Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 408

Oleh Mbah_Man.

Buku 408

****
KI GEDE Menoreh yang mengamati pergerakan para pengawal dalam mengejar lawan-lawannya itu menjadi berdebar-debar ketika pasukan lawan sudah mulai mendekati dinding padukuhan induk. Sambil bergerak mundur mereka terus mengadakan perlawanan yang sengit. Sementara para pengawal Menoreh tidak menyadari bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka dari balik dinding padukuhan induk.
“Hentikan pengejaran!” teriak Ki Gede Menoreh mencoba menghentikan gerak maju para pengawal Menoreh yang sudah hampir mendekati dinding padukuhan induk.
Beberapa pemimpin kelompok yang terlibat dalam pengejaran itu segera menyadari bahaya yang dapat menerkam mereka dari balik dinding padukuhan induk, pasukan segelar sepapan dari Panembahan Cahya Warastra yang sedang menghimpun kekuatan.
Menyadari semua itu, masing-masing pemimpin kelompok telah mengulangi perintah pemimpin tertinggi mereka, Ki Gede Menoreh.
“Hentikan pengejaran!” perintah pun bersahut-sahutan memenuhi medan pertempuran di dalam padukuhan induk.
Beberapa saat kemudian para pengawal Menoreh telah melepas lawan-lawan mereka keluar dari padukuhan induk untuk bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra yang telah memulai memasang gelar.
Ki Gede Menoreh segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mengatur anggotanya. Beberapa pengawal yang terluka dan tidak dapat melanjutkan pertempuran telah dipapah oleh kawan-kawannya menuju ke sebuah rumah di belakang garis pertempuran yang berfungsi sebagai balai pengobatan sementara. Sedangkan para pengawal yang telah gugur segera dibawa menyingkir dari medan menunggu saat yang tepat untuk dikebumikan.
“Kita akan melihat situasi di luar dinding padukuhan induk terlebih dulu,” berkata Ki Gede ketika para pemimpin kelompok itu telah berkumpul.
“Ma’af Ki Gede,” seorang pemimpin pengawal yang berbadan agak gemuk mengajukan pertanyaan, “Apakah tidak sebaiknya kita bergabung dengan pasukan Mataram?”
Beberapa kawannya bergeremang mendengar pertanyaan yang terdengar aneh di telinga mereka.
Ki Gede hanya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Keadaan memang tidak begitu menguntungkan bagi kita,” Ki Gede berhenti sejenak kemudian lanjutnya, “Kita harus menempuh jalan memutar untuk bisa bergabung dengan pasukan Mataram yang datang dari depan padukuhan induk. Namun jika kita tetap bertahan di dalam padukuhan ini, berarti kita harus siap sepenuhnya jika pasukan Panembahan Cahya Warastra nantinya berbalik menyerbu ke dalam padukuhan induk jika serbuan dari pasukan Mataram dirasakan terlalu kuat.”
Mereka yang hadir dalam pertemuan singkat itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah aku memilih untuk tetap bertahan di dalam padukuhan induk,” berkata Ki Gede kemudian, “Siapkan kembali senjata-senjata jarak jauh yang masih tersisa untuk menghambat laju pasukan lawan jika mereka nantinya terdesak oleh pasukan Mataram dan memutuskan untuk mundur memasuki padukuhan ini.”
Perintah itu tidak perlu diulangi. Para pemimpin kelompok pengawal Menoreh itu pun segera menuju ke tempat kelompoknya masing-masing untuk mengatur pertahanan jika pasukan lawan kembali memasuki padukuhan induk.
Dalam pada itu, ternyata tidak semua pasukan yang dipimpin Bango Lamatan menarik diri keluar dari padukuhan induk dan bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Ternyata di dalam padukuhan induk masih berlangsung tiga lingkaran pertempuran. Agak jauh di sebelah kiri regol padukuhan induk sedang terjadi perang tanding yang dahsyat antara Bango Lamatan melawan Kiai Sabda Dadi. Sedangkan di sisi kanan agak jauh dari regol sedang berlangsung dengan sengitnya perang tanding antara Ki Jayaraga melawan Ki Gede Ental Sewu.
Adapun lingkaran pertempuran berikutnya adalah sekelompok pengawal yang sedang mengeroyok kedua murid Ki Gede Ental Sewu, Sindang Wangi dan Bantar Kawung. Kedua murid dari perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara itu agaknya tidak mau meninggalkan guru mereka yang sedang menyabung nyawa melawan Ki Jayaraga.
Sejenak Ki Gede Menoreh memandangi ketiga lingkaran pertempuran itu bergantian. Wajah yang sudah tua dan berkeriput itu semakin berkerut-kerut ketika menyaksikan pertempuran antara para pengawal Menoreh melawan dua orang muda yang kelihatannya sudah mulai kelelahan, seorang gadis muda yang bersenjatakan sebilah pedang tipis dan seorang pemuda tanggung yang menggenggam sepasang pedang pendek yang tampak berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat akhirnya Ki Gede Menoreh memutuskan untuk mendekati lingkaran pertempuran yang ketiga. Ki Gede merasa berkewajiban untuk menghentikan pertempuran yang tidak seimbang itu. Dua orang yang masih belia harus melawan sekelompok pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh. Dan jumlah itu akan terus bertambah karena para pengawal yang sudah tidak mempunyai lawan ternyata telah berdatangan ke tempat itu.
Beberapa pengawal segera meloncat mundur dan menepi ketika mereka menyadari pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh telah hadir. Ketika Ki Gede Menoreh telah berdiri di pinggir arena pertempuran itu, beberapa saat kemudian pertempuran itu pun telah berhenti dengan sendirinya.
“Apakah yang sebenarnya sedang terjadi disini?” bertanya Ki Gede dengan pandangan mata yang tajam, “Mengapa kalian tidak memberikan kesempatan kepada lawan-lawan kalian untuk bertempur satu lawan satu?”
Seorang pengawal yang bertubuh kurus mendesak maju, “Ma’afkan kami Ki Gede. Mereka berdua sangat tangguh untuk dilawan satu persatu. Dalam sebuah peperangan dibenarkan untuk berperang secara berkelompok.”
“Kalian memang benar. Dalam sebuah pertempuran memang tidak ada salahnya untuk bertempur secara berkelompok,” Ki Gede berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Namun apakah kalian sudah pernah menawarkan kepada mereka berdua untuk menyerah? Dengan melihat kenyataan bahwa mereka telah tertinggal dari kawan-kawan mereka yang mengundurkan diri keluar dari padukuhan induk ini, seharusnya mereka diberi kesempatan untuk mengambil keputusan yang lebih bijak.”
“Kami tidak akan menyerah,” geram Bantar Kawung, “Kami tidak takut menghadapi para pengecut yang beraninya hanya main keroyokan. Sebentar lagi guru kami akan menyelesaikan lawannya dan kalian tidak akan mendapatkan kesempatan lagi untuk menatap Matahari terbenam di senja hari.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar kata-kata Bantar Kawung. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Ki Gede pun akhirnya bertanya, “Siapakah gurumu itu, anak muda?”
Sejenak Bantar Kawung memandang kakak perempuannya, Sindang Wangi untuk mendapatkan persetujuan. Sindang Wangi yang sedari tadi hanya diam saja akhirnya berkata pendek saja, “Guru kami berdua adalah Ki Gede Ental Sewu dari lereng gunung Sindara. Namaku Sindang Wangi dan ini adikku Bantar Kawung.”
Ki Gede Menoreh terkejut mendengar nama Ki Gede Ental Sewu disebut. Ki Gede Ental Sewu adalah termasuk golongan angkatan tua, setua dirinya. Namun sebenarnyalah nama Ki Gede Ental Sewu itu jarang didengar karena memang jarang sekali turun gunung keluar dari padepokannya.
“Dimanakah guru kalian sekarang?” bertanya Ki Gede Menoreh kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam.
Sindang Wangi memandang Ki Gede beberapa saat sebelum menjawab pertanyaannya, “Guru sedang bertempur dengan lawannya.”
Selesai berkata demikian Sindang Wangi menunjuk ke arah Ki Gede Ental Sewu yang sedang mengadu kesaktian dengan Ki Jayaraga beberapa puluh tombak dari tempat mereka berdiri. Serentak mereka yang ada di tempat itu berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Sindang Wangi.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam begitu menyadari ternyata lawan Ki Jayaraga adalah Ki Gede Ental Sewu dari lereng gunung Sindara. Sebenarnyalah Ki Gede Menoreh secara pribadi belum mengenal pemimpin padepokan Ental Sewu itu. Namun sebagai tokoh angkatan tua, Ki Gede pernah mendengar tokoh sakti dari gunung Sindara yang tidak suka mencampuri urusan dunia sekitarnya. Namun kini ada satu keanehan yang dirasakan oleh ayah Pandan Wangi itu, mengapa orang seperti Ki Gede Ental Sewu mau terbujuk oleh rayuan Panembahan Cahya Warastra untuk menghimpun kekuatan di Menoreh dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Mataram?
“Kalau menilik ujud lahiriahnya, Ki Gede Ental Sewu ini masih sebaya dengan aku dan juga Ki Jayaraga,” berkata Ki Gede Menoreh dalam hati sambil mengamati pertempuran kedua orang yang linuwih itu, “Seharusnya kalau memang benar yang sedang bertempur dengan Ki Jayaraga itu pemimpin Perguruan Ental Sewu di lereng gunung Sindara, orangnya tentu sudah sangat tua sekali, karena pada saat aku masih muda, menurut pendengaranku Ki Gede Ental Sewu itu juga sudah setua sekarang ini.”
Berbagai pertanyaan muncul di benak Ki Gede Menoreh namun dia tidak dapat menyimpulkan keadaan yang sebenarnya.
“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Gede akhirnya kepada para pengawal.
Kemudian kepada kedua murid Ki Gede Ental Sewu, Ki Gede Menoreh berkata, “Sarungkan senjata kalian. Aku tidak menyuruh kalian untuk menyerah, akan tetapi marilah kita lihat keadaan gurumu yang sedang bertempur dengan Ki Jayaraga.”
Sindang Wangi dan Bantar Kawung untuk sejenak hanya saling berpandangan. Namun akhirnya keduanya pun kemudian menyarungkan senjata mereka dan melangkah mengikuti Ki Gede Menoreh yang telah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu pasukan Mataram ternyata telah membentuk Gelar Garuda Nglayang begitu mereka tiba di tanah pesawahan yang kering di depan padukuhan induk. Dengan seijin Ki Patih Mandaraka, Ki Tumenggung Tirtayudha telah menarik pasukan berkuda Jalamangkara untuk bergabung dengan pasukan Mataram yang baru tiba.
“Kita akan bertempur di atas tanah,” perintah Ki Tumenggung Tirtayudha, “Lepaskan kuda-kuda kalian di belakang pasukan Mataram. Jika memungkinkan kalian dapat menambatkan pada pohon-pohon perdu di tanggul-tanggul pesawahan.”
Panembahan Cahya Warastra yang melihat pasukan Jalamangkara menarik diri telah tersenyum sambil berkata, “Mengapa kalian tidak memanfaatkan kuda-kuda itu untuk bertempur? Apakah kalian takut kuda-kuda itu justru akan menginjak-injak pasukan kalian sendiri?”
Ki Patih Mandaraka yang masih berdiri di depan kedua lawannya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Kami mempunyai perhitungan yang tidak perlu Ki Sanak ketahui. Lebih baik kalian segera mengatur gelar sebelum pasukan Mataram menggilas seperti buah durian menggilas buah mentimun.”
“Omong kosong!” teriak Panembahan Cahya Warastra, “Marilah kita tuntaskan permasalahan di antara kita. Baik yang menyangkut dendam pribadi maupun kepentingan yang lebih luas untuk tujuan perbaikan tata pemerintahan di negeri ini.”
“Ah,” Ki Patih tertawa hambar. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Rangga Agung Sedayu dia berkata, “Ki Rangga, ternyata aku menjadi sangat kecewa. Jauh-jauh dari kota Mataram aku ingin menyambut Panembahan Cahya Warastra yang aku sangka telah bangkit dari kubur karena kesaktiannya. Ternyata yang aku hadapi hanyalah seorang pengecut yang bersembunyi di balik kebesaran nama Panembahan itu.”
“Gila!” geram orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu, “Juru Martani, kalau memang Kau jantan aku tantang untuk berperang tanding. Persetan dengan segala persoalan negeri ini. Tapi yang jelas dendam ini harus terbalaskan dengan tuntas, bahkan mungkin lebih.”
Namun Ki Patih sudah tidak mempedulikan lagi. Baginya sudah tidak ada manfaatnya lagi untuk melayani orang yang mengaku bernama Panembahan Cahya Warastra itu. Dengan tenangnya Ki Patih kemudian melangkah surut meninggalkan tempat itu.
Panembahan Cahya Warastra yang merasa disepelekan segera bertindak. Namun sebelum serangannya meluncur menghantam Ki Patih yang melangkah surut, tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu telah berdiri tiga langkah di hadapannya.
“Setan alas!” kembali orang yang wajahnya mirip dengan Kecruk Putih itu menggeram, “Sepertinya aku harus membunuhmu terlebih dahulu sebelum mengakhiri petualangan orang yang bernama Juru Martani itu. Bersiaplah, Kau akan mengalami sebuah benturan ilmu yang belum pernah ada dalam angan-anganmu.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab, akan tetapi dia segera mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan menghadapi serangan saudara kembar Kecruk Putih itu.
Setelah melilitkan cambuknya terlebih dahulu di pinggang, Ki Rangga yang menyadari sepenuhnya dengan siapa dia berhadapan, segera mengetrapkan ilmu kebalnya setinggi-tingginya sehingga sejenak kemudian udara di sekitar Ki Rangga perlahan-lahan terasa mulai menghangat. Ketika kemudian Panembahan Cahya Warastra telah menggeser kakinya selangkah ke samping, Ki Rangga Agung Sedayu pun telah siap menghadapi serangan pertama lawannya.
Panembahan Cahya Warastra yang ingin segera mengejar Ki Patih Mandaraka tidak ingin berlama-lama melayani Ki Rangga Agung Sedayu. Serangan yang akan dilancarkan ke arah lawannya tidak akan dilakukan tataran demi tataran, namun langsung pada tataran tinggi dari ilmunya yang nggegirisi walaupun Panembahan Cahya Warastra merasa masih belum perlu untuk merambah pada puncak ilmunya.
Beberapa saat kemudian, serangan pertama Panembahan Cahya Warastra pun meluncur dengan dahsyat menerjang Ki Rangga Agung Sedayu. Dari telapak tangan Panembahan itu benar-benar telah muncul semburan api yang menjilat ke arah dada lawannya.
Sekejap Ki Rangga terkesiap menghadapi kecepatan gerak lawannya. Belum sempat Ki Rangga menggeser kedudukannya untuk menghindari serangan lawannya, semburan api yang terjulur dari telapak tangan Panembahan Cahya Warastra telah berhasil menggapai dadanya.
“Gila!” tanpa sesadarnya Ki Rangga menggeram.
Segera saja Ki Rangga Agung Sedayu mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya yang dipelajari dari kitab Ki Waskita untuk meloncat ke belakang. Tubuh Ki Rangga melenting ke belakang seolah-olah tanpa bobot. Namun yang membuat Ki Rangga kembali terkejut adalah gerakan tangan lawannya yang telah menggapai dadanya itu ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Ketika Ki Rangga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan meloncat ke belakang, ternyata tangan itu tetap saja terjulur lurus mengikuti gerak mundur Ki Rangga.
Kali ini bukan hanya ujung semburan api dari pancaran ilmu lawannya saja yang berhasil menjilat dada Ki Rangga Agung Sedayu, namun hantaman telapak tangan Panembahan Cahya Warastra benar-benar telah membuat dada Ki Rangga bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari puncak bukit.
Hantaman telapak tangan Panembahan Cahya Warastra itu ternyata belum mampu menembus ilmu kebal Ki Rangga Agung Sedayu, namun getaran yang diterima oleh Ki Rangga telah membuatnya terlempar ke belakang beberapa langkah sebelum akhirnya Ki Rangga berhasil menguasai kedudukannya dan kembali tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
“Luar biasa,” desis Ki Rangga, “Sebuah ujud dari ilmu yang aneh. Ilmu yang berlandaskan pada dua buah sumber ilmu yang berbeda namun dapat berpadu dengan begitu sempurna.”
“Tidak usah merajuk Ki Sanak,” bentak Panembahan Cahya Warastra, “Lebih baik Kau segera menyingkir dari hadapanku agar aku segera dapat mengejar Ki Patih Mandaraka yang berlaku sangat pengecut. Meninggalkan medan tanpa berani menerima tantanganku untuk berperang tanding.”
Ki Rangga tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Panembahan, Ki Patih telah menunjuk aku untuk menghadapi Panembahan. Sebagai seorang prajurit, pantang bagiku untuk menolak perintah, betapapun beratnya perintah itu. Selain itu, tentu Ki Patih telah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum menjatuhkan perintahnya.”
“O..,” orang yang mengaku saudara kembar Kecruk Putih itu tertawa pendek, “Kau menganggap dirimu cukup pantas untuk menghadapiku hanya atas dasar perintah dari Juru Martani?” Panembahan Cahya Warastra berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah Kau tidak menyadari bahwa Kau telah diumpankan oleh Patih yang licik itu agar dia bisa menghindar dariku?”
“Tentu tidak,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Ki Patih adalah seorang yang linuwih dan sekaligus waskita dalam memperhitungkan kejadian-kejadian yang akan datang atas dasar pertimbangan keadaan di masa kini dalam hubungannya dengan peristiwa di sekelilingnya.”
“Omong kosong!” bentak Panembahan Cahya Warastra, “Keberhasilannya selama ini dalam mengatasi segala macam persoalan adalah tidak lebih dari akal liciknya yang disertai dengan tipu muslihat untuk membenarkan segala tindakannya.”
“Aku kurang setuju Panembahan,” potong Ki Rangga cepat, “Kadang-kadang orang sulit membedakan antara licik dan penuh perhitungan. Orang-orang yang berpihak pada Ki Patih akan memberikan tanggapan atas apa yang dilakukan oleh Ki Patih itu sebagai tindakan yang penuh dengan perhitungan, sedangkan pihak lawan akan menyebut itu sebagai tindakan licik, tindakan yang tidak jantan dan melanggar paugeran.”
Panembahan Cahya Warastra mengerutkan keningnya sejenak. Kemudian katanya setengah berteriak, “He! Apa katamu tentang Harya Penangsang yang terbunuh di tepian bengawan sore? Bukankah dengan licik Juru Martani telah menyuruh Sutawijaya mengendarai seekor kuda betina?”
Ki Rangga tersenyum sambil menggeleng, “Tidak ada aturan yang melarang seorang prajurit turun ke medan pertempuran dengan mengendarai kuda betina.”
“Tapi itu dapat disebut licik,” geram Panembahan Cahya Warastra, “Semua tahu bahwa Gagak Rimang adalah kuda perang yang tidak diperkenankan untuk berhubungan dengan kuda betina manapun juga. Sehingga kehadiran kuda betina di tengah-tengah medan pertempuran telah membuat Gagak Rimang menjadi liar dan sulit dikendalikan.”
“Itulah salah satu perhitungan cerdik dari Ki Juru Martani pada waktu itu yang luput dari pengamatan para perwira Jipang. Mereka begitu yakin dengan kesaktian Harya Penangsang sehingga kelengahan itu harus ditebus dengan sangat pahit.”
“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan Cahya Warastra dengan muka merah membara, “Sudah cukup waktu yang kuberikan kepadamu untuk berpikir. Sekarang kesempatan itu sudah tertutup. Jangan terlalu membanggakan ilmu kebalmu yang masih mentah itu. Bajumu di bagian dada telah hangus terbakar oleh ilmuku, itu membuktikan bahwa ilmu kebalmu masih jauh dari sempurna. Ketahuilah, ilmu kebal yang sempurna itu akan dapat merambah pada benda-benda di sekitarnya yang berhubungan erat dengan orang yang mempunyai ilmu kebal itu. Seseorang yang telah sempurna ilmu kebalnya tidak akan tertembus oleh ilmu lawan walaupun hanya ujung bajunya.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu tertegun mendengar uraian Panembahan Cahya Warastra. Dia memang pernah mendengar ilmu kebal semacam itu, ilmu yang dapat membuat pemiliknya kebal sampai dengan baju yang dipakainya sekalipun. Namun menurut gurunya, tidak ada ilmu yang sempurna di dunia ini. Walaupun seseorang dapat melindungi dirinya sampai dengan baju yang dipakainya, namun sebuah getaran ilmu yang sangat kuat dan tajam justru akan dapat menembus dan menghancurkan tulang dan daging tanpa harus merusak kulit dan baju pembungkusnya.
Dalam pada itu, Ki Ageng Blarak Sineret ternyata masih bisa berpikir jernih dan tidak terbawa arus perasaannya. Ketika Ki Ageng Blarak Sineret melihat pasukan berkuda Jalamangkara menarik diri dan bergabung dengan pasukan Mataram yang baru datang, dengan cepat dia segera bergeser dari tempatnya dan memberi isyarat kepada pasukan Panembahan Cahya Warastra yang telah bergabung dengan pasukan Bango Lamatan untuk menyusun gelar dibantu oleh para pemimpin perguruan. Sesuai dengan arahan sebelumnya dari Panembahan Cahya Warastra, Ki Ageng Blarak Sineret telah ditunjuk menjadi senopati pengapit bersama Bango Lamatan. Namun ternyata sampai saat itu Bango Lamatan belum menampakkan batang hidungnya sehingga Ki Ageng Blarak Sineret telah mengambil alih pasukan karena Panembahan Cahya Warastra sendiri telah mengikatkan diri dengan Ki Rangga Agung Sedayu dalam sebuah perang tanding.
Berangsur-angsur pasukan Panembahan Cahya Warastra telah menyesuaikan dengan gelar yang mereka susun, Gelar Capit Urang. Segera saja tampak kesibukan yang luar biasa. Beberapa pemimpin perguruan telah berkumpul di depan Ki Ageng Blarak Sineret untuk mendapatkan penjelasan singkat.
“Aku akan berada di kepala gelar,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret memulai pengarahannya, “Sambil menunggu Ki Bango Lamatan dan Ki Gede Ental Sewu hadir, aku mohon Ki Wasi Jaladara untuk mendampingiku di ujung gelar.”
Ki Wasi Jaladara yang berada di samping Ki Ageng Blarak Sineret hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah kata pun.
“Untuk di kedua ujung gelar,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret selanjutnya, “Aku mohon Nyi Rahutri, Alap-Alap Siwur Bang dan Ki Bagus Lelana di ujung kiri gelar, sedangkan Kiai Sadaksada, Ki Rudraksa dan Ki Bagas Waras berada di ujung gelar yang lain.”
Para pemimpin perguruan yang telah disebut namanya hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka untuk menolak atau pun menyatakan keberatannya. Namun tiba-tiba dua orang telah mendesak maju.
“Mohon maaf Ki Ageng,” berkata salah satu dari keduanya, “Kami sepasang Iblis bertangan badai dari kali Dadung mohon arahan.”
Ki Ageng Blarak Sineret sejenak mengerutkan keningnya sambil menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Dilemparkan pandangan matanya ke sekeliling, seolah-olah ada yang sedang dicarinya.
“Di manakah Kiai Sasadara dan Ki Ajar Wiyat?” bertanya Ki Ageng kepada mereka yang hadir tanpa memperdulikan permintaan Sepasang Iblis bertangan badai dari kali Dadung.
Sejenak mereka yang hadir saling berpandangan, mereka memang tidak melihat kedua orang itu semenjak tadi.
“Mereka berdua mendampingi Ki Bango Lamatan untuk menyerbu padukuhan induk Menoreh pagi tadi,” akhirnya seseorang menjawab pertanyaan Ki Ageng Blarak Sineret.
“Aku tahu itu,” jawab Ki Ageng cepat, “Akan tetapi mengapa mereka tidak ikut menarik diri bersama-sama dengan pasukan yang lain?”
“Ki Bango Lamatan dan Ki Gede Ental Sewu juga belum tampak hadir di antara kita,” tiba-tiba Ki Wasi Jaladara yang sedari tadi hanya diam saja telah berdesis perlahan.
Kembali Ki Ageng Blarak Sineret menarik nafas dalam-dalam. Berbagai dugaan timbul dalam benaknya, mengapa para tokoh-tokoh penting sejauh ini belum bergabung dengan pasukan induk Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah mereka sedang terlibat dalam sebuah pertempuran yang membuat mereka terikat sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menarik diri bersama-sama pasukan?” pertanyaan itu bergulung-gulung dalam dada Ki Ageng Blarak Sineret.
“Kita jangan tergantung dengan mereka yang tidak hadir disini,” tiba-tiba terdengar suara merdu menyela, “Pasukan lawan sudah mulai bergerak dengan gelar Garuda Nglayang, sedangkan kita di sini masih disibukkan dengan segala urusan yang tidak jelas. Lebih baik kita segera bersiap. Apabila kemudian para tokoh-tokoh penting itu hadir di medan, segala sesuatunya dapat diatur kemudian.”
Hampir bersamaan semua yang hadir di situ berpaling ke arah seseorang yang sedang berdiri dengan anggunnya, Nyi Rahutri.
Sejenak suasana menjadi hening. Segera saja beberapa pasang mata laki-laki yang berada di situ dengan tanpa berkedip menyelusuri seluruh lekuk-lekuk tubuh pemimpin Perguruan Pamulatsih itu dengan sorot mata yang nanar dan sedikit liar.
Untuk beberapa saat hati Nyi Ayu Rahutri bagaikan tercekat begitu menyadari berpasang-pasang mata laki-laki yang ada di sekitarnya seolah-olah sedang menggerayangi sekujur tubuhnya yang terbungkus oleh pakaian khusus yang ringkas dan ketat.
Dengan sedikit tersipu cepat-cepat Nyi Ayu Rahutri bertanya perlahan, “Apakah pendapatku salah?”
“O, tidak..tidak,” beberapa orang tanpa disadari telah menyahut.
“Jadi..? Bagaimana selanjutnya..?” kembali Nyi Ayu Rahutri bertanya dengan nada sedikit manja.
Sejenak mereka yang hadir di situ hanya dapat saling pandang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Beberapa orang yang sudah dapat menguasai diri segera menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi laju detak jantung mereka yang tiba-tiba saja telah melonjak-lonjak. Sedangkan beberapa yang lain segera melemparkan pandangan mata mereka ke titik-titik di kejauhan sambil menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir bayangan aneh yang tiba-tiba saja menyusup dalam benak mereka.
“Pendapatmu benar, Nyi Rahutri,” Ki Ageng Blarak Sineret lah yang segera menyahut untuk mencairkan suasana, “Kita akan menghadapi Mataram dengan kekuatan yang ada. Jangan membuang-buang waktu lagi. Marilah kita segera menempati tempat masing-masing sesuai dengan apa yang telah aku sampaikan tadi.”
“Bagaimana dengan kami berdua?” tiba-tiba kedua iblis dari tepian kali Dadung itu kembali bertanya.
“Ki Sanak berdua dapat bergabung dengan beberapa Putut yang ada di ekor pasukan untuk menjaga jangan sampai pada saat kita sedang disibukkan oleh pasukan Mataram, para pengawal dari Menoreh itu justru akan menusuk kita dari belakang.” Akhirnya Ki Ageng Blarak Sineret memutuskan.
Rona merah segera saja mewarnai kedua wajah iblis dari tepian kali dadung itu. Ada sedikit ketersinggungan di dalam hati mereka karena tingkat kemampuan mereka yang hanya disamakan dengan kemampuan para Putut padepokan. Namun mereka sama sekali tidak mempunyai nyali untuk menolak justru mereka tahu dengan siapa mereka berdua berhadapan.
Demikianlah akhirnya dengan tergesa-gesa para pemimpin perguruan itu segera menempati tempat mereka masing-masing. Dengan gelar capit urang mereka telah siap menunggu aba-aba dari Ki Ageng Blarak Sineret untuk menyerbu pasukan lawan yang telah berada di depan mata.
Dalam pada itu perang tanding antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra berlangsung dengan dahsyatnya. Tanah bagaikan dibajak dan debu-debu berhamburan. Sementara pepohonan serta gerumbul-gerumbul liar yang terdapat di sekitar perang tanding itu telah porak poranda. Ranting-ranting sebesar lengan orang dewasa berderak derak berpatahan terkena sambaran angin pukulan kedua orang yang sudah hampir putus segala kawruh lahir dan batin itu. Bahkan gerumbul-gerumbul bagaikan tercerabut dari akarnya dan ikut berhamburan tertiup angin pusaran yang timbul dari akibat dahsyatnya perang tanding itu.
Semakin lama lingkaran pertempuran itu semakin bergeser mendekati pintu gerbang padukuhan induk yang sudah runtuh terbakar menjadi abu. Ki Ageng Blarak Sineret yang mengambil alih sementara pimpinan pasukan Panembahan Cahya Warastra menyadari sepenuhnya bahwa pertempuran antara kedua orang linuwih itu tidak bisa diganggu, sehingga dia telah merencanakan untuk menggeser pasukannya menjauhi lingkaran pertempuran.
“Kita tidak dapat membiarkan lingkaran pertempuran Panembahan Cahya Warastra itu berada di dalam gelar kita. Kita harus membangun kekuatan gelar capit urang agak jauh dari dinding padukuhan, agar tidak mengganggu perang tanding itu,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret kepada Ki Wasi Jaladara yang mendampinginya.
Ki Wasi Jaladara mengangguk. Kemudian dia segera meneriakkan aba-aba sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, sedangkan tangan kirinya yang juga terangkat tinggi telah bergerak menunjuk ke arah luar menjauhi dinding padukuhan. Suara teriakan yang dilambari dengan tenaga cadangan itu segera menggema ke seluruh pasukan sehingga para pemimpin pasukan yang berada di kedua ujung gelar segera bersiap untuk menindak lanjuti.
“Apakah kita akan membiarkan Panembahan Cahya Warastra bertempur sendirian di belakang gelar kita?” bertanya seorang Putut dari Padepokan Cahya Warastra yang berdiri di belakang Ki Ageng Blarak Sineret.
Ki Ageng hanya berpaling ke belakang sekilas sambil menjawab, “Panembahan Cahya Warastra tidak akan memerlukan waktu yang lama untuk segera menyelesaikan lawannya. Sementara pasukan pengawal Menoreh yang berada di balik dinding padukuhan induk bukan ancaman yang berarti bagi Panembahan.”
Putut itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sepenuhnya percaya dengan kesaktian pemimpin perguruannya, namun di dalam hatinya terbersit kekhawatiran akan keselamatan pemimpinnya itu jika lawan ternyata tidak segan untuk berbuat curang dengan meminta bantuan seluruh pengawal Menoreh yang berada di balik dinding padukuhan itu untuk beramai-ramai mengeroyok Panembahan Cahya Warastra.
“Tapi aku yakin, Panembahan akan dapat mengatasi semua itu walaupun seisi Tanah Perdikan Menoreh ini beramai-ramai mengeroyoknya,” berkata Putut itu dalam hati sambil tersenyum tipis dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah kita bergerak,” berkata Ki Ageng Blarak Sineret membuyarkan angan-angan Putut dari perguruan Panembahan Cahya Warastra itu, “Usahakan kedua ujung gelar kita bergerak mendahului untuk menghancurkan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang pasukan lawan. Sementara dua kelompok putut-putut yang terpilih dari setiap perguruan yang telah kita persiapkan agar menyusup diantara barisan pasukan kita menuju ke masing-masing ujung gelar untuk memberikan kejutan di kedua sayap pasukan lawan.”
Ki Wasi Jaladara sejenak mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah Ki Ageng bermaksud memberikan bantuan di kedua ujung gelar capit urang untuk menambah tekanan kepada kedua sayap pasukan lawan?”
“Ya,” jawab Ki Ageng cepat, “Begitu benturan pertama terjadi, kita akan melihat keseimbangan medan beberapa saat. Jika pasukan kita di kedua ujung gelar menguasai medan, kelompok para Putut terpilih dari setiap perguruan itu akan mempercepat hancurnya kekuatan lawan.”
“Jika pasukan kita yang terdesak atau kekuatannya seimbang dengan pasukan Mataram?”
“Kelompok khusus para putut terpilih akan menambah kekuatan kita di setiap ujung gelar atau paling tidak akan memberikan keseimbangan dalam memberikan perlawanan.” Jawab Ki Ageng Blarak Sineret mantap.
Ki Wasi Jaladara hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika pandangan matanya kemudian menatap ke arah barisan pasukan lawan, tampak pasukan Mataram sudah siap dalam gelar garuda Nglayang.
Demikianlah ketika Ki Ageng Blarak Sineret sudah merasa cukup dengan segala persiapan pasukannya, tombak pendek di tangan kanannya segera diangkat tinggi-tinggi. Segera saja terdengar suara teriakan menggelegar dari Ki Wasi Jaladara memberi aba-aba untuk menyerbu lawan.
Dengan suara gemuruh dan teriakan serta sumpah serapah, pasukan Panembahan Cahya Warastra bagaikan air bah yang turun dari lereng-lereng bukit menerjang apa saja yang dilewatinya, gerumbul-gerumbul perdu, bebatuan yang berserakan dan pohon-pohon kecil yang tidak begitu kuat akarnya ikut terseret arus banjir bandang.
Pasukan Mataram ternyata mempunyai perhitungan lain. Mereka tidak menyongsong pasukan lawan yang menyerbu dengan teriakan gegap gempita serta senjata yang terangkat tinggi-tinggi siap menebas leher lawan. Namun pasukan Mataram tetap menunggu di tempat mereka menggelar kekuatan. Perlahan tapi pasti mereka justru telah bergerak mengatur jarak yang cukup antara prajurit satu dengan yang lainnya agar pada saat terjadi benturan pertama, mereka tidak salah mengayunkan senjata yang justru akan dapat melukai kawan sendiri.
Tumenggung Singayudha dan Surayudha yang berada di kepala gelar sejenak saling pandang begitu melihat pasukan Panembahan Cahya Warastra berlari-larian sambil mengangkat senjata mereka yang terayun-ayun mengerikan. Pasukan lawan memang telah memasang gelar capit urang namun dalam perkembangannya kelihatannya pasukan lawan itu dengan cepat dapat mengubah gelar menjadi jurang grawah atau pun gedong minep.
“Luar biasa,” desis Tumenggung Singayudha tanpa disadarinya, “Ternyata Panembahan Cahya Warastra mampu menghimpun sedemikian besar pasukan dari berbagai perguruan yang ada di tanah ini.”
Tumenggung Surayudha yang ada di sebelahnya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Pasukan itu memang kelihatannya sangat besar, namun sesungguhnya sangat rapuh dan mudah tercerai-berai.”
Tumenggung Singayudha mengerutkan keningnya sambil berpaling. Katanya kemudian, “Mengapa Kakang mengatakan pasukan sebesar itu sangat rapuh dan mudah sekali tercerai-berai?”
“Mereka berjuang tidak atas dasar keyakinan yang kuat. Mereka berjuang untuk kepentingan golongan mereka masing-masing,” Tumenggung Surayudha berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Berbeda dengan kita para prajurit Mataram, kita berjuang dengan landasan keyakinan yang sama, keyakinan akan kebenaran dan demi tetap tegaknya pemerintahan Mataram di atas tanah ini.”
Sejenak Tumenggung Singayudha termenung. Sudah berapa puluh kali sejak Panembahan Senopati memindahkan pemerintahan dari Pajang ke Mataram telah terjadi pergolakan di negeri ini. Beberapa pihak merasa tidak puas dengan pengangkatan Panembahan Senopati menjadi pemimpin tertinggi di tanah ini. Namun yang justru telah membuat hati para kawula alit sedih dan nelangsa tak terperikan adalah perang yang terjadi justru kebanyakan bersumber dari tingkah polah keluarga istana sendiri.
“Marilah,” berkata Tumenggung Surayudha menyadarkan Tumenggung Singayudha dari lamunannya, “Beri perintah untuk meniup sangkakala dan genderang untuk memulai peperangan ini.”
Tumenggung Singayudha segera memberi isyarat kepada Ki Bekel Sidokepung dari kademangan Candisari yang berdiri tidak jauh di belakangnya untuk memerintahkan anak buahnya menabuh genderang dan meniup sangkakala.
Sejenak kemudian udara di atas padukuhan induk itu pun telah digetarkan oleh bunyi sangkakala yang menggelegar ditingkah dengan suara genderang yang ditabuh bertalu-talu. Pasukan cadangan Mataram itu memang tidak membawa bende Kiai Becak karena bende itu telah dibawa oleh pasukan yang melawat ke Panaraga. Sebagai gantinya pasukan cadangan Mataram telah membawa sangkakala Kiai Sembur Geni dan genderang Kiai Talkanda.
Suara sangkakala Kiai Sembur Geni yang melengking tinggi memekakkan telinga itu ternyata telah mempengaruhi pasukan Panembahan Cahya Warastra yang sedang berlari-larian sambil mengacungkan senjata mereka yang berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari. Untuk beberapa saat langkah mereka bagaikan tertahan. Apalagi ketika genderang Kiai Talkanda telah ditabuh, getar suaranya seakan-akan telah menghimpit dan menyesakkan dada.
“Jangan terpengaruh!” teriak Ki Ageng Blarak Sineret sambil terus melangkah menuju ke tempat pasukan lawan menunggu, “Hancurkan setiap penghalang. Tidak ada belas kasihan. Rawe-rawe rantas malang-malang putung.”
Teriakan Ki Ageng Blarak Sineret yang mengandung tenaga cadangan ini ternyata telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap ketahanan jiwani pasukannya dan membangkitkan kembali semangat perjuangan mereka. Dengan teriakan yang membahana, pasukan Panembahan Cahya Warastra pun kembali bergerak dengan cepat menyerbu ke tempat pertahanan para prajurit Mataram.
Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Gede Ental Sewu dan Ki Jayaraga berlangsung dengan dahsyatnya. Kedua orang yang sudah memasuki masa-masa tua dan sudah selayaknya menikmati hidup dengan menimang cucu itu, ternyata masih harus mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Keduanya benar-benar sudah tenggelam dalam pertempuran mengadu ilmu yang tinggi dan nggegirisi.
Ki Gede Ental Sewu agaknya sudah tidak sabar lagi untuk segera menyelesaikan pertempuran begitu melihat kedua muridnya yang masih sangat belia, Sindang wangi dan Bantar Kawung mendekati arena pertempuran. Apalagi ketika dilihatnya beberapa pengawal yang lain telah mendahului berkerumun di pinggir arena, hatinya benar-benar menjadi marah. Ki Gede Ental Sewu mengira kedua muridnya itu telah menyerah dan ditawan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Tapi mengapa kedua tangan anak-anak itu tidak diikat?” sebuah pertanyaan berputar-putar di benak Ki Gede Ental Sewu begitu menyadari kedua muridnya itu berjalan dengan bebas diiringi oleh Ki Gede Menoreh dan beberapa pengawal menuju ke tempatnya.
Namun ketika Ki Gede kemudian mendapat kesempatan sekilas untuk mengawasi medan di sekitarnya, degup jantungnya pun menjadi semakin kencang begitu menyadari pasukan pengawal Menoreh ternyata telah berada di mana-mana.
“Gila!” umpat Ki Gede dalam hati sambil menghindari serangan lawannya yang mengarah ke tengkuk, “Mengapa kedua anak itu tidak ikut mundur bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra yang telah berada di luar dinding padukuhan?”
“Pengalaman mereka masih terlalu dangkal sehingga dengan mudah terjebak di antara para pengawal Menoreh yang lebih berpengalaman,” kembali Ki Gede Ental Sewu berkata dalam hati.
Maka ketika suatu saat tekanan dari lawannya agak berkurang, Ki Gede Ental Sewu segera mengambil keputusan untuk menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Dengan cepat Ki Gede telah meloncat ke belakang untuk mengambil jarak.
Ki Jayaraga terkejut begitu menyadari lawannya telah mengambil jarak. Panggraitanya yang tajam segera menyadari bahwa lawannya telah mengambil keputusan untuk menggunakan puncak ilmunya.
“Kakang Respati,” berkata Ki Jayaraga berusaha untuk meredam kemarahan lawannya, “Apakah Kakang bermaksud mengakhiri pertempuran ini dengan salah satu dari kita harus menjadi banten?”
“Tutup mulutmu, Pradapa,” geram Ki Gede Ental Sewu dengan wajah yang membara, “Hari ini aku telah memutuskan hanya salah satu dari kita yang berhak menghirup segarnya udara dan teriknya sinar Matahari. Kalau Kau merasa takut melihat kenyataan, berlututlah di hadapanku dan tundukkan kepalamu, aku berjanji untuk tidak terlalu menyakitimu pada saat membunuhmu.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ada sebuah penyesalan yang membelit hati tuanya. Penyesalan yang tak mungkin dapat ditebus sampai saatnya nanti ajal akan menjemput di akhir hayatnya.
“Bersiaplah!” teriakan Ki Gede Ental Sewu yang semasa mudanya bernama Respati Mintuna itu telah menyadarkan Ki Jayaraga akan kenangan masa lalunya, “Aku tidak akan memberimu peringatan untuk kedua kalinya. Sekali peringatan itu sudah terlalu banyak bagi orang sepertimu, orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi beban kewajibannya.”
Kata-kata Ki Gede Ental Sewu yang terakhir itu bagaikan ujung sembilu yang dengan sengaja secara perlahan-lahan membelah hati tua Ki Jayaraga menjadi potongan–potongan yang berserakan tak berarti. Kenangan akan Niken Larasati yang telah terpendam berpuluh-puluh tahun yang lalu telah muncul kembali dan seakan-akan baru saja terjadi kemarin sore.
Ketika Ki Jayaraga masih bergulat dengan kenangan masa lalunya, tiba-tiba Ki Gede Ental Sewu telah berteriak lantang, “Tataplah langit, peluklah bumi, Pradapa. Jangan rindukan lagi terbitnya Matahari esok pagi!”
Terkejut Ki Jayaraga bagaikan tersengat ribuan lebah. Serangan Ki Gede Ental Sewu yang dilambari dengan ilmu puncaknya telah meluncur dengan dahsyat menerjang dadanya.
Tidak ada kesempatan bagi Ki Jayaraga untuk mengetrapkan Aji Sigar bumi dalam menghadapi gempuran Ki Gede Ental Sewu. Yang dapat dilakukan hanyalah menghindari serangan lawan sejauh-jauhnya.
Dengan cepat Ki Jayaraga segera menjatuhkan dirinya berguling ke kanan beberapa kali, bahkan dengan sengaja Ki Jayaraga menambah lagi beberapa putaran untuk menghindari kemungkinan akan adanya serangan susulan.
Serangan Ki Gede Ental Sewu yang bagaikan tatit melompat di udara itu ternyata hanya mengenai tempat kosong, sehingga sebuah kekuatan yang dahsyat telah meluncur menghantam sebuah pohon sebesar pelukan orang dewasa yang berada segaris dengan serangan Ki Gede Ental Sewu. Akibatnya adalah sangat dahsyat dan nggegirisi sehingga membuat jantung mereka yang hadir di seputar arena pertempuran itu telah tergetar dengan hebat, bahkan sebagian pengawal ada yang merasa seolah-olah jantung mereka bagaikan telah terlepas dari tangkainya.
Sementara kedua murid dari perguruan Ental Sewu di lereng Gunung Sindara, Sindang Wangi dan Bantar Kawung seolah-olah tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan, kekuatan puncak dari aji kebanggaan perguruan Ental Sewu yang selama ini hanya mereka dengar dari dongengan para Putut dan Cantrik padepokan.
Pohon sebesar pelukan orang dewasa itu sejenak bergetar sebelum akhirnya meledak pecah berkeping-keping. Tanah tempat tumbuh pohon itu pun ikut terbongkar sampai dengan akar-akarnya sehingga tanah bercampur batu-batu kecil dan debu serta serpihan-serpihan kayu bercampur dedaunan berhamburan memenuhi udara seputar arena pertempuran.
Sejenak pandangan di seputar arena itu menjadi kabur. Ki Gede Menoreh yang mengawasi jalannya perang tanding dari pinggir arena menjadi berdebar-debar. Kekuatan aji lawan Ki Jayaraga ini benar-benar tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Namun Ki Gede Menoreh yakin, Ki Jayaraga yang telah dikenalnya sejak Kiai Gringsing masih hidup itu tentu tidak akan membiarkan dirinya lumat diterjang ilmu lawannya, Ki Jayaraga tentu mempunyai perhitungan-perhitungan yang mungkin tidak terpikirkan oleh lawannya.
“Seandainya Ki Rangga Agung Sedayu telah hadir disini,” tiba-tiba tanpa disadarinya Ki Gede Menoreh bergumam perlahan.
“Apakah seorang lawan telah mampu menahannya sehingga sampai saat ini dia belum mendapatkan jalan untuk memasuki padukuhan induk?” kembali Ki Gede Menoreh bertanya-tanya dalam hati.
Untuk sejenak ingatan Ki Gede Menoreh melayang kepada Ki Rangga Agung Sedayu, pemimpin pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh. Ki Gede Menoreh memang telah mendengar bunyi ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu beberapa saat yang lalu namun dia belum mengetahui bahwa di luar dinding padukuhan induk sedang terjadi perang tanding hidup mati antara Ki Rangga Agung Sedayu dan Panembahan Cahaya Warastra.
“Jika sejauh ini Ki Rangga Agung Sedayu masih tertahan di luar dinding padukuhan induk, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pasukan Panembahan Cahya Warastra benar-benar terdiri dari orang-orang yang pilih tanding,” kembali Ki Gede Menoreh berangan-angan.
Namun angan-angan Ki Gede Menoreh menjadi buyar bagaikan awan tipis yang tertiup angin kencang ketika mendengar teriakan lawan Ki Jayaraga yang menggelegar memekakkan telinga.
“Pengecut!” teriak Ki Gede Ental Sewu dengan gigi bergemeretakan menahan amarah yang tiada taranya, “Pradapa, kalau memang Kau jantan, jangan hanya menghindar. Terimalah seranganku ini dengan dada tengadah.”
Selesai berkata demikian, kembali Ki Gede Ental Sewu memusatkan segenap nalar budinya untuk mengulangi serangannya.
Ki Jayaraga yang telah melenting berdiri kini tidak ada pilihan lain baginya kecuali harus melawan. Sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah berdiri dengan kokoh di atas kedua kakinya yang renggang, siap membenturkan aji sigar bumi dengan aji pamungkas dari Perguruan Ental Sewu di lereng Gunung Sindara.
Sejenak kemudian, dengan sebuah lompatan panjang Ki Gede Ental Sewu telah mengayunkan tangannya ke arah ubun-ubun Ki Jayaraga. Tangan kanan Ki Gede Ental Sewu yang terayun mengarah ubun-ubun lawannya itu tampak bercahaya menyilaukan dari siku sampai telapak tangannya yang terbuka dengan jari-jari merapat. Cahaya yang terpancar itu begitu menyilaukan pandangan mata sehingga mereka yang hadir di pinggir arena tidak berani memandang langsung dan memilih untuk memalingkan kepala.
Ki Jayaraga yang melihat cahaya menyilaukan terpancar dari tangan Ki Gede Ental Sewu tidak bergeming. Dengan sepenuh hati dipanjatkan doa kepada Yang Maha Hidup untuk memohon perlindunganNya dan pasrah atas apa yang akan menjadi ketentuan dari garis hidupnya.
Dengan sedikit merendahkan kedua lututnya, Ki Jayaraga yang telah siap dengan aji sigar bumi segera menyilangkan kedua tangan di atas kepalanya untuk melindungi diri dari terjangan aji pamungkas perguruan Ental Sewu dari lereng Gunung Sindara.
Sejenak kemudian sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Memang Ki Gede Ental Sewu sengaja membenturkan ilmunya langsung melalui tangannya, tidak dengan lontaran ilmu jarak jauh, untuk memberikan dampak benturan yang berlipat ganda kepada lawannya.
Benturan yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan medan pertempuran. Sebuah ledakan yang mengguntur telah memekakkan telinga sedangkan getaran yang ditimbulkan akibat benturan itu telah menyentuh dada setiap orang yang hadir di seputar arena. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Para pengawal yang tidak mempunyai ketahanan tubuh yang cukup kuat telah terbungkuk-bungkuk sambil memegangi dada mereka yang rasa-rasanya bagaikan terhimpit berbongkah-bongkah batu padas. Bahkan beberapa diantaranya telah jatuh tidak sadarkan diri. Sementara kilatan cahaya yang menyilaukan akibat benturan ilmu kedua orang yang linuwih itu untuk beberapa saat telah membutakan pandangan orang-orang yang hadir di seputar medan.
Ternyata ketahanan tubuh kedua orang tua itu hampir seimbang. Akibat benturan itu ternyata telah melontarkan keduanya beberapa langkah ke belakang. Sejenak keduanya masih yang terhuyung-huyung sambil memegangi dada mereka masing-masing yang rasa-rasanya tulang-tulang iganya telah berpatahan.
Setelah menghentakkan kekuatannya untuk menahan laju tubuhnya yang terseret ke belakang, Ki Jayaraga yang terlebih dahulu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya telah kembali tegak di atas kedua kakinya yang renggang.
Ketika Ki Jayaraga melontarkan pandangan matanya ke depan, dilihatnya Ki Gede Ental Sewu yang mengalami sedikit kesulitan dalam mengembalikan keseimbangan tubuhnya ternyata telah berhasil untuk berdiri tegak kembali. Sambil menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan terhimpit sebuah bukit, pemimpin perguruan Ental Sewu itu pun kemudian segera bergeser beberapa langkah ke depan untuk kembali siap menyabung nyawa.
“Kakang Respati,” berkata Ki Jayaraga begitu melihat lawannya telah menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Apakah benar-benar tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan di antara kita ini?”
“Inilah jalan yang telah aku pilih,” geram Ki Gede Ental Sewu yang semasa mudanya bernama Respati Mintuna, “Salah satu diantara kita harus mati. Aku tidak mau hidup di bawah langit yang sama dengan orang yang telah menodai nama baik keluargaku. Hari ini juga dendam setinggi langit sedalam lautan ini harus dituntaskan.”
Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam menanggapi kata-kata lawannya. Hati tuanya benar-benar bagaikan teriris-iris sembilu. Niat baiknya untuk meluruskan peristiwa yang telah terjadi berpuluh tahun yang lalu ternyata telah membentur sebuah dinding batu yang tak tergoyahkan.
“Nah, Pradapa. Terserah Kau akan melawan atau tidak, ilmuku akan segera melumatmu,” berkata Ki Gede Ental Sewu kemudian.
Agaknya pemimpin perguruan di lereng Gunung Sindara itu telah siap dengan puncak ilmunya dalam ujud yang lain. Kedua tangannya yang semula bersilang di depan dada segera diuraikannya. Dengan penuh kepercayaan diri yang tinggi, dia pun melanjutkan kata-katanya, “Aku tidak akan bertempur seperti anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan, berloncat-loncatan dan saling mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun aku akan menggunakan ilmu yang berlandaskan kekuatan batin. Bersiaplah kalau tidak ingin tubuhmu lumat menjadi seonggok daging dan serpihan tulang.”
Selesai berkata demikian, Ki Gede segera berdiri tegak menghadap penuh ke arah lawannya dengan kaki yang renggang. Kedua tangannya terjulur lurus dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah Ki Jayaraga.
Sejenak kemudian, perlahan-lahan kabut tipis tampak muncul dari kedua belah telapak tangan Ki Gede Ental Sewu yang terbuka. Kabut itu berwarna putih kebiru-biruan bergerak perlahan mengarah ke tempat lawannya berdiri.
Terkesiap guru Glagah Putih itu melihat kabut tipis yang berwarna putih kebiru-biruan bergerak perlahan dengan pasti menuju ke arahnya. Semakin lama kabut itu semakin tebal dan bergerak bagaikan kepala seekor ular berbisa yang siap mematuk dada Ki Jayaraga.
Sekilas Ki Jayaraga teringat dengan Kiai Gringsing, guru Ki Rangga Agung Sedayu yang telah lama meninggal. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing telah mengubah jalan hidupnya yang semula selalu penuh dengan gelimang noda. Sebuah pertemuan yang harus ditebus dengan mengadu ilmu seperti yang sekarang sedang terjadi antara dirinya dengan Ki Gede Ental Sewu.
Namun Ki Jayaraga tidak dapat berlama-lama membiarkan angannya terbang ke masa lalu. Ketika dilihatnya kabut tipis yang berwarna putih kebiru-biruan itu telah semakin dekat dengan tempatnya berdiri, dengan cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Ki Jayaraga hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengungkapkan ilmunya, ilmu yang sama ketika dia bertemu dengan Kiai Gringsing untuk pertama kalinya.
Dengan berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, Ki Jayaraga pun kemudian mengambil sikap yang sama dengan lawannya. Kedua tangannya terjulur lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka. Sejenak kemudian, kabut tipis yang berwarna putih kemerah-merahan telah meluncur dari kedua telapak tangan Ki Jayaraga menyambut serangan lawannya.
Perlahan tapi pasti kedua kabut tipis yang berbeda warna itu saling bertemu dan membentuk garis batas yang jelas. Kabut yang berwarna putih kebiru-biruan itu tampak mendesak kabut yang berwarna putih kemerah-merahan. Sejenak keduanya saling mendesak sehingga suasana sangat mencekam. Seandainya saja ada sebatang jarum yang runtuh ke tanah, niscaya bunyi dentingannya akan mengejutkan orang-orang yang ada di seputar arena.
Ki Gede Menoreh yang ikut menyaksikan pertempuran kedua orang linuwih itu menjadi berdebar-debar. Beberapa tahun yang lalu Ki Gede pernah menyaksikan pertempuran serupa antara Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing. Suasananya benar-benar mencekam walaupun tidak ada teriakan atau pun benturan yang menggelegar, namun udara di sekitar medan pertempuran seakan-akan telah bergetar dengan dahsyat dan menghentak-hentak setiap dada.
Sindang Wangi dan Bantar Kawung justru telah berdiri saling merapat. Kakak beradik itu seakan-akan telah berdiri di atas seonggok bara menahan ketegangan hati yang luar biasa sehingga keringat mereka telah bercucuran membasahi pakaian.
Semakin lama pertempuran yang tidak kasat mata itu menjadi semakin dahsyat. Keduanya telah berdiri dengan tubuh yang bergetar menahan gejolak ilmu yang telah mereka benturkan dengan cara tidak seperti kebanyakan orang-orang mengadu ilmu. Kedua tangan yang teracu kedepan itu pun mulai terlihat bergetar dan lelah bagaikan menahan sebongkah batu padas yang beratnya beratus-ratus kati.
Kabut yang keluar dari kedua telapak tangan Ki Gede Ental Sewu semakin lama menjadi semakin tebal dan bergejolak berusaha mendesak kabut yang keluar dari telapak tangan Ki Jayaraga. Tubuh kedua orang linuwih itu telah basah kuyup oleh keringat yang keluar bagaikan terperas dari pori-pori tubuh-tubuh tua yang telah berkeriput. Sama sekali tidak ada teriakan maupun umpatan, apalagi benturan wadag. Yang ada hanya lah keheningan yang mencekam jantung sehingga mereka yang hadir menyaksikan pertempuran aneh itu hampir-hampir telah lupa untuk mengambil nafas.
Ketika kabut yang saling mendesak itu menjadi semakin tebal, kedua orang yang sedang mengadu ketajaman batin itu tenaganya benar-benar bagaikan telah terhisap oleh bumi. Namun apapun yang akan terjadi, keduanya tetap akan bertahan pada kedudukan masing-masing. Mereka tidak akan mengendur-kan serangan mereka sekejap pun yang justru akan dapat berakibat sangat mengerikan. Sejenak kemudian keduanya tampak telah berusaha untuk melumpuhkan lawannya dengan menghentakkan sisa-sisa kekuatan mereka. Kabut pun menjadi semakin tebal namun batas antara keduanya perlahan-lahan telah bergeser mendekat kearah Ki Gede Ental Sewu.
Dengan semakin dahsyatnya pertarungan batin antara kedua orang yang telah sampai pada batas puncak kemampuan mereka itu, ternyata udara di seputar arena menjadi seperti dipampatkan sehingga pepohonan yang tumbuh tidak jauh dari medan pertempuran itu telah berguguran daun-daunnya helai demi helai semakin lama semakin deras sehingga yang tertinggal kemudian hanya lah dahan dan ranting-rantingnya saja yang meranggas. Sementara dada orang-orang yang sedang menyaksikan pertempuran itu menjadi sesak dan nafas mereka bagaikan tersumbat seolah-olah dada mereka telah terhimpit oleh sebuah gunung anakan.
Perlahan tapi pasti batas antara kabut putih kebiru-biruan dengan kabut putih kemerah-merahan bergeser mendekati Ki Gede Ental Sewu. Dengan segenap kemampuan yang tersisa, tampak guru Sindang Wangi dan Bantar Kawung itu mencoba menghentakkan puncak ilmunya. Namun keadaannya sudah sedemikian payah. Kedua lututnya sudah tampak gemetar sehingga kedudukan kedua kakinya yang renggang mulai goyah. Ketika batas kabut itu sudah tinggal berjarak satu jengkal dengan kedua telapak tangan Ki Gede Ental Sewu yang terjulur ke depan, sudah tidak ada lagi kekuatan yang mampu menopang tubuhnya sehingga pemimpin perguruan Ental Sewu dari gunung Sindara itu pun telah terjatuh pada kedua lututnya.
Beberapa saat kemudian, kedua tangan Ki Gede yang teracu kedepan tampak semakin menggigil seperti orang kedinginan. Keadaan Ki Gede Ental Sewu ini terlihat sudah sedemikian parah sehingga ketika kedua tangannya tidak mampu lagi bertahan dan jatuh di kedua sisi tubuhnya, kepalanya pun akhirnya sudah tidak mampu lagi untuk tetap tegak.
Ketika kepala itu kemudian jatuh terkulai, tubuh Ki Gede yang telah basah kuyup oleh keringatnya sendiri itu pun akhirnya jatuh terguling ke samping kanan dan telentang tak berdaya.
Sementara Ki Jayaraga yang telah menghentakkan sisa-sisa kemampuannya ternyata juga mengalami hal yang hampir sama dengan lawannya di saat-saat terakhir. Ketika hentakkan puncak ilmunya telah mampu membuat lawannya jatuh terkulai, Ki Jayaraga pun ternyata telah mengalami kelelahan yang luar biasa. Tenaganya bagaikan terkuras habis dan kedua kakinya tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya sehingga perlahan-lahan Ki Jayaraga pun telah terjatuh pada kedua lututnya. Dengan sisa-sisa tenaganya Ki Jayaraga berusaha duduk bersila untuk mengatur pernafasannya yang terasa bagaikan tersumbat di kerongkongan. Sementara sekujur tubuhnya telah basah kuyup oleh keringatnya sendiri.
Ki Gede Menoreh yang melihat akhir dari perang tanding itu segera tanggap. Dengan tergopoh-gopoh pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu sambil menjinjing tombak pendeknya segera berlari mendapatkan Ki Jayaraga yang agaknya mendapatkan kesulitan untuk duduk bersila.
“Ki Jayaraga,” bisik Ki Gede sesampainya di sisi Ki Jayaraga.
Sambil berlutut di sebelah Ki Jayaraga, Ki Gede Menoreh segera meletakkan tombak pendek pusaka Menoreh di atas tanah terlebih dahulu sebelum menolong Ki Jayaraga.
“Terima kasih Ki Gede, “ desis Ki Jayaraga hampir tak terdengar ketika Ki Gede Menoreh berhasil menolongnya untuk dapat duduk bersila dengan tenang sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian Ki Jayaraga pun telah tenggelam dalam usahanya untuk mengatur pernafasannya yang tersumbat serta membenahi jalur-jalur urat nadinya yang bagaikan membeku sehingga aliran darahnya tidak mengalir dengan lancar.
Dalam pada itu, keadaan Ki Gede Ental Sewu benar-benar sangat gawat. Ketika pemimpin perguruan Ental Sewu dari gunung Sindara itu terguling dan kemudian telentang tak sadarkan diri, dengan teriakan dan jerit tangis, kedua muridnya segera berlari mendapatkan guru mereka yang telah terbujur diam tak bergerak.
“Guru..guru..!” jerit Sidang Wangi sesampainya di tempat gurunya terbaring diam.
Diiringi dengan isak tangis, tak henti-hentinya Sindang Wangi mengguncang-guncang tubuh gurunya yang terbaring diam. Sedangkan Bantar Kawung yang lebih muda usianya ternyata lebih tabah dari kakaknya. Dengan cepat dilingkarkannya pakaian gurunya untuk membantu menolong pernafasan ki Gede Ental Sewu yang tampak sangat berat, lemah dan tersendat-sendat. Dengan perlahan diangkatnya kepala gurunya kemudian diletakkan di atas pangkuannya.
Ketika Bantar Kawung mengangkat kepalanya untuk sekedar melihat keadaan di sekelilingnya, tampak seseorang yang sangat berwibawa sambil menjinjing sebuah tombak pendek beserta beberapa pengawal sedang berjalan menuju ke arahnya.
“Bagaimanakah keadaan Ki Gede Ental Sewu?” bertanya Ki Gede Menoreh sesampainya di hadapan Bantar Kawung dan Sindang Wangi yang masih dengan susah payah menguasai isak tangisnya.
“Kami tidak tahu, Ki Sanak,” jawab Bantar Kawung yang belum mengenal Ki Gede Menoreh, “Seandainya Ki Sanak tidak berkeberatan, sudilah kiranya menolong guru kami ini.”
Ki Gede Menoreh tersenyum kemudian sambil berpaling ke arah para pengawal yang berdiri termangu-mangu di sampingnya dia berkata, “Ambillah beberapa mangkuk air dingin, barangkali nanti diperlukan.”
Beberapa pengawal segera berlari-larian menuju ke rumah yang terdekat di ujung lorong padukuhan.
Ketika Ki Gede Menoreh kembali merenungi keadaan lawan Ki Jayaraga, tiba-tiba terdengar langkah kaki di belakangnya diikuti suara perlahan, “Ma’af Ki Gede, ijinkan aku merawat Ki Gede Ental Sewu. Semoga Yang Maha Agung masih mengijinkan kita untuk menolongnya.”
Ki Gede Menoreh perpaling, tampak Ki Jayaraga yang sudah membaik keadaannya sedang berdiri termangu-mangu beberapa langkah di belakangnya.
“Ki Jayaraga,” desis Ki Gede Menoreh sambil mengerutkan keningnya, “Apakah keadaan Ki Jayaraga sudah membaik?”
“Demikianlah Ki Gede, Yang Maha Agung telah berkenan memberikan pertolonganNya. Walaupun belum sepenuhnya pulih seperti sediakala, aku sangat bersyukur masih diijinkan untuk menghirup udara Tanah Perdikan Menoreh ini.”
“Syukurlah,” desis Ki Gede perlahan. Kemudian sambil berpaling ke tempat Ki Gede Ental Sewu terbaring, dia melanjutkan, “Silahkan Ki Jayaraga. Mungkin Ki Jayaraga dapat menolong meringankan penderitaannya.”
Ki Jayaraga mengangguk. Kemudian dengan sedikit tergesa-gesa, Ki Jayaraga segera mendekati Ki Gede Ental Sewu yang terbaring diam dalam pangkuan Bantar Kawung.
Setelah berjongkok di sisi tubuh Ki Gede Ental Sewu yang terbujur diam, Ki Jayaraga kemudian mencoba mengetahui keadaan lawannya itu dengan cara meraba dada dan lehernya.
Sejenak kerut merut di dahi Ki Jayaraga pun semakin dalam. Tubuh itu terasa agak dingin dengan denyut nadi yang sangat lemah dan tak teratur. Sedangkan pernafasan Ki Gede Ental Sewu hanya sesekali terdengar perlahan dan sangat lemah.
Sambil memijat beberapa bagian di dada dan tengkuk, Ki Jayaraga kemudian berkata kepada Bantar Kawung, “Aku akan mengambil obat yang biasanya disimpan di kantong ikat pinggang Ki Gede.”
Bantar Kawung tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk perlahan.
Dengan cekatan jari-jemari keriput Ki Jayaraga segera mencari di kantong-kantong yang banyak terdapat di ikat pinggang Ki Gede Ental Sewu. Ketika ujung jari guru Glagah Putih itu kemudian menyentuh sebuah buntalan kain lusuh, segera saja ditariknya buntalan kecil itu keluar dari salah satu kantong ikat pinggang Ki Gede.
“Hem..,” desah Ki Jayaraga dalam hati dengan jantung berdebar, “Agaknya ini obat yang aku maksud. Semoga saja ketahanan tubuh Kakang Respati masih mampu menahan laju arus racun yang sedang menjalar di seluruh urat darahnya.”
Dengan bergegas dibukanya buntalan kain lusuh itu. Ketika matanya tertumbuk pada butiran-butiran berwarna biru, hati Ki Jayaraga pun bagaikan tersiram banyu sewindu.
“Aku memerlukan air,” berkata Ki Jayaraga sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh yang berdiri tegak di sampingnya.
Salah seorang pengawal yang telah kembali dari mencari air atas perintah Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu segera maju sambil mengangsurkan sebuah mangkuk dari tanah liat yang berisi air jernih.
“Terima kasih,” berkata Ki Jayaraga perlahan hampir tak terdengar karena ketegangan yang sedang menguasai hatinya.
Dengan cepat Ki Jayaraga segera memasukkan tiga butir obat yang berwarna biru itu kedalam mangkuk. Setelah mengaduk dengan telunjuk jarinya, Ki Jayaraga segera memberi isyarat kepada Bantar Kawung untuk mengangkat kepala gurunya.
Sedikit demi sedikit Ki Jayaraga mencoba untuk memasukkan cairan obat itu kedalam mulut Ki Gede Ental Sewu. Memang untuk saat pertama Ki Jayaraga menemui kesulitan, namun dengan pengalamannya walaupun tidak menekuni ilmu pengobatan sebagaimana Kiai Gringsing, perlahan-lahan Ki Jayaraga telah berhasil memasukkan cairan obat itu kedalam mulut Ki Gede Ental Sewu.
Setelah memijat beberapa bagian di leher dan tengkuk, akhirnya cairan obat itu pun sedikit demi sedikit berhasil masuk kedalam perut Ki Gede Ental Sewu.
“Biarkan gurumu berbaring di tanah,” berkata Ki Jayaraga kepada Bantar Kawung yang masih memangku kepala gurunya, “Aku akan membantu melancarkan jalan pernafasan gurumu.”
Dengan perlahan dan sangat hati-hati, Bantar Kawung meletakkan kepala gurunya di atas tanah. Kemudian dia segera beringsut beberapa jengkal untuk memberikan ruang kepada Ki Jayaraga.
Segera saja Ki Jayaraga duduk bersila di atas tanah di sebelah tubuh ki Gede Ental Sewu yang terbujur diam. Nafas Ki Gede hampir-hampir tak terlihat. Hanya dadanya saja yang kadang terlihat bergerak-gerak sedikit, namun kemudian diam kembali untuk waktu yang lama.
Dengan memusatkan nalar budinya, Ki Jayaraga segera meletakkan kedua telapak tangannya di atas dada Ki Gede Ental Sewu. Sambil mengerahkan tenaga cadangannya, Ki Jayaraga berusaha menyalurkan hawa panas ke dada pemimpin Perguruan Ental Sewu itu untuk membantu melonggarkan rongga dadanya.
Ki Gede Menoreh yang berdiri di belakang ki Jayaraga ikut merasakan ketegangan yang mencekam. Beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berkerumun di tempat itu pun ikut menjadi tegang. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara, bahkan untuk sekedar menggerakkan ujung jari mereka pun rasa-rasanya mereka tidak berani.
Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar keluhan pendek dari mulut Ki Gede Ental Sewu. Dengan cepat Ki Jayaraga segera melepaskan tangannya dari dada Ki Gede. Dengan dibantu Bantar Kawung, Ki Jayaraga mencoba mengangkat tubuh bagian atas Ki Gede sehingga terduduk. Beberapa saat kemudian terdengar Ki Gede Ental Sewu telah terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika Ki Gede kemudian memuntahkan segumpal darah yang telah berwarna kehitam-hitaman dari mulutnya, pernafasan Ki Gede pun rasa-rasanya terlihat semakin longgar. Agaknya gumpalan darah itulah yang telah menyumbat pernafasan guru Bantar Kawung itu.
Sindang Wangi yang melihat gurunya memuntahkan segumpal darah yang berwarna kehitam-hitaman telah menjerit kecil sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Namun ketika dia kemudian mendengar desah nafas yang mulai teratur dari gurunya, hatinya yang tinggal semenir itu seolah-olah telah berkembang kembali.
“Ki Gede Masih belum sadarkan diri,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah membaringkan kembali tubuh Ki Gede Ental Sewu di atas tanah. Kemudian sambil berpaling ke arah Bantar Kawung dia melanjutkan, “Apakah Kau kuat memapah gurumu ke bangsal pengobatan, agar mendapat perawatan yang lebih baik?”
Sejenak anak yang masih sangat muda itu ragu-ragu sambil memandang ke arah mbokayunya. Agaknya Sindang Wangi tanggap dengan apa yang sedang berkecamuk dalam dada adiknya. Maka katanya kemudian, “Apakah dengan demikian kami berdua dianggap sebagai tawanan?”
“O..tidak tidak,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Kalian bukan tawanan kami. Kami hanya meminta kalian berdua untuk menunggui guru kalian di bangsal pengobatan agar mendapat perawatan yang semestinya.”
“Itu berlaku selama perang masih berlangsung,” sela Bantar Kawung, “Setelah perang selesai nasib kami berdua segera ditentukan.”
“Tidak ngger..,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat lembut dan sareh, “Kami bukanlah sekelompok orang yang pendendam. Kami menjunjung tinggi paugeran baik pada saat berlangsungnya perang maupun setelah selesainya perang.”
Hampir bersamaan Bantar Kawung dan Sindang Wangi mengerutkan keningnya sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh yang berdiri selangkah di belakang mereka. Dengan nada sedikit ragu-ragu Sindang Wangi akhirnya bertanya, “Siapakah kakek ini yang berani menjamin keselamatan kami berdua baik saat ini maupun nanti setelah perang selesai?”
Ki Gede Menoreh tersenyum lembut. Jawabnya kemudian, “Aku Argapati, yang diberi kuasa atas Tanah Perdikan Menoreh ini bahwa kalian berdua tidak akan diganggu seujung rambut pun.”
“Ki Gede Menoreh..!” hampir bersamaan kedua kakak beradik itu berseru perlahan sambil bangkit berdiri.
“Ya, ngger..,” jawab Ki Gede Menoreh dengan nada dalam, “Kalian tidak usah ewuh pekewuh di Tanah Perdikan Menoreh ini. Ki Gede Ental Sewu dan kalian berdua telah aku anggap sebagai tamu-tamuku. Jangan diartikan ini dengan berlebih-lebihan. Sesungguhnya setiap orang berkewajiban untuk berniat baik dan melaksanakan niat baik itu dalam sebuah perbuatan yang nyata.”
“Terima kasih atas kemurahan Ki Gede Menoreh. Ma’afkan sikap kami berdua yang semenjak tadi kurang trapsila dan tidak tanggap dengan siapa kami berhadapan,” berkata Sindang Wangi selaku yang tertua mewakili adiknya untuk memohon ma’af kepada penguasa tertinggi di Menoreh itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam diikuti oleh adiknya.
“Sudahlah,” berkata Ki Gede Menoreh sambil mempersilahkan keduanya untuk bersikap sewajarnya, “Yang lebih penting sekarang adalah keadaan guru kalian yang memerlukan perawatan yang lebih bersungguh-sungguh.”
Kedua anak yang masih belia itu hanya mengangguk sambil menahan gejolak yang berkecamuk dalam dada mereka. Sejenak kemudian Bantar Kawung dibantu oleh dua orang pengawal telah memapah Ki Gede Ental Sewu menuju ke salah satu rumah di padukuhan induk yang digunakan sebagai bangsal pengobatan sementara.
Dalam pada itu sepeninggal Bantar Kawung dan Sindang Wangi yang mengikuti para pengawal memapah guru mereka menuju bangsal pengobatan, Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga segera mengumpulkan para pengawal Menoreh. Beberapa pengawal yang terluka dan sebagian telah menjadi korban telah dibawa ke bangsal pengobatan untuk mendapatkan pengobatan maupun persemayaman sementara bagi yang telah gugur.
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Masih ada satu pertempuran di dalam padukuhan induk ini. Aku mohon Ki Jayaraga berkenan untuk melihat keadaan Kiai Sabda Dadi di dekat lorong padukuhan yang menuju ke sebelah kiri pintu gerbang padukuhan induk yang telah roboh. Terakhir aku melihat pertempuran antara Kiai Sabda Dadi dan lawannya telah bergeser menjauhi pintu gerbang sebelah kiri dan masuk ke lorong padukuhan induk. Sementara aku akan naik ke panggungan yang masih tersisa di dinding sebelah kanan regol untuk melihat suasana yang sedang terjadi di luar dinding padukuhan.”
“Baiklah Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga sambil mengangguk, “Aku akan membawa beberapa pengawal yang mungkin akan berguna sebagai penghubung jika keadaan semakin gawat dan memerlukan pertimbangan Ki Gede.”
“Silahkan Ki Jayaraga. Bawalah dua atau tiga pengawal. Sedangkan pengawal yang lain akan aku bawa untuk terjun ke medan pertempuran diluar dinding padukuhan induk jika hal itu memang memungkinkan dan dapat mempengaruhi jalannya pertempuran.”
“Tentu saja Ki Gede harus membuat hubungan terlebih dahulu dengan senapati yang memimpin pasukan Mataram agar tidak terjadi kesalahpahaman.”
“Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Pasukan pengawal Menoreh akan menyesuaikan dengan gelar yang telah disusun oleh pasukan Mataram. Selebihnya tambahan kekuatan dari pasukan Menoreh diharapkan akan mempengaruhi keseimbangan pertempuran.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada pengawal yang berdiri di sebelahnya, “Kalian berdua ikut aku.”
Kedua pengawal itu belum sempat menjawab ternyata Ki Jayaraga dengan langkah tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu. Dengan setengah berlari-lari kecil kedua pengawal itu pun akhirnya mengikuti langkah-langkah Ki Jayaraga yang telah jauh mendahului.
Sepeninggal Ki Jayaraga, Ki Gede Menoreh segera memberi isyarat kepada pemimpin pengawal Menoreh untuk ikut naik ke panggungan di sebelah kanan regol padukuhan induk yang telah runtuh. Sedangkan pengawal yang lain diperintahkan untuk menunggu.
Ketika Ki Gede Menoreh dan pemimpin pengawal itu telah mendekati regol padukuhan induk yang telah roboh, dari sela-sela dinding yang terbuka, mereka melihat pertempuran ternyata telah berkobar dengan dahsyatnya.
“Pertempuran telah dimulai,” desis ki Gede Menoreh, “Kita akan mencoba membuat hubungan dengan senapati yang memimpin pasukan Mataram.”
“Ya, Ki Gede,” berkata pemimpin pengawal itu. Dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah pasukan Mataram dipimpin langsung oleh Ki Patih Mandaraka?”
Ki Gede Menoreh menggeleng, “Aku tidak tahu. Namun menurut cerita yang aku dengar, Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra itu telah bangkit dari kuburnya dan sekarang sedang memimpin perguruan-perguruan yang sealiran dengannya untuk menghancurkan Mataram. Menurut perhitunganku, kehadiran kembali orang yang mengaku bernama Kecruk Putih itu tentu saja akan memancing Ki Patih Mandaraka untuk turun ke medan.”
Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar mendengar keterangan Ki Gede. Dengan ragu-ragu dia akhirnya bertanya, “Ki Gede, apakah memang ada ilmu semacam itu yang dapat membuat seseorang bangkit kembali dari kuburnya?”
Ki Gede Menoreh tertawa pendek, jawabnya kemudian, “Alangkah saktinya kalau memang ada seseorang yang mampu berbuat seperti itu? Aku tidak yakin kalau orang yang sekarang sedang menggerakkan perguruan-perguruan yang ada di tlatah ini dari ujung ke ujung adalah orang yang sama dengan Kecruk Putih yang telah terbunuh beberapa waktu yang lalu oleh ki Patih Mandaraka sendiri.”
Pemimpin pengawal itu terdiam, hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk. Tak terasa langkah mereka telah mendekati panggungan yang masih tersisa di sebelah kanan dinding padukuhan induk.
Ketika kedua orang itu kemudian telah menaiki panggungan sebelah kanan regol, sejenak keduanya tertegun. Jauh di depan mereka, diantara hamparan tanah pesawahan yang kering dan ditumbuhi semak belukar yang tak terurus, dua pasukan segelar sepapan sedang bertempur dengan dahsyatnya. Pasukan Mataram yang menggunakan gelar garuda Nglayang sedang menghadapi gempuran dari pasukan Panembahan Cahaya Warastra dalam gelar capit urang.
Kedua capit pasukan Panembahan Cahya Warastra berusaha menghancurkan sayap-sayap garuda Nglayang, sedangkan paruh dari garuda pasukan Mataram tak henti-hentinya mencoba mematuk-matuk dan membelah kepala capit urang.
“Pertempuran yang luar biasa,” desis Ki Gede Menoreh tanpa sadar.
“Ya, Ki Gede,” sahut pemimpin pengawal yang berdiri di sebelahnya, “Panembahan Cahya Warastra benar-benar telah berhasil mengumpulkan perguruan-perguruan yang ada di tanah ini untuk bersama-sama melawan Mataram. Benar-benar suatu kekuatan yang besar dan berbahaya bagi tegaknya pemerintahan Mataram.”
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengamat-amati pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya dia bergumam perlahan, seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Seandainya kekuatan sebesar itu digunakan untuk kebaikan dan kepentingan kawula alit, tentu hasilnya akan luar biasa. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Justru ketamakan dan keserakahan akan kekuasaan dan kamukten yang mereka kejar, tanpa mempedulikan nasib para kawula alit.”
Pemimpin pengawal yang berdiri di sebelah Ki Gede untuk sejenak termangu-mangu. Ketika pandangan matanya dilemparkan jauh ke depan ke medan pertempuran, tanpa terasa pemimpin pengawal itu bergidik. Pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya, bahkan terkesan kasar dan sedikit liar. Memang perguruan-perguruan yang dihimpun dalam pasukan Panembahan Cahya Warastra itu mempunyai landasan dan keyakinan yang berbeda-beda, sehingga ketika mereka bergabung dalam sebuah pasukan yang besar, mereka tidak dapat menghilangkan corak dan warna masing-masing perguruan.
Suara denting senjata beradu disertai dengan sumpah serapah, cacian dan makian bercampur aduk dengan jerit kesakitan dan teriakan meregang nyawa. Sementara bau amis darah bercampur dengan debu yang berhamburan telah memenuhi udara dan menyesakkan setiap dada.
Ketika Ki Gede Menoreh kemudian mencoba mengedarkan pandangan matanya ke sebelah kiri regol, alangkah terkejutnya pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu. Jauh di ujung sebelah kiri dinding padukuhan induk di dekat sebuah pategalan yang luas, pandangan matanya yang masih tajam itu telah menangkap sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan jantung, sebuah perang tanding yang dahsyat sedang berlangsung.
“Ki Rangga Agung Sedayu..?” desis Ki Gede Menoreh ragu-ragu dengan jantung yang berdebaran.
Pemimpin pengawal yang telah berdiri di samping Ki Gede Menoreh terkejut mendengar desis Ki Gede. Ketika pemimpin pengawal itu kemudian mengikuti arah pandangan Ki Gede, sejenak keningnya menjadi berkerut-kerut.
“Ki Rangga Agung Sedayu? Benarkah yang sedang bertempur itu Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu ingin meyakinkan penglihatannya yang tidak begitu jelas karena jarak yang cukup jauh.
“Ya,” jawab ki Gede, “Aku yakin yang sedang bertempur itu Ki Rangga Agung Sedayu,” Ki Gede Menoreh berhenti sejenak, lalu lanjutnya, “Namun aku tidak yakin dengan siapa Ki Rangga bertempur, karena semenjak tadi lawannya itu selalu membelakangi kita.”
Pemimpin pengawal itu kembali mengerutkan keningnya, namun dia tidak memberikan tanggapan apapun karena memang kemampuan pandangannya sangat terbatas sesuai dengan kemampuan ilmu olah kanuragannya yang belum begitu tinggi.
Ketika pada suatu kesempatan lawan Ki Rangga telah bergeser kearah yang lain, Ki Gede Menoreh yang sedang mengawasi jalannya perang tanding dari atas panggungan itu menjadi semakin berdebar-debar ketika sekilas Ki Gede mampu mengenali lawan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Kecruk Putih? Benarkah itu Kecruk Putih?” gumam Ki Gede hampir tak terdengar.
“Siapakah Kecruk Putih itu Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal di sebelahnya begitu mendengar gumam Ki Gede.
Untuk beberapa saat Ki Gede terdiam. Dia belum yakin benar dengan penglihatannya karena jarak itu memang cukup jauh. Namun ketika sekali lagi lawan Ki Rangga itu bergerak menghadap tepat kearah dimana Ki Gede Menoreh berdiri, pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu jantungnya tiba-tiba saja bagaikan terlepas dari tangkainya.
“Ya, itu memang Kecruk Putih, maksudku Panembahan Cahaya Warastra,” berkata Ki Gede Menoreh dengan suara bergetar menahan gejolak dadanya yang tiba-tiba saja terasa pepat.
“He!” pemimpin pengawal yang berdiri di sebelahnya ikut terkejut bukan buatan, “Jadi benar berita yang mengatakan bahwa Panembahan itu bangkit lagi dari kematiannya.”
Ki Gede Menoreh menghela nafas panjang untuk meredakan getar di dalam dadanya. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu. Namun menurut pengamatanku dari jarak yang cukup jauh ini, wajah lawan Ki Rangga itu memang mirip dengan Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya, namun dalam hatinya ada juga sedikit keraguan tentang cerita Panembahan Cahya Warastra itu.
Sebenarnyalah perang tanding yang sedang terjadi di ujung sebelah kiri dinding padukuhan induk itu adalah perang tanding yang sangat dahsyat dan belum pernah terjadi sebelumnya di tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Perang tanding antara agul-agulnya Mataram Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.
Ki Rangga yang belum mampu memecahkan rahasia ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Cahaya Warastra hanya dapat menghindar sambil bergeser mundur dan terus mundur. Benar-benar tidak ada kesempatan bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk membalas serangan lawannya. Setiap kali serangan lawannya meluncur ke arahnya, Ki Rangga selalu terjebak dengan perhitungannya sendiri bahwa tangan lawannya tidak akan mampu menggapai tubuhnya ketika Ki Rangga sudah meloncat mundur mengambil jarak. Namun pada kenyataannya tangan lawannya itu mampu menjulur melebihi ukuran bentuk wadagnya, bahkan sampai dua atau tiga kali lipat. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi Ki Rangga selain harus membenturkan kekuatan ilmu kebalnya dengan kekuatan ilmu lawannya. Lambat laun namun pasti, Ki Rangga merasakan bahwa ilmu kebalnya pada suatu saat nanti akan dapat tertembus oleh ilmu lawannya.
Demikianlah, perang tanding itu telah berlangsung dengan sangat dahsyatnya. Ki Rangga Agung Sedayu telah mencoba untuk mengetrapkan ilmu meringankan tubuh yang dipelajari dari isi kitab Ki Waskita. Tubuhnya memang mampu bergerak sangat cepat seolah-olah tanpa bobot. Namun ternyata lawannya mampu mengimbangi kecepatan gerak Ki Rangga Agung Sedayu. Walaupun Ki Rangga setiap mendapat serangan mampu menghindarinya, namun tangan itu seolah-olah bergerak terus mengikuti kemanapun Ki Rangga bergerak sehingga untuk kesekian kalinya Ki Rangga harus membenturkan ilmu kebalnya dengan serangan lawannya.
“Gila,” desis Ki Rangga dalam hati sambil melompat ke samping menghindari sebuah pukulan yang mengarah ke keningnya. Namun ketika serangan lawannya itu mengenai tempat kosong karena Ki Rangga telah bergeser ke samping, tiba-tiba saja tangan yang sudah terjulur lurus itu bisa membelok dan mengejar kemana Ki Rangga bergerak.
“Tidak ada kesempatan sama sekali bagiku untuk balas menyerang,” berpikir Ki Rangga dalam hati, “Aku harus bisa menciptakan peluang untuk balas menyerang, dengan demikian setidaknya akan dapat mengurangi tekanan.”
Berpikir sampai di situ Ki Rangga segera mengambil sikap. Ketika serangan lawannya kembali datang membadai, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya Ki Rangga melompat ke samping kiri. Sesuai dengan perhitungannya, tangan lawannya itu akan memanjang untuk mengikuti gerakan tubuh Ki Rangga. Pada saat itulah tiba-tiba saja terdengar ledakan cambuk yang tidak terlalu keras akan tetapi getarannya mampu merontokkan isi dada. Ternyata Ki Rangga sambil meloncat ke samping kiri tadi telah mengurai cambuknya dan berusaha untuk membalas serangan lawannya.
Terdengar sebuah umpatan pendek dari mulut Panembahan Cahya Warastra begitu ujung cambuk yang menggelepar itu ternyata telah berhasil menyentuh pundak kanannya.
“Curang!” geram Panembahan Cahya Warastra sambil berusaha memperbaiki kedudukannya yang terdorong surut karena pengaruh hentakan ujung cambuk Ki Rangga Agung Sedayu, “Mengapa Kau menggunakan senjata? Bukankah aku masih belum mempergunakan senjata?”
“Ma’afkan aku Panembahan,” jawab Ki Rangga tenang sambil berdiri diatas kedua kakinya yang renggang. Tangan kanannya menggenggam erat-erat pangkal cambuknya, sedangkan juntai cambuknya berada di genggaman tangan kirinya, “Aku merasa tidak berbuat curang. Aku hanya mengimbangi ilmu Panembahan yang tiada duanya. Ilmu yang mampu memperpanjang bentuk wadag kedua tangan Panembahan, walaupun aku masih belum yakin dengan pengamatanku atas semua kejadian ini. Namun aku telah memutuskan menggunakan cambukku untuk mengimbangi ilmu Panembahan.”
“Itu namanya curang,” kembali Panembahan Cahya Warastra menggeram, “Aku hanya mengandalkan kedua tanganku sedangkan Kau telah menggunakan senjatamu.”
“Tidak ada bedanya,” sahut Ki Rangga cepat, “Kedua tangan Panembahan dapat memanjang bahkan sampai berlipat dari bentuk wadag sesungguhnya, sedangkan aku tidak. Dengan mempergunakan cambukku ini aku akan dapat memperpanjang jangkauan seranganku sehingga sekarang kita masing-masing dapat menyerang dari jarak yang kita kehendaki.”
“Persetan!” kali ini Panembahan Cahya Warastra telah berteriak, “Cambukmu itu tidak lebih dari cambuk para gembala di padang-padang perdu. Jangan harap dengan cambukmu itu Kau akan mampu mengimbangi ilmuku.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Dipusatkan segala nalar dan budinya untuk menghadapi serangan Panembahan Cahya Warastra selanjutnya.
Demikianlah pertempuran hidup mati antara kedua orang yang sudah putus segala ilmu agal maupun alus itu telah berkobar kembali. Keduanya berusaha memanfaatkan keunggulan ilmu masing-masing. Panembahan Cahya Warastra dengan ilmunya yang mampu melipat-gandakan ujud kewadagan kedua belah tangannya, sedangkan Ki Rangga Agung Sedayu dengan ilmu cambuknya mampu menjangkau bagian-bagian tak terduga dari tubuh lawannya.
Sesekali Ki Rangga memang masih dibingungkan dengan ilmu lawannya sehingga masih ada saja serangan lawan yang mengenai tubuhnya. Namun demikian juga sebaliknya, dengan kecepatan dan gerak meringankan tubuh Ki Rangga yang melampaui kemampuan orang kebanyakan serta didukung dengan senjatanya yang lentur dan panjang, telah membuat lawannya mengumpat tak habis-habisnya karena ujung cambuk Ki Rangga semakin sering menyentuh tubuhnya.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan pemimpin pengawal yang mengamati perang tanding dari atas panggungan menjadi semakin berdebar-debar begitu mendengar suara ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak begitu keras namun getarannya mampu mengguncang dada dan terasa sampai di tempat mereka berdua berdiri.
“Luar biasa,” berkata Ki Gede Menoreh dalam hati, “Semenjak tadi aku melihat Ki Rangga sepertinya selalu terdesak mundur menghadapi lawannya yang bersenjatakan sesuatu yang aneh. Tetapi agaknya Ki Rangga telah memutuskan untuk mempergunakan cambuknya.”
Memang dari jarak Ki Gede Menoreh berdiri, ilmu Panembahan Cahya Warastra yang ngedab-edabi itu tidak begitu jelas terlihat. Ki Gede hanya menduga kalau lawan Ki Rangga itu mempergunakan sejenis senjata yang aneh.
“Agaknya Ki Rangga telah berhasil mengimbangi ilmu lawannya yang aneh dan ngedab-edabi,” berkata Ki Gede Menoreh kepada pemimpin pengawal yang berdiri di sebelahnya sambil tetap mengawasi jalannya perang tanding.
Pemimpin pengawal yang berdiri di sampingnya tidak menjawab hanya diam termangu-mangu. Dia tidak begitu mengerti jalannya pertempuran antara kedua orang linuwih tersebut. Selain pandangan matanya yang tidak mampu menjangkau jarak yang cukup jauh, juga pengetahuan ilmu kanuragannya yang masih terbatas sehingga tidak dapat mengikuti jalannya pertempuran orang-orang yang berilmu tinggi.
“Apakah kita akan mendekati perang tanding itu, Ki Gede?” tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Sejenak Ki Gede merenung. Dilemparkan pandangan matanya jauh ke depan, ke arah pertempuran pasukan Mataram melawan para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Ki Gede sedang diliputi oleh keragu-raguan. Dia tidak yakin manakah yang terbaik untuk dilakukan? Mendekat ke tempat perang tanding Ki Rangga Agung sedayu ataukah membantu pasukan Mataram.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Ki Gede Menoreh memutuskan. Katanya kemudian kepada pemimpin pengawal itu, ”Turunlah dari panggungan. Ambil panah sendaren, kita akan memberikan isyarat kepada senapati yang memimpin pasukan Mataram.”
Perintah itu tidak usah diulangi untuk kedua kalinya. Dengan tergesa gesa pemimpin pengawal itu pun kemudian segera turun dari panggungan dan berlari ke arah para pengawal Menoreh yang sedang menunggu.
Sejenak kemudian pemimpin pengawal itu telah kembali ke atas panggungan dengan menjinjing busur dan beberapa anak panah.
“Lontarkan anak panah sendaren dua kali berturut-turut,” perintah Ki Gede Menoreh kepada pemimpin pengawal itu, “Kemudian yang terakhir satu anak panah saja.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk. Beberapa saat kemudian udara di atas medan pertempuran itu telah dipenuhi oleh raungan suara panah sendaren dua kali berturut-turut dan yang terakhir kali hanya satu panah sendaren.
Dalam pada itu, perang tanding antara ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua-duanya telah merambah dari satu tataran ilmu ke tataran ilmu yang lebih tinggi. Ketika Panembahan Cahya Warastra merasa bahwa ilmunya yang berlandaskan pada kemampuan untuk memperpanjang bentuk wadag kedua tangannya tidak banyak berpengaruh terhadap lawannya, Panembahan yang ternyata adalah saudara kembar Kecruk Putih itu mulai memutuskan untuk meningkatkan ilmunya.
Demikianlah, pada suatu kesempatan, Panembahan Cahya Warastra telah meloncat mundur mengambil jarak.
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari lawannya akan mempersiapkan ilmunya yang lebih tinggi segera mempersiapkan diri. Ki Rangga belum dapat menduga jenis ilmu apalagi yang akan dilontarkan oleh orang yang mengaku bernama Panembahan Cahya Warastra yang ternyata adalah saudara kembar Kecruk Putih yang telah terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka beberapa waktu yang lalu.
“Nah, Ki Sanak,” berkata Panembahan Cahya Warastra kemudian, “Aku tahu Ki Patih Mandaraka telah menyebut namamu sebagai Ki Rangga Agung Sedayu, salah satu dari beberapa nama yang diberitahukan kepadaku oleh Ki Bango Lamatan bahwa Ki Sanak termasuk deretan nama orang-orang yang berilmu tinggi. Pada awalnya memang aku tidak menaruh perhatian sama sekali. Perhatianku hanya tertuju pada satu nama, Ki Patih Mandaraka,” Panembahan itu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Namun sekarang aku percaya terhadap laporan Ki Bango Lamatan itu walaupun bagiku ilmu Ki Sanak masih belum menggetarkan dadaku. Kalau Ki Sanak dapat mengatasi ilmuku yang satu ini, dengan tulus aku akan mengakui ketinggian ilmu ki Sanak walaupun ilmu yang akan aku trapkan ini belum puncak dari ilmuku. Kalau aku sudah sampai pada puncak ilmuku, aku yakin di seluruh tlatah Mataram ini bahkan di seluruh tanah Jawa ini tidak ada seorang pun yang akan mampu mengatasinya.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang ada sedikit getaran yang menyentuh dadanya mendengar kata-kata Panembahan Cahya Warastra. Namun pengalamannya beberapa kali menghadapi orang-orang berilmu tinggi telah menempanya menjadi seorang prajurit yang pilih tanding.
“Terima kasih atas pujian Panembahan,” jawab Ki Rangga kemudian dengan suara rendah, “Bagi seorang prajurit, bertempur di medan perang adalah sebuah kehormatan untuk menunaikan tugas bela negara. Di dalam pertempuran, aku tidak pernah memilih lawan. Namun jika seorang lawan sudah berada di hadapanku, apapun yang terjadi aku tidak akan pernah surut selangkah pun.”
“Luar biasa,” desis Panembahan Cahya Warastra sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Benar-benar seorang prajurit yang berjiwa ksatria. Namun semua itu masih harus dibuktikan, karena kali ini Kau berhadapan dengan Panembahan Cahya Warastra. Aku yakin, kalau Kau masih sempat melihat puncak ilmuku, Kau akan menjadi pingsan atau bahkan lari terbirit-birit mencari tempat berlindung di balik pinjung biyungmu.”
“Ah,” Ki Rangga tertawa pendek, “Jadi kapan Panembahan akan melepaskan puncak ilmu yang nggegirisi itu? Sedari tadi aku sudah lelah menunggu.”
“Setan kau,” geram Panembahan dengan wajah memerah, “Kau sangka aku hanya pandai membual, he? Aku tidak perlu bersusah payah melepaskan puncak ilmuku selama masih ada ilmu yang lain yang aku rasa sudah cukup untuk membunuhmu.”
“Silahkan Panembahan,” jawab Ki Rangga tenang sambil menggeser kedudukannya selangkah ke samping kiri, “Aku sudah tidak sabar lagi untuk membenturkan ilmuku dengan ilmu Panembahan yang manapun juga.”
“Tutup mulut sombongmu itu,” teriak Panembahan Cahya Warastra menggelegar sehingga beberapa orang yang sedang bertempur di tanah pesawahan yang kering itu telah berpaling sekilas.
Selesai berkata demikian, Panembahan Cahya Warastra segera mengambil sikap berdiri tegak dengan kedua kaki yang renggang. Kedua tangannya teracu kedepan dengan telapak tangan terbuka dan saling merapat. Sejenak kemudian, dari sela-sela telapak tangan yang merapat itu keluar asap bergulung-gulung yang semakin lama menjadi semakin tebal.
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut. Dia pernah melihat ilmu itu ketika Panembahan Cahya Warastra yang terdahulu bertempur dengan Ki Patih Mandaraka.
Agaknya Panembahan Cahya Warastra dapat membaca pikiran Ki Rangga Agung Sedayu, maka katanya kemudian sambil tertawa berkepanjangan, “Nah, Ki Rangga Agung Sedayu. Kau tentu sudah pernah melihat ilmu sejenis ini, ilmu saudara kembarku. Kami memang berguru pada sumber yang sama, namun pada perkembangannya, aku telah menyempurnakannya sejalan dengan perantauanku ke negeri seberang.”
Jantung Ki Rangga rasa-rasanya berdegup semakin kencang. Jika benar pengakuan saudara kembar Kecruk Putih ini, alangkah dahsyatnya ilmu prahara yang akan dilepaskan oleh Panembahan Cahya Warastra ini? Menyadari kemungkinan itu, Ki Rangga telah semakin erat menggenggam tangkai cambuknya.
Sejenak kemudian, asap putih itu telah berhimpun membentuk pusaran angin yang dahsyat. Berbeda dengan saudara kembarnya yang telah tewas di tangan Ki Patih Mandaraka, orang yang juga bergelar panembahan Cahya Warastra ini telah menyempurnakan ilmu praharanya. Angin yang berputar dengan dahsyat itu ternyata telah melingkari sumbernya, sehingga seakan-akan Panembahan Cahya Warastra telah menjadi pusat dari pusaran angin prahara itu yang bergerak dengan dahsyat siap menerjang lawannya.
Sekali ini Ki Rangga benar-benar terkejut bukan buatan. Seingatnya dulu Ki Patih menghancurkan ilmu prahara ini dengan menyerang langsung kepada sumbernya. Namun yang dihadapinya kali ini sangat berbeda, sumber itu tepat berada di tengah-tengah angin prahara yang berputar dahsyat, sehingga Ki Rangga harus memecahkan pusaran prahara itu terlebih dahulu sebelum dapat mencapai sumbernya.
“Luar biasa,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Ilmu prahara yang sudah sempurna. Namun aku yakin sebagaimana nasehat guru, tidak ada ilmu yang sempurna di muka bumi ini selain ilmu Yang Maha Agung.”
Berbekal keyakinan itulah, Ki Rangga telah memohon dengan sepenuh hati kepada Sumber Hidupnya untuk dapat mengatasi segala bentuk pengingkaran terhadap paugeran-paugeran yang telah digariskan olehNya.
Ketika Panembahan Cahya Warastra meloncat disertai dengan angin prahara yang berputar dahsyat menerjang lawannya, Ki Rangga pun telah siap dengan ilmu yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya. Kemanapun angin prahara itu mengejar, Ki Rangga selalu berhasil menghindarinya.
Panembahan Cahya Warastra yang berada di pusat angin prahara itu tertawa berkepanjangan, “Nah, apa kataku. Ki Rangga hanya mampu berloncatan seperti seekor tupai di atas pohon kelapa. Aku yakin, sehebat apapun daya tahan tubuh Ki Rangga, suatu saat pasti akan mengalami kelelahan, dan pada saat itulah angin praharaku akan menyergap Ki Rangga, memutarnya keatas secepat putaran angin puting beliung, sebelum kemudian membanting tubuh Ki Rangga ke atas tanah menjadi serpihan daging dan pecahan tulang.”
Diam-diam Ki Rangga membenarkan kata-kata lawannya. Ketahanan tubuh seseorang itu pasti ada batasnya, dan Ki Rangga menyadari sepenuhnya bahwa lambat laun dia pasti akan mengalami kelelahan itu.
Demikianlah perang tanding itu telah meningkat menjadi semakin dahsyat. Angin prahara yang berputar di sekeliling Panembahan Cahya Warastra itu telah menjadikan medan perang tanding gelap karena tertutup oleh debu yang berhamburan dan daun-daun kering serta ranting-ranting pepohonan yang berpatahan. Ketika suatu saat angin prahara itu menerjang Ki rangga yang telah melenting berpindah tempat terlebih dahulu, sebuah pohon sebesar pelukan orang dewasa telah berderak-derak patah terkena sambaran ilmu Panembahan Cahya Warastra. Pohon yang telah terpeluntir hancur itu pun kemudian hanyut terseret pusaran angin prahara yang mengangkatnya keatas kemudian dengan suara bergemuruh, pohon sebesar pelukan orang dewasa yang telah berubah menjadi serpihan kayu dan patahan ranting serta dedaunan yang berhamburan itu pun terhempas ke tanah.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Singayudha dan Ki Tumenggung Surayudha yang berada di kepala gelar dan belum terlibat dalam sebuah pertempuran yang sesungguhnya telah mendengar isyarat panah sendaren dari Ki Gede Menoreh. Sejenak keduanya masih menimbang untung ruginya melibatkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk ikut terjun langsung dalam pertempuran melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Namun ketika seorang penghubung dari sayap kanan telah menghadap untuk melaporkan keadaan medan di sayap kanan gelar, kedua Tumenggung itu pun segera memutuskan untuk melibatkan pengawal Menoreh dalam pertempuran yang semakin kisruh itu.
“Apakah keadaan sayap kanan sedemikian parahnya sehingga memerlukan bantuan?” bertanya Ki Tumenggung Surayudha kepada prajurit penghubung itu.
“Demikianlah Ki Tumenggung,” jawab prajurit penghubung itu, “Sebenarnya pada awal benturan, pasukan yang ada di sayap kanan masih dapat mengimbangi pasukan lawan. Namun beberapa saat kemudian kami dikejutkan oleh kehadiran sekelompok orang yang mempunyai kemampuan di atas prajurit kebanyakan dan kehadiran mereka telah menggoncangkan keseimbangan medan.”
Ki Tumenggung Surayudha menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada seorang prajurit di belakangnya yang membawa busur dan anak panah, “Berilah isyarat kepada pasukan Menoreh agar mereka mengambil jalan melambung dan menyerang ke arah pasukan musuh yang berada di sebelah kiri, untuk membantu pasukan di sayap kanan yang sedang mengalami tekanan.”
Prajurit yang membawa busur dan anak panah itu hanya menganggukkan kepalanya. Sejenak kemudian terdengar raungan panah sendaren tiga kali berturut turut memenuhi udara padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Argapati yang masih berdiri di atas panggungan segera tanggap dengan isyarat yang dilontarkan melalui panah sendaren itu.
“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian kepada pemimpin pengawal itu, “Kita akan bergerak agak melambung ke kiri untuk mencapai sayap gelar. Namun usahakan jangan terlalu dekat dengan arena perang tanding ki Rangga.
Pemimpin pengawal itu mengangguk. Sekilas dilemparkan pandangan matanya ke arah medan perang tanding di ujung padukuhan induk sebelah utara. Sebuah pertempuran yang tidak begitu dimengertinya. Yang tampak dalam pandangan matanya hanyalah bayangan-bayangan kabur di antara debu yang berhamburan dan pusaran prahara yang dahsyat.
“Sebuah pertempuran yang sangat dahsyat,” gumam pemimpin pengawal itu tanpa disadarinya.
Ki Gede Menoreh yang sudah bersiap untuk turun dari panggungan sejenak menoleh ke arah pemimpin pengawal itu. Ketika Ki Gede Menoreh kemudian mengikuti pandangan mata pemimpin pengawal ke arah utara, jantung pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu terkesiap. Agaknya perang tanding itu telah meningkat semakin dahsyat.
Sebenarnyalah Ki Rangga merasa takjub melihat kedahsyatan ilmu lawannya. Sepanjang hidupnya, belum pernah Ki Rangga menghadapi lawan dengan kedahsyatan ilmu yang tiada taranya. Namun dengan tetap memohon perlindungan dan pertolonganNya, Ki Rangga telah memantapkan hatinya untuk mencoba membenturkan kekuatan ilmu cambuknya dengan pusaran angin prahara lawannya.
Untuk sejenak Ki Rangga masih menunggu datangnya prahara itu sambil mengetrapkan ilmu cambuknya walaupun belum merambah sampai puncak. Apa yang akan dilakukan Ki Rangga adalah suatu penjajagan sampai dimana kekuatan pusaran angin prahara itu.
Ketika pusaran prahara itu kemudian menerjang Ki Rangga kembali dengan suara yang bergemuruh, Ki Rangga telah siap. Sejenak kemudian sebuah benturan yang sangat dahsyat telah terjadi. Ujung cambuk Ki Rangga meluncur dan meledak menghantam pusaran prahara yang menerjangnya.
Ki Gede Menoreh yang masih sempat melihat Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat cambuknya telah menahan nafasnya sejenak. Ketika ujung cambuk itu kemudian meledak tanpa memperdengarkan suaranya yang memekakkan telinga namun justru getarannya mampu merontokkan isi dada, rasa-rasanya dada Ki Gede Menoreh pun ikut terguncang.
Akibat benturan kedua ilmu itu ternyata sangat dahsyat. Kekuatan yang tersalur pada ujung cambuk Ki Rangga telah membentur ilmu Panembahan Cahya Warastra dan menimbulkan suara ledakan yang bergemuruh. Akibat dari hentakan ilmu cambuk Ki Rangga itu ternyata telah mampu membuat pusaran angin prahara lawannya pecah berhamburan dan menebar ke sekeliling medan. Namun hal itu hanya berlangsung sekejap. Hanya dalam hitungan kejapan mata, angin prahara itu telah berhimpun kembali melingkari Panembahan Cahya Warastra.
“Luar biasa,” desis Ki Gede Menoreh yang menyaksikan jalannya perang tanding dari atas panggungan, “Kali ini Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar sedang menghadapi lawan yang sangat tangguh. Semoga Yang Maha Agung selalu memberikan bimbingan dan pertolonganNya.”
“Ya, Ki Gede,” pemimpin pengawal itu menyahut. Kemudian katanya, “Bagaimana dengan rencana kita selanjutnya?”
Ki Gede Menoreh tersenyum sekilas. Agaknya pertempuran yang dahsyat di ujung dinding padukuhan sebelah utara itu telah melupakan akan tugas yang sedang menunggu. Maka jawabnya kemudian, “Marilah kita segera menyusun pasukan pengawal Menoreh untuk segera ikut turun ke medan pertempuran.”
Selesai berkata demikian, dengan tergesa-gesa Ki Gede Menoreh dan pemimpin pengawal itu segera meluncur turun dari panggungan untuk kemudian berlari-lari menuju ke tempat pasukan pengawal Menoreh yang sedang menunggu.
Dalam pada itu, pasukan Mataram yang berada di sayap kanan telah mengalami kegoncangan ketika sekelompok orang yang mempunyai kemampuan melebihi prajurit kebanyakan telah hadir di medan. Tandang mereka benar-benar ngedab-edabi. Sebentar saja pasukan yang berada di sayap kanan itu telah mengalami tekanan yang sangat berat.
Pandan Wangi yang sedang berjalan mendekati seorang perempuan paro baya tapi masih terlihat sangat cantik itu telah menahan langkahnya. Ada sedikit keraguan di hati putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu. Perempuan paro baya itu memang sangat menarik hatinya. Gerakannya lemah gemulai bagaikan orang sedang menari, namun setiap hentakan pedang tipisnya yang ujungnya selalu bergetar itu sangat berbahaya dan berkali-kali hampir memakan korban. Delapan prajurit yang berusaha menahannya ternyata sudah mulai terdesak dan hanya bertahan agar tidak menjadi korban sambaran pedang tipis lawannya.
Namun di lain pihak, sekelompok orang yang datang kemudian itu juga menuntut perhatian. Para prajurit yang berusaha menahan mereka ternyata telah kewalahan dan harus bertempur dalam kelompok sehingga tekanan yang dialami pasukan Mataram di bagian sayap itu semakin berat.
Ketika Pandan Wangi masih dihinggapi keragu-raguan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara perlahan, “Silahkan Nyi Pandan Wangi, biarlah sekelompok orang yang baru datang di medan pertempuran itu kami yang mengatasinya.”
Dengan sigap Pandan Wangi pun berpaling ke belakang. Tampak Ki Citra jati dan Nyi Citra Jati sedang berdiri beberapa langkah di belakangnya sambil tersenyum.
“Terima kasih,” jawab Pandan wangi sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian dengan langkah mantap diayunkan kakinya menuju ke lingkaran pertempuran yang sangat menarik hatinya.
Kedatangan Pandan Wangi di lingkaran pertempuran itu ternyata telah menarik perhatian perempuan paro baya itu. Dengan cepat dia meloncat mundur mengambil jarak. Sementara para prajurit yang mengepungnya segera berpencar membantu kawan-kawannya yang lain.
“O..,” seru perempuan paro baya itu sambil tersenyum, “Suatu kehormatan bagiku dapat bertemu dengan putri Tanah Perdikan Menoreh yang terkenal dengan sepasang pedang di lambungnya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Agaknya perempuan paro baya ini sudah mengenalnya, atau setidaknya mengenal namanya dan ciri-ciri yang melekat padanya.
Dengan tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan, pandan wangi pun menjawab, “Terima kasih atas sambutan yang luar biasa. Mohon dimaafkan jika aku kurang mengenal trapsila dan tata krama sehingga belum mengenal nama maupun gelar dari Nyi sanak.”
Perempuan paro baya itu sejenak termangu-mangu. Ada sedikit perasaan kecewa bahwa ternyata keberadaannya kurang dikenal. Namun dengan cepat kesan itu terhapus dari wajahnya. Katanya kemudian, “Ah, tidak mengapa. Aku memang bukan orang yang terkenal seperti putri tanah Perdikan Menoreh ini. Aku hanyalah seorang pemimpin perguruan yang tidak terkenal. Perguruan Pamulatsih, perguruan yang hanya menerima murid perempuan.”
Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Di manakah letak Perguruan Pamulatsih itu?”
Perempuan paro baya itu tersenyum maklum. Jawabnya kemudian, “Perguruan Pamulatsih sangat jauh dari sini. Terletak di sebuah pulau kecil di ujung timur Pulau Jawa.”
Kali ini Pandan wangi mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun dia belum tahu secara pasti letak pulau itu. Namun setidaknya dia telah mengetahui ancar-ancar letak perguruan Pamulatsih.
“Dan jika tidak berkeberatan, bolehkah aku mengetahui nama atau gelar Nyi Sanak?” kembali Pandan Wangi bertanya.
“Orang memanggilku Nyi Rahutri, lengkapnya Nyi Ayu Rahutri.”
Panda wangi mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berusaha mencuri pandang kearah wajah orang yang berdiri di depannya, seorang perempuan paro baya tapi masih terlihat cantik dan ayu.
“Nah, Pandan Wangi,” berkata Nyi Rahutri kemudian, “Apakah kita segera dapat memulai sebuah pertempuran ataukah Kau lebih senang duduk-duduk di bawah pohon sawo kecik di sebelah tanggul itu sambil berbincang mengenai dunia kita, dunia perempuan?”
Selesai berkata demikian Nyi Rahutri menunjuk ke arah tanggul sebelah kanan jalan yang ditumbuhi beberapa pohon sawo kecik yang berdaun rindang.
Pandan Wangi tersenyum kecil, jawabnya kemudian, “Sebenarnyalah aku lebih senang duduk berbincang dari pada menggenggam sepasang pedang. Namun sebelum kita memutuskan untuk itu, aku ingin mengetahui maksud dan tujuan Nyi Ayu Rahutri bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra ini.”
Nyi Rahutri tertawa kecil mendengar pertanyaan pandan wangi. Sambil menahan tawanya dia menjawab, “Pertanyaanmu terlalu besar Pandan Wangi dan memerlukan jawaban yang besar pula. Sebuah perjuangan kadang sulit untuk dimengerti oleh sebagian orang. Namun cita-cita itu adalah hak setiap orang walaupun orang lain berpendapat bahwa cita-cita itu terlalu ngaya wara dan tidak masuk akal. Namun bagiku, memperjuangkan sebuah cita-cita yang telah aku yakini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, karena dengan demikian aku merasa pernah meletakkan sebuah harapan bagi masa depanku walaupun hasilnya belum pasti. Namun setidaknya dalam hidupku yang singkat ini, aku pernah mempunyai sebuah harapan.”
Pandan wangi termenung sejenak mendengar jawaban Nyi Rahutri. Berbagai perasaan bergejolak dalam dadanya. Bukankah dia pernah mempunyai sebuah cita-cita dan harapan akan masa depannya? Dan sudahkah dia berusaha memperjuangkan cita-cita dan harapannya itu dengan sepenuh hati?
“Apakah Nyi Pandan Wangi juga mempunyai sebuah cita-cita dan harapan?” dengan suara yang lembut Nyi Rahutri tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan.
“Ya..ya, Nyi,” jawab Pandan wangi tergagap, “Tentu saja aku juga mempunyai sebuah cita-cita dan harapan.”
“Sejak kapankah itu?” kembali terdengar suara lembut Nyi Rahutri, “Apakah cita-cita dan harapan Nyi Pandan Wangi sudah terwujud? Atau justru sebaliknya, sampai sekarang Nyi Pandan Wangi masih berharap dan hanya bisa berharap?”
Bergetar dada Pandan Wangi mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari pemimpin Perguruan Pamulatsih itu. Rongga dadanya terasa pepat dan nafasnya sedikit memburu ketika perlahan tapi pasti pandan Wangi terseret dalam arus kenangan masa lalunya.
“Adakah seseorang telah menyakiti hatimu, Nyi Pandan Wangi?” sebuah pertanyaan yang tak terduga telah menghentak dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu.
Tiba-tiba seraut wajah muncul sekilas dalam benaknya, wajah yang selalu menghantui hari-harinya yang kelabu, wajah yang dikenalnya pada masa remajanya dahulu dan tetap dikenangnya sampai kini, wajah seorang yang luruh dan rendah hati, wajah Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ah,” Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha untuk mengusir bayangan wajah itu dari benaknya. Namun wajah itu justru tersenyum sareh ke arahnya sambil berbisik, “Kau belum pernah memperjuangkan cita-cita dan harapanmu itu dengan sepenuh hati, Wangi? Apakah Kau akan tetap menjadi pengkhianat bagi hati nuranimu? Berjuanglah wangi, berjuanglah. Rebut masa depanmu selagi masih ada waktu.”
“Tidak..tidak!” tiba-tiba Pandan Wangi terpekik kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Aku mengerti, Nyi..” sebuah bisik lembut dari Nyi Rahutri kembali menguasai alam bawah sadarnya, “Tenangkanlah hatimu, aku akan membantumu untuk meraih cita-cita dan harapanmu itu. Percayalah, aku akan selalu berada di sampingmu.”
Pandan Wangi benar-benar telah terhanyut dan kehilangan kendali. Pandang matanya yang kosong menatap jauh ke depan ke titik-titik bayangan dan kenangan masa lalunya yang suram. Sementara air matanya setitik demi setitik telah menetes turun dari sudut matanya. Demikianlah tanpa disadarinya, Pandan Wangi telah terpengaruh oleh Aji Pamulatsih dari Nyi Rahutri, sebuah aji yang dapat membuat seseorang kehilangan kendali bahkan sampai kehilangan jati diri.
Nyi Rahutri tersenyum, mirip senyuman seekor serigala yang sedang mengintai mangsanya. Pedang di tangan kanannya yang merunduk kini perlahan telah terangkat. Dengan bergeser selangkah demi selangkah, pemimpin Perguruan Pamulatsih itu mendekati mangsanya dan siap untuk menghabisi nyawa lawannya tanpa ampun.
Ketika jarak antara Nyi Rahutri dengan Pandan Wangi tinggal tiga langkah lagi, Nyi Rahutri memutuskan untuk menghabisi lawannya dengan sekali loncat. Sementara Pandan Wangi masih tenggelam dalam mimpi masa lalunya.
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Nyi Rahutri pun kemudian segera meloncat sambil menjulurkan pedang tipisnya ke arah dada sebelah kiri lawannya. Dalam perhitungannya, pedang tipisnya akan menembus jantung Pandan Wangi dengan sekali tusuk dan anak perempuan satu-satunya Ki Argapati itu tidak akan sempat mengelak ataupun menangkis. Tubuhnya akan jatuh terlentang dengan luka yang menganga di bagian dada.
Pada saat yang gawat itulah, tiba-tiba terdengar suara rinding yang ditiup dengan nada melengking tinggi memecah udara di seputar arena pertempuran sehingga telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya.
Pandan Wangi yang sedang terbuai mimpinya bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk tepat pada saat ujung pedang tipis lawannya tinggal sejengkal dari dadanya. Dengan gerak naluriah sebagai orang yang berilmu tinggi, Pandan Wangi segera memiringkan dadanya, namun kecepatan gerak ujung pedang lawannya ternyata masih mampu menggores lengan kirinya.
Darah segera menitik dari luka yang cukup dalam, namun Pandan Wangi tidak segera kehilangan akal. Dengan bertumpu pada kaki kanannya, dia segera melenting ke samping kanan untuk menjauhkan diri dari kemungkinan serangan susulan lawannya.
Nyi Rahutri menggeram marah demi melihat mangsanya terlepas dari jebakannya. Dengan segera diputar pedang tipisnya sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran dia telah siap meloncat mengejar lawannya.
Namun alangkah terkejutnya Nyi Rahutri ketika sedang berputar itu sudut pandangan matanya menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri tegak dengan kaki renggang serta sepasang pedang telah tergenggam di kedua tangannya.
“Licik!” geram Pandan Wangi dengan wajah merah membara, “Jangan harap Kau akan lolos dari tanganku.”
Nyi Rahutri baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab kata-kata lawannya namun kedua ujung senjata lawannya telah meluncur ke arahnya.
Nyi Rahutri tidak menyangka bahwa Pandan Wangi mempunyai ilmu pedang yang nggegirisi. Kedua ujung pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi puluhan dan mengurungnya dari segala penjuru. Dengan sekuat tenaga Nyi Rahutri telah merambah pada tenaga cadangannya untuk mengatasi serangan lawannya yang bagaikan ombak menghantam tebing susul menyusul tak henti-hentinya.
Kelihatannya Pandan wangi sudah sampai pada puncak kemarahannya atas perbuatan licik lawannya. Namun pandan wangi tetap tidak kehilangan nalar. Serangan-serangannya tetap runtut dan berlandaskan ilmu yang sudah matang dan mengendap. Ilmu yang disadap dari ayahnya sendiri dan kemudian dikembangkannya atas tuntunan Kiai Gringsing sewaktu masih hidup, telah menyempurnakan ilmu pedang rangkapnya menjadi sebuah ungkapan ilmu yang nggegirisi.
Nyi Rahutri benar-benar terdesak menghadapi gempuran Pandan Wangi. Tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk balas menyerang. Dengan berloncatan kesana-kemari dia berusaha menghindari kejaran kedua ujung pedang lawannya. Sesekali jika kesempatan menghindar dari serangan lawannya sudah tidak memungkinkan, jalan satu-satunya bagi Nyi Rahutri adalah menangkisnya.
Demikianlah ketika benturan itu terjadi, rasa-rasanya pergelangan Nyi Rahutri bagaikan retak dan hampir saja senjatanya terlepas dari genggaman. Dengan cepat Nyi Rahutri melompat kebelakang untuk memperbaiki kedudukannya namun serangan pandan Wangi telah datang kembali dengan membadai.
Serangan Pandan Wangi yang bertubi-tubi itu akhirnya membuahkan hasil sebuah goresan yang menghiasi lengan Nyi Rahutri. Dengan cepat pemimpin Perguruan Pamulatsih itu melompat mundur untuk mengambil jarak. Ketika pandan wangi mencoba untuk mengejar, ternyata waktu yang sekejap itu telah digunakan Nyi Rahutri untuk mengungkapkan puncak ilmunya.
Pandan Wangi segera menahan langkahnya. Dilihatnya Nyi Rahutri telah menyilangkan pedang tipisnya di depan dada. Matanya yang setengah terpejam itu sedikit tengadah. Sementara ujung pedangnya telah bergetar semakin cepat dan terlihat merah membara.
Tergetar dada Pandan Wangi demi menyadari lawannya telah sampai pada puncak ilmunya. Tanpa membuang waktu lagi, Pandan Wangi segera mengetrapkan puncak ilmu Perguruan Menoreh. Sebuah ilmu yang sangat dahsyat, ilmu yang mampu membuat sentuhan serangannya mendahului bentuk wadagnya.
Demikianlah kedua perempuan yang sudah berumur namun yang sama-sama masih terlihat sangat cantik dan menarik itu telah kembali terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit. Nyi Rahutri setiap ada kesempatan selalu berusaha membenturkan senjatanya dengan sepasang pedang lawannya. Dengan gerakan yang cepat Nyi Rahutri berusaha mengikat Pandan Wangi dalam sebuah pertempuran jarak pendek.
Pada awalnya Pandan wangi belum menyadari rencana lawannya. Namun pada suatu ketika karena tidak mungkin menghindari serangan lawannya, Pandan Wangi telah menangkis senjata lawannya yang menyambar dari sisi kanan menebas leher.
Benturan itu ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi. Ujung pedang Nyi Rahutri yang membara itu ternyata panasnya telah merambat dengan sangat cepat mengalir ke sepanjang bilah pedangnya sampai ke pangkal.
Hampir saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya kalau saja dia tidak menyadari bahaya yang mungkin timbul akibat kelalaiannya itu. Dengan cepat Pandan Wangi mencoba memperbaiki pegangan pada pangkal senjatanya sambil melompat mundur.
Ternyata Nyi Rahutri tidak mengejarnya. Sambil tangan kirinya bertolak pinggang dia tertawa berderai-derai. Katanya kemudian di sela-sela suara tertawanya, “Nah, bagaimana Pandan Wangi. Kau sudah terluka. Semakin lama darah yang menetes dari lukamu akan semakin deras. Sedangkan menghadapi puncak ilmuku ternyata Kau tidak mampu. Menyerahlah, aku tidak akan membuatmu terlalu menderita di saat-saat terakhirmu.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Pandangan matanya nanar mengawasi gerak-gerik lawannya. Ketika tanpa disadarinya dia melihat ke arah lengan kirinya, ternyata lengan bajunya telah basah oleh darah.
“Luka ini akan semakin parah jika aku banyak bergerak,” berkata Pandan Wangi dalam hati, “Aku harus berpacu dengan waktu sebelum darahku habis terperas. Aku harus mampu menundukkan perempuan iblis ini sebelum aku sendiri terkapar kehabisan darah.”
Berpikir sampai di sini, pandan wangi telah memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan.
Sejenak kemudian ketika lawannya telah meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas pinggang, Pandan wangi telah siap. Dengan perhitungan yang mantap Pandan Wangi justru telah membenturkan pedang yang ada di tangan kirinya menangkis ayunan deras serangan Nyi Rahutri.
Nyi Rahutri yang tidak menyadari siasat lawannya justru telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk dibenturkan dengan pedang di tangan kiri Pandan Wangi. Tepat pada saat benturan itu terjadi, panas yang membara di ujung pedang tipis Nyi Rahutri dengan cepat telah merambat sampai ke pangkal pedang di tangan kiri pandan Wangi.
Kali ini Pandan Wangi sudah tidak terkejut lagi. Ketika benturan yang keras terjadi, sesungguhnya kekuatan mereka berimbang, namun panas yang menyengat telapak tangan itu rasa-rasanya hampir tak tertahankan. Untuk itulah sebelum panas yang merambat sampai ke pangkal pedangnya itu melukai telapak tangan kirinya, dengan sengaja dan penuh perhitungan Pandan Wangi justru telah melepaskan pedang di tangan kirinya.
Giliran Nyi Rahutri yang terkejut. Menurut perhitungannya Pandan Wangi akan tetap mempertahankan pedangnya, namun yang terjadi justru sebaliknya, pedang di tangan kiri pandan Wangi telah jatuh dan terlempar ke atas tanah.
Selagi Nyi Rahutri terbuai dengan kemenangan kecilnya dalam menyikapi keadaan lawannya, tiba-tiba saja pedang di tangan kanan Pandan Wangi meluncur deras mematuk dada.
Ni Rahutri tersenyum tipis menghadapi serangan lawannya. Pada perhitungannya, dengan sedikit memiringkan dada, serangan pandan wangi yang masih berjarak satu jengkal dengan dadanya itu pasti akan terlewatkan. Sebagai gantinya, pedang tipis Nyi Rahutri lah yang akan bergerak dengan cepat menusuk menembus jantung.
Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan pemimpin Perguruan Pamulatsih itu. Belum sempat dia memiringkan dadanya, ujung pedang yang masih berjarak sejengkal itu ternyata telah merobek dadanya.
“Anak iblis!” umpat Nyi Rahutri sambil melenting ke samping berusaha menghindari serangan pandan Wangi sejauh-jauhnya.
Luka itu ternyata cukup dalam sehingga darah bagaikan tertumpah dari dada Nyi Rahutri. Ketika dia masih berusaha untuk memperbaiki kedudukannya, Pandan Wangi tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Serangan Pandan Wangi pun dengan deras telah meluncur kembali.
Kali ini Nyi Rahutri berusaha menangkis dengan senjatanya. Namun kekuatan dan pemusatan ilmunya telah menyusut sejalan dengan ketahanan tubuhnya yang semakin menurun sehingga ketika dia berusaha mengungkit pedang lawannya, serangan pedang pandan Wangi hanya berbelok setebal jari dan justru telah beralih sasaran menghunjam ke pangkal lehernya.
Terdengar erangan yang dahsyat dari mulut Nyi Rahutri seiring dengan darah yang muncrat dan membasahi baju atasnya. Sejenak pemimpin padepokan Pamulatsih itu terhuyung-huyung ke arah kanan sebelum akhirnya jatuh terduduk bertumpu pada senjatanya.
“Curang.!” geram Nyi Rahutri dengan suara parau. Darah telah membasahi mulutnya, “Kau tidak memberi kesempatan selagi aku masih dalam kesulitan.”
“Bagaimana dengan lukaku ini?” bertanya Pandan Wangi sambil memperlihatkan luka di lengan kirinya yang semakin deras mengalirkan darah, “Bukankah ini Kau peroleh dengan cara yang lebih curang dan tidak jantan?”
Nyi Rahutri tidak menjawab, hanya matanya yang membara dengan nanar menatap wajah Pandan Wangi. Sejenak kemudian dia masih akan mengucapkan sepatah dua patah kata, namun apa yang disebutnya sudah tidak begitu jelas. Akhirnya dengan perlahan tubuh pemimpin Perguruan Pamulatsih itu pun jatuh terguling dan tidak bergerak lagi.
Dengan langkah perlahan Pandan Wangi mencoba mendekati tubuh lawannya yang sudah terbujur kaku. Namun Pandan Wangi tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Kedua kakinya terasa goyah dan berat untuk melangkah. Sementara kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang.
“Kau terluka ngger..” tiba-tiba terdengar suara sareh dari sebelah kanannya. Ketika Pandan Wangi berpaling, tampak Ki Citra Jati sedang berdiri termangu-mangu sambil menggenggam sebuah rinding.
“Terima kasih atas bantuannya Ki,” berkata Pandan Wangi sambil mencoba tetap berdiri tegak. Namun darah yang terlalu banyak bagaikan terperas dari tubuhnya telah membuat pertahanan tubuhnya melemah.
“Duduklah ngger,” berkata Ki Citra Jati sambil melangkah mendekat, “Aku akan mencoba untuk memampatkan lukamu agar darah tidak mengalir lagi.”
Pandan Wangi menurut. Setelah menyarungkan pedangnya yang tinggal satu, dia segera duduk bersila di atas tanah yang berdebu. Sementara pedang yang satunya dibiarkan saja tergeletak beberapa langkah di samping kirinya.
Ki Citra Jati yang telah berada di samping Pandan Wangi segera memeriksa lukanya. Luka itu memang cukup lebar dan dalam. Darah masih saja mengucur dari luka yang menganga itu.
“Jika terlambat sekejap saja, putri satu-satunya Ki Gede Menoreh ini tentu hanya tinggal namanya saja,” berkata Ki Citra Jati dalam hati sambil mengambil sarang gamet yang dibungkus dengan daun pisang segar dari kantong ikat pinggangnya. Setelah membersihkan luka itu terlebih dahulu dengan secarik kain bersih yang juga diambil dari kantong ikat pinggangnya, sarang gamet itu pun perlahan-lahan direkatkan pada luka itu.
Pandan Wangi tampak menggigit bibirnya ketika Ki Citra jati membersihkan lukanya dengan secarik kain bersih. Ketika sarang gamet itu kemudian sudah menutupi lukanya, rasa-rasanya luka itu menjadi agak dingin dan tidak mengalirkan darah lagi.
“Aku sengaja tidak menaburi luka itu dengan serbuk yang dapat memampatkan aliran darah,” berkata Ki Citra Jati, “Karena lukamu terlalu dalam dan lebar. Aku takut justru serbuk yang halus itu nanti akan terserap oleh aliran darahmu.”
Pandan wangi tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Ketika dia kemudian mencoba untuk berdiri, tiba-tiba pandangan matanya terasa gelap. Dengan terhuyung-huyung dia mencoba berdiri tegak, namun ternyata kedua kakinya sudah tidak mampu lagi untuk menyangga tubuhnya. Kalau saja tidak ada Ki Citra jati di sebelahnya yang dengan sigap segera menangkap tubuhnya, tentu Pandan Wangi sudah jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
Mlayawerdi yang sedang bertempur tidak jauh dari lingkaran pertempuran Pandan Wangi tidak dapat menolong. Ketika dia meloncat mundur untuk mengambil jarak agar dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dengan Pandan Wangi, ternyata lawannya tidak mau melepaskannya. Dengan sebuah teriakan yang keras Alap-alap Siwurbang segera memburu Mlayawerdi dengan putaran trisulanya.
Mlayawerdi masih sempat berpaling sekilas ke arah tempat Pandan Wangi terjatuh sebelum melenting ke samping untuk menghindari sambaran trisula lawannya. Ternyata Ki Citra Jati telah menahan tubuh Nyi Pandan Wangi agar tidak terjatuh dan kemudian membaringkan putri satu-satunya Ki Gede Menoreh itu di atas tanah yang berdebu.
“Semoga Nyi Pandan Wangi hanya kelelahan saja,” desis Mlayawerdi sambil merunduk ketika ujung trisula itu kembali menyambar, kali ini kepalanya yang menjadi sasaran.
Lawan Mlayawerdi benar-benar bergerak sesuai dengan namanya, Alap-Alap Siwurbang. Gerakannya benar-benar seperti burung alap-alap yang menyambar-nyambar mangsanya. Senjata lawannya yang bercabang tiga itu seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh dan mengurung Mlayawerdi dari segala penjuru.
Namun Mlayawerdi bukan anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan selangkah demi selangkah. Pengalamannya dalam olah kanuragan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan segenap kemampuan serta mengandalkan kelincahannya dalam bergerak, pedang di tangan Mlayawerdi menyusup di antara putaran senjata lawannya.
Dalam pada itu, sepeninggal Nyi Rahutri, keenam murid perguruan Pamulatsih itu telah bertempur dengan waringuten. Tandang mereka bagaikan singa-singa betina yang kehilangan anaknya. Pedang-pedang tipis itu bergetar berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari yang mulai tergelincir ke langit barat. Anak-anak perempuan Nyi Citra jati dengan sepenuh hati melayani murid-murid Perguruan Pamulatsih yang telah kehilangan pengendalian diri itu. Sepeninggal guru mereka, seolah-olah sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat keluar dari medan pertempuran itu hidup-hidup.
“Menyerahlah,” berkata Padmini sambil memutar pedangnya. Dia memang telah menyilangkan busurnya dan mencabut senjatanya berupa sebuah pedang bermata rangkap untuk mengatasi permainan pedang tipis lawannya.
“Kalian hanya akan menjumpai tubuh-tubuh kami yang tergolek membeku di atas tanah yang berdebu,” geram salah satu murid Nyi Rahutri yang bertahi lalat di dagu. Wajahnya bulat dan terlihat sangat manis dengan hiasan tahi lalat di dagunya.
“Kami bukan segolongan orang-orang yang tidak berhati dan berjantung,” sahut Baruni yang bertempur di sebelah mbokayunya, “Alangkah senangnya mempunyai sahabat seperti kalian. Kita dapat berlatih bersama-sama dan melakukan perjalanan bersama di lembah dan ngarai serta mendaki lereng-lereng terjal pegunungan untuk sekedar menambah wawasan.”
“Tutup mulutmu!” bentak murid perguruan Pamulatsih yang lain sambil memutar pedang tipisnya kemudian meluncur mematuk dada Rukmini.
Setiti yang melihat mbokayunya diserang dari dua arah segera membantu. Dibenturkannya tongkat bajanya yang juga berguna sebagai sumpit. Ketika benturan itu terjadi, kedua-duanya ternyata telah terkejut dengan kekuatan tenaga lawannya.
Dalam pada itu, Nyi Citra Jati yang sedang bertarung menghadapi sekelompok putut pilihan dari beberapa padepokan telah dibantu oleh Putut Darpa dan Putut Darpita. Pada awalnya kedua putut dari perguruan orang bercambuk di Jati Anom itu masih berusaha menyembunyikan jati diri mereka. keduanya masih bertempur dengan menggunakan senjata sebagaimana para prajurit Mataram. Mereka merasa belum waktunya untuk mengurai cambuknya. Namun ketika tekanan terhadap sayap kanan itu semakin tak tertahankan, kedua putut dari jati anom itu segera melemparkan pedang di tangan mereka.
Pada awalnya hal itu telah mengejutkan lawan-lawannya.
“He, apakah kalian memutuskan untuk menyerah?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi besar berkumis dan berjambang lebat.
“Tentu saja tidak,” jawab Darpita cepat, “Kami memutuskan untuk menggunakan senjata kami yang sebenarnya.”
Besok dan berjambang lebat itu memandang Darpita dengan heran. Katanya kemudian, “Jadi selama ini kalian belum bersungguh-sungguh dalam menggunakan senjata kalian?”
“Bukan begitu maksud kami,” jawab kedua putut dari Jati Anom itu hampir bersamaan. Kemudian lanjut Darpa, “Kami mempunyai senjata khusus yang telah kami tekuni sejak kami mengenal olah kanuragan. Namun bukan berarti kami tidak mempelajari berjenis-jenis senjata dengan segala sifat dan keutamaannya.”
“Alangkah sombongnya,” geram salah satu putut itu, “Kalian akan segera menyesali kesombongan yang tiada taranya. Jangan anggap medan pertempuran ini adalah sanggar tempat kalian berlatih sehari-hari. Di medan yang ganas ini, kelengahan yang hanya sekejap berarti kehilangan kesempatan untuk selama-lamanya.”
Kedua putut dari Jati Anom itu hanya saling pandang. Namun seolah-olah sudah berjanji sebelumnya, tiba-tiba keduanya telah meloloskan senjata cambuk yang dililitkan pada pinggang di balik baju mereka.
“Cambuk?” tanpa disadarinya, putut yang berkumis dan berjambang lebat itu berdesis perlahan, sementara kawannya hanya mengerutkan keningnya.
“Ya Ki Sanak, inilah senjata kami yang sebenarnya,” berkata putut Darpa dengan tenang.
Tiba-tiba kedua lawannya telah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, “Jangan harap kami takut dengan cambukmu itu Ki Sanak. Seandainya yang berdiri dan memegang cambuk di depan kami sekarang ini adalah Ki Rangga Agung Sedayu, tentu kami akan memanggil guru-guru kami untuk menghadapinya. Akan tetapi untuk menghadapi kalian berdua, walaupun kalian juga bersenjata cambuk, kami yakin dapat mengatasinya.”
“Ya,” sahut kawannya yang berdiri di sebelahnya, “Ilmu cambuk kalian tentu tidak ada bedanya dengan gembala-gembala kambing di padang-padang perdu. Atau justru dengan senjata yang aneh itu Ki Sanak akan menemui kesulitan untuk mengendalikannya. Kami masih memberi kesempatan kepada kalian untuk memungut pedang yang telah kalian lemparkan. Jangan menggunakan senjata yang kalian belum sepenuhnya menguasai sifat dan watak dari senjata itu sendiri.”
Putut Darpa dan Darpita benar-benar merasa dihinakan. Hampir bersamaan keduanya telah memutar cambuk ditangan mereka. Sejenak kemudian terdengarlah ledakan berturut turut yang menggelegar memekakkan telinga.
Beberapa orang di seputar arena pertempuran itu memang menjadi terkejut. Namun kedua lawan putut dari jati Anom itu sekali lagi telah tertawa berkepanjangan.
Kali ini kedua putut dari Jati Anom itu benar-benar ingin menunjukkan tingkat kemampuan ilmu mereka. Maka sejenak kemudian terdengar lagi ledakan cambuk yang berturut-turut namun kali ini suaranya lebih pelan namun getaran yang ditimbulkan telah mengguncang dada orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya.
“Gila,” geram Besok dan berjambang lebat itu sambil memutar-mutar goloknya yang besar dan lebar, “Jangan merasa hebat dengan permainan cambukmu yang tidak berarti sama sekali bagiku. Getaran suara cambukmu sama sekali tidak dapat merontokkan sehelai rambutku. Namun aku yakin dengan sekali tebas, golokku ini akan dapat memisahkan kepalamu dari tubuhmu.”
Putut Darpa dan Darpita tidak menjawab. Mereka berdua segera berpencar untuk menghadapi lawan masing-masing.
Dalam pada itu, Ki Argapati yang sedang membawa pasukannya melingkar melewati regol padukuhan yang roboh telah mendekati arena perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra. Jarak perang tanding dengan pasukan Menoreh itu memang cukup jauh, namun Ki Gede Menoreh yang memimpin sendiri pasukannya telah dibuat semakin berdebar debar begitu menyaksikan jalannya pertempuran.
“Apakah kita akan mendekati arena perang tanding itu Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal sambil berpaling ke arah pemimpinnya.
“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “ Bawalah pasukan pengawal ini maju terus sampai mendekati sayap kanan dari pasukan Mataram. Selanjutnya Kau sudah tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baik Ki Gede,” jawab pemimpin pengawal itu. Kemudian lanjutnya, “Apakah Ki Gede tidak ikut bersama-sama pasukan ini?”
Ki Gede Menoreh menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku akan melihat pertempuran Ki Rangga dari jarak yang cukup dekat. Aku ingin meyakinkan bahwa Ki Rangga tidak akan mengalami kesulitan menghadapi lawannya.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia segera meneriakkan aba-aba kepada para pengawal untuk bergerak menuju ke sayap kanan pasukan Mataram.
Ki Gede Menoreh yang telah memisahkan diri dari pasukannya sejenak masih berdiri termangu-mangu. Namun ketika dia lamat-lamat mendengar suara tertawa Panembahan Cahya Warastra, dengan tergesa-gesa dilangkahkan kakinya menuju arena perang tanding yang semakin dahsyat itu.
Sebenarnyalah panembahan Cahya Warastra pada saat itu telah merasa di atas angin. Ilmu pusaran angin praharanya tidak mampu tertembus oleh ilmu cambuk Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ilmu cambukmu memang luar biasa, Ki Rangga,” terdengar suara Panembahan Cahya Warastra dari dalam pusaran prahara, “Namun sayang, kekuatannya belum mampu menghancurkan pusaran praharaku.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Sekali lagi dipusatkan segala nalar budinya untuk mengetrapkan puncak ilmu cambuknya. Kali ini Ki Rangga berharap dapat menghancurkan pusaran angin prahara lawannya.
Ketika pusaran angin prahara itu kembali menerjang Ki Rangga Agung Sedayu, kali ini Ki Rangga benar-benar telah siap dengan puncak ilmu cambuknya. Cambuk Ki Rangga kembali meledak namun tidak ada bunyi ledakan sama sekali, sebagai gantinya dari ujung cambuk yang menggelepar itu telah meloncat seleret cahaya kebiru-biruan menyambar ke arah pusaran angin prahara yang sedang berputar dengan dahsyatnya menyergap ke tempat Ki Rangga Agung Sedayu berdiri.
Untuk kali ini perhitungan Panembahan Cahya Warastra keliru. Dia masih mengira ki Rangga akan melontarkan ilmunya pada tataran yang sama. Panembahan Cahya Warastra tidak mengira kalau lawannya masih mampu meningkatkan ilmunya selapis lebih tinggi lagi.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan ilmu yang tiada taranya. Seleret cahaya kebiru-biruan yang meloncat dari ujung cambuk ki Rangga ternyata telah mampu menghancurkan pusaran angin prahara itu. Disertai suara ledakan yang bergemuruh, pusaran angin prahara itu pun telah pecah berhamburan menebar ke seluruh medan perang tanding. Getaran yang ditimbulkannya telah mengguncang pepohonan dan semak belukar yang ada di sekitarnya. Sementara Panembahan Cahya Warastra sendiri yang berada di pusat prahara telah terdorong surut beberapa langkah akibat getaran yang ditimbulkan oleh benturan antara pusaran angin prahara dengan lontaran ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.
Sejenak Panembahan Cahya Warastra masih mencoba memperbaiki kedudukannya serta mengatur debar jantungnya yang tiba-tiba saja telah memukul-mukul rongga dadanya. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa lawannya akan mampu melontarkan kekuatan sebesar itu sehingga ilmu angin praharanya telah hancur berantakan.
Karena pemusatan penalaran Panembahan Cahya Warastra telah terganggu oleh hentakan yang luar biasa sehingga membuatnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, maka pusaran angin prahara yang diciptakannya telah hilang tak berbekas.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu telah membuat sebuah kesalahan yang besar. Ki Rangga telah melepaskan sebuah kesempatan untuk mengakhiri perlawanan Panembahan Cahya Warastra pada saat pemimpin perguruan Cahya Warastra itu kehilangan kendali karena terkena hentakan ilmu Ki Rangga. Seharusnya Ki Rangga dapat sekali lagi melepaskan puncak ilmu cambuknya itu ketika Panembahan Cahya Warastra masih belum dapat menguasai kedudukannya. Namun ternyata Ki Rangga tidak melakukannya.
Keragu-raguan memang sempat terbesit di hati Ki Rangga ketika melihat lawannya terhuyung-huyung kebelakang. Walaupun sudah sekian lama Ki Rangga telah bergelut dalam dunia keprajuritan yang menuntut untuk selalu bersikap cepat dan tegas, namun sifat ragu-ragu dan tidak yakin dengan apa yang akan diperbuat, kadangkala masih saja muncul.
Demikian Panembahan Cahya Warastra dapat memperbaiki kedudukannya, sumpah serapah pun terlontar dari mulutnya.
“Anak iblis, dari mana Kau dapatkan ilmu iblis itu, he?” geram Panembahan Cahya Warastra, “Ternyata apa yang disampaikan Ki Bango Lamatan benar adanya. Ki Rangga Agung Sedayu adalah salah satu orang yang perlu diwaspadai selain Ki Patih Mandaraka,” Panembahan itu berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya, “Tetapi jangan berbangga dulu. Aku masih belum sampai pada puncak ilmuku. Sebenarnya aku enggan mengeluarkan ilmu simpananku ini kecuali melawan orang yang benar-benar berilmu tinggi dan itu sangat jarang aku jumpai. Namun sekarang aku harus mempertimbangkan untuk merambah sampai puncak ilmuku karena Ki Rangga telah memancing kemarahanku.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Panembahan ini masih mempunyai simpanan ilmu yang lain sehingga membuat jantung Ki Rangga menjadi semakin berdebar-debar.
“Apakah aku masih mampu mengimbanginya?” bertanya Ki Rangga dalam hati.
Namun Ki Rangga kembali memantapkan hatinya untuk selalu memohon pertolongan dari Sumber Hidupnya dalam menghadapi ilmu pamungkas lawannya yang mungkin jauh diluar penalarannya.
“Nah, Ki Rangga,” berkata Panembahan kemudian dengan suara yang berat dan dalam, “Aku sudah memberimu kesempatan untuk menghindar dari hadapanku. Namun dengan sombongnya Kau merasa dapat menjadi talang patinya Juru Martani yang licik itu. Kau akan segera menghadapi sebuah pameran ilmu yang tiada taranya. Aku harap Kau tidak akan menjadi pingsan karenanya.”
Sekali ini Ki Rangga tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Aku akan sangat berterima kasih Panembahan, mendapatkan kesempatan yang langka untuk melihat dan menyaksikan sendiri ilmu pamungkas Panembahan yang tiada bandingnya.”
“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan, “Jangan menjadi sombong karena kemenangan kecil yang baru saja Kau raih. Ingat, kekuatan kita masih seimbang. Namun kini aku sudah tidak sabar lagi untuk segera mengakhiri perang tanding ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Telapak tangan kanannya rasa-rasanya telah menyatu dengan tangkai cambuknya sehingga setiap saat Ki Rangga telah siap melontarkan kemampuan puncaknya.
Panembahan Cahya Warastra yang melihat lawannya hanya berdiri termangu-mangu tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian saudara kembar Kecruk Putih itu pun telah menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian selembar asap tipis tampak muncul dan mulai menyelimuti sekujur tubuh saudara kembar Kecruk Putih itu. Semakin lama asap putih itu semakin tebal dan berputar membumbung tinggi dan semakin tinggi. Ketika asap putih itu perlahan-lahan menipis dan kemudian hanyut tertiup angin, Ki Rangga Agung Sedayu yang berdiri beberapa tombak di depan Panembahan Cahya Warastra telah dibuat terkejut bukan buatan. Hampir saja jantung Ki Rangga terlepas dari tangkainya begitu menyadari lawan yang berdiri di hadapannya telah berubah ujud menjadi Panembahan Cahya Warastra dalam bentuk yang luar biasa besarnya, hampir lima kali lipat dari bentuk aslinya.
Pada awalnya Ki Rangga menyangka ilmu yang dipamerkan lawannya itu tidak lebih dari ilmu bayangan semu yang hanya mengelabui pandangan kasat mata lawan, namun ketika Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengetrapkan aji sapta panggraita untuk melihat dengan mata hatinya ujud sebenarnya yang sedang berdiri di hadapannya itu, sekujur tubuh ki Rangga Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi gemetar dan keringat dingin telah mengucur dari sekujur tubuhnya. Ujud itu ternyata bukan bentuk semu, namun benar-benar ujud Panembahan Cahya Warastra yang bertiwikrama menjadi Raksasa.
Dalam pada itu pertempuran telah berhenti dengan sendirinya. Kedua pasukan yang saling berhadapan menyabung nyawa itu telah terpesona dengan ilmu Panembahan Cahya Warastra yang mampu mengubah ujud wadagnya menjadi berkali lipat sehingga menyerupai ujud raksasa.
“Aji Brahala Wuru!” seru Ki Patih Mandaraka hampir tidak dapat menguasai diri begitu melihat Panembahan Cahya Warastra berubah ujud menjadi Raksasa. Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak meninggalkan medan pertempuran. Ki Patih tetap mengawasi jalannya pertempuran dari tanggul yang agak tinggi bersama dengan para prajurit pengawal kepatihan.
“Aji Brahala Wuru?” tanpa disadarinya seorang prajurit kepatihan yang berdiri di belakang Ki Patih telah mengulang dengan tubuh gemetar.
“Ya,” sahut Ki Patih dengan jantung yang semakin berdebaran, “Sebuah aji yang hanya ada dalam dongeng. Pemiliknya dapat bertiwikrama sehingga mengubah tubuhnya menjadi sebesar raksasa.”
“Ampun Ki Patih,” sembah prajurit itu dengan keringat dingin yang mulai membasahi punggungnya, “Apakah kekuatan orang yang mempunyai aji Brahala Wuru itu juga berlipat sesuai dengan wujud wadagnya yang meraksasa?”
Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan prajurit itu. Dilayangkan pandangan matanya ke arah medan perang tanding Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra. Ada semacam penyesalan mengapa dirinya membiarkan Ki Rangga melawan saudara kembar Kecruk Putih itu? Bukankah selama ini dendam itu ditujukan kepada dirinya?
Ketika Ki Patih kemudian berpaling ke arah prajurit yang berdiri di belakangnya, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara gemuruh disertai dengan bumi yang berguncang dari arah arena perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu.
Serentak mereka pun berpaling ke arena perang tanding. Ternyata ujud Panembahan Cahya Warastra yang meraksasa itu telah mulai menyerang lawannya. Kaki panembahan Cahya Warastra yang sebesar pohon kelapa itu telah berusaha menginjak Ki Rangga Agung Sedayu. Namun dengan cepat Agul-agulnya Mataram itu melenting ke samping sehingga kaki sebesar pohon kelapa itu telah menghunjam ke bumi dan menimbulkan suara yang bergemuruh disertai dengan getar yang terasa sampai di tempat Ki Patih berdiri.
Ki Patih Mandaraka pun mengerutkan keningnya semakin dalam sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Katanya kemudian, “Itulah kekuatan aji Brahala Wuru.”
“Aku benar-benar tidak yakin dengan penglihatanku,” desis seorang prajurit pengawal kepatihan yang lain dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan sambil mengusap-usap kedua matanya, “Rasa-rasanya kita seperti terlempar ke dunia lain dan bertemu dengan raksasa yang hanya dapat dijumpai dalam dongeng-dongeng.”
“Ya,” kawan yang di sebelahnya menyahut. Rasa-rasanya dadanya menjadi sesak dan sulit untuk menarik nafas, “Apa yang kita saksikan hari ini tidak akan ada yang mempercayainya jika kita bercerita kepada kawan-kawan kita sekembalinya dari pertempuran dahsyat ini.”
“Apakah Kau yakin dapat kembali selamat dari pertempuran ini?” seorang kawannya yang berbadan agak gemuk memotong dengan wajah yang pucat pasi, “Dengan bentuk raksasa seperti itu, akan sangat mudah bagi Panembahan Cahya Warastra untuk menghancurkan seluruh prajurit Mataram”
“Belum tentu,” kali ini yang menyahut adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, “Aku yakin Ki Rangga masih mempunyai ilmu pamungkas yang akan dapat digunakan untuk melawan aji Brahala Wuru dari Panembahan Cahya Warastra.”
Para prajurit pengawal kepatihan itu termangu-mangu sejenak mendengar pendapat Ki Patih Mandaraka. Dalam hati mereka meragukan keterangan Ki Patih. Melihat ujudnya saja yang hampir lima kali lipat dari tubuh Ki Rangga, para pengawal kepatihan itu merasa tidak yakin Ki Rangga akan mampu mengatasi lawannya. Sementara Ki Patih Mandaraka pun ternyata mulai dihinggapi perasaan ragu-ragu begitu melihat tandang Panembahan Cahya Warastra yang nggegirisi itu.
Sebenarnyalah, Ki Rangga Agung Sedayu sendiri telah hampir kehilangan akal dalam menghadapi ilmu lawannya yang ngedap-edapi itu. Ujud Raksasa Panembahan Cahya Warastra itu telah membuat Ki Rangga harus mengerahkan ilmunya yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya untuk menghindari serangan lawannya yang datang bagaikan badai silih berganti. Beberapa kali Ki Rangga harus bergulingan di atas tanah yang porak poranda dan berlubang-lubang terkena hujaman kaki lawannya. Tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk mengurangi tekanan lawan dengan balas menyerang. Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar mengalami kesulitan yang tiada taranya.
Dalam pada itu Ki Gede Menoreh yang telah tiba di arena perang tanding itu bagaikan membeku di tempatnya. Sebelumnya, pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu memang pernah melihat ujud raksasa dalam bentuk semu ketika terjadi pertempuran antara pasukan Mataram yang baru berdiri dibantu dengan para pengawal Menoreh dalam menumpas pergerakan Panembahan Agung yang dapat mengancam kelangsungan Mataram.
Namun kali ini yang disaksikan Ki Gede benar-benar ujud raksasa dari Panembahan Cahya Warastra yang sedang mengamuk mengejar ke mana pun Ki Rangga menghindar.
Tiba-tiba sudut mata Ki Gede menangkap bayangan seseorang yang berjalan mendekatinya. Ternyata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah memberanikan diri untuk mendekati Ki Gede Menoreh.
“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Ki Argapati sesampainya pengawal itu di hadapannya.
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu dengan suara bergetar dan wajah pucat pasi sambil sesekali mencuri pandang ke arena perang tanding, “Nyi Pandan Wangi terluka.”
“He!” seru Ki Argapati dengan wajah memerah, “Pandan wangi terluka?”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu hampir tak terdengar. Kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi gejolak di dalam dadanya dia melanjutkan, “Kelihatannya Nyi Pandan Wangi terlalu banyak mengeluarkan darah sehingga membuatnya pingsan.”
Ki Gede segera mengedarkan pandangan matanya untuk mencari di mana anak perempuan satu-satunya itu berada. Tampak beberapa tombak di depan regol padukuhan induk yang telah roboh, seorang perempuan yang sudah berumur dengan dikawal beberapa pengawal tanah Perdikan Menoreh sedang mendukung Nyi Pandan Wangi menuju ke padukuhan induk.
Ternyata Nyi Citra Jati telah berpikir cepat. Ketika pertempuran itu sempat terhenti sebentar karena terpesona dengan aji Brahala Wuru dari Panembahan Cahya Warastra, kesempatan itu ternyata telah dimanfaatkan oleh Nyi Citra Jati untuk mendekati tempat di mana Pandan Wangi dibaringkan dan ditunggui Ki Citra Jati. Dengan cepat Nyi Citra Jati segera mendukung Nyi Pandan Wangi menyingkir dari medan menuju ke padukuhan induk untuk mendapatkan pertolongan atas lukanya. Namun yang lebih penting dari itu bagi Nyi Pandan Wangi adalah istirahat yang cukup agar dapat memulihkan tenaganya kembali.
“Aku akan melihatnya,” berkata Ki Gede sambil berjalan tergesa-gesa menyusul rombongan yang terlihat sudah memasuki padukuhan induk.
Ketika Ki Gede sudah hampir mencapai regol padukuhan yang telah roboh, dia sempat berpaling ke arah arena perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.
“Semoga Ki Rangga Agung Sedayu segera menemukan jalan untuk mengatasi kesulitannya,” gumam Ki Gede perlahan.
Ketika Ki Gede Menoreh kemudian melangkahkan kakinya memasuki padukuhan induk, dia melihat Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi sedang tergesa-gesa menyusul rombongan yang membawa Pandan Wangi menuju ke salah satu rumah yang dipakai sebagai balai pengobatan.
“Kiai,” sapa Ki Gede Menoreh kepada Kiai Sabda Dadi sambil berjalan setengah berlari, “Bagaimana dengan lawan Kiai?”
Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menghentikan langkahnya dan berpaling. Kata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah Ki Gede berada di sebelahnya, “Agaknya aku kurang beruntung hari ini. Lawanku kembali pergi meninggalkanku.”
Ki Gede mengerutkan keningnya, “Bagaimana mungkin orang itu bisa lolos kembali dari tangan Kiai Sabda Dadi?”
Kiai Sabda Dadi tersenyum masam. Jawabnya, “Dia benar-benar pandai bersembunyi dengan Aji Halimunan nya. Aku masih memerlukan waktu sekejap untuk mengenali apa yang sedang terjadi ketika dari kejauhan aku melihat bentuk yang nggegirisi dari Panembahan Cahya Warastra, tiba-tiba saja dia telah menghilang dari pandangan mataku.”
“Jadi Kiai Sabda Dadi juga menyaksikan ilmu Panembahan itu?”
“Ya,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Agaknya Ki Jayaraga pun juga telah menyaksikan walaupun hanya dari kejauhan.”
“Ya, Ki Gede. Sebuah ilmu yang hanya ada dalam dongeng,” berkata Ki Jayaraga.
“Bukankah lawan Kiai Sabda Dadi melakukan hal yang sama pagi tadi di halaman rumahku?”
“Begitulah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Dia menghilang begitu saja sehingga aku telah kehilangan waktu sekejap untuk mencarinya.”
Ki Gede Menoreh hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika dia memandang ke depan, tampak rombongan yang membawa Pandan Wangi itu sudah memasuki balai pengobatan.
“Kiai,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Aku akan melihat keadaan anakku terlebih dahulu. Jika Kiai berkenan memberikan obat barang setetes untuk memperkuat ketahanan tubuhnya, aku akan sangat berterima kasih.”
“Baiklah,” jawab Kiai Sabda Dadi. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga dia bertanya, “Apakah Ki Jayaraga berkenan ikut menengok keadaan Nyi Pandan Wangi ataukah Ki Jayaraga akan melihat keadaan medan pertempuran.”
Sebelum Ki Jayaraga menjawab, ternyata Ki Gede telah mendahuluinya, “Aku mohon Ki Jayaraga berkenan melihat perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu. Kelihatannya Ki Rangga sedang mengalami kesulitan.”
“Ya, aku dan Kiai Sabda Dadi sudah melihat ujud Panembahan Cahya Warastra yang berubah menjadi raksasa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aji Brahala Wuru itu sebenarnya hanya ada di dalam dongeng. Aku tidak mengira kalau Panembahan Cahya Warastra ini mempunyai ilmu untuk melipat gandakan ujud wadagnya.”
“Apakah Ki Jayaraga mempunyai kemampuan untuk melawan Aji Brahala Wuru?” bertanya Ki Gede.
Ki Jayaraga menggeleng, “Aku hanya pernah mendengar aji ini dari dongeng-dongeng yang pernah aku baca, dan baru kali ini aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.”
Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede Menoreh sejenak saling pandang. Akhirnya Ki Gede melangkah meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Marilah Ki Jayaraga, aku akan melihat keadaan anak perempuanku. Semoga lukanya tidak terlalu parah.”
“Silahkan Ki Gede, “ sahut Ki Jayaraga cepat, “Biarlah Kiai Sabda Dadi menemani Ki Gede. Namun setelah yakin Nyi Pandan Wangi tidak mengalami hal yang gawat, aku mohon kalian berdua menemaniku menunggui perang tanding Ki Rangga.”
Tanpa menghentikan langkah, hampir bersamaan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi mengangguk.
Sepeninggal kedua orang tua itu Ki Jayaraga segera berjalan menuju regol padukuhan yang telah runtuh. Dari tempat itu Ki Jayaraga sudah dapat menyaksikan pertarungan dahsyat antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sedang memikirkan cara untuk mengurangi tekanan serangan lawannya sekaligus untuk mengimbangi kekuatan lawannya yang berlipat-ganda karena ujud aslinya telah bertiwikrama menjadi raksasa, walaupun aji yang akan ditrapkan itu mungkin kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan saudara kembar Kecruk Putih itu dalam ujud raksasa. Namun setidaknya Ki Rangga berharap ilmu yang akan ditrapkan itu dapat mengurangi tekanan lawannya.
“Setidaknya Panembahan ini masih memerlukan waktu sekejap untuk mengetahui diriku yang sebenarnya, sehingga aku akan mempunyai kesempatan untuk balas menyerang” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting berdiri menghindari sambaran kaki lawannya.
Ketika ujud raksasa Panembahan Cahya Warastra itu mengayunkan tangannya sambil membungkuk untuk menghantam lawannya yang tengah berdiri, tiba-tiba saja Ki Rangga Agung Sedayu telah meloncat menghindar ke tiga arah yang berbeda. Ternyata Ki Rangga telah mengetrapkan Aji Kakang Pembarep Dan Adi Wuragil.
--oo0oo-

Bersambung ke TDBM 409

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403