Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 402


PERWIRA itu sejenak memandang Ki Jayaraga tanpa berkedip. Kemudian dengan ragu-ragu dia mengajukan sebuah pertanyaan, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, segera saja Ki Jayaraga menjawab dengan jelas, “Namaku adalah Jayaraga yang selama ini tinggal menumpang di rumah Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan orang ini adalah sahabatku, Kiai Sabda Dadi dari Padepokan Glagah Tinutu di Pegunungan Kendeng. Kemudian selebihnya mereka adalah para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Namun alangkah terkejutnya Ki Jayaraga dan kawan-kawannya ketika melihat perwira itu ternyata telah terkejut bagaikan disambar petir di siang hari ketika Ki Jayaraga menunjuk Kiai Sabda Dadi dan sekaligus memperkenalkannya pada Perwira itu. Untuk sejenak Perwira itu berdiri mematung dengan wajah keheranan memandang ke arah Kiai Sabda Dadi.
“Jadi Ki Sanak ini yang bernama Sabda Dadi?” tanpa disadarinya kalimat itu terloncat begitu saja dari mulutnya.
Kiai Sabda Dadi yang tidak menyangka bahwa perwira itu menaruh perhatian kepadanya sejenak bagaikan terbungkam. Namun setelah menarik nafas dalam sekali untuk melonggarkan dadanya, Kiai Sabda Dadi pun akhirnya menjawab, “Benar Ki Sanak. Orang tuaku memberiku nama Sabda Dadi, dan aku berasal dari Perguruan Glagah Tinutu di pegunungan Kendeng.”
Perwira itu untuk beberapa saat masih memandangi Kiai Sabda Dadi seolah olah masih belum percaya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itulah yang bernama Sabda Dadi.
Setelah sejenak memandang ke arah para prajurit penjaga regol yang berdiri berjajar-jajar dengan sikap sempurna, akhirnya Perwira itu menjatuhkan perintah, “Aku ijinkan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menghadap Ki Lurah Sanggabaya, sedangkan yang lainnya dapat menunggu di gardu penjagaan.”
Selesai berkata demikian, perwira itu pun melangkah meninggalkan regol sambil berkata kepada kedua orang tua itu, “Marilah, Ki Sanak berdua aku antarkan menghadap Ki Lurah. Kebetulan Ki Lurah memang tidak ikut dalam pasukan yang melawat ke Panaraga.”
Sambil menarik nafas dalam-dalam, kedua orang tua itu masih sempat saling beradu pandang sebelum akhirnya melangkah mengikuti Perwira yang bertugas jaga hari itu untuk menghadap Ki Lurah Sanggabaya.
Ketika kemudian mereka telah menaiki tlundak pendapa dari bangunan utama barak pasukan khusus itu, Perwira yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penjagaan di barak pasukan khusus itupun berhenti sejenak dan berpaling ke belakang sambil berkata, “Silahkan Ki Sanak berdua menunggu di pendapa, aku akan menyampaikan permohonan kalian untuk menghadap kepada Ki Lurah Sanggabaya.”
“Terima kasih,” hampir berbareng keduanya menyahut.
Selesai mempersilahkan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi untuk menunggu di pendapa, dengan tergesa-gesa Perwira jaga itu segera melangkah menyeberangi pendapa kemudian hilang di balik pintu pringgitan.
Sepeninggal Perwira jaga itu, Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi segera melangkah ke tengah-tengah pendapa yang terdapat sehelai tikar pandan yang warnanya sudah tidak cerah lagi namun masih layak untuk digunakan.
Sambil duduk-duduk menunggu kedatangan Perwira jaga itu, Kiai Sabda Dadi meminta pendapat Ki Jayaraga atas apa yang baru saja mereka alami.
“Ki Jayaraga,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Aku merasakan suatu kejanggalan atas sikap Perwira tadi yang terlihat sangat menaruh perhatian atas diriku.”
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil memandang kearah pintu pringgitan yang tertutup rapat, dia memberikan pendapatnya, “Sebenarnyalah Perwira itu belum mengenal Kiai Sabda Dadi secara pribadi namun hanya mengenal nama Kiai Sabda Dadi yang entah dari mana dia mendapatkannya.”
“Itulah yang aku tidak mengerti,” sahut Kiai Sabda Dadi, “Semoga apa yang ada dalam benakku ini hanyalah dugaan yang tidak berdasar sama sekali.”
Wajah Ki Jayaraga semakin berkerut merut. Katanya kemudian, “Apakah Kiai mempunyai dugaan atas kejadian tadi walaupun mungkin tanpa dasar sama sekali?”
“Aku hanya mencoba menghubungkan peristiwa di pinggir hutan tadi pagi sehingga Ki Harga Jumena menemui ajalnya dengan tanggapan Perwira tadi begitu mengetahui namaku adalah Sabda Dadi.” Jawab Kiai Sabda Dadi.
Ki Jayaraga termenung sesaat mendengar jawaban Kiai Sabda Dadi. Kalau memang berita terbunuhnya Ki Harga Jumena sudah sampai ke telinga Perwira di barak pasukan khusus itu, lantas siapakah yang telah menyampaikan berita itu? Dan yang paling penting adalah untuk tujuan apakah semua itu.
Ki Jayaraga menggeleng gelengkan kepalanya sambil berdesis perlahan hampir tak terdengar, “Kemungkinan yang mengarah ke arah itu memang ada, namun aku tidak berani berandai-andai. Kita ikuti saja apa yang akan terjadi tanpa meninggalkan kewaspadaan sekecil apapun.”
Kiai Sabda Dadi hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
Sementara itu Perwira yang bertugas jaga hari itu dengan tergesa-gesa segera menuju ke ruang dalam. Tanpa mengetuk pintu, didorongnya pintu ruang tengah itu dengan tergesa-gesa.
Suara derit pintu itu ternyata telah mengejutkan Ki Lurah Sanggabaya yang sedang duduk-duduk di ruang dalam ditemani oleh seorang yang sudah sangat dikenal oleh Perwira jaga itu, Putut Luarsa.
“Ada apa?” bertanya Ki Lurah Sanggabaya tanpa mempersilahkan Perwira itu duduk terlebih dahulu.
Sejenak Perwira itu masih berdiri sambil mengatur nafasnya, kemudian dengan perlahan lahan dia berkata, “Ki Lurah, orang yang kita maksud itu sekarang ada di sini.”
Kedua orang yang duduk di ruang dalam itu saling pandang sejenak, kemudian Ki Lurah berkata sedikit keras, “He, siapa yang Kau maksud dengan orang itu?”
Menyadari kekeliruannya, Perwira itu segera mengulangi kata katanya, “Orang yang bernama Kiai Sabda Dadi.”
“He..?” kali ini Ki Lurah Sanggabaya dan Putut Luarsa benar-benar terkejut bagaikan disengat seekor kalajengking sebesar ibu jari kaki.
“Apa katamu?” bentak Ki Lurah sambil berdiri dari tempat duduknya. Kemudian sambil berpaling ke arah Putut Luarsa yang juga mengikuti bangkit berdiri dia menggeram, “Bukankah menurut pengamatanmu orang yang bernama Sabda Dadi itu telah mati sampyuh melawan Ki Harga Jumena?”
Putut Luarsa menggeleng gelengkan kepalanya, “Tidak mungkin. Aku melihat sendiri kedua orang itu berbenturan dengan puncak ilmu mereka. Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah sampyuh, keduanya sama-sama terlempar jatuh terjerembap dan tidak bergerak sama sekali.”
“Apakah Kau yakin bahwa Sabda Dadi itu akhirnya menemui ajalnya seperti yang dialami oleh Ki Harga Jumena?” bertanya Ki Lurah selanjutnya.
Sejenak Putut Luarsa termangu-mangu, namun akhirnya dia menjawab, “Itulah yang aku tidak tahu, karena begitu Ki Wasi Jaladara dan pengikutnya memutuskan untuk menyingkir sambil membawa jasad Ki Harga Jumena, aku pun ikut menyingkir untuk memberikan laporan kepada Ki Lurah.”
Ki Lurah Sanggabaya menggeretakkan giginya. Berita dari Perwiranya itu benar-benar telah mengacaukan rencananya.
“Baiklah,” akhirnya Ki Lurah Sanggabaya memutuskan, “Aku akan menemuinya,” Ki Lurah berhenti sejenak, kemudian sambil berpaling ke arah Perwira jaga itu, dia melanjutkan, “Apakah Kau tadi sudah mengatakan keperluan Kiai Sabda Dadi itu datang ke sini?”
“Belum Ki Lurah,” sahut Perwira itu cepat, “Dia datang bersama Ki Jayaraga dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk memohon bantuan keamanan sehubungan dengan keamanan Tanah Perdikan Menoreh akhir-akhir ini.”
Ki Lurah mengumpat keras, “Jaladara itu memang keras kepala. Sudah aku katakan bahwa kita akan bergerak malam ini, mengapa dia memaksakan kehendaknya untuk mencegat perjalanan kedua orang itu?”
“Agaknya Ki Wasi Jaladara salah perhitungan. Dikiranya dengan membawa Ki Harga Jumena sahabatnya di masa muda itu akan dapat dengan mudah menyelesaikan dendamnya saat pertemuan pertama dengan Kiai Sabda Dadi dulu.”
“Orang-orang bodoh,” geram Ki Lurah. Namun dengan tersenyum dia melanjutkan kata katanya, “Tetapi jangan kuwatir. Masih ada Ki Gede Kebo Lungit yang akan membantu kita merebut Menoreh. Selanjutnya kita akan membangun kekuatan di Menoreh dan di sepanjang Kali Praga untuk menghadapi Mataram.”
Perwira yang bertugas jaga itu dan Putut Luarsa hampir bersamaan mengangguk-angguk.
“Kakang, sampai dimanakah perjalanan Ki Gede Kebo Lungit dan pengikutnya itu?” bertanya Perwira jaga itu kepada Putut Luarsa setelah sejenak mereka terdiam.
“Menurut berita yang aku terima, Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya telah sampai di dukuh Matesih, padukuhan kecil di sebelah selatan Karangpandan. Hari ini kemungkinan mereka akan meneruskan perjalanan ke selatan menuju ke Kademangan Jatipuro. Kemudian dari Kademangan Jatipuro mereka dapat menempuh jalur utara setelah sampai di Ngadirejo, menyusuri lereng bukit gunung kukusan yang permai menuju ke Sangkal putung.”
Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Bagaimana dengan kesiapan perguruanmu sendiri? Apakah benar Panembahan Cahyo Warastro itu masih hidup? Pada saat pasukan Mataram menggempur Madiun, Panembahan itu tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali.”
Wajah Putut Luarsa memerah sejenak. Bagaimanapun juga hatinya tersinggung ketika perguruannya diremehkan, apalagi keberadaan Panembahan Cahyo Warastro, Mahaguru yang dianggap keramat dan tidak pernah bersentuhan dengan sakit bahkan dipercaya sudah terbebas dari kematian.
Yang menjawab ternyata justru Perwira jaga itu, “Panembahan Cahyo Warastro adalah seorang sakti yang sudah terbebas dari kematian. Murid-muridnya tidak ada yang diperkenankan untuk menghadap langsung. Ada Paman Bango Lamatan yang menjadi lantaran dari setiap perintah Panembahan Cahyo Warastro. Pada saat pecah perang Mataram dengan Madiun, Panembahan memang melarang kami untuk turun ke medan, karena Panembahan yang waskita itu sudah mendapat wangsit bahwa Madiun akan jatuh dengan cara licik, bukan perang tanding beradu dada.”
Ki Lurah Sanggabaya mengerutkan keningnya, katanya kemudian dengan suara datar, “Apa yang Kau ketahui tentang perang Mataram melawan Madiun? Kau masih di gendongan biyungmu waktu itu. Bahkan aku pun masih seorang prajurit Wira Tamtama, namun aku ikut terjun langsung dalam pertempuran sehingga aku tahu jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Perwira itu menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah dia waktu itu masih sangat muda dan menjadi salah seorang cantrik di Padepokan Panembahan Cahyo Warastro bersama-sama dengan Putut Luarsa.
“Baiklah,” berkata Ki Lurah kemudian ketika melihat kedua orang di hadapannya itu justru telah terdiam. Kemudian sambil melangkah ke pintu dia berkata, “Marilah, temani aku menemui orang-orang itu.”
Ketika Putut Luarsa pun ikut beranjak, Ki Lurah justru berkata, “Kau menunggu di sini saja.”
Putut Luarsa hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi kedua orang itu hilang di balik pintu yang menyekat antara ruang dalam dengan pringgitan.
Dalam pada itu Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga yang sedang duduk-duduk menunggu di pendapa dikejutkan oleh derit pintu pringgitan. Hampir berbareng mereka berpaling ke arah suara derit itu. Sejenak kemudian Ki Lurah Sanggabaya dengan raut muka yang tegang muncul dari balik pintu diikuti oleh Perwira yang sedang bertugas jaga pada hari itu.
Pandang mata Ki Lurah Sanggabaya pun segera menyambar ke wajah kedua orang tua yang sedang duduk di tengah pendapa. Ki Lurah sudah pernah bertemu dengan Ki Jayaraga, sehingga Ki Lurah segera dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itulah yang bernama Kiai Sabda Dadi.
Ketika pandang mata Ki Lurah Sanggabaya membentur sorot mata Kiai Sabda Dadi yang tenang tapi penuh wibawa, terasa jantung Ki Lurah berdegub semakin cepat. Cepat-cepat dilemparkan pandang matanya ke regol penjagaan depan ke arah para prajurit yang berdiri berjajar-jajar di sebelah menyebelah regol.
Ketika langkah Ki Lurah telah sampai di tempat kedua orang tua itu duduk-duduk menunggu, dengan mengangguk-anggukkan kepalanya serta sebuah senyum yang dipaksakan, Ki Lurah pun mengambil tempat tepat di hadapan Ki Jayaraga. Sedangkan Perwira yang mengiringinya segera menempatkan diri beberapa jengkal di belakangnya.
Sekilas pandangan Ki Lurah masih sempat menyambar wajah Kiai Sabda Dadi, orang yang mampu membunuh Ki Harga Jumena. Tidak terlihat kelelahan ataupun luka yang parah pada diri orang tua itu. Bahkan Kiai Sabda Dadi terlihat sangat sehat walaupun tampak ada gurat-gurat keletihan membayang di wajahnya, namun Ki Lurah yakin, dengan cukup istirahat orang tua itu pasti akan segera dapat memulihkan kekuatannya.
Berkali-kali Ki Lurah Sanggabaya mengumpat dalam hati. Dia sangat menyesalkan tindakan Ki Wasi Jaladara yang mencegat perjalanan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi sehingga mengakibatkan terbunuhnya Ki Harga Jumena. Kejadian yang tak terduga itu telah membuat Ki Lurah berpikir ulang untuk mengadakan penyerbuan ke rumah Ki Argapati malam nanti.
Akhirnya, betapapun kemarahan hampir menghanguskan dadanya, sambil mencoba tersenyum dan bersikap sewajar mungkin, Ki Lurah Sanggabaya berkata, “Ma’afkan aku telah membuat Ki Jayaraga berdua menunggu cukup lama.”
“O, tidak, tidak,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Sebenarnyalah kami berdua ini yang telah mengganggu tugas-tugas Ki Lurah.”
“Ah,” giliran Ki Lurah yang tertawa pendek, betapapun hambarnya, “Kewajiban kami sebagai prajurit memang kadang-kadang dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang pelik, dan tidak jarang masalah itu tidak ada sangkut pautnya dengan tugas-tugas keprajuritan yang kami emban. Namun sebagai prajurit, kami sudah dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan apapun permasalahan yang mungkin timbul.”
Hampir bersamaan ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Di benak kedua orang tua itu telah menangkap sikap yang kurang wajar dari Ki Lurah Sanggabaya.
“Ah, mungkin perasaanku saja yang terlalu mengada ada,” berkata Kiai Sabda Dadi dalam hati. Namun ketika tanpa disengaja pandangan matanya bertemu dengan Perwira yang bertugas jaga pada hari itu yang duduk di sebelah kiri Ki Lurah, betapa Perwira itu tampak sangat gugup dan cepat-cepat menundukkan wajahnya.
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Lurah Sanggabaya membuyarkan lamunan Kiai Sabda Dadi, “Apakah yang dapat kami bantu?”
Ki Jayaraga sejenak berpaling ke arah Kiai Sabda Dadi untuk meminta pertimbangan. Ketika dilihatnya Kiai Sabda Dadi mengangguk sekilas, maka katanya kemudian, “Ki Lurah, akhir-akhir ini keamanan di Tanah Perdikan Menoreh sangat memprihatinkan. Memang sebagian besar pengawal yang dipimpin oleh Prastawa telah bergabung dengan pasukan Mataram untuk melawat ke Panaraga. Sepeninggal sebagian besar pengawal itulah sekarang ini terjadi banyak kerusuhan. Banyak orang-orang yang tak dikenal memasuki Tanah Perdikan Menoreh terutama padukuhan induk. Kami tidak tahu dari manakah mereka berasal dan untuk tujuan apakah mereka memasuki Menoreh? Bahkan Kiai Sabda Dadi sudah mengalami dua kali penyerangan oleh perguruan yang letaknya jauh dari Menoreh, perguruan Liman Benawi dari Madiun pada saat pertama kali memasuki wilayah Menoreh. Dan yang terakhir kali, yang baru saja terjadi beberapa saat tadi adalah penyerangan dari perguruan Harga Belah Blambangan di bantu dari perguruan Liman Benawi yang agaknya memendam dendam sejak pertemuan pertama. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi kami sehingga kami masih bisa selamat sampai di sini.”
Ki Lurah Sanggabaya tampak menahan gejolak perasaannya ketika mendengar cerita Ki Jayaraga. Tanpa disadarinya, pandang matanya sekilas menyambar ke arah Kiai Sabda Dadi yang juga sedang menatap ke arahnya.
Pandangan yang sekilas itu telah memberikan isyarat kepada Kiai Sabda Dadi bahwa dia harus berhati-hati dengan orang yang bernama Ki Lurah Sanggabaya ini. Menilik sikapnya yang tidak wajar ketika pertama kali bertemu, serta sikap Perwira bawahannya yang terkejut ketika mendengar namanya disebut, telah mengisyaratkan kepadanya bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di barak pasukan khusus ini.
“Ki Jayaraga,” berkata Ki Lurah setelah sejenak berdiam diri, “Bantuan macam apakah yang Kau maksud untuk meningkatkan keamanan Tanah Perdikan Menoreh? Pasukan yang tinggal ini tidak begitu banyak dan hanya cukup untuk mengamankan wilayah kami sendiri. Namun kami juga tidak menutup mata terhadap keamanan Menoreh. Jarak jangkau pasukan yang meronda di sekitar barak kami akan kami tingkatkan jaraknya. Mereka akan meronda sampai kepadukuhan induk. Namun hal itu harus disampaikan kepada para pengawal yang ada di Menoreh agar tidak timbul salah paham.”
Ki Jayaraga mengangguk anggukkan kepalanya, jawabnya kemudian, ”Terima kasih Ki Lurah. Itu bagi kami sudah lebih dari cukup. Kami juga akan meningkatkan pengamatan kami dengan sisa-sisa para pengawal yang tertinggal. Namun apabila diperlukan kami dapat mengerahkan semua laki-laki yang ada di Tanah Perdikan Menoreh ini untuk keluar dari rumah dan menyandang senjata.”
“Ah, itu terlalu berlebihan,” dengan cepat Ki Lurah memotong, “Jangan berbuat seolah olah Menoreh ini akan dilanda perang. Kita harus mempertimbangkan ketenangan para kawula. Jangan sampai mereka dibuat gelisah padahal persoalan yang sebenarnya jauh dari itu dan sebenarnyalah tidak akan terjadi apa-apa.”
“Itu sudah terjadi, Ki Lurah,” Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi hanya diam saja tiba-tiba menyahut, “Aku sudah mengalaminya dua kali. Itu adalah bukti yang tak terbantahkan betapa keamanan di Menoreh akhir-akhir ini sangat gawat. Beberapa perguruan telah hadir disini dan Ki Lurah masih saja menganggap tidak akan terjadi apa-apa.”
Sejenak wajah Ki Lurah menjadi merah padam mendengar sindiran Kiai Sabda Dadi. Dengan menahan gejolak di dalam dadanya, Ki Lurah pun berkata dengan nada yang dalam, “Siapakah Ki Sanak ini? Ada hubungan apakah Ki Sanak dengan Menoreh sehingga ikut campur permasalahan yang terjadi di Menoreh?”
“Ki Lurah,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil memandang tajam ke arah Ki Lurah Sanggabaya, “Seharusnya Perwira yang menghadap Ki Lurah itu sudah menjelaskan siapa aku. Akan tetapi kalau memang Ki Lurah kurang jelas, aku dapat mengulangi sekali lagi. Namaku Sabda Dadi dari perguruan Glagah Tinutu di lereng Gunung Kendeng. Perguruan yang dipimpin oleh Panembahan Kalijenar, cucu dari Nyi Ageng Ngerang dari Juwana Pati.”
Kali ini Ki Lurah benar-benar hampir tidak mampu menahan diri. Wajahnya telah menjadi merah padam dan giginya bergemeretakan. Kebenciannya pada Kiai Sabda Dadi yang telah merusak rencananya dengan membunuh Ki Harga Jumena benar-benar telah memuncak sampai ubun-ubun. Namun sebelum dia melakukan tindakan bodoh memaki Kiai Sabda Dadi, Perwira yang duduk di sebelahnya telah menggamit pinggangnya.
Sekejap Ki Lurah bagaikan membeku. Hampir saja kata-kata makian itu terloncat dari bibirnya, namun dengan segera dicobanya untuk menguasai penalarannya dengan menarik nafas dalam-dalam sambil berusaha meredakan gelora di dalam dadanya.
Setelah gelora di dalam dadanya mengendap, perlahan sambil beringsut ke arah Kiai Sabda Dadi, Ki Lurah mengangguk perlahan dan berkata, “Ma’afkan saya Kiai. Saya tidak tahu bahwa saya berhadapan dengan salah seorang murid perguruan Glagah Tinutu dari lereng gunung Kendeng. Jikalau ada sambutan dari kami yang kurang berkenan, mohon dimaafkan.”
Sekarang justru Kiai Sabda Dadi lah yang termangu-mangu. Ketika dia berpaling ke arah Ki Jayaraga, tampak dahi orang tua itu semakin berkerut merut.
“Sudahlah Ki Lurah,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berkata sareh, “Akulah yang seharusnya meminta ma’af karena telah merepotkan Ki Lurah. Sebenarnyalah sebelum menghadap Ki Lurah, kami telah menghubungi para pengawal yang tersebar di seluruh padukuhan-padukuhan Tanah Perdikan Menoreh untuk bahu membahu mengamankan daerahnya masing-masing.”
Ki Lurah sejenak termenung. Kekuatan Menoreh yang sebenarnya terletak pada para pengawalnya yang tersebar dari ujung ke ujung tanah itu. Pengalaman telah menempa mereka pada saat beberapa kali tanah perdikan itu diguncang perang. Masih belum dapat terhapus dari ingatan para orang-orang tua, bagaimana Sidanti yang mereka anggap sebagai masa depan Menoreh justru telah merobek-robek dada ayahnya sendiri bersama guru dan pamannya. Kemudian beberapa kali tanah itu menjadi saksi perang tanding yang dahsyat antara Ki Agung Sedayu melawan musuh-musuh yang mendendamnya. Kemudian peristiwa bangkitnya perguruan Kedungjati juga telah merambah ke Menoreh karena justru istri Ki Rangga Agung Sedayu adalah pewaris dan sekaligus murid utama yang tersisa dari perguruan Kedungjati yang besar sepeninggal Patih Mantahun dan Sumangkar serta Raden Tohpati yang bergelar macan kepatihan.
“Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan Ki Lurah, “Memang kami telah mengerahkan seluruh pengawal yang tersisa di masing-masing padukuhan untuk ikut mengamankan padukuhan induk, sedangkan masing-masing-padukuhan itu hampir setiap laki-laki yang masih mampu menggenggam senjata telah keluar rumah dan mengisi gardu-gardu perondan yang ditinggalkan para pengawalnya untuk berkumpul di padukuhan induk.”
Ki Lurah tampak memerah wajahnya walaupun hanya sekilas, namun yang hanya sekilas itu telah ditangkap oleh Ki Jayaraga.
Berkata Ki Lurah kemudian, “Itu terserah bagaimana kalian menjaga Tanah Perdikan ini. Aku sebagai pemimpin yang diserahi menjaga keamanan di barak khusus ini hanya mampu membantu sebatas yang dapat kami lakukan. Namun itu bukan berarti kami lepas tanggung jawab sebagai prajurit. Kami sudah mengenal Menoreh sebagaimana tanah kelahiran kami. Kami mengetahui jalur-jalur jalan yang mana yang biasa dilalui maupun yang tersembunyi. Justru itulah yang akan kami lakukan, meronda ke tempat-tempat yang mungkin luput dari pengamatan para pengawal tanah Perdikan Menoreh.”
Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di benak kedua orang itu berkecamuk berbagai dugaan. Namun mereka masih harus menunggu bukti untuk mengungkapkan sesuai dengan apa yang terlintas pada benak mereka.
“Baiklah Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah sejenak mereka berdiam diri, “Kami mohon diri untuk kembali ke padukuhan induk. Selain kami harus menyiapkan para pengawal untuk bergiliran meronda, agaknya Kiai Sabda Dadi juga memerlukan istirahat yang cukup untuk memulihkan kesehatannya.”
“Ah,” Kiai Sabda Dadi tertawa hambar, “Aku memang sudah tua dan agaknya perlu banyak istirahat sebelum menghadapi kerja yang sebenarnya.”
Ki Lurah mengumpat dalam hati mendengar gurauan kedua orang tua itu. Sejauh jauhnya dia berusaha untuk menghilangkan kesan dari wajahnya, maka katanya kemudian untuk mengalihkan perhatian, “Ki Jayaraga dapat menempatkan beberapa penghubung di dekat hutan itu. Dengan menggunakan isyarat yang disepakati, para penghubung dapat segera melapor ke barak prajurit pasukan khusus ini begitu menerima isyarat dari padukuhan induk.”
Kembali kedua orang tua itu mengangguk angguk. Kemudian setelah sekali lagi mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Lurah untuk membantu keamanan di Tanah Perdikan Menoreh, kedua orang tua itupun akhirnya minta diri untuk kembali ke padukuhan induk.
Sepanjang perjalanan pulang, Ki Jayaraga berkuda berdampingan dengan Kiai Sabda Dadi, sedangkan Ki Jamawir berkuda di belakang bersama-sama dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Matahari telah mencapai puncaknya. Sinarnya benar-benar membuat kulit bagaikan terbakar. Untunglah sepanjang perjalanan di antara bulak-bulak panjang, angin bertiup cukup kencang sehingga hembusan angin yang cukup sejuk itu dapat menyegarkan tubuh mereka yang bagaikan terpanggang.
Sesampainya di padukuhan induk, Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi segera membagi tugas. Kiai Sabda Dadi langsung menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh sedangkan Ki Jayaraga bersama Ki Jamawir menuju ke banjar induk. Sementara ke lima pengawal yang telah ikut ke barak prajurit pasukan khusus itu segera bergabung dengan kawan-kawan mereka yang telah datang dari padukuhan-padukuhan seluruh Tanah Perdikan Menoreh.
Suasana di seluruh Tanah Perdikan Menoreh benar-benar seperti akan berperang. Segala sudut padukuhan terutama padukuhan induk yang terdapat gardu-gardu perondan telah penuh dengan para pengawal dibantu dengan anak-anak muda. Orang-orang tua yang masih merasa kuat telah keluar rumah sambil menyandang senjata andalan mereka di waktu masih muda. Ada yang menyandang pedang, keris, memandi tumbak dan bahkan ada yang membawa sepasang bindi yang terbuat dari galih kayu nangka yang sangat tua, sehingga sepintas terlihat seperti terbuat dari besi.
Seorang anak muda yang berpapasan dengan orang yang membawa sepasang bindi sambil berjalan dengan terbongkok-bongkok itu tertegun. Sambil menghentikan langkahnya dia menegur, “Kakek mau kemana?”
Kakek tua yang ditegur itu sejenak berhenti sambil menegakkan pinggangnya dengan kedua belah telapak tangannya. Kedua bindi yang tadinya dipanggul di kedua belah pundaknya itu diletakkan begitu saja di atas tanah.
“He,” serunya kemudian setelah dia berdiri tegak, “Bukankah kita akan berperang? Sudah lama sekali aku tidak mengayunkan bindiku ini. Jangankan manusia, segala jenis jin, setan, peri prayangan pasti terbirit-birit begitu melihat sepasang bindiku ini. Tahukah Kau anak muda? Semasa mudaku aku dijuluki sepasang bindi iblis dari Karangtuo.”
Anak muda yang diajak bicara itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Katanya dalam hati, “Pantas saja segala jin setan peri perayangan takut. Sepasang bindi itu ternyata milik iblis, nenek moyangnya segala jin dan setan.”
Kakek pemilik sepasang bindi itu sejenak memandangi anak muda di depannya yang tersenyum senyum seolah olah sedang mengejeknya.
“He, Kau tidak percaya?” bentaknya sambil meraih sepasang bindinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Namun betapa kedua lengan itu menjadi gemetaran karena menahan beban berat sepasang bindi itu.
Melihat pemandangan yang menggelikan itu, anak muda itupun akhirnya berkata, “Kakek, kelihatannya sepasang bindi itu sudah terlalu berat bagi Kakek. Biarkan aku menolongmu untuk mengangkatnya.”
Sambil tetap mempertahankan kedudukan sepasang bindi itu, kakek itu menjawab dengan nafas yang memburu, “Ya..ya silahkan. Cepat sedikit aku hampir tidak tahan.”
Dengan segera anak muda itu meraih sepasang bindi dari kedua tangan kakek yang gemetaran. Ketika sepasang bindi itu sudah berpindah tangan, dengan lunglai kakek itu pun kemudian jatuh terduduk.
“Sudahlah, Kek,” berkata anak muda itu sambil berjongkok bertelekan pada kedua bindi yang ada di tangannya, “Sebaiknya Kakek pulang saja. Biarlah kami yang muda-muda ini yang menjaga keamanan di padukuhan ini.”
Untuk sejenak mata Kakek itu menyorotkan kemarahan yang tiada taranya. Geramnya, “Kau gila anak muda. Apa Kau kira ada yang mampu mengalahkan sepasang bindi iblis dari Karangtuo? Aku masih mampu menghancurkan kepala orang yang berani menghinaku dengan sekali pukul dengan bindiku itu.”
“Ya..ya Kek, aku percaya,” sahut anak muda itu cepat agar tidak menyakiti hati orang tua itu. Setelah berpikir sejenak, anak muda itupun akhirnya melanjutkan kata katanya, “Tapi Kek, orang yang menghinamu itu sudah tidak ada lagi, dia telah pergi.”
“He!” terkejut kakek itu bangkit berdiri, “Kemana dia? Panggil kemari! Kalau dia tidak mau bersujud minta maaf kepadaku, akan aku remukkan kepalanya.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam sambil ikut berdiri, “Terlambat Kek, orang itu sudah pergi jauh. Biarlah aku saja yang mencarinya. Sebaiknya kakek pulang saja ke rumah.”
Sejenak Kakek itu termangu-mangu. Sambil bersungut-sungut dia memandangi wajah anak muda itu, katanya kemudian, “Awas kalau sampai orang yang menghinaku itu tidak ketemu. Kau sebagai gantinya.”
Selesai berkata demikian Kakek itu dengan tertatih-tatih berjalan meninggalkan anak muda yang masih berdiri termangu-mangu sambil menggenggam sepasang bindi yang terbuat dari galih kayu nangka yang sangat tua.
Ketika bayangan orang tua itu telah semakin menjauh, anak muda itu pun akhirnya menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dengan tergesa-gesa dia melanjutkan perjalanannya menuju ke banjar padukuhan.
Dalam pada itu, seorang murid dari Panembahan Cahyo Warastro yang menjadi penghubung antara Ki Lurah Sanggabaya dengan Ki Gede Kebo Lungit telah menunggu kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di padukuhan Ngadireja karena berita dari penghubung sebelumnya memberitahukan bahwa orang yang pernah memimpin padepokan sebelah selatan Madiun yang telah dihancurkan oleh pasukan Menoreh dan Pegunungan sewu itu semalam telah berangkat dari Kademangan Jatipura menuju ke Padukuhan Ngadireja.
Siang itu Matahari memang bersinar dengan teriknya. Jalan di depan pasar Ngadireja itu memang sudah sepi karena banyak pedagang yang sudah mengemasi barang dagangannya dan bersiap untuk pulang ke rumah. Hanya beberapa kedai yang memang sengaja berjualan sampai malam masih tampak ramai dikunjungi orang-orang yang ingin membeli makanan atau sekedar minuman untuk menghilangkan dahaga.
Ketika penghubung itu sudah menghabiskan dua mangkuk dawet cendol, pandangan matanya yang tanpa sengaja memandang jauh ke ujung jalan itu menangkap titik-titik yang bergerak gerak di kejauhan. Agaknya serombongan orang berkuda sedang menuju ke arahnya.
Sejenak kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda yang berderap perlahan lahan di atas jalan berbatu batu. Semakin lama rombongan orang berkuda itu semakin dekat. Ketika jarak rombongan itu tinggal beberapa tombak dari kedai tempat murid Panembahan Cahyo Warastro itu menikmati dawet cendol, tiba-tiba saja rombongan orang-orang berkuda itu memperlambat laju kuda-kuda mereka. Pemimpin rombongan yang berkuda paling depan ternyata telah melihat sebuah tanda yang ditancapkan pada sebatang pohon asam di pinggir jalan. Sebuah anak panah berbedor putih tertancap pada batang pohon asam itu hampir separonya.
“Panembahan Cahyo Warastro,” geram pemimpin rombongan itu, “Sudah berapa kali aku katakan. Aku tidak suka dengan permainan ini. Meletakkan tanda-tanda perguruan Cahyo Warastro sepanjang jalan dan aku disuruh mengikutinya. Benar-benar permainan kanak-kanak yang menjemukan.”
“Tapi itu memang cara yang dikehendaki oleh Panembahan itu untuk berhubungan dengan orang-orang yang dikehendakinya melalui murid-muridnya, Guru,” seseorang yang berkuda di samping kirinya menyahut.
“Persetan dengan segala macam aturan dari Panembahan itu,” sekali lagi pemimpin rombongan itu menggeram, “Perguruan Kebo Lungit juga mempunyai paugeran sendiri. Untuk selanjutnya kita tidak usah tunduk dengan segala macam aturan dari Kecruk Putih itu. Kita langsung meneruskan perjalanan ke Menoreh bergabung dengan Ki Lurah Sanggabaya.”
Rombongan orang-orang berkuda itu ternyata adalah Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya. Mereka sedang dalam perjalanan dari Kademangan Jatipura melewati Padukuhan Ngadireja untuk selanjutnya menyusuri lereng sebelah utara pegunungan Kukusan menuju ke Sangkal Putung.
“Marilah,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Jangan hiraukan tanda-tanda itu.”
Namun baru saja Ki Gede Kebo Lungit menggerakkan kendali kudanya untuk beranjak dari tempat itu, seseorang telah menegurnya.
“Selamat datang Ki Gede Kebo Lungit. Panembahan Cahyo Warastro sangat menghargai kerja sama ini. Untuk selanjutnya Ki Gede dapat beristirahat sejenak di padukuhan Ngadireja ini jika berkenan. Namun seandainya Ki Gede dan rombongan akan melanjutkan perjalanan langsung ke Sangkal Putung, dipersilahkan.”
Ki Gede Kebo Lungit mengerutkan keningnya. Dipandanginya salah satu murid Panembahan Cahyo Warastro itu yang menjadi penghubung keberadaan dirinya. Sudah beberapa kali dia dan rombongannya bertemu dengan murid-murid Panembahan itu sepanjang perjalanannya. Secara tidak langsung dirinya dan murid-muridnya seolah olah selalu berada di bawah pengawasan Panembahan yang dipercaya sudah terbebas dari segala macam penyakit dan kematian itu.
“Apakah semua ini memang diperlukan?” bertanya Ki Gede Kebo Lungit.
Murid Panembahan Cahyo Warastro itu sejenak mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Maksud Ki Gede?”
Ki Gede menarik nafas dalam sebelum menjawab untuk meredakan kejengkelan dalam dadanya, “Aku merasa tidak perlu dituntun dalam perjalananku dari Madiun ke Menoreh. Aku bukan sehari dua hari menjadi petualang. Hampir seluruh masa mudaku aku gunakan untuk menjelajah tanah ini dari ujung ke ujung. Jadi apa maksud Panembahan itu menempatkan orang-orangnya di sepanjang perjalananku?”
Murid Panembahan Cahyo Warastro menjadi berdebar debar melihat sikap Ki Gede Kebo Lungit. Agaknya telah terjadi kesalah pahaman antara maksud baik Gurunya dengan ki Gede yang sombong ini.
“Ma’afkan Ki Gede,” berkata murid Panembahan Cahyo Warastro itu kemudian, “Bukan maksud Panembahan untuk mengecilkan keberadaan Ki Gede, namun ini semua adalah ujud dari perhatian Panembahan untuk menemani perjalanan Ki Gede dan sekaligus memberikan laporan kepada Ki Lurah Sanggabaya sehingga Ki Lurah dapat memperhitungkan setiap langkah yang akan diambil.”
Ki Gede Kebo Lungit termenung sejenak. Memang alasan yang dikemukakan oleh murid Panembahan Cahyo Warastro itu masuk akal. Namun betapapun juga, Ki Gede merasa tersinggung dengan tindakan Panembahan Cahyo Warastro yang selalu mengawasi gerak geriknya.
“Ada satu hal yang masih menjadi pemikiranku terhadap keberadaan Panembahan Cahyo Warastro,” berkata Ki Gede Kebo Lungit kemudian setelah terdiam sejenak, “Memang aku tidak mengikuti Panembahan itu ke Menoreh waktu terjadi penyerbuan besar-besaran yang dipimpin sendiri oleh Panembahan dengan tujuan untuk membinasakan Ki Patih Mandaraka. Menurut berita yang aku terima, Panembahan Cahyo Warastro menemui ajalnya di tangan Ki Patih Mandaraka,” Ki Gede berhenti sejenak, dipandanginya murid Panembahan Cahyo Warastro yang berdiri di depannya untuk mendapatkan kesan, namun ternyata wajah orang itu hanya datar-datar saja. Maka kemudian lanjutnya, “Bagaimana mungkin sekarang ini ada orang yang menamakan dirinya Panembahan Cahyo Warastro dan mengendalikan murid-muridnya untuk berhubungan dengan perguruan-perguruan yang ada di tanah ini tanpa menunjukkan jati dirinya dan memerintah hanya melalui tanda-tanda khusus berupa anak panah berbedor putih?”
Murid perguruan Cahyo Warastro yang menjadi penghubung itu tersenyum sekilas. Tampak sebuah kebanggaan yang tiada taranya menghiasi wajahnya. Katanya kemudian, “Panembahan adalah manusia yang sudah kalis dari segala bentuk kelemahan dunia, rasa sakit, lapar, lelah dan bahkan kematian sekalipun. Maka jangan mencoba coba untuk merendahkan keberadaannya atau Kau akan menemui kesulitan.”
“Omong kosong..!” bentak Ki Gede menggelegar, “Panembahan yang kau sanjung-sanjung itu telah mati dan tidak mungkin bangkit lagi dari kuburnya.”
Belum selesai Ki Gede Kebo Lungit mengatupkan mulutnya, terdengar sebuah desing keras disertai dengan suara angin bersiutan. Entah dari mana datangnya sebuah anak panah berbedor putih melesat menyambar leher Ki Gede dari arah samping kanan.
Ki Gede terkejut. Dengan gerak naluriah, ditariknya kepalanya sejengkal kebelakang dan anak panah berbedor putih itu pun melesat hanya setebal daun di depan hidung Ki Gede.
Namun belum sempat Ki Gede berlega hati, terdengar jerit menyayat dari sebelah kiri ki Gede. Ternyata murid Ki Gede yang berkuda di sebelah kirinya telah roboh terjungkal dari kudanya disambar anak panah berbedor putih tepat menembus lehernya.
Sejenak Ki Gede Kebo Lungit membeku di atas punggung kudanya. Tanpa disadarinya dia telah mengetrapkan kemampuan setinggi-tingginya untuk mempertahankan dirinya seandainya datang lagi serangan yang lebih dahsyat.
Suasana menjadi tegang. Tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Nafas pun bagaikan tertahan di rongga dada. Semua menunggu apa yang akan terjadi kemudian sehingga tidak ada seorang pun yang berusaha menolong murid perguruan Kebo Lungit yang tertembus panah di lehernya sehingga terjungkal dari kudanya.
Diam-diam Ki Gede Kebo Lungit mengedarkan pandangan matanya ke arah sisi kanan. Sejenak diamatinya gerumbul-gerumbul, kedai-kedai yang berjajar jajar yang para pembelinya telah keluar semua karena mendengar jerit yang mendebarkan, serta pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan.
Tidak ada satu gerakan yang mendebarkan. Hanya orang-orang yang mulai berkerumun di depan kedai-kedai tetapi mereka tidak berani mendekat, justru karena mereka melihat salah satu dari penunggang kuda itu ada yang tegolek di tanah dengan darah yang berhamburan dari lehernya. Agaknya orang yang terkena panah itu mencoba bertahan, namun panah yang menancap lehernya itu ternyata beracun. Terbukti dengan darah yang semula berwarana merah, perlahan-lahan berubah menjadi hijau kehitam-hitaman. Sejenak murid perguruan Kebo Lungit itu masih mencoba bertahan namun sesaat kemudian dia telah terbaring diam.
Melihat itu semua, Ki Gede Kebo Lungit mengeram keras sambil berteriak, “Gila..! ini permainan gila. Aku akan menuntut setiap nyawa yang hilang. Tidak cukup dengan satu nyawa dibayar satu nyawa. Aku tidak peduli lagi dengan segala macam perjanjian ini. Harga diri perguruan Kebo Lungit telah diinjak injak. Bagiku, nama baik perguruan adalah segala-galanya.”
Selesai berkata demikian, Ki Gede Kebo Lungit telah menggebrak kudanya ke depan menerjang murid Panembahan Cahyo Warastro yang berdiri termangu mangu di depannya.
Namun agaknya murid Panembahan Cahyo Warastro itu telah bersiap, sehingga dengan melontarkan dirinya ke samping kiri, terjangan kaki kuda Ki Gede berhasil dihindari walaupun harus dengan menjatuhkan dirinya berguling guling di atas jalan yang berdebu.
Peristiwa itu ternyata telah menyadarkan murid-murid perguruan Kebo Lungit yang lain. Serentak beberapa orang segera menggerakkan kendali kudanya untuk mengurung murid Panembahan Cahyo Warastro, sedang yang lainnya telah meloncat turun dari kudanya dan berusaha menolong kawannya yang telah tergeletak di tanah.
Dua orang berusaha memapahnya ke tempat yang teduh di bawah bayangan pohon mahoni yang tumbuh besar di tepi jalan. Kedua orang kawannya itu berusaha untuk menolongnya namun racun yang terdapat di ujung anak panah itu ternyata sangat keras, sekeras racun ular bandotan sehingga nyawanya sudah tak tertolong lagi.
Melihat keadaan kawannya yang telah menjadi mayat, kedua murid perguruan Kebo Lungit itu hampir bersamaan telah mengumpat kasar. Sambil meloncat berdiri, keduanya pun segera berlari mendapatkan kuda-kuda mereka untuk bergabung dengan kawan kawannya membantai murid Panembahan Cahyo Warastro yang telah terkepung rapat.
Namun ternyata murid Panembahan Cahyo Warastro itu benar-benar bernyali singa. Tidak ada setitik pun rasa gentar terbayang di wajahnya. Dengan wajah yang tegang, dia segera menghunus pedangnya, siap untuk menghadapi serbuan Ki Gede Kebo Lungit beserta murid-muridnya.
Namun baru saja Ki Gede memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk mulai bergerak, tiba-tiba saja mereka yang ada di jalan depan kedai itu telah dikejutkan oleh bunyi ledakan cambuk yang menggelegar membelah angkasa.
Ki Gede Kebo Lungit terkejut bukan buatan, bukan oleh kerasnya bunyi ledakan cambuk itu, namun ingatannya segera tertuju pada orang yang meledakkan cambuk itu, orang yang selama ini telah dihindarinya namun juga dicarinya untuk menuntaskan dendam yang tiada taranya.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” geram Ki Gede Kebo Lungit sambil matanya mencari cari bayangan musuh bebuyutannya itu di antara kerumunan orang-orang yang ada di depan kedai.
Ternyata Ki Gede Kebo Lungit tidak usah mencari terlalu lama. Seseorang yang telah memasuki usia separo baya dan berperawakan sedang tetapi tegap telah berdiri di depan kedai dengan kaki renggang. Di tangan kanannya tergenggam pangkal senjata andalannya, sebuah cambuk yang berjuntai panjang dan berkerah baja. Sedang tangan kirinya memegang ujung juntai cambuk itu.
“Ki Rangga Agung Sedayu,” hampir setiap bibir murid perguruan Kebo Lungit menyebut nama itu, nama yang telah menggetarkan dada mereka. Masih segar dalam ingatan, bagaimana guru mereka yang di agung-agungkan itu telah lari tunggang-langgang menghindari orang yang bernama Agung Sedayu itu. Dan kini orang yang ditakuti dan sekaligus dibenci itu telah berdiri di hadapan mereka.
Setiap dada menjadi berdebar-debar, terutama Ki Gede Kebo Lungit. Memang selama ini dia telah berusaha untuk meningkatkan ilmunya, namun dia menyadari, bahwa Ki Rangga Agung Sedayu pun mempunyai kesempatan yang sama, bahkan jarak perbandingan ilmu itu mungkin akan semakin jauh.
Sebelum Ki Gede menyadari apa yang sebaiknya dilakukan, ternyata murid Panembahan Cahyo Warastro itu telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Selagi perhatian mereka tercurah kepada kehadiran Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak disangka sangka itu, dengan sebuah lompatan panjang dia telah berusaha menerobos kepungan murid-murid perguruan Kebo Lungit.
Bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk, murid-murid perguruan Kebo Lungit yang terdekat dengan keberadaan murid Panembahan Cahyo Warastro itu telah menghentakkan kuda-kuda mereka untuk menutup jalan. Namun ternyata murid panembahan Cahyo Warastro itu sangat lincah, sambil menyusup di antara kuda-kuda yang bergerak menutup jalannya, sekali lagi dia meloncat dan menjatuhkan diri berguling-guling masuk ke dalam sebuah gerumbul di tepi jalan. Sebelum orang-orang yang mengepungnya itu memutar arah kudanya untuk mengejar, kembali dengan sebuah lompatan yang panjang dia telah hilang di balik kedai yang berjajar-jajar di pinggir jalan.
“Biarkan dia pergi..!” tiba-tiba Ki Gede Kebo Lungit berteriak keras mencegah murid-muridnya mengejar murid Panembahan Cahyo Warastro itu.
Murid-muridnya yang sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat turun dari kudanya itupun sejenak tertegun. Dan waktu yang sekejab itu sangat berarti bagi murid Panembahan Cahyo Warastro untuk berlari semakin jauh.
Kini setiap mata tertuju kepada Ki Rangga Agung Sedayu yang belum beranjak dari tempatnya. Betapa sorot mata mereka itu mengandung kebencian yang tiada taranya, namun sebenarnya-lah suara detak jantung mereka rasa rasanya bagaikan bunyi kentongan yang dipukul dengan nada titir, pertanda akan datangnya mara bahaya yang disertai rajapati.
Selagi Ki Gede mencoba membuat pertimbangan-pertimbangan, dari dalam salah satu kedai yang ada di pinggir jalan itu keluar seorang-orang tua yang sudah sangat tua yang berpakaian serba hitam diikuti oleh seorang perempuan yang masih sangat muda dan berparas sangat cantik namun berwajah murung.
Ketika kedua orang itu kemudian mengambil tempat di sebelah kiri Ki Rangga Agung Sedayu berdiri, tahulah Ki Gede dan murid-muridnya bahwa kedua orang yang baru saja keluar dari salah satu kedai itu pasti ada hubungannya dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ki Gede Kebo Lungit,” tiba-tiba terdengar suara Ki Rangga Agung Sedayu dengan nada dalam namun getaran suaranya terasa menyusup sampai ke jantung, “Atas nama Mataram, menyerahlah! Sebagai seorang prajurit, aku akan memegang teguh paugeran yang berlaku dan tidak akan bertindak diluar batas.”
Sejenak Ki Gede tertegun. Namun kemudian terdengar tawanya berderai derai, “Sudahlah Ki Rangga, di Madiun pun Kau tidak mampu menangkap aku dengan prajurit segelar sepapan. Apalagi sekarang ini. Mungkin justru akulah yang akan menangkapmu kali ini.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengamati para pengikut Ki Gede Kebo Lungit itu. Apakah mungkin kali ini Ki Gede telah berhasil membawa orang-orang pilihan untuk menuntaskan dendamnya?
Namun pengamatan yang hanya sekilas itu telah meyakinkan panggraita Ki Rangga. Menilik dari wajah-wajah yang tegang dengan mulut yang terkatup rapat, Ki Rangga dapat menduga bahwa pengikut Ki Gede yang berjumlah tujuh orang itu hanyalah murid-murid kebanyakan.
“Marilah,” akhirnya Ki Rangga maju beberapa langkah, “Kita buktikan ucapan kita masing-masing. Terserah cara apa yang Ki Gede kehendaki. Perang tanding atau perang brubuh bagiku tidak ada bedanya.”
Tergetar dada Ki Gede mendengar kata-kata Ki Rangga. Secara tidak langsung ucapan itu telah menyindir dirinya yang selalu menghindari bertempur beradu dada dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
Dalam pada itu, orang-orang yang berkerumun di depan kedai-kedai itu segera menyadari bahwa sesuatu yang gawat bisa saja segera terjadi. Dengan menimbulkan suara yang sedikit gaduh, mereka segera berbondong-bondong menghindar dari tempat itu. Sedangkan para pemilik kedai pun dengan tergesa-gesa segera menutup kedai mereka . Para pemilik kedai itu sudah tidak memikirkan lagi para pembelinya yang sebagian mungkin belum sempat membayar tapi sudah meninggalkan tempat. Bagi mereka keselamatan adalah segala-galanya, sehingga tanpa memperdulikan keadaan lagi, mereka segera ikut meninggalkan kedai setelah menutup pintu dan menyelaraknya kuat-kuat.
Kini suasana di jalan dekat pasar itu benar-benar lengang. Hanya orang-orang yang berkepentingan saja yang masih tinggal disitu dengan dada yang berdebar-debar menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sudah mengurai cambuknya itu perlahan dengan langkah yang mantap menuju ke tengah jalan. Sambil menghadap penuh ke arah Ki Gede Kebo Lungit yang masih termangu mangu duduk di atas punggung kudanya, dia berkata, “ Ki Gede, atas nama Mataram, aku perintahkan sekali lagi Ki Gede dan seluruh pengikut Ki Gede untuk menyerah. Kebetulan di Jati Anom ditempatkan pasukan Mataram segelar sepapan yang dipimpin oleh Tumenggung Untaradira, kakak kandungku satu satunya. Tumenggung Untaradira akan mengambil alih langsung para tawanan yang aku bawa nanti seandainya Ki Gede memang mampu berpikiran luas dan lebih mengedepankan jalan damai agar tidak terjadi lagi korban-korban yang berjatuhan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.”
Ki Gede Kebo Lungit menarik nafas dalam-dalam, dalam sekali. Seolah olah ingin dihirupnya seluruh udara yang ada di padukuhan Ngadireja. Sejenak diedarkan pandangan matanya menyapu wajah-wajah tegang dari para pengikutnya. Wajah-wajah itu tampak betapa tegangnya seolah olah mereka sudah benar-benar berhadapan dengan sang maut itu sendiri yang akan segera menerkam nyawa mereka.
Kembali Ki Gede berdesah. Harga dirinya terlalu tinggi untuk ditukar dengan penyerahan dirinya kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Walaupun secara jujur Ki Gede Kebo Lungit mengakui bahwa tataran ilmunya masih belum bisa mendekati kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu, apalagi sampai menyamai.
Sekali lagi Ki Gede melemparkan pandangannya ke arah murid-muridnya. Ketika pandangan matanya terbentur pada seraut wajah yang keras, sekeras batu-batu padas di gerojokan, jantung Ki Gede berdesir tajam. Barulah Ki Gede teringat bahwa dalam rombongannya terdapat salah seorang muridnya yang tergolong istimewa dan hati Ki Gede pun menjadi sedikit lebih tenang.
Orang yang berwajah keras itu adalah Putut Sunjaka, murid tertua sekaligus muridnya yang terpercaya. Murid yang sudah tuntas menyerap ilmu perguruan Kebo Lungit dan bahkan mungkin telah mendapat tambahan pengalaman sepanjang pengembaraannya. Putut Sunjaka pada saat padepokannya di Madiun diserbu oleh pasukan Menoreh dan Pegunungan Sewu memang sedang tidak ada di tempat. Telah tujuh tahun lamanya Putut Sunjaka meninggalkan padepokan Kebo Lungit untuk mengembara setelah tuntas menimba ilmu di padepokan itu.
Kini Ki Gede Kebo Lungit dapat membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar yang jernih. Dia dapat mengandalkan Putut Sunjaka untuk membantunya melawan Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan murid-muridnya yang lain menurut perhitungannya dapat mengatasi orang tua yang berpakaian serba hitam dan perempuan cantik yang berwajah murung itu.
Merasa mendapatkan kekuatan baru, Ki Gede segera meloncat turun dari kudanya yang segera diikuti oleh murid-muridnya. Setelah menyerahkan kendali kudanya kepada salah seorang muridnya, Ki Gede pun segera memberi isyarat kepada Putut Sunjaka untuk mengikutinya mendekati Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ki Rangga” berkata Ki Gede kemudian setelah berada beberapa langkah saja di hadapan Ki Rangga, “Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Kaulah yang seharusnya menyerah untuk diadili di Padepokan kami karena dosa-dosamu yang telah berani menyerang padepokan kami di Madiun. Padepokan kami tidak ada sangkut pautnya dengan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, apalagi dengan orang yang bernama Argapati dan Agung Sedayu. Perbuatan kalian menghancurkan padepokan Kebo Lungit benar-benar tindakan yang biadab dan tidak dapat dimaafkan lagi. Menyerahlah sekarang juga. Setelah ini akan tiba giliran Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.”
Ki Rangga sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Pandangan matanya menyambar ke arah wajah Putut yang berdiri di sebelah Ki Gede. Wajah yang keras, sekeras batu-batu padas di gerojokan.
“Ki Gede,” jawab Ki Rangga tenang, “Aku dan Ki Gede Menoreh pada saat itu bertindak atas nama Mataram. Tidak ada dendam pribadi antara aku dan perguruan Kebo Lungit yang melandasi penyerbuan ke padepokanmu saat itu. Demi ketenangan dan masa depan Madiun serta tegaknya Panji-Panji Mataram di seluruh tanah ini, padepokanmu memang harus dihilangkan dari muka bumi.”
“Tutup mulutmu..!” tiba-tiba terdengar bentakan yang menggelegar yang dilambari dengan kekuatan Aji Senggoro Macan sehingga setiap dada terasa bagaikan ditimpa berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit.
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Bentakan itu memang cukup menggetarkan dadanya, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merontokkan isi dadanya. Justru murid-murid perguruan Kebo Lungit sendiri yang terpengaruh oleh suara bentakan Putut Sunjaka. Dengan terbungkuk bungkuk mereka memegangi dada sambil mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dada mereka yang terasa bagaikan terhimpit gunung anakan.
Ki Gede Kebo Lungit menarik nafas dalam-dalam ketika melihat betapa bentakan Putut Sunjaka itu seakan akan sama sekali tidak mempengaruhi Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika tanpa sengaja pandangan matanya melihat ke arah Ki Ageng Sela Gilang dan Anjani, alangkah terkejutnya Ki Gede Kebo Lungit. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terpengaruh.
“Gila!” umpat Ki Gede dalam hati, “Siapakah mereka itu sebenarnya?”
Sebenarnyalah Anjani terpengaruh juga oleh kekuatan Aji Senggoro Macan itu. Namun dengan cepat ia segera dapat menyesuaikan dirinya sehingga ketika Ki Gede Kebo Lungit memandanginya, seolah-olah Anjani sama sekali tidak terpengaruh. Perempuan yang sangat cantik itu tetap dalam kedudukannya semula, menundukkan wajahnya yang murung.
Sementara Putut Sunjaka yang melihat betapa bentakannya yang dilambari dengan Aji Senggoro Macan sama sekali tidak mempengaruhi ketahanan baik badani maupun jiwani dari Ki Rangga Agung Sedayu, menjadi gemetar menahan amarah yang tiada taranya.
Dengan wajah yang merah padam, setapak dia maju. Kemudian katanya sambil telunjuk jarinya menunjuk ke wajah Ki Rangga, “Kau.,..kau akan segera mati dengan cara yang paling menyakitkan karena dosa-dosamu menyerang perguruanku tanpa alasan. Sekaranglah saatnya bagiku untuk berbakti kepada perguruanku dengan melenyapkanmu dari muka bumi ini.”
Ki Rangga yang mendapat perlakuan seperti itu hanya diam saja namun tidak pernah meninggalkan kewaspadaan sekejap pun. Orang yang berwajah kasar ini dapat berbuat hal-hal yang diluar paugeran tanpa mengindahkan martabat makhluk yang bernama manusia.
Sejenak kemudian Ki Rangga telah bergeser ke samping sambil merentangkan cambuknya di depan dada. Setiap saat cambuk itu dapat meluncur sendal pancing dan meledak. Ujungnya yang berkerah baja dapat menyobek kulit dan meremukkan tulang.
Ki Gede Kebo Lungit yang menyadari kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu segera bergeser ke samping sambil menggenggam senjata andalannya, sebuah tongkat pendek yang ujungnya dapat mengeluarkan ledakan dahsyat dan menghamburkan serpihan-serpihan besi baja yang dapat menghunjam ke tubuh lawannya tanpa ampun.
Sedangkan Putut Sunjaka bersenjatakan sebuah pedang yang berukuran tidak sewajarnya. Bilah pedang itu hampir dua kali lipat dari ukuran pedang biasanya, sementara panjang pedang itupun hampir satu setengahnya dari pedang biasa.
Melihat pertempuran akan segera berkobar, Ki Ageng Sela Gilang dan Anjani yang sedari tadi hanya diam saja, dengan tergesa-gesa segera maju untuk membantu Ki Rangga Agung Sedayu. Namun baru saja mereka berdua melangkah beberapa tindak, Ki Gede Kebo Lungit telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya yang tersisa untuk mengepung mereka berdua.
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan jika mereka berdua bertempur terlalu dekat dengan Ki Rangga, Ki Ageng dan Anjani justru telah melangkah menjauh untuk memancing lawan-lawan mereka menjauhi lingkaran pertempuran Ki Rangga Agung Sedayu.
Demikianlah, akhirnya terdapat dua lingkaran pertempuran. Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki Gede Kebo Lungit yang dibantu oleh Putut Sunjaka dan lingkaran pertempuran yang lain Ki Ageng Sela Gilang dan Anjani melawan murid-murid Ki Gede sebanyak enam orang.
Ketika kemudian Ki Gede Kebo Lungit telah memberi isyarat kepada Putut Sunjaka untuk memulai pertempuran, ternyata justru mereka berdua telah dikejutkan oleh teriakan murid-murid padepokan Kebo Lungit yang telah mendahului menyerang Ki Ageng dan Anjani.
Mereka mengira bahwa untuk menundukkan orang tua dan gadis yang pantas menjadi cucunya itu akan sangat mudah. Orang tua berbaju hitam itu menurut penalaran mereka sudah sangat tua bangka dan sama sekali tidak bersenjata, sedangkan perempuan muda yang sangat cantik itu tampak lemah dan sangat disayangkan jika kulitnya yang halus mulus itu sampai tergores senjata. Maka mereka memilih menggunakan tangan kosong untuk menyerang Ki Ageng dan Anjani.
Murid-murid perguruan Kebo Lungit itu bertempur seperti pemburu yang sedang mengejar mangsanya. Mereka berteriak teriak untuk melumpuhkan daya tahan batin dari kedua lawan mereka. Bahkan tak jarang ada yang menyelipkan kata-kata kotor sekedar untuk membuat Anjani melemah perlawanannya.
Ki Rangga Agung Sedayu yang melihat cara para murid perguruan Kebo Lungit itu bertempur telah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun dia percaya sepenuhnya kepada kedua teman seperjalanannya itu terutama guru Pangeran Ranapati. Kalau Ki Singa Wana Sepuh julukan dari guru Pangeran Ranapati itu menghendaki, tidak ada sepenginang tentu lawan lawannya sudah terbujur menjadi mayat.
Sementara Putut Sunjaka yang sudah tidak dapat menahan diri telah menggeram keras bagaikan auman seekor harimau belang. Dengan melompat bagaikan tatit yang menyambar di udara, Putut yang telah kenyang berpetualang itu telah mengayunkan pedangnya dengan deras membabat lambung Ki Rangga.
Ki Rangga cukup terkejut melihat kecepatan serangan dan deru angin yang menyertai sambaran pedang Putut Sunjaka. Itu menandakan betapa kuat dan besarnya tenaga yang dimiliki Putut Sunjaka. Namun Ki Rangga bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan. Pengalamannya berpetualang bersama Panembahan Senopati di masa mudanya dan juga petunjuk-petunjuk yang sering diterimanya dari Pangeran Benawa telah membuat Ki Rangga Agung Sedayu tumbuh menjadi raksasa dalam olah kanuragan. Selain ilmu-ilmu dari perguruan orang bercambuk sendiri yang jarang di cari bandingannya.
Dengan menarik kaki kirinya selangkah ke samping, ujung pedang itu hanya lewat setebal jari, namun sambaran anginnya terasa bagaikan mengiris kulit Ki Rangga sampai menembus bajunya.
“Alangkah dahsyatnya,” desis Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebenarnyalah Ki Rangga tidak pernah meremehkan lawan lawannya. Segera saja di trapkan ilmu kebalnya sampai ke puncak untuk mengatasi serangan lawannya yang nggegirisi.
Belum sempat Ki Rangga balas menyerang, dari sisi lain Ki Gede Kebo Lungit ternyata telah menggunakan ujung tongkatnya untuk mengetuk tengkuk Ki Rangga yang sedang bergeser ke samping.
Dengan cepat Ki Rangga yang tidak mau tengkuknya remuk terketuk tongkat besi Ki Gede itu menunduk sambil bertumpu pada satu kakinya berputar menghadap Ki Gede untuk balas menyerang, namun ternyata Putut Sunjaka telah mendahuluinya dengan sebuah tusukan yang lurus mengarah ulu hati justru pada saat Ki Rangga dalam keadaan membungkuk.
Tidak ada jalan lain bagi Ki Rangga selain melontarkan dirinya ke belakang dalam keadaan masih membungkuk sambil melontarkan serangan melalui ujung cambuknya yang meledak memekakkan telinga mengarah ke kening Putut Sunjaka.
Putut Sunjaka sadar bahwa akibat dari lecutan cambuk itu akan sangat berbahaya karena pada ujung cambuk itu terdapat kerah-kerah baja yang dapat merobek kulit dan meremukkan tulang. Menyadari hal itu, Putut Sunjaka segera menarik serangannya. Dengan merendahkan dirinya agar ujung cambuk Ki Rangga tidak menyentuh keningnya, dia siap membabat kaki Ki Rangga dengan pedang besarnya.
Demikianlah pertempuran menjadi semakin sengit. Ki Rangga dengan lincahnya menghindari setiap serangan dari kedua lawannya. Namun lawan lawannya juga telah banyak makan asam garamnya dunia olah kanuragan sehingga keduanya telah meningkatkan serangannya.
Dalam pada itu, murid-murid Ki Gede yang mengeroyok Ki Ageng dan Anjani telah bertempur dengan tidak kalah riuhnya. Dengan menggunakan tangan kosong mereka berteriak teriak berusaha menangkap hidup-hidup kedua lawan mereka terutama Anjani yang cantik.
Ki Ageng yang dipandang sebelah mata oleh lawan lawannya itu ternyata telah bertempur dengan cara yang tidak sewajarnya. Selaku orang tua yang sudah renta, dia bertempur sambil terhuyung-huyung tidak tentu arah namun lawan lawannya sangat sulit untuk menangkapnya. Kadang-kadang murid-murid Ki Gede Kebo Lungit itu merasa betapa lawannya yang sudah kehabisan nafas itu tinggal meraih saja untuk ditangkap, tetapi ternyata masih sangat licin dan selalu bergerak terhuyung-huyung ke sana ke mari. Bahkan kadang-kadang tanpa sengaja menabrak salah satu murid Kebo Lungit yang hampir berhasil menangkap Anjani sehingga murid Kebo Lungit itu pun justru terdorong kesamping hampir terjatuh. Pada saat itulah kaki mungil Anjani yang terlihat halus dan mulus itu telah mendarat di dadanya sehingga dia jatuh terguling guling.
Anjani memang terlihat bertempur dengan setengah hati. Entah apa yang sedang bergejolak dalam dadanya. Sesekali kadang dia tampak garang menyerang lawan-lawannya, namun suatu saat dia hanya berdiri termangu-mangu saja ketika lawan lawannya berbalik menyerangnya secara bersamaan. Pada saat yang gawat itulah Ki Ageng Sela Gilang selalu berusaha menolong Anjani dengan gerakan-gerakan yang aneh bahkan kadang terlihat tidak disengaja.
Suatu saat seorang murid Kebo Lungit meloncat menyerang Ki Ageng dengan tendangan kaki mendatar mengarah lambung, sedang lawan yang satunya dari arah yang lain menubruk dengan kedua tangan terkembang. Ki Ageng yang menyadari kedua serangan itu cukup berbahaya malah terlihat menjatuhkan diri duduk di atas tanah yang berdebu dengan nafas yang tersengal-sengal sambil bertelekan pada kedua tangannya. Tentu saja tendangan lawannya lewat sejengkal di atas kepalanya sedang lawan satunya yang menubruk dengan jari-jari tangan terbuka mirip dengan cakar macan itu melayang lewat di atas kepalanya pula.
Namun ketika tubuh lawannya itu sedang melayang, tiba-tiba Ki Ageng yang sedang duduk itu bergerak mengangkat tubuhnya seakan mau berdiri sehingga kepalanya membentur perut lawan. Tentu saja benturan itu menambah daya dorong dan menghilangkan keseimbangan lawannya sehingga dia jatuh terbanting di atas jalan berdebu dengan kepalanya terlebih dahulu membentur tanah. Sejenak murid Kebo Lungit itu memekik keras namun kemudian tergeletak tak bergerak, pingsan.
Murid-murid Kebo Lungit yang lain tertegun ketika melihat peristiwa itu. Kini yakinlah mereka bahwa lawannya yang kelihatannya sudah tua bangka ini ternyata sangat berbahaya, dan apa yang diperagakan selama ini hanyalah berpura-pura. Seolah olah dengan sengaja mengejek kemampuan murid-murid perguruan Kebo Lungit.
Menyadari hal itu, serentak tiga orang yang terdekat dengan Ki Ageng segera mencabut senjata masing-masing. Namun dua orang yang berhadapan dengan Anjani justru berdiri termangu mangu memandangi wajah cantik Anjani yang terlihat murung sambil menundukkan wajahnya.
“Cepat cabut pedang kalian!” salah seorang murid Kebo Lungit yang berhadapan dengan Ki Ageng berteriak memperingatkan kawan kawannya yang masih ragu-ragu mencabut senjatanya untuk menghadapi Anjani.
“Cepat..!” kembali dia berteriak ketika dilihatnya kedua orang kawannya itu masih ragu-ragu, “Mereka ternyata bukan manusia biasa dan kita telah dipermainkan selama ini.”
Teriakan yang kedua itu ternyata telah membangunkan mereka berdua dari sebuah mimpi buruk. Dengan berloncatan mundur mereka pun kemudian mengambil jarak sambil menghunus senjata mereka masing-masing.
Ki Ageng Sela Gilang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam begitu mengetahui keadaan Anjani yang masih termangu-mangu dan belum menghunus senjatanya. Ki Ageng benar-benar resah melihat perilaku perempuan yang kecewa itu. Hatinya benar-benar telah patah dan tidak ada semangat hidup lagi.
“Apakah dengan demikian dia sengaja memanfaatkan kesempatan kali ini untuk membunuh diri?” tiba-tiba pikiran yang aneh menyelinap di dalam benak Ki Ageng.
Tiba-tiba Ki Ageng merasa ketakutan dengan pemikirannya sendiri. Membayangkan Anjani memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menyerahkan nyawanya ditangan murid-murid Kebo Lungit.
Dalam pada itu Ki Rangga Agung Sedayu ternyata telah meningkatkan ilmunya sejalan dengan gempuran kedua lawannya yang semakin dahsyat. Ilmu kebalnya telah mencapai tataran puncak dan mengeluarkan hawa panas yang terasa semakin menyengat kulit guru dan murid itu. Pada awalnya mereka menduga panas itu berasal dari terik Matahari yang telah mencapai puncaknya. Namun ketika panas itu terasa semakin menyengat ketika mereka berdua berusaha mendesak Ki Rangga Agung Sedayu dan bahkan panas itu rasa-rasanya semakin tak tertahankan ketika mereka berada dekat dengan Ki Rangga, sadarlah kedua murid dan guru itu bahwa Ki Rangga telah mengetrapkan sebuah ilmu yang ngedab-edabi.
“Gila,” geram Putut Sunjaka sambil meloncat menjauh ketika panas itu terasa menghanguskan tubuhnya. Sejenak kemudian dia segera mengetrapkan salah satu jenis ilmu yang dimilikinya.
Ilmu Putut Sunjaka ternyata sebuah ilmu yang dapat meningkatkan daya tahan yang luar biasa. Walaupun ilmu yang dimilikinya itu bukan ilmu kebal atau tameng Waja, namun landasan ilmu dari Putut yang telah menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung hampir mirip dengan ilmu kebal, hanya saja kulitnya masih dapat terluka jika sebuah senjata tajam menggoresnya.
Ki Gede Kebo Lungit ternyata tidak tinggal diam melihat murid kebanggaannya itu terpengaruh oleh hawa panas akibat dari ilmu kebal Ki Rangga. Dengan meloncat tinggi-tinggi sambil memutar tongkatnya di atas kepala, tiba-tiba saja Ki Gede telah menghentakkan tongkatnya lurus ke arah Ki Rangga Agung Sedayu. Sebuah ledakan terdengar disertai asap hitam mengepul. Sekejab kemudian serpihan-serpihan besi baja berhamburan menerjang Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Rangga Agung Sedayu yang sudah menduga bahwa pada suatu saat Ki Gede Kebo Lungit pasti akan melancarkan serangan dengan senjata andalannya itu segera memutar cambuknya membentuk perisai yang melindungi dirinya dari serbuan serpihan-serpihan besi baja yang tak terhitung jumlahnya.
Melihat serangan gurunya tidak berhasil melukai Ki Rangga, Putut Sunjaka yang sudah waringuten segera memutar pedang besarnya. Suara desingnya seperti menusuk nusuk telinga yang mendengarnya. Sejenak kemudian bilah pedang itu seakan akan memancarkan cahaya yang menyilaukan ditimpa oleh sinar Matahari yang terik.
Putut Sunjaka ternyata telah meningkatkan ilmunya yang lain. Dengan disertai teriakan yang menggelegar, Putut yang telah bertahun-tahun meninggalkan padepokannya itu membuat gerakan berputar mengelilingi Ki Rangga Agung Sedayu. Semakin lama putaran itu semakin cepat.
Ketika kemudian Putut Sunjaka sambil berputar menggerakkan pedangnya menyerang Ki Rangga Agung Sedayu, Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu terkejut. Selain sinar yang menyilaukan yang seolah keluar dari bilah pedang akibat pantulan sinar Matahari, dalam pandangan Ki Rangga seolah olah pedang itu menjadi berpuluh-puluh dan menyerangnya dari segala penjuru. Diperlukan waktu sekejap untuk mengetahui dengan pasti dari manakah serangan yang sesungguhnya.
“Mirip dengan ilmu bayangan semu,” desis Ki Rangga dalam hati, “Namun watak dari ilmu ini agak berbeda, diperlukan panggraita yang tajam dan kecepatan penalaran dalam mengurai setiap gerakan. Karena kesalahan dalam sekejap dapat berarti maut.”
Menyadari akan hal itu, Ki Rangga yang sudah mengetrapkan ilmu kebal sampai ke puncak itu telah meningkatkan panggraitanya untuk membedakan arah serangan dari Putut Sunjaka. Walaupun ilmu kebal Ki Rangga sudah sampai ke puncak, namun bukan berarti jaminan bahwa tubuhnya akan kalis dari segala jenis senjata tajam dan benturan yang mengandung kekuatan cadangan. Untuk itu Ki Rangga pun telah meningkatkan kecepatan geraknya sehingga seolah olah Ki Rangga telah kehilangan bobot tubuhnya.
Putut Sunjaka mengumpat kasar ketika menyadari bahwa serangannya selalu dapat dihindari oleh Ki Rangga. Gerakan Ki Rangga yang cepat dan tanpa bobot telah menyulitkan Putut Sunjaka untuk menyarangkan pedangnya di tubuh lawannya. Bahkan tidak jarang justru ujung cambuk Ki Rangga yang meledak hampir tak bersuara itu yang mulai menjamah kulitnya.
Ki Gede Kebo Lungit yang melihat muridnya menemui kesulitan menghadapi ilmu Ki Rangga Agung Sedayu segera melompat maju sambil menirukan gerakan Putut Sunjaka berlari memutari Ki Rangga namun berlawanan arah dengan Putut Sunjaka. Ki Gede membuat lingkaran yang lebih besar di luar lingkaran yang telah dibuat muridnya. Kemudian dengan teriakan nyaring sebagai isyarat kepada Putut Sunjaka, kedua putaran itu tiba-tiba berbalik arah dan menyerang Ki Rangga dari dua arah yang berbeda.
Ki Rangga sempat terkejut dengan perubahan putaran kedua lawannya itu sehingga ketika pedang Putut Sunjaka menggapai punggung, terasa sesuatu menggores punggungnya walaupun hanya segores tipis karena kemampuan ilmu kebalnya telah menahan ujung pedang itu menggores terlalu dalam.
Belum sempat Ki Rangga memperbaiki kedudukannya tiba-tiba di waktu yang hampir bersamaan tongkat Ki Gede telah mengenai lambungnya. Sambaran tongkat Ki Gede memang tidak meninggalkan luka namun lambung Ki Rangga rasanya bagaikan tertimpa pohon mahoni sebesar pelukan orang dewasa.
Ki Rangga benar-benar dalam kesulitan ketika sekali lagi Ki Gede berteriak nyaring dan putaran itu pun kembali berubah arah. Demikian berkali kali dengan aba-aba yang telah disepakati oleh mereka berdua, kadang teriakan nyaring, kadang bersuit, dan bahkan kadang-kadang mereka berteriak bersahutan dengan mengubah arah putaran sekehendak hati mereka.
Ketika sekali lagi pangkal lengan kiri Ki Rangga tergores oleh pedang lawannya, Ki Rangga pun telah memutuskan untuk meningkatkan ilmunya. Dengan sebuah lompatan yang tinggi sekali didorong oleh kemampuan Ki Rangga untuk menghilangkan bobot tubuhnya, sekali berputar di udara, Ki Rangga pun kemudian mendarat di tanah dengan kaki renggang dan siap melancarkan serangan balasan.
Lawan lawannya yang menunggu Ki Rangga turun dari udara telah siap untuk melancarkan serangan yang dahsyat. Namun alangkah terkejutnya mereka, ketika Ki Rangga Agung Sedayu telah mendarat dan berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh, ternyata ujud Ki Rangga telah terpecah menjadi tiga.
“Kakang kawah dan adi ari-ari,” seru lawan-lawannya sambil menahan senjata mereka, karena mereka memerlukan waktu sesaat untuk membedakan yang manakah ujud yang asli dan manakah yang hanya bayangan saja.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ki Rangga. Ketiga ujud Ki Rangga itupun kemudian bergerak menyerang lawan-lawannya dari arah yang berbeda-beda. Ketiga ujud Ki Rangga itu seakan akan sudah terlatih untuk saling bergerak dari arah yang berbeda-beda agar panggraita lawannya tertipu.
Demikianlah ketika kedua lawannya masih sibuk membedakan ujud-ujud Ki Rangga yang bergerak simpang siur sambil meledakkan cambuknya, sebuah sengatan telah melukai pelipis Ki Gede. Sengatan cambuk Ki Rangga itu ternyata terlalu kuat sehingga meninggalkan luka yang cukup parah di pelipis Ki Gede. Segera saja darah segar meleleh membasahi sebagian wajahnya.
Belum sempat Ki Gede menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, terdengar keluhan tertahan dari muridnya, Putut Sunjaka. Murid kebanggaannya itu ternyata telah meloncat mundur sambil memegangi dadanya yang terkoyak oleh lecutan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu.
Salah satu ujud Ki Rangga Agung Sedayu tampak memburu Putut Sunjaka yang meloncat mundur, namun Ki Gede yang mempunyai waktu sekejab untuk mengenali ujud asli lawannya, ternyata telah menggeram sambil menggerakkan tongkatnya ke arah ujud Ki Rangga yang sedang memburu Putut Sunjaka.
Sebuah ledakan yang dahsyat kembali terdengar dan dari ujung tongkat Ki Gede, menyembur asap hitam disertai dengan serihan-serpihan besi baja yang tak terhitung jumlahnya menerjang salah satu ujud Ki Rangga Agung Sedayu.
Ternyata panggraita Ki Gede benar, ujud Ki Rangga yang sedang memburu Putut Sunjaka itu adalah ujud yang asli. Terbukti ujud Ki Rangga itu dengan cepat membalikkan badan sambil memutar cambuknya. Serpihan-serpihan besi baja itu pun akhirnya rontok dan jatuh ke tanah berserakan.
Belum sempat Ki Gede melancarkan serangan susulan, ujud-ujud Ki Rangga itu telah bergabung untuk kemudian pecah lagi menjadi tiga sambil berlompatan menyerang kedua lawannya.
Dua ujud Ki Rangga ternyata telah menyerang Ki Gede dengan sambaran cambuknya mengarah lambung dari sisi kanan dan kiri secara bersamaan, sedang ujud yang satunya menyerang Putut Sunjaka yang telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Ki Gede memerlukan waktu sekejap untuk mengurai ujud-ujud Ki Rangga yang menyerangnya, dan itu adalah kelemahannya. Ketika panggraita Ki Gede telah berhasil menemukan ujud Ki Rangga yang asli, ternyata ujung cambuk yang berkerah baja itu telah berhasil menyobek lambungnya.
Ki Gede Kebo Lungit mengumpat keras dan berusaha menjauh dengan melompat mundur sejauh jauhnya sambil mendekap lambungnya yang terluka dengan tangan kiri. Ketika Ki Rangga Agung Sedayu berniat akan memburu lawannya yang sudah terluka itu, tiba-tiba sebuah sambaran yang keras menerjangnya dari arah belakang.
Ki Rangga menghentikan langkahnya untuk mengejar Ki Gede Kebo Lungit yang sudah terluka cukup parah. Sambil merendahkan tubuhnya, Ki Rangga bergeser selangkah kesamping. Ketika sambaran pedang Putut Sunjaka itu berdesing di atas kepalanya, cambuk Ki Rangga pun meluncur mematuk lambung Putut Sunjaka.
Putut Sunjaka tidak mau lambungnya mengalami luka seperti gurunya. Segera saja ditarik serangannya sambil meloncat kebelakang. Ketika kemudian ujud-ujud Ki Rangga itu bersatu kembali untuk kemudian pecah menjadi tiga, Putut Sunjaka masih memerlukan waktu sekejap untuk mengenali ujud yang asli.
Dalam pada itu, ketika Ki Rangga sedang disibukkan oleh serangan-serangan Putut Sunjaka, Ki Gede Kebo Lungit yang sudah terluka itu ternyata telah menggunakan kesempatan yang sekejap untuk menghindar dari medan pertempuran. Dengan tertatih tatih ternyata dia mampu mendekati kuda-kuda yang ditambatkan di pinggir jalan tidak jauh dari tempat pertempuran. Dengan menghentakkan kekuatan terakhir, Ki Gede Kebo Lungit pun kemudian berhasil meloncat ke punggung kuda dan memacunya lolos dari tempat yang mengerikan itu.
Suara derap kaki kuda ternyata telah mengejutkan mereka yang sedang menyabung nyawa. Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari kelengahannya mencoba untuk memburu Ki Gede yang sudah memacu kudanya sejauh beberapa tombak. Namun sebelum usaha Ki Rangga itu berhasil, terdengar suitan panjang membelah udara di siang yang sangat terik itu. Sejenak kemudian murid-murid yang tersisa dari Ki Gede Kebo Lungit itu bagaikan wuru. Mereka telah menghentakkan kekuatan terakhir mereka untuk menyerang siapa saja yang berada di dekat mereka agar guru mereka dapat lolos dari tempat itu.
Putut Sunjaka yang mendengar isyarat dari gurunya itu segera menyerang dengan membabi buta. Perhatian Ki Rangga yang terpecah dengan lolosnya Ki Gede telah memberikan kesempatan kepada Putut Sunjaka untuk mengenali ujud Ki Rangga yang asli. Demikian dia mengenali ujud yang asli itu, serangannya pun datang membadai menerjang Ki Rangga Agung Sedayu.
Sedangkan murid-murid yang lain telah menerjang Anjani dan Ki Ageng. Ki Ageng yang merasa serangan membadai itu dapat membahayakan Anjani segera meloncat di sebelahnya. Dengan kemampuan yang tinggi, disapunya lawan lawannya yang berani mendekat dengan ilmunya yang nggegirisi. Dari kedua telapak tangan guru Pangeran Ranapati itu meluncur semacam gumpalan kabut yang berputar dahsyat seperti angin puting beliung yang kemudian menerjang dan menghempaskan lawan lawannya yang berani mendekat.
Terdengar teriakan dan sumpah serapah dari murid-murid Kebo Lungit. Senjata-senjata mereka terlepas dari genggaman dan terlempar seperti daun-daun kering yang dihembus badai. Sedangkan tubuh-tubuh murid Kebo Lungit itu pun akhirnya bertumbangan tumpang tindih tak berdaya.
Sementara itu, Putut Sunjaka yang menyerang Ki Rangga dengan segenap kekuatannya ternyata telah terbentur dengan kekuatan yang tidak terlawan. Ki Rangga Agung Sedayu terlalu tangguh untuk dilawan sendirian. Lolosnya Ki Gede Kebo Lungit membuat Putut yang telah mengalami petualangan di berbagai medan itu semakin terdesak. Kini Ki Rangga Agung Sedayu tidak perlu lagi mengetrapkan ilmu kakang kawah adi ari-ari. Dengan berbekal ilmu kebal dan kemampuannya untuk menghilangkan bobot tubuhnya serta ilmu cambuk yang hampir sempurna, telah membuat Putut Sunjaka tak berkutik.
Namun ada satu hal yang membuat Ki Rangga Agung Sedayu terheran heran. Putut ini seakan akan tidak merasakan semua luka yang ada di tubuhnya. Tandangnya masih saja garang walaupun sudah tidak berbahaya. Darah yang seperti terperas akibat luka-luka yang silang menyilang di sekujur tubuhnya seolah olah tak dirasakan. Dengan teriakan kasar dan umpatan-umpatan yang kotor Putut Sunjaka tetap memburu kemanapun Ki Rangga berusaha menghindar.
Sebenarnya Ki Rangga Agung Sedayu bukanlah seorang pembunuh. Keputusan terakhir itu dibuat pada saat-saat yang sudah tidak dapat dipertimbangkan lagi, pada saat keselamatan jiwanya lebih utama dari pada segala paugeran-paugeran bebrayan yang berlaku.
Demikianlah akhirnya, ketika sebuah luka lagi menggores di pundak, dan sekali lagi sebuah luka yang memanjang di paha, maka perlawanan Putut yang garang itu sudah hampir berakhir.
Sejenak Putut terpercaya dari perguruan Kebo Lungit itu terjatuh pada lututnya. Dengan menggeram keras dia masih berusaha menyerang Ki Rangga Agung Sedayu yang berjalan perlahan lahan mendekatinya.
“Menyerahlah,” berkata Ki Rangga sambil perlahan mengambil jarak beberapa langkah di depan Putut Sunjaka. Betapapun keadaan lawannya, Ki Rangga tetap tidak meninggalkan kewaspadaan.
Putut Sunjaka mengeram keras. Ketika Ki Rangga sekali lagi mencoba membujuk untuk menyerah, ternyata Putut yang keras hati itu telah berusaha menyerang Ki Rangga dengan mengerahkan kekuatan terakhirnya. Pedang yang berukuran cukup besar yang hampir tidak pernah terpisah dari dirinya, dengan sekuat tenaga telah dilemparkan ke arah Ki Rangga yang berdiri beberapa langkah di depannya.
Ki Rangga Agung Sedayu terkejut mendapat serangan yang tidak disangka sangka itu. Namun nalurinya sebagai orang yang berilmu tinggi telah menyelamatkannya, walaupun Ki Rangga masih belum melepaskan ilmu kebalnya.
Pedang itu meluncur deras mengarah ke dada Ki Rangga. Ki Rangga dengan gerak naluriah telah memiringkan tubuhnya, namun karena jarak yang terlalu dekat, ujung pedang itu masih menyentuh pundaknya.
Sejenak kemudian pedang yang menyentuh pundak Ki Rangga Agung Sedayu itu segera berubah arah dan terpelanting jatuh ke tanah, sedangkan pundak Ki Rangga tenyata tidak mengalami cedera sedikit pun, selain terlindung oleh ilmu kebalnya, juga lontaran Putut Sunjaka sudah tidak sedahsyat pada saat dia belum terluka parah, sehingga kekuatan lontaran itu tidak mampu menembus perisai ilmu kebal Ki Rangga Agung sedayu.
Sementara Putut Sunjaka yang telah menghentakkan kekuatan terakhirnya ternyata mengalami akibat yang sangat gawat. Darahnya benar-benar seperti terperas dari tubuhnya sehingga Putut yang garang itu telah jatuh terlentang. Sejenak dia masih menggeliat sambil menggeram, namun kesadaran Putut Sunjaka perlahan menghilang sejalan dengan maut yang menjemputnya.
Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Setelah melilitkan cambuknya di pinggang, Ki Rangga pun akhirnya berjalan mendekati tubuh yang sudah membeku itu.
Sambil berjongkok di sisi tubuh Putut Sunjaka yang terbujur diam, Ki Rangga mencoba meraba urat nadi yang ada di leher Putut yang sangat keras hati itu di masa hidupnya. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya Ki Rangga perlahan berdiri. Kemudian katanya kepada Ki Ageng yang datang menghampiri bersama Anjani, “Kekerasan hatinya telah dibawa sampai menghadap Yang Maha Agung. Bagaimana dengan murid-murid Kebo Lungit yang lain Ki Ageng?”
“Mereka hanya pingsan saja,” jawab Ki Ageng, “Namun salah seorang murid Kebo Lungit yang terkena panah dan tergeletak di bawah pohon mahoni itu sudah mati. Sebaiknya kita segera menghubungi para pengawal dan bebahu padukuhan Ngadireja ini untuk meminta bantuan menyelenggarakan para korban yang tewas.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika tanpa sadar pandangan matanya menatap Anjani yang menundukkan wajahnya di sisi Ki Ageng, Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menyapa, “Kau tidak apa-apa, Anjani?”
Wajah cantik tapi selalu tampak murung itu sejenak terangkat. Sekejap Ki Rangga dapat menangkap ada binar-binar kegembiraan yang tersirat di matanya. Namun dengan cepat wajah itu kembali menunduk sambil menggeleng pelan.
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Akhir-akhir ini terasa sikap Anjani yang semakin aneh. Jarang berbicara dan bahkan lebih banyak diam dan termenung.
Sementara itu Ki Ageng telah melangkah mendekati kedai-kedai yang berjajar-jajar di depan pasar. Sudut mata Ki Ageng tadi rasa rasanya menangkap bayangan-bayangan orang yang bergerak gerak dan mungkin sedang bersembunyi di balik kedai-kedai itu.
“Ki sanak,” berkata Ki Ageng dengan suara yang cukup keras sambil menghadap ke arah salah satu kedai, “Keluarlah, kalian tidak usah takut. Kalian berhadapan dengan prajurit dari Mataram yang sedang mengemban tugas.”
Sejenak suasana masih sunyi, tidak ada gerakan ataupun suara yang menanggapi pernyataan Ki Ageng, namun ketika Ki Ageng mengulangi lagi kata katanya, seseorang yang rambutnya sudah putih semua muncul dari balik salah satu kedai. Sambil berjalan penuh keragu raguan, orang itu mendekati Ki Ageng Sela Gilang.
Ki Ageng tersenyum sambil membentangkan kedua tangannya, “Nah, bukankah tidak ada yang perlu ditakutkan? Siapakah Ki sanak ini?”
Orang yang rambutnya sudah ubanan itu sejenak tertegun, langkahnya terhenti beberapa langkah di depan Ki Ageng. Dengan ragu-ragu akhirnya orang itu menjawab, “Aku Ki Dukuh Ngadireja. Kedatanganku kemari atas laporan para pengawal dan bebahu padukuhan bahwa telah terjadi kerusuhan di depan pasar Ngadireja.”
“O.,” Ki Ageng mengangguk anggukkan kepalanya, “Ternyata aku berhadapan dengan Ki Dukuh Ngadireja. Ma’afkan kami Ki Dukuh, sebenarnyalah itu semua bukan maksud kami. Tapi Ki Rangga Agung Sedayu, Senapati pasukan khusus dari Mataram telah bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit, buronan Mataram yang selama ini telah menjadi duri bagi pemerintahan Mataram.”
Selesai berkata demikian Ki Ageng menunjuk ke arah Ki Rangga yang sedang berjalan menuju ke arah mereka berdiri.
Ki Dukuh mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling kearah salah satu kedai, dia berseru, “Ki Jagabaya dan para pengawal keluarlah.! Semuanya sudah jelas. Mereka adalah para prajurit dari Mataram.”
Segera saja beberapa orang bermunculan dari balik salah satu kedai kemudian dengan tergesa-gesa berjalan mendekati Ki Dukuh.
“Ki Dukuh,” berkata seorang yang berperawakan tinggi besar dan berkumis melintang setelah tiba di dekat Ki Dukuh, “Sebelum mereka mampu menunjukkan jati diri mereka, kita jangan terlalu percaya begitu saja. Apakah buktinya bahwa mereka adalah para prajurit Mataram?”
Ki Dukuh sejenak tertegun sambil berpaling ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang sudah berdiri di sebelah Ki Ageng. Katanya kemudian, “Kau benar Ki Jagabaya. Betapapun mereka harus mampu menunjukkan pertanda sebagai prajurit Mataram.”
Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak mau persoalan itu menjadi berlarut-larut segera mengeluarkan sebuah lencana yang terbuat dari perak dari kantong ikat pinggangnya, “Ma’afkan kami Ki Dukuh yang telah membuat padukuhan ini resah. Tapi sesungguhnyalah aku adalah Senapati prajurit pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh.”
Selesai berkata demikian Ki Rangga mengangsurkan lencana perak yang ada di tangannya.
Terkejut Ki Dukuh dan Ki Jagabaya. Sebagai bebahu padukuhan mereka segera mengenali lencana itu, lencana yang terbuat dari perak adalah khusus untuk para perwira yang berkedudukan tinggi, seperti Senapati atau Tumenggung, sedangkan lencana yang terbuat dari tembaga untuk perwira yang setingkat Lurah prajurit.
Cepat-cepat kedua bebahu padukuhan Ngadireja itu membungkuk dalam-dalam sambil berkata, “Ma’afkan kami berdua Senapati, kami orang-orang padukuhan yang bodoh tidak menyadari akan kehadiran seorang Senapati di padukuhan kami.”
“Sudahlah,” berkat Ki Rangga, “Namaku Agung Sedayu dan kalian tidak usah memanggilku dengan jabatan yang aku sandang, panggillah aku dengan Agung Sedayu saja.”
Kedua bebahu padukuhan Ngadireja itu saling pandang sejenak. Tampak keragu-raguan membayang di wajah mereka. Namun setelah Ki Ageng memberi isyarat dengan anggukan kepala, kedua orang itu pun akhirnya menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk anggukan kepala.
Demikianlah akhirnya para bebahu dan pengawal padukuhan Ngadireja telah membantu menyelenggarakan pemakaman bagi yang tewas dalam pertempuran siang itu. Sementara Matahari mulai tergelincir dari puncaknya, namun panasnya masih terasa menghanguskan kulit.
Murid-murid padepokan Kebo Lungit yang telah siuman dari pingsan mereka telah dikumpulkan di depan sebuah kedai dengan tangan terikat di bawah pengawasan para pengawal, sedangkan dua orang pengawal telah berangkat ke Jati Anom untuk mendahului melaporkan terjadinya peristiwa pertempuran di depan pasar Ngadireja, agar Tumenggung Untaradira berkenan untuk mengirimkan prajuritnya mengawal para tawanan ke Mataram.
“Ki Rangga, Kau terluka,” berkata Ki Ageng setelah mereka selesai menyelenggarakan pemakaman bagi para korban, “Lebih baik luka itu segera diobati agar tidak bertambah buruk.”
Ki Rangga tersenyum sambil meraba pangkal lengan kirinya, “Luka ini tidak terlalu dalam, Ki. Dan aku sudah menaburkan obat untuk memampatkan darah yang mengalir.”
Ki Ageng mengerutkan kening sambil mengamat-amati pangkal lengan kiri Ki Rangga yang terluka, namun kemudian katanya sambil menggelengkan kepala, “Bukan luka yang ini maksudku, tapi luka di punggung Ki Rangga yang sama sekali belum dijamah. Walaupun hanya segores luka, namun jika tidak diobati dan dibiarkan dalam keadaan terbuka akan dapat memperburuk luka itu sendiri.”
Ki Rangga termangu mangu sejenak, namun kemudian katanya sambil mengambil bumbung obat dari kantong ikat pinggangnya, “Tolonglah Ki, aku tidak bisa menjangkau bagian belakang tubuhku.”
Bumbung kecil berisi obat itu diterima Ki Ageng, namun kemudian justru diangsurkan kepada Anjani yang berdiri di sebelah kirinya, “Anjani, peganglah bumbung obat ini. Sementara aku mencari air di perigi belakang kedai itu, Kau dapat menolong Ki Rangga untuk merawat luka itu sebelum di bersihkan dengan air.”
Sekejap Anjani bagaikan tak percaya dengan permintaan Ki Ageng, namun diterima juga bumbung obat itu sambil berkata pelan, “Bagaimana aku harus merawat luka Ki Rangga sebelum dibersihkan dengan air?”
Ki Ageng tersenyum, sambil memegang punggung Ki Rangga dari belakang, Ki Ageng berkata, “Buatlah luka ini menjadi baru lagi, maksudku darahnya harus keluar lagi agar apabila ada racun yang terkandung dalam luka ini bisa keluar, walaupun aku tahu Ki Rangga kebal segala jenis racun, namun alangkah baiknya kalau luka itu mengalirkan darah segar lagi sebelum dibersihkan dan ditaburi obat di atasnya.”
Anjani masing terlihat kebingungan, bagaimana mungkin membuat luka di punggung Ki Rangga berdarah kembali.
Agaknya Ki Ageng menyadari hal itu maka katanya kemudian, “Pijitlah di sekitar luka itu perlahan lahan agar darah yang mengering dapat mengalir lagi, sementara aku akan mencari air.”
Selesai berkata demikian Ki Ageng kemudian melangkah pergi. Ketika Ki Ageng sempat menoleh ke belakang, tampak Ki Rangga memandanginya dengan kerut-merut di dahi, dan Ki Ageng pun membalasnya dengan sebuah senyum simpul.
Sepeninggal Ki Ageng, Ki Rangga Agung Sedayu dan Anjani masih saling berdiam diri. Masing-masing merasa segan untuk memulai sebuah pembicaraan. Anjani yang diberi tugas oleh Ki Ageng untuk merawat luka Ki Rangga Agung Sedayu tidak berani bertindak gegabah, takut menyinggung perasaan Ki Rangga, sedangkan Ki Rangga sendiri merasa ada batas yang tidak boleh dilanggar antara dirinya dengan Anjani dengan alasan apapun.
“Anjani,” akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu berkata sareh, “Memang benar kata Ki Ageng bahwa luka yang sudah mengering itu harus dibuka kembali untuk mengetahui apakah mengandung unsur yang beracun atau tidak. Namun aku kira lukaku ini tidak perlu diperlakukan seperti itu, karena aku yakin lukaku ini tidak mengandung racun. Apa yang disebutkan oleh Ki Ageng tadi adalah untuk luka yang diderita oleh orang-orang kebanyakan.”
Sejenak Anjani masih menundukkan wajahnya sambil memegangi bumbung kecil yang berisi obat, namun kemudian sambil menghela nafas panjang dia mengangkat wajahnya memandangi titik-titik di kejauhan dengan pandangan mata yang ngelangut. Baru kemudian dia menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih, “Aku tahu memang Ki Rangga tidak membutuhkan pertolongan apapun dan aku tidak pernah bermimpi untuk menolong Ki Rangga karena sesungguhnya Ki Rangga sudah mempunyai segala galanya.”
Selesai berkata demikian Anjani meletakkan bumbung obat itu di atas pagar batu yang ada di sebelahnya. Kemudian sambil melangkah pergi dia berkata, “Mungkin sebaiknya Ki Ageng yang merawat luka Ki Rangga, karena beliau lebih mengerti tentang obat obatan, sedangkan aku hanya bisa melukai tanpa bisa mengobati.”
Berdesir jantung Ki Rangga mendengar kata-kata Anjani. Seolah olah kata-kata itu bagaikan ribuan duri yang menusuk nusuk jantungnya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dadanya, Ki Rangga mengambil bumbung obat yang diletakkan begitu saja oleh Anjani diatas pagar batu di depan kedai. Dengan langkah perlahan-lahan Ki Rangga akhirnya memutuskan untuk mendekati Anjani yang sedang duduk di atas sebongkah batu padas di bawah sebatang pohon asam.
Ketika kemudian Ki Rangga telah menempatkan dirinya duduk di atas akar-akar pohon asam yang menonjol ke permukaan tanah beberapa langkah di sebelah Anjani, ternyata Ki Ageng telah mendapatkan air dari perigi di belakang salah satu kedai. Kemudian dengan tergesa-gesa Ki Ageng berjalan menuju ke tempat Ki Rangga dan Anjani duduk.
“Nah,” berkata Ki Ageng sambil tersenyum ketika sudah sampai di depan Ki Rangga dan Anjani. Tangan kirinya membawa mangkuk dari tanah liat yang berisi air. Kemudian katanya sambil menatap Anjani yang menundukkan wajahnya, “Apakah Kau sudah selesai merawat luka Ki Rangga, Anjani?”
Anjani yang duduk sambil menyangga dagunya dengan kedua tangannya itu hanya menggeleng lemah tanpa memandang Ki Ageng. Pandangan matanya jatuh ke tanah dan wajahnya terlihat murung.
“He?” Ki Ageng agak terkejut mendapat jawaban Anjani, kemudian sambil menoleh ke arah Ki Rangga, dia melanjutkan kata katanya, “Apakah Ki Rangga tidak memberimu petunjuk bagaimana cara merawat sebuah luka? Ki Rangga ini juga seorang ahli pengobatan, murid dari Kiai Gringsing yang terkenal kemampuannya dalam hal pengobatan. Selain belajar dariku, Kau juga dapat menimba ilmu pengobatan dari Ki Rangga. Bukankah Kau pernah mengatakan kepadaku ingin mempelajari ilmu yang sangat berguna untuk menolong para kawula alit ini?”
Sekarang Ki Rangga Agung Sedayu lah yang terkejut. Tidak disangkanya ternyata Anjani pernah mengungkapkan keinginannya itu kepada Ki Ageng Sela Gilang. Dan sekaranglah kesempatan Anjani untuk mempelajari awal dari ilmu pengobatan itu dengan menggunakan luka Ki Rangga sebagai latihan. Namun agaknya Anjani terlalu segan untuk mengutarakan hal itu kepada Ki Rangga.
Untuk sejenak mereka bertiga terdiam. Matahari sudah semakin jauh tergelincir dari puncaknya. Mereka yang berada dibawah bayang-bayang pohon asam itu merasakan betapa sejuknya tubuh mereka setelah bertempur memeras keringat beberapa saat tadi. Sementara angin yang bertiup semilir telah membelai dan mempermainkan anak rambut yang jatuh tergerai di kening Anjani sehingga menambah pesona kecantikannya.
“Baiklah,” akhirnya Ki Ageng berkata untuk memecah kebisuan, “Aku akan merawat luka Ki Rangga dan untuk kali ini Kau cukup melihat saja, Anjani. Tapi lain kali Kau harus benar-benar terlibat untuk melatih dirimu meningkatkan pengetahuan dan pengalamanmu dalam bidang pengobatan.”
Anjani hanya dapat mengangguk.
Ki Ageng kemudian mempersilahkan Ki Rangga untuk duduk di atas sebongkah batu padas yang sebelumnya diduduki oleh Anjani, sedangkan Ki Ageng dan Anjani telah mengambil tempat di belakangnya.
Sejenak kemudian Ki Ageng telah merawat luka Ki Rangga yang sebenarnya tidak terlalu parah, namun karena ingin memberikan pelajaran tentang pengobatan kepada Anjani, akhirnya luka itu memang dibuat berdarah kembali.
“Apakah tidak lebih baik kalau Ki Rangga membuka baju?” bertanya Ki Ageng sambil memijit-mijit sekitar luka itu sehingga mulai mengeluarkan darah, sementara Anjani memperhatikan di sebelahnya.
Ki Rangga menggeleng, jawabnya, “Ki Ageng dapat memperlebar sobekan yang sudah ada kalau memang Ki Ageng kurang leluasa. Biarlah baju yang sobek ini nanti aku jahit kembali.”
Ki Ageng hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian dengan cekatan dibersihkannya luka Ki Rangga yang sudah mengalirkan darah kembali. Setelah bersih dan dikeringkan dengan secarik kain khusus yang lembut, Ki Ageng pun menaburkan obat yang diambil dari kantong ikat pinggangnya sendiri di atas luka itu.
“Nah,” berkata Ki Ageng dengan masih tetap berjongkok di belakang Ki Rangga, “Tahap terakhir adalah menutup luka ini. Kalau luka itu tidak terlalu lebar, tidak usah ditutup, cukup ditaburi obat di atasnya hingga pampat, namun kalau luka itu cukup lebar dan terbuka, harus ditutup dengan sejenis sarang laba-laba yang banyak kita temukan di pojok-pojok dinding rumah kita.”
Selesai berkata demikian, Ki Ageng segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari daun pisang dari salah satu kantong ikat pinggangnya. Ketika bungkusan itu dibuka, tampak beberapa buah sarang laba-laba yang disebut gamet berwarna putih bersih seperti kapas.
“Kalau luka itu memanjang dan dalam?” tanpa sadar Anjani bertanya.
“O.., kalau itu harus dijahit. Suatu saat nanti aku akan mengajarimu bagaimana memperlakukan luka seperti itu,” Ki Ageng berhenti sejenak, kemudian katanya, “Sekarang giliranmu Anjani, ambillah satu gamet ini dan rentangkan perlahan lahan, kemudian lekatkan di atas luka Ki Rangga.”
Ki Ageng segera mengangsurkan bungkusan daun pisang itu ke depan Anjani yang masih berjongkok di sebelahnya. Kali ini Anjani tidak bisa menolak. Dengan jari jemari yang lentik dan halus diambilnya sebuah gamet dari bungkusan itu. Kemudian dengan tangan yang sedikit gemetar, gamet yang sudah direntangkan perlahan lahan agar melebar itu didekatkan di atas luka.
Ketika jari jemari Anjani menyentuh punggung Ki Rangga, tiba-tiba saja ada getaran aneh yang merambat dan menyusup ke jantung Ki Rangga. Getaran itu begitu kuatnya sehingga membuat jantung Ki Rangga berdegup semakin kencang.
“Berilah tekanan sedikit agar gamet itu benar-benar mereka, tapi jangan terlalu keras, nanti bisa menyebabkan luka itu berdarah lagi,” berkata Ki Ageng memberi petunjuk.
Dengan tangan yang masih gemetar, jari jemari lentik itu pun sekali lagi menyentuh punggung Ki Rangga, dan dengan lembut serta penuh perasaan Anjani menekan nekan gamet itu agar benar-benar melekat pada luka dan melindungi dari kemungkinan terkena debu atau kotoran.
Segala gerak-gerik Anjani itu tidak lepas dari pengawasan Ki Ageng. Guru Pangeran Ranapati yang semenjak masa mudanya selalu berusaha menjauhkan diri dari keterikatannya dengan makhluk yang namanya perempuan itu diam-diam memperhatikan perubahan yang terjadi pada raut wajah Anjani. Betapa wajah itu menampakkan keragu-raguan pada awal mulanya, namun kemudian yang terpancar dari wajah yang cantik itu adalah sebuah ketulusan dan keikhlasan untuk berbuat kebaikan bagi sesamanya.
Dalam pada itu dua orang tampak sedang bercakap-cakap di pinggir sebuah hutan yang cukup lebat di perbatasan padukuhan Ngadireja. Hutan yang membujur di sebelah barat padukuhan Ngadireja ke arah selatan.
“Paman,” berkata orang yang usianya lebih muda, “Mengapa paman mengajakku menyingkir ketika aku ingin menyaksikan pertempuran antara Ki Gede Kebo Lungit melawan orang yang bersenjatakan cambuk itu?”
Orang yang dipanggil paman itu termangu mangu sejenak, kemudian katanya sambil menggelengkan kepalanya, “Kau belum mengerti kemampuan yang sebenarnya dari orang bercambuk. Walaupun aku sudah menyempurnakan ilmuku selama ini, namun aku yakin Agung Sedayu juga mempunyai kesempatan yang sama. Dan yang harus Kau ketahui tentang murid utama orang bercambuk itu adalah, dia bertempur tidak hanya mengandalkan ilmunya, tetapi juga otaknya.”
“Maksud paman?”
Orang yang dipanggil paman itu menarik nafas dalam-dalam. Ingatannya kembali ke beberapa tahun yang lalu ketika dia sebagai utusan Panembahan Cahya Warastra telah bertemu dengan Kiai Gringsing dan Agung Sedayu di tepian Kali Opak.
“Aku terlalu percaya diri pada waktu itu,” berkata orang itu yang tidak lain adalah Bango Lamatan, “Agung Sedayu sempat kebingungan menghadapi ilmuku. Berkali-kali aku berhasil memukulnya jatuh sehingga menumbuhkan keyakinan dalam diriku bahwa Agung Sedayu tidak mungkin bisa memecahkan rahasia ilmuku. Ternyata dugaanku salah. Agung Sedayu dengan cerdik telah memancingku untuk berbangga dengan keberhasilan-keberhasilan kecil. Padahal dia telah mengetahui keberadaanku sehingga aku menjadi lengah. Ketika aku sedang menikmati kemenangan kecilku, tiba-tiba datanglah serangannya yang dahsyat dan tak terduga-duga sehingga aku tidak mampu menghindari sepenuhnya. Akhir dari perang tanding itu benar-benar menyakitkan, aku telah berhasil dilumpuhkannya.”
Orang yang usianya lebih muda itu mengerutkan keningnya. Menurut pengamatannya selama ini, Bango Lamatan adalah orang yang tiada duanya setelah Panembahan Cahya Warastra. Aji Panglimunan yang dimiliki oleh Bango Lamatan adalah sebuah aji yang nggegirisi dan sudah jarang-jarang dimiliki orang pada masa itu.
“Alangkah senangnya,” desis orang yang usianya lebih muda itu dalam hati, “Seandainya aku memiliki aji Panglimunan, musuh-musuhku tidak akan melihat dimana aku berada. Dengan demikian akan mudah sekali bagiku untuk melumpuhkan lawan-lawanku tanpa mereka ketahui dari mana arah serangan itu datang.”
Namun kenyataannya Bango Lamatan yang sakti itu mampu dilumpuhkan oleh orang yang bernama Agung Sedayu.
“Agung Sedayu,” desis orang yang usianya lebih muda itu tanpa disadarinya.
“Ya, Agung Sedayu,” sahut Bango Lamatan yang agaknya mengetahui jalan pikiran orang yang usianya lebih muda itu, “Kini dia menjadi prajurit Mataram dengan pangkat Rangga, Ki Rangga Agung Sedayu, orang yang Kau jumpai di depan pasar Ngadireja siang tadi sebelum Kau lolos dari kepungan murid-murid Kebo Lungit.”
Orang yang usianya lebih muda itu ternyata adalah murid Panembahan Cahya Warastra yang lolos dari kepungan murid-murid Kebo Lungit di depan pasar Ngadireja siang tadi.
“Nah, sekarang Kau sudah mampu membayangkan kekuatan yang tersimpan di dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu,” berkata Bango Lamatan kemudian, “Bukannya aku seorang pengecut, tapi aku harus yakin bahwa ilmuku sudah sempurna sebelum aku beradu dada kembali dengannya.”
Murid Panembahan Cahya Warastra itu mengangguk anggukkan kepalanya. Namun sebelum dia sempat menjawab, dilihatnya Bango Lamatan mengerutkan keningnya sambil mengangkat kepalanya. Agaknya Bango Lamatan telah mendengar sesuatu padahal dirinya belum mendengar apa -apa selain suara angin yang bertiup menerobos sela-sela dedaunan dan burung-burung liar yang berkicau bersahutan.
Sejenak kemudian barulah telinganya lamat-lamat mendengar derap kaki seekor kuda yang sedang berderap pelan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan menuju ke tempatnya.
Segera saja Bango Lamatan memberikan isyarat untuk berlindung di balik lebatnya hutan, diantara pohon-pohon yang berjajar jajar rapat dan gerumbul-gerumbul liar yang pepat.
Ternyata mereka berdua tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian seekor kuda muncul dari balik tikungan di pinggir hutan itu dengan seorang penunggangnya yang tertelungkup di atasnya.
Melihat penunggang kuda yang tertelungkup itu, sekilas tampak Bango Lamatan ragu-ragu. Namun ketika kuda yang berderap pelan itu lewat hanya beberapa langkah saja dari tempat persembunyiannya, Bango Lamatan yakin bahwa penunggang kuda itu adalah orang yang dikenalnya.
Dengan cepat Bango Lamatan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya diikuti oleh murid Panembahan Cahya Warastra. Dengan tangkas kendali kuda itu segera diraihnya dan kemudian ditariknya perlahan lahan sehingga kuda itupun akhirnya berhenti.
“Ki Gede Kebo Lungit…!” teriak murid Panembahan Cahya Warastra ketika menyadari siapa penunggang kuda itu.
“Ya,” jawab Bango Lamatan sambil meraih pundak Ki Gede Kebo Lungit yang ternyata telah menjadi pingsan akibat luka yang dideritanya, “Bantu aku menurunkannya.”
Dengan tergesa-gesa murid Panembahan Cahya Warastra itu membantu Bango Lamatan menurunkan Ki Gede Kebo Lungit. Dengan sedikit kesulitan karena perawakan Ki Gede yang tinggi besar, akhirnya pemimpin perguruan Kebo Lungit itu berhasil diturunkan dari punggung kuda dan dibaringkan di atas rerumputan.
“Orang bercambuk itu,” desis Bango Lamatan dengan wajah tegang begitu mengenali luka yang ada di lambung Ki Gede.
Murid Panembahan Cahya Warastra itu ikut menjadi tegang. Ketika dia mencoba mengamati bekas luka dari cambuk Ki Rangga Agung Sedayu, jantungnya menjadi berdebar debar membayangkan kedahsyatan ilmu orang bercambuk itu.
Sementara Bango Lamatan yang masih merenungi luka itu menjadi teringat akan keadaan dirinya sewaktu berperang tanding dengan Agung Sedayu di tepian Kali Opak. Lukanya pada waktu itu memang agak lebih baik dibanding dengan Ki Gede, karena lukanya di tempat yang tidak terlalu berbahaya yaitu di daerah paha, namun kalau tidak cepat ditolong oleh Kiai Gringsing, mungkin akan dapat mengakibatkan kehabisan darah dan berujung pada sebuah kematian.
Ketika Bango Lamatan mencoba meraba denyut nadi di leher Ki Gede, orang kedua di padepokan Panembahan Cahya Warastra itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Denyut nadi itu sangat lemah sekali dan timbul tenggelam tak beraturan.
“Bagaimana Paman?” bertanya murid Panembahan Cahya Warastra, “Apakah masih ada kemungkinan Ki Gede untuk ditolong?”
Bango Lamatan menggeleng lemah, katanya kemudian, “Ki Gede sudah kehilangan darah terlalu banyak, dan aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Seandainya Panembahan Cahya Warastra sendiri yang hadir di sini, kemungkinan itu masih ada.”
“Maksud Paman?” murid Panembahan Cahya Warastra itu menjadi tegang, “Kita biarkan saja Ki Gede menemui ajalnya sementara kita tidak berbuat apa-apa sama sekali?”
Wajah Bango Lamatan yang biasanya acuh itu kini menjadi bersungguh-sungguh, jawabnya kemudian, “Tugas kita adalah mencari dukungan ke perguruan-perguruan yang tersebar di tanah ini. Semua jalur menuju ke Menoreh sebagai tempat landasan perjuangan untuk menggempur Mataram telah kita awasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan sebelum semua perguruan berkumpul di Menoreh. Ki Gede Kebo Lungit adalah salah satu dari sekian banyak perguruan yang telah kita hubungi, namun Ki Gede mempunyai keterikatan dendam dengan Ki Rangga Agung Sedayu secara pribadi, itulah yang agaknya membuat Ki Gede sulit untuk menempatkan dirinya dalam satu barisan dengan Panembahan Cahya Warastra.”
Murid Panembahan Cahya Warastra itu mengangguk anggukkan kepalanya, namun kemudian katanya, “Aku melihat di dalam perguruan Panembahan Cahya Warastra sendiri telah bergabung beberapa orang yang tidak mempunyai jalur ilmu dari Panembahan Cahya Warastra. Apakah demikian itu memang yang dikehendaki oleh Panembahan Cahya Warastra sendiri?”
“Ya,” jawab Bango Lamatan, “Salah seorang itu adalah aku sendiri. Aku bukan murid Panembahan Cahya Warastra, namun karena Panembahan melihat tataran ilmuku, beliau telah menempatkan aku sebagai orang kedua dalam perguruan. Bukan untuk urusan penyampaian dan peningkatan ilmu dari jalur Panembahan Cahya Warastra, namun lebih dari itu adalah untuk menempatkan perguruan Cahya Warastra di atas perguruan-perguruan lain yang akan bergabung di Menoreh.”
Murid perguruan Cahya Warastra itu mengangguk anggukkan kepalanya. Tampak di wajahnya masih tersimpan sebuah pertanyaan, terlihat dari sorot matanya, namun kelihatannya dia enggan untuk menyampaikan kepada Bango Lamatan.
Agaknya Bango Lamatan menyadari hal itu. Dan memang sudah banyak yang menyimpan pertanyaan serupa tapi tidak ada yang berani mengungkapkan pertanyaan itu kepadanya selaku orang kedua dalam perguruan Cahya Warastra.
Akhirnya sambil menepuk pundak murid perguruan Cahya Warastra itu, Bango Lamatan berkata, “Apakah Kau masih meragukan keberadaan Panembahan Cahya Warastra, seperti murid-murid yang lain sejak penyerbuan ke Menoreh beberapa waktu yang lalu?”
Murid perguruan Cahya Warastra itu menahan nafasnya sejenak sambil memandang Bango Lamatan. Ada sedikit kekhawatiran menyelinap dalam dadanya jika pertanyaan itu akan menyinggung perasaan Bango Lamatan. Namun akhirnya dengan memantapkan hati dia berkata, “Paman, memang pertanyaan itu sudah lama beredar di lingkungan para murid perguruan Cahya Warastra sejak terbetik berita bahwa Panembahan telah gugur di tangan Ki Patih Mandaraka sewaktu penyerbuan ke Menoreh. Memang waktu itu aku termasuk salah satu murid yang tidak ikut ke Menoreh. Namun kemudian bahwa jasad Panembahan Cahya Warastra tidak diketemukan setelah perang selesai, itulah yang menjadi pertanyaan. Kemudian beredar berita bahwa Panembahan Cahya Warastra mempunyai ilmu yang dapat menghindarkan dirinya dari segala macam penyakit, bahkan kematian sekalipun.”
Bango Lamatan hanya mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan murid perguruan Cahya Warastra itu. Sambil merenungi tubuh Ki Gede yang terbaring diam, akhirnya dia berkata, “Segala sesuatunya akan terbukti nanti. Aku rasa tidak perlu lagi memperdebatkan keberadaan Panembahan Cahya Warastra,” kemudian sambil meraba denyut nadi di leher Ki Gede, dia berkata sambil menghela nafas panjang, “Ki Gede sudah meninggal. Sebaiknya kita segera menyelenggarakannya sebelum Matahari terbenam.”
Sejenak kemudian kedua orang dari perguruan Cahya Warastra itu segera mencari tempat yang sesuai untuk memakamkan jasad Ki Gede Kebo Lungit. Dengan menggunakan peralatan seadanya, mereka mulai menggali tanah yang cukup gembur di dalam hutan itu. Sengaja mereka menggalinya cukup dalam agar tidak dibongkar oleh binatang buas yang masih banyak berkeliaran di dalam hutan itu.
Ternyata Bango Lamatan telah menguburkan semua barang milik Ki Gede Kebo Lungit termasuk senjatanya yang nggegirisi itu. Murid Panembahan Cahya Warastra itu masih sempat mengamat-amati senjata itu sebelum memasukkannya ke liang lahat.
“Senjata yang aneh,” desis murid Panembahan Cahya Warastra.
“Senjata yang didapatkan oleh Ki Gede Kebo Lungit dari hubungannya dengan orang-orang asing yang mulai menjamah tanah ini,” sahut Bango Lamatan.
Murid Panembahan Cahya Warastra itu mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Paman, apakah kedatangan orang-orang asing itu mempunyai maksud tertentu?”
Bango Lamatan menggeleng, “Aku tidak tahu. Tetapi menilik keberadaan mereka yang semakin banyak, agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka disini, dan sebaiknya kita sudah harus mulai waspada.”
“Apakah Kadipaten-Kadipaten yang ada di pesisir tidak mencegah mereka memasuki tanah ini semakin jauh ke pedalaman?”
“Kedatangan mereka justru menguntungkan bagi yang tinggal di pesisir. Orang-orang asing itu membawa barang-barang yang aneh dan bagus-bagus sehingga mereka mengadakan pergadangan dengan para penghuni yang tinggal pesisir.”
“Kerja sama yang saling menguntungkan,” berkata murid Panembahan Cahya Warastra itu akhirnya setelah selesai memakamkan jasad Ki Gede Kebo Lungit.
“Seharusnyalah begitu,” sahut Bango Lamatan sambil membersihkan tangannya dari tanah-tanah yang menempel. Namun karena tidak ada air, kedua tangan dan kaki Bango Lamatan itupun tetap kotor berlepotan tanah basah.
“Di seberang bulak itu ada parit,” berkata murid Panembahan Cahya Warastra sambil menunjuk ke arah timur, “Kita ikuti saja jalan setapak ini ke arah timur. Setelah padang perdu yang sempit, terdapat tanah pesawahan yang cukup luas yang berada di kanan kiri bulak yang panjang menuju ke padukuhan Ngadireja.”
“He..!” seru Bango Lamatan, “Bukankah kita berdua siang tadi melewati bulak itu? Rasanya aku masih belum terlalu tua dan pikun untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi.”
“Ah,” murid Panembahan Cahya Warastra itu tertawa pendek, “Agaknya akulah yang sudah dijangkiti oleh penyakit pikun.”
Demikianlah akhirnya, menjelang senja yang temaram, kedua orang dari padepokan Cahya Warastra itu membersihkan diri di parit yang mengairi sawah di sebelah menyebelah bulak yang menuju ke padukuhan Ngadireja.
“Bagaimana dengan kuda itu, Paman?” bertanya murid Panembahan Cahya Warastra sambil naik ke tanggul setelah selesai membersihkan dirinya.
Bango Lamatan tidak menjawab. Dengan perlahan dia menaiki tanggul yang tidak begitu tinggi itu. Sesampainya di atas tanggul, dipandanginya seekor kuda yang cukup tegar sedang merumput di pinggir jalan dengan asyiknya.
“Kalau Kau memerlukan, Kau dapat memakainya untuk kembali ke Menoreh,” berkata Bango Lamatan setelah menimbang nimbang beberapa saat.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya murid Panembahan Cahya Warastra itu menyahut, “Baiklah Paman. Kalau memang Paman tidak memerlukannya, aku akan menggunakannya untuk kembali ke Menoreh.”
“Jangan lupa melaporkan apa yang telah terjadi disini kepada Ki Lurah Sanggabaya,” pesan Bango Lamatan.
Demikianlah, ketika malam benar-benar sudah menyelimuti bumi, kedua orang dari padepokan Cahya Warastra itu pun berpisah. Murid Panembahan Cahya Warastra itu segera memacu kudanya menuju ke Menoreh, sedangkan Bango Lamatan berjalan perlahan-lahan menyusuri bulak panjang kembali ke padukuhan Ngadireja.
Malam yang gelap benar-benar telah menyelimuti padukuhan Ngadireja. Bintang-bintang berkedip indah di langit yang gelap tanpa bulan sama sekali. Angin kemarau yang bertiup terasa dingin dan kering menggoyang pepohonan sehingga dedaunan yang telah mengering pun akhirnya jatuh berguguran dari tangkainya.
Ki Rangga Agung Sedayu masih duduk di pendapa dengan Ki Ageng Sela Gilang dan Ki Dukuh Ngadireja, sedangkan Anjani sudah masuk ke dalam biliknya di ruang belakang.
“Ki Dukuh,” berkata Ki Rangga kemudian memecahkan kesepian, “Besok pagi-pagi sekali kami akan meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung bersama-sama dengan para prajurit yang akan membawa para tawanan ke Jati Anom dan kemudian selanjutnya akan diserahkan ke Mataram.”
“Memang sebelum Matahari terbenam sore tadi, sekelompok prajurit Jati Anom yang ditempatkan di Kademangan Sumbaratan di sebelah utara gunung Kukusan telah datang bersama sama dengan para pengawal padukuhan Ngadireja yang sedianya akan ke Jati Anom untuk meminta bantuan. Namun karena mereka telah berjumpa dengan para prajurit Mataram yang di tempatkan di Kademangan Sumbaratan, akhirnya pimpinan prajurit yang bertugas disana telah mengirimkan lima belas prajurit untuk mengawal tawanan ke Mataram.”
Ki Dukuh hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk menanggapi kata-kata Ki Rangga Agung Sedayu, namun justru Ki Ageng lah yang menjawab, “Sebaiknya kita berangkat pagi-pagi sekali agar tidak menimbulkan pertanyaan di hati para penghuni padukuhan Ngadireja. Lima belas prajurit beserta para tawanan akan menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Belum lagi ditambah kita bertiga.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Ageng. Sebuah desir tajam terasa menyelusup ke pusat jantungnya setiap kali Ki Rangga teringat dengan janjinya untuk membawa Anjani ke Menoreh.
“Bagaimanapun juga, pertemuan itu lambat laun akan terjadi,” berkata Ki Rangga dalam hati. Apa yang dikhawatirkan oleh Ki Rangga adalah kesan yang suram dari Sekar Mirah terhadap dirinya sehubungan dengan kehadiran Anjani.
“Di manakah para tawanan itu di tempatkan?” pertanyaan Ki Ageng ternyata telah membuyarkan lamunan Ki Rangga.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah Ki Rangga menjawab, “Ki Dukuh telah menyediakan gandok sebelah kiri untuk tempat peristirahatan para prajurit. Ada satu kamar khusus yang disediakan untuk para tawanan dengan penjagaan yang sangat ketat.”
Ki Ageng dan Ki Dukuh hampir bersamaan mengangguk angguk.
Dalam pada itu, Anjani yang sedang berbaring di biliknya menjadi gelisah. Sudah berulang kali dicobanya untuk memejamkan matanya, namun rasa rasanya dia menjadi semakin gelisah. Pikirannya menerawang pada kejadian-kejadian beberapa waktu yang lalu. Perkenalannya yang singkat dengan Ki Rangga Agung Sedayu telah memberikan kesan yang mendalam dalam hidupnya. Dulu ketika dia masih bersama dengan kedua gurunya, tidak ada sepercik niat pun dalam hatinya untuk menyangkutkan hatinya pada seorang laki-laki yang diharapkan akan menjadi suaminya kelak. Namun kini setelah bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, walaupun umur mereka terpaut cukup jauh, namun Anjani dapat merasakan getar-getar kasih yang mengalir tulus dalam jiwanya untuk dipersembahkan kepada Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebenarnyalah Anjani menyadari kalau Ki Rangga adalah seorang suami yang sangat setia dan menyayangi istrinya. Kadang jauh di dasar hatinya ada rasa penyesalan dan bahkan tak jarang kekecewaan melanda hatinya jika mengingat kedudukan Ki Rangga yang sudah berkeluarga, namun apakah dengan demikian dia sudah tidak berhak lagi mencintainya, memujanya dan merindukannya. Sejauh mana dia dapat menahan rasa rindu itu yang justru akan membuat hatinya menjadi semakin tersiksa.
Berbagi adalah suatu hal yang kadang sulit dipahami oleh manusia. Betapa indahnya seandainya mereka mau mengerti akan penderitaan sesamanya seperti yang sedang dialami oleh Anjani saat ini. Hidup sebatangkara tanpa kasih sayang. Hanya satu harapan yang ingin dicapai oleh Anjani, hidup dalam perlindungan dan kasih sayang Ki Rangga Agung Sedayu walaupun untuk itu dia harus menerima apapun persyaratan yang nantinya akan di ajukan oleh Sekar Mirah.
“Apakah mbokayu Sekar Mirah bersedia untuk dimadu?” pertanyaan itu selalu berputar putar dalam benaknya sehingga membuat Anjani pening.
“Perempuan manakah yang bersedia berbagi dengan perempuan lain dalam hal urusan laki-laki?” pertanyaan yang pertama belum terjawab, kini muncul pertanyaan lain yang lebih rumit dan memusingkan.
Anjani berdesah perlahan dan bangkit dari pembaringan. Malam masih belum terlalu dalam namun agaknya sore tadi Anjani agak segan menemani orang-orang itu duduk-duduk di pendapa. Maka dipaksakan dirinya untuk berbaring di bilik yang telah disediakan untuknya.
Perlahan Anjani berdiri dan berjalan ke arah pintu. Tanpa menimbulkan suara yang berarti dibukanya selarak pintu. Setelah menyandarkan selarak pintu itu di dinding sebelah pintu, Anjani pun kemudian membuka pintu dan melangkah keluar. Sejenak Anjani masih termangu mangu di depan pintu. Pandangan matanya menyapu ruang belakang yang terletak di dekat dapur itu. Hanya ada dua bilik di ruang belakang itu, yaitu bilik yang disediakan untuknya dan bilik yang di tempati oleh pembantu perempuan Ki Dukuh.
Setelah yakin tidak ada orang yang sedang memperhatikan dirinya, Anjani melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Lampu yang ada di dapur itu ternyata telah dimatikan sehingga keadaan di dalam dapur begitu gelap gulita, namun mata Anjani yang sudah terlatih itu mampu melihat walaupun hanya remang-remang.
Sambil berpegangan pada dinding dapur, Anjani perlahan menyusuri dapur dengan sangat hati-hati agar jangan sampai menimbulkan suara yang dapat membangunkan keluarga ki Dukuh. Ketika tangannya telah menggapai selarak pintu dapur yang menghubungkan dengan halaman belakang, Anjani pun menarik nafas dalam-dalam.
Begitu Anjani mengangkat selarak dan membuka pintu, angin malam yang dingin segera menerpa wajahnya. Perempuan yang masih muda dan sangat cantik itu sejenak ragu-ragu. Hanya satu sebenarnya tujuan Anjani, ingin pergi ke pakiwan. Namun di luar sangat gelap dan sepi.
Walaupun belum ada sehari Anjani tinggal di rumah ki Dukuh, namun dia sudah hafal dimana letak pakiwan itu. Sambil menajamkan pandangan matanya dalam gelap, Anjani akhirnya membulatkan tekatnya untuk melangkah menuju pakiwan.
Ketika Anjani tinggal dua langkah di depan pakiwan. Pandangan matanya menangkap sesuatu yang tidak wajar di dekat perigi yang terletak di sebelah kiri pakiwan.
Pada dasarnya Anjani bukanlah seorang penakut. Sejak kecil hidupnya sudah terbiasa dengan alam bebas semenjak mengikuti kedua gurunya. Namun apa yang terlihat di depannya sekarang ini telah membuat bulu kuduknya berdiri. Sebuah bayangan yang tinggi besar sedang berdiri mematung di sebelah perigi.
Anjani mencoba menjerit sekuat tenaga ketika dilihatnya bayangan itu menjulurkan tangannya. Namun belum sempat jeritan itu keluar dari mulut Anjani, sebuah sentuhan dari bayangan itu di tengkuknya telah membuat Anjani jatuh terkulai.
Tanpa dapat dilihat oleh mata wadag, tiba-tiba saja tubuh Anjani yang terkulai itu sudah ada dalam rengkuhan bayangan itu. Sejenak bayangan itu mencoba mengawasi keadaan di sekitarnya, setelah yakin tidak ada seorang pun yang memperhatikan perbuatannya, dengan cepat bayangan itupun menghilang dalam gelap.
Dalam pada itu di pendapa rumah Ki Dukuh Ngadireja, Ki Rangga Agung Sedayu tampak masih berbincang-bincang dengan Ki Ageng Sela Gilang. Sedangkan Ki Dukuh Ngadireja sudah memasuki biliknya karena malam yang semakin dingin.
“Apakah Ki Rangga akan mampir ke Sangkal Putung terlebih dahulu?” bertanya Ki Ageng Sela Gilang sambil menyeruput wedang sere yang sudah dingin.
“Ya Ki Ageng,” jawab Ki Rangga, “Aku akan menengok keadaan Adi Swandaru terlebih dahulu dan juga aku sebagai wakil dari guru yang sudah tiada, akan memberikan peringatan kepada Adi Swandaru yang telah melanggar wewaler dari perguruan.”
Ki Ageng Sela Gilang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil membetulkan letak ikat kepalanya, “Sebenarnya aku tidak mempunyai sangkut paut dengan masalah perguruan Ki Rangga. Jika Ki Rangga tidak berkeberatan, aku dapat menempuh perjalanan sendiri kembali ke Padukuhan Cepaga di lereng Merapi.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ada seberkas keraguan dalam hatinya jika Ki Ageng meneruskan perjalanan sendiri ke lereng Merapi. Permasalahannya adalah bagaimana dengan Anjani? Ki Rangga tidak akan sampai hati untuk menyuruh Anjani mengikuti Ki Ageng ke Padukuhan Cepaga di lereng Merapi, namun untuk melakukan perjalanan berdua dengan Anjani, Ki Rangga tidak ingin memberikan kesan yang kurang baik kepada keluarga di Sangkal Putung dan Menoreh.
“Ki Ageng,” akhirnya setelah menimbang-nimbang beberapa saat Ki Rangga menjawab, “Aku akan sangat senang jika Ki Ageng bersedia menemani aku dalam perjalanan ini sampai di Menoreh, namun jika Ki Ageng mempunyai keperluan yang tidak bisa ditunda lagi, aku tidak akan menahan Ki Ageng. Hanya saja aku memohon pertimbangan Ki Ageng sehubungan dengan permasalahan Anjani.”
Ki Ageng tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sejenak Ki Ageng melemparkan pandangannya ke dalam malam yang semakin kelam. Dua orang penjaga regol rumah Ki Dukuh tampak duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk lutut. Senjata mereka disandarkan begitu saja di dinding pagar batu yang mengelilingi rumah Ki Dukuh.
“Ki Rangga,” akhirnya Ki Ageng berkata, “Apakah selama ini Ki Rangga sudah menanyakan kepada Anjani, apakah keinginannya yang sebenarnya? Maksudku yang tidak ada sangkut pautnya dengan taruhan perang tanding dengan murid-murid Tal Pitu itu?”
Ki Rangga menghela nafas panjang. Setelah menghembuskan nafasnya untuk mengurangi getar di dadanya, Ki Rangga menjawab, “Memang secara langsung aku belum pernah menanyakan hal itu kepadanya. Namun menilik sikapnya selama ini, dia ingin mengikuti aku ke Menoreh. Entah apa yang terjadi nanti setelah sampai di Menoreh. Yang jelas aku masih membutuhkan pertolongannya untuk mencari penawar racun Gundala Wereng yang mengeram di siku tangan kiriku.”
Mendengar Ki Rangga menyebut racun Gundala Wereng, Ki Ageng bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk. Cepat-cepat dia beringsut kedepan sambil berkata, “Ki Rangga bolehkah aku melihat lukamu? Aku ingin meyakinkan bahwa racun Gundala Wereng itu tidak menjalar semakin jauh,”
Dengan ragu-ragu Ki Rangga menggulung lengan baju tangan kirinya. Ketika kemudian Ki Ageng mengamat-amati luka itu, tampak kerut-merut di dahi orang tua itu semakin dalam. Katanya kemudian, “Ki Rangga, racun Gundala Wereng yang mengeram di siku kiri Ki Rangga ini terlihat semakin melebar. Warna kulit di sekitar luka ini semakin menghitam dan melebar walaupun aku yakin masih belum membahayakan karena darah Ki Rangga yang kebal racun ini telah menahan laju pergerakan racun Gundala Wereng ini menuju ke jantung.”
Ki Rangga Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengar keterangan Ki Ageng, katanya kemudian, “Menurut Anjani, racun Gundala Wereng ini penawarnya hanya ada satu, yaitu racun Gundala Seta. Walaupun sama-sama racun namun mempunyai sifat menawarkan racun Gundala Wereng.”
“Ya,” sahut Ki Ageng, “Dan racun Gundala Seta itu adanya hanya di Gunung Kendali Sada yang dimiliki oleh Resi Mayangkara. Apakah Kau percaya dengan keterangan Anjani itu, Ki Rangga?”
Ki Rangga tertegun. Dia tidak mengira kalau Ki Ageng akan mengajukan pertanyaan seperti itu.
Ki Ageng yang melihat Ki Rangga termangu mangu kemudian berkata sareh sambil tersenyum, “Sebaiknya kita memang selalu berhati-hati menghadapi keadaan yang belum jelas. Aku sarankan setelah selesai semua urusan, Ki Rangga segera ke Gunung Kendali Sada menghadap Resi Mayangkara untuk meminta obat racun Gundala Seta.”
Ki Rangga mengangguk angguk sambil menjawab, “Aku akan mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan untuk mendaki gunung Kendali Sada. Mungkin tenaga mereka akan berguna nantinya dalam perjalanan.”
“Dan juga untuk menemani Anjani agar Ki Rangga tidak merasa sungkan dan ewuh pakewuh,” tambah Ki Ageng sambil tersenyum penuh arti.
“Ah,” desah Ki Rangga, “Aku justru sedang memikirkan bagaimana caranya menempatkan Anjani sesuai dengan keinginannya dan tanpa menyinggung perasaan keluargaku. Seandainya saja Ki Ageng dapat menolongku.”
“He?” Ki Ageng terkejut sambil beringsut mundur, “Aku tidak mempunyai hubungan khusus dengan Anjani. Aku hanya mengenalnya ketika dia sering diajak kedua gurunya ke istana Kadipaten Panaraga untuk menemui Pangeran Ranapati. Jadi sebenarnya permasalahan itu ada pada diri Ki Rangga. Ki Rangga telah memulai permainan itu, dan Ki Rangga harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.”
Ki Rangga hanya menggeleng lemah sambil menurunkan gulungan lengan baju tangan kirinya. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Ageng, Ki Rangga berkata pelan, “Ini memang salahku. Sebelumnya aku tidak pernah membuat kesalahan seperti ini yang berhubungan dengan perempuan. Seumur hidupku aku telah mencoba untuk tidak menyakiti hati seorang perempuan.”
Ki Ageng menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata Ki Rangga Agung Sedayu. Katanya kemudian, “Seumur hidupku aku berusaha untuk menghindari bersentuhan dengan perempuan, karena memang aku tidak ingin disibukkan dengan segala macam urusan yang berhubungan dengan perempuan.”
Ki Rangga yang mendengar uraian Ki Ageng hanya mengeleng lemah. Angan angannya kembali ke masa lalu, di mana pada saat perkenalannya yang pertama dengan gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah itu. Gadis yang sangat ramah dan menyenangkan untuk diajak berbicara. Seolah olah waktu begitu cepatnya berlalu jika dia sedang berada di sisi Sekar Mirah.
“Marilah Ki Rangga, “ akhirnya Ki Ageng berkata sambil menggeliat berdiri, “ Malam sudah semakin larut, sebaiknya kita beristirahat.”
Ki Rangga mengangguk anggukkan kepalanya sambil ikut berdiri, akan tetapi tampak wajahnya berkerut merut sambil bergumam pelan, “Aku tadi mendengar seseorang membuka pintu dapur. Betapapun lemahnya namun aku masih mendengar derit pintu itu.”
“Ya, aku juga mendengar,” jawab Ki Ageng, “Agaknya seseorang sedang pergi ke pakiwan.”
“Aneh,” desis Ki Rangga dengan wajah yang masih berkerut merut, “Seharusnya aku mendengar derit pintu dapur itu lagi jika memang ada seseorang yang telah selesai pergi ke pakiwan dan kembali masuk ke dalam rumah.”
Ki Ageng tertegun. Apa yang dikatakan Ki Rangga itu memang benar, dirinya pun belum mendengar kembali derit pintu dapur itu untuk yang kedua kalinya.
“Memang aneh, waktu yang terlalu lama hanya untuk ke pakiwan saja,” gumam Ki Ageng sambil mencoba menajamkan pendengarannya, namun belum terdengar tanda-tanda orang yang pergi ke pakiwan itu masuk kembali.
“Marilah,” ajak Ki Ageng sambil melangkah menuju ke samping kanan pendapa, “Tidak ada jeleknya kita berhati hati melihat apa yang terjadi di belakang rumah Ki Dukuh ini. Semoga saja hanya kekhawatiran kita yang tidak beralasan.”
Sejenak kemudian keduanya telah menuruni tlundak pendapa di sisi kanan kemudian berbelok masuk longkangan sebelum akhirnya menyusuri dinding dapur sebelah kanan menuju ke halaman belakang.
Ketika kemudian keduanya sudah sampai di halaman belakang. Betapa kegelapan terasa menyelimuti mereka berdua, namun dengan ketajaman penglihatan mereka, kegelapan itu sedikit banyak dapat teratasi.
Dengan tergesa-gesa Ki Ageng segera menuju ke pintu dapur, sementara Ki Rangga telah melangkah ke pakiwan. Alangkah terkejutnya Ki Ageng ketika mendapatkan pintu dapur dalam keadaan terbuka tidak diselarak dari dalam, sedangkan keadaan di dalam dapur itu juga gelap gulita, tidak ada nyala lampu sama sekali.
“Ki Rangga” dengan suara yang agak keras Ki Ageng memanggil, “Kemarilah, pintu dapur ini tidak diselarak. Seseorang telah keluar dari dalam rumah dan belum masuk kembali.”
Dengan setengah berlari Ki Rangga menuju ke tempat Ki Ageng berdiri. Dan memang Ki Rangga pun menemukan pintu dapur itu dalam keadaan terbuka. Dengan cepat keduanya segera menyelinap masuk ke dapur kemudian menuju ke ruang belakang yang terletak di antara dapur dan ruang tengah.
Sejenak keduanya tertegun ketika sudah berada di ruang belakang yang dibatasi dengan sebuah pintu yang menuju ke ruang tengah. Di ruang belakang itu hanya terdapat dua bilik. Ketika Ki Rangga melangkah ke salah satu pintu bilik itu, tiba-tiba dadanya menjadi berdebar debar. Pintu bilik itu terlihat terbuka hanya setebal ibu jari, namun semua itu menjadi pertanda bahwa yang menempati bilik itu sedang keluar.
Perlahan Ki Rangga mendorong pintu bilik yang terbuka hanya setebal ibu jari itu. Tidak terdengar derit yang keras ketika pintu itu didorong. Ketika kemudian pintu bilik itu terbuka lebar-lebar, keadaan di dalam bilik itu benar-benar kosong, tidak ada penghuninya.
“Kamar siapakah ini?” tiba-tiba Ki Ageng yang sudah berdiri di belakang Ki Rangga bertanya.
Ki Rangga masih ragu-ragu, namun ketika sekali lagi Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengetrapkan aji sapta pangganda, indera penciuman Ki Rangga pun segera mengenali bau harum yang ditinggalkan oleh penghuni bilik itu, bau harum yang khas dari seorang perempuan cantik yang selama ini melakukan perjalanan bersamanya, Anjani.
“Anjani,” tanpa sadar Ki Rangga berdesis sambil berpaling ke arah Ki Ageng yang sudah bergeser ke sampingnya. Bagaikan di sambar petir di siang hari, keduanya pun segera meloncat berlari menuju ke pakiwan, begitu menyadari kemungkinan buruk yang dapat terjadi pada diri Anjani,
Ketika keduanya telah berada di depan pakiwan, keduanya justru menjadi ragu-ragu. Suasana di sekitar pakiwan itu begitu sepi, hanya suara-suara binatang malam yang terdengar saling bersahutan. Sesekali terdengar juga suara burung kedasih di kejauhan yang membuat suasana malam semakin ngelangut.
“Sepi,” desis Ki Rangga sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling pakiwan.
“Ya,” sahut Ki Ageng, “Terlalu sepi, atau kita yang sudah terlambat.”
Ki Rangga segera mengetrapkan aji sapta pandulu untuk mempertajam indera penglihatannya. Ketika kemudian pandangan mata Ki Rangga yang berlipat ganda ketajamannya itu memandang ke arah perigi, sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Di sebelah perigi itu tampak sesuatu yang disangkutkan pada dahan sebuah pohon dadap yang tumbuh menjorok di sebelah perigi.
Dengan tergesa-gesa Ki Rangga segera berjalan menuju ke arah perigi. Ketika kemudian Ki Rangga telah berada di bawah pohon dadap itu, diraihnya secarik kain yang kelihatannya dengan sengaja diikatkan pada dahan pohon dadap itu.
“Apakah itu, Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng sambil melangkah mendekat.
“Entahlah Ki Ageng,” jawab Ki Rangga sambil memperlihatkan secarik kain yang sudah dilepaskan dari ikatannya, “Hanya secarik kain lusuh, namun mungkin mengandung arti sesuatu dari orang yang sengaja meninggalkannya untuk kita.”
Tanpa sadar tangan Ki Ageng meraih secarik kain yang ada di tangan Ki Rangga dan mencoba melihat guratan-guratan yang tertulis di atas kain itu.
“Resi Mayangkara,” terkejut Ki Ageng ketika mengenali guratan-guratan di atas kain itu yang merupakan pertanda dari Resi Mayangkara.
“Resi Mayangkara?” Ki Rangga yang berdiri disebelahnya ikut terkejut bagaikan disengat ribuan lebah, “Benarkah itu pertanda dari Resi Mayangkara? Kalau begitu berarti Anjani telah dibawa pergi oleh Resi yang aneh itu.”
“Kemungkinannya memang demikian,” jawab Ki Ageng sambil menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan tenang yang menyelinap di hatinya begitu mengetahui hilangnya Anjani ada hubungannya dengan kedatangan Resi Mayangkara.
“Resi yang aneh,” desis Ki Rangga Agung Sedayu sambil melangkah menuju ke dapur, “Dari manakah Ki Ageng mengetahui bahwa secarik kain yang tersangkut di dahan pohon itu benar-benar berisi pesan dari Resi Mayangkara?”
“Bacalah,” jawab Ki Ageng sambil mengulurkan secarik kain putih itu kepada Ki Rangga yang telah berdiri termangu mangu di depan pintu dapur, “Guratan-guratan di atas kain ini setelah aku amati dengan seksama ternyata tertulis nama Resi Mayangkara.”
“Benarkah?” bertanya Ki Rangga sambil menerima uluran tangan Ki Ageng. Setelah kain itu ada di tangannya, dengan tergesa-gesa dibentangkannya kain itu untuk mencoba membaca guratan-guratan yang ada di atasnya.
Sejenak Ki Rangga termangu mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga akhirnya melipat kain itu dan kemudian menyerahkan kembali kepada Ki Ageng.
“Kau benar Ki Ageng, walaupun samar-samar aku juga dapat membaca tulisan yang tertera di atas secarik kain itu. Semoga saja memang benar Resi Mayangkara telah hadir di sini dan membawa Anjani ke pertapaannya.” Berkata Ki Rangga sambil melangkah memasuki dapur yang gelap.
“Panggraitaku sebagai orang tua juga demikian Ki Rangga,” berkata ki Ageng sambil mengikuti Ki Rangga memasuki dapur, “Untuk selanjutnya kita dapat melupakan persoalan Anjani sejenak. Mungkin dari Sangkal Putung nanti kita dapat berpisah. Aku akan melanjutkan perjalanan kembali ke lereng Merapi, sedangkan Ki Rangga dapat langsung ke Menoreh.”
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka berdua telah berada di dalam dapur. Setelah menyelarak pintu, keduanya pun kemudian berjalan menuju ke ruang tengah.
Demikianlah keesokan harinya, setelah Ki Ageng menjelaskan tentang keberadaan Anjani kepada Ki Dukuh, keduanya pun segera bersiap meneruskan perjalanan menuju ke Sangkal Putung.
“Apakah Ki Rangga dan Ki Ageng nanti sekalian akan menjemput Anjani di gunung Kendalisada?” bertanya Ki Dukuh ketika mengantarkan kedua orang itu sampai di pintu regol.
Kedua orang yang telah meloncat ke atas punggung kuda itu saling berpandangan sejenak, namun akhirnya Ki Ageng yang menjawab, “Sementara kami belum mempunyai rencana ke arah itu, Ki Dukuh. Namun yang pasti, setelah semua permasalahan selesai, Ki Rangga akan mengunjungi pertapaan Resi Mayangkara.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Ki Ageng. Ketika pandangan matanya menatap Ki Ageng yang kebetulan sedang menoleh ke arahnya, tampak sebuah senyum menghias wajah Guru Pangeran Ranapati itu.
“Ki Dukuh,” akhirnya Ki Rangga tidak tahan untuk tinggal diam, “Kami berdua sudah bersepakat untuk mendaki gunung Kendalisada bersama sama jika semua urusan telah selesai.”
Ki Dukuh mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum puas. Sementara Ki Ageng tampak wajahnya berkerut merut sambil menatap Ki Rangga yang memalingkan wajahnya memandangi jalan di depan rumah Ki Dukuh yang tampak masih lengang, walaupun Matahari sudah mulai menyinari pucuk-pucuk pepohonan dengan sinarnya yang kemerahan. Namun sinar lembayung merah itu masih terlalu lemah untuk mengusir embun pagi yang bergelayutan manja di ujung-ujung dedaunan.
“Baiklah Ki Dukuh,” akhirnya Ki Ageng berkata, “Kami mohon pamit. Biarlah untuk sementara kuda Anjani kami tinggal di sini. Suatu saat nanti Ki Rangga sendiri yang akan mengantar Anjani ke Padukuhan ini untuk mengambil kudanya.”
“Sebenarnyalah kuda-kuda ini bukan milik kami,” cepat-cepat Ki Rangga menyela, “Ki Dukuh Merjan telah meminjamkannya kepada kami. Jadi biarlah kuda yang satunya tetap disini. Sesampainya aku di Menoreh, aku akan menyuruh anak buahku untuk mengembalikan kuda-kuda ini kepada pemiliknya, Ki Dukuh Merjan.”
Ki Dukuh Ngadireja menjadi bingung sejenak. Dipandanginya kedua orang itu ganti berganti, namun akhirnya sambil menggeleng gelengkan kepalanya, Ki Dukuh pun bergumam perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Entahlah. Aku tidak ikut campur permasalahan tentang kuda yang kalian titipkan kepadaku. Jika tiba saatnya seseorang mengambilnya, dengan senang hati aku akan menyerahkannya.”
Ki Ageng dan Ki Rangga saling berpandangan sambil menarik nafas dalam-dalam. Setelah membetulkan letak pijakan kakinya pada pelana kudanya, Ki Rangga pun kemudian minta diri, “Baiklah Ki Dukuh, kami minta diri. Semoga kita masih diberi kesempatan oleh Yang Maha Agung untuk bertemu kembali.”
“Tentu, tentu..” sahut Ki Dukuh cepat, “Pintu rumahku selalu terbuka untuk kalian. Dan jangan lupa untuk mengajak Anjani kalau berkenan berkunjung ke gubukku ini sekali lagi.”
Hampir bersamaan Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Ageng Sela Gilang mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sambil menggerakkan kendali kudanya, akhirnya mereka berdua pun mohon diri.
“Kami mohon diri, Ki Dukuh,” berkata Ki Rangga kemudian, “Mohon ma’af telah merepotkan Ki Dukuh dan tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bantuan yang diberikan kepada kami selama berada di Padukuhan Ngadireja.”
“Ah,” Ki Dukuh tertawa pendek, “Merupakan suatu kehormatan bagiku mendapat kunjungan dari Ki Rangga dan Ki Ageng. Semoga perjalanan Ki Sanak berdua selamat sampai tujuan.”
“Terima kasih, Ki Dukuh,” hampir bersamaan keduanya pun menjawab.
Demikianlah akhirnya, ketika Matahari masih malu-malu untuk menampakkan wajahnya di ufuk timur, kedua orang yang pinunjul ing apapak itu telah memacu kuda mereka di jalan-jalan berbatu menuju ke kademangan Sangkal Putung.
Sebelum mencapai kademangan Sangkal Putung yang subur itu, mereka masih harus menembus hutan yang cukup lebat di sisi utara Gunung Kukusan. Ada sebuah telaga yang berair sangat jernih di dalam hutan itu, namun mereka merasa tidak perlu berhenti untuk sekedar menikmati pemandangan yang sangat indah itu karena berbagai masalah telah menunggu mereka.
Ketika Matahari telah memanjat semakin tinggi, kedua orang itu telah mendaki lereng gunung Kukusan yang tidak seberapa tinggi. Dengan berbekal ketrampilan mereka dalam menunggang kuda, keduanya tetap memacu kuda-kuda mereka dengan kecepatan sedang.
“Aneh,” tiba-tiba saja Ki Ageng bergumam pelan.
Ki Rangga yang berpacu di sebelahnya berpaling sambil tersenyum, katanya kemudian, “Maksud Ki Ageng penunggang kuda yang selalu mengikuti kita sejak kita keluar dari gerbang Padukuhan Ngadireja tadi?”
“Ya,” jawab Ki Ageng sambil menarik nafas dalam-dalam, “Ataukah kita ini yang semakin tua justru tidak semakin mengendap.”
“Bukan begitu, Ki Ageng,” sahut Ki Rangga cepat, “Beban pekerjaan kitalah yang kadang-kadang mengharuskan seseorang itu selalu waspada, bukan curiga. Karena sebenarnyalah kita hanya berhati hati menghadapi setiap perubahan yang terjadi di sekeliling kita.”
Ki Ageng mengangguk anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau benar Ki Rangga. Bagi Ki Rangga yang mengemban tugas sebagai Prajurit tentu saja hal ini adalah lumrah, bahkan cenderung wajib bagi seorang prajurit untuk selalu waspada. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah tentang aku sendiri. Apakah keterlibatanku dalam urusan pertentangan antara Mataram dan Panaraga? Seharusnya aku sudah bisa sumeleh dan pasrah kepada Yang Maha Agung atas segala apa yang akan terjadi kemudian.”
“Itu tidak mungkin Ki Ageng,” berkata Ki Rangga sambil berpaling ke belakang. Orang berkuda yang mengikuti mereka sejak keluar dari pintu gerbang padukuhan Ngadireja itu masih saja mengikuti mereka dalam jarak yang tetap.
“Mengapa?” bertanya Ki Ageng sambil mengikuti arah pandangan Ki Rangga ke arah belakang, “Bukankah segala sesuatu itu sudah tertulis dalam catatanNya? Segala gerak kehidupan ini telah tertulis jauh sebelum alam ini diciptakanNya.”
“Yang itu aku setuju, Ki Ageng,” berkata Ki Rangga sambil memacu kudanya agak cepat, kemudian katanya setengah berbisik, “Kita berpacu agak cepat Ki Ageng. Aku ingin melihat, apakah orang yang di belakang kita itu juga akan memacu kudanya?”
Ki Ageng mengangguk. Dengan sebuah sentakan, kudanya pun kemudian berderap cepat mengikuti kuda Ki Rangga.
Setelah sejenak mereka berdua berpacu menuruni lereng gunung Kukusan sebelah barat, keduanya pun kemudian menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang menuju sebuah padang perdu yang luas.
Ketika mereka mulai menyeberangi padang perdu yang luas itu, hampir bersamaan mereka berdua telah berpaling ke belakang.
Dada kedua orang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu bagaikan meledak ketika mereka melihat seorang penunggang kuda yang mengenakan caping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya telah muncul dari ujung hutan itu dan mulai memacu kudanya di atas jalan setapak.
Ki Rangga Agung Sedayu yang telah berada di tengah-tengah bulak itu tiba-tiba telah menghentikan laju kudanya sehingga kuda yang terkejut itu telah meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya keatas. Dengan sigap ki Rangga mencoba mengendalikan kudanya yang terkejut itu, sedangkan Ki Ageng yang menyadari kawan seperjalanannya telah berhenti dengan tiba-tiba telah mencoba menahan laju kudanya dengan perlahan lahan sehingga sekitar sepuluh tombak kemudian kuda Ki Ageng telah berderap dengan perlahan. Sambil memutar arah kudanya, Ki Ageng kemudian menggerakkan kudanya menuju ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang ternyata telah meloncat turun dari kudanya.
“Bagaimana Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng sambil mengikuti Ki Rangga meloncat turun dari kudanya, kemudian setelah mengikat kudanya di sebelah kuda Ki Rangga pada sebatang pohon perdu, Ki Ageng pun akhirnya mengikuti Ki Rangga duduk di bawah bayang-bayang sebatang pohon randu alas yang tumbuh menjulang cukup tinggi di tengah-tengah padang perdu itu.
Ki Rangga tidak menjawab, hanya meletakkan telunjuk jarinya di atas bibirnya. Kemudian sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon randu alas yang cukup besar itu, Ki Rangga pun memejamkan matanya.
Agaknya Ki Ageng pun menyadari apa yang di kehendaki oleh Ki Rangga. Maka sejenak kemudian Ki Ageng pun telah duduk bersila di samping Ki Rangga sambil terkantuk-kantuk.
Demikianlah orang yang mengikuti Ki Rangga dan Ki Ageng sejak dari regol Padukuhan itu terkejut ketika menyadari kedua orang yang diikutinya ternyata telah berhenti justru di tengah padang perdu yang luas. Tidak ada kesempatan baginya untuk bersembunyi atau pura-pura berhenti melepaskan lelah karena jarak mereka yang semakin dekat. Akhirnya orang itu memutuskan untuk meneruskan perjalanannya.
Ketika kuda yang ditungganginya berderap hanya beberapa langkah saja di depan Ki Rangga dan Ki Ageng yang sedang duduk melepaskan lelah di bawah sebatang pohon randu alas, orang itu tampak sekilas berpaling. Namun karena caping lebar yang dikenakannya telah menutupi hampir seluruh wajahnya, Ki Ageng dan Ki Rangga tidak mampu mengenali wajahnya.
Akhirnya Ki Rangga perlahan lahan bangkit berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengibas kibaskan kain panjangnya yang terkena rumput-rumput kering, katanya kemudian, “Seandainya hal ini terjadi beberapa tahun silam, aku sudah dapat menduga siapakah orang berkuda itu.”
Ki Ageng yang ikut bangkit berdiri mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Maksud Ki Rangga?”
Sejenak Ki Rangga tersenyum sambil memandang ke arah ki Ageng yang berdiri termangu mangu sambil mengerutkan keningnya. Kata Ki Rangga kemudian, “Dulu aku sering bertemu dengan orang berkuda atau berjalan kaki yang suka mengikuti jalanku. Orang itu adalah Pangeran Benawa.”
“Pangeran Benawa?” ulang ki Ageng. Kerut merut di dahinya semakin dalam.
“Ya, Pangeran Benawa,” sahut Ki Rangga, “Tentu saja orang berkuda itu tadi pasti bukan Pangeran Benawa.”
“Ah,” desah ki Ageng, “Tentu saja bukan, Pangeran yang kecewa itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, namun kesederhanaan sikapnya sebagai seorang Pangeran telah membekas di hati para kawula alit.”
Ki Rangga Agung Sedayu menganguk anggukkan kepalanya, katanya kemudian sambil berjalan ke arah kudanya ditambatkan, “Marilah Ki Ageng. Mungkin orang berkuda tadi hanya sekedar lewat dan kita yang terlalu berprasangka.”
“Mungkin,” berkata Ki Ageng sambil melepaskan ikatan kudanya, “Kademangan Sangkal Putung sudah dekat. Sebaiknya setelah kita menyeberangi padang perdu ini, kita berpisah untuk meneruskan perjalanan masing-masing. Aku akan menembus hutan sebelah utara sampai ke Padukuhan Nguter.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah Ki Ageng, semoga perjalanan Ki Ageng lancar sampai tujuan.”
“Kita sama-sama berdoa Ki Rangga,” berkata Ki Ageng, “Jangan lupa sebelum empat puluh hari, Ki Rangga sudah harus ke gunung Kendalisada.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam, sejenak ingatannya kembali kepada seorang perempuan muda yang sangat cantik namun selalu berwajah murung, Anjani.
Dalam pada itu, di rumah Ki Dukuh Ngadireja telah terjadi kesibukan yang melibatkan para tawanan dan prajurit Mataram di Jati Anom yang kini sedang mengemban tugas mengamati keadaan di Kademangan Sumbaratan. Para prajurit itu harus mengawal para tawanan bergantian untuk pergi ke pakiwan sekedar membersihkan diri. Setelah makanan di dapur telah siap, para tawanan yang akan di bawa ke Mataram itupun terlebih dahulu diberi makan pagi agar perjalanan mereka ke Mataram tidak menemui halangan yang berarti.
Setelah para prajurit juga mendapatkan ransum, pemimpin prajurit yang berpangkat Lurah telah memberi aba-aba untuk segera mempersiapkan diri meninggalkan padukuhan Ngadireja.
“Ki Dukuh,” berkata Lurah Prajurit itu, “Kami telah mendapat pesan dari Ki Rangga Agung Sedayu untuk berangkat ketika Matahari mulai naik sepenggalah. Dengan demikian sekarang ini sudah waktunya kami berangkat,” Lurah Prajurit itu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Kami sangat berterima kasih atas segala bantuan Ki Dukuh. Hal ini akan kami laporkan kepada atasan kami Tumenggung Untaradira di Jati Anom agar mendapatkan perhatiannya.”
“Ah, itu tidak perlu Ki Lurah,” sahut Ki Dukuh cepat, “Atas nama para penghuni padukuhan Ngadireja, kami justru sangat berterima kasih atas bantuan para prajurit Mataram untuk menjaga keamanan di lingkungan kami.”
Ki Lurah itu mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil mengamati pasukannya yang telah bersiap siap berangkat mengawal para tawanan ke Mataram, dia berkata kepada Ki Dukuh, “Kami mohon diri, Ki Dukuh. Semoga perjalanan kami tidak ada suatu gangguan apapun.”
“Aku ikut berdoa, Ki Lurah,” berkata Ki Dukuh sambil menganggukkan kepalanya.
Demikianlah sejenak kemudian rombongan prajurit yang membawa para tawanan itu mulai bergerak meninggalkan halaman rumah Ki Dukuh Ngadireja.
Rombongan yang tidak seberapa besar itu bergerak secara perlahan di jalan berbatu batu. Semua anggota di dalam rombongan itu berkuda. Para tawanan berkuda dengan tangan terikat dan dikawal oleh beberapa prajurit dengan senjata terhunus.
Rombongan itu memang sempat menarik perhatian sepanjang perjalanan, namun ketika orang-orang yang berpapasan mengenali seragam prajurit Mataram yang dikenakan oleh sebagian besar anggota rombongan itu, mereka pun segera menyadari bahwa mereka adalah sepasukan prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas.
Semakin lama rombongan prajurit itu semakin jauh meninggalkan padukuhan Ngadireja. Mereka tidak bisa berpacu dengan cepat justru karena ada beberapa tawanan di antara mereka. Para prajurit yang bertugas mengawal para tawanan itu tidak boleh lengah sekejap pun, karena kelengahan yang hanya sekejap dapat berubah menjadi sebuah kehancuran.
Ki Lurah yang berkuda di paling depan sejenak mengerutkan keningnya ketika mereka mulai menyusuri jalan setapak di pinggir hutan. Di depan mereka terbentang padang perdu yang luas dengan beberapa pohon-pohon besar yang tumbuh berselang seling dengan semak belukar. Sejauh mata memandang, tampak gerumbul-gerumbul liar yang menyimpan seribu kemungkinan. Ada kalanya binatang buas bersembunyi di sela-sela gerumbul perdu itu, namun tak jarang segerombolan penyamun bersembunyi menunggu kurbannya lewat.
Tiba-tiba dada Ki Lurah berdesir tajam ketika pandangan matanya tertumbuk pada sebuah bayangan seseorang yang dengan tenangnya duduk di atas seekor kuda yang berjalan perlahan lahan berlawanan arah dengan rombongan prajurit itu. Penunggang kuda yang bercaping lebar itu memang masih cukup jauh, hampir di ujung padang perdu yang berlawanan arah dengan rombongan Ki Lurah. Namun sikapnya sangat mendebarkan, mengendalikan kuda dengan tenang seolah olah tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya.
“Ki Lurah,” tiba-tiba seorang prajurit yang berkuda di sebelahnya berbisik, “Ki Lurah melihat orang berkuda itu?”
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Ya, aku melihatnya. Mudah mudahan hanya karena kita berlawanan arah saja.”
Prajurit yang bertanya itu mengangguk anggukkan kepalanya. Namun kemudian dia masih sempat berdesis, “Orang itu hanya sendirian, sedangkan kita ada lima belas Prajurit.”
Ki Lurah yang mendengar desis itu berpaling sambil mengerutkan keningnya, katanya, “Apa katamu tentang para tawanan? Kalau orang itu mampu mempengaruhi kejiwaan para tawanan untuk mengadakan perlawanan, tentu akan sangat merepotkan.”
Prajurit yang berkuda di samping Ki Lurah itu tertegun. Apa yang dikatakan pemimpinnya itu memang benar. Segera saja prajurit yang berkuda di samping Ki Lurah yang ternyata merupakan wakil Ki Lurah segera memberi isyarat kepada para prajurit yang mengawal para tawanan agar meningkatkan kewaspadaan dan memperketat penjagaan.
Ketika kemudian rombongan para prajurit itu berpapasan dengan penunggang kuda yang bercaping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya itu, ternyata tidak terjadi peristiwa seperti yang dibayangkan sebelumnya. Penunggang kuda itu hanya mengangkat wajahnya sedikit kemudian selanjutnya berlalu tanpa menimbulkan kesan.
Ki Lurah masih sempat berpandangan dengan prajurit yang berkuda di sebelahnya. Namun kemudian katanya sambil berpaling ke belakang, “Kita agak berpacu sedikit. Mumpung kita berada di padang perdu yang cukup lapang. Semoga kita bisa mencapai Jati Anom sebelum gelap.”
Demikianlah, akhirnya rombongan para prajurit yang mengawal tawanan untuk dibawa ke Mataram itu telah memacu kuda-kuda mereka semakin cepat melintasi padang perdu yang luas.



Nantikan kelanjutan ceritanya di jilid 403

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 3

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4

Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 403