Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 402
PERWIRA itu sejenak memandang Ki
Jayaraga tanpa berkedip. Kemudian dengan ragu-ragu dia mengajukan sebuah
pertanyaan, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”
Mendapat
pertanyaan seperti itu, segera saja Ki Jayaraga menjawab dengan jelas, “Namaku
adalah Jayaraga yang selama ini tinggal menumpang di rumah Ki Rangga Agung
Sedayu, sedangkan orang ini adalah sahabatku, Kiai Sabda Dadi dari Padepokan
Glagah Tinutu di Pegunungan Kendeng. Kemudian selebihnya mereka adalah para
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Namun
alangkah terkejutnya Ki Jayaraga dan kawan-kawannya ketika melihat perwira itu
ternyata telah terkejut bagaikan disambar petir di siang hari ketika Ki
Jayaraga menunjuk Kiai Sabda Dadi dan sekaligus memperkenalkannya pada Perwira
itu. Untuk sejenak Perwira itu berdiri mematung dengan wajah keheranan
memandang ke arah Kiai Sabda Dadi.
“Jadi
Ki Sanak ini yang bernama Sabda Dadi?” tanpa disadarinya kalimat itu terloncat
begitu saja dari mulutnya.
Kiai
Sabda Dadi yang tidak menyangka bahwa perwira itu menaruh perhatian kepadanya
sejenak bagaikan terbungkam. Namun setelah menarik nafas dalam sekali untuk
melonggarkan dadanya, Kiai Sabda Dadi pun akhirnya menjawab, “Benar Ki Sanak.
Orang tuaku memberiku nama Sabda Dadi, dan aku berasal dari Perguruan Glagah
Tinutu di pegunungan Kendeng.”
Perwira
itu untuk beberapa saat masih memandangi Kiai Sabda Dadi seolah olah masih
belum percaya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itulah yang bernama Sabda
Dadi.
Setelah
sejenak memandang ke arah para prajurit penjaga regol yang berdiri
berjajar-jajar dengan sikap sempurna, akhirnya Perwira itu menjatuhkan
perintah, “Aku ijinkan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menghadap Ki Lurah
Sanggabaya, sedangkan yang lainnya dapat menunggu di gardu penjagaan.”
Selesai
berkata demikian, perwira itu pun melangkah meninggalkan regol sambil berkata
kepada kedua orang tua itu, “Marilah, Ki Sanak berdua aku antarkan menghadap Ki
Lurah. Kebetulan Ki Lurah memang tidak ikut dalam pasukan yang melawat ke
Panaraga.”
Sambil
menarik nafas dalam-dalam, kedua orang tua itu masih sempat saling beradu
pandang sebelum akhirnya melangkah mengikuti Perwira yang bertugas jaga hari
itu untuk menghadap Ki Lurah Sanggabaya.
Ketika
kemudian mereka telah menaiki tlundak pendapa dari bangunan utama barak pasukan
khusus itu, Perwira yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penjagaan di barak
pasukan khusus itupun berhenti sejenak dan berpaling ke belakang sambil
berkata, “Silahkan Ki Sanak berdua menunggu di pendapa, aku akan menyampaikan
permohonan kalian untuk menghadap kepada Ki Lurah Sanggabaya.”
“Terima
kasih,” hampir berbareng keduanya menyahut.
Selesai
mempersilahkan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi untuk menunggu di pendapa,
dengan tergesa-gesa Perwira jaga itu segera melangkah menyeberangi pendapa
kemudian hilang di balik pintu pringgitan.
Sepeninggal
Perwira jaga itu, Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi segera melangkah ke
tengah-tengah pendapa yang terdapat sehelai tikar pandan yang warnanya sudah
tidak cerah lagi namun masih layak untuk digunakan.
Sambil
duduk-duduk menunggu kedatangan Perwira jaga itu, Kiai Sabda Dadi meminta
pendapat Ki Jayaraga atas apa yang baru saja mereka alami.
“Ki
Jayaraga,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Aku merasakan suatu kejanggalan
atas sikap Perwira tadi yang terlihat sangat menaruh perhatian atas diriku.”
Ki
Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil memandang kearah pintu
pringgitan yang tertutup rapat, dia memberikan pendapatnya, “Sebenarnyalah
Perwira itu belum mengenal Kiai Sabda Dadi secara pribadi namun hanya mengenal
nama Kiai Sabda Dadi yang entah dari mana dia mendapatkannya.”
“Itulah
yang aku tidak mengerti,” sahut Kiai Sabda Dadi, “Semoga apa yang ada dalam
benakku ini hanyalah dugaan yang tidak berdasar sama sekali.”
Wajah
Ki Jayaraga semakin berkerut merut. Katanya kemudian, “Apakah Kiai mempunyai
dugaan atas kejadian tadi walaupun mungkin tanpa dasar sama sekali?”
“Aku
hanya mencoba menghubungkan peristiwa di pinggir hutan tadi pagi sehingga Ki
Harga Jumena menemui ajalnya dengan tanggapan Perwira tadi begitu mengetahui
namaku adalah Sabda Dadi.” Jawab Kiai Sabda Dadi.
Ki
Jayaraga termenung sesaat mendengar jawaban Kiai Sabda Dadi. Kalau memang
berita terbunuhnya Ki Harga Jumena sudah sampai ke telinga Perwira di barak
pasukan khusus itu, lantas siapakah yang telah menyampaikan berita itu? Dan
yang paling penting adalah untuk tujuan apakah semua itu.
Ki
Jayaraga menggeleng gelengkan kepalanya sambil berdesis perlahan hampir tak
terdengar, “Kemungkinan yang mengarah ke arah itu memang ada, namun aku tidak
berani berandai-andai. Kita ikuti saja apa yang akan terjadi tanpa meninggalkan
kewaspadaan sekecil apapun.”
Kiai
Sabda Dadi hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
Sementara
itu Perwira yang bertugas jaga hari itu dengan tergesa-gesa segera menuju ke
ruang dalam. Tanpa mengetuk pintu, didorongnya pintu ruang tengah itu dengan
tergesa-gesa.
Suara
derit pintu itu ternyata telah mengejutkan Ki Lurah Sanggabaya yang sedang
duduk-duduk di ruang dalam ditemani oleh seorang yang sudah sangat dikenal oleh
Perwira jaga itu, Putut Luarsa.
“Ada
apa?” bertanya Ki Lurah Sanggabaya tanpa mempersilahkan Perwira itu duduk
terlebih dahulu.
Sejenak
Perwira itu masih berdiri sambil mengatur nafasnya, kemudian dengan perlahan
lahan dia berkata, “Ki Lurah, orang yang kita maksud itu sekarang ada di sini.”
Kedua
orang yang duduk di ruang dalam itu saling pandang sejenak, kemudian Ki Lurah
berkata sedikit keras, “He, siapa yang Kau maksud dengan orang itu?”
Menyadari
kekeliruannya, Perwira itu segera mengulangi kata katanya, “Orang yang bernama
Kiai Sabda Dadi.”
“He..?”
kali ini Ki Lurah Sanggabaya dan Putut Luarsa benar-benar terkejut bagaikan
disengat seekor kalajengking sebesar ibu jari kaki.
“Apa
katamu?” bentak Ki Lurah sambil berdiri dari tempat duduknya. Kemudian sambil
berpaling ke arah Putut Luarsa yang juga mengikuti bangkit berdiri dia
menggeram, “Bukankah menurut pengamatanmu orang yang bernama Sabda Dadi itu
telah mati sampyuh melawan Ki Harga Jumena?”
Putut
Luarsa menggeleng gelengkan kepalanya, “Tidak mungkin. Aku melihat sendiri
kedua orang itu berbenturan dengan puncak ilmu mereka. Kemudian yang terjadi
selanjutnya adalah sampyuh, keduanya sama-sama terlempar jatuh terjerembap dan
tidak bergerak sama sekali.”
“Apakah
Kau yakin bahwa Sabda Dadi itu akhirnya menemui ajalnya seperti yang dialami
oleh Ki Harga Jumena?” bertanya Ki Lurah selanjutnya.
Sejenak
Putut Luarsa termangu-mangu, namun akhirnya dia menjawab, “Itulah yang aku
tidak tahu, karena begitu Ki Wasi Jaladara dan pengikutnya memutuskan untuk
menyingkir sambil membawa jasad Ki Harga Jumena, aku pun ikut menyingkir untuk
memberikan laporan kepada Ki Lurah.”
Ki
Lurah Sanggabaya menggeretakkan giginya. Berita dari Perwiranya itu benar-benar
telah mengacaukan rencananya.
“Baiklah,”
akhirnya Ki Lurah Sanggabaya memutuskan, “Aku akan menemuinya,” Ki Lurah
berhenti sejenak, kemudian sambil berpaling ke arah Perwira jaga itu, dia
melanjutkan, “Apakah Kau tadi sudah mengatakan keperluan Kiai Sabda Dadi itu
datang ke sini?”
“Belum
Ki Lurah,” sahut Perwira itu cepat, “Dia datang bersama Ki Jayaraga dan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk memohon bantuan keamanan sehubungan
dengan keamanan Tanah Perdikan Menoreh akhir-akhir ini.”
Ki
Lurah mengumpat keras, “Jaladara itu memang keras kepala. Sudah aku katakan
bahwa kita akan bergerak malam ini, mengapa dia memaksakan kehendaknya untuk
mencegat perjalanan kedua orang itu?”
“Agaknya
Ki Wasi Jaladara salah perhitungan. Dikiranya dengan membawa Ki Harga Jumena
sahabatnya di masa muda itu akan dapat dengan mudah menyelesaikan dendamnya
saat pertemuan pertama dengan Kiai Sabda Dadi dulu.”
“Orang-orang
bodoh,” geram Ki Lurah. Namun dengan tersenyum dia melanjutkan kata katanya,
“Tetapi jangan kuwatir. Masih ada Ki Gede Kebo Lungit yang akan membantu kita
merebut Menoreh. Selanjutnya kita akan membangun kekuatan di Menoreh dan di
sepanjang Kali Praga untuk menghadapi Mataram.”
Perwira
yang bertugas jaga itu dan Putut Luarsa hampir bersamaan mengangguk-angguk.
“Kakang,
sampai dimanakah perjalanan Ki Gede Kebo Lungit dan pengikutnya itu?” bertanya
Perwira jaga itu kepada Putut Luarsa setelah sejenak mereka terdiam.
“Menurut
berita yang aku terima, Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya telah sampai di
dukuh Matesih, padukuhan kecil di sebelah selatan Karangpandan. Hari ini
kemungkinan mereka akan meneruskan perjalanan ke selatan menuju ke Kademangan
Jatipuro. Kemudian dari Kademangan Jatipuro mereka dapat menempuh jalur utara
setelah sampai di Ngadirejo, menyusuri lereng bukit gunung kukusan yang permai
menuju ke Sangkal putung.”
Ki
Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Bagaimana dengan kesiapan
perguruanmu sendiri? Apakah benar Panembahan Cahyo Warastro itu masih hidup?
Pada saat pasukan Mataram menggempur Madiun, Panembahan itu tidak menampakkan
batang hidungnya sama sekali.”
Wajah
Putut Luarsa memerah sejenak. Bagaimanapun juga hatinya tersinggung ketika
perguruannya diremehkan, apalagi keberadaan Panembahan Cahyo Warastro, Mahaguru
yang dianggap keramat dan tidak pernah bersentuhan dengan sakit bahkan
dipercaya sudah terbebas dari kematian.
Yang
menjawab ternyata justru Perwira jaga itu, “Panembahan Cahyo Warastro adalah
seorang sakti yang sudah terbebas dari kematian. Murid-muridnya tidak ada yang
diperkenankan untuk menghadap langsung. Ada Paman Bango Lamatan yang menjadi
lantaran dari setiap perintah Panembahan Cahyo Warastro. Pada saat pecah perang
Mataram dengan Madiun, Panembahan memang melarang kami untuk turun ke medan,
karena Panembahan yang waskita itu sudah mendapat wangsit bahwa Madiun akan
jatuh dengan cara licik, bukan perang tanding beradu dada.”
Ki
Lurah Sanggabaya mengerutkan keningnya, katanya kemudian dengan suara datar,
“Apa yang Kau ketahui tentang perang Mataram melawan Madiun? Kau masih di
gendongan biyungmu waktu itu. Bahkan aku pun masih seorang prajurit Wira
Tamtama, namun aku ikut terjun langsung dalam pertempuran sehingga aku tahu
jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Perwira
itu menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah dia waktu itu masih sangat muda dan
menjadi salah seorang cantrik di Padepokan Panembahan Cahyo Warastro
bersama-sama dengan Putut Luarsa.
“Baiklah,”
berkata Ki Lurah kemudian ketika melihat kedua orang di hadapannya itu justru
telah terdiam. Kemudian sambil melangkah ke pintu dia berkata, “Marilah, temani
aku menemui orang-orang itu.”
Ketika
Putut Luarsa pun ikut beranjak, Ki Lurah justru berkata, “Kau menunggu di sini
saja.”
Putut
Luarsa hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi kedua orang itu
hilang di balik pintu yang menyekat antara ruang dalam dengan pringgitan.
Dalam
pada itu Kiai Sabda Dadi dan Ki Jayaraga yang sedang duduk-duduk menunggu di
pendapa dikejutkan oleh derit pintu pringgitan. Hampir berbareng mereka
berpaling ke arah suara derit itu. Sejenak kemudian Ki Lurah Sanggabaya dengan
raut muka yang tegang muncul dari balik pintu diikuti oleh Perwira yang sedang
bertugas jaga pada hari itu.
Pandang
mata Ki Lurah Sanggabaya pun segera menyambar ke wajah kedua orang tua yang
sedang duduk di tengah pendapa. Ki Lurah sudah pernah bertemu dengan Ki
Jayaraga, sehingga Ki Lurah segera dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang
duduk di sebelah Ki Jayaraga itulah yang bernama Kiai Sabda Dadi.
Ketika
pandang mata Ki Lurah Sanggabaya membentur sorot mata Kiai Sabda Dadi yang
tenang tapi penuh wibawa, terasa jantung Ki Lurah berdegub semakin cepat.
Cepat-cepat dilemparkan pandang matanya ke regol penjagaan depan ke arah para
prajurit yang berdiri berjajar-jajar di sebelah menyebelah regol.
Ketika
langkah Ki Lurah telah sampai di tempat kedua orang tua itu duduk-duduk
menunggu, dengan mengangguk-anggukkan kepalanya serta sebuah senyum yang
dipaksakan, Ki Lurah pun mengambil tempat tepat di hadapan Ki Jayaraga.
Sedangkan Perwira yang mengiringinya segera menempatkan diri beberapa jengkal
di belakangnya.
Sekilas
pandangan Ki Lurah masih sempat menyambar wajah Kiai Sabda Dadi, orang yang
mampu membunuh Ki Harga Jumena. Tidak terlihat kelelahan ataupun luka yang
parah pada diri orang tua itu. Bahkan Kiai Sabda Dadi terlihat sangat sehat
walaupun tampak ada gurat-gurat keletihan membayang di wajahnya, namun Ki Lurah
yakin, dengan cukup istirahat orang tua itu pasti akan segera dapat memulihkan
kekuatannya.
Berkali-kali
Ki Lurah Sanggabaya mengumpat dalam hati. Dia sangat menyesalkan tindakan Ki
Wasi Jaladara yang mencegat perjalanan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi sehingga
mengakibatkan terbunuhnya Ki Harga Jumena. Kejadian yang tak terduga itu telah
membuat Ki Lurah berpikir ulang untuk mengadakan penyerbuan ke rumah Ki
Argapati malam nanti.
Akhirnya,
betapapun kemarahan hampir menghanguskan dadanya, sambil mencoba tersenyum dan
bersikap sewajar mungkin, Ki Lurah Sanggabaya berkata, “Ma’afkan aku telah
membuat Ki Jayaraga berdua menunggu cukup lama.”
“O,
tidak, tidak,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Sebenarnyalah kami berdua ini yang
telah mengganggu tugas-tugas Ki Lurah.”
“Ah,”
giliran Ki Lurah yang tertawa pendek, betapapun hambarnya, “Kewajiban kami
sebagai prajurit memang kadang-kadang dihadapkan pada permasalahan-permasalahan
yang pelik, dan tidak jarang masalah itu tidak ada sangkut pautnya dengan
tugas-tugas keprajuritan yang kami emban. Namun sebagai prajurit, kami sudah
dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan apapun
permasalahan yang mungkin timbul.”
Hampir
bersamaan ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-angguk. Di benak kedua orang tua itu telah menangkap sikap yang
kurang wajar dari Ki Lurah Sanggabaya.
“Ah,
mungkin perasaanku saja yang terlalu mengada ada,” berkata Kiai Sabda Dadi
dalam hati. Namun ketika tanpa disengaja pandangan matanya bertemu dengan
Perwira yang bertugas jaga pada hari itu yang duduk di sebelah kiri Ki Lurah,
betapa Perwira itu tampak sangat gugup dan cepat-cepat menundukkan wajahnya.
“Ki
Jayaraga,” berkata Ki Lurah Sanggabaya membuyarkan lamunan Kiai Sabda Dadi,
“Apakah yang dapat kami bantu?”
Ki
Jayaraga sejenak berpaling ke arah Kiai Sabda Dadi untuk meminta pertimbangan.
Ketika dilihatnya Kiai Sabda Dadi mengangguk sekilas, maka katanya kemudian, “Ki
Lurah, akhir-akhir ini keamanan di Tanah Perdikan Menoreh sangat
memprihatinkan. Memang sebagian besar pengawal yang dipimpin oleh Prastawa
telah bergabung dengan pasukan Mataram untuk melawat ke Panaraga. Sepeninggal
sebagian besar pengawal itulah sekarang ini terjadi banyak kerusuhan. Banyak
orang-orang yang tak dikenal memasuki Tanah Perdikan Menoreh terutama padukuhan
induk. Kami tidak tahu dari manakah mereka berasal dan untuk tujuan apakah
mereka memasuki Menoreh? Bahkan Kiai Sabda Dadi sudah mengalami dua kali
penyerangan oleh perguruan yang letaknya jauh dari Menoreh, perguruan Liman
Benawi dari Madiun pada saat pertama kali memasuki wilayah Menoreh. Dan yang
terakhir kali, yang baru saja terjadi beberapa saat tadi adalah penyerangan
dari perguruan Harga Belah Blambangan di bantu dari perguruan Liman Benawi yang
agaknya memendam dendam sejak pertemuan pertama. Untunglah Yang Maha Agung
masih melindungi kami sehingga kami masih bisa selamat sampai di sini.”
Ki
Lurah Sanggabaya tampak menahan gejolak perasaannya ketika mendengar cerita Ki
Jayaraga. Tanpa disadarinya, pandang matanya sekilas menyambar ke arah Kiai
Sabda Dadi yang juga sedang menatap ke arahnya.
Pandangan
yang sekilas itu telah memberikan isyarat kepada Kiai Sabda Dadi bahwa dia
harus berhati-hati dengan orang yang bernama Ki Lurah Sanggabaya ini. Menilik
sikapnya yang tidak wajar ketika pertama kali bertemu, serta sikap Perwira
bawahannya yang terkejut ketika mendengar namanya disebut, telah mengisyaratkan
kepadanya bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di barak pasukan khusus
ini.
“Ki
Jayaraga,” berkata Ki Lurah setelah sejenak berdiam diri, “Bantuan macam apakah
yang Kau maksud untuk meningkatkan keamanan Tanah Perdikan Menoreh? Pasukan
yang tinggal ini tidak begitu banyak dan hanya cukup untuk mengamankan wilayah
kami sendiri. Namun kami juga tidak menutup mata terhadap keamanan Menoreh.
Jarak jangkau pasukan yang meronda di sekitar barak kami akan kami tingkatkan
jaraknya. Mereka akan meronda sampai kepadukuhan induk. Namun hal itu harus
disampaikan kepada para pengawal yang ada di Menoreh agar tidak timbul salah
paham.”
Ki
Jayaraga mengangguk anggukkan kepalanya, jawabnya kemudian, ”Terima kasih Ki
Lurah. Itu bagi kami sudah lebih dari cukup. Kami juga akan meningkatkan
pengamatan kami dengan sisa-sisa para pengawal yang tertinggal. Namun apabila
diperlukan kami dapat mengerahkan semua laki-laki yang ada di Tanah Perdikan
Menoreh ini untuk keluar dari rumah dan menyandang senjata.”
“Ah,
itu terlalu berlebihan,” dengan cepat Ki Lurah memotong, “Jangan berbuat seolah
olah Menoreh ini akan dilanda perang. Kita harus mempertimbangkan ketenangan
para kawula. Jangan sampai mereka dibuat gelisah padahal persoalan yang
sebenarnya jauh dari itu dan sebenarnyalah tidak akan terjadi apa-apa.”
“Itu
sudah terjadi, Ki Lurah,” Kiai Sabda Dadi yang sedari tadi hanya diam saja
tiba-tiba menyahut, “Aku sudah mengalaminya dua kali. Itu adalah bukti yang tak
terbantahkan betapa keamanan di Menoreh akhir-akhir ini sangat gawat. Beberapa
perguruan telah hadir disini dan Ki Lurah masih saja menganggap tidak akan
terjadi apa-apa.”
Sejenak
wajah Ki Lurah menjadi merah padam mendengar sindiran Kiai Sabda Dadi. Dengan
menahan gejolak di dalam dadanya, Ki Lurah pun berkata dengan nada yang dalam,
“Siapakah Ki Sanak ini? Ada hubungan apakah Ki Sanak dengan Menoreh sehingga
ikut campur permasalahan yang terjadi di Menoreh?”
“Ki
Lurah,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil memandang tajam ke arah Ki Lurah
Sanggabaya, “Seharusnya Perwira yang menghadap Ki Lurah itu sudah menjelaskan
siapa aku. Akan tetapi kalau memang Ki Lurah kurang jelas, aku dapat mengulangi
sekali lagi. Namaku Sabda Dadi dari perguruan Glagah Tinutu di lereng Gunung
Kendeng. Perguruan yang dipimpin oleh Panembahan Kalijenar, cucu dari Nyi Ageng
Ngerang dari Juwana Pati.”
Kali
ini Ki Lurah benar-benar hampir tidak mampu menahan diri. Wajahnya telah
menjadi merah padam dan giginya bergemeretakan. Kebenciannya pada Kiai Sabda
Dadi yang telah merusak rencananya dengan membunuh Ki Harga Jumena benar-benar
telah memuncak sampai ubun-ubun. Namun sebelum dia melakukan tindakan bodoh
memaki Kiai Sabda Dadi, Perwira yang duduk di sebelahnya telah menggamit
pinggangnya.
Sekejap
Ki Lurah bagaikan membeku. Hampir saja kata-kata makian itu terloncat dari
bibirnya, namun dengan segera dicobanya untuk menguasai penalarannya dengan
menarik nafas dalam-dalam sambil berusaha meredakan gelora di dalam dadanya.
Setelah
gelora di dalam dadanya mengendap, perlahan sambil beringsut ke arah Kiai Sabda
Dadi, Ki Lurah mengangguk perlahan dan berkata, “Ma’afkan saya Kiai. Saya tidak
tahu bahwa saya berhadapan dengan salah seorang murid perguruan Glagah Tinutu
dari lereng gunung Kendeng. Jikalau ada sambutan dari kami yang kurang
berkenan, mohon dimaafkan.”
Sekarang
justru Kiai Sabda Dadi lah yang termangu-mangu. Ketika dia berpaling ke arah Ki
Jayaraga, tampak dahi orang tua itu semakin berkerut merut.
“Sudahlah
Ki Lurah,” akhirnya Kiai Sabda Dadi berkata sareh, “Akulah yang seharusnya
meminta ma’af karena telah merepotkan Ki Lurah. Sebenarnyalah sebelum menghadap
Ki Lurah, kami telah menghubungi para pengawal yang tersebar di seluruh
padukuhan-padukuhan Tanah Perdikan Menoreh untuk bahu membahu mengamankan
daerahnya masing-masing.”
Ki
Lurah sejenak termenung. Kekuatan Menoreh yang sebenarnya terletak pada para
pengawalnya yang tersebar dari ujung ke ujung tanah itu. Pengalaman telah
menempa mereka pada saat beberapa kali tanah perdikan itu diguncang perang.
Masih belum dapat terhapus dari ingatan para orang-orang tua, bagaimana Sidanti
yang mereka anggap sebagai masa depan Menoreh justru telah merobek-robek dada
ayahnya sendiri bersama guru dan pamannya. Kemudian beberapa kali tanah itu
menjadi saksi perang tanding yang dahsyat antara Ki Agung Sedayu melawan
musuh-musuh yang mendendamnya. Kemudian peristiwa bangkitnya perguruan
Kedungjati juga telah merambah ke Menoreh karena justru istri Ki Rangga Agung
Sedayu adalah pewaris dan sekaligus murid utama yang tersisa dari perguruan
Kedungjati yang besar sepeninggal Patih Mantahun dan Sumangkar serta Raden
Tohpati yang bergelar macan kepatihan.
“Ki
Lurah,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan Ki Lurah, “Memang kami
telah mengerahkan seluruh pengawal yang tersisa di masing-masing padukuhan
untuk ikut mengamankan padukuhan induk, sedangkan masing-masing-padukuhan itu
hampir setiap laki-laki yang masih mampu menggenggam senjata telah keluar rumah
dan mengisi gardu-gardu perondan yang ditinggalkan para pengawalnya untuk
berkumpul di padukuhan induk.”
Ki
Lurah tampak memerah wajahnya walaupun hanya sekilas, namun yang hanya sekilas
itu telah ditangkap oleh Ki Jayaraga.
Berkata
Ki Lurah kemudian, “Itu terserah bagaimana kalian menjaga Tanah Perdikan ini.
Aku sebagai pemimpin yang diserahi menjaga keamanan di barak khusus ini hanya
mampu membantu sebatas yang dapat kami lakukan. Namun itu bukan berarti kami
lepas tanggung jawab sebagai prajurit. Kami sudah mengenal Menoreh sebagaimana
tanah kelahiran kami. Kami mengetahui jalur-jalur jalan yang mana yang biasa
dilalui maupun yang tersembunyi. Justru itulah yang akan kami lakukan, meronda
ke tempat-tempat yang mungkin luput dari pengamatan para pengawal tanah
Perdikan Menoreh.”
Hampir
bersamaan Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
benak kedua orang itu berkecamuk berbagai dugaan. Namun mereka masih harus
menunggu bukti untuk mengungkapkan sesuai dengan apa yang terlintas pada benak
mereka.
“Baiklah
Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah sejenak mereka berdiam diri,
“Kami mohon diri untuk kembali ke padukuhan induk. Selain kami harus menyiapkan
para pengawal untuk bergiliran meronda, agaknya Kiai Sabda Dadi juga memerlukan
istirahat yang cukup untuk memulihkan kesehatannya.”
“Ah,”
Kiai Sabda Dadi tertawa hambar, “Aku memang sudah tua dan agaknya perlu banyak
istirahat sebelum menghadapi kerja yang sebenarnya.”
Ki
Lurah mengumpat dalam hati mendengar gurauan kedua orang tua itu. Sejauh
jauhnya dia berusaha untuk menghilangkan kesan dari wajahnya, maka katanya
kemudian untuk mengalihkan perhatian, “Ki Jayaraga dapat menempatkan beberapa
penghubung di dekat hutan itu. Dengan menggunakan isyarat yang disepakati, para
penghubung dapat segera melapor ke barak prajurit pasukan khusus ini begitu
menerima isyarat dari padukuhan induk.”
Kembali
kedua orang tua itu mengangguk angguk. Kemudian setelah sekali lagi mengucapkan
terima kasih atas kesediaan Ki Lurah untuk membantu keamanan di Tanah Perdikan
Menoreh, kedua orang tua itupun akhirnya minta diri untuk kembali ke padukuhan
induk.
Sepanjang
perjalanan pulang, Ki Jayaraga berkuda berdampingan dengan Kiai Sabda Dadi,
sedangkan Ki Jamawir berkuda di belakang bersama-sama dengan para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam
pada itu, Matahari telah mencapai puncaknya. Sinarnya benar-benar membuat kulit
bagaikan terbakar. Untunglah sepanjang perjalanan di antara bulak-bulak
panjang, angin bertiup cukup kencang sehingga hembusan angin yang cukup sejuk
itu dapat menyegarkan tubuh mereka yang bagaikan terpanggang.
Sesampainya
di padukuhan induk, Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi segera membagi tugas. Kiai
Sabda Dadi langsung menuju ke kediaman Ki Gede Menoreh sedangkan Ki Jayaraga
bersama Ki Jamawir menuju ke banjar induk. Sementara ke lima pengawal yang
telah ikut ke barak prajurit pasukan khusus itu segera bergabung dengan kawan-kawan
mereka yang telah datang dari padukuhan-padukuhan seluruh Tanah Perdikan
Menoreh.
Suasana
di seluruh Tanah Perdikan Menoreh benar-benar seperti akan berperang. Segala
sudut padukuhan terutama padukuhan induk yang terdapat gardu-gardu perondan
telah penuh dengan para pengawal dibantu dengan anak-anak muda. Orang-orang tua
yang masih merasa kuat telah keluar rumah sambil menyandang senjata andalan
mereka di waktu masih muda. Ada yang menyandang pedang, keris, memandi tumbak
dan bahkan ada yang membawa sepasang bindi yang terbuat dari galih kayu nangka
yang sangat tua, sehingga sepintas terlihat seperti terbuat dari besi.
Seorang
anak muda yang berpapasan dengan orang yang membawa sepasang bindi sambil
berjalan dengan terbongkok-bongkok itu tertegun. Sambil menghentikan langkahnya
dia menegur, “Kakek mau kemana?”
Kakek
tua yang ditegur itu sejenak berhenti sambil menegakkan pinggangnya dengan
kedua belah telapak tangannya. Kedua bindi yang tadinya dipanggul di kedua
belah pundaknya itu diletakkan begitu saja di atas tanah.
“He,”
serunya kemudian setelah dia berdiri tegak, “Bukankah kita akan berperang?
Sudah lama sekali aku tidak mengayunkan bindiku ini. Jangankan manusia, segala
jenis jin, setan, peri prayangan pasti terbirit-birit begitu melihat sepasang bindiku
ini. Tahukah Kau anak muda? Semasa mudaku aku dijuluki sepasang bindi iblis
dari Karangtuo.”
Anak
muda yang diajak bicara itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Katanya dalam hati, “Pantas saja segala jin setan peri perayangan takut. Sepasang
bindi itu ternyata milik iblis, nenek moyangnya segala jin dan setan.”
Kakek
pemilik sepasang bindi itu sejenak memandangi anak muda di depannya yang
tersenyum senyum seolah olah sedang mengejeknya.
“He,
Kau tidak percaya?” bentaknya sambil meraih sepasang bindinya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi ke udara. Namun betapa kedua lengan itu menjadi gemetaran karena
menahan beban berat sepasang bindi itu.
Melihat
pemandangan yang menggelikan itu, anak muda itupun akhirnya berkata, “Kakek,
kelihatannya sepasang bindi itu sudah terlalu berat bagi Kakek. Biarkan aku
menolongmu untuk mengangkatnya.”
Sambil
tetap mempertahankan kedudukan sepasang bindi itu, kakek itu menjawab dengan
nafas yang memburu, “Ya..ya silahkan. Cepat sedikit aku hampir tidak tahan.”
Dengan
segera anak muda itu meraih sepasang bindi dari kedua tangan kakek yang
gemetaran. Ketika sepasang bindi itu sudah berpindah tangan, dengan lunglai
kakek itu pun kemudian jatuh terduduk.
“Sudahlah,
Kek,” berkata anak muda itu sambil berjongkok bertelekan pada kedua bindi yang
ada di tangannya, “Sebaiknya Kakek pulang saja. Biarlah kami yang muda-muda ini
yang menjaga keamanan di padukuhan ini.”
Untuk
sejenak mata Kakek itu menyorotkan kemarahan yang tiada taranya. Geramnya, “Kau
gila anak muda. Apa Kau kira ada yang mampu mengalahkan sepasang bindi iblis
dari Karangtuo? Aku masih mampu menghancurkan kepala orang yang berani
menghinaku dengan sekali pukul dengan bindiku itu.”
“Ya..ya
Kek, aku percaya,” sahut anak muda itu cepat agar tidak menyakiti hati orang
tua itu. Setelah berpikir sejenak, anak muda itupun akhirnya melanjutkan kata
katanya, “Tapi Kek, orang yang menghinamu itu sudah tidak ada lagi, dia telah
pergi.”
“He!”
terkejut kakek itu bangkit berdiri, “Kemana dia? Panggil kemari! Kalau dia tidak
mau bersujud minta maaf kepadaku, akan aku remukkan kepalanya.”
Anak
muda itu menarik nafas dalam-dalam sambil ikut berdiri, “Terlambat Kek, orang
itu sudah pergi jauh. Biarlah aku saja yang mencarinya. Sebaiknya kakek pulang
saja ke rumah.”
Sejenak
Kakek itu termangu-mangu. Sambil bersungut-sungut dia memandangi wajah anak
muda itu, katanya kemudian, “Awas kalau sampai orang yang menghinaku itu tidak
ketemu. Kau sebagai gantinya.”
Selesai
berkata demikian Kakek itu dengan tertatih-tatih berjalan meninggalkan anak
muda yang masih berdiri termangu-mangu sambil menggenggam sepasang bindi yang
terbuat dari galih kayu nangka yang sangat tua.
Ketika
bayangan orang tua itu telah semakin menjauh, anak muda itu pun akhirnya
menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian
dengan tergesa-gesa dia melanjutkan perjalanannya menuju ke banjar padukuhan.
Dalam
pada itu, seorang murid dari Panembahan Cahyo Warastro yang menjadi penghubung
antara Ki Lurah Sanggabaya dengan Ki Gede Kebo Lungit telah menunggu kehadiran
Ki Gede Kebo Lungit di padukuhan Ngadireja karena berita dari penghubung
sebelumnya memberitahukan bahwa orang yang pernah memimpin padepokan sebelah
selatan Madiun yang telah dihancurkan oleh pasukan Menoreh dan Pegunungan sewu
itu semalam telah berangkat dari Kademangan Jatipura menuju ke Padukuhan
Ngadireja.
Siang
itu Matahari memang bersinar dengan teriknya. Jalan di depan pasar Ngadireja
itu memang sudah sepi karena banyak pedagang yang sudah mengemasi barang
dagangannya dan bersiap untuk pulang ke rumah. Hanya beberapa kedai yang memang
sengaja berjualan sampai malam masih tampak ramai dikunjungi orang-orang yang
ingin membeli makanan atau sekedar minuman untuk menghilangkan dahaga.
Ketika
penghubung itu sudah menghabiskan dua mangkuk dawet cendol, pandangan matanya
yang tanpa sengaja memandang jauh ke ujung jalan itu menangkap titik-titik yang
bergerak gerak di kejauhan. Agaknya serombongan orang berkuda sedang menuju ke
arahnya.
Sejenak
kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda yang berderap perlahan lahan di atas
jalan berbatu batu. Semakin lama rombongan orang berkuda itu semakin dekat.
Ketika jarak rombongan itu tinggal beberapa tombak dari kedai tempat murid
Panembahan Cahyo Warastro itu menikmati dawet cendol, tiba-tiba saja rombongan
orang-orang berkuda itu memperlambat laju kuda-kuda mereka. Pemimpin rombongan
yang berkuda paling depan ternyata telah melihat sebuah tanda yang ditancapkan
pada sebatang pohon asam di pinggir jalan. Sebuah anak panah berbedor putih
tertancap pada batang pohon asam itu hampir separonya.
“Panembahan
Cahyo Warastro,” geram pemimpin rombongan itu, “Sudah berapa kali aku katakan.
Aku tidak suka dengan permainan ini. Meletakkan tanda-tanda perguruan Cahyo
Warastro sepanjang jalan dan aku disuruh mengikutinya. Benar-benar permainan
kanak-kanak yang menjemukan.”
“Tapi
itu memang cara yang dikehendaki oleh Panembahan itu untuk berhubungan dengan
orang-orang yang dikehendakinya melalui murid-muridnya, Guru,” seseorang yang
berkuda di samping kirinya menyahut.
“Persetan
dengan segala macam aturan dari Panembahan itu,” sekali lagi pemimpin rombongan
itu menggeram, “Perguruan Kebo Lungit juga mempunyai paugeran sendiri. Untuk
selanjutnya kita tidak usah tunduk dengan segala macam aturan dari Kecruk Putih
itu. Kita langsung meneruskan perjalanan ke Menoreh bergabung dengan Ki Lurah
Sanggabaya.”
Rombongan
orang-orang berkuda itu ternyata adalah Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya.
Mereka sedang dalam perjalanan dari Kademangan Jatipura melewati Padukuhan Ngadireja
untuk selanjutnya menyusuri lereng sebelah utara pegunungan Kukusan menuju ke
Sangkal Putung.
“Marilah,”
berkata Ki Gede selanjutnya, “Jangan hiraukan tanda-tanda itu.”
Namun
baru saja Ki Gede Kebo Lungit menggerakkan kendali kudanya untuk beranjak dari
tempat itu, seseorang telah menegurnya.
“Selamat
datang Ki Gede Kebo Lungit. Panembahan Cahyo Warastro sangat menghargai kerja
sama ini. Untuk selanjutnya Ki Gede dapat beristirahat sejenak di padukuhan
Ngadireja ini jika berkenan. Namun seandainya Ki Gede dan rombongan akan
melanjutkan perjalanan langsung ke Sangkal Putung, dipersilahkan.”
Ki
Gede Kebo Lungit mengerutkan keningnya. Dipandanginya salah satu murid
Panembahan Cahyo Warastro itu yang menjadi penghubung keberadaan dirinya. Sudah
beberapa kali dia dan rombongannya bertemu dengan murid-murid Panembahan itu
sepanjang perjalanannya. Secara tidak langsung dirinya dan murid-muridnya
seolah olah selalu berada di bawah pengawasan Panembahan yang dipercaya sudah
terbebas dari segala macam penyakit dan kematian itu.
“Apakah
semua ini memang diperlukan?” bertanya Ki Gede Kebo Lungit.
Murid
Panembahan Cahyo Warastro itu sejenak mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
“Maksud Ki Gede?”
Ki
Gede menarik nafas dalam sebelum menjawab untuk meredakan kejengkelan dalam
dadanya, “Aku merasa tidak perlu dituntun dalam perjalananku dari Madiun ke
Menoreh. Aku bukan sehari dua hari menjadi petualang. Hampir seluruh masa
mudaku aku gunakan untuk menjelajah tanah ini dari ujung ke ujung. Jadi apa
maksud Panembahan itu menempatkan orang-orangnya di sepanjang perjalananku?”
Murid
Panembahan Cahyo Warastro menjadi berdebar debar melihat sikap Ki Gede Kebo
Lungit. Agaknya telah terjadi kesalah pahaman antara maksud baik Gurunya dengan
ki Gede yang sombong ini.
“Ma’afkan
Ki Gede,” berkata murid Panembahan Cahyo Warastro itu kemudian, “Bukan maksud
Panembahan untuk mengecilkan keberadaan Ki Gede, namun ini semua adalah ujud
dari perhatian Panembahan untuk menemani perjalanan Ki Gede dan sekaligus
memberikan laporan kepada Ki Lurah Sanggabaya sehingga Ki Lurah dapat
memperhitungkan setiap langkah yang akan diambil.”
Ki
Gede Kebo Lungit termenung sejenak. Memang alasan yang dikemukakan oleh murid
Panembahan Cahyo Warastro itu masuk akal. Namun betapapun juga, Ki Gede merasa
tersinggung dengan tindakan Panembahan Cahyo Warastro yang selalu mengawasi
gerak geriknya.
“Ada
satu hal yang masih menjadi pemikiranku terhadap keberadaan Panembahan Cahyo
Warastro,” berkata Ki Gede Kebo Lungit kemudian setelah terdiam sejenak,
“Memang aku tidak mengikuti Panembahan itu ke Menoreh waktu terjadi penyerbuan
besar-besaran yang dipimpin sendiri oleh Panembahan dengan tujuan untuk
membinasakan Ki Patih Mandaraka. Menurut berita yang aku terima, Panembahan
Cahyo Warastro menemui ajalnya di tangan Ki Patih Mandaraka,” Ki Gede berhenti
sejenak, dipandanginya murid Panembahan Cahyo Warastro yang berdiri di depannya
untuk mendapatkan kesan, namun ternyata wajah orang itu hanya datar-datar saja.
Maka kemudian lanjutnya, “Bagaimana mungkin sekarang ini ada orang yang
menamakan dirinya Panembahan Cahyo Warastro dan mengendalikan murid-muridnya
untuk berhubungan dengan perguruan-perguruan yang ada di tanah ini tanpa
menunjukkan jati dirinya dan memerintah hanya melalui tanda-tanda khusus berupa
anak panah berbedor putih?”
Murid
perguruan Cahyo Warastro yang menjadi penghubung itu tersenyum sekilas. Tampak
sebuah kebanggaan yang tiada taranya menghiasi wajahnya. Katanya kemudian,
“Panembahan adalah manusia yang sudah kalis dari segala bentuk kelemahan dunia,
rasa sakit, lapar, lelah dan bahkan kematian sekalipun. Maka jangan mencoba
coba untuk merendahkan keberadaannya atau Kau akan menemui kesulitan.”
“Omong
kosong..!” bentak Ki Gede menggelegar, “Panembahan yang kau sanjung-sanjung itu
telah mati dan tidak mungkin bangkit lagi dari kuburnya.”
Belum
selesai Ki Gede Kebo Lungit mengatupkan mulutnya, terdengar sebuah desing keras
disertai dengan suara angin bersiutan. Entah dari mana datangnya sebuah anak
panah berbedor putih melesat menyambar leher Ki Gede dari arah samping kanan.
Ki
Gede terkejut. Dengan gerak naluriah, ditariknya kepalanya sejengkal kebelakang
dan anak panah berbedor putih itu pun melesat hanya setebal daun di depan
hidung Ki Gede.
Namun
belum sempat Ki Gede berlega hati, terdengar jerit menyayat dari sebelah kiri
ki Gede. Ternyata murid Ki Gede yang berkuda di sebelah kirinya telah roboh
terjungkal dari kudanya disambar anak panah berbedor putih tepat menembus
lehernya.
Sejenak
Ki Gede Kebo Lungit membeku di atas punggung kudanya. Tanpa disadarinya dia
telah mengetrapkan kemampuan setinggi-tingginya untuk mempertahankan dirinya
seandainya datang lagi serangan yang lebih dahsyat.
Suasana
menjadi tegang. Tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Nafas pun
bagaikan tertahan di rongga dada. Semua menunggu apa yang akan terjadi kemudian
sehingga tidak ada seorang pun yang berusaha menolong murid perguruan Kebo
Lungit yang tertembus panah di lehernya sehingga terjungkal dari kudanya.
Diam-diam
Ki Gede Kebo Lungit mengedarkan pandangan matanya ke arah sisi kanan. Sejenak
diamatinya gerumbul-gerumbul, kedai-kedai yang berjajar jajar yang para
pembelinya telah keluar semua karena mendengar jerit yang mendebarkan, serta
pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan.
Tidak
ada satu gerakan yang mendebarkan. Hanya orang-orang yang mulai berkerumun di
depan kedai-kedai tetapi mereka tidak berani mendekat, justru karena mereka
melihat salah satu dari penunggang kuda itu ada yang tegolek di tanah dengan
darah yang berhamburan dari lehernya. Agaknya orang yang terkena panah itu
mencoba bertahan, namun panah yang menancap lehernya itu ternyata beracun.
Terbukti dengan darah yang semula berwarana merah, perlahan-lahan berubah
menjadi hijau kehitam-hitaman. Sejenak murid perguruan Kebo Lungit itu masih mencoba
bertahan namun sesaat kemudian dia telah terbaring diam.
Melihat
itu semua, Ki Gede Kebo Lungit mengeram keras sambil berteriak, “Gila..! ini
permainan gila. Aku akan menuntut setiap nyawa yang hilang. Tidak cukup dengan
satu nyawa dibayar satu nyawa. Aku tidak peduli lagi dengan segala macam
perjanjian ini. Harga diri perguruan Kebo Lungit telah diinjak injak. Bagiku,
nama baik perguruan adalah segala-galanya.”
Selesai
berkata demikian, Ki Gede Kebo Lungit telah menggebrak kudanya ke depan
menerjang murid Panembahan Cahyo Warastro yang berdiri termangu mangu di
depannya.
Namun
agaknya murid Panembahan Cahyo Warastro itu telah bersiap, sehingga dengan
melontarkan dirinya ke samping kiri, terjangan kaki kuda Ki Gede berhasil
dihindari walaupun harus dengan menjatuhkan dirinya berguling guling di atas
jalan yang berdebu.
Peristiwa
itu ternyata telah menyadarkan murid-murid perguruan Kebo Lungit yang lain.
Serentak beberapa orang segera menggerakkan kendali kudanya untuk mengurung
murid Panembahan Cahyo Warastro, sedang yang lainnya telah meloncat turun dari
kudanya dan berusaha menolong kawannya yang telah tergeletak di tanah.
Dua
orang berusaha memapahnya ke tempat yang teduh di bawah bayangan pohon mahoni
yang tumbuh besar di tepi jalan. Kedua orang kawannya itu berusaha untuk
menolongnya namun racun yang terdapat di ujung anak panah itu ternyata sangat
keras, sekeras racun ular bandotan sehingga nyawanya sudah tak tertolong lagi.
Melihat
keadaan kawannya yang telah menjadi mayat, kedua murid perguruan Kebo Lungit
itu hampir bersamaan telah mengumpat kasar. Sambil meloncat berdiri, keduanya
pun segera berlari mendapatkan kuda-kuda mereka untuk bergabung dengan kawan
kawannya membantai murid Panembahan Cahyo Warastro yang telah terkepung rapat.
Namun
ternyata murid Panembahan Cahyo Warastro itu benar-benar bernyali singa. Tidak
ada setitik pun rasa gentar terbayang di wajahnya. Dengan wajah yang tegang,
dia segera menghunus pedangnya, siap untuk menghadapi serbuan Ki Gede Kebo
Lungit beserta murid-muridnya.
Namun
baru saja Ki Gede memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk mulai bergerak,
tiba-tiba saja mereka yang ada di jalan depan kedai itu telah dikejutkan oleh
bunyi ledakan cambuk yang menggelegar membelah angkasa.
Ki
Gede Kebo Lungit terkejut bukan buatan, bukan oleh kerasnya bunyi ledakan
cambuk itu, namun ingatannya segera tertuju pada orang yang meledakkan cambuk
itu, orang yang selama ini telah dihindarinya namun juga dicarinya untuk
menuntaskan dendam yang tiada taranya.
“Ki
Rangga Agung Sedayu,” geram Ki Gede Kebo Lungit sambil matanya mencari cari
bayangan musuh bebuyutannya itu di antara kerumunan orang-orang yang ada di
depan kedai.
Ternyata
Ki Gede Kebo Lungit tidak usah mencari terlalu lama. Seseorang yang telah
memasuki usia separo baya dan berperawakan sedang tetapi tegap telah berdiri di
depan kedai dengan kaki renggang. Di tangan kanannya tergenggam pangkal senjata
andalannya, sebuah cambuk yang berjuntai panjang dan berkerah baja. Sedang
tangan kirinya memegang ujung juntai cambuk itu.
“Ki
Rangga Agung Sedayu,” hampir setiap bibir murid perguruan Kebo Lungit menyebut
nama itu, nama yang telah menggetarkan dada mereka. Masih segar dalam ingatan,
bagaimana guru mereka yang di agung-agungkan itu telah lari tunggang-langgang
menghindari orang yang bernama Agung Sedayu itu. Dan kini orang yang ditakuti
dan sekaligus dibenci itu telah berdiri di hadapan mereka.
Setiap
dada menjadi berdebar-debar, terutama Ki Gede Kebo Lungit. Memang selama ini
dia telah berusaha untuk meningkatkan ilmunya, namun dia menyadari, bahwa Ki
Rangga Agung Sedayu pun mempunyai kesempatan yang sama, bahkan jarak
perbandingan ilmu itu mungkin akan semakin jauh.
Sebelum
Ki Gede menyadari apa yang sebaiknya dilakukan, ternyata murid Panembahan Cahyo
Warastro itu telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Selagi perhatian
mereka tercurah kepada kehadiran Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak disangka
sangka itu, dengan sebuah lompatan panjang dia telah berusaha menerobos
kepungan murid-murid perguruan Kebo Lungit.
Bagaikan
tersadar dari sebuah mimpi buruk, murid-murid perguruan Kebo Lungit yang
terdekat dengan keberadaan murid Panembahan Cahyo Warastro itu telah
menghentakkan kuda-kuda mereka untuk menutup jalan. Namun ternyata murid
panembahan Cahyo Warastro itu sangat lincah, sambil menyusup di antara
kuda-kuda yang bergerak menutup jalannya, sekali lagi dia meloncat dan
menjatuhkan diri berguling-guling masuk ke dalam sebuah gerumbul di tepi jalan.
Sebelum orang-orang yang mengepungnya itu memutar arah kudanya untuk mengejar,
kembali dengan sebuah lompatan yang panjang dia telah hilang di balik kedai
yang berjajar-jajar di pinggir jalan.
“Biarkan
dia pergi..!” tiba-tiba Ki Gede Kebo Lungit berteriak keras mencegah
murid-muridnya mengejar murid Panembahan Cahyo Warastro itu.
Murid-muridnya
yang sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat turun dari kudanya itupun
sejenak tertegun. Dan waktu yang sekejab itu sangat berarti bagi murid
Panembahan Cahyo Warastro untuk berlari semakin jauh.
Kini
setiap mata tertuju kepada Ki Rangga Agung Sedayu yang belum beranjak dari
tempatnya. Betapa sorot mata mereka itu mengandung kebencian yang tiada
taranya, namun sebenarnya-lah suara detak jantung mereka rasa rasanya bagaikan
bunyi kentongan yang dipukul dengan nada titir, pertanda akan datangnya mara
bahaya yang disertai rajapati.
Selagi
Ki Gede mencoba membuat pertimbangan-pertimbangan, dari dalam salah satu kedai
yang ada di pinggir jalan itu keluar seorang-orang tua yang sudah sangat tua
yang berpakaian serba hitam diikuti oleh seorang perempuan yang masih sangat
muda dan berparas sangat cantik namun berwajah murung.
Ketika
kedua orang itu kemudian mengambil tempat di sebelah kiri Ki Rangga Agung
Sedayu berdiri, tahulah Ki Gede dan murid-muridnya bahwa kedua orang yang baru
saja keluar dari salah satu kedai itu pasti ada hubungannya dengan Ki Rangga
Agung Sedayu.
“Ki
Gede Kebo Lungit,” tiba-tiba terdengar suara Ki Rangga Agung Sedayu dengan nada
dalam namun getaran suaranya terasa menyusup sampai ke jantung, “Atas nama
Mataram, menyerahlah! Sebagai seorang prajurit, aku akan memegang teguh
paugeran yang berlaku dan tidak akan bertindak diluar batas.”
Sejenak
Ki Gede tertegun. Namun kemudian terdengar tawanya berderai derai, “Sudahlah Ki
Rangga, di Madiun pun Kau tidak mampu menangkap aku dengan prajurit segelar
sepapan. Apalagi sekarang ini. Mungkin justru akulah yang akan menangkapmu kali
ini.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengamati para
pengikut Ki Gede Kebo Lungit itu. Apakah mungkin kali ini Ki Gede telah berhasil
membawa orang-orang pilihan untuk menuntaskan dendamnya?
Namun
pengamatan yang hanya sekilas itu telah meyakinkan panggraita Ki Rangga.
Menilik dari wajah-wajah yang tegang dengan mulut yang terkatup rapat, Ki
Rangga dapat menduga bahwa pengikut Ki Gede yang berjumlah tujuh orang itu
hanyalah murid-murid kebanyakan.
“Marilah,”
akhirnya Ki Rangga maju beberapa langkah, “Kita buktikan ucapan kita
masing-masing. Terserah cara apa yang Ki Gede kehendaki. Perang tanding atau
perang brubuh bagiku tidak ada bedanya.”
Tergetar
dada Ki Gede mendengar kata-kata Ki Rangga. Secara tidak langsung ucapan itu
telah menyindir dirinya yang selalu menghindari bertempur beradu dada dengan Ki
Rangga Agung Sedayu.
Dalam
pada itu, orang-orang yang berkerumun di depan kedai-kedai itu segera menyadari
bahwa sesuatu yang gawat bisa saja segera terjadi. Dengan menimbulkan suara
yang sedikit gaduh, mereka segera berbondong-bondong menghindar dari tempat
itu. Sedangkan para pemilik kedai pun dengan tergesa-gesa segera menutup kedai
mereka . Para pemilik kedai itu sudah tidak memikirkan lagi para pembelinya
yang sebagian mungkin belum sempat membayar tapi sudah meninggalkan tempat.
Bagi mereka keselamatan adalah segala-galanya, sehingga tanpa memperdulikan
keadaan lagi, mereka segera ikut meninggalkan kedai setelah menutup pintu dan
menyelaraknya kuat-kuat.
Kini
suasana di jalan dekat pasar itu benar-benar lengang. Hanya orang-orang yang
berkepentingan saja yang masih tinggal disitu dengan dada yang berdebar-debar
menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
Ki
Rangga Agung Sedayu yang sudah mengurai cambuknya itu perlahan dengan langkah
yang mantap menuju ke tengah jalan. Sambil menghadap penuh ke arah Ki Gede Kebo
Lungit yang masih termangu mangu duduk di atas punggung kudanya, dia berkata, “
Ki Gede, atas nama Mataram, aku perintahkan sekali lagi Ki Gede dan seluruh
pengikut Ki Gede untuk menyerah. Kebetulan di Jati Anom ditempatkan pasukan
Mataram segelar sepapan yang dipimpin oleh Tumenggung Untaradira, kakak
kandungku satu satunya. Tumenggung Untaradira akan mengambil alih langsung para
tawanan yang aku bawa nanti seandainya Ki Gede memang mampu berpikiran luas dan
lebih mengedepankan jalan damai agar tidak terjadi lagi korban-korban yang
berjatuhan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.”
Ki
Gede Kebo Lungit menarik nafas dalam-dalam, dalam sekali. Seolah olah ingin
dihirupnya seluruh udara yang ada di padukuhan Ngadireja. Sejenak diedarkan
pandangan matanya menyapu wajah-wajah tegang dari para pengikutnya. Wajah-wajah
itu tampak betapa tegangnya seolah olah mereka sudah benar-benar berhadapan
dengan sang maut itu sendiri yang akan segera menerkam nyawa mereka.
Kembali
Ki Gede berdesah. Harga dirinya terlalu tinggi untuk ditukar dengan penyerahan
dirinya kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Walaupun secara jujur Ki Gede Kebo
Lungit mengakui bahwa tataran ilmunya masih belum bisa mendekati kemampuan Ki
Rangga Agung Sedayu, apalagi sampai menyamai.
Sekali
lagi Ki Gede melemparkan pandangannya ke arah murid-muridnya. Ketika pandangan
matanya terbentur pada seraut wajah yang keras, sekeras batu-batu padas di
gerojokan, jantung Ki Gede berdesir tajam. Barulah Ki Gede teringat bahwa dalam
rombongannya terdapat salah seorang muridnya yang tergolong istimewa dan hati
Ki Gede pun menjadi sedikit lebih tenang.
Orang
yang berwajah keras itu adalah Putut Sunjaka, murid tertua sekaligus muridnya
yang terpercaya. Murid yang sudah tuntas menyerap ilmu perguruan Kebo Lungit
dan bahkan mungkin telah mendapat tambahan pengalaman sepanjang
pengembaraannya. Putut Sunjaka pada saat padepokannya di Madiun diserbu oleh
pasukan Menoreh dan Pegunungan Sewu memang sedang tidak ada di tempat. Telah
tujuh tahun lamanya Putut Sunjaka meninggalkan padepokan Kebo Lungit untuk
mengembara setelah tuntas menimba ilmu di padepokan itu.
Kini
Ki Gede Kebo Lungit dapat membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar yang
jernih. Dia dapat mengandalkan Putut Sunjaka untuk membantunya melawan Ki
Rangga Agung Sedayu, sedangkan murid-muridnya yang lain menurut perhitungannya
dapat mengatasi orang tua yang berpakaian serba hitam dan perempuan cantik yang
berwajah murung itu.
Merasa
mendapatkan kekuatan baru, Ki Gede segera meloncat turun dari kudanya yang
segera diikuti oleh murid-muridnya. Setelah menyerahkan kendali kudanya kepada
salah seorang muridnya, Ki Gede pun segera memberi isyarat kepada Putut Sunjaka
untuk mengikutinya mendekati Ki Rangga Agung Sedayu.
“Ki
Rangga” berkata Ki Gede kemudian setelah berada beberapa langkah saja di
hadapan Ki Rangga, “Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” Ki Gede berhenti
sejenak, kemudian lanjutnya, “Kaulah yang seharusnya menyerah untuk diadili di
Padepokan kami karena dosa-dosamu yang telah berani menyerang padepokan kami di
Madiun. Padepokan kami tidak ada sangkut pautnya dengan Tanah Perdikan Menoreh
dan Pegunungan Sewu, apalagi dengan orang yang bernama Argapati dan Agung
Sedayu. Perbuatan kalian menghancurkan padepokan Kebo Lungit benar-benar
tindakan yang biadab dan tidak dapat dimaafkan lagi. Menyerahlah sekarang juga.
Setelah ini akan tiba giliran Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya.”
Ki
Rangga sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Pandangan matanya menyambar
ke arah wajah Putut yang berdiri di sebelah Ki Gede. Wajah yang keras, sekeras
batu-batu padas di gerojokan.
“Ki
Gede,” jawab Ki Rangga tenang, “Aku dan Ki Gede Menoreh pada saat itu bertindak
atas nama Mataram. Tidak ada dendam pribadi antara aku dan perguruan Kebo
Lungit yang melandasi penyerbuan ke padepokanmu saat itu. Demi ketenangan dan
masa depan Madiun serta tegaknya Panji-Panji Mataram di seluruh tanah ini,
padepokanmu memang harus dihilangkan dari muka bumi.”
“Tutup
mulutmu..!” tiba-tiba terdengar bentakan yang menggelegar yang dilambari dengan
kekuatan Aji Senggoro Macan sehingga setiap dada terasa bagaikan ditimpa
berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit.
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Bentakan itu memang cukup
menggetarkan dadanya, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merontokkan isi dadanya.
Justru murid-murid perguruan Kebo Lungit sendiri yang terpengaruh oleh suara
bentakan Putut Sunjaka. Dengan terbungkuk bungkuk mereka memegangi dada sambil
mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dada mereka yang terasa
bagaikan terhimpit gunung anakan.
Ki
Gede Kebo Lungit menarik nafas dalam-dalam ketika melihat betapa bentakan Putut
Sunjaka itu seakan akan sama sekali tidak mempengaruhi Ki Rangga Agung Sedayu.
Ketika tanpa sengaja pandangan matanya melihat ke arah Ki Ageng Sela Gilang dan
Anjani, alangkah terkejutnya Ki Gede Kebo Lungit. Ternyata kedua orang itu sama
sekali tidak terpengaruh.
“Gila!”
umpat Ki Gede dalam hati, “Siapakah mereka itu sebenarnya?”
Sebenarnyalah
Anjani terpengaruh juga oleh kekuatan Aji Senggoro Macan itu. Namun dengan
cepat ia segera dapat menyesuaikan dirinya sehingga ketika Ki Gede Kebo Lungit
memandanginya, seolah-olah Anjani sama sekali tidak terpengaruh. Perempuan yang
sangat cantik itu tetap dalam kedudukannya semula, menundukkan wajahnya yang
murung.
Sementara
Putut Sunjaka yang melihat betapa bentakannya yang dilambari dengan Aji
Senggoro Macan sama sekali tidak mempengaruhi ketahanan baik badani maupun
jiwani dari Ki Rangga Agung Sedayu, menjadi gemetar menahan amarah yang tiada
taranya.
Dengan
wajah yang merah padam, setapak dia maju. Kemudian katanya sambil telunjuk
jarinya menunjuk ke wajah Ki Rangga, “Kau.,..kau akan segera mati dengan cara
yang paling menyakitkan karena dosa-dosamu menyerang perguruanku tanpa alasan.
Sekaranglah saatnya bagiku untuk berbakti kepada perguruanku dengan
melenyapkanmu dari muka bumi ini.”
Ki
Rangga yang mendapat perlakuan seperti itu hanya diam saja namun tidak pernah
meninggalkan kewaspadaan sekejap pun. Orang yang berwajah kasar ini dapat
berbuat hal-hal yang diluar paugeran tanpa mengindahkan martabat makhluk yang
bernama manusia.
Sejenak
kemudian Ki Rangga telah bergeser ke samping sambil merentangkan cambuknya di
depan dada. Setiap saat cambuk itu dapat meluncur sendal pancing dan meledak.
Ujungnya yang berkerah baja dapat menyobek kulit dan meremukkan tulang.
Ki
Gede Kebo Lungit yang menyadari kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu segera
bergeser ke samping sambil menggenggam senjata andalannya, sebuah tongkat
pendek yang ujungnya dapat mengeluarkan ledakan dahsyat dan menghamburkan
serpihan-serpihan besi baja yang dapat menghunjam ke tubuh lawannya tanpa
ampun.
Sedangkan
Putut Sunjaka bersenjatakan sebuah pedang yang berukuran tidak sewajarnya.
Bilah pedang itu hampir dua kali lipat dari ukuran pedang biasanya, sementara
panjang pedang itupun hampir satu setengahnya dari pedang biasa.
Melihat
pertempuran akan segera berkobar, Ki Ageng Sela Gilang dan Anjani yang sedari
tadi hanya diam saja, dengan tergesa-gesa segera maju untuk membantu Ki Rangga
Agung Sedayu. Namun baru saja mereka berdua melangkah beberapa tindak, Ki Gede
Kebo Lungit telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya yang tersisa untuk
mengepung mereka berdua.
Melihat
gelagat yang kurang menguntungkan jika mereka berdua bertempur terlalu dekat
dengan Ki Rangga, Ki Ageng dan Anjani justru telah melangkah menjauh untuk
memancing lawan-lawan mereka menjauhi lingkaran pertempuran Ki Rangga Agung
Sedayu.
Demikianlah,
akhirnya terdapat dua lingkaran pertempuran. Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki
Gede Kebo Lungit yang dibantu oleh Putut Sunjaka dan lingkaran pertempuran yang
lain Ki Ageng Sela Gilang dan Anjani melawan murid-murid Ki Gede sebanyak enam
orang.
Ketika
kemudian Ki Gede Kebo Lungit telah memberi isyarat kepada Putut Sunjaka untuk
memulai pertempuran, ternyata justru mereka berdua telah dikejutkan oleh
teriakan murid-murid padepokan Kebo Lungit yang telah mendahului menyerang Ki
Ageng dan Anjani.
Mereka
mengira bahwa untuk menundukkan orang tua dan gadis yang pantas menjadi cucunya
itu akan sangat mudah. Orang tua berbaju hitam itu menurut penalaran mereka
sudah sangat tua bangka dan sama sekali tidak bersenjata, sedangkan perempuan
muda yang sangat cantik itu tampak lemah dan sangat disayangkan jika kulitnya
yang halus mulus itu sampai tergores senjata. Maka mereka memilih menggunakan
tangan kosong untuk menyerang Ki Ageng dan Anjani.
Murid-murid
perguruan Kebo Lungit itu bertempur seperti pemburu yang sedang mengejar
mangsanya. Mereka berteriak teriak untuk melumpuhkan daya tahan batin dari
kedua lawan mereka. Bahkan tak jarang ada yang menyelipkan kata-kata kotor
sekedar untuk membuat Anjani melemah perlawanannya.
Ki
Rangga Agung Sedayu yang melihat cara para murid perguruan Kebo Lungit itu
bertempur telah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun dia percaya sepenuhnya
kepada kedua teman seperjalanannya itu terutama guru Pangeran Ranapati. Kalau
Ki Singa Wana Sepuh julukan dari guru Pangeran Ranapati itu menghendaki, tidak
ada sepenginang tentu lawan lawannya sudah terbujur menjadi mayat.
Sementara
Putut Sunjaka yang sudah tidak dapat menahan diri telah menggeram keras
bagaikan auman seekor harimau belang. Dengan melompat bagaikan tatit yang
menyambar di udara, Putut yang telah kenyang berpetualang itu telah mengayunkan
pedangnya dengan deras membabat lambung Ki Rangga.
Ki
Rangga cukup terkejut melihat kecepatan serangan dan deru angin yang menyertai
sambaran pedang Putut Sunjaka. Itu menandakan betapa kuat dan besarnya tenaga
yang dimiliki Putut Sunjaka. Namun Ki Rangga bukanlah anak kemarin sore yang
baru belajar olah kanuragan. Pengalamannya berpetualang bersama Panembahan
Senopati di masa mudanya dan juga petunjuk-petunjuk yang sering diterimanya
dari Pangeran Benawa telah membuat Ki Rangga Agung Sedayu tumbuh menjadi
raksasa dalam olah kanuragan. Selain ilmu-ilmu dari perguruan orang bercambuk
sendiri yang jarang di cari bandingannya.
Dengan
menarik kaki kirinya selangkah ke samping, ujung pedang itu hanya lewat setebal
jari, namun sambaran anginnya terasa bagaikan mengiris kulit Ki Rangga sampai
menembus bajunya.
“Alangkah
dahsyatnya,” desis Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebenarnyalah
Ki Rangga tidak pernah meremehkan lawan lawannya. Segera saja di trapkan ilmu
kebalnya sampai ke puncak untuk mengatasi serangan lawannya yang nggegirisi.
Belum
sempat Ki Rangga balas menyerang, dari sisi lain Ki Gede Kebo Lungit ternyata
telah menggunakan ujung tongkatnya untuk mengetuk tengkuk Ki Rangga yang sedang
bergeser ke samping.
Dengan
cepat Ki Rangga yang tidak mau tengkuknya remuk terketuk tongkat besi Ki Gede
itu menunduk sambil bertumpu pada satu kakinya berputar menghadap Ki Gede untuk
balas menyerang, namun ternyata Putut Sunjaka telah mendahuluinya dengan sebuah
tusukan yang lurus mengarah ulu hati justru pada saat Ki Rangga dalam keadaan
membungkuk.
Tidak
ada jalan lain bagi Ki Rangga selain melontarkan dirinya ke belakang dalam
keadaan masih membungkuk sambil melontarkan serangan melalui ujung cambuknya
yang meledak memekakkan telinga mengarah ke kening Putut Sunjaka.
Putut
Sunjaka sadar bahwa akibat dari lecutan cambuk itu akan sangat berbahaya karena
pada ujung cambuk itu terdapat kerah-kerah baja yang dapat merobek kulit dan
meremukkan tulang. Menyadari hal itu, Putut Sunjaka segera menarik serangannya.
Dengan merendahkan dirinya agar ujung cambuk Ki Rangga tidak menyentuh
keningnya, dia siap membabat kaki Ki Rangga dengan pedang besarnya.
Demikianlah
pertempuran menjadi semakin sengit. Ki Rangga dengan lincahnya menghindari
setiap serangan dari kedua lawannya. Namun lawan lawannya juga telah banyak
makan asam garamnya dunia olah kanuragan sehingga keduanya telah meningkatkan
serangannya.
Dalam
pada itu, murid-murid Ki Gede yang mengeroyok Ki Ageng dan Anjani telah
bertempur dengan tidak kalah riuhnya. Dengan menggunakan tangan kosong mereka
berteriak teriak berusaha menangkap hidup-hidup kedua lawan mereka terutama
Anjani yang cantik.
Ki
Ageng yang dipandang sebelah mata oleh lawan lawannya itu ternyata telah
bertempur dengan cara yang tidak sewajarnya. Selaku orang tua yang sudah renta,
dia bertempur sambil terhuyung-huyung tidak tentu arah namun lawan lawannya
sangat sulit untuk menangkapnya. Kadang-kadang murid-murid Ki Gede Kebo Lungit
itu merasa betapa lawannya yang sudah kehabisan nafas itu tinggal meraih saja
untuk ditangkap, tetapi ternyata masih sangat licin dan selalu bergerak
terhuyung-huyung ke sana ke mari. Bahkan kadang-kadang tanpa sengaja menabrak
salah satu murid Kebo Lungit yang hampir berhasil menangkap Anjani sehingga
murid Kebo Lungit itu pun justru terdorong kesamping hampir terjatuh. Pada saat
itulah kaki mungil Anjani yang terlihat halus dan mulus itu telah mendarat di
dadanya sehingga dia jatuh terguling guling.
Anjani
memang terlihat bertempur dengan setengah hati. Entah apa yang sedang
bergejolak dalam dadanya. Sesekali kadang dia tampak garang menyerang
lawan-lawannya, namun suatu saat dia hanya berdiri termangu-mangu saja ketika
lawan lawannya berbalik menyerangnya secara bersamaan. Pada saat yang gawat
itulah Ki Ageng Sela Gilang selalu berusaha menolong Anjani dengan
gerakan-gerakan yang aneh bahkan kadang terlihat tidak disengaja.
Suatu
saat seorang murid Kebo Lungit meloncat menyerang Ki Ageng dengan tendangan
kaki mendatar mengarah lambung, sedang lawan yang satunya dari arah yang lain
menubruk dengan kedua tangan terkembang. Ki Ageng yang menyadari kedua serangan
itu cukup berbahaya malah terlihat menjatuhkan diri duduk di atas tanah yang
berdebu dengan nafas yang tersengal-sengal sambil bertelekan pada kedua
tangannya. Tentu saja tendangan lawannya lewat sejengkal di atas kepalanya sedang
lawan satunya yang menubruk dengan jari-jari tangan terbuka mirip dengan cakar
macan itu melayang lewat di atas kepalanya pula.
Namun
ketika tubuh lawannya itu sedang melayang, tiba-tiba Ki Ageng yang sedang duduk
itu bergerak mengangkat tubuhnya seakan mau berdiri sehingga kepalanya
membentur perut lawan. Tentu saja benturan itu menambah daya dorong dan
menghilangkan keseimbangan lawannya sehingga dia jatuh terbanting di atas jalan
berdebu dengan kepalanya terlebih dahulu membentur tanah. Sejenak murid Kebo
Lungit itu memekik keras namun kemudian tergeletak tak bergerak, pingsan.
Murid-murid
Kebo Lungit yang lain tertegun ketika melihat peristiwa itu. Kini yakinlah
mereka bahwa lawannya yang kelihatannya sudah tua bangka ini ternyata sangat
berbahaya, dan apa yang diperagakan selama ini hanyalah berpura-pura. Seolah
olah dengan sengaja mengejek kemampuan murid-murid perguruan Kebo Lungit.
Menyadari
hal itu, serentak tiga orang yang terdekat dengan Ki Ageng segera mencabut
senjata masing-masing. Namun dua orang yang berhadapan dengan Anjani justru
berdiri termangu mangu memandangi wajah cantik Anjani yang terlihat murung
sambil menundukkan wajahnya.
“Cepat
cabut pedang kalian!” salah seorang murid Kebo Lungit yang berhadapan dengan Ki
Ageng berteriak memperingatkan kawan kawannya yang masih ragu-ragu mencabut
senjatanya untuk menghadapi Anjani.
“Cepat..!”
kembali dia berteriak ketika dilihatnya kedua orang kawannya itu masih
ragu-ragu, “Mereka ternyata bukan manusia biasa dan kita telah dipermainkan
selama ini.”
Teriakan
yang kedua itu ternyata telah membangunkan mereka berdua dari sebuah mimpi
buruk. Dengan berloncatan mundur mereka pun kemudian mengambil jarak sambil
menghunus senjata mereka masing-masing.
Ki
Ageng Sela Gilang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam begitu mengetahui
keadaan Anjani yang masih termangu-mangu dan belum menghunus senjatanya. Ki
Ageng benar-benar resah melihat perilaku perempuan yang kecewa itu. Hatinya
benar-benar telah patah dan tidak ada semangat hidup lagi.
“Apakah
dengan demikian dia sengaja memanfaatkan kesempatan kali ini untuk membunuh
diri?” tiba-tiba pikiran yang aneh menyelinap di dalam benak Ki Ageng.
Tiba-tiba
Ki Ageng merasa ketakutan dengan pemikirannya sendiri. Membayangkan Anjani
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menyerahkan nyawanya ditangan
murid-murid Kebo Lungit.
Dalam
pada itu Ki Rangga Agung Sedayu ternyata telah meningkatkan ilmunya sejalan
dengan gempuran kedua lawannya yang semakin dahsyat. Ilmu kebalnya telah
mencapai tataran puncak dan mengeluarkan hawa panas yang terasa semakin
menyengat kulit guru dan murid itu. Pada awalnya mereka menduga panas itu
berasal dari terik Matahari yang telah mencapai puncaknya. Namun ketika panas
itu terasa semakin menyengat ketika mereka berdua berusaha mendesak Ki Rangga
Agung Sedayu dan bahkan panas itu rasa-rasanya semakin tak tertahankan ketika
mereka berada dekat dengan Ki Rangga, sadarlah kedua murid dan guru itu bahwa
Ki Rangga telah mengetrapkan sebuah ilmu yang ngedab-edabi.
“Gila,”
geram Putut Sunjaka sambil meloncat menjauh ketika panas itu terasa
menghanguskan tubuhnya. Sejenak kemudian dia segera mengetrapkan salah satu
jenis ilmu yang dimilikinya.
Ilmu
Putut Sunjaka ternyata sebuah ilmu yang dapat meningkatkan daya tahan yang luar
biasa. Walaupun ilmu yang dimilikinya itu bukan ilmu kebal atau tameng Waja,
namun landasan ilmu dari Putut yang telah menjelajahi tanah ini dari ujung ke
ujung hampir mirip dengan ilmu kebal, hanya saja kulitnya masih dapat terluka
jika sebuah senjata tajam menggoresnya.
Ki
Gede Kebo Lungit ternyata tidak tinggal diam melihat murid kebanggaannya itu
terpengaruh oleh hawa panas akibat dari ilmu kebal Ki Rangga. Dengan meloncat
tinggi-tinggi sambil memutar tongkatnya di atas kepala, tiba-tiba saja Ki Gede
telah menghentakkan tongkatnya lurus ke arah Ki Rangga Agung Sedayu. Sebuah
ledakan terdengar disertai asap hitam mengepul. Sekejab kemudian
serpihan-serpihan besi baja berhamburan menerjang Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki
Rangga Agung Sedayu yang sudah menduga bahwa pada suatu saat Ki Gede Kebo
Lungit pasti akan melancarkan serangan dengan senjata andalannya itu segera
memutar cambuknya membentuk perisai yang melindungi dirinya dari serbuan
serpihan-serpihan besi baja yang tak terhitung jumlahnya.
Melihat
serangan gurunya tidak berhasil melukai Ki Rangga, Putut Sunjaka yang sudah waringuten segera memutar pedang besarnya. Suara
desingnya seperti menusuk nusuk telinga yang mendengarnya. Sejenak kemudian
bilah pedang itu seakan akan memancarkan cahaya yang menyilaukan ditimpa oleh sinar
Matahari yang terik.
Putut
Sunjaka ternyata telah meningkatkan ilmunya yang lain. Dengan disertai teriakan
yang menggelegar, Putut yang telah bertahun-tahun meninggalkan padepokannya itu
membuat gerakan berputar mengelilingi Ki Rangga Agung Sedayu. Semakin lama
putaran itu semakin cepat.
Ketika
kemudian Putut Sunjaka sambil berputar menggerakkan pedangnya menyerang Ki
Rangga Agung Sedayu, Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu
terkejut. Selain sinar yang menyilaukan yang seolah keluar dari bilah pedang
akibat pantulan sinar Matahari, dalam pandangan Ki Rangga seolah olah pedang
itu menjadi berpuluh-puluh dan menyerangnya dari segala penjuru. Diperlukan
waktu sekejap untuk mengetahui dengan pasti dari manakah serangan yang
sesungguhnya.
“Mirip
dengan ilmu bayangan semu,” desis Ki Rangga dalam hati, “Namun watak dari ilmu
ini agak berbeda, diperlukan panggraita yang tajam dan kecepatan penalaran
dalam mengurai setiap gerakan. Karena kesalahan dalam sekejap dapat berarti
maut.”
Menyadari
akan hal itu, Ki Rangga yang sudah mengetrapkan ilmu kebal sampai ke puncak itu
telah meningkatkan panggraitanya untuk membedakan arah serangan dari Putut
Sunjaka. Walaupun ilmu kebal Ki Rangga sudah sampai ke puncak, namun bukan
berarti jaminan bahwa tubuhnya akan kalis dari segala jenis senjata tajam dan
benturan yang mengandung kekuatan cadangan. Untuk itu Ki Rangga pun telah
meningkatkan kecepatan geraknya sehingga seolah olah Ki Rangga telah kehilangan
bobot tubuhnya.
Putut
Sunjaka mengumpat kasar ketika menyadari bahwa serangannya selalu dapat
dihindari oleh Ki Rangga. Gerakan Ki Rangga yang cepat dan tanpa bobot telah
menyulitkan Putut Sunjaka untuk menyarangkan pedangnya di tubuh lawannya.
Bahkan tidak jarang justru ujung cambuk Ki Rangga yang meledak hampir tak
bersuara itu yang mulai menjamah kulitnya.
Ki
Gede Kebo Lungit yang melihat muridnya menemui kesulitan menghadapi ilmu Ki
Rangga Agung Sedayu segera melompat maju sambil menirukan gerakan Putut Sunjaka
berlari memutari Ki Rangga namun berlawanan arah dengan Putut Sunjaka. Ki Gede
membuat lingkaran yang lebih besar di luar lingkaran yang telah dibuat
muridnya. Kemudian dengan teriakan nyaring sebagai isyarat kepada Putut
Sunjaka, kedua putaran itu tiba-tiba berbalik arah dan menyerang Ki Rangga dari
dua arah yang berbeda.
Ki
Rangga sempat terkejut dengan perubahan putaran kedua lawannya itu sehingga
ketika pedang Putut Sunjaka menggapai punggung, terasa sesuatu menggores
punggungnya walaupun hanya segores tipis karena kemampuan ilmu kebalnya telah
menahan ujung pedang itu menggores terlalu dalam.
Belum
sempat Ki Rangga memperbaiki kedudukannya tiba-tiba di waktu yang hampir
bersamaan tongkat Ki Gede telah mengenai lambungnya. Sambaran tongkat Ki Gede
memang tidak meninggalkan luka namun lambung Ki Rangga rasanya bagaikan
tertimpa pohon mahoni sebesar pelukan orang dewasa.
Ki
Rangga benar-benar dalam kesulitan ketika sekali lagi Ki Gede berteriak nyaring
dan putaran itu pun kembali berubah arah. Demikian berkali kali dengan aba-aba
yang telah disepakati oleh mereka berdua, kadang teriakan nyaring, kadang
bersuit, dan bahkan kadang-kadang mereka berteriak bersahutan dengan mengubah
arah putaran sekehendak hati mereka.
Ketika
sekali lagi pangkal lengan kiri Ki Rangga tergores oleh pedang lawannya, Ki Rangga
pun telah memutuskan untuk meningkatkan ilmunya. Dengan sebuah lompatan yang
tinggi sekali didorong oleh kemampuan Ki Rangga untuk menghilangkan bobot
tubuhnya, sekali berputar di udara, Ki Rangga pun kemudian mendarat di tanah
dengan kaki renggang dan siap melancarkan serangan balasan.
Lawan
lawannya yang menunggu Ki Rangga turun dari udara telah siap untuk melancarkan
serangan yang dahsyat. Namun alangkah terkejutnya mereka, ketika Ki Rangga
Agung Sedayu telah mendarat dan berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh,
ternyata ujud Ki Rangga telah terpecah menjadi tiga.
“Kakang
kawah dan adi ari-ari,” seru lawan-lawannya sambil menahan senjata mereka,
karena mereka memerlukan waktu sesaat untuk membedakan yang manakah ujud yang
asli dan manakah yang hanya bayangan saja.
Kesempatan
itu tidak disia-siakan oleh Ki Rangga. Ketiga ujud Ki Rangga itupun kemudian
bergerak menyerang lawan-lawannya dari arah yang berbeda-beda. Ketiga ujud Ki
Rangga itu seakan akan sudah terlatih untuk saling bergerak dari arah yang
berbeda-beda agar panggraita lawannya tertipu.
Demikianlah
ketika kedua lawannya masih sibuk membedakan ujud-ujud Ki Rangga yang bergerak
simpang siur sambil meledakkan cambuknya, sebuah sengatan telah melukai pelipis
Ki Gede. Sengatan cambuk Ki Rangga itu ternyata terlalu kuat sehingga
meninggalkan luka yang cukup parah di pelipis Ki Gede. Segera saja darah segar
meleleh membasahi sebagian wajahnya.
Belum
sempat Ki Gede menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, terdengar keluhan
tertahan dari muridnya, Putut Sunjaka. Murid kebanggaannya itu ternyata telah
meloncat mundur sambil memegangi dadanya yang terkoyak oleh lecutan cambuk Ki
Rangga Agung Sedayu.
Salah
satu ujud Ki Rangga Agung Sedayu tampak memburu Putut Sunjaka yang meloncat
mundur, namun Ki Gede yang mempunyai waktu sekejab untuk mengenali ujud asli
lawannya, ternyata telah menggeram sambil menggerakkan tongkatnya ke arah ujud
Ki Rangga yang sedang memburu Putut Sunjaka.
Sebuah
ledakan yang dahsyat kembali terdengar dan dari ujung tongkat Ki Gede,
menyembur asap hitam disertai dengan serihan-serpihan besi baja yang tak
terhitung jumlahnya menerjang salah satu ujud Ki Rangga Agung Sedayu.
Ternyata
panggraita Ki Gede benar, ujud Ki Rangga yang sedang memburu Putut Sunjaka itu
adalah ujud yang asli. Terbukti ujud Ki Rangga itu dengan cepat membalikkan
badan sambil memutar cambuknya. Serpihan-serpihan besi baja itu pun akhirnya
rontok dan jatuh ke tanah berserakan.
Belum
sempat Ki Gede melancarkan serangan susulan, ujud-ujud Ki Rangga itu telah
bergabung untuk kemudian pecah lagi menjadi tiga sambil berlompatan menyerang
kedua lawannya.
Dua
ujud Ki Rangga ternyata telah menyerang Ki Gede dengan sambaran cambuknya
mengarah lambung dari sisi kanan dan kiri secara bersamaan, sedang ujud yang
satunya menyerang Putut Sunjaka yang telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Ki
Gede memerlukan waktu sekejap untuk mengurai ujud-ujud Ki Rangga yang
menyerangnya, dan itu adalah kelemahannya. Ketika panggraita Ki Gede telah
berhasil menemukan ujud Ki Rangga yang asli, ternyata ujung cambuk yang
berkerah baja itu telah berhasil menyobek lambungnya.
Ki
Gede Kebo Lungit mengumpat keras dan berusaha menjauh dengan melompat mundur
sejauh jauhnya sambil mendekap lambungnya yang terluka dengan tangan kiri.
Ketika Ki Rangga Agung Sedayu berniat akan memburu lawannya yang sudah terluka
itu, tiba-tiba sebuah sambaran yang keras menerjangnya dari arah belakang.
Ki
Rangga menghentikan langkahnya untuk mengejar Ki Gede Kebo Lungit yang sudah
terluka cukup parah. Sambil merendahkan tubuhnya, Ki Rangga bergeser selangkah
kesamping. Ketika sambaran pedang Putut Sunjaka itu berdesing di atas
kepalanya, cambuk Ki Rangga pun meluncur mematuk lambung Putut Sunjaka.
Putut
Sunjaka tidak mau lambungnya mengalami luka seperti gurunya. Segera saja
ditarik serangannya sambil meloncat kebelakang. Ketika kemudian ujud-ujud Ki
Rangga itu bersatu kembali untuk kemudian pecah menjadi tiga, Putut Sunjaka
masih memerlukan waktu sekejap untuk mengenali ujud yang asli.
Dalam
pada itu, ketika Ki Rangga sedang disibukkan oleh serangan-serangan Putut
Sunjaka, Ki Gede Kebo Lungit yang sudah terluka itu ternyata telah menggunakan
kesempatan yang sekejap untuk menghindar dari medan pertempuran. Dengan
tertatih tatih ternyata dia mampu mendekati kuda-kuda yang ditambatkan di
pinggir jalan tidak jauh dari tempat pertempuran. Dengan menghentakkan kekuatan
terakhir, Ki Gede Kebo Lungit pun kemudian berhasil meloncat ke punggung kuda
dan memacunya lolos dari tempat yang mengerikan itu.
Suara
derap kaki kuda ternyata telah mengejutkan mereka yang sedang menyabung nyawa.
Ki Rangga Agung Sedayu yang menyadari kelengahannya mencoba untuk memburu Ki
Gede yang sudah memacu kudanya sejauh beberapa tombak. Namun sebelum usaha Ki
Rangga itu berhasil, terdengar suitan panjang membelah udara di siang yang
sangat terik itu. Sejenak kemudian murid-murid yang tersisa dari Ki Gede Kebo
Lungit itu bagaikan wuru. Mereka telah menghentakkan kekuatan terakhir mereka
untuk menyerang siapa saja yang berada di dekat mereka agar guru mereka dapat
lolos dari tempat itu.
Putut
Sunjaka yang mendengar isyarat dari gurunya itu segera menyerang dengan membabi
buta. Perhatian Ki Rangga yang terpecah dengan lolosnya Ki Gede telah
memberikan kesempatan kepada Putut Sunjaka untuk mengenali ujud Ki Rangga yang
asli. Demikian dia mengenali ujud yang asli itu, serangannya pun datang
membadai menerjang Ki Rangga Agung Sedayu.
Sedangkan
murid-murid yang lain telah menerjang Anjani dan Ki Ageng. Ki Ageng yang merasa
serangan membadai itu dapat membahayakan Anjani segera meloncat di sebelahnya.
Dengan kemampuan yang tinggi, disapunya lawan lawannya yang berani mendekat
dengan ilmunya yang nggegirisi. Dari kedua telapak tangan guru Pangeran
Ranapati itu meluncur semacam gumpalan kabut yang berputar dahsyat seperti
angin puting beliung yang kemudian menerjang dan menghempaskan lawan lawannya
yang berani mendekat.
Terdengar
teriakan dan sumpah serapah dari murid-murid Kebo Lungit. Senjata-senjata
mereka terlepas dari genggaman dan terlempar seperti daun-daun kering yang
dihembus badai. Sedangkan tubuh-tubuh murid Kebo Lungit itu pun akhirnya
bertumbangan tumpang tindih tak berdaya.
Sementara
itu, Putut Sunjaka yang menyerang Ki Rangga dengan segenap kekuatannya ternyata
telah terbentur dengan kekuatan yang tidak terlawan. Ki Rangga Agung Sedayu
terlalu tangguh untuk dilawan sendirian. Lolosnya Ki Gede Kebo Lungit membuat
Putut yang telah mengalami petualangan di berbagai medan itu semakin terdesak.
Kini Ki Rangga Agung Sedayu tidak perlu lagi mengetrapkan ilmu kakang kawah adi
ari-ari. Dengan berbekal ilmu kebal dan kemampuannya untuk menghilangkan bobot
tubuhnya serta ilmu cambuk yang hampir sempurna, telah membuat Putut Sunjaka
tak berkutik.
Namun
ada satu hal yang membuat Ki Rangga Agung Sedayu terheran heran. Putut ini
seakan akan tidak merasakan semua luka yang ada di tubuhnya. Tandangnya masih
saja garang walaupun sudah tidak berbahaya. Darah yang seperti terperas akibat
luka-luka yang silang menyilang di sekujur tubuhnya seolah olah tak dirasakan.
Dengan teriakan kasar dan umpatan-umpatan yang kotor Putut Sunjaka tetap
memburu kemanapun Ki Rangga berusaha menghindar.
Sebenarnya
Ki Rangga Agung Sedayu bukanlah seorang pembunuh. Keputusan terakhir itu dibuat
pada saat-saat yang sudah tidak dapat dipertimbangkan lagi, pada saat
keselamatan jiwanya lebih utama dari pada segala paugeran-paugeran bebrayan
yang berlaku.
Demikianlah
akhirnya, ketika sebuah luka lagi menggores di pundak, dan sekali lagi sebuah
luka yang memanjang di paha, maka perlawanan Putut yang garang itu sudah hampir
berakhir.
Sejenak
Putut terpercaya dari perguruan Kebo Lungit itu terjatuh pada lututnya. Dengan
menggeram keras dia masih berusaha menyerang Ki Rangga Agung Sedayu yang
berjalan perlahan lahan mendekatinya.
“Menyerahlah,”
berkata Ki Rangga sambil perlahan mengambil jarak beberapa langkah di depan
Putut Sunjaka. Betapapun keadaan lawannya, Ki Rangga tetap tidak meninggalkan
kewaspadaan.
Putut
Sunjaka mengeram keras. Ketika Ki Rangga sekali lagi mencoba membujuk untuk
menyerah, ternyata Putut yang keras hati itu telah berusaha menyerang Ki Rangga
dengan mengerahkan kekuatan terakhirnya. Pedang yang berukuran cukup besar yang
hampir tidak pernah terpisah dari dirinya, dengan sekuat tenaga telah
dilemparkan ke arah Ki Rangga yang berdiri beberapa langkah di depannya.
Ki
Rangga Agung Sedayu terkejut mendapat serangan yang tidak disangka sangka itu.
Namun nalurinya sebagai orang yang berilmu tinggi telah menyelamatkannya,
walaupun Ki Rangga masih belum melepaskan ilmu kebalnya.
Pedang
itu meluncur deras mengarah ke dada Ki Rangga. Ki Rangga dengan gerak naluriah
telah memiringkan tubuhnya, namun karena jarak yang terlalu dekat, ujung pedang
itu masih menyentuh pundaknya.
Sejenak
kemudian pedang yang menyentuh pundak Ki Rangga Agung Sedayu itu segera berubah
arah dan terpelanting jatuh ke tanah, sedangkan pundak Ki Rangga tenyata tidak
mengalami cedera sedikit pun, selain terlindung oleh ilmu kebalnya, juga
lontaran Putut Sunjaka sudah tidak sedahsyat pada saat dia belum terluka parah,
sehingga kekuatan lontaran itu tidak mampu menembus perisai ilmu kebal Ki
Rangga Agung sedayu.
Sementara
Putut Sunjaka yang telah menghentakkan kekuatan terakhirnya ternyata mengalami
akibat yang sangat gawat. Darahnya benar-benar seperti terperas dari tubuhnya
sehingga Putut yang garang itu telah jatuh terlentang. Sejenak dia masih
menggeliat sambil menggeram, namun kesadaran Putut Sunjaka perlahan menghilang
sejalan dengan maut yang menjemputnya.
Sejenak
Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu. Setelah melilitkan cambuknya di
pinggang, Ki Rangga pun akhirnya berjalan mendekati tubuh yang sudah membeku
itu.
Sambil
berjongkok di sisi tubuh Putut Sunjaka yang terbujur diam, Ki Rangga mencoba
meraba urat nadi yang ada di leher Putut yang sangat keras hati itu di masa
hidupnya. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya Ki Rangga perlahan berdiri.
Kemudian katanya kepada Ki Ageng yang datang menghampiri bersama Anjani,
“Kekerasan hatinya telah dibawa sampai menghadap Yang Maha Agung. Bagaimana
dengan murid-murid Kebo Lungit yang lain Ki Ageng?”
“Mereka
hanya pingsan saja,” jawab Ki Ageng, “Namun salah seorang murid Kebo Lungit
yang terkena panah dan tergeletak di bawah pohon mahoni itu sudah mati.
Sebaiknya kita segera menghubungi para pengawal dan bebahu padukuhan Ngadireja
ini untuk meminta bantuan menyelenggarakan para korban yang tewas.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika tanpa sadar
pandangan matanya menatap Anjani yang menundukkan wajahnya di sisi Ki Ageng, Ki
Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menyapa, “Kau tidak apa-apa, Anjani?”
Wajah
cantik tapi selalu tampak murung itu sejenak terangkat. Sekejap Ki Rangga dapat
menangkap ada binar-binar kegembiraan yang tersirat di matanya. Namun dengan
cepat wajah itu kembali menunduk sambil menggeleng pelan.
Ki
Rangga mengerutkan keningnya. Akhir-akhir ini terasa sikap Anjani yang semakin
aneh. Jarang berbicara dan bahkan lebih banyak diam dan termenung.
Sementara
itu Ki Ageng telah melangkah mendekati kedai-kedai yang berjajar-jajar di depan
pasar. Sudut mata Ki Ageng tadi rasa rasanya menangkap bayangan-bayangan orang
yang bergerak gerak dan mungkin sedang bersembunyi di balik kedai-kedai itu.
“Ki
sanak,” berkata Ki Ageng dengan suara yang cukup keras sambil menghadap ke arah
salah satu kedai, “Keluarlah, kalian tidak usah takut. Kalian berhadapan dengan
prajurit dari Mataram yang sedang mengemban tugas.”
Sejenak
suasana masih sunyi, tidak ada gerakan ataupun suara yang menanggapi pernyataan
Ki Ageng, namun ketika Ki Ageng mengulangi lagi kata katanya, seseorang yang
rambutnya sudah putih semua muncul dari balik salah satu kedai. Sambil berjalan
penuh keragu raguan, orang itu mendekati Ki Ageng Sela Gilang.
Ki
Ageng tersenyum sambil membentangkan kedua tangannya, “Nah, bukankah tidak ada
yang perlu ditakutkan? Siapakah Ki sanak ini?”
Orang
yang rambutnya sudah ubanan itu sejenak tertegun, langkahnya terhenti beberapa
langkah di depan Ki Ageng. Dengan ragu-ragu akhirnya orang itu menjawab, “Aku
Ki Dukuh Ngadireja. Kedatanganku kemari atas laporan para pengawal dan bebahu
padukuhan bahwa telah terjadi kerusuhan di depan pasar Ngadireja.”
“O.,”
Ki Ageng mengangguk anggukkan kepalanya, “Ternyata aku berhadapan dengan Ki
Dukuh Ngadireja. Ma’afkan kami Ki Dukuh, sebenarnyalah itu semua bukan maksud
kami. Tapi Ki Rangga Agung Sedayu, Senapati pasukan khusus dari Mataram telah
bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit, buronan Mataram yang selama ini telah
menjadi duri bagi pemerintahan Mataram.”
Selesai
berkata demikian Ki Ageng menunjuk ke arah Ki Rangga yang sedang berjalan
menuju ke arah mereka berdiri.
Ki
Dukuh mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling kearah salah
satu kedai, dia berseru, “Ki Jagabaya dan para pengawal keluarlah.! Semuanya
sudah jelas. Mereka adalah para prajurit dari Mataram.”
Segera
saja beberapa orang bermunculan dari balik salah satu kedai kemudian dengan
tergesa-gesa berjalan mendekati Ki Dukuh.
“Ki
Dukuh,” berkata seorang yang berperawakan tinggi besar dan berkumis melintang
setelah tiba di dekat Ki Dukuh, “Sebelum mereka mampu menunjukkan jati diri
mereka, kita jangan terlalu percaya begitu saja. Apakah buktinya bahwa mereka
adalah para prajurit Mataram?”
Ki
Dukuh sejenak tertegun sambil berpaling ke arah Ki Rangga Agung Sedayu yang
sudah berdiri di sebelah Ki Ageng. Katanya kemudian, “Kau benar Ki Jagabaya.
Betapapun mereka harus mampu menunjukkan pertanda sebagai prajurit Mataram.”
Ki
Rangga Agung Sedayu yang tidak mau persoalan itu menjadi berlarut-larut segera
mengeluarkan sebuah lencana yang terbuat dari perak dari kantong ikat
pinggangnya, “Ma’afkan kami Ki Dukuh yang telah membuat padukuhan ini resah.
Tapi sesungguhnyalah aku adalah Senapati prajurit pasukan khusus yang
berkedudukan di Menoreh.”
Selesai
berkata demikian Ki Rangga mengangsurkan lencana perak yang ada di tangannya.
Terkejut
Ki Dukuh dan Ki Jagabaya. Sebagai bebahu padukuhan mereka segera mengenali
lencana itu, lencana yang terbuat dari perak adalah khusus untuk para perwira
yang berkedudukan tinggi, seperti Senapati atau Tumenggung, sedangkan lencana
yang terbuat dari tembaga untuk perwira yang setingkat Lurah prajurit.
Cepat-cepat
kedua bebahu padukuhan Ngadireja itu membungkuk dalam-dalam sambil berkata,
“Ma’afkan kami berdua Senapati, kami orang-orang padukuhan yang bodoh tidak
menyadari akan kehadiran seorang Senapati di padukuhan kami.”
“Sudahlah,”
berkat Ki Rangga, “Namaku Agung Sedayu dan kalian tidak usah memanggilku dengan
jabatan yang aku sandang, panggillah aku dengan Agung Sedayu saja.”
Kedua
bebahu padukuhan Ngadireja itu saling pandang sejenak. Tampak keragu-raguan
membayang di wajah mereka. Namun setelah Ki Ageng memberi isyarat dengan
anggukan kepala, kedua orang itu pun akhirnya menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk anggukan kepala.
Demikianlah
akhirnya para bebahu dan pengawal padukuhan Ngadireja telah membantu
menyelenggarakan pemakaman bagi yang tewas dalam pertempuran siang itu.
Sementara Matahari mulai tergelincir dari puncaknya, namun panasnya masih
terasa menghanguskan kulit.
Murid-murid
padepokan Kebo Lungit yang telah siuman dari pingsan mereka telah dikumpulkan
di depan sebuah kedai dengan tangan terikat di bawah pengawasan para pengawal,
sedangkan dua orang pengawal telah berangkat ke Jati Anom untuk mendahului
melaporkan terjadinya peristiwa pertempuran di depan pasar Ngadireja, agar
Tumenggung Untaradira berkenan untuk mengirimkan prajuritnya mengawal para
tawanan ke Mataram.
“Ki
Rangga, Kau terluka,” berkata Ki Ageng setelah mereka selesai menyelenggarakan
pemakaman bagi para korban, “Lebih baik luka itu segera diobati agar tidak bertambah
buruk.”
Ki
Rangga tersenyum sambil meraba pangkal lengan kirinya, “Luka ini tidak terlalu
dalam, Ki. Dan aku sudah menaburkan obat untuk memampatkan darah yang
mengalir.”
Ki
Ageng mengerutkan kening sambil mengamat-amati pangkal lengan kiri Ki Rangga
yang terluka, namun kemudian katanya sambil menggelengkan kepala, “Bukan luka
yang ini maksudku, tapi luka di punggung Ki Rangga yang sama sekali belum
dijamah. Walaupun hanya segores luka, namun jika tidak diobati dan dibiarkan
dalam keadaan terbuka akan dapat memperburuk luka itu sendiri.”
Ki
Rangga termangu mangu sejenak, namun kemudian katanya sambil mengambil bumbung
obat dari kantong ikat pinggangnya, “Tolonglah Ki, aku tidak bisa menjangkau
bagian belakang tubuhku.”
Bumbung
kecil berisi obat itu diterima Ki Ageng, namun kemudian justru diangsurkan
kepada Anjani yang berdiri di sebelah kirinya, “Anjani, peganglah bumbung obat
ini. Sementara aku mencari air di perigi belakang kedai itu, Kau dapat menolong
Ki Rangga untuk merawat luka itu sebelum di bersihkan dengan air.”
Sekejap
Anjani bagaikan tak percaya dengan permintaan Ki Ageng, namun diterima juga
bumbung obat itu sambil berkata pelan, “Bagaimana aku harus merawat luka Ki
Rangga sebelum dibersihkan dengan air?”
Ki
Ageng tersenyum, sambil memegang punggung Ki Rangga dari belakang, Ki Ageng
berkata, “Buatlah luka ini menjadi baru lagi, maksudku darahnya harus keluar
lagi agar apabila ada racun yang terkandung dalam luka ini bisa keluar,
walaupun aku tahu Ki Rangga kebal segala jenis racun, namun alangkah baiknya
kalau luka itu mengalirkan darah segar lagi sebelum dibersihkan dan ditaburi
obat di atasnya.”
Anjani
masing terlihat kebingungan, bagaimana mungkin membuat luka di punggung Ki
Rangga berdarah kembali.
Agaknya
Ki Ageng menyadari hal itu maka katanya kemudian, “Pijitlah di sekitar luka itu
perlahan lahan agar darah yang mengering dapat mengalir lagi, sementara aku
akan mencari air.”
Selesai
berkata demikian Ki Ageng kemudian melangkah pergi. Ketika Ki Ageng sempat
menoleh ke belakang, tampak Ki Rangga memandanginya dengan kerut-merut di dahi,
dan Ki Ageng pun membalasnya dengan sebuah senyum simpul.
Sepeninggal
Ki Ageng, Ki Rangga Agung Sedayu dan Anjani masih saling berdiam diri.
Masing-masing merasa segan untuk memulai sebuah pembicaraan. Anjani yang diberi
tugas oleh Ki Ageng untuk merawat luka Ki Rangga Agung Sedayu tidak berani
bertindak gegabah, takut menyinggung perasaan Ki Rangga, sedangkan Ki Rangga
sendiri merasa ada batas yang tidak boleh dilanggar antara dirinya dengan
Anjani dengan alasan apapun.
“Anjani,”
akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu berkata sareh, “Memang benar kata Ki Ageng
bahwa luka yang sudah mengering itu harus dibuka kembali untuk mengetahui
apakah mengandung unsur yang beracun atau tidak. Namun aku kira lukaku ini
tidak perlu diperlakukan seperti itu, karena aku yakin lukaku ini tidak
mengandung racun. Apa yang disebutkan oleh Ki Ageng tadi adalah untuk luka yang
diderita oleh orang-orang kebanyakan.”
Sejenak
Anjani masih menundukkan wajahnya sambil memegangi bumbung kecil yang berisi
obat, namun kemudian sambil menghela nafas panjang dia mengangkat wajahnya
memandangi titik-titik di kejauhan dengan pandangan mata yang ngelangut. Baru
kemudian dia menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih, “Aku tahu memang Ki
Rangga tidak membutuhkan pertolongan apapun dan aku tidak pernah bermimpi untuk
menolong Ki Rangga karena sesungguhnya Ki Rangga sudah mempunyai segala
galanya.”
Selesai
berkata demikian Anjani meletakkan bumbung obat itu di atas pagar batu yang ada
di sebelahnya. Kemudian sambil melangkah pergi dia berkata, “Mungkin sebaiknya
Ki Ageng yang merawat luka Ki Rangga, karena beliau lebih mengerti tentang obat
obatan, sedangkan aku hanya bisa melukai tanpa bisa mengobati.”
Berdesir
jantung Ki Rangga mendengar kata-kata Anjani. Seolah olah kata-kata itu
bagaikan ribuan duri yang menusuk nusuk jantungnya.
Sambil
menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dadanya, Ki Rangga
mengambil bumbung obat yang diletakkan begitu saja oleh Anjani diatas pagar
batu di depan kedai. Dengan langkah perlahan-lahan Ki Rangga akhirnya
memutuskan untuk mendekati Anjani yang sedang duduk di atas sebongkah batu
padas di bawah sebatang pohon asam.
Ketika
kemudian Ki Rangga telah menempatkan dirinya duduk di atas akar-akar pohon asam
yang menonjol ke permukaan tanah beberapa langkah di sebelah Anjani, ternyata
Ki Ageng telah mendapatkan air dari perigi di belakang salah satu kedai.
Kemudian dengan tergesa-gesa Ki Ageng berjalan menuju ke tempat Ki Rangga dan
Anjani duduk.
“Nah,”
berkata Ki Ageng sambil tersenyum ketika sudah sampai di depan Ki Rangga dan
Anjani. Tangan kirinya membawa mangkuk dari tanah liat yang berisi air.
Kemudian katanya sambil menatap Anjani yang menundukkan wajahnya, “Apakah Kau
sudah selesai merawat luka Ki Rangga, Anjani?”
Anjani
yang duduk sambil menyangga dagunya dengan kedua tangannya itu hanya menggeleng
lemah tanpa memandang Ki Ageng. Pandangan matanya jatuh ke tanah dan wajahnya
terlihat murung.
“He?”
Ki Ageng agak terkejut mendapat jawaban Anjani, kemudian sambil menoleh ke arah
Ki Rangga, dia melanjutkan kata katanya, “Apakah Ki Rangga tidak memberimu
petunjuk bagaimana cara merawat sebuah luka? Ki Rangga ini juga seorang ahli
pengobatan, murid dari Kiai Gringsing yang terkenal kemampuannya dalam hal
pengobatan. Selain belajar dariku, Kau juga dapat menimba ilmu pengobatan dari
Ki Rangga. Bukankah Kau pernah mengatakan kepadaku ingin mempelajari ilmu yang
sangat berguna untuk menolong para kawula alit ini?”
Sekarang
Ki Rangga Agung Sedayu lah yang terkejut. Tidak disangkanya ternyata Anjani
pernah mengungkapkan keinginannya itu kepada Ki Ageng Sela Gilang. Dan
sekaranglah kesempatan Anjani untuk mempelajari awal dari ilmu pengobatan itu
dengan menggunakan luka Ki Rangga sebagai latihan. Namun agaknya Anjani terlalu
segan untuk mengutarakan hal itu kepada Ki Rangga.
Untuk
sejenak mereka bertiga terdiam. Matahari sudah semakin jauh tergelincir dari
puncaknya. Mereka yang berada dibawah bayang-bayang pohon asam itu merasakan
betapa sejuknya tubuh mereka setelah bertempur memeras keringat beberapa saat
tadi. Sementara angin yang bertiup semilir telah membelai dan mempermainkan
anak rambut yang jatuh tergerai di kening Anjani sehingga menambah pesona
kecantikannya.
“Baiklah,”
akhirnya Ki Ageng berkata untuk memecah kebisuan, “Aku akan merawat luka Ki
Rangga dan untuk kali ini Kau cukup melihat saja, Anjani. Tapi lain kali Kau
harus benar-benar terlibat untuk melatih dirimu meningkatkan pengetahuan dan
pengalamanmu dalam bidang pengobatan.”
Anjani
hanya dapat mengangguk.
Ki
Ageng kemudian mempersilahkan Ki Rangga untuk duduk di atas sebongkah batu
padas yang sebelumnya diduduki oleh Anjani, sedangkan Ki Ageng dan Anjani telah
mengambil tempat di belakangnya.
Sejenak
kemudian Ki Ageng telah merawat luka Ki Rangga yang sebenarnya tidak terlalu
parah, namun karena ingin memberikan pelajaran tentang pengobatan kepada
Anjani, akhirnya luka itu memang dibuat berdarah kembali.
“Apakah
tidak lebih baik kalau Ki Rangga membuka baju?” bertanya Ki Ageng sambil
memijit-mijit sekitar luka itu sehingga mulai mengeluarkan darah, sementara
Anjani memperhatikan di sebelahnya.
Ki
Rangga menggeleng, jawabnya, “Ki Ageng dapat memperlebar sobekan yang sudah ada
kalau memang Ki Ageng kurang leluasa. Biarlah baju yang sobek ini nanti aku
jahit kembali.”
Ki
Ageng hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian dengan cekatan
dibersihkannya luka Ki Rangga yang sudah mengalirkan darah kembali. Setelah
bersih dan dikeringkan dengan secarik kain khusus yang lembut, Ki Ageng pun
menaburkan obat yang diambil dari kantong ikat pinggangnya sendiri di atas luka
itu.
“Nah,”
berkata Ki Ageng dengan masih tetap berjongkok di belakang Ki Rangga, “Tahap
terakhir adalah menutup luka ini. Kalau luka itu tidak terlalu lebar, tidak
usah ditutup, cukup ditaburi obat di atasnya hingga pampat, namun kalau luka
itu cukup lebar dan terbuka, harus ditutup dengan sejenis sarang laba-laba yang
banyak kita temukan di pojok-pojok dinding rumah kita.”
Selesai
berkata demikian, Ki Ageng segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari daun
pisang dari salah satu kantong ikat pinggangnya. Ketika bungkusan itu dibuka,
tampak beberapa buah sarang laba-laba yang disebut gamet berwarna putih bersih
seperti kapas.
“Kalau
luka itu memanjang dan dalam?” tanpa sadar Anjani bertanya.
“O..,
kalau itu harus dijahit. Suatu saat nanti aku akan mengajarimu bagaimana
memperlakukan luka seperti itu,” Ki Ageng berhenti sejenak, kemudian katanya,
“Sekarang giliranmu Anjani, ambillah satu gamet ini dan rentangkan perlahan
lahan, kemudian lekatkan di atas luka Ki Rangga.”
Ki
Ageng segera mengangsurkan bungkusan daun pisang itu ke depan Anjani yang masih
berjongkok di sebelahnya. Kali ini Anjani tidak bisa menolak. Dengan jari
jemari yang lentik dan halus diambilnya sebuah gamet dari bungkusan itu.
Kemudian dengan tangan yang sedikit gemetar, gamet yang sudah direntangkan
perlahan lahan agar melebar itu didekatkan di atas luka.
Ketika
jari jemari Anjani menyentuh punggung Ki Rangga, tiba-tiba saja ada getaran
aneh yang merambat dan menyusup ke jantung Ki Rangga. Getaran itu begitu
kuatnya sehingga membuat jantung Ki Rangga berdegup semakin kencang.
“Berilah
tekanan sedikit agar gamet itu benar-benar mereka, tapi jangan terlalu keras,
nanti bisa menyebabkan luka itu berdarah lagi,” berkata Ki Ageng memberi petunjuk.
Dengan
tangan yang masih gemetar, jari jemari lentik itu pun sekali lagi menyentuh
punggung Ki Rangga, dan dengan lembut serta penuh perasaan Anjani menekan nekan
gamet itu agar benar-benar melekat pada luka dan melindungi dari kemungkinan
terkena debu atau kotoran.
Segala
gerak-gerik Anjani itu tidak lepas dari pengawasan Ki Ageng. Guru Pangeran
Ranapati yang semenjak masa mudanya selalu berusaha menjauhkan diri dari
keterikatannya dengan makhluk yang namanya perempuan itu diam-diam
memperhatikan perubahan yang terjadi pada raut wajah Anjani. Betapa wajah itu
menampakkan keragu-raguan pada awal mulanya, namun kemudian yang terpancar dari
wajah yang cantik itu adalah sebuah ketulusan dan keikhlasan untuk berbuat
kebaikan bagi sesamanya.
Dalam
pada itu dua orang tampak sedang bercakap-cakap di pinggir sebuah hutan yang
cukup lebat di perbatasan padukuhan Ngadireja. Hutan yang membujur di sebelah
barat padukuhan Ngadireja ke arah selatan.
“Paman,”
berkata orang yang usianya lebih muda, “Mengapa paman mengajakku menyingkir
ketika aku ingin menyaksikan pertempuran antara Ki Gede Kebo Lungit melawan
orang yang bersenjatakan cambuk itu?”
Orang
yang dipanggil paman itu termangu mangu sejenak, kemudian katanya sambil
menggelengkan kepalanya, “Kau belum mengerti kemampuan yang sebenarnya dari
orang bercambuk. Walaupun aku sudah menyempurnakan ilmuku selama ini, namun aku
yakin Agung Sedayu juga mempunyai kesempatan yang sama. Dan yang harus Kau
ketahui tentang murid utama orang bercambuk itu adalah, dia bertempur tidak
hanya mengandalkan ilmunya, tetapi juga otaknya.”
“Maksud
paman?”
Orang
yang dipanggil paman itu menarik nafas dalam-dalam. Ingatannya kembali ke
beberapa tahun yang lalu ketika dia sebagai utusan Panembahan Cahya Warastra
telah bertemu dengan Kiai Gringsing dan Agung Sedayu di tepian Kali Opak.
“Aku
terlalu percaya diri pada waktu itu,” berkata orang itu yang tidak lain adalah
Bango Lamatan, “Agung Sedayu sempat kebingungan menghadapi ilmuku. Berkali-kali
aku berhasil memukulnya jatuh sehingga menumbuhkan keyakinan dalam diriku bahwa
Agung Sedayu tidak mungkin bisa memecahkan rahasia ilmuku. Ternyata dugaanku
salah. Agung Sedayu dengan cerdik telah memancingku untuk berbangga dengan
keberhasilan-keberhasilan kecil. Padahal dia telah mengetahui keberadaanku
sehingga aku menjadi lengah. Ketika aku sedang menikmati kemenangan kecilku,
tiba-tiba datanglah serangannya yang dahsyat dan tak terduga-duga sehingga aku
tidak mampu menghindari sepenuhnya. Akhir dari perang tanding itu benar-benar
menyakitkan, aku telah berhasil dilumpuhkannya.”
Orang
yang usianya lebih muda itu mengerutkan keningnya. Menurut pengamatannya selama
ini, Bango Lamatan adalah orang yang tiada duanya setelah Panembahan Cahya
Warastra. Aji Panglimunan yang dimiliki oleh Bango Lamatan adalah sebuah aji
yang nggegirisi dan sudah jarang-jarang dimiliki orang pada masa itu.
“Alangkah
senangnya,” desis orang yang usianya lebih muda itu dalam hati, “Seandainya aku
memiliki aji Panglimunan, musuh-musuhku tidak akan melihat dimana aku berada.
Dengan demikian akan mudah sekali bagiku untuk melumpuhkan lawan-lawanku tanpa
mereka ketahui dari mana arah serangan itu datang.”
Namun
kenyataannya Bango Lamatan yang sakti itu mampu dilumpuhkan oleh orang yang
bernama Agung Sedayu.
“Agung
Sedayu,” desis orang yang usianya lebih muda itu tanpa disadarinya.
“Ya,
Agung Sedayu,” sahut Bango Lamatan yang agaknya mengetahui jalan pikiran orang
yang usianya lebih muda itu, “Kini dia menjadi prajurit Mataram dengan pangkat
Rangga, Ki Rangga Agung Sedayu, orang yang Kau jumpai di depan pasar Ngadireja
siang tadi sebelum Kau lolos dari kepungan murid-murid Kebo Lungit.”
Orang
yang usianya lebih muda itu ternyata adalah murid Panembahan Cahya Warastra
yang lolos dari kepungan murid-murid Kebo Lungit di depan pasar Ngadireja siang
tadi.
“Nah,
sekarang Kau sudah mampu membayangkan kekuatan yang tersimpan di dalam diri Ki
Rangga Agung Sedayu,” berkata Bango Lamatan kemudian, “Bukannya aku seorang
pengecut, tapi aku harus yakin bahwa ilmuku sudah sempurna sebelum aku beradu
dada kembali dengannya.”
Murid
Panembahan Cahya Warastra itu mengangguk anggukkan kepalanya. Namun sebelum dia
sempat menjawab, dilihatnya Bango Lamatan mengerutkan keningnya sambil
mengangkat kepalanya. Agaknya Bango Lamatan telah mendengar sesuatu padahal
dirinya belum mendengar apa -apa selain suara angin yang bertiup menerobos
sela-sela dedaunan dan burung-burung liar yang berkicau bersahutan.
Sejenak
kemudian barulah telinganya lamat-lamat mendengar derap kaki seekor kuda yang
sedang berderap pelan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan menuju ke
tempatnya.
Segera
saja Bango Lamatan memberikan isyarat untuk berlindung di balik lebatnya hutan,
diantara pohon-pohon yang berjajar jajar rapat dan gerumbul-gerumbul liar yang
pepat.
Ternyata
mereka berdua tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian seekor kuda
muncul dari balik tikungan di pinggir hutan itu dengan seorang penunggangnya
yang tertelungkup di atasnya.
Melihat
penunggang kuda yang tertelungkup itu, sekilas tampak Bango Lamatan ragu-ragu.
Namun ketika kuda yang berderap pelan itu lewat hanya beberapa langkah saja
dari tempat persembunyiannya, Bango Lamatan yakin bahwa penunggang kuda itu
adalah orang yang dikenalnya.
Dengan
cepat Bango Lamatan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya diikuti oleh
murid Panembahan Cahya Warastra. Dengan tangkas kendali kuda itu segera
diraihnya dan kemudian ditariknya perlahan lahan sehingga kuda itupun akhirnya
berhenti.
“Ki
Gede Kebo Lungit…!” teriak murid Panembahan Cahya Warastra ketika menyadari siapa
penunggang kuda itu.
“Ya,”
jawab Bango Lamatan sambil meraih pundak Ki Gede Kebo Lungit yang ternyata
telah menjadi pingsan akibat luka yang dideritanya, “Bantu aku menurunkannya.”
Dengan
tergesa-gesa murid Panembahan Cahya Warastra itu membantu Bango Lamatan
menurunkan Ki Gede Kebo Lungit. Dengan sedikit kesulitan karena perawakan Ki
Gede yang tinggi besar, akhirnya pemimpin perguruan Kebo Lungit itu berhasil
diturunkan dari punggung kuda dan dibaringkan di atas rerumputan.
“Orang
bercambuk itu,” desis Bango Lamatan dengan wajah tegang begitu mengenali luka
yang ada di lambung Ki Gede.
Murid
Panembahan Cahya Warastra itu ikut menjadi tegang. Ketika dia mencoba mengamati
bekas luka dari cambuk Ki Rangga Agung Sedayu, jantungnya menjadi berdebar
debar membayangkan kedahsyatan ilmu orang bercambuk itu.
Sementara
Bango Lamatan yang masih merenungi luka itu menjadi teringat akan keadaan
dirinya sewaktu berperang tanding dengan Agung Sedayu di tepian Kali Opak.
Lukanya pada waktu itu memang agak lebih baik dibanding dengan Ki Gede, karena
lukanya di tempat yang tidak terlalu berbahaya yaitu di daerah paha, namun
kalau tidak cepat ditolong oleh Kiai Gringsing, mungkin akan dapat
mengakibatkan kehabisan darah dan berujung pada sebuah kematian.
Ketika
Bango Lamatan mencoba meraba denyut nadi di leher Ki Gede, orang kedua di
padepokan Panembahan Cahya Warastra itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
menarik nafas dalam-dalam. Denyut nadi itu sangat lemah sekali dan timbul
tenggelam tak beraturan.
“Bagaimana
Paman?” bertanya murid Panembahan Cahya Warastra, “Apakah masih ada kemungkinan
Ki Gede untuk ditolong?”
Bango
Lamatan menggeleng lemah, katanya kemudian, “Ki Gede sudah kehilangan darah
terlalu banyak, dan aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Seandainya Panembahan
Cahya Warastra sendiri yang hadir di sini, kemungkinan itu masih ada.”
“Maksud
Paman?” murid Panembahan Cahya Warastra itu menjadi tegang, “Kita biarkan saja
Ki Gede menemui ajalnya sementara kita tidak berbuat apa-apa sama sekali?”
Wajah
Bango Lamatan yang biasanya acuh itu kini menjadi bersungguh-sungguh, jawabnya
kemudian, “Tugas kita adalah mencari dukungan ke perguruan-perguruan yang
tersebar di tanah ini. Semua jalur menuju ke Menoreh sebagai tempat landasan
perjuangan untuk menggempur Mataram telah kita awasi agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak kita inginkan sebelum semua perguruan berkumpul di Menoreh. Ki Gede
Kebo Lungit adalah salah satu dari sekian banyak perguruan yang telah kita
hubungi, namun Ki Gede mempunyai keterikatan dendam dengan Ki Rangga Agung
Sedayu secara pribadi, itulah yang agaknya membuat Ki Gede sulit untuk
menempatkan dirinya dalam satu barisan dengan Panembahan Cahya Warastra.”
Murid
Panembahan Cahya Warastra itu mengangguk anggukkan kepalanya, namun kemudian
katanya, “Aku melihat di dalam perguruan Panembahan Cahya Warastra sendiri
telah bergabung beberapa orang yang tidak mempunyai jalur ilmu dari Panembahan
Cahya Warastra. Apakah demikian itu memang yang dikehendaki oleh Panembahan
Cahya Warastra sendiri?”
“Ya,”
jawab Bango Lamatan, “Salah seorang itu adalah aku sendiri. Aku bukan murid
Panembahan Cahya Warastra, namun karena Panembahan melihat tataran ilmuku,
beliau telah menempatkan aku sebagai orang kedua dalam perguruan. Bukan untuk
urusan penyampaian dan peningkatan ilmu dari jalur Panembahan Cahya Warastra,
namun lebih dari itu adalah untuk menempatkan perguruan Cahya Warastra di atas
perguruan-perguruan lain yang akan bergabung di Menoreh.”
Murid
perguruan Cahya Warastra itu mengangguk anggukkan kepalanya. Tampak di wajahnya
masih tersimpan sebuah pertanyaan, terlihat dari sorot matanya, namun
kelihatannya dia enggan untuk menyampaikan kepada Bango Lamatan.
Agaknya
Bango Lamatan menyadari hal itu. Dan memang sudah banyak yang menyimpan
pertanyaan serupa tapi tidak ada yang berani mengungkapkan pertanyaan itu
kepadanya selaku orang kedua dalam perguruan Cahya Warastra.
Akhirnya
sambil menepuk pundak murid perguruan Cahya Warastra itu, Bango Lamatan
berkata, “Apakah Kau masih meragukan keberadaan Panembahan Cahya Warastra,
seperti murid-murid yang lain sejak penyerbuan ke Menoreh beberapa waktu yang
lalu?”
Murid
perguruan Cahya Warastra itu menahan nafasnya sejenak sambil memandang Bango
Lamatan. Ada sedikit kekhawatiran menyelinap dalam dadanya jika pertanyaan itu
akan menyinggung perasaan Bango Lamatan. Namun akhirnya dengan memantapkan hati
dia berkata, “Paman, memang pertanyaan itu sudah lama beredar di lingkungan
para murid perguruan Cahya Warastra sejak terbetik berita bahwa Panembahan
telah gugur di tangan Ki Patih Mandaraka sewaktu penyerbuan ke Menoreh. Memang
waktu itu aku termasuk salah satu murid yang tidak ikut ke Menoreh. Namun
kemudian bahwa jasad Panembahan Cahya Warastra tidak diketemukan setelah perang
selesai, itulah yang menjadi pertanyaan. Kemudian beredar berita bahwa
Panembahan Cahya Warastra mempunyai ilmu yang dapat menghindarkan dirinya dari
segala macam penyakit, bahkan kematian sekalipun.”
Bango
Lamatan hanya mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan murid perguruan Cahya
Warastra itu. Sambil merenungi tubuh Ki Gede yang terbaring diam, akhirnya dia
berkata, “Segala sesuatunya akan terbukti nanti. Aku rasa tidak perlu lagi
memperdebatkan keberadaan Panembahan Cahya Warastra,” kemudian sambil meraba
denyut nadi di leher Ki Gede, dia berkata sambil menghela nafas panjang, “Ki
Gede sudah meninggal. Sebaiknya kita segera menyelenggarakannya sebelum
Matahari terbenam.”
Sejenak
kemudian kedua orang dari perguruan Cahya Warastra itu segera mencari tempat
yang sesuai untuk memakamkan jasad Ki Gede Kebo Lungit. Dengan menggunakan
peralatan seadanya, mereka mulai menggali tanah yang cukup gembur di dalam
hutan itu. Sengaja mereka menggalinya cukup dalam agar tidak dibongkar oleh
binatang buas yang masih banyak berkeliaran di dalam hutan itu.
Ternyata
Bango Lamatan telah menguburkan semua barang milik Ki Gede Kebo Lungit termasuk
senjatanya yang nggegirisi itu. Murid Panembahan Cahya Warastra itu masih
sempat mengamat-amati senjata itu sebelum memasukkannya ke liang lahat.
“Senjata
yang aneh,” desis murid Panembahan Cahya Warastra.
“Senjata
yang didapatkan oleh Ki Gede Kebo Lungit dari hubungannya dengan orang-orang
asing yang mulai menjamah tanah ini,” sahut Bango Lamatan.
Murid
Panembahan Cahya Warastra itu mengerutkan keningnya, katanya kemudian, “Paman, apakah
kedatangan orang-orang asing itu mempunyai maksud tertentu?”
Bango
Lamatan menggeleng, “Aku tidak tahu. Tetapi menilik keberadaan mereka yang
semakin banyak, agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka disini, dan
sebaiknya kita sudah harus mulai waspada.”
“Apakah
Kadipaten-Kadipaten yang ada di pesisir tidak mencegah mereka memasuki tanah
ini semakin jauh ke pedalaman?”
“Kedatangan
mereka justru menguntungkan bagi yang tinggal di pesisir. Orang-orang asing itu
membawa barang-barang yang aneh dan bagus-bagus sehingga mereka mengadakan
pergadangan dengan para penghuni yang tinggal pesisir.”
“Kerja
sama yang saling menguntungkan,” berkata murid Panembahan Cahya Warastra itu
akhirnya setelah selesai memakamkan jasad Ki Gede Kebo Lungit.
“Seharusnyalah
begitu,” sahut Bango Lamatan sambil membersihkan tangannya dari tanah-tanah
yang menempel. Namun karena tidak ada air, kedua tangan dan kaki Bango Lamatan
itupun tetap kotor berlepotan tanah basah.
“Di
seberang bulak itu ada parit,” berkata murid Panembahan Cahya Warastra sambil
menunjuk ke arah timur, “Kita ikuti saja jalan setapak ini ke arah timur.
Setelah padang perdu yang sempit, terdapat tanah pesawahan yang cukup luas yang
berada di kanan kiri bulak yang panjang menuju ke padukuhan Ngadireja.”
“He..!”
seru Bango Lamatan, “Bukankah kita berdua siang tadi melewati bulak itu?
Rasanya aku masih belum terlalu tua dan pikun untuk mengingat peristiwa yang
baru saja terjadi.”
“Ah,”
murid Panembahan Cahya Warastra itu tertawa pendek, “Agaknya akulah yang sudah
dijangkiti oleh penyakit pikun.”
Demikianlah
akhirnya, menjelang senja yang temaram, kedua orang dari padepokan Cahya
Warastra itu membersihkan diri di parit yang mengairi sawah di sebelah
menyebelah bulak yang menuju ke padukuhan Ngadireja.
“Bagaimana
dengan kuda itu, Paman?” bertanya murid Panembahan Cahya Warastra sambil naik
ke tanggul setelah selesai membersihkan dirinya.
Bango
Lamatan tidak menjawab. Dengan perlahan dia menaiki tanggul yang tidak begitu
tinggi itu. Sesampainya di atas tanggul, dipandanginya seekor kuda yang cukup
tegar sedang merumput di pinggir jalan dengan asyiknya.
“Kalau
Kau memerlukan, Kau dapat memakainya untuk kembali ke Menoreh,” berkata Bango
Lamatan setelah menimbang nimbang beberapa saat.
Setelah
berpikir sejenak, akhirnya murid Panembahan Cahya Warastra itu menyahut,
“Baiklah Paman. Kalau memang Paman tidak memerlukannya, aku akan menggunakannya
untuk kembali ke Menoreh.”
“Jangan
lupa melaporkan apa yang telah terjadi disini kepada Ki Lurah Sanggabaya,”
pesan Bango Lamatan.
Demikianlah,
ketika malam benar-benar sudah menyelimuti bumi, kedua orang dari padepokan
Cahya Warastra itu pun berpisah. Murid Panembahan Cahya Warastra itu segera
memacu kudanya menuju ke Menoreh, sedangkan Bango Lamatan berjalan
perlahan-lahan menyusuri bulak panjang kembali ke padukuhan Ngadireja.
Malam
yang gelap benar-benar telah menyelimuti padukuhan Ngadireja. Bintang-bintang
berkedip indah di langit yang gelap tanpa bulan sama sekali. Angin kemarau yang
bertiup terasa dingin dan kering menggoyang pepohonan sehingga dedaunan yang
telah mengering pun akhirnya jatuh berguguran dari tangkainya.
Ki
Rangga Agung Sedayu masih duduk di pendapa dengan Ki Ageng Sela Gilang dan Ki
Dukuh Ngadireja, sedangkan Anjani sudah masuk ke dalam biliknya di ruang belakang.
“Ki
Dukuh,” berkata Ki Rangga kemudian memecahkan kesepian, “Besok pagi-pagi sekali
kami akan meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung bersama-sama dengan para
prajurit yang akan membawa para tawanan ke Jati Anom dan kemudian selanjutnya
akan diserahkan ke Mataram.”
“Memang
sebelum Matahari terbenam sore tadi, sekelompok prajurit Jati Anom yang
ditempatkan di Kademangan Sumbaratan di sebelah utara gunung Kukusan telah
datang bersama sama dengan para pengawal padukuhan Ngadireja yang sedianya akan
ke Jati Anom untuk meminta bantuan. Namun karena mereka telah berjumpa dengan
para prajurit Mataram yang di tempatkan di Kademangan Sumbaratan, akhirnya
pimpinan prajurit yang bertugas disana telah mengirimkan lima belas prajurit
untuk mengawal tawanan ke Mataram.”
Ki
Dukuh hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk menanggapi kata-kata Ki Rangga
Agung Sedayu, namun justru Ki Ageng lah yang menjawab, “Sebaiknya kita
berangkat pagi-pagi sekali agar tidak menimbulkan pertanyaan di hati para
penghuni padukuhan Ngadireja. Lima belas prajurit beserta para tawanan akan
menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Belum lagi ditambah kita bertiga.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Ageng. Sebuah
desir tajam terasa menyelusup ke pusat jantungnya setiap kali Ki Rangga
teringat dengan janjinya untuk membawa Anjani ke Menoreh.
“Bagaimanapun
juga, pertemuan itu lambat laun akan terjadi,” berkata Ki Rangga dalam hati.
Apa yang dikhawatirkan oleh Ki Rangga adalah kesan yang suram dari Sekar Mirah
terhadap dirinya sehubungan dengan kehadiran Anjani.
“Di
manakah para tawanan itu di tempatkan?” pertanyaan Ki Ageng ternyata telah
membuyarkan lamunan Ki Rangga.
Setelah
menarik nafas dalam-dalam, barulah Ki Rangga menjawab, “Ki Dukuh telah
menyediakan gandok sebelah kiri untuk tempat peristirahatan para prajurit. Ada
satu kamar khusus yang disediakan untuk para tawanan dengan penjagaan yang
sangat ketat.”
Ki
Ageng dan Ki Dukuh hampir bersamaan mengangguk angguk.
Dalam
pada itu, Anjani yang sedang berbaring di biliknya menjadi gelisah. Sudah
berulang kali dicobanya untuk memejamkan matanya, namun rasa rasanya dia
menjadi semakin gelisah. Pikirannya menerawang pada kejadian-kejadian beberapa
waktu yang lalu. Perkenalannya yang singkat dengan Ki Rangga Agung Sedayu telah
memberikan kesan yang mendalam dalam hidupnya. Dulu ketika dia masih bersama
dengan kedua gurunya, tidak ada sepercik niat pun dalam hatinya untuk
menyangkutkan hatinya pada seorang laki-laki yang diharapkan akan menjadi
suaminya kelak. Namun kini setelah bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu,
walaupun umur mereka terpaut cukup jauh, namun Anjani dapat merasakan
getar-getar kasih yang mengalir tulus dalam jiwanya untuk dipersembahkan kepada
Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebenarnyalah
Anjani menyadari kalau Ki Rangga adalah seorang suami yang sangat setia dan
menyayangi istrinya. Kadang jauh di dasar hatinya ada rasa penyesalan dan
bahkan tak jarang kekecewaan melanda hatinya jika mengingat kedudukan Ki Rangga
yang sudah berkeluarga, namun apakah dengan demikian dia sudah tidak berhak
lagi mencintainya, memujanya dan merindukannya. Sejauh mana dia dapat menahan
rasa rindu itu yang justru akan membuat hatinya menjadi semakin tersiksa.
Berbagi
adalah suatu hal yang kadang sulit dipahami oleh manusia. Betapa indahnya
seandainya mereka mau mengerti akan penderitaan sesamanya seperti yang sedang
dialami oleh Anjani saat ini. Hidup sebatangkara tanpa kasih sayang. Hanya satu
harapan yang ingin dicapai oleh Anjani, hidup dalam perlindungan dan kasih
sayang Ki Rangga Agung Sedayu walaupun untuk itu dia harus menerima apapun
persyaratan yang nantinya akan di ajukan oleh Sekar Mirah.
“Apakah
mbokayu Sekar Mirah bersedia untuk dimadu?” pertanyaan itu selalu berputar
putar dalam benaknya sehingga membuat Anjani pening.
“Perempuan
manakah yang bersedia berbagi dengan perempuan lain dalam hal urusan
laki-laki?” pertanyaan yang pertama belum terjawab, kini muncul pertanyaan lain
yang lebih rumit dan memusingkan.
Anjani
berdesah perlahan dan bangkit dari pembaringan. Malam masih belum terlalu dalam
namun agaknya sore tadi Anjani agak segan menemani orang-orang itu duduk-duduk
di pendapa. Maka dipaksakan dirinya untuk berbaring di bilik yang telah
disediakan untuknya.
Perlahan
Anjani berdiri dan berjalan ke arah pintu. Tanpa menimbulkan suara yang berarti
dibukanya selarak pintu. Setelah menyandarkan selarak pintu itu di dinding
sebelah pintu, Anjani pun kemudian membuka pintu dan melangkah keluar. Sejenak
Anjani masih termangu mangu di depan pintu. Pandangan matanya menyapu ruang
belakang yang terletak di dekat dapur itu. Hanya ada dua bilik di ruang
belakang itu, yaitu bilik yang disediakan untuknya dan bilik yang di tempati
oleh pembantu perempuan Ki Dukuh.
Setelah
yakin tidak ada orang yang sedang memperhatikan dirinya, Anjani melangkahkan
kakinya menuju ke dapur. Lampu yang ada di dapur itu ternyata telah dimatikan
sehingga keadaan di dalam dapur begitu gelap gulita, namun mata Anjani yang
sudah terlatih itu mampu melihat walaupun hanya remang-remang.
Sambil
berpegangan pada dinding dapur, Anjani perlahan menyusuri dapur dengan sangat
hati-hati agar jangan sampai menimbulkan suara yang dapat membangunkan keluarga
ki Dukuh. Ketika tangannya telah menggapai selarak pintu dapur yang
menghubungkan dengan halaman belakang, Anjani pun menarik nafas dalam-dalam.
Begitu
Anjani mengangkat selarak dan membuka pintu, angin malam yang dingin segera
menerpa wajahnya. Perempuan yang masih muda dan sangat cantik itu sejenak
ragu-ragu. Hanya satu sebenarnya tujuan Anjani, ingin pergi ke pakiwan. Namun
di luar sangat gelap dan sepi.
Walaupun
belum ada sehari Anjani tinggal di rumah ki Dukuh, namun dia sudah hafal dimana
letak pakiwan itu. Sambil menajamkan pandangan matanya dalam gelap, Anjani
akhirnya membulatkan tekatnya untuk melangkah menuju pakiwan.
Ketika
Anjani tinggal dua langkah di depan pakiwan. Pandangan matanya menangkap
sesuatu yang tidak wajar di dekat perigi yang terletak di sebelah kiri pakiwan.
Pada
dasarnya Anjani bukanlah seorang penakut. Sejak kecil hidupnya sudah terbiasa
dengan alam bebas semenjak mengikuti kedua gurunya. Namun apa yang terlihat di
depannya sekarang ini telah membuat bulu kuduknya berdiri. Sebuah bayangan yang
tinggi besar sedang berdiri mematung di sebelah perigi.
Anjani
mencoba menjerit sekuat tenaga ketika dilihatnya bayangan itu menjulurkan
tangannya. Namun belum sempat jeritan itu keluar dari mulut Anjani, sebuah
sentuhan dari bayangan itu di tengkuknya telah membuat Anjani jatuh terkulai.
Tanpa
dapat dilihat oleh mata wadag, tiba-tiba saja tubuh Anjani yang terkulai itu
sudah ada dalam rengkuhan bayangan itu. Sejenak bayangan itu mencoba mengawasi
keadaan di sekitarnya, setelah yakin tidak ada seorang pun yang memperhatikan
perbuatannya, dengan cepat bayangan itupun menghilang dalam gelap.
Dalam
pada itu di pendapa rumah Ki Dukuh Ngadireja, Ki Rangga Agung Sedayu tampak
masih berbincang-bincang dengan Ki Ageng Sela Gilang. Sedangkan Ki Dukuh
Ngadireja sudah memasuki biliknya karena malam yang semakin dingin.
“Apakah
Ki Rangga akan mampir ke Sangkal Putung terlebih dahulu?” bertanya Ki Ageng
Sela Gilang sambil menyeruput wedang sere yang sudah dingin.
“Ya
Ki Ageng,” jawab Ki Rangga, “Aku akan menengok keadaan Adi Swandaru terlebih
dahulu dan juga aku sebagai wakil dari guru yang sudah tiada, akan memberikan
peringatan kepada Adi Swandaru yang telah melanggar wewaler dari perguruan.”
Ki
Ageng Sela Gilang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil
membetulkan letak ikat kepalanya, “Sebenarnya aku tidak mempunyai sangkut paut
dengan masalah perguruan Ki Rangga. Jika Ki Rangga tidak berkeberatan, aku
dapat menempuh perjalanan sendiri kembali ke Padukuhan Cepaga di lereng
Merapi.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ada seberkas keraguan dalam hatinya
jika Ki Ageng meneruskan perjalanan sendiri ke lereng Merapi. Permasalahannya
adalah bagaimana dengan Anjani? Ki Rangga tidak akan sampai hati untuk menyuruh
Anjani mengikuti Ki Ageng ke Padukuhan Cepaga di lereng Merapi, namun untuk
melakukan perjalanan berdua dengan Anjani, Ki Rangga tidak ingin memberikan
kesan yang kurang baik kepada keluarga di Sangkal Putung dan Menoreh.
“Ki
Ageng,” akhirnya setelah menimbang-nimbang beberapa saat Ki Rangga menjawab,
“Aku akan sangat senang jika Ki Ageng bersedia menemani aku dalam perjalanan
ini sampai di Menoreh, namun jika Ki Ageng mempunyai keperluan yang tidak bisa
ditunda lagi, aku tidak akan menahan Ki Ageng. Hanya saja aku memohon
pertimbangan Ki Ageng sehubungan dengan permasalahan Anjani.”
Ki
Ageng tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sejenak Ki Ageng melemparkan
pandangannya ke dalam malam yang semakin kelam. Dua orang penjaga regol rumah
Ki Dukuh tampak duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk lutut. Senjata mereka
disandarkan begitu saja di dinding pagar batu yang mengelilingi rumah Ki Dukuh.
“Ki
Rangga,” akhirnya Ki Ageng berkata, “Apakah selama ini Ki Rangga sudah
menanyakan kepada Anjani, apakah keinginannya yang sebenarnya? Maksudku yang
tidak ada sangkut pautnya dengan taruhan perang tanding dengan murid-murid Tal
Pitu itu?”
Ki
Rangga menghela nafas panjang. Setelah menghembuskan nafasnya untuk mengurangi
getar di dadanya, Ki Rangga menjawab, “Memang secara langsung aku belum pernah
menanyakan hal itu kepadanya. Namun menilik sikapnya selama ini, dia ingin
mengikuti aku ke Menoreh. Entah apa yang terjadi nanti setelah sampai di
Menoreh. Yang jelas aku masih membutuhkan pertolongannya untuk mencari penawar
racun Gundala Wereng yang mengeram di siku tangan kiriku.”
Mendengar
Ki Rangga menyebut racun Gundala Wereng, Ki Ageng bagaikan tersadar dari sebuah
mimpi buruk. Cepat-cepat dia beringsut kedepan sambil berkata, “Ki Rangga
bolehkah aku melihat lukamu? Aku ingin meyakinkan bahwa racun Gundala Wereng
itu tidak menjalar semakin jauh,”
Dengan
ragu-ragu Ki Rangga menggulung lengan baju tangan kirinya. Ketika kemudian Ki
Ageng mengamat-amati luka itu, tampak kerut-merut di dahi orang tua itu semakin
dalam. Katanya kemudian, “Ki Rangga, racun Gundala Wereng yang mengeram di siku
kiri Ki Rangga ini terlihat semakin melebar. Warna kulit di sekitar luka ini
semakin menghitam dan melebar walaupun aku yakin masih belum membahayakan
karena darah Ki Rangga yang kebal racun ini telah menahan laju pergerakan racun
Gundala Wereng ini menuju ke jantung.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengar keterangan Ki Ageng,
katanya kemudian, “Menurut Anjani, racun Gundala Wereng ini penawarnya hanya
ada satu, yaitu racun Gundala Seta. Walaupun sama-sama racun namun mempunyai
sifat menawarkan racun Gundala Wereng.”
“Ya,”
sahut Ki Ageng, “Dan racun Gundala Seta itu adanya hanya di Gunung Kendali Sada
yang dimiliki oleh Resi Mayangkara. Apakah Kau percaya dengan keterangan Anjani
itu, Ki Rangga?”
Ki
Rangga tertegun. Dia tidak mengira kalau Ki Ageng akan mengajukan pertanyaan
seperti itu.
Ki
Ageng yang melihat Ki Rangga termangu mangu kemudian berkata sareh sambil
tersenyum, “Sebaiknya kita memang selalu berhati-hati menghadapi keadaan yang
belum jelas. Aku sarankan setelah selesai semua urusan, Ki Rangga segera ke
Gunung Kendali Sada menghadap Resi Mayangkara untuk meminta obat racun Gundala
Seta.”
Ki
Rangga mengangguk angguk sambil menjawab, “Aku akan mengajak Glagah Putih dan
Rara Wulan untuk mendaki gunung Kendali Sada. Mungkin tenaga mereka akan
berguna nantinya dalam perjalanan.”
“Dan
juga untuk menemani Anjani agar Ki Rangga tidak merasa sungkan dan ewuh
pakewuh,” tambah Ki Ageng sambil tersenyum penuh arti.
“Ah,”
desah Ki Rangga, “Aku justru sedang memikirkan bagaimana caranya menempatkan
Anjani sesuai dengan keinginannya dan tanpa menyinggung perasaan keluargaku.
Seandainya saja Ki Ageng dapat menolongku.”
“He?”
Ki Ageng terkejut sambil beringsut mundur, “Aku tidak mempunyai hubungan khusus
dengan Anjani. Aku hanya mengenalnya ketika dia sering diajak kedua gurunya ke
istana Kadipaten Panaraga untuk menemui Pangeran Ranapati. Jadi sebenarnya
permasalahan itu ada pada diri Ki Rangga. Ki Rangga telah memulai permainan
itu, dan Ki Rangga harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.”
Ki
Rangga hanya menggeleng lemah sambil menurunkan gulungan lengan baju tangan
kirinya. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Ageng, Ki Rangga berkata pelan,
“Ini memang salahku. Sebelumnya aku tidak pernah membuat kesalahan seperti ini
yang berhubungan dengan perempuan. Seumur hidupku aku telah mencoba untuk tidak
menyakiti hati seorang perempuan.”
Ki
Ageng menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata Ki Rangga Agung Sedayu.
Katanya kemudian, “Seumur hidupku aku berusaha untuk menghindari bersentuhan
dengan perempuan, karena memang aku tidak ingin disibukkan dengan segala macam
urusan yang berhubungan dengan perempuan.”
Ki
Rangga yang mendengar uraian Ki Ageng hanya mengeleng lemah. Angan angannya
kembali ke masa lalu, di mana pada saat perkenalannya yang pertama dengan gadis
Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah itu. Gadis yang sangat ramah dan
menyenangkan untuk diajak berbicara. Seolah olah waktu begitu cepatnya berlalu
jika dia sedang berada di sisi Sekar Mirah.
“Marilah
Ki Rangga, “ akhirnya Ki Ageng berkata sambil menggeliat berdiri, “ Malam sudah
semakin larut, sebaiknya kita beristirahat.”
Ki
Rangga mengangguk anggukkan kepalanya sambil ikut berdiri, akan tetapi tampak
wajahnya berkerut merut sambil bergumam pelan, “Aku tadi mendengar seseorang
membuka pintu dapur. Betapapun lemahnya namun aku masih mendengar derit pintu itu.”
“Ya,
aku juga mendengar,” jawab Ki Ageng, “Agaknya seseorang sedang pergi ke
pakiwan.”
“Aneh,”
desis Ki Rangga dengan wajah yang masih berkerut merut, “Seharusnya aku
mendengar derit pintu dapur itu lagi jika memang ada seseorang yang telah
selesai pergi ke pakiwan dan kembali masuk ke dalam rumah.”
Ki
Ageng tertegun. Apa yang dikatakan Ki Rangga itu memang benar, dirinya pun
belum mendengar kembali derit pintu dapur itu untuk yang kedua kalinya.
“Memang
aneh, waktu yang terlalu lama hanya untuk ke pakiwan saja,” gumam Ki Ageng
sambil mencoba menajamkan pendengarannya, namun belum terdengar tanda-tanda
orang yang pergi ke pakiwan itu masuk kembali.
“Marilah,”
ajak Ki Ageng sambil melangkah menuju ke samping kanan pendapa, “Tidak ada
jeleknya kita berhati hati melihat apa yang terjadi di belakang rumah Ki Dukuh
ini. Semoga saja hanya kekhawatiran kita yang tidak beralasan.”
Sejenak
kemudian keduanya telah menuruni tlundak pendapa di sisi kanan kemudian
berbelok masuk longkangan sebelum akhirnya menyusuri dinding dapur sebelah
kanan menuju ke halaman belakang.
Ketika
kemudian keduanya sudah sampai di halaman belakang. Betapa kegelapan terasa
menyelimuti mereka berdua, namun dengan ketajaman penglihatan mereka, kegelapan
itu sedikit banyak dapat teratasi.
Dengan
tergesa-gesa Ki Ageng segera menuju ke pintu dapur, sementara Ki Rangga telah
melangkah ke pakiwan. Alangkah terkejutnya Ki Ageng ketika mendapatkan pintu
dapur dalam keadaan terbuka tidak diselarak dari dalam, sedangkan keadaan di
dalam dapur itu juga gelap gulita, tidak ada nyala lampu sama sekali.
“Ki
Rangga” dengan suara yang agak keras Ki Ageng memanggil, “Kemarilah, pintu
dapur ini tidak diselarak. Seseorang telah keluar dari dalam rumah dan belum
masuk kembali.”
Dengan
setengah berlari Ki Rangga menuju ke tempat Ki Ageng berdiri. Dan memang Ki
Rangga pun menemukan pintu dapur itu dalam keadaan terbuka. Dengan cepat
keduanya segera menyelinap masuk ke dapur kemudian menuju ke ruang belakang
yang terletak di antara dapur dan ruang tengah.
Sejenak
keduanya tertegun ketika sudah berada di ruang belakang yang dibatasi dengan
sebuah pintu yang menuju ke ruang tengah. Di ruang belakang itu hanya terdapat
dua bilik. Ketika Ki Rangga melangkah ke salah satu pintu bilik itu, tiba-tiba
dadanya menjadi berdebar debar. Pintu bilik itu terlihat terbuka hanya setebal
ibu jari, namun semua itu menjadi pertanda bahwa yang menempati bilik itu
sedang keluar.
Perlahan
Ki Rangga mendorong pintu bilik yang terbuka hanya setebal ibu jari itu. Tidak
terdengar derit yang keras ketika pintu itu didorong. Ketika kemudian pintu
bilik itu terbuka lebar-lebar, keadaan di dalam bilik itu benar-benar kosong,
tidak ada penghuninya.
“Kamar
siapakah ini?” tiba-tiba Ki Ageng yang sudah berdiri di belakang Ki Rangga
bertanya.
Ki
Rangga masih ragu-ragu, namun ketika sekali lagi Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam sambil mengetrapkan aji sapta pangganda, indera penciuman Ki Rangga
pun segera mengenali bau harum yang ditinggalkan oleh penghuni bilik itu, bau
harum yang khas dari seorang perempuan cantik yang selama ini melakukan
perjalanan bersamanya, Anjani.
“Anjani,”
tanpa sadar Ki Rangga berdesis sambil berpaling ke arah Ki Ageng yang sudah
bergeser ke sampingnya. Bagaikan di sambar petir di siang hari, keduanya pun
segera meloncat berlari menuju ke pakiwan, begitu menyadari kemungkinan buruk
yang dapat terjadi pada diri Anjani,
Ketika
keduanya telah berada di depan pakiwan, keduanya justru menjadi ragu-ragu.
Suasana di sekitar pakiwan itu begitu sepi, hanya suara-suara binatang malam yang
terdengar saling bersahutan. Sesekali terdengar juga suara burung kedasih di
kejauhan yang membuat suasana malam semakin ngelangut.
“Sepi,”
desis Ki Rangga sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling pakiwan.
“Ya,”
sahut Ki Ageng, “Terlalu sepi, atau kita yang sudah terlambat.”
Ki
Rangga segera mengetrapkan aji sapta pandulu untuk mempertajam indera
penglihatannya. Ketika kemudian pandangan mata Ki Rangga yang berlipat ganda
ketajamannya itu memandang ke arah perigi, sejenak Ki Rangga mengerutkan
keningnya. Di sebelah perigi itu tampak sesuatu yang disangkutkan pada dahan
sebuah pohon dadap yang tumbuh menjorok di sebelah perigi.
Dengan
tergesa-gesa Ki Rangga segera berjalan menuju ke arah perigi. Ketika kemudian
Ki Rangga telah berada di bawah pohon dadap itu, diraihnya secarik kain yang
kelihatannya dengan sengaja diikatkan pada dahan pohon dadap itu.
“Apakah
itu, Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng sambil melangkah mendekat.
“Entahlah
Ki Ageng,” jawab Ki Rangga sambil memperlihatkan secarik kain yang sudah
dilepaskan dari ikatannya, “Hanya secarik kain lusuh, namun mungkin mengandung
arti sesuatu dari orang yang sengaja meninggalkannya untuk kita.”
Tanpa
sadar tangan Ki Ageng meraih secarik kain yang ada di tangan Ki Rangga dan
mencoba melihat guratan-guratan yang tertulis di atas kain itu.
“Resi
Mayangkara,” terkejut Ki Ageng ketika mengenali guratan-guratan di atas kain
itu yang merupakan pertanda dari Resi Mayangkara.
“Resi
Mayangkara?” Ki Rangga yang berdiri disebelahnya ikut terkejut bagaikan disengat
ribuan lebah, “Benarkah itu pertanda dari Resi Mayangkara? Kalau begitu berarti
Anjani telah dibawa pergi oleh Resi yang aneh itu.”
“Kemungkinannya
memang demikian,” jawab Ki Ageng sambil menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan
tenang yang menyelinap di hatinya begitu mengetahui hilangnya Anjani ada
hubungannya dengan kedatangan Resi Mayangkara.
“Resi
yang aneh,” desis Ki Rangga Agung Sedayu sambil melangkah menuju ke dapur,
“Dari manakah Ki Ageng mengetahui bahwa secarik kain yang tersangkut di dahan pohon
itu benar-benar berisi pesan dari Resi Mayangkara?”
“Bacalah,”
jawab Ki Ageng sambil mengulurkan secarik kain putih itu kepada Ki Rangga yang
telah berdiri termangu mangu di depan pintu dapur, “Guratan-guratan di atas
kain ini setelah aku amati dengan seksama ternyata tertulis nama Resi
Mayangkara.”
“Benarkah?”
bertanya Ki Rangga sambil menerima uluran tangan Ki Ageng. Setelah kain itu ada
di tangannya, dengan tergesa-gesa dibentangkannya kain itu untuk mencoba
membaca guratan-guratan yang ada di atasnya.
Sejenak
Ki Rangga termangu mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga akhirnya
melipat kain itu dan kemudian menyerahkan kembali kepada Ki Ageng.
“Kau
benar Ki Ageng, walaupun samar-samar aku juga dapat membaca tulisan yang
tertera di atas secarik kain itu. Semoga saja memang benar Resi Mayangkara
telah hadir di sini dan membawa Anjani ke pertapaannya.” Berkata Ki Rangga
sambil melangkah memasuki dapur yang gelap.
“Panggraitaku
sebagai orang tua juga demikian Ki Rangga,” berkata ki Ageng sambil mengikuti
Ki Rangga memasuki dapur, “Untuk selanjutnya kita dapat melupakan persoalan
Anjani sejenak. Mungkin dari Sangkal Putung nanti kita dapat berpisah. Aku akan
melanjutkan perjalanan kembali ke lereng Merapi, sedangkan Ki Rangga dapat
langsung ke Menoreh.”
Ki
Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka
berdua telah berada di dalam dapur. Setelah menyelarak pintu, keduanya pun
kemudian berjalan menuju ke ruang tengah.
Demikianlah
keesokan harinya, setelah Ki Ageng menjelaskan tentang keberadaan Anjani kepada
Ki Dukuh, keduanya pun segera bersiap meneruskan perjalanan menuju ke Sangkal
Putung.
“Apakah
Ki Rangga dan Ki Ageng nanti sekalian akan menjemput Anjani di gunung
Kendalisada?” bertanya Ki Dukuh ketika mengantarkan kedua orang itu sampai di
pintu regol.
Kedua
orang yang telah meloncat ke atas punggung kuda itu saling berpandangan
sejenak, namun akhirnya Ki Ageng yang menjawab, “Sementara kami belum mempunyai
rencana ke arah itu, Ki Dukuh. Namun yang pasti, setelah semua permasalahan
selesai, Ki Rangga akan mengunjungi pertapaan Resi Mayangkara.”
Ki
Rangga mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Ki Ageng. Ketika pandangan
matanya menatap Ki Ageng yang kebetulan sedang menoleh ke arahnya, tampak
sebuah senyum menghias wajah Guru Pangeran Ranapati itu.
“Ki
Dukuh,” akhirnya Ki Rangga tidak tahan untuk tinggal diam, “Kami berdua sudah
bersepakat untuk mendaki gunung Kendalisada bersama sama jika semua urusan
telah selesai.”
Ki
Dukuh mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum puas. Sementara Ki Ageng
tampak wajahnya berkerut merut sambil menatap Ki Rangga yang memalingkan
wajahnya memandangi jalan di depan rumah Ki Dukuh yang tampak masih lengang,
walaupun Matahari sudah mulai menyinari pucuk-pucuk pepohonan dengan sinarnya
yang kemerahan. Namun sinar lembayung merah itu masih terlalu lemah untuk
mengusir embun pagi yang bergelayutan manja di ujung-ujung dedaunan.
“Baiklah
Ki Dukuh,” akhirnya Ki Ageng berkata, “Kami mohon pamit. Biarlah untuk
sementara kuda Anjani kami tinggal di sini. Suatu saat nanti Ki Rangga sendiri
yang akan mengantar Anjani ke Padukuhan ini untuk mengambil kudanya.”
“Sebenarnyalah
kuda-kuda ini bukan milik kami,” cepat-cepat Ki Rangga menyela, “Ki Dukuh
Merjan telah meminjamkannya kepada kami. Jadi biarlah kuda yang satunya tetap
disini. Sesampainya aku di Menoreh, aku akan menyuruh anak buahku untuk
mengembalikan kuda-kuda ini kepada pemiliknya, Ki Dukuh Merjan.”
Ki
Dukuh Ngadireja menjadi bingung sejenak. Dipandanginya kedua orang itu ganti berganti,
namun akhirnya sambil menggeleng gelengkan kepalanya, Ki Dukuh pun bergumam
perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Entahlah. Aku tidak ikut
campur permasalahan tentang kuda yang kalian titipkan kepadaku. Jika tiba
saatnya seseorang mengambilnya, dengan senang hati aku akan menyerahkannya.”
Ki
Ageng dan Ki Rangga saling berpandangan sambil menarik nafas dalam-dalam.
Setelah membetulkan letak pijakan kakinya pada pelana kudanya, Ki Rangga pun
kemudian minta diri, “Baiklah Ki Dukuh, kami minta diri. Semoga kita masih
diberi kesempatan oleh Yang Maha Agung untuk bertemu kembali.”
“Tentu,
tentu..” sahut Ki Dukuh cepat, “Pintu rumahku selalu terbuka untuk kalian. Dan
jangan lupa untuk mengajak Anjani kalau berkenan berkunjung ke gubukku ini sekali
lagi.”
Hampir
bersamaan Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Ageng Sela Gilang mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Sambil menggerakkan kendali kudanya, akhirnya mereka berdua pun
mohon diri.
“Kami
mohon diri, Ki Dukuh,” berkata Ki Rangga kemudian, “Mohon ma’af telah
merepotkan Ki Dukuh dan tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas segala bantuan yang diberikan kepada kami selama berada di
Padukuhan Ngadireja.”
“Ah,”
Ki Dukuh tertawa pendek, “Merupakan suatu kehormatan bagiku mendapat kunjungan
dari Ki Rangga dan Ki Ageng. Semoga perjalanan Ki Sanak berdua selamat sampai
tujuan.”
“Terima
kasih, Ki Dukuh,” hampir bersamaan keduanya pun menjawab.
Demikianlah
akhirnya, ketika Matahari masih malu-malu untuk menampakkan wajahnya di ufuk
timur, kedua orang yang pinunjul ing apapak itu telah memacu kuda mereka di
jalan-jalan berbatu menuju ke kademangan Sangkal Putung.
Sebelum
mencapai kademangan Sangkal Putung yang subur itu, mereka masih harus menembus
hutan yang cukup lebat di sisi utara Gunung Kukusan. Ada sebuah telaga yang
berair sangat jernih di dalam hutan itu, namun mereka merasa tidak perlu
berhenti untuk sekedar menikmati pemandangan yang sangat indah itu karena
berbagai masalah telah menunggu mereka.
Ketika
Matahari telah memanjat semakin tinggi, kedua orang itu telah mendaki lereng
gunung Kukusan yang tidak seberapa tinggi. Dengan berbekal ketrampilan mereka
dalam menunggang kuda, keduanya tetap memacu kuda-kuda mereka dengan kecepatan
sedang.
“Aneh,”
tiba-tiba saja Ki Ageng bergumam pelan.
Ki
Rangga yang berpacu di sebelahnya berpaling sambil tersenyum, katanya kemudian,
“Maksud Ki Ageng penunggang kuda yang selalu mengikuti kita sejak kita keluar
dari gerbang Padukuhan Ngadireja tadi?”
“Ya,”
jawab Ki Ageng sambil menarik nafas dalam-dalam, “Ataukah kita ini yang semakin
tua justru tidak semakin mengendap.”
“Bukan
begitu, Ki Ageng,” sahut Ki Rangga cepat, “Beban pekerjaan kitalah yang
kadang-kadang mengharuskan seseorang itu selalu waspada, bukan curiga. Karena
sebenarnyalah kita hanya berhati hati menghadapi setiap perubahan yang terjadi
di sekeliling kita.”
Ki
Ageng mengangguk anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau benar Ki Rangga.
Bagi Ki Rangga yang mengemban tugas sebagai Prajurit tentu saja hal ini adalah
lumrah, bahkan cenderung wajib bagi seorang prajurit untuk selalu waspada. Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah tentang aku sendiri. Apakah keterlibatanku
dalam urusan pertentangan antara Mataram dan Panaraga? Seharusnya aku sudah
bisa sumeleh dan pasrah kepada Yang Maha Agung atas segala apa yang akan
terjadi kemudian.”
“Itu
tidak mungkin Ki Ageng,” berkata Ki Rangga sambil berpaling ke belakang. Orang
berkuda yang mengikuti mereka sejak keluar dari pintu gerbang padukuhan
Ngadireja itu masih saja mengikuti mereka dalam jarak yang tetap.
“Mengapa?”
bertanya Ki Ageng sambil mengikuti arah pandangan Ki Rangga ke arah belakang,
“Bukankah segala sesuatu itu sudah tertulis dalam catatanNya? Segala gerak
kehidupan ini telah tertulis jauh sebelum alam ini diciptakanNya.”
“Yang
itu aku setuju, Ki Ageng,” berkata Ki Rangga sambil memacu kudanya agak cepat,
kemudian katanya setengah berbisik, “Kita berpacu agak cepat Ki Ageng. Aku
ingin melihat, apakah orang yang di belakang kita itu juga akan memacu
kudanya?”
Ki
Ageng mengangguk. Dengan sebuah sentakan, kudanya pun kemudian berderap cepat
mengikuti kuda Ki Rangga.
Setelah
sejenak mereka berdua berpacu menuruni lereng gunung Kukusan sebelah barat,
keduanya pun kemudian menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang
menuju sebuah padang perdu yang luas.
Ketika
mereka mulai menyeberangi padang perdu yang luas itu, hampir bersamaan mereka
berdua telah berpaling ke belakang.
Dada
kedua orang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu bagaikan
meledak ketika mereka melihat seorang penunggang kuda yang mengenakan caping
lebar hampir menutupi seluruh wajahnya telah muncul dari ujung hutan itu dan
mulai memacu kudanya di atas jalan setapak.
Ki
Rangga Agung Sedayu yang telah berada di tengah-tengah bulak itu tiba-tiba
telah menghentikan laju kudanya sehingga kuda yang terkejut itu telah meringkik
keras sambil mengangkat kedua kaki depannya keatas. Dengan sigap ki Rangga
mencoba mengendalikan kudanya yang terkejut itu, sedangkan Ki Ageng yang
menyadari kawan seperjalanannya telah berhenti dengan tiba-tiba telah mencoba
menahan laju kudanya dengan perlahan lahan sehingga sekitar sepuluh tombak
kemudian kuda Ki Ageng telah berderap dengan perlahan. Sambil memutar arah
kudanya, Ki Ageng kemudian menggerakkan kudanya menuju ke arah Ki Rangga Agung
Sedayu yang ternyata telah meloncat turun dari kudanya.
“Bagaimana
Ki Rangga?” bertanya Ki Ageng sambil mengikuti Ki Rangga meloncat turun dari
kudanya, kemudian setelah mengikat kudanya di sebelah kuda Ki Rangga pada
sebatang pohon perdu, Ki Ageng pun akhirnya mengikuti Ki Rangga duduk di bawah
bayang-bayang sebatang pohon randu alas yang tumbuh menjulang cukup tinggi di
tengah-tengah padang perdu itu.
Ki
Rangga tidak menjawab, hanya meletakkan telunjuk jarinya di atas bibirnya.
Kemudian sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon randu alas yang
cukup besar itu, Ki Rangga pun memejamkan matanya.
Agaknya
Ki Ageng pun menyadari apa yang di kehendaki oleh Ki Rangga. Maka sejenak
kemudian Ki Ageng pun telah duduk bersila di samping Ki Rangga sambil
terkantuk-kantuk.
Demikianlah
orang yang mengikuti Ki Rangga dan Ki Ageng sejak dari regol Padukuhan itu
terkejut ketika menyadari kedua orang yang diikutinya ternyata telah berhenti
justru di tengah padang perdu yang luas. Tidak ada kesempatan baginya untuk
bersembunyi atau pura-pura berhenti melepaskan lelah karena jarak mereka yang
semakin dekat. Akhirnya orang itu memutuskan untuk meneruskan perjalanannya.
Ketika
kuda yang ditungganginya berderap hanya beberapa langkah saja di depan Ki
Rangga dan Ki Ageng yang sedang duduk melepaskan lelah di bawah sebatang pohon
randu alas, orang itu tampak sekilas berpaling. Namun karena caping lebar yang
dikenakannya telah menutupi hampir seluruh wajahnya, Ki Ageng dan Ki Rangga
tidak mampu mengenali wajahnya.
Akhirnya
Ki Rangga perlahan lahan bangkit berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengibas kibaskan kain panjangnya yang terkena rumput-rumput kering,
katanya kemudian, “Seandainya hal ini terjadi beberapa tahun silam, aku sudah
dapat menduga siapakah orang berkuda itu.”
Ki
Ageng yang ikut bangkit berdiri mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Maksud
Ki Rangga?”
Sejenak
Ki Rangga tersenyum sambil memandang ke arah ki Ageng yang berdiri termangu
mangu sambil mengerutkan keningnya. Kata Ki Rangga kemudian, “Dulu aku sering
bertemu dengan orang berkuda atau berjalan kaki yang suka mengikuti jalanku.
Orang itu adalah Pangeran Benawa.”
“Pangeran
Benawa?” ulang ki Ageng. Kerut merut di dahinya semakin dalam.
“Ya,
Pangeran Benawa,” sahut Ki Rangga, “Tentu saja orang berkuda itu tadi pasti
bukan Pangeran Benawa.”
“Ah,”
desah ki Ageng, “Tentu saja bukan, Pangeran yang kecewa itu telah meninggalkan
kita untuk selama-lamanya, namun kesederhanaan sikapnya sebagai seorang
Pangeran telah membekas di hati para kawula alit.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menganguk anggukkan kepalanya, katanya kemudian sambil
berjalan ke arah kudanya ditambatkan, “Marilah Ki Ageng. Mungkin orang berkuda
tadi hanya sekedar lewat dan kita yang terlalu berprasangka.”
“Mungkin,”
berkata Ki Ageng sambil melepaskan ikatan kudanya, “Kademangan Sangkal Putung
sudah dekat. Sebaiknya setelah kita menyeberangi padang perdu ini, kita
berpisah untuk meneruskan perjalanan masing-masing. Aku akan menembus hutan
sebelah utara sampai ke Padukuhan Nguter.”
Ki Rangga
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah Ki Ageng, semoga perjalanan Ki Ageng
lancar sampai tujuan.”
“Kita
sama-sama berdoa Ki Rangga,” berkata Ki Ageng, “Jangan lupa sebelum empat puluh
hari, Ki Rangga sudah harus ke gunung Kendalisada.”
Ki
Rangga menarik nafas dalam-dalam, sejenak ingatannya kembali kepada seorang
perempuan muda yang sangat cantik namun selalu berwajah murung, Anjani.
Dalam
pada itu, di rumah Ki Dukuh Ngadireja telah terjadi kesibukan yang melibatkan
para tawanan dan prajurit Mataram di Jati Anom yang kini sedang mengemban tugas
mengamati keadaan di Kademangan Sumbaratan. Para prajurit itu harus mengawal
para tawanan bergantian untuk pergi ke pakiwan sekedar membersihkan diri.
Setelah makanan di dapur telah siap, para tawanan yang akan di bawa ke Mataram
itupun terlebih dahulu diberi makan pagi agar perjalanan mereka ke Mataram
tidak menemui halangan yang berarti.
Setelah
para prajurit juga mendapatkan ransum, pemimpin prajurit yang berpangkat Lurah
telah memberi aba-aba untuk segera mempersiapkan diri meninggalkan padukuhan
Ngadireja.
“Ki
Dukuh,” berkata Lurah Prajurit itu, “Kami telah mendapat pesan dari Ki Rangga
Agung Sedayu untuk berangkat ketika Matahari mulai naik sepenggalah. Dengan
demikian sekarang ini sudah waktunya kami berangkat,” Lurah Prajurit itu
berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Kami sangat berterima kasih atas segala
bantuan Ki Dukuh. Hal ini akan kami laporkan kepada atasan kami Tumenggung
Untaradira di Jati Anom agar mendapatkan perhatiannya.”
“Ah,
itu tidak perlu Ki Lurah,” sahut Ki Dukuh cepat, “Atas nama para penghuni
padukuhan Ngadireja, kami justru sangat berterima kasih atas bantuan para
prajurit Mataram untuk menjaga keamanan di lingkungan kami.”
Ki
Lurah itu mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian sambil mengamati pasukannya
yang telah bersiap siap berangkat mengawal para tawanan ke Mataram, dia berkata
kepada Ki Dukuh, “Kami mohon diri, Ki Dukuh. Semoga perjalanan kami tidak ada
suatu gangguan apapun.”
“Aku
ikut berdoa, Ki Lurah,” berkata Ki Dukuh sambil menganggukkan kepalanya.
Demikianlah
sejenak kemudian rombongan prajurit yang membawa para tawanan itu mulai
bergerak meninggalkan halaman rumah Ki Dukuh Ngadireja.
Rombongan
yang tidak seberapa besar itu bergerak secara perlahan di jalan berbatu batu. Semua
anggota di dalam rombongan itu berkuda. Para tawanan berkuda dengan tangan
terikat dan dikawal oleh beberapa prajurit dengan senjata terhunus.
Rombongan
itu memang sempat menarik perhatian sepanjang perjalanan, namun ketika
orang-orang yang berpapasan mengenali seragam prajurit Mataram yang dikenakan
oleh sebagian besar anggota rombongan itu, mereka pun segera menyadari bahwa
mereka adalah sepasukan prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas.
Semakin
lama rombongan prajurit itu semakin jauh meninggalkan padukuhan Ngadireja.
Mereka tidak bisa berpacu dengan cepat justru karena ada beberapa tawanan di
antara mereka. Para prajurit yang bertugas mengawal para tawanan itu tidak
boleh lengah sekejap pun, karena kelengahan yang hanya sekejap dapat berubah menjadi
sebuah kehancuran.
Ki
Lurah yang berkuda di paling depan sejenak mengerutkan keningnya ketika mereka
mulai menyusuri jalan setapak di pinggir hutan. Di depan mereka terbentang
padang perdu yang luas dengan beberapa pohon-pohon besar yang tumbuh berselang
seling dengan semak belukar. Sejauh mata memandang, tampak gerumbul-gerumbul
liar yang menyimpan seribu kemungkinan. Ada kalanya binatang buas bersembunyi
di sela-sela gerumbul perdu itu, namun tak jarang segerombolan penyamun
bersembunyi menunggu kurbannya lewat.
Tiba-tiba
dada Ki Lurah berdesir tajam ketika pandangan matanya tertumbuk pada sebuah
bayangan seseorang yang dengan tenangnya duduk di atas seekor kuda yang
berjalan perlahan lahan berlawanan arah dengan rombongan prajurit itu.
Penunggang kuda yang bercaping lebar itu memang masih cukup jauh, hampir di
ujung padang perdu yang berlawanan arah dengan rombongan Ki Lurah. Namun
sikapnya sangat mendebarkan, mengendalikan kuda dengan tenang seolah olah tidak
menghiraukan keadaan di sekelilingnya.
“Ki
Lurah,” tiba-tiba seorang prajurit yang berkuda di sebelahnya berbisik, “Ki
Lurah melihat orang berkuda itu?”
Ki
Lurah menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Katanya kemudian, “Ya, aku
melihatnya. Mudah mudahan hanya karena kita berlawanan arah saja.”
Prajurit
yang bertanya itu mengangguk anggukkan kepalanya. Namun kemudian dia masih
sempat berdesis, “Orang itu hanya sendirian, sedangkan kita ada lima belas
Prajurit.”
Ki
Lurah yang mendengar desis itu berpaling sambil mengerutkan keningnya, katanya,
“Apa katamu tentang para tawanan? Kalau orang itu mampu mempengaruhi kejiwaan
para tawanan untuk mengadakan perlawanan, tentu akan sangat merepotkan.”
Prajurit
yang berkuda di samping Ki Lurah itu tertegun. Apa yang dikatakan pemimpinnya
itu memang benar. Segera saja prajurit yang berkuda di samping Ki Lurah yang
ternyata merupakan wakil Ki Lurah segera memberi isyarat kepada para prajurit
yang mengawal para tawanan agar meningkatkan kewaspadaan dan memperketat
penjagaan.
Ketika
kemudian rombongan para prajurit itu berpapasan dengan penunggang kuda yang
bercaping lebar hampir menutupi seluruh wajahnya itu, ternyata tidak terjadi
peristiwa seperti yang dibayangkan sebelumnya. Penunggang kuda itu hanya
mengangkat wajahnya sedikit kemudian selanjutnya berlalu tanpa menimbulkan
kesan.
Ki
Lurah masih sempat berpandangan dengan prajurit yang berkuda di sebelahnya.
Namun kemudian katanya sambil berpaling ke belakang, “Kita agak berpacu
sedikit. Mumpung kita berada di padang perdu yang cukup lapang. Semoga kita bisa
mencapai Jati Anom sebelum gelap.”
Demikianlah,
akhirnya rombongan para prajurit yang mengawal tawanan untuk dibawa ke Mataram
itu telah memacu kuda-kuda mereka semakin cepat melintasi padang perdu yang
luas.
Nantikan kelanjutan ceritanya di jilid 403
Komentar
Posting Komentar