Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 411
Buku 411
Untuk beberapa saat anak muda itu masih
termangu-mangu. Namun ketika orang yang dipanggil Kanjeng Sunan itu mulai
bergerak melangkahkan kakinya, dengan tanpa berpikir panjang, anak muda itu pun
segera menyusul sambil berkata, “Ampun Kanjeng Sunan, jika diijinkan,
perkenankan hamba mengikuti Kanjeng Sunan mendaki perbukitan Menoreh.”
Kanjeng Sunan tidak menjawab. Hanya
sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Sejenak kemudian kedua orang itu
telah berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir hutan menuju ke perbukitan
Menoreh.
--oo0oo--
Dalam pada itu di padukuhan induk, Ki
Jayaraga dan Ki Gede Menoreh sedang mempersiapkan pemberangkatan pemakaman para
korban baik dari pihak prajurit Mataram dan pengawal Menoreh, maupun dari
pasukan Panembahan Cahya Warastra. Dari pihak Mataram telah hadir pula Ki
Tumenggung Surayudha.
“Ki Patih Mandaraka menyampaikan
permohonan maafnya tidak bisa menghadiri pemberangkatan pemakaman ini, Ki
Gede,” berkata Ki Tumenggung Surayudha saat mereka bertiga berdiri di pendapa
banjar padukuhan induk, tempat para jenazah disemayamkan untuk sementara, “Ki
Patih masih membicarakan sesuatu yang sangat penting dengan Raden Mas
Rangsang.”
Ki Gede tersenyum. Jawabnya kemudian,
“Kami sudah sangat berterima kasih atas kehadiran Ki Tumenggung.”
“Sudah seharusnya kami hadir di sini,”
sahut Ki Tumenggung Surayudha, “Bukan karena ada beberapa prajurit kami yang
gugur, namun ini adalah sebuah bentuk penghormatan dari Mataram atas bantuan
dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam menghancurkan pasukan Panembahan
Cahya Warastra yang dapat menjadi duri dalam daging bagi pemerintahan Mataram
di masa yang akan datang.”
Mereka yang hadir di pendapa banjar
padukuhan induk itu pun mengangguk-anggukkan kepala.
“Apakah keluarga para prajurit Mataram
yang gugur sudah dihubungi?” bertanya Ki Gede kemudian.
Ki Tumenggung Surayudha menggeleng.
Jawabnya, “Itu membutuhkan waktu. Bagi seorang prajurit, gugur di medan tugas
adalah akibat yang wajar dari sebuah pekerjaan. Sejak kali pertama mereka
memasuki lingkungan keprajuritan, kemungkinan seperti itu sudah ditanamkan
sejak dini. Demikian juga keluarga para prajurit, mereka sudah menyadari akibat
paling buruk yang dapat menimpa anggota keluarga mereka jika salah satu dari
anggota keluarga telah membulatkan tekat untuk mengikatkan diri menjadi seorang
prajurit,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya, “Namun demikian
kami atas nama pemerintah Mataram akan menghubungi keluarga mereka setelah kita
kembali ke ibu kota. Segala sesuatunya telah diatur dalam sebuah paugeran
termasuk santunan yang berhak diterima oleh para keluarga korban.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki
Jayaraga mengangguk-anggukkan kepala.
“Apakah keluarga dari para pengawal
Menoreh yang gugur juga telah dihubungi?” sekarang Ki Tumenggung Surayudha yang
ganti bertanya.
“Sudah Ki Tumenggung,” jawab Ki
Jayaraga yang berdiri di sampingnya, “Kita sedang menunggu kedatangan mereka.”
Ki Tumenggung Surayudha mengangguk
anggukkan kepalanya, sementara Ki Gede Menoreh telah menarik nafas dalam-dalam.
Pandangan matanya yang sayu menatap kosong ke titik-titik di kejauhan.
Seolah-olah terbayang kembali beberapa puluh tahun yang lalu ketika api
membakar Tanah Perdikan Menoreh karena pertikaian keluarga. Seandainya dengan
dada tengadah dan niat baik, Sidanti pada waktu itu menghadap kepadanya dan
meminta untuk diangkat menjadi kepala tanah Perdikan menggantikan dirinya,
mungkin sejarah dapat berubah. Tidak ada secuwil niat pun di dalam hatinya
untuk membedakan antara Sidanti dengan Pandan Wangi. Namun semuanya telah
berlalu, dan untuk kesekian kalinya Tanah Perdikan Menoreh harus berduka
kembali, karena putra-putra terbaiknya telah gugur dalam menegakkan dan
mempertahankan tanah kelahiran mereka.
“Ternyata kedatangan orang-orang
bercambuk itu telah menorehkan sejarah panjang Tanah Perdikan ini,” gumam Ki
Gede Menoreh dalam hati, “Khususnya Ki Rangga Agung Sedayu jasanya terhadap
tanah ini benar-benar tidak dapat dihitung dan dinilai dengan apapun. Tidak
salah sebenarnya kalau Pandan Wangi pada waktu itu telah menjatuhkan pilihan
kepadanya. Yang salah adalah waktu, mengapa puteriku terlambat mengenal Ki
Rangga Agung Sedayu sedangkan gadis dari Sangkal Putung itu telah menarik hati
Ki Rangga terlebih dahulu.”
“Ki Gede,” tiba-tiba kata-kata Ki
Jayaraga telah membuyarkan lamunan Ki Gede Menoreh, “Agaknya para keluarga
korban telah berdatangan.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya
yang sudah berkeriput. Tampak berpuluh-puluh orang, baik laki-laki maupun
perempuan bahkan kanak-kanak telah berhamburan memasuki halaman banjar
padukuhan. Segera saja suasana menjadi sangat gaduh. Jerit tangis yang
memilukan pun segera meledak begitu mereka mulai menaiki tangga pendapa dan
mencoba mengenali keluarga mereka yang telah menjadi korban.
Perempuan-perempuan menangis sejadi-jadinya sambil menjerit-jerit dan berteriak
memanggil-manggil nama suami atau pun anak laki-laki mereka. Tak terkecuali
kanak-kanak yang masih belum mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, telah
ikut menangis karena biyung-biyung mereka juga menangis. Sedangkan para lelaki
tampak hanya menahan getaran yang melanda rongga dada mereka dengan menahan
nafas dan tangan yang dikepal keras-keras untuk menahan jatuhnya air mata.
Beberapa pengawal dibantu oleh prajurit
Mataram telah membimbing dan mencoba menenangkan perempuan-perempuan yang telah
kehilangan kendali. Mereka menangis meraung-raung disisi jenasah Ayah, suami
ataupun saudara kandung mereka yang telah gugur dalam menunaikan tugas.
Seorang perempuan muda sambil
menggendong bayinya yang masih berumur beberapa bulan tampak berdiri
termangu-mangu di tangga pendapa. Air matanya berlinangan membasahi wajahnya
bagaikan sumber air di musim penghujan yang tidak pernah kering. Wajahnya
terlihat sangat pucat dengan bibir yang bergetar hebat namun tak sepatah kata
pun yang terucap. Tidak terdengar jeritan atau teriakan, bahkan sebuah isak
tangis pun. Hanya pandangan matanya yang tampak redup itu dengan nanar
menjelajahi ke seluruh sudut-sudut pendapa. Dicobanya untuk mengenali
barangkali dia dapat menemukan keberadaan suaminya dari tempatnya berdiri. Dia
merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melangkahkan kakinya mendekati
mayat-mayat yang terbujur diam berjajar-jajar diatas lantai pendapa beralaskan
tikar pandan dalam balutan putihnya kain kafan.
Ki Gede yang melihat seorang perempuan
muda sedang berdiri termangu-mangu di tangga pendapa, segera mengayunkan
langkahnya. Sesampainya Ki Gede di depan perempuan muda itu, beberapa saat Ki
Gede tidak tahu harus berbuat apa. Perempuan muda itu tampak linglung karena
goncangan yang dahsyat telah mendera jantungnya.
“Nyi,” akhirnya dengan sangat
berhati-hati Ki Gede mencoba menyapa, “Apakah ada sesuatu yang dapat aku
bantu?”
Perempuan itu masih tetap termangu
seolah tidak mendengar sapa Ki Gede. Baru ketika Ki Gede mengulangi
pertanyaannya, dengan perlahan dia berpaling. Begitu menyadari siapa yang
berdiri di hadapannya, bagaikan bendungan yang pecah diterjang banjir di musim
hujan, tangisnya pun meledak tak tertahankan lagi. Tubuhnya limbung ke kiri,
kalau saja Ki Gede tidak dengan segera menahan tubuh yang limbung itu dengan
cara memegangi lengan kirinya, tentu perempuan muda yang sedang menggendong
bayinya itu sudah jatuh terjerembab di tangga pendapa.
Beberapa pengawal segera memburu untuk
membantu Ki Gede. Dengan perlahan-lahan akhirnya perempuan muda itu pun dibantu
untuk dapat duduk bersimpuh di tangga pendapa. Tangisnya terdengar sangat
memilukan hati. Apalagi ketika bayi dalam gendongannya terbangun dari tidur
lelapnya dan ikut menangis melengking-lengking, suasana pun menjadi semakin
kisruh.
Ki Gede masih belum beranjak dari
tempatnya berdiri. Sejenak dipandanginya perempuan muda yang bersimpuh selangkah
di hadapannya itu dengan jantung yang bagaikan diremas-remas. Perang memang
selalu membawa korban dan kebanyakan para kawula alit lah yang paling
menderita.
“Sudahlah Nyi..,” akhirnya dengan
kata-kata sedikit ditekan Ki Gede mencoba menghibur sambil berjongkok di depan
perempuan muda itu, “Sebaiknya Kau lebih mengedepankan nalarmu dari pada
mengikuti perasaanmu. Lihatlah, bayimu ikut menangis dan kelihatannya
membutuhkan perhatianmu. Mungkin dia merasa haus. Sebaiknya Kau rawat dulu
bayimu.”
Mendengar Ki Gede menyebut bayinya,
perempuan muda itu seolah-olah baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk.
Dengan segera dipeluknya bayi yang sedang menangis melengking-lengking dalam
gendongannya dan dicium kedua pipinya agar menjadi sedikit lebih tenang.
“Masuklah ke pringgitan,” berkata Ki
Gede kemudian sambil berdiri, “Di sana Kau dapat memberi minum bayimu dengan
lebih leluasa.”
Perempuan muda itu hanya menganggukkan
kepalanya sambil bangkit berdiri. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk
menahan tangisnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang masih menyangkut di
tenggorokannya sehingga nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ketika seorang
pengawal kemudian mempersilahkannya ke pringgitan lewat samping pendapa, dia
pun hanya menurut saja.
Ketika bayangan perempuan muda itu
telah hilang di balik pintu pringgitan, barulah Ki Gede beranjak dari tempatnya
berdiri dan berjalan menuju ke tempat Ki Jayaraga dan Ki Tumenggung Surayudha
berdiri menunggu.
“Ki Gede, apakah pemberangkatan jenasah
sudah dapat dimulai?” bertanya Ki Jayaraga sesampainya Ki Gede di hadapannya.
Ki Gede belum menjawab. Sejenak
ditebarkan pandangan matanya ke seluruh pendapa. Perempuan-perempuan masih
menangis walaupun tidak sekeras pada saat pertama kali mereka datang, sedangkan
beberapa laki-laki sudah dapat menguasai perasaan mereka dan mulai membantu
menyiapkan pemberangkatan jenasah. Beberapa orang telah membantu para pengawal
dan prajurit menyiapkan alat pengusung jenasah yang terbuat dari bambu yang
sederhana karena dibuat dengan sangat tergesa-gesa.
Ketika Ki Gede masih menilai kesiapan
peralatan yang akan digunakan untuk mengusung jenasah, tiba-tiba dari arah
regol banjar padukuhan induk tampak beberapa orang sedang berjalan memasuki
halaman.
“Ki Patih Mandaraka dan Raden Mas
Rangsang berkenan hadir!” terdengar seorang prajurit berseru.
Hampir bersamaan ketiga orang yang
berdiri di pendapa itu berpaling kearah regol halaman banjar padukuhan. Tampak
Ki Patih Mandaraka dan Raden Mas Rangsang sedang berjalan melintasi halaman
dikawal oleh para prajurit kepatihan.
Dengan tergopoh-gopoh Ki Gede bersama
Ki Jayaraga dan Ki Tumenggung Surayudha segera menyambut kedatangan kedua
bangsawan itu.
“Merupakan suatu anugrah bagi kami atas
berkenannya Ki Patih dan Raden Mas Rangsang hadir di tempat ini,” sambut ki
Gede Menoreh sambil menyalami kedua bangsawan Mataram itu.
“Mereka adalah pahlawan bagi Mataram,”
sahut Ki Patih sambil menyambut uluran tangan Ki Gede, “Sudah selayaknya dan
juga merupakan suatu kewajiban bagi kami untuk menghormati mereka sampai ke peristirahatan
yang terakhir.”
Beberapa orang yang mendengar kata-kata
Ki Patih itu menarik nafas dalam-dalam. Beberapa keluarga korban bahkan merasa
sedikit terhibur mendengar apa yang dikatakan oleh Ki Patih.
Setelah mereka menempatkan diri di
depan pintu pringgitan, Ki Gede pun kemudian mempersilahkan Ki Patih Mandaraka
untuk memberikan sesorahnya.
“Setiap jiwa akan kembali menghadap
Sang Pencipta, “ berkata Ki Patih Mandaraka memulai sesorahnya, “Hanya saja
kita tidak diperkenankan untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara kita kembali
menghadapNya.”
Orang-orang yang hadir di pendapa itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mereka yang terbaring di pendapa ini,
telah lulus dari segala ujian yang diberikan oleh Yang Maha Agung. Kini mereka
dapat pulang kembali ke haribaan Nya untuk menikmati apa yang telah mereka
sumbangsihkan kepada negara dan bangsa serta amal ibadah selama mereka hidup di
dunia. Di dunia mereka akan selalu kita kenang sebagai pahlawan, dan di
kehidupan yang langgeng mereka akan mendapatkan balasannya berupa derajat yang
tinggi di sisi Tuhan mereka,” Ki Patih Mandaraka berhenti sejenak. Kemudian
lanjutnya, “Atas nama Penguasa Tertinggi Mataram, kami mengucapkan bela
sungkawa yang sangat dalam disertai dengan permohonan doa kepada Yang Maha Kuasa,
semoga diampuni segala dosa mereka serta diterima segala amal ibadah mereka.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, baik dari prajurit Mataram maupun pengawal
Tanah Perdikan Menoreh, kami doakan semoga tabah dalam menerima cobaan ini dan
selalu mendekatkan diri dan pasrah serta menerima dengan ikhlas segala sesuatu
yang telah menjadi ketentuanNYA.”
Suasana benar-benar hening. Sudah tidak
ada lagi isak tangis di antara mereka. Agaknya apa yang telah disampaikan oleh
Ki Patih Mandaraka sedikit banyak telah mendinginkan dada mereka yang hadir di
pendapa pagi itu.
“Selanjutnya,” Ki Patih Mandaraka
meneruskan sesorahnya, “Untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah
gugur dalam pertempuran hari kemarin, Pemerintah Mataram akan memberikan
penghargaan berupa santunan bagi para ahli waris yang berhak. Jangan lah
menilai penghargaan ini terlalu dangkal dalam ukuran duniawi, namun lebih dari
itu, mereka tentu akan menerima pahala yang jauh lebih baik di sisi Tuhan
mereka. Semoga apa yang dapat diberikan oleh Pemerintah Mataram ini nantinya
bermanfaat dan selanjutnya dapat untuk membantu menopang kehidupan para ahli
warisnya dalam meneruskan kehidupan bebrayan. Setelah pemakaman ini selesai,
para ahli waris dapat berhubungan dengan Ki Lurah Panyarikan.”
Ki Lurah Panyarikan yang berdiri di
ujung pendapa segera maju dua langkah sambil menganggukkan kepalanya
dalam-dalam agar para keluarga korban dapat mengenalinya dan pada saatnya nanti
dapat menghubungi untuk kepentingan mengurus hak para ahli waris.
“Nah, kiranya tidak ada lagi yang perlu
kami sampaikan,” berkata Ki Patih kemudian, “Untuk selanjutnya, marilah dengan
penuh khidmat kita hantarkan jenasah para pahlawan ini ke peristirahatan yang
terakhir.”
Demikianlah akhirnya, setelah seorang
sesepuh dari padukuhan induk yang ikut hadir di situ memimpin doa, dengan
berangsur-angsur para pengawal dan prajurit yang sedang bertugas dibantu oleh
sebagian laki-laki keluarga korban segera mengangkat jenasah satu persatu turun
dari pendapa. Sejenak kemudian iring-iringan itu pun telah keluar dari halaman
banjar padukuhan induk menuju ke tempat pemakaman umum yang terletak agak jauh
di sebelah timur tanah pesawahan bersebelahan dengan padang perdu di pinggir
hutan yang masih cukup lebat.
Dalam pada itu di tengah hutan yang masih
lebat yang bersebelahan dengan padang perdu dekat pemakaman padukuhan induk,
sekelompok orang tampak sedang beristirahat sambil bersandaran pada
batang-batang pohon yang menjulang. Sebagian lagi telah merebahkan diri
beralaskan pada rumput-rumput kering serta dedaunan.
“Kiai, ternyata kita sudah terlambat,”
berkata seorang yang berperawakan pendek kekar.
Orang yang dipanggil Kiai itu tertawa
pendek. Katanya kemudian, “Bukan kita yang terlambat, namun orang yang menyebut
dirinya Panembahan Cahya Warastra itulah yang bergerak terlalu cepat.”
Orang yang berperawakan pendek kekar
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kemudian seolah-olah ditujukan
kepada dirinya sendiri, “Lebih baik kita kembali pulang saja dari pada
duduk-duduk di sini tanpa arti.”
“Siapa bilang kehadiran kita di sini
tanpa arti?” tiba-tiba terdengar suara berat dan dalam dari arah kiri. Ketika
mereka berpaling, tampak seseorang yang berperawakan tinggi besar sedang
melangkah ke tempat mereka.
“Guru,” hampir bersamaan orang-orang yang
sedang duduk-duduk di sekitar itu bergumam perlahan.
Sedangkan orang yang dipanggil Kiai itu
telah bangkit berdiri sambil berkata, “Selamat datang Ki Ajar Serat Gading.
Walaupun kedatangan kita sudah sangat terlambat dan tidak menjumpai hiruk
pikuknya pertempuran.”
“Terima kasih, Ki Sambi,” jawab orang
yang dipanggil Ki Ajar Serat Gading itu sambil berjalan mendekat, “Kita tidak
terlambat, justru kita lah yang akan membuat sejarah di tempat ini. Sebentar
lagi jasad penerus trah Mataram itu akan tergeletak tak bernyawa di padang
rumput itu bersama dengan jasad orang yang sangat berpengaruh terhadap
pemerintahan Mataram itu sendiri, Ki Juru Martani yang sangat cerdik namun juga
licik.”
Orang-orang yang sedang beristirahat di
dalam hutan itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum mengetahui apa maksud dari
ucapan Ki Ajar Serat Gading.
Sejenak Ki Ajar Serat Gading masih
menebarkan pandangan matanya yang setajam burung elang itu ke seluruh sudut
hutan. Murid-muridnya yang telah berdiri dengan serentak begitu guru mereka
hadir di situ, tidak ada seorang pun yang berani menentang pandangannya.
Semuanya telah menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara Kiai Sambiwaja hanya
dapat berdiri termangu-mangu sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Duduklah,” perintah Ki Ajar Serat
Gading kemudian sambil tetap berdiri di tempatnya. Sementara Kiai Sambiwaja
masih berdiri termangu-mangu.
“Silahkan Kiai,” berkata Ki Ajar
mempersilahkan Kiai Sambiwaja. Yang dipersilahkan pun kemudian kembali duduk
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata Ki Ajar Serat Gading
selanjutnya ketika semua telah duduk, “Keterlambatan kita ternyata membawa
keberuntungan. Aku memang sengaja membiarkan kalian berangkat terlebih dahulu
bersama Kiai Sambiwaja. Namun sebenarnyalah aku telah menyempatkan diri untuk
menghadap Eyang guru terlebih dahulu sebelum menyusul kalian ke Menoreh.”
Semua mendengarkan dengan seksama
sambil menduga-duga, apakah Ki Ajar berhasil menghadap Eyang gurunya yang sudah
sangat sepuh dan telah menjadi pertapa di puncak gunung Lawu.
“Dan ternyata aku telah diperkenankan
oleh eyang guru menghadap,” berkata ki Ajar selanjutnya, “Inilah buktinya.”
Semua mata segera saja tertuju ke arah
tangan kiri Ki Ajar Serat Gading yang perlahan-lahan menyingkapkan baju dan
mengambil sesuatu dari balik bajunya. Segera saja di tangan kiri Ki Ajar
tergenggam sebuah pusaka yang masih tersimpan dalam wrangkanya. Ketika Ki Ajar
kemudian mengangkat pusaka itu di atas kepalanya terlebih dahulu, maka sejenak
kemudian mereka yang hadir di situ telah dikejutkan oleh sebuah sinar yang
menyilaukan yang keluar dari wrangka itu ketika Ki Ajar dengan perlahan
mencabut pusaka itu dengan tangan kanannya.
“Keris Kanjeng Kiai Sarpasri..!” hampir
setiap mulut menyebut nama pusaka itu dengan jantung yang berdebaran.
Kiai Sambiwaja yang duduk paling dekat
dengan Ki Ajar sampai terlonjak berdiri. Dengan seksama diamat-amatinya keris
yang tergenggam di tangan kanan Ki Ajar. Sebuah keris yang berbentuk naga
sebagaimana keris Nagasasra, Naga Kumala dan Naga Geni. Yang membedakan adalah
Keris Sarpasri ujudnya lurus tidak mempunyai luk sama sekali. Pada ujung ekor
naga yang merupakan ujung keris itu terbuat dari emas berkilauan. Beberapa
butir permata tampak menghiasi tubuh naga itu di antara ukiran sisik-sisiknya.
Sementara kedua matanya terbuat dari sepasang intan yang gemerlapan. Demikian
juga di antara gigi-giginya yang tajam terdapat beberapa butiran intan.
Sejenak Kiai Sambiwaja masih
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun akhirnya dengan mengangguk-anggukkan
kepalanya, Kiai Sambiwaja pun kemudian duduk kembali sambil berdesis perlahan,
“Memang benar Keris Kanjeng Kiai Sarpasri, keris yang hampir saja mengakhiri
keangkuhan Panembahan Senapati pada waktu itu.”
“Kiai benar,” sahut Ki Ajar sambil
menyarungkan kembali keris Kiai Sarpasri ke dalam warangkanya sebelum terlebih
dahulu mengangkat keris itu di atas kepalanya. Lanjutnya kemudian, “Seandainya
Panembahan Senapati pada waktu itu tidak sempat mengambil pusaka Mataram
Kanjeng Kiai Plered, tentu Mataram sekarang hanya tinggal namanya saja.”
Orang-orang yang hadir di dalam hutan
itu terlihat menahan nafas. Mereka memang pernah mendengar cerita tentang
kedahsyatan keris Kiai Sarpasri yang hampir saja berhasil membunuh Panembahan
Senapati pada saat salah seorang murid perguruan Nagaraga berhasil memasuki
bilik peraduan Panembahan Senapati. Namun sejauh ini mereka hanya mendengar
namanya saja dan mengetahui ciri-cirinya. Secara kewadagan mereka belum pernah
melihat ujud asli keris itu. Sedangkan Kiai Sambiwaja yang mempunyai kemampuan
untuk mengenal jenis-jenis pusaka segera yakin bahwa keris yang berada di
tangan ki Ajar adalah Kanjeng Kiai Sarpasri.
Pengaruh kekuatan keris Kiai Sarpasri
itu memang luar biasa sebagaimana yang telah diakui sendiri oleh Panembahan
Senapati pada waktu itu. Yang sangat mendebarkan adalah ujud keris itu pada
setiap geraknya. Keris itu seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga yang
tidak seberapa besar namun mampu menyemburkan api dari mulutnya. Api yang
beracun yang keluar dari mulutnya itulah yang ternyata mampu menekan kekuatan
ilmu lawannya.
Memang murid perguruan Nagaraga yang
berhasil menyusup ke bilik peraduan Panembahan Senapati pada waktu itu sempat
menunjukkan kemampuan ilmunya yang cukup tinggi. Dengan dilambari kekuatan
keris yang berada di tangannya, murid perguruan Nagaraga itu mampu memaksa
Panembahan Senapati untuk bertempur beberapa lama sebelum akhirnya Panembahan
Senapati menyadari kekuatan nggegirisi yang terpancar dari keris lawannya.
Sebelum persoalannya menjadi semakin rumit, Panembahan Senapati pun akhirnya
memutuskan untuk mengimbangi pusaka lawannya dengan pusaka terbesar Mataram.
Dengan cerdik Panembahan Senapati pun
kemudian telah memancing lawannya untuk bertempur keluar bilik. Demikian
lawannya telah berada di luar bilik, dalam kesempatan yang tak terduga,
Panembahan Senapati ternyata justru telah meloncat memasuki biliknya kembali.
Ketika lawannya dengan kemarahan yang menghentak dada kemudian menyusul ke
dalam bilik, di tangan Panembahan Senapati telah tergenggam pusaka Mataram yang
mempunyai kekuatan tiada taranya, Kanjeng Kiai Plered.
“Nah,” berkata Ki Ajar selanjutnya
sambil masih tetap berdiri, “Di Menoreh tidak ada pusaka yang mampu menandingi
kedahsyatan Kanjeng Kiai Sarpasri. Ki Patih Mandaraka tidak akan mampu melawan
pengaruh pamor dari Kanjeng Kia Sarpasri, apalagi Raden Mas Rangsang yang masih
ingusan. Dengan demikian akan tuntaslah dendam perguruan Nagaraga yang telah
dihancurkan oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan Pangeran Singhasari pada
waktu itu.”
“Bagaimana dengan Kiai Nagaraga
sendiri?” tiba-tiba Kiai Sambiwaja menyela, “Pemimpin Agung perguruan Nagaraga
pada waktu itu tidak terbunuh di tangan pangeran yang sombong itu, akan tetapi
justru di tangan orang bercambuk.”
“Kiai Gringsing maksud Kiai?” bertanya
Ki Ajar sambil tertawa pendek, “Orang itu sudah mati karena sakit tua, namun
setelah aku berhasil membunuh Ki Juru Mertani dan Raden Mas Rangsang, aku akan
menantang murid utama perguruan orang bercambuk itu, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Kiai Sambiwaja mengerutkan keningnya.
Jawabnya kemudian, “Ki Ajar, Ki Rangga Agung Sedayu sampai saat ini belum
terdengar beritanya. Apakah dia masih sanggup bertahan hidup setelah berperang
tanding melawan Panembahan Cahya Warastra, kita belum tahu. Sementara berita lain
yang aku dengar, murid kedua orang bercambuk juga sedang menderita luka yang
cukup parah dan dirawat di padepokan Jati Anom.”
“Persetan!” geram Ki Ajar Serat Gading,
“Aku akan menantang berperang tanding salah satu atau bahkan kedua-duanya kalau
perlu. Kalau mereka memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka atau meningkatkan
ilmu terlebih dahulu, aku tidak akan berkeberatan, asalkan tidak lebih dari
tiga kali purnama.”
Kiai Sambiwaja kembali mengerutkan
keningnya. Menurut perhitungannya, ilmu Ki Ajar Serat Gading mungkin masih
selapis tipis di bawah ilmu perguruan orang bercambuk. Namun dengan bantuan
keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri, keadaan akan dapat berbalik. Orang yang
memiliki ilmu dan ketahanan batin setingkat Panembahan Senapati pun masih perlu
imbangan kekuatan dengan menggunakan pusaka terbesar Mataram, Kanjeng Kiai
Plered. Apalagi perguruan orang bercambuk, sepanjang pengetahuannya mereka
tidak memiliki sejenis pusaka apapun selain senjata andalan mereka, cambuk.
“Sekarang kita akan mengatur siasat
untuk menjebak Ki Juru Martani dan Mas Rangsang,” Ki Ajar berhenti sejenak.
Lalu katanya, “Berapa jumlah kawanmu semuanya, Jabung?”
` Orang
yang dipanggil Jabung itu ternyata orang yang berbadan pendek dan kekar yang
duduk di dekat Kiai Sambiwaja. Segera saja dia bangkit berdiri sambil menjawab,
“Empat puluh orang, Guru.”
Ki Ajar Serat Gading
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebelum menuju tempat ini,
aku tadi sempat menyusup sampai di dekat banjar padukuhan induk. Para Pengawal
Menoreh dibantu prajurit Mataram tampak sedang sibuk mempersiapkan
pemberangkatan para korban perang dari kedua belah pihak. Aku melihat Ki Juru
dan Mas Rangsang ada di antara mereka. ini adalah kesempatan yang langka.
Sebentar lagi iring-iringan jenasah itu pasti akan menuju kemari, dan aku yakin
kedua bangsawan Mataram yang menjadi sasaran kita itu pasti akan ikut dalam
iring-iringan itu. Lebih baik kita segera mempersiapkan diri, sebagian dari
kalian bersembunyi di dalam hutan ini dan yang lain akan menunggu di tanah
pekuburan itu.”
Beberapa orang telah melemparkan
pandangan mata mereka ke tanah pekuburan di sebelah padang perdu yang hanya
berjarak sekitar sepuluh tombak. Dari tempat mereka bersembunyi, tampak sekitar
sepuluh orang penggali kubur sedang duduk-duduk melepaskan lelah di antara
gundukan-gundukan tanah sambil menunggu kedatangan iring-iringan jenasah.
“Bagaimana dengan para penggali kubur
itu?” bertanya Kiai Sambiwaja.
Ki Ajar tertawa. Jawabnya kemudian,
“Apakah keberatan Kiai? Beberapa orang dari kita akan merayap mendekati mereka
dari arah belakang dan membungkam mereka untuk selama-lamanya. Setelah itu
sebagian dari kita akan menyamar sebagai penggali kubur dan menunggu kesempatan
membunuh kedua Bangsawan Mataram itu.”
Tidak ada seorang pun yang membantah
perintah Ki Ajar Serat Gading. Murid-murid perguruan Serat Gading sudah
terbiasa dengan kehidupan yang bergelimangan dengan darah. Bagi mereka adalah
suatu kebanggaan tersendiri dapat melaksanakan dengan tuntas setiap perintah
dari pemimpin tertinggi mereka.
Sedangkan Kiai Sambiwaja yang berasal
dari luar perguruan Serat gading ternyata sependapat dengan siasat Ki Ajar.
Bagi orang-orang yang telah menenggelamkan diri mereka dalam kehidupan yang
kelam, segala cara akan ditempuh tanpa mempertimbangkan hak dan kepentingan
orang lain.
“Baiklah Ki Ajar,” berkata Kiai
Sambiwaja kemudian, “Jika diijinkan, aku sendiri yang akan memimpin penyergapan
ini. Menilik jumlah para penggali kubur yang tidak lebih dari sepuluh orang,
aku memerlukan kawan paling banyak separo dari jumlah mereka. Kami hanya perlu
waktu sekejab untuk membinasakan mereka. Dengan sekali ayunan atau tebasan,
kepala mereka pasti sudah terpisah dari badan mereka.”
Ki Ajar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun katanya kemudian, “Kiai, sebaiknya Kiai membawa sepuluh orang agar
pekerjaan ini segera cepat selesai. Jangan beri kesempatan mereka berteriak
atau meminta bantuan dengan cara apapun. Sebentar lagi iring-iringan jenasah
itu tentu sudah berangkat dari banjar padukuhan induk.”
“Baiklah Ki Ajar, aku akan membawa
sepuluh orang agar pekerjaan ini selesai dalam sekejab.”
Selesai berkata, Kiai Sambiwaja segera
memberi isyarat kepada Jabung dan kawan-kawannya untuk bergerak.
Demikianlah, sejenak kemudian sepuluh
orang dipimpin oleh Kiai Sambiwaja telah merayap di antara gerumbul-gerumbul
perdu serta batang-batang ilalang yang tumbuh merapat berjajar-jajar di padang
perdu sebelah tanah pekuburan.
Dalam pada itu di kediaman Ki Gede
Menoreh, Sekar Mirah tampak sedang menggendong bayinya sambil berjalan
tergesa-gesa memasuki bilik Ki Rangga Agung Sedayu. Di dalam bilik itu telah
berkumpul Ki Waskita, Kiai Sabda Dadi, Pandan Wangi dan sepasang suami istri
Glagah Putih dan Rara Wulan yang baru saja tiba. Mereka tampak sedang bercanda
dengan gembira menyambut Ki Rangga Agung Sedayu yang telah tersadar dari
pingsannya.
“Inilah yang ditunggu-tunggu!” seru
Pandan Wangi tiba-tiba sambil bangkit dari duduknya begitu Sekar Mirah
melangkah memasuki bilik.
“Ah, betapa lucunya..!” seru Rara
Wulan. Dengan penuh suka cita dia bergegas menyongsong Sekar Mirah. Dengan
tanpa disadarinya kedua tangannya telah terjulur ingin menggendong bayi dalam
pelukan Sekar Mirah.
“Sebentar Rara,” dengan halus Sekar
Mirah menolak sambil tersenyum, “Biarlah Kakang Agung Sedayu melihatnya
terlebih dahulu.”
“Oh..maaf..maaf. Aku sudah tidak sabar
ingin menggendongnya,” desis Rara Wulan dengan wajah bersemu merah. Sementara
orang-orang yang ada di dalam bilik itu justru telah tertawa.
“Agaknya Rara sudah tidak sabar lagi
ingin segera mendapat momongan,” gurau Ki Waskita yang duduk di sebelah Kiai
Sabda Dadi.
Yang mendengar gurauan Ki Waskita
tertawa tergelak. Sedangkan Glagah Putih yang duduk agak di sudut hanya
tersenyum masam. Ketika pandangan matanya kemudian bertemu dengan sepasang mata
istrinya yang kebetulan juga sedang menatapnya, hampir bersamaan keduanya pun
kemudian telah tersenyum.
“Marilah Ki Rangga, aku bantu untuk
duduk,” berkata Kiai Sabda Dadi sambil membantu Ki Rangga yang masih lemah
untuk duduk. Sedangkan Ki Waskita telah menahan punggung Ki Rangga dengan
menggunakan beberapa bantal yang disusun pada sandaran tempat tidur.
“Terima kasih,” desis Ki Rangga Agung
Sedayu perlahan sambil tersenyum.
“Nah,” berkata Kiai Sabda Dadi
kemudian, “Sekarang sebaiknya kita beri kesempatan Ki Rangga untuk
beristirahat. Aku telah meramu obat untuk memperkuat daya tahan tubuh terutama
bagian perut Ki Rangga yang telah lama tidak terisi makanan agar dapat bekerja
kembali seperti sediakala.”
Orang-orang yang ada di dalam bilik itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Walaupun mereka masih ingin bercengkerama
lebih lama lagi dengan Ki Rangga, terutama Sekar Mirah, namun mereka harus
menyadari bahwa Ki Rangga memerlukan pengobatan khusus dari Kiai Sabda Dadi
serta istirahat yang cukup untuk mengembalikan kesehatannya.
Sekar Mirah yang duduk di bibir
pembaringan segera beringsut sambil berkata, “Beristirahatlah Kakang. Biarlah
Bagus Sadewa aku bawa dulu. Nanti kalau Kakang sudah sembuh, Kakang dapat
menggendongnya seharian penuh.”
“Ah,” serentak orang-orang yang berada
di dalam bilik itu tertawa. Sahut Ki Waskita kemudian, “Aku kira Ki Rangga
memerlukan sebuah latihan khusus, karena selama ini Ki Rangga belum pernah
belajar menggendong bayi.”
“Aku kira tidak jauh berbeda dengan apa
yang telah aku lakukan selama ini,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum penuh
arti.
Sejenak orang-orang yang berada di
dalam bilik itu mengerutkan kening. Ternyata Pandan Wangi lah yang tidak dapat
menahan diri, tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Apakah yang
telah Kakang lakukan selama ini?”
“Menggendong ibunya,” jawab Ki Rangga
perlahan.
Segera saja gelak tawa memenuhi bilik
tempat Ki Rangga dirawat. Sementara Sekar Mirah hanya dapat menundukkan
wajahnya sambil tersipu-sipu.
Dalam pada itu, Anjani yang berada di bilik
yang berseberangan dengan bilik Ki Rangga telah mendengar gelak tawa yang
berasal dari dalam bilik Ki Rangga.
“Agaknya Ki Rangga benar-benar telah
menemukan kesadarannya kembali,” berkata Anjani dalam hati, “Alangkah
berbahagianya Nyi Sekar Mirah. Seandainya saja aku dapat bergabung dengan
mereka sekarang ini.”
Untuk sejenak Anjani termenung.
Ingatannya segera kembali pada saat dia diberi tugas oleh Resi Mayangkara untuk
menyadarkan Ki Rangga Agung Sedayu dengan mengetrapkan aji seribu bunga.
“Untunglah aku masih ingat suba sita
dan tidak melanggar tata kesopanan dalam bebrayan ini walaupun sebenarnya
Kakang Agung Sedayu tidak akan menyadari apa yang terjadi di sekitarnya,” desis
Anjani dalam hati, “Seandainya itu benar-benar terjadi, aku tidak akan pernah
memaafkan diriku sendiri dan aku merasa tidak pantas untuk bertemu dengan
Kakang Agung Sedayu kembali.”
Kembali Anjani termenung. Hatinya
benar-benar resah dan gelisah. Dia tidak tahu apa yang akan dikerjakannya di
Tanah Perdikan Menoreh ini. Sebenarnya dia mempunyai banyak pilihan sebagaimana
yang telah ditawarkan oleh Resi Mayangkara, namun ada satu hal yang masih
memberati hatinya dan ingin diungkapkan di hadapan Ki Rangga sendiri jika suatu
saat nanti dia memperoleh kesempatan untuk bertemu berdua saja.
Lamunan Anjani terputus ketika
tiba-tiba saja pintu bilik berderit terbuka. Seorang pembantu perempuan Ki Gede
Menoreh yang rambutnya sudah ubanan memasuki bilik sambil membawa nampan berisi
makanan dan minuman.
Perempuan tua itu tersenyum begitu Anjani
turun dari pembaringan. Sambil meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di
atas meja kayu di sudut bilik, perempuan tua itu pun kemudian berkata,
“Silahkan Nini. Kami telah membuatkan bubur halus ini khusus untuk Nini agar
segera sehat kembali.”
“Terima kasih, Bibi,” jawab Anjani
sambil memegang lengan pembantu perempuan Ki Gede itu, “Jangan terlalu
merepotkan.”
“Ah, tidak,” jawab perempuan tua itu
sambil tersenyum, “Nini adalah tamu di rumah ini. Sudah sewajarnya lah kalau
kami menghormat tamu selagi kami mampu.”
“Terima kasih,” sekali lagi Anjani
menjawab sambil mengantar perempuan tua pembantu rumah Ki Gede itu sampai ke
pintu bilik.
Ketika bayangan perempuan tua itu telah
hilang di balik pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, tiba-tiba
saja pintu bilik Ki Rangga terbuka dan tampak lah Rara Wulan dengan riang
gembira menggendong Bagus Sadewa keluar dari bilik.
“Ayo, mBokayu, kita bawa Bagus Sadewa
ke halaman belakang,” berkata Rara Wulan sambil berjalan bergegas. Kemudian
katanya kepada Glagah Putih yang mengikutinya dari belakang, “Kakang, tolong
ambilkan tikar pandan untuk digelar di bawah pohon jambu air di dekat perigi.”
Glagah Putih yang berjalan di
belakangnya hanya menganggukkan kepala. Sementara Sekar Mirah telah ikut keluar
dari bilik menyusul sepasang suami istri itu yang telah hilang di balik pintu
dapur.
Anjani yang berdiri di dekat pintu
biliknya segera bergeser agak ke dalam agar terhindar dari pengamatan sepasang
suami istri yang belum dikenalnya itu. Ketika Sekar Mirah terlihat ikut keluar
dari bilik, hampir saja dia menyapanya, namun niat itu segera diurungkannya
begitu melihat seorang perempuan paro baya yang terlihat masih cantik melangkah
keluar bilik di belakang Sekar Mirah.
“Nyi Pandan Wangi,” desis Anjani dalam
hati sambil melangkah mundur. Namun usahanya untuk menghindarkan diri dari
pandangan Pandan Wangi ternyata gagal. Pandan Wangi justru telah melihatnya
terlebih dahulu dan melangkah menuju ke biliknya.
Entah perasaan apa yang bergejolak
dalam dadanya begitu menyadari Pandan Wangi telah memasuki bilik. Darah di
sekujur tubuhnya serasa membeku sehingga Anjani hanya diam mematung di
tempatnya berdiri begitu Pandan Wangi menghampirinya.
“Kau belum makan?” pertanyaan itu lah
yang pertama-tama meluncur dari bibir Pandan Wangi begitu dia melihat makanan
dan minuman di atas meja kayu di sudut bilik yang terlihat masih utuh belum
tersentuh sama sekali.
Anjani menarik nafas dalam-dalam untuk
mengurai getar di rongga dadanya. Jawabnya kemudian perlahan, “Aku belum lapar,
mBokayu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Anjani dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dengan tatapan yang
tajam, setajam tatapan mata elang yang sedang mengintai mangsanya.
“Kau memerlukannya untuk mengembalikan
kekuatan tubuhmu agar segar kembali,” berkata Pandan Wangi kemudian tanpa
melepaskan tatapan matanya, “Atau memang Kau memiliki ketahanan tubuh melebihi
orang-orang kebanyakan, itu aku tidak tahu.”
“Ah, itu tidak benar, mBokayu,” jawab
Anjani dengan serta-merta, “Tubuhku memang terasa sangat lemah namun aku tidak
mempunyai selera makan sama sekali.”
“Itu karena Kau terlalu memaksakan diri
untuk mengangkat beban diluar kemampuanmu, diluar jangkauan nalarmu.”
Sebuah desir tajam terasa menggores
jantung Anjani, namun dia berusaha untuk menghilangkan kesan apapun dari
wajahnya. Maka katanya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan, “mBokayu, apakah
Ki Rangga benar-benar telah sadar? Dan apakah keadaannya telah semakin
membaik?”
Kembali sebuah kerut-merut tampak di
kening Pandan Wangi. Jawabnya kemudian, “Ki Rangga baik-baik saja dan sudah
dalam perawatan Kiai Sabda Dadi. Kita yang tidak terlalu berkepentingan, untuk
sementara sebaiknya tidak usah mengganggunya.”
Kembali sebuah desir tajam menggores
jantung perempuan muda berlesung pipit itu. Setelah sejenak mengatur detak
jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak, dengan sedikit menekan
kata-katanya, akhirnya Anjani perlahan berkata, “Aku hanya ingin mengetahui
keadaan yang sebenarnya, agar usahaku dalam melaksanakan tugas yang telah
dibebankan oleh Eyang Resi kepadaku untuk membantu menyadarkan Ki Rangga tidak
sia-sia. Hanya itu, aku hanya melaksanakan sebuah tugas, tidak lebih dan tidak
kurang.”
Sekarang giliran jantung Pandan Wangi
yang berdesir. Namun tidak ada perubahan sama sekali pada raut wajahnya. Puteri
satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu hanya menarik nafas dalam-dalam
sambil berdesis, “Kau memang benar, Anjani. Kau hanya melaksanakan tugas, dan
memang dalam hal ini kita semua hanya bisa berusaha dan berdoa. Yang Maha Agung
lah yang menentukan semua itu.”
Anjani mengangguk-anggukkan kepalanya,
walaupun dia menyadari bahwa kata-kata Pandan Wangi itu seolah-olah mengabaikan
perannya dalam membantu Ki Rangga menemukan kesadarannya kembali. Namun hal itu
tidak menjadikan persoalan dalam hatinya. Maka katanya kemudian, “Marilah,
mBokayu. Kita dapat bercakap-cakap sambil duduk.”
Selesai berkata demikian Anjani segera
melangkah menghampiri sebuah dingklik kayu di dekat pembaringan dan kemudian
mendudukinya.
Sedangkan Pandan Wangi dengan langkah
yang sedikit segan mengambil tempat duduk di dekat meja kayu di sudut bilik.
“Anjani,” berkata Pandan Wangi kemudian
setelah membetulkan letak duduknya, “Apakah sebenarnya yang membawamu sampai ke
Tanah Perdikan Menoreh ini?”
Jantung Anjani yang sudah tenang segera
saja bergejolak kembali. Pertanyaan Pandan Wangi kali ini benar-benar telah
menyudutkannya. Untuk beberapa saat Anjani justru telah terdiam sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Ada sedikit perasaan iba di hatinya. Bagaimana pun juga Pandan Wangi adalah
juga seorang perempuan yang pernah merasa mempunyai harapan yang berlebih
terhadap Ki Rangga Agung Sedayu, dan agaknya kini Anjani akan merasakan
sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Pandan Wangi pada waktu itu, kecewa.
“Anjani,” perlahan Pandan Wangi berkata
sambil memandang tajam ke arah Anjani, “Aku tidak tahu dan tidak mau tahu
tentang latar belakang dirimu dan untuk tujuan apa dirimu datang ke tanah
Perdikan Menoreh ini. Namun ada satu hal yang ingin kusampaikan kepadamu dan
aku harap Kau menyadarinya dengan sepenuh hatimu,” Pandan Wangi berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sedikit banyak Kakang Agung Sedayu telah
bercerita kepadaku tentang dirimu. Namun saat ini aku tidak ingin membuat
sebuah penilaian terhadap dirimu karena memang itu bukan kewenanganku. Yang
ingin kusampaikan kepadamu adalah bahwa Kakang Agung Sedayu adalah suami dari
seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah, dan Sekar Mirah itu adalah adik
iparku karena suamiku, kakang Swandaru adalah kakak kandung Sekar Mirah. Jadi
aku mohon dengan sangat, jauhilah kakang Agung Sedayu. Jangan ganggu keluarga
mereka betapa pun aku menyadari perasaanmu yang paling dalam terhadap Kakang
Agung Sedayu.”
Untuk sejenak Anjani bagaikan membeku
di tempatnya. Dia sama sekali tidak menduga kalau ternyata Pandan Wangi begitu
tega menyampaikan hal yang sangat pribadi itu kepadanya, walaupun Anjani
menyadari hubungan kekeluargaan antara Ki Rangga Agung Sedayu dengan Pandan
Wangi. Namun jauh di lubuk hatinya, Anjani merasa Pandan Wangi tidak mempunyai
hak untuk melarang dirinya mendekati Ki Rangga.
Maka setelah menarik nafas dalam-dalam
terlebih dahulu untuk mengurangi debar di dalam rongga dadanya, akhirnya dengan
kata-kata yang penuh tekanan, Anjani pun menjawab, “Nyi Pandan Wangi, tidak ada
seorang pun di dunia ini yang berhak mengatur perasaan seseorang. Demikian juga
perasaanku kepada Kakang Agung Sedayu. Namun aku menyadari batasan mana yang
tidak boleh aku langgar justru karena aku menyadari bahwa Kakang Agung Sedayu
telah berumah tangga.”
Selarik warna merah tampak membayang di
wajah puteri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Untuk beberapa
saat Pandan Wangi justru telah terdiam. Jauh di dalam lubuk hatinya dia pun mengakui
bahwa tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengatur perasaan seseorang.
Bahkan sampai saat ini pun hatinya masih belum bisa berpaling dari Ki Rangga
Agung Sedayu.
“Pandan Wangi,” demikian terdengar
suara dari dasar hatinya, “Bukankah selama ini dalam mendampingi suamimu
Swandaru Geni Kau hanya menganggap sebagai menjalankan tugas semata yang
dibebankan kepadamu? Kau menganggap semua itu hanya sebagai bentuk tanda
baktimu kepada orang tuamu? Serta selebihnya adalah sebagai sarana untuk
membalas budi kebaikan orang-orang bercambuk yang telah menolong Tanah Perdikan
ini dari kehancuran karena pertikaian antara keluarga sendiri?”
Pandan Wangi berdesah perlahan sambil
menggeleng lemah. Hatinya benar-benar galau. Dia tidak dapat mengingkari suara
hatinya yang tidak bisa berpaling dari bayang-bayang Ki Rangga Agung Sedayu.
Apa yang selama ini dijalaninya adalah lamis, walaupun dengan sepenuh hatinya
dia berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik, namun pada kenyataannya
justru suaminya lah yang telah berpaling kepada perempuan lain.
“Sekar Mirah adalah cinta pertama
kakang Agung Sedayu,” kembali terdengar suara hatinya, “Sedangkan aku adalah
korban sebuah cinta yang tersia-sia. Sebenarnyalah dalam hal ini Kakang Agung
Sedayu tidak dapat dipersalahkan. Akan tetapi mengapa tanggapan kakang Agung
Sedayu pada waktu itu begitu meyakinkan hatiku? Ataukah aku yang terlalu
berperasaan sehingga menanggapi sikap Gupita pada saat itu dengan berlebihan?”
Seolah terbayang kembali di rongga mata
Pandan Wangi saat dirinya dengan Gupita berlari-larian menyelamatkan diri dari
kejaran anak buah Ki Peda Sura. Dengan bergandengan tangan mereka berdua
berlarian di antara pematang sawah dan sesekali meloncati parit-parit yang
cukup lebar. Genggaman tangan Gupita pada saat itu dirasakannya bagaikan
seonggok bara yang panasnya menjalar ke sekujur tubuhnya dan menghangati
hatinya yang selama itu dingin dan beku.
Bulan bulat di langit yang bersinar
dengan cerahnya telah menambah suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga
menjadi semakin cerah dan ceria. Seolah-olah ingin dijelajahinya seluruh
pelosok Tanah Perdikan Menoreh pada malam itu sampai pagi menjelang. Seandainya
saja Gupita tidak mengingatkan tugasnya sebagai prajurit yang bertanggung jawab
penuh atas pasukannya, tentu dirinya lebih senang duduk-duduk berdua saja di
atas pematang yang becek di bawah cerahnya sinar bulan purnama.
“Mungkin aku saja yang telah terjebak
sendiri dalam perasaanku,” berkata Pandan Wangi dalam hati, “Setidaknya pada
waktu itu, kakang Agung Sedayu hanya memainkan perannya sebagai seorang gembala
yang bernama Gupita. Aku yakin, gurunya telah memainkan peran dalam setiap
peristiwa yang terjadi di tanah ini pada saat itu. Kemunculan Gupita yang
tiba-tiba pada saat aku terdesak dalam pertempuran melawan Ki Peda Sura tidak
mungkin terjadi hanya kebetulan saja. Kiai Gringsing tentu sudah dapat mengukur
ketinggian ilmu Ki Peda Sura sehingga dia tidak akan mungkin melepaskan
muridnya begitu saja untuk menghadapi Ki Peda Sura.”
Berpikir sampai disini tiba-tiba saja
wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah kembali. Namun cepat-cepat kesan itu
segera dihilangkan dari wajahnya.
“Alangkah malunya,” desisnya dalam
hati, “Mungkin pada saat itu Kiai Gringsing dari jarak tertentu telah mengikuti
kami berdua yang sedang berlari-larian sepanjang pematang dan meloncati
parit-parit yang berair bening sambil bergandengan tangan.”
“Ah,” tiba-tiba saja tanpa disadarinya
Pandan Wangi telah berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maafkan aku mBokayu,” tiba-tiba suara
Anjani telah membuyarkan lamunannya, “Apakah kata-kataku tadi menyinggung
perasaan mBokayu?”
Pandan Wangi tersenyum, betapapun
pahitnya. Jawabnya kemudian sambil menggeleng, “Tidak ada yang perlu
dipermasalahkan. Aku mohon maaf jika aku terlalu mencampuri urusanmu. Bukan
maksudku untuk menghalangimu berhubungan dengan Ki Rangga, namun apa yang aku
sampaikan hanyalah sebatas saran dan nasihat kepadamu, pandai-pandailah membawa
diri sehubungan dengan keberadaan Ki Rangga yang sudah berumah tangga,” Pandan
Wangi berhenti sejenak. Kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya dia
melanjutkan, “Aku mohon diri, Anjani. Jika Kau memang mempunyai kepentingan
yang mendesak, Kau dapat menjenguk Kakang Agung Sedayu sekarang, selagi masih
ada Kiai Sabda Dadi dan Ki Waskita.”
Selesai berkata demikian, tanpa
menunggu jawaban dari Anjani, Pandan Wangi segera melangkah menuju pintu bilik.
Sementara Anjani dengan tergesa-gesa segera bangkit berdiri dan mengantar
Pandan Wangi sampai ke pintu dengan pertanyaan yang menggumpal di dalam dada.
Mengapa Pandan Wangi menyarankan dirinya untuk bertemu dengan Ki Rangga selagi
di dalam bilik masih ada orang lain? Padahal apa yang ingin disampaikan adalah
urusan pribadi yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Ketika langkah Pandan Wangi hampir saja
mencapai pintu, tiba-tiba saja dia berbalik sambil menatap tajam ke arah
Anjani. Katanya kemudian, “Anjani, kita adalah sama-sama perempuan. Kau tentu
menyadari betapa sakitnya hati seorang perempuan ketika cintanya diduakan. Aku
tidak ingin melihat hati Sekar Mirah terluka, sebagaimana yang pernah terjadi
pada diriku.”
Anjani terkejut mendengar kata-kata
Pandan Wangi. Dengan serta merta dia menyahut, “Maksud mBokayu.?”
“Ah sudahlah. Lupakan saja,” tukas
Pandan Wangi cepat begitu menyadari keterlanjurannya. Kemudian katanya sambil
melangkah keluar bilik, “Makanlah! Usahakan Kau dapat makan walaupun hanya
sesuap nasi dan seteguk air, agar kesehatanmu pulih kembali.”
“Terima kasih mBokayu,” jawab Anjani
sambil mengangguk.
Diikutinya saja langkah Pandan Wangi
yang hilang di balik pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur dengan
pandangan kosong. Terasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik ucapan Pandan
Wangi yang terakhir. Benarkah puteri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu pernah terluka hatinya? Anjani hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sepeninggal Pandan Wangi, Anjani segera
menutup pintu biliknya rapat-rapat namun tidak diselarak dari dalam. Sambil
duduk termenung di tepi pembaringan, angan-angan Anjani pun kemudian melayang.
Bayangan berbagai macam bentuk dan corak telah hilir-mudik dalam benaknya.
Bayangan masa lalunya yang kelam maupun kejadian-kejadian yang baru saja
terjadi atau harapan-harapan yang telah tumbuh dalam hatinya serta angan-angan
dan cita-citanya untuk meraih masa depan.
Dalam pada itu, Kiai Sambiwaja yang
memimpin sepuluh orang murid-murid perguruan Serat Gading sedang merayap di
antara gerumbul-gerumbul perdu serta batang-batang ilalang yang tumbuh merapat
berjajar-jajar yang bersebelahan dengan tanah pekuburan. Dengan gerakan yang
senyap mereka berusaha mendekati para penggali kubur yang sedang melepaskan
lelah dan duduk-duduk di atas gundukan-gundukan tanah.
“Kiai,” bisik Jabung sambil merayap di
sebelah Kiai Sambiwaja, “Aku kira jarak antara kita dengan mereka sudah cukup
dekat. Sebaiknya Kiai segera memberi isyarat kepada kawan-kawan kita untuk
menyerbu.”
“Belum,” jawab Kiai Sambiwaja sambil
merunduk di sebelah gerumbul perdu yang cukup lebat, “Kita maju beberapa
langkah lagi. Dengan demikian kita dapat menyelesaikan pekerjaan kita dengan
sekali loncat.”
Jabung tidak menjawab. Bagaimana pun
juga debar jantungnya telah berpacu kencang walaupun dalam perhitungannya lawan
yang akan dihadapi tidak lebih dari para penggali kubur.
Sejenak kemudian, ketika terdengar
suara jengkerik yang cukup keras dari balik sebuah gerumbul, tiba-tiba saja
dari gerumbul-gerumbul yang berserakan di sebelah tanah pekuburan itu telah
bermunculan murid-murid perguruan Serat Gading dengan menggenggam senjata
telanjang.
Bagaikan burung-burung sikatan yang
beterbangan di padang ilalang, mereka segera berloncatan menerjang para
penggali kubur itu tanpa ampun.
Namun alangkah terkejutnya para murid
perguruan Serat Gading itu begitu senjata-senjata mereka terayun deras, dengan
sangat cekatan orang-orang yang mereka sangka sebagai penggali kubur itu hampir
bersamaan telah berguling menjauh. Demikian mereka melenting berdiri, di tangan
kanan mereka telah tergenggam senjata masing-masing.
“Gila!” geram Kiai Sambiwaja, “Siapakah
kalian sebenarnya?”
“Siapa kami itu tidak penting,” jawab
seorang yang berdiri paling dekat dengan Kiai Sambiwaja, “Menyerahlah! Kalian
pasti sisa-sisa pengikut Panembahan Cahya Warastra yang tidak mau melihat
kenyataan.”
“Persetan!” teriak Kiai Sambiwaja.
Kemudian perintahnya kepada murid-murid Serat Gading, “Bunuh semua orang gila ini!”
Demikianlah akhirnya telah pecah
pertempuran yang dahsyat di atas tanah pekuburan itu. Kiai Sambiwaja menjadi
terheran-heran dan tidak habis pikir, justru pada benturan pertama pasukan
kecilnya telah terdesak hebat.
“Setan, Gendruwo, Tetekan..!” umpat
Kiai Sambiwaja sambil menghindari terjangan lawannya, seorang yang sudah cukup
berumur dengan bersenjatakan sebuah keris luk sebelas.
“Perlawanan kalian sia-sia saja,”
berkata orang yang sudah cukup berumur itu sambil mendesak lawannya, “Menyerah
sajalah. Mungkin Ki Patih Mandaraka akan mempunyai sedikit pertimbangan untuk
mengampuni kalian.”
“Tutup mulutmu, iblis..!” geram Kiai
Sambiwaja sambil berloncatan menghindar. Lawannya benar-benar tidak memberi
kesempatan sedikitpun untuk mengambil jarak. Serangannya datang membadai
susul-menyusul bagaikan ombak yang menghantam karang di bibir pantai yang
terjal.
Beberapa langkah dari Kiai Sambiwaja,
Jabung dan kawan-kawannya benar-benar harus berjuang keras untuk menahan
gempuran orang-orang yang mereka sangka sebagai penggali kubur itu. Gerakan
mereka begitu tangkas dan cekatan serta bergerak dalam satu irama yang
membingungkan sehingga murid-murid Serat Gading itu harus bertahan mati-matian.
“Siapakah mereka ini sebenarnya?” geram
Jabung dalam hati sambil menunduk menghindari sambaran senjata lawannya. Belum
sempat Jabung menilai keadaan lawannya, sebuah tendangan keras meluncur ke arah
dadanya.
Jabung tidak mau mengambil keputusan
gegabah dengan meloncat mundur atau pun menggeser tubuhnya selangkah. Namun apa
yang dilakukan Jabung adalah memotong serangan kaki lawannya dengan tebasan
senjatanya.
Ternyata tendangan keras ke arah dada
itu hanyalah sebuah pancingan. Dengan cepat lawannya menarik kakinya, sebagai
gantinya senjatanya justru telah menyambar pundak.
Terdengar umpatan keras dari mulut
Jabung. Dengan tergesa-gesa dia segera melompat ke belakang sambil meraba
pundak kanannya. Terasa sesuatu yang cair dan hangat telah membasahi telapak
tangan kirinya, darah.
“Gila!” umpat Jabung dengan mata nanar
memandang ke arah lawannya yang tegak berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Kelihatannya lawannya sengaja membiarkan Jabung untuk menilai keadaan dengan
tidak melancarkan serangan susulan.
“Setiap tetes darah tebusannya adalah
nyawa!” geram Jabung dengan gigi bergemeretakan.
“Silahkan Ki Sanak,” jawab lawannya
tenang, “Namun sebaiknya Ki Sanak segera menyadari keadaan yang sebenarnya.
Menyerahlah! Kami prajurit Mataram tidak akan memperlakukan para tawanan dengan
semena-mena justru karena kami telah terikat kepada sebuah paugeran yang harus
kami junjung tinggi.”
“He!” seru Jabung hampir berteriak,
“Jadi kalian adalah para prajurit Mataram?!”
Beberapa orang yang mendengar teriakan
Jabung menjadi berdebar-debar. Apalagi Kiai Sambiwaja yang bertempur hanya
beberapa langkah saja dari Jabung segera menyadari keadaan yang sebenarnya,
bahwa mereka ternyata telah salah dalam menilai kekuatan orang-orang yang
mereka sangka hanya sebagai penggali kubur.
Berpikir sampai di situ, Kia Sambiwaja
segera memutuskan untuk meminta bantuan kepada Ki Ajar Serat Gading beserta
murid-muridnya yang masih bersembunyi di hutan. Sejenak kemudian segera saja
terdengar suara suitan nyaring yang memekakkan telinga dua kali berturut-turut
membelah udara pagi.
Dalam pada itu, Ki Ajar Serat Gading
beserta murid-muridnya yang masih menunggu di dalam hutan menjadi gelisah. Dari
kejauhan mereka hanya dapat menyaksikan pertempuran yang sengit di atas tanah
pekuburan tanpa dapat menilai keseimbangan pertempuran itu sendiri.
Sebenarnyalah Ki Ajar telah mengetrapkan
aji sapta pandulu untuk menilai pertempuran yang sedang berlangsung. Namun
pengenalannya atas kemampuan orang-orang yang dia sangka sebagai penggali kubur
itu ternyata telah mendebarkan jantung.
“Siapakah sebenarnya mereka itu?” geram
Ki Ajar sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, “Mengapa Kiai Sambiwaja
memerlukan waktu sekian lama hanya untuk membunuh cecurut-cecurut itu?”
Namun yang terjadi kemudian adalah
benar-benar diluar perhitungan Ki Ajar. Dua kali suitan berturut-turut dari
Kiai Sambiwaja telah menjawab semua pertanyaan yang selama ini menghentak dada.
Ternyata Kiai Sambiwaja beserta sepuluh orang murid perguruan Serat Gading
tidak mampu mengatasi orang-orang yang mereka sangka sebagai penggali kubur
itu.
“Marilah,” berkata Kiai Serat Gading
kemudian begitu suara suitan itu menghilang, “Agaknya kita memang harus
mengeluarkan sedikit keringat untuk membuat jebakan bagi Ki Juru dan Mas
Rangsang.”
Selesai berkata demikian, Ki Ajar
berserta murid-muridnya segera bergerak keluar dari hutan. Mereka tidak perlu
lagi bergerak dengan sembunyi-sembunyi. Dengan mengeluarkan teriakan seperti
para pemburu yang sedang mengejar seekor pelanduk, mereka berlari-larian di
antara gerumbul- gerumbul dan semak belukar sambil mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi.
Para penggali kubur yang ternyata
adalah para prajurit Mataram itu sangat terkejut ketika mendapati
berpuluh-puluh orang berlari-larian menerjang gerumbul dan semak belukar menuju
ke arah tanah pekuburan sambil menghunus senjata yang tampak berkilat-kilat
mendebarkan jantung ditimpa sinar Matahari pagi.
“Ki Lurah!” prajurit yang bertempur
menghadapi Jabung segera berteriak ke arah lawan Kiai Sambiwaja, seorang yang
sudah cukup berumur dengan bersenjatakan sebilah keris luk sebelas.
Yang dipanggil Ki Lurah hanya
tersenyum. Dengan sebuah isyarat dia segera memerintahkan seorang prajurit yang
sedang bertempur beberapa langkah di samping kirinya. Agaknya prajurit itu
segera tanggap. Dengan segera dia melompat ke belakang sejauh-jauhnya untuk
mengambil jarak. Ketika lawannya kemudian mencoba memburunya, seorang prajurit
yang lain segera menghadangnya, sehingga prajurit itu untuk sementara telah
menghadapi dua orang lawan sekaligus.
Dua orang murid perguruan Serat Gading
yang melawannya mencoba untuk menekan dengan menyerang dari arah yang
berlawanan. Namun dengan tangkasnya prajurit itu dapat menghindari kedua
serangan itu dengan sempurna. Justru beberapa saat kemudian, serangannya lah
yang datang membadai menerjang kedua lawannya.
Dalam pada itu prajurit yang telah
terbebas dari lawannya segera mengambil busur dan anak panah yang dengan
sengaja telah mereka sembunyikan di dalam lubang-lubang galian. Sejenak
kemudian, sekali lagi udara pagi telah digetarkan oleh bunyi panah sendaren
yang meraung-raung di langit padukuhan induk.
Ki Patih Mandaraka yang berjalan
beriringan bersama Raden Mas Rangsang dan Ki Gede Menoreh mengerutkan
keningnya. Tanpa sesadarnya dia menoleh ke belakang. Tampak Ki Tumenggung
Surayudha yang berjalan di samping Ki Jayaraga telah menganggukkan kepala
sambil tersenyum ke arahnya.
“Agaknya perhitunganmu tentang
orang-orang tak dikenal itu benar-benar terjadi, Ki Tumenggung,” berkata Ki
Patih kemudian sambil memperlambat langkahnya.
Ki Tumenggung Surayudha segera
mempercepat langkahnya. Sambil menjajari langkah Ki Patih, katanya kemudian,
“Hamba Ki Patih. Kami telah menempatkan sepuluh orang prajurit dari kesatuan
Jalamangkara di bawah pimpinan Ki Lurah Upasanta yang menyamar sebagai penggali
kubur.”
Ki Patih Mandaraka tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Sementara mereka yang mendengar nama Ki Lurah Upasanta disebut telah ikut
tersenyum. Ki Lurah Upasanta adalah salah satu cucu dari Ki Patih Mandaraka.
“Apakah rombongan orang-orang tak
dikenal itu termasuk perguruan-perguruan yang sedianya akan membantu Panembahan
Cahya Warastra?” bertanya Ki Patih selanjutnya.
“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung
Surayudha, “Sejak rombongan orang-orang tak dikenal itu menyeberangi kali Praga
menjelang tengah malam tadi, para prajurit sandi terus memantau pergerakan
mereka dan telah memberikan laporan secara berkala kepada kami,” Ki Tumenggung
berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya, “Menilik pergerakan mereka yang langsung
menuju Tanah Perdikan Menoreh, memang dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
mereka sedianya akan bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra.”
“Ma’af Ki Tumenggung,” tiba-tiba Ki
Argapati yang sedari tadi hanya menjadi pendengar memotong, “Apakah para
prajurit sandi dapat memberikan gambaran tentang mereka? Maksudku ciri-ciri
yang mereka kenakan dapat menunjukkan dari mana asal perguruan mereka?”
Ki Tumenggung menggeleng, “Tidak Ki
Gede. Para prajurit sandi hanya melakukan pengamatan dari jarak yang cukup jauh
sehingga agak sulit mengenal ciri-ciri yang mereka pergunakan.”
“Kalau pengamatan mataku yang sudah tua
dan rabun ini tidak salah, mereka sepertinya sisa-sisa perguruan Nagaraga yang
telah dihancurkan Mataram beberapa saat yang lalu pada saat pemerintahan
Panembahan Senapati,” tiba-tiba saja Ki Patih Mandaraka berkata perlahan namun
cukup mengagetkan orang-orang yang mendengarnya.
“Perguruan Nagaraga?” beberapa mulut
telah mengulang nama perguruan yang telah lama tenggelam itu.
“Ya,” sahut Ki Patih sambil terus
mengayunkan langkahnya mengikuti irama langkah orang-orang yang berbondong-bondong
mengantarkan jenasah-jenasah itu menuju peristirahatan mereka yang terakhir.
“Ampun, Ki Patih,” Ki Tumenggung segera
mengajukan pertanyaan, “Para prajurit sandi belum melaporkan siapakah
sebenarnya mereka itu. Hamba mohon petunjuk seandainya Ki Patih telah mendapat
laporan terlebih dahulu.”
Ki Patih tersenyum. Jawabnya kemudian,
“Tadi pagi ketika kita sedang berkumpul di banjar padukuhan induk, ada salah
satu orang yang sangat menarik perhatianku. Dia berbaur dengan para keluarga
korban dan penghuni padukuhan induk yang sudah kembali. Namun dari panggraitaku
aku dapat menangkap sesuatu kekuatan yang sangat mengerikan dari orang itu.
Sebuah getaran yang nggegirisi terpancar dari sebilah keris yang terselip di
ikat pinggangnya.”
“Sebilah keris?” tanpa sadar Raden Mas
Rangsang yang berjalan di sebelah kiri Ki Patih berdesis.
“Ya, Cucunda Buyut. Getaran itu sama
dengan getaran yang pernah aku rasakan pada saat aku menyimpan keris yang
dibawa oleh salah satu murid perguruan Nagaraga yang berhasil memasuki bilik
peraduan Panembahan Senapati.”
“Keris Kiai Sarpasri..!” tiba-tiba Ki
Gede Menoreh berseru tertahan.
“Ya Ki Gede, keris Kiai Sarpasri yang
telah hilang dengan sendirinya ketika aku menyimpannya.”
Orang-orang yang mendengar keterangan
Ki Patih menjadi berdebar-debar. Jika apa yang telah diraba oleh kemampuan
panggraita Ki Patih itu benar, berarti lawan yang akan dihadapi tidak dapat
dipandang dengan sebelah mata.
“Bagaimana dengan panah sendaren itu?”
bertanya Ki Patih kemudian ketika rombongan pengantar jenasah itu hampir
mencapai regol padukuhan induk yang telah roboh.
“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung
Surayudha, “Telah kami tempatkan enam puluh prajurit di belakang dinding
padukuhan induk di bawah pimpinan Ki Lurah Mandurareja. Dengan adanya isyarat
bunyi panah sendaren itu, sekarang mereka tentu telah bergerak menuju ke medan
pertempuran untuk membantu permasalahan yang mungkin timbul kemudian.”
Kembali sebuah senyuman menghiasi bibir
Ki Patih Mandaraka. Ki Lurah Mandurareja adalah kakak dari Ki Lurah Upasanta
yang juga merupakan cucu dari Ki Patih Mandaraka.
Dalam pada itu, Ki Ajar Serat Gading
dan murid-muridnya telah mencapai tanah pekuburan. Dengan teriakan yang gegap
gempita mereka segera membantu Kiai Sambiwaja dan kawan-kawannya yang sedang
dalam kesulitan.
Namun belum sempat Kiai Sambiwaja
menarik nafas lega dengan adanya bantuan dari Ki Ajar dan murid-muridnya,
mereka yang sedang bertempur di atas tanah pekuburan itu dikejutkan oleh sorak
sorai yang membahana dari arah padukuhan induk. Sejenak kemudian tampak
sepasukan prajurit di bawah pimpinan seorang Lurah Wira Tamtama sedang
berlari-larian menuju ke medan pertempuran dalam gelar Glathik neba.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama,
prajurit di bawah pimpinan Ki Lurah Mandurareja telah tiba di medan
pertempuran. Mereka segera menyesuaikan diri dengan keadaan medan.
“Marilah Ki Sanak,” berkata Ki Lurah
Mandurareja sesampainya di depan Ki Ajar Serat Gading yang berdiri
termangu-mangu dengan wajah yang tegang, “Menilik sikap dan umur Ki Sanak, Ki
Sanak adalah pemimpin dari kelompok ini. Lebih baik Ki Sanak segera mengambil
keputusan untuk menyerah agar dapat kita hindari jatuhnya korban yang sia-sia.”
“Aku tidak sudi berbicara dengan
cecurut-cecurut!” geram Ki Ajar Serat Gading, “Mana Ki Juru Martani? Katakan
padanya, keturunan perguruan Nagaraga siap membalas dendam atas perlakuan
Panembahan Senapati terhadap leluhur kami beberapa puluh tahun yang lalu.”
Ki Lurah Mandurareja mengerutkan
keningnya. Nama perguruan Nagaraga memang pernah didengarnya dari cerita
Eyangnya, Ki Patih Mandaraka. Maka jawabnya kemudian, “Aku sudah mendengar
tentang perguruan Nagaraga yang telah dibasmi dari muka bumi pada jaman
Panembahan Senapati. Perguruan itu memang pantas menerima hukuman dari Mataram
pada waktu itu karena telah berani mencoba membunuh pemimpin tertinggi
Mataram.”
“Omong kosong!” bentak Ki Ajar Serat
Gading, “Mataram memang pantas dihukum karena telah lancang melampaui
kewenangan Panembahan Madiun sebagai pewaris yang sah dari keturunan Sultan Demak.”
Ki Lurah Mandurareja menarik nafas
dalam-dalam. Persoalan trah itulah yang dari jaman ke jaman selalu
dipersoalkan, padahal kenyataannya wahyu kedaton memang telah bergeser.
“Sudahlah, Ki Sanak,” akhirnya Ki Lurah
Mandurareja berkata, “Kita harus melihat kenyataan. Sesuai dengan ramalan
seorang Wali yang waskita, keturunan Demak memang akan berakhir pada
pemerintahan Sultan Pajang sebagai menantu Sultan Trenggana. Sebagai gantinya,
bumi Mataram diramalkan akan merajai tanah Jawa.”
“Persetan dengan Mataram!” kembali Ki
Ajar Serat Gading membentak, “Sebentar lagi Mataram akan runtuh karena
Kadipaten-Kadipaten di bang wetan tidak mau tunduk kepada Mataram dan telah
bersatu-padu untuk suatu saat menggempur Mataram.”
“Jangan berangan-angan terlalu jauh Ki Sanak,”
potong Ki Lurah Mandurareja, “Hadapilah kenyataan dengan pikiran yang jernih.
Kalian kalah jumlah. Sebentar lagi pasukan segelar sepapan yang sedang
beristirahat di padukuhan induk akan datang ke medan pertempuran ini dan kalian
akan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.”
“Aku tidak peduli!” geram Ki Ajar, “Aku
tantang Ki Juru Martani untuk berperang tanding kalau memang orang dari Sela
itu masih mempunyai sedikit harga diri.”
“Ki Sanak,” berkata Ki Lurah
Mandurareja kemudian, “Kita sedang dalam sebuah pertempuran. Kita bertempur
dalam satu kesatuan utuh, jadi buang saja mimpimu itu untuk dapat berperang
tanding dengan Eyang Patih.”
“He!” seru Ki Ajar dengan wajah yang
semakin tegang, “Mengapa Kau menyebut orang dari Sela itu Eyang? Apakah Kau
masih termasuk cucunya?”
Ki Lurah Mandurareja tersenyum.
Jawabnya kemudian sambil menganggukkan kepalanya, “Aku memang cucu Ki Patih
Mandaraka. Nah, apa kata Ki Sanak sekarang? Ki Sanak tidak perlu bersusah payah
untuk mencari Eyang Patih, cukup aku saja sebagai cucunya yang akan menghadapi
Ki Sanak.”
Sejenak Ki Ajar mengerutkan keningnya.
Namun yang terdengar kemudian adalah suara tertawanya yang meledak memenuhi
udara medan pertempuran di tanah pekuburan itu.
Begitu suara tertawanya mereda, Ki Ajar
Serat Gading segera membentak keras, “Minggirlah! Aku masih mempertimbangkan
untuk membunuhmu. Aku tidak mau merendahkan diriku dan mengotori tanganku hanya
untuk sekedar membunuh seekor cecurut. Agaknya rencanaku tidak berjalan
sebagaimana mestinya,” Ki Ajar berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke
arah regol padukuhan induk yang telah roboh dia melanjutkan kata-katanya,
“Lihatlah! Agaknya ada beberapa orang yang tertarik dengan pertempuran kecil
ini. Aku melihat orang yang selama ini aku cari ada diantara mereka yang
mendatangi tempat ini.”
Dengan sedikit ragu-ragu namun tidak
melepaskan kewaspadaan, Ki Lurah Mandurareja segera berpaling ke arah padukuhan
induk. Tampak rombongan pengantar jenasah itu telah berhenti beberapa tombak di
depan regol padukuhan induk yang telah roboh. Sementara Ki Patih Mandaraka dan
Raden Mas Rangsang didampingi oleh orang-orang tua dan sepasukan prajurit
pengawal kepatihan sedang berlari-larian menuju ke tempat itu.
“Eyang Patih dan Raden Mas Rangsang,”
tanpa sesadarnya Ki Lurah Mandurareja berdesis perlahan.
“Nah, Eyangmu telah datang mencari
jalan kematiannya sendiri,” berkata Ki Ajar Serat Gading sambil tertawa
tertahan, “Minggirlah! Lebih baik Kau kembali ke rumah untuk mencari
perlindungan di balik pinjung biyungmu.”
Merah padam wajah Ki Lurah Mandurareja
mendengar ejekan lawannya. Namun sebelum dia menjawab, terdengar gemerisik
langkah-langkah kaki yang mendekat dari arah belakang. Ketika Ki Lurah kemudian
berpaling ke belakang, rombongan Ki Patih ternyata telah tiba di tanah
pekuburan itu.
Dengan tergesa-gesa Ki Patih pun segera
mendekati Ki Lurah dan berkata dengan nada yang dalam dan penuh wibawa,
“Cucunda, biarlah Eyangmu saja yang menemani orang ini. Agaknya dia memerlukan
kawan berbincang-bincang yang sepadan.”
Menyadari bahwa Eyangnya tentu telah
mempunyai perhitungan yang matang tentang kemampuan lawannya, sambil menarik
nafas dalam-dalam untuk meredakan getaran di dalam rongga dadanya, Ki Lurah
Mandurareja pun kemudian segera bergeser ke samping sambil menjawab, “Ampun
Kanjeng Eyang Patih, cucunda hanya berusaha menemaninya sejenak sambil menunggu
kehadiran Eyang Patih. Untuk selanjutnya terserah kepada Eyang, cucunda sudah
tidak mempunyai kepentingan lagi dengan orang ini.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki Ajar Serat
Gading menggelegar, “Nyawamu sudah berada di ujung ubun-ubun masih
menyombongkan diri. Kalau tidak karena belas kasihanku, tentu tubuhmu sudah
terbujur tak bernyawa di tanah pekuburan ini.”
“Sudahlah, Mandurareja,” sela Ki Patih
sambil maju beberapa langkah lagi begitu melihat cucunya akan menanggapi
kata-kata Ki Ajar, “Bantulah saudaramu. Usahakan tidak banyak korban yang jatuh
dengan sia-sia. Mereka harus melihat kenyataan bahwa jumlah dan kekuatan mereka
jauh di bawah para prajurit Mataram. Perlakukan mereka dengan baik jika mereka
memutuskan untuk menyerah.”
“Sendika Eyang,” jawab Ki Lurah
Mandurareja sambil bergeser mundur. Sementara Ki Ajar hanya dapat memandangnya
dengan tatapan mata yang penuh dengan kemarahan.
“Ki Sanak,” berkata Ki Patih kemudian
setelah Ki Lurah Mandurareja meninggalkan tempat itu, “Siapakah Ki Sanak ini
dan apakah hubungan ki Sanak dengan Panembahan Cahya Warastra?”
Sejenak Ki Ajar tidak menjawab.
Dipandanginya Ki Patih yang berdiri di hadapannya. Kemudian pandangan matanya
beralih kepada Raden Mas Rangsang yang berdiri dua langkah di belakang Ki Patih
diapit oleh Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga. Sementara Ki Tumenggung Surayudha
berdiri agak jauh sambil mengamati keadaan medan pertempuran secara
keseluruhan.
“Persetan dengan orang yang menyebut
dirinya Panembahan Cahya Warastra!” geram Ki Ajar beberapa saat kemudian sambil
memandang penuh kebencian kepada Ki Patih, “Aku datang jauh-jauh dari lereng
gunung Lawu hanya untuk menuntaskan dendam yang setinggi gunung dan sedalam
lautan. Hari ini semua orang yang hadir di perdikan Menoreh ini akan menjadi
saksi. Aku, Ki Ajar Serat Gading keturunan perguruan Nagaraga akan menghapus
nama Juru Mertani dari muka bumi ini untuk selamanya melalui sebuah perang
tanding yang jantan,” Ki Ajar berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Taruhannya
adalah Mas Rangsang. Karena aku memang akan memusnahkan seluruh keturunan
Mataram sebagai balasan atas tindakan Panembahan Senapati yang telah
menghancurkan perguruan Nagaraga beberapa tahun yang lalu.”
Ki Patih Mandaraka sejenak mengerutkan
keningnya. Tanpa sadar dia berpaling ke belakang memandang ke arah Raden Mas
Rangsang. Namun cucu Panembahan Senapati itu sama sekali tidak terlihat gentar
ataupun gelisah.
“Ki Ajar,” jawab Ki Patih kemudian, “Ki
Ajar harus melihat kenyataan. Sebentar lagi pasukanmu tidak akan berdaya
menghadapi pasukan Mataram. Lebih baik Ki Ajar menyuruh mereka menyerah agar
kita dapat mengurangi jatuhnya korban yang sia-sia.”
“Aku tidak peduli!” geram Ki Ajar, “Aku
tantang Ki Juru untuk berperang tanding secara jantan. Kita tidak terikat lagi
dengan pasukan kita masing-masing. Yang ada adalah Juru Mertani dan Ajar Serat
Gading. Kita akan berperang tanding secara jujur dan jantan dengan Mas Rangsang
sebagai taruhan.”
“Mengapa Ki Ajar menentukan Mas
Rangsang yang harus sebagai taruhan?” bertanya Ki Patih.
“Bukankah sudah aku katakan tadi, itu
sebagai balasan atas penghinaan Panembahan Senapati yang telah menghancurkan
padepokan Nagaraga.”
“Itu tidak adil,” potong Ki Patih, “Di
pihak kami, Ki Ajar meminta Raden Mas Rangsang sebagai taruhan. Bagaimana
dengan pihak Ki Ajar sendiri? Apakah yang dapat kami peroleh seandainya kami
berada di pihak yang menang?”
Tanpa berpikir panjang Ki Ajar
meloloskan keris pusakanya yang masih berada dalam warangkanya dengan tangan
kanannya. Sambil mengangkat keris pusaka itu tinggi-tinggi ki Ajar pun berkata
lantang, “Kanjeng Kiai Sarpasri sebagai taruhanku selain nyawaku sendiri.
Perang tanding ini akan berakhir sampai salah satu dari kita terbujur menjadi
mayat. Selanjutnya yang keluar sebagai pemenang berhak untuk mendapatkan
taruhannya.”
Ki Patih menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Ki Ajar, kami merasa berada di
pihak yang dirugikan. Maksudku taruhan dari perang tanding itu tidak sepadan.
Bagaimana mungkin Raden Mas Rangsang hanya dihargai dengan sebilah keris? Aku
tidak bersedia menerima perang tanding ini. Lebih baik Ki Ajar segera
menyerahkan diri. Kami akan mempertimbangkan hukuman yang paling ringan bagi Ki
Ajar jika Ki Ajar dapat menyadari kesalahan Ki Ajar selama ini dan berjanji
untuk bersetia kepada Mataram.”
“Tutup mulut iblismu!” bentak Ki Ajar
dengan suara menggelegar, “Aku sudah menyangka bahwa Ki Patih Mandaraka yang
tersohor itu memang hanya pandai bersilat lidah namun tidak mempunyai kemampuan
sama sekali. Dan selebihnya, orang dari Sela memang terkenal sangat pengecut
dan licik,” Ki Ajar berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Masih ingat
peristiwa terbunuhnya Adipati Harya Penangsang? Adipati yang sakti mandraguna
itu tewas karena ulah licik dan tipu muslihat dari orang yang bernama Juru
Mertani. Bagaimana mungkin kuda tunggangan Loring Pasar pada waktu itu justru
kuda betina yang dipotong ekornya? Bukan kuda jantan yang gagah dan perkasa?
He! Coba katakan kepadaku, adakah selama ini orang yang pergi berperang itu
menunggang seekor kuda betina?”
Selarik warna merah sekilas membayang
di wajah Ki Patih Mandaraka. Namun sesepuh Mataram itu segera mampu menguasai
keadaan. Jawabnya kemudian, “Memang pada waktu itu banyak orang yang mencela
mengapa Jebeng Loring Pasar aku suruh mengendarai kuda betina, bukan kuda
jantan yang tangguh? Jawabannya sangat sederhana, tidak ada aturan dalam sebuah
peperangan harus menggunakan tunggangan berupa kuda jantan, demikian juga tidak
ada larangan untuk menggunakan tunggangan kuda betina. Jadi pada saat itu aku
memutuskan Jebeng Loring Pasar lebih baik menggunakan tunggangan kuda betina
saja.”
“Tetapi mengapa ekor kuda itu harus dipotong?”
“O, tidak, tidak. Ekor kuda itu tidak
dipotong, hanya digulung ke atas agar memudahkannya dalam bergerak.”
“Omong kosong!” teriak Ki Ajar
menggelegar dengan lambaran aji gelap Ngampar sehingga seolah-olah bumi yang
dipijak ikut terguncang, “Semua orang tahu itu adalah akal licikmu untuk
mempengaruhi kuda tunggangan Adipati Jipang yang terkenal garang, Kiai Gagak
Rimang, sehingga kuda itu menjadi liar tak terkendali yang menyebabkan Adipati
Jipang kehilangan kendali atas tunggangannya.”
“Sudahlah Ki Ajar,” sahut Ki Patih
mencoba mengalihkan pembicaraan, “Peristiwa itu sudah lama berlalu. Apapun yang
terjadi, pertikaian antar keluarga itu memang patut disesalkan. Sekarang
marilah kita berbicara demi kepentingan negeri ini, negeri yang harus kita jaga
bersama agar dapat kita wariskan kepada anak cucu kita dalam keadaan yang lebih
baik.”
“Persetan dengan segala omong kosong
itu!” geram Ki Ajar, “Tekatku sudah bulat, keturunan Panembahan Senapati harus
tumpas walaupun untuk itu aku sendiri akan menjadi bebanten, namun trah yang
berhak atas negeri ini harus diluruskan. Keturunan Sultan Demak harus kembali
merajai tanah Jawa.”
Kembali Ki Patih menarik nafas panjang.
Dalam benak Ki Patih terlintas sebuah dugaan bahwa Ki Ajar ini ada
kemungkinannya tidak berdiri sendiri. Mungkin ada sebuah kekuatan besar yang
masih tersembunyi dan berada di balik semua peristiwa ini. Sedangkan Ki Ajar
beserta murid-muridnya hanyalah sebagai pancingan untuk menentukan
langkah-langkah berikutnya.
“Mengapa Ki Ajar menyebut trah Sultan
Demak? Ada hubungan apakah Ki Ajar dengan keturunan Raden Patah itu?” tiba-tiba
pertanyaan Ki Patih telah mengguncang dada pemimpin perguruan Serat Gading itu.
Untuk sejenak Ki Ajar Serat Gading
membeku. Ada sedikit penyesalan atas keterlanjurannya menyebut trah Sultan
Demak. Namun semua itu sudah terlanjur diucapkan, tidak akan mungkin untuk
ditarik kembali.
“Sudahlah Ki Patih,” jawab Ki Ajar
kemudian dengan suara lantang, “Jangan mencoba membelokkan permasalahan. Sekali
lagi aku tantang Ki Patih untuk berperang tanding, dengan ataupun tanpa taruhan
karena taruhan yang utama adalah nyawa kita masing-masing.”
“Bagus, aku setuju,” jawab Ki Patih
cepat begitu dia menyadari tidak ada jalan lain untuk menghentikan Ki Ajar
Serat gading yang keras kepala itu, “Perang tanding ini tidak melibatkan
siapapun dan tidak untuk mempertaruhkan apapun selain nyawa kita
masing-masing.”
“Terima kasih Ki Patih telah sudi
menerima tantanganku” berkata Ki Ajar sambil tersenyum penuh kemenangan.
Seolah-olah sudah terbayang dalam rongga matanya, orang kedua di Mataram itu
akan terkapar tak berdaya terkena kedahsyatan keris pusaka Kanjeng Kiai
Sarpasri.
Dalam pada itu, pertempuran tampaknya
hampir berhenti. Di sana sini tampak murid-murid perguruan Serat Gading yang
sebagian besar telah menjadi tawanan karena tidak berdaya menghadapi para
prajurit Mataram yang kekuatannya dua kali lipat. Sementara beberapa orang
telah terluka bahkan menjadi korban pertempuran di atas tanah pekuburan itu.
Hanya tersisa satu lingkaran pertempuran yang masih berlangsung dengan
sengitnya, pertempuran antara Ki Lurah Upasanta melawan Kiai Sambiwaja.
“Sudahlah,” berkata Ki Lurah Upasanta
sambil merunduk menghindari sambaran senjata lawannya, “Kau harus melihat
kenyataan Ki Sanak. Kawan-kawanmu sudah tidak berdaya semua. Sebagian telah
terluka bahkan mungkin ada yang terbunuh. Sisanya telah menyerah. Sebaiknya Ki
Sanak segera mengikuti jejak mereka.”
“Tutup mulutmu!” bentak Kiai Sambiwaja
sambil meningkatkan serangannya. Dengan derasnya senjata yang tergenggam di
tangannya membabat lambung Ki Lurah Upasanta.
Ki Lurah yang menyadari lawannya
semakin waringuten segera menghentakkan tenaga cadangannya untuk mengimbangi
tandang lawannya.
Dalam pada itu di kediaman Ki Gede
Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu terlihat semakin segar setelah mendapat obat
dari Kiai Sabda Dadi. Ketika seorang pelayan menghidangkan semangkuk bubur yang
sangat halus dan cair serta minuman hangat, dengan dibantu Kiai Sabda Dadi,
perlahan-lahan Ki Rangga Agung Sedayu pun untuk pertama kalinya setelah tidak
sadarkan diri beberapa lama mulai menyuapi mulutnya dengan makanan dan minuman.
“Sebaiknya jangan terlalu dipaksakan
dulu,” berkata Ki Waskita yang sedari tadi mengamati Kiai Sabda Dadi membantu
menyuapi Ki Rangga, “Agaknya selera makan Ki Rangga memang belum pulih seperti
sediakala.”
Kiai Sabda Dadi tersenyum mendengar
ucapan Ki Waskita. Katanya kemudian sambil mengakhiri suapannya ke mulut Ki
Rangga, “Ini yang terakhir Ki Rangga. Sebaiknya memang jangan terlalu banyak
dulu. Aku tahu Ki Rangga sama sekali belum berselera untuk makan banyak. Namun
aku percaya, setelah obat yang Ki Rangga telan bekerja beberapa saat lagi,
lambat laun selera makan Ki Rangga akan kembali.”
“Terima kasih Kiai,” jawab Ki Rangga
sambil berusaha menelan makanan terakhir di dalam mulutnya. Betapa pun
sulitnya.
“Nah sekarang sebaiknya kita
meninggalkan Ki Rangga sendirian agar dapat beristirahat dengan tenang,”
berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil mengemasi peralatan makan yang telah
digunakan dan meletakkan kembali di atas meja di sudut bilik.
“Aku akan ke padukuhan induk,” berkata
Ki Waskita tiba-tiba sambil bangkit berdiri, “Sebaiknya Kiai Sabda Dadi tetap
di kediaman Ki Gede ini agar apabila sewaktu-waktu Ki Rangga memerlukan
perawatan lebih lanjut, Kiai dapat dicari dengan mudah.”
“Ah,” Kiai Sabda Dadi tertawa pendek,
“Apakah aku masih termasuk kanak-kanak yang senang bermain petak umpet? Aku
tidak akan kemana-mana Ki Waskita. Aku mungkin akan ke pendapa atau ke gardu
penjagaan depan untuk sekedar berbincang-bincang dengan para penjaga.”
“Marilah,” berkata Ki Waskita kemudian,
“Silahkan Ki Rangga beristirahat. Kami berdua akan keluar bilik. Jika Ki Rangga
memerlukan sesuatu, kami akan meninggalkan pesan kepada para pembantu Ki Gede
yang ada di dapur agar memperhatikan jika ada panggilan dari Ki Rangga.”
“Ah, itu tidak perlu Ki Waskita,” jawab
Ki Rangga sambil tersenyum, “Agaknya aku menjadi terlalu manja dan merepotkan
banyak orang.”
“Tentu tidak,” jawab Kiai Sabda Dadi
dengan serta merta, “Sudah seharusnya semua yang ada di rumah ini membantu
perawatan Ki Rangga agar segera pulih kembali.”
“Ya, Ki Rangga. Semua berharap Ki
Rangga segera sembuh. Tentu lingkungan keprajuritan pun juga sudah menunggu.”
Sahut Ki Waskita sambil memandang ke arah Kiai Sabda Dadi.
“Ah,” kali ini Ki Rangga tertawa
tertahan, “Seolah-olah aku ini sekarang menjadi orang yang begitu penting
sehingga kehadiranku benar-benar ditunggu-tunggu.”
Untuk sejenak kedua orang tua itu
saling pandang. Kiai Sabda Dadi memang masih belum sampai hati untuk
menyampaikan permasalahan yang berhubungan dengan Kiai Damar Sasongko, pemimpin
perguruan Sapta Dhahana.
“Biarlah hal itu akan aku sampaikan
dalam dua atau tiga hari lagi sambil melihat perkembangan kesehatan Ki Rangga,”
berkata Kiai Sabda Dadi dalam hati.
“Sudahlah, ngger. Kami akan keluar
bilik,” akhirnya Ki Waskita berkata sambil tersenyum lebar, “Pergunakan waktu
sehari ini untuk beristirahat dengan sebaik-baiknya. Kami mohon diri.”
“Silahkan, silahkan,” jawab Ki Rangga
sambil mengikuti langkah kedua orang tua itu dengan pandangan matanya.
Setelah menutup pintu bilik terlebih
dahulu, kedua orang tua itu pun akhirnya melangkah menyeberangi ruang tengah
yang cukup luas menuju ke pendapa. Ketika mereka berdua melintas di depan bilik
Pandan Wangi yang tertutup rapat, tanpa sadar Ki Waskita telah berpaling
sejenak. Namun Ki Waskita sama sekali tidak menghentikan langkahnya.
Sepeninggal kedua orang tua itu, Ki
Rangga mencoba untuk memejamkan matanya. Namun ternyata berbagai macam dan
corak bayangan kejadian-kejadian yang baru saja berlalu telah hilir mudik di
dalam rongga matanya.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk meredakan getar di dalam dadanya yang tiba-tiba saja
melonjak-lonjak begitu bayangan seorang perempuan muda dan cantik telah hadir
di rongga matanya.
“Anjani,” desis Ki Rangga dalam hati,
“Kehadirannya di Menoreh ini akan menimbulkan permasalahan baru yang seharusnya
tidak perlu terjadi.”
Ketika Ki Rangga sedang merenungi
perempuan muda yang memiliki mata berbinar bagaikan bintang timur itu,
tiba-tiba saja telinga Ki Rangga yang sangat terlatih telah menangkap desir
lembut langkah-langkah kecil menuju ke biliknya.
“Agaknya orang ini berusaha untuk
menyerap bunyi yang timbul akibat dari desir langkahnya,” berkata Ki Rangga
dalam hati, “Menilik kemampuannya dalam menyerap bunyi, orang ini tentu
memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun menilik irama langkahnya, yang
datang ini seorang perempuan.”
Untuk sejenak Ki Rangga menjadi
berdebar-debar. Berbagai dugaan muncul dalam hatinya. Banyak perempuan yang
berkemampuan tinggi yang sekarang sedang berada di kediaman Ki Gede. Namun
untuk tujuan apakah dia mencoba menyamarkan kedatangannya dengan menyerap
segala bunyi di sekitarnya?
“Jika yang datang itu Sekar Mirah atau
Pandan Wangi, tidak mungkin mereka berusaha menyembunyikan kehadirannya di
hadapanku,” berkata Ki Rangga dalam hati. Sementara langkah-langkah kecil itu
telah sampai di depan bilik Ki Rangga.
Ketika pendengaran Ki Rangga yang
sangat tajam melebihi kemampuan orang-orang kebanyakan itu mendengar sebuah
desir lembut dari arah pintu bilik, dengan perlahan dari tempatnya berbaring Ki
Rangga pun segera mengarahkan pandangan matanya ke arah pintu.
Sebuah desir tajam segera saja
menggores jantungnya ketika dalam bayangan sinar Matahari yang masih setinggi
pucuk-pucuk pepohonan yang menerobos melalui celah-celah dinding papan, tampak
sesosok bayangan perempuan muda yang sangat cantik berdiri termangu-mangu di
tengah-tengah pintu bilik.
“Anjani,” desis Ki Rangga perlahan
hampir tak terdengar.
Orang yang datang ke bilik Ki Rangga
itu memang Anjani. Dengan memberanikan diri Anjani ternyata telah berusaha
untuk menemui Ki Rangga di biliknya sendirian.
“Masuklah, Anjani,” berkata Ki Rangga
kemudian begitu menyadari Anjani masih tetap berdiri termangu-mangu di
tengah-tengah pintu bilik yang terbuka lebar.
“Terima kasih, Kakang,” jawab Anjani
sambil melangkah mendekat.
Alangkah merdunya suara Anjani itu
terdengar di telinga Ki Rangga. Seolah-olah suara lembut Anjani itu mampu
menembus setebal apapun ilmu kebal Ki Rangga dan langsung menukik menembus dada
dan meremas jantung.
Ketika Anjani melangkah semakin dekat,
tiba-tiba saja indera penciuman Ki Rangga telah menangkap semerbak harum seribu
bunga yang samar-samar namun cukup menggetarkan dada.
“Duduklah, Anjani,” berkata Ki Rangga
sambil memandang sekilas ke arah pintu bilik yang dibiarkan terbuka lebar,
“Sebelumnya aku mohon maaf jika kehadiranmu di Menoreh ini tidak mendapat
sambutan sebagaimana layaknya seorang tamu.”
“Ah,” desah Anjani sambil tersenyum
tipis dan kemudian mengambil tempat duduk, “Aku bukan seorang tamu agung,
Kakang. Aku hanyalah seorang kleyang kabur kanginan yang mencoba mengadu nasib
menyangkutkan masa depan di tanah Perdikan ini.”
Kembali sebuah desir tajam, setajam ujung
sembilu menggores jantung Ki Rangga. Masa depan Anjani itulah yang selama ini
telah membebani pikirannya.
“Anjani,” berkata Ki Rangga kemudian
sambil mencoba mengendapkan getar di dalam dadanya, “Kau bukan seorang kleyang
kabur kanginan, Kau mempunyai masa depan yang dapat Kau pilih sendiri menurut
kata hatimu. Dengan sepenuh hati kami semua yang ada di Menoreh ini akan
berusaha membantumu sekuat tenaga dalam meraih masa depanmu.”
Sepasang mata yang berbinar indah itu
sejenak menatap sepasang mata Ki Rangga yang juga sedang menatapnya. Namun
dengan cepat Anjani segera melemparkan pandangan matanya ke sudut bilik di atas
lampu dlupak yang tampak kotor kehitam-hitaman.
“Kakang,” berkata Anjani kemudian
setelah sejenak keduanya terdiam, “Pada awalnya aku memang masih mempunyai
harapan tentang masa depanku ketika Kakang telah berjanji untuk membawaku ke
Menoreh. Aku mengatakan semua ini bukan bermaksud untuk menagih janji yang
telah Kakang ucapkan. Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menafsirkan janji
itu sehingga aku telah terpuruk dengan angan-anganku sendiri,” Anjani berhenti
sejenak untuk mengambil nafas dalam-dalam. Lanjutnya kemudian, “Namun kini aku
menyadari, apa sebenarnya arti dari janji itu dan aku memang telah meletakkan
semua harapan dan impianku selama ini. Biarlah waktu nanti yang akan membawaku
entah ke mana.”
Untuk sejenak Ki Rangga Agung Sedayu
terdiam. Berbagai macam pertimbangan bergolak dalam dadanya.
“Anjani..,” akhirnya dengan perlahan Ki
Rangga berdesah, “Cobalah berpikir tentang masa depanmu. Itulah yang lebih
penting sekarang ini. Aku telah berjanji membawamu ke Menoreh. Bukankah Kau
sekarang ini sudah di Menoreh? Hidup di antara keluargaku?” Ki Rangga Agung
Sedayu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi sedikit tersengal, namun kemudian
lanjutnya, “Sesungguhnya di antara kita memang tidak ada suatu ikatan apapun.
Aku minta maaf jika tidak dapat memenuhi harapan yang mungkin sempat melambung
di hatimu. Tapi percayalah, jika memang Kau ingin menjadi bagian dari
keluargaku, dengan senang hati aku akan menerimanya.”
Anjani tergugu. Air yang bening mulai
menetes dari sudut matanya yang indah. Bibirnya yang tipis dan berwarna merah
dadu itu terkatup rapat. Sedangkan kepalanya tertunduk dalam dalam sehingga
gerai rambutnya yang panjang hampir menyentuh dada ki Rangga Agung Sedayu yang
masih tergolek lemah di atas pembaringan.
Sejenak kemudian, dengan menguatkan
hatinya, Anjani berkata perlahan sambil mengangkat kepalanya, “Kakang, aku
memang tidak pernah sekali pun memahatkan sebuah harapan di dinding hatiku. Aku
tahu betapa kotornya diriku sehingga tidak sepantasnya aku berharap lebih dari
apa yang telah kuraih sekarang ini, yaitu kebebasanku. Justru sekarang ini aku
memberanikan diri menjenguk kakang yang sedang sakit tanpa seijin mbokayu Sekar
Mirah untuk sekedar mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kakang yang telah
membebaskan aku dari kekejaman kedua Guruku, dan selanjutnya aku mohon maaf
kalau selama ini telah membuat hati Kakang menjadi galau dan bersedih.”
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum tipis.
Ketika pandangan Ki Rangga kemudian tersangkut pada seraut wajah perempuan muda
dan cantik yang duduk di atas dingklik kayu di samping pembaringannya, dada Ki Rangga
pun berdesir tajam. Sepasang mata yang indah dan bening itu pun ternyata sedang
memandangnya pula dengan seribu satu macam perasaan yang bergejolak di dalam
dada.
“Kakang,” kembali Anjani melanjutkan
kata-katanya sambil berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh
berderai, “Aku mohon pamit. Aku akan menyusuri jalan yang terbentang di
hadapanku dan semoga aku tidak tergoda untuk menengok ke belakang kembali,”
Anjani berhenti sejenak sambil menahan nafas agar bendungan air di kedua
pelupuk matanya tidak pecah. Lanjutnya kemudian, “Aku mohon doa restu, Kakang.
Semoga aku selalu diberi kekuatan oleh Yang Maha Agung dalam menjalani sisa
hidupku ini. Aku akan terus berjalan dan berjalan sampai aku temui akhir dari
jalan itu sendiri.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Pandangan matanya menerawang ke langit-langit bilik yang terbuat dari anyaman
kulit bambu yang terlihat begitu rumit namun terkesan sangat rapi.
Selagi kedua orang itu sedang terhanyut
oleh angan masing-masing, tiba-tiba pendengaran Ki Rangga yang sangat tajam
telah menangkap langkah orang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa dari arah
gandhok sebelah kanan. Setelah melewati longkangan, langkah-langkah itu
terdengar menuju ke arah pintu butulan yang terhubung dengan rumah induk.
Tiba-tiba suasana yang hening itu telah
dikejutkan oleh suara jeritan seorang perempuan dari arah pintu yang
menghubungkan dapur dengan ruang tengah. Dengan cepat Anjani yang sedang berada
di dalam bilik Ki Rangga segera meloncat berdiri dan berlari ke arah pintu.
Alangkah terkejutnya Anjani.
Sesampainya dia di depan pintu, tampak beberapa langkah di depan pintu butulan
samping yang terbuka lebar, sedang berdiri seseorang dengan garangnya sambil
menggenggam senjata yang berlumuran darah. Sedangkan di tengah-tengah pintu
yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah, tampak seorang perempuan paro
baya pembantu rumah Ki Gede jatuh terduduk bersandaran pada kusen pintu dengan
wajah pucat pasi dan tubuh gemetaran.
“He! Kau?” tiba-tiba orang yang menggenggam
pedang itu berseru keras dengan nada penuh kemarahan begitu melihat Anjani
tiba-tiba muncul dari salah satu bilik yang ada di ruang tengah itu. Agaknya
orang itu telah mengenal Anjani.
Tersirap darah Anjani sampai ke
ubun-ubun. Pandangan matanya sejenak hinggap di wajah yang garang dengan
sepasang mata yang merah menyala. Anjani segera teringat kepada orang yang
telah dilumpuhkannya beberapa saat yang lalu ketika terjadi penyerbuan di rumah
Ki Gede Menoreh.
“Bukankah orang ini telah ditawan oleh
para pengawal dan dimasukkan ke bilik khusus?” bertanya Anjani dalam hati
dengan jantung yang berdebaran, “Bagaimana mungkin orang ini dapat meloloskan
diri?”
Orang yang berdiri dengan garangnya itu
memang Ki Lurah Sanggabaya. Setelah Anjani berhasil melumpuhkannya, atas
perintah Ki Gede para pengawal telah menempatkannya di bilik khusus di belakang
gandhok kanan. Beberapa pengawal secara bergiliran telah ditempatkan di seputar
bilik untuk menjaga tawanan itu. Sejauh itu tidak ada seorang pun yang
mengenalinya karena Ki Lurah Sanggabaya memang tidak sedang mengenakan pakaian
keprajuritan serta telah menyamarkan sedikit wajahnya sehingga agak sulit
dikenali.
“Perempuan gila! Kau harus mampus!”
tiba-tiba Ki Lurah Sanggabaya mengumpat sambil memburu ke tempat Anjani
berdiri. Pedang yang berlumuran darah itu diangkatnya tinggi-tinggi siap untuk
melancarkan serangan dahsyat.
Anjani yang masih berdiri di
tengah-tengah pintu bilik Ki Rangga segera tanggap. Dia harus melindungi
keberadaan Ki Rangga Agung Sedayu yang masih tergolek lemah di pembaringan.
Jangan sampai lawannya mengetahui bahwa yang berada di dalam bilik itu adalah
salah satu orang penting bagi Mataram. Dengan cepat dia segera meloncat
beberapa langkah ke depan menyambut serangan lawannya.
Agaknya Ki Lurah Sanggabaya benar-benar
memendam dendam sedalam lautan kepada Anjani. Dengan berbekal senjata di tangan
kanannya serta aji lembu sekilan yang dibangga-banggakan, tanpa rasa belas
kasihan, pedang yang ada di tangan kanannya berputaran mengurung Anjani.
Anjani maklum kalau lawannya memiliki
aji yang dapat melindungi dirinya dari serangan lawan. Namun Anjani yakin aji
lembu sekilan itu tentu tatarannya tidak setinggi yang dimiliki oleh Kanjeng
Sultan Hadiwijaya yang semasa mudanya bernama Mas Karebet. Aji lembu sekilan Ki
Lurah ini pasti masih dalam tataran yang dapat ditembus.
Menyadari lawannya langsung
menyerangnya dengan tataran tinggi ilmunya, Anjani pun kemudian segera
mengetrapkan aji yang pernah dipergunakan untuk melumpuhkan Ki Lurah beberapa
saat yang lalu, aji seribu bunga.
Sejenak kemudian, di ruang tengah itu
segera tercium bau harum semerbak yang memabokkan. Karena Anjani memang sengaja
mengerahkan aji seribu bunga itu untuk mempengaruhi penalaran Ki Lurah, maka
yang mengalami akibat paling parah adalah ki Lurah Sanggabaya sendiri.
“Perempuan iblis!” umpat Ki Lurah
begitu menyadari bau harum itu telah mengacaukan penalarannya. Dia tidak mau
untuk kedua kalinya diperdaya oleh lawannya. Waktunya sangat sempit. Dia harus
segera meloloskan diri dari tempat itu.
“Aku tidak mau tertahan lagi oleh
perempuan iblis ini,” geram Ki Lurah dalam hati, “Secepat mungkin perempuan ini
harus segera disingkirkan. Sebelum ajinya yang memabokkan ini semakin dalam
mempengaruhi penalaranku.”
Berpikir sampai di situ, dengan cepat
Ki Lurah segera melompat ke belakang. Senjata yang ada di tangannya segera
dibuang ke samping. Sejenak Ki Lurah segera memusatkan segenap nalar dan
budinya untuk mengungkapkan aji pamungkasnya yang nggegirisi. Namun bau wangi
yang tajam menusuk-nusuk hidungnya serta menggetarkan syaraf-syaraf di otaknya
telah memacu degup jantungnya menjadi semakin cepat sehingga pengetrapan ajinya
menjadi sedikit terganggu.
Anjani yang hampir meloncat memburu
lawannya segera menahan langkah begitu melihat lawannya mengambil sikap. Tidak
mau hancur diterjang oleh ilmu pamungkas lawannya, dengan tergesa-gesa Anjani
pun segera memusatkan segenap nalar budinya untuk mengetrapkan puncak ilmunya
yang telah dipelajari semasa dia masih tinggal di gunung Kendalisada, aji mundri.
Aji yang diturunkan oleh seorang sakti yang keberadaannya dipercaya oleh
sebagian orang hanya sebagai dongeng belaka, Resi Mayangkara.
Dalam pada itu, jerit perempuan
pembantu rumah Ki Gede beberapa saat yang lalu itu ternyata telah menarik
perhatian beberapa orang. Para pengawal yang berada di regol depan bersama Kiai
Sabdadadi dengan segera berlari-larian menghambur ke dalam rumah Ki Gede.
Demikian juga Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta Damarpati yang
berada di halaman belakang dengan tergesa-gesa telah memasuki rumah dari arah
dapur.
Ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangi
yang terlebih dahulu tiba di dalam dapur, segera melihat beberapa perempuan
pembantu Ki Gede telah mencoba menolong seorang perempuan parobaya yang
terduduk setengah pingsan di tengah-tengah pintu yang menghubungkan dapur
dengan ruang tengah.
“Bawalah dia menepi!” perintah Pandan
Wangi.
Dengan susah payah perempuan parobaya
itu pun akhirnya berhasil dibawa menepi dan kemudian didudukkan di atas amben
bambu yang berada di sudut dapur.
“Minumlah!” berkata seorang kawannya
sambil menyodorkan sebuah kendi.
“Terima kasih,” gumam perempuan
parobaya itu hampir tak terdengar. Dengan kedua tangan yang masih gemetar
diterimanya kendi itu. Namun bayangan laki-laki dengan mata menyala dan pedang
yang berlumuran darah di tangan kanannya masih belum hilang di rongga matanya.
Dalam pada itu, Anjani yang tidak mau
terlambat justru telah meloncat menyerang terlebih dahulu. Bagaikan tatit yang
meloncat di udara, tubuhnya melesat dengan tangan kanan diangkat tinggi-tinggi
siap melepaskan ajinya yang ngedab-edabi, aji mundri.
Sedangkan Ki Lurah Sanggabaya yang
sedikit menemui kesulitan dalam pemusatan nalar budinya, pada saat terakhir
telah berhasil mengendapkan gelora dadanya yang bagaikan mendidih karena
pengaruh bau wangi aji seribu bunga. Ketika pandangan matanya menangkap
bayangan Anjani yang meluncur deras ke arahnya, dengan segera disambutnya
dengan membenturkan ayunan tangan kanannya dalam lambaran aji pamungkas.
Sejenak kemudian sebuah benturan
dahsyat telah terjadi. Getarannya telah mengguncangkan seisi rumah. Seolah-olah
ada gempa bumi dahsyat yang sedang melanda. Tubuh Ki Lurah pun telah terlontar
ke belakang beberapa langkah karena hentakan kekuatan ilmu lawannya, sebelum
akhirnya tubuh itu terputar dan terbanting jatuh tertelungkup di atas lantai.
Sedangkan Anjani yang membentur aji
pamungkas lawannya telah terpental ke belakang. Tubuhnya melayang bagaikan
layang-layang putus sebelum akhirnya menabrak dinding bilik Ki Rangga sehingga
dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati tebal itu sebagian telah hancur
berantakan.
Untuk beberapa saat Anjani masih
mengerang sambil berusaha bangkit bertelekan pada kedua siku tangannya. Namun
ketika darah segar kemudian menyembur dari mulutnya, tubuh yang mungil itu pun
segera jatuh terkulai dan diam tak bergerak.
Beberapa orang yang memasuki ruang
tengah itu masih sempat menyaksikan benturan yang dahsyat antara Anjani dan Ki
Lurah Sanggabaya. Mereka bagaikan terkesima begitu melihat kedua orang yang
telah saling membenturkan puncak ilmunya itu terlempar dan kemudian jatuh
tersungkur tak bergerak.
“Anjanii..!” hampir bersamaan Sekar
Mirah dan Pandan Wangi yang telah menyadari keadaannya segera meloncat
menghambur ke arah tubuh Anjani yang terbujur diam.
Kiai Sabda Dadi yang juga sempat
menyaksikan benturan dahsyat itu segera berlari ke tempat Anjani terjatuh
sambil berseru, “Mohon Anjani jangan disentuh, Nyi! Mungkin dia menderita luka
dalam yang cukup parah sehingga guncangan sekecil apapun akan dapat berakibat
memperparah lukanya!”
Sekar Mirah yang sudah tiba di tempat
Anjani terjatuh ternyata telah mendengar seruan Kiai Sabda Dadi. Dengan sekuat
tenaga dia mencoba untuk tidak menyentuh Anjani dan hanya berlutut di sisi
tubuh yang tergolek diam itu. Sementara Pandan Wangi pun segera ikut berlutut
di sisi adik iparnya.
“Biarlah aku periksa keadaannya,”
berkata Kiai Sabda Dadi sesampainya di sisi tubuh Anjani.
Dengan sangat hati-hati Kiai Sabda Dadi
segera berlutut dan meraba pergelangan tangan Anjani untuk mencoba merasakan
denyut nadinya, namun tidak ada tanda-tanda bahwa nadinya masih berdenyut.
Ketika Kiai Sabda Dadi kemudian mencoba memeriksa di bagian tubuh Anjani yang
lain, tanda-tanda kehidupan itu pun ternyata juga tidak ada.
“Aneh, tubuhnya terasa sangat dingin,
padahal benturan ilmu itu terjadi baru beberapa saat yang lalu. Seharusnya
tubuh Anjani masih terasa hangat.” berkata Kiai Sabda Dadi dalam hati, “Atau
mungkin pengaruh kekuatan ilmu lawannya yang dapat membekukan aliran darahnya.
Semoga saja aku masih diberi kesempatan oleh Yang Maha Agung untuk
menolongnya.”
Untuk beberapa saat Kakek Damarpati itu
termenung dengan kening yang berkerut-merut.
“Bagaimana Kiai?” pertanyaan Sekar
Mirah membuyarkan lamunan Kiai Sabda Dadi, “Mengapa Kiai hanya diam saja?
Segeralah menolong Anjani. Aku telah berhutang budi kepadanya sebanyak tiga
kali, dan aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku dapat membalasnya.”
Kata-kata Sekar Mirah itu ternyata
telah menyengat jantung Pandan Wangi yang sedang berlutut di sisinya. Berbagai
tanggapan telah muncul dalam benaknya.
Dalam pada itu para pengawal yang telah
datang di ruang tengah kediaman Ki Gede bersama-sama Kiai Sabda Dadi segera
merubung tubuh Ki Lurah Sanggabaya yang tertelungkup. Dengan sangat hati-hati,
salah seorang segera membalikkan badan Ki Lurah.
“Apakah dia masih hidup?” seorang
pengawal bertubuh kurus bertanya kepada kawannya yang berjongkok di sisi tubuh
Ki Lurah.
“Entahlah,” jawab kawannya sambil
mencoba meraba dada sebelah kiri Ki Lurah, “Tubuhnya masih hangat tapi aku
tidak dapat merasakan detak jantungnya.
“Bukankah dia adalah tawanan yang
berada di bilik khusus yang berada di belakang gandhok kanan?” tiba-tiba salah
seorang pengawal yang ikut merubung itu menyelutuk.
Belum sempat salah seorang pengawal
menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar langkah beberapa orang yang sedang
berlari-larian dari arah pintu butulan samping.
Sejenak kemudian dari arah pintu
butulan samping yang terbuka lebar, muncul beberapa pengawal yang bertugas
menjaga tawanan di bilik khusus dengan wajah tegang sambil menghunus senjata.
“Di mana tawanan itu, he!” salah
seorang pengawal yang bermuka berewok berseru sambil mengacungkan senjatanya,
“Dia telah berhasil meloloskan diri dengan melukai kawan-kawan kita. Salah seorang
pengawal bahkan terluka sangat parah sehingga dapat mengancam jiwanya. Akan aku
bunuh tawanan itu, siapapun dia sebenarnya aku tidak peduli!”
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
Namun ketika pengawal yang berwajah berewok itu akan mengulangi pertanyaannya,
tiba-tiba saja pandangan matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang terbujur
diam di tengah-tengah kerumunan kawan-kawannya yang bertugas di regol depan.
“Gila!” geram pengawal yang berwajah
berewok itu sambil melangkah mendekat, “Apakah kalian telah membunuhnya?”
Kembali tidak ada seorang pun yang
menjawab pertanyaannya. Hanya saja kali ini para pengawal yang merubung Ki
Lurah Sanggabaya serentak memalingkan wajahnya ke arah Anjani yang sedang
diangkat oleh Sekar Mirah dengan hati-hati menuju ke bilik Pandan Wangi semasa
dia masih remaja dahulu.
Pengawal berwajah berewok itu tertegun.
Sepasang matanya tidak berkedip menelusuri wajah Anjani yang bagaikan golek
kencana. Seumur hidupnya baru kali ini dia melihat perempuan secantik itu.
Demikian juga para pengawal lainnya
ikut terkesima memandang Anjani yang seolah bagaikan Bidadari yang sedang
tertidur dalam gendongan Sekar Mirah. Berpasang-pasang mata mengikuti setiap
langkah Sekar Mirah yang mendukung Anjani sampai hilang di balik pintu bilik.
Baru ketika Kiai Sabda Dadi yang
berjalan di belakang Sekar Mirah itu terbatuk-batuk kecil, mereka bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi indah. Mimpi berjumpa dengan seorang bidadari dari
sorga yang telah berkenan turun ke dunia.
Selagi orang-orang itu terpesona dengan
Anjani, ternyata Pandan Wangi telah menyempatkan diri untuk menjenguk ke dalam
bilik Ki Rangga.
“Wangi,” bertanya Ki Rangga begitu
puteri satu-satunya Ki Gede menoreh itu berdiri di sisi pembaringannya, “Apakah
sebenarnya yang telah terjadi? Aku telah mendengar sebuah pertempuran dahsyat,
namun hanya berlangsung sangat singkat. Agaknya mereka telah membenturkan ilmu
puncak masing-masing untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.”
Pandan Wangi tersenyum mendengar
pertanyaan Ki Rangga. Dengan perlahan dia duduk di bibir pembaringan Ki Rangga.
Sepasang mata yang sayu itu pun kemudian menatap tajam ke arah Ki Rangga Agung
Sedayu. Seolah olah ingin dijenguknya isi dada orang yang pernah singgah di
relung hatinya itu justru di saat pertama dia baru mengenal perasaan cinta.
Berdesir dada Ki Rangga Agung Sedayu
begitu tatapan mata mereka beradu. Sejenak mereka berdua seakan-akan telah
terlempar ke masa bertahun-tahun yang lalu. Ki Rangga Agung Sedayu dapat
merasakan betapa tatapan Pandan Wangi kepadanya itu tetap tidak berubah,
tatapan mata seorang gadis yang sedang tumbuh kepada seorang penggembala yang
bernama Gupita.
“Wangi,” cepat-cepat Ki Rangga berdesis
agak sedikit keras sebelum getaran kedua pasang mata yang saling bertaut itu
dapat menjerat mereka ke dalam suasana yang semakin mendebarkan, “Ceritakanlah
kepadaku, apakah sebenarnya yang telah terjadi?”
Untuk beberapa saat Pandan Wangi
menarik nafas dalam, dalam sekali. Seolah ingin dipenuhinya rongga dadanya
dengan udara pagi yang mulai merambat siang. Dilemparkan pandangan matanya ke
arah dinding bilik yang sebagian telah hancur sebelum menjawab pertanyaan Ki
Rangga.
“Kakang,” akhirnya dengan nada sedikit
tersedat pandan Wangi berkata, “Apakah sebenarnya yang telah membuat Anjani
mengikuti Kakang ke Tanah Perdikan ini?”
Pertanyaan yang tak terduga dari Pandan
Wangi itu ternyata telah membuat Ki Rangga untuk sejenak terdiam.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,
Wangi.” berkata Ki Rangga kemudian berusaha untuk mengembalikan arah
pembicaraan.
“Kakang,” kembali Pandan Wangi
melanjutkan kata-katanya tanpa mempedulikan pertanyaan Ki Rangga, “Anjani
adalah seorang perempuan yang sangat cantik dan masih muda. Apakah Kakang
pernah mencoba untuk memahami apakah sebenarnya keinginan Anjani mengikuti
kakang sampai sejauh ini?”
Ki Rangga mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Dia benar-benar tidak menduga kalau Pandan Wangi masih melanjutkan
pertanyaannya seputar Anjani.
“Anjani adalah seorang perempuan yang
berani memperjuangkan cita-citanya,” berkata Pandan Wangi kemudian tanpa
mempedulikan tanggapan Ki Rangga, “Berbeda dengan aku yang terlalu kerdil dan
pengecut. Aku tidak berani memperjuangkan cita-citaku pada waktu itu. Aku
terlalu pasrah dengan keadaan dan menerima nasib apa adanya. Seandainya pada
waktu itu aku mempunyai semangat seperti Anjani, mungkin garis hidupku akan
berbeda.”
“Apakah masa lalu itu masih perlu
dibahas, Wangi?” potong Ki Rangga Agung Sedayu, “Sudah seharusnya kita menerima
garis nasib yang telah ditentukan oleh Yang Maha Agung tanpa harus berandai-andai,
karena hanya akan menimbulkan penyesalan yang tidak berujung.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
Sejenak puteri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu terdiam, namun
pandangan matanya yang sayu itu menatap Ki Rangga dengan seribu satu macam
persoalan yang menderu dalam dadanya.
“Kakang,” akhirnya Pandan Wangi itu pun
kemudian berkata perlahan setelah sejenak mereka berdua terdiam, “Aku tidak
menyesali dengan apa yang telah digariskan dalam hidupku, namun aku menyesali
diriku sendiri, ternyata aku tidak bisa menjadi seorang istri yang baik.”
Berdesir dada Ki Rangga mendengar
kata-kata istri adik seperguruannya itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam
untuk menurunkan getar di dalam rongga dadanya, Ki Rangga pun kemudian
menyahut, “Wangi, Kau adalah seorang istri yang baik bagi suamimu. Jangan
pernah menyalahkan dirimu sendiri padahal Kau telah berbuat yang terbaik bagi
suamimu.”
“Tidak Kakang,” tiba-tiba suara Pandan
Wangi terdengar agak tersendat dan bergetar, “Aku bukan seorang istri yang
baik. Pada awalnya memang aku telah berusaha dengan segenap jiwa ragaku untuk
berbuat yang terbaik bagi suamiku. Namun aku tidak mampu untuk menipu diriku
sendiri. Pekerjaan yang paling sulit dan tidak mungkin aku lakukan adalah
menipu kata hatiku, menipu suara hatiku yang sejak semula memang telah aku
sadari kepada siapa sebenarnya hati ini ingin berlabuh,” Pandan Wangi berhenti
sejenak. Tampak kepalanya tertunduk dalam-dalam sementara kedua tangannya mulai
sibuk mengusap air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya. Sambil sedikit
menahan nafas, Pandan Wangi pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku adalah
seorang istri yang tidak dapat membuat Kakang Swandaru bahagia. Mungkin Kakang
Swandaru dapat membaca hatiku dan menilai sikapku yang tidak sepenuhnya dapat
melayaninya dengan tulus, sehingga dia telah tega berpaling kepada perempuan
lain.”
Sampai di sini Pandan Wangi sudah tidak
mampu lagi untuk menahan gelora dalam dadanya yang melonjak-lonjak. Walaupun
dengan sekuat tenaga dia telah berusaha untuk menahan tangisnya, namun beban di
dalam hatinya yang telah sekian lama dipendam, tidak mampu lagi untuk
ditahannya.
Untuk beberapa saat Ki Rangga Agung
Sedayu tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan hanya terbaring diam sambil
memejamkan kedua matanya. Suara tangis Pandan wangi yang tersendat-sendat
terasa bagaikan berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur turun dari bukit
dan menimpa dadanya susul menyusul. Berbagai pertimbangan telah muncul di dalam
benaknya, namun selalu saja ada keragu-raguan yang membelenggu hatinya.
Jauh di dalam lubuk hati Ki Rangga
telah tumbuh sebuah penyesalan, mengapa dirinya pada saat memerankan seorang
gembala yang bernama Gupita terlalu bersikap terbuka dan bahkan cenderung
memberi harapan kepada gadis puteri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu? Bahkan dengan sangat deksura dan meninggalkan suba sita dia telah berani
dengan sengaja menggenggam tangan gadis dari Menoreh itu.
“Aku memang terlalu berlebihan dalam
memerankan seorang Gupita pada waktu itu,” berkata Ki Rangga dalam hati.
Namun sebenarnya lah di sudut hatinya
yang lain telah berkata, “Bukankah Kau pada waktu itu memang sangat tertarik
dengan gadis Menoreh itu? Sikapnya yang sopan dan menghargai siapa pun, tutur
katanya yang lemah lembut namun tegas serta sifatnya yang rendah hati sangat
berbeda dengan gadis dari Sangkal Putung yang telah menyentuh hatimu untuk
pertama kali. Bahkan pandangan matanya yang terlihat sayu dan selalu diliputi
oleh kesedihan itu telah menggerakkan hatimu untuk selalu ingin menghiburnya
dan membuatnya selalu tersenyum agar wajahnya yang cantik itu tidak terlihat
murung dan bersedih?”
“Ah,” desah Ki Rangga dalam hati,
“Ternyata lebih mudah menghadapi seorang musuh setangguh Panembahan Cahya
Warastra dari pada menghadapi seorang perempuan dengan segala permasalahannya
yang rumit dan njlimet.”
Dalam pada itu, Pandan Wangi ternyata
telah berusaha dengan keras untuk menguasai dirinya. Sebagai seorang perempuan
yang mempunyai kelebihan dari perempuan kebanyakan, dirinya telah terlatih untuk
menghadapi persoalan yang menyangkut ketahanan lahir maupun batin. Dengan
memusatkan segenap nalar dan budinya, Pandan Wangi pun kemudian mencoba untuk
mengurai getaran-getaran yang telah melanda jantungnya.
Demikianlah akhirnya Pandan Wangi
benar-benar telah mampu menguasai dirinya. Setelah mengusap tetes air matanya
yang terakhir, dengan mata yang masih merah dan sembab Pandan Wangi pun
kemudian berdiri sambil berkata perlahan, “Sudahlah Kakang, Kau memang benar.
Tidak ada lagi yang perlu dibahas sehubungan dengan masa lalu kita. Biarlah
sekarang ini kita meniti jalan kita masing-masing. Aku akan belajar ikhlas
dalam menerima nasib yang telah ditakdirkan oleh Yang Maha Agung. Semoga dalam
menyongsong hari-hari tua kita, kita selalu diberi tuntunan dan bimbingan agar
selalu dapat meniti di jalan yang diridhoiNya.”
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk kecil tanpa berusaha menanggapi kata-kata Pandan
Wangi. Ketika Pandan Wangi kemudian bergeser dari samping pembaringannya, tanpa
sadar kedua pasang mata itu pun kembali beradu. Tiba-tiba saja sebuah senyum
yang teramat manis telah tersungging di bibir puteri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu.
Tersirap darah Ki Rangga rasanya sampai
ke ubun-ubun. Senyum yang telah lama hilang dari wajah cantik puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu kini telah merekah kembali. Sejak dia dipersunting
oleh anak laki-laki Ki Demang Sangkal Putung itu, Ki Rangga Agung Sedayu memang
sangat jarang melihat Pandan Wangi tersenyum manis seperti semasa mereka masih
sama-sama muda. Dan kini seakan-akan yang berdiri di sisi pembaringan ki Rangga
bukanlah istri adik seperguruannya, namun gadis berpedang rangkap yang sedang
berlarian-larian sambil bergandengan tangan dengannya di bawah siraman sinar
bulan purnama.
“Wangi,” tiba-tiba tanpa disadarinya Ki
Rangga berdesah perlahan, “Kau sangat cantik sekali.”
“Ah, Kakang,” desah Pandan Wangi sambil
menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Tiba-tiba saja Pandan Wangi
merasakan jantungnya bergejolak dan aliran darahnya mengalir lebih cepat dari
biasanya sehingga tubuhnya menjadi sedikit menggigil.
Ki Rangga yang menyadari
keterlanjurannya segera berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Katanya
kemudian, “Maafkan aku Wangi. Bukan maksudku untuk bersikap deksura kepadamu.
Aku hanya mengungkapkan apa yang terlintas dalam benakku. Sekali lagi aku mohon
maaf.”
Sambil tetap menundukkan wajahnya,
Pandan Wangi pun kemudian menjawab, “Sudahlah Kakang, aku mohon diri. Sebaiknya
aku menengok keadaan Anjani untuk mengetahui keadaannya.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Pandangan matanya menerawang ke langit-langit bilik. Berbagai bayangan hilir
mudik di rongga matanya. Bayangan perempuan-perempuan yang pernah dekat dalam
kehidupannya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan yang terakhir adalah Anjani,
perempuan muda yang sangat cantik dan kini sedang terluka parah.
“Wangi, seberapa parahkah luka Anjani?”
bertanya Ki Rangga kemudian setelah keduanya sejenak terdiam.
Pandan Wangi menggeleng lemah, “Aku
tidak tahu Kakang, tapi benturan ilmu puncak Anjani dengan lawannya yang
terjadi tadi sangat dahsyat. Aku tidak berani menduga apakah kedua-duanya dapat
bertahan.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya.
Katanya kemudian, “Aku tadi mendengar suara Kiai Sabda Dadi. Semoga Kiai Sabda
Dadi dapat memberikan pertolongan kepada Anjani.”
“Ya Kakang,” jawab Pandan Wangi masih
dengan menundukkan wajahnya, “Sekar Mirah telah membawa Anjani ke dalam bilik
tempatku dahulu dan agaknya Kiai Sabda Dadi sedang berusaha membantu menolong
Anjani.”
“Semoga Yang Maha Agung meridhoi usaha
dan doa kita semua,” desis Ki Rangga hampir tak terdengar.
Pandan Wangi tidak menjawab, hanya
kepalanya saja yang terangguk.
Untuk beberapa saat keduanya menjadi
terdiam. Masing-masing terbawa arus angan-angan yang melambung tinggi, setinggi
awan yang berarak-arak di langit biru.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi kemudian
memecah kesepian, “Aku mohon diri.”
“Silahkan, Wangi,” jawab Ki Rangga
sambil tetap memandang langit-langit bilik, “Tolong sampaikan kepada Sekar
Mirah untuk datang ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Berdesir lembut jantung puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai prasangka muncul dalam benaknya, namun
cepat-cepat perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Katanya kemudian, “Ya Kakang.
Pesan Kakang akan aku sampaikan kepada Sekar Mirah.”
Demikianlah akhirnya, puteri satu
satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian meninggalkan Ki Rangga
sendirian di dalam biliknya.
Dalam pada itu di tanah pekuburan
perang tanding antara Ki Patih Mandaraka melawan Ki Ajar Serat Gading semakin
lama menjadi semakin sengit. Ki Ajar dengan berbekal ilmunya yang tinggi serta
pengaruh dari keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri benar-benar telah membuat Ki
Patih harus mengerahkan segenap kemampuannya. Keris Kiai Sarpasri itu
seolah-olah telah berubah ujud menjadi seekor naga yang tidak begitu besar
namun dari mulutnya yang menganga telah meluncur gumpalan-gumpalan api berbisa
yang siap melumatkan apa saja yang diterjangnya.
Orang-orang yang menyaksikan perang
tanding itu dari pinggir arena hanya dapat menahan nafas. Ki Gede Menoreh yang
telah banyak makan asam garamnya pertempuran itu pun telah dibuat
berdebar-debar. Pengaruh keris itu memang sangat luar biasa. Pengaruh getaran
dari ungkapan ilmu Ki Ajar serta panas yang ditimbulkan oleh keris Kiai
Sarpasri terasa telah membakar arena perang tanding.
“Ki Gede,” tiba-tiba Ki Jayaraga yang
berdiri di sebelah Ki Gede berbisik, “Agaknya gumpalan-gumpalan api yang
ditimbulkan oleh keris Kiai Sarpasri itu tidak hanya menimbulkan panas saja,
namun juga mengandung racun yang sangat ganas.”
Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya
sambil mengamati jalannya pertempuran. Memang gumpalan-gumpalan api yang
menerjang Ki Patih itu selalu dapat dihindarinya. Namun akibat yang ditimbulkan
benar-benar sangat nggegirisi. Ketika gumpalan-gumpalan api itu tidak mengenai
sasarannya dan menerjang semak belukar yang banyak tumbuh berserakan di tanah
pekuburan itu, akibatnya sangat mengerikan. Semak belukar itu tidak hanya
terbakar, namun daun-daun dan batang-batangnya yang setengah terbakar itu
tiba-tiba saja telah meleleh dan kemudian hancur menjadi bergumpal-gumpal
cairan yang berwarna kehitam-hitaman.
“Luar biasa!” desis Ki Gede begitu
menyadari kedahsyatan keris Kiai Sarpasri, “Semoga Ki Patih segera menemukan
jalan keluar untuk menghancurkan kekuatan keris itu.”
“Ya Ki Gede,” sahut Ki Jayaraga penuh
harap, “Kita semua berharap Ki Patih segera mampu mengatasi kedahsyatan keris
Kiai Sarpasri. Menurut dugaanku, sebenarnya kemampuan ilmu kanuragan Ki Ajar
tidak begitu menyulitkan Ki Patih. Namun dukungan kekuatan keris Kiai Sarpasri
yang seolah-olah telah menyatu dengan Ki Ajar, itulah yang menyulitkan Ki Patih
untuk menundukkan lawannya.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara Raden Mas Rangsang yang berdiri tidak jauh dari kedua orang tua itu
hanya dapat mengawasi jalannya perang tanding dengan wajah yang sangat tegang
dan gigi bergemeretakan.
Beberapa tombak dari medan perang
tanding Ki Patih Mandaraka, tampak tubuh Kiai Sambiwaja yang terbujur kaku
telah diangkat oleh para prajurit untuk dibawa menepi. Sementara Ki Lurah
Upasanta dengan susah payah sedang dibantu oleh kakandanya Ki Lurah Mandurareja
untuk memperbaiki aliran pernafasannya.
“Bagaimana keadaanmu, Adinda?” bertanya
Ki Lurah Mandurareja sambil membantu adiknya untuk bangkit dan duduk bersila.
“Benturan itu mungkin telah melukai
bagian dalam tubuhku, Kakanda,” jawab Ki Lurah Upasanta dengan nafas tersengal-sengal
sambil mencoba menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Aku akan mencoba
memperbaiki tata letak urat sarafku yang mungkin telah mengalami guncangan
akibat benturan tadi.”
Ki Lurah Mandurareja hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam begitu melihat adiknya mulai memusatkan segenap nalar
dan budinya. Sejenak kemudian Ki Lurah Upasanta pun telah tenggelam dalam alam
bawah sadarnya untuk menelusuri bagian dalam tubuhnya yang terluka dan mencoba
untuk mengatasinya.
Memang benturan puncak ilmu dari adiknya
melawan Kiai Sambiwaja beberapa saat tadi telah berlangsung dengan dahsyatnya.
Untunglah ilmu ki Lurah Upasanta masih selapis tipis di atas ilmu lawannya
sehingga Ki Lurah Upasanta masih mampu bertahan. Sedangkan Kiai Sambiwaja
ternyata harus menebus perang tanding itu dengan nyawanya.
Dalam pada itu, perang tanding antara
Ki Patih melawan Ki Ajar semakin lama menjadi semakin sengit. Untuk beberapa
saat, Ki Patih belum mampu membalas serangan lawannya dan hanya berloncatan
kesana kemari menghindari lontaran gumpalan-gumpalan api yang mengandung bisa
yang berasal dari keris Kiai Sarpasri.
“Aku ingin melihat sampai sejauh mana
daya tahan tubuhmu, Kakek tua!” geram ki Ajar Serat Gading sambil terus
mempercepat serangannya, “Aku yakin, tidak lebih dari sepenginang sirih, Kau
akan terkapar kehabisan nafas!”
Beberapa orang di luar arena perang
tanding yang mendengar kata-kata ki Ajar itu menjadi berdebar-debar. Memang
benar apa yang dikatakan oleh Ki Ajar, kemampuan wadag dari Ki Patih memang
sudah tidak sedahsyat sewaktu masih muda. Betapa pun tinggi ilmu seseorang,
tanpa dukungan wadag yang memadai, ilmu yang tinggi itu sama sekali tidak akan
berguna.
Sebenarnya Ki Patih sudah menyadari
keadaannya. Sebagai orang yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan, ki
Patih sudah terbiasa menghadapi keadaan sesulit apapun. Maka ketika lawannya
telah meningkatkan serangannya, Ki Patih pun segera memutuskan untuk mengungkap
sebuah ilmu yang jarang ada duanya, ilmu yang dapat mengelabuhi pandangan mata
wadag lawannya.
Demikianlah, ketika sebuah gumpalan api
dari lawannya menyambar bagaikan tatit ke tempat Ki Patih berdiri, tiba-tiba
saja Ki Patih telah meloncat ke dua arah yang berbeda sekaligus. Ternyata ujud
ki Patih telah membelah menjadi dua.
Sejenak lawannya mengerutkan keningnya.
Namun yang terdengar kemudian adalah suara tawanya yang menggelegar memenuhi
udara di sekitar tanah pekuburan itu.
“Sebuah permainan kanak-kanak yang
menggelikan,” berkata Ki Ajar kemudian setelah suara tawanya mereda, “Apakah
orang dari Sela yang bergelar Patih Mandaraka ini sudah kehabisan ilmu sehingga
yang ditampilkan tidak lebih dari ilmu kanak-kanak? Aku tidak akan pernah
terkecoh dengan ujud-ujud semu ini. Aku sama sekali tidak memerlukan waktu
sekejap pun untuk membedakan mana ujudmu yang asli. Berdoalah agar dalam
menghadapi saat-saat terakhir, Kau tidak akan mengalami kesakitan yang terlalu
lama.”
Ki Patih Mandaraka tidak menjawab. Dia
memang sudah menyadari bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu pasti dengan
sangat mudah akan dapat menemukan ujudnya yang asli. Namun ki Patih yakin,
betapapun mudahnya, lawannya tentu tetap memerlukan waktu sekejap untuk
membedakan ujud-ujud semu itu.
Ternyata Ki Ajar tidak memberi
kesempatan Ki Patih untuk mengambil nafas sejenak. Begitu selesai berkata,
serangannya pun kemudian telah meluncur kembali dengan dahsyatnya.
Namun Ki Patih telah mengambil sebuah
keputusan untuk menghentikan perlawanan Ki Ajar sebelum Ki Patih sendiri
kehilangan kesempatan karena ketahanan tubuhnya yang semakin melemah seiring
dengan usianya yang telah lanjut.
Demikianlah, ketika lontaran
gumpalan-gumpalan api itu menjadi semakin rapat susul-menyusul seolah-olah
tidak ada jarak sama sekali, Ki Patih telah mengembangkan ilmu ujud semunya
menjadi semakin mendebarkan. Ketika Ki Patih kemudian berloncatan menghindari
serangan lawannya, ujud Ki Patih tidak lagi hanya terpecah menjadi dua. Setiap
kali ujud Ki Patih meloncat menghindar, ujud-ujud semu itu pun telah terpecah
menjadi semakin banyak. Bahkan seakan-akan dengan sengaja ujud-ujud semu itu
menghadang di antara garis serang Ki Patih dan lawannya, sehingga setiap
terkena sambaran ilmu Ki Ajar, ujud-ujud semu itu telah terpecah menjadi dua,
empat bahkan sampai enam.
Demikian seterusnya sehingga kini Ki
Ajar telah dikerumuni oleh ujud-ujud semu Ki Patih yang jumlahnya hampir
mencapai tiga puluhan. Sebenarnya ki Ajar tidak banyak mengalami kesulitan
dalam membedakan ujud-ujud semu itu dengan aslinya. Namun dengan cerdik Ki
Patih telah mengaburkan pengamatan lawannya dengan cara bergerak dengan cepat
dan berpindah tempat dengan menggunakan ujud-ujud semu yang semakin banyak itu
untuk bersembunyi.
“Gila! Gila! Gila!” umpat Ki Ajar tidak
ada habis-habisnya setiap kali serangannya gagal mengenai ujud Ki Patih yang
asli dan justru telah menambah ujud semu itu semakin banyak. Dengan gerak yang
membingungkan ujud-ujud semu itu bersama ujud Ki Patih yang asli telah
menyerang Ki Ajar dari segala penjuru.
Kini Ki Patih mempunyai kesempatan
untuk balas menyerang. Ketika kesempatan itu terbuka pada saat Ki patih berada
di sisi kiri lawannya, sebuah cahaya kebiru-biruan telah meluncur bagaikan
tatit yang meloncat di udara menyambar pundak kanan Ki Ajar.
Ki Ajar yang mampu meraba serangan
lawannya lewat panggraitanya segera memiringkan tubuhnya sehingga serangan itu
lewat sejengkal dari pundaknya. Bersamaan dengan itu, sebuah serangan balasan
segera meluncur menghantam Ki Patih.
Ki Patih yang menyadari betapa
berbahayanya jika serangan itu sampai menyentuh tubuhnya telah melenting ke
kanan. Bersamaan dengan itu, tubuh Ki patih pun telah kembali pecah menjadi
beberapa ujud semu.
“Mirip sebuah aji yang dimiliki oleh
Prabu Salya dalam cerita babat Mahabarata,” desis ki Gede Menoreh perlahan
hampir tak terdengar.
“Ki Gede benar,” sahut Ki Jayaraga yang
berdiri di sebelahnya, “Namun perbedaannya terletak pada ujud semu itu sendiri.
Dalam cerita babat Mahabarata, diceritakan ujud-ujud semu itu berupa
raksasa-raksasa kerdil yang haus darah.”
“Ya,” berkata Ki Gede kemudian
menanggapi kata-kata Ki Jayaraga, “Perbedaan yang lain juga terletak pada
kemampuan yang dimiliki oleh ujud-ujud semu itu. Ujud semu Ki Patih itu hanya
mampu mengelabuhi lawannya dan bukan merupakan pancaran dari kekuatan ilmu Ki
Patih itu sendiri.”
Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian seolah olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Sungguh
beruntung ki Rangga Agung Sedayu yang telah mampu menguasai aji kakang Pembarep
adi Wuragil dengan sempurna sehingga jika Ki Rangga mengetrapkan ilmunya yang
tiada duanya itu, kemampuan ilmu Ki Rangga itu akan menjadi tiga kali lipat.”
Ki Gede menarik nafas panjang begitu Ki
Jayaraga menyebut nama Ki Rangga. Terbayang kembali pertempuran dahsyat antara
Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra sehari yang lalu.
“Aji Brahala Wuru memang sangat dahsyat
dan tiada taranya,” tanpa disadari Ki Gede bergumam kepada dirinya sendiri,
“Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi Ki Rangga sehingga dia mampu
memecahkan titik kelemahan ilmu saudara kembar Kecruk Putih itu.”
Ki Jayaraga hanya berpaling sekilas
mendengar gumam Ki Gede. Perhatiannya kembali tertuju ke medan perang tanding
yang semakin dahsyat.
Dalam pada itu, tandang Ki Ajar semakin
lama semakin nggegirisi. Udara di seputar medan perang tanding itu ternyata
telah menjadi semakin panas. Bahkan beberapa orang yang berdiri di pinggir
arena telah mundur beberapa langkah akibat pengaruh panas yang terasa menyengat
sampai di tempat mereka berdiri. Agaknya Ki Ajar telah merambah sampai pada
puncak ilmunya sehingga dia telah membakar medan perang tanding itu.
Ki Patih Mandaraka sebenarnya telah
menyadari sejak awal bahwa ilmu Ki Ajar lambat laun pasti akan membakar medan
dengan harapan akan dapat membuat pertahanan lawannya semakin melemah. Namun
tampaknya Ki Patih sudah memperhitungkan semua itu dengan cermat. Tandangnya
masih tetap trengginas serta bayangan semunya yang semakin banyak jumlahnya itu
sedikit banyak telah menghambat Ki Ajar dalam mengenali keberadaan Ki Patih.
Demikianlah, ketika Matahari memanjat
semakin tinggi, perang tanding itu pun telah merambah sampai pada puncaknya.
Serangan Ki Ajar yang terpancar dari keris Kiai Sarpasri bukan lagi berupa
gumpalan-gumpalan api berbisa yang meluncur susul-menyusul, namun sudah berupa
pancaran api yang berkobar-kobar mengejar ke arah mana pun lawannya menghindar.
Ki Patih menyadari bahwa satu-satunya
jalan untuk menghentikan serangan lawannya adalah dengan cara menghentikan
sumbernya, yang dalam hal ini adalah keris Kiai Sarpasri. Ki Patih harus
mencari cara untuk memisahkan keris itu dari tangan lawannya. Tanpa keris Kiai
Sarpasri di tangan Ki Ajar, kemampuan ilmu Ki Ajar akan jauh menyusut dan bagi
ki Patih tidak akan banyak menemui kesulitan untuk menundukkannya.
“Ki Patih agaknya belum menemukan cara
untuk menghentikan serangan lawannya yang berasal dari keris Kiai Sarpasri
itu,” gumam Ki Gede perlahan sambil pandangan matanya tidak lepas dari medan
perang tanding.
“Sebenarnya kemampuan ilmu Ki Ajar
tidak akan melampui kemampuan ilmu Ki Patih,” Ki Jayaraga menambahkan, “Namun
dukungan keris Kiai Sarpasri sangat berpengaruh dalam mengungkapkan ilmu puncak
Ki Ajar. Aku yakin, dengan, memisahkan keris itu dari tangan Ki Ajar, Ki Patih
tidak akan banyak menemui kesulitan dalam menghentikan perlawanan lawannya.”
Ki Gede mengerutkan keningnya sambil
berpaling sekilas ke arah Ki Jayaraga yang berdiri di sampingnya. Katanya
kemudian, “Bagaimana mungkin memisahkan keris itu dari tangan pemiliknya?”
Ki Jayaraga hanya menggeleng lemah
sambil menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Itu yang sedang aku
pikirkan. Semoga Ki Patih pun telah menyadari kekuatan inti dari ilmu lawannya
dan segera menemukan cara untuk mengatasinya.”
Ki Gede tidak menjawab, hanya kepalanya
saja yang terangguk-angguk. Ketika pandangan matanya sekilas menyambar ke
tempat Raden Mas Rangsang berdiri, jantung Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan
Menoreh itu pun tiba-tiba telah berdesir tajam.
Tidak jauh dari tempat kedua orang tua
itu berdiri, tampak Raden Mas Rangsang berdiri dengan wajah yang sangat tegang
sambil memperhatikan jalannya perang tanding yang sedang berlangsung dengan
dahsyatnya. Samar-samar pandangan mata Ki Gede telah melihat sesuatu yang
mendebarkan jantung.
“Ki Jayaraga,” perlahan Ki Gede
berbisik kepada Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya, “Aku melihat sesuatu
yang mendebarkan pada diri Raden Mas Rangsang.”
Ki Jayaraga yang perhatiannya sedang
tertumpah sepenuhnya pada jalannya perang tanding itu mengerutkan keningnya.
Dengan tetap memperhatikan jalannya pertempuran dia balik bertanya, “Apa yang sedang
terjadi pada diri Raden Mas Rangsang, Ki Gede?”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam
sebelum menjawab pertanyaan Ki Jayaraga. Sambil tetap berbisik, jawabnya
kemudian, “Lihatlah, Ki. Aku pernah mendengar sebuah cerita tentang leluhur
yang telah menurunkan Raja-Raja di tanah Jawa. Seorang Raja besar yang memiliki
ciri-ciri seperti yang tampak pada diri Raden Mas Rangsang sekarang ini. Apakah
ini sebuah pertanda dari Yang Maha Agung bahwa Raden Mas Rangsang memang telah
terpilih untuk memimpin Nusantara ini menuju puncak kejayaannya kembali?”
Ki Jayaraga terkejut. Tanpa membuang
waktu, dia segera berpaling ke arah Raden Mas Rangsang berdiri. Alangkah
terkejutnya guru Glagah Putih itu begitu dia melihat tanda-tanda sebagaimana
yang telah disebutkan oleh Ki Gede Menoreh itu.
“Luar biasa,” desis Ki Jayaraga,
“Menurut cerita yang pernah aku dengar, tanda-tanda itu memang sama dengan yang
pernah terlihat pada diri seorang penyamun penguasa Padang Karaotan yang pada
akhirnya mampu merayap menduduki tahta setelah dia memperistri seorang
perempuan yang terlahir sebagai Nareswari, seorang perempuan yang dipercaya
menurunkan raja-raja di tanah Jawa ini.”
“Ya, Ki,” jawab Ki Gede, “Namun
bagaimana dengan Raden Mas Wuryah? Bukankah Panembahan Hanyakrawati pernah
bersumpah untuk menjadikan keturunan dari putri Panaraga itu sebagai Putra
Mahkota?”
“Entahlah Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Padahal sebelum Raden Mas Wuryah lahir,
jabatan Adipati Anom itu telah diberikan kepada Raden Mas Rangsang.”
Sejenak kedua orang tua itu terdiam.
Ketika pandangan mata kedua orang tua itu kembali tertuju ke medan perang
tanding, ternyata telah terjadi perubahan yang sangat luar biasa.
Ketika Ki Ajar yang sedang dalam puncak
ilmunya itu mengejar kemana pun bayangan Ki Patih berpindah tempat di antara
bayangan-bayangan semunya, tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu yang
mendebarkan pada diri Raden Mas Rangsang yang sedang berdiri di pinggir arena.
Sekejap Ki Ajar bagaikan terpesona
melihat cahaya kemerah-merahan yang muncul di antara asap putih yang mengepul
di ubun-ubun pewaris trah Mataram itu. Ternyata dalam ketegangan dan kemarahan
yang luar biasa, tanpa disadarinya Raden Mas Rangsang telah menunjukkan sesuatu
yang luar biasa yang dianggap sebagian orang sebagai tanda-tanda akan munculnya
kembali seorang Raja besar yang akan menguasai Nusantara.
“Agaknya memang benar ramalan seorang
Wali yang waskita pada saat Pajang masih berkuasa dahulu bahwa keturunan
Mataram lah yang akan menguasai tanah Jawa ini. Kalau memang wahyu keprabon
telah berpindah, akan sia-sia lah perjuangan Eyang Guru untuk meneruskan trah
Sekar Seda Lepen,” berkata Ki Ajar dalam hati.
Namun perhatian Ki Ajar yang terpecah
walaupun hanya sekejap itu ternyata harus dibayar dengan sangat mahal. Serangan
Ki Ajar yang berupa pancaran api yang berkobar-kobar itu telah tersendat
beberapa saat sehingga kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ki Patih yang
berada di sebelah kiri Ki Ajar. Sejenak kemudian, selarik sinar kebiru-biruan
telah meluncur menerjang dada sebelah kiri Ki Ajar.
Bagaikan disengat ribuan lebah, ki Ajar
terkejut bukan alang kepalang begitu menyadari serangan lawannya tinggal
sejengkal dari dadanya. Dengan kecepatan yang tidak kasat mata, Ki Ajar pun
segera meloncat mundur. Namun apa yang terjadi kemudian adalah diluar
perhitungan Ki Ajar sendiri. Dada sebelah kiri Ki Ajar memang selamat dari
terjangan ilmu lawannya, namun selarik sinar kebiru-biruan yang gagal menggapai
dada kiri Ki Ajar itu justru telah menghantam pergelangan tangan kanan Ki Ajar
yang sedang memegang keris Kanjeng Kiai Sarpasri pada saat dia meloncat mundur.
Akibatnya sangat diluar dugaan Ki Ajar
sendiri. Sambaran ilmu lawannya itu telah membakar dan meremukkan pergelangan
tangan kanan Ki Ajar sehingga Ki Ajar tidak mampu lagi untuk mempertahankan
senjatanya. Keris Kanjeng Kiai Sarpasri yang selama ini menjadi sumber
kekuatannya itu pun telah terlepas dari genggamannya dan terlontar beberapa
langkah kemudian jatuh tergeletak di atas tanah.
“Iblis, setan, gendruwo, tetekan!”
umpat Ki Ajar tak henti-hentinya sambil berdesis menahan rasa sakit yang
mendera pergelangan tangan kanannya.
Ki Patih Mandaraka tidak menanggapi
umpatan ki Ajar. Tekadnya sudah bulat untuk segera mengakhiri perang tanding
yang melelahkan itu, sebelum tenaganya sendiri menjadi semakin menyusut seiring
dengan dukungan wadagnya yang semakin melemah. Namun melihat lawannya sudah
tidak memegang pusaka andalannya lagi, sejenak Ki Patih menjadi ragu-ragu. Ki
Patih tidak ingin menyerang lawan yang sudah tidak berdaya.
“Menyerahlah Ki Ajar,” akhirnya Ki
Patih kemudian berkata, “Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Kami
selalu memperlakukan para tawanan dengan baik dan berpegang pada paugeran yang
berlaku. Masih ada jalan kembali bagi Ki Ajar.”
“Persetan dengan sesorahmu!” geram Ki
Ajar dengan mata menyala, “Aku belum kalah dan hanya kematian yang dapat
mengakhiri perang tanding ini.”
Ki Patih tertegun. Agaknya kekerasan
hati Ki Ajar telah memburamkan penalarannya, dan hanya kematian yang dapat menghentikan
polah tingkahnya.
Sejenak kedua orang yang sedang
menyabung nyawa itu masih saling menunggu. Kesempatan itu digunakan
sebaik-baiknya oleh ki Patih untuk memulihkan tenaganya walaupun tidak
sepenuhnya. Dengan menarik nafas dalam-dalam berkali-kali, tubuh Ki Patih yang
telah rapuh dimakan usia itu pun menjadi sedikit segar kembali.
Dalam pada itu, Ki Ajar yang menyadari
sepenuhnya akan ketinggian ilmu Ki Patih segera mengambil sikap. Tanpa keris
Kanjeng Kiai Sarpasri di tangannya, ilmunya tidak akan mampu mengimbangi ilmu
lawannya.
Namun apa yang dilakukan oleh Ki Ajar
kemudian justru telah membuat Ki Patih terkejut. Menurut perhitungan Ki Patih,
lawannya itu pasti akan berusaha untuk meraih senjatanya kembali yang telah
terjatuh. Namun apa yang dilakukan oleh lawannya itu benar-benar di luar dugaan
ki Patih.
Selagi Ki Patih masih menunggu
pergerakan lawannya, tiba-tiba saja hampir tidak dapat diikuti oleh pandangan
mata wadag, tangan kiri Ki Ajar dengan cepat telah menyusup ke balik bajunya
dan sejenak kemudian beberapa pisau kecil telah meluncur bagaikan tatit susul
menyusul menerjang ke arah Ki Patih.
Ki Patih Mandaraka yang sama sekali
tidak menyangka akan mendapat serangan seperti itu menjadi sedikit gugup. Pisau
pertama dan kedua masih mampu dihindarinya, namun pisau berikutnya ternyata Ki
Patih agak terlambat menghindar sehingga ujung pisau yang sangat tajam itu
telah berhasil menggores lengan kirinya.
Sejenak Ki Patih terhuyung ke belakang
beberapa langkah. Sebuah desis tertahan terdengar dari mulut Ki Patih. Memang
tidak banyak darah yang tertumpah dari luka itu. Namun justru dengan demikian
Ki Patih segera menyadari bahwa pisau itu pasti mengandung racun yang sangat
kuat.
Ternyata serangan pisau-pisau itu hanya
sebuah cara dari Ki Ajar untuk mengalihkan perhatian Ki Patih. Begitu usahanya
berhasil, dengan sebuah lompatan yang panjang, Ki Ajar berusaha meraih keris
Kanjeng Kiai Sarpasri yang tergeletak beberapa langkah di depannya.
Begitu tangan kiri Ki Ajar berhasil
meraih keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri, segera terdengar kembali suara
tertawanya yang meledak memenuhi udara tanah pekuburan. Sementara Ki Patih yang
lengan kirinya terluka oleh pisau beracun itu telah terjatuh pada kedua
lututnya dengan kepala tertunduk dan kedua tangan menggantung di kedua sisi
tubuhnya. Agaknya racun yang sangat kuat telah mulai bekerja menyerang
ketahanan tubuh Ki Patih.
“Juru Mertani!” teriak Ki Ajar sambil
mengangkat keris di tangan kirinya tinggi-tinggi, begitu melihat lawannya sudah
tak berdaya, “Tidak ada satu obat pun yang mampu menawarkan racun pada
senjataku. Cepat atau lambat, Kau pasti akan mati. Namun aku akan mempercepat
kematianmu dengan keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri. Maka tataplah langit dan
peluklah bumi. Jangan rindukan lagi terbitnya Matahari esok pagi.”
Sebenarnya racun yang terdapat pada
pisau belati Ki Ajar itu memang sangat kuat dan jahat. Sebagai keturunan
seorang Wali linuwih pendiri Giri Kedaton, tentu saja Ki Patih Mandaraka yang
semasa mudanya bernama Juru Mertani itu mempunyai darah yang kebal terhadap
segala macam racun. Namun begitu kuatnya racun itu menyerang kekebalan tubuhnya
sehingga telah terjadi pergulatan yang dahsyat di dalam tubuh Ki Patih yang
menyebabkan darahnya bergolak dan tubuhnya gemetaran.
Ki Patih sendiri sempat terkejut ketika
merasakan tubuhnya gemetar dan seluruh persendiannya bagaikan terlepas. Untuk
menahan agar tubuhnya tidak limbung dan jatuh terguling, Ki Patih justru telah
mengambil sebuah keputusan yang menguntungkan dirinya, membiarkan dirinya
terjatuh pada kedua lututnya.
Agaknya racun yang merasuki tubuh Ki
Patih itu begitu kuatnya sehingga diperlukan beberapa saat untuk memulihkan
kekuatannya sebelum racun yang mengeram dalam tubuh Ki Patih terdesak oleh
penawar racun yang mengalir dalam darahnya.
Ki Jayaraga dan Ki Argapati yang
berdiri di luar arena perang tanding itu menjadi semakin berdebar debar. Mereka
melihat Ki Patih telah terjatuh pada kedua lututnya dengan tubuh yang bergetar
keras dan wajah sepucat kapas. Namun mereka tidak yakin kalau perlawanan Ki
Patih telah berakhir. Tentu ada suatu siasat yang sedang dijalankan oleh Ki
Patih.
“Tentu racun itu sangat kuat sehingga
Ki Patih memerlukan waktu untuk mengatasinya,” berkata Ki Jayaraga dalam hati.
Berpikir sampai di situ, Ki Jayaraga
segera berteriak lantang dari pinggir arena, “Tunggu Ki Ajar! Ki Ajar tentu
tidak berkeberatan jika aku yang akan menjadi lawan Ki Ajar berikutnya!”
Ki Ajar yang mendengar teriakan Ki
Jayaraga dari pinggir arena perang tanding itu telah menunda serangannya. Dengan
kening yang berkerut-merut, ki Ajar pun sejenak memandang tajam ke arah Ki
Jayaraga. Sambil menunjuk ke arah Ki Jayaraga dengan keris di tangan kirinya,
Ki Ajar pun kemudian berteriak lantang, “Apa peduliku, he! Setelah membunuh Ki
Juru, tentu aku akan membunuh kalian semua. Tidak ada seorang pun di seluruh
tlatah Mataram ini yang mampu menandingi kedahsyatan keris Kanjeng Kiai
Sarpasri!”
“Tentu tidak!” teriak Ki Gede memotong
ucapan Ki Ajar. Agaknya Ki Gede pun tanggap dengan sikap Ki Jayaraga. Sambil mengangkat
tombak pendeknya tinggi-tinggi, Ki Gede pun kemudian berteriak tak kalah
lantangnya, “Tombak pendek pusaka Menoreh ini pasti akan mampu menandingi
pusakamu.”
Ki Ajar yang sudah merasa di atas angin
itu kembali tergelak. Katanya kemudian di sela-sela tawanya, “He! Dengar kalian
orang-orang dungu! Hanya tombak pusaka terbesar Mataram Kanjeng Kiai Plered
sajalah yang mampu menandingi kesaktian pusakaku ini. Aku katakan sekali lagi,
hanya mampu menandingi, bukan mengalahkan. Semuanya tergantung kepada orang
yang menggunakannya.”
Kedua orang tua itu tidak menjawab.
Ketika sudut mata mereka melihat wajah Ki Patih sudah tidak sepucat tadi,
hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Ki Gede telah menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata usaha kedua orang tua itu untuk mengulur waktu agar Ki Patih mendapat
kesempatan beberapa saat untuk mengembalikan kekuatannya telah berhasil. Namun
ternyata ki Patih telah mengambil keputusan untuk tetap berdiri pada kedua
lututnya dengan kedua tangan yang menggantung lemah di sisi tubuhnya.
Ketika racun yang akan menjalar itu
telah terhenti karena desakan kekuatan penawar racun yang mengalir dalam darah
Ki Patih dan hanya menggumpal di sekitar luka di lengan kirinya, Ki Patih pun
dengan tanpa menarik perhatian lawannya segera memusatkan segenap nalar dan
budinya serta dilambari ketulusan dan kepasrahan kepada Yang Maha Hidup, untuk
mengungkapkan ilmu puncaknya.
Demikianlah akhirnya, Ki Ajar yang
sedang menikmati kemenangan kecilnya itu ternyata telah lengah menilai sikap Ki
Patih. Dalam perhitungannya, Ki Patih sudah tidak akan mampu lagi mengadakan
perlawanan akibat racun yang telah menjalar di dalam tubuhnya.
Setelah melihat kedua orang tua yang
berdiri di pinggir arena perang tanding itu tidak melanjutkan kata-katanya dan
hanya berdiri termangu-mangu, dengan teriakan yang menggelegar, Ki Ajar pun
kemudian telah mengangkat kembali keris pusaka di tangan kirinya tinggi-tinggi
dan siap melontarkan ilmunya yang nggegirisi.
Orang-orang yang berdiri di seputar
arena perang tanding itu menjadi semakin berdebar-debar menanti akhir dari
perang tanding itu. Bahkan Ki Jayaraga dan Ki Argapati yang telah yakin akan
keadaan Ki Patih masih juga dihinggapi rasa was-was. Sementara Ki Lurah
Mandurareja dan Ki Lurah Upasanta telah menggenggam tangkai senjata mereka
erat-erat. Bagaimana pun juga, Ki Patih adalah Eyang mereka yang sangat mereka
cintai dan hormati. Keduanya telah berjanji dalam hati, jika sesuatu terjadi
pada Eyang mereka, mereka telah memutuskan untuk menyabung nyawa dengan orang
yang menyebut dirinya keturunan dari perguruan Nagaraga itu.
Dalam pada itu di pinggir hutan yang
masih lebat yang bersebelahan dengan padang perdu dekat pemakaman padukuhan
induk, hampir tidak tampak oleh mata wadag, dua orang sedang berdiri melekat
pada sebatang pohon besar yang tumbuh menjulang di pinggir hutan.
“Mengapa Ki Ajar tiba-tiba saja menjadi
seperti kanak-kanak yang cengeng?” seorang yang berperawakan tinggi besar
dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya berdesis perlahan, “Apa untungnya
mengulur-ulur waktu hanya untuk membunuh seorang Juru Mertani?”
Kawannya yang di sebelahnya tertawa
tertahan. Jawabnya kemudian, “Apa Kau belum mengenal sifat Ki Ajar yang
sebenarnya? Dia terbiasa mempermainkan korbannya terlebih dahulu sebelum
membunuhnya. Agaknya kali ini pun dia ingin menikmati kegemarannya itu.”
“Aku menjadi tidak telaten!” geram
orang yang pertama, “Sebaiknya Ki Ajar segera membunuh orang dari Sela itu agar
kita dapat segera tampil di medan untuk membantunya mencabut nyawa
cecurut-cecurut Mataram.”
Kawannya yang berdiri di sebelahnya
tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala. Katanya kemudian, “Yang harus
dibunuh setelah Juru Mertani adalah Mas Rangsang. Dengan demikian akan putuslah
trah Mataram dan selanjutnya trah Sekar Seda Lepen yang akan merajai tanah Jawa
ini.”
Orang yang bergelang besi itu
mengerutkan keningnya sambil berpaling. Dengan sedikit ragu-ragu dia mengajukan
pertanyaan, “Bagaimana dengan Mas Wuryah?”
“Ah! Pangeran bebal itu? Pangeran yang
satu itu sama sekali tidak masuk hitungan Eyang Guru. Jangankan memikirkan
pemerintahan Mataram, untuk mengenali diri sendiri saja Mas Wuryah tidak akan
mampu.”
Orang yang bergelang besi itu menarik
nafas dalam-dalam. Ketika tanpa disadarinya dia telah berpaling ke belakang,
pandangan matanya yang tajam itu segera saja mengenali beberapa orang yang
sedang bersembunyi di antara lebatnya pepohonan dan pepatnya gerumbul-gerumbul
semak belukar.
“Lima belas orang,” desisnya kemudian.
Kawannya tersenyum. Katanya kemudian,
“Sudah lebih dari cukup. Kita akan membebaskan Jabung dan kawan-kawannya
terlebih dahulu sebelum membunuh orang-orang Mataram, sehingga kekuatan kita
akan bertambah.”
Orang yang bergelang besi itu tidak
menjawab, hanya kepalanya saja yang tampak terangguk-angguk.
“Agaknya perhitungan Eyang Guru
mendekati kebenaran,” berkata kawannya itu kemudian sambil berpaling ke
belakang mengamati-amati orang-orangnya yang sedang bersembunyi, “Ki Ajar dan
murid-muridnya ternyata telah terlambat dan tidak sempat bergabung dengan
pasukan Panembahan Cahya Warastra. Adalah sangat mengherankan ketika kita
beserta beberapa orang telah diperintahkan oleh Eyang Guru untuk menyusul Ki
Ajar. Eyang Guru mungkin memperhitungkan sifat Ki Ajar yang keras kepala yang
ingin melampiaskan dendam perguruan Nagaraga kepada keturunan Panembahan
Senapati, apapun yang terjadi. Sayang, kedatangan kita pun juga terlambat untuk
bergabung dengan Ki Ajar. Kita datang ketika perang tanding itu telah
berlangsung.”
Kembali orang bergelang besi itu tidak
menjawab, pandangan matanya tetap saja lurus ke depan, ke arah tanah pekuburan.
Tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Bahkan tanpa disadarinya dia telah maju
beberapa langkah agar dapat lebih jelas melihat apa yang sedang terjadi di
arena perang tanding.
Kawannya yang melihat orang bergelang
besi itu maju beberapa langkah menjadi terkejut. Dengan tergesa-gesa dia segera
menyusul. Namun baru saja dia mengayunkan langkah, terdengar suara ledakan yang
memekakkan telinga dari arah tanah pekuburan.
“Gila!” tiba-tiba orang yang bergelang besi
itu mengumpat keras, “Apa yang sebenarnya telah terjadi, he..?”
Kawannya dengan ragu-ragu dan sedikit
memicingkan mata mencoba untuk mengamat-amati apa yang sedang terjadi di arena
perang tanding itu. Alangkah terkejutnya dia ketika pandangan matanya tidak
lagi menangkap sosok Ki Ajar yang berdiri tegak dengan tangan kiri mengangkat
keris pusakanya tinggi-tinggi. Ki Ajar tidak tampak lagi di medan perang
tanding, yang tampak hanya lah Ki Patih yang rebah di atas tanah serta beberapa
orang yang tampak sedang mengerumuninya.
“Kemana Ki Ajar?” tanpa sadar
pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Orang yang bergelang besi itu menggeram
keras sambil mengeluarkan sebuah umpatan yang sangat kotor. Kemudian sambil
berpaling ke arah kawannya yang telah berdiri di sebelahnya dia berkata
setengah membentak, “Itulah akibatnya kalau Ki Ajar terlalu menuruti hawa
nafsunya. Ki Ajar harus membayar kelengahannya dengan nyawanya!”
Kawannya terkejut. Dengan jantung yang
berdebaran dicobanya sekali lagi mengamati arena perang tanding. Ketika tampak
beberapa prajurit berlari-larian menuju ke sebuah gerumbul yang agak lebat,
barulah dia melihat samar-samar seseorang telah tertelungkup yang sebagian
tubuhnya berada di dalam semak belukar.
“Ki Ajar kah itu?” tanyanya kemudian
dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam dadanya, “Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi?”
Orang yang bergelang besi itu sekali
lagi mengumpat. Kemudian sambil bergegas melangkah ke dalam hutan dia berkata,
“Tidak ada gunanya lagi kita berada di sini. Membuang-buang waktu saja. Lebih
baik kita segera kembali dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini.”
Sejenak kawannya masih berdiri
termangu-mangu. Ada sebersit keraguan di dalam hatinya bahwa seseorang yang
tertelungkup itu adalah Ki Ajar. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana
mungkin Ki Ajar yang sudah tampak menguasai lawannya itu justru telah terbunuh.
Namun ketika para prajurit telah mengangkat tubuh yang tertelungkup itu dan
membawanya ke tempat yang agak lapang, barulah dia yakin bahwa tubuh yang sudah
tak bernyawa itu adalah Ki Ajar.
“Gila!” sekarang giliran orang itu yang
mengumpat.
Untuk beberapa saat dia masih menunggu
perkembangan. Ketika dia kemudian berpaling ke belakang, tampak orang yang
bergelang besi itu bersama-sama dengan yang lainnya telah meninggalkan tempat.
“Agaknya Ki Ajar telah salah
perhitungan,” berkata orang itu dalam hati sambil melangkah menyusul
kawan-kawannya, “Ki Ajar begitu yakin dengan kekuatan racun yang terdapat di
pisau belatinya. Ternyata Ki Juru Mertani sangat cerdik dan telah berhasil
mengelabui Ki Ajar.”
Ketika langkahnya hampir mencapai hutan
yang masih cukup lebat itu, tiba-tiba saja langkahnya telah terhenti. Sejenak
dia berpaling ke arah tanah pekuburan, namun kemudian langkahnya pun kembali
terayun menyusul kawan-kawannya yang telah terlebih dahulu meninggalkan tempat
itu.
“Eyang Guru pasti akan memanggil keris
Kanjeng Kiai Sarpasri itu kembali,” berkata orang itu dalam hati, “Aku tidak
perlu mencarinya.”
Demikian lah akhir dari perang tanding
itu. Ki Ajar ternyata telah salah perhitungan dalam menilai sikap Ki Patih.
Yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan Ki Ajar Serat Gading. Belum
sempat dia menghentakkan puncak ilmunya melalui keris Kanjeng Kiai Sarpasri di
tangan kirinya yang telah diangkatnya tinggi-tinggi, dengan gerakan yang hampir
tidak kasat mata, Ki Patih telah menghentakkan puncak ilmunya lewat kedua
tangannya yang teracu kedepan.
Ki Ajar yang sudah merasa akan segera
dapat mengakhiri perang tanding itu dengan mudah, ternyata telah dikejutkan
oleh selarik cahaya kebiru-biruan yang meluncur mengarah ke dadanya.
Tidak ada kesempatan sama sekali bagi
Ki Ajar untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya hanyalah menghimpun tenaga
cadangannya setinggi-tingginya untuk melindungi tubuhnya dari kehancuran.
Sejenak kemudian terdengar sebuah
ledakan dahsyat di tanah pekuburan itu. Tidak terdengar sebuah keluhan pun dari
mulut Ki Ajar. Tubuh Ki Ajar itu bagaikan terdorong oleh sebuah kekuatan
raksasa dan terlempar ke belakang beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh
terpuruk di antara semak dan belukar. Sementara keris Kanjeng Kiai Sarpasri
yang berada di tangan kirinya telah terlempar entah ke mana.
Lanjut nang TDBM 412
Komentar
Posting Komentar