinya, ternyata lengan bajunya telah basah oleh darah.
“Luka ini akan semakin parah jika aku banyak bergerak,”
berkata Pandan Wangi dalam hati, “Aku harus berpacu dengan waktu sebelum
darahku habis terperas. Aku harus mampu menundukkan perempuan iblis ini sebelum
aku sendiri terkapar kehabisan darah.”
Berpikir sampai di sini, pandan wangi telah memutuskan untuk
melawan sampai titik darah penghabisan.
Sejenak kemudian ketika lawannya telah meloncat sambil
mengayunkan senjatanya menebas pinggang, Pandan wangi telah siap. Dengan
perhitungan yang mantap Pandan Wangi justru telah membenturkan pedang yang ada
di tangan kirinya menangkis ayunan deras serangan Nyi Rahutri.
Nyi Rahutri yang tidak menyadari siasat lawannya justru
telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk dibenturkan dengan pedang di
tangan kiri Pandan Wangi. Tepat pada saat benturan itu terjadi, panas yang
membara di ujung pedang tipis Nyi Rahutri dengan cepat telah merambat sampai ke
pangkal pedang di tangan kiri pandan Wangi.
Kali ini Pandan Wangi sudah tidak terkejut lagi. Ketika
benturan yang keras terjadi, sesungguhnya kekuatan mereka berimbang, namun
panas yang menyengat telapak tangan itu rasa-rasanya hampir tak tertahankan.
Untuk itulah sebelum panas yang merambat sampai ke pangkal pedangnya itu
melukai telapak tangan kirinya, dengan sengaja dan penuh perhitungan Pandan
Wangi justru telah melepaskan pedang di tangan kirinya.
Giliran Nyi Rahutri yang terkejut. Menurut perhitungannya
Pandan Wangi akan tetap mempertahankan pedangnya, namun yang terjadi justru
sebaliknya, pedang di tangan kiri pandan Wangi telah jatuh dan terlempar ke
atas tanah.
Selagi Nyi Rahutri terbuai dengan kemenangan kecilnya dalam
menyikapi keadaan lawannya, tiba-tiba saja pedang di tangan kanan Pandan Wangi
meluncur deras mematuk dada.
Ni Rahutri tersenyum tipis menghadapi serangan lawannya.
Pada perhitungannya, dengan sedikit memiringkan dada, serangan pandan wangi
yang masih berjarak satu jengkal dengan dadanya itu pasti akan terlewatkan.
Sebagai gantinya, pedang tipis Nyi Rahutri lah yang akan bergerak dengan cepat
menusuk menembus jantung.
Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan pemimpin
Perguruan Pamulatsih itu. Belum sempat dia memiringkan dadanya, ujung pedang
yang masih berjarak sejengkal itu ternyata telah merobek dadanya.
“Anak iblis!” umpat Nyi Rahutri sambil melenting ke samping
berusaha menghindari serangan pandan Wangi sejauh-jauhnya.
Luka itu ternyata cukup dalam sehingga darah bagaikan
tertumpah dari dada Nyi Rahutri. Ketika dia masih berusaha untuk memperbaiki
kedudukannya, Pandan Wangi tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Serangan
Pandan Wangi pun dengan deras telah meluncur kembali.
Kali ini Nyi Rahutri berusaha menangkis dengan senjatanya.
Namun kekuatan dan pemusatan ilmunya telah menyusut sejalan dengan ketahanan
tubuhnya yang semakin menurun sehingga ketika dia berusaha mengungkit pedang
lawannya, serangan pedang pandan Wangi hanya berbelok setebal jari dan justru
telah beralih sasaran menghunjam ke pangkal lehernya.
Terdengar erangan yang dahsyat dari mulut Nyi Rahutri
seiring dengan darah yang muncrat dan membasahi baju atasnya. Sejenak pemimpin
padepokan Pamulatsih itu terhuyung-huyung ke arah kanan sebelum akhirnya jatuh
terduduk bertumpu pada senjatanya.
“Curang.!” geram Nyi Rahutri dengan suara parau. Darah telah
membasahi mulutnya, “Kau tidak memberi kesempatan selagi aku masih dalam
kesulitan.”
“Bagaimana dengan lukaku ini?” bertanya Pandan Wangi sambil
memperlihatkan luka di lengan kirinya yang semakin deras mengalirkan darah,
“Bukankah ini Kau peroleh dengan cara yang lebih curang dan tidak jantan?”
Nyi Rahutri tidak menjawab, hanya matanya yang membara dengan
nanar menatap wajah Pandan Wangi. Sejenak kemudian dia masih akan mengucapkan
sepatah dua patah kata, namun apa yang disebutnya sudah tidak begitu jelas.
Akhirnya dengan perlahan tubuh pemimpin Perguruan Pamulatsih itu pun jatuh
terguling dan tidak bergerak lagi.
Dengan langkah perlahan Pandan Wangi mencoba mendekati tubuh
lawannya yang sudah terbujur kaku. Namun Pandan Wangi tiba-tiba merasakan
sekujur tubuhnya menjadi lemas. Kedua kakinya terasa goyah dan berat untuk
melangkah. Sementara kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang.
“Kau terluka ngger..” tiba-tiba terdengar suara sareh dari
sebelah kanannya. Ketika Pandan Wangi berpaling, tampak Ki Citra Jati sedang
berdiri termangu-mangu sambil menggenggam sebuah rinding.
“Terima kasih atas bantuannya Ki,” berkata Pandan Wangi
sambil mencoba tetap berdiri tegak. Namun darah yang terlalu banyak bagaikan
terperas dari tubuhnya telah membuat pertahanan tubuhnya melemah.
“Duduklah ngger,” berkata Ki Citra Jati sambil melangkah
mendekat, “Aku akan mencoba untuk memampatkan lukamu agar darah tidak mengalir
lagi.”
Pandan Wangi menurut. Setelah menyarungkan pedangnya yang
tinggal satu, dia segera duduk bersila di atas tanah yang berdebu. Sementara
pedang yang satunya dibiarkan saja tergeletak beberapa langkah di samping
kirinya.
Ki Citra Jati yang telah berada di samping Pandan Wangi
segera memeriksa lukanya. Luka itu memang cukup lebar dan dalam. Darah masih
saja mengucur dari luka yang menganga itu.
“Jika terlambat sekejap saja, putri satu-satunya Ki Gede
Menoreh ini tentu hanya tinggal namanya saja,” berkata Ki Citra Jati dalam hati
sambil mengambil sarang gamet yang dibungkus dengan daun pisang segar dari
kantong ikat pinggangnya. Setelah membersihkan luka itu terlebih dahulu dengan
secarik kain bersih yang juga diambil dari kantong ikat pinggangnya, sarang
gamet itu pun perlahan-lahan direkatkan pada luka itu.
Pandan Wangi tampak menggigit bibirnya ketika Ki Citra jati
membersihkan lukanya dengan secarik kain bersih. Ketika sarang gamet itu
kemudian sudah menutupi lukanya, rasa-rasanya luka itu menjadi agak dingin dan
tidak mengalirkan darah lagi.
“Aku sengaja tidak menaburi luka itu dengan serbuk yang
dapat memampatkan aliran darah,” berkata Ki Citra Jati, “Karena lukamu terlalu
dalam dan lebar. Aku takut justru serbuk yang halus itu nanti akan terserap
oleh aliran darahmu.”
Pandan wangi tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya.
Ketika dia kemudian mencoba untuk berdiri, tiba-tiba pandangan matanya terasa
gelap. Dengan terhuyung-huyung dia mencoba berdiri tegak, namun ternyata kedua
kakinya sudah tidak mampu lagi untuk menyangga tubuhnya. Kalau saja tidak ada
Ki Citra jati di sebelahnya yang dengan sigap segera menangkap tubuhnya, tentu
Pandan Wangi sudah jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
Mlayawerdi yang sedang bertempur tidak jauh dari lingkaran
pertempuran Pandan Wangi tidak dapat menolong. Ketika dia meloncat mundur untuk
mengambil jarak agar dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dengan
Pandan Wangi, ternyata lawannya tidak mau melepaskannya. Dengan sebuah teriakan
yang keras Alap-alap Siwurbang segera memburu Mlayawerdi dengan putaran
trisulanya.
Mlayawerdi masih sempat berpaling sekilas ke arah tempat
Pandan Wangi terjatuh sebelum melenting ke samping untuk menghindari sambaran
trisula lawannya. Ternyata Ki Citra Jati telah menahan tubuh Nyi Pandan Wangi
agar tidak terjatuh dan kemudian membaringkan putri satu-satunya Ki Gede
Menoreh itu di atas tanah yang berdebu.
“Semoga Nyi Pandan Wangi hanya kelelahan saja,” desis
Mlayawerdi sambil merunduk ketika ujung trisula itu kembali menyambar, kali ini
kepalanya yang menjadi sasaran.
Lawan Mlayawerdi benar-benar bergerak sesuai dengan namanya,
Alap-Alap Siwurbang. Gerakannya benar-benar seperti burung alap-alap yang
menyambar-nyambar mangsanya. Senjata lawannya yang bercabang tiga itu
seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh dan mengurung Mlayawerdi dari
segala penjuru.
Namun Mlayawerdi bukan anak kemarin sore yang baru belajar
olah kanuragan selangkah demi selangkah. Pengalamannya dalam olah kanuragan
sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan segenap kemampuan serta
mengandalkan kelincahannya dalam bergerak, pedang di tangan Mlayawerdi menyusup
di antara putaran senjata lawannya.
Dalam pada itu, sepeninggal Nyi Rahutri, keenam murid
perguruan Pamulatsih itu telah bertempur dengan waringuten. Tandang mereka
bagaikan singa-singa betina yang kehilangan anaknya. Pedang-pedang tipis itu
bergetar berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari yang mulai tergelincir ke
langit barat. Anak-anak perempuan Nyi Citra jati dengan sepenuh hati melayani
murid-murid Perguruan Pamulatsih yang telah kehilangan pengendalian diri itu.
Sepeninggal guru mereka, seolah-olah sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka
untuk dapat keluar dari medan pertempuran itu hidup-hidup.
“Menyerahlah,” berkata Padmini sambil memutar pedangnya. Dia
memang telah menyilangkan busurnya dan mencabut senjatanya berupa sebuah pedang
bermata rangkap untuk mengatasi permainan pedang tipis lawannya.
“Kalian hanya akan menjumpai tubuh-tubuh kami yang tergolek
membeku di atas tanah yang berdebu,” geram salah satu murid Nyi Rahutri yang
bertahi lalat di dagu. Wajahnya bulat dan terlihat sangat manis dengan hiasan
tahi lalat di dagunya.
“Kami bukan segolongan orang-orang yang tidak berhati dan
berjantung,” sahut Baruni yang bertempur di sebelah mbokayunya, “Alangkah
senangnya mempunyai sahabat seperti kalian. Kita dapat berlatih bersama-sama
dan melakukan perjalanan bersama di lembah dan ngarai serta mendaki
lereng-lereng terjal pegunungan untuk sekedar menambah wawasan.”
“Tutup mulutmu!” bentak murid perguruan Pamulatsih yang lain
sambil memutar pedang tipisnya kemudian meluncur mematuk dada Rukmini.
Setiti yang melihat mbokayunya diserang dari dua arah segera
membantu. Dibenturkannya tongkat bajanya yang juga berguna sebagai sumpit.
Ketika benturan itu terjadi, kedua-duanya ternyata telah terkejut dengan
kekuatan tenaga lawannya.
Dalam pada itu, Nyi Citra Jati yang sedang bertarung
menghadapi sekelompok putut pilihan dari beberapa padepokan telah dibantu oleh
Putut Darpa dan Putut Darpita. Pada awalnya kedua putut dari perguruan orang
bercambuk di Jati Anom itu masih berusaha menyembunyikan jati diri mereka.
keduanya masih bertempur dengan menggunakan senjata sebagaimana para prajurit
Mataram. Mereka merasa belum waktunya untuk mengurai cambuknya. Namun ketika
tekanan terhadap sayap kanan itu semakin tak tertahankan, kedua putut dari jati
anom itu segera melemparkan pedang di tangan mereka.
Pada awalnya hal itu telah mengejutkan lawan-lawannya.
“He, apakah kalian memutuskan untuk menyerah?” bertanya
seorang yang bertubuh tinggi besar berkumis dan berjambang lebat.
“Tentu saja tidak,” jawab Darpita cepat, “Kami memutuskan
untuk menggunakan senjata kami yang sebenarnya.”
Besok dan berjambang lebat itu memandang Darpita dengan
heran. Katanya kemudian, “Jadi selama ini kalian belum bersungguh-sungguh dalam
menggunakan senjata kalian?”
“Bukan begitu maksud kami,” jawab kedua putut dari Jati Anom
itu hampir bersamaan. Kemudian lanjut Darpa, “Kami mempunyai senjata khusus
yang telah kami tekuni sejak kami mengenal olah kanuragan. Namun bukan berarti
kami tidak mempelajari berjenis-jenis senjata dengan segala sifat dan
keutamaannya.”
“Alangkah sombongnya,” geram salah satu putut itu, “Kalian
akan segera menyesali kesombongan yang tiada taranya. Jangan anggap medan
pertempuran ini adalah sanggar tempat kalian berlatih sehari-hari. Di medan
yang ganas ini, kelengahan yang hanya sekejap berarti kehilangan kesempatan
untuk selama-lamanya.”
Kedua putut dari Jati Anom itu hanya saling pandang. Namun
seolah-olah sudah berjanji sebelumnya, tiba-tiba keduanya telah meloloskan
senjata cambuk yang dililitkan pada pinggang di balik baju mereka.
“Cambuk?” tanpa disadarinya, putut yang berkumis dan berjambang
lebat itu berdesis perlahan, sementara kawannya hanya mengerutkan keningnya.
“Ya Ki Sanak, inilah senjata kami yang sebenarnya,” berkata
putut Darpa dengan tenang.
Tiba-tiba kedua lawannya telah tertawa berkepanjangan.
Katanya kemudian, “Jangan harap kami takut dengan cambukmu itu Ki Sanak.
Seandainya yang berdiri dan memegang cambuk di depan kami sekarang ini adalah
Ki Rangga Agung Sedayu, tentu kami akan memanggil guru-guru kami untuk
menghadapinya. Akan tetapi untuk menghadapi kalian berdua, walaupun kalian juga
bersenjata cambuk, kami yakin dapat mengatasinya.”
“Ya,” sahut kawannya yang berdiri di sebelahnya, “Ilmu
cambuk kalian tentu tidak ada bedanya dengan gembala-gembala kambing di
padang-padang perdu. Atau justru dengan senjata yang aneh itu Ki Sanak akan
menemui kesulitan untuk mengendalikannya. Kami masih memberi kesempatan kepada
kalian untuk memungut pedang yang telah kalian lemparkan. Jangan menggunakan
senjata yang kalian belum sepenuhnya menguasai sifat dan watak dari senjata itu
sendiri.”
Putut Darpa dan Darpita benar-benar merasa dihinakan. Hampir
bersamaan keduanya telah memutar cambuk ditangan mereka. Sejenak kemudian
terdengarlah ledakan berturut turut yang menggelegar memekakkan telinga.
Beberapa orang di seputar arena pertempuran itu memang
menjadi terkejut. Namun kedua lawan putut dari jati Anom itu sekali lagi telah
tertawa berkepanjangan.
Kali ini kedua putut dari Jati Anom itu benar-benar ingin
menunjukkan tingkat kemampuan ilmu mereka. Maka sejenak kemudian terdengar lagi
ledakan cambuk yang berturut-turut namun kali ini suaranya lebih pelan namun
getaran yang ditimbulkan telah mengguncang dada orang-orang yang sedang
bertempur di sekitarnya.
“Gila,” geram Besok dan berjambang lebat itu sambil
memutar-mutar goloknya yang besar dan lebar, “Jangan merasa hebat dengan
permainan cambukmu yang tidak berarti sama sekali bagiku. Getaran suara
cambukmu sama sekali tidak dapat merontokkan sehelai rambutku. Namun aku yakin
dengan sekali tebas, golokku ini akan dapat memisahkan kepalamu dari tubuhmu.”
Putut Darpa dan Darpita tidak menjawab. Mereka berdua segera
berpencar untuk menghadapi lawan masing-masing.
Dalam pada itu, Ki Argapati yang sedang membawa pasukannya
melingkar melewati regol padukuhan yang roboh telah mendekati arena perang
tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra. Jarak perang
tanding dengan pasukan Menoreh itu memang cukup jauh, namun Ki Gede Menoreh
yang memimpin sendiri pasukannya telah dibuat semakin berdebar debar begitu
menyaksikan jalannya pertempuran.
“Apakah kita akan mendekati arena perang tanding itu Ki
Gede?” bertanya pemimpin pengawal sambil berpaling ke arah pemimpinnya.
“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “ Bawalah pasukan pengawal ini
maju terus sampai mendekati sayap kanan dari pasukan Mataram. Selanjutnya Kau
sudah tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baik Ki Gede,” jawab pemimpin pengawal itu. Kemudian
lanjutnya, “Apakah Ki Gede tidak ikut bersama-sama pasukan ini?”
Ki Gede Menoreh menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku akan
melihat pertempuran Ki Rangga dari jarak yang cukup dekat. Aku ingin meyakinkan
bahwa Ki Rangga tidak akan mengalami kesulitan menghadapi lawannya.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dia segera meneriakkan aba-aba kepada para pengawal untuk bergerak
menuju ke sayap kanan pasukan Mataram.
Ki Gede Menoreh yang telah memisahkan diri dari pasukannya
sejenak masih berdiri termangu-mangu. Namun ketika dia lamat-lamat mendengar
suara tertawa Panembahan Cahya Warastra, dengan tergesa-gesa dilangkahkan kakinya
menuju arena perang tanding yang semakin dahsyat itu.
Sebenarnyalah panembahan Cahya Warastra pada saat itu telah
merasa di atas angin. Ilmu pusaran angin praharanya tidak mampu tertembus oleh
ilmu cambuk Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ilmu cambukmu memang luar biasa, Ki Rangga,” terdengar
suara Panembahan Cahya Warastra dari dalam pusaran prahara, “Namun sayang,
kekuatannya belum mampu menghancurkan pusaran praharaku.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Sekali lagi
dipusatkan segala nalar budinya untuk mengetrapkan puncak ilmu cambuknya. Kali
ini Ki Rangga berharap dapat menghancurkan pusaran angin prahara lawannya.
Ketika pusaran angin prahara itu kembali menerjang Ki Rangga
Agung Sedayu, kali ini Ki Rangga benar-benar telah siap dengan puncak ilmu
cambuknya. Cambuk Ki Rangga kembali meledak namun tidak ada bunyi ledakan sama
sekali, sebagai gantinya dari ujung cambuk yang menggelepar itu telah meloncat
seleret cahaya kebiru-biruan menyambar ke arah pusaran angin prahara yang
sedang berputar dengan dahsyatnya menyergap ke tempat Ki Rangga Agung Sedayu
berdiri.
Untuk kali ini perhitungan Panembahan Cahya Warastra keliru.
Dia masih mengira ki Rangga akan melontarkan ilmunya pada tataran yang sama.
Panembahan Cahya Warastra tidak mengira kalau lawannya masih mampu meningkatkan
ilmunya selapis lebih tinggi lagi.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan ilmu yang tiada
taranya. Seleret cahaya kebiru-biruan yang meloncat dari ujung cambuk ki Rangga
ternyata telah mampu menghancurkan pusaran angin prahara itu. Disertai suara
ledakan yang bergemuruh, pusaran angin prahara itu pun telah pecah berhamburan
menebar ke seluruh medan perang tanding. Getaran yang ditimbulkannya telah
mengguncang pepohonan dan semak belukar yang ada di sekitarnya. Sementara Panembahan
Cahya Warastra sendiri yang berada di pusat prahara telah terdorong surut
beberapa langkah akibat getaran yang ditimbulkan oleh benturan antara pusaran
angin prahara dengan lontaran ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.
Sejenak Panembahan Cahya Warastra masih mencoba memperbaiki
kedudukannya serta mengatur debar jantungnya yang tiba-tiba saja telah
memukul-mukul rongga dadanya. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa lawannya
akan mampu melontarkan kekuatan sebesar itu sehingga ilmu angin praharanya
telah hancur berantakan.
Karena pemusatan penalaran Panembahan Cahya Warastra telah
terganggu oleh hentakan yang luar biasa sehingga membuatnya terhuyung-huyung ke
belakang beberapa langkah, maka pusaran angin prahara yang diciptakannya telah
hilang tak berbekas.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu telah membuat sebuah
kesalahan yang besar. Ki Rangga telah melepaskan sebuah kesempatan untuk
mengakhiri perlawanan Panembahan Cahya Warastra pada saat pemimpin perguruan
Cahya Warastra itu kehilangan kendali karena terkena hentakan ilmu Ki Rangga.
Seharusnya Ki Rangga dapat sekali lagi melepaskan puncak ilmu cambuknya itu
ketika Panembahan Cahya Warastra masih belum dapat menguasai kedudukannya.
Namun ternyata Ki Rangga tidak melakukannya.
Keragu-raguan memang sempat terbesit di hati Ki Rangga
ketika melihat lawannya terhuyung-huyung kebelakang. Walaupun sudah sekian lama
Ki Rangga telah bergelut dalam dunia keprajuritan yang menuntut untuk selalu
bersikap cepat dan tegas, namun sifat ragu-ragu dan tidak yakin dengan apa yang
akan diperbuat, kadangkala masih saja muncul.
Demikian Panembahan Cahya Warastra dapat memperbaiki
kedudukannya, sumpah serapah pun terlontar dari mulutnya.
“Anak iblis, dari mana Kau dapatkan ilmu iblis itu, he?”
geram Panembahan Cahya Warastra, “Ternyata apa yang disampaikan Ki Bango
Lamatan benar adanya. Ki Rangga Agung Sedayu adalah salah satu orang yang perlu
diwaspadai selain Ki Patih Mandaraka,” Panembahan itu berhenti sebentar.
Kemudian lanjutnya, “Tetapi jangan berbangga dulu. Aku masih belum sampai pada
puncak ilmuku. Sebenarnya aku enggan mengeluarkan ilmu simpananku ini kecuali
melawan orang yang benar-benar berilmu tinggi dan itu sangat jarang aku jumpai.
Namun sekarang aku harus mempertimbangkan untuk merambah sampai puncak ilmuku
karena Ki Rangga telah memancing kemarahanku.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
Panembahan ini masih mempunyai simpanan ilmu yang lain sehingga membuat jantung
Ki Rangga menjadi semakin berdebar-debar.
“Apakah aku masih mampu mengimbanginya?” bertanya Ki Rangga
dalam hati.
Namun Ki Rangga kembali memantapkan hatinya untuk selalu
memohon pertolongan dari Sumber Hidupnya dalam menghadapi ilmu pamungkas
lawannya yang mungkin jauh diluar penalarannya.
“Nah, Ki Rangga,” berkata Panembahan kemudian dengan suara
yang berat dan dalam, “Aku sudah memberimu kesempatan untuk menghindar dari
hadapanku. Namun dengan sombongnya Kau merasa dapat menjadi talang patinya Juru
Martani yang licik itu. Kau akan segera menghadapi sebuah pameran ilmu yang
tiada taranya. Aku harap Kau tidak akan menjadi pingsan karenanya.”
Sekali ini Ki Rangga tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian,
“Aku akan sangat berterima kasih Panembahan, mendapatkan kesempatan yang langka
untuk melihat dan menyaksikan sendiri ilmu pamungkas Panembahan yang tiada
bandingnya.”
“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan, “Jangan menjadi sombong
karena kemenangan kecil yang baru saja Kau raih. Ingat, kekuatan kita masih
seimbang. Namun kini aku sudah tidak sabar lagi untuk segera mengakhiri perang
tanding ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Telapak tangan
kanannya rasa-rasanya telah menyatu dengan tangkai cambuknya sehingga setiap
saat Ki Rangga telah siap melontarkan kemampuan puncaknya.
Panembahan Cahya Warastra yang melihat lawannya hanya
berdiri termangu-mangu tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian
saudara kembar Kecruk Putih itu pun telah menyilangkan kedua tangannya di depan
dada.
Sejenak kemudian selembar asap tipis tampak muncul dan mulai
menyelimuti sekujur tubuh saudara kembar Kecruk Putih itu. Semakin lama asap
putih itu semakin tebal dan berputar membumbung tinggi dan semakin tinggi.
Ketika asap putih itu perlahan-lahan menipis dan kemudian hanyut tertiup angin,
Ki Rangga Agung Sedayu yang berdiri beberapa tombak di depan Panembahan Cahya
Warastra telah dibuat terkejut bukan buatan. Hampir saja jantung Ki Rangga
terlepas dari tangkainya begitu menyadari lawan yang berdiri di hadapannya
telah berubah ujud menjadi Panembahan Cahya Warastra dalam bentuk yang luar
biasa besarnya, hampir lima kali lipat dari bentuk aslinya.
Pada awalnya Ki Rangga menyangka ilmu yang dipamerkan
lawannya itu tidak lebih dari ilmu bayangan semu yang hanya mengelabui
pandangan kasat mata lawan, namun ketika Ki Rangga Agung Sedayu mencoba
mengetrapkan aji sapta panggraita untuk melihat dengan mata hatinya ujud
sebenarnya yang sedang berdiri di hadapannya itu, sekujur tubuh ki Rangga Agung
Sedayu tiba-tiba saja menjadi gemetar dan keringat dingin telah mengucur dari
sekujur tubuhnya. Ujud itu ternyata bukan bentuk semu, namun benar-benar ujud
Panembahan Cahya Warastra yang bertiwikrama menjadi Raksasa.
Dalam pada itu pertempuran telah berhenti dengan sendirinya.
Kedua pasukan yang saling berhadapan menyabung nyawa itu telah terpesona dengan
ilmu Panembahan Cahya Warastra yang mampu mengubah ujud wadagnya menjadi
berkali lipat sehingga menyerupai ujud raksasa.
“Aji Brahala Wuru!” seru Ki Patih Mandaraka hampir tidak
dapat menguasai diri begitu melihat Panembahan Cahya Warastra berubah ujud
menjadi Raksasa. Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak meninggalkan medan
pertempuran. Ki Patih tetap mengawasi jalannya pertempuran dari tanggul yang
agak tinggi bersama dengan para prajurit pengawal kepatihan.
“Aji Brahala Wuru?” tanpa disadarinya seorang prajurit
kepatihan yang berdiri di belakang Ki Patih telah mengulang dengan tubuh
gemetar.
“Ya,” sahut Ki Patih dengan jantung yang semakin berdebaran,
“Sebuah aji yang hanya ada dalam dongeng. Pemiliknya dapat bertiwikrama
sehingga mengubah tubuhnya menjadi sebesar raksasa.”
“Ampun Ki Patih,” sembah prajurit itu dengan keringat dingin
yang mulai membasahi punggungnya, “Apakah kekuatan orang yang mempunyai aji
Brahala Wuru itu juga berlipat sesuai dengan wujud wadagnya yang meraksasa?”
Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sebelum
menjawab pertanyaan prajurit itu. Dilayangkan pandangan matanya ke arah medan
perang tanding Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra. Ada semacam
penyesalan mengapa dirinya membiarkan Ki Rangga melawan saudara kembar Kecruk
Putih itu? Bukankah selama ini dendam itu ditujukan kepada dirinya?
Ketika Ki Patih kemudian berpaling ke arah prajurit yang
berdiri di belakangnya, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara
gemuruh disertai dengan bumi yang berguncang dari arah arena perang tanding Ki
Rangga Agung Sedayu.
Serentak mereka pun berpaling ke arena perang tanding.
Ternyata ujud Panembahan Cahya Warastra yang meraksasa itu telah mulai
menyerang lawannya. Kaki panembahan Cahya Warastra yang sebesar pohon kelapa
itu telah berusaha menginjak Ki Rangga Agung Sedayu. Namun dengan cepat
Agul-agulnya Mataram itu melenting ke samping sehingga kaki sebesar pohon
kelapa itu telah menghunjam ke bumi dan menimbulkan suara yang bergemuruh
disertai dengan getar yang terasa sampai di tempat Ki Patih berdiri.
Ki Patih Mandaraka pun mengerutkan keningnya semakin dalam
sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Katanya kemudian, “Itulah kekuatan
aji Brahala Wuru.”
“Aku benar-benar tidak yakin dengan penglihatanku,” desis
seorang prajurit pengawal kepatihan yang lain dengan tubuh menggigil seperti
orang kedinginan sambil mengusap-usap kedua matanya, “Rasa-rasanya kita seperti
terlempar ke dunia lain dan bertemu dengan raksasa yang hanya dapat dijumpai
dalam dongeng-dongeng.”
“Ya,” kawan yang di sebelahnya menyahut. Rasa-rasanya
dadanya menjadi sesak dan sulit untuk menarik nafas, “Apa yang kita saksikan
hari ini tidak akan ada yang mempercayainya jika kita bercerita kepada
kawan-kawan kita sekembalinya dari pertempuran dahsyat ini.”
“Apakah Kau yakin dapat kembali selamat dari pertempuran
ini?” seorang kawannya yang berbadan agak gemuk memotong dengan wajah yang
pucat pasi, “Dengan bentuk raksasa seperti itu, akan sangat mudah bagi
Panembahan Cahya Warastra untuk menghancurkan seluruh prajurit Mataram”
“Belum tentu,” kali ini yang menyahut adalah Ki Patih
Mandaraka sendiri, “Aku yakin Ki Rangga masih mempunyai ilmu pamungkas yang
akan dapat digunakan untuk melawan aji Brahala Wuru dari Panembahan Cahya
Warastra.”
Para prajurit pengawal kepatihan itu termangu-mangu sejenak
mendengar pendapat Ki Patih Mandaraka. Dalam hati mereka meragukan keterangan
Ki Patih. Melihat ujudnya saja yang hampir lima kali lipat dari tubuh Ki
Rangga, para pengawal kepatihan itu merasa tidak yakin Ki Rangga akan mampu
mengatasi lawannya. Sementara Ki Patih Mandaraka pun ternyata mulai dihinggapi
perasaan ragu-ragu begitu melihat tandang Panembahan Cahya Warastra yang
nggegirisi itu.
Sebenarnyalah, Ki Rangga Agung Sedayu sendiri telah hampir
kehilangan akal dalam menghadapi ilmu lawannya yang ngedap-edapi itu. Ujud
Raksasa Panembahan Cahya Warastra itu telah membuat Ki Rangga harus mengerahkan
ilmunya yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya untuk menghindari serangan
lawannya yang datang bagaikan badai silih berganti. Beberapa kali Ki Rangga
harus bergulingan di atas tanah yang porak poranda dan berlubang-lubang terkena
hujaman kaki lawannya. Tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk
mengurangi tekanan lawan dengan balas menyerang. Ki Rangga Agung Sedayu
benar-benar mengalami kesulitan yang tiada taranya.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh yang telah tiba di arena
perang tanding itu bagaikan membeku di tempatnya. Sebelumnya, pemimpin Tanah
Perdikan Menoreh itu memang pernah melihat ujud raksasa dalam bentuk semu
ketika terjadi pertempuran antara pasukan Mataram yang baru berdiri dibantu
dengan para pengawal Menoreh dalam menumpas pergerakan Panembahan Agung yang
dapat mengancam kelangsungan Mataram.
Namun kali ini yang disaksikan Ki Gede benar-benar ujud
raksasa dari Panembahan Cahya Warastra yang sedang mengamuk mengejar ke mana
pun Ki Rangga menghindar.
Tiba-tiba sudut mata Ki Gede menangkap bayangan seseorang
yang berjalan mendekatinya. Ternyata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh
telah memberanikan diri untuk mendekati Ki Gede Menoreh.
“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Ki Argapati
sesampainya pengawal itu di hadapannya.
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu dengan suara bergetar dan
wajah pucat pasi sambil sesekali mencuri pandang ke arena perang tanding, “Nyi
Pandan Wangi terluka.”
“He!” seru Ki Argapati dengan wajah memerah, “Pandan wangi
terluka?”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu hampir tak terdengar.
Kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi gejolak di dalam
dadanya dia melanjutkan, “Kelihatannya Nyi Pandan Wangi terlalu banyak
mengeluarkan darah sehingga membuatnya pingsan.”
Ki Gede segera mengedarkan pandangan matanya untuk mencari
di mana anak perempuan satu-satunya itu berada. Tampak beberapa tombak di depan
regol padukuhan induk yang telah roboh, seorang perempuan yang sudah berumur
dengan dikawal beberapa pengawal tanah Perdikan Menoreh sedang mendukung Nyi
Pandan Wangi menuju ke padukuhan induk.
Ternyata Nyi Citra Jati telah berpikir cepat. Ketika
pertempuran itu sempat terhenti sebentar karena terpesona dengan aji Brahala
Wuru dari Panembahan Cahya Warastra, kesempatan itu ternyata telah dimanfaatkan
oleh Nyi Citra Jati untuk mendekati tempat di mana Pandan Wangi dibaringkan dan
ditunggui Ki Citra Jati. Dengan cepat Nyi Citra Jati segera mendukung Nyi Pandan
Wangi menyingkir dari medan menuju ke padukuhan induk untuk mendapatkan
pertolongan atas lukanya. Namun yang lebih penting dari itu bagi Nyi Pandan
Wangi adalah istirahat yang cukup agar dapat memulihkan tenaganya kembali.
“Aku akan melihatnya,” berkata Ki Gede sambil berjalan
tergesa-gesa menyusul rombongan yang terlihat sudah memasuki padukuhan induk.
Ketika Ki Gede sudah hampir mencapai regol padukuhan yang
telah roboh, dia sempat berpaling ke arah arena perang tanding Ki Rangga Agung
Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.
“Semoga Ki Rangga Agung Sedayu segera menemukan jalan untuk
mengatasi kesulitannya,” gumam Ki Gede perlahan.
Ketika Ki Gede Menoreh kemudian melangkahkan kakinya
memasuki padukuhan induk, dia melihat Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi sedang
tergesa-gesa menyusul rombongan yang membawa Pandan Wangi menuju ke salah satu
rumah yang dipakai sebagai balai pengobatan.
“Kiai,” sapa Ki Gede Menoreh kepada Kiai Sabda Dadi sambil
berjalan setengah berlari, “Bagaimana dengan lawan Kiai?”
Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menghentikan langkahnya dan
berpaling. Kata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah Ki Gede berada di sebelahnya,
“Agaknya aku kurang beruntung hari ini. Lawanku kembali pergi meninggalkanku.”
Ki Gede mengerutkan keningnya, “Bagaimana mungkin orang itu
bisa lolos kembali dari tangan Kiai Sabda Dadi?”
Kiai Sabda Dadi tersenyum masam. Jawabnya, “Dia benar-benar
pandai bersembunyi dengan Aji Halimunan nya. Aku masih memerlukan waktu sekejap
untuk mengenali apa yang sedang terjadi ketika dari kejauhan aku melihat bentuk
yang nggegirisi dari Panembahan Cahya Warastra, tiba-tiba saja dia telah
menghilang dari pandangan mataku.”
“Jadi Kiai Sabda Dadi juga menyaksikan ilmu Panembahan itu?”
“Ya,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Agaknya Ki Jayaraga pun juga
telah menyaksikan walaupun hanya dari kejauhan.”
“Ya, Ki Gede. Sebuah ilmu yang hanya ada dalam dongeng,”
berkata Ki Jayaraga.
“Bukankah lawan Kiai Sabda Dadi melakukan hal yang sama pagi
tadi di halaman rumahku?”
“Begitulah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Dia menghilang
begitu saja sehingga aku telah kehilangan waktu sekejap untuk mencarinya.”
Ki Gede Menoreh hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika dia memandang ke depan, tampak rombongan
yang membawa Pandan Wangi itu sudah memasuki balai pengobatan.
“Kiai,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Aku akan melihat
keadaan anakku terlebih dahulu. Jika Kiai berkenan memberikan obat barang
setetes untuk memperkuat ketahanan tubuhnya, aku akan sangat berterima kasih.”
“Baiklah,” jawab Kiai Sabda Dadi. Kemudian sambil berpaling
ke arah Ki Jayaraga dia bertanya, “Apakah Ki Jayaraga berkenan ikut menengok
keadaan Nyi Pandan Wangi ataukah Ki Jayaraga akan melihat keadaan medan
pertempuran.”
Sebelum Ki Jayaraga menjawab, ternyata Ki Gede telah
mendahuluinya, “Aku mohon Ki Jayaraga berkenan melihat perang tanding Ki Rangga
Agung Sedayu. Kelihatannya Ki Rangga sedang mengalami kesulitan.”
“Ya, aku dan Kiai Sabda Dadi sudah melihat ujud Panembahan
Cahya Warastra yang berubah menjadi raksasa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak.
Kemudian lanjutnya, “Aji Brahala Wuru itu sebenarnya hanya ada di dalam
dongeng. Aku tidak mengira kalau Panembahan Cahya Warastra ini mempunyai ilmu
untuk melipat gandakan ujud wadagnya.”
“Apakah Ki Jayaraga mempunyai kemampuan untuk melawan Aji
Brahala Wuru?” bertanya Ki Gede.
Ki Jayaraga menggeleng, “Aku hanya pernah mendengar aji ini
dari dongeng-dongeng yang pernah aku baca, dan baru kali ini aku menyaksikan
dengan mata kepalaku sendiri.”
Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede Menoreh sejenak saling pandang.
Akhirnya Ki Gede melangkah meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Marilah Ki
Jayaraga, aku akan melihat keadaan anak perempuanku. Semoga lukanya tidak
terlalu parah.”
“Silahkan Ki Gede, “ sahut Ki Jayaraga cepat, “Biarlah Kiai
Sabda Dadi menemani Ki Gede. Namun setelah yakin Nyi Pandan Wangi tidak
mengalami hal yang gawat, aku mohon kalian berdua menemaniku menunggui perang
tanding Ki Rangga.”
Tanpa menghentikan langkah, hampir bersamaan Ki Gede dan
Kiai Sabda Dadi mengangguk.
Sepeninggal kedua orang tua itu Ki Jayaraga segera berjalan
menuju regol padukuhan yang telah runtuh. Dari tempat itu Ki Jayaraga sudah
dapat menyaksikan pertarungan dahsyat antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan
Panembahan Cahya Warastra.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sedang memikirkan cara
untuk mengurangi tekanan serangan lawannya sekaligus untuk mengimbangi kekuatan
lawannya yang berlipat-ganda karena ujud aslinya telah bertiwikrama menjadi
raksasa, walaupun aji yang akan ditrapkan itu mungkin kekuatannya tidak
sebanding dengan kekuatan saudara kembar Kecruk Putih itu dalam ujud raksasa.
Namun setidaknya Ki Rangga berharap ilmu yang akan ditrapkan itu dapat
mengurangi tekanan lawannya.
“Setidaknya Panembahan ini masih memerlukan waktu sekejap
untuk mengetahui diriku yang sebenarnya, sehingga aku akan mempunyai kesempatan
untuk balas menyerang” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting berdiri
menghindari sambaran kaki lawannya.
Ketika ujud raksasa Panembahan Cahya Warastra itu
mengayunkan tangannya sambil membungkuk untuk menghantam lawannya yang tengah
berdiri, tiba-tiba saja Ki Rangga Agung Sedayu telah meloncat menghindar ke
tiga arah yang berbeda. Ternyata Ki Rangga telah mengetrapkan Aji Kakang
Pembarep Dan Adi Wuragil.
--oo0oo-
Bersambung ke TDBM 409
Komentar
Posting Komentar