Jilid 401
“NAH,” berkata Kanjeng
Sunan kemudian, “Aku akan melanjutkan perjalananku mendaki perbukitan Menoreh.
Terserah kepadamu anak muda, apakah Kau akan mengikuti aku ataukah melanjutkan
perjalananmu sendiri menemui Ki Rangga Agung Sedayu?”
Untuk
beberapa saat anak muda itu masih termangu-mangu. Namun ketika orang yang
dipanggil Kanjeng Sunan itu mulai bergerak melangkahkan kakinya, dengan tanpa
berpikir panjang, anak muda itu pun segera menyusul sambil berkata, “Ampun
Kanjeng Sunan, jika diijinkan, perkenankan hamba mengikuti Kanjeng Sunan
mendaki perbukitan Menoreh.”
Kanjeng
Sunan tidak menjawab. Hanya sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah berjalan menyusuri jalan setapak di
pinggir hutan menuju ke perbukitan Menoreh.
--oo0oo--
Dalam
pada itu di padukuhan induk, Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh sedang
mempersiapkan pemberangkatan pemakaman para korban baik dari pihak prajurit
Mataram dan pengawal Menoreh, maupun dari pasukan Panembahan Cahya Warastra.
Dari pihak Mataram telah hadir pula Ki Tumenggung Surayudha.
“Ki
Patih Mandaraka menyampaikan permohonan maafnya tidak bisa menghadiri
pemberangkatan pemakaman ini, Ki Gede,” berkata Ki Tumenggung Surayudha saat
mereka bertiga berdiri di pendapa banjar padukuhan induk, tempat para jenazah
disemayamkan untuk sementara, “Ki Patih masih membicarakan sesuatu yang sangat
penting dengan Raden Mas Rangsang.”
Ki Gede
tersenyum. Jawabnya kemudian, “Kami sudah sangat berterima kasih atas kehadiran
Ki Tumenggung.”
“Sudah
seharusnya kami hadir di sini,” sahut Ki Tumenggung Surayudha, “Bukan karena
ada beberapa prajurit kami yang gugur, namun ini adalah sebuah bentuk
penghormatan dari Mataram atas bantuan dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh
dalam menghancurkan pasukan Panembahan Cahya Warastra yang dapat menjadi duri
dalam daging bagi pemerintahan Mataram di masa yang akan datang.”
Mereka
yang hadir di pendapa banjar padukuhan induk itu pun mengangguk-anggukkan
kepala.
“Apakah
keluarga para prajurit Mataram yang gugur sudah dihubungi?” bertanya Ki Gede
kemudian.
Ki
Tumenggung Surayudha menggeleng. Jawabnya, “Itu membutuhkan waktu. Bagi seorang
prajurit, gugur di medan tugas adalah akibat yang wajar dari sebuah pekerjaan.
Sejak kali pertama mereka memasuki lingkungan keprajuritan, kemungkinan seperti
itu sudah ditanamkan sejak dini. Demikian juga keluarga para prajurit, mereka
sudah menyadari akibat paling buruk yang dapat menimpa anggota keluarga mereka
jika salah satu dari anggota keluarga telah membulatkan tekat untuk mengikatkan
diri menjadi seorang prajurit,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Kemudian
lanjutnya, “Namun demikian kami atas nama pemerintah Mataram akan menghubungi
keluarga mereka setelah kita kembali ke ibu kota. Segala sesuatunya telah
diatur dalam sebuah paugeran termasuk santunan yang berhak diterima oleh para
keluarga korban.”
Hampir
bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepala.
“Apakah
keluarga dari para pengawal Menoreh yang gugur juga telah dihubungi?” sekarang
Ki Tumenggung Surayudha yang ganti bertanya.
“Sudah
Ki Tumenggung,” jawab Ki Jayaraga yang berdiri di sampingnya, “Kita sedang
menunggu kedatangan mereka.”
Ki
Tumenggung Surayudha mengangguk anggukkan kepalanya, sementara Ki Gede Menoreh
telah menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya yang sayu menatap kosong ke
titik-titik di kejauhan. Seolah-olah terbayang kembali beberapa puluh tahun
yang lalu ketika api membakar Tanah Perdikan Menoreh karena pertikaian
keluarga. Seandainya dengan dada tengadah dan niat baik, Sidanti pada waktu itu
menghadap kepadanya dan meminta untuk diangkat menjadi kepala tanah Perdikan
menggantikan dirinya, mungkin sejarah dapat berubah. Tidak ada secuwil niat pun
di dalam hatinya untuk membedakan antara Sidanti dengan Pandan Wangi. Namun
semuanya telah berlalu, dan untuk kesekian kalinya Tanah Perdikan Menoreh harus
berduka kembali, karena putra-putra terbaiknya telah gugur dalam menegakkan dan
mempertahankan tanah kelahiran mereka.
“Ternyata
kedatangan orang-orang bercambuk itu telah menorehkan sejarah panjang Tanah
Perdikan ini,” gumam Ki Gede Menoreh dalam hati, “Khususnya Ki Rangga Agung
Sedayu jasanya terhadap tanah ini benar-benar tidak dapat dihitung dan dinilai
dengan apapun. Tidak salah sebenarnya kalau Pandan Wangi pada waktu itu telah
menjatuhkan pilihan kepadanya. Yang salah adalah waktu, mengapa puteriku
terlambat mengenal Ki Rangga Agung Sedayu sedangkan gadis dari Sangkal Putung
itu telah menarik hati Ki Rangga terlebih dahulu.”
“Ki
Gede,” tiba-tiba kata-kata Ki Jayaraga telah membuyarkan lamunan Ki Gede
Menoreh, “Agaknya para keluarga korban telah berdatangan.”
Ki Gede
Menoreh mengerutkan keningnya yang sudah berkeriput. Tampak berpuluh-puluh
orang, baik laki-laki maupun perempuan bahkan kanak-kanak telah berhamburan
memasuki halaman banjar padukuhan. Segera saja suasana menjadi sangat gaduh.
Jerit tangis yang memilukan pun segera meledak begitu mereka mulai menaiki
tangga pendapa dan mencoba mengenali keluarga mereka yang telah menjadi korban.
Perempuan-perempuan menangis sejadi-jadinya sambil menjerit-jerit dan berteriak
memanggil-manggil nama suami atau pun anak laki-laki mereka. Tak terkecuali
kanak-kanak yang masih belum mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, telah
ikut menangis karena biyung-biyung mereka juga menangis. Sedangkan para lelaki
tampak hanya menahan getaran yang melanda rongga dada mereka dengan menahan
nafas dan tangan yang dikepal keras-keras untuk menahan jatuhnya air mata.
Beberapa
pengawal dibantu oleh prajurit Mataram telah membimbing dan mencoba menenangkan
perempuan-perempuan yang telah kehilangan kendali. Mereka menangis
meraung-raung disisi jenasah Ayah, suami ataupun saudara kandung mereka yang
telah gugur dalam menunaikan tugas.
Seorang
perempuan muda sambil menggendong bayinya yang masih berumur beberapa bulan
tampak berdiri termangu-mangu di tangga pendapa. Air matanya berlinangan
membasahi wajahnya bagaikan sumber air di musim penghujan yang tidak pernah
kering. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan bibir yang bergetar hebat namun
tak sepatah kata pun yang terucap. Tidak terdengar jeritan atau teriakan,
bahkan sebuah isak tangis pun. Hanya pandangan matanya yang tampak redup itu
dengan nanar menjelajahi ke seluruh sudut-sudut pendapa. Dicobanya untuk
mengenali barangkali dia dapat menemukan keberadaan suaminya dari tempatnya
berdiri. Dia merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melangkahkan kakinya
mendekati mayat-mayat yang terbujur diam berjajar-jajar diatas lantai pendapa
beralaskan tikar pandan dalam balutan putihnya kain kafan.
Ki Gede
yang melihat seorang perempuan muda sedang berdiri termangu-mangu di tangga
pendapa, segera mengayunkan langkahnya. Sesampainya Ki Gede di depan perempuan
muda itu, beberapa saat Ki Gede tidak tahu harus berbuat apa. Perempuan muda
itu tampak linglung karena goncangan yang dahsyat telah mendera jantungnya.
“Nyi,”
akhirnya dengan sangat berhati-hati Ki Gede mencoba menyapa, “Apakah ada
sesuatu yang dapat aku bantu?”
Perempuan
itu masih tetap termangu seolah tidak mendengar sapa Ki Gede. Baru ketika Ki
Gede mengulangi pertanyaannya, dengan perlahan dia berpaling. Begitu menyadari
siapa yang berdiri di hadapannya, bagaikan bendungan yang pecah diterjang
banjir di musim hujan, tangisnya pun meledak tak tertahankan lagi. Tubuhnya
limbung ke kiri, kalau saja Ki Gede tidak dengan segera menahan tubuh yang
limbung itu dengan cara memegangi lengan kirinya, tentu perempuan muda yang
sedang menggendong bayinya itu sudah jatuh terjerembab di tangga pendapa.
Beberapa
pengawal segera memburu untuk membantu Ki Gede. Dengan perlahan-lahan akhirnya
perempuan muda itu pun dibantu untuk dapat duduk bersimpuh di tangga pendapa.
Tangisnya terdengar sangat memilukan hati. Apalagi ketika bayi dalam
gendongannya terbangun dari tidur lelapnya dan ikut menangis
melengking-lengking, suasana pun menjadi semakin kisruh.
Ki Gede
masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sejenak dipandanginya perempuan
muda yang bersimpuh selangkah di hadapannya itu dengan jantung yang bagaikan
diremas-remas. Perang memang selalu membawa korban dan kebanyakan para kawula
alit lah yang paling menderita.
“Sudahlah
Nyi..,” akhirnya dengan kata-kata sedikit ditekan Ki Gede mencoba menghibur
sambil berjongkok di depan perempuan muda itu, “Sebaiknya Kau lebih
mengedepankan nalarmu dari pada mengikuti perasaanmu. Lihatlah, bayimu ikut
menangis dan kelihatannya membutuhkan perhatianmu. Mungkin dia merasa haus.
Sebaiknya Kau rawat dulu bayimu.”
Mendengar
Ki Gede menyebut bayinya, perempuan muda itu seolah-olah baru saja terbangun
dari sebuah mimpi buruk. Dengan segera dipeluknya bayi yang sedang menangis
melengking-lengking dalam gendongannya dan dicium kedua pipinya agar menjadi
sedikit lebih tenang.
“Masuklah
ke pringgitan,” berkata Ki Gede kemudian sambil berdiri, “Di sana Kau dapat
memberi minum bayimu dengan lebih leluasa.”
Perempuan
muda itu hanya menganggukkan kepalanya sambil bangkit berdiri. Dengan sekuat
tenaga dia berusaha untuk menahan tangisnya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu
yang masih menyangkut di tenggorokannya sehingga nafasnya menjadi
tersengal-sengal. Ketika seorang pengawal kemudian mempersilahkannya ke
pringgitan lewat samping pendapa, dia pun hanya menurut saja.
Ketika
bayangan perempuan muda itu telah hilang di balik pintu pringgitan, barulah Ki
Gede beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan menuju ke tempat Ki Jayaraga
dan Ki Tumenggung Surayudha berdiri menunggu.
“Ki
Gede, apakah pemberangkatan jenasah sudah dapat dimulai?” bertanya Ki Jayaraga
sesampainya Ki Gede di hadapannya.
Ki Gede
belum menjawab. Sejenak ditebarkan pandangan matanya ke seluruh pendapa.
Perempuan-perempuan masih menangis walaupun tidak sekeras pada saat pertama
kali mereka datang, sedangkan beberapa laki-laki sudah dapat menguasai perasaan
mereka dan mulai membantu menyiapkan pemberangkatan jenasah. Beberapa orang
telah membantu para pengawal dan prajurit menyiapkan alat pengusung jenasah
yang terbuat dari bambu yang sederhana karena dibuat dengan sangat
tergesa-gesa.
Ketika
Ki Gede masih menilai kesiapan peralatan yang akan digunakan untuk mengusung
jenasah, tiba-tiba dari arah regol banjar padukuhan induk tampak beberapa orang
sedang berjalan memasuki halaman.
“Ki
Patih Mandaraka dan Raden Mas Rangsang berkenan hadir!” terdengar seorang
prajurit berseru.
Hampir
bersamaan ketiga orang yang berdiri di pendapa itu berpaling kearah regol
halaman banjar padukuhan. Tampak Ki Patih Mandaraka dan Raden Mas Rangsang
sedang berjalan melintasi halaman dikawal oleh para prajurit kepatihan.
Dengan
tergopoh-gopoh Ki Gede bersama Ki Jayaraga dan Ki Tumenggung Surayudha segera
menyambut kedatangan kedua bangsawan itu.
“Merupakan
suatu anugrah bagi kami atas berkenannya Ki Patih dan Raden Mas Rangsang hadir
di tempat ini,” sambut ki Gede Menoreh sambil menyalami kedua bangsawan Mataram
itu.
“Mereka
adalah pahlawan bagi Mataram,” sahut Ki Patih sambil menyambut uluran tangan Ki
Gede, “Sudah selayaknya dan juga merupakan suatu kewajiban bagi kami untuk
menghormati mereka sampai ke peristirahatan yang terakhir.”
Beberapa
orang yang mendengar kata-kata Ki Patih itu menarik nafas dalam-dalam. Beberapa
keluarga korban bahkan merasa sedikit terhibur mendengar apa yang dikatakan
oleh Ki Patih.
Setelah
mereka menempatkan diri di depan pintu pringgitan, Ki Gede pun kemudian
mempersilahkan Ki Patih Mandaraka untuk memberikan sesorahnya.
“Setiap
jiwa akan kembali menghadap Sang Pencipta, “ berkata Ki Patih Mandaraka memulai
sesorahnya, “Hanya saja kita tidak diperkenankan untuk mengetahui kapan dan
bagaimana cara kita kembali menghadapNya.”
Orang-orang
yang hadir di pendapa itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mereka
yang terbaring di pendapa ini, telah lulus dari segala ujian yang diberikan
oleh Yang Maha Agung. Kini mereka dapat pulang kembali ke haribaan Nya untuk
menikmati apa yang telah mereka sumbangsihkan kepada negara dan bangsa serta
amal ibadah selama mereka hidup di dunia. Di dunia mereka akan selalu kita
kenang sebagai pahlawan, dan di kehidupan yang langgeng mereka akan mendapatkan
balasannya berupa derajat yang tinggi di sisi Tuhan mereka,” Ki Patih Mandaraka
berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Atas nama Penguasa Tertinggi Mataram,
kami mengucapkan bela sungkawa yang sangat dalam disertai dengan permohonan doa
kepada Yang Maha Kuasa, semoga diampuni segala dosa mereka serta diterima
segala amal ibadah mereka. Bagi keluarga yang ditinggalkan, baik dari prajurit
Mataram maupun pengawal Tanah Perdikan Menoreh, kami doakan semoga tabah dalam
menerima cobaan ini dan selalu mendekatkan diri dan pasrah serta menerima
dengan ikhlas segala sesuatu yang telah menjadi ketentuanNYA.”
Suasana
benar-benar hening. Sudah tidak ada lagi isak tangis di antara mereka. Agaknya
apa yang telah disampaikan oleh Ki Patih Mandaraka sedikit banyak telah
mendinginkan dada mereka yang hadir di pendapa pagi itu.
“Selanjutnya,”
Ki Patih Mandaraka meneruskan sesorahnya, “Untuk mengenang jasa-jasa para
pahlawan yang telah gugur dalam pertempuran hari kemarin, Pemerintah Mataram
akan memberikan penghargaan berupa santunan bagi para ahli waris yang berhak.
Jangan lah menilai penghargaan ini terlalu dangkal dalam ukuran duniawi, namun
lebih dari itu, mereka tentu akan menerima pahala yang jauh lebih baik di sisi
Tuhan mereka. Semoga apa yang dapat diberikan oleh Pemerintah Mataram ini
nantinya bermanfaat dan selanjutnya dapat untuk membantu menopang kehidupan
para ahli warisnya dalam meneruskan kehidupan bebrayan. Setelah pemakaman ini
selesai, para ahli waris dapat berhubungan dengan Ki Lurah Panyarikan.”
Ki
Lurah Panyarikan yang berdiri di ujung pendapa segera maju dua langkah sambil
menganggukkan kepalanya dalam-dalam agar para keluarga korban dapat
mengenalinya dan pada saatnya nanti dapat menghubungi untuk kepentingan
mengurus hak para ahli waris.
“Nah,
kiranya tidak ada lagi yang perlu kami sampaikan,” berkata Ki Patih kemudian,
“Untuk selanjutnya, marilah dengan penuh khidmat kita hantarkan jenasah para
pahlawan ini ke peristirahatan yang terakhir.”
Demikianlah
akhirnya, setelah seorang sesepuh dari padukuhan induk yang ikut hadir di situ
memimpin doa, dengan berangsur-angsur para pengawal dan prajurit yang sedang
bertugas dibantu oleh sebagian laki-laki keluarga korban segera mengangkat
jenasah satu persatu turun dari pendapa. Sejenak kemudian iring-iringan itu pun
telah keluar dari halaman banjar padukuhan induk menuju ke tempat pemakaman
umum yang terletak agak jauh di sebelah timur tanah pesawahan bersebelahan
dengan padang perdu di pinggir hutan yang masih cukup lebat.
Dalam
pada itu di tengah hutan yang masih lebat yang bersebelahan dengan padang perdu
dekat pemakaman padukuhan induk, sekelompok orang tampak sedang beristirahat
sambil bersandaran pada batang-batang pohon yang menjulang. Sebagian lagi telah
merebahkan diri beralaskan pada rumput-rumput kering serta dedaunan.
“Kiai,
ternyata kita sudah terlambat,” berkata seorang yang berperawakan pendek kekar.
Orang
yang dipanggil Kiai itu tertawa pendek. Katanya kemudian, “Bukan kita yang
terlambat, namun orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itulah
yang bergerak terlalu cepat.”
Orang
yang berperawakan pendek kekar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya
kemudian seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Lebih baik kita kembali
pulang saja dari pada duduk-duduk di sini tanpa arti.”
“Siapa
bilang kehadiran kita di sini tanpa arti?” tiba-tiba terdengar suara berat dan dalam
dari arah kiri. Ketika mereka berpaling, tampak seseorang yang berperawakan
tinggi besar sedang melangkah ke tempat mereka.
“Guru,”
hampir bersamaan orang-orang yang sedang duduk-duduk di sekitar itu bergumam
perlahan.
Sedangkan
orang yang dipanggil Kiai itu telah bangkit berdiri sambil berkata, “Selamat
datang Ki Ajar Serat Gading. Walaupun kedatangan kita sudah sangat terlambat
dan tidak menjumpai hiruk pikuknya pertempuran.”
“Terima
kasih, Ki Sambi,” jawab orang yang dipanggil Ki Ajar Serat Gading itu sambil
berjalan mendekat, “Kita tidak terlambat, justru kita lah yang akan membuat
sejarah di tempat ini. Sebentar lagi jasad penerus trah Mataram itu akan
tergeletak tak bernyawa di padang rumput itu bersama dengan jasad orang yang
sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Mataram itu sendiri, Ki Juru Martani
yang sangat cerdik namun juga licik.”
Orang-orang
yang sedang beristirahat di dalam hutan itu menjadi berdebar-debar. Mereka
belum mengetahui apa maksud dari ucapan Ki Ajar Serat Gading.
Sejenak
Ki Ajar Serat Gading masih menebarkan pandangan matanya yang setajam burung
elang itu ke seluruh sudut hutan. Murid-muridnya yang telah berdiri dengan
serentak begitu guru mereka hadir di situ, tidak ada seorang pun yang berani
menentang pandangannya. Semuanya telah menundukkan kepala dalam-dalam.
Sementara Kiai Sambiwaja hanya dapat berdiri termangu-mangu sambil menarik
nafas dalam-dalam.
“Duduklah,”
perintah Ki Ajar Serat Gading kemudian sambil tetap berdiri di tempatnya.
Sementara Kiai Sambiwaja masih berdiri termangu-mangu.
“Silahkan
Kiai,” berkata Ki Ajar mempersilahkan Kiai Sambiwaja. Yang dipersilahkan pun
kemudian kembali duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,”
berkata Ki Ajar Serat Gading selanjutnya ketika semua telah duduk, “Keterlambatan
kita ternyata membawa keberuntungan. Aku memang sengaja membiarkan kalian
berangkat terlebih dahulu bersama Kiai Sambiwaja. Namun sebenarnyalah aku telah
menyempatkan diri untuk menghadap Eyang guru terlebih dahulu sebelum menyusul
kalian ke Menoreh.”
Semua
mendengarkan dengan seksama sambil menduga-duga, apakah Ki Ajar berhasil
menghadap Eyang gurunya yang sudah sangat sepuh dan telah menjadi pertapa di
puncak gunung Lawu.
“Dan
ternyata aku telah diperkenankan oleh eyang guru menghadap,” berkata ki Ajar
selanjutnya, “Inilah buktinya.”
Semua
mata segera saja tertuju ke arah tangan kiri Ki Ajar Serat Gading yang
perlahan-lahan menyingkapkan baju dan mengambil sesuatu dari balik bajunya.
Segera saja di tangan kiri Ki Ajar tergenggam sebuah pusaka yang masih
tersimpan dalam wrangkanya. Ketika Ki Ajar kemudian mengangkat pusaka itu di
atas kepalanya terlebih dahulu, maka sejenak kemudian mereka yang hadir di situ
telah dikejutkan oleh sebuah sinar yang menyilaukan yang keluar dari wrangka
itu ketika Ki Ajar dengan perlahan mencabut pusaka itu dengan tangan kanannya.
“Keris
Kanjeng Kiai Sarpasri..!” hampir setiap mulut menyebut nama pusaka itu dengan
jantung yang berdebaran.
Kiai
Sambiwaja yang duduk paling dekat dengan Ki Ajar sampai terlonjak berdiri.
Dengan seksama diamat-amatinya keris yang tergenggam di tangan kanan Ki Ajar.
Sebuah keris yang berbentuk naga sebagaimana keris Nagasasra, Naga Kumala dan
Naga Geni. Yang membedakan adalah Keris Sarpasri ujudnya lurus tidak mempunyai
luk sama sekali. Pada ujung ekor naga yang merupakan ujung keris itu terbuat
dari emas berkilauan. Beberapa butir permata tampak menghiasi tubuh naga itu di
antara ukiran sisik-sisiknya. Sementara kedua matanya terbuat dari sepasang
intan yang gemerlapan. Demikian juga di antara gigi-giginya yang tajam terdapat
beberapa butiran intan.
Sejenak
Kiai Sambiwaja masih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun akhirnya dengan
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Sambiwaja pun kemudian duduk kembali
sambil berdesis perlahan, “Memang benar Keris Kanjeng Kiai Sarpasri, keris yang
hampir saja mengakhiri keangkuhan Panembahan Senapati pada waktu itu.”
“Kiai
benar,” sahut Ki Ajar sambil menyarungkan kembali keris Kiai Sarpasri ke dalam
warangkanya sebelum terlebih dahulu mengangkat keris itu di atas kepalanya.
Lanjutnya kemudian, “Seandainya Panembahan Senapati pada waktu itu tidak sempat
mengambil pusaka Mataram Kanjeng Kiai Plered, tentu Mataram sekarang hanya
tinggal namanya saja.”
Orang-orang
yang hadir di dalam hutan itu terlihat menahan nafas. Mereka memang pernah
mendengar cerita tentang kedahsyatan keris Kiai Sarpasri yang hampir saja
berhasil membunuh Panembahan Senapati pada saat salah seorang murid perguruan
Nagaraga berhasil memasuki bilik peraduan Panembahan Senapati. Namun sejauh ini
mereka hanya mendengar namanya saja dan mengetahui ciri-cirinya. Secara
kewadagan mereka belum pernah melihat ujud asli keris itu. Sedangkan Kiai
Sambiwaja yang mempunyai kemampuan untuk mengenal jenis-jenis pusaka segera
yakin bahwa keris yang berada di tangan ki Ajar adalah Kanjeng Kiai Sarpasri.
Pengaruh
kekuatan keris Kiai Sarpasri itu memang luar biasa sebagaimana yang telah
diakui sendiri oleh Panembahan Senapati pada waktu itu. Yang sangat mendebarkan
adalah ujud keris itu pada setiap geraknya. Keris itu seolah-olah telah berubah
menjadi seekor naga yang tidak seberapa besar namun mampu menyemburkan api dari
mulutnya. Api yang beracun yang keluar dari mulutnya itulah yang ternyata mampu
menekan kekuatan ilmu lawannya.
Memang
murid perguruan Nagaraga yang berhasil menyusup ke bilik peraduan Panembahan
Senapati pada waktu itu sempat menunjukkan kemampuan ilmunya yang cukup tinggi.
Dengan dilambari kekuatan keris yang berada di tangannya, murid perguruan
Nagaraga itu mampu memaksa Panembahan Senapati untuk bertempur beberapa lama
sebelum akhirnya Panembahan Senapati menyadari kekuatan nggegirisi yang
terpancar dari keris lawannya. Sebelum persoalannya menjadi semakin rumit,
Panembahan Senapati pun akhirnya memutuskan untuk mengimbangi pusaka lawannya
dengan pusaka terbesar Mataram.
Dengan
cerdik Panembahan Senapati pun kemudian telah memancing lawannya untuk
bertempur keluar bilik. Demikian lawannya telah berada di luar bilik, dalam
kesempatan yang tak terduga, Panembahan Senapati ternyata justru telah meloncat
memasuki biliknya kembali. Ketika lawannya dengan kemarahan yang menghentak
dada kemudian menyusul ke dalam bilik, di tangan Panembahan Senapati telah
tergenggam pusaka Mataram yang mempunyai kekuatan tiada taranya, Kanjeng Kiai
Plered.
“Nah,”
berkata Ki Ajar selanjutnya sambil masih tetap berdiri, “Di Menoreh tidak ada
pusaka yang mampu menandingi kedahsyatan Kanjeng Kiai Sarpasri. Ki Patih
Mandaraka tidak akan mampu melawan pengaruh pamor dari Kanjeng Kia Sarpasri,
apalagi Raden Mas Rangsang yang masih ingusan. Dengan demikian akan tuntaslah
dendam perguruan Nagaraga yang telah dihancurkan oleh pasukan Mataram di bawah
pimpinan Pangeran Singhasari pada waktu itu.”
“Bagaimana
dengan Kiai Nagaraga sendiri?” tiba-tiba Kiai Sambiwaja menyela, “Pemimpin Agung
perguruan Nagaraga pada waktu itu tidak terbunuh di tangan pangeran yang
sombong itu, akan tetapi justru di tangan orang bercambuk.”
“Kiai
Gringsing maksud Kiai?” bertanya Ki Ajar sambil tertawa pendek, “Orang itu
sudah mati karena sakit tua, namun setelah aku berhasil membunuh Ki Juru
Mertani dan Raden Mas Rangsang, aku akan menantang murid utama perguruan orang
bercambuk itu, Ki Rangga Agung Sedayu.”
Kiai
Sambiwaja mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Ki Ajar, Ki Rangga Agung
Sedayu sampai saat ini belum terdengar beritanya. Apakah dia masih sanggup
bertahan hidup setelah berperang tanding melawan Panembahan Cahya Warastra,
kita belum tahu. Sementara berita lain yang aku dengar, murid kedua orang
bercambuk juga sedang menderita luka yang cukup parah dan dirawat di padepokan
Jati Anom.”
“Persetan!”
geram Ki Ajar Serat Gading, “Aku akan menantang berperang tanding salah satu
atau bahkan kedua-duanya kalau perlu. Kalau mereka memerlukan waktu untuk
menyembuhkan luka atau meningkatkan ilmu terlebih dahulu, aku tidak akan
berkeberatan, asalkan tidak lebih dari tiga kali purnama.”
Kiai
Sambiwaja kembali mengerutkan keningnya. Menurut perhitungannya, ilmu Ki Ajar
Serat Gading mungkin masih selapis tipis di bawah ilmu perguruan orang
bercambuk. Namun dengan bantuan keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri, keadaan
akan dapat berbalik. Orang yang memiliki ilmu dan ketahanan batin setingkat
Panembahan Senapati pun masih perlu imbangan kekuatan dengan menggunakan pusaka
terbesar Mataram, Kanjeng Kiai Plered. Apalagi perguruan orang bercambuk,
sepanjang pengetahuannya mereka tidak memiliki sejenis pusaka apapun selain
senjata andalan mereka, cambuk.
“Sekarang
kita akan mengatur siasat untuk menjebak Ki Juru Martani dan Mas Rangsang,” Ki
Ajar berhenti sejenak. Lalu katanya, “Berapa jumlah kawanmu semuanya, Jabung?”
` Orang yang dipanggil Jabung itu ternyata
orang yang berbadan pendek dan kekar yang duduk di dekat Kiai Sambiwaja. Segera
saja dia bangkit berdiri sambil menjawab, “Empat puluh orang, Guru.”
Ki Ajar
Serat Gading mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebelum menuju
tempat ini, aku tadi sempat menyusup sampai di dekat banjar padukuhan induk.
Para Pengawal Menoreh dibantu prajurit Mataram tampak sedang sibuk
mempersiapkan pemberangkatan para korban perang dari kedua belah pihak. Aku
melihat Ki Juru dan Mas Rangsang ada di antara mereka. ini adalah kesempatan
yang langka. Sebentar lagi iring-iringan jenasah itu pasti akan menuju kemari,
dan aku yakin kedua bangsawan Mataram yang menjadi sasaran kita itu pasti akan
ikut dalam iring-iringan itu. Lebih baik kita segera mempersiapkan diri,
sebagian dari kalian bersembunyi di dalam hutan ini dan yang lain akan menunggu
di tanah pekuburan itu.”
Beberapa
orang telah melemparkan pandangan mata mereka ke tanah pekuburan di sebelah
padang perdu yang hanya berjarak sekitar sepuluh tombak. Dari tempat mereka
bersembunyi, tampak sekitar sepuluh orang penggali kubur sedang duduk-duduk
melepaskan lelah di antara gundukan-gundukan tanah sambil menunggu kedatangan iring-iringan
jenasah.
“Bagaimana
dengan para penggali kubur itu?” bertanya Kiai Sambiwaja.
Ki Ajar
tertawa. Jawabnya kemudian, “Apakah keberatan Kiai? Beberapa orang dari kita
akan merayap mendekati mereka dari arah belakang dan membungkam mereka untuk
selama-lamanya. Setelah itu sebagian dari kita akan menyamar sebagai penggali
kubur dan menunggu kesempatan membunuh kedua Bangsawan Mataram itu.”
Tidak
ada seorang pun yang membantah perintah Ki Ajar Serat Gading. Murid-murid
perguruan Serat Gading sudah terbiasa dengan kehidupan yang bergelimangan
dengan darah. Bagi mereka adalah suatu kebanggaan tersendiri dapat melaksanakan
dengan tuntas setiap perintah dari pemimpin tertinggi mereka.
Sedangkan
Kiai Sambiwaja yang berasal dari luar perguruan Serat gading ternyata
sependapat dengan siasat Ki Ajar. Bagi orang-orang yang telah menenggelamkan
diri mereka dalam kehidupan yang kelam, segala cara akan ditempuh tanpa
mempertimbangkan hak dan kepentingan orang lain.
“Baiklah
Ki Ajar,” berkata Kiai Sambiwaja kemudian, “Jika diijinkan, aku sendiri yang
akan memimpin penyergapan ini. Menilik jumlah para penggali kubur yang tidak
lebih dari sepuluh orang, aku memerlukan kawan paling banyak separo dari jumlah
mereka. Kami hanya perlu waktu sekejab untuk membinasakan mereka. Dengan sekali
ayunan atau tebasan, kepala mereka pasti sudah terpisah dari badan mereka.”
Ki Ajar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun katanya kemudian, “Kiai, sebaiknya Kiai
membawa sepuluh orang agar pekerjaan ini segera cepat selesai. Jangan beri kesempatan
mereka berteriak atau meminta bantuan dengan cara apapun. Sebentar lagi
iring-iringan jenasah itu tentu sudah berangkat dari banjar padukuhan induk.”
“Baiklah
Ki Ajar, aku akan membawa sepuluh orang agar pekerjaan ini selesai dalam
sekejab.”
Selesai
berkata, Kiai Sambiwaja segera memberi isyarat kepada Jabung dan kawan-kawannya
untuk bergerak.
Demikianlah,
sejenak kemudian sepuluh orang dipimpin oleh Kiai Sambiwaja telah merayap di
antara gerumbul-gerumbul perdu serta batang-batang ilalang yang tumbuh merapat
berjajar-jajar di padang perdu sebelah tanah pekuburan.
Dalam
pada itu di kediaman Ki Gede Menoreh, Sekar Mirah tampak sedang menggendong
bayinya sambil berjalan tergesa-gesa memasuki bilik Ki Rangga Agung Sedayu. Di
dalam bilik itu telah berkumpul Ki Waskita, Kiai Sabda Dadi, Pandan Wangi dan
sepasang suami istri Glagah Putih dan Rara Wulan yang baru saja tiba. Mereka
tampak sedang bercanda dengan gembira menyambut Ki Rangga Agung Sedayu yang
telah tersadar dari pingsannya.
“Inilah
yang ditunggu-tunggu!” seru Pandan Wangi tiba-tiba sambil bangkit dari duduknya
begitu Sekar Mirah melangkah memasuki bilik.
“Ah,
betapa lucunya..!” seru Rara Wulan. Dengan penuh suka cita dia bergegas
menyongsong Sekar Mirah. Dengan tanpa disadarinya kedua tangannya telah
terjulur ingin menggendong bayi dalam pelukan Sekar Mirah.
“Sebentar
Rara,” dengan halus Sekar Mirah menolak sambil tersenyum, “Biarlah Kakang Agung
Sedayu melihatnya terlebih dahulu.”
“Oh..maaf..maaf.
Aku sudah tidak sabar ingin menggendongnya,” desis Rara Wulan dengan wajah
bersemu merah. Sementara orang-orang yang ada di dalam bilik itu justru telah
tertawa.
“Agaknya
Rara sudah tidak sabar lagi ingin segera mendapat momongan,” gurau Ki Waskita
yang duduk di sebelah Kiai Sabda Dadi.
Yang
mendengar gurauan Ki Waskita tertawa tergelak. Sedangkan Glagah Putih yang
duduk agak di sudut hanya tersenyum masam. Ketika pandangan matanya kemudian
bertemu dengan sepasang mata istrinya yang kebetulan juga sedang menatapnya,
hampir bersamaan keduanya pun kemudian telah tersenyum.
“Marilah
Ki Rangga, aku bantu untuk duduk,” berkata Kiai Sabda Dadi sambil membantu Ki
Rangga yang masih lemah untuk duduk. Sedangkan Ki Waskita telah menahan
punggung Ki Rangga dengan menggunakan beberapa bantal yang disusun pada
sandaran tempat tidur.
“Terima
kasih,” desis Ki Rangga Agung Sedayu perlahan sambil tersenyum.
“Nah,”
berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Sekarang sebaiknya kita beri kesempatan Ki
Rangga untuk beristirahat. Aku telah meramu obat untuk memperkuat daya tahan
tubuh terutama bagian perut Ki Rangga yang telah lama tidak terisi makanan agar
dapat bekerja kembali seperti sediakala.”
Orang-orang
yang ada di dalam bilik itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Walaupun mereka
masih ingin bercengkerama lebih lama lagi dengan Ki Rangga, terutama Sekar
Mirah, namun mereka harus menyadari bahwa Ki Rangga memerlukan pengobatan
khusus dari Kiai Sabda Dadi serta istirahat yang cukup untuk mengembalikan
kesehatannya.
Sekar
Mirah yang duduk di bibir pembaringan segera beringsut sambil berkata,
“Beristirahatlah Kakang. Biarlah Bagus Sadewa aku bawa dulu. Nanti kalau Kakang
sudah sembuh, Kakang dapat menggendongnya seharian penuh.”
“Ah,”
serentak orang-orang yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sahut Ki Waskita
kemudian, “Aku kira Ki Rangga memerlukan sebuah latihan khusus, karena selama
ini Ki Rangga belum pernah belajar menggendong bayi.”
“Aku
kira tidak jauh berbeda dengan apa yang telah aku lakukan selama ini,” jawab Ki
Rangga sambil tersenyum penuh arti.
Sejenak
orang-orang yang berada di dalam bilik itu mengerutkan kening. Ternyata Pandan
Wangi lah yang tidak dapat menahan diri, tanyanya kemudian dengan nada sedikit
ragu-ragu, “Apakah yang telah Kakang lakukan selama ini?”
“Menggendong
ibunya,” jawab Ki Rangga perlahan.
Segera
saja gelak tawa memenuhi bilik tempat Ki Rangga dirawat. Sementara Sekar Mirah
hanya dapat menundukkan wajahnya sambil tersipu-sipu.
Dalam
pada itu, Anjani yang berada di bilik yang berseberangan dengan bilik Ki Rangga
telah mendengar gelak tawa yang berasal dari dalam bilik Ki Rangga.
“Agaknya
Ki Rangga benar-benar telah menemukan kesadarannya kembali,” berkata Anjani
dalam hati, “Alangkah berbahagianya Nyi Sekar Mirah. Seandainya saja aku dapat
bergabung dengan mereka sekarang ini.”
Untuk
sejenak Anjani termenung. Ingatannya segera kembali pada saat dia diberi tugas
oleh Resi Mayangkara untuk menyadarkan Ki Rangga Agung Sedayu dengan
mengetrapkan aji seribu bunga.
“Untunglah
aku masih ingat suba sita dan tidak melanggar tata kesopanan dalam bebrayan ini
walaupun sebenarnya Kakang Agung Sedayu tidak akan menyadari apa yang terjadi
di sekitarnya,” desis Anjani dalam hati, “Seandainya itu benar-benar terjadi,
aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri dan aku merasa tidak pantas
untuk bertemu dengan Kakang Agung Sedayu kembali.”
Kembali
Anjani termenung. Hatinya benar-benar resah dan gelisah. Dia tidak tahu apa
yang akan dikerjakannya di Tanah Perdikan Menoreh ini. Sebenarnya dia mempunyai
banyak pilihan sebagaimana yang telah ditawarkan oleh Resi Mayangkara, namun
ada satu hal yang masih memberati hatinya dan ingin diungkapkan di hadapan Ki
Rangga sendiri jika suatu saat nanti dia memperoleh kesempatan untuk bertemu
berdua saja.
Lamunan
Anjani terputus ketika tiba-tiba saja pintu bilik berderit terbuka. Seorang
pembantu perempuan Ki Gede Menoreh yang rambutnya sudah ubanan memasuki bilik
sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman.
Perempuan
tua itu tersenyum begitu Anjani turun dari pembaringan. Sambil meletakkan
nampan berisi makanan dan minuman di atas meja kayu di sudut bilik, perempuan
tua itu pun kemudian berkata, “Silahkan Nini. Kami telah membuatkan bubur halus
ini khusus untuk Nini agar segera sehat kembali.”
“Terima
kasih, Bibi,” jawab Anjani sambil memegang lengan pembantu perempuan Ki Gede
itu, “Jangan terlalu merepotkan.”
“Ah,
tidak,” jawab perempuan tua itu sambil tersenyum, “Nini adalah tamu di rumah
ini. Sudah sewajarnya lah kalau kami menghormat tamu selagi kami mampu.”
“Terima
kasih,” sekali lagi Anjani menjawab sambil mengantar perempuan tua pembantu
rumah Ki Gede itu sampai ke pintu bilik.
Ketika
bayangan perempuan tua itu telah hilang di balik pintu yang menghubungkan ruang
tengah dengan dapur, tiba-tiba saja pintu bilik Ki Rangga terbuka dan tampak
lah Rara Wulan dengan riang gembira menggendong Bagus Sadewa keluar dari bilik.
“Ayo,
mBokayu, kita bawa Bagus Sadewa ke halaman belakang,” berkata Rara Wulan sambil
berjalan bergegas. Kemudian katanya kepada Glagah Putih yang mengikutinya dari
belakang, “Kakang, tolong ambilkan tikar pandan untuk digelar di bawah pohon
jambu air di dekat perigi.”
Glagah
Putih yang berjalan di belakangnya hanya menganggukkan kepala. Sementara Sekar
Mirah telah ikut keluar dari bilik menyusul sepasang suami istri itu yang telah
hilang di balik pintu dapur.
Anjani yang
berdiri di dekat pintu biliknya segera bergeser agak ke dalam agar terhindar
dari pengamatan sepasang suami istri yang belum dikenalnya itu. Ketika Sekar
Mirah terlihat ikut keluar dari bilik, hampir saja dia menyapanya, namun niat
itu segera diurungkannya begitu melihat seorang perempuan paro baya yang
terlihat masih cantik melangkah keluar bilik di belakang Sekar Mirah.
“Nyi
Pandan Wangi,” desis Anjani dalam hati sambil melangkah mundur. Namun usahanya
untuk menghindarkan diri dari pandangan Pandan Wangi ternyata gagal. Pandan
Wangi justru telah melihatnya terlebih dahulu dan melangkah menuju ke biliknya.
Entah
perasaan apa yang bergejolak dalam dadanya begitu menyadari Pandan Wangi telah
memasuki bilik. Darah di sekujur tubuhnya serasa membeku sehingga Anjani hanya
diam mematung di tempatnya berdiri begitu Pandan Wangi menghampirinya.
“Kau
belum makan?” pertanyaan itu lah yang pertama-tama meluncur dari bibir Pandan
Wangi begitu dia melihat makanan dan minuman di atas meja kayu di sudut bilik
yang terlihat masih utuh belum tersentuh sama sekali.
Anjani
menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai getar di rongga dadanya. Jawabnya
kemudian perlahan, “Aku belum lapar, mBokayu.”
Pandan
Wangi mengerutkan keningnya. Dipandanginya Anjani dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki dengan tatapan yang tajam, setajam tatapan mata elang yang sedang
mengintai mangsanya.
“Kau
memerlukannya untuk mengembalikan kekuatan tubuhmu agar segar kembali,” berkata
Pandan Wangi kemudian tanpa melepaskan tatapan matanya, “Atau memang Kau
memiliki ketahanan tubuh melebihi orang-orang kebanyakan, itu aku tidak tahu.”
“Ah,
itu tidak benar, mBokayu,” jawab Anjani dengan serta-merta, “Tubuhku memang
terasa sangat lemah namun aku tidak mempunyai selera makan sama sekali.”
“Itu
karena Kau terlalu memaksakan diri untuk mengangkat beban diluar kemampuanmu,
diluar jangkauan nalarmu.”
Sebuah
desir tajam terasa menggores jantung Anjani, namun dia berusaha untuk
menghilangkan kesan apapun dari wajahnya. Maka katanya kemudian untuk
mengalihkan pembicaraan, “mBokayu, apakah Ki Rangga benar-benar telah sadar?
Dan apakah keadaannya telah semakin membaik?”
Kembali
sebuah kerut-merut tampak di kening Pandan Wangi. Jawabnya kemudian, “Ki Rangga
baik-baik saja dan sudah dalam perawatan Kiai Sabda Dadi. Kita yang tidak
terlalu berkepentingan, untuk sementara sebaiknya tidak usah mengganggunya.”
Kembali
sebuah desir tajam menggores jantung perempuan muda berlesung pipit itu.
Setelah sejenak mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak,
dengan sedikit menekan kata-katanya, akhirnya Anjani perlahan berkata, “Aku
hanya ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya, agar usahaku dalam melaksanakan
tugas yang telah dibebankan oleh Eyang Resi kepadaku untuk membantu menyadarkan
Ki Rangga tidak sia-sia. Hanya itu, aku hanya melaksanakan sebuah tugas, tidak
lebih dan tidak kurang.”
Sekarang
giliran jantung Pandan Wangi yang berdesir. Namun tidak ada perubahan sama
sekali pada raut wajahnya. Puteri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu hanya menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Kau memang benar, Anjani.
Kau hanya melaksanakan tugas, dan memang dalam hal ini kita semua hanya bisa
berusaha dan berdoa. Yang Maha Agung lah yang menentukan semua itu.”
Anjani
mengangguk-anggukkan kepalanya, walaupun dia menyadari bahwa kata-kata Pandan
Wangi itu seolah-olah mengabaikan perannya dalam membantu Ki Rangga menemukan
kesadarannya kembali. Namun hal itu tidak menjadikan persoalan dalam hatinya.
Maka katanya kemudian, “Marilah, mBokayu. Kita dapat bercakap-cakap sambil
duduk.”
Selesai
berkata demikian Anjani segera melangkah menghampiri sebuah dingklik kayu di
dekat pembaringan dan kemudian mendudukinya.
Sedangkan
Pandan Wangi dengan langkah yang sedikit segan mengambil tempat duduk di dekat
meja kayu di sudut bilik.
“Anjani,”
berkata Pandan Wangi kemudian setelah membetulkan letak duduknya, “Apakah
sebenarnya yang membawamu sampai ke Tanah Perdikan Menoreh ini?”
Jantung
Anjani yang sudah tenang segera saja bergejolak kembali. Pertanyaan Pandan
Wangi kali ini benar-benar telah menyudutkannya. Untuk beberapa saat Anjani
justru telah terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Pandan
Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ada sedikit perasaan iba di hatinya. Bagaimana
pun juga Pandan Wangi adalah juga seorang perempuan yang pernah merasa
mempunyai harapan yang berlebih terhadap Ki Rangga Agung Sedayu, dan agaknya
kini Anjani akan merasakan sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Pandan Wangi
pada waktu itu, kecewa.
“Anjani,”
perlahan Pandan Wangi berkata sambil memandang tajam ke arah Anjani, “Aku tidak
tahu dan tidak mau tahu tentang latar belakang dirimu dan untuk tujuan apa
dirimu datang ke tanah Perdikan Menoreh ini. Namun ada satu hal yang ingin
kusampaikan kepadamu dan aku harap Kau menyadarinya dengan sepenuh hatimu,”
Pandan Wangi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sedikit banyak Kakang Agung
Sedayu telah bercerita kepadaku tentang dirimu. Namun saat ini aku tidak ingin
membuat sebuah penilaian terhadap dirimu karena memang itu bukan kewenanganku.
Yang ingin kusampaikan kepadamu adalah bahwa Kakang Agung Sedayu adalah suami
dari seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah, dan Sekar Mirah itu adalah
adik iparku karena suamiku, kakang Swandaru adalah kakak kandung Sekar Mirah.
Jadi aku mohon dengan sangat, jauhilah kakang Agung Sedayu. Jangan ganggu
keluarga mereka betapa pun aku menyadari perasaanmu yang paling dalam terhadap
Kakang Agung Sedayu.”
Untuk
sejenak Anjani bagaikan membeku di tempatnya. Dia sama sekali tidak menduga
kalau ternyata Pandan Wangi begitu tega menyampaikan hal yang sangat pribadi
itu kepadanya, walaupun Anjani menyadari hubungan kekeluargaan antara Ki Rangga
Agung Sedayu dengan Pandan Wangi. Namun jauh di lubuk hatinya, Anjani merasa
Pandan Wangi tidak mempunyai hak untuk melarang dirinya mendekati Ki Rangga.
Maka
setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu untuk mengurangi debar di
dalam rongga dadanya, akhirnya dengan kata-kata yang penuh tekanan, Anjani pun
menjawab, “Nyi Pandan Wangi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang berhak
mengatur perasaan seseorang. Demikian juga perasaanku kepada Kakang Agung
Sedayu. Namun aku menyadari batasan mana yang tidak boleh aku langgar justru
karena aku menyadari bahwa Kakang Agung Sedayu telah berumah tangga.”
Selarik
warna merah tampak membayang di wajah puteri satu-satunya kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu. Untuk beberapa saat Pandan Wangi justru telah terdiam. Jauh di
dalam lubuk hatinya dia pun mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang berhak
untuk mengatur perasaan seseorang. Bahkan sampai saat ini pun hatinya masih
belum bisa berpaling dari Ki Rangga Agung Sedayu.
“Pandan
Wangi,” demikian terdengar suara dari dasar hatinya, “Bukankah selama ini dalam
mendampingi suamimu Swandaru Geni Kau hanya menganggap sebagai menjalankan
tugas semata yang dibebankan kepadamu? Kau menganggap semua itu hanya sebagai
bentuk tanda baktimu kepada orang tuamu? Serta selebihnya adalah sebagai sarana
untuk membalas budi kebaikan orang-orang bercambuk yang telah menolong Tanah
Perdikan ini dari kehancuran karena pertikaian antara keluarga sendiri?”
Pandan
Wangi berdesah perlahan sambil menggeleng lemah. Hatinya benar-benar galau. Dia
tidak dapat mengingkari suara hatinya yang tidak bisa berpaling dari
bayang-bayang Ki Rangga Agung Sedayu. Apa yang selama ini dijalaninya adalah
lamis, walaupun dengan sepenuh hatinya dia berusaha untuk menjadi seorang istri
yang baik, namun pada kenyataannya justru suaminya lah yang telah berpaling
kepada perempuan lain.
“Sekar
Mirah adalah cinta pertama kakang Agung Sedayu,” kembali terdengar suara
hatinya, “Sedangkan aku adalah korban sebuah cinta yang tersia-sia.
Sebenarnyalah dalam hal ini Kakang Agung Sedayu tidak dapat dipersalahkan. Akan
tetapi mengapa tanggapan kakang Agung Sedayu pada waktu itu begitu meyakinkan
hatiku? Ataukah aku yang terlalu berperasaan sehingga menanggapi sikap Gupita
pada saat itu dengan berlebihan?”
Seolah
terbayang kembali di rongga mata Pandan Wangi saat dirinya dengan Gupita
berlari-larian menyelamatkan diri dari kejaran anak buah Ki Peda Sura. Dengan
bergandengan tangan mereka berdua berlarian di antara pematang sawah dan
sesekali meloncati parit-parit yang cukup lebar. Genggaman tangan Gupita pada
saat itu dirasakannya bagaikan seonggok bara yang panasnya menjalar ke sekujur
tubuhnya dan menghangati hatinya yang selama itu dingin dan beku.
Bulan
bulat di langit yang bersinar dengan cerahnya telah menambah suasana hatinya
yang sedang berbunga-bunga menjadi semakin cerah dan ceria. Seolah-olah ingin
dijelajahinya seluruh pelosok Tanah Perdikan Menoreh pada malam itu sampai pagi
menjelang. Seandainya saja Gupita tidak mengingatkan tugasnya sebagai prajurit
yang bertanggung jawab penuh atas pasukannya, tentu dirinya lebih senang
duduk-duduk berdua saja di atas pematang yang becek di bawah cerahnya sinar bulan
purnama.
“Mungkin
aku saja yang telah terjebak sendiri dalam perasaanku,” berkata Pandan Wangi
dalam hati, “Setidaknya pada waktu itu, kakang Agung Sedayu hanya memainkan
perannya sebagai seorang gembala yang bernama Gupita. Aku yakin, gurunya telah memainkan
peran dalam setiap peristiwa yang terjadi di tanah ini pada saat itu.
Kemunculan Gupita yang tiba-tiba pada saat aku terdesak dalam pertempuran
melawan Ki Peda Sura tidak mungkin terjadi hanya kebetulan saja. Kiai Gringsing
tentu sudah dapat mengukur ketinggian ilmu Ki Peda Sura sehingga dia tidak akan
mungkin melepaskan muridnya begitu saja untuk menghadapi Ki Peda Sura.”
Berpikir
sampai disini tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah kembali.
Namun cepat-cepat kesan itu segera dihilangkan dari wajahnya.
“Alangkah
malunya,” desisnya dalam hati, “Mungkin pada saat itu Kiai Gringsing dari jarak
tertentu telah mengikuti kami berdua yang sedang berlari-larian sepanjang
pematang dan meloncati parit-parit yang berair bening sambil bergandengan
tangan.”
“Ah,”
tiba-tiba saja tanpa disadarinya Pandan Wangi telah berdesah sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maafkan
aku mBokayu,” tiba-tiba suara Anjani telah membuyarkan lamunannya, “Apakah
kata-kataku tadi menyinggung perasaan mBokayu?”
Pandan
Wangi tersenyum, betapapun pahitnya. Jawabnya kemudian sambil menggeleng,
“Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Aku mohon maaf jika aku terlalu
mencampuri urusanmu. Bukan maksudku untuk menghalangimu berhubungan dengan Ki
Rangga, namun apa yang aku sampaikan hanyalah sebatas saran dan nasihat
kepadamu, pandai-pandailah membawa diri sehubungan dengan keberadaan Ki Rangga
yang sudah berumah tangga,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Kemudian sambil
bangkit dari tempat duduknya dia melanjutkan, “Aku mohon diri, Anjani. Jika Kau
memang mempunyai kepentingan yang mendesak, Kau dapat menjenguk Kakang Agung
Sedayu sekarang, selagi masih ada Kiai Sabda Dadi dan Ki Waskita.”
Selesai
berkata demikian, tanpa menunggu jawaban dari Anjani, Pandan Wangi segera
melangkah menuju pintu bilik. Sementara Anjani dengan tergesa-gesa segera
bangkit berdiri dan mengantar Pandan Wangi sampai ke pintu dengan pertanyaan
yang menggumpal di dalam dada. Mengapa Pandan Wangi menyarankan dirinya untuk
bertemu dengan Ki Rangga selagi di dalam bilik masih ada orang lain? Padahal
apa yang ingin disampaikan adalah urusan pribadi yang tidak perlu diketahui
oleh orang lain.
Ketika
langkah Pandan Wangi hampir saja mencapai pintu, tiba-tiba saja dia berbalik
sambil menatap tajam ke arah Anjani. Katanya kemudian, “Anjani, kita adalah
sama-sama perempuan. Kau tentu menyadari betapa sakitnya hati seorang perempuan
ketika cintanya diduakan. Aku tidak ingin melihat hati Sekar Mirah terluka,
sebagaimana yang pernah terjadi pada diriku.”
Anjani
terkejut mendengar kata-kata Pandan Wangi. Dengan serta merta dia menyahut,
“Maksud mBokayu.?”
“Ah
sudahlah. Lupakan saja,” tukas Pandan Wangi cepat begitu menyadari
keterlanjurannya. Kemudian katanya sambil melangkah keluar bilik, “Makanlah!
Usahakan Kau dapat makan walaupun hanya sesuap nasi dan seteguk air, agar
kesehatanmu pulih kembali.”
“Terima
kasih mBokayu,” jawab Anjani sambil mengangguk.
Diikutinya
saja langkah Pandan Wangi yang hilang di balik pintu yang menghubungkan ruang
dalam dengan dapur dengan pandangan kosong. Terasa ada sesuatu yang tersembunyi
dibalik ucapan Pandan Wangi yang terakhir. Benarkah puteri satu-satunya Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu pernah terluka hatinya? Anjani hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sepeninggal
Pandan Wangi, Anjani segera menutup pintu biliknya rapat-rapat namun tidak
diselarak dari dalam. Sambil duduk termenung di tepi pembaringan, angan-angan
Anjani pun kemudian melayang. Bayangan berbagai macam bentuk dan corak telah hilir-mudik
dalam benaknya. Bayangan masa lalunya yang kelam maupun kejadian-kejadian yang
baru saja terjadi atau harapan-harapan yang telah tumbuh dalam hatinya serta
angan-angan dan cita-citanya untuk meraih masa depan.
Dalam
pada itu, Kiai Sambiwaja yang memimpin sepuluh orang murid-murid perguruan
Serat Gading sedang merayap di antara gerumbul-gerumbul perdu serta
batang-batang ilalang yang tumbuh merapat berjajar-jajar yang bersebelahan
dengan tanah pekuburan. Dengan gerakan yang senyap mereka berusaha mendekati
para penggali kubur yang sedang melepaskan lelah dan duduk-duduk di atas
gundukan-gundukan tanah.
“Kiai,”
bisik Jabung sambil merayap di sebelah Kiai Sambiwaja, “Aku kira jarak antara
kita dengan mereka sudah cukup dekat. Sebaiknya Kiai segera memberi isyarat
kepada kawan-kawan kita untuk menyerbu.”
“Belum,”
jawab Kiai Sambiwaja sambil merunduk di sebelah gerumbul perdu yang cukup
lebat, “Kita maju beberapa langkah lagi. Dengan demikian kita dapat
menyelesaikan pekerjaan kita dengan sekali loncat.”
Jabung
tidak menjawab. Bagaimana pun juga debar jantungnya telah berpacu kencang
walaupun dalam perhitungannya lawan yang akan dihadapi tidak lebih dari para
penggali kubur.
Sejenak
kemudian, ketika terdengar suara jengkerik yang cukup keras dari balik sebuah
gerumbul, tiba-tiba saja dari gerumbul-gerumbul yang berserakan di sebelah
tanah pekuburan itu telah bermunculan murid-murid perguruan Serat Gading dengan
menggenggam senjata telanjang.
Bagaikan
burung-burung sikatan yang beterbangan di padang ilalang, mereka segera
berloncatan menerjang para penggali kubur itu tanpa ampun.
Namun
alangkah terkejutnya para murid perguruan Serat Gading itu begitu
senjata-senjata mereka terayun deras, dengan sangat cekatan orang-orang yang
mereka sangka sebagai penggali kubur itu hampir bersamaan telah berguling
menjauh. Demikian mereka melenting berdiri, di tangan kanan mereka telah
tergenggam senjata masing-masing.
“Gila!”
geram Kiai Sambiwaja, “Siapakah kalian sebenarnya?”
“Siapa
kami itu tidak penting,” jawab seorang yang berdiri paling dekat dengan Kiai
Sambiwaja, “Menyerahlah! Kalian pasti sisa-sisa pengikut Panembahan Cahya
Warastra yang tidak mau melihat kenyataan.”
“Persetan!”
teriak Kiai Sambiwaja. Kemudian perintahnya kepada murid-murid Serat Gading,
“Bunuh semua orang gila ini!”
Demikianlah
akhirnya telah pecah pertempuran yang dahsyat di atas tanah pekuburan itu. Kiai
Sambiwaja menjadi terheran-heran dan tidak habis pikir, justru pada benturan
pertama pasukan kecilnya telah terdesak hebat.
“Setan,
Gendruwo, Tetekan..!” umpat Kiai Sambiwaja sambil menghindari terjangan
lawannya, seorang yang sudah cukup berumur dengan bersenjatakan sebuah keris
luk sebelas.
“Perlawanan
kalian sia-sia saja,” berkata orang yang sudah cukup berumur itu sambil
mendesak lawannya, “Menyerah sajalah. Mungkin Ki Patih Mandaraka akan mempunyai
sedikit pertimbangan untuk mengampuni kalian.”
“Tutup
mulutmu, iblis..!” geram Kiai Sambiwaja sambil berloncatan menghindar. Lawannya
benar-benar tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk mengambil jarak.
Serangannya datang membadai susul-menyusul bagaikan ombak yang menghantam
karang di bibir pantai yang terjal.
Beberapa
langkah dari Kiai Sambiwaja, Jabung dan kawan-kawannya benar-benar harus
berjuang keras untuk menahan gempuran orang-orang yang mereka sangka sebagai
penggali kubur itu. Gerakan mereka begitu tangkas dan cekatan serta bergerak
dalam satu irama yang membingungkan sehingga murid-murid Serat Gading itu harus
bertahan mati-matian.
“Siapakah
mereka ini sebenarnya?” geram Jabung dalam hati sambil menunduk menghindari
sambaran senjata lawannya. Belum sempat Jabung menilai keadaan lawannya, sebuah
tendangan keras meluncur ke arah dadanya.
Jabung
tidak mau mengambil keputusan gegabah dengan meloncat mundur atau pun menggeser
tubuhnya selangkah. Namun apa yang dilakukan Jabung adalah memotong serangan
kaki lawannya dengan tebasan senjatanya.
Ternyata
tendangan keras ke arah dada itu hanyalah sebuah pancingan. Dengan cepat
lawannya menarik kakinya, sebagai gantinya senjatanya justru telah menyambar
pundak.
Terdengar
umpatan keras dari mulut Jabung. Dengan tergesa-gesa dia segera melompat ke
belakang sambil meraba pundak kanannya. Terasa sesuatu yang cair dan hangat
telah membasahi telapak tangan kirinya, darah.
“Gila!”
umpat Jabung dengan mata nanar memandang ke arah lawannya yang tegak berdiri
beberapa langkah di hadapannya. Kelihatannya lawannya sengaja membiarkan Jabung
untuk menilai keadaan dengan tidak melancarkan serangan susulan.
“Setiap
tetes darah tebusannya adalah nyawa!” geram Jabung dengan gigi bergemeretakan.
“Silahkan
Ki Sanak,” jawab lawannya tenang, “Namun sebaiknya Ki Sanak segera menyadari
keadaan yang sebenarnya. Menyerahlah! Kami prajurit Mataram tidak akan
memperlakukan para tawanan dengan semena-mena justru karena kami telah terikat
kepada sebuah paugeran yang harus kami junjung tinggi.”
“He!”
seru Jabung hampir berteriak, “Jadi kalian adalah para prajurit Mataram?!”
Beberapa
orang yang mendengar teriakan Jabung menjadi berdebar-debar. Apalagi Kiai
Sambiwaja yang bertempur hanya beberapa langkah saja dari Jabung segera
menyadari keadaan yang sebenarnya, bahwa mereka ternyata telah salah dalam
menilai kekuatan orang-orang yang mereka sangka hanya sebagai penggali kubur.
Berpikir
sampai di situ, Kia Sambiwaja segera memutuskan untuk meminta bantuan kepada Ki
Ajar Serat Gading beserta murid-muridnya yang masih bersembunyi di hutan.
Sejenak kemudian segera saja terdengar suara suitan nyaring yang memekakkan
telinga dua kali berturut-turut membelah udara pagi.
Dalam
pada itu, Ki Ajar Serat Gading beserta murid-muridnya yang masih menunggu di
dalam hutan menjadi gelisah. Dari kejauhan mereka hanya dapat menyaksikan
pertempuran yang sengit di atas tanah pekuburan tanpa dapat menilai
keseimbangan pertempuran itu sendiri.
Sebenarnyalah
Ki Ajar telah mengetrapkan aji sapta pandulu untuk menilai pertempuran yang
sedang berlangsung. Namun pengenalannya atas kemampuan orang-orang yang dia
sangka sebagai penggali kubur itu ternyata telah mendebarkan jantung.
“Siapakah
sebenarnya mereka itu?” geram Ki Ajar sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam,
“Mengapa Kiai Sambiwaja memerlukan waktu sekian lama hanya untuk membunuh
cecurut-cecurut itu?”
Namun
yang terjadi kemudian adalah benar-benar diluar perhitungan Ki Ajar. Dua kali
suitan berturut-turut dari Kiai Sambiwaja telah menjawab semua pertanyaan yang
selama ini menghentak dada. Ternyata Kiai Sambiwaja beserta sepuluh orang murid
perguruan Serat Gading tidak mampu mengatasi orang-orang yang mereka sangka
sebagai penggali kubur itu.
“Marilah,”
berkata Kiai Serat Gading kemudian begitu suara suitan itu menghilang, “Agaknya
kita memang harus mengeluarkan sedikit keringat untuk membuat jebakan bagi Ki
Juru dan Mas Rangsang.”
Selesai
berkata demikian, Ki Ajar berserta murid-muridnya segera bergerak keluar dari
hutan. Mereka tidak perlu lagi bergerak dengan sembunyi-sembunyi. Dengan
mengeluarkan teriakan seperti para pemburu yang sedang mengejar seekor
pelanduk, mereka berlari-larian di antara gerumbul- gerumbul dan semak belukar
sambil mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi.
Para
penggali kubur yang ternyata adalah para prajurit Mataram itu sangat terkejut
ketika mendapati berpuluh-puluh orang berlari-larian menerjang gerumbul dan
semak belukar menuju ke arah tanah pekuburan sambil menghunus senjata yang tampak
berkilat-kilat mendebarkan jantung ditimpa sinar Matahari pagi.
“Ki
Lurah!” prajurit yang bertempur menghadapi Jabung segera berteriak ke arah
lawan Kiai Sambiwaja, seorang yang sudah cukup berumur dengan bersenjatakan
sebilah keris luk sebelas.
Yang
dipanggil Ki Lurah hanya tersenyum. Dengan sebuah isyarat dia segera
memerintahkan seorang prajurit yang sedang bertempur beberapa langkah di
samping kirinya. Agaknya prajurit itu segera tanggap. Dengan segera dia
melompat ke belakang sejauh-jauhnya untuk mengambil jarak. Ketika lawannya
kemudian mencoba memburunya, seorang prajurit yang lain segera menghadangnya,
sehingga prajurit itu untuk sementara telah menghadapi dua orang lawan
sekaligus.
Dua
orang murid perguruan Serat Gading yang melawannya mencoba untuk menekan dengan
menyerang dari arah yang berlawanan. Namun dengan tangkasnya prajurit itu dapat
menghindari kedua serangan itu dengan sempurna. Justru beberapa saat kemudian,
serangannya lah yang datang membadai menerjang kedua lawannya.
Dalam
pada itu prajurit yang telah terbebas dari lawannya segera mengambil busur dan
anak panah yang dengan sengaja telah mereka sembunyikan di dalam lubang-lubang
galian. Sejenak kemudian, sekali lagi udara pagi telah digetarkan oleh bunyi
panah sendaren yang meraung-raung di langit padukuhan induk.
Ki
Patih Mandaraka yang berjalan beriringan bersama Raden Mas Rangsang dan Ki Gede
Menoreh mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya dia menoleh ke belakang. Tampak
Ki Tumenggung Surayudha yang berjalan di samping Ki Jayaraga telah
menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arahnya.
“Agaknya
perhitunganmu tentang orang-orang tak dikenal itu benar-benar terjadi, Ki
Tumenggung,” berkata Ki Patih kemudian sambil memperlambat langkahnya.
Ki
Tumenggung Surayudha segera mempercepat langkahnya. Sambil menjajari langkah Ki
Patih, katanya kemudian, “Hamba Ki Patih. Kami telah menempatkan sepuluh orang
prajurit dari kesatuan Jalamangkara di bawah pimpinan Ki Lurah Upasanta yang
menyamar sebagai penggali kubur.”
Ki
Patih Mandaraka tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sementara mereka yang
mendengar nama Ki Lurah Upasanta disebut telah ikut tersenyum. Ki Lurah
Upasanta adalah salah satu cucu dari Ki Patih Mandaraka.
“Apakah
rombongan orang-orang tak dikenal itu termasuk perguruan-perguruan yang
sedianya akan membantu Panembahan Cahya Warastra?” bertanya Ki Patih
selanjutnya.
“Hamba
Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung Surayudha, “Sejak rombongan orang-orang tak
dikenal itu menyeberangi kali Praga menjelang tengah malam tadi, para prajurit
sandi terus memantau pergerakan mereka dan telah memberikan laporan secara
berkala kepada kami,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya,
“Menilik pergerakan mereka yang langsung menuju Tanah Perdikan Menoreh, memang
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka sedianya akan bergabung dengan
pasukan Panembahan Cahya Warastra.”
“Ma’af
Ki Tumenggung,” tiba-tiba Ki Argapati yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
memotong, “Apakah para prajurit sandi dapat memberikan gambaran tentang mereka?
Maksudku ciri-ciri yang mereka kenakan dapat menunjukkan dari mana asal
perguruan mereka?”
Ki
Tumenggung menggeleng, “Tidak Ki Gede. Para prajurit sandi hanya melakukan
pengamatan dari jarak yang cukup jauh sehingga agak sulit mengenal ciri-ciri
yang mereka pergunakan.”
“Kalau
pengamatan mataku yang sudah tua dan rabun ini tidak salah, mereka sepertinya
sisa-sisa perguruan Nagaraga yang telah dihancurkan Mataram beberapa saat yang
lalu pada saat pemerintahan Panembahan Senapati,” tiba-tiba saja Ki Patih
Mandaraka berkata perlahan namun cukup mengagetkan orang-orang yang
mendengarnya.
“Perguruan
Nagaraga?” beberapa mulut telah mengulang nama perguruan yang telah lama
tenggelam itu.
“Ya,”
sahut Ki Patih sambil terus mengayunkan langkahnya mengikuti irama langkah
orang-orang yang berbondong-bondong mengantarkan jenasah-jenasah itu menuju
peristirahatan mereka yang terakhir.
“Ampun,
Ki Patih,” Ki Tumenggung segera mengajukan pertanyaan, “Para prajurit sandi
belum melaporkan siapakah sebenarnya mereka itu. Hamba mohon petunjuk seandainya
Ki Patih telah mendapat laporan terlebih dahulu.”
Ki
Patih tersenyum. Jawabnya kemudian, “Tadi pagi ketika kita sedang berkumpul di
banjar padukuhan induk, ada salah satu orang yang sangat menarik perhatianku.
Dia berbaur dengan para keluarga korban dan penghuni padukuhan induk yang sudah
kembali. Namun dari panggraitaku aku dapat menangkap sesuatu kekuatan yang
sangat mengerikan dari orang itu. Sebuah getaran yang nggegirisi terpancar dari
sebilah keris yang terselip di ikat pinggangnya.”
“Sebilah
keris?” tanpa sadar Raden Mas Rangsang yang berjalan di sebelah kiri Ki Patih
berdesis.
“Ya,
Cucunda Buyut. Getaran itu sama dengan getaran yang pernah aku rasakan pada
saat aku menyimpan keris yang dibawa oleh salah satu murid perguruan Nagaraga
yang berhasil memasuki bilik peraduan Panembahan Senapati.”
“Keris
Kiai Sarpasri..!” tiba-tiba Ki Gede Menoreh berseru tertahan.
“Ya Ki
Gede, keris Kiai Sarpasri yang telah hilang dengan sendirinya ketika aku
menyimpannya.”
Orang-orang
yang mendengar keterangan Ki Patih menjadi berdebar-debar. Jika apa yang telah
diraba oleh kemampuan panggraita Ki Patih itu benar, berarti lawan yang akan
dihadapi tidak dapat dipandang dengan sebelah mata.
“Bagaimana
dengan panah sendaren itu?” bertanya Ki Patih kemudian ketika rombongan
pengantar jenasah itu hampir mencapai regol padukuhan induk yang telah roboh.
“Ampun
Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung Surayudha, “Telah kami tempatkan enam puluh
prajurit di belakang dinding padukuhan induk di bawah pimpinan Ki Lurah
Mandurareja. Dengan adanya isyarat bunyi panah sendaren itu, sekarang mereka
tentu telah bergerak menuju ke medan pertempuran untuk membantu permasalahan
yang mungkin timbul kemudian.”
Kembali
sebuah senyuman menghiasi bibir Ki Patih Mandaraka. Ki Lurah Mandurareja adalah
kakak dari Ki Lurah Upasanta yang juga merupakan cucu dari Ki Patih Mandaraka.
Dalam
pada itu, Ki Ajar Serat Gading dan murid-muridnya telah mencapai tanah
pekuburan. Dengan teriakan yang gegap gempita mereka segera membantu Kiai
Sambiwaja dan kawan-kawannya yang sedang dalam kesulitan.
Namun
belum sempat Kiai Sambiwaja menarik nafas lega dengan adanya bantuan dari Ki
Ajar dan murid-muridnya, mereka yang sedang bertempur di atas tanah pekuburan
itu dikejutkan oleh sorak sorai yang membahana dari arah padukuhan induk.
Sejenak kemudian tampak sepasukan prajurit di bawah pimpinan seorang Lurah Wira
Tamtama sedang berlari-larian menuju ke medan pertempuran dalam gelar Glathik
neba.
Dalam
waktu yang tidak terlalu lama, prajurit di bawah pimpinan Ki Lurah Mandurareja
telah tiba di medan pertempuran. Mereka segera menyesuaikan diri dengan keadaan
medan.
“Marilah
Ki Sanak,” berkata Ki Lurah Mandurareja sesampainya di depan Ki Ajar Serat
Gading yang berdiri termangu-mangu dengan wajah yang tegang, “Menilik sikap dan
umur Ki Sanak, Ki Sanak adalah pemimpin dari kelompok ini. Lebih baik Ki Sanak
segera mengambil keputusan untuk menyerah agar dapat kita hindari jatuhnya
korban yang sia-sia.”
“Aku
tidak sudi berbicara dengan cecurut-cecurut!” geram Ki Ajar Serat Gading, “Mana
Ki Juru Martani? Katakan padanya, keturunan perguruan Nagaraga siap membalas
dendam atas perlakuan Panembahan Senapati terhadap leluhur kami beberapa puluh
tahun yang lalu.”
Ki
Lurah Mandurareja mengerutkan keningnya. Nama perguruan Nagaraga memang pernah
didengarnya dari cerita Eyangnya, Ki Patih Mandaraka. Maka jawabnya kemudian,
“Aku sudah mendengar tentang perguruan Nagaraga yang telah dibasmi dari muka
bumi pada jaman Panembahan Senapati. Perguruan itu memang pantas menerima
hukuman dari Mataram pada waktu itu karena telah berani mencoba membunuh
pemimpin tertinggi Mataram.”
“Omong
kosong!” bentak Ki Ajar Serat Gading, “Mataram memang pantas dihukum karena
telah lancang melampaui kewenangan Panembahan Madiun sebagai pewaris yang sah
dari keturunan Sultan Demak.”
Ki
Lurah Mandurareja menarik nafas dalam-dalam. Persoalan trah itulah yang dari
jaman ke jaman selalu dipersoalkan, padahal kenyataannya wahyu kedaton memang
telah bergeser.
“Sudahlah,
Ki Sanak,” akhirnya Ki Lurah Mandurareja berkata, “Kita harus melihat
kenyataan. Sesuai dengan ramalan seorang Wali yang waskita, keturunan Demak
memang akan berakhir pada pemerintahan Sultan Pajang sebagai menantu Sultan
Trenggana. Sebagai gantinya, bumi Mataram diramalkan akan merajai tanah Jawa.”
“Persetan
dengan Mataram!” kembali Ki Ajar Serat Gading membentak, “Sebentar lagi Mataram
akan runtuh karena Kadipaten-Kadipaten di bang wetan tidak mau tunduk kepada
Mataram dan telah bersatu-padu untuk suatu saat menggempur Mataram.”
“Jangan
berangan-angan terlalu jauh Ki Sanak,” potong Ki Lurah Mandurareja, “Hadapilah
kenyataan dengan pikiran yang jernih. Kalian kalah jumlah. Sebentar lagi
pasukan segelar sepapan yang sedang beristirahat di padukuhan induk akan datang
ke medan pertempuran ini dan kalian akan kehilangan kesempatan untuk
mempertahankan diri.”
“Aku
tidak peduli!” geram Ki Ajar, “Aku tantang Ki Juru Martani untuk berperang
tanding kalau memang orang dari Sela itu masih mempunyai sedikit harga diri.”
“Ki
Sanak,” berkata Ki Lurah Mandurareja kemudian, “Kita sedang dalam sebuah
pertempuran. Kita bertempur dalam satu kesatuan utuh, jadi buang saja mimpimu
itu untuk dapat berperang tanding dengan Eyang Patih.”
“He!”
seru Ki Ajar dengan wajah yang semakin tegang, “Mengapa Kau menyebut orang dari
Sela itu Eyang? Apakah Kau masih termasuk cucunya?”
Ki
Lurah Mandurareja tersenyum. Jawabnya kemudian sambil menganggukkan kepalanya,
“Aku memang cucu Ki Patih Mandaraka. Nah, apa kata Ki Sanak sekarang? Ki Sanak
tidak perlu bersusah payah untuk mencari Eyang Patih, cukup aku saja sebagai
cucunya yang akan menghadapi Ki Sanak.”
Sejenak
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun yang terdengar kemudian adalah suara
tertawanya yang meledak memenuhi udara medan pertempuran di tanah pekuburan
itu.
Begitu
suara tertawanya mereda, Ki Ajar Serat Gading segera membentak keras,
“Minggirlah! Aku masih mempertimbangkan untuk membunuhmu. Aku tidak mau
merendahkan diriku dan mengotori tanganku hanya untuk sekedar membunuh seekor
cecurut. Agaknya rencanaku tidak berjalan sebagaimana mestinya,” Ki Ajar
berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah regol padukuhan induk yang
telah roboh dia melanjutkan kata-katanya, “Lihatlah! Agaknya ada beberapa orang
yang tertarik dengan pertempuran kecil ini. Aku melihat orang yang selama ini
aku cari ada diantara mereka yang mendatangi tempat ini.”
Dengan
sedikit ragu-ragu namun tidak melepaskan kewaspadaan, Ki Lurah Mandurareja
segera berpaling ke arah padukuhan induk. Tampak rombongan pengantar jenasah
itu telah berhenti beberapa tombak di depan regol padukuhan induk yang telah
roboh. Sementara Ki Patih Mandaraka dan Raden Mas Rangsang didampingi oleh
orang-orang tua dan sepasukan prajurit pengawal kepatihan sedang berlari-larian
menuju ke tempat itu.
“Eyang
Patih dan Raden Mas Rangsang,” tanpa sesadarnya Ki Lurah Mandurareja berdesis
perlahan.
“Nah,
Eyangmu telah datang mencari jalan kematiannya sendiri,” berkata Ki Ajar Serat
Gading sambil tertawa tertahan, “Minggirlah! Lebih baik Kau kembali ke rumah
untuk mencari perlindungan di balik pinjung biyungmu.”
Merah
padam wajah Ki Lurah Mandurareja mendengar ejekan lawannya. Namun sebelum dia
menjawab, terdengar gemerisik langkah-langkah kaki yang mendekat dari arah
belakang. Ketika Ki Lurah kemudian berpaling ke belakang, rombongan Ki Patih
ternyata telah tiba di tanah pekuburan itu.
Dengan
tergesa-gesa Ki Patih pun segera mendekati Ki Lurah dan berkata dengan nada
yang dalam dan penuh wibawa, “Cucunda, biarlah Eyangmu saja yang menemani orang
ini. Agaknya dia memerlukan kawan berbincang-bincang yang sepadan.”
Menyadari
bahwa Eyangnya tentu telah mempunyai perhitungan yang matang tentang kemampuan
lawannya, sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan getaran di dalam
rongga dadanya, Ki Lurah Mandurareja pun kemudian segera bergeser ke samping
sambil menjawab, “Ampun Kanjeng Eyang Patih, cucunda hanya berusaha menemaninya
sejenak sambil menunggu kehadiran Eyang Patih. Untuk selanjutnya terserah
kepada Eyang, cucunda sudah tidak mempunyai kepentingan lagi dengan orang ini.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Ki Ajar Serat Gading menggelegar, “Nyawamu sudah berada di
ujung ubun-ubun masih menyombongkan diri. Kalau tidak karena belas kasihanku,
tentu tubuhmu sudah terbujur tak bernyawa di tanah pekuburan ini.”
“Sudahlah,
Mandurareja,” sela Ki Patih sambil maju beberapa langkah lagi begitu melihat
cucunya akan menanggapi kata-kata Ki Ajar, “Bantulah saudaramu. Usahakan tidak
banyak korban yang jatuh dengan sia-sia. Mereka harus melihat kenyataan bahwa
jumlah dan kekuatan mereka jauh di bawah para prajurit Mataram. Perlakukan
mereka dengan baik jika mereka memutuskan untuk menyerah.”
“Sendika
Eyang,” jawab Ki Lurah Mandurareja sambil bergeser mundur. Sementara Ki Ajar
hanya dapat memandangnya dengan tatapan mata yang penuh dengan kemarahan.
“Ki
Sanak,” berkata Ki Patih kemudian setelah Ki Lurah Mandurareja meninggalkan
tempat itu, “Siapakah Ki Sanak ini dan apakah hubungan ki Sanak dengan
Panembahan Cahya Warastra?”
Sejenak
Ki Ajar tidak menjawab. Dipandanginya Ki Patih yang berdiri di hadapannya.
Kemudian pandangan matanya beralih kepada Raden Mas Rangsang yang berdiri dua
langkah di belakang Ki Patih diapit oleh Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga.
Sementara Ki Tumenggung Surayudha berdiri agak jauh sambil mengamati keadaan
medan pertempuran secara keseluruhan.
“Persetan
dengan orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra!” geram Ki Ajar
beberapa saat kemudian sambil memandang penuh kebencian kepada Ki Patih, “Aku
datang jauh-jauh dari lereng gunung Lawu hanya untuk menuntaskan dendam yang
setinggi gunung dan sedalam lautan. Hari ini semua orang yang hadir di perdikan
Menoreh ini akan menjadi saksi. Aku, Ki Ajar Serat Gading keturunan perguruan
Nagaraga akan menghapus nama Juru Mertani dari muka bumi ini untuk selamanya
melalui sebuah perang tanding yang jantan,” Ki Ajar berhenti sejenak. Kemudian
lanjutnya, “Taruhannya adalah Mas Rangsang. Karena aku memang akan memusnahkan
seluruh keturunan Mataram sebagai balasan atas tindakan Panembahan Senapati
yang telah menghancurkan perguruan Nagaraga beberapa tahun yang lalu.”
Ki
Patih Mandaraka sejenak mengerutkan keningnya. Tanpa sadar dia berpaling ke
belakang memandang ke arah Raden Mas Rangsang. Namun cucu Panembahan Senapati
itu sama sekali tidak terlihat gentar ataupun gelisah.
“Ki
Ajar,” jawab Ki Patih kemudian, “Ki Ajar harus melihat kenyataan. Sebentar lagi
pasukanmu tidak akan berdaya menghadapi pasukan Mataram. Lebih baik Ki Ajar
menyuruh mereka menyerah agar kita dapat mengurangi jatuhnya korban yang
sia-sia.”
“Aku
tidak peduli!” geram Ki Ajar, “Aku tantang Ki Juru untuk berperang tanding
secara jantan. Kita tidak terikat lagi dengan pasukan kita masing-masing. Yang
ada adalah Juru Mertani dan Ajar Serat Gading. Kita akan berperang tanding
secara jujur dan jantan dengan Mas Rangsang sebagai taruhan.”
“Mengapa
Ki Ajar menentukan Mas Rangsang yang harus sebagai taruhan?” bertanya Ki Patih.
“Bukankah
sudah aku katakan tadi, itu sebagai balasan atas penghinaan Panembahan Senapati
yang telah menghancurkan padepokan Nagaraga.”
“Itu
tidak adil,” potong Ki Patih, “Di pihak kami, Ki Ajar meminta Raden Mas
Rangsang sebagai taruhan. Bagaimana dengan pihak Ki Ajar sendiri? Apakah yang
dapat kami peroleh seandainya kami berada di pihak yang menang?”
Tanpa
berpikir panjang Ki Ajar meloloskan keris pusakanya yang masih berada dalam warangkanya
dengan tangan kanannya. Sambil mengangkat keris pusaka itu tinggi-tinggi ki
Ajar pun berkata lantang, “Kanjeng Kiai Sarpasri sebagai taruhanku selain
nyawaku sendiri. Perang tanding ini akan berakhir sampai salah satu dari kita
terbujur menjadi mayat. Selanjutnya yang keluar sebagai pemenang berhak untuk
mendapatkan taruhannya.”
Ki
Patih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang. Katanya
kemudian, “Ki Ajar, kami merasa berada di pihak yang dirugikan. Maksudku
taruhan dari perang tanding itu tidak sepadan. Bagaimana mungkin Raden Mas
Rangsang hanya dihargai dengan sebilah keris? Aku tidak bersedia menerima
perang tanding ini. Lebih baik Ki Ajar segera menyerahkan diri. Kami akan
mempertimbangkan hukuman yang paling ringan bagi Ki Ajar jika Ki Ajar dapat
menyadari kesalahan Ki Ajar selama ini dan berjanji untuk bersetia kepada
Mataram.”
“Tutup
mulut iblismu!” bentak Ki Ajar dengan suara menggelegar, “Aku sudah menyangka
bahwa Ki Patih Mandaraka yang tersohor itu memang hanya pandai bersilat lidah
namun tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Dan selebihnya, orang dari Sela
memang terkenal sangat pengecut dan licik,” Ki Ajar berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Masih ingat peristiwa terbunuhnya Adipati Harya Penangsang? Adipati
yang sakti mandraguna itu tewas karena ulah licik dan tipu muslihat dari orang
yang bernama Juru Mertani. Bagaimana mungkin kuda tunggangan Loring Pasar pada
waktu itu justru kuda betina yang dipotong ekornya? Bukan kuda jantan yang
gagah dan perkasa? He! Coba katakan kepadaku, adakah selama ini orang yang
pergi berperang itu menunggang seekor kuda betina?”
Selarik
warna merah sekilas membayang di wajah Ki Patih Mandaraka. Namun sesepuh
Mataram itu segera mampu menguasai keadaan. Jawabnya kemudian, “Memang pada waktu
itu banyak orang yang mencela mengapa Jebeng Loring Pasar aku suruh mengendarai
kuda betina, bukan kuda jantan yang tangguh? Jawabannya sangat sederhana, tidak
ada aturan dalam sebuah peperangan harus menggunakan tunggangan berupa kuda
jantan, demikian juga tidak ada larangan untuk menggunakan tunggangan kuda
betina. Jadi pada saat itu aku memutuskan Jebeng Loring Pasar lebih baik
menggunakan tunggangan kuda betina saja.”
“Tetapi
mengapa ekor kuda itu harus dipotong?”
“O,
tidak, tidak. Ekor kuda itu tidak dipotong, hanya digulung ke atas agar
memudahkannya dalam bergerak.”
“Omong
kosong!” teriak Ki Ajar menggelegar dengan lambaran aji gelap Ngampar sehingga
seolah-olah bumi yang dipijak ikut terguncang, “Semua orang tahu itu adalah
akal licikmu untuk mempengaruhi kuda tunggangan Adipati Jipang yang terkenal
garang, Kiai Gagak Rimang, sehingga kuda itu menjadi liar tak terkendali yang
menyebabkan Adipati Jipang kehilangan kendali atas tunggangannya.”
“Sudahlah
Ki Ajar,” sahut Ki Patih mencoba mengalihkan pembicaraan, “Peristiwa itu sudah
lama berlalu. Apapun yang terjadi, pertikaian antar keluarga itu memang patut
disesalkan. Sekarang marilah kita berbicara demi kepentingan negeri ini, negeri
yang harus kita jaga bersama agar dapat kita wariskan kepada anak cucu kita
dalam keadaan yang lebih baik.”
“Persetan
dengan segala omong kosong itu!” geram Ki Ajar, “Tekatku sudah bulat, keturunan
Panembahan Senapati harus tumpas walaupun untuk itu aku sendiri akan menjadi
bebanten, namun trah yang berhak atas negeri ini harus diluruskan. Keturunan
Sultan Demak harus kembali merajai tanah Jawa.”
Kembali
Ki Patih menarik nafas panjang. Dalam benak Ki Patih terlintas sebuah dugaan
bahwa Ki Ajar ini ada kemungkinannya tidak berdiri sendiri. Mungkin ada sebuah
kekuatan besar yang masih tersembunyi dan berada di balik semua peristiwa ini.
Sedangkan Ki Ajar beserta murid-muridnya hanyalah sebagai pancingan untuk
menentukan langkah-langkah berikutnya.
“Mengapa
Ki Ajar menyebut trah Sultan Demak? Ada hubungan apakah Ki Ajar dengan
keturunan Raden Patah itu?” tiba-tiba pertanyaan Ki Patih telah mengguncang
dada pemimpin perguruan Serat Gading itu.
Untuk
sejenak Ki Ajar Serat Gading membeku. Ada sedikit penyesalan atas
keterlanjurannya menyebut trah Sultan Demak. Namun semua itu sudah terlanjur
diucapkan, tidak akan mungkin untuk ditarik kembali.
“Sudahlah
Ki Patih,” jawab Ki Ajar kemudian dengan suara lantang, “Jangan mencoba
membelokkan permasalahan. Sekali lagi aku tantang Ki Patih untuk berperang
tanding, dengan ataupun tanpa taruhan karena taruhan yang utama adalah nyawa
kita masing-masing.”
“Bagus,
aku setuju,” jawab Ki Patih cepat begitu dia menyadari tidak ada jalan lain
untuk menghentikan Ki Ajar Serat gading yang keras kepala itu, “Perang tanding
ini tidak melibatkan siapapun dan tidak untuk mempertaruhkan apapun selain
nyawa kita masing-masing.”
“Terima
kasih Ki Patih telah sudi menerima tantanganku” berkata Ki Ajar sambil
tersenyum penuh kemenangan. Seolah-olah sudah terbayang dalam rongga matanya,
orang kedua di Mataram itu akan terkapar tak berdaya terkena kedahsyatan keris
pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri.
Dalam
pada itu, pertempuran tampaknya hampir berhenti. Di sana sini tampak
murid-murid perguruan Serat Gading yang sebagian besar telah menjadi tawanan
karena tidak berdaya menghadapi para prajurit Mataram yang kekuatannya dua kali
lipat. Sementara beberapa orang telah terluka bahkan menjadi korban pertempuran
di atas tanah pekuburan itu. Hanya tersisa satu lingkaran pertempuran yang
masih berlangsung dengan sengitnya, pertempuran antara Ki Lurah Upasanta
melawan Kiai Sambiwaja.
“Sudahlah,”
berkata Ki Lurah Upasanta sambil merunduk menghindari sambaran senjata
lawannya, “Kau harus melihat kenyataan Ki Sanak. Kawan-kawanmu sudah tidak
berdaya semua. Sebagian telah terluka bahkan mungkin ada yang terbunuh. Sisanya
telah menyerah. Sebaiknya Ki Sanak segera mengikuti jejak mereka.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Kiai Sambiwaja sambil meningkatkan serangannya. Dengan
derasnya senjata yang tergenggam di tangannya membabat lambung Ki Lurah
Upasanta.
Ki
Lurah yang menyadari lawannya semakin waringuten segera menghentakkan tenaga
cadangannya untuk mengimbangi tandang lawannya.
Dalam
pada itu di kediaman Ki Gede Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu terlihat semakin
segar setelah mendapat obat dari Kiai Sabda Dadi. Ketika seorang pelayan
menghidangkan semangkuk bubur yang sangat halus dan cair serta minuman hangat,
dengan dibantu Kiai Sabda Dadi, perlahan-lahan Ki Rangga Agung Sedayu pun untuk
pertama kalinya setelah tidak sadarkan diri beberapa lama mulai menyuapi
mulutnya dengan makanan dan minuman.
“Sebaiknya
jangan terlalu dipaksakan dulu,” berkata Ki Waskita yang sedari tadi mengamati
Kiai Sabda Dadi membantu menyuapi Ki Rangga, “Agaknya selera makan Ki Rangga
memang belum pulih seperti sediakala.”
Kiai
Sabda Dadi tersenyum mendengar ucapan Ki Waskita. Katanya kemudian sambil
mengakhiri suapannya ke mulut Ki Rangga, “Ini yang terakhir Ki Rangga.
Sebaiknya memang jangan terlalu banyak dulu. Aku tahu Ki Rangga sama sekali
belum berselera untuk makan banyak. Namun aku percaya, setelah obat yang Ki
Rangga telan bekerja beberapa saat lagi, lambat laun selera makan Ki Rangga
akan kembali.”
“Terima
kasih Kiai,” jawab Ki Rangga sambil berusaha menelan makanan terakhir di dalam
mulutnya. Betapa pun sulitnya.
“Nah
sekarang sebaiknya kita meninggalkan Ki Rangga sendirian agar dapat
beristirahat dengan tenang,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil mengemasi
peralatan makan yang telah digunakan dan meletakkan kembali di atas meja di
sudut bilik.
“Aku
akan ke padukuhan induk,” berkata Ki Waskita tiba-tiba sambil bangkit berdiri,
“Sebaiknya Kiai Sabda Dadi tetap di kediaman Ki Gede ini agar apabila
sewaktu-waktu Ki Rangga memerlukan perawatan lebih lanjut, Kiai dapat dicari
dengan mudah.”
“Ah,”
Kiai Sabda Dadi tertawa pendek, “Apakah aku masih termasuk kanak-kanak yang
senang bermain petak umpet? Aku tidak akan kemana-mana Ki Waskita. Aku mungkin
akan ke pendapa atau ke gardu penjagaan depan untuk sekedar berbincang-bincang
dengan para penjaga.”
“Marilah,”
berkata Ki Waskita kemudian, “Silahkan Ki Rangga beristirahat. Kami berdua akan
keluar bilik. Jika Ki Rangga memerlukan sesuatu, kami akan meninggalkan pesan
kepada para pembantu Ki Gede yang ada di dapur agar memperhatikan jika ada
panggilan dari Ki Rangga.”
“Ah,
itu tidak perlu Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Agaknya aku
menjadi terlalu manja dan merepotkan banyak orang.”
“Tentu
tidak,” jawab Kiai Sabda Dadi dengan serta merta, “Sudah seharusnya semua yang
ada di rumah ini membantu perawatan Ki Rangga agar segera pulih kembali.”
“Ya, Ki
Rangga. Semua berharap Ki Rangga segera sembuh. Tentu lingkungan keprajuritan
pun juga sudah menunggu.” Sahut Ki Waskita sambil memandang ke arah Kiai Sabda
Dadi.
“Ah,”
kali ini Ki Rangga tertawa tertahan, “Seolah-olah aku ini sekarang menjadi
orang yang begitu penting sehingga kehadiranku benar-benar ditunggu-tunggu.”
Untuk
sejenak kedua orang tua itu saling pandang. Kiai Sabda Dadi memang masih belum
sampai hati untuk menyampaikan permasalahan yang berhubungan dengan Kiai Damar
Sasongko, pemimpin perguruan Sapta Dhahana.
“Biarlah
hal itu akan aku sampaikan dalam dua atau tiga hari lagi sambil melihat
perkembangan kesehatan Ki Rangga,” berkata Kiai Sabda Dadi dalam hati.
“Sudahlah,
ngger. Kami akan keluar bilik,” akhirnya Ki Waskita berkata sambil tersenyum
lebar, “Pergunakan waktu sehari ini untuk beristirahat dengan sebaik-baiknya.
Kami mohon diri.”
“Silahkan,
silahkan,” jawab Ki Rangga sambil mengikuti langkah kedua orang tua itu dengan
pandangan matanya.
Setelah
menutup pintu bilik terlebih dahulu, kedua orang tua itu pun akhirnya melangkah
menyeberangi ruang tengah yang cukup luas menuju ke pendapa. Ketika mereka
berdua melintas di depan bilik Pandan Wangi yang tertutup rapat, tanpa sadar Ki
Waskita telah berpaling sejenak. Namun Ki Waskita sama sekali tidak
menghentikan langkahnya.
Sepeninggal
kedua orang tua itu, Ki Rangga mencoba untuk memejamkan matanya. Namun ternyata
berbagai macam dan corak bayangan kejadian-kejadian yang baru saja berlalu
telah hilir mudik di dalam rongga matanya.
Ki
Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk meredakan getar di dalam
dadanya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak begitu bayangan seorang perempuan
muda dan cantik telah hadir di rongga matanya.
“Anjani,”
desis Ki Rangga dalam hati, “Kehadirannya di Menoreh ini akan menimbulkan
permasalahan baru yang seharusnya tidak perlu terjadi.”
Ketika
Ki Rangga sedang merenungi perempuan muda yang memiliki mata berbinar bagaikan
bintang timur itu, tiba-tiba saja telinga Ki Rangga yang sangat terlatih telah
menangkap desir lembut langkah-langkah kecil menuju ke biliknya.
“Agaknya
orang ini berusaha untuk menyerap bunyi yang timbul akibat dari desir
langkahnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Menilik kemampuannya dalam menyerap
bunyi, orang ini tentu memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun menilik
irama langkahnya, yang datang ini seorang perempuan.”
Untuk
sejenak Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Berbagai dugaan muncul dalam hatinya.
Banyak perempuan yang berkemampuan tinggi yang sekarang sedang berada di
kediaman Ki Gede. Namun untuk tujuan apakah dia mencoba menyamarkan
kedatangannya dengan menyerap segala bunyi di sekitarnya?
“Jika
yang datang itu Sekar Mirah atau Pandan Wangi, tidak mungkin mereka berusaha
menyembunyikan kehadirannya di hadapanku,” berkata Ki Rangga dalam hati.
Sementara langkah-langkah kecil itu telah sampai di depan bilik Ki Rangga.
Ketika
pendengaran Ki Rangga yang sangat tajam melebihi kemampuan orang-orang
kebanyakan itu mendengar sebuah desir lembut dari arah pintu bilik, dengan
perlahan dari tempatnya berbaring Ki Rangga pun segera mengarahkan pandangan
matanya ke arah pintu.
Sebuah
desir tajam segera saja menggores jantungnya ketika dalam bayangan sinar
Matahari yang masih setinggi pucuk-pucuk pepohonan yang menerobos melalui
celah-celah dinding papan, tampak sesosok bayangan perempuan muda yang sangat
cantik berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik.
“Anjani,”
desis Ki Rangga perlahan hampir tak terdengar.
Orang
yang datang ke bilik Ki Rangga itu memang Anjani. Dengan memberanikan diri
Anjani ternyata telah berusaha untuk menemui Ki Rangga di biliknya sendirian.
“Masuklah,
Anjani,” berkata Ki Rangga kemudian begitu menyadari Anjani masih tetap berdiri
termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik yang terbuka lebar.
“Terima
kasih, Kakang,” jawab Anjani sambil melangkah mendekat.
Alangkah
merdunya suara Anjani itu terdengar di telinga Ki Rangga. Seolah-olah suara
lembut Anjani itu mampu menembus setebal apapun ilmu kebal Ki Rangga dan
langsung menukik menembus dada dan meremas jantung.
Ketika
Anjani melangkah semakin dekat, tiba-tiba saja indera penciuman Ki Rangga telah
menangkap semerbak harum seribu bunga yang samar-samar namun cukup menggetarkan
dada.
“Duduklah,
Anjani,” berkata Ki Rangga sambil memandang sekilas ke arah pintu bilik yang
dibiarkan terbuka lebar, “Sebelumnya aku mohon maaf jika kehadiranmu di Menoreh
ini tidak mendapat sambutan sebagaimana layaknya seorang tamu.”
“Ah,”
desah Anjani sambil tersenyum tipis dan kemudian mengambil tempat duduk, “Aku
bukan seorang tamu agung, Kakang. Aku hanyalah seorang kleyang kabur kanginan
yang mencoba mengadu nasib menyangkutkan masa depan di tanah Perdikan ini.”
Kembali
sebuah desir tajam, setajam ujung sembilu menggores jantung Ki Rangga. Masa
depan Anjani itulah yang selama ini telah membebani pikirannya.
“Anjani,”
berkata Ki Rangga kemudian sambil mencoba mengendapkan getar di dalam dadanya,
“Kau bukan seorang kleyang kabur kanginan, Kau mempunyai masa depan yang dapat
Kau pilih sendiri menurut kata hatimu. Dengan sepenuh hati kami semua yang ada
di Menoreh ini akan berusaha membantumu sekuat tenaga dalam meraih masa depanmu.”
Sepasang
mata yang berbinar indah itu sejenak menatap sepasang mata Ki Rangga yang juga
sedang menatapnya. Namun dengan cepat Anjani segera melemparkan pandangan
matanya ke sudut bilik di atas lampu dlupak yang tampak kotor kehitam-hitaman.
“Kakang,”
berkata Anjani kemudian setelah sejenak keduanya terdiam, “Pada awalnya aku
memang masih mempunyai harapan tentang masa depanku ketika Kakang telah
berjanji untuk membawaku ke Menoreh. Aku mengatakan semua ini bukan bermaksud
untuk menagih janji yang telah Kakang ucapkan. Mungkin aku terlalu berlebihan
dalam menafsirkan janji itu sehingga aku telah terpuruk dengan angan-anganku
sendiri,” Anjani berhenti sejenak untuk mengambil nafas dalam-dalam. Lanjutnya
kemudian, “Namun kini aku menyadari, apa sebenarnya arti dari janji itu dan aku
memang telah meletakkan semua harapan dan impianku selama ini. Biarlah waktu
nanti yang akan membawaku entah ke mana.”
Untuk
sejenak Ki Rangga Agung Sedayu terdiam. Berbagai macam pertimbangan bergolak
dalam dadanya.
“Anjani..,”
akhirnya dengan perlahan Ki Rangga berdesah, “Cobalah berpikir tentang masa
depanmu. Itulah yang lebih penting sekarang ini. Aku telah berjanji membawamu
ke Menoreh. Bukankah Kau sekarang ini sudah di Menoreh? Hidup di antara
keluargaku?” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi sedikit
tersengal, namun kemudian lanjutnya, “Sesungguhnya di antara kita memang tidak
ada suatu ikatan apapun. Aku minta maaf jika tidak dapat memenuhi harapan yang
mungkin sempat melambung di hatimu. Tapi percayalah, jika memang Kau ingin
menjadi bagian dari keluargaku, dengan senang hati aku akan menerimanya.”
Anjani
tergugu. Air yang bening mulai menetes dari sudut matanya yang indah. Bibirnya
yang tipis dan berwarna merah dadu itu terkatup rapat. Sedangkan kepalanya
tertunduk dalam dalam sehingga gerai rambutnya yang panjang hampir menyentuh
dada ki Rangga Agung Sedayu yang masih tergolek lemah di atas pembaringan.
Sejenak
kemudian, dengan menguatkan hatinya, Anjani berkata perlahan sambil mengangkat
kepalanya, “Kakang, aku memang tidak pernah sekali pun memahatkan sebuah
harapan di dinding hatiku. Aku tahu betapa kotornya diriku sehingga tidak
sepantasnya aku berharap lebih dari apa yang telah kuraih sekarang ini, yaitu
kebebasanku. Justru sekarang ini aku memberanikan diri menjenguk kakang yang
sedang sakit tanpa seijin mbokayu Sekar Mirah untuk sekedar mengucapkan terima
kasih atas pertolongan Kakang yang telah membebaskan aku dari kekejaman kedua
Guruku, dan selanjutnya aku mohon maaf kalau selama ini telah membuat hati
Kakang menjadi galau dan bersedih.”
Ki
Rangga Agung Sedayu tersenyum tipis. Ketika pandangan Ki Rangga kemudian
tersangkut pada seraut wajah perempuan muda dan cantik yang duduk di atas
dingklik kayu di samping pembaringannya, dada Ki Rangga pun berdesir tajam.
Sepasang mata yang indah dan bening itu pun ternyata sedang memandangnya pula
dengan seribu satu macam perasaan yang bergejolak di dalam dada.
“Kakang,”
kembali Anjani melanjutkan kata-katanya sambil berusaha sekuat tenaga menahan
air matanya agar tidak jatuh berderai, “Aku mohon pamit. Aku akan menyusuri
jalan yang terbentang di hadapanku dan semoga aku tidak tergoda untuk menengok
ke belakang kembali,” Anjani berhenti sejenak sambil menahan nafas agar
bendungan air di kedua pelupuk matanya tidak pecah. Lanjutnya kemudian, “Aku
mohon doa restu, Kakang. Semoga aku selalu diberi kekuatan oleh Yang Maha Agung
dalam menjalani sisa hidupku ini. Aku akan terus berjalan dan berjalan sampai
aku temui akhir dari jalan itu sendiri.”
Ki
Rangga menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menerawang ke langit-langit
bilik yang terbuat dari anyaman kulit bambu yang terlihat begitu rumit namun
terkesan sangat rapi.
Selagi
kedua orang itu sedang terhanyut oleh angan masing-masing, tiba-tiba pendengaran
Ki Rangga yang sangat tajam telah menangkap langkah orang yang sedang berlari
dengan tergesa-gesa dari arah gandhok sebelah kanan. Setelah melewati
longkangan, langkah-langkah itu terdengar menuju ke arah pintu butulan yang
terhubung dengan rumah induk.
Tiba-tiba
suasana yang hening itu telah dikejutkan oleh suara jeritan seorang perempuan
dari arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah. Dengan cepat
Anjani yang sedang berada di dalam bilik Ki Rangga segera meloncat berdiri dan
berlari ke arah pintu.
Alangkah
terkejutnya Anjani. Sesampainya dia di depan pintu, tampak beberapa langkah di
depan pintu butulan samping yang terbuka lebar, sedang berdiri seseorang dengan
garangnya sambil menggenggam senjata yang berlumuran darah. Sedangkan di tengah-tengah
pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tengah, tampak seorang perempuan
paro baya pembantu rumah Ki Gede jatuh terduduk bersandaran pada kusen pintu
dengan wajah pucat pasi dan tubuh gemetaran.
“He!
Kau?” tiba-tiba orang yang menggenggam pedang itu berseru keras dengan nada
penuh kemarahan begitu melihat Anjani tiba-tiba muncul dari salah satu bilik
yang ada di ruang tengah itu. Agaknya orang itu telah mengenal Anjani.
Tersirap
darah Anjani sampai ke ubun-ubun. Pandangan matanya sejenak hinggap di wajah
yang garang dengan sepasang mata yang merah menyala. Anjani segera teringat
kepada orang yang telah dilumpuhkannya beberapa saat yang lalu ketika terjadi
penyerbuan di rumah Ki Gede Menoreh.
“Bukankah
orang ini telah ditawan oleh para pengawal dan dimasukkan ke bilik khusus?”
bertanya Anjani dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Bagaimana mungkin
orang ini dapat meloloskan diri?”
Orang
yang berdiri dengan garangnya itu memang Ki Lurah Sanggabaya. Setelah Anjani
berhasil melumpuhkannya, atas perintah Ki Gede para pengawal telah
menempatkannya di bilik khusus di belakang gandhok kanan. Beberapa pengawal
secara bergiliran telah ditempatkan di seputar bilik untuk menjaga tawanan itu.
Sejauh itu tidak ada seorang pun yang mengenalinya karena Ki Lurah Sanggabaya
memang tidak sedang mengenakan pakaian keprajuritan serta telah menyamarkan
sedikit wajahnya sehingga agak sulit dikenali.
“Perempuan
gila! Kau harus mampus!” tiba-tiba Ki Lurah Sanggabaya mengumpat sambil memburu
ke tempat Anjani berdiri. Pedang yang berlumuran darah itu diangkatnya
tinggi-tinggi siap untuk melancarkan serangan dahsyat.
Anjani
yang masih berdiri di tengah-tengah pintu bilik Ki Rangga segera tanggap. Dia
harus melindungi keberadaan Ki Rangga Agung Sedayu yang masih tergolek lemah di
pembaringan. Jangan sampai lawannya mengetahui bahwa yang berada di dalam bilik
itu adalah salah satu orang penting bagi Mataram. Dengan cepat dia segera
meloncat beberapa langkah ke depan menyambut serangan lawannya.
Agaknya
Ki Lurah Sanggabaya benar-benar memendam dendam sedalam lautan kepada Anjani.
Dengan berbekal senjata di tangan kanannya serta aji lembu sekilan yang
dibangga-banggakan, tanpa rasa belas kasihan, pedang yang ada di tangan
kanannya berputaran mengurung Anjani.
Anjani
maklum kalau lawannya memiliki aji yang dapat melindungi dirinya dari serangan
lawan. Namun Anjani yakin aji lembu sekilan itu tentu tatarannya tidak setinggi
yang dimiliki oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang semasa mudanya bernama Mas
Karebet. Aji lembu sekilan Ki Lurah ini pasti masih dalam tataran yang dapat
ditembus.
Menyadari
lawannya langsung menyerangnya dengan tataran tinggi ilmunya, Anjani pun
kemudian segera mengetrapkan aji yang pernah dipergunakan untuk melumpuhkan Ki
Lurah beberapa saat yang lalu, aji seribu bunga.
Sejenak
kemudian, di ruang tengah itu segera tercium bau harum semerbak yang
memabokkan. Karena Anjani memang sengaja mengerahkan aji seribu bunga itu untuk
mempengaruhi penalaran Ki Lurah, maka yang mengalami akibat paling parah adalah
ki Lurah Sanggabaya sendiri.
“Perempuan
iblis!” umpat Ki Lurah begitu menyadari bau harum itu telah mengacaukan
penalarannya. Dia tidak mau untuk kedua kalinya diperdaya oleh lawannya.
Waktunya sangat sempit. Dia harus segera meloloskan diri dari tempat itu.
“Aku tidak
mau tertahan lagi oleh perempuan iblis ini,” geram Ki Lurah dalam hati,
“Secepat mungkin perempuan ini harus segera disingkirkan. Sebelum ajinya yang
memabokkan ini semakin dalam mempengaruhi penalaranku.”
Berpikir
sampai di situ, dengan cepat Ki Lurah segera melompat ke belakang. Senjata yang
ada di tangannya segera dibuang ke samping. Sejenak Ki Lurah segera memusatkan
segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan aji pamungkasnya yang nggegirisi.
Namun bau wangi yang tajam menusuk-nusuk hidungnya serta menggetarkan
syaraf-syaraf di otaknya telah memacu degup jantungnya menjadi semakin cepat
sehingga pengetrapan ajinya menjadi sedikit terganggu.
Anjani
yang hampir meloncat memburu lawannya segera menahan langkah begitu melihat
lawannya mengambil sikap. Tidak mau hancur diterjang oleh ilmu pamungkas
lawannya, dengan tergesa-gesa Anjani pun segera memusatkan segenap nalar
budinya untuk mengetrapkan puncak ilmunya yang telah dipelajari semasa dia
masih tinggal di gunung Kendalisada, aji mundri. Aji yang diturunkan oleh
seorang sakti yang keberadaannya dipercaya oleh sebagian orang hanya sebagai
dongeng belaka, Resi Mayangkara.
Dalam
pada itu, jerit perempuan pembantu rumah Ki Gede beberapa saat yang lalu itu
ternyata telah menarik perhatian beberapa orang. Para pengawal yang berada di
regol depan bersama Kiai Sabdadadi dengan segera berlari-larian menghambur ke
dalam rumah Ki Gede. Demikian juga Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan
serta Damarpati yang berada di halaman belakang dengan tergesa-gesa telah
memasuki rumah dari arah dapur.
Ketika
Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang terlebih dahulu tiba di dalam dapur, segera
melihat beberapa perempuan pembantu Ki Gede telah mencoba menolong seorang
perempuan parobaya yang terduduk setengah pingsan di tengah-tengah pintu yang
menghubungkan dapur dengan ruang tengah.
“Bawalah
dia menepi!” perintah Pandan Wangi.
Dengan
susah payah perempuan parobaya itu pun akhirnya berhasil dibawa menepi dan
kemudian didudukkan di atas amben bambu yang berada di sudut dapur.
“Minumlah!”
berkata seorang kawannya sambil menyodorkan sebuah kendi.
“Terima
kasih,” gumam perempuan parobaya itu hampir tak terdengar. Dengan kedua tangan
yang masih gemetar diterimanya kendi itu. Namun bayangan laki-laki dengan mata
menyala dan pedang yang berlumuran darah di tangan kanannya masih belum hilang
di rongga matanya.
Dalam
pada itu, Anjani yang tidak mau terlambat justru telah meloncat menyerang
terlebih dahulu. Bagaikan tatit yang meloncat di udara, tubuhnya melesat dengan
tangan kanan diangkat tinggi-tinggi siap melepaskan ajinya yang ngedab-edabi,
aji mundri.
Sedangkan
Ki Lurah Sanggabaya yang sedikit menemui kesulitan dalam pemusatan nalar
budinya, pada saat terakhir telah berhasil mengendapkan gelora dadanya yang
bagaikan mendidih karena pengaruh bau wangi aji seribu bunga. Ketika pandangan
matanya menangkap bayangan Anjani yang meluncur deras ke arahnya, dengan segera
disambutnya dengan membenturkan ayunan tangan kanannya dalam lambaran aji
pamungkas.
Sejenak
kemudian sebuah benturan dahsyat telah terjadi. Getarannya telah mengguncangkan
seisi rumah. Seolah-olah ada gempa bumi dahsyat yang sedang melanda. Tubuh Ki
Lurah pun telah terlontar ke belakang beberapa langkah karena hentakan kekuatan
ilmu lawannya, sebelum akhirnya tubuh itu terputar dan terbanting jatuh
tertelungkup di atas lantai.
Sedangkan
Anjani yang membentur aji pamungkas lawannya telah terpental ke belakang.
Tubuhnya melayang bagaikan layang-layang putus sebelum akhirnya menabrak
dinding bilik Ki Rangga sehingga dinding bilik yang terbuat dari papan kayu
jati tebal itu sebagian telah hancur berantakan.
Untuk
beberapa saat Anjani masih mengerang sambil berusaha bangkit bertelekan pada
kedua siku tangannya. Namun ketika darah segar kemudian menyembur dari
mulutnya, tubuh yang mungil itu pun segera jatuh terkulai dan diam tak
bergerak.
Beberapa
orang yang memasuki ruang tengah itu masih sempat menyaksikan benturan yang
dahsyat antara Anjani dan Ki Lurah Sanggabaya. Mereka bagaikan terkesima begitu
melihat kedua orang yang telah saling membenturkan puncak ilmunya itu terlempar
dan kemudian jatuh tersungkur tak bergerak.
“Anjanii..!”
hampir bersamaan Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang telah menyadari keadaannya
segera meloncat menghambur ke arah tubuh Anjani yang terbujur diam.
Kiai
Sabda Dadi yang juga sempat menyaksikan benturan dahsyat itu segera berlari ke
tempat Anjani terjatuh sambil berseru, “Mohon Anjani jangan disentuh, Nyi!
Mungkin dia menderita luka dalam yang cukup parah sehingga guncangan sekecil
apapun akan dapat berakibat memperparah lukanya!”
Sekar
Mirah yang sudah tiba di tempat Anjani terjatuh ternyata telah mendengar seruan
Kiai Sabda Dadi. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak menyentuh Anjani
dan hanya berlutut di sisi tubuh yang tergolek diam itu. Sementara Pandan Wangi
pun segera ikut berlutut di sisi adik iparnya.
“Biarlah
aku periksa keadaannya,” berkata Kiai Sabda Dadi sesampainya di sisi tubuh
Anjani.
Dengan
sangat hati-hati Kiai Sabda Dadi segera berlutut dan meraba pergelangan tangan
Anjani untuk mencoba merasakan denyut nadinya, namun tidak ada tanda-tanda
bahwa nadinya masih berdenyut. Ketika Kiai Sabda Dadi kemudian mencoba
memeriksa di bagian tubuh Anjani yang lain, tanda-tanda kehidupan itu pun
ternyata juga tidak ada.
“Aneh,
tubuhnya terasa sangat dingin, padahal benturan ilmu itu terjadi baru beberapa
saat yang lalu. Seharusnya tubuh Anjani masih terasa hangat.” berkata Kiai
Sabda Dadi dalam hati, “Atau mungkin pengaruh kekuatan ilmu lawannya yang dapat
membekukan aliran darahnya. Semoga saja aku masih diberi kesempatan oleh Yang
Maha Agung untuk menolongnya.”
Untuk
beberapa saat Kakek Damarpati itu termenung dengan kening yang berkerut-merut.
“Bagaimana
Kiai?” pertanyaan Sekar Mirah membuyarkan lamunan Kiai Sabda Dadi, “Mengapa
Kiai hanya diam saja? Segeralah menolong Anjani. Aku telah berhutang budi
kepadanya sebanyak tiga kali, dan aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku
dapat membalasnya.”
Kata-kata
Sekar Mirah itu ternyata telah menyengat jantung Pandan Wangi yang sedang
berlutut di sisinya. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya.
Dalam
pada itu para pengawal yang telah datang di ruang tengah kediaman Ki Gede
bersama-sama Kiai Sabda Dadi segera merubung tubuh Ki Lurah Sanggabaya yang
tertelungkup. Dengan sangat hati-hati, salah seorang segera membalikkan badan
Ki Lurah.
“Apakah
dia masih hidup?” seorang pengawal bertubuh kurus bertanya kepada kawannya yang
berjongkok di sisi tubuh Ki Lurah.
“Entahlah,”
jawab kawannya sambil mencoba meraba dada sebelah kiri Ki Lurah, “Tubuhnya
masih hangat tapi aku tidak dapat merasakan detak jantungnya.
“Bukankah
dia adalah tawanan yang berada di bilik khusus yang berada di belakang gandhok
kanan?” tiba-tiba salah seorang pengawal yang ikut merubung itu menyelutuk.
Belum
sempat salah seorang pengawal menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar
langkah beberapa orang yang sedang berlari-larian dari arah pintu butulan
samping.
Sejenak
kemudian dari arah pintu butulan samping yang terbuka lebar, muncul beberapa
pengawal yang bertugas menjaga tawanan di bilik khusus dengan wajah tegang
sambil menghunus senjata.
“Di
mana tawanan itu, he!” salah seorang pengawal yang bermuka berewok berseru
sambil mengacungkan senjatanya, “Dia telah berhasil meloloskan diri dengan
melukai kawan-kawan kita. Salah seorang pengawal bahkan terluka sangat parah
sehingga dapat mengancam jiwanya. Akan aku bunuh tawanan itu, siapapun dia
sebenarnya aku tidak peduli!”
Tidak
ada seorang pun yang menjawab. Namun ketika pengawal yang berwajah berewok itu
akan mengulangi pertanyaannya, tiba-tiba saja pandangan matanya tertumbuk pada
sesosok tubuh yang terbujur diam di tengah-tengah kerumunan kawan-kawannya yang
bertugas di regol depan.
“Gila!”
geram pengawal yang berwajah berewok itu sambil melangkah mendekat, “Apakah
kalian telah membunuhnya?”
Kembali
tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaannya. Hanya saja kali ini para
pengawal yang merubung Ki Lurah Sanggabaya serentak memalingkan wajahnya ke
arah Anjani yang sedang diangkat oleh Sekar Mirah dengan hati-hati menuju ke
bilik Pandan Wangi semasa dia masih remaja dahulu.
Pengawal
berwajah berewok itu tertegun. Sepasang matanya tidak berkedip menelusuri wajah
Anjani yang bagaikan golek kencana. Seumur hidupnya baru kali ini dia melihat
perempuan secantik itu.
Demikian
juga para pengawal lainnya ikut terkesima memandang Anjani yang seolah bagaikan
Bidadari yang sedang tertidur dalam gendongan Sekar Mirah. Berpasang-pasang
mata mengikuti setiap langkah Sekar Mirah yang mendukung Anjani sampai hilang
di balik pintu bilik.
Baru
ketika Kiai Sabda Dadi yang berjalan di belakang Sekar Mirah itu terbatuk-batuk
kecil, mereka bagaikan terbangun dari sebuah mimpi indah. Mimpi berjumpa dengan
seorang bidadari dari sorga yang telah berkenan turun ke dunia.
Selagi
orang-orang itu terpesona dengan Anjani, ternyata Pandan Wangi telah
menyempatkan diri untuk menjenguk ke dalam bilik Ki Rangga.
“Wangi,”
bertanya Ki Rangga begitu puteri satu-satunya Ki Gede menoreh itu berdiri di
sisi pembaringannya, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku telah mendengar
sebuah pertempuran dahsyat, namun hanya berlangsung sangat singkat. Agaknya
mereka telah membenturkan ilmu puncak masing-masing untuk segera menyelesaikan
pertempuran itu.”
Pandan
Wangi tersenyum mendengar pertanyaan Ki Rangga. Dengan perlahan dia duduk di bibir
pembaringan Ki Rangga. Sepasang mata yang sayu itu pun kemudian menatap tajam
ke arah Ki Rangga Agung Sedayu. Seolah olah ingin dijenguknya isi dada orang
yang pernah singgah di relung hatinya itu justru di saat pertama dia baru
mengenal perasaan cinta.
Berdesir
dada Ki Rangga Agung Sedayu begitu tatapan mata mereka beradu. Sejenak mereka
berdua seakan-akan telah terlempar ke masa bertahun-tahun yang lalu. Ki Rangga
Agung Sedayu dapat merasakan betapa tatapan Pandan Wangi kepadanya itu tetap
tidak berubah, tatapan mata seorang gadis yang sedang tumbuh kepada seorang
penggembala yang bernama Gupita.
“Wangi,”
cepat-cepat Ki Rangga berdesis agak sedikit keras sebelum getaran kedua pasang
mata yang saling bertaut itu dapat menjerat mereka ke dalam suasana yang
semakin mendebarkan, “Ceritakanlah kepadaku, apakah sebenarnya yang telah
terjadi?”
Untuk
beberapa saat Pandan Wangi menarik nafas dalam, dalam sekali. Seolah ingin
dipenuhinya rongga dadanya dengan udara pagi yang mulai merambat siang.
Dilemparkan pandangan matanya ke arah dinding bilik yang sebagian telah hancur
sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga.
“Kakang,”
akhirnya dengan nada sedikit tersedat pandan Wangi berkata, “Apakah sebenarnya
yang telah membuat Anjani mengikuti Kakang ke Tanah Perdikan ini?”
Pertanyaan
yang tak terduga dari Pandan Wangi itu ternyata telah membuat Ki Rangga untuk
sejenak terdiam.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku, Wangi.” berkata Ki Rangga kemudian berusaha untuk
mengembalikan arah pembicaraan.
“Kakang,”
kembali Pandan Wangi melanjutkan kata-katanya tanpa mempedulikan pertanyaan Ki
Rangga, “Anjani adalah seorang perempuan yang sangat cantik dan masih muda.
Apakah Kakang pernah mencoba untuk memahami apakah sebenarnya keinginan Anjani
mengikuti kakang sampai sejauh ini?”
Ki
Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak menduga kalau
Pandan Wangi masih melanjutkan pertanyaannya seputar Anjani.
“Anjani
adalah seorang perempuan yang berani memperjuangkan cita-citanya,” berkata
Pandan Wangi kemudian tanpa mempedulikan tanggapan Ki Rangga, “Berbeda dengan
aku yang terlalu kerdil dan pengecut. Aku tidak berani memperjuangkan
cita-citaku pada waktu itu. Aku terlalu pasrah dengan keadaan dan menerima
nasib apa adanya. Seandainya pada waktu itu aku mempunyai semangat seperti
Anjani, mungkin garis hidupku akan berbeda.”
“Apakah
masa lalu itu masih perlu dibahas, Wangi?” potong Ki Rangga Agung Sedayu,
“Sudah seharusnya kita menerima garis nasib yang telah ditentukan oleh Yang
Maha Agung tanpa harus berandai-andai, karena hanya akan menimbulkan penyesalan
yang tidak berujung.”
Pandan
Wangi mengerutkan keningnya. Sejenak puteri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu terdiam, namun pandangan matanya yang sayu itu menatap Ki Rangga
dengan seribu satu macam persoalan yang menderu dalam dadanya.
“Kakang,”
akhirnya Pandan Wangi itu pun kemudian berkata perlahan setelah sejenak mereka
berdua terdiam, “Aku tidak menyesali dengan apa yang telah digariskan dalam
hidupku, namun aku menyesali diriku sendiri, ternyata aku tidak bisa menjadi
seorang istri yang baik.”
Berdesir
dada Ki Rangga mendengar kata-kata istri adik seperguruannya itu. Setelah
menarik nafas dalam-dalam untuk menurunkan getar di dalam rongga dadanya, Ki
Rangga pun kemudian menyahut, “Wangi, Kau adalah seorang istri yang baik bagi
suamimu. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri padahal Kau telah berbuat
yang terbaik bagi suamimu.”
“Tidak
Kakang,” tiba-tiba suara Pandan Wangi terdengar agak tersendat dan bergetar,
“Aku bukan seorang istri yang baik. Pada awalnya memang aku telah berusaha
dengan segenap jiwa ragaku untuk berbuat yang terbaik bagi suamiku. Namun aku
tidak mampu untuk menipu diriku sendiri. Pekerjaan yang paling sulit dan tidak
mungkin aku lakukan adalah menipu kata hatiku, menipu suara hatiku yang sejak
semula memang telah aku sadari kepada siapa sebenarnya hati ini ingin
berlabuh,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Tampak kepalanya tertunduk
dalam-dalam sementara kedua tangannya mulai sibuk mengusap air mata yang mulai
mengalir di kedua pipinya. Sambil sedikit menahan nafas, Pandan Wangi pun
kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku adalah seorang istri yang tidak dapat
membuat Kakang Swandaru bahagia. Mungkin Kakang Swandaru dapat membaca hatiku
dan menilai sikapku yang tidak sepenuhnya dapat melayaninya dengan tulus,
sehingga dia telah tega berpaling kepada perempuan lain.”
Sampai
di sini Pandan Wangi sudah tidak mampu lagi untuk menahan gelora dalam dadanya
yang melonjak-lonjak. Walaupun dengan sekuat tenaga dia telah berusaha untuk
menahan tangisnya, namun beban di dalam hatinya yang telah sekian lama
dipendam, tidak mampu lagi untuk ditahannya.
Untuk
beberapa saat Ki Rangga Agung Sedayu tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun
dan hanya terbaring diam sambil memejamkan kedua matanya. Suara tangis Pandan
wangi yang tersendat-sendat terasa bagaikan berbongkah-bongkah batu padas yang
meluncur turun dari bukit dan menimpa dadanya susul menyusul. Berbagai
pertimbangan telah muncul di dalam benaknya, namun selalu saja ada
keragu-raguan yang membelenggu hatinya.
Jauh di
dalam lubuk hati Ki Rangga telah tumbuh sebuah penyesalan, mengapa dirinya pada
saat memerankan seorang gembala yang bernama Gupita terlalu bersikap terbuka
dan bahkan cenderung memberi harapan kepada gadis puteri satu-satunya Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu? Bahkan dengan sangat deksura dan meninggalkan suba
sita dia telah berani dengan sengaja menggenggam tangan gadis dari Menoreh itu.
“Aku
memang terlalu berlebihan dalam memerankan seorang Gupita pada waktu itu,”
berkata Ki Rangga dalam hati.
Namun
sebenarnya lah di sudut hatinya yang lain telah berkata, “Bukankah Kau pada
waktu itu memang sangat tertarik dengan gadis Menoreh itu? Sikapnya yang sopan
dan menghargai siapa pun, tutur katanya yang lemah lembut namun tegas serta
sifatnya yang rendah hati sangat berbeda dengan gadis dari Sangkal Putung yang
telah menyentuh hatimu untuk pertama kali. Bahkan pandangan matanya yang
terlihat sayu dan selalu diliputi oleh kesedihan itu telah menggerakkan hatimu
untuk selalu ingin menghiburnya dan membuatnya selalu tersenyum agar wajahnya
yang cantik itu tidak terlihat murung dan bersedih?”
“Ah,”
desah Ki Rangga dalam hati, “Ternyata lebih mudah menghadapi seorang musuh
setangguh Panembahan Cahya Warastra dari pada menghadapi seorang perempuan
dengan segala permasalahannya yang rumit dan njlimet.”
Dalam
pada itu, Pandan Wangi ternyata telah berusaha dengan keras untuk menguasai
dirinya. Sebagai seorang perempuan yang mempunyai kelebihan dari perempuan
kebanyakan, dirinya telah terlatih untuk menghadapi persoalan yang menyangkut
ketahanan lahir maupun batin. Dengan memusatkan segenap nalar dan budinya,
Pandan Wangi pun kemudian mencoba untuk mengurai getaran-getaran yang telah
melanda jantungnya.
Demikianlah
akhirnya Pandan Wangi benar-benar telah mampu menguasai dirinya. Setelah
mengusap tetes air matanya yang terakhir, dengan mata yang masih merah dan
sembab Pandan Wangi pun kemudian berdiri sambil berkata perlahan, “Sudahlah
Kakang, Kau memang benar. Tidak ada lagi yang perlu dibahas sehubungan dengan
masa lalu kita. Biarlah sekarang ini kita meniti jalan kita masing-masing. Aku
akan belajar ikhlas dalam menerima nasib yang telah ditakdirkan oleh Yang Maha
Agung. Semoga dalam menyongsong hari-hari tua kita, kita selalu diberi tuntunan
dan bimbingan agar selalu dapat meniti di jalan yang diridhoiNya.”
Ki
Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk kecil tanpa
berusaha menanggapi kata-kata Pandan Wangi. Ketika Pandan Wangi kemudian
bergeser dari samping pembaringannya, tanpa sadar kedua pasang mata itu pun
kembali beradu. Tiba-tiba saja sebuah senyum yang teramat manis telah
tersungging di bibir puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu.
Tersirap
darah Ki Rangga rasanya sampai ke ubun-ubun. Senyum yang telah lama hilang dari
wajah cantik puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu kini telah merekah
kembali. Sejak dia dipersunting oleh anak laki-laki Ki Demang Sangkal Putung
itu, Ki Rangga Agung Sedayu memang sangat jarang melihat Pandan Wangi tersenyum
manis seperti semasa mereka masih sama-sama muda. Dan kini seakan-akan yang
berdiri di sisi pembaringan ki Rangga bukanlah istri adik seperguruannya, namun
gadis berpedang rangkap yang sedang berlarian-larian sambil bergandengan tangan
dengannya di bawah siraman sinar bulan purnama.
“Wangi,”
tiba-tiba tanpa disadarinya Ki Rangga berdesah perlahan, “Kau sangat cantik
sekali.”
“Ah,
Kakang,” desah Pandan Wangi sambil menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi merasakan jantungnya bergejolak dan aliran darahnya
mengalir lebih cepat dari biasanya sehingga tubuhnya menjadi sedikit menggigil.
Ki
Rangga yang menyadari keterlanjurannya segera berusaha untuk mengalihkan
pembicaraan. Katanya kemudian, “Maafkan aku Wangi. Bukan maksudku untuk
bersikap deksura kepadamu. Aku hanya mengungkapkan apa yang terlintas dalam
benakku. Sekali lagi aku mohon maaf.”
Sambil
tetap menundukkan wajahnya, Pandan Wangi pun kemudian menjawab, “Sudahlah
Kakang, aku mohon diri. Sebaiknya aku menengok keadaan Anjani untuk mengetahui
keadaannya.”
Ki Rangga
menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menerawang ke langit-langit bilik.
Berbagai bayangan hilir mudik di rongga matanya. Bayangan perempuan-perempuan
yang pernah dekat dalam kehidupannya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan yang
terakhir adalah Anjani, perempuan muda yang sangat cantik dan kini sedang
terluka parah.
“Wangi,
seberapa parahkah luka Anjani?” bertanya Ki Rangga kemudian setelah keduanya
sejenak terdiam.
Pandan
Wangi menggeleng lemah, “Aku tidak tahu Kakang, tapi benturan ilmu puncak Anjani
dengan lawannya yang terjadi tadi sangat dahsyat. Aku tidak berani menduga
apakah kedua-duanya dapat bertahan.”
Ki
Rangga mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Aku tadi mendengar suara Kiai
Sabda Dadi. Semoga Kiai Sabda Dadi dapat memberikan pertolongan kepada Anjani.”
“Ya
Kakang,” jawab Pandan Wangi masih dengan menundukkan wajahnya, “Sekar Mirah
telah membawa Anjani ke dalam bilik tempatku dahulu dan agaknya Kiai Sabda Dadi
sedang berusaha membantu menolong Anjani.”
“Semoga
Yang Maha Agung meridhoi usaha dan doa kita semua,” desis Ki Rangga hampir tak
terdengar.
Pandan
Wangi tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk.
Untuk
beberapa saat keduanya menjadi terdiam. Masing-masing terbawa arus angan-angan
yang melambung tinggi, setinggi awan yang berarak-arak di langit biru.
“Kakang,”
berkata Pandan Wangi kemudian memecah kesepian, “Aku mohon diri.”
“Silahkan,
Wangi,” jawab Ki Rangga sambil tetap memandang langit-langit bilik, “Tolong
sampaikan kepada Sekar Mirah untuk datang ke sini. Ada yang ingin aku
bicarakan.”
Berdesir
lembut jantung puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai prasangka
muncul dalam benaknya, namun cepat-cepat perasaan itu dibuangnya jauh-jauh.
Katanya kemudian, “Ya Kakang. Pesan Kakang akan aku sampaikan kepada Sekar
Mirah.”
Demikianlah
akhirnya, puteri satu satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian
meninggalkan Ki Rangga sendirian di dalam biliknya.
Dalam
pada itu di tanah pekuburan perang tanding antara Ki Patih Mandaraka melawan Ki
Ajar Serat Gading semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Ajar dengan berbekal
ilmunya yang tinggi serta pengaruh dari keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri
benar-benar telah membuat Ki Patih harus mengerahkan segenap kemampuannya.
Keris Kiai Sarpasri itu seolah-olah telah berubah ujud menjadi seekor naga yang
tidak begitu besar namun dari mulutnya yang menganga telah meluncur
gumpalan-gumpalan api berbisa yang siap melumatkan apa saja yang diterjangnya.
Orang-orang
yang menyaksikan perang tanding itu dari pinggir arena hanya dapat menahan
nafas. Ki Gede Menoreh yang telah banyak makan asam garamnya pertempuran itu
pun telah dibuat berdebar-debar. Pengaruh keris itu memang sangat luar biasa.
Pengaruh getaran dari ungkapan ilmu Ki Ajar serta panas yang ditimbulkan oleh
keris Kiai Sarpasri terasa telah membakar arena perang tanding.
“Ki
Gede,” tiba-tiba Ki Jayaraga yang berdiri di sebelah Ki Gede berbisik, “Agaknya
gumpalan-gumpalan api yang ditimbulkan oleh keris Kiai Sarpasri itu tidak hanya
menimbulkan panas saja, namun juga mengandung racun yang sangat ganas.”
Sejenak
Ki Gede mengerutkan keningnya sambil mengamati jalannya pertempuran. Memang
gumpalan-gumpalan api yang menerjang Ki Patih itu selalu dapat dihindarinya.
Namun akibat yang ditimbulkan benar-benar sangat nggegirisi. Ketika
gumpalan-gumpalan api itu tidak mengenai sasarannya dan menerjang semak belukar
yang banyak tumbuh berserakan di tanah pekuburan itu, akibatnya sangat
mengerikan. Semak belukar itu tidak hanya terbakar, namun daun-daun dan
batang-batangnya yang setengah terbakar itu tiba-tiba saja telah meleleh dan
kemudian hancur menjadi bergumpal-gumpal cairan yang berwarna kehitam-hitaman.
“Luar
biasa!” desis Ki Gede begitu menyadari kedahsyatan keris Kiai Sarpasri, “Semoga
Ki Patih segera menemukan jalan keluar untuk menghancurkan kekuatan keris itu.”
“Ya Ki
Gede,” sahut Ki Jayaraga penuh harap, “Kita semua berharap Ki Patih segera
mampu mengatasi kedahsyatan keris Kiai Sarpasri. Menurut dugaanku, sebenarnya
kemampuan ilmu kanuragan Ki Ajar tidak begitu menyulitkan Ki Patih. Namun
dukungan kekuatan keris Kiai Sarpasri yang seolah-olah telah menyatu dengan Ki
Ajar, itulah yang menyulitkan Ki Patih untuk menundukkan lawannya.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Raden Mas Rangsang yang berdiri tidak
jauh dari kedua orang tua itu hanya dapat mengawasi jalannya perang tanding
dengan wajah yang sangat tegang dan gigi bergemeretakan.
Beberapa
tombak dari medan perang tanding Ki Patih Mandaraka, tampak tubuh Kiai
Sambiwaja yang terbujur kaku telah diangkat oleh para prajurit untuk dibawa
menepi. Sementara Ki Lurah Upasanta dengan susah payah sedang dibantu oleh
kakandanya Ki Lurah Mandurareja untuk memperbaiki aliran pernafasannya.
“Bagaimana
keadaanmu, Adinda?” bertanya Ki Lurah Mandurareja sambil membantu adiknya untuk
bangkit dan duduk bersila.
“Benturan
itu mungkin telah melukai bagian dalam tubuhku, Kakanda,” jawab Ki Lurah
Upasanta dengan nafas tersengal-sengal sambil mencoba menyilangkan kedua
tangannya di depan dada, “Aku akan mencoba memperbaiki tata letak urat sarafku
yang mungkin telah mengalami guncangan akibat benturan tadi.”
Ki
Lurah Mandurareja hanya dapat menarik nafas dalam-dalam begitu melihat adiknya
mulai memusatkan segenap nalar dan budinya. Sejenak kemudian Ki Lurah Upasanta
pun telah tenggelam dalam alam bawah sadarnya untuk menelusuri bagian dalam
tubuhnya yang terluka dan mencoba untuk mengatasinya.
Memang
benturan puncak ilmu dari adiknya melawan Kiai Sambiwaja beberapa saat tadi
telah berlangsung dengan dahsyatnya. Untunglah ilmu ki Lurah Upasanta masih
selapis tipis di atas ilmu lawannya sehingga Ki Lurah Upasanta masih mampu
bertahan. Sedangkan Kiai Sambiwaja ternyata harus menebus perang tanding itu
dengan nyawanya.
Dalam
pada itu, perang tanding antara Ki Patih melawan Ki Ajar semakin lama menjadi
semakin sengit. Untuk beberapa saat, Ki Patih belum mampu membalas serangan
lawannya dan hanya berloncatan kesana kemari menghindari lontaran
gumpalan-gumpalan api yang mengandung bisa yang berasal dari keris Kiai
Sarpasri.
“Aku
ingin melihat sampai sejauh mana daya tahan tubuhmu, Kakek tua!” geram ki Ajar
Serat Gading sambil terus mempercepat serangannya, “Aku yakin, tidak lebih dari
sepenginang sirih, Kau akan terkapar kehabisan nafas!”
Beberapa
orang di luar arena perang tanding yang mendengar kata-kata ki Ajar itu menjadi
berdebar-debar. Memang benar apa yang dikatakan oleh Ki Ajar, kemampuan wadag
dari Ki Patih memang sudah tidak sedahsyat sewaktu masih muda. Betapa pun
tinggi ilmu seseorang, tanpa dukungan wadag yang memadai, ilmu yang tinggi itu
sama sekali tidak akan berguna.
Sebenarnya
Ki Patih sudah menyadari keadaannya. Sebagai orang yang telah banyak makan asam
garamnya kehidupan, ki Patih sudah terbiasa menghadapi keadaan sesulit apapun.
Maka ketika lawannya telah meningkatkan serangannya, Ki Patih pun segera
memutuskan untuk mengungkap sebuah ilmu yang jarang ada duanya, ilmu yang dapat
mengelabuhi pandangan mata wadag lawannya.
Demikianlah,
ketika sebuah gumpalan api dari lawannya menyambar bagaikan tatit ke tempat Ki
Patih berdiri, tiba-tiba saja Ki Patih telah meloncat ke dua arah yang berbeda
sekaligus. Ternyata ujud ki Patih telah membelah menjadi dua.
Sejenak
lawannya mengerutkan keningnya. Namun yang terdengar kemudian adalah suara
tawanya yang menggelegar memenuhi udara di sekitar tanah pekuburan itu.
“Sebuah
permainan kanak-kanak yang menggelikan,” berkata Ki Ajar kemudian setelah suara
tawanya mereda, “Apakah orang dari Sela yang bergelar Patih Mandaraka ini sudah
kehabisan ilmu sehingga yang ditampilkan tidak lebih dari ilmu kanak-kanak? Aku
tidak akan pernah terkecoh dengan ujud-ujud semu ini. Aku sama sekali tidak
memerlukan waktu sekejap pun untuk membedakan mana ujudmu yang asli. Berdoalah
agar dalam menghadapi saat-saat terakhir, Kau tidak akan mengalami kesakitan
yang terlalu lama.”
Ki
Patih Mandaraka tidak menjawab. Dia memang sudah menyadari bahwa lawannya yang
berilmu tinggi itu pasti dengan sangat mudah akan dapat menemukan ujudnya yang
asli. Namun ki Patih yakin, betapapun mudahnya, lawannya tentu tetap memerlukan
waktu sekejap untuk membedakan ujud-ujud semu itu.
Ternyata
Ki Ajar tidak memberi kesempatan Ki Patih untuk mengambil nafas sejenak. Begitu
selesai berkata, serangannya pun kemudian telah meluncur kembali dengan
dahsyatnya.
Namun
Ki Patih telah mengambil sebuah keputusan untuk menghentikan perlawanan Ki Ajar
sebelum Ki Patih sendiri kehilangan kesempatan karena ketahanan tubuhnya yang
semakin melemah seiring dengan usianya yang telah lanjut.
Demikianlah,
ketika lontaran gumpalan-gumpalan api itu menjadi semakin rapat susul-menyusul
seolah-olah tidak ada jarak sama sekali, Ki Patih telah mengembangkan ilmu ujud
semunya menjadi semakin mendebarkan. Ketika Ki Patih kemudian berloncatan
menghindari serangan lawannya, ujud Ki Patih tidak lagi hanya terpecah menjadi
dua. Setiap kali ujud Ki Patih meloncat menghindar, ujud-ujud semu itu pun
telah terpecah menjadi semakin banyak. Bahkan seakan-akan dengan sengaja
ujud-ujud semu itu menghadang di antara garis serang Ki Patih dan lawannya,
sehingga setiap terkena sambaran ilmu Ki Ajar, ujud-ujud semu itu telah
terpecah menjadi dua, empat bahkan sampai enam.
Demikian
seterusnya sehingga kini Ki Ajar telah dikerumuni oleh ujud-ujud semu Ki Patih
yang jumlahnya hampir mencapai tiga puluhan. Sebenarnya ki Ajar tidak banyak
mengalami kesulitan dalam membedakan ujud-ujud semu itu dengan aslinya. Namun
dengan cerdik Ki Patih telah mengaburkan pengamatan lawannya dengan cara
bergerak dengan cepat dan berpindah tempat dengan menggunakan ujud-ujud semu
yang semakin banyak itu untuk bersembunyi.
“Gila!
Gila! Gila!” umpat Ki Ajar tidak ada habis-habisnya setiap kali serangannya
gagal mengenai ujud Ki Patih yang asli dan justru telah menambah ujud semu itu
semakin banyak. Dengan gerak yang membingungkan ujud-ujud semu itu bersama ujud
Ki Patih yang asli telah menyerang Ki Ajar dari segala penjuru.
Kini Ki
Patih mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Ketika kesempatan itu terbuka
pada saat Ki patih berada di sisi kiri lawannya, sebuah cahaya kebiru-biruan
telah meluncur bagaikan tatit yang meloncat di udara menyambar pundak kanan Ki
Ajar.
Ki Ajar
yang mampu meraba serangan lawannya lewat panggraitanya segera memiringkan
tubuhnya sehingga serangan itu lewat sejengkal dari pundaknya. Bersamaan dengan
itu, sebuah serangan balasan segera meluncur menghantam Ki Patih.
Ki
Patih yang menyadari betapa berbahayanya jika serangan itu sampai menyentuh
tubuhnya telah melenting ke kanan. Bersamaan dengan itu, tubuh Ki patih pun
telah kembali pecah menjadi beberapa ujud semu.
“Mirip
sebuah aji yang dimiliki oleh Prabu Salya dalam cerita babat Mahabarata,” desis
ki Gede Menoreh perlahan hampir tak terdengar.
“Ki
Gede benar,” sahut Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya, “Namun perbedaannya
terletak pada ujud semu itu sendiri. Dalam cerita babat Mahabarata, diceritakan
ujud-ujud semu itu berupa raksasa-raksasa kerdil yang haus darah.”
“Ya,”
berkata Ki Gede kemudian menanggapi kata-kata Ki Jayaraga, “Perbedaan yang lain
juga terletak pada kemampuan yang dimiliki oleh ujud-ujud semu itu. Ujud semu
Ki Patih itu hanya mampu mengelabuhi lawannya dan bukan merupakan pancaran dari
kekuatan ilmu Ki Patih itu sendiri.”
Ki
Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian seolah olah hanya
ditujukan kepada dirinya sendiri, “Sungguh beruntung ki Rangga Agung Sedayu
yang telah mampu menguasai aji kakang Pembarep adi Wuragil dengan sempurna
sehingga jika Ki Rangga mengetrapkan ilmunya yang tiada duanya itu, kemampuan
ilmu Ki Rangga itu akan menjadi tiga kali lipat.”
Ki Gede
menarik nafas panjang begitu Ki Jayaraga menyebut nama Ki Rangga. Terbayang
kembali pertempuran dahsyat antara Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra
sehari yang lalu.
“Aji
Brahala Wuru memang sangat dahsyat dan tiada taranya,” tanpa disadari Ki Gede
bergumam kepada dirinya sendiri, “Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi Ki
Rangga sehingga dia mampu memecahkan titik kelemahan ilmu saudara kembar Kecruk
Putih itu.”
Ki
Jayaraga hanya berpaling sekilas mendengar gumam Ki Gede. Perhatiannya kembali
tertuju ke medan perang tanding yang semakin dahsyat.
Dalam
pada itu, tandang Ki Ajar semakin lama semakin nggegirisi. Udara di seputar
medan perang tanding itu ternyata telah menjadi semakin panas. Bahkan beberapa
orang yang berdiri di pinggir arena telah mundur beberapa langkah akibat
pengaruh panas yang terasa menyengat sampai di tempat mereka berdiri. Agaknya
Ki Ajar telah merambah sampai pada puncak ilmunya sehingga dia telah membakar
medan perang tanding itu.
Ki
Patih Mandaraka sebenarnya telah menyadari sejak awal bahwa ilmu Ki Ajar lambat
laun pasti akan membakar medan dengan harapan akan dapat membuat pertahanan
lawannya semakin melemah. Namun tampaknya Ki Patih sudah memperhitungkan semua
itu dengan cermat. Tandangnya masih tetap trengginas serta bayangan semunya
yang semakin banyak jumlahnya itu sedikit banyak telah menghambat Ki Ajar dalam
mengenali keberadaan Ki Patih.
Demikianlah,
ketika Matahari memanjat semakin tinggi, perang tanding itu pun telah merambah
sampai pada puncaknya. Serangan Ki Ajar yang terpancar dari keris Kiai Sarpasri
bukan lagi berupa gumpalan-gumpalan api berbisa yang meluncur susul-menyusul,
namun sudah berupa pancaran api yang berkobar-kobar mengejar ke arah mana pun
lawannya menghindar.
Ki
Patih menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk menghentikan serangan lawannya
adalah dengan cara menghentikan sumbernya, yang dalam hal ini adalah keris Kiai
Sarpasri. Ki Patih harus mencari cara untuk memisahkan keris itu dari tangan
lawannya. Tanpa keris Kiai Sarpasri di tangan Ki Ajar, kemampuan ilmu Ki Ajar akan
jauh menyusut dan bagi ki Patih tidak akan banyak menemui kesulitan untuk
menundukkannya.
“Ki
Patih agaknya belum menemukan cara untuk menghentikan serangan lawannya yang
berasal dari keris Kiai Sarpasri itu,” gumam Ki Gede perlahan sambil pandangan
matanya tidak lepas dari medan perang tanding.
“Sebenarnya
kemampuan ilmu Ki Ajar tidak akan melampui kemampuan ilmu Ki Patih,” Ki
Jayaraga menambahkan, “Namun dukungan keris Kiai Sarpasri sangat berpengaruh
dalam mengungkapkan ilmu puncak Ki Ajar. Aku yakin, dengan, memisahkan keris
itu dari tangan Ki Ajar, Ki Patih tidak akan banyak menemui kesulitan dalam
menghentikan perlawanan lawannya.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya sambil berpaling sekilas ke arah Ki Jayaraga yang berdiri
di sampingnya. Katanya kemudian, “Bagaimana mungkin memisahkan keris itu dari
tangan pemiliknya?”
Ki
Jayaraga hanya menggeleng lemah sambil menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya
kemudian, “Itu yang sedang aku pikirkan. Semoga Ki Patih pun telah menyadari
kekuatan inti dari ilmu lawannya dan segera menemukan cara untuk mengatasinya.”
Ki Gede
tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk. Ketika pandangan
matanya sekilas menyambar ke tempat Raden Mas Rangsang berdiri, jantung
Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu pun tiba-tiba telah berdesir
tajam.
Tidak
jauh dari tempat kedua orang tua itu berdiri, tampak Raden Mas Rangsang berdiri
dengan wajah yang sangat tegang sambil memperhatikan jalannya perang tanding
yang sedang berlangsung dengan dahsyatnya. Samar-samar pandangan mata Ki Gede
telah melihat sesuatu yang mendebarkan jantung.
“Ki
Jayaraga,” perlahan Ki Gede berbisik kepada Ki Jayaraga yang berdiri di
sebelahnya, “Aku melihat sesuatu yang mendebarkan pada diri Raden Mas
Rangsang.”
Ki
Jayaraga yang perhatiannya sedang tertumpah sepenuhnya pada jalannya perang
tanding itu mengerutkan keningnya. Dengan tetap memperhatikan jalannya
pertempuran dia balik bertanya, “Apa yang sedang terjadi pada diri Raden Mas
Rangsang, Ki Gede?”
Ki Gede
menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Jayaraga. Sambil tetap
berbisik, jawabnya kemudian, “Lihatlah, Ki. Aku pernah mendengar sebuah cerita
tentang leluhur yang telah menurunkan Raja-Raja di tanah Jawa. Seorang Raja
besar yang memiliki ciri-ciri seperti yang tampak pada diri Raden Mas Rangsang
sekarang ini. Apakah ini sebuah pertanda dari Yang Maha Agung bahwa Raden Mas
Rangsang memang telah terpilih untuk memimpin Nusantara ini menuju puncak
kejayaannya kembali?”
Ki
Jayaraga terkejut. Tanpa membuang waktu, dia segera berpaling ke arah Raden Mas
Rangsang berdiri. Alangkah terkejutnya guru Glagah Putih itu begitu dia melihat
tanda-tanda sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ki Gede Menoreh itu.
“Luar
biasa,” desis Ki Jayaraga, “Menurut cerita yang pernah aku dengar, tanda-tanda
itu memang sama dengan yang pernah terlihat pada diri seorang penyamun penguasa
Padang Karaotan yang pada akhirnya mampu merayap menduduki tahta setelah dia
memperistri seorang perempuan yang terlahir sebagai Nareswari, seorang
perempuan yang dipercaya menurunkan raja-raja di tanah Jawa ini.”
“Ya,
Ki,” jawab Ki Gede, “Namun bagaimana dengan Raden Mas Wuryah? Bukankah
Panembahan Hanyakrawati pernah bersumpah untuk menjadikan keturunan dari putri
Panaraga itu sebagai Putra Mahkota?”
“Entahlah
Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Padahal
sebelum Raden Mas Wuryah lahir, jabatan Adipati Anom itu telah diberikan kepada
Raden Mas Rangsang.”
Sejenak
kedua orang tua itu terdiam. Ketika pandangan mata kedua orang tua itu kembali
tertuju ke medan perang tanding, ternyata telah terjadi perubahan yang sangat
luar biasa.
Ketika
Ki Ajar yang sedang dalam puncak ilmunya itu mengejar kemana pun bayangan Ki
Patih berpindah tempat di antara bayangan-bayangan semunya, tiba-tiba sudut
matanya menangkap sesuatu yang mendebarkan pada diri Raden Mas Rangsang yang
sedang berdiri di pinggir arena.
Sekejap
Ki Ajar bagaikan terpesona melihat cahaya kemerah-merahan yang muncul di antara
asap putih yang mengepul di ubun-ubun pewaris trah Mataram itu. Ternyata dalam
ketegangan dan kemarahan yang luar biasa, tanpa disadarinya Raden Mas Rangsang
telah menunjukkan sesuatu yang luar biasa yang dianggap sebagian orang sebagai
tanda-tanda akan munculnya kembali seorang Raja besar yang akan menguasai
Nusantara.
“Agaknya
memang benar ramalan seorang Wali yang waskita pada saat Pajang masih berkuasa
dahulu bahwa keturunan Mataram lah yang akan menguasai tanah Jawa ini. Kalau
memang wahyu keprabon telah berpindah, akan sia-sia lah perjuangan Eyang Guru
untuk meneruskan trah Sekar Seda Lepen,” berkata Ki Ajar dalam hati.
Namun
perhatian Ki Ajar yang terpecah walaupun hanya sekejap itu ternyata harus
dibayar dengan sangat mahal. Serangan Ki Ajar yang berupa pancaran api yang
berkobar-kobar itu telah tersendat beberapa saat sehingga kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Ki Patih yang berada di sebelah kiri Ki Ajar. Sejenak
kemudian, selarik sinar kebiru-biruan telah meluncur menerjang dada sebelah
kiri Ki Ajar.
Bagaikan
disengat ribuan lebah, ki Ajar terkejut bukan alang kepalang begitu menyadari
serangan lawannya tinggal sejengkal dari dadanya. Dengan kecepatan yang tidak
kasat mata, Ki Ajar pun segera meloncat mundur. Namun apa yang terjadi kemudian
adalah diluar perhitungan Ki Ajar sendiri. Dada sebelah kiri Ki Ajar memang
selamat dari terjangan ilmu lawannya, namun selarik sinar kebiru-biruan yang
gagal menggapai dada kiri Ki Ajar itu justru telah menghantam pergelangan
tangan kanan Ki Ajar yang sedang memegang keris Kanjeng Kiai Sarpasri pada saat
dia meloncat mundur.
Akibatnya
sangat diluar dugaan Ki Ajar sendiri. Sambaran ilmu lawannya itu telah membakar
dan meremukkan pergelangan tangan kanan Ki Ajar sehingga Ki Ajar tidak mampu
lagi untuk mempertahankan senjatanya. Keris Kanjeng Kiai Sarpasri yang selama
ini menjadi sumber kekuatannya itu pun telah terlepas dari genggamannya dan
terlontar beberapa langkah kemudian jatuh tergeletak di atas tanah.
“Iblis,
setan, gendruwo, tetekan!” umpat Ki Ajar tak henti-hentinya sambil berdesis
menahan rasa sakit yang mendera pergelangan tangan kanannya.
Ki
Patih Mandaraka tidak menanggapi umpatan ki Ajar. Tekadnya sudah bulat untuk
segera mengakhiri perang tanding yang melelahkan itu, sebelum tenaganya sendiri
menjadi semakin menyusut seiring dengan dukungan wadagnya yang semakin melemah.
Namun melihat lawannya sudah tidak memegang pusaka andalannya lagi, sejenak Ki
Patih menjadi ragu-ragu. Ki Patih tidak ingin menyerang lawan yang sudah tidak
berdaya.
“Menyerahlah
Ki Ajar,” akhirnya Ki Patih kemudian berkata, “Masih ada kesempatan untuk
memperbaiki diri. Kami selalu memperlakukan para tawanan dengan baik dan
berpegang pada paugeran yang berlaku. Masih ada jalan kembali bagi Ki Ajar.”
“Persetan
dengan sesorahmu!” geram Ki Ajar dengan mata menyala, “Aku belum kalah dan
hanya kematian yang dapat mengakhiri perang tanding ini.”
Ki
Patih tertegun. Agaknya kekerasan hati Ki Ajar telah memburamkan penalarannya,
dan hanya kematian yang dapat menghentikan polah tingkahnya.
Sejenak
kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu masih saling menunggu. Kesempatan
itu digunakan sebaik-baiknya oleh ki Patih untuk memulihkan tenaganya walaupun
tidak sepenuhnya. Dengan menarik nafas dalam-dalam berkali-kali, tubuh Ki Patih
yang telah rapuh dimakan usia itu pun menjadi sedikit segar kembali.
Dalam
pada itu, Ki Ajar yang menyadari sepenuhnya akan ketinggian ilmu Ki Patih
segera mengambil sikap. Tanpa keris Kanjeng Kiai Sarpasri di tangannya, ilmunya
tidak akan mampu mengimbangi ilmu lawannya.
Namun
apa yang dilakukan oleh Ki Ajar kemudian justru telah membuat Ki Patih
terkejut. Menurut perhitungan Ki Patih, lawannya itu pasti akan berusaha untuk
meraih senjatanya kembali yang telah terjatuh. Namun apa yang dilakukan oleh
lawannya itu benar-benar di luar dugaan ki Patih.
Selagi
Ki Patih masih menunggu pergerakan lawannya, tiba-tiba saja hampir tidak dapat
diikuti oleh pandangan mata wadag, tangan kiri Ki Ajar dengan cepat telah
menyusup ke balik bajunya dan sejenak kemudian beberapa pisau kecil telah
meluncur bagaikan tatit susul menyusul menerjang ke arah Ki Patih.
Ki
Patih Mandaraka yang sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan seperti
itu menjadi sedikit gugup. Pisau pertama dan kedua masih mampu dihindarinya,
namun pisau berikutnya ternyata Ki Patih agak terlambat menghindar sehingga
ujung pisau yang sangat tajam itu telah berhasil menggores lengan kirinya.
Sejenak
Ki Patih terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sebuah desis tertahan
terdengar dari mulut Ki Patih. Memang tidak banyak darah yang tertumpah dari
luka itu. Namun justru dengan demikian Ki Patih segera menyadari bahwa pisau
itu pasti mengandung racun yang sangat kuat.
Ternyata
serangan pisau-pisau itu hanya sebuah cara dari Ki Ajar untuk mengalihkan
perhatian Ki Patih. Begitu usahanya berhasil, dengan sebuah lompatan yang
panjang, Ki Ajar berusaha meraih keris Kanjeng Kiai Sarpasri yang tergeletak
beberapa langkah di depannya.
Begitu
tangan kiri Ki Ajar berhasil meraih keris pusaka Kanjeng Kiai Sarpasri, segera
terdengar kembali suara tertawanya yang meledak memenuhi udara tanah pekuburan.
Sementara Ki Patih yang lengan kirinya terluka oleh pisau beracun itu telah
terjatuh pada kedua lututnya dengan kepala tertunduk dan kedua tangan
menggantung di kedua sisi tubuhnya. Agaknya racun yang sangat kuat telah mulai
bekerja menyerang ketahanan tubuh Ki Patih.
“Juru
Mertani!” teriak Ki Ajar sambil mengangkat keris di tangan kirinya
tinggi-tinggi, begitu melihat lawannya sudah tak berdaya, “Tidak ada satu obat
pun yang mampu menawarkan racun pada senjataku. Cepat atau lambat, Kau pasti
akan mati. Namun aku akan mempercepat kematianmu dengan keris pusaka Kanjeng
Kiai Sarpasri. Maka tataplah langit dan peluklah bumi. Jangan rindukan lagi
terbitnya Matahari esok pagi.”
Sebenarnya
racun yang terdapat pada pisau belati Ki Ajar itu memang sangat kuat dan jahat.
Sebagai keturunan seorang Wali linuwih pendiri Giri Kedaton, tentu saja Ki
Patih Mandaraka yang semasa mudanya bernama Juru Mertani itu mempunyai darah
yang kebal terhadap segala macam racun. Namun begitu kuatnya racun itu
menyerang kekebalan tubuhnya sehingga telah terjadi pergulatan yang dahsyat di
dalam tubuh Ki Patih yang menyebabkan darahnya bergolak dan tubuhnya gemetaran.
Ki
Patih sendiri sempat terkejut ketika merasakan tubuhnya gemetar dan seluruh
persendiannya bagaikan terlepas. Untuk menahan agar tubuhnya tidak limbung dan
jatuh terguling, Ki Patih justru telah mengambil sebuah keputusan yang
menguntungkan dirinya, membiarkan dirinya terjatuh pada kedua lututnya.
Agaknya
racun yang merasuki tubuh Ki Patih itu begitu kuatnya sehingga diperlukan
beberapa saat untuk memulihkan kekuatannya sebelum racun yang mengeram dalam
tubuh Ki Patih terdesak oleh penawar racun yang mengalir dalam darahnya.
Ki
Jayaraga dan Ki Argapati yang berdiri di luar arena perang tanding itu menjadi
semakin berdebar debar. Mereka melihat Ki Patih telah terjatuh pada kedua
lututnya dengan tubuh yang bergetar keras dan wajah sepucat kapas. Namun mereka
tidak yakin kalau perlawanan Ki Patih telah berakhir. Tentu ada suatu siasat
yang sedang dijalankan oleh Ki Patih.
“Tentu
racun itu sangat kuat sehingga Ki Patih memerlukan waktu untuk mengatasinya,”
berkata Ki Jayaraga dalam hati.
Berpikir
sampai di situ, Ki Jayaraga segera berteriak lantang dari pinggir arena,
“Tunggu Ki Ajar! Ki Ajar tentu tidak berkeberatan jika aku yang akan menjadi
lawan Ki Ajar berikutnya!”
Ki Ajar
yang mendengar teriakan Ki Jayaraga dari pinggir arena perang tanding itu telah
menunda serangannya. Dengan kening yang berkerut-merut, ki Ajar pun sejenak
memandang tajam ke arah Ki Jayaraga. Sambil menunjuk ke arah Ki Jayaraga dengan
keris di tangan kirinya, Ki Ajar pun kemudian berteriak lantang, “Apa peduliku,
he! Setelah membunuh Ki Juru, tentu aku akan membunuh kalian semua. Tidak ada
seorang pun di seluruh tlatah Mataram ini yang mampu menandingi kedahsyatan
keris Kanjeng Kiai Sarpasri!”
“Tentu
tidak!” teriak Ki Gede memotong ucapan Ki Ajar. Agaknya Ki Gede pun tanggap
dengan sikap Ki Jayaraga. Sambil mengangkat tombak pendeknya tinggi-tinggi, Ki
Gede pun kemudian berteriak tak kalah lantangnya, “Tombak pendek pusaka Menoreh
ini pasti akan mampu menandingi pusakamu.”
Ki Ajar
yang sudah merasa di atas angin itu kembali tergelak. Katanya kemudian di
sela-sela tawanya, “He! Dengar kalian orang-orang dungu! Hanya tombak pusaka
terbesar Mataram Kanjeng Kiai Plered sajalah yang mampu menandingi kesaktian
pusakaku ini. Aku katakan sekali lagi, hanya mampu menandingi, bukan
mengalahkan. Semuanya tergantung kepada orang yang menggunakannya.”
Kedua
orang tua itu tidak menjawab. Ketika sudut mata mereka melihat wajah Ki Patih
sudah tidak sepucat tadi, hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Ki Gede telah
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata usaha kedua orang tua itu untuk mengulur
waktu agar Ki Patih mendapat kesempatan beberapa saat untuk mengembalikan
kekuatannya telah berhasil. Namun ternyata ki Patih telah mengambil keputusan
untuk tetap berdiri pada kedua lututnya dengan kedua tangan yang menggantung
lemah di sisi tubuhnya.
Ketika
racun yang akan menjalar itu telah terhenti karena desakan kekuatan penawar
racun yang mengalir dalam darah Ki Patih dan hanya menggumpal di sekitar luka
di lengan kirinya, Ki Patih pun dengan tanpa menarik perhatian lawannya segera
memusatkan segenap nalar dan budinya serta dilambari ketulusan dan kepasrahan
kepada Yang Maha Hidup, untuk mengungkapkan ilmu puncaknya.
Demikianlah
akhirnya, Ki Ajar yang sedang menikmati kemenangan kecilnya itu ternyata telah
lengah menilai sikap Ki Patih. Dalam perhitungannya, Ki Patih sudah tidak akan
mampu lagi mengadakan perlawanan akibat racun yang telah menjalar di dalam
tubuhnya.
Setelah
melihat kedua orang tua yang berdiri di pinggir arena perang tanding itu tidak
melanjutkan kata-katanya dan hanya berdiri termangu-mangu, dengan teriakan yang
menggelegar, Ki Ajar pun kemudian telah mengangkat kembali keris pusaka di
tangan kirinya tinggi-tinggi dan siap melontarkan ilmunya yang nggegirisi.
Orang-orang
yang berdiri di seputar arena perang tanding itu menjadi semakin berdebar-debar
menanti akhir dari perang tanding itu. Bahkan Ki Jayaraga dan Ki Argapati yang
telah yakin akan keadaan Ki Patih masih juga dihinggapi rasa was-was. Sementara
Ki Lurah Mandurareja dan Ki Lurah Upasanta telah menggenggam tangkai senjata mereka
erat-erat. Bagaimana pun juga, Ki Patih adalah Eyang mereka yang sangat mereka
cintai dan hormati. Keduanya telah berjanji dalam hati, jika sesuatu terjadi
pada Eyang mereka, mereka telah memutuskan untuk menyabung nyawa dengan orang
yang menyebut dirinya keturunan dari perguruan Nagaraga itu.
Dalam
pada itu di pinggir hutan yang masih lebat yang bersebelahan dengan padang
perdu dekat pemakaman padukuhan induk, hampir tidak tampak oleh mata wadag, dua
orang sedang berdiri melekat pada sebatang pohon besar yang tumbuh menjulang di
pinggir hutan.
“Mengapa
Ki Ajar tiba-tiba saja menjadi seperti kanak-kanak yang cengeng?” seorang yang
berperawakan tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya berdesis
perlahan, “Apa untungnya mengulur-ulur waktu hanya untuk membunuh seorang Juru
Mertani?”
Kawannya
yang di sebelahnya tertawa tertahan. Jawabnya kemudian, “Apa Kau belum mengenal
sifat Ki Ajar yang sebenarnya? Dia terbiasa mempermainkan korbannya terlebih
dahulu sebelum membunuhnya. Agaknya kali ini pun dia ingin menikmati
kegemarannya itu.”
“Aku
menjadi tidak telaten!” geram orang yang pertama, “Sebaiknya Ki Ajar segera
membunuh orang dari Sela itu agar kita dapat segera tampil di medan untuk
membantunya mencabut nyawa cecurut-cecurut Mataram.”
Kawannya
yang berdiri di sebelahnya tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala.
Katanya kemudian, “Yang harus dibunuh setelah Juru Mertani adalah Mas Rangsang.
Dengan demikian akan putuslah trah Mataram dan selanjutnya trah Sekar Seda
Lepen yang akan merajai tanah Jawa ini.”
Orang
yang bergelang besi itu mengerutkan keningnya sambil berpaling. Dengan sedikit
ragu-ragu dia mengajukan pertanyaan, “Bagaimana dengan Mas Wuryah?”
“Ah!
Pangeran bebal itu? Pangeran yang satu itu sama sekali tidak masuk hitungan
Eyang Guru. Jangankan memikirkan pemerintahan Mataram, untuk mengenali diri
sendiri saja Mas Wuryah tidak akan mampu.”
Orang
yang bergelang besi itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika tanpa disadarinya dia
telah berpaling ke belakang, pandangan matanya yang tajam itu segera saja
mengenali beberapa orang yang sedang bersembunyi di antara lebatnya pepohonan
dan pepatnya gerumbul-gerumbul semak belukar.
“Lima
belas orang,” desisnya kemudian.
Kawannya
tersenyum. Katanya kemudian, “Sudah lebih dari cukup. Kita akan membebaskan
Jabung dan kawan-kawannya terlebih dahulu sebelum membunuh orang-orang Mataram,
sehingga kekuatan kita akan bertambah.”
Orang
yang bergelang besi itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tampak
terangguk-angguk.
“Agaknya
perhitungan Eyang Guru mendekati kebenaran,” berkata kawannya itu kemudian
sambil berpaling ke belakang mengamati-amati orang-orangnya yang sedang
bersembunyi, “Ki Ajar dan murid-muridnya ternyata telah terlambat dan tidak
sempat bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Adalah sangat
mengherankan ketika kita beserta beberapa orang telah diperintahkan oleh Eyang
Guru untuk menyusul Ki Ajar. Eyang Guru mungkin memperhitungkan sifat Ki Ajar
yang keras kepala yang ingin melampiaskan dendam perguruan Nagaraga kepada keturunan
Panembahan Senapati, apapun yang terjadi. Sayang, kedatangan kita pun juga
terlambat untuk bergabung dengan Ki Ajar. Kita datang ketika perang tanding itu
telah berlangsung.”
Kembali
orang bergelang besi itu tidak menjawab, pandangan matanya tetap saja lurus ke
depan, ke arah tanah pekuburan. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Bahkan
tanpa disadarinya dia telah maju beberapa langkah agar dapat lebih jelas
melihat apa yang sedang terjadi di arena perang tanding.
Kawannya
yang melihat orang bergelang besi itu maju beberapa langkah menjadi terkejut.
Dengan tergesa-gesa dia segera menyusul. Namun baru saja dia mengayunkan
langkah, terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari arah tanah
pekuburan.
“Gila!”
tiba-tiba orang yang bergelang besi itu mengumpat keras, “Apa yang sebenarnya
telah terjadi, he..?”
Kawannya
dengan ragu-ragu dan sedikit memicingkan mata mencoba untuk mengamat-amati apa
yang sedang terjadi di arena perang tanding itu. Alangkah terkejutnya dia
ketika pandangan matanya tidak lagi menangkap sosok Ki Ajar yang berdiri tegak
dengan tangan kiri mengangkat keris pusakanya tinggi-tinggi. Ki Ajar tidak
tampak lagi di medan perang tanding, yang tampak hanya lah Ki Patih yang rebah
di atas tanah serta beberapa orang yang tampak sedang mengerumuninya.
“Kemana
Ki Ajar?” tanpa sadar pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Orang
yang bergelang besi itu menggeram keras sambil mengeluarkan sebuah umpatan yang
sangat kotor. Kemudian sambil berpaling ke arah kawannya yang telah berdiri di
sebelahnya dia berkata setengah membentak, “Itulah akibatnya kalau Ki Ajar
terlalu menuruti hawa nafsunya. Ki Ajar harus membayar kelengahannya dengan
nyawanya!”
Kawannya
terkejut. Dengan jantung yang berdebaran dicobanya sekali lagi mengamati arena perang
tanding. Ketika tampak beberapa prajurit berlari-larian menuju ke sebuah
gerumbul yang agak lebat, barulah dia melihat samar-samar seseorang telah
tertelungkup yang sebagian tubuhnya berada di dalam semak belukar.
“Ki
Ajar kah itu?” tanyanya kemudian dengan suara bergetar menahan gejolak di dalam
dadanya, “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?”
Orang
yang bergelang besi itu sekali lagi mengumpat. Kemudian sambil bergegas
melangkah ke dalam hutan dia berkata, “Tidak ada gunanya lagi kita berada di
sini. Membuang-buang waktu saja. Lebih baik kita segera kembali dan melaporkan
apa yang telah terjadi di sini.”
Sejenak
kawannya masih berdiri termangu-mangu. Ada sebersit keraguan di dalam hatinya
bahwa seseorang yang tertelungkup itu adalah Ki Ajar. Dia benar-benar tidak
habis pikir bagaimana mungkin Ki Ajar yang sudah tampak menguasai lawannya itu
justru telah terbunuh. Namun ketika para prajurit telah mengangkat tubuh yang
tertelungkup itu dan membawanya ke tempat yang agak lapang, barulah dia yakin
bahwa tubuh yang sudah tak bernyawa itu adalah Ki Ajar.
“Gila!”
sekarang giliran orang itu yang mengumpat.
Untuk
beberapa saat dia masih menunggu perkembangan. Ketika dia kemudian berpaling ke
belakang, tampak orang yang bergelang besi itu bersama-sama dengan yang lainnya
telah meninggalkan tempat.
“Agaknya
Ki Ajar telah salah perhitungan,” berkata orang itu dalam hati sambil melangkah
menyusul kawan-kawannya, “Ki Ajar begitu yakin dengan kekuatan racun yang
terdapat di pisau belatinya. Ternyata Ki Juru Mertani sangat cerdik dan telah
berhasil mengelabui Ki Ajar.”
Ketika
langkahnya hampir mencapai hutan yang masih cukup lebat itu, tiba-tiba saja
langkahnya telah terhenti. Sejenak dia berpaling ke arah tanah pekuburan, namun
kemudian langkahnya pun kembali terayun menyusul kawan-kawannya yang telah
terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
“Eyang
Guru pasti akan memanggil keris Kanjeng Kiai Sarpasri itu kembali,” berkata
orang itu dalam hati, “Aku tidak perlu mencarinya.”
Demikian
lah akhir dari perang tanding itu. Ki Ajar ternyata telah salah perhitungan
dalam menilai sikap Ki Patih. Yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan
Ki Ajar Serat Gading. Belum sempat dia menghentakkan puncak ilmunya melalui
keris Kanjeng Kiai Sarpasri di tangan kirinya yang telah diangkatnya
tinggi-tinggi, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, Ki Patih telah
menghentakkan puncak ilmunya lewat kedua tangannya yang teracu kedepan.
Ki Ajar
yang sudah merasa akan segera dapat mengakhiri perang tanding itu dengan mudah,
ternyata telah dikejutkan oleh selarik cahaya kebiru-biruan yang meluncur
mengarah ke dadanya.
Tidak
ada kesempatan sama sekali bagi Ki Ajar untuk menghindar. Yang dapat
dilakukannya hanyalah menghimpun tenaga cadangannya setinggi-tingginya untuk
melindungi tubuhnya dari kehancuran.
Sejenak
kemudian terdengar sebuah ledakan dahsyat di tanah pekuburan itu. Tidak
terdengar sebuah keluhan pun dari mulut Ki Ajar. Tubuh Ki Ajar itu bagaikan
terdorong oleh sebuah kekuatan raksasa dan terlempar ke belakang beberapa
tombak sebelum akhirnya jatuh terpuruk di antara semak dan belukar. Sementara
keris Kanjeng Kiai Sarpasri yang berada di tangan kirinya telah terlempar entah
ke mana.
Komentar
Posting Komentar