Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 407
dari :padepokan Sekar Keluwih.
Buku 407
SEJENAK Ki Ajar Wiyat masih
termangu mangu sambil menatap Ki Gede Menoreh yang tegak bediri tak tergoyahkan
bagaikan sebuah bukit. Pemimpin perguruan dari Tumapel itu seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Tenaga lawannya tak ubahnya
dengan tenaga seekor gajah walaupun Ki Gede terlihat sudah sangat tua dan
lemah.
“Baiklah, perhitunganku mungkin sedikit keliru,” akhirnya Ki
Ajar Wiyat berkata sambil mulai mempersiapkan serangan berikutnya, “Namun semua
ini tidak akan menggoyahkan ilmuku, tidak ada sekuku ireng dari ilmu yang telah sempurna aku
kuasai. Berdoalah Ki Gede, umurmu tidak akan lebih dari suwe
mijet wohing ranti.”
Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Dibiarkan saja lawannya itu
membual sepuas hatinya. Dengan sedikit merendahkan lututnya, Ki Gede berusaha
untuk tidak banyak bergerak dan bergeser agar cacat di kakinya tidak kambuh
lagi. Dengan bertumpu pada permainan tombak pendeknya, Ki Gede yakin akan mampu
mengimbangi permainan lawannya.
Ketika lawannya kemudian telah meloncat menyerang dengan
disertai teriakan yang menggelegar, Ki Gede Menoreh pun sudah siap menyongsong
dengan ujung tombak pendeknya.
Demikianlah akhirnya kedua orang yang sudah menapaki
hari-hari tua itu ternyata masih mampu bertempur dengan dahsyatnya. Saling
serang untuk mencari kelengahan lawan. Silih ungkih singa lena.
Dalam pada itu, Empu Wisanata yang sedang menyusup di antara
riuhnya pertempuran di sisi kiri gerbang padukuhan induk telah dikejutkan oleh
pertempuran yang tidak seimbang antara sekelompok pengawal Menoreh dengan
seseorang yang memiliki kemampuan yang ngedab-edabi.
Orang yang sudah cukup umur itu seolah olah mempunyai mata
tidak hanya sepasang dan mampu berada di beberapa tempat pada waktu yang
bersamaan. Kecepatan geraknya sungguh sangat mengagumkan. Di suatu saat dia
terlihat sedang menangkis sebuah tombak yang terjulur lurus mengarah lambung
hanya dengan tangan kosong. Pada saat yang bersamaan pedang seorang pengawal
yang menyambar kepalanya telah berhasil dirampasnya, sedangkan seorang pengawal
yang lain yang berusaha menusuk punggungnya dari belakang tiba-tiba saja telah
mengeluh tertahan dan terdorong ke belakang beberapa langkah karena perutnya
bagaikan tertimpa sebongkah batu hitam dan menjadi mual karena terkena tumit
lawannya.
Dengan demikian para pengawal Menoreh yang mengeroyoknya
merasa heran dengan gerakan lawan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata
itu. Sepuluh orang pengawal ternyata tidak mampu menghentikan tandang orang
yang sudah cukup umur itu. Beberapa kali di antara mereka dibuat jatuh bangun.
Agaknya orang itu tidak begitu bernafsu untuk membunuh. Dia terlihat hanya
bermain-main saja menghadapi sepuluh pengawal yang mengepungnya.
Melihat keadaan para pengawal yang kebingungan dalam
menghadapi lawannya yang hanya seorang itu, Empu Wisanata pun tergerak hatinya
untuk segera membantu. Dengan langkah satu-satu ayah Nyi Dwani yang masih
terlihat kokoh dan tegap walaupun usianya sudah melewati setengah abad itu
segera bergeser semakin dekat dengan lingkaran pertempuran.
Sebelum para pengawal menyadari kehadiran Empu Wisanata,
tiba-tiba saja orang yang sudah cukup berumur itu telah meloncat mundur sambil
tertawa. Katanya kemudian, “Cukup anak-anak. Kalian menyingkirlah. Agaknya ada
seseorang yang merasa memiliki ilmu yang cukup mumpuni untuk bermain main
sejenak denganku.”
Mendengar kata-kata lawannya itu, barulah para pengawal
menyadari bahwa di tengah-tengah mereka telah hadir Empu Wisanata.
“Selamat datang Empu,” berkata pengawal yang tertua mewakili
kawan kawannya, “Kami sudah cukup dibingungkan dengan lawan yang hanya seorang
ini. Selanjutnya terserah kepada Empu. Sedangkan kami akan membantu kawan-kawan
kami yang lain yang mungkin sedang dalam kesulitan.”
“Terima kasih,” sahut Empu Wisanata tanpa melepaskan
kewaspadaannya terhadap calon lawannya yang begitu yakin akan kemampuannya,
“Sekarang kalian dapat membantu kawan-kawan yang lain. Usahakan tetap
mengadakan hubungan dengan Ki Jayaraga untuk menghadapi setiap perubahan yang
mungkin terjadi secara tiba-tiba di medan pertempuran ini.”
“Baik Empu,” jawab pengawal tertua itu, “Kami mohon diri.”
Sebelum Empu Wisanata sempat menjawab, tiba-tiba saja
terdengar tawa yang berderai derai dari lawannya. Katanya kemudian sambil
bertolak pinggang, “He! Apakah kalian akan berunding dulu untuk menentukan
langkah-langkah dalam menghadapi peperangan yang semakin kisruh ini? Aku masih
cukup bersabar untuk menunggu kalian berunding, asal jangan sampai melewati
waktu sampai Matahari tergelincir. Aku sudah berjanji kepada Panembahan Cahya
Warastra untuk membuka jalan ke Menoreh tidak lebih dari waktu Matahari tepat
di atas ubun-ubun kita.”
“Marilah Ki Sanak,” dengan cepat Empu Wisanata menyahut
sambil memberi isyarat kepada para pengawal untuk menyingkir, “Aku Empu
Wisanata memberanikan diri untuk menghadapi Ki Sanak walaupun aku menyadari
sepenuhnya bahwa lawanku adalah seorang yang pilih tanding. Namun itu bukan
berarti tidak mungkin terkalahkan. Setinggi apapun ilmu seseorang, pasti
mempunyai kelemahan, dan bagian dari kelemahan Ki Sanak itulah yang akan aku
pelajari sambil menanti saat yang tepat untuk mengalahkan ki Sanak.”
Sekarang orang yang cukup berumur itu benar-benar tertawa
terbahak bahak sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Ternyata Ki Sanak sangat berbakat untuk mendongeng. Aku senang sekali dengan
orang yang mempunyai daya khayal yang tinggi, walaupun pada kenyataannya tidak
akan mampu berbuat apa-apa dalam sebuah medan pertempuran yang sebenarnya.
Namun setidaknya Ki Sanak sudah cukup puas dengan khayalan itu.”
“Aku tidak sedang mengkhayal Ki Sanak,” tukas Empu Wisanata,
“Disadari atau pun tidak, selama kita masih berujud manusia pasti mempunyai
kelemahan. Tidak ada seorang pun yang sempurna di muka bumi ini.”
“O..” seru lawannya sambil tersenyum dan mengangguk
anggukkan kepalanya, “Pendapat Ki Sanak memang ada benarnya. Namun yang akan
menjadi bagian tersulit untuk mewujudkan angan-angan Ki Sanak adalah bagaimana
cara Ki Sanak untuk menemukan kelemahanku. Mungkin seharian penuh Ki Sanak berusaha
mencari kelemahanku dan belum tentu berhasil, sementara itu tubuh Ki Sanak
sudah terkapar tak bernyawa.”
“Belum tentu,” kembali Empu Wisanata menyanggah, “Demikian
juga sebaliknya, jangan berharap terlalu mudah bagi Ki Sanak untuk menemukan
kelemahanku. Aku pun akan berusaha sedapat mungkin untuk menutupi kelemahanku
dan justru Ki sanak lah yang mungkin terlebih dahulu akan terkapar tak berdaya
sebelum Matahari sampai puncaknya.”
“Omong kosong!” bentak orang itu dengan wajah yang merah
padam. Agaknya usaha Empu Wisanata untuk memancing kemarahannya cukup berhasil,
“Kau akan mengalami penyesalan yang sangat sebelum ajal menjemputmu. Kau akan
menghadapi sebuah ilmu yang belum pernah Kau bayangkan sebelumnya. Bersiaplah,
tataplah langit dan peluklah bumi untuk terakhir kali. Jangan harap Kau masih
akan dapat melihat terbitnya matahari esok pagi.”
Bergetar juga dada Empu Wisanata mendengar sesumbar
lawannya. Namun sebagai orang yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan,
Empu Wisanata dengan hati yang tatag telah siap menghadapi apapun kemungkinan
yang akan terjadi.
“Nah,” berkata lawan Empu Wisanata kemudian dengan sebuah
senyum mengejek menghiasi bibirnya, “Kalau tadi Ki Sanak sudah memperkenalkan
diri sebagai Empu Wisanata, perkenalkan namaku Bango Lamatan, orang kedua
setelah Panembahan Cahya Warastra. Aku harap Ki Sanak tidak menjadi pingsan
atau menggigil ketakutan setelah menyadari dengan siapa Ki Sanak berhadapan.
Lebih baik kalian semua menyerah dan bergabung bersama kami untuk mewujudkan
suatu pemerintahan yang lebih adil dan sejahtera. Yang lebih mengedepankan pada
kepentingan kawula alit serta menjunjung tinggi paugeran yang berlaku di atas
semua golongan.”
Empu Wisanata mengerutkan keningnya mendengar kata-kata
lawannya yang ternyata adalah Bango Lamatan. Keinginan dari Panembahan Cahya
Warastra dan para pengikutnya untuk memperbaiki tata pemerintahan yang sudah
ada serta mengedepankan kepentingan kawula alit adalah cita-cita yang mulia
namun tidak harus dengan jalan pertumpahan darah.
“Ki Bango Lamatan,” akhirnya Empu Wisanata memberikan
tanggapan, “Aku sangat setuju jika tata pemerintahan yang sekarang ini
diperbaiki untuk menuju yang lebih baik serta kawula alit lebih diperhatikan
lagi kesejahteraannya. Namun cara yang diambil Panembahan Cahya Warastra inilah
yang aku tidak setuju. Perbedaan pendapat tidak harus disampaikan dengan cara
kekerasan dan pertumpahan darah. Bukankah perang pada akhirnya hanya akan
menyengsarakan kawula alit? Kehidupan mereka yang sudah berat, akan semakin
berat dengan adanya peperangan yang silih berganti di atas tanah ini. Mereka
tidak dapat dengan bebas menggarap sawah dan ladang mereka karena selalu
dihantui dengan perasaan tidak aman, sementara beban pajak yang mereka pikul
akan semakin berat setiap timbul sebuah peperangan. Karena setiap peperangan
tentu memakan biaya yang tidak sedikit dan semua itu akan dibebankan kepada
kawula alit melalui pajak yang semakin tinggi dan mencekik.”
“Mengapa Empu berpikiran sesempit itu?” bertanya Bango
Lamatan, “Bukankah sebuah perjuangan itu pasti memerlukan pengorbanan? Lihatlah
apa yang terjadi sejak Mataram berdiri. Pemberontakan demi pemberontakan silih
berganti yang bersumber pada perebutan kekuasaan antara keluarga istana. Apapun
yang menjadi alasan mereka untuk memberontak, namun yang jelas para bangsawan
itu tidak dapat dijadikan contoh yang baik. Mereka seharusnya sudah sangat
bersyukur dilahirkan di dalam kalangan istana yang bersumber pada trahing
kusuma rembesing madu. Seharusnya mereka bersatu padu untuk menjadikan Mataram
semakin besar, bukannya saling berebut untuk menduduki singgasana yang pada
akhirnya hanya memberikan contoh yang memuakkan bagi para kawula Mataram. Untuk
itulah Panembahan Cahya Warastra telah menghimpun perguruan-perguruan yang
sealiran dengannya untuk memperbaiki tata pemerintahan yang sudah carut marut
ini. Tidak ada lagi yang peduli dengan nasib negeri ini. Sekarang ini yang
terjadi hanyalah bagaimana dapat memperjuangkan nasib golongan mereka sendiri
dan hasilnya nanti juga untuk mereka nikmati sendiri.”
Sejenak Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
disadari, dipandanginya Bango Lamatan yang berdiri beberapa langkah di
depannya. Katanya kemudian sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Aku
menyadari apa yang telah dan sedang terjadi di dalam keluarga istana Mataram.
Namun bagiku, memperbaiki tatanan pemerintahan yang sudah ada ini tidak perlu
dengan perang. Itu sama saja dengan pemberontakan, dan pemberontakan itu apapun
alasannya tidak akan pernah dibenarkan oleh paugeran yang berlaku di suatu
Negara.”
“Persetan dengan segala macam paugeran,” umpat Bango
Lamatan, “Semua paugeran itu dibuat hanya untuk menguntungkan para Bangsawan
dan Penguasa, kita sebagai kawula biasa tidak akan pernah mendapatkan tempat di
jajaran para bangsawan dan penguasa itu. Selebihnya mereka adalah orang-orang
yang hanya mementingkan diri mereka sendiri dan golongannya. Memang keadaan
negeri ini sudah sedemikian parahnya dan hanya dengan sebuah perjuangan dan
pengorbanan seperti yang dilakukan oleh Panembahan Cahya Warastra inilah, masa
depan tanah ini akan dapat diperbaiki.”
Empu Wisanata menggeleng lemah, “Walaupun kalian menyebutnya
ini adalah sebuah perjuangan untuk membela kawula alit atau karena alasan yang
lain, aku tetap tidak sejalan dengan pemikiran kalian. Bagiku, tata
pemerintahan ini masih dapat dipertahankan dan dikembangkan ke arah yang lebih
baik. Kawula alit sudah terlalu banyak menderita dan siapakah yang dapat
menjamin bahwa seandainya Panembahan Cahya Warastra dapat menduduki tahta
kemudian pemerintahannya akan lebih baik dari sekarang? Aku justru cenderung
melihat ketamakan dan keserakahan lah yang akan muncul ke permukaan dari
masing-masing perguruan yang merasa paling berjasa terhadap Panembahan Cahya
Warastra.”
“Tutup mulut kotormu!” bentak Bango Lamatan menggelegar
memenuhi udara medan pertempuran sehingga membuat orang-orang yang sedang
bertempur di dekat itu terkejut dan merasakan telinga mereka sejenak menjadi
sakit serta rongga dada yang terasa pepat.
Sementara Empu Wisanata yang berdiri paling dekat dengan
Bango Lamatan dadanya bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang
berguguran dari lereng bukit. Namun ketahanan tubuh Empu Wisanata memang luar
biasa serta dengan segera mengerahkan Aji Tameng Wajanya, perlahan tapi pasti
pengaruh himpitan di dalam rongga dadanya itu pun menjadi reda.
“Luar biasa,” desis Empu Wisanata perlahan lahan sambil
tersenyum, “Aji Gelap Ngampar Ki Bango Lamatan benar-benar hampir meremukkan
rongga dadaku. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungiku.”
“Alangkah sombongnya,” geram Bango Lamatan, “Jangan mengira
bahwa aku sudah menunjukkan puncak ilmuku. Aku percaya bahwa Empu masih mampu
memunahkan kekuatan ajiku dengan mudah. Tapi untuk selanjutnya aku tidak akan
bermain main lagi. Aku sudah memberi kesempatan kepada kalian orang-orang
Menoreh untuk bergabung dengan perjuangan kami. Kini kesempatan itu sudah
tertutup. Kalian tinggal meratapi nasib buruk yang akan menimpa Tanah Perdikan
ini.”
Empu Wisanata tidak menjawab. Dilihatnya lawannya itu sudah
mulai menggeser kedudukannya dan siap untuk melontarkan serangan yang pertama.
Demikianlah ketika kaki kanan Bango Lamatan yang terjulur
lurus itu melesat mengarah dada, Empu Wisanata tanpa membuang waktu segera
menggeser tubuhnya miring ke kanan. Ketika serangan lawannya lewat sejengkal di
depan dadanya, dengan kecepatan yang tinggi, tangan kanan Empu Wisanata pun
meluncur menebas tengkuk lawannya.
Tentu saja Bango Lamatan tidak akan membiarkan tengkuknya
menjadi sasaran lawan yang akan dapat berakibat sangat parah. Dengan sedikit
merendahkan kepalanya dan tangan kiri di angkat sejajar kepalanya untuk
melindungi dari kemungkinan adanya serangan susulan, Bango Lamatan mengubah
arah serangannya dengan cara menarik kaki kanannya yang tidak mengenai sasaran
itu sehingga seolah olah tubuhnya telah melambung ke kanan. Ketika Empu
Wisanata masih terkejut dengan gerakan lawannya itu, tiba-tiba dengan
menggunakan tangan kanannya Bango Lamatan memukul ulu hati lawannya.
Empu Wisanata terkejut mendapat serangan susulan yang tiba-tiba
itu. Tidak ada kesempatan baginya untuk mengelak. Yang dapat dilakukannya
hanyalah menggeser kedudukan tangan kirinya merapat tepat di depan ulu hati
sambil mengetrapkan aji tameng waja separo dari kekuatan sebenarnya untuk
sekedar menjajagi kekuatan lawan pada saat benturan pertama.
Benturan itu ternyata telah mengakibatkan Empu Wisanata
terdorong surut beberapa langkah, sehingga akibat dari benturan itu telah
membuat Empu Wisanata terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sebelum
akhirnya dengan cepat dia segera memperbaiki kedudukannya agar tidak sampai
jatuh terjengkang.
Sedangkan Bango Lamatan merasakan pukulannya bagaikan
membentur batu-batu padas di gerojokan. Sejenak pergelangan tangan kanannya
rasa rasanya bagaikan lumpuh dan tidak bertenaga. Dia tidak menyangka sama
sekali bahwa lawannya itu mempunyai benteng pertahanan yang sedemikian kuat
walaupun dirinya pada saat membenturkan kekuatannya tadi juga belum mengerahkan
tenaga sepenuhnya.
Sejenak Empu Wisanata yang terdorong surut beberapa langkah
mencoba untuk menarik nafas sedalam dalamnya agar getar yang memenuhi rongga
dadanya akibat benturan tadi segera mereda. Ketika pandangan matanya menangkap
gerak lawannya yang telah mempersiapkan serangan berikutnya, Empu Wisanata pun
kemudian semakin meningkatkan kekuatan Aji Tameng Wajanya.
Dalam pada itu di tepian Kali Praga, Ki Rangga Agung Sedayu
tampak sedang berjalan mondar mandir di atas tepian yang berpasir dengan
gelisah. Sesekali ditengadahkan wajahnya ke langit. Matahari sudah naik cukup
tinggi dan selama itu belum ada tanda-tanda akan ada penyerbuan dari para
pengikut Panembahan Cahya Warastra.
“Mungkin isyarat yang aku terima salah,” desisnya dalam
hati, “Atau memang aku yang belum mampu untuk menguraikan isyarat yang aku
terima itu sehingga yang muncul dalam hatiku hanyalah sebuah kegelisahan.”
Kembali Ki Rangga Agung Sedayu menengadahkan wajahnya ke
langit yang biru bersih tanpa selembar awan pun yang menggantung. Ketika tanpa
disadarinya dia berpaling ke arah Pandan Wangi yang duduk di atas sebuah batu
hitam sambil menyelonjorkan kedua kakinya ke dalam air Kali Praga yang keruh,
sekejap jantung suami Sekar Mirah itu bagaikan berhenti berdetak.
Alangkah cantiknya Pandan Wangi di usianya yang sudah tidak
muda lagi itu dalam pandangan Ki Rangga Agung Sedayu. Sinar Matahari yang
berkilauan di atas riak-riak air Kali Praga dan memantul ke seraut wajah cantik
yang diam termangu, seolah olah Ki Rangga Agung Sedayu melihat sebuah golek
kencana yang indah namun yang selalu terlunta-lunta dan disia-siakan oleh
pemiliknya.
“Seharusnya Adi Swandaru bersyukur mempunyai istri yang
cantik dan setia,” kembali angan-angan Ki Rangga Agung Sedayu mengembara,
“Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh sudah dalam genggaman
kekuasaannya. Apa lagi yang kurang pada diri Adi Swandaru? Mengapa dia begitu
tega mengkhianati istrinya?”
Lamunan Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menjadi buyar ketika
telinganya yang tajam mendengar desir langkah mendekatinya. Ketika dia
berpaling ke belakang, tampak Pandan Wangi telah berdiri termangu mangu
beberapa langkah saja di belakangnya.
Ketika Ki Rangga Agung Sedayu kemudian memutar tubuhnya
menghadap penuh ke arah Pandan Wangi, tanpa sadar kedua pasang mata itu pun
telah bertatapan disertai dengan degup jantung yang berdentangan seakan akan
dapat merontokkan isi dada.
“Kakang,” tiba-tiba Pandan Wangi berdesis perlahan sambil
melemparkan pandangan matanya ke titik-titik di kejauhan, “Sampai kapan kita
akan menunggu di tepian ini? Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ayah di
Menoreh. Kalau memang diijinkan, aku akan mendahului ke padukuhan induk lewat
jalan memutar. Aku sudah mengenal dengan baik daerah ini sejak aku masih
kanak-kanak, sehingga tidak akan ada kesulitan yang berarti untuk mencari jalan
pulang tanpa harus melewati padukuhan di depan yang telah dikuasai oleh
Panembahan Cahya Warastra.”
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu termenung. Pandan Wangi
memang lahir dan dibesarkan di Menoreh. Kegemarannya pergi berburu semasa dia
telah beranjak dewasa telah menambah wawasannya tentang tanah kelahirannya itu
dari ujung ke ujung. Nyaris tidak ada satu tempat pun yang tidak pernah
dikunjungi Pandan Wangi walaupun hanya sebatas lewat atau mengetahui letak
suatu tempat dari tempat yang lain.
“Wangi,” akhirnya Ki Rangga menjawab dengan suara yang
sareh, “Keadaan sekarang ini sangat gawat. Para pengikut Panembahan Cahya
Warastra telah ada di depan mata kita. Namun tidak menutup kemungkinan mereka
juga tersebar di tempat-tempat yang tidak kita ketahui. Kemungkinan terburuk
dapat saja terjadi pada saat Kau mencari jalan pintas untuk menuju ke padukuhan
induk.” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Aku tahu bagaimana
perasaanmu tentang Ki Gede Menoreh yang sedang sakit. Namun untuk sementara
ini, marilah kita serahkan keadaan Ki Gede kepada Yang Maha Agung. Semoga doa
kita selalu didengar dan kita selalu dalam lindungan dan karuniaNYA.”
Pandan Wangi tampak menggigit bibirnya untuk menahan gejolak
dalam dadanya setiap kali teringat akan Ayahnya. Tanpa sadar ditengadahkan
wajahnya untuk menahan air mata yang hampir saja tumpah. Sejenak ditariknya
nafas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara tepian Kali Praga
yang segar agar perasaan pepat yang ada di dalam dadanya sedikit longgar.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah getar dalam
dadanya mereda, “Bukan maksudku untuk meninggalkan kewaspadaan dan mengabaikan
kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, namun semua itu semata mata karena
terdorong oleh kekhawatiran seorang anak terhadap orang tua satu satunya yang
sedang sakit.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya.
Kemudian sambil mengajak Pandan Wangi duduk di bawah sebatang pohon yang
rindang tidak jauh dari tepian untuk menghindari sinar Matahari yang mulai
terasa menyengat, Ki Rangga berkata perlahan, “Wangi, aku akan berterus terang
kepadamu. Aku mohon Kau menilaiku dengan jujur.”
Pandan Wangi untuk beberapa saat terdiam. Dia tidak
mengetahui kemana arah pembicaraan Ki Rangga Agung Sedayu. Tiba-tiba saja
hatinya menjadi berdebar debar. Kenangannya kembali ke masa bertahun tahun
silam ketika dia masih seorang gadis putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika terjadi pergolakan di tanah kelahirannya yang memaksa dirinya untuk
berdiri berseberangan dengan kakaknya yang sangat dikasihinya, Sidanti.
Kenangan itu tidak akan mungkin terhapus dari ingatan Pandan
Wangi. Bagaimana mungkin dia melupakan peristiwa yang telah mematahkan angan
angannya, bahkan harapannya sebagai seorang gadis terhadap laki-laki yang telah
menarik hatinya?
Masih tergambar jelas dalam benak Pandan Wangi, ketika dalam
sebuah perjalanan berdua, Ki Rangga Agung Sedayu yang pada waktu itu
menggunakan nama Gupita telah mengajaknya berhenti di sebuah bulak yang sepi
kemudian mereka berdua menyusup masuk ke dalam sebuah pategalan untuk
menghindar dari perhatian orang lain yang mungkin tanpa sengaja melewati bulak
itu.
Sikap yang sama kini dilihatnya pada diri Ki Rangga Agung
Sedayu di tepian Kali Praga. Hanya bedanya pada waktu itu harapan Pandan Wangi
sebagai seorang gadis yang telah mengenal Gupita beberapa waktu sempat
melambung tinggi. Pandan Wangi berharap Gupita mendengar jeritan hatinya yang
selalu gelisah dirundung ketidak pastian. Dia benar-benar ingin mendengar dari
mulut Gupita sendiri tentang kepastian hubungan mereka selama itu dalam
hubungan antara seorang gadis dan laki-laki yang sama-sama telah dewasa.
Namun harapan itu ternyata telah hancur bagaikan sebuah
belanga yang jatuh di tanah berbatu batu, hancur berkeping keping. Ternyata
Gupita pada waktu itu sama sekali tidak menyinggung hubungan mereka berdua,
tetapi Gupita justru telah menyediakan dirinya membantu adik seperguruannya
untuk memadukan kedua hati yang sebelumnya tidak pernah bersentuhan sama
sekali.
Tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu yang duduk hanya beberapa
jengkal di sebelahnya berpaling sekilas sambil berkata, “Wangi, akhir-akhir ini
aku digelisahkan oleh suatu keadaan tentang diriku yang aku sendiri kurang
memahami.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil
berpaling ke arah Ki Rangga. Dipandanginya wajah Ki Rangga Agung Sedayu yang
menunduk sambil jari jarinya mempermainkan rerumputan yang ada di depannya.
Wajah itu masih tetap seperti dulu, wajah yang penuh keragu raguan dan
pertimbangan yang terlalu panjang. Namun memang itulah Agung Sedayu yang telah
dikenalnya dulu sampai sekarang.
Karena lama Pandan Wangi tidak menanggapi kata katanya, Ki
Rangga pun kemudian berpaling ke arahnya. Sejenak kembali dua pasang mata itu
bertemu. Entah gejolak apa yang sedang berkecamuk dalam rongga dada mereka
masing-masing. Namun ternyata Ki Rangga Agung Sedayu lah yang segera membuang
pandangannya jauh ke depan, ke arah bulak panjang yang menghubungkan tepian
Kali Praga dengan padukuhan terdekat.
“Mengapa Kau diam saja, Wangi?” bertanya Ki Rangga sambil
tetap memandang ke depan.
Pandan Wangi menarik nafas panjang sambil menggeleng, “Kau
ini dari dulu memang aneh Kakang. Kau belum menceritakan apa yang telah
membuatmu gelisah akan tetapi Kau telah meminta aku untuk menanggapinya.
Bagaimana mungkin?”
“Ah,” Ki Rangga tertawa hambar begitu menyadari
kesalahannya. Katanya kemudian dengan nada yang bersungguh sungguh,
“Akhir-akhir ini aku sepertinya mendapat firasat atau getaran-getaran dari
suatu persoalan yang sedang terjadi jika aku sedang mencoba merenunginya. Namun
aku tidak mengerti bagaimana caranya untuk menguraikan isyarat atau pun
getaran-getaran yang aku terima melalui mata hatiku itu.” Ki Rangga berhenti
sejenak, lalu, “Aku jadi teringat dengan Ki Waskita. Ki Waskita adalah salah
satu dari sekian banyak orang yang dikaruniai kemampuan untuk membaca masa
depan walaupun hanya berupa isyarat yang masih harus diuraikan kembali.
Kadangkala uraian itu mendekati kebenaran atau bahkan salah sama sekali, itu
tergantung dari ketajaman batin seseorang. Apakah pengaruh kemampuan Ki Waskita
itu sekarang telah mulai menular kepada diriku? Bagaimana pun juga, Ki Waskita
adalah guruku yang kedua setelah Kiai Gringsing walaupun aku tidak menerima
tuntunan ilmu langsung darinya. Aku hanya diijinkan untuk membaca kitabnya dan
berusaha memahatkan apa yang tertera dalam kitab itu di dinding hatiku untuk
aku ingat. Sehingga suatu saat ingatan itu dapat aku ungkap kembali untuk
kemudian aku pelajari.”
Pandan Wangi tertegun sejenak. Serba sedikit dia memang
sudah tahu hubungan antara Ki Waskita dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Namun
sejauh itu Pandan Wangi tidak pernah menyangka kalau Ki Waskita itu dapat
dikatakan sebagai guru kedua dari Ki Rangga Agung Sedayu setelah Kiai Gringsing
walaupun menurut pengakuan Ki Rangga, dia hanya diijinkan untuk membaca kitab
Ki Waskita. Namun ternyata seluruh isi kitab itu telah terpahat di dinding
hatinya yang pada suatu saat dapat dipelajari kembali sesuai dengan
keinginannya.
“Kau harus bersyukur, kakang,” perlahan Pandan Wangi
memberikan tanggapan, “Jarang sekali seseorang itu diberi karunia oleh Yang
Maha Pemurah kemampuan seperti itu. Untuk mengasah kemampuan itu diperlukan
waktu yang sangat panjang. Kemampuan itu sangat berhubungan erat dengan
kebersihan dan keluhuran hati seseorang. Aku hanya dapat berpesan, tekunilah
kemampuan itu sambil jangan lupa selalu mensyukuri nikmatNya karena kemampuan
seperti itu nantinya akan sangat banyak menolong sesama dalam kehidupan
bebrayan ini.”
“Kalau aku boleh jujur, Wangi. Sesungguhnya kemampuan
seperti ini sangat menakutkan bagiku. Aku takut jika seseorang yang meminta
pertolongan untuk melihat masa depannya kepadaku nantinya akan menjadi kecewa
setelah mengetahui masa depannya itu menurut isyarat yang aku terima tidak
sesuai dengan cita-cita atau harapannya. Demikian juga jika ternyata aku yang
salah dalam mengartikan isyarat itu. Itu sama saja dengan memberikan harapan
kosong dan menjerumuskan seseorang dalam kebohongan.”
“Bukan begitu Kakang. Sejauh pengetahuanku, Ki waskita tidak
pernah menyatakan dirinya secara mutlak mengetahui masa depan. Hanya
isyarat-isyarat yang masih harus diuraikan dengan cermat. Dan itu tidak pernah
disampaikan secara bulat dan utuh karena apa yang dilihat oleh Ki Waskita hanya
sebagian kecil dari kehidupan seseorang yang itu pun belum tentu dapat
diuraikan dengan jelas dan benar. Selebihnya kemampuan sebenarnya yang dimiliki
oleh Ki Waskita dan telah terbukti banyak membantu orang-orang yang membutuhkannya
adalah kemampuan untuk menangkap getaran-getaran yang ditimbulkan oleh
benda-benda atau apapun yang berhubungan antara satu dengan lainnya. Sehingga
Ki Waskita dapat dikatakan mempunyai kemampuan untuk menemukan barang-barang
yang hilang atau dicuri. Bahkan mungkin kakang masih ingat peristiwa hilangnya
putera satu satunya Ki Waskita, Rudita, yang diculik oleh para pengikut
Panembahan Agung. Ki Waskita dengan tepat dapat memberikan arah kepada pasukan
Mataram yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya dan pasukan Menoreh yang dipimpin
oleh ayah Argapati mengenai letak padepokan Panembahan Agung.”
“Ya, aku masih ingat,” sahut Ki Rangga, “Getaran antara ayah
dan anak akan sangat kuat untuk menuntun arah di mana pada waktu itu Rudita
disembunyikan.”
“Nah, jika demikian. Apalagi yang kakang takutkan? Kakang
tidak usah memperdulikan masa depan, karena masa depan itu memang rahasia Yang
Maha Hidup. Sedangkan kemampuan untuk menangkap getaran dari benda-benda bahkan
orang di sekitar kita itu memang ada ilmunya dan dapat dipelajari.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam untuk
memenuhi rongga dadanya. Pendapat Pandan Wangi itu memang ada benarnya. Namun
persoalan yang sedang melanda hatinya ternyata tidak sesederhana itu.
“Wangi,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka
berdua terdiam, “Aku memang sedang mempelajari salah satu bagian dari kitab Ki
Waskita yang mempelajari tentang getaran benda-benda di sekitar kita. Namun
dalam perkembangannya itulah yang telah menakutkan diriku. Pagi tadi sebelum
matahari terbit, ketika aku sedang merenung dan memikirkan Sekar Mirah,
tiba-tiba saja isyarat itu datang tanpa aku minta. Seolah olah aku melihat ada
darah di mana-mana di sekeliling istriku yang sedang duduk bersimpuh sambil
menggendong bayinya. Aku juga melihat Ki Gede yang sedang menjinjing tombak
pendeknya dengan wajah yang merah membara. Bukankah menurut kabarnya Ki Gede
sedang sakit? Isyarat seperti itulah yang telah menggelisahkan hatiku karena
aku tidak mampu menolak kehadirannya dan juga tidak mampu menguraikannya.”
Tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi menegang begitu mendengar
Ki Rangga menyebut ayahnya dalam isyarat yang telah diterimanya itu. Katanya
kemudian dengan kata-kata yang sedikit bergetar, “Kakang, apakah yang terjadi
pada Ayah Argapati? Mengapa beliau terlihat begitu marah dalam isyarat kakang
itu? Dan bagaimana dengan Sekar Mirah? Mengapa dia bersimpuh dalam genangan
darah?”
“Wangi,” potong Ki Rangga sambil menggeleng gelengkan
kepalanya, “Seperti yang sudah aku katakan tadi. Aku tidak mampu untuk
menguraikan isyarat yang telah aku terima itu. Dan satu lagi yang membuatku
sangat gelisah. Selain Sekar Mirah dan Ki Gede, dalam isyarat itu pun aku
melihat wajah seorang perempuan yang justru sedang tersenyum. Aku benar-benar
tidak mengerti.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan serta merta dia
bertanya, “Siapakah perempuan yang kakang maksud?”
Sejenak Ki Rangga tertegun. Dia menyadari keterlanjurannya
menyebut seorang perempuan dalam isyarat yang diterimanya itu yang belum pernah
dikenal oleh Pandan Wangi.
Namun Ki Rangga sudah tidak mampu lagi untuk mengelak. Maka
jawabnya kemudian dengan kata-kata yang hampir tak terdengar, “Nama perempuan
itu Anjani.”
“Siapa Kakang..? Anjani..? Rasa rasanya nama itu baru aku
dengar,” sergah Pandan Wangi dengan cepat. Kemudian dengan suara yang terdengar
penuh dengan tekanan dan sedikit bergetar dia melanjutkan, “Kakang, aku tidak
tahu siapa perempuan yang bernama Anjani itu. Namun kalau memang perempuan itu
telah menjadi duri dalam keluarga Kakang, aku yang pertama kali akan
menghadapinya. Aku tidak peduli siapa Anjani itu. Tapi yang jelas, aku tidak
rela jika Sekar Mirah sampai diganggunya walaupun hanya seujung rambut. Aku
benar-benar tidak rela.”
Kata-kata Pandan Wangi yang tegas dan jelas itu bagaikan
palu godam yang meremukkan dada Ki Rangga Agung Sedayu. Jauh di lubuk hatinya,
memang tidak ada niat sebiji sawi pun untuk melukai perasaan Sekar Mirah
sehubungan dengan kehadiran Anjani dalam lingkaran kehidupannya. Namun di sisi
lain, Ki Rangga terikat dengan janjinya untuk membawa Anjani ke Menoreh.
“Kakang,” Pandan Wangi meneruskan kata katanya begitu
melihat Ki Rangga Agung Sedayu hanya diam termangu, “Kalau aku boleh tahu,
siapakah sebenarnya Anjani itu? Dan ada hubungan apakah dengan Kakang?”
Sejenak kebimbangan terpancar dari wajah Ki Rangga. Agaknya
memang sudah waktunya bagi Ki Rangga untuk berbagi cerita dengan orang lain,
dalam hal ini adalah Pandan Wangi yang bagi Ki Rangga nantinya akan dapat
membantu menjelaskan perihal Anjani ini kepada istrinya.
Setelah berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, akhirnya
dengan secara singkat Ki Rangga menceritakan perjalanannya ke Panaraga sampai
dengan peristiwa perang tanding dengan murid Ajar Tal Pitu sehingga dia telah
terbebani dengan keberadaan Anjani disisinya. Namun yang membuat Pandan Wangi
benar-benar tidak habis mengerti dengan jalan penalaran Ki Rangga adalah
mengapa Ki Rangga mengusulkan Anjani sebagai taruhan dalam perang tanding itu?
“Kakang,” katanya kemudian, “Mengapa Kakang mengusulkan Anjani
sebagai taruhan?”
“Wangi,” jawab Ki Rangga, “Bukan maksudku untuk mengambil
Anjani dengan sungguh-sungguh. Aku hanya berolok-olok saja pada waktu itu
dengan maksud untuk memancing kemarahan kedua murid Ajar Tal Pitu itu, karena
aku tidak yakin mereka akan berlaku jujur dalam perang tanding itu, dan
terbukti yang terjadi kemudian adalah mereka berdua telah melanggar janji.”
“Apakah Kakang tidak pernah memikirkan akibat yang akan
timbul kemudian dengan meminta Anjani sebagai taruhan?”
“Aku tidak berpikir sejauh itu, Wangi. Aku hanya mempunyai
perhitungan dengan meminta Anjani sebagai taruhan, kedua gurunya akan marah
sehingga sedikit banyak akan mengurangi daya penalaran mereka pada saat
bertempur. Namun yang terjadi diluar perhitunganku adalah Anjani itu sendiri.
Aku menyangka dia akan bela pati terhadap kedua gurunya atau paling tidak akan
menolak dijadikan sebagai taruhan.”
Kembali Pandan Wangi terpekur. Dia dapat mengerti jalan
pemikiran Ki Rangga sejauh itu. Namun sebagaimana Ki Rangga, Pandan Wangi
sendiri pun juga heran dengan kesediaan Anjani untuk dijadikan taruhan dan
bahkan ingin diajak ke Menoreh.
“Dimanakah Anjani sekarang?” pertanyaan itu begitu saja
meluncur dari bibir Pandan Wangi setelah sejenak mereka berdua terdiam.
Untuk beberapa saat Ki Rangga bagaikan membeku mendapat
pertanyaan itu. Namun lambat laun Ki Rangga mampu menguasai dirinya kembali dan
akhirnya menjawab dengan perlahan, “Semalam dia ada di tepian ini.”
“He!’ Pandan Wangi benar-benar terlonjak kaget sehingga
telah bangkit dari tempat duduknya.
Ki Rangga yang melihat Pandan Wangi bangkit dari duduknya
segera berkata dengan sareh, “Duduklah Wangi.”
“Tidak Kakang,” jawab Pandan Wangi tegas, “Mengapa kakang
tidak memberitahukan hal ini kepadaku semalam? Apakah suara tangis perempuan
yang kami dengar semalam itu adalah tangisan Anjani?” Pandan Wangi berhenti
sejenak untuk mengatur pernafasannya yang tiba-tiba memburu. Lalu lanjutnya
kemudian, “Jadi selama ini kakang telah membawa Anjani secara diam-diam sejak
dari Sangkal Putung, tapi mengapa Kakang tidak memberitahukan kepadaku? Apakah
yang sebenarnya telah terjadi diantara kalian berdua? Aku tidak dapat
membayangkan betapa kecewanya Sekar Mirah jika mengetahui hal ini.”
“Wangi,” tiba-tiba Ki Rangga Agung Sedayu bangkit berdiri,
dipandanginya sepasang mata Pandan Wangi yang membara namun di kedua sudut
matanya tampak titik-titik air mulai mengembang. Kemudian katanya dengan nada
yang sangat dalam, “Apakah Kau sudah tidak percaya lagi kepada Kakangmu ini?
Apakah Kau mulai membandingkan diriku dengan adi Swandaru? Tidak wangi, aku
tidak akan melangkah sejauh itu. Aku sangat menyayangi keluargaku. Dan aku siap
berkorban apapun demi untuk kebahagiaan Sekar Mirah.”
Begitu Pandan Wangi mendengar nama suaminya disebut,
tangisnya pun meledak bagaikan bendungan yang pecah diterjang banjir di awal
musim penghujan.
Ki Rangga Agung Sedayu begitu terkejut melihat akibat dari
keterlanjurannya. Dengan tergesa-gesa dia segera berkata dengan nada lembut,
“Wangi, maafkan aku. Bukan maksudku untuk mengungkit kejadian di masa lalu. Aku
mengerti bagaimana perasaan seorang istri jika suaminya telah menduakan
cintanya. Untuk itulah aku benar-benar menjaga jarak terhadap Anjani. Aku akan
sangat bersyukur jika di Menoreh nanti Anjani dapat menemukan masa depannya
yang lebih gemilang.”
Sambil berusaha menahan isak tangisnya, Pandan Wangi mencoba
untuk menelaah kata-kata kakak seperguruan suaminya itu. Dia sadar, tentu Ki
Rangga tidak ingin menyakiti hati Sekar Mirah setelah sekian lama berumah
tangga. Adalah sangat menyakitkan dan tak mungkin akan termaafkan seandainya
benar Ki Rangga telah menjalin hubungan dengan Anjani justru di saat rumah
tangga mereka sedang menyongsong kebahagiaan setelah penantian panjang yang
seolah tak berujung dengan hadirnya buah hati mereka, buah cinta Ki Rangga
Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
“Sudahlah Wangi,” kembali Ki Rangga membujuk Pandan Wangi
untuk menghentikan tangisnya, “Aku sungguh-sungguh sangat menyesal atas
kejadian tadi. Semoga Kau memaafkan aku. Marilah kita lupakan sejenak urusan
pribadi di antara kita. Keselamatan Menoreh sekarang ini memerlukan perhatian
kita.” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak sambil berpaling ke arah Pandan
Wangi yang kelihatannya sudah mulai dapat menguasai dirinya. Lanjutnya
kemudian, “Beberapa saat ketika masih di tepian tadi, aku mencoba menelusuri
gejala yang mulai tampak pada ilmu yang sedang aku tekuni dari kitab Ki Waskita
untuk mencoba melihat apa yang sedang terjadi di padukuhan depan. Masih menurut
getaran isyarat yang aku terima, padukuhan di depan kita itu kelihatannya sudah
dikosongkan beberapa saat yang lalu. Namun aku tidak tahu bagaimana cara
menyampaikan hal ini kepada Ki Patih Mandaraka, karena dasar yang aku gunakan
bukan hasil dari pengamatan prajurit sandi, hanya berdasarkan isyarat yang aku
terima yang kebenarannya masih perlu diuji.”
Mendengar Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan arah
pembicaraan, Pandan Wangi pun dengan sekuat tenaga mencoba untuk menghentikan
tangisnya. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali agar getar-getar di
dalam rongga dadanya mereda, akhirnya Pandan Wangi pun menjawab, “Kakang, benar
atau tidak isyarat yang kakang terima, sebaiknya tetap disampaikan kepada Ki
Patih Mandaraka agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil
keputusan. Sementara itu para prajurit sandi tentu juga tidak akan tinggal
diam. Mereka tentu akan segera melapor jika ada kejadian-kejadian yang perlu
untuk segera ditindak lanjuti.”
Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar saran
Pandan Wangi. Sambil mengangguk anggukkan kepalanya dia menyahut, “Kau benar
Wangi. Seharusnya aku tetap menyampaikan apa yang telah aku terima melalui
getaran isyarat ini walaupun cara penyampaiannya kepada Ki Patih harus berbeda
agar tidak ada kesan seolah olah aku telah mempunyai kemampuan untuk melihat
apa yang tidak dapat dilihat oleh orang kebanyakan. Aku dapat saja menyampaikan
hal ini atas dasar perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan nalar serta
firasat sebagai prajurit yang telah terbiasa dalam medan pertempuran.”
“Ya, kakang. Marilah kita segera menghadap Ki Patih agar
beliau dapat mengambil keputusan yang tepat menghadapi keadaan yang tidak
menentu ini.”
“Marilah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil bangkit berdiri
diikuti oleh Pandan Wangi. Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa menyusuri
tepian Kali Praga yang berpasir lembut menuju ke tempat Ki Patih Mandaraka
beristirahat.
Namun sebelum keduanya sampai di tempat Ki Patih Mandaraka,
mereka telah dikejutkan oleh bunyi derap kuda yang sedang dipacu menuju ke
tepian. Ketika Ki Rangga dan Pandan Wangi kemudian mengarahkan pandangan mata
mereka ke ujung bulak, dari kejauhan tampak seekor kuda sedang dipacu dengan
kecepatan tinggi. Debu pun mengepul tinggi di belakang kaki-kaki kuda itu.
“Apakah yang sebenarnya sedang terjadi?” hampir bersamaan
kedua orang itu berdesis.
Beberapa prajurit yang sedang bertugas jaga segera
berloncatan ke tengah jalan dengan senjata terhunus. Dalam keadaan yang tidak
menentu ini, segala kemungkinan dapat saja terjadi.
Namun para prajurit itu segera menepi begitu melihat
penunggang kuda itu memberikan isyarat dengan lambaian tangan tiga kali
berturut turut yang menandakan bahwa penunggang kuda itu adalah prajurit sandi
yang sedang bertugas mengamati padukuhan di depan.
Para prajurit yang sedang berdiri di sebelah menyebelah
jalan segera menutup hidung sambil memalingkan wajah begitu kuda yang masih
berlari kencang itu melintas di hadapan mereka. Setelah mengurangi laju kudanya
ketika kaki-kaki kuda itu sudah mulai menginjak tanah berpasir, penunggang kuda
yang ternyata adalah salah satu dari prajurit sandi yang sedang bertugas
mengamati keadaan di padukuhan depan itu segera meloncat turun. Seorang
prajurit segera menyambut tali kekang kudanya dan membawa kuda itu menepi.
Dengan tergesa-gesa Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi
segera menyusul ke tempat Ki Patih. Ternyata disitu telah hadir Ki Tumenggung
Tirtayudha dan beberapa perwira yang membawahi pasukan cadangan.
“Kemarilah,” berkata Ki Patih kepada Ki Rangga dan Pandan Wangi
begitu mereka berdua datang mendekat.
Setelah menghaturkan sembah, keduanya pun kemudian duduk di
atas bebatuan yang berserakan di tepian Kali Praga. Sementara prajurit sandi
yang juga telah menghadap Ki Patih telah dipersilahkan untuk menyampaikan laporannya.
“Ampun Ki Patih,” berkata prajurit sandi itu sambil berusaha
mengatur nafasnya, “Menurut pengamatan kami, ternyata pasukan Panembahan Cahya
Warastra telah meninggalkan padukuhan beberapa saat yang lalu. Kami menjumpai
perapian yang masih hangat, bahkan bekas-bekas tempat makanan dan minuman masih
tergeletak si sana sini. Kelihatannya mereka meninggalkan padukuhan itu dengan
tergesa-gesa sehingga tidak sempat membereskan peralatan makan dan minum yang
telah mereka pergunakan.”
Ki Patih Mandaraka tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi hanya dapat saling
berpandangan. Ternyata isyarat yang diterima oleh Ki Rangga itu benar adanya,
Panembahan Cahya Warastra telah meninggalkan padukuhan yang selama ini mereka
tempati.
“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba Ki Tumenggung Tirtayudha berkata
sambil menghaturkan sembah, “Apakah tidak sebaiknya kita segera menyusul para
pengikut Panembahan Cahya Warastra sebelum mereka mencapai padukuhan induk
Menoreh?”
Ki Patih menggeleng, “Kita tidak perlu tergesa-gesa menyusul
mereka. Aku sudah menyiapkan enam puluh ekor kuda yang telah diseberangkan ke
tepian ini beberapa saat setelah tepian ini dapat kita kuasai pagi tadi.” Ki
Patih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Empat puluh ekor kuda dengan
penunggangnya empat puluh prajurit Jalamangkara aku kira sudah cukup untuk
mengejar para pengikut Kecruk Putih itu. Biarkan pasukan Kecruk Putih itu
berbenturan dengan para pengawal Menoreh terlebih dahulu. Kita akan mengejutkan
mereka justru pada saat mereka sedang sibuk menyerang padukuhan induk. Pasukan
berkuda Jalamangkara akan menyerang dari arah belakang dan menghancurkan gelar
yang telah mereka susun. Dengan hancurnya gelar mereka, diharapkan para
pemimpin pasukan lawan akan sulit mengendalikan pasukannya sehingga pada saat
pasukan cadangan Mataram yang berjalan kaki tiba di medan pertempuran, dengan
mudah kita dapat menghancurkan musuh.”
“Ampun Ki Patih, bagaimana dengan kuda-kuda yang lain?”
kembali Ki Tumenggung Tirtayudha bertanya.
“Kau akan memimpin pasukan Jalamangkara itu sendiri,
sedangkan sebagian kuda yang tersisa akan digunakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu
dan kawan kawannya untuk melakukan tugas khusus.”
Terkejut Ki Rangga mendengar titah Ki Patih Mandaraka.
Dengan segera dirangkapkan kedua tangannya sambil berkata, “Ampun Ki Patih,
tugas khusus apakah yang harus hamba emban dan siapa sajakah yang harus
menemani hamba?”
“Ki Rangga,” jawab Ki Patih, “Nanti akan aku sampaikan
setelah pasukan Jalamangkara berangkat.”
Kemudian kata Ki Patih kepada Ki Tumenggung Tirtayudha,
“Berangkatlah! Atur pasukanmu agar tidak terlalu dekat dengan ekor pasukan
lawan. Begitu benturan dengan para pengawal Menoreh terjadi, pasukanmu harus
segera menyerbu ekor dari gelar pasukan lawan sehingga perhatian mereka akan
terpecah.”
“Hamba Ki Patih, ijinkan kami berangkat,” sembah Ki
Tumenggung Tirtayudha sambil mengundurkan diri dari tempat itu untuk
mengumpulkan para prajurit Jalamangkara.
Sepeninggal Ki Tumenggung Tirtayudha, Ki Patih Mandaraka
segera mengajak Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi untuk menghadap Sinuhun
Panembahan Hanyakrawati yang berada di pesanggrahan yang sangat sederhana tidak
jauh dari tempat itu.
Namun sebelum beranjak meninggalkan tempat itu, Ki Patih
telah memberikan beberapa arahan secara singkat kepada para perwira pasukan
cadangan yang hadir di tempat itu.
“Segera kumpulkan para prajurit. Berangkatlah tanpa harus
menunggu aku. Ki Tumenggung Ranakusuma aku minta untuk memimpin pasukan yang
berjalan kaki. Kau dapat memilih perwira pendampingmu. Usahakan jangan terlalu
dekat dengan pasukan Jalamangkara yang sedang menyusul gerak pasukan lawan.
Tugasmu adalah menghancurkan ekor gelar pasukan lawan yang telah terlebih
dahulu diobrak-abrik oleh pasukan berkuda Jalamangkara.” Berkata Ki Patih
memberi arahan.
“Hamba, Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung Ranakusuma sambil
beranjak mengundurkan diri bersama para perwira yang lain.
Sejenak kemudian Ki Patih Mandaraka bersama Ki Rangga Agung
Sedayu dan Pandan Wangi telah menyusuri tepian kali Praga yang berpasir lembut
menuju ke sebuah pesanggrahan yang didirikan sementara untuk tempat
peristirahatan Panembahan Hanyakrawati dan Raden Mas Rangsang.
Setibanya mereka di pesanggrahan yang dijaga kuat oleh para
prajurit kawal istana, Ki Patih Mandaraka segera mengucapkan salam sambil
berdiri di depan tirai yang melindungi pintu masuk ke pesanggrahan.
“Cucunda Panembahan, hamba bersama Ki Rangga Agung Sedayu
dan Pandan Wangi mohon diperkenankan menghadap,” berkata Ki Patih.
“Silahkan Eyang Patih, kami memang sudah menunggu kedatangan
Eyang Patih,” terdengar suara yang bernada dalam dan sangat berwibawa dari
dalam pesanggrahan.
Sejenak kemudian, sambil memberikan isyarat kepada Ki Rangga
dan Pandan Wangi untuk mengikutinya, Ki Patih pun kemudian melangkah masuk
sambil menyingkapkan tirai yang membatasi pintu masuk ke pesanggrahan.
Ketika Ki Rangga dan Pandan Wangi kemudian berjalan
mengikuti Ki Patih masuk ke dalam pesanggrahan, alangkah terkejutnya mereka
berdua terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Ternyata di dalam pesanggrahan itu
selain Panembahan Hanyakrawati dan Raden Mas Rangsang, telah hadir seseorang
yang berpakaian serba putih dengan mengenakan sorban yang berwarna putih pula
sedang duduk dengan penuh wibawa di sebelah kiri Panembahan Hanyakrawati.
Tercekat hati Ki Rangga Agung Sedayu begitu mengenali
siapakah yang duduk di sebelah Panembahan Hanyakrawati itu. Orang itulah yang
telah menemuinya beberapa waktu yang lalu ketika dirinya sedang bertugas di
Panaraga, serta yang menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi dan telah
meninggalkan secarik kain gringsing peninggalan gurunya kepada ki Dukuh Merjan.
Dengan tergopoh-gopoh ki Rangga dan Pandan Wangi pun
kemudian mengikuti Ki Patih menyampaikan sembah sebelum akhirnya keduanya duduk
terpekur di belakang Ki Patih Mandaraka.
“Eyang Patih,” bersabda Panembahan Hanyakrawati setelah
ketiga orang itu duduk, “Aku tidak bisa mengikuti gerakan pasukan Mataram
sampai ke padukuhan induk Menoreh sehubungan dengan berita yang telah kita
terima pagi tadi. Semalam Kadipaten Panaraga telah jatuh dan Adimas Pangeran
Jayaraga telah menyerah di bawah kekuasaan Adimas Pangeran Pringgalaya.”
Panembahan Hanyakrawati berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Sebelum
berangkat melawat ke Panaraga, aku memang telah berpesan kepada Adimas Pangeran
Pringgalaya untuk membujuk Adimas Pangeran Jayaraga agar mengurungkan niatnya
untuk memberontak. Namun jika hal itu sudah tidak memungkinkan lagi, aku telah
memberikan kuasa kepada Adimas Pangeran Pringgalaya sebagai duta pamungkas.”
Ki Patih Mandaraka mengangguk anggukkan kepalanya. Memang
tadi pagi ketika Ki Patih menghadap ke pesanggrahan, ternyata Panembahan
Hanyakrawati telah kedatangan seorang tamu yang sangat dihormati, seorang Wali
yang waskita yang membawa berita tentang keadaan Panaraga. Sementara Ki Rangga
Agung Sedayu dan Pandan Wangi menjadi berdebar debar begitu mendengar berita
bahwa Kadipaten Panaraga telah jatuh.
“Bagaimanakah dengan orang yang selama ini menyebut dirinya
sebagai Pangeran Ranapati?” bertanya Ki Rangga dalam hati, “Apakah dia ikut
menjadi korban peperangan di Panaraga?”
“Ampun Cucunda Panembahan,” sembah Ki Patih kemudian
membuyarkan lamunan Ki Rangga, “Bagaimanakah nasib yang menimpa Cucunda
Pangeran Jayaraga setelah Panaraga jatuh di bawah kekuasaan prajurit Mataram?”
Sejenak Panembahan Hanyakrawati berpaling ke arah tamunya.
Ketika orang itu tersenyum sambil mengangguk, Panembahan Hanyakrawati pun
kemudian melanjutkan sabdanya, “Adimas Pangeran Jayaraga telah menuai hasil
dari perbuatannya. Untuk waktu yang tidak terbatas biarlah Adimas merenungi
kesalahannya di masjid watu yang berada di Nusa Kambangan.”
Suasana sejenak menjadi sepi. Masing-masing tenggelam dalam
angan angannya. Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi yang tidak terlibat
secara langsung pertikaian antara keluarga istana itu dapat merasakan, betapa
pertikaian dalam keluarga hanya akan menyebabkan semakin ringkihnya kekuatan
Mataram itu sendiri. Kekuatan yang ada diantara para putra Panembahan Senopati
yang seharusnya dapat bersatu dan semakin memperkokoh keberadaan Mataram di
mata kadipaten-kadipaten bawahan Mataram serta kerajaan-kerajaan lain yang
belum bersatu di bawah panji-panji kebesaran Mataram, kini justru semakin
memperburuk citra Mataram itu sendiri karena ulah para generasi penerusnya.
“Ampun Cucunda Panembahan,” sembah Ki Patih setelah untuk
beberapa saat mereka terdiam, “Hamba telah membawa Ki Rangga Agung Sedayu
menghadap untuk menunggu titah dari Cucunda Panembahan.”
Panembahan Hanyakrawati sejenak menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Ki Rangga Agung Sedayu yang duduk sambil menundukkan kepalanya
dalam-dalam beberapa langkah di belakang Ki Patih Mandaraka bersebelahan dengan
Pandan Wangi. Sabdanya kemudian, “Ki Rangga Agung Sedayu, aku meletakkan
kepercayaan di atas pundakmu untuk melakukan tugas khusus ini. Mungkin Eyang
Mandaraka belum menyampaikan secara rinci tugas khusus yang harus Kau emban,
namun sebagai prajurit yang telah matang ditempa dalam segala medan, aku
percaya Kau akan dapat melaksanakan tugas ini dengan baik.”
Jantung Ki Rangga Agung Sedayu rasa rasanya telah berdentang
semakin kencang. Dia belum dapat membayangkan tugas khusus apakah yang harus
diembannya. Ketika tanpa disadarinya terbayang seraut wajah cantik istrinya
namun yang tampak sedang duduk termenung dengan wajah yang murung, hatinya pun
bagaikan teriris sembilu, pedih tak terperikan.
“Aku belum sempat menengok anak istriku walaupun hanya
sekejab, dan kini sudah mendapatkan tugas baru yang entah sampai kapan aku
dapat menyelesaikannya,” desah Ki Rangga dalam hati. Namun sebagai prajurit,
dalam keadaan bagaimanapun juga dia harus selalu siap mengemban tugas, terlepas
dari perasaan senang atau pun tidak senang, karena bagi seorang prajurit
sejati, mendapatkan tugas dari atasan apalagi langsung dari Panembahan
Hanyakrawati adalah suatu bentuk dari kehormatan.
“Ki Rangga,” sabda Panembahan Hanyakrawati membuyarkan
lamunannya, “Tugas ini harus secepatnya kau laksanakan. Kau boleh membawa kawan
sekiranya memang kau perlukan dalam perjalanan. Ketahuilah, dalam perang
Panaraga melawan Mataram, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati telah
lolos dari pertempuran begitu Adimas Pangeran Jayaraga menyerah. Tidak ada
seorang pun yang mengetahui keberadaannya sekarang. Tugasmu adalah melacak
jejak pelariannya dan sekaligus menangkapnya, hidup atau mati, karena tidak
menutup kemungkinan dia akan menghimpun kekuatan lagi untuk mewujudkan
impiannya merebut tahta. Selama orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati
itu masih hidup, dia akan menjadi duri dalam pemerintahan Mataram.”
“Hamba Sinuhun Panembahan,” sembah Ki Rangga, “Hamba akan
melaksanakan tugas yang dibebankan ke pundak hamba dengan sepenuh hati. Namun
jikalau hamba diperkenankan mengajukan permohonan, adakah berita dari para
prajurit sandi yang pernah melihat Pangeran Ranapati di suatu tempat atau suatu
daerah yang kira-kira dapat hamba jadikan sebagai pancadan untuk memulai tugas
ini?”
Mendengar pertanyaan Ki Rangga Agung Sedayu, tanpa
sesadarnya Panembahan Hanyakrawati telah berpaling ke arah Wali yang waskita
yang selama ini hanya diam membisu.
“Ki Rangga,” tiba-tiba Wali yang waskita itu memulai
pembicaraan, “Dalam dirimu telah berkumpul segala kemampuan baik olah kanuragan
maupun olah kajiwan, baik itu yang kau sadari maupun yang masih belum kau
sadari sebagai akibat atas ketekunanmu dalam memperdalam sebuah ilmu.
Kembangkanlah ilmu itu, ilmu yang mampu membaca getaran antara hubungan manusia
dengan alam sekitar. Getaran yang mampu meraba keberadaan seseorang atau sebuah
benda dalam hubungannya dengan orang atau benda yang lain yang mempunyai
keterikatan secara tidak kasat mata. Kemampuan itu memang masih belum dapat kau
kendalikan sepenuhnya menurut naluri keinginanmu. Kemampuan itu datang sendiri
secara tiba-tiba tanpa kau memintanya. Atau bahkan sebaliknya, ketika kau
dengan sengaja mencoba mengetahui rahasia di balik sebuah peristiwa,
isyarat-isyarat itu justru menjadi kabur.”
“Hamba Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga sambil
membungkukkan badannya dalam-dalam, “Getaran-getaran itu memang datang tanpa
hamba minta, namun ketika dengan sengaja hamba memusatkan nalar dan budi untuk
memperjelas getaran itu, justru getaran itu semakin melemah bahkan kemudian
menghilang sama sekali.”
Kanjeng Sunan tersenyum, katanya kemudian, “Itu pertanda
bahwa kau memerlukan ketajaman mata hatimu dan kebersihan jiwamu untuk menerima
karuniaNya yang tak terhingga. Sebagaimana apabila kau ingin bercermin pada
hatimu, kau harus membuat cermin itu bersih dan jernih sehingga bayangan yang
tampak nantinya adalah kenyataan yang memang seharusnya ada sehingga kau tidak
akan salah dalam membaca isyarat yang kau terima.”
“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Jika
hamba diperkenankan bertanya, bagaimanakah caranya agar hati yang ibaratnya
sebagai cermin itu bisa bersih dari noda dan dapat memantulkan bayangan
sebagaimana mestinya?”
Kanjeng Sunan tersenyum mendengar pertanyaan Ki Rangga,
pertanyaan yang sama yang sudah sekian puluh kali ditanyakan oleh orang yang
berbeda beda.
Sambil beringsut setapak, Kanjeng Sunan menjawab pertanyaan
Ki Rangga, “Ketahuilah Ki Rangga, setiap kali manusia berbuat kesalahan
melanggar batas-batas peraturan yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung,
baik peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Penciptanya maupun
hubungan dengan sesamanya, maka akan timbul sebuah titik noda hitam yang
disebut “RONA” dalam hatinya. Demikian seterusnya apabila orang tersebut terus
berbuat pelanggaran dan tidak ada niat dalam hatinya untuk bertaubat, noda
hitam yang bernama rona tersebut akan semakin banyak dan akan menutupi seluruh
hatinya. Namun jika dia menyadari kesalahannya dan bertaubat dengan
sungguh-sungguh, maka akan hilanglah satu titik noda dari hatinya, demikian itu
seterusnya sampai hatinya kembali bersih dan jernih.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya,
sementara Pandan Wangi yang duduk di sebelahnya hanya dapat mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Baginya keterangan dari orang yang disebut Kanjeng Sunan
itu sangat sederhana dan mudah dimengerti, namun dalam pelaksanaannya sungguh
sangat sulit dan membutuhkan kesungguhan hati. Benar-benar harus bisa
menjauhkan diri dari segala perasaan dendam, iri, dengki dan segala macam
penyakit hati yang justru biasanya sangat akrab dalam kehidupan keseharian
dengan manusia.
“Baiklah,” sabda Panembahan Hanyakrawati mengakhiri
pertemuan itu, “Aku ijinkan Eyang Patih untuk mengundurkan diri bersama Ki
Rangga dan Pandan Wangi. Aku yakin Eyang Patih pasti dapat mengatasi
ontran-ontran yang sedang berlangsung di Menoreh. Aku masih ingin tinggal
sejenak di pesanggrahan ini bersama Kanjeng Sunan. Aku mohon sudilah kiranya
Kanjeng Sunan memberikan sedikit wejangan kepada Rangsang sebagai bekal masa
depannya.”
Kanjeng Sunan hanya tersenyum sambil mengangguk angguk saja
menanggapi permintaan Panembahan Hanyakrawati. Sementara Ki Patih Mandaraka
beserta Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi segera beringsut mundur sambil
menghaturkan sembah.
“Kami mohon diri Cucunda Panembahan,” berkata Ki Patih sambil
bergeser mundur. Kemudian lanjutnya, “Kami juga mohon diri dan mohon doa restu
kepada Kanjeng Sunan, semoga Yang Maha Agung selalu merestui setiap niat baik
langkah kita dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian di seluruh wilayah
Mataram.”
Hampir bersamaan Panembahan Hanyakrawati dan Kanjeng Sunan
menganggukkan kepala.
Sepeninggal ketiga tamunya, kembali Panembahan Hanyakrawati
mengulangi permintaannya kepada Kanjeng Sunan untuk memberikan sedikit wejangan
sebagai bekal kepada Raden Mas Rangsang yang telah dinobatkan sebagai Putra
Mahkota.
“Raden,” berkata Kanjeng Sunan kepada Raden Mas Rangsang
yang sedari tadi hanya duduk terpekur sambil menundukkan wajahnya, “Membangun
sebuah negara adalah tidak mudah. Ada tujuh pilar yang dapat dijadikan sebagai
penyangga tegaknya sebuah negara dan pilar-pilar itu harus saling memperkuat
antara satu dengan yang lainnya.” Sejenak Kanjeng Sunan berhenti. Kemudian
lanjutnya, “Pilar-pilar itu merupakan perwujudan dari sifat-sifat manusia yang
apabila sifat-sifat itu melekat pada segolongan orang-orang yang tepat,
pengaruhnya akan sangat luar biasa terhadap kehidupan bebrayan ini.”
Raden Mas Rangsang untuk beberapa saat tertegun, namun
kemudian dengan setengah ragu dia bertanya, “Ampun Kanjeng Sunan, apakah
ketujuh pilar yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat manusia itu harus
melekat pada diri satu orang saja atau segolongan orang saja?”
“O, tidak Raden,” sahut Kanjeng Sunan cepat, “Masing-masing
sifat mempunyai kekhususan yang juga sebaiknya dimiliki oleh orang-orang khusus
saja.”
“Apakah dengan demikian tidak menutup kemungkinan seseorang
mempunyai beberapa sifat yang dimaksud?” Panembahan Hanyakrawati ternyata telah
ikut berbicara.
Kanjeng Sunan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan. Setelah
terlebih dahulu menarik nafas dalam-dalam, Kanjeng Sunan pun memulai
wejangannya, “Kemungkinan itu memang ada, namun sebenarnyalah masing-masing
sifat itu saling terkait dan memperkuat dalam membangun kejayaan sebuah
negara,. Sifat yang pertama adalah adil. Sifat adil ini dapat melekat pada diri
siapa saja, orang kaya, orang miskin, orang kebanyakan atau pun orang yang
berpengaruh. Namun sifat adil ini manfaatnya akan sangat terasa bagi kehidupan
bebrayan apabila melekat pada diri seorang penguasa, seorang raja. Maka pilar
pertama yang akan menyangga sebuah negara yang kuat, adil dan makmur adalah
seorang raja yang adil.”
Panembahan Hanyakrawati dan Raden Mas Rangsang tampak
mengangguk anggukkan kepala mendengar uraian Kanjeng Sunan. Memang seorang Raja
yang adil pengaruhnya akan sampai ke pelosok negeri jika dibandingkan dengan
orang kebanyakan yang mempunyai sifat adil, pengaruhnya mungkin hanya sebatas
di sekitar lingkungan tempat tinggalnya saja.
“Sifat kedua adalah dermawan,” Kanjeng Sunan melanjutkan
kata katanya, “Seseorang yang mempunyai sifat dermawan itu sangat baik dan
dianjurkan. Namun apalah artinya jika sifat itu melekat pada diri kawula alit
yang serba kekurangan. Memang tidak menutup kemungkinan seorang yang miskin
mempunyai sifat dermawan, namun dalam kehidupan keseharian dia akan sangat
sulit untuk menyalurkan sifat dermawannya justru untuk kehidupannya saja sangat
sulit. Sebaliknya akan sangat terasa manfaatnya jika sifat dermawan ini melekat
pada diri orang-orang yang kaya raya, para pengusaha sehingga sebagian hartanya
akan sangat bermanfaat membantu sesama manusia yang hidup serba kekurangan.
Kepedulian mereka sangat diharapkan untuk meringankan beban hidup yang semakin
hari terasa semakin berat. Mereka dengan sadar akan mengeluarkan sebagian dari
harta mereka sebagai haknya kaum papa sebagaimana yang selalu dianjurkan oleh
Junjungan kita. Inilah pilar kedua, orang-orang kaya yang dermawan yang dapat
membantu sebagai penyandang dana dalam meringankan beban negara yang
berkewajiban menyantuni kaum papa.”
Sejenak suasana menjadi hening, sementara Matahari telah
memanjat langit semakin tinggi, udara di sekitar tepian kali Praga pun mulai
terasa panas.
“Sifat ketiga adalah mutawarik atau hati-hati, yang dimaksud
disini adalah hati-hati dalam menyampaikan pendapat atau petunjuk untuk selalu
ditimbang untung ruginya serta kemanfaatannya bagi kemaslahatan umat,” Kanjeng
Sunan berhenti sejenak, lalu, “Sifat ini sebaiknya dimiliki oleh para ulama,
para Kyai dan para sesepuh serta yang dituakan dalam masyarakat. Ingatlah, para
kawula akan sangat patuh dan taat manakala ucapan itu keluar dari lesan seorang
ulama atau Kyai. Keberpihakan seorang ulama terhadap golongan tertentu atas
dasar pertimbangan apapun yang ujung ujungnya hanya mengedepankan urusan
duniawi, sebaiknya dihindarkan jauh-jauh, karena akan sangat mempengaruhi
pendapat maupun fatwa yang akan diucapkan oleh seorang ulama terhadap
permasalahan yang sedang timbul di masyarakat, padahal ucapannya tersebut akan
dianut oleh umatnya. Ini akan sangat berbahaya dan dengan mudah akan memicu
perselisihan antara para kawula sehingga dapat mengganggu ketentraman dan
kedamaian yang dengan susah payah selalu kita pupuk dan kita lestarikan. Jadi
pilar ketiga adalah para ulama atau Kiai yang sangat hati-hati dalam
menyampaikan pendapatnya dan petunjuk petunjuknya yang berhubungan dengan
kemaslahatan umat.”
Panembahan Hanyakrawati mengerutkan keningnya. Agaknya masih
ada persoalan yang mengganjal hatinya, maka dengan sedikit ragu-ragu putera
Panembahan Senapati itu bertanya, “Kanjeng Sunan, akhir-akhir ini banyak para
ulama yang bersilang pendapat dalam memutuskan suatu perkara, bagaimanakah
seharusnya para umat menyikapi hal ini? Sekarang ini para umat terpecah belah
menjadi beberapa golongan sehingga dengan sangat mudah akan saling dibenturkan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan sengaja mengail di air
keruh.”
Kanjeng Sunan menggeleng gelengkan kepalanya sambil berdesis
perlahan, “Memang saat ini perkembangan jaman sudah sedemikian parahnya dalam
menuju akhir jaman. Banyak orang yang merasa dirinya lebih cakap dan bijak dari
pada Kanjeng Nabi Junjungan kita. Terbukti mereka lebih mengedepankan akal dan
nalar manusia yang sangat dangkal ketika memutuskan suatu masalah dari pada
berkiblat pada pemahaman terhadap Kitab Suci dan Sunnah sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Junjungan kita. Mereka dengan beraninya menyelisihi isi Kitab
Suci maupun Sunnah dengan dasar akal pikiran mereka sendiri. Ini sangat
mengkhawatirkan bagi pemahaman para generasi muda yang kurang tekun dalam
belajar mendalami agama.”
Hampir bersamaan Panembahan Hanyakrawati dan Raden Mas
Rangsang mengangguk anggukkan kepala mereka. Dalam benak mereka terbayang
berbagai permasalahan yang timbul silih berganti dan itu semua diperlukan
dukungan dan kerjasamanya antara pilar-pilar yang sebagian telah diuraikan oleh
Kanjeng Sunan.
“Pilar yang keempat adalah sifat sabar,” berkata Kanjeng
Sunan selanjutnya, “Kira-kira segolongan manusia manakah yang sebaiknya
memiliki sifat sabar ini, Raden?”
Mendapat pertanyaan dari Kanjeng Sunan, sejenak Raden Mas
Rangsang berpikir. Sejurus kemudian barulah dia menjawab, “Ampun Kanjeng Sunan,
sifat sabar itu baik untuk semua orang, karena menjadi orang yang sabar akan
selalu merasa dekat dan berharap akan selalu mendapat bimbingan serta petunjuk
dari Yang Maha Agung.”
Kanjeng Sunan tersenyum mendengar jawaban Raden Mas Rangsang
ini. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah Panembahan Hanyakrawati yang juga
sedang tersenyum ke arahnya.
“Raden,” berkata Kanjeng Sunan, “Pemikiran Raden tidak
salah. Sifat sabar memang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang ingin
selalu dekat dengan Penciptanya. Namun dalam hubungannya dengan tegak dan
berhasilnya dalam membangun sebuah negara dan bangsa, sifat sabar ini sebaiknya
melekat pada diri kaum duafa, kaum buruh, kaum miskin, para kawula alit yang
hidupnya masih dikatakan belum sejahtera.”
Kerut merut di dahi Raden Mas Rangsang semakin dalam.
Tiba-tiba seolah olah begitu saja kata katanya meluncur dari bibirnya,
“Bagaimana mungkin mereka bisa bersabar jika janji-janji dari para penguasa dan
mereka yang bertanggung jawab atas kesejahteraan kawula alit tidak pernah
terwujud? Sudah sewajarnyalah jika mereka kemudian mbalela dengan segala bentuk
keonaran dan keributan yang mereka ciptakan dengan tujuan menarik perhatian
para penguasa dan para nayaka praja yang bertanggung jawab atas masa depan dan
nasib mereka.”
“Untuk itulah sifat sabar itu harus benar-benar melekat pada
diri mereka. Mereka harus sabar dalam menjalani kehidupan ini. Mereka harus sabar
dan percaya kepada para penguasa maupun nayaka praja yang selalu memperjuangkan
nasib mereka, sehingga mereka tidak ngongso-ongso dan nggege mongso. Minta
semua kesulitan mereka segera teratasi, segera hidup enak kepenak seperti
orang-orang kaya, padahal semua itu membutuhkan waktu. Dengan mengedepankan
sifat sabar dalam menjalani kehidupan ini, mereka telah membantu para penguasa
dan para nayaka praja untuk bekerja dengan tenang dan tidak terganggu dengan
segala bentuk keributan, segala bentuk ketidak percayaan mereka kepada yang
sedang memperjuangkan nasib mereka. Tidak ada lagi buruh yang meminta upah
melebihi kemampuan juragannya, atau bahkan para buruh itu menentukan sendiri
upahnya tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kerja dan kemampuan juragan
mereka. Mereka juga tidak pernah mau berpikir, sudah sejauh manakah kemanfaatan
yang mereka berikan kepada juragannya itu.”
“Ampun Kanjeng Sunan,” Raden Mas Rangsang menyela, “Tidak
sedikit para juragan yang bertindak semena-mena terhadap kaum buruh sehingga
mereka hanya mendapatkan sedikit dari apa yang telah mereka kerjakan untuk para
juragan itu. Bukankah itu hak mereka untuk menuntut perbaikan nasib?”
“Raden,” jawab Kanjeng Sunan dengan sareh, “Sudah aku
katakan pada awal-awal pembicaraan kita, bahwa masing-masing pilar ini harus
saling mendukung dan memperkuat. Para orang kaya atau pengusaha harus melekat
pada mereka sifat dermawan. Jika para pengusaha itu sudah menetapi sifat
dermawannya, apakah masih ada para buruh yang akan mbalelo, kurang bersyukur
dengan upah yang telah diterima dan selalu minta melebihi kemampuan juragan
mereka?”
Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Memang segala
sesuatu itu pasti ada ujung pangkalnya di dunia ini. Segala permasalahan dapat
diselesaikan jika kita mau duduk bersama dan mencari ujung dan pangkal setiap
persoalan yang timbul dengan runtut dan niat hati yang bersih.
“Sifat kelima adalah sifat malu,” Kanjeng Sunan melanjutkan,
“Golongan manakah menurut panggraita Raden yang sebaiknya memiliki sifat malu
ini?”
Raden Mas Rangsang sejenak memandang Ayahandanya, namun
Panembahan Hanyakrawati hanya tersenyum dan kelihatannya menyerahkan jawabannya
kepada putranya yang telah diangkat menjadi Putra Mahkota itu.
Akhirnya dengan nada sedikit ragu Raden Mas Rangsang menjawab,
“Mohon ampun Kanjeng Sunan, menurut panggraita hamba, sifat malu itu dimiliki
hampir semua orang walaupun tingkatan serta pengetrapannya dalam keadaan yang
berbeda beda dan juga menurut keadaan yang berlaku pada waktu itu.”
Kanjeng Sunan tersenyum sambil mengangguk angguk, “Sifat
malu ini sebaiknya melekat pada kaum perempuan. Mereka harus memiliki rasa malu
yang melebihi dari kaum laki-laki. Sifat malu yang memang sudah menjadi kodrat
perempuan sejak perempuan itu diciptakan. Sesuai dengan sabda Kanjeng Nabi
Junjungan kita bahwa perempuan itu adalah aurat, apabila dia keluar rumah maka
syetan akan menghias-hiasinya. Oleh karena itu para perempuan muslimah
diwajibkan untuk selalu menjaga auratnya dengan menutupinya sesuai yang telah
diwajibkan baik dalam kitab suci maupun sunnah sehingga mereka akan menjadi
perempuan-perempuan yang terjaga, dan kelak jika tiba saatnya untuk menurunkan
generasi penerus, akan menurunkan generasi yang tangguh dan tanggon dalam
menghadapi segala situasi yang menerpa negeri ini. Mereka adalah ibu dari anak
bangsa. Pada diri kaum perempuanlah terletak masa depan bangsa ini. Jika mereka
tidak dapat menjaga budi pekerti mereka sendiri, bagaimana mereka akan menjaga
budi pekerti keturunannya, bagaimana mereka akan mewariskan sifat-sifat luhur
itu kepada anak anaknya?”
Sejenak suasana menjadi hening. Sesekali hanya terdengar
suara helaan nafas Raden Mas Rangsang yang kelihatannya begitu tersentuh dengan
nasehat dari Kanjeng Sunan. Sementara Panembahan Hanyakrawati sesekali tersenyum
kecil sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Panembahan Hanyakrawati
benar-benar gembira dengan perkembangan jiwani dari Putra Mahkota ini dan
harapan seluruh kawula Mataram untuk menuju negeri yang aman dan makmur seolah
olah sudah di depan mata begitu melihat Putra Mahkota yang sangat mereka cintai
dan sekaligus sangat mereka banggakan itu semakin hari terlihat semakin dewasa,
santun dan selalu patuh pada ajaran agama serta telah tumbuh pula sifat-sifat
yang bijaksana.
“Sifat keenam adalah sifat Ksatria atau Prawira dalam
menghadapi situasi yang sesulit apapun bahkan yang dapat berujung pada maut,”
Kanjeng Sunan melanjutkan nasehatnya, “Sifat ini hendaknya dimiliki oleh para
Nayaka Praja, para pembantu Penguasa atau Raja, baik yang berada di pusat pemerintahan
maupun yang ada di seluruh pelosok negeri. Mereka dituntut untuk memiliki jiwa
ksatria atau perwira dalam melaksanakan tugas tugasnya melayani para kawula.
Kalau mereka berbuat kesalahan, harus berani bertanggung jawab sebagai bentuk
nyata atas kepercayaan rakyat yang diberikan kepada mereka untuk mengurusi
segala keperluan dalam kehidupan bebrayan ini. Jangan saling melempar kesalahan
atau pun mencari cari alasan untuk menutupi kesalahan yang telah mereka perbuat
baik sengaja maupun tidak disengaja. Manusia memang sangat akrab dengan
kesalahan, namun sebaik baiknya manusia yang berbuat salah adalah mereka yang
berani mengakui kesalahannya dan kemudian bertobat.”
“Yang terakhir adalah sifat pemberani. Ingat bahwa seseorang
yang mempunyai sifat berani itu tidak akan mempengaruhinya sehingga akan dapat
memperpendek umurnya. Keberaniannya dalam mengungkapkan kebenaran, serta
mendobrak hal-hal yang sekiranya tidak sesuai baik ditinjau dari segi tuntunan
ajaran agama maupun aturan-aturan yang berlaku di negeri itu, tidak akan
membuat dirinya mendapatkan banyak musuh sehingga kemudian dikhawatirkan akan
mempercepat kematiannya. Demikian juga sebaliknya, jika seseorang lebih memilih
menjadi penakut, sifat penakut ini pun tidak akan memperpanjang umurnya.”
Panembahan Hanyakrawati agaknya sangat tertarik dengan sifat
yang ketujuh ini sehingga beliau telah mengungkapkan sebuah pernyataan, “Ma’af
Kanjeng Sunan, alangkah senangnya jika semua kawula di Mataram ini mempunyai
sifat pemberani. Namun agaknya sifat yang sedemikian ini menurut panggraitaku
lebih condong dimiliki oleh kaum muda, para pemuda yang darahnya masih
menggelegak dan panas. Semangatnya masih tinggi dalam membangun negeri mereka.”
“Sinuhun benar,” jawab Kanjeng Sunan, “Sifat pemberani ini
hendaknya melekat pada diri kaum muda yang masih kuat jiwa dan raga mereka
untuk mengawal negeri ini. Membuat kemajuan-kemajuan serta
pembaharuan-pembaharuan di segala bidang dalam rangka menuju kehidupan yang
lebih baik.”
Kembali suasana menjadi hening. Masing-masing telah
tenggelam dalam angan-angan mereka. Tampak Raden Mas Rangsang sedang meresapi
apa yang telah disampaikan oleh Kanjeng Sunan.
“Nah, Raden Mas Rangsang,” berkata Kanjeng Sunan kemudian,
“Ketujuh pilar yang akan membantumu kelak dalam memimpin negeri ini adalah;
Raja yang adil yaitu dirimu sendiri; para pengusaha atau orang-orang kaya yang
dermawan yang sangat peduli dengan nasib kawula alit; para ulama dan sesepuh
yang sangat mutawarik atau hati-hati dalam menyampaikan hukum dan fatwanya,
tanpa terpengaruh oleh gejolak dunia; para kaum miskin yang sabar dan menaruh
kepercayaan yang tinggi kepada pemerintahan yang ada bahwa pemerintah pasti
memikirkan nasib mereka dan berupaya dengan segala kemampuan yang ada untuk
menaikkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka; para perempuan yang terjaga
sehingga dapat menurunkan generasi bangsa yang tangguh dan tanggon; para nayaka
praja yang bekerja semata mata mengabdi kepada rakyat dan negara sehingga
setiap jengkal perbuatan mereka dapat dipertanggungjawabkan; dan yang terakhir
adalah para pemuda yang berani menyampaikan kebenaran, berani membuat
perubahan-perubahan yang sekiranya dapat memajukan tatanan negeri ini tanpa
harus mengorbankan tuntunan dan ajaran agama serta sendi-sendi kehidupan.”
Raden Mas Rangsang mengangguk anggukkan kepalanya, katanya
kemudian, “Terima Kasih Kanjeng Sunan, semoga nasehat Kanjeng Sunan ini akan
bermanfaat dan dapat hamba jadikan pedoman untuk bersama sama dengan seluruh
kawula Mataram menuju kehidupan yang lebih baik.”
Kanjeng Sunan tidak menjawab hanya tersenyum kecil sambil
mengangguk angguk. Lalu katanya kemudian kepada Panembahan Hanyakrawati,
“Panembahan, aku mohon pamit. Semoga pertemuan kita kali ini membawa manfaat
dan barokah.”
“Aamiin,” hampir bersamaan Raden Mas Rangsang dan
Ayahandanya menyahut.
Demikianlah, setelah mengucapkan salam perpisahan, Kanjeng
Sunan pun kemudian berdiri dan keluar dari pesanggrahan yang sangat sederhana
di tepi kali Praga itu.
Sepeninggal Kanjeng Sunan, Raden Mas Rangsang segera keluar
untuk mengatur para prajurit pengawal Raja untuk mempersiapkan rombongan
Panembahan Hanyakrawati yang akan kembali ke ibu kota Mataram.
********
Dalam pada itu, Matahari sudah hampir sampai ke puncaknya.
Sinarnya yang membara seakan akan membakar dan menghanguskan permukaan bumi.
Namun pertempuran di padukuhan induk Menoreh itu seolah olah tidak terpengaruh
oleh teriknya sinar Matahari. Senjata-senjata yang berkilat kilat tertimpa
sinar Matahari dan terayun ayun dengan ganas terlihat sangat mendebarkan
jantung. Suara dentang senjata beradu ditingkah dengan teriakan, umpatan dan
sumpah serapah serta jerit kesakitan hampir mewarnai seluruh medan pertempuran.
Sedangkan korban yang jatuh di kedua belah pihak sudah tak terhitung lagi
jumlahnya. Sementara Ki Jayaraga yang diberi kepercayaan oleh Ki Gede Menoreh
untuk memimpin pasukan pengawal Menoreh mulai berpikir untuk segera menurunkan
pasukan cadangan.
Ketika kemudian Ki Jayaraga memberi isyarat kepada pengawal
penghubung yang bertempur berpasangan tidak jauh dari tempatnya. Pengawal
penghubung itu pun segera meloncat kebelakang untuk mengambil jarak. Lawannya
memang mencoba untuk memburunya, akan tetapi seorang pengawal yang bertempur
berkelompok telah meninggalkan kelompoknya dan menggantikan kawannya yang telah
dipanggil Ki Jayaraga.
Ki Gede Ental Sewu yang melihat gelagat itu segera
menghentakkan kemampuannya untuk menghalang-halangi kesempatan Ki Jayaraga
memberikan perintah kepada pengawal penghubung itu. Namun Ki Jayaraga yang
sudah lolos dari segala bentuk medan pertempuran yang paling dahsyat sekalipun
tidak kehilangan akal. Dengan berteriak dalam kata-kata sandi dan tanpa
meninggalkan kewaspadaannya terhadap serangan lawannya, dia telah menjatuhkan
perintah kepada pengawal penghubung yang masih berdiri termangu-mangu beberapa
langkah di belakangnya.
Agaknya pengawal penghubung itu telah mengerti dengan
kata-kata sandi yang telah disepakati. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia
segera bergegas berlari meninggalkan medan pertempuran yang hiruk-pikuk.
“Permainan licik apalagi yang akan kau tunjukkan kepadaku,
he setan tua?” geram Ki Gede Ental Sewu sambil meningkatkan serangannya semakin
dahsyat.
Ki Jayaraga hanya tertawa pendek mendengar geraman lawannya.
Sambil memiringkan tubuhnya menghindari serangan lawannya yang menderu di sisi
tubuhnya, dia menjawab, “Kakang, dalam setiap medan pertempuran kita harus
pandai-pandai membaca perubahan medan. Tidak ada kesengajaan sama sekali untuk
berbuat licik, namun jangan salahkan aku kalau pasukanmu sebentar lagi akan
tercerai-berai tanpa terkendali lagi.”
“Omong kosong!” bentak Ki Gede Ental Sewu, “Bango Lamatan
adalah orang kepercayaan langsung di bawah Panembahan Cahya Warastra.
Pengalamannya bertempur di segala medan yang sesulit apapun tentu akan
menjadikan dirinya selalu waspada menghadapi akal licikmu itu.”
“Ah,” desah Ki Jayaraga sambil meloncat mengambil jarak,
“Jangan sebut kata-kata licik itu, Kakang. Kita sedang dalam sebuah
pertempuran, sebaiknya Kakang menggunakan kesempatan ini untuk memberikan
pertimbangan kepada orang yang kakang sebut sebagai tangan kanan Panembahan
Cahya Warastra itu agar dia bersiap-siap untuk mendapatkan kejutan dari pasukan
pengawal Menoreh.”
Sejenak Ki Gede Ental Sewu tidak memburu lawannya yang
mengambil jarak dan hanya berdiri diam dengan kaki yang renggang. Sorot matanya
tajam memandang ke arah Ki Jayaraga seolah olah ingin dijenguknya isi dada
orang yang sangat dibencinya itu.
“Mengapa kau memberikan kesempatan kepadaku untuk mengirim
petugas penghubung kepada Bango Lamatan? Kenapa Pradapa? Apakah kau mencoba
melunakkan hatiku yang sudah sekeras batu padas ini karena menanggung dendam?”
Ki Gede Ental Sewu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Jangan harap aku akan
berubah pikiran, aku akan tetap membunuhmu, bukan hanya karena pengaruh dendam,
namun juga karena sudah menjadi tugasku di setiap medan perang untuk membunuh
setiap lawanku tanpa ampun.”
Bergetar dada tua Ki Jayaraga mendengar kata-kata Ki Gede
Ental Sewu yang di masa mudanya bernama Respati Mintuna itu. Ternyata hati
orang ini benar-benar telah kelam karena dendam. Benar-benar sudah tidak ada
jalan lain untuk mengajak pemimpin perguruan Ental Sewu ini berdamai. Yang ada
hanyalah membunuh atau dibunuh.
Ki Gede Ental Sewu masih belum bergerak sama sekali.
Kelihatannya dia memang sengaja memberi kesempatan kepada Ki Jayaraga untuk
merenungi kata-katanya. Namun sebenarnyalah Ki Jayaraga yang sudah kenyang
makan asam garamnya kehidupan segera dapat menguasai dirinya dan sama sekali
tidak terpengaruh dengan ucapan Ki Gede. Pada dasarnya Ki Jayaraga dulu adalah
orang yang pernah berpetualang di dunia yang hitam, sehitam kisah hidupnya itu
sendiri sebelum dia berjumpa dengan Kiai Gringsing, orang yang telah berjasa
mengubah pandangan hidupnya dan sekaligus guru dari orang yang justru telah
membunuh sebagian murid-muridnya.
“Nah, setan tua,” geram Ki Gede kemudian, “Tidak ada gunanya
bagiku untuk menghubungi Bango Lamatan. Dia pasti sudah tahu apa yang harus
dikerjakan seandainya kau mencoba berbuat licik dalam pertempuran ini. Lebih
baik kau segera menyerah dan mengakui segala dosamu agar perjalananmu menuju ke
alam akhirat akan menjadi sedikit lapang.”
Ki Jayaraga sejenak menarik nafas dalam-dalam mendengar
kata-kata Ki Gede. Dicobanya untuk mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling
medan pertempuran yang semakin kisruh. Ketika pandangan Ki Jayaraga kemudian
menyentuh ujung bulak di kejauhan melalui regol padukuhan induk yang telah
runtuh, dada Ki Jayaraga menjadi berdebar debar. Jarak itu memang masih cukup
jauh, namun pandangan tajam Ki Jayaraga telah mengenali sesuatu yang sangat
mendebarkan jantung. Di antara debu yang berhamburan, lamat-lamat tampak
bayangan sebuah pasukan yang cukup besar sedang berlari-larian menuju padukuhan
induk.
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Jayaraga dalam hati dengan
jantung yang berdegub semakin kencang.
Agaknya Ki Gede Ental Sewu juga memperhatikan gerak-gerik
lawannya. Ketika Ki Gede kemudian mengikuti arah pandang lawannya ke ujung
bulak, pemimpin perguruan Ental sewu itu pun mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Pandangan matanya yang tajam segera mengenali bahwa yang bergerak di antara
debu yang berhamburan menuju padukuhan induk Menoreh itu adalah sebuah pasukan
segelar-sepapan.
Segera saja sebuah senyum tersungging di bibir Ki Gede.
Menurut perhitungannya, tidak mungkin itu pasukan Mataram, karena untuk menuju
padukuhan induk mereka terlebih dahulu harus menembus pertahanan pasukan
Panembahan Cahya Warastra yang menduduki padukuhan kecil di dekat tepian kali
Praga. Pasukan segelar-sepapan yang sedang bergerak itu pasti pasukan
Panembahan Cahya Warastra yang telah berhasil mengelabuhi pasukan Mataram
sehingga Ki Patih Mandaraka dan para perwira pemimpin pasukan Mataram tidak
menyadari bahwa padukuhan kecil tempat mereka bertahan itu telah ditinggalkan.
Dengan jantung yang berdebaran Ki Jayaraga menunggu
datangnya pasukan segelar-sepapan yang mulai terdengar suaranya riuh rendah
membahana menghentak-hentak setiap sudut hati yang bernyali kecil.
Dengan riuhnya pasukan yang baru datang itu bersorak-sorai
untuk meruntuhkan nyali pasukan lawan. Mereka berlari-larian dalam gelar
Glathik Neba sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata-senjata yang
berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari. Ketika pasukan itu semakin dekat,
segera saja pasukan di bawah pimpinan Bango Lamatan menyambut kedatangan mereka
dengan gegap-gempita. Memang pasukan yang datang itu adalah pasukan yang
langsung dipimpin oleh Panembahan Cahya Warastra sendiri. Panembahan Cahya
Warastra telah memutuskan untuk menggempur padukuhan induk Menoreh dan berusaha
menguasainya sebagai pancadan untuk menggerakkan pemberontakan melawan Mataram.
“Nah,” berkata Ki Gede sambil tertawa pendek, “Nasibmu
kurang beruntung kali ini, Timur Pradapa. Pasukan Panembahan Cahya Warastra
ternyata telah hadir disini. Aku tidak yakin kalau pasukanmu akan dapat
bertahan dalam waktu lebih lama dari sepemakan sirih.”
“Tentu tidak kakang Respati,” jawab Ki Jayaraga, “Medan yang
sempit di antara lorong-lorong padukuhan dan halaman- halaman rumah tentu akan
berpengaruh terhadap pergerakan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sementara
para pengawal Menoreh justru dapat mengambil keuntungan dari keadaan medan yang
seperti ini. Kami dapat bergerak dengan cepat di sela-sela rumah atau
pekarangan, bahkan kami dapat memanfaatkan dinding- dinding yang tinggi sebagai
jebakan terhadap musuh yang kurang begitu mengenal medan.”
“Pengecut!” teriak Ki Gede Ental Sewu, “Marilah bertempur
dengan beradu dada, jangan seperti laku seorang pencuri di malam hari yang suka
bermain petak umpet.”
Ki Jayaraga tidak menjawab. Tiba-tiba terdengar teriakan
aba-aba dari Ki Jayaraga dalam bahasa sandi yang kemudian diteruskan ke seluruh
medan secara sambung-bersambung melalui para pemimpin-pemimpin kelompok pasukan
pengawal Menoreh.
Sejenak kemudian pasukan pengawal Menoreh telah membuat
gerakan mundur. Mereka semakin masuk ke dalam padukuhan induk di antara
lorong-lorong jalan serta pekarangan yang terbuka. Beberapa kelompok pengawal
justru telah masuk ke sebuah halaman rumah yang cukup luas dengan beberapa
bangunan yang ada di dalamnya.
Perubahan itu ternyata cukup mengejutkan pasukan Panembahan
Cahaya Warastra yang di pimpin oleh Bango Lamatan. Mereka memang berusaha
mengejar pasukan lawan yang mundur, namun dengan cermat para pengawal Menoreh
telah menggunakan regol-regol dan dinding-dinding untuk berlindung dari
serangan lawan.
Sementara pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panembahan
Cahya Warastra ternyata telah tertahan di luar dinding padukuhan. Jumlah mereka
yang cukup besar ternyata tidak dapat sekaligus menyerbu musuh. Mereka harus
menyesuaikan dengan medan yang sempit dan berkelok-kelok, di antara rumah-rumah
dan lorong-lorong jalan padukuhan.
Ketika pasukan yang dipimpin oleh Bango Lamatan itu terus
mendesak para pengawal Menoreh yang sedang bergerak mundur, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh sorak sorai dari arah dalam padukuhan induk. Ternyata pasukan
cadangan yang telah disiapkan oleh Ki Gede Menoreh telah tiba dan langsung
menyambut lawan yang sedang berusaha mengejar kawan-kawan mereka terdahulu.
Serangan itu memang cukup mengejutkan pasukan Bango Lamatan.
Mereka sedang memusatkan perhatian untuk mengejar para pengawal Menoreh yang
sedang bergerak mundur ketika tiba-tiba saja dari arah yang tidak
disangka-sangka muncul pasukan cadangan yang menyerang dengan dahsyatnya.
“Gila,” geram Ki Gede Ental Sewu yang melihat peristiwa itu
dari tempatnya berdiri, “Kau memang licik Pradapa. Kau pancing pasukan Bango
Lamatan untuk semakin masuk ke dalam padukuhan induk, namun ternyata di sana
telah siap pasukan yang lain. Ini benar-benar licik.”
“Terserah Kakang Respati menilainya,” jawab Ki Jayaraga,
“Bagiku di dalam sebuah pertempuran, kita harus selalu bertindak dengan cepat
dan tepat dalam menghadapi keadaan yang setiap saat dapat berubah-ubah.”
“Kita tidak terikat dengan pertempuran ini,” tiba-tiba Ki
Gede menyela, “Persetan dengan perebutan kekuasan di tanah ini. Aku sudah muak.
Sekarang yang ada hanyalah aku dengan kau, setan tua. Aku tantang kau berperang
tanding sampai mati sebagai bentuk pengungkapan tanggung-jawabmu atas kejadian
yang telah menimpa Niken Larasati.”
Ki Jayaraga terkejut mendengar tantangan Ki Gede Ental Sewu.
Memang hal tersebut sudah diduga sebelumnya, namun menghadapi keadaan medan
yang tidak menentu ini, dia tidak boleh tenggelam dalam kesibukannya sendiri
sehingga tidak dapat mengamati keadaan medan dengan lebih seksama.
“Tantanganmu tidak aku terima, Kakang Respati,” jawab Ki
Jayaraga sambil menggeleng lemah, “Kita sedang di dalam sebuah medan
pertempuran. Kita tidak boleh memilih lawan tertentu dengan mengabaikan lawan
yang lain. Siapapun yang kita hadapi di medan pertempuran, itulah lawan kita,
suka atau tidak suka.”
“Kau memang terlalu banyak alasan, setan tua!” bentak Ki
Gede sambil meloncat menerjang lawannya, “Matilah bersama dengan kesombonganmu
itu!”
Suara menderu dahsyat terdengar bersamaan dengan lontaran
kaki Ki Gede yang terjulur lurus mengarah dada.
Tentu saja Ki Jayaraga tidak akan membiarkan dadanya retak
terkena gempuran lawannya. Dengan sedikit menggeliat, tumit lawannya lewat sejengkal
dari dadanya. Ketika tubuh lawannya masih mengapung di udara, kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh guru Glagah Putih itu untuk segera melancarkan serangan
balasan.
Demikianlah akhirnya kedua orang yang sudah pantas menimang
cucu itu kembali bertempur dengan dahsyatnya seakan-akan mereka telah lupa
bahwa mereka pernah hidup dalam sebuah naungan yang sama, naungan perguruan
Ental Sewu.
Dalam pada itu, pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Cahya
Warastra masih kesulitan untuk memasuki padukuhan induk dengan lancar. Selain
pasukan yang cukup besar jumlahnya itu tidak mungkin masuk melalui regol
padukuhan induk yang telah hancur itu secara sekaligus, sesekali mereka juga
harus meloncati mayat-mayat yang bergelimpangan serta korban-korban yang terluka
dari kedua-belah pihak dan belum sempat menyingkir dari medan.
Pergerakan pasukan yang dipimpin oleh Bango Lamatan dalam
mengejar pasukan Menoreh yang bergerak mundur itu ternyata telah membantu
pasukan Panembahan Cahya Warastra untuk memasuki padukuhan induk. Dengan
berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata mereka, pasukan itu segera
menerobos pintu gerbang yang telah runtuh serta celah-celah dinding padukuhan
induk yang jebol akibat terkena hantaman ilmu Ki Gede Ental Sewu.
Namun baru saja sebagian mereka memasuki padukuhan induk,
tiba-tiba lamat-lamat terdengar suara gemuruh yang semakin lama semakin keras
dan semakin dekat. Beberapa saat kemudian tampak dari kejauhan sepasukan
prajurit berkuda lengkap dengan umbul-umbul dan panji-panji kebanggaan kesatuan
prajurit Jalamangkara yang berkibar-kibar tertiup angin melaju bagaikan anak
panah yang dilepas dari busurnya.
“Jalamangkara,” hampir setiap mulut menyebut nama itu. Nama
sebuah kesatuan prajurit Mataram yang dibentuk dengan kemampuan khusus. Mereka
mampu bertempur di darat, di atas punggung kuda dan bahkan bertempur di dalam
air.
Demikianlah ketika ekor pasukan Panembahan Cahya Warastra
itu belum sempat memasuki padukuhan induk Menoreh, pasukan berkuda Jalamangkara
telah melaju semakin dekat siap untuk memporak-porandakan pasukan lawan.
“Kalian yang di ekor pasukan, berbaliklah. Segera bentuk
gelar Gedhong Minep. Hancurkan setiap lawan yang masuk ke dalam gelar,”
tiba-tiba diantara hiruk-pikuk itu terdengar Panembahan Cahya Warastra
memberikan perintah.
Sejenak kemudian para pemimpin perguruan yang berada di ekor
pasukan segera berbenah. Mereka mengatur anak buah masing-masing untuk
membentuk sebuah gelar yang telah diperintahkan oleh Panembahan Cahya Warastra,
Gedhong Minep.
Benturan pertama yang terjadi benar-benar sangat dahsyat.
Gelar Gedhong Minep yang dipasang di ekor pasukan Panembahan Cahya Warastra itu
ternyata tidak mampu mengatasi kecepatan gerak pasukan berkuda kebanggaan
Mataram. Kuda-kuda yang dipacu dengan kencang kemudian dengan cepat berubah
arah kemudian menukik dan menerjang pasukan lawan yang hanya berdiri di atas
tanah ternyata telah mengguncang dinding-dinding dari gelar Gedhong Minep
sehingga untuk beberapa saat gelar itu pun bagaikan terbelah.
Pasukan berkuda itu memang bergerak dalam satu irama.
Kuda-kuda yang sangat terlatih dan seolah-olah sudah menyatu dengan kehendak
penunggangnya benar-benar telah membuat ekor pasukan Panembahan Cahya Warastra
kebingungan. Pasukan berkuda itu bergerak dalam gelar Cakra Bhyuha yang bagaikan
sebuah cakra dengan gerigi-gerigi yang tajam siap merobek-robek dinding dari
gelar Gedhong Minep.
“Gila!” umpat Panembahan Cahya Warastra yang berdiri di
dekat gerbang padukuhan induk yang telah runtuh, “Orang-orang Mataram memang
gila. Aku harus menghentikan kegilaan ini.”
Ki Ageng Blarak Sineret yang berdiri tidak jauh dari
Panembahan Cahya Warastra segera mendekat. Katanya kemudian, “Ma’af Panembahan.
Apa tidak sebaiknya gelar Gedhong Minep itu segera diubah? Ekor pasukan kita
agaknya kesulitan untuk mengimbangi gerak pasukan musuh yang menggunakan kuda.”
Panembahan Cahya Warastra mengerutkan keningnya sejenak
sambil tetap mengawasi keadaan yang sedang terjadi di ekor pasukan. Sambil
mengangguk-angguk akhirnya Panembahan itu pun menyahut, “Memang sungguh sangat
tidak seimbang. Seharusnya kita dapat mengikat setiap penunggang kuda itu
dengan kelompok-kelompok yang terpencar- pencar di seluruh medan. Dan gelar
yang sangat sesuai dengan itu adalah gelar Glathik Neba.”
Ki Ageng Blarak Sineret tersenyum sambil mengangguk-angguk,
“Panembahan benar, mereka harus diikat dalam sebuah pertempuran berkelompok
sehingga antara satu dengan yang lainnya tidak bisa saling berhubungan dan
saling membantu, karena kekuatan mereka yang sebenarnya ada pada kesatuan yang
utuh.”
“Baiklah, perintahkan kepada setiap pemimpin kelompok yang
ada di ekor pasukan untuk segera mengubah gelar,” perintah Panembahan Cahya
Warastra kemudian.
Tanpa menunggu waktu, Ki Ageng Blarak Sineret segera
berteriak keras sambil mengangkat tombak pendeknya tinggi-tinggi. Teriakan Ki
Ageng yang dilambari dengan tenaga cadangan ini ternyata telah terdengar oleh
para pemimpin perguruan yang ada di ekor pasukan. Ketika kemudian mereka
berpaling, tampak Ki Ageng Blarak Sineret yang sedang mengangkat tombak
pendeknya tinggi-tinggi itu sejenak telah memutar ujung tombaknya membuat
sebuah lingkaran kecil dua kali, kemudian ujung tombak itu membuat gerakan
menyilang dari kiri ke kanan dan dari depan ke belakang.
Para pemimpin perguruan itu segera tanggap bahwa mereka
harus segera mengubah gelar Gedhong Minep menjadi gelar glathik neba. Dengan
cepat pasukan yang masih berada di luar dinding padukuhan induk Menoreh itu
membuat gerakan menyebar. Ketika pasukan berkuda Jalamangkara itu belum
menyadari berubahan yang akan dibuat oleh lawannya, pasukan Panembahan Cahya
Warastra yang telah menyebar itu segera membentuk kelompok-kelompok kecil
terdiri dari tiga atau empat orang untuk menghadapi setiap prajurit
Jalamangkara yang bertempur dari atas punggung kuda.
Ki Tumenggung Tirtayudha yang memimpin empat puluh prajurit
berkuda jalamangkara itu terkejut melihat perubahan gelar lawannya. Namun
sebagai senapati perang yang telah kenyang makan asam garamnya berbagai
pertempuran segera mengambil sikap.
“Jangan layani serangan mereka! Tetap dalam barisan gelar
Cakra Bhyuha!” teriaknya kemudian sambil memutar pedangnya menangkis sebuah
tombak yang terjulur ke arahnya.
Para prajurit Jalamangkara yang telah terlatih itu segera
menggebrak kuda-kuda mereka untuk mempercepat gerakan mereka dalam membuat
lingkaran berlapis yang semakin lama semakin lebar. Kuda-kuda itu dipacu dengan
cepat sambil penunggangnya menangkis serangan yang datang dari lawan yang
membentuk kelompok-kelompok kecil. Prajurit-prajurit Jalamangkara itu tidak pernah
berhenti walaupun hanya sekejab untuk melayani serangan-serangan lawan. Mereka
tetap memacu kuda-kuda mereka sambil menangkis atau bahkan menyerang jika
memang kesempatan itu ada.
Kelompok-kelompok kecil yang dibentuk oleh para pemimpin
perguruan dengan murid-muridnya itu memang berusaha menerobos lingkaran yang
dibuat oleh pasukan berkuda Mataram. Sesekali para pemimpin perguruan yang
mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan itu dengan mengejutkan telah memotong
pergerakan kuda-kuda itu. Namun sebelum mereka berhasil menjatuhkan salah satu
kuda beserta penunggangnya, prajurit yang berada di lingkaran lapis kedua dan
ketiga telah menghentak maju dan muncul di sela-sela lingkaran pertama untuk
membantu kawan-kawannya yang mengalami kesulitan. Demikianlah kejadian itu
berulang-ulang sehingga lingkaran gelar Cakra Bhyuha yang bergerak memutar itu
semakin lama menjadi semakin luas dan mendesak lawan dalam kelompok-kelompok
kecil itu semakin mundur dan tercerai-berai.
“Marilah Ki Ageng,” Panembahan Cahya Warastra yang sudah
tidak telaten lagi melihat ekor pasukannya kocar-kacir segera melangkah
menjauhi regol padukuhan induk yang telah runtuh itu, “Sebaiknya kita pecahkan
saja gelar Cakra Bhyuha ini agar lawan tidak semakin sombong dan pasukan kita
tidak kehilangan nyali.”
Ki Ageng Blarak Sineret yang mendengar ajakan Panembahan
Cahya Warastra segera mengikutinya dari belakang.
Ketika kemudian kedua orang linuwih itu telah mendekati
lingkaran gelar cakra bhyuha. Tanpa memerlukan ancang-ancang, kedua orang tua
itu tiba-tiba saja telah meluncur menghantam dua orang penunggang kuda yang
berpacu melintas di hadapan mereka.
Akibatnya sungguh luar biasa. Dua prajurit Jalamangkara itu
terlempar dari punggung kuda mereka dan jatuh terjerembab di atas tanah yang
berdebu dan tidak bergerak sama sekali. Sementara kuda-kuda yang telah
kehilangan penunggangnya itu telah terkejut dan meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sebelum akhirnya berlarian dengan
liar tak terkendali.
Para prajurit Jalamangkara yang melihat kedua kawannya
terlempar dari kuda dan jatuh tak bergerak lagi menjadi waringuten. Dengan
kemarahan yang meluap-luap, segera saja dua ekor kuda menerjang kedua orang tua
yang masih berdiri dengan tenangnya di luar gelar cakra bhyuha.
Sekali lagi medan pertempuran di luar dinding padukuhan
induk itu menjadi gempar. Sekarang yang terlempar bukan hanya penunggangnya,
namun ternyata kedua ekor kuda beserta penunggangnya telah terlempar beberapa
tombak sebelum akhirnya mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawan mereka
yang terdahulu. Kedua prajurit Jalamangkara yang bernasib malang itu hanya
sempat melihat kedua orang tua yang mereka terjang itu mengangkat tangan kanan
mereka. Seleret sinar kebiruan tampak muncul dari telapak tangan mereka sebelum
semuanya kemudian menjadi gelap seiring dengan suara bergemuruh yang menghantam
kuda-kuda itu beserta para penunggangnya.
Tumenggung Tirtayudha yang menyadari kemampuan kedua orang
tua itu segera mengambil langkah-langkah penyelamatan.
“Mundur! Biarkan burung-burung tanpa sayap yang akan
menghadang mereka!” teriak Tumenggung Tirtayudha dalam bahasa sandi.
Sejenak kemudian gelar Cakra Bhyuha yang telah berkurang
empat orang itu pun kemudian serentak bergerak mundur. Namun dalam gerakannya
yang cepat itu mereka masih sempat mengambil busur dan anak panah yang mereka
bawa di saku pelana bagian belakang. Setiap prajurit Jalamangkara memang
dilengkapi dengan peralatan perang selengkap mungkin. Selain pedang dan
pisau-pisau kecil, busur dan anak panah adalah peralatan wajib yang harus
selalu mereka bawa.
Ketika Panembahan Cahya Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret
menyadari pasukan berkuda Mataram itu akan bergerak mundur, keduanya pun
kemudian memutuskan untuk segera mengejar.
Namun alangkah terkejutnya mereka berdua, ketika baru saja
kaki kedua orang tua itu bergerak untuk meloncat, tiba-tiba saja dari arah
depan, berpuluh-puluh batang anak panah meluncur menerjang ke arah mereka.
Namun tidak ada kesulitan yang berarti bagi kedua orang yang
sudah putus segala kawruh lahir maupun batin itu menghadapi hujan anak panah
dari pasukan berkuda Jalamangkara. Dengan kekuatan batin yang tinggi,
seolah-olah anak-anak panah itu sebelum menggapai sasarannya telah runtuh
terlebih dahulu bagaikan sulung mlebu geni.
Ki Tumenggung Tirtayudha terkejut melihat anak-anak panah
itu sama sekali tidak berarti bagi kedua orang linuwih itu. Tidak ada jalan
lain bagi Ki Tumenggung Tirtayudha selain untuk menarik pasukannya terlebih
dahulu untuk menghindari kemungkinan jatuh kurban yang berikutnya.
Ketika Ki Tumenggung kemudian memberi aba-aba pasukannya
untuk mundur sejenak, kedua prajurit Jalamangkara yang berpangkat Lurah segera
mendera kuda mereka maju mendampinginya.
“Ki Lurah Mandurareja dan Ki Lurah Upasanta,” berkata Ki
Tumenggung Tirtayudha kemudian, “Marilah kita sambut kedua orang linuwih itu.
Ingat, kita bertiga hanya menahan mereka agar tidak mengoyak-koyak keutuhan
pasukan kita. Selebihnya tetap sesuai rencana, pasukan kita akan bergerak untuk
memecah-belah ekor pasukan lawan.”
Kedua Lurah prajurit yang terhitung masih muda itu
mengangguk. Kemudian dengan sigapnya keduanya segera memacu kuda-kuda mereka
mengikuti Ki Tumenggung untuk menahan gempuran Panembahan Cahya Warastra dan Ki
Ageng Blarak Sineret.
Sejenak kemudian pasukan berkuda Jalamangkara itu bagaikan
teraduk. Mereka bergerak dengan cepat hilir-mudik saling menyilang namun sangat
teratur dan dengan gerakan yang cepat. Agaknya mereka telah mengubah gelar dari
Gelar Cakra Bhyuha menjadi Gelar Capit Urang.
Ki Tumenggung Tirtayudha sendiri yang berada di ujung kepala
gelar diapit oleh kedua Lurah kepercayaannya untuk menahan kedua lawan yang
ternyata mempunyai kemampuan yang nggegirisi, sedangkan di masing-masing capit
telah ditempatkan dua orang Lurah prajurit yang lain.
Dengan cepat kedua capit dari gelar itu bergerak maju
kemudian melengkung dari kedua sisi dan menyerang kedua orang yang agaknya
tidak gentar menghadapi perubahan gelar lawan. Sementara Ki Tumenggung dibantu
dengan kedua Lurah kepercayaannya telah mencoba menyerang Panembahan Cahya
Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret dari arah depan.
Namun yang terjadi kemudian sungguh sangat mengejutkan bagi
pasukan Panembahan Cahya Warastra. Ternyata Gelar Capit Urang itu hanya sebuah
tipuan. Ketika kedua capit itu hampir bertemu, pasukan berkuda Jalamangkara
kembali mengubah gelarnya menjadi Gelar Cakra Bhyuha. Dengan demikian,
Panembahan Cahya Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret seolah-olah dengan
sengaja telah dijebak dan dipisahkan dengan pasukannya serta dikurung dalam
Gelar Cakra Bhyuha.
Dalam pada itu, gelar glatik neba dari pasukan Panembahan
Cahya Warastra ternyata tidak tinggal diam melihat pemimpin mereka terkurung
dalam Gelar Cakra Bhyuha. Dalam kelompok-kelompok kecil mereka telah mencoba
dengan sekuat tenaga memecahkan gelar lawan dan menjerat pasukan berkuda
Jalamangkara dalam pertempuran berkelompok.
Dengan menggunakan tombak-tombak panjang dan senjata-senjata
panjang lainnya, kelompok-kelompok itu mencoba untuk memotong setiap gerak
pasukan berkuda Jalamangkara. Namun sesuai dengan perintah atasan mereka,
pasukan berkuda itu tidak pernah berhenti untuk melayani serangan lawan. Mereka
terus bergerak berputar dengan cepat sambil berusaha menangkis dan sesekali
menyerang apabila ada kesempatan.
Sejenak kemudian, pertempuran di luar dinding padukuhan
induk itu pun kembali berkobar. Debu-debu yang berhamburan dari kaki-kaki kuda
pasukan Jalamangkara memang sangat menyulitkan pasukan Panembahan Cahaya
Warastra untuk mendekati lawan mereka yang berada di atas punggung kuda. Bahkan
jika mereka lengah sedikit saja, tak jarang senjata dari pasukan berkuda yang
terayun-ayun itu lah yang justru telah menyentuh tubuh mereka.
“Gila!” umpat seorang Putut dari salah satu perguruan
pengikut Panembahan Cahya Warastra yang pundaknya tergores ujung pedang,
“Pasukan berkuda ini benar-benar memuakkan.”
Dengan kemarahan yang meluap-luap, diedarkan pandangan
matanya untuk mencari prajurit yang telah berhasil melukai pundaknya. Namun
prajurit yang melukainya itu telah berlalu dan sebagai gantinya penunggang kuda
yang lain telah datang melaju dan menyambar kepalanya dengan sebilah pedang yang
berukuran cukup besar dan panjang.
“Gila, gila, gila!” sumpah serapah tak henti-hentinya keluar
dari mulut Putut itu sambil merundukkan kepalanya menghindari sambaran pedang
lawannya. Ketika kemudian dia mencoba membalas dengan menjulurkan tombaknya mengarah
dada, ternyata lawannya telah menggebrak kudanya dan berlari menjauh. Sementara
seorang prajurit yang lain dengan tangkasnya dari atas punggung kuda telah
menghantam tombak yang terjulur itu dengan sebuah bindi.
“Setan, gendruwo, tetekan..!” Putut itu memaki-maki dengan
geram ketika tombaknya yang berbenturan dengan bindi lawannya itu hampir saja
terlepas.
Demikianlah pertempuran itu terlihat menjadi sangat
kacau-balau. Namun sebenarnyalah keadaan seperti itu yang ingin diciptakan oleh
pasukan berkuda Jalamangkara. Pertempuran yang dapat membuat lawannya
kehilangan akal sehingga mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk berbenah
atau pun mengubah gelar.
Dalam pada itu, di tengah gelar Cakra Bhyuha Panembahan
Cahya Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret hanya tersenyum kecil ketika
mendapatkan diri mereka telah terkepung di tengah-tengah gelar. Tidak tampak
rasa was-was di wajah-wajah yang mulai berkeriput itu. Dengan tenangnya mereka
berdua tetap berdiri kokoh di atas kedua kaki yang renggang.
Ki Tumenggung Tirtayudha dan kedua Lurah pembantunya yang
telah berhadapan dengan kedua orang tua itu segera mempersiapkan serangan yang
pertama, namun Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu sejenak ketika menyadari salah
seorang lawannya ternyata sama sekali tidak bersenjata, sedangkan lawan yang
satunya bersenjatakan sebuah tombak pendek yang dijinjing di tangan kirinya.
“Ki Sanak berdua,” berkata Ki Tumenggung Tirtayudha sambil
memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menunda menyerang, “Aku
persilahkan Ki Sanak yang belum bersenjata untuk mencabut senjatanya. Sebagai
prajurit, kami menjunjung tinggi sifat-sifat ksatria untuk tidak menyerang
lawan yang tidak bersenjata.”
“Omong kosong!” bentak Ki Ageng Blarak Sineret, “Apa katamu
tentang menjunjung tinggi sifat ksatria sedang kalian telah mengeroyok kami
yang hanya berdua?”
“Ki Sanak,” berkata Ki Tumenggung menanggapi kata-kata Ki
Ageng, “Dalam sebuah pertempuran kita tidak bisa memilih lawan, dan juga dalam
sebuah pertempuran dibenarkan untuk bertempur secara berkelompok.”
“Sudahlah Ki Ageng,” berkata Panembahan Cahya Warastra
menengahi, “Biarkan saja mereka mengerahkan seluruh pasukan berkuda ini untuk
mengeroyok kita berdua. Semoga mereka masih sempat melihat Matahari terbenam
hari ini.”
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar
ucapan Panembahan Cahya Warastra. Untuk sesaat dia menjadi ragu-ragu ketika
mencoba mengenali wajah Panembahan Cahya Warastra. Dia belum mengenal siapakah
orang itu, namun wajah itu terlihat begitu tenang dan meyakinkan sehingga
nalurinya sebagai seorang prajurit telah memberitahukan bahwa lawannya itu
adalah orang yang pinunjul ing apapak.
Agaknya keragu-raguan yang hanya sekilas terbayang di wajah
Ki Tumenggung itu dapat dibaca oleh Ki Ageng Blarak Sineret. Maka katanya kemudian
sambil tersenyum, “Ki Sanak ini pasti seorang prajurit berpangkat Tumenggung,
aku dapat mengenali dari tanda-tanda keprajuritan yang Ki Sanak sandang,” Ki
Ageng berhenti sejenak, lalu, “Pangkat Tumenggung adalah pangkat yang tinggi
dalam tataran keprajuritan, namun aku tidak yakin apakah kemampuan Ki Sanak
secara pribadi sebanding dengan pangkat yang Ki Sanak sandang?”
Sejenak rona merah membersit di wajah Ki Tumenggung
Tirtayudha. Dia tahu arah pembicaraan lawannya yang berusaha untuk menyinggung harga
dirinya sehingga dia akan kehilangan penalaran dan terpancing untuk bertempur
satu lawan satu.
Setelah menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya
yang tiba-tiba saja menjadi sesak, Ki Tumenggung pun menjawab dengan tenang,
“Ki Sanak tidak mempunyai kewenangan untuk mengukur kemampuan seorang prajurit,
bahkan yang paling rendah tatarannya sekalipun. Jadi tidak ada gunanya Ki Sanak
mempertanyakan kemampuan kami.”
“Sudahlah,” kembali Panembahan Cahya Warastra menengahi,
“Tidak ada gunanya untuk saling mengejek atau pun membanggakan kemampuan diri
yang masih harus dibuktikan kebenarannya. Itu hanya akan membuang-buang waktu
saja.” Panembahan Cahya Warastra berhenti sejenak, kemudian sambil mengedarkan
pandangannya sekilas ke arah luar gelar Cakra Bhyuha dia melanjutkan
kata-katanya, “Aku lebih senang bertempur dari pada membual yang tidak ada
ujung pangkalnya. Bersiaplah, aku tidak memerlukan senjata apapun. Kedua
tanganku ini sudah cukup untuk merenggut nyawa kalian semua.”
Ki Tumenggung tidak menjawab. Sejenak diedarkan pandangan
matanya ke sekeliling medan pertempuran. Agaknya gelar Cakra Bhyuha itu kini
telah semakin terdesak dengan semakin banyaknya kelompok-kelompok pasukan lawan
yang mendesak dan mencoba memisahkan setiap prajurit Jalamangkara yang sedang
bergerak berputar dengan cepat di atas punggung kuda.
Dengan tombak-tombak yang panjang setiap anggota kelompok
para pengikut Panembahan Cahya Warastra itu mencoba menghentikan laju kuda yang
lewat di depan mereka. Ada beberapa kelompok pengikut Panembahan Cahya Warastra
yang berusaha mempengaruhi kuda-kuda yang sedang dipacu itu agar menjadi liar
dan tidak terkendali. Dengan beramai-ramai mereka berteriak dan bersorak setiap
kali ada kuda yang lewat di dekat mereka. Ternyata usaha mereka ada yang
berhasil. Seekor kuda menjadi ketakutan sehingga menjadi liar dan sulit
dikendalikan. Kesempatan itu tidak disia-siakan, pada saat kuda itu menjadi
liar, sekelompok pasukan Panembahan Cahya Warastra segera datang menyerang.
Prajurit yang berada di atas punggung kuda itu tentu saja
tidak tinggal diam. Dengan tetap berusaha menenangkan kuda tunggangannya, dia
menangkis setiap serangan yang terjulur ke arah tubuhnya. Namun karena kudanya
agak sulit dikendalikan, maka prajurit yang berada di atas punggung kuda itu
tidak menyadari bahwa dia telah terlepas dari gelar Cakra Bhyuha beberapa
langkah. Tentu saja kawan-kawannya tidak akan membiarkan dia terperosok dalam
kepungan kelompok-kelompok pasukan lawan. Dengan cepat beberapa ekor kuda
segera berpacu dan menyelamatkan kawannya yang hampir saja terseret arus
serangan lawan.
Ki Tumenggung Tirtayudha menahan nafasnya begitu menyadari
kesulitan yang dialami oleh anak buahnya. Agaknya lawan telah melakukan siasat
dengan cara menakut-nakuti kuda-kuda tunggangan prajurit Jalamangkara. Mereka
berteriak-teriak dan bersorak seperti sedang berburu seekor kelinci di padang
perdu. Bagaimana pun terlatihnya kuda-kuda itu, mereka tetap saja binatang yang
pada suatu saat karena terpengaruh oleh suatu keadaan akan kembali ke sifat
alami mereka, liar dan binal.
Menyadari hal itu, Ki Tumenggung Tirtayudha agaknya tidak
dapat menunda-nunda lagi. Setelah memberi isyarat kepada kedua Lurah
pembantunya yang terpercaya, ketiga orang itu pun segera menggerakkan kendali
kuda masing-masing untuk berpencar.
Namun baru saja mereka yang berada di tengah-tengah gelar
Cakra Bhyuha itu bersiap untuk mengadu nyawa, sekali lagi mereka yang ada di
luar gerbang padukuhan induk itu dikejutkan oleh suara genderang dan sangkakala
serta sorak-sorai yang membahana dari arah ujung bulak. Ternyata pasukan
Mataram telah mencapai ujung bulak.
Dengan sengaja memang pasukan itu bergerak secara diam-diam
dari tepian Kali Praga melewati padukuhan yang telah dikosongkan oleh
Panembahan Cahya Warastra. Setelah menyusuri hutan yang tidak seberapa lebat
dan sebagian telah dibuka untuk lahan pertanian, pasukan itu pun kemudian
segera merayap mendekati bulak yang menghubungkan padukuhan kecil itu dengan
padukuhan induk Menoreh.
Begitu pasukan Mataram itu mencapai bulak, Ki Bekel
Sidokepung, seorang Bekel dari Kademangan Candisari yang diperbantukan
sementara pada pasukan cadangan selama pasukan Mataram melawat ke Panaraga
segera tampil ke depan untuk memimpin pasukan genderang sangkakala. Segera
diperintahkannya beberapa prajurit yang bertugas untuk meniup sangkakala dan
menabuh genderang sekeras-kerasnya sebagai pertanda kehadiran pasukan Mataram
dan sekaligus untuk mempengaruhi ketahanan jiwani pasukan lawan.
Sejenak pertempuran di depan gerbang padukuhan induk itu bagaikan
terhenti. Mereka terkesima melihat datangnya pasukan segelar-sepapan walaupun
masih cukup jauh di ujung bulak namun suara genderang dan sangkakalanya serta
sorak-sorai pasukan itu telah menggetarkan langit.
Dalam pada itu, di ujung pasukan segelar sepapan yang sedang
bergerak dengan gegap gempita menuju ke padukuhan induk, tampak sekelompok
orang-orang berkuda yang berpacu mendahului pasukan dengan tergesa-gesa. Mereka
berpacu dengan kencang di atas jalan berdebu sehingga tampak debu mengepul tinggi
di belakang kaki-kaki kuda mereka.
Ketika kemudian sekelompok orang-orang berkuda yang
mendahului pasukan itu hampir mencapai medan pertempuran di luar gerbang
padukuhan induk, tiba-tiba saja dada setiap orang yang berada di medan
pertempuran itu telah diguncang oleh bunyi ledakan cambuk yang menggelegar
bagaikan bunyi seribu guruh membelah langit di atas padukuhan induk Menoreh.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” hampir setiap mulut telah menyebut
nama itu.
Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu memang berada diantara
rombongan orang-orang berkuda itu. Dengan seijin Ki Patih Mandaraka, Ki Rangga
Agung Sedayu yang akan berpamitan kepada keluarganya terlebih dahulu sebelum
mengemban tugas khusus dari Panembahan Hanyakrawati, telah bergabung dengan
pasukan Mataram untuk membebaskan Padukuhan induk Menoreh dari serangan para
pengikut Panembahan Cahya Warastra.
“Apakah Ki Rangga akan menempuh jalan melingkar untuk
menghindari pertempuran menuju kediaman Ki Gede Menoreh?” bertanya Ki Patih
Mandaraka pada saat Ki Rangga mengungkap-kan maksudnya untuk berpamitan kepada
keluarganya sebelum berangkat mengemban tugas khusus.
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Rangga, “Jika Ki Patih
mengijinkan, sebelum mengemban tugas dari Sinuhun Panembahan Hanyakrawati,
hamba ingin ikut bergabung dengan pasukan Mataram terlebih dahulu.”
Ki Patih Mandaraka tersenyum mendengar jawaban Ki Rangga.
Katanya kemudian, “Itulah sebenarnya yang aku harapkan, karena kita belum
mendapat gambaran yang jelas akan kekuatan yang tersembunyi di dalam pasukan
orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu. Jika orang itu
memang Kecruk Putih yang telah mati beberapa waktu yang lalu kemudian hidup
lagi, aku benar-benar memerlukan kawan untuk menghadapinya. Selain ilmunya yang
tentu saja akan sangat nggegirisi, ada satu hal yang membuat aku ketakutan. Aku
belum pernah bertempur melawan hantu atau apapun namanya, tapi yang jelas orang
itu telah bangkit dari kubur.”
“Ah,” desah Ki Rangga sambil tersenyum, “Ampun Ki Patih,
apakah memang benar ada kemampuan yang membuat seseorang itu dapat hidup
kembali? Atau kah ini hanya permainan seseorang untuk tujuan tertentu?”
“Entahlah,” jawab Ki Patih, “Namun aku cenderung berpikir
bahwa orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu bukan Kecruk
Putih. Aku yakin benar bahwa orang itu telah mati. Namun jika ada orang yang
mengaku bernama Kecruk Putih, aku tidak tahu apa maksud dan tujuannya.”
Ki Rangga Agung Sedayu sejenak terdiam. Kemudian katanya,
“Ampun Ki Patih, jika diperkenankan, hamba akan mengajak beberapa orang untuk
menyusul pasukan berkuda Jalamangkara yang telah berangkat terlebih dahulu.”
Untuk beberapa saat Ki Patih mengerutkan keningnya. Namun
akhirnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dia menjawab, “Baiklah Ki
Rangga, masih ada beberapa ekor kuda yang dapat kita pergunakan. Aku sendiri
yang akan memimpin kelompok berkuda ini, sedangkan pasukan yang berjalan kaki
biar dipimpin oleh Ki Tumenggung Singayudha dan Ki Tumenggung Surayudha.”
Demikianlah akhirnya, kelompok berkuda itu dipimpin sendiri
oleh ki Patih Mandaraka. Beberapa orang yang ikut di dalamnya adalah Ki Rangga
Agung Sedayu sendiri, Pandan Wangi, Glagah Putih dan istrinya Rara Wulan, Ki
Citra Jati dan Nyi Citra Jati, kemudian ketiga gadis-gadis anak-anak mereka,
serta tak ketinggalan paman gadis-gadis itu, Ki Mlayawerdi. Sedangkan Putut
Darpa dan Putut Darpita telah bergabung dengan pasukan cadangan Mataram yang
berjalan kaki.
Kelompok berkuda itu sengaja berangkat bersama-sama dengan
pasukan yang berjalan kaki agar pergerakan mereka tidak terpantau oleh pasukan
Panembahan Cahya Warastra. Derap kaki-kaki kuda itu diusahakan sepelan mungkin
sehingga gemanya tidak sampai ke telinga pasukan lawan yang telah mencapai
padukuhan induk. Setelah melampaui hutan yang tidak seberapa lebat, barulah
kelompok berkuda itu kemudian berpacu dengan kencang di bulak panjang menuju
padukuhan induk seiring dengan bergemanya suara genderang dan sangkakala
pasukan Mataram.
Dalam pada itu, Ki Gede Ental Sewu yang sedang bertempur
dengan Ki Jayaraga telah terkejut mendengar bunyi ledakan cambuk yang bagaikan
guruh merobek langit. Dengan segera dia meloncat ke belakang untuk mengambil
jarak.
Ki Jayaraga yang juga mendengar bunyi ledakan cambuk itu
tanpa disadarinya telah menarik nafas dalam-dalam, dalam sekali. Dada tua itu
rasa-rasanya telah mendapat guyuran berpuluh-puluh gayung banyu sewindu. Sambil
mengangguk-angguk dan tersenyum tipis, dia berkata perlahan, “Ki Rangga Agung
Sedayu telah hadir di medan. Aku yakin, tidak ada seorang lawan pun yang akan
mampu menahannya.”
“Omong kosong!” bentak Ki Gede Ental Sewu dengan sinar mata
yang membara, “Nama Ki Rangga Agung Sedayu bagiku terlalu dibesar-besarkan.
Padahal aku tahu pasti, kemenangan demi kemenangan yang diraihnya itu hanyalah
kebetulan saja karena tingkat kemampuan lawan-lawannya memang belum dapat
disejajarkan dengan kemampuan orang-orang berilmu tinggi .”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, katanya kemudian,
“Bagaimana dengan Ki Ajar Kumuda? Apakah Kakang meragukan kemampuan orang yang
semasa mudanya bernama Pideksa itu?”
“Persetan dengan Pideksa!” geram Ki Gede Ental Sewu, “Sudah
menjadi kebiasaan Pideksa untuk selalu meremehkan kemampuan lawan-lawannya yang
lebih muda dari umurnya. Dia menganggap kemampuan Ki Rangga pada waktu itu
tidak lebih baik dari kemampuan murid-muridnya sendiri. Kemampuan seorang murid
menurut anggapannya tidak akan dapat menyamai gurunya, sehingga dia telah
lengah dan mengalami kekalahan. Bahkan kelengahan itu harus ditebus dengan
nyawanya.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya walau pun dalam
hati dia meragukan keterangan Ki Gede. Menurut pengamatan Ki Jayaraga,
kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu justru telah melampaui gurunya, karena selain
menyadap ilmu dari orang bercambuk, Ki Rangga Agung Sedayu juga telah
mempelajari ilmu dari jalur Ki Waskita dan juga ilmu turun-temurun dari jalur
Ki Sadewa, ayahnya sendiri.
“Timur Pradapa,” berkata Ki Gede Ental Sewu membuyarkan
angan-angan Ki Jayaraga, “Sebenarnyalah tugasku di medan pertempuran ini adalah
untuk mencari Ki Rangga Agung Sedayu. Sedangkan untuk membunuhmu dapat aku
lakukan kapan saja setelah urusanku selesai dengan agul-agulnya Mataram itu.
Jadi sebaiknya aku menunda dulu untuk mencabut nyawamu sampai urusanku dengan
Ki Rangga Agung Sedayu selesai.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Kakang
Respati Mintuna, apa yang membuat Kakang terlalu yakin akan dapat mengalahkan
Ki Rangga Agung Sedayu? Sedangkan untuk dapat lolos dari tanganku saja Kakang
belum tentu akan mendapat kesempatan.”
“Gila!” bentak Ki Gede Ental Sewu, “Kau terlalu sombong
Pradapa. Kalau aku menghendaki, sejak tadi pasti kau sudah terbujur menjadi
mayat dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalangiku untuk meninggalkan
tempat ini.”
Ki Jayaraga yang sudah tua itu tertawa terkekeh-kekeh
mendengar ucapan lawannya. Sambil memegang perutnya yang terguncang-guncang,
dia pun menjawab, “Kakang Respati, Kakang tidak usah menakut-nakuti aku seperti
anak kecil. Kalau memang Kakang ingin meninggalkan tempat ini, aku tidak
keberatan, namun dengan satu syarat.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Pada dasarnya Ki Gede adalah
orang yang sangat angkuh dan tidak mau orang lain mengatur dirinya. Namun
bagaimana pun juga dia tetap bertanya, “Apakah syarat itu?”
Ki Jayaraga menegakkan badannya sambil berdesis perlahan
namun suaranya cukup jelas di telinga Ki Gede, “Urusan di antara kita cukup
sampai di sini saja. Aku tahu, kakang sangat menyayangi Niken Larasati demikian
juga aku. Lebih baik kita lupakan sejenak masalah ini. Namun aku berjanji,
setelah perang ini selesai dan aku masih diberi umur panjang, aku akan mencari
siapa sebenarnya yang telah menjadi dalang dibalik kematian Niken Larasati.”
“Tutup mulut kotormu!” bentak Ki Gede Ental Sewu dengan
wajah merah padam. Dengan teriakan menggelegar, serangannya pun kembali datang
membadai menerjang Ki Jayaraga.
Ki Jayaraga yang selalu waspada menghadapi segala
gerak-gerik Ki Gede Ental Sewu segera bergeser ke samping menghindari terjangan
lawannya yang bagaikan banjir bandang. Dengan bertumpu pada tumit kaki
kanannya, kaki kiri Ki Jayaraga pun berputar setengah lingkaran membabat
lambung Ki Gede.
Demikianlah akhirnya pertempuran antara kedua orang yang
memiliki hubungan khusus di masa muda itu kembali berkobar. Masing-masing tidak
hanya mengandalkan liatnya kulit dan kerasnya tulang untuk menjatuhkan
lawannya. Sesekali benturan yang terjadi antara kedua orang itu telah merambah
ke ilmu yang tidak kasat mata, ilmu yang diperoleh dengan cara mesu raga dan
laku yang rumit.
Beberapa puluh tombak dari tempat pertempuran antara Ki Gede
Ental Sewu melawan Ki Jayaraga, Bango Lamatan yang sedang bertempur dengan
sengitnya melawan Empu Wisanata ternyata juga telah terpengaruh oleh bunyi
ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan cepat Bango Lamatan meloncat ke belakang untuk
mengurangi tekanan serangan lawannya. Empu Wisanata yang melihat lawannya
mengambil jarak beberapa langkah kebelakang tidak mengejar. Dibiarkan saja
lawannya itu mengambil jarak, namun Empu Wisanata tidak melepaskan
kewaspadaannya agar tidak lengah seandainya lawan akan mengetrapkan ilmu
andalannya.
Ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang mengguntur itu
ternyata telah mendebarkan dada Bango Lamatan. Sebersit keragu-raguan tampak di
wajahnya. Kenangan lama atas kekalahannya sewaktu berperang tanding di tepian
Kali Opak masih jelas tergambar dalam ingatannya.
“Persetan!” geram Bango Lamatan dalam hati, “Aku telah
menyempurnakan Aji Halimunan yang tiada taranya, dan kini tidak akan ada
seorang pun yang akan mampu menembus ilmuku.”
“Bagaimana dengan Ki Rangga sendiri?” tiba-tiba sebuah
pertanyaan menggelitik dari dasar hatinya, “Ki Rangga tentu tidak berpangku
tangan selama ini. Ilmunya tentu semakin melesat jauh meninggalkan tataran
orang-orang berilmu seusianya. Itu terbukti dengan Ki Ajar Kumuda yang telah
dikalahkannya.”
“Ki Ajar Kumuda,” tanpa sadar Bango Lamatan mengulang nama
itu. Nama yang termasuk dari angkatan tua dan sangat ditakuti dan sekaligus
dikagumi karena kedahsyatan ilmunya, tapak prahara.
“Bagaimana Ki Bango Lamatan?” tiba-tiba pertanyaan dari Empu
Wisanata menyadarkannya, “Apakah Ki Bango Lamatan memerlukan waktu beberapa
saat untuk beristirahat? Kalau memang demikian, aku akan memberimu waktu untuk
sekedar merenung, agar Ki Bango Lamatan tidak semakin dalam terjerumus dalam
cita-cita yang selama ini kau anggap sebuah perjuangan padahal tidak lebih dari
sebuah dongeng ngayawara dan tidak berdasar sama sekali.”
“Tutup mulutmu!” bentak Bango Lamatan, “Empu mungkin belum
menyadari dengan siapa Empu berhadapan. Kalau selama ini Empu masih bisa
berdiri dengan kedua kaki di atas tanah, itu hanya karena belas kasihanku saja.
Sekarang sudah waktunya aku menyelesaikan pertempuran yang memuakkan ini.
Bersiaplah, tataplah langit dan peluklah bumi. Jangan rindukan lagi Matahari
terbit esok pagi.”
Selesai berkata demikian, Bango Lamatan segera bersiap.
Agaknya kegalauan hatinya telah ditumpahkan kepada Empu Wisanata. Dia hanya
memerlukan waktu sekejap untuk mengungkapkan ilmunya yang nggegirisi, ilmu yang
mampu membakar dan melumatkan sasarannya menjadi debu.
Sejenak kemudian, tangan kanan Bango Lamatan telah terangkat
ke atas. Seleret cahaya kemerah-merahan meluncur dari telapak
Empu Wisanata terkesiap. Namun ayah Nyi Dwani itu adalah
petualang dalam dunia olah kanuragan yang telah menjelajahi dari ujung pulau
ini sampai ke ujung yang lainnya. Pengalamannya selama mengarungi kehidupan
yang keras telah memberinya peringatan bahwa kekuatan ilmu lawannya ini tidak
akan mampu ditahan dengan ilmu tameng wajanya.
Menyadari akan kekuatan lontaran ilmu lawannya, dengan cepat
Empu Wisanata menghindar ke samping. Hampir saja sambaran ilmu lawannya itu
mengenai tubuhnya seandainya dia kurang sigap menghindar. Terasa hawa yang
panas, sepanas api dari tempurung kelapa menyambar lewat sejengkal dari
tubuhnya. Ketika Empu Wisanata telah tegak kembali di atas kedua kakinya,
alangkah terkejutnya Ayah Nyi Dwani itu ketika mendapatkan ujung lengan bajunya
telah hangus menjadi abu.
“Gila,” geram Empu Wisanata. Untung kulitnya tidak ikut
hangus terbakar karena masih terlindung oleh Aji Tameng Waja. Namun dalam hati
Empu Wisanata mengakui dengan jujur bahwa kekuatan ilmu lawannya itu tidak akan
mampu dilawan dengan Aji Tameng Wajanya.
Bango Lamatan yang melihat lawannya terkejut mendapatkan
ujung lengan bajunya hangus terbakar telah tersenyum sambil berkata, “Nah,
Empu. Apakah Empu menganggap pertempuran ini masih perlu untuk dilanjutkan?”
Empu Wisanata sekali lagi menggeram. Namun sebelum dia
menjawab, tiba-tiba terdengar suara yang bernada dalam dari sebelah kirinya,
“Ma’afkan aku Empu kalau aku mengganggu. Sebenarnya lah Nyi Dwani memerlukan
perhatianmu. Biarlah Ki Bango Lamatan ini aku temani untuk bermain-main.
Sesungguhnya kami berdua belum puas bermain-main tadi pagi di kediaman Ki Gede
Menoreh.”
“Kiai Sabda Dadi,” hampir berbareng Empu Wisanata dan Bango
Lamatan berdesis.
“Ya, Empu,” jawab Kiai Sabda Dadi yang ternyata telah
selesai mengobati anak perempuan Empu Wisanata dan kini telah hadir di medan
pertempuran, “Dengan pertolongan Yang Maha Agung Nyi Dwani telah berhasil
melalui masa-masa yang sulit dan menegangkan. Namun aku sarankan sebaiknya Empu
Wisanata untuk sementara menemani Nyi Dwani agar dia merasa aman dan sekaligus
untuk menguatkan hatinya,”
Empu Wisanata menarik nafas panjang. Kalau saja yang berkata
itu bukan Kiai Sabda Dadi yang telah menolong putrinya, tentu dia akan
tersinggung. Namun dia menyadari akan kemampuan lawannya dan menurut pengakuan
Kiai Sabda Dadi, mereka berdua telah pernah bertemu di kediaman Ki Gede Menoreh
tadi pagi.
“Selamat bertemu kembali, Kiai Sabda Dadi,” tiba-tiba Bango
Lamatan yang sedari tadi mendengarkan percakapan kedua orang itu menyela, “Aku
gembira sekali dapat bertemu kembali dengan Kiai,” Bango Lamatan berhenti
sejenak, kemudian lanjutnya “Aku memerlukan kawan bermain-main yang sepadan di
medan pertempuran ini. Untunglah Kiai Sabda Dadi segera datang, jika tidak, aku
tidak tahu harus bagaimana melawan kebosanan menghadapi lawan-lawan yang sama
sekali tidak seimbang dengan kemampuanku.”
Merah padam wajah Empu Wisanata. Namun sebelum dia menjawab,
Kiai Sabda Dadi telah mendahului berkata, “Apakah Ki Bango Lamatan juga
mengalami kebosanan pada saat bermain-main denganku pagi tadi sehingga Ki Bango
Lamatan memutuskan untuk meninggalkan halaman rumah Ki Gede Menoreh?”
Kini wajah Bango Lamatan lah yang menjadi kelam. Dengan
menggeretakkan giginya dia menjawab, “Baiklah Kiai. Kita tuntaskan permainan
kita pagi tadi yang sempat terputus karena memang keadaanku yang tidak
menguntungkan. Tapi percayalah, kali ini Kiai tidak akan lepas dari tanganku.”
Kiai Sabda Dadi hanya tersenyum tipis mendengar jawaban
Bango Lamatan. Kemudian katanya sambil berpaling ke arah Empu Wisanata,
“Silahkan Empu. Putrimu memerlukan bantuanmu agar kekuatan batinnya menjadi
semakin mapan.”
Empu Wisanata mengangguk perlahan. Ketika kemudian Empu
Wisanata melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, dia masih sempat
berpaling sekilas ke arah lawannya. Tampak sebuah senyuman tersungging di bibir
Bango Lamatan, namun Empu Wisanata tidak memperdulikan lagi dan tetap
meneruskan langkahnya.
Sepeninggal Empu Wisanata, seorang pengikut Panembahan Cahya
Warastra yang agaknya bertindak sebagai penghubung dengan tergesa-gesa
mendekati Bango Lamatan.
“Pasukan Panembahan Cahya Warastra sebagian telah memasuki
padukuhan induk. Namun ekor pasukan itu masih tertahan di luar dinding
padukuhan induk karena mendapat serangan dari pasukan berkuda Jalamangkara
Mataram,” berkata penghubung itu sambil berusaha mengatur deru nafasnya.
Sejenak Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian, “Apakah Ki Rangga Agung Sedayu ikut dalam pasukan berkuda
Jalamangkara?”
“O, tidak,” jawab penghubung itu cepat, “Ki Rangga Agung
Sedayu terdapat dalam pasukan berikutnya yang datang bersama dengan Ki Patih
Mandaraka. Tetapi mereka tidak ikut dalam pasukan Mataram yang berjalan kaki.
Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga serta beberapa orang telah berkuda mendahului
pasukan Mataram yang berjalan kaki.”
Kembali Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Lamat-lamat
dari tempatnya berdiri terdengar bunyi genderang sangkakala yang ditabuh dengan
riuh rendah ditingkah dengan sorak-sorai yang gegap gempita. Pasukan Mataram
baginya memang sangat membingungkan. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok
secara terpisah namun saling mendukung dan mengisi pada saat mereka mengadakan
penyerbuan.
“Ini pasti ulah orang dari Selo itu,” geram Bango Lamatan
dalam hati.
“Mengapa pasukan Jalamangkara itu tidak kalian hancurkan
saja di depan pintu gerbang padukuhan induk?” bertanya Bango Lamatan setelah
sejenak terdiam sambil memandang tajam ke arah penghubung itu.
“Mereka berkuda dan bergerak dengan sangat cepat. Mereka
bergerak dengan teratur dalam gelar cakra Bhyuha,” jawab penghubung itu,
“Kuda-kuda itu bergerak dengan gesit dan cepat sehingga kita selalu menemui
kesulitan setiap akan menghentikan laju kuda-kuda itu.”
“Apakah Panembahan Cahya Warastra tidak berusaha mengubah
gelar untuk menyesuaikan dengan gelar lawan?”
Penghubung itu mengangguk, “Panembahan Cahya Warastra telah
mengubah gelar gedong minep menjadi gelar Glathik neba.”
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kemudian suara genderang dan sangkakala
yang ditabuh dengan riuh rendah itu semakin jelas terdengar, maka Bango Lamatan
pun segera menjatuhkan perintahnya, “Kembalilah ke kelompokmu. Sampaikan kepada
Panembahan Cahya Warastra bahwa pasukan yang ada di dalam padukuhan induk akan
aku tarik mundur keluar gerbang padukuhan untuk membantu menghadapi pasukan
Mataram yang datang kemudian.”
Penghubung itu menganguk. Memang pasukan yang dibawah kendali
Bango Lamatan tidak dapat bergerak dengan leluasa karena pasukan pengawal
Menoreh dibantu dengan pasukan cadangan telah memancing pasukan lawan untuk
bertempur semakin ke dalam padukuhan, diantara rumah-rumah serta lorong-lorong
sempit.
Demikianlah, tanpa menunggu lagi penghubung itu dengan cepat
telah bergerak meninggalkan tempat itu, menyelinap di antara hiruk- pikuknya
pertempuran.
Sepeninggal penghubung itu, Bango Lamatan segera melambaikan
tangannya kepada salah seorang pengikutnya yang sedang bertempur berpasangan.
Orang itu agaknya membawa panah sendaren. Dengan cepat orang itu mendekat.
Setelah menerima perintah dari Bango Lamatan, sejenak kemudian udara di atas
padukuhan induk itu telah digetarkan oleh suara panah sendaren yang meraung-raung
tiga kali berturut-turut.
Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi mengikuti gerak-gerik
lawannya hanya dapat berdiri termangu-mangu. Sesuai dengan paugeran peperangan,
seorang senopati yang memimpin pasukan memang harus diberi kesempatan untuk
mengatur pasukannya.
Ketika dilihatnya Bango Lamatan telah selesai, Kiai Sabda
Dadi pun segera melangkah mendekat. Ketika jarak keduanya tinggal empat
langkah, Kiai Sabda Dadi kemudian berhenti sambil bergumam perlahan, “Nah, Ki
Bango Lamatan. Apakah kau sudah siap?”
Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Pertanyaan
Kiai kedengarannya sangat aneh. Kita sedang berada di tengah-tengah medan
pertempuran yang liar. Setiap saat kita harus selalu siap. Sekejap saja kita
lengah, nyawa bisa melayang.”
Kiai Sabda Dadi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, “Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu, apakah Ki Bango Lamatan
sudah siap bertempur sebenar-benarnya bertempur? Dan tidak akan meninggalkan
aku lagi sendirian merenungi medan pertempuran ini?”
“Persetan,” umpat Bango Lamatan, “Kali ini aku tidak akan
meninggalkan medan pertempuran sebelum orang yang menyebut dirinya Kiai Sabda
Dadi itu terbujur menjadi mayat.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Sabda Dadi sambil tersenyum,
“Kata-kata Ki Bango Lamatan akan aku jadikan pegangan. Hanya salah satu dari
kita yang akan meninggalkan medan ini dalam keadaan masih bernyawa.”
Bango Lamatan menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Aku
setuju. Agaknya Kiai lah yang akan bernasib buruk kali ini. Tadi pagi aku
memang sengaja meninggalkan halaman rumah Ki Gede Menoreh karena waktuku sangat
terbatas. Begitu Matahari terbit aku sudah harus memimpin penyerbuan ke
padukuhan induk Menoreh. Jadi, pertemuan kita yang kedua kalinya ini, dengan
senang hati aku akan mengantarkan Kiai menuju ke alam kelanggengan.”
Kiai Sabda Dadi kembali tersenyum, jawabnya kemudian, “Hidup
dan mati sudah menjadi ketentuan Yang Maha Hidup, dan kita tidak tahu kapan dan
bagaimana cara kita menghadapi kematian. Namun yang jelas, setiap yang bernyawa
pasti akan mati.”
“Terima kasih atas sesorahmu,” potong Bango Lamatan,
“Kemungkinan besar kedua tanganku inilah yang akan menjadi perantara
kematianmu.”
“Ah,” Kiai Sabda Dadi tertawa pendek. Sambil menggelengkan
kepalanya dia menanggapi kata-kata lawannya, “Semua kemungkinan dapat terjadi
dalam sebuah medan pertempuran. Begitu juga akhir dari pertempuran ini. Mungkin
Ki Bango Lamatan yang justru mendahului menghadap Sang Pencipta untuk
mempertanggung-jawabkan segala tingkah laku yang telah Ki Bango Lamatan
perbuat.”
“Omong kosong!’ bentak Bango Lamatan, “Marilah kita
buktikan, siapakah yang masih dapat berdiri tegak sampai akhir pertempuran
nanti.”
Kiai Sabda Dadi tidak menanggapi kata-kata lawannya karena
melihat lawannya telah menggeser kedudukan kakinya. Sejenak kemudian sebuah
lontaran yang dilambari dengan tenaga cadangan telah meluncur menerjang dada
Kiai Sabda Dadi.
Agaknya Bango Lamatan langsung mengetrapkan ilmunya pada
tataran tinggi. Segera saja udara yang sangat panas menyambar dengan dahsyat ke
arah dada Kiai Sabda Dadi.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari betapa berbahayanya serangan
lawannya itu segera menggeser mundur kaki kirinya selangkah kesamping. Ketika
serangan itu hanya lewat sejengkal dari dadanya, dengan cepat Kiai Sabda Dadi
berusaha memotong serangan lawannya dengan menghantam pundak kiri Bango Lamatan
yang terbuka.
Tentu saja Bango Lamatan tidak akan membiarkan pundaknya
hancur terkena pukulan lawan. Dengan bertumpu pada tumit kaki kanannya, dia
berputar ke arah kiri, sebelum akhirnya tangan kirinya berusaha mencengkeram
pergelangan tangan Kiai Sabda Dadi yang terjulur ke arah pundaknya.
Kiai Sabda Dadi yang menyadari pergelangan tangannya akan
dicengkeram oleh lawannya ternyata telah menarik serangannya. Sebagai gantinya,
kaki kiri kakek Damarpati itu meluncur deras menghantam lambung lawan.
Bango Lamatan yang melihat pergerakan kaki kiri lawannya
menebas ke arah lambung segera menggeliat ke samping. Kemudian dengan telapak
tangan kanan yang terbuka, dihantamnya punggung Kiai Sabda Dadi yang agak condong
ke kanan karena terdorong oleh pergerakan kakinya.
Menyadari serangan lawannya yang mengarah punggung selagi
tubuhnya condong ke samping kanan karena serangan kaki kirinya mengenai tempat
kosong, Kiai Sabda Dadi segera membungkukkan badannya dalam-dalam. Sambil dalam
keadaan berjongkok, salah satu kakinya menyapu kedudukan kaki lawannya.
Tidak ada jalan lain bagi Bango Lamatan selain meloncat
mundur untuk menghindari serangan lawannya. Ketika kemudian dia telah tegak
kembali di atas kedua kakinya yang kokoh, orang kepercayaan Panembahan Cahya
Warastra itu pun segera mempersiapkan serangan berikutnya.
Demikianlah kedua orang yang sudah pernah mengadu kerasnya
tulang dan liatnya kulit di halaman rumah Ki Gede Menoreh itu kembali terlibat
dalam pertempuran yang sengit.
Dalam pada itu, kelompok berkuda yang dipimpin langsung oleh
Ki Patih Mandaraka telah mendekati arena pertempuran di luar dinding padukuhan
induk. Dengan cepat pasukan berkuda Jalamangkara segera membuka jalan dan
membiarkan kelompok berkuda itu memasuki gelar Cakra Bhyuha.
Panembahan Cahya Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret yang
berdiri termangu-mangu terkepung rapat di tengah-tengah gelar menjadi
berdebar-debar ketika rombongan berkuda itu semakin dekat menuju ke tempat
mereka berada.
Ki Patih Mandaraka yang masih berada di atas punggung
kudanya tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sebuah desir yang tajam telah
menggores jantungnya begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang
sudah tidak asing lagi baginya, wajah orang yang sedari dulu menginginkan
kematiannya.
“Kecruk Putih,” desis Ki Patih Mandaraka dalam hati dengan
dada yang berdebar-debar, “Apakah benar orang itu Kecruk Putih? Apakah benar
berita yang selama ini terdengar bahwa Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya
Warastra itu sudah terhindar dari segala macam rasa sakit dan bahkan kematian?”
Dengan dada yang berdentangan Ki Patih pun kemudian menghela
kudanya berderap dengan langkah satu-satu diikuti oleh rombongan berkuda itu
mendekati tempat Panembahan Cahya Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret berdiri
menunggu.
Ketika kuda Ki Patih berderap semakin dekat, tiba-tiba
pandangan tajam Ki Patih Mandaraka melihat sekilas perbedaan yang sangat tipis
antara Kecruk Putih yang dulu telah tewas di tangannya dengan orang yang
sekarang sedang berdiri tegak menunggu rombongan berkuda itu datang. Wajah itu
terlihat sedikit agak gemuk dan bersih, walaupun secara sekilas orang akan
sulit membedakan antara Kecruk Putih yang diyakini telah tewas beberapa saat
yang lalu dengan orang yang sekarang berdiri beberapa tombak di hadapannya itu.
Ketika sekali lagi Ki Patih Mandaraka mengamati wajah itu
dengan seksama, ada satu hal yang kemudian membuat Ki Patih Mandaraka yakin
bahwa orang yang mengaku bernama Panembahan Cahya Warastra itu bukan Kecruk
Putih yang selama ini dikenalnya. Perbedaan yang mencolok justru terletak pada
sorot matanya. Sorot mata orang itu tidak segarang sorot mata Kecruk Putih yang
telah tewas dalam pertempuran beberapa waktu yang lalu.
Ki Rangga Agung Sedayu yang berkuda di sebelahnya pun
ternyata merasakan hal yang sama. Tanpa disadarinya dia telah berpaling ke arah
Ki Patih sambil berdesis perlahan, “Ampun Ki Patih, menurut pengamatan hamba,
agaknya orang yang sedang berdiri di depan kita itulah yang menyebut dirinya
Panembahan Cahya Warastra. Walaupun hamba sedikit ragu-ragu.”
Ki Patih berpaling sekilas sambil tersenyum hambar. Katanya
kemudian, “Apakah yang membuatmu ragu-ragu, Ki Rangga?”
“Ampun, Ki Patih. Orang itu mempunyai kemiripan wajah dan
bentuk tubuh dengan Panembahan Cahya Warastra yang telah menyerbu ke Menoreh
beberapa waktu yang lalu,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
“Namun ada satu hal yang meragukan hati hamba. Sorot mata orang ini tidak
segarang sorot mata Panembahan Cahya Warastra yang dulu.”
“Apakah kau yakin Ki Rangga?”
“Ampun Ki Patih, hamba yakin dengan panggraita hamba bahwa
orang ini memang bukan Panembahan Cahya Warastra, namun menurut hemat hamba,
yang menjadi persoalan utama sekarang ini bukanlah kemiripan wajahnya atau pun
hubungan yang mungkin ada antara dirinya dengan Panembahan Cahya Warastra yang
dulu. Namun yang perlu kita cermati adalah kemampuan yang tersimpan di dalam
dirinya, karena yang kita pertaruhkan adalah kelangsungan pemerintahan
Mataram.”
Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian tanpa
berpaling, “Kau benar Ki Rangga. Aku tidak peduli lagi siapa dia sebenarnya.
Adalah haknya untuk menggunakan nama apa saja. Namun yang terpenting bagiku
sekarang ini adalah, menghentikan segala tingkah polahnya yang mengganggu
tegaknya Mataram.”
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab, hanya kepalanya saja
yang terangguk-angguk.
Demikianlah akhirnya langkah kaki-kaki kuda itu pun semakin
dekat dengan tempat Panembahan Cahya Warastra dan Ki Ageng Blarak Sineret berdiri
menunggu. Ketika jarak di antara mereka tinggal dua tombak, tiba-tiba Ki Patih
memberi isyarat untuk berhenti.
Dengan cepat Ki Patih segera meloncat turun diikuti oleh
seluruh rombongan. Beberapa prajurit Jalamangkara yang terdekat segera tanggap
dan ikut turun dari kuda-kuda mereka. Sambil tetap memegangi kendali kuda
mereka, dua orang prajurit Jalamangkara segera mendekat dan mengambil alih
kendali kuda Ki Patih dan Ki Rangga.
Perlahan dengan langkah satu-satu serta dengan tidak
meninggalkan kewaspadaan, kedua orang yang sudah hampir putus segala kawruh
lahir maupun batin itu pun kemudian mendekati Panembahan Cahya Warastra dan Ki
Ageng Blarak Sineret.
Ketika kemudian Ki Patih Mandaraka telah berhadap-hadapan
dengan Panembahan Cahya Warastra, sambil tersenyum ramah Ki Patih justru telah
menyapa terlebih dahulu, “Selamat siang, Ki Sanak. Maafkan kami, jika
kedatangan kami di tempat ini telah mengganggu Ki Sanak berdua.”
Panembahan Cahaya Warastra mengerutkan keningnya sambil
memandang kedua orang yang berdiri di hadapannya ganti-berganti. Katanya
kemudian dengan sikap yang acuh, “Aku tidak mengenal kalian berdua, dan memang
aku tidak ingin mengenalnya. Kalau kalian masih ingin hidup lebih lama lagi di
dunia ini, lebih baik kalian segera menyingkir.”
Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sambil
berpaling ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang berdiri di sebelahnya. Ucapan
orang yang mengaku Panembahan Cahya Warastra ini sekaligus telah mengungkapkan
jati dirinya bahwa dia memang bukan Kecruk Putih yang telah tewas di tangan Ki
Patih beberapa waktu yang lalu.
Sementara Ki Ageng Blarak Sineret yang berdiri di sebelah
Panembahan Cahya Warastra terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu.
Sebenarnyalah Ki Ageng Blarak Sineret mengetahui rahasia dibalik nama Panembahan
Cahya Warastra, namun dia berharap sahabatnya itu mengenali Ki Patih Mandaraka
walaupun mereka belum pernah bertemu sebelumnya sehingga penyamaran sahabatnya
itu tidak dengan mudah terbongkar begitu saja.
“Panembahan,” cepat-cepat Ki Ageng Blarak Sineret menyela,
“Apakah Panembahan tidak lagi mengenali orang yang selama ini Panembahan cari?
Ki Patih Mandaraka yang semasa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Ki Juru
Martani?”
Sejenak rona wajah Panembahan Cahya Warastra berubah, namun
hanya sekilas. Sambil tertawa pendek, katanya kemudian dengan sikap yang masih
acuh tak acuh, “Persetan dengan segala macam nama. Apa itu Juru Martani, atau
pun Patih Mandaraka, aku tidak peduli. Tidak ada gunanya kita bermain petak
umpet lagi. Segalanya akan segera kita selesaikan dengan tuntas. Kalau pun ada
seribu Juru Martani di dunia ini, mereka semuanya harus mati, karena selama
orang yang bernama Juru Martani itu masih hidup, negeri ini tidak akan pernah
aman dari fitnah keji dan akal liciknya.”
Ki Patih Mandaraka yang semasa mudanya bernama Juru Martani
itu kembali mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Maafkan aku sebelumnya Ki
Sanak. Aku juga tidak peduli dengan siapa aku berhadapan kali ini. Apakah orang
itu Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra, ataukah seorang
pengecut yang hanya berani bersembunyi di balik nama Panembahan Cahya Warastra
sekedar untuk menumpang kebesaran namanya namun pada kenyataannya Kecruk Putih
itu tinggal namanya saja. Sedangkan ilmu yang diagung-agungkan itu tidak lebih
dari permainan kanak-kanak, permainan beradu gasing yang membuat anak-anak
ketakutan karena desir putarannya dan debu yang dilontarkannya.”
“Setan alas,” geram orang yang menyebut dirinya Panembahan
Cahya Warastra itu, “Jangan mencoba membuat perbandingan ilmu antara aku dan
Kecruk Putih. Kami memang saudara kembar, namun sejak kecil aku telah mengikuti
guruku, seorang pertapa dari lembah Bidadari, lembah yang terletak di negeri
Jambu Dwipa, jauh di tanah seberang yang tak mungkin terjangkau oleh nalar
kalian.”
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut mendengar negeri Jambu Dwipa
disebut oleh Panembahan Cahya Warastra. Negeri Jambu Dwipa adalah sebuah negeri
yang sangat jauh dan terkenal dengan ilmu bayangan semunya. Semasa gurunya
masih hidup, Ki Rangga Agung Sedayu sering mendapatkan cerita-cerita tentang
segala macam ilmu kesaktian dari yang paling sederhana sampai dengan yang
paling rumit dan tidak masuk akal. Salah satu sumber ilmu yang rumit dan tidak
masuk akal adalah dari negeri Jambu Dwipa, negeri asal kisah-kisah kepahlawanan
Mahabarata dan Ramayana.
Sedangkan Ki Patih Mandaraka sama sekali tidak terkejut.
Sudah sering Ki Patih mendengar bahkan mengalami sendiri di masa mudanya
bertemu dengan para pertapa dari negeri Jambu Dwipa. Mereka menguasai ilmu yang
sangat aneh, ilmu yang mampu menguasai penalaran seseorang sehingga orang itu
akan melihat atau mengalami sesuatu yang sebenarnya tidak ada menjadi
seolah-olah ada.
“Orang ini pasti menguasai sejenis ilmu itu sehingga merasa
dirinya tak terkalahkan,” berkata Ki Patih dalam hati, “Ilmu yang hanya dapat
dilawan dengan ketajaman hati dan kebersihan jiwani. Betapa pun kuatnya ilmu
itu, namun karena sifat ilmu itu yang cenderung berpihak pada kekuatan hitam,
hanya batin yang bersih dan selalu bersandar kepada Yang Maha Agung yang akan
mampu menundukkannya.”
Dalam pada itu, pasukan Bango Lamatan yang telah ditarik
mundur keluar dari dinding padukuhan induk secara berangsur-angsur telah
bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Induk pasukan Panembahan
Cahya Warastra yang sebagian telah memasuki padukuhan induk pun ternyata telah
ikut keluar untuk menyambut pasukan Mataram yang baru datang.
Ki Ajar Wiyat yang sedang bertempur dengan sengitnya melawan
Ki Gede Menoreh ternyata telah membuat perhitungan sendiri dengan adanya suara
panah sendaren yang meraung-raung di angkasa tiga kali berturut-turut.
Dengan menghentakkan ilmunya, dia telah menyerang Ki Gede
Menoreh dari segala arah. Menurut perhitungan Ki Ajar Wiyat, tidak mungkin Ki
Gede Menoreh akan mengejarnya jika dia menarik diri dari pertempuran itu dan
bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra yang berada di luar dinding
padukuhan induk. Menilik sikap Ki Gede dalam menghadapi setiap serangannya
selalu berpijak pada langkah-langkah yang pendek dan hanya menggeser kakinya
selangkah-selangkah. Jika dengan sengaja dia meloncat mundur karena serangan Ki
Gede yang tak tertahankan olehnya, Ki Gede tidak pernah memburunya, hanya
sekedar menjulurkan tombak pendeknya sejauh jangkauan tombaknya saja.
Dengan berbekal perhitungan inilah Ki Ajar Wiyat segera
melaksanakan rencananya untuk lolos dari pertempuran, namun dengan memberi Ki
Gede beberapa goresan luka yang tidak akan pernah dilupakan oleh lawannya itu
seumur hidup.
Ketika sekali lagi dia menyerang dengan dahsyatnya, keris
luk sebelas di tangannya yang bagaikan menyala itu meluncur deras ke dada Ki
Gede Menoreh.
Ki Gede Menoreh adalah orang yang sudah mengalami medan
pertempuran yang paling berat sekalipun. Melihat lawannya bergerak dengan senjata
terjulur lurus ke arah dadanya dia tidak menjadi gugup. Segera disongsongnya
keris lawannya itu dengan ujung tombak pendeknya. Ketika kedua senjata itu
beradu, Ki Gede mencoba mengungkit keris lawannya sehingga arah serangannya
sedikit berbelok. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ki Gede ketika melihat
dada lawannya sedikit terbuka.
Dengan sebuah hentakan yang kuat, Ki Gede maju selangkah
sambil menjulurkan ujung tombaknya menggapai dada lawannya. Ki Ajar Wiyat yang
menyadari serangan lawannya dengan tergesa-gesa memiringkan dadanya ketika
ujung tombak lawannya masih berjarak satu jengkal dari tubuhnya. Menurut
perhitungannya, ujung tombak itu masih jauh dari jangkauan untuk melukai
dadanya. Namun alangkah terkejutnya Ki Ajar Wiyat ketika menyadari ternyata
sesuatu telah menyentuh dadanya.
Dengan cepat Ki Ajar Wiyat meloncat kebelakang untuk melihat
apakah sebenarnya yang telah menyentuh dadanya itu. Namun sekali lagi
perhitungan Ki Ajar Wiyat meleset. Menurut perhitungannya selama ini Ki Gede
tidak pernah memburu lawannya yang meloncat mundur walaupun kesempatan itu ada.
Namun yang terjadi kemudian adalah sebuah kesalahan yang harus ditebus dengan
sangat mahal. Selagi Ki Ajar Wiyat mencoba melihat segores luka yang cukup
dalam merobek dadanya, sebuah serangan dahsyat dari Ki Gede datang melanda.
Ki Ajar Wiyat yang masih sempat melihat serangan itu dari
sudut matanya mencoba menangkis dengan keris luk sebelasnya. Namun kekuatan
yang terpancar pada serangan tombak Ki Gede tidak mampu ditangkis sepenuhnya.
Sekali lagi ujung tombak pendek itu menyentuh pundaknya.
“Gila!” umpat Ki Ajar Wiyat begitu menyadari pundaknya telah
terluka.
Dengan cepat dia mencoba memperbaiki kedudukannya yang
terdorong ke belakang akibat hentakan ujung tombak pada pundaknya itu dengan
cepat-cepat menggeser kakinya ke samping. Namun agaknya Ki Gede sudah tidak
sabar lagi untuk menuntaskan pertempuran itu. Bukan maksud Ki Gede untuk
menjadi seorang pembunuh yang tidak mengenal belas kasihan, namun keselamatan
Tanah Perdikan Menoreh yang berada di bawah tanggung jawabnya harus diutamakan.
Sejenak kemudian sebuah serangan dahsyat kembali dilancarkan
oleh Ki Gede Menoreh. Dengan menghentakkan segenap kemampuannya, pemimpin Tanah
Perdikan Menoreh yang telah menapaki hari-hari tua itu ternyata masih segarang
seekor singa di padang gurun. Ki Ajar Wiyat yang terlalu meremehkan kemampuan
lawannya ternyata harus menebus kelengahannya itu dengan sangat mahal.
Darah yang mengalir deras dari kedua lukanya ternyata dengan
cepat telah memperlemah pertahanannya. Ketika dia mencoba menangkis dengan
mengangkat keris luk sebelasnya untuk sekedar membelokkan arah ujung tombak Ki
Gede yang mengarah ke dada, ternyata tenaganya telah jauh susut sehingga arah
ujung tombak itu sama sekali tidak berubah dan tetap dengan deras meluncur
menghunjam ke dada.
Terdengar sebuah keluhan pendek begitu ujung tombak itu
menembus dadanya. Untuk beberapa saat tubuh Ki Ajar Wiyat terdorong beberapa
langkah ke belakang. Ketika dengan sebuah sentakan yang kuat Ki Gede kemudian mencabut
tombaknya, tubuh yang sudah tak berdaya itu pun akhirnya terhuyung-huyung ke
depan dan jatuh terjerembab ke atas tanah yang berdebu.
Sejenak Ki Gede Menoreh masih berdiri tegak dengan dada yang
bergelombang. Rasa-rasanya tenaganya bagaikan terkuras setelah Ki Gede
menghentakkan segenap kemampuannya untuk mengakhiri perlawanan Ki Ajar Wiyat.
Setinggi apapun ilmu seseorang ternyata tidak akan mampu melawan waktu.
Untuk beberapa saat Ki Gede Menoreh masih merenungi tubuh
lawannya sambil mengatur pernafasannya. Ketika pandangan matanya kemudian
diedarkan ke seluruh medan pertempuran, tampak para pengawal Menoreh sedang
mengejar pasukan Bango Lamatan yang menarik diri dan berusaha keluar dari
dinding padukuhan induk.
Beberapa orang yang terlambat memang telah menjadi sasaran
kemarahan para pengawal Menoreh. Ternyata gerak mundur pasukan Bango Lamatan
itu tidak berjalan sesuai rencana karena mereka kurang menguasai medan.
Beberapa pengawal Menoreh sengaja telah memotong gerak mundur pasukan lawan
dengan cara menempuh jalan pintas melalui halaman-halaman rumah yang telah
ditinggalkan oleh penghuninya. Tak jarang mereka harus melompati pagar-pagar
rendah agar dapat menyusul pasukan Bango Lamatan yang bergerak mundur melalui
lorong-lorong padukuhan.
Namun pasukan Bango Lamatan tidak berdiam diri saja mendapat
serangan dari balik dinding-dinding dan regol-regol rumah di sepanjang lorong
padukuhan. Mereka telah melakukan perlawanan sengit sambil bergerak mundur
untuk mencapai dinding padukuhan induk.
--oo0oo--
Komentar
Posting Komentar